bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bab i-v...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial ingin selalu hidup berinteraksi dengan
sesamanya, maka dalam upaya meneruskan keturunannya, manusia melakukan
perkawinan. Perkawinan telah dilakukan semenjak adanya manusia itu sendiri,
Tuhan menciptakan manusia pertama yaitu Adam juga disertai pasangannya yakni
Hawa. Sebagai mahluk yang berakal, manusia memandang bahwa perkawinan
bukanlah semata-mata urusan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ataupun
meneruskan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai suatu ikatan yang suci yang
memiliki dampak sosial yang lebih luas, oleh karena itu pengaturan masalah
perkawinan menjadi sangat diperlukan.
Di Indonesia, hal ihwal perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa ikatan perkawinan bukanlah
sekedar ikatan biasa seperti ikatan bisnis saja tetapi lebih jauh lagi yakni
melibatkan ikatan batin dengan tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal.
2
Perkawinan menjadi sah apabila telah sesuai dengan rumusan Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi, suatu
perkawinan menjadi sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum
agama dan masing-masing kepercayaan serta telah dicatatkan pada Kantor Urusan
Agama/KUA (bagi yang beragama Islam) dan Dinas Catatan Sipil (bagi yang
beragama non muslim dan kepercayaan). Pencatatan perkawinan juga
diperuntukan guna memenuhi tertib administrasi kependudukan.
Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, asas
perkawinan yang berlaku adalah asas monogami sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. Monogami adalah perkawinan tunggal, yakni
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
Asas monogami dapat disimpangi dengan asas poligami sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut : Pengadilan dapat memberi
ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Sayuti Thalib, poligami yaitu
seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama,
memang diperbolehkan dalam agama Islam, tetapi pembolehan itu diberikan
sebagai suatu pengecualian, pembolehan diberikan dengan pembatasan-
pembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak1. Jika
1Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto. 2009 hlm 38
3
menilik dari asalnya, monogami berasal dari Barat, hal ini dikarenakan dalam
ajaran agama Kristen hanya dikenal perkawinan tunggal/monogami.
Seorang wanita tidak mau dimadu dalam kehidupan rumah tangganya.
Apabila terjadi seorang wanita bersedia dimadu dalam perkawinannya, sudah
dipastikan karena ada faktor lain atau karena pengaruh keyakinan dan budaya
masyarakatnya. Hal ini berbeda pada diri seorang pria yang terdapat
kecendrungan untuk itu, baik dilihat dari aspek biologis, budaya, dan psikilogis.2
Poligami itu berasal dari Timur ke Barat. Pemberlakuan poligami dalam
perkawinan sering menimbulkan sikap pro dan kontra di dalam masyarakat.
Masyarakat yang pro terhadap poligami beranggapan bahwa poligami adalah
keharusan kemanusiaan yang biologis pada satu segi dan mungkin juga
kepentingan sosial, psikologis, dan segi yang lain.3 Bagi masyarakat yang kontra
beranggapan bahwa poligami itu merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM), karena dengan dilakukannya praktek poligami dalam
perkawinan, maka akan terjadi praktek-praktek diskriminasi dalam kehidupan
rumah tangga.
Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 huruf a
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Pasal 55-59 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
2Ibid, hlm 37
3 Yahya, Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia, CV Tahir Trading Co, Medan, 1978 hlm 25
4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
b.Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b.Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
(2) Perjanjian yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai perjanjiannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
dari istrinya, selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Pengadilan agama yang memeriksa permohonan ijin poligami harus
memperhatikan dan mempergunakan syarat sebagaimana yang telah ditentukan
oleh Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975,
jika tidak memenuhi syarat tersebut maka permohonan ijin poligami akan ditolak,
sebaliknya jika dipenuhi maka permohonan ijin poligami akan dikabulkan.
Pemohon (Nardi) melangsungkan perkawinan dengan termohon (Nur Fajriah)
pada tanggal 13 Oktober 2000, perkawinan tersebut dicatatkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah di KUA Rawalo Kabupaten Banyumas sesuai kutipan akta nikah
Nomor 769/14/X/2000. Perkawinan antara Pemohon dengan Termohon, telah
dikaruniai dua orang anak yang masing-masing berumur 9 tahun dan 7 tahun,
selama perkawinan berlangsung juga diperoleh harta bersama. Pemohon dengan
5
Termohon selama menikah, bedomisili di Desa Tipar Kecamatan Rawalo
Kabupaten Banyumas.
Pemohon menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita yang bernama
Defi Defaluati (calon istri kedua) pada tahun 2010, dan calon istri kedua telah
hamil 3 bulan. Pemohon bertanggung jawab atas hal tersebut. Pemohon
mengajukan permohonan ijin poligami dengan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa Termohon tidak dapat maksimal memenuhi kebutuhan biologis
Pemohon karena termohon kecapaian mengurusi dagangan, akibatnya
Pemohon menjalin hubungan/pacaran lagi dengan Defi Defaluati (calon istri
kedua pemohon) sampai sekarang sudah satu tahun lamanya;
2. Bahwa saat ini calon istri kedua Pemohon sedang hamil 3 bulan;
3. Bahwa calon istri kedua Pemohon bernama Defi Defaluati tidak ada hubungan
keluarga dengan Pemohon maupun Termohon;
4. Bahwa Pemohon merasa mampu memberikan nafkah dua orang istri dengan
penghasilan pemohon dari dagang kayu dan usaha kolam pemancingan rata-
rata sebulan sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah);
5. Bahwa selama Pemohon berumah tangga dengan Termohon, antar Pemohon
dengan Termohon telah mempunyai harta bersama berupa:
a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kacamatan
Rawalo, Kabupaten Banyumas;
b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385 QE;
c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa
Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas;
6
d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan
Rawalo, Kabupaten Banyumas;
e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan
Rawalo, Kabupaten Banyumas
f. Emas seberat 15 gram.
Pengadilan Agama Purwokerto dalam persidangan pertama dengan acara
sidang mediasi, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1 Tahun 2008, sidang mediasi mediator memberikan pandangan
atau nasihat kepada Pemohon dan Termohon dengan mengingatkan kepada
keduanya, terutama kepada Pemohon tentang kemungkinan-kemungkinan yang
akan dihadapi akibat dari kehidupan berpoligami, tetapi Pemohon tetap bersikeras
untuk melanjutkan perkaranya sehingga mediasi dinyatakan gagal.
Pengadilan Agama Purwokerto kemudian melanjutkan proses persidangan ke
sidang acara pembuktian dan memerintahkan kepada Pemohon untuk
membuktikan kebenaran dalil permohonan ijin poligami, Pemohon mengajukan
alat bukti berupa surat, menghadirkan dua orang saksi dan pengakuan dari
Pemohon maupun dari Termohon.
Pengadilan Agama Purwokerto melakukan pemeriksaan setempat untuk
memeriksa harta bersama antara Pemohon dengan Termohon (benda tetap) serta
meminta keterangan dari calon istri kedua tentang kesediannya untuk menjadi istri
kedua Pemohon, dimana calon istri kedua Pemohon menyatakan bahwa dirinya
bersedia untuk menjadi istri kedua Pemohon dan antara Pemohon dengan calon
istri kedua tidak ada larangan perkawinan untuk melaksanakan perkawinan.
7
Isi putusan permohonan ijin poligami, amarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberi ijin kepada Pemohon Nardi untuk menikah lagi dengan perempuan
bernama Defi Defaluanti;
3. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.1.891.000,- (satu juta delapan ratus
sembilan puluh ribu rupiah) kepada Pemohon.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul:
PENILAIAN ALAT BUKTI DALAM PERMOHONAN IJIN POLIGAMI
YANG DIKABULKAN (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR:
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1.Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti permohonan ijin
poligami yang dikabulkan sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkara putusan Nomor:
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt ?
2.Apakah akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang
dikabulkan?
8
C. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui mengenai pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti
permohonan ijin poligami yang dikabulkan berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkara putusan
Nomor: 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt.
2.Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin
poligami yang dikabulkan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan ilmu
hukum khususnya hukum acara perdata sehingga hukum dapat selalu selaras
dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum acara perdata khususnya
mengenai hukum acara peradilan agama terutama mengenai masalah apakah
dalam menjatuhkan putusan mengenai permohonan ijin poligami (Putusan No.
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt) sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan KHI.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian mengenai perkawinan dapat dijumpai pada:
1.1 Pasal 2 KHI
Perkawinan menurut islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
1.2 Dawoud El Alami dan Doreen Hincliffe
Perkawinan dalam hukum islam ialah sebuah kontrak, dan seperti kontrak-
kontrak yang lain, perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu
penawaran (ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (qabul)
oleh pihak yang lain. Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi
wajib, sepanjang maksudnya dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad
perkawinan adalah jelas (sah).4
Pada pengertian mengenai perkawinan tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang namanya perkawinan adalah suatu kontrak/perjanjian
antara seorang pria (ijab) dengan seorang wanita (qabul) untuk melaksanakan
ibadah terhadap Allah SWT serta dalam melaksanakan suatu perkawinan harus
memenuhi akad-akad perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi jelas (sah).
Pengundangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menyebabkan telah terjadinya unifikasi hukum di bidang keluarga dan perkawinan
4 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta,
2004, hlm 51
10
serta pengundangan tersebut didasarkan pada ketentuan hukum adat dan hukum
agama sehingga menjadi hukum positif di Indonesia.
2. Akibat Perkawinan
Perkawinan yang dilaksanakan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami-
istri, harta-kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
2.1.Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah
tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 tentang Perkawinan).
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang
Perkawinan).
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tentang Perkawinan).
d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
e. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
f. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, dan saling
setia.
11
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai
dengan kemampuannya.
h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
2.2. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
a. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
b. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta
bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
c. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 tentang Perkawinan).
2.3. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
2.3.1. Kedudukan anak
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan)
b. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
12
2.3.2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai
anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan).
b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
c. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis
keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan
anaknya (Pasal 46 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan). 5
3. Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yaitu sebagai berikut:
(1). Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai;
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua;
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaa tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud
dalam ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyetakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya;
5 Kuliahade.wordpress.com, Hukum Perdata: Akibat Hukum Perkawinan, diunduh pada 6
Januari 2012
13
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat atara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas perintah
orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini;
(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
B. Poligami
1. Pengertian Poligami
Pada antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada
lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang
bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di
mana seseorang hanya memiliki satu suami atau istri pada suatu saat).
Permohonan ijin beristri lebih dari 1 orang (poligami) diatur dalam Pasal
3, 4, dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40-44 PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Pasal 55-59 KHI.
2. Syarat-syarat Permohonan Ijin Poligami
I. Syarat Alternatif/Mutlak
Syarat alternatif tentang permohonan ijin poligami diatur dalam 4 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berisi antara lain sebagai berikut:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
14
2. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
1.1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dapat ditentukan
dengan menguji hukum agama atau kepercayaan masing-masing serta norma
adat kebiasaan dengan tidak melupakan faktor perkembangan mobilitas sosial
kultural masyarakat yang sedang berkembang, dalam pola cita-cita falsafah
pancasila dalam arti yang luas.
Sebagai contoh yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri yaitu jika si istri tidak dengan semestinya menyediakan makanan suami,
ataupun memboroskan uang melampaui pendapat suami, serta menelantarkan
pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak. Tetapi bagaimanapun dalam menilai
si istri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga harus
dihubungkan dengan perlakuan suami dalam rumah tangga.
1.2. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan
dimana alasan tersebut lebih bersifat humanisme, jika menceraikan istri dalam
keadaan yang cacat badan tidak lain bahwa si suami bertindak zalim terhadap
istrinya tersebut, tetapi si suami yang merupakan homo sapiens juga harus
diperhatikan kebutuhan biologisnya. Maka beralasan sekali memberi ijin
kepadanya untuk mengawini seorang lagi istri tanpa menceraikan istrinya
tersebut.
15
1.3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Setiap manusia yang melakukan perkawinan dipastikan memiliki
keinginan untuk memiliki keturunan, hal tersebut memang sangat manusiawi
karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa
adanya bantuan orang lain. Maka, untuk menentukan bahwa si istri mandul
atau tidak diperlukan keterangan yang jelas dari seorang ahli spesialis yang
menyatakan bahwa si istri tersebut memang mandul.
II. Syarat Kumulatif/Relatif
Syarat kumulatif tentang permohonan ijin poligami diatur dalam 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berisi antara lain sebagai berikut:
1. Adanya perjanjian dari istri/istri-istri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
1.1.Adanya perjanjian dari istri/istri-istri
Perjanjian ini tidak diatur apakah perjanjian tersebut berupa perjanjian
lisan maupun perjanjian tulisan, akan tetapi untuk menjawab pertanyaan
tersebut maka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
16
Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis,
apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus
diucapkan didepan sidang pengadilan.
Permohonan ijin adalah tindakan pengadilan/hakim yang bersifat
deklarator. Perjanjian dari istri/istri-istri dalam permohonan ijin poligami
seperti yang telah diatur dalam Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dilaksanakan dengan cara tertulis, tetapi untuk menguatkan bahwa keterangan
tersebut di buat oleh istri, maka pengadilan berwenang untuk mendengar
langsung persetujuan dari istri, hal itu dilakukan agar tidak terdapat
persetujuan palsu dari istri yang dibuat oleh suami dalam permohonan ijin
poligami.
1.2.Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka sulit untuk memberikan ukuran-ukuran yang objektif,
konkrit, dan pasti. Pada Pasal 41 huruf c PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi
ukuran objektif mengenai ada atau tidaknya kemampuan suami untuk
menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja;
b. Surat keterangan pajak penghasilan;
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
17
Jika dalam menentukan mengenai kemampuan suami untuk menjamin
keperluan istri-istri dan anak-anaknya maka dapat ditentukan mengenai
jumlah kekayaan suami pada saat pengajuan permohonan ijin poligami.
Jumlah kekayaan suami pada saat diajukan permohonan ijin poligami itu
bersifat relatif, artinya jumlah kekayaan suami dapat berubah sewaktu-waktu
dalam jangka waktu ke depan. Oleh karena itu, hakim harus meneliti pada saat
pemberian ijin poligami yang diajukan oleh suami yaitu sebagai berikut:
a. Hakim harus mendapatkan mengenai data-data bahwa akhlak dan sikap
hidup orang yang bersangkutan benar-benar terpuji dari lingkungan
kehidupan masyarakat sekitar, oleh karena itu hakim bisa memperoleh data-
data yang dimaksud tersebut dari tetangga Pemohon;
b. Menanyakan secara langsung kepada si istri mengenai keadaan sosial
ekonomi yang sebenarnya dari keluarga mereka serta tingkah laku si suami
selama mereka hidup bersama.
c. Hakim dapat mencari kesimpulan motif dan permohonan persetujuan.6
1.3.Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka.
Jaminan berlaku adil disini dimaksudkan lebih bersifat moral dan
bukanlah materiil. Jaminan dalam pengertian hukum adalah sesuatu yang
mempunyai nilai materiil yang dapat dieksekusi untuk memenuhi suatu
keingkaran atau kelalaian seorang kreditur. Oleh karena jaminan berlaku adil
dalam permohonan ijin poligami lebih condong bersifat moral, maka hakim
6 Ibid hlm 28
18
dapat memintakan surat pengakuan atau surat pernyataan dari pemohon
bahwasanya dia bersedia untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-
anaknya. Jika si suami menyalahi ikrar untuk berlaku adil terhadap istri-
istrinya dan anak-anaknya maka pihak istri yang merasa didiskriminasikan
dapat menuntut pemulihan keadilan itu kepada pengadilan atau dapat
menuntut agar istri yang mendapat perlakuan melebihi dari ukuran-ukuran
keadilan supaya diputuskan perkawinannya.
3. Tata Cara Pengajuan Permohonan Ijin Poligami
Tata cara pengajuan permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut:
3.1. Poligami harus ada ijin dari pengadilan agama
a. Pengadilan, dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
b. Jika seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suami wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan).
19
c. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan
(Pasal 40 PP No. 5 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
3.2. Surat permohonan
a. Surat permohonan ijin beristri lebih dari seorang harus memuat:
a.1. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan
termohon, yaitu istri/istri-istri.
a.2. Permohonan ijin poligami merupakan perkara contentious, karena
harus ada persetujuan dari istri. Karena itu, perkara ini diproses di
Kepaniteraan Gugatan dan didaftar dalam Register Induk Perkara
Gugatan.
3.3. Pemanggilan pihak-pihak
a. Pengadilan agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan
istri ke persidangan.
b. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam
hukum acara perdata biasa yang diatur dalam Pasal 390 Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) dan pasal-pasal yang berkaitan.
3.4. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975
20
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan).
b. Pada dasarnya, pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut
pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,
pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 59 ayat (1)
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama).
3.5. Status perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau
keempat tanpa ijin dari pengadilan agama
Pasal 56 ayat (3) KHI berbunyi:
Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat
tanpa ijin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
3.6. Jika istri tidak mau memberikan persetujuan permohonan poligami.
Pasal 59 KHI yang berbunyi:
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan ijin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan
yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57 KHI. Pengadilan agama
dapat menetapkan tentang pemberian ijin setelah memeriksa dan
mendengar dari istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan
agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.
4. Alat Bukti Permohonan Ijin Poligami
a. Pengadilan agama kemudian memeriksa mengenai:
1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, sebagai syarat alternatif (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.
21
1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan) yaitu:
1.1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
seorang istri;
1.2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
1.3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun persetujuan tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.
3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
3.1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
3.2. Surat keterangan pajak penghasilan, atau
3.3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
agama.
3.4. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan
atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang
ditetapkan untuk itu.
b. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri, persetujuan ini harus
dipertegas dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal
22
istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam
sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.
c. Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:
1. Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;
2. Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;
3. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hakim pengadilan agama.7
C. Hukum Acara Peradilan Agama
1. Kekuasaan dan Kewenangan Peradilan Agama
1.1 Kekuasaan Mengadili
Kekuasaan mengadili peradilan agama dikenal menjadi dua bagian, yaitu
kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
1.1.1 Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,
dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya.8
7H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, pustaka pelajar,
Yogyakarta, 2005 hlm 241
8Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
hlm:27
23
Kompetensi absolut peradilan agama jika ditinjau dari jenis
perkaranya yaitu diatur dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, yang diatur dalam Pasal 49 mengatur mengenai kewenangan
peradilan agama, yaitu dalam bidang:
a. perkawinan;
b. harta;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Mengenai kompetensi absolut, objek yang akan mengajukan gugatannya
ke peradilan agama yaitu pencari keadilan yang beragama islam, disini
berlaku asas personalita keislaman.
1.1.2 Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu
jenis tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang
sama jenis dan sama tingkatan lainnya.9
Kompetensi relatif dapat diterapkan pada perkara-perkara perdata
yang ditangani oleh pengadilan agama, hal tersebut dapat dilihat dari
9Ibid hlm: 25
24
contoh sebagai berikut terdapat perkara perceraian, kedua belah pihak
pada saat mendaftarkan perkaranya menganut agama islam, pengadilan
yang berwenang untuk menyelesaikan perkara perceraian tersebut adalah
pengadilan agama, seiring dengan berjalannya waktu, salah satu pihak
(istri) tersebut, berpindah keyakinan menjadi non muslim. Perkara
perceraian yang akan dilakukan tetap diselesaikan oleh pengadilan
agama dan bukan oleh pengadilan umum. Hal tersebut dikarenakan, pada
saat mendaftarkan perkaranya kedua belah pihak tersebut tunduk akan
hukum islam (berlaku asas personalita keislaman) walaupun salah satu
pihaknya beragama non islam, maka pihak yang beragama non islam
tersebut dapat menundukkan diri terhadap hukum islam.
1.2 Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan
Pada bidang perkawinan, pengadilan agama berwenang memutus,
menyelesaikan, dan mengadili perkara:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya betanggungjawab tidak
mematuhinya;
13. Penentuan kewajiban membayar biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
25
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada dibawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
2. Peran Mediasi dalam Menyelesaikan Perkara Perdata.
2.1. Pengertian mediasi
Pengertian mediasi dalam kaitan pengintegrasiannya dengan sistem
peradilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 7 Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Mediasi di Pengadilan adalah:
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
2.2. Ruang lingkup tahap pramediasi
Ruang lingkup tahap pramediasi diatur dalam Bab II yang terdiri dari
Pasal 7-12 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan. Tahap ini merupakan persiapan kearah proses tahap mediasi.
Sebelum pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi
pokok sengketa, dimulai lebih dahulu dengan mempersiapkan prasarana
yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian.
26
2.2.1.Hakim memerintahkan menempuh mediasi
Pada tahap pramediasi, hakim harus bertindak berdasarkan Pasal 7
ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan adalah sebagai berikut:
2.2.1.1 Memerintahkan terlebih dahulu menempuh mediasi.
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan memberi fungsi dan kewenangan kepada hakim:
2.2.1.1.1 Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib terlebih
dahulu menempuh penyelesaian melalui proses mediasi;
2.2.1.1.2 Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian melalui
proses mediasi, bersifat imperatif, bukan regulatif, oleh
karena itu wajib ditaati oleh para pihak yang bersengketa.
2.2.1.2 Saat menyampaikan perintah
Pada saat penyampaian perintah berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan, hakim harus melakukan yaitu sebagai berikut:
2.2.1.2.1 Pada sidang pertama
Hakim harus menyampaikan perintah yang mewajibkan
para pihak wajib terlebih dahulu menempuh proses mediasi,
pada sidang pertama. Jadi keberadaan dan fungsi sidang
pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para
pihak wajib terlebih dahulu menempuh proses mediasi;
27
2.2.1.2.2 Sidang pertama, adalah sebelum hakim membuka proses
replik-duplik atau bahkan sebelum gugatan dibacakan. Pada
saat sidang dibuka, langsung diperintahkan untuk menempuh
proses mediasi.
2.2.1.2.3.Syarat penyampaian perintah
Syarat penyampaian perintah diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan, yaitu sebagai berikut:
2.2.1.2.3.1.Sidang dihadiri kedua belah pihak yang berperkara;
2.2.1.2.3.2.Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi
pelaksanaan mediasi.
2.2.2 Hakim wajib menunda persidangan
Pada saat adanya perintah yang mewajibkan para pihak harus
terlebih dahulu menempuh proses mediasi, hakim wajib menunda
proses persidangan perkara;
2.2.2.1.Memberi kesempatan menempuh proses mediasi
Penundaan pemeriksaan bertujuan untuk memberi kesempatan yang
layak kepada para pihak untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa
melalui proses mediasi.
2.2.2.2 Hakim wajib memberi penjelasan tentang prosedur dan biaya
mediasi.
Pasal 7 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Mediasi di Pengadilan mengatur tentang:
28
1. Wajib memberi penjelasan prosedur
Pada persidangan pertama, selain wajib memerintahkan terlebih dahulu
menempuh poses mediasi yang dilakukan bersamaan dengan
penundaan pemeriksaan perkara:
1.1 Hakim wajib memberi penjelasan tata cara dan prosedur mediasi;
1.2 Prosedur yang harus dijelaskan meliputi tata cara pemilihan
mediator, cara pertemuan, perundingan, jadwal pertemuan,
tenggang waktu berkenaan dengan pemilihan mediator, proses
mediasi, dan penandatanganan hasil kesepakatan.
2. Menjelaskan biaya mediasi
Hakim wajib menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan biaya
mediasi, terutama biaya yang disebut dalam Pasal 50 ayat (3) dan ayat
(4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan:
Pasal 50 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Mediasi di Pengadilan
Bila mediasi dilakukan di tempat lain, biaya ditanggung para pihak
berdasar kesepakatan Pasal 50 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.
Pasal 50 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Mediasi di Pengadilan
Bila mediator yang disepakati bukan hakim, tetapi berasal dari luar
lingkup daftar mediator yang ada di pengadilan, biaya mediator
tersebut ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan.
29
3. Wajib memilih mediator
Mengenai tata cara pemilihan mediator diatur dalam Pasal 11 ayat
(1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan.10
3. Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair.
a. Bidang Hukum Keluarga
Gugatan permohonan atau gugatan voluntair pada bidang hukum
keluarga ,diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang
Perkawinan, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hukum keluarga.
a.1. Permohonan ijin poligami
a.1.1. Syarat mutlak yang diperlukan dalam ijin poligami diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 KHI;
a.1.2. Syarat relatif yang diperlukan dalam ijin poligami diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Pasal 58 ayat (1) KHI.
a.2. Permohonan ijin melangsungkan perkawinan tanpa ijin orangtua (Pasal
6 ayat (5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975
10Yahya, Harahap. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 hlm 251-256
30
tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan) berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal orangtua berbeda pendapat memberi ijin perkawinan bagi
yang berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat
maka yang bersangkutan dapat mengajukan ijin kepada pengadilan
untuk melangsungkan perkawinan tanpa ada ijin orangtua.
a.3. Permohonan pencegahan perkawinan (Pasal 17 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 65
KHI).
a.4. Permohonan dispensasi kawin (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (1)
KHI).
a.5. Permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 25, 26, dan 27 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 74
KHI).
a.6. Permohonan pengangkatan wali nikah (Pasal 22 KHI).
b. Proses Pemeriksaan Permohonan
b.1. Jalannya proses pemeriksaan secara ex-parte
Pada proses pemeriksaan permohonan yang terlibat adalah pemohon
sendiri, proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau ex-
parte. Pada saat proses persidangan mengenai pemeriksaan permohonan
31
pihak yang hadir yaitu pemohon atau kuasanya dan pihak lawan atau
tergugat benar-benar hadir atas kepentingan pemohon.11
b.2. Yang diperiksa di sidang hanya keterangan dan bukti pemohon
Pada proses pemeriksaan permohonan, alat bukti yang diajukan tidak
dapat dibantah oleh pihak lain, hal itu dikarenakan proses pemeriksaan
permohonan itu bersifat ex-parte.
b.3. Tidak dipermasalahkan penegakan seluruh asas persidangan.
b.3.1. Yang tetap ditegakkan
b.3.1.1. Asas kebebasan peradilan (judicial independency).
b.3.1.1.1. Tidak boleh dipengaruhi siapapun;
b.3.1.1.2. Tidak boleh ada direktiva dari pihak manapun.
b.3.1.2. Asas fair trial (Peradilan yang adil)
b.3.1.2.1 Tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrary);
b.3.1.2.2. Pemeriksaan sesuai dengan asas due process of law
(sesuai dengan hukum acara yang berlaku);
b.3.1.2.3. Memberi kesempatan yang layak (to give an
appropriate opportunity) kepada pemohon untuk
membela dan mempertahankan kepentingannya.
b.3.2. Yang tidak perlu ditegakkan
b.3.2.1 Asas audi alteram partem.
Pada proses ex-parte tidak mungkin didengarkan jawaban
dari pihak lawan. Oleh karena itu, asas to hear other side
11Ibid, hlm 38-39
32
(mendengar pihak lain), tidak relevan dalam proses
pemeriksaan permohonan.
b.3.2.2 Asas memberikan kesempatan yang sama
Asas ini tidak dapat diberlakukan, hal tersebut dikarenakan
dalam pemeriksaan permohonan hanya terdapat satu pihak
saja yaitu pemohon.
c. Penegakkan prinsip pembuktian
Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan
sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan.
Apabila dalam suatu proses pemeriksaan permohonan, alat bukti yang
diajukan oleh pemohon meragukan, maka harus diajukan alat bukti lain
untuk memenuhi batas minimal dari pembuktian.12
c.1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-
Undang (Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 BW)
c.1.1. Bukti Tulisan;
c.1.2. Bukti Dengan Saksi-saksi;
c.1.3. Persangkaan-persangkaan;
c.1.4. Pengakuan;
c.1.5. Sumpah.
c.2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR.
c.3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal
pembuktian.
c.4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang
memenuhi syarat formil dan materiil.
12Ibid, hlm 39
33
d. Putusan permohonan
d.1. Bentuk penetapan
Putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan
dituangkan dalam bentuk penetapan atau ketetapan (beschikking;
decree).
d.2. Diktum bersifat deklaratoir
d.2.1. Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi
hukum tentang hal yang diminta;
d.2.2. Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum comdemnatoir
(yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun;
d.2.3. Pengadilan tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang
menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian,
menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan sebagainya.13
D. Alat Bukti dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang
No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, hukum acara yang berlaku dalam
lingkup peradilan agama adalah hukum acara perdata. Pembuktian dalam hukum
acara perdata diatur dalam HIR, dimana pasal yang mengatur mengenai
pembuktian diatur dalam pasal 164 HIR dan seterusnya.
13Ibid, hlm 40-41
34
I. Bukti Tulisan
Bukti tulisan diatur dalam Pasal 138, 165, dan 167 HIR, Pasal 164, 285-305
Rechtsreglement Voor de Buitengeswesten (Rbg) serta Staatblat (Stb) 1867 No.
29.
Bukti tulisan atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.14
Surat sebagai alat bukti tulisan dibagi tiga yaitu surat yang merupakan akta,
surat secara sepihak, dan surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri
dibagi menjadi dua yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.
1. Akta
Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.15
1.1. Akta Otentik
1.1.1 Pengertian Akta Otentik
1.1.1.1 Pasal 165 HIR
Akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai
umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup
bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang
14Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. 2002. hlm
141-142
15
Ibid, hlm 142
35
mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam
surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu
hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok
dalam akta itu.
1.1.1.2 Pasal 1868 BW:
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.
1.2.1 Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Akta Otentik
Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah kekuatan
pembuktian sempurna. Maksud dari kata sempurna ini adalah bahwa akta
otentik ini tidak boleh diragukan keabsahannya dalam sidang pengadilan
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan.
Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta
otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat
padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan
mengikat (bindende). Oleh karena itu untuk melekatkan nilai kekuatan
yang seperti itu pada akta otentik, harus terpenuhi secara terpadu kekuatan
pembuktian yang disebut dibawah ini.
1.2.1.1 Kekuatan bukti luar.
Pada ketentuan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak yang
berperkara wajib menganggap akta otentik sebagai akta otentik, sampai
pihak lawan dapat membuktikan adanya:
36
1.2.1.1.1 Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak
berwenang, atau;
1.2.1.1.2 Tandatangan pejabat di dalamnya adalah palsu, atau;
1.2.1.1.3 Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan,
baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat.
1.2.1.2 Kekuatan Pembuktian Formil
Kekuatan pembuktian formil yang melekat pada akta otentik diatur
pada Pasal 1871 BW. Anggapan atas kebenaran yang tercantum
didalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang
terdapat didalamnya benar dari orang yang menandatanganinya, tetapi juga
meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:
1.2.1.2.1 Mengenai tanggal yang tertera didalamnya;
1.2.1.2.2 Tanggal tersebut harus dianggap benar;
1.2.1.2.3 Berdasar kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal
pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak
dan hakim.
1.2.1.3 Kekuatan Pembuktian Materiil
Kekuatan pembuktian materiil akta otentik menyangkut permasalahan
benar atau tidaknya keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena
itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik.
1.3.1 Nilai Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
1.3.1.1 Bila terpenuhi syarat formil dan materiil maka:
37
1.3.1.1.1 Pada dirinya langsung mencukupi batas minimal pembuktian
tanpa bantuan alat bukti lain;
1.3.1.1.2 Langsung sah sebagai alat bukti akta otentik;
1.3.1.2 Pada dirinya langsung mengikat nilai kekuatan pembuktian:
1.3.1.2.1 Sempurna (volledig),
1.3.1.2.2 Mengikat (bindende).
1.3.1.3 Hakim wajib dan terikat:
1.3.1.3.1 Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna;
1.3.1.3.2 Harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan
terbukti;
1.3.1.3.3 Hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut,
sehingga harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil
putusan penyelesaian sengketa.
1.4.1. Kualitas pembuktian akta otentik, tidak bersifat memaksa (dwingend) atau
menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan bukti lawan.
Derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai pada tingkat sempurna dan
mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan. Oleh karena itu, sifat
nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatif, dapat dilumpuhkan
dengan bukti lawan.
1.2. Akta dibawah tangan
1.2.1 Pengertian Akta dibawah tangan
38
1.2.1.1 Pasal 1874 BW:
Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-kata yang
ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-
surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pegawai umum.
Berdasarkan pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan akta
dibawah tangan yaitu sebagai berikut:
1. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan;
2. Tidak dibuat atau ditandatangani di hadapan pejabat yang
berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang
atau para pihak;
3. Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat
oleh atau di hadapan pejabat umum, meliputi:
3.1. Surat-surat;
3.2. Register-register;
3.3. Surat-surat urusan rumah tangga;
3.4 Lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat
umum.
4. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai
yang dibuat paling sedikit dua pihak.
1.2.2 Daya Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan
1.2.2.1 Daya Kekuatan Pembuktian Formil
1.2.2.1.1 Orang yang bertandatangan dianggap benar menerangkan hal
yang tercantum dalam akta.
39
Berdasarkan kekuatan pembuktian formil, hukum mengakui
siapa saja atau orang yang menandatangani akta dibawah tangan.
Jadi, jika terdapat sebuah tulisan yang ditandatangani seseorang
yang berisi perbuatan hukum, secara formil identitas orang yang
bertandatangan dan yang membuat keterangan, sama dengan
identitas penandatangan tersebut.
1.2.2.2 Daya Kekuatan Pembuktian Materiil
1.2.2.2.1 Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar
Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya
pembuktian materiil adalah:
1.2.2.2.1.1 Secara materiil isi keterangan yang tercantum dalam akta
dibawah tangan, harus dianggap benar;
1.2.2.2.1.2 Apa yang diterangkan dalam akta oleh penandatangan,
dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya;
1.2.2.2.1.3 Secara materiil, isi yang tercantum dalam akta dibawah
tangan mengikat kepada diri si penandatangan.
2. Surat secara sepihak
Surat secara sepihak diatur dalam Pasal 1875 BW dan Pasal 291 Rbg.
Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi pernyataan akan kewajiban
sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau
akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang
tertentu.
40
a. Syarat formal surat secara sepihak, antara lain:
a.1. Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang membuat atau yang
menandatanganinya;
a.2. Penandatangan menulis sendiri dengan huruf (bukan dengan
angka) tentang jumlah atau tentang sesuatu yang akan diberikan,
diserahkan atau dilakukannya;
a.3. Diberi tanggal dan ditandatangani oleh pembuat.
b. Syarat Materil surat secara sepihak, antara lain sebagai berikut:
b.1. Isi surat secara sepihak itu berkaitan langsung dengan pokok
perkara yang disengketakan;
b.2. Isi surat secara sepihak tidak bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, dan ketertiban umum;
b.3. Sengaja dibuat untuk alat bukti.
3. Surat lainnya bukan akta
Surat lainnya bukan akta, baik HIR, Rbg, maupun BW tidaklah mengatur.
Surat dibawah tangan yang bukan akta hanya disebut dalam Pasal 1874 BW
(Stb 1867 No. 29). Pada Pasal 1881 BW dan Pasal 1883 BW diatur secara
khusus beberapa surat-surat di bawah tangan yang bukan akta, yaitu buku
41
daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan
oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya.16
II. Bukti Dengan Saksi-saksi
Bukti dengan saksi-saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal
165-179 Rbg), Pasal 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian
yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di
persidangan.17
Saksi harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil.
1. Syarat formil saksi adalah:
1.1. Berumur 15 tahun keatas;
1.2. Sehat akalnya;
1.3 Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah
satu pihak menurut ketentuan yang lurus, kecuali undang-undang
menentukan lain;
1.4 Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun
sudah bercerai (Pasal 145 ayat (1) HIR);
1.5 Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima
upah (Pasal 144 ayat (2) HIR); kecuali undang-undang menentukan lain
1.6 Menghadap di persidangan (Pasal 141 ayat (1) HIR);
1.7 Mengangkat sumpah menurut agamanya (Pasal 147 HIR);
16Op. cit, hlm 156-157
17
Ibid hlm 159
42
1.8 Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu
peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (Pasal 169 HIR); kecuali
mengenai perzinahan
1.9 Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (Pasal 144 ayat (1)
HIR);
1.10 Memberikan keterangan secara lisan (Pasal 147 HIR).
2. Syarat materiil saksi adalah sebagai berikut:
2.1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (Pasal 171
HIR/Pasal 308 Rbg);
2.2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya (Pasal 171 ayat (1)
HIR/Pasal 308 ayat (1) Rbg);
2.3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri (Pasal
171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg);
2.4. Saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 170 HIR);
2.5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
3. Jangkauan Kebolehan Pembuktian dengan Saksi
3.1. Diperbolehkan dalam segala hal, kecuali ditentukan lain oleh Undang-
Undang.
Pasal 1895 BW berbunyi:
Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak
dikecualikan oleh undang-undang.
Larangan pembuktian dengan saksi-saksi terhadap isi suatu akta
tertentu berdasarkan pada alasan:
43
a. Pada umumnya keterangan saksi kurang dipercaya, karena sering
berisi kebohongan;
b. Sering terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi akta.
Jadi, pada prinsipnya bukti dengan saksi-saksi menjangkau semua
bidang dan jenis perkara perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri
menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau bukti
tulisan, barulah bukti dengan saksi-saksi tidak dapat diterapkan.
3.2. Menyempurnakan permulaan pembuktian tulisan
Pasal 1902 BW mengatur bahwa, dalam hal suatu peristiwa atau
hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat dibukikan dengan
tulisan atau akta, namun bukti tulisan tersebut hanya berkualitas sebagai
permulaan pembuktian tulisan, penyempurnaan pembuktiannya dapat
ditambah dengan saksi.
Mengenai pengertian permulaan pembuktian tulisan, dijelaskan dalam
Pasal 1902 ayat (2) BW, yaitu segala akta tertulis yang berasal dari orang
terhadap siapa tuntutan diajukan atau orang yang mewakili olehnya, dan
memberi persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang
dilakukan orang tersebut.
4. Menjadi Saksi Merupakan Kewajiban Hukum yang Bersifat Memaksa.
Diatur dalam Pasal 139-143 HIR, Pasal 165-170 Rbg, pada prinsipnya
menganut sistem bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah
kewajiban hukum, tetapi tidak imperatif dalam segala hal.
4.1 Dalam keadaan tertentu kewajiban hukumnya tidak bersifat imperatif
44
Prinsip menjadi saksi dalam perkara perdata bukan kewajiban
hukum yang bersifat imperatif, hanya terbatas pada keadaan tertentu
yang digariskan Pasal 139 ayat (1) dan Pasal 143 HIR.
4.1.1 Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan.
Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan tersirat dalam
a contrario dari ketentuan Pasal 139 ayat (1) HIR. Jika saksi yang
didengar keterangannya tidak penting atau tidak berbobot untuk
meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, kepada saksi
tidak berlaku kewajiban hukum untuk menjadi saksi. Oleh karena itu,
saksi itu tidak dapat dipaksa untuk hadir di persidangan.
4.1.2 Saksi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang
memeriksa.
Hal kedua yang membebaskan seorang saksi dari kewajiban
hukum menjadi saksi, diatur dalam Pasal 143 HIR. Menurut pasal ini,
tidak seorang dapat dipaksa (compellable) datang menghadap
Pengadilan Negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata,
jika tempat kediamannya berada di luar wilayah/di luar yurisdiksi
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
4.2 Menjadi saksi kewajiban hukum secara imperatif.
Setiap orang yang cakap (competent) untuk menjadi saksi,
sekaligus melekat pada dirinya sifat dapat dipaksa (compellable)
menjadi saksi. Jadi secara umum, menjadi saksi dalam perkara
perdata merupakan kewajiban hukum yang harus ditaati oleh setiap
45
orang yang cakap. Bagi yang tidak menaatinya, dapat dihadirkan
dengan paksa oleh alat kekuasaan negara.
Berdasarkan Pasal 76 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo Undang-
undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dalam perkara
perceraian berdasarkan alasan cekcok terus-menerus (syiqaq) diperkenankan
mempergunakan saksi dari keluarga.
Saksi non muslim dapat diterima di pengadilan agama sepanjang
penyaksiannya menyangkut peristiwa atau kejadian untuk memperjelas
duduknya perkara. Hal-hal yang disaksikan itu adalah hal yang bersifat
qadhaan, bukan hal yang bersifat diyanatan atau hal yang telah diatur oleh
aturan agama islam.18
III. Persangkaan-Persangkaan
Persangkaan-persangkaan diatur dalam Pasal 172 HIR (Pasal 310 Rbg, Pasal
1915-1922 BW). Pengertian persangkaan-persangkaan diatur dalam Pasal 1915
BW yang berbunyi sebagai berikut:
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-
undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah
suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Ketentuan Pasal 1915 BW terdapat adanya dua persangkaan-persangkaan,
yaitu persangkaan-persangkaan yang didasarkan undang-undang (praesumptiones
18Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 254
46
juris) dan persangkaan-persangkaan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan
yang ditarik oleh hakim (praesumtiones facti).
1. Persangkaan-persangkaan berdasarkan undang-undang (praesumtiones
juris).
Persangkan-persangkaan berdasarkan undang-undang adalah persangkaan-
persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-
perbuatan tertentu, atau peristiwa-peristiwa tertentu sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1916 BW. Persangkaan-persangkaan berdasarkan
undang-undang ini dapat berupa persangkaan-persangkaan yang
memungkinkan adanya pembuktian lawan, dapat juga berupa hal yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan.19
2. Persangkaan-persangkaan hakim ((praesumtiones facti).
Persangkaan-persangkaan hakim adalah kesimpulan yang ditarik oleh
hakim berdasarkan peristiwa atau kejadian tertentu yang telah terungkap
melalui bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. Persangkaan-persangkaan
hakim juga harus bersifat penting, saksama, tertentu, dan ada hubungan satu
sama lain.20
IV. Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174-176 HIR, Pasal
311-313 Rbg, dan Pasal 1923-1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka
hakim di persidangan atau di luar persidangan.
19Ibid, hlm 255
20
Op. cit, hlm 256
47
Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)
merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang
membenarkan baik seluruhnya ataupun sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan
pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan
keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-
diam tidaklah memberi kepastian hukum kepada hakim tentang kebenaran suatu
peristiwa, padahal alat bukti yang dimaksudkan untuk memberi kepastian
kepada hakim tentang kebenaran peristiwa, dalam hal ini HIR tidak selalu
menunjukan pendirian yang tetap, pada suatu ketika pengakuan secara diam-
diam diterima tetapi pada saat lain menolak pengakuan secara diam-diam.21
1. Syarat-syarat pengakuan, yaitu:
1.1. Syarat formal pengakuan yaitu:
1.1.1 Disampaikan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan
majelis hakim pengadilan agama;
1.1.2 Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara (pihak materiil)
atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis.
1.2. Syarat materiil pengakuan yaitu:
1.2.1 Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berhubungan dengan
pokok perkara;
21 Sudikno Mertokusumo, op, cit, hlm:173-174
48
1.2.2 Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang;
1.2.3 Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral, dan
ketertiban umum.
2. Bentuk-bentuk pengakuan
2.1. Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple)
Pengakuan murni dan bulat yaitu pengakuan yang sesungguhnya terhadap
semua dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Murni artinya sungguh-
sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sedangkan bulat artinya
pengakuan yang tidak disertai dengan keterangan tambahan yang
membebaskan.22
2.2. Pengakuan berkualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie).
Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan
terhadap sabahagian dari tuntutan penggugat. Pada hakekatnya, pengakuan
dengan berkualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang
sebahagiannya terdiri dari sanggahan dan bantahan.23
2.3. Pengakuan berklausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe).
Pengakuan berklausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pada hakikatnya
pengakuan yang berklausula ini adalah jawaban tergugat yang merupakan
pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, tetapi disertai
22Abdul Manan, op, cit, hlm 260
23
Loc, cit, hlm 260
49
dengan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan yang diajukan
oleh penggugat.24
V. Sumpah
Sumpah diatur dalam Pasal 155-158 dan Pasal 177 HIR, Pasal 182-185 dan
Pasal 314 Rbg, serta Pasal 1929-1945 BW. Sumpah pada umumnya adalah suatu
pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya
bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum
oleh-Nya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat
religius yang digunakan dalam peradilan.
Sumpah dibagi menjadi 2 macam, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir dan sumpah untuk
memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau
tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir. Termasuk sumpah
promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ahli, karena sebelum memberikan
kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan pernyataan atau janji akan memberi
keterangan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya, sedangkan
sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah sebagai alat bukti, karena
fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.25
24Ibid, hlm 260
25
Sudikno Mertokusumo, op, cit, hlm: 179-180
50
HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah
pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisoir) dan
sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed).
1. Sumpah pelengkap (suppletoir)
Sumpah pelengkap atau tambahan diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal
182 Rbg, dan Pasal 1945 BW, untuk dapat diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk mengangkat sumpah, haruslah
ada bukti permulaan terlebih dahulu, sehingga apabila ditambah dengan
sumpah suppletoir, maka pembuktian menjadi sempurna. Hakim
berwenang, bukan kewajiban untuk membebankan suatu sumpah pelengkap
kepada salah satu pihak yang berperkara. Jika sumpah tambahan tersebut
dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka yang sedang
diperiksa tersebut menjadi selesai dan pihak yang melakukan sumpah
haruslah dimenangkan. Sumpah pelengkap itu dibebankan, terserah kepada
pertimbangan hakim.
Agar sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus
memenuhi syarat-syarat formal dan materiil berikut:
1.1 Syarat fomal sumpah pelengkap, yaitu sebagai berikut:
1.1.1 Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian
yang sudah ada, tetapi belum mencapai batas minimal
pembuktian;
1.1.2 Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan;
51
1.1.3 Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah
alat bukti yang ada dengan alat bukti yang lain;
1.1.4 Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan di depan
sidang Majelis Hakim secara in person (langsung atau oleh
kuasanya dengan surat kuasa secara istimewa).
1.2 Syarat materiil sumpah pelengkap, yaitu sebagai berikut:
1.2.1 Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri
oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah
tersebut;
1.2.2 Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan
tidak bertentangan dengan agama, moral, dan kesusilaan.
2. Sumpah pemutus (decissoireed)
Sumpah pemutus atau juga sering disebut sumpah yang menentukan
diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 Rbg dan Pasal 1930 BW. Pada
pasal-pasal tesebut dikemukakan bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan
untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan, maka salah satu
pihak dapat meminta supaya pihak lain dapat bersumpah di muka hakim.
Jadi sumpah pemutus ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak,
walaupun sama sekali tidak ada bukti, pembebanan tersebut atas
permohonan salah satu pihak yang berperkara. Tujuan dari pelaksanaan
sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara. Oleh karena itu,
pihak yang telah mengucapkan sumpah tidak boleh lagi diperintahkan
52
memberikan bukti-bukti lagi untuk membenarkan apa yang dinyatakan
dalam sumpahnya itu.
Agar sumpah pemutus dapat dijadikan sebagai alat bukti, maka harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
2.1. Syarat formal sumpah pemutus:
2.1.1 Berperkara apabila sama sekali tidak ada bukti-bukti yang
diajukan oleh kedua belah pihak;
2.1.2 Pembebanan sumpah pemutus harus atas permintaan salah satu
pihak yang berperkara;
2.1.3 Sumpah pemutus diucapkan di depan sidang Majelis Hakim
secara in person atau oleh kuasanya dengan surat kuasa istimewa.
2.2. Syarat materiil sumpah pemutus:
2.2.1 Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri
atau yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang
berperkara;
2.2.2 Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan pokok
perkara yang sedang disengketakan.
3. Sumpah penaksir (aestimatoir, schattingseed).
Sumpah penaksir diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 Rbg, dan Pasal
1940 BW. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang
ganti kerugian. Sumpah penaksir dilaksanakan karena dalam praktik sering
terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang
53
bersangkutan itu simpang siur, maka soal ganti rugi harus dipastikan
dengan pembuktian.26
4. Sumpah Li’an
Sumpah Li’an diatur dalam Pasal 87-88 Undang-undang No. 7 Tahun
1989 jo Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan dengan alasan salah satu
pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat
melengkapi bukti-bukti, dan termohon atau tergugat menyanggah alasan
tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan
tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak
mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari
termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh
pemohon atau penggugat untuk bersumpah. Pihak termohon atau tergugat
diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang
sama. Apabila sumpah dilakukan oleh pihak suami, maka penyelesainnya
dapat dilaksanakan dengan sumpah li’an.27
Syarat-syarat sumpah li’an:
4.1. Syarat formil sumpah li’an
4.1.1 Tuduhan istri berbuat zina tercantum atau dimuat secara
kronologis dalam surat permohonan;
4.1.2 Istri menyanggah tuduhan suami bahwa dirinya telah berbuat zina
dengan laki-laki lain;
26Ibid, hlm 149
27
Abdul Manan, op, cit, hlm 269
54
4.1.3 Sumpah li’an dilaksanakan atas perintah hakim yang memeriksa
perkara tersebut.
4.2. Syarat materiil sumpah li’an
4.2.1 Suami tidak dapat melengkapi bukti-bukti atas tuduhan zina
kepada istrinya;
4.2.2 Sumpah suami diucapkan dalam sidang Majelis Hakim yang
dihadiri oleh istri pemohon;
4.2.3 Sumpah suami tersebut dibalas pula dengan sumpah istri, yang
disampaikan dalam sidang Majelis Hakim pula;
4.2.4 Sumpah Mula’anah (saling melaknat) menurut teks sumpah yang
telah ditentukan.
VI. Pemeriksaan setempat
1. Pengertian
Mengenai pemeriksaan setempat, diatur dalam Pasal 153 HIR
(1) Jika dipandang perlu atau berfaedah, ketua boleh mengangkat satu atau
dua komisaris dari dewan itu yang dengan bantuan panitera pengadilan
akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat
itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2) Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan
itu dan hasilnya, berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan
panitera pengadilan itu.
2. Pelaksanaan pemeriksaan setempat
2.1. Dihadiri para pihak
Pemeriksaan setempat adalah merupakan bagian dari persidangan, hanya
tempatnya saja yang berubah dari ruang persidangan berpindah ke tempat
letaknya benda sengketa, oleh karena itu para pihak yang bersengketa
55
diharuskan datang untuk memeriksa mengenai benda sengketa. Apabila salah
satu pihak yang bersengketa tidak menghadiri acara pemeriksaan setempat
maka acara pemeriksaan setempat dapat dilaksanakan tanpa hadirnya pihak
yang tidak hadir.
2.2. Datang ke tempat benda sengketa terletak
Proses sidang pemeriksaan setempat harus dilangsungkan di tempat lokasi
benda sengketa itu terletak. Pejabat yang diangkat dan ditunjuk:
2.2.1 Datang langsung ke tempat benda sengketa yang hendak diperiksa
terletak;
2.2.2 Hakim yang memimpin pemeriksaan, secara resmi membuka sidang
pemeriksaan setempat;
2.2.3 Para pihak diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk
mengajukan bukti atau fakta untuk memperkuat dalil gugatan maupun
bantahan masing-masing.
3. Panitera membuat berita acara
Pemeriksaan setempat merupakan salah satu bagian dari acara persidangan,
oleh karena itu acara pemeriksaan setempat harus dituangkan dalam berita
acara pemeriksaan setempat yang dibuat oleh panitera pengadilan.
4. Membuat akta pendapat
Mengenai akta pendapat diatur dalam Pasal 211 ayat (1) RV, hakim yang
ditugaskan melaksanakan acara pemeriksaan setempat diharuskan membuat
akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan setempat yang
56
dilakukan, dalam membuat akta pendapat, hakim tersebut dapat dibantu oleh
seorang ahli. 28
28Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 785-786
57
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian dari penulisan skripsi ini
adalah yuridis normative. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa
Metode Pendekatan yang akan digunakan adalah yuridis normative (normative
legal approach), yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis
yang dimaksudkan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik
kaidah hukum nasional maupun hukum internasional dan memandang hukum
sebagai suatu sitem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari
kehidupan masyarakat.29
Pada metode penelitian hukum normatif, pendekatan masalah yang digunakan
dalam skripsi ini adalah:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach);
b. Pendekatan Analitis (analytical approach);
c. Pendekatan Kasus (case approach).
29Soemitro Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988 hlm.
120.
58
ad.a Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui aturan hukum yang
menjadi dasar dari diberlakukannya suatu putusan yang dijatuhkan
oleh sebuah lembaga kehakiman kepada para pencari keadilan. 30
ad.b Pendekatan analitis (analytical approach)
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui substansi dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku tentang dilaksanakannya praktek
ijin poligami yang terjadi dikalangan masyarakat luas. 31
ad.c Pendekatan kasus (case approach)
pendekatan ini digunakan untuk mempelajari norma-norma atau
kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.32
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah Perskriptif. Perskriptif yaitu
menganalisa persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara
mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum. Sebagai ilmu
yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
30Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing.
Surabaya 2010 hlm 302
31
Ibid hlm 310
32
Op, cit hlm 321
59
hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah
perbincangan mengenai makna hukum di dalam kehidupan bermasyarakat.33
C. Lokasi Penelitian
Sumber bahan hukum penelitian ini adalah bahan hukum primer dan
sekunder, bahan hukum yang diperoleh adalah lebih menjurus pada penelitian
kepustakaan maka ditetapkan lokasi penelitianya adalah Pengadilan Agama
Purwokerto.
D. Sumber Data
1. Data Sekunder
Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa
peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur
yang berhubungan dengan obyek skripsi. Dari data sekunder tersebut akan
dibagi dan diuraikan ke dalam dua bagian yaitu :
a. Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang
merupakan sumber hukum tentang Acara Peradilan Agama
khususnya dalam bidang mengenai Permohonan Ijin Poligami.
Pada skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hukum Acara
Peradilan Agama khususnya mengenai Permohonan Ijin Poligami,
33Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Grup ,Jakarta, 2010 hlm. 22
60
putusan hakim, serta yurisprudensi yang terdapat di Peradilan
Agama khususnya mengenai permohonan ijin poligami.
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi34
. Bahan hukum
sekunder juga mempunyai peranan untuk memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Pada skripsi ini, bahan hukum
sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks dan artikel-artikel
dari situs-situs internet.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode kepustakaan yaitu suatu cara pengumpulan data dengan
melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, Perundang-
undangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah, dan
sebagainya). Metode ini dapat digunakan untuk menunjang bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam skripsi.
Metode dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan
menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah.
metode ini digunakan untuk menunjang bahan hukum primer, karena bahan
hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah berupa putusan
pengadilan (dokumen pemerintah).
34Ibid, hlm 141
61
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini
adalah berbentuk teks naratif. Teks naratif dapat berbentuk uraian dan fakta
hukum, untuk bahan hukum primer dan sekunder akan disajikan sesuai
dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang
terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat
ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis ini sesuai
dengan relevansinya pada hal yang sedang dibicarakan
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis
secara normatif kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami
dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara
sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada hasil skripsi.
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan terhadap putusan
Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt, maka dapat
diperoleh data sebagai berikut:
1. Pihak yang berperkara
NARDI bin SUMIARTO, umur 30 tahun, agama islam, pekerjaan dagang,
tempat tinggal di RT.02 RW.11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten
Banyumas, selanjutnya disebut PEMOHON.
MELAWAN
NUR FAJRIYAH binti MAD SANUDIN, umur 27 tahun, agama islam,
pekerjaan dagang, tempat tinggal di RT.02 RW.11, Desa Tipar, Kecamatan
Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut TERMOHON.
DEFI DEFALUANTI binti SIKUN WIBOWO, umur 22 tahun, agama islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di RT.04 RW.03, Desa
Sanggreman, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut
CALON ISTRI KEDUA PEMOHON.
63
2. Duduk Perkara
Isi Permohonan Ijin Poligami:
Pemohon dengan suratnya tanggal 01 Maret 2011 yang terdaftar di
kepaniteraan Pengadilan Agama Purwokerto dengan Nomor:
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt mengemukakan yang pada pokoknya sebagai berikut:
2.1. Tanggal 13 Oktober 2000, Pemohon dan Termohon melangsungkan
perkawinan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Rawalo, Kabupaten Banyumas sesuai kutipan Akta Nikah
Nomor 769/14/X/2000 tanggal 13 Desember 2000, menimbang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
2.2. Setelah perkawinan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat
tinggal di rumah Orang tua Termohon selama 2 tahun. Kemudian pada
tahun 2003 ke rumah bersama selama 8 tahun hingga sekarang, dan
selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup
rukun sebagaimana layaknya suami istri serta dikaruniai 2 orang anak
yang bernama:
a. LINA FITRIANI, umur 9 tahun;
b. FARIDATUL LAILY, umur 7 tahun.
2.3. Termohon tidak dapat maksimal memenuhi kebutuhan biologis
Pemohon karena Termohon kecapaian mengurusi dagangan, akibatnya
Pemohon menjalin hubungan/pacaran lagi dengan DEFI DEFALUANTI
(calon istri kedua Pemohon) sampai sekarang sudah satu tahun lamanya.
64
2.4. Pemohon dalam perjalanan hidup bersama Termohon, Pemohon telah
berkenalan dengan seorang perempuan lain, dan Pemohon hendak
menikahi perempuan tersebut (poligami) yang akan dilangsungkan dan
dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
2.5. Alasan Pemohon akan menikahi calon istri kedua (poligami) karena
calon istri kedua Pemohon sedang hamil 3 bulan hasil hubungan dengan
Pemohon.
2.6. Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri Pemohon beserta
anak-anaknya, karena Pemohon bekerja sebagai karyawan swasta
(dagang kayu) dan mempunyai penghasilan setiap bulannya rata-rata
sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
2.7. Pemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istri Pemohon dan
Termohon menyatakan tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi
dengan calon istri kedua tersebut.
2.8. Selama perkawinan Pemohon dan Termohon telah mempunyai harta
bersama berupa:
a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R
6385 QE.
c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak
di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
65
d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
f. Emas seberat 15 gram.
2.9. Calon istri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat
harta benda yang ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta
bersama antara Pemohon dengan Termohon.
2.10. Orang tua dan para keluarga Termohon dan calon istri kedua Pemohon
menyatakan rela atau tidak keberatan apabila Pemohon menikah dengan
calon istri kedua Pemohon.
2.11. Antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon tidak ada larangan
melakukan perkawinan, baik menurut syari’at islam maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yakni:
a. Calon istri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara dan
bukan sesusuan, begitupun antara Pemohon dengan calon istri
kedua Pemohon.
b. Calon istri kedua Pemohon berstatus janda dalam usia 22 tahun
dan tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain.
c. Wali nikah calon istri kedua Pemohon (Ayah calon istri kedua
Pemohon bersedia untuk menikahkan Pemohon dengan calon istri
kedua Pemohon).
66
Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara
ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, Pemohon mohon agar
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
b. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi
(poligami) dengan calon istri kedua Pemohon.
c. Membebankan biaya perkara menurut hukum; atau
d. Menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
3. Alat Bukti.
Untuk meneguhkan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti-bukti berupa:
3.1.Bukti Tulisan.
a. Foto Copy Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Rawalo Nomor: 769/14/IX/2000 Tanggal 13 Desember 2000 (P.1).
b. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon dari
DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330240112800002
tanggal 5 Februari 2011 (P.2).
c. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Termohon dari
DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330244202830001
tanggal 13 April 2007 (P.3).
d. Foto Copy Kartu Keluarga dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas
Nomor: 3302040302058557 tanggal 2 Februari 2011 (P.4).
67
e. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Calon Istri Kedua Pemohon
dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330246002890003
tanggal 17 Januari 2007 (P.5).
f. Foto Copy fotocopi Akta Cerai Nomor: 1207/AC/2009/PA.PWT tanggal
26 Agustus 2009 (P.6).
g. Surat Pernyataan Berlaku Adil, tanggal 1 Maret 2011 (P.7).
h. Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang ditandatangani oleh
Termohon dan diketahui oleh Lurah Karangpucung Kecamatan
Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas (P.8).
3.2.Bukti dengan Saksi-saksi
1. BURHANUDIN bin ABDUL FATAH, umur 36 tahun, agama islam,
pekerjaan tani tempat kediaman RT.04 RW.10 Desa Tipar Kecamatan
Rawalo Kabupaten Banyumas, memberikan keterangan dibawah
sumpah menyatakan bahwa:
1.1 Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon.
1.2 Saksi menerangkan bahwa dari pernikahan antara Pemohon dan
Termohon telah dikaruniai dua orang anak
1.3 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui tujuan Pemohon ke
Pengadilan Agama Purwokerto untuk minta ijin poligami.
1.4 Calon istri kedua Pemohon bernama Defi dari Sanggreman.
1.5 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui antara Pemohon dengan
calon istri kedua Pemohon sudah 1 tahun pacaran, dan saat ini
68
calon istri kedua Pemohon dalam keadaan hamil hasil hubungan
dengan Pemohon.
1.6 Saksi mengetahui antara calon istri kedua Pemohon dengan
Pemohon dan Termohon tidak ada hubungan keluarga.
1.7 Calon istri kedua Pemohon tidak mempunyai suami karena calon
istri kedua Pemohon berstatus janda.
1.8 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui penghasilan Pemohon
yang mempunyai usaha kolam pemancingan dan kios serta dagang
kayu sekitar Rp. 5.000.000,00,- (lima juta rupiah) sebulan,
menurutnya Pemohon mampu untuk menafkahi dua orang istri.
2. JAMIL bin SARTIM, agama islam, pekerjaan dagang, tempat kediaman
RT.02 RW.11 memberikan keterangan dibawah sumpah menyatakan
bahwa:
2.1. Saksi adalah tetangga Pemohon dengan Termohon.
2.2.Pemohon dengan Termohon adalah suami istri yang kawin secara
sah dan telah dikaruniai dua orang anak.
2.3.Saksi mengenal calon istri kedua Pemohon dan mengetahui bahwa
Pemohon akan menikah lagi dengan seorang bernama Defi.
2.4. Saksi mengetahui antara Pemohon dengan calon istri kedua
Pemohon tidak ada hubungan keluarga, dan mengetahui
penghasilan Pemohon dari usaha kayu, usaha kolam pemancingan,
dan mempunyai kios sekitar Rp. 8.000.000.00,- (delapan juta
69
rupiah) sampai Rp. 10.000.000.00,- (sepuluh juta rupiah) dan
mampu menghidupi dua orang istri.
2.5.Termohon bersedia dimadu dan dari pihak keluarga Termohon
tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi.
3.3.Pengakuan
a. Pemohon mengakui bahwa dirinya telah melakukan hubungan intim
dengan calon istri kedua sehingga menyebabkan calon istri kedua telah
hamil 3 bulan.
b. Termohon mengakui mengenai Surat Pernyataan Tidak Keberatan
Dimadu yang dibuat oleh Termohon.
c. Pemohon dengan Termohon mengakui adanya harta bersama berupa:
c.1. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
c.2. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R
6385 QE.
c.3. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di
Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
c.4. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
c.5. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
c.6. Emas seberat 15 gram.
70
3.4. Pemeriksaan Setempat
Majelis Hakim telah melakukan pemeriksaan setempat secara ex officio
terhadap harta tidak bergerak Pemohon dan Termohon.
4. Tentang Pertimbangan Hukumnya
Maksud dan isi permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa, Majelis Hakim telah berusaha memberikan pandangan dan nasehat
kepada Pemohon dan Termohon dengan mengingatkan kepada keduanya,
terutama kepada Pemohon tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan
dihadapi akibat dari kehidupan berpoligami, dan telah menempuh jalur
mediasi akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil dan Pemohon tetap
bersikeras untuk tetap melanjutkan perkaranya.
b. Bahwa, Pemohon dalam mengajukan permohonan ijin poligami dengan
seorang perempuan yang bernama Defi Defaluanti karena Termohon telah
mengijinkan Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dan antara Pemohon
dengan calon istri keduanya telah melakukan hubungan intim selayaknya
suami istri bahkan telah hamil 3 bulan, dan Pemohon merasa mampu secara
ekonomi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari terhadap istri-istri
dan anaknya dengan panghasilan Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah)
perbulan serta sanggup berlaku adil kepada dua orang istrinya.
c. Bahwa, Alat bukti tertulis P.1 adalah fotocopi akta otentik yang telah
memenuhi syarat formil dan materiil pembuktian, di samping itu alat bukti
tersebut telah diakui oleh Termohon, karenanya alat bukti tersebut dapat
71
diterima dan dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)
KHI, maka terbukti antara Pemohon dengan Termohon telah dan masih
terikat oleh hubungan hukum perkawinan yang sah sejak 13 Oktober 2000
dan belum pernah bercerai dan kedua belah pihak dipandang sebagai pihak-
pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perkara ini (persona
standi in judicio).
d. Bahwa, Terdapat Surat Keterangan Berlaku Adil, maka Majelis Hakim
menilai bahwa Pemohon akan mampu berlaku adil seandainya mempunyai
dua orang istri, karenanya telah terpenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pasal 55 ayat (2) KHI.
e. Bahwa, Terdapat Surat Pernyataan tidak Keberatan Dimadu dan pengakuan
Termohon dalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa
Termohon telah mengijinkan Pemohon untuk berpoligami, sehinga Majelis
Hakim berpendapat telah terpenuhi ketentuan persyaratan sebagaimana
yang dikehendaki dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 58 ayat
(1) huruf a KHI.
f. Bahwa, Majelis Hakim telah meminta keterangan calon istri kedua
Pemohon tentang kesediannya untuk menjadi istri kedua Pemohon dimana
calon istri kedua tersebut menyampaikan jawabannya yang pada pokoknya
72
menyatakan bahwa dirinya bersedia untuk menjadi istri kedua Pemohon,
sehingga Majelis Hakim berpendapat terpenuhilah syarat pernikahan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16 KHI.
g. Bahwa, berdasarkan keterangan Pemohon dengan calon istri kedua
Pemohon, tidak ada halangan secara hukum untuk melakukan perkawinan
sebagaimana diatur dalam Bab VI KHI.
h. Bahwa, Majelis Hakim juga menyandarkan pada ketentuan Allah
sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa ayat 3.
i. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka
permohonan Pemohon dapat dikabulkan.
j. Bahwa terhadap harta bersama Pemohon dengan Termohon sebagaimana
diakui Pemohon dan Termohon berupa satu unit rumah beserta isinya.
k. Bahwa, berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon serta dikuatkan
dengan bukti surat (surat pernyataan Pemohon) tertanggal 1 Maret 2011,
yang diketahui oleh kepala desa setempat (Desa Tipar) dan hasil
pemeriksaan setempat yang dilangsungkan di tempat tinggal Pemohon di
RT.02 RW 11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada
tanggal 4 April 2011 membuktikan bahwa selama pernikahannya antara
Pemohon dengan Termohon memiliki harta bersama sebagai berikut:
1. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
2. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 Nomor polisi R
6385 QE.
73
3. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di
Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
4. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan
Rawalo, Kabupaten Banyumas.
5. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
6. Emas seberat 15 gram.
l. Bahwa, perkara ijin poligami termasuk bidang perkawinan, maka sesuai
dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 jo Undang-
Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara
ini dibebankan kepada Pemohon.
5. Putusan Pengadilan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Memberi ijin kepada Pemohon NARDI bin SUMIARTO untuk menikah
lagi dengan perempuan bernama DEFI DEFALUANTI binti SIKUN
WIBOWO.
3. Menetapkan harta bersama Pemohon dengan Termohon adalah berupa:
a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385
QE.
c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di
Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
74
d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan
Rawalo, Kabupaten Banyumas.
e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
f. Emas seberat 15 gram.
4. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 1.891.000,- (satu juta delapan ratus
sembilan puluh satu ribu rupiah) kepada Pemohon.
B. Pembahasan
1. Dasar pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti pada permohonan
ijin poligami yang dikabulkan dalam perkara putusan Nomor:
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan dari perkawinan tersebut dapat disimpulkan yaitu membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal.
Pada ajaran Katolik, dikenal perkawinan monogami (perkawinan tunggal).
Perkawinan yang dilakukan hanya berlangsung satu kali dan untuk selamanya.
Mereka beranggapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan merupakan sebuah
janji dengan Tuhan sehingga perjanjian yang dibuat di hadapan Tuhan tidak
boleh diputus oleh manusia dengan alasan apapun. Hal tersebut berbeda dengan
75
ajaran islam dimana dikenal dengan adanya poligami (perkawinan banyak).
Asas monogami diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang kemudian disimpangi oleh
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas poligami merupakan
penyimpangan asas monogami.
Jika seseorang akan berpoligami, maka hanya terbatas pada 4 orang istri,
hal tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 55 ayat 1 KHI.
Poligami yang dilakukan hanya terbatas pada 4 orang istri, jika akan malukan
perkawinan kembali, maka salah satu istrinya harus diceraikan jika tidak maka
perkawinan dengan istri kelima dianggap batal demi hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mempunyai perlindungan hukum
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Permohonan ijin poligami harus
dilakukan di pengadilan agama tempat dimana Pemohon bertempat tinggal
(Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 PP No. 9
Tahun 1975 dan Pasal 56 ayat (1) KHI).
Jika seseorang akan berpoligami, harus memenuhi persyaratan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
Berdasarkan point 2.A.3 dikatakan bahwa Termohon tidak mau
melayani kebutuhan biologis Pemohon dikarenakan kecapaian
mengurusi dagangan. Menurut pendapat Yahya Harahap dalam bukunya
76
Hukum Perkawinan Indonesia, untuk menentukan seorang istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya harus dikembalikan pada ketentuan
Pasal 1 yaitu perkawinan itu bertujuan membentuk rumah tangga
bahagia dan kekal, dan bunyi penjelasan atas pasal itu dipertegas lagi
kesejahteraan dan kebahagiaan itu adalah meliputi spiritual dan materiil.
Tetapi bagaimanapun dalam menilai si istri tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai ibu rumah tangga harus dihubungkan anggapan
teori kewajiban itu dengan keadaan-keadaan praktek perlakuan suami.35
Termohon tidak dapat melayani kebutuhan biologis Pemohon
dikarenakan Termohon membantu pekerjaan Pemohon. Berdasarkan
pendapat Yahya Harahap diatas jika dikaitkan dengan putusan ini, maka
hak dan kewajiban suami-istri dalam kehidupan berumah tangga
haruslah seimbang, sehingga penagihan kewajiban istri oleh suami harus
selaras dengan perilaku dan penghargaan yang diberikan suami terhadap
istri. Pemohon sudah sepatutnya memahami dan memaklumi pekerjaan
yang dilakukan oleh Termohon, serta dapat memberi peringatan dan
masukan kepada Termohon agar jangan terlalu mengurusi dagangannya
saja tetapi juga dapat melayani kebutuhan biologis Pemohon. Pemohon
seharusnya tidak menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk
mencari kesenangan di luar dengan perempuan lain yang menyebabkan
perempuan tersebut telah hamil 3 bulan.
35 Yahya Harahap. Op, cit, hlm 33
77
Alasan Pemohon mengenai istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri tidak disinggung dalam
pertimbangan hakim, tetapi yang disinggung adalah pengakuan
Pemohon bahwa calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan. Hal
tersebut dapat dikatakan bahwa alasan Pemohon mengajukan ijin
poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto dengan alasan istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dinilai hanya mengada-
ada untuk melakukan penyelumdupan hukum. Jika alasan Pemohon
dalam mengajukan ijin poligami adalah alasan ini, maka Pemohon harus
dapat membuktikan dalil alasannya dengan adanya keterangan saksi
yang melihat, mendengar, dan merasakan kejadian yang sebenarnya
bahwa Termohon tidak dapat bertindak sebagai istri seperti yang
dituhduhkan oleh Pemohon. Maka unsur ini tidak terpenuhi.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Menurut pendapat Yahya Harahap, alasan ini lebih bersifat
humanisme. Sebab menceraikan istri yang demikian sungguh memilukan
harkat kemanusiaan apalagi misalkan keluarga si istri itu tidak ada.36
Oleh karena itu melaksanakan poligami dalam hal seperti ini dipandang
lebih berperikemanusiaan daripada mengejar monogami dengan tindakan
menceraikan istri yang sedang dalam penderitaan dan membutuhkan
pertolongan dan perlindungan dari seorang suami.37
Pada putusan ini
dapat dilihat bahwa Termohon dalam keadaan sehat dan dapat
36Ibid, hlm 34
37
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hlm 79
78
melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya ibu rumah tangga pada
umumnya, dan alasan pengajuan ijin poligami yang diajukan oleh
Pemohon dalam putusan nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt tidak memakai
alasan ini, jika Pemohon dalam mengajukan ijin poligami akan memakai
alasan ini, maka harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter
yang menangani kondisi istrinya. Maka unsur ini tidak terpenuhi.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Menurut pendapat Yahya Harahap, dalam perkawinan setiap manusia
ingin mendapatkan keturunan. Tidak ada manusia normal yang tidak
menghendaki keturunan dalam suatu perkawinan. Akan tetapi untuk
menentukan kemandulan seorang istri haruslah didasarkan pada
keterangan yang jelas dari seorang ahli spesialis, memang si istri
mandul.38
Selama perkawinan berlangsung antara Pemohon dengan
Termohon telah dikaruniai dua orang anak, hal tersebut dapat dilihat
pada point 2.A.2 dan dikuatkan dengan point 3.2.1 dan point 3.2.2.
Berdasarkan point 2.A.2 bahwa Termohon tidaklah mandul dikarenakan
dapat mempunyai keturunan. Pemohon juga tidak mendalilkan alasan
pengajuan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto bahwa istri
tidak dapat melahirkan keturunan. Maka unsur ini tidak terpenuhi.
38 Loc, cit
79
2. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
a. Adanya persetujuan istri atau istri-istri
Menurut pendapat Yahya Harahap bahwa persetujuan dimaksud
dapat dilakukan dengan lisan maupun tulisan. Tetapi oleh karena Pasal
41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan sekalipun ada
persetujuan tertulis istri, pengadilan harus mendengar langsung
persetujuan itu di depan sidang pemeriksaan, ragu atau tidak ragu-ragu
atas pesetujuan tertulis, hakim harus langsung memanggil pihak istri,
untuk memperjelas kebenaran persetujuan yang dimajukan suami dalam
permohonan itu. Dengan adanya keharusan langsung mendengar istri, si
suami tidak bisa lagi memalsukan pesetujuan istri.39
Berdasarkan point
3.1.h yang dikuatkan dengan point 4.e. persetujuan dimana berupa
tulisan dengan dikuatkan pengakuan Termohon di depan sidang
pengadilan. Maka unsur ini telah terpenuhi.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Menurut pendapat Yahya Harahap kepastian yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah suatu penilaian hakim berdasarkan kekayaan yang
ada pada sipemohon pada momen permohonan itu dimajukan. Sebab
hakim sebagai manusia tidak mungkin menjangkau sesuatu
kemungkinan perubahan status sosial ekonomis dimasa yang akan
39Ibid, hlm 26
80
datang.40
Jumlah kekayaan ini dapat didasarkan pada surat keterangan
penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendaharawan tempat
suami bekerja, atau dapat dilihat dari surat keterangan pajak penghasilan
atau surat-surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.41
Kepastian Pemohon dapat menjamin keperluan hidup istri dan anak,
dapat dilihat dari surat keterangan penghasilan, berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Farid wakil panitera Pengadilan Agama
Purwokerto pada 19 Januari 2012, surat keterangan penghasilan yang
dibuat oleh Pemohon bukanlah merupakan akta tetapi dapat dijadilan
alat bukti. Surat keterangan penghasilan yang dibuat oleh Pemohon
dikuatkan dengan point 2.A.8, 3.2.1 dan 3.2.2 serta telah dilakukan
pemeriksaan setempat mengenai keberadaan benda tidak bergerak yang
dilakukan oleh juru sita Pengadilan Agama Purwokerto.
Jika Pemohon akan melakukan praktek poligami dalam kehidupan
rumah tangganya, maka penghasilan yang dihasilkan oleh Pemohon
yang diperoleh dari pekerjannya tersebut harus dibagi dua antara istri
pertama dengan istri kedua. Pada saat pembuatan surat keterangan
penghasilan yang dibuat oleh Pemohon, jumlah yang dicantumkan
adalah jumlah minimal penghasilan per bulan dan bukanlah jumlah
maksimal. Maka unsur ini telah terpenuhi.
40 Ibid, hlm 27
41
Soemiyati, op, cit, hlm 78
81
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak.
Menurut pendapat Yahya Harahap kata-kata menjamin dalam
kalimat diatas lebih bersifat moral dari pada aturan ketentuan, dan paling
tidak hakim minta surat pengakuan atau pernyataan bahwa dia mengaku
akan berlaku dan bertindak adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka. Tetapi hal demikian pun tiada lain dari suatu pengakuan.
Apalagi keadilan dalam poligami mempunyai kaitan yang sangat luas
dan meliputi segala aspek lahiriah dan batiniah.42
Jika si suami
menyalahi ikrar jaminan berlaku adil didiskriminasikan dapat menuntut
pemulihan keadilan itu pada pengadilan.43
Berdasarkan point 3.1.g dan dikuatkan dengan point 4.d dan hasil
wawancara dengan Bapak Farid wakil panitera Pengadilan Agama
Purwokero pada tanggal 19 Januari 2012 adil yang dimaksud adalah adil
secara lahir dan batin. Pemohon sudah menyangupi bahwa dirinya dapat
berlaku adil secara lahir dan batin kepada kedua istrinya dan anak-
anaknya. Maka unsur ini telah terpenuhi.
Pada saat seseorang akan mengajukan permohonan ijin poligami, maka
permohonan tersebut harus diajukan di pengadilan agama tempat Pemohon
bertempat tinggal, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1974 dan Pasal 56 KHI.
Pemohon yang akan mengajukan ijin poligami ke Pegadilan Agama Purwokerto
42 Ibid, hlm 28
43
Soemiyati, loc, cit
82
harus mengikuti prosedur beracara di pengadilan. Acara sidang pertama adalah
mediasi, pelaksanaan mediasi sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Persidangan. Mediasi yang dilakukan dinyatakan gagal
dikarenakan Pemohon tetap bersikeras untuk melanjutkan perkaranya. Kemudian
Pengadilan Agama Purwokerto melanjutkan proses persidangan ke sidang acara
pembuktian.
Menurut pendapat Yahya Harahap dalam pengertian yang luas, pembuktian
adalah kemampuan Penggugat dan Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian
untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa
yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan.
Sedangkan dalam arti sempit, pembukian hanya diperlukan hanya sepanjang
mengenai hal-hal yang masih dibantah atau disengketakan atau hanya sepanjang
yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara. Menurut R.
Subekti yang dimaksud dalam pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak
yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan di
dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang
diperiksa oleh hakim.44
Berdasarkan pendapat diatas, maka yang mengajukan alat bukti adalah
Pemohon, dan bukti yang diajukan berfungsi untuk menguatkan alasan-alasan
Pemohon dalam permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto.
Mengenai ketentuan pembuktian diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 1884 BW,
44 Abdul Manan, op, cit, hlm 227
83
dimana dalam putusan ini alat bukti yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai
berikut:
1. Bukti tertulis.
a. Akta Otentik.
Akta otentik dapat dilihat dari point 3.1.a, 3.1.b, 3.1.c, 3.1.d, 3.1.e, dan 3.1.f.
Bukti tersebut kemudian dikuatkan dengan pernyataan Pemohon, Termohon,
dan calon istri kedua Pemohon di persidangan. Hal tersebut adalah
merupakan syarat administratif yang diperlukan dalam rangka mengajukan
permohonan di pengadilan dan sesuai dengan point 2.A.1 dan point 4.c, serta
memenuhi rumusan Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 BW.
b. Akta dibawah tangan.
Akta dibawah tangan dapat dilihat dari point 3.1.g dan surat keterangan
penghasilan, hal tersebut juga dikuatkan oleh point 3.2.1, dan 3.2.2. Selain
dikuatkan dengan point 3.2.1 dan 3.2.2, mengenai keabsahan akta di bawah
tangan juga oleh point 4.d dan 4.k. Hal tersebut telah memenuhi rumusan
Pasal 5 ayat (1) point b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41
point c dan d PP No. 9 Tahun 75 serta Pasal 55 dan Pasal 58 KHI.
c. Surat secara sepihak.
Surat secara sepihak dapat dilihat dari point 3.1.h dan dikuatkan dengan point
4.e sehingga alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 point b PP 9 Tahun 1975 dan
Pasal 58 ayat (1) KHI.
84
2. Bukti dengan saksi-saksi.
Pada permohonan ijin poligami, saksi yang dihadirkan pada saat jalannya
proses persidangan terdapat 2 orang saksi, hal tersebut dapat dilihat dari point
3.2.1 dan point 3.2.2. Kesaksian yang ada adalah untuk memperkuat point
3.1.g, 3.1.h,dan surat keterangan penghasilan dan kesaksian yang ada tidak
dimasukkan dalam pertimbangan hukum hakim. Bukti dengan saksi-saksi
yang diajukan oleh Pemohon ke persidangan telah sesuai dengan rumusan
Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg), Pasal 1895 dan 1902-1912
BW.
3. Pengakuan
Pengakuan dapat dilihat pada point 4.b, 4.e, dan 4.k. Dimana point 4.b
merupakan pengakuan Pemohon bahwa Pemohon telah melakukan hubungan
suami istri dengan calon istri kedua Pemohon dan merupakan alasan Pemohon
akan melakukan poligami dengan calon istri kedua. Point 4.e merupakan
pengakuan Termohon mengenai Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu
yang menguatkan point 3.1.h sehingga Pemohon tidak dapat memalsukan
Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang dibuat oleh Termohon. Point
4.k merupakan pengakuan Pemohon dan Termohon mengenai keberadaan
harta bersama serta menguatkan point 2.A.5.8, Surat Pernyataan Penghasilan,
dan point 4.
4. Pemeriksaan Setempat.
Mengenai pemeriksaan setempat dapat dilihat dari point 3.3, dimana
dilakukannya pemeriksaan setempat itu untuk memenuhi SEMA No. 7 Tahun
85
2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Pemeriksaan setempat juga dilakukan
untuk menguatkan point 2.A.8, 4.j, dan 4.k.
Pada putusan nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt tentang permohonan ijin
poligami yang diajukan sejak tanggal 1 Maret 2011, hakim dalam memutuskan
perkara tersebut hanya memenuhi asas kemanfaatan dan bukanlah memenuhi asas
kepastian hukum, hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hakim yang
mengatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut bukanlah
dikarenakan syarat-syarat poligami dimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 point a PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57
KHI tetapi berdasarkan pengakuan Pemohon bahwa calon istri kedua Pemohon
telah hamil duluan sebelum adanya ijin poligami dari Pengadilan Agama
Purwokerto. Dengan kata lain Pemohon mengajukan permohonan ijin poligami
dapat dikabulkan jika calon istri kedua telah hamil terlebih dahulu, dan secara
secara tidak langsung itu adalah salah satu bentuk dilegalkannya zina.
2. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Permohonan Ijin Poligami yang
Dikabulkan.
Ijin poligami yang dikabulkan oleh pengadilan agama dapat dijadikan sebagai
alat bukti otentik yang dapat dipergunakan untuk melakukan perkawinan kedua
dengan calon istri kedua di Kantor Urusan Agama (KUA). Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) yang akan menikahkan perkawinan poligami hendaknya harus dapat
memastikan telah adanya ijin dari pengadilan agama, karena ijin dari pengadilan
agama merupakan syarat utama dilakukannya perkawinan poligami. Apabila tidak
86
adanya ijin poligami dari pengadilan agama, maka perkawinan poligami tidak
dapat dilakukan dengan alasan apapun.
Pada saat Pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan calon istri kedua
selain harus adanya surat ijin poligami yang dikabulkan oleh pengadilan agama,
perkawinan yang dilakukan harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan
melaksanakan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 7 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV KHI. Maka perkawinan yang dilakukan
oleh Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon menjadi sah dan mengikat serta
berkekuatan hukum.
Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad
(transaksi) apa pun, termasuk untuk tidak mengatakan terutama akad kawin.
Bedanya rukun berada di dalam sesuatu (akad kawin) itu sendiri, sedangkan syarat
berada di luarnya. Dikatakan, ruknus-syar’i ma-yatimmu bihi, rukun sesuatu adalah
sesuatu yang dengannya (sesuatu itu) akan menjadi sempurna (eksis), yang mana
rukun itu sendiri merupakan bagian yang ada di dalamnya, berbeda dengan syarat
yang ada di luar daripada sesuatu itu sendiri. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam,
syarat dirumuskan dengan, sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar’i, dan dia berada di luar hukum itu sendiri.
Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam akad
kawin, tampak begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika
berkenaan dalam ihwal rukun dan syarat kawin, ada hal-hal tertentu yang oleh
sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun kawin, sementara oleh sebagian ulama
yang lain dikategorikan sebagai syarat kawin. Sebagai ilustrasi, ulama Malikiah
87
misalnya menyebutkan lima macam arkan kawin yaitu: (1) wali perempuan, (2)
maskawin, (3) suami, (4) istri, (5) sighat akad. Kebanyakan ulama Syafi’iah juga
menyebutkan lima arkan kawin, tetapi dengan unsur tertentu yang berbeda dari
mahzab Maliki. Kelima arkan kawin yang dikemukakan ulama Syafi’iah ialah: (1)
suami, (2) istri, (3) wali, (4) dua orang saksi, (5) shighat akad.45
Syarat-syarat perkawinan diatur didalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.
Menurut pendapat Soemiyati yang dimaksud dengan perjanjian atau
persetujuan yaitu bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan
kehendak bebas calon mempelai pria ataupun calon mempelai wanita untuk
melaksanakan perkawinan tanpa persetujuannya. Untuk menimbulkan
kesepakatan kedua belah pihak, maka dalam islam sebelum perkawinan perlu
diadakan peminangan dan masa “khitbah” terlebih dahulu, supaya keduanya
dapat mengadakan saling pendekatan dan untuk saling mengenal watak
masing-masing. 46
Perjanjian mana dibuat oleh calon suami dan calon istri dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan pihak manapun, jika perjanjian antara calon
suami dan calon istri dibuat dalam keadaan terpaksa atau tertekan maka
dikhawatirkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak akan mencapai
tujuan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 Undang-
45Muhammad Amin Suna, op, cit, hlm 95-96
46
Soemiyati, op, cit, hlm 67-68
88
Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, pada saat akan diadakannya
perjanjian antara calon suami dengan calon istri, hendaknya harus mengenal
watak masing-masing dan sifat serta kebiasaan baik dan buruk pasangan.
Pengenalan yang baik antara calon suami dengan calon istri diharapkan
perkawinan yang dilakukan dapat berlangsung seumur hidup (monogami).
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua.
Menurut pendapat Yahya Harahap mengenai perlunya ijin ini adalah erat
sekali hubungannya dengan pertanggung jawaban orang tua dalam
pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam
membesarkan anak-anaknya. Sehingga kebebasan yang ada pada si anak untuk
menentukan pilihan calon suami/istri jangan sampai menghilangkan tanggung
jawab orang tua.47
Pada saat calon suami/istri yang akan menikah belum mencapai umur 21
tahun harus mendapatkan ijin orang tua, hal tersebut dikarenakan pada saat
seseorang belum mencapai umur 21 masih dianggap belum dewasa dan
pikirannya belum matang, maka peran orang tua selain untuk memberikan ijin
perkawinan kepada anaknya yang belum berumur 21 tahun juga dapat
memberikan saran mengenai pasangan yang dipilih oleh anaknya, dan
mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dimasa depan pada saat
perkawinan tersebut berjalan. Karena setiap orang tua pasti menginginkan
yang terbaik buat anaknya.
47 Loc, cit
89
3) Apabila kedua orang tua meninggal dunia, maka yang berhak memberi ijin
sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) adalah berturut-turut
sebagai berikut:
Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberi ijin adalah
kedua-duanya. Sedangkan apabila salah satu meninggal dunia maka yang
berhak memberikan ijin adalah salah satu dari keduanya yang masih hidup.
Jika yang meninggal dunia adalah orang tua wanita maka ijin perkawinan ada
pada orang tua laki-laki, demikian sebaliknya. Dalam hal ijin ada pada pihak
orang tua perempuan, maka orang tua perempuanlah yang bertindak sebagai
wali.48
Mengenai pemberian ijin perkawinan jika salah satu atau kedua orang tua
meninggal dunia, disesuaikan dengan ajaran dan kepercayaannya. Bagi
mereka yang beragama islam oleh karena hukum islam telah mengatur
mengenai susunan perwalian dalam perkawinan maka ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang perkawinan tidak berlaku bagi mereka, sepanjang
ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
perwalian menurut hukum islam.
4) Apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya karena disebabkan:
1. Karena di bawah kuratele
2. Atau sakit ingatan
48 Loc, cit
90
3. Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh salah
satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3)).
Pernyataan kehendak merupakan perbuatan perdata, jika seseorang tidak
dapat menyatakan kehendak maka pernyataan kehendak seseorang tersebut
dapat diwakilkan oleh orang lain. Sebagai contoh, apabila salah satu orang tua
calon suami/istri di bawah kuratele karena ketidakmampuannya, maka dapat
diwakili oleh kurator sebagai wali kawin.
5) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
Pada saat calon suami/istri akan melaksanakan perkawinan, apabila kedua
orang tua telah meninggal, maka dapat diwakilkan oleh wali. Wali disni
adalah orang yang mengurus dan memelihara sampai seseorang mandiri, wali
dimaksud dapat berasal dari pihak keluarga, saudara, atau orang yang telah
dipercaya untuk mengurus keperluan mereka. Peran wali adalah sama dengan
orang tua.
6) Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat 2,3, dan 4
pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak ada menyatakan
pendapatnya, pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
hendak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin. Ijin dari
pengadilan ini atas permintaan:
91
1. Pihak yang hendak melaksanakan perkawinan.
2. Setelah lebih dahulu mendengar sendiri orang yang disebut oleh ayat
2,3, dan 4 Pasal 6 tersebut.
Bagi yang beragama islam ketentuan-ketentuan perijinan dalam sub d, e,
dan f tersebut diatas, hanya berlaku bagi mereka sepanjang ketentuan-
ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan perwalian menurut hukum
islam. Apabila ketentuan-ketentuan itu tidak sesuai atau bertentangan dengan
ketentuan perwalian dalam hukum islam maka yang berlaku bagi mereka
adalah hukum islam.49
7) Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang-kurangnya 19
tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri.
Menurut pendapat Soemiyati penentuan batas umur untuk melangsungkan
perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian
perikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri, haruslah
dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi
biologis maupun psikologis. Hal ini adalah penting sekali untuk mewujudkan
tujuan perkawinan itu sendiri, juga mencegah terjadinya perkawinan pada usia
muda atau perkawinan anak-anak, sebab perkawinan yang dilaksanakan pada
umur muda banyak mengakibatkan perceraian dan keturunan yang
diperolehnya bukan keturunan yang sehat.
Perkawinan pada usia muda cenderung masih mengedepankan emosional
masing-masing sehingga sangat rentan dengan perceraian. Seseorang yang
49 Ibid, hlm 70
92
belum mencapai umur 20 tahun, tingkat emosionalnya masih sangat labil dan
sangat mudah dipengaruhi sehingga dikhawatirkan akan mengikuti hal-hal
negative yang ada di masyarakat. Penundaan perkawinan pada usia muda
diharapkan agar keluarga yang tercipta diharapkan mampu memenuhi tujuan
dari Pasal 1 undang-undang perkawinan dan mencegah terjadinya perceraian
pada usia muda.
Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam
Pasal 82 KHI yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang ditanggaung masing-
masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya
dalam satu tempat kediaman.
Apabila perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon dengan calon istri kedua
Pemohon telah dilakukan di KUA secara sah, maka anak yang dikandung oleh
calon istri kedua Pemohon hasil hubungan zina dengan Pemohon dapat dikatakan
sebagai anak sah karena lahir di dalam perkawinan yang sah, hal tersebut
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Pasal 99 KHI.
Pemohon dalam melakukan praktek poligami, diharuskan berbuat adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya, jangan sampai perkawinan ke-2 Pemohon
menjadi perkawinan yang haram karena Pemohon tidak dapat bebuat adil dalam
kehidupan rumah tangganya dan mendiskriminasikan salah satu istri serta
93
mengistimewakan salah satu istrinya. Apabila hal tersebut terjadi, maka salah satu
istri yang merasa didiskriminasikan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan
agama. Apabila yang merasa didiskriminasikan adalah Termohon, maka
Termohon dapat meminta pembatalan perkawinan antara Pemohon dengan calon
istri kedua Pemohon di pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasan dan
bukti-bukti yang kuat guna meneguhkan dalil gugatannya.
Berdasarkan hasil penelitian kasus diatas, sebelum dilakukannya ijin poligami
oleh Pemohon ke Pengadilan Agama Purwokerto telah adanya hubungan zina
antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon yang menyebabkan calon istri
kedua Pemohon telah hamil 3 bulan. Pemohon bertanggung jawab dengan
mengajukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto.
Permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon ke Pengadilan Agama
Purwokerto dikabulkan dan putusan Pengadilan Agama Purwokerto tersebut
menjadi dasar dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri
kedua, dan anak hasil hubungan zina dengan Pemohon menjadi anak sah karena
dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan
dari adanya permohonan ijin yang dikabulkan oleh pengadilan yaitu sebagai dasar
dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri kedua dan sahnya
anak dalam kandungan calon istri kedua.
94
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penilaian hakim Pengadilan Agama Purwokerto terhadap alat bukti yang
diajukan oleh Pemohon guna membuktikan kebenaran dalil permohonan ijin
poligami dinilai mengabaikan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 point a PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI.
Alasan Pemohon mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto
dikarenakan calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan, hasil perbuatan
zina dengan Pemohon. Hakim dalam putusannya hanya mempertimbangkan
asas kemanfaatan dan bukan mempertimbangkan asas kepastian hukum.
2. Akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang
dikabulkan yaitu Pemohon dengan calon istri kedua dapat melakukan
perkawinan di KUA dimana putusan pengadilan tentang permohonan ijin
poligami dikabulkan dan ijin poligami sebagai bukti otentik sebagai syarat
perkawinan ke dua serta anak yang ada dalam kandungan calon istri kedua
menjadi anak sah.
95
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang diambil dari penelitian ini maka peneliti
memberikan beberapa saran sebagai berikut :
a. Untuk Pemerintah:
Pemerintah harus lebih mensosialisasikan mengenai Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI khususnya mengenai ijin
poligami sehingga mencegah timbulnya poligami liar di dalam masyarakat.
b. Untuk Pengadilan Agama
Dalam menjatuhkan putusan harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta harus memenuhi asas kepastian hukum,
keadilan hukum, dan kemanfaatan.
c. Untuk Suami (laki-laki yang akan berpoligami)
Pada saat akan mengajukan ijin poligami hendaknya dipikirkan terlebih
dahulu mengenai manfaat dan akibat yang ditimbulkan dari kehidupan
berpoligami, dan dalam mengajukan ijin poligami hendaknya harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak melakukan
pelanggaran hukum.
d. Untuk Perempuan
Pada saat akan menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki
hendaknya harus melihat status laki-laki tersebut, apakah telah kawin atau
belum.