bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bab i-v...

95
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial ingin selalu hidup berinteraksi dengan sesamanya, maka dalam upaya meneruskan keturunannya, manusia melakukan perkawinan. Perkawinan telah dilakukan semenjak adanya manusia itu sendiri, Tuhan menciptakan manusia pertama yaitu Adam juga disertai pasangannya yakni Hawa. Sebagai mahluk yang berakal, manusia memandang bahwa perkawinan bukanlah semata-mata urusan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ataupun meneruskan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai suatu ikatan yang suci yang memiliki dampak sosial yang lebih luas, oleh karena itu pengaturan masalah perkawinan menjadi sangat diperlukan. Di Indonesia, hal ihwal perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa ikatan perkawinan bukanlah sekedar ikatan biasa seperti ikatan bisnis saja tetapi lebih jauh lagi yakni melibatkan ikatan batin dengan tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Upload: buiminh

Post on 12-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial ingin selalu hidup berinteraksi dengan

sesamanya, maka dalam upaya meneruskan keturunannya, manusia melakukan

perkawinan. Perkawinan telah dilakukan semenjak adanya manusia itu sendiri,

Tuhan menciptakan manusia pertama yaitu Adam juga disertai pasangannya yakni

Hawa. Sebagai mahluk yang berakal, manusia memandang bahwa perkawinan

bukanlah semata-mata urusan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ataupun

meneruskan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai suatu ikatan yang suci yang

memiliki dampak sosial yang lebih luas, oleh karena itu pengaturan masalah

perkawinan menjadi sangat diperlukan.

Di Indonesia, hal ihwal perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa ikatan perkawinan bukanlah

sekedar ikatan biasa seperti ikatan bisnis saja tetapi lebih jauh lagi yakni

melibatkan ikatan batin dengan tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

2

Perkawinan menjadi sah apabila telah sesuai dengan rumusan Pasal 2 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi, suatu

perkawinan menjadi sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum

agama dan masing-masing kepercayaan serta telah dicatatkan pada Kantor Urusan

Agama/KUA (bagi yang beragama Islam) dan Dinas Catatan Sipil (bagi yang

beragama non muslim dan kepercayaan). Pencatatan perkawinan juga

diperuntukan guna memenuhi tertib administrasi kependudukan.

Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, asas

perkawinan yang berlaku adalah asas monogami sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang

pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami. Monogami adalah perkawinan tunggal, yakni

perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita.

Asas monogami dapat disimpangi dengan asas poligami sebagaimana diatur

dalam Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut : Pengadilan dapat memberi

ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki

oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Sayuti Thalib, poligami yaitu

seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama,

memang diperbolehkan dalam agama Islam, tetapi pembolehan itu diberikan

sebagai suatu pengecualian, pembolehan diberikan dengan pembatasan-

pembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak1. Jika

1Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan. Universitas Jenderal Soedirman.

Purwokerto. 2009 hlm 38

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

3

menilik dari asalnya, monogami berasal dari Barat, hal ini dikarenakan dalam

ajaran agama Kristen hanya dikenal perkawinan tunggal/monogami.

Seorang wanita tidak mau dimadu dalam kehidupan rumah tangganya.

Apabila terjadi seorang wanita bersedia dimadu dalam perkawinannya, sudah

dipastikan karena ada faktor lain atau karena pengaruh keyakinan dan budaya

masyarakatnya. Hal ini berbeda pada diri seorang pria yang terdapat

kecendrungan untuk itu, baik dilihat dari aspek biologis, budaya, dan psikilogis.2

Poligami itu berasal dari Timur ke Barat. Pemberlakuan poligami dalam

perkawinan sering menimbulkan sikap pro dan kontra di dalam masyarakat.

Masyarakat yang pro terhadap poligami beranggapan bahwa poligami adalah

keharusan kemanusiaan yang biologis pada satu segi dan mungkin juga

kepentingan sosial, psikologis, dan segi yang lain.3 Bagi masyarakat yang kontra

beranggapan bahwa poligami itu merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM), karena dengan dilakukannya praktek poligami dalam

perkawinan, maka akan terjadi praktek-praktek diskriminasi dalam kehidupan

rumah tangga.

Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 huruf a

PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan Pasal 55-59 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

2Ibid, hlm 37

3 Yahya, Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia, CV Tahir Trading Co, Medan, 1978 hlm 25

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada

seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;

b.Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b.Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka.

(2) Perjanjian yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi

seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai perjanjiannya

dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar

dari istrinya, selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab

lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Pengadilan agama yang memeriksa permohonan ijin poligami harus

memperhatikan dan mempergunakan syarat sebagaimana yang telah ditentukan

oleh Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975,

jika tidak memenuhi syarat tersebut maka permohonan ijin poligami akan ditolak,

sebaliknya jika dipenuhi maka permohonan ijin poligami akan dikabulkan.

Pemohon (Nardi) melangsungkan perkawinan dengan termohon (Nur Fajriah)

pada tanggal 13 Oktober 2000, perkawinan tersebut dicatatkan oleh Pegawai

Pencatat Nikah di KUA Rawalo Kabupaten Banyumas sesuai kutipan akta nikah

Nomor 769/14/X/2000. Perkawinan antara Pemohon dengan Termohon, telah

dikaruniai dua orang anak yang masing-masing berumur 9 tahun dan 7 tahun,

selama perkawinan berlangsung juga diperoleh harta bersama. Pemohon dengan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

5

Termohon selama menikah, bedomisili di Desa Tipar Kecamatan Rawalo

Kabupaten Banyumas.

Pemohon menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita yang bernama

Defi Defaluati (calon istri kedua) pada tahun 2010, dan calon istri kedua telah

hamil 3 bulan. Pemohon bertanggung jawab atas hal tersebut. Pemohon

mengajukan permohonan ijin poligami dengan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa Termohon tidak dapat maksimal memenuhi kebutuhan biologis

Pemohon karena termohon kecapaian mengurusi dagangan, akibatnya

Pemohon menjalin hubungan/pacaran lagi dengan Defi Defaluati (calon istri

kedua pemohon) sampai sekarang sudah satu tahun lamanya;

2. Bahwa saat ini calon istri kedua Pemohon sedang hamil 3 bulan;

3. Bahwa calon istri kedua Pemohon bernama Defi Defaluati tidak ada hubungan

keluarga dengan Pemohon maupun Termohon;

4. Bahwa Pemohon merasa mampu memberikan nafkah dua orang istri dengan

penghasilan pemohon dari dagang kayu dan usaha kolam pemancingan rata-

rata sebulan sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah);

5. Bahwa selama Pemohon berumah tangga dengan Termohon, antar Pemohon

dengan Termohon telah mempunyai harta bersama berupa:

a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kacamatan

Rawalo, Kabupaten Banyumas;

b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385 QE;

c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa

Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas;

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

6

d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan

Rawalo, Kabupaten Banyumas;

e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan

Rawalo, Kabupaten Banyumas

f. Emas seberat 15 gram.

Pengadilan Agama Purwokerto dalam persidangan pertama dengan acara

sidang mediasi, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) No. 1 Tahun 2008, sidang mediasi mediator memberikan pandangan

atau nasihat kepada Pemohon dan Termohon dengan mengingatkan kepada

keduanya, terutama kepada Pemohon tentang kemungkinan-kemungkinan yang

akan dihadapi akibat dari kehidupan berpoligami, tetapi Pemohon tetap bersikeras

untuk melanjutkan perkaranya sehingga mediasi dinyatakan gagal.

Pengadilan Agama Purwokerto kemudian melanjutkan proses persidangan ke

sidang acara pembuktian dan memerintahkan kepada Pemohon untuk

membuktikan kebenaran dalil permohonan ijin poligami, Pemohon mengajukan

alat bukti berupa surat, menghadirkan dua orang saksi dan pengakuan dari

Pemohon maupun dari Termohon.

Pengadilan Agama Purwokerto melakukan pemeriksaan setempat untuk

memeriksa harta bersama antara Pemohon dengan Termohon (benda tetap) serta

meminta keterangan dari calon istri kedua tentang kesediannya untuk menjadi istri

kedua Pemohon, dimana calon istri kedua Pemohon menyatakan bahwa dirinya

bersedia untuk menjadi istri kedua Pemohon dan antara Pemohon dengan calon

istri kedua tidak ada larangan perkawinan untuk melaksanakan perkawinan.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

7

Isi putusan permohonan ijin poligami, amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Memberi ijin kepada Pemohon Nardi untuk menikah lagi dengan perempuan

bernama Defi Defaluanti;

3. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.1.891.000,- (satu juta delapan ratus

sembilan puluh ribu rupiah) kepada Pemohon.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul:

PENILAIAN ALAT BUKTI DALAM PERMOHONAN IJIN POLIGAMI

YANG DIKABULKAN (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR:

417/Pdt.G/2011/PA.Pwt).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

1.Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti permohonan ijin

poligami yang dikabulkan sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkara putusan Nomor:

417/Pdt.G/2011/PA.Pwt ?

2.Apakah akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang

dikabulkan?

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

8

C. Tujuan Penelitian

1.Untuk mengetahui mengenai pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti

permohonan ijin poligami yang dikabulkan berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkara putusan

Nomor: 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt.

2.Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin

poligami yang dikabulkan.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan ilmu

hukum khususnya hukum acara perdata sehingga hukum dapat selalu selaras

dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

2. Kegunaan Praktis

Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum acara perdata khususnya

mengenai hukum acara peradilan agama terutama mengenai masalah apakah

dalam menjatuhkan putusan mengenai permohonan ijin poligami (Putusan No.

417/Pdt.G/2011/PA.Pwt) sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan KHI.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pengertian mengenai perkawinan dapat dijumpai pada:

1.1 Pasal 2 KHI

Perkawinan menurut islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat

atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

1.2 Dawoud El Alami dan Doreen Hincliffe

Perkawinan dalam hukum islam ialah sebuah kontrak, dan seperti kontrak-

kontrak yang lain, perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu

penawaran (ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (qabul)

oleh pihak yang lain. Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi

wajib, sepanjang maksudnya dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad

perkawinan adalah jelas (sah).4

Pada pengertian mengenai perkawinan tersebut diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa yang namanya perkawinan adalah suatu kontrak/perjanjian

antara seorang pria (ijab) dengan seorang wanita (qabul) untuk melaksanakan

ibadah terhadap Allah SWT serta dalam melaksanakan suatu perkawinan harus

memenuhi akad-akad perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi jelas (sah).

Pengundangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

menyebabkan telah terjadinya unifikasi hukum di bidang keluarga dan perkawinan

4 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta,

2004, hlm 51

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

10

serta pengundangan tersebut didasarkan pada ketentuan hukum adat dan hukum

agama sehingga menjadi hukum positif di Indonesia.

2. Akibat Perkawinan

Perkawinan yang dilaksanakan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami-

istri, harta-kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.

2.1.Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri

a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah

tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang No. 1 tentang Perkawinan).

b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.

PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang

Perkawinan).

c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31

ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tentang Perkawinan).

d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

e. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

f. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, dan saling

setia.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

11

g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai

dengan kemampuannya.

h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

2.2. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

a. Timbul harta bawaan dan harta bersama.

b. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta

bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.

c. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan

hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 1 tentang Perkawinan).

2.3. Akibat Perkawinan Terhadap Anak

2.3.1. Kedudukan anak

a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan)

b. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

12

2.3.2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai

anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan).

b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.

c. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis

keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan

anaknya (Pasal 46 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan). 5

3. Syarat-syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yaitu sebagai berikut:

(1). Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai;

(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua;

(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaa tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud

dalam ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup

atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;

(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyetakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali,

orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya;

5 Kuliahade.wordpress.com, Hukum Perdata: Akibat Hukum Perkawinan, diunduh pada 6

Januari 2012

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

13

(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat atara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka

tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum

tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas perintah

orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar

orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini;

(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

B. Poligami

1. Pengertian Poligami

Pada antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada

lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang

bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di

mana seseorang hanya memiliki satu suami atau istri pada suatu saat).

Permohonan ijin beristri lebih dari 1 orang (poligami) diatur dalam Pasal

3, 4, dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40-44 PP No. 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dan Pasal 55-59 KHI.

2. Syarat-syarat Permohonan Ijin Poligami

I. Syarat Alternatif/Mutlak

Syarat alternatif tentang permohonan ijin poligami diatur dalam 4 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang berisi antara lain sebagai berikut:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

14

2. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

1.1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dapat ditentukan

dengan menguji hukum agama atau kepercayaan masing-masing serta norma

adat kebiasaan dengan tidak melupakan faktor perkembangan mobilitas sosial

kultural masyarakat yang sedang berkembang, dalam pola cita-cita falsafah

pancasila dalam arti yang luas.

Sebagai contoh yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

istri yaitu jika si istri tidak dengan semestinya menyediakan makanan suami,

ataupun memboroskan uang melampaui pendapat suami, serta menelantarkan

pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak. Tetapi bagaimanapun dalam menilai

si istri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga harus

dihubungkan dengan perlakuan suami dalam rumah tangga.

1.2. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan

dimana alasan tersebut lebih bersifat humanisme, jika menceraikan istri dalam

keadaan yang cacat badan tidak lain bahwa si suami bertindak zalim terhadap

istrinya tersebut, tetapi si suami yang merupakan homo sapiens juga harus

diperhatikan kebutuhan biologisnya. Maka beralasan sekali memberi ijin

kepadanya untuk mengawini seorang lagi istri tanpa menceraikan istrinya

tersebut.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

15

1.3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Setiap manusia yang melakukan perkawinan dipastikan memiliki

keinginan untuk memiliki keturunan, hal tersebut memang sangat manusiawi

karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa

adanya bantuan orang lain. Maka, untuk menentukan bahwa si istri mandul

atau tidak diperlukan keterangan yang jelas dari seorang ahli spesialis yang

menyatakan bahwa si istri tersebut memang mandul.

II. Syarat Kumulatif/Relatif

Syarat kumulatif tentang permohonan ijin poligami diatur dalam 5 ayat (1)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

berisi antara lain sebagai berikut:

1. Adanya perjanjian dari istri/istri-istri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka.

1.1.Adanya perjanjian dari istri/istri-istri

Perjanjian ini tidak diatur apakah perjanjian tersebut berupa perjanjian

lisan maupun perjanjian tulisan, akan tetapi untuk menjawab pertanyaan

tersebut maka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

16

Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis,

apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus

diucapkan didepan sidang pengadilan.

Permohonan ijin adalah tindakan pengadilan/hakim yang bersifat

deklarator. Perjanjian dari istri/istri-istri dalam permohonan ijin poligami

seperti yang telah diatur dalam Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dilaksanakan dengan cara tertulis, tetapi untuk menguatkan bahwa keterangan

tersebut di buat oleh istri, maka pengadilan berwenang untuk mendengar

langsung persetujuan dari istri, hal itu dilakukan agar tidak terdapat

persetujuan palsu dari istri yang dibuat oleh suami dalam permohonan ijin

poligami.

1.2.Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

istri-istri dan anak-anak mereka.

Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan

anak-anak mereka sulit untuk memberikan ukuran-ukuran yang objektif,

konkrit, dan pasti. Pada Pasal 41 huruf c PP No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi

ukuran objektif mengenai ada atau tidaknya kemampuan suami untuk

menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:

a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh

bendahara tempat bekerja;

b. Surat keterangan pajak penghasilan;

c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

17

Jika dalam menentukan mengenai kemampuan suami untuk menjamin

keperluan istri-istri dan anak-anaknya maka dapat ditentukan mengenai

jumlah kekayaan suami pada saat pengajuan permohonan ijin poligami.

Jumlah kekayaan suami pada saat diajukan permohonan ijin poligami itu

bersifat relatif, artinya jumlah kekayaan suami dapat berubah sewaktu-waktu

dalam jangka waktu ke depan. Oleh karena itu, hakim harus meneliti pada saat

pemberian ijin poligami yang diajukan oleh suami yaitu sebagai berikut:

a. Hakim harus mendapatkan mengenai data-data bahwa akhlak dan sikap

hidup orang yang bersangkutan benar-benar terpuji dari lingkungan

kehidupan masyarakat sekitar, oleh karena itu hakim bisa memperoleh data-

data yang dimaksud tersebut dari tetangga Pemohon;

b. Menanyakan secara langsung kepada si istri mengenai keadaan sosial

ekonomi yang sebenarnya dari keluarga mereka serta tingkah laku si suami

selama mereka hidup bersama.

c. Hakim dapat mencari kesimpulan motif dan permohonan persetujuan.6

1.3.Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-

anak mereka.

Jaminan berlaku adil disini dimaksudkan lebih bersifat moral dan

bukanlah materiil. Jaminan dalam pengertian hukum adalah sesuatu yang

mempunyai nilai materiil yang dapat dieksekusi untuk memenuhi suatu

keingkaran atau kelalaian seorang kreditur. Oleh karena jaminan berlaku adil

dalam permohonan ijin poligami lebih condong bersifat moral, maka hakim

6 Ibid hlm 28

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

18

dapat memintakan surat pengakuan atau surat pernyataan dari pemohon

bahwasanya dia bersedia untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-

anaknya. Jika si suami menyalahi ikrar untuk berlaku adil terhadap istri-

istrinya dan anak-anaknya maka pihak istri yang merasa didiskriminasikan

dapat menuntut pemulihan keadilan itu kepada pengadilan atau dapat

menuntut agar istri yang mendapat perlakuan melebihi dari ukuran-ukuran

keadilan supaya diputuskan perkawinannya.

3. Tata Cara Pengajuan Permohonan Ijin Poligami

Tata cara pengajuan permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut:

3.1. Poligami harus ada ijin dari pengadilan agama

a. Pengadilan, dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri

lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.

Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

b. Jika seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut

dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40

PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suami wajib mengajukan

permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4

ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

19

c. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka

ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan

(Pasal 40 PP No. 5 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

3.2. Surat permohonan

a. Surat permohonan ijin beristri lebih dari seorang harus memuat:

a.1. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan

termohon, yaitu istri/istri-istri.

a.2. Permohonan ijin poligami merupakan perkara contentious, karena

harus ada persetujuan dari istri. Karena itu, perkara ini diproses di

Kepaniteraan Gugatan dan didaftar dalam Register Induk Perkara

Gugatan.

3.3. Pemanggilan pihak-pihak

a. Pengadilan agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan

istri ke persidangan.

b. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam

hukum acara perdata biasa yang diatur dalam Pasal 390 Het Herziene

Indonesisch Reglement (HIR) dan pasal-pasal yang berkaitan.

3.4. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim

selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan

beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

20

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan).

b. Pada dasarnya, pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk

umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut

pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,

pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 59 ayat (1)

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun

2009 tentang Peradilan Agama).

3.5. Status perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau

keempat tanpa ijin dari pengadilan agama

Pasal 56 ayat (3) KHI berbunyi:

Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat

tanpa ijin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

3.6. Jika istri tidak mau memberikan persetujuan permohonan poligami.

Pasal 59 KHI yang berbunyi:

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan ijin

untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan

yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57 KHI. Pengadilan agama

dapat menetapkan tentang pemberian ijin setelah memeriksa dan

mendengar dari istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan

agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan

banding atau kasasi.

4. Alat Bukti Permohonan Ijin Poligami

a. Pengadilan agama kemudian memeriksa mengenai:

1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin

lagi, sebagai syarat alternatif (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

21

1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan) yaitu:

1.1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

seorang istri;

1.2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan;

1.3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan

maupun persetujuan tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.

3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan

istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:

3.1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang

ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau

3.2. Surat keterangan pajak penghasilan, atau

3.3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan

agama.

3.4. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan

atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang

ditetapkan untuk itu.

b. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri, persetujuan ini harus

dipertegas dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

22

istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam

sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.

c. Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:

1. Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak

mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;

2. Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;

3. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

hakim pengadilan agama.7

C. Hukum Acara Peradilan Agama

1. Kekuasaan dan Kewenangan Peradilan Agama

1.1 Kekuasaan Mengadili

Kekuasaan mengadili peradilan agama dikenal menjadi dua bagian, yaitu

kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

1.1.1 Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan

dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,

dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau

tingkatan pengadilan lainnya.8

7H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, pustaka pelajar,

Yogyakarta, 2005 hlm 241

8Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

hlm:27

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

23

Kompetensi absolut peradilan agama jika ditinjau dari jenis

perkaranya yaitu diatur dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 7

Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan

Agama, yang diatur dalam Pasal 49 mengatur mengenai kewenangan

peradilan agama, yaitu dalam bidang:

a. perkawinan;

b. harta;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syari'ah.

Mengenai kompetensi absolut, objek yang akan mengajukan gugatannya

ke peradilan agama yaitu pencari keadilan yang beragama islam, disini

berlaku asas personalita keislaman.

1.1.2 Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu

jenis tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang

sama jenis dan sama tingkatan lainnya.9

Kompetensi relatif dapat diterapkan pada perkara-perkara perdata

yang ditangani oleh pengadilan agama, hal tersebut dapat dilihat dari

9Ibid hlm: 25

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

24

contoh sebagai berikut terdapat perkara perceraian, kedua belah pihak

pada saat mendaftarkan perkaranya menganut agama islam, pengadilan

yang berwenang untuk menyelesaikan perkara perceraian tersebut adalah

pengadilan agama, seiring dengan berjalannya waktu, salah satu pihak

(istri) tersebut, berpindah keyakinan menjadi non muslim. Perkara

perceraian yang akan dilakukan tetap diselesaikan oleh pengadilan

agama dan bukan oleh pengadilan umum. Hal tersebut dikarenakan, pada

saat mendaftarkan perkaranya kedua belah pihak tersebut tunduk akan

hukum islam (berlaku asas personalita keislaman) walaupun salah satu

pihaknya beragama non islam, maka pihak yang beragama non islam

tersebut dapat menundukkan diri terhadap hukum islam.

1.2 Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan

Pada bidang perkawinan, pengadilan agama berwenang memutus,

menyelesaikan, dan mengadili perkara:

1. Izin beristri lebih dari seorang;

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus

ada perbedaan pendapat;

3. Dispensasi kawin;

4. Pencegahan perkawinan;

5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;

6. Pembatalan perkawinan;

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;

8. Perceraian karena talak;

9. Gugatan perceraian;

10. Penyelesaian harta bersama;

11. Penguasaan anak-anak;

12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya betanggungjawab tidak

mematuhinya;

13. Penentuan kewajiban membayar biaya penghidupan oleh suami

kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

25

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16. Pencabutan kekuasaan wali;

17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut;

18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum

cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang

ada dibawah kekuasaannya;

20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan

anak berdasarkan hukum islam;

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran;

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan

dijalankan menurut peraturan yang lain.

2. Peran Mediasi dalam Menyelesaikan Perkara Perdata.

2.1. Pengertian mediasi

Pengertian mediasi dalam kaitan pengintegrasiannya dengan sistem

peradilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 7 Peraturan

Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Mediasi di Pengadilan adalah:

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

2.2. Ruang lingkup tahap pramediasi

Ruang lingkup tahap pramediasi diatur dalam Bab II yang terdiri dari

Pasal 7-12 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan. Tahap ini merupakan persiapan kearah proses tahap mediasi.

Sebelum pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi

pokok sengketa, dimulai lebih dahulu dengan mempersiapkan prasarana

yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

26

2.2.1.Hakim memerintahkan menempuh mediasi

Pada tahap pramediasi, hakim harus bertindak berdasarkan Pasal 7

ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan adalah sebagai berikut:

2.2.1.1 Memerintahkan terlebih dahulu menempuh mediasi.

PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan memberi fungsi dan kewenangan kepada hakim:

2.2.1.1.1 Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib terlebih

dahulu menempuh penyelesaian melalui proses mediasi;

2.2.1.1.2 Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian melalui

proses mediasi, bersifat imperatif, bukan regulatif, oleh

karena itu wajib ditaati oleh para pihak yang bersengketa.

2.2.1.2 Saat menyampaikan perintah

Pada saat penyampaian perintah berdasarkan Pasal 7 ayat (1)

PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan, hakim harus melakukan yaitu sebagai berikut:

2.2.1.2.1 Pada sidang pertama

Hakim harus menyampaikan perintah yang mewajibkan

para pihak wajib terlebih dahulu menempuh proses mediasi,

pada sidang pertama. Jadi keberadaan dan fungsi sidang

pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para

pihak wajib terlebih dahulu menempuh proses mediasi;

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

27

2.2.1.2.2 Sidang pertama, adalah sebelum hakim membuka proses

replik-duplik atau bahkan sebelum gugatan dibacakan. Pada

saat sidang dibuka, langsung diperintahkan untuk menempuh

proses mediasi.

2.2.1.2.3.Syarat penyampaian perintah

Syarat penyampaian perintah diatur dalam Pasal 7 ayat (1)

PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan, yaitu sebagai berikut:

2.2.1.2.3.1.Sidang dihadiri kedua belah pihak yang berperkara;

2.2.1.2.3.2.Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi

pelaksanaan mediasi.

2.2.2 Hakim wajib menunda persidangan

Pada saat adanya perintah yang mewajibkan para pihak harus

terlebih dahulu menempuh proses mediasi, hakim wajib menunda

proses persidangan perkara;

2.2.2.1.Memberi kesempatan menempuh proses mediasi

Penundaan pemeriksaan bertujuan untuk memberi kesempatan yang

layak kepada para pihak untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa

melalui proses mediasi.

2.2.2.2 Hakim wajib memberi penjelasan tentang prosedur dan biaya

mediasi.

Pasal 7 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Mediasi di Pengadilan mengatur tentang:

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

28

1. Wajib memberi penjelasan prosedur

Pada persidangan pertama, selain wajib memerintahkan terlebih dahulu

menempuh poses mediasi yang dilakukan bersamaan dengan

penundaan pemeriksaan perkara:

1.1 Hakim wajib memberi penjelasan tata cara dan prosedur mediasi;

1.2 Prosedur yang harus dijelaskan meliputi tata cara pemilihan

mediator, cara pertemuan, perundingan, jadwal pertemuan,

tenggang waktu berkenaan dengan pemilihan mediator, proses

mediasi, dan penandatanganan hasil kesepakatan.

2. Menjelaskan biaya mediasi

Hakim wajib menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan biaya

mediasi, terutama biaya yang disebut dalam Pasal 50 ayat (3) dan ayat

(4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan:

Pasal 50 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Mediasi di Pengadilan

Bila mediasi dilakukan di tempat lain, biaya ditanggung para pihak

berdasar kesepakatan Pasal 50 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008

tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.

Pasal 50 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Mediasi di Pengadilan

Bila mediator yang disepakati bukan hakim, tetapi berasal dari luar

lingkup daftar mediator yang ada di pengadilan, biaya mediator

tersebut ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

29

3. Wajib memilih mediator

Mengenai tata cara pemilihan mediator diatur dalam Pasal 11 ayat

(1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan.10

3. Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair.

a. Bidang Hukum Keluarga

Gugatan permohonan atau gugatan voluntair pada bidang hukum

keluarga ,diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang

Perkawinan, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan hukum keluarga.

a.1. Permohonan ijin poligami

a.1.1. Syarat mutlak yang diperlukan dalam ijin poligami diatur dalam

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 KHI;

a.1.2. Syarat relatif yang diperlukan dalam ijin poligami diatur dalam

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Pasal 58 ayat (1) KHI.

a.2. Permohonan ijin melangsungkan perkawinan tanpa ijin orangtua (Pasal

6 ayat (5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975

10Yahya, Harahap. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 hlm 251-256

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

30

tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan) berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal orangtua berbeda pendapat memberi ijin perkawinan bagi

yang berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat

maka yang bersangkutan dapat mengajukan ijin kepada pengadilan

untuk melangsungkan perkawinan tanpa ada ijin orangtua.

a.3. Permohonan pencegahan perkawinan (Pasal 17 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 65

KHI).

a.4. Permohonan dispensasi kawin (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (1)

KHI).

a.5. Permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 25, 26, dan 27 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 74

KHI).

a.6. Permohonan pengangkatan wali nikah (Pasal 22 KHI).

b. Proses Pemeriksaan Permohonan

b.1. Jalannya proses pemeriksaan secara ex-parte

Pada proses pemeriksaan permohonan yang terlibat adalah pemohon

sendiri, proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau ex-

parte. Pada saat proses persidangan mengenai pemeriksaan permohonan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

31

pihak yang hadir yaitu pemohon atau kuasanya dan pihak lawan atau

tergugat benar-benar hadir atas kepentingan pemohon.11

b.2. Yang diperiksa di sidang hanya keterangan dan bukti pemohon

Pada proses pemeriksaan permohonan, alat bukti yang diajukan tidak

dapat dibantah oleh pihak lain, hal itu dikarenakan proses pemeriksaan

permohonan itu bersifat ex-parte.

b.3. Tidak dipermasalahkan penegakan seluruh asas persidangan.

b.3.1. Yang tetap ditegakkan

b.3.1.1. Asas kebebasan peradilan (judicial independency).

b.3.1.1.1. Tidak boleh dipengaruhi siapapun;

b.3.1.1.2. Tidak boleh ada direktiva dari pihak manapun.

b.3.1.2. Asas fair trial (Peradilan yang adil)

b.3.1.2.1 Tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrary);

b.3.1.2.2. Pemeriksaan sesuai dengan asas due process of law

(sesuai dengan hukum acara yang berlaku);

b.3.1.2.3. Memberi kesempatan yang layak (to give an

appropriate opportunity) kepada pemohon untuk

membela dan mempertahankan kepentingannya.

b.3.2. Yang tidak perlu ditegakkan

b.3.2.1 Asas audi alteram partem.

Pada proses ex-parte tidak mungkin didengarkan jawaban

dari pihak lawan. Oleh karena itu, asas to hear other side

11Ibid, hlm 38-39

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

32

(mendengar pihak lain), tidak relevan dalam proses

pemeriksaan permohonan.

b.3.2.2 Asas memberikan kesempatan yang sama

Asas ini tidak dapat diberlakukan, hal tersebut dikarenakan

dalam pemeriksaan permohonan hanya terdapat satu pihak

saja yaitu pemohon.

c. Penegakkan prinsip pembuktian

Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan

sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan.

Apabila dalam suatu proses pemeriksaan permohonan, alat bukti yang

diajukan oleh pemohon meragukan, maka harus diajukan alat bukti lain

untuk memenuhi batas minimal dari pembuktian.12

c.1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-

Undang (Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 BW)

c.1.1. Bukti Tulisan;

c.1.2. Bukti Dengan Saksi-saksi;

c.1.3. Persangkaan-persangkaan;

c.1.4. Pengakuan;

c.1.5. Sumpah.

c.2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR.

c.3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal

pembuktian.

c.4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang

memenuhi syarat formil dan materiil.

12Ibid, hlm 39

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

33

d. Putusan permohonan

d.1. Bentuk penetapan

Putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan

dituangkan dalam bentuk penetapan atau ketetapan (beschikking;

decree).

d.2. Diktum bersifat deklaratoir

d.2.1. Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi

hukum tentang hal yang diminta;

d.2.2. Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum comdemnatoir

(yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun;

d.2.3. Pengadilan tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang

menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian,

menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan sebagainya.13

D. Alat Bukti dalam Hukum Acara Peradilan Agama

Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang

No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, hukum acara yang berlaku dalam

lingkup peradilan agama adalah hukum acara perdata. Pembuktian dalam hukum

acara perdata diatur dalam HIR, dimana pasal yang mengatur mengenai

pembuktian diatur dalam pasal 164 HIR dan seterusnya.

13Ibid, hlm 40-41

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

34

I. Bukti Tulisan

Bukti tulisan diatur dalam Pasal 138, 165, dan 167 HIR, Pasal 164, 285-305

Rechtsreglement Voor de Buitengeswesten (Rbg) serta Staatblat (Stb) 1867 No.

29.

Bukti tulisan atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan

yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.14

Surat sebagai alat bukti tulisan dibagi tiga yaitu surat yang merupakan akta,

surat secara sepihak, dan surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri

dibagi menjadi dua yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.

1. Akta

Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat

peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk pembuktian.15

1.1. Akta Otentik

1.1.1 Pengertian Akta Otentik

1.1.1.1 Pasal 165 HIR

Akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai

umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup

bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang

14Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. 2002. hlm

141-142

15

Ibid, hlm 142

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

35

mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam

surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu

hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok

dalam akta itu.

1.1.1.2 Pasal 1868 BW:

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan

oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.

1.2.1 Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Akta Otentik

Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah kekuatan

pembuktian sempurna. Maksud dari kata sempurna ini adalah bahwa akta

otentik ini tidak boleh diragukan keabsahannya dalam sidang pengadilan

kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan.

Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta

otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat

padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik

tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan

mengikat (bindende). Oleh karena itu untuk melekatkan nilai kekuatan

yang seperti itu pada akta otentik, harus terpenuhi secara terpadu kekuatan

pembuktian yang disebut dibawah ini.

1.2.1.1 Kekuatan bukti luar.

Pada ketentuan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak yang

berperkara wajib menganggap akta otentik sebagai akta otentik, sampai

pihak lawan dapat membuktikan adanya:

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

36

1.2.1.1.1 Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak

berwenang, atau;

1.2.1.1.2 Tandatangan pejabat di dalamnya adalah palsu, atau;

1.2.1.1.3 Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan,

baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat.

1.2.1.2 Kekuatan Pembuktian Formil

Kekuatan pembuktian formil yang melekat pada akta otentik diatur

pada Pasal 1871 BW. Anggapan atas kebenaran yang tercantum

didalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang

terdapat didalamnya benar dari orang yang menandatanganinya, tetapi juga

meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:

1.2.1.2.1 Mengenai tanggal yang tertera didalamnya;

1.2.1.2.2 Tanggal tersebut harus dianggap benar;

1.2.1.2.3 Berdasar kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal

pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak

dan hakim.

1.2.1.3 Kekuatan Pembuktian Materiil

Kekuatan pembuktian materiil akta otentik menyangkut permasalahan

benar atau tidaknya keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena

itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik.

1.3.1 Nilai Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

1.3.1.1 Bila terpenuhi syarat formil dan materiil maka:

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

37

1.3.1.1.1 Pada dirinya langsung mencukupi batas minimal pembuktian

tanpa bantuan alat bukti lain;

1.3.1.1.2 Langsung sah sebagai alat bukti akta otentik;

1.3.1.2 Pada dirinya langsung mengikat nilai kekuatan pembuktian:

1.3.1.2.1 Sempurna (volledig),

1.3.1.2.2 Mengikat (bindende).

1.3.1.3 Hakim wajib dan terikat:

1.3.1.3.1 Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna;

1.3.1.3.2 Harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan

terbukti;

1.3.1.3.3 Hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut,

sehingga harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil

putusan penyelesaian sengketa.

1.4.1. Kualitas pembuktian akta otentik, tidak bersifat memaksa (dwingend) atau

menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan bukti lawan.

Derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai pada tingkat sempurna dan

mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan. Oleh karena itu, sifat

nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatif, dapat dilumpuhkan

dengan bukti lawan.

1.2. Akta dibawah tangan

1.2.1 Pengertian Akta dibawah tangan

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

38

1.2.1.1 Pasal 1874 BW:

Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-kata yang

ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-

surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa

perantaraan seorang pegawai umum.

Berdasarkan pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan akta

dibawah tangan yaitu sebagai berikut:

1. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan;

2. Tidak dibuat atau ditandatangani di hadapan pejabat yang

berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang

atau para pihak;

3. Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat

oleh atau di hadapan pejabat umum, meliputi:

3.1. Surat-surat;

3.2. Register-register;

3.3. Surat-surat urusan rumah tangga;

3.4 Lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat

umum.

4. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai

yang dibuat paling sedikit dua pihak.

1.2.2 Daya Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan

1.2.2.1 Daya Kekuatan Pembuktian Formil

1.2.2.1.1 Orang yang bertandatangan dianggap benar menerangkan hal

yang tercantum dalam akta.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

39

Berdasarkan kekuatan pembuktian formil, hukum mengakui

siapa saja atau orang yang menandatangani akta dibawah tangan.

Jadi, jika terdapat sebuah tulisan yang ditandatangani seseorang

yang berisi perbuatan hukum, secara formil identitas orang yang

bertandatangan dan yang membuat keterangan, sama dengan

identitas penandatangan tersebut.

1.2.2.2 Daya Kekuatan Pembuktian Materiil

1.2.2.2.1 Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar

Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya

pembuktian materiil adalah:

1.2.2.2.1.1 Secara materiil isi keterangan yang tercantum dalam akta

dibawah tangan, harus dianggap benar;

1.2.2.2.1.2 Apa yang diterangkan dalam akta oleh penandatangan,

dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya;

1.2.2.2.1.3 Secara materiil, isi yang tercantum dalam akta dibawah

tangan mengikat kepada diri si penandatangan.

2. Surat secara sepihak

Surat secara sepihak diatur dalam Pasal 1875 BW dan Pasal 291 Rbg.

Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi pernyataan akan kewajiban

sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau

akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang

tertentu.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

40

a. Syarat formal surat secara sepihak, antara lain:

a.1. Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang membuat atau yang

menandatanganinya;

a.2. Penandatangan menulis sendiri dengan huruf (bukan dengan

angka) tentang jumlah atau tentang sesuatu yang akan diberikan,

diserahkan atau dilakukannya;

a.3. Diberi tanggal dan ditandatangani oleh pembuat.

b. Syarat Materil surat secara sepihak, antara lain sebagai berikut:

b.1. Isi surat secara sepihak itu berkaitan langsung dengan pokok

perkara yang disengketakan;

b.2. Isi surat secara sepihak tidak bertentangan dengan hukum,

kesusilaan, agama, dan ketertiban umum;

b.3. Sengaja dibuat untuk alat bukti.

3. Surat lainnya bukan akta

Surat lainnya bukan akta, baik HIR, Rbg, maupun BW tidaklah mengatur.

Surat dibawah tangan yang bukan akta hanya disebut dalam Pasal 1874 BW

(Stb 1867 No. 29). Pada Pasal 1881 BW dan Pasal 1883 BW diatur secara

khusus beberapa surat-surat di bawah tangan yang bukan akta, yaitu buku

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

41

daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan

oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya.16

II. Bukti Dengan Saksi-saksi

Bukti dengan saksi-saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal

165-179 Rbg), Pasal 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian

yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang

disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh

orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di

persidangan.17

Saksi harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil.

1. Syarat formil saksi adalah:

1.1. Berumur 15 tahun keatas;

1.2. Sehat akalnya;

1.3 Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah

satu pihak menurut ketentuan yang lurus, kecuali undang-undang

menentukan lain;

1.4 Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun

sudah bercerai (Pasal 145 ayat (1) HIR);

1.5 Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima

upah (Pasal 144 ayat (2) HIR); kecuali undang-undang menentukan lain

1.6 Menghadap di persidangan (Pasal 141 ayat (1) HIR);

1.7 Mengangkat sumpah menurut agamanya (Pasal 147 HIR);

16Op. cit, hlm 156-157

17

Ibid hlm 159

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

42

1.8 Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu

peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (Pasal 169 HIR); kecuali

mengenai perzinahan

1.9 Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (Pasal 144 ayat (1)

HIR);

1.10 Memberikan keterangan secara lisan (Pasal 147 HIR).

2. Syarat materiil saksi adalah sebagai berikut:

2.1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (Pasal 171

HIR/Pasal 308 Rbg);

2.2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya (Pasal 171 ayat (1)

HIR/Pasal 308 ayat (1) Rbg);

2.3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri (Pasal

171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg);

2.4. Saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 170 HIR);

2.5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

3. Jangkauan Kebolehan Pembuktian dengan Saksi

3.1. Diperbolehkan dalam segala hal, kecuali ditentukan lain oleh Undang-

Undang.

Pasal 1895 BW berbunyi:

Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak

dikecualikan oleh undang-undang.

Larangan pembuktian dengan saksi-saksi terhadap isi suatu akta

tertentu berdasarkan pada alasan:

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

43

a. Pada umumnya keterangan saksi kurang dipercaya, karena sering

berisi kebohongan;

b. Sering terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi akta.

Jadi, pada prinsipnya bukti dengan saksi-saksi menjangkau semua

bidang dan jenis perkara perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri

menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau bukti

tulisan, barulah bukti dengan saksi-saksi tidak dapat diterapkan.

3.2. Menyempurnakan permulaan pembuktian tulisan

Pasal 1902 BW mengatur bahwa, dalam hal suatu peristiwa atau

hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat dibukikan dengan

tulisan atau akta, namun bukti tulisan tersebut hanya berkualitas sebagai

permulaan pembuktian tulisan, penyempurnaan pembuktiannya dapat

ditambah dengan saksi.

Mengenai pengertian permulaan pembuktian tulisan, dijelaskan dalam

Pasal 1902 ayat (2) BW, yaitu segala akta tertulis yang berasal dari orang

terhadap siapa tuntutan diajukan atau orang yang mewakili olehnya, dan

memberi persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang

dilakukan orang tersebut.

4. Menjadi Saksi Merupakan Kewajiban Hukum yang Bersifat Memaksa.

Diatur dalam Pasal 139-143 HIR, Pasal 165-170 Rbg, pada prinsipnya

menganut sistem bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah

kewajiban hukum, tetapi tidak imperatif dalam segala hal.

4.1 Dalam keadaan tertentu kewajiban hukumnya tidak bersifat imperatif

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

44

Prinsip menjadi saksi dalam perkara perdata bukan kewajiban

hukum yang bersifat imperatif, hanya terbatas pada keadaan tertentu

yang digariskan Pasal 139 ayat (1) dan Pasal 143 HIR.

4.1.1 Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan.

Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan tersirat dalam

a contrario dari ketentuan Pasal 139 ayat (1) HIR. Jika saksi yang

didengar keterangannya tidak penting atau tidak berbobot untuk

meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, kepada saksi

tidak berlaku kewajiban hukum untuk menjadi saksi. Oleh karena itu,

saksi itu tidak dapat dipaksa untuk hadir di persidangan.

4.1.2 Saksi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang

memeriksa.

Hal kedua yang membebaskan seorang saksi dari kewajiban

hukum menjadi saksi, diatur dalam Pasal 143 HIR. Menurut pasal ini,

tidak seorang dapat dipaksa (compellable) datang menghadap

Pengadilan Negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata,

jika tempat kediamannya berada di luar wilayah/di luar yurisdiksi

Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

4.2 Menjadi saksi kewajiban hukum secara imperatif.

Setiap orang yang cakap (competent) untuk menjadi saksi,

sekaligus melekat pada dirinya sifat dapat dipaksa (compellable)

menjadi saksi. Jadi secara umum, menjadi saksi dalam perkara

perdata merupakan kewajiban hukum yang harus ditaati oleh setiap

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

45

orang yang cakap. Bagi yang tidak menaatinya, dapat dihadirkan

dengan paksa oleh alat kekuasaan negara.

Berdasarkan Pasal 76 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo Undang-

undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dalam perkara

perceraian berdasarkan alasan cekcok terus-menerus (syiqaq) diperkenankan

mempergunakan saksi dari keluarga.

Saksi non muslim dapat diterima di pengadilan agama sepanjang

penyaksiannya menyangkut peristiwa atau kejadian untuk memperjelas

duduknya perkara. Hal-hal yang disaksikan itu adalah hal yang bersifat

qadhaan, bukan hal yang bersifat diyanatan atau hal yang telah diatur oleh

aturan agama islam.18

III. Persangkaan-Persangkaan

Persangkaan-persangkaan diatur dalam Pasal 172 HIR (Pasal 310 Rbg, Pasal

1915-1922 BW). Pengertian persangkaan-persangkaan diatur dalam Pasal 1915

BW yang berbunyi sebagai berikut:

Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-

undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah

suatu peristiwa yang tidak terkenal.

Ketentuan Pasal 1915 BW terdapat adanya dua persangkaan-persangkaan,

yaitu persangkaan-persangkaan yang didasarkan undang-undang (praesumptiones

18Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 254

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

46

juris) dan persangkaan-persangkaan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan

yang ditarik oleh hakim (praesumtiones facti).

1. Persangkaan-persangkaan berdasarkan undang-undang (praesumtiones

juris).

Persangkan-persangkaan berdasarkan undang-undang adalah persangkaan-

persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-

perbuatan tertentu, atau peristiwa-peristiwa tertentu sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 1916 BW. Persangkaan-persangkaan berdasarkan

undang-undang ini dapat berupa persangkaan-persangkaan yang

memungkinkan adanya pembuktian lawan, dapat juga berupa hal yang tidak

memungkinkan pembuktian lawan.19

2. Persangkaan-persangkaan hakim ((praesumtiones facti).

Persangkaan-persangkaan hakim adalah kesimpulan yang ditarik oleh

hakim berdasarkan peristiwa atau kejadian tertentu yang telah terungkap

melalui bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. Persangkaan-persangkaan

hakim juga harus bersifat penting, saksama, tertentu, dan ada hubungan satu

sama lain.20

IV. Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174-176 HIR, Pasal

311-313 Rbg, dan Pasal 1923-1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka

hakim di persidangan atau di luar persidangan.

19Ibid, hlm 255

20

Op. cit, hlm 256

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

47

Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)

merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan

dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang

membenarkan baik seluruhnya ataupun sebagian dari suatu peristiwa, hak atau

hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan

pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan

keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan.

Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-

diam tidaklah memberi kepastian hukum kepada hakim tentang kebenaran suatu

peristiwa, padahal alat bukti yang dimaksudkan untuk memberi kepastian

kepada hakim tentang kebenaran peristiwa, dalam hal ini HIR tidak selalu

menunjukan pendirian yang tetap, pada suatu ketika pengakuan secara diam-

diam diterima tetapi pada saat lain menolak pengakuan secara diam-diam.21

1. Syarat-syarat pengakuan, yaitu:

1.1. Syarat formal pengakuan yaitu:

1.1.1 Disampaikan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan

majelis hakim pengadilan agama;

1.1.2 Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara (pihak materiil)

atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis.

1.2. Syarat materiil pengakuan yaitu:

1.2.1 Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berhubungan dengan

pokok perkara;

21 Sudikno Mertokusumo, op, cit, hlm:173-174

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

48

1.2.2 Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang;

1.2.3 Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral, dan

ketertiban umum.

2. Bentuk-bentuk pengakuan

2.1. Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple)

Pengakuan murni dan bulat yaitu pengakuan yang sesungguhnya terhadap

semua dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Murni artinya sungguh-

sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sedangkan bulat artinya

pengakuan yang tidak disertai dengan keterangan tambahan yang

membebaskan.22

2.2. Pengakuan berkualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie).

Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan

terhadap sabahagian dari tuntutan penggugat. Pada hakekatnya, pengakuan

dengan berkualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang

sebahagiannya terdiri dari sanggahan dan bantahan.23

2.3. Pengakuan berklausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe).

Pengakuan berklausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan

keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pada hakikatnya

pengakuan yang berklausula ini adalah jawaban tergugat yang merupakan

pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, tetapi disertai

22Abdul Manan, op, cit, hlm 260

23

Loc, cit, hlm 260

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

49

dengan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan yang diajukan

oleh penggugat.24

V. Sumpah

Sumpah diatur dalam Pasal 155-158 dan Pasal 177 HIR, Pasal 182-185 dan

Pasal 314 Rbg, serta Pasal 1929-1945 BW. Sumpah pada umumnya adalah suatu

pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau

keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya

bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum

oleh-Nya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat

religius yang digunakan dalam peradilan.

Sumpah dibagi menjadi 2 macam, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan

atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir dan sumpah untuk

memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau

tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir. Termasuk sumpah

promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ahli, karena sebelum memberikan

kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan pernyataan atau janji akan memberi

keterangan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya, sedangkan

sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah sebagai alat bukti, karena

fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.25

24Ibid, hlm 260

25

Sudikno Mertokusumo, op, cit, hlm: 179-180

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

50

HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah

pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisoir) dan

sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed).

1. Sumpah pelengkap (suppletoir)

Sumpah pelengkap atau tambahan diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal

182 Rbg, dan Pasal 1945 BW, untuk dapat diperintahkan oleh hakim karena

jabatannya kepada salah satu pihak untuk mengangkat sumpah, haruslah

ada bukti permulaan terlebih dahulu, sehingga apabila ditambah dengan

sumpah suppletoir, maka pembuktian menjadi sempurna. Hakim

berwenang, bukan kewajiban untuk membebankan suatu sumpah pelengkap

kepada salah satu pihak yang berperkara. Jika sumpah tambahan tersebut

dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka yang sedang

diperiksa tersebut menjadi selesai dan pihak yang melakukan sumpah

haruslah dimenangkan. Sumpah pelengkap itu dibebankan, terserah kepada

pertimbangan hakim.

Agar sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus

memenuhi syarat-syarat formal dan materiil berikut:

1.1 Syarat fomal sumpah pelengkap, yaitu sebagai berikut:

1.1.1 Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian

yang sudah ada, tetapi belum mencapai batas minimal

pembuktian;

1.1.2 Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan;

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

51

1.1.3 Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah

alat bukti yang ada dengan alat bukti yang lain;

1.1.4 Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan di depan

sidang Majelis Hakim secara in person (langsung atau oleh

kuasanya dengan surat kuasa secara istimewa).

1.2 Syarat materiil sumpah pelengkap, yaitu sebagai berikut:

1.2.1 Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri

oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah

tersebut;

1.2.2 Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan

tidak bertentangan dengan agama, moral, dan kesusilaan.

2. Sumpah pemutus (decissoireed)

Sumpah pemutus atau juga sering disebut sumpah yang menentukan

diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 Rbg dan Pasal 1930 BW. Pada

pasal-pasal tesebut dikemukakan bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan

untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan, maka salah satu

pihak dapat meminta supaya pihak lain dapat bersumpah di muka hakim.

Jadi sumpah pemutus ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak,

walaupun sama sekali tidak ada bukti, pembebanan tersebut atas

permohonan salah satu pihak yang berperkara. Tujuan dari pelaksanaan

sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara. Oleh karena itu,

pihak yang telah mengucapkan sumpah tidak boleh lagi diperintahkan

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

52

memberikan bukti-bukti lagi untuk membenarkan apa yang dinyatakan

dalam sumpahnya itu.

Agar sumpah pemutus dapat dijadikan sebagai alat bukti, maka harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

2.1. Syarat formal sumpah pemutus:

2.1.1 Berperkara apabila sama sekali tidak ada bukti-bukti yang

diajukan oleh kedua belah pihak;

2.1.2 Pembebanan sumpah pemutus harus atas permintaan salah satu

pihak yang berperkara;

2.1.3 Sumpah pemutus diucapkan di depan sidang Majelis Hakim

secara in person atau oleh kuasanya dengan surat kuasa istimewa.

2.2. Syarat materiil sumpah pemutus:

2.2.1 Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri

atau yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang

berperkara;

2.2.2 Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan pokok

perkara yang sedang disengketakan.

3. Sumpah penaksir (aestimatoir, schattingseed).

Sumpah penaksir diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 Rbg, dan Pasal

1940 BW. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim

karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang

ganti kerugian. Sumpah penaksir dilaksanakan karena dalam praktik sering

terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

53

bersangkutan itu simpang siur, maka soal ganti rugi harus dipastikan

dengan pembuktian.26

4. Sumpah Li’an

Sumpah Li’an diatur dalam Pasal 87-88 Undang-undang No. 7 Tahun

1989 jo Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.

Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan dengan alasan salah satu

pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat

melengkapi bukti-bukti, dan termohon atau tergugat menyanggah alasan

tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan

tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak

mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari

termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh

pemohon atau penggugat untuk bersumpah. Pihak termohon atau tergugat

diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang

sama. Apabila sumpah dilakukan oleh pihak suami, maka penyelesainnya

dapat dilaksanakan dengan sumpah li’an.27

Syarat-syarat sumpah li’an:

4.1. Syarat formil sumpah li’an

4.1.1 Tuduhan istri berbuat zina tercantum atau dimuat secara

kronologis dalam surat permohonan;

4.1.2 Istri menyanggah tuduhan suami bahwa dirinya telah berbuat zina

dengan laki-laki lain;

26Ibid, hlm 149

27

Abdul Manan, op, cit, hlm 269

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

54

4.1.3 Sumpah li’an dilaksanakan atas perintah hakim yang memeriksa

perkara tersebut.

4.2. Syarat materiil sumpah li’an

4.2.1 Suami tidak dapat melengkapi bukti-bukti atas tuduhan zina

kepada istrinya;

4.2.2 Sumpah suami diucapkan dalam sidang Majelis Hakim yang

dihadiri oleh istri pemohon;

4.2.3 Sumpah suami tersebut dibalas pula dengan sumpah istri, yang

disampaikan dalam sidang Majelis Hakim pula;

4.2.4 Sumpah Mula’anah (saling melaknat) menurut teks sumpah yang

telah ditentukan.

VI. Pemeriksaan setempat

1. Pengertian

Mengenai pemeriksaan setempat, diatur dalam Pasal 153 HIR

(1) Jika dipandang perlu atau berfaedah, ketua boleh mengangkat satu atau

dua komisaris dari dewan itu yang dengan bantuan panitera pengadilan

akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat

itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.

(2) Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan

itu dan hasilnya, berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan

panitera pengadilan itu.

2. Pelaksanaan pemeriksaan setempat

2.1. Dihadiri para pihak

Pemeriksaan setempat adalah merupakan bagian dari persidangan, hanya

tempatnya saja yang berubah dari ruang persidangan berpindah ke tempat

letaknya benda sengketa, oleh karena itu para pihak yang bersengketa

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

55

diharuskan datang untuk memeriksa mengenai benda sengketa. Apabila salah

satu pihak yang bersengketa tidak menghadiri acara pemeriksaan setempat

maka acara pemeriksaan setempat dapat dilaksanakan tanpa hadirnya pihak

yang tidak hadir.

2.2. Datang ke tempat benda sengketa terletak

Proses sidang pemeriksaan setempat harus dilangsungkan di tempat lokasi

benda sengketa itu terletak. Pejabat yang diangkat dan ditunjuk:

2.2.1 Datang langsung ke tempat benda sengketa yang hendak diperiksa

terletak;

2.2.2 Hakim yang memimpin pemeriksaan, secara resmi membuka sidang

pemeriksaan setempat;

2.2.3 Para pihak diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk

mengajukan bukti atau fakta untuk memperkuat dalil gugatan maupun

bantahan masing-masing.

3. Panitera membuat berita acara

Pemeriksaan setempat merupakan salah satu bagian dari acara persidangan,

oleh karena itu acara pemeriksaan setempat harus dituangkan dalam berita

acara pemeriksaan setempat yang dibuat oleh panitera pengadilan.

4. Membuat akta pendapat

Mengenai akta pendapat diatur dalam Pasal 211 ayat (1) RV, hakim yang

ditugaskan melaksanakan acara pemeriksaan setempat diharuskan membuat

akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan setempat yang

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

56

dilakukan, dalam membuat akta pendapat, hakim tersebut dapat dibantu oleh

seorang ahli. 28

28Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 785-786

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

57

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian dari penulisan skripsi ini

adalah yuridis normative. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa

Metode Pendekatan yang akan digunakan adalah yuridis normative (normative

legal approach), yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis

yang dimaksudkan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik

kaidah hukum nasional maupun hukum internasional dan memandang hukum

sebagai suatu sitem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari

kehidupan masyarakat.29

Pada metode penelitian hukum normatif, pendekatan masalah yang digunakan

dalam skripsi ini adalah:

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach);

b. Pendekatan Analitis (analytical approach);

c. Pendekatan Kasus (case approach).

29Soemitro Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988 hlm.

120.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

58

ad.a Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui aturan hukum yang

menjadi dasar dari diberlakukannya suatu putusan yang dijatuhkan

oleh sebuah lembaga kehakiman kepada para pencari keadilan. 30

ad.b Pendekatan analitis (analytical approach)

Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui substansi dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku tentang dilaksanakannya praktek

ijin poligami yang terjadi dikalangan masyarakat luas. 31

ad.c Pendekatan kasus (case approach)

pendekatan ini digunakan untuk mempelajari norma-norma atau

kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.32

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah Perskriptif. Perskriptif yaitu

menganalisa persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara

mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum. Sebagai ilmu

yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai

keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma

30Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing.

Surabaya 2010 hlm 302

31

Ibid hlm 310

32

Op, cit hlm 321

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

59

hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah

perbincangan mengenai makna hukum di dalam kehidupan bermasyarakat.33

C. Lokasi Penelitian

Sumber bahan hukum penelitian ini adalah bahan hukum primer dan

sekunder, bahan hukum yang diperoleh adalah lebih menjurus pada penelitian

kepustakaan maka ditetapkan lokasi penelitianya adalah Pengadilan Agama

Purwokerto.

D. Sumber Data

1. Data Sekunder

Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa

peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur

yang berhubungan dengan obyek skripsi. Dari data sekunder tersebut akan

dibagi dan diuraikan ke dalam dua bagian yaitu :

a. Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang

merupakan sumber hukum tentang Acara Peradilan Agama

khususnya dalam bidang mengenai Permohonan Ijin Poligami.

Pada skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hukum Acara

Peradilan Agama khususnya mengenai Permohonan Ijin Poligami,

33Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Grup ,Jakarta, 2010 hlm. 22

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

60

putusan hakim, serta yurisprudensi yang terdapat di Peradilan

Agama khususnya mengenai permohonan ijin poligami.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi34

. Bahan hukum

sekunder juga mempunyai peranan untuk memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Pada skripsi ini, bahan hukum

sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks dan artikel-artikel

dari situs-situs internet.

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode kepustakaan yaitu suatu cara pengumpulan data dengan

melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, Perundang-

undangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah, dan

sebagainya). Metode ini dapat digunakan untuk menunjang bahan hukum

sekunder yang digunakan dalam skripsi.

Metode dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan

menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah.

metode ini digunakan untuk menunjang bahan hukum primer, karena bahan

hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah berupa putusan

pengadilan (dokumen pemerintah).

34Ibid, hlm 141

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

61

F. Metode Penyajian Bahan Hukum

Metode penyajian bahan hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini

adalah berbentuk teks naratif. Teks naratif dapat berbentuk uraian dan fakta

hukum, untuk bahan hukum primer dan sekunder akan disajikan sesuai

dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang

terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat

ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis ini sesuai

dengan relevansinya pada hal yang sedang dibicarakan

G. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis

secara normatif kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami

dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara

sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada hasil skripsi.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

62

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan terhadap putusan

Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt, maka dapat

diperoleh data sebagai berikut:

1. Pihak yang berperkara

NARDI bin SUMIARTO, umur 30 tahun, agama islam, pekerjaan dagang,

tempat tinggal di RT.02 RW.11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten

Banyumas, selanjutnya disebut PEMOHON.

MELAWAN

NUR FAJRIYAH binti MAD SANUDIN, umur 27 tahun, agama islam,

pekerjaan dagang, tempat tinggal di RT.02 RW.11, Desa Tipar, Kecamatan

Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut TERMOHON.

DEFI DEFALUANTI binti SIKUN WIBOWO, umur 22 tahun, agama islam,

pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di RT.04 RW.03, Desa

Sanggreman, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut

CALON ISTRI KEDUA PEMOHON.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

63

2. Duduk Perkara

Isi Permohonan Ijin Poligami:

Pemohon dengan suratnya tanggal 01 Maret 2011 yang terdaftar di

kepaniteraan Pengadilan Agama Purwokerto dengan Nomor:

417/Pdt.G/2011/PA.Pwt mengemukakan yang pada pokoknya sebagai berikut:

2.1. Tanggal 13 Oktober 2000, Pemohon dan Termohon melangsungkan

perkawinan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan

Agama Rawalo, Kabupaten Banyumas sesuai kutipan Akta Nikah

Nomor 769/14/X/2000 tanggal 13 Desember 2000, menimbang telah

memiliki kekuatan hukum tetap.

2.2. Setelah perkawinan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat

tinggal di rumah Orang tua Termohon selama 2 tahun. Kemudian pada

tahun 2003 ke rumah bersama selama 8 tahun hingga sekarang, dan

selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup

rukun sebagaimana layaknya suami istri serta dikaruniai 2 orang anak

yang bernama:

a. LINA FITRIANI, umur 9 tahun;

b. FARIDATUL LAILY, umur 7 tahun.

2.3. Termohon tidak dapat maksimal memenuhi kebutuhan biologis

Pemohon karena Termohon kecapaian mengurusi dagangan, akibatnya

Pemohon menjalin hubungan/pacaran lagi dengan DEFI DEFALUANTI

(calon istri kedua Pemohon) sampai sekarang sudah satu tahun lamanya.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

64

2.4. Pemohon dalam perjalanan hidup bersama Termohon, Pemohon telah

berkenalan dengan seorang perempuan lain, dan Pemohon hendak

menikahi perempuan tersebut (poligami) yang akan dilangsungkan dan

dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

2.5. Alasan Pemohon akan menikahi calon istri kedua (poligami) karena

calon istri kedua Pemohon sedang hamil 3 bulan hasil hubungan dengan

Pemohon.

2.6. Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri Pemohon beserta

anak-anaknya, karena Pemohon bekerja sebagai karyawan swasta

(dagang kayu) dan mempunyai penghasilan setiap bulannya rata-rata

sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).

2.7. Pemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istri Pemohon dan

Termohon menyatakan tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi

dengan calon istri kedua tersebut.

2.8. Selama perkawinan Pemohon dan Termohon telah mempunyai harta

bersama berupa:

a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R

6385 QE.

c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak

di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

65

d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

f. Emas seberat 15 gram.

2.9. Calon istri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat

harta benda yang ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta

bersama antara Pemohon dengan Termohon.

2.10. Orang tua dan para keluarga Termohon dan calon istri kedua Pemohon

menyatakan rela atau tidak keberatan apabila Pemohon menikah dengan

calon istri kedua Pemohon.

2.11. Antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon tidak ada larangan

melakukan perkawinan, baik menurut syari’at islam maupun peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yakni:

a. Calon istri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara dan

bukan sesusuan, begitupun antara Pemohon dengan calon istri

kedua Pemohon.

b. Calon istri kedua Pemohon berstatus janda dalam usia 22 tahun

dan tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain.

c. Wali nikah calon istri kedua Pemohon (Ayah calon istri kedua

Pemohon bersedia untuk menikahkan Pemohon dengan calon istri

kedua Pemohon).

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

66

Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara

ini.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, Pemohon mohon agar

menjatuhkan putusan sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon.

b. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi

(poligami) dengan calon istri kedua Pemohon.

c. Membebankan biaya perkara menurut hukum; atau

d. Menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

3. Alat Bukti.

Untuk meneguhkan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti-bukti berupa:

3.1.Bukti Tulisan.

a. Foto Copy Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan

Rawalo Nomor: 769/14/IX/2000 Tanggal 13 Desember 2000 (P.1).

b. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon dari

DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330240112800002

tanggal 5 Februari 2011 (P.2).

c. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Termohon dari

DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330244202830001

tanggal 13 April 2007 (P.3).

d. Foto Copy Kartu Keluarga dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas

Nomor: 3302040302058557 tanggal 2 Februari 2011 (P.4).

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

67

e. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Calon Istri Kedua Pemohon

dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330246002890003

tanggal 17 Januari 2007 (P.5).

f. Foto Copy fotocopi Akta Cerai Nomor: 1207/AC/2009/PA.PWT tanggal

26 Agustus 2009 (P.6).

g. Surat Pernyataan Berlaku Adil, tanggal 1 Maret 2011 (P.7).

h. Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang ditandatangani oleh

Termohon dan diketahui oleh Lurah Karangpucung Kecamatan

Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas (P.8).

3.2.Bukti dengan Saksi-saksi

1. BURHANUDIN bin ABDUL FATAH, umur 36 tahun, agama islam,

pekerjaan tani tempat kediaman RT.04 RW.10 Desa Tipar Kecamatan

Rawalo Kabupaten Banyumas, memberikan keterangan dibawah

sumpah menyatakan bahwa:

1.1 Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon.

1.2 Saksi menerangkan bahwa dari pernikahan antara Pemohon dan

Termohon telah dikaruniai dua orang anak

1.3 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui tujuan Pemohon ke

Pengadilan Agama Purwokerto untuk minta ijin poligami.

1.4 Calon istri kedua Pemohon bernama Defi dari Sanggreman.

1.5 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui antara Pemohon dengan

calon istri kedua Pemohon sudah 1 tahun pacaran, dan saat ini

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

68

calon istri kedua Pemohon dalam keadaan hamil hasil hubungan

dengan Pemohon.

1.6 Saksi mengetahui antara calon istri kedua Pemohon dengan

Pemohon dan Termohon tidak ada hubungan keluarga.

1.7 Calon istri kedua Pemohon tidak mempunyai suami karena calon

istri kedua Pemohon berstatus janda.

1.8 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui penghasilan Pemohon

yang mempunyai usaha kolam pemancingan dan kios serta dagang

kayu sekitar Rp. 5.000.000,00,- (lima juta rupiah) sebulan,

menurutnya Pemohon mampu untuk menafkahi dua orang istri.

2. JAMIL bin SARTIM, agama islam, pekerjaan dagang, tempat kediaman

RT.02 RW.11 memberikan keterangan dibawah sumpah menyatakan

bahwa:

2.1. Saksi adalah tetangga Pemohon dengan Termohon.

2.2.Pemohon dengan Termohon adalah suami istri yang kawin secara

sah dan telah dikaruniai dua orang anak.

2.3.Saksi mengenal calon istri kedua Pemohon dan mengetahui bahwa

Pemohon akan menikah lagi dengan seorang bernama Defi.

2.4. Saksi mengetahui antara Pemohon dengan calon istri kedua

Pemohon tidak ada hubungan keluarga, dan mengetahui

penghasilan Pemohon dari usaha kayu, usaha kolam pemancingan,

dan mempunyai kios sekitar Rp. 8.000.000.00,- (delapan juta

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

69

rupiah) sampai Rp. 10.000.000.00,- (sepuluh juta rupiah) dan

mampu menghidupi dua orang istri.

2.5.Termohon bersedia dimadu dan dari pihak keluarga Termohon

tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi.

3.3.Pengakuan

a. Pemohon mengakui bahwa dirinya telah melakukan hubungan intim

dengan calon istri kedua sehingga menyebabkan calon istri kedua telah

hamil 3 bulan.

b. Termohon mengakui mengenai Surat Pernyataan Tidak Keberatan

Dimadu yang dibuat oleh Termohon.

c. Pemohon dengan Termohon mengakui adanya harta bersama berupa:

c.1. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

c.2. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R

6385 QE.

c.3. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di

Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

c.4. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

c.5. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

c.6. Emas seberat 15 gram.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

70

3.4. Pemeriksaan Setempat

Majelis Hakim telah melakukan pemeriksaan setempat secara ex officio

terhadap harta tidak bergerak Pemohon dan Termohon.

4. Tentang Pertimbangan Hukumnya

Maksud dan isi permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Bahwa, Majelis Hakim telah berusaha memberikan pandangan dan nasehat

kepada Pemohon dan Termohon dengan mengingatkan kepada keduanya,

terutama kepada Pemohon tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan

dihadapi akibat dari kehidupan berpoligami, dan telah menempuh jalur

mediasi akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil dan Pemohon tetap

bersikeras untuk tetap melanjutkan perkaranya.

b. Bahwa, Pemohon dalam mengajukan permohonan ijin poligami dengan

seorang perempuan yang bernama Defi Defaluanti karena Termohon telah

mengijinkan Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dan antara Pemohon

dengan calon istri keduanya telah melakukan hubungan intim selayaknya

suami istri bahkan telah hamil 3 bulan, dan Pemohon merasa mampu secara

ekonomi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari terhadap istri-istri

dan anaknya dengan panghasilan Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah)

perbulan serta sanggup berlaku adil kepada dua orang istrinya.

c. Bahwa, Alat bukti tertulis P.1 adalah fotocopi akta otentik yang telah

memenuhi syarat formil dan materiil pembuktian, di samping itu alat bukti

tersebut telah diakui oleh Termohon, karenanya alat bukti tersebut dapat

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

71

diterima dan dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)

KHI, maka terbukti antara Pemohon dengan Termohon telah dan masih

terikat oleh hubungan hukum perkawinan yang sah sejak 13 Oktober 2000

dan belum pernah bercerai dan kedua belah pihak dipandang sebagai pihak-

pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perkara ini (persona

standi in judicio).

d. Bahwa, Terdapat Surat Keterangan Berlaku Adil, maka Majelis Hakim

menilai bahwa Pemohon akan mampu berlaku adil seandainya mempunyai

dua orang istri, karenanya telah terpenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Pasal 55 ayat (2) KHI.

e. Bahwa, Terdapat Surat Pernyataan tidak Keberatan Dimadu dan pengakuan

Termohon dalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa

Termohon telah mengijinkan Pemohon untuk berpoligami, sehinga Majelis

Hakim berpendapat telah terpenuhi ketentuan persyaratan sebagaimana

yang dikehendaki dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 58 ayat

(1) huruf a KHI.

f. Bahwa, Majelis Hakim telah meminta keterangan calon istri kedua

Pemohon tentang kesediannya untuk menjadi istri kedua Pemohon dimana

calon istri kedua tersebut menyampaikan jawabannya yang pada pokoknya

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

72

menyatakan bahwa dirinya bersedia untuk menjadi istri kedua Pemohon,

sehingga Majelis Hakim berpendapat terpenuhilah syarat pernikahan

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16 KHI.

g. Bahwa, berdasarkan keterangan Pemohon dengan calon istri kedua

Pemohon, tidak ada halangan secara hukum untuk melakukan perkawinan

sebagaimana diatur dalam Bab VI KHI.

h. Bahwa, Majelis Hakim juga menyandarkan pada ketentuan Allah

sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa ayat 3.

i. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka

permohonan Pemohon dapat dikabulkan.

j. Bahwa terhadap harta bersama Pemohon dengan Termohon sebagaimana

diakui Pemohon dan Termohon berupa satu unit rumah beserta isinya.

k. Bahwa, berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon serta dikuatkan

dengan bukti surat (surat pernyataan Pemohon) tertanggal 1 Maret 2011,

yang diketahui oleh kepala desa setempat (Desa Tipar) dan hasil

pemeriksaan setempat yang dilangsungkan di tempat tinggal Pemohon di

RT.02 RW 11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada

tanggal 4 April 2011 membuktikan bahwa selama pernikahannya antara

Pemohon dengan Termohon memiliki harta bersama sebagai berikut:

1. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

2. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 Nomor polisi R

6385 QE.

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

73

3. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di

Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

4. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan

Rawalo, Kabupaten Banyumas.

5. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

6. Emas seberat 15 gram.

l. Bahwa, perkara ijin poligami termasuk bidang perkawinan, maka sesuai

dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 jo Undang-

Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara

ini dibebankan kepada Pemohon.

5. Putusan Pengadilan

1. Mengabulkan permohonan Pemohon.

2. Memberi ijin kepada Pemohon NARDI bin SUMIARTO untuk menikah

lagi dengan perempuan bernama DEFI DEFALUANTI binti SIKUN

WIBOWO.

3. Menetapkan harta bersama Pemohon dengan Termohon adalah berupa:

a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385

QE.

c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di

Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

74

d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan

Rawalo, Kabupaten Banyumas.

e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar,

Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

f. Emas seberat 15 gram.

4. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 1.891.000,- (satu juta delapan ratus

sembilan puluh satu ribu rupiah) kepada Pemohon.

B. Pembahasan

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti pada permohonan

ijin poligami yang dikabulkan dalam perkara putusan Nomor:

417/Pdt.G/2011/PA.Pwt.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan dari perkawinan tersebut dapat disimpulkan yaitu membentuk rumah

tangga yang bahagia dan kekal.

Pada ajaran Katolik, dikenal perkawinan monogami (perkawinan tunggal).

Perkawinan yang dilakukan hanya berlangsung satu kali dan untuk selamanya.

Mereka beranggapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan merupakan sebuah

janji dengan Tuhan sehingga perjanjian yang dibuat di hadapan Tuhan tidak

boleh diputus oleh manusia dengan alasan apapun. Hal tersebut berbeda dengan

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

75

ajaran islam dimana dikenal dengan adanya poligami (perkawinan banyak).

Asas monogami diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang kemudian disimpangi oleh

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas poligami merupakan

penyimpangan asas monogami.

Jika seseorang akan berpoligami, maka hanya terbatas pada 4 orang istri,

hal tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 55 ayat 1 KHI.

Poligami yang dilakukan hanya terbatas pada 4 orang istri, jika akan malukan

perkawinan kembali, maka salah satu istrinya harus diceraikan jika tidak maka

perkawinan dengan istri kelima dianggap batal demi hukum dan tidak

mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mempunyai perlindungan hukum

apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Permohonan ijin poligami harus

dilakukan di pengadilan agama tempat dimana Pemohon bertempat tinggal

(Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 PP No. 9

Tahun 1975 dan Pasal 56 ayat (1) KHI).

Jika seseorang akan berpoligami, harus memenuhi persyaratan sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

Berdasarkan point 2.A.3 dikatakan bahwa Termohon tidak mau

melayani kebutuhan biologis Pemohon dikarenakan kecapaian

mengurusi dagangan. Menurut pendapat Yahya Harahap dalam bukunya

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

76

Hukum Perkawinan Indonesia, untuk menentukan seorang istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya harus dikembalikan pada ketentuan

Pasal 1 yaitu perkawinan itu bertujuan membentuk rumah tangga

bahagia dan kekal, dan bunyi penjelasan atas pasal itu dipertegas lagi

kesejahteraan dan kebahagiaan itu adalah meliputi spiritual dan materiil.

Tetapi bagaimanapun dalam menilai si istri tidak melaksanakan

kewajibannya sebagai ibu rumah tangga harus dihubungkan anggapan

teori kewajiban itu dengan keadaan-keadaan praktek perlakuan suami.35

Termohon tidak dapat melayani kebutuhan biologis Pemohon

dikarenakan Termohon membantu pekerjaan Pemohon. Berdasarkan

pendapat Yahya Harahap diatas jika dikaitkan dengan putusan ini, maka

hak dan kewajiban suami-istri dalam kehidupan berumah tangga

haruslah seimbang, sehingga penagihan kewajiban istri oleh suami harus

selaras dengan perilaku dan penghargaan yang diberikan suami terhadap

istri. Pemohon sudah sepatutnya memahami dan memaklumi pekerjaan

yang dilakukan oleh Termohon, serta dapat memberi peringatan dan

masukan kepada Termohon agar jangan terlalu mengurusi dagangannya

saja tetapi juga dapat melayani kebutuhan biologis Pemohon. Pemohon

seharusnya tidak menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk

mencari kesenangan di luar dengan perempuan lain yang menyebabkan

perempuan tersebut telah hamil 3 bulan.

35 Yahya Harahap. Op, cit, hlm 33

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

77

Alasan Pemohon mengenai istri tidak dapat menjalankan

kewajibannya sebagai seorang istri tidak disinggung dalam

pertimbangan hakim, tetapi yang disinggung adalah pengakuan

Pemohon bahwa calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan. Hal

tersebut dapat dikatakan bahwa alasan Pemohon mengajukan ijin

poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto dengan alasan istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dinilai hanya mengada-

ada untuk melakukan penyelumdupan hukum. Jika alasan Pemohon

dalam mengajukan ijin poligami adalah alasan ini, maka Pemohon harus

dapat membuktikan dalil alasannya dengan adanya keterangan saksi

yang melihat, mendengar, dan merasakan kejadian yang sebenarnya

bahwa Termohon tidak dapat bertindak sebagai istri seperti yang

dituhduhkan oleh Pemohon. Maka unsur ini tidak terpenuhi.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Menurut pendapat Yahya Harahap, alasan ini lebih bersifat

humanisme. Sebab menceraikan istri yang demikian sungguh memilukan

harkat kemanusiaan apalagi misalkan keluarga si istri itu tidak ada.36

Oleh karena itu melaksanakan poligami dalam hal seperti ini dipandang

lebih berperikemanusiaan daripada mengejar monogami dengan tindakan

menceraikan istri yang sedang dalam penderitaan dan membutuhkan

pertolongan dan perlindungan dari seorang suami.37

Pada putusan ini

dapat dilihat bahwa Termohon dalam keadaan sehat dan dapat

36Ibid, hlm 34

37

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,

Yogyakarta, 1982, hlm 79

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

78

melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya ibu rumah tangga pada

umumnya, dan alasan pengajuan ijin poligami yang diajukan oleh

Pemohon dalam putusan nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt tidak memakai

alasan ini, jika Pemohon dalam mengajukan ijin poligami akan memakai

alasan ini, maka harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter

yang menangani kondisi istrinya. Maka unsur ini tidak terpenuhi.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Menurut pendapat Yahya Harahap, dalam perkawinan setiap manusia

ingin mendapatkan keturunan. Tidak ada manusia normal yang tidak

menghendaki keturunan dalam suatu perkawinan. Akan tetapi untuk

menentukan kemandulan seorang istri haruslah didasarkan pada

keterangan yang jelas dari seorang ahli spesialis, memang si istri

mandul.38

Selama perkawinan berlangsung antara Pemohon dengan

Termohon telah dikaruniai dua orang anak, hal tersebut dapat dilihat

pada point 2.A.2 dan dikuatkan dengan point 3.2.1 dan point 3.2.2.

Berdasarkan point 2.A.2 bahwa Termohon tidaklah mandul dikarenakan

dapat mempunyai keturunan. Pemohon juga tidak mendalilkan alasan

pengajuan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto bahwa istri

tidak dapat melahirkan keturunan. Maka unsur ini tidak terpenuhi.

38 Loc, cit

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

79

2. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

a. Adanya persetujuan istri atau istri-istri

Menurut pendapat Yahya Harahap bahwa persetujuan dimaksud

dapat dilakukan dengan lisan maupun tulisan. Tetapi oleh karena Pasal

41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan sekalipun ada

persetujuan tertulis istri, pengadilan harus mendengar langsung

persetujuan itu di depan sidang pemeriksaan, ragu atau tidak ragu-ragu

atas pesetujuan tertulis, hakim harus langsung memanggil pihak istri,

untuk memperjelas kebenaran persetujuan yang dimajukan suami dalam

permohonan itu. Dengan adanya keharusan langsung mendengar istri, si

suami tidak bisa lagi memalsukan pesetujuan istri.39

Berdasarkan point

3.1.h yang dikuatkan dengan point 4.e. persetujuan dimana berupa

tulisan dengan dikuatkan pengakuan Termohon di depan sidang

pengadilan. Maka unsur ini telah terpenuhi.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Menurut pendapat Yahya Harahap kepastian yang dimaksud dalam

ketentuan ini adalah suatu penilaian hakim berdasarkan kekayaan yang

ada pada sipemohon pada momen permohonan itu dimajukan. Sebab

hakim sebagai manusia tidak mungkin menjangkau sesuatu

kemungkinan perubahan status sosial ekonomis dimasa yang akan

39Ibid, hlm 26

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

80

datang.40

Jumlah kekayaan ini dapat didasarkan pada surat keterangan

penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendaharawan tempat

suami bekerja, atau dapat dilihat dari surat keterangan pajak penghasilan

atau surat-surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.41

Kepastian Pemohon dapat menjamin keperluan hidup istri dan anak,

dapat dilihat dari surat keterangan penghasilan, berdasarkan hasil

wawancara dengan Bapak Farid wakil panitera Pengadilan Agama

Purwokerto pada 19 Januari 2012, surat keterangan penghasilan yang

dibuat oleh Pemohon bukanlah merupakan akta tetapi dapat dijadilan

alat bukti. Surat keterangan penghasilan yang dibuat oleh Pemohon

dikuatkan dengan point 2.A.8, 3.2.1 dan 3.2.2 serta telah dilakukan

pemeriksaan setempat mengenai keberadaan benda tidak bergerak yang

dilakukan oleh juru sita Pengadilan Agama Purwokerto.

Jika Pemohon akan melakukan praktek poligami dalam kehidupan

rumah tangganya, maka penghasilan yang dihasilkan oleh Pemohon

yang diperoleh dari pekerjannya tersebut harus dibagi dua antara istri

pertama dengan istri kedua. Pada saat pembuatan surat keterangan

penghasilan yang dibuat oleh Pemohon, jumlah yang dicantumkan

adalah jumlah minimal penghasilan per bulan dan bukanlah jumlah

maksimal. Maka unsur ini telah terpenuhi.

40 Ibid, hlm 27

41

Soemiyati, op, cit, hlm 78

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

81

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak.

Menurut pendapat Yahya Harahap kata-kata menjamin dalam

kalimat diatas lebih bersifat moral dari pada aturan ketentuan, dan paling

tidak hakim minta surat pengakuan atau pernyataan bahwa dia mengaku

akan berlaku dan bertindak adil terhadap istri-istri dan anak-anak

mereka. Tetapi hal demikian pun tiada lain dari suatu pengakuan.

Apalagi keadilan dalam poligami mempunyai kaitan yang sangat luas

dan meliputi segala aspek lahiriah dan batiniah.42

Jika si suami

menyalahi ikrar jaminan berlaku adil didiskriminasikan dapat menuntut

pemulihan keadilan itu pada pengadilan.43

Berdasarkan point 3.1.g dan dikuatkan dengan point 4.d dan hasil

wawancara dengan Bapak Farid wakil panitera Pengadilan Agama

Purwokero pada tanggal 19 Januari 2012 adil yang dimaksud adalah adil

secara lahir dan batin. Pemohon sudah menyangupi bahwa dirinya dapat

berlaku adil secara lahir dan batin kepada kedua istrinya dan anak-

anaknya. Maka unsur ini telah terpenuhi.

Pada saat seseorang akan mengajukan permohonan ijin poligami, maka

permohonan tersebut harus diajukan di pengadilan agama tempat Pemohon

bertempat tinggal, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1974 dan Pasal 56 KHI.

Pemohon yang akan mengajukan ijin poligami ke Pegadilan Agama Purwokerto

42 Ibid, hlm 28

43

Soemiyati, loc, cit

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

82

harus mengikuti prosedur beracara di pengadilan. Acara sidang pertama adalah

mediasi, pelaksanaan mediasi sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Persidangan. Mediasi yang dilakukan dinyatakan gagal

dikarenakan Pemohon tetap bersikeras untuk melanjutkan perkaranya. Kemudian

Pengadilan Agama Purwokerto melanjutkan proses persidangan ke sidang acara

pembuktian.

Menurut pendapat Yahya Harahap dalam pengertian yang luas, pembuktian

adalah kemampuan Penggugat dan Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian

untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa

yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan.

Sedangkan dalam arti sempit, pembukian hanya diperlukan hanya sepanjang

mengenai hal-hal yang masih dibantah atau disengketakan atau hanya sepanjang

yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara. Menurut R.

Subekti yang dimaksud dalam pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak

yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan di

dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang

diperiksa oleh hakim.44

Berdasarkan pendapat diatas, maka yang mengajukan alat bukti adalah

Pemohon, dan bukti yang diajukan berfungsi untuk menguatkan alasan-alasan

Pemohon dalam permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto.

Mengenai ketentuan pembuktian diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 1884 BW,

44 Abdul Manan, op, cit, hlm 227

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

83

dimana dalam putusan ini alat bukti yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai

berikut:

1. Bukti tertulis.

a. Akta Otentik.

Akta otentik dapat dilihat dari point 3.1.a, 3.1.b, 3.1.c, 3.1.d, 3.1.e, dan 3.1.f.

Bukti tersebut kemudian dikuatkan dengan pernyataan Pemohon, Termohon,

dan calon istri kedua Pemohon di persidangan. Hal tersebut adalah

merupakan syarat administratif yang diperlukan dalam rangka mengajukan

permohonan di pengadilan dan sesuai dengan point 2.A.1 dan point 4.c, serta

memenuhi rumusan Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 BW.

b. Akta dibawah tangan.

Akta dibawah tangan dapat dilihat dari point 3.1.g dan surat keterangan

penghasilan, hal tersebut juga dikuatkan oleh point 3.2.1, dan 3.2.2. Selain

dikuatkan dengan point 3.2.1 dan 3.2.2, mengenai keabsahan akta di bawah

tangan juga oleh point 4.d dan 4.k. Hal tersebut telah memenuhi rumusan

Pasal 5 ayat (1) point b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41

point c dan d PP No. 9 Tahun 75 serta Pasal 55 dan Pasal 58 KHI.

c. Surat secara sepihak.

Surat secara sepihak dapat dilihat dari point 3.1.h dan dikuatkan dengan point

4.e sehingga alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 point b PP 9 Tahun 1975 dan

Pasal 58 ayat (1) KHI.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

84

2. Bukti dengan saksi-saksi.

Pada permohonan ijin poligami, saksi yang dihadirkan pada saat jalannya

proses persidangan terdapat 2 orang saksi, hal tersebut dapat dilihat dari point

3.2.1 dan point 3.2.2. Kesaksian yang ada adalah untuk memperkuat point

3.1.g, 3.1.h,dan surat keterangan penghasilan dan kesaksian yang ada tidak

dimasukkan dalam pertimbangan hukum hakim. Bukti dengan saksi-saksi

yang diajukan oleh Pemohon ke persidangan telah sesuai dengan rumusan

Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg), Pasal 1895 dan 1902-1912

BW.

3. Pengakuan

Pengakuan dapat dilihat pada point 4.b, 4.e, dan 4.k. Dimana point 4.b

merupakan pengakuan Pemohon bahwa Pemohon telah melakukan hubungan

suami istri dengan calon istri kedua Pemohon dan merupakan alasan Pemohon

akan melakukan poligami dengan calon istri kedua. Point 4.e merupakan

pengakuan Termohon mengenai Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu

yang menguatkan point 3.1.h sehingga Pemohon tidak dapat memalsukan

Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang dibuat oleh Termohon. Point

4.k merupakan pengakuan Pemohon dan Termohon mengenai keberadaan

harta bersama serta menguatkan point 2.A.5.8, Surat Pernyataan Penghasilan,

dan point 4.

4. Pemeriksaan Setempat.

Mengenai pemeriksaan setempat dapat dilihat dari point 3.3, dimana

dilakukannya pemeriksaan setempat itu untuk memenuhi SEMA No. 7 Tahun

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

85

2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Pemeriksaan setempat juga dilakukan

untuk menguatkan point 2.A.8, 4.j, dan 4.k.

Pada putusan nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt tentang permohonan ijin

poligami yang diajukan sejak tanggal 1 Maret 2011, hakim dalam memutuskan

perkara tersebut hanya memenuhi asas kemanfaatan dan bukanlah memenuhi asas

kepastian hukum, hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hakim yang

mengatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut bukanlah

dikarenakan syarat-syarat poligami dimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 point a PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57

KHI tetapi berdasarkan pengakuan Pemohon bahwa calon istri kedua Pemohon

telah hamil duluan sebelum adanya ijin poligami dari Pengadilan Agama

Purwokerto. Dengan kata lain Pemohon mengajukan permohonan ijin poligami

dapat dikabulkan jika calon istri kedua telah hamil terlebih dahulu, dan secara

secara tidak langsung itu adalah salah satu bentuk dilegalkannya zina.

2. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Permohonan Ijin Poligami yang

Dikabulkan.

Ijin poligami yang dikabulkan oleh pengadilan agama dapat dijadikan sebagai

alat bukti otentik yang dapat dipergunakan untuk melakukan perkawinan kedua

dengan calon istri kedua di Kantor Urusan Agama (KUA). Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) yang akan menikahkan perkawinan poligami hendaknya harus dapat

memastikan telah adanya ijin dari pengadilan agama, karena ijin dari pengadilan

agama merupakan syarat utama dilakukannya perkawinan poligami. Apabila tidak

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

86

adanya ijin poligami dari pengadilan agama, maka perkawinan poligami tidak

dapat dilakukan dengan alasan apapun.

Pada saat Pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan calon istri kedua

selain harus adanya surat ijin poligami yang dikabulkan oleh pengadilan agama,

perkawinan yang dilakukan harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan

melaksanakan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 7 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV KHI. Maka perkawinan yang dilakukan

oleh Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon menjadi sah dan mengikat serta

berkekuatan hukum.

Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad

(transaksi) apa pun, termasuk untuk tidak mengatakan terutama akad kawin.

Bedanya rukun berada di dalam sesuatu (akad kawin) itu sendiri, sedangkan syarat

berada di luarnya. Dikatakan, ruknus-syar’i ma-yatimmu bihi, rukun sesuatu adalah

sesuatu yang dengannya (sesuatu itu) akan menjadi sempurna (eksis), yang mana

rukun itu sendiri merupakan bagian yang ada di dalamnya, berbeda dengan syarat

yang ada di luar daripada sesuatu itu sendiri. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam,

syarat dirumuskan dengan, sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum

syar’i, dan dia berada di luar hukum itu sendiri.

Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam akad

kawin, tampak begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika

berkenaan dalam ihwal rukun dan syarat kawin, ada hal-hal tertentu yang oleh

sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun kawin, sementara oleh sebagian ulama

yang lain dikategorikan sebagai syarat kawin. Sebagai ilustrasi, ulama Malikiah

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

87

misalnya menyebutkan lima macam arkan kawin yaitu: (1) wali perempuan, (2)

maskawin, (3) suami, (4) istri, (5) sighat akad. Kebanyakan ulama Syafi’iah juga

menyebutkan lima arkan kawin, tetapi dengan unsur tertentu yang berbeda dari

mahzab Maliki. Kelima arkan kawin yang dikemukakan ulama Syafi’iah ialah: (1)

suami, (2) istri, (3) wali, (4) dua orang saksi, (5) shighat akad.45

Syarat-syarat perkawinan diatur didalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

Menurut pendapat Soemiyati yang dimaksud dengan perjanjian atau

persetujuan yaitu bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan

kehendak bebas calon mempelai pria ataupun calon mempelai wanita untuk

melaksanakan perkawinan tanpa persetujuannya. Untuk menimbulkan

kesepakatan kedua belah pihak, maka dalam islam sebelum perkawinan perlu

diadakan peminangan dan masa “khitbah” terlebih dahulu, supaya keduanya

dapat mengadakan saling pendekatan dan untuk saling mengenal watak

masing-masing. 46

Perjanjian mana dibuat oleh calon suami dan calon istri dengan penuh

kesadaran dan tanpa paksaan pihak manapun, jika perjanjian antara calon

suami dan calon istri dibuat dalam keadaan terpaksa atau tertekan maka

dikhawatirkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak akan mencapai

tujuan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 Undang-

45Muhammad Amin Suna, op, cit, hlm 95-96

46

Soemiyati, op, cit, hlm 67-68

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

88

Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, pada saat akan diadakannya

perjanjian antara calon suami dengan calon istri, hendaknya harus mengenal

watak masing-masing dan sifat serta kebiasaan baik dan buruk pasangan.

Pengenalan yang baik antara calon suami dengan calon istri diharapkan

perkawinan yang dilakukan dapat berlangsung seumur hidup (monogami).

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua.

Menurut pendapat Yahya Harahap mengenai perlunya ijin ini adalah erat

sekali hubungannya dengan pertanggung jawaban orang tua dalam

pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam

membesarkan anak-anaknya. Sehingga kebebasan yang ada pada si anak untuk

menentukan pilihan calon suami/istri jangan sampai menghilangkan tanggung

jawab orang tua.47

Pada saat calon suami/istri yang akan menikah belum mencapai umur 21

tahun harus mendapatkan ijin orang tua, hal tersebut dikarenakan pada saat

seseorang belum mencapai umur 21 masih dianggap belum dewasa dan

pikirannya belum matang, maka peran orang tua selain untuk memberikan ijin

perkawinan kepada anaknya yang belum berumur 21 tahun juga dapat

memberikan saran mengenai pasangan yang dipilih oleh anaknya, dan

mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dimasa depan pada saat

perkawinan tersebut berjalan. Karena setiap orang tua pasti menginginkan

yang terbaik buat anaknya.

47 Loc, cit

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

89

3) Apabila kedua orang tua meninggal dunia, maka yang berhak memberi ijin

sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) adalah berturut-turut

sebagai berikut:

Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberi ijin adalah

kedua-duanya. Sedangkan apabila salah satu meninggal dunia maka yang

berhak memberikan ijin adalah salah satu dari keduanya yang masih hidup.

Jika yang meninggal dunia adalah orang tua wanita maka ijin perkawinan ada

pada orang tua laki-laki, demikian sebaliknya. Dalam hal ijin ada pada pihak

orang tua perempuan, maka orang tua perempuanlah yang bertindak sebagai

wali.48

Mengenai pemberian ijin perkawinan jika salah satu atau kedua orang tua

meninggal dunia, disesuaikan dengan ajaran dan kepercayaannya. Bagi

mereka yang beragama islam oleh karena hukum islam telah mengatur

mengenai susunan perwalian dalam perkawinan maka ketentuan-ketentuan

dalam undang-undang perkawinan tidak berlaku bagi mereka, sepanjang

ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

perwalian menurut hukum islam.

4) Apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya karena disebabkan:

1. Karena di bawah kuratele

2. Atau sakit ingatan

48 Loc, cit

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

90

3. Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh salah

satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3)).

Pernyataan kehendak merupakan perbuatan perdata, jika seseorang tidak

dapat menyatakan kehendak maka pernyataan kehendak seseorang tersebut

dapat diwakilkan oleh orang lain. Sebagai contoh, apabila salah satu orang tua

calon suami/istri di bawah kuratele karena ketidakmampuannya, maka dapat

diwakili oleh kurator sebagai wali kawin.

5) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang

yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

Pada saat calon suami/istri akan melaksanakan perkawinan, apabila kedua

orang tua telah meninggal, maka dapat diwakilkan oleh wali. Wali disni

adalah orang yang mengurus dan memelihara sampai seseorang mandiri, wali

dimaksud dapat berasal dari pihak keluarga, saudara, atau orang yang telah

dipercaya untuk mengurus keperluan mereka. Peran wali adalah sama dengan

orang tua.

6) Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat 2,3, dan 4

pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak ada menyatakan

pendapatnya, pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang

hendak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin. Ijin dari

pengadilan ini atas permintaan:

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

91

1. Pihak yang hendak melaksanakan perkawinan.

2. Setelah lebih dahulu mendengar sendiri orang yang disebut oleh ayat

2,3, dan 4 Pasal 6 tersebut.

Bagi yang beragama islam ketentuan-ketentuan perijinan dalam sub d, e,

dan f tersebut diatas, hanya berlaku bagi mereka sepanjang ketentuan-

ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan perwalian menurut hukum

islam. Apabila ketentuan-ketentuan itu tidak sesuai atau bertentangan dengan

ketentuan perwalian dalam hukum islam maka yang berlaku bagi mereka

adalah hukum islam.49

7) Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang-kurangnya 19

tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri.

Menurut pendapat Soemiyati penentuan batas umur untuk melangsungkan

perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian

perikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri, haruslah

dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi

biologis maupun psikologis. Hal ini adalah penting sekali untuk mewujudkan

tujuan perkawinan itu sendiri, juga mencegah terjadinya perkawinan pada usia

muda atau perkawinan anak-anak, sebab perkawinan yang dilaksanakan pada

umur muda banyak mengakibatkan perceraian dan keturunan yang

diperolehnya bukan keturunan yang sehat.

Perkawinan pada usia muda cenderung masih mengedepankan emosional

masing-masing sehingga sangat rentan dengan perceraian. Seseorang yang

49 Ibid, hlm 70

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

92

belum mencapai umur 20 tahun, tingkat emosionalnya masih sangat labil dan

sangat mudah dipengaruhi sehingga dikhawatirkan akan mengikuti hal-hal

negative yang ada di masyarakat. Penundaan perkawinan pada usia muda

diharapkan agar keluarga yang tercipta diharapkan mampu memenuhi tujuan

dari Pasal 1 undang-undang perkawinan dan mencegah terjadinya perceraian

pada usia muda.

Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam

Pasal 82 KHI yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi

tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara

berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang ditanggaung masing-

masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya

dalam satu tempat kediaman.

Apabila perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon dengan calon istri kedua

Pemohon telah dilakukan di KUA secara sah, maka anak yang dikandung oleh

calon istri kedua Pemohon hasil hubungan zina dengan Pemohon dapat dikatakan

sebagai anak sah karena lahir di dalam perkawinan yang sah, hal tersebut

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Pasal 99 KHI.

Pemohon dalam melakukan praktek poligami, diharuskan berbuat adil

terhadap istri-istri dan anak-anaknya, jangan sampai perkawinan ke-2 Pemohon

menjadi perkawinan yang haram karena Pemohon tidak dapat bebuat adil dalam

kehidupan rumah tangganya dan mendiskriminasikan salah satu istri serta

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

93

mengistimewakan salah satu istrinya. Apabila hal tersebut terjadi, maka salah satu

istri yang merasa didiskriminasikan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan

agama. Apabila yang merasa didiskriminasikan adalah Termohon, maka

Termohon dapat meminta pembatalan perkawinan antara Pemohon dengan calon

istri kedua Pemohon di pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasan dan

bukti-bukti yang kuat guna meneguhkan dalil gugatannya.

Berdasarkan hasil penelitian kasus diatas, sebelum dilakukannya ijin poligami

oleh Pemohon ke Pengadilan Agama Purwokerto telah adanya hubungan zina

antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon yang menyebabkan calon istri

kedua Pemohon telah hamil 3 bulan. Pemohon bertanggung jawab dengan

mengajukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto.

Permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon ke Pengadilan Agama

Purwokerto dikabulkan dan putusan Pengadilan Agama Purwokerto tersebut

menjadi dasar dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri

kedua, dan anak hasil hubungan zina dengan Pemohon menjadi anak sah karena

dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan

dari adanya permohonan ijin yang dikabulkan oleh pengadilan yaitu sebagai dasar

dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri kedua dan sahnya

anak dalam kandungan calon istri kedua.

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

94

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Penilaian hakim Pengadilan Agama Purwokerto terhadap alat bukti yang

diajukan oleh Pemohon guna membuktikan kebenaran dalil permohonan ijin

poligami dinilai mengabaikan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 point a PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI.

Alasan Pemohon mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto

dikarenakan calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan, hasil perbuatan

zina dengan Pemohon. Hakim dalam putusannya hanya mempertimbangkan

asas kemanfaatan dan bukan mempertimbangkan asas kepastian hukum.

2. Akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang

dikabulkan yaitu Pemohon dengan calon istri kedua dapat melakukan

perkawinan di KUA dimana putusan pengadilan tentang permohonan ijin

poligami dikabulkan dan ijin poligami sebagai bukti otentik sebagai syarat

perkawinan ke dua serta anak yang ada dalam kandungan calon istri kedua

menjadi anak sah.

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BAB I-V (New).pdf · Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat

95

B. Saran

Berdasarkan simpulan yang diambil dari penelitian ini maka peneliti

memberikan beberapa saran sebagai berikut :

a. Untuk Pemerintah:

Pemerintah harus lebih mensosialisasikan mengenai Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI khususnya mengenai ijin

poligami sehingga mencegah timbulnya poligami liar di dalam masyarakat.

b. Untuk Pengadilan Agama

Dalam menjatuhkan putusan harus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku serta harus memenuhi asas kepastian hukum,

keadilan hukum, dan kemanfaatan.

c. Untuk Suami (laki-laki yang akan berpoligami)

Pada saat akan mengajukan ijin poligami hendaknya dipikirkan terlebih

dahulu mengenai manfaat dan akibat yang ditimbulkan dari kehidupan

berpoligami, dan dalam mengajukan ijin poligami hendaknya harus sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak melakukan

pelanggaran hukum.

d. Untuk Perempuan

Pada saat akan menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki

hendaknya harus melihat status laki-laki tersebut, apakah telah kawin atau

belum.