bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/draft...

125
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak manusia ada dan mulai mengenal berbagai macam kebutuhan yang harus didapatkan, maka berkembang pula pola pikir manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengalami perkembangan dari jaman pra- sejarah sampai dengan masa sekarang, manusia telah banyak memiliki kepentingan antar manusia itu sendiri, maka perlu adanya aturan untuk menghindari konflik antar manusia tersebut. Kebutuhan sekarang ini yang banyak dibutuhkan oleh manusia untuk kepentingan perekonomiannya berkaitan dengan perbankan. Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan) memberi pengertian tentang apa yang disebut bank. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank merupakan salah satu pihak yang turut berperan dalam bidang perekonomian. Lembaga tersebut merupakan lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Dari pengertian dan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai "'Financial intermediary", yakni dengan usaha utama menghimpun dan

Upload: vokien

Post on 24-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak manusia ada dan mulai mengenal berbagai macam kebutuhan

yang harus didapatkan, maka berkembang pula pola pikir manusia untuk

memenuhi kebutuhannya. Setelah mengalami perkembangan dari jaman pra-

sejarah sampai dengan masa sekarang, manusia telah banyak memiliki

kepentingan antar manusia itu sendiri, maka perlu adanya aturan untuk

menghindari konflik antar manusia tersebut.

Kebutuhan sekarang ini yang banyak dibutuhkan oleh manusia untuk

kepentingan perekonomiannya berkaitan dengan perbankan. Menurut

Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut dengan

Undang-undang Perbankan) memberi pengertian tentang apa yang

disebut bank. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat banyak”.

Bank merupakan salah satu pihak yang turut berperan dalam bidang

perekonomian. Lembaga tersebut merupakan lembaga keuangan yang

mempunyai nilai strategis dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Dari

pengertian dan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai

"'Financial intermediary", yakni dengan usaha utama menghimpun dan

2

menyalurkan dana masyarakat, serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu

lintas pembayaran. Dua fungsi itu tidak bisa dipisahkan. Sebagai badan usaha

bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya

dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya, sebagai lembaga keuangan bank

mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang,

mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja.1

Bank sebagai lembaga yang melakukan kegiatan perbankan secara

umum yaitu pengumpulan dana, pemberian kredit, mempermudah sistem

pembayaran dan penagihan, yang tidak kalah penting karena kapasitas bank

sendiri dengan jaringannya yang luas, keahlian yang sangat memadai di

bidang keuangan, peralatan yang begitu canggih, administrasi yang lebih

teratur dibandingkan lembaga lainnya maupun karena permintaan masyarakat

banyak, maka bank juga harus memberikan jasa-jasa umum yang notabene

merupakan fungsi dari bank yang dibutuhkan masyarakat yaitu melakukan

kegiatan penyertaan modal, menyewakan tempat penyimpanan (safe deposit

box), usaha dan pensiun.2

Berdasarkan segi pendapatannya menurut Undang-undang Perbankan,

kegiatan usaha bank digolongkan menjadi dua, yaitu jasa yang menghasilkan

pendapatan bunga seperti pemberian kredit dan pendapatan non bunga seperti

menyewakan safe deposit box, transaksi valuta asing dan lain sebagainya.

1 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Pertama, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 59 2 Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Ctk. Keempat, Kanisius,

Yogyakarta, 2006, hlm. 119

3

Menurut Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan tentang usaha

bank umum disebutkan bahwa kegiatan usaha bank umum adalah

“menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga”. Terdapat

adanya unsur "menyediakan tempat” pada ketentuan pasal tersebut. Secara

umum, bank menyediakan jasa seperti tabungan, deposito, dan giro, namun

dalam perkembangannya, bank konvensional juga menyediakan jasa yang

dapat dijadikan media bagi nasabah untuk menyimpan barang yang dianggap

berharga, yaitu disimpan dalam suatu tempat yang lazim disebut dengan Safe

Deposit Box (SDB).

Penyediaan tempat untuk menyimpan barang ini merupakan kegiatan

usaha bank guna memenuhi kebutuhan masyarakat karena ada beberapa

kalangan menganggap menyimpan barang berharga di rumah tidak selalu

aman, terutama ketika semua orang sedang bepergian keluar dari rumah, oleh

karena itu pengamanan terhadap benda-benda berharga dan dokumen-

dokumen penting akan lebih baik disimpan kedalam safe deposit box.

Berdasarkan pra penelitian yang diperoleh dari pimpinan PT Bank

Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto berpendapat bahwa kebijakan

dalam perjanjian safe deposit box itu setiap bank mempunyai standar yang

berbeda. Perjanjian safe deposit box termasuk dalam kategori perjanjian baku

atau standar yang pada umumnya akan menguntungkan pada pihak bank

sendiri. Dalam hal ini perjanjian yang menjadi pokok yang dipakai sebagai

patokan atau pedoman bagi setiap nasabah yang mengadakan hubungan

hukum dengan pihak bank yang dibakukan dalam perjanjian, meliputi :

4

rumusan, model dan ukuran. Model perjanjian baku dapat berupa blangko

nasabah perjanjian, lengkap dengan formulir yang dilengkapi dengan syarat-

syarat perjanjian maupun klausula-klausula tertentu yang biasanya sulit

dipahami nasabah dalam waktu yang singkat.

Menurut pendapat M. Djumhana :

Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga

(safe deposit box). Bank menyewakan kotak dengan ukuran, dan

jangka waktu tertentu kepada nasabah untuk digunakan sebagai sarana

penyimpan barang-barang berharga miliknya, tanpa diketehui mutasi,

dan isinya oleh bank. Pendapatan bank atas kegiatan usaha penyediaan

dan penyewaan safe deposit box, yaitu berupa imbalan (fee) atas jasa

yang disediakannya, berupa biaya sewa yaitu biaya pemakaian yang

harus dibayar setiap tahun, serta biaya deposit untuk jaminan kunci,

hanya saja biaya jaminan kunci ini akan dikembalikan ketika nasabah

tidak lagi menyewa safe deposit box tersebut, 3

Penjelasan Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “menyediakan tempat” dalam ketentuan ini

adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat

penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui

mutasi dan isinya oleh bank.

Mengenai perjanjian sewa-menyewa terdapat dalam Pasal 1548

KUHPerdata disebutkan bahwa “Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian,

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada

pihak yang lainya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu

tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut

belakangan itu disanggupi pembayarannya”, sedangkan dalam Pasal 1550

3 M. Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2000, hlm. 319

5

KUHPerdata disebutkan pihak yang menyewakan diwajibkan karena sifat

perjanjian dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk itu :

1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa ;

2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu

dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan ;

3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada

barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.

Mengenai risiko dalam perjanjian sewa-menyewa disebutkan dalam

Pasal 1553 KUHPerdata, dalam bukunya Subekti berpendapat bahwa :

Peraturan tentang risiko dalam dalam sewa-menyewa itu harus kita

kita ambil dari pasal 1553 tersebut secara mengambil kesimpulan.

Dalam pasal ini dituliskan bahwa, apabila barang yang disewa itu

musnah karena suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu

pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari

perkataan “gugur demi hukum” inilah kita simpulkan bahwa masing-

masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak

lawannya, hal mana berarti bahwa kerugian akibat musnahnya barang

yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan.

Dan ini memang peraturan risiko yang sudah setepatnya, karena pada

asasnya setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas

barang miliknya. 4

Dengan demikian, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

perjanjian safe deposit box itu tunduk pada KUHPerdata yaitu perjanjian

sewa-menyewa dan pada ketentuan umum perjanjian. Disisi lain, safe deposit

box itu juga merupakan suatu kegiatan usaha perbankan yang diatur dalam

Undang-undang Perbankan, dimana dalam perjanjian dengan bank biasanya

dituangkan dalam bentuk baku atau standar yang pada umumnya

4 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,

hlm.44

6

menguntungkan kepada pihak bank, dengan demikian dapat dikatakan bahwa

perjanjian safe deposit box selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga

tunduk pada ketentuan perbankan. Pertanyaan yang muncul dari skripsi ini

yaitu mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai

penyewa dalam perjanjian safe deposit box sehubungan dengan tempat

penyimpanan barang atau box yang disewakan bank itu masih dalam

penguasaan bank jika terjadi overmacht, bagaimana jika terjadi wanprestasi

dan hal-hal lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai nasabah bank.

Penelitian ini dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk

Purwokerto, mengingat bank tersebut merupakan salah satu bank terbesar di

Purwokerto, sehingga bank tersebut juga sering melakukan kegiatan usaha

penyewaan tempat menyimpan barang dan surat berharga.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih

lanjut mengenai permasalahan tersebut khususnya dalam lingkup safe deposit

box, sehingga penulis dalam skripsinya memberi judul : “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP NASABAH BANK SEBAGAI PENYEWA DALAM

PERJANJIAN SAFE DEPOSIT BOX (SDB) DI PT BANK NEGARA

INDONESIA (PERSERO) Tbk PURWOKERTO”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang tersebut di atas, maka rumusan

permasalahan yang dapat diambil yaitu bagaimana perlindungan hukum

terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box di

PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto ?

7

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perlindungan hukum nasabah PT Bank Negara

Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto dalam perjanjian safe deposit box.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

secara teoritis dan berguna dalam pengembangan studi ilmu hukum,

khususnya yang mengkaji tentang perlindungan hukum dalam perjanjian safe

deposit box.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran

secara praktis, yang dapat memberikan wawasan ilmu pengetahuan dan

pemahaman kepada masyarakat, serta pihak bank dalam melakukan jasa

perbankan khususnya safe deposit box, agar dalam pembuatan perjanjian safe

deposit box, baik pihak bank maupun pihak nasabah dapat memperoleh

perlindungan hukum. Disamping itu, memberikan informasi atau gambaran

kepada peneliti-peneliti selanjutnya tentang perlindungan hukum dalam

perjanjian safe deposit box.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Bank

1. Pengertian Bank dan Perbankan

1.1. Pengertian Bank

Bank adalah istilah yang tentunya tidak asing bagi masyarakat dewasa

ini. Hampir seluruh pelosok Indonesia sudah ada bank yang beroperasi dan

juga hampir segala kegiatan perekonomian masyarakat tidak lepas dari

lembaga yang bernama bank. Menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kembali kepada masyarakat adalah salah satu kegiatan bank

yang sudah pasti dikenal masyarakat dengan baik yaitu menabung dan

pemberian kredit.

Menurut pendapat Kasmir :

Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga

keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan

dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk

meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya.

Disamping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar uang,

memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran

dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah

dan pembayaran lainnya.5

Prof.G.M. Verryn Stuart, dalam bukunya, Bank Politik, berpendapat

bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan

kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang

5 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2008, hlm. 25

9

diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat

penukar baru berupa uang giral. 6

Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 angka 2 Undang-undang

Perbankan juga disebutkan bahwa “Bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-

bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Berbagai penulis buku tentang perbankan di dalam memberikan

pengertian atau batasan terhadap bank boleh dikatakan tidak selalu

memberikan rumusan yang sama hal ini dipengaruhi oleh latar belakang

penulis maupun latar belakang pendidikan dari penulis. Selain itu yang ikut

mempengaruhi rumusan tersebut adalah situasi atau kondisi perbankan pada

saat rumusan tersebut dibuat. Seperti diketahui bank merupakan suatu bentuk

usaha yang dinamis.

1.2. Pengertian Perbankan

Definisi perbankan secara hukum terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-undang Perbankan, yaitu :

“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya”.

Dikaitkan dengan pengertian perbankan di atas, maka hukum

perbankan (Banking Law) adalah hukum yang mengatur masalah perbankan.

6 Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 1

10

Munir Fuady mendefinisikan secara umum bahwa :

Hukum perbankan yaitu merupakan seperangkat kaidah hukum dalam

bentuk peraturan perundang- undangan, yurisprudensi, doktrin dan

lain-lain sumber hukum yang mengatur masalah perbankan sebagai

lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus

dipenuhi oleh suatu bank, hak, kewajiban, tugas, dan tanggung jawab

para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan oleh bank, dan lain-lain peraturan yang

berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.7

Menurut M.Djumhana :

Hukum perbankan Indonesia adalah sebagai hukum yang mengatur

masalah perbankan yang berlaku di Indonesia pada saat sekarang.

Dengan demikian berarti akan membicarakan aturan-aturan perbankan

yang positif masih berlaku sampai saat sekarang ini, sehingga

peraturan hukum perbankan yang pernah berlaku pada masa lalu,

bukan merupakan hukum positif jika peraturan itu sekarang sudah tak

berlaku lagi. Namun peraturan-paraturan itu masih diperlukan sebagai

bahan yang penting dalam rangka mempelajari sejarah perbankan

Indonesia.8

Selain pengertian hukum perbankan, yang sama pentingnya yaitu

pembahasan mengenai ruang lingkup dalam hukum perbankan itu sendiri. Hal

tersebut merupakan suatu yang harus diketahui dan dipahami sebagai acuan

kerangka berpikir dalam melakukan pembahasan mengenai kajian hukum

perbankan secara lebih lanjut. Adapun yang merupakan ruang lingkup dari

pengaturan hukum perbankan adalah sebagai berikut :

1. Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan

bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga

perbankan, hubungan hak dan kewajiban bank ;

2. Para pelaku bidang perbankan dan mengenai bentuk badan hukum

pengelola, seperti dewan komisaris , direksi, karyawan, maupun pihak

terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT,

Persero, Perusahaan Daerah, Koperasi. Mengenai bentuk kepemilikan

seperti milik pemerintah, swasta, atau bank asing ;

7 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hlm. 14 8 Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm. 1

11

3. Kaidah perbankan yang khusus diperuntukan untuk mengatur

perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti

pencegahan persaingan yang tidak sehat dan perlindungan nasabah ;

4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan

dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari dewan moneter dan

Bank Sentral ;

5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak

dicapai oleh bisnis bank tersebut, seperti peraturan, sanksi,

pengadilan, dan pengawasan.9

2. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan

2.1. Asas Perbankan

Berhubungan dengan pelaksanaan kemitraan antar bank dan

nasabahnya, untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, kegiatan

perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas. Adapun di dalam kegiatan

perbankan sendiri dikenal beberapa asas yaitu :

1. Asas Demokrasi Ekonomi

Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-

undang Perbankan. Pasal tersebut menyatakan, bahwa perbankan

Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi

dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti, usaha perbankan

diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam

demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945.

2. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha

bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan

9 Munir Fuadi, Op.Cit, hlm. 15

12

nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang

disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu

terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan

mempertahankan kepercayaan masyarakat kepadanya. Keamanan

masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank semata-mata dilandasi

oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali

pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan

disertai dengan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpanan

terhadap dana yang disimpannya. Berbagai persoalan dapat

menyebabkan ketidakpercayaan nasabah terhadap suatu bank.

3. Asas Kerahasiaan

Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan

bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan

dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia

perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk

kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan

masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan

mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank

apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan

pengetahuan bank tentang simpananya. Dengan demikian, bank harus

memegang teguh rahasia bank.

4. Asas kehati-hatian

13

Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank

dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan

prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang

dipercayakan kepadanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undang-

undang Perbankan yang diubah bahwa perbankan Indonesia dalam

melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan

menggunakan prinsip kehati-hatian.

2.2. Fungsi Perbankan

Fungsi perbankan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3

Undang-undang Perbankan, yang menyatakan bahwa “Fungsi utama

perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”.

Menurut M. Djumhana, bank berfungsi sebagai :

a. Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat

menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan

efisien. Bank menjadi tempat untuk penitipan dan penyimpanan

uang yang dalam prakteknya sebagai tanda penitipan dan

penyimpanan uang tersebut kepada kepada penitip dan penyimpan

diberikan selembar kertas tanda bukti. Sedangkan dalam fungsinya

sebagai penyalur dana, bank memberikan kredit atau

membelikannya dalam suatu surat-surat berharga.

b. Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan

pembayaran uang. Bank bertindak sebagai penghubung antara

nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan

14

transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak secara langsung

melakukan pembayaran tetapi cukup memerintahkan pada bank

untuk menyelesaikannya.10

2.3. Tujuan Perbankan

Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis. Dalam arti

adanya lembaga perbankan dapat menyeimbangkan stabilitas nasional tidak

hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik dan sosial

karena perbankan sesuai dengan fungsinya merupakan lembaga intermediasi

yang berfungsi mengumpulkan dan menyalurkan dana ke masyarakat. Hal ini

sesuai dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perbankan, yang berbunyi :

“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak”.

3. Jenis-jenis Bank

Berdasarkan sejarah perkembangan perbankan di Indonesia yang

beberapa kali telah mengalami perubahan perundang-undangan, maka jenis

bank dapat dilihat dari aspek fungsinya, kepemilikannya, status dan

kedudukan, serta cara menentukan harga.

a. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya ;

Berdasarkan Undang-undang Perbankan, penggolongan bank di

Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu :

10

M. Djumhana, Op.Cit, hlm. 82-83

15

1) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha

secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang

dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan).

2) Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip

syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 4 Undang-undang

Perbankan).

b. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya ;

Jenis bank dilihat dari aspek kepemilikannya dibedakan menjadi :

1) Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat

didirikan berdasarkan undang-undang.

2) Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan

menjalankan usahanya setelah mendapatkan izin dari pimpinan

Bank Indonesia.

3) Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersamaan

oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di

Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau

badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga

negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang

berkedudukan di luar negeri.

16

4) Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan

Daerah.11

c. Jenis Bank Dilihat dari Status dan Kedudukannya ;

Status dan kedudukan bank diukur dari kemampuannya dalam

melayani masyarakat yang terdiri dari jumlah produk yang ditawarkan,

modal, serta kualitas pelayanannya. Terdiri dari :

1) Bank Devisa, yaitu bank yang dapat melaksanakan transaksi ke

luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing,

misalnya transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, travelers

cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit, dan

transaksi lainnya.

2) Bank Non Devisa, yaitu bank yang belum memiliki ijin untuk

melaksanakan transaksi ke luar negeri seperti yang dilakukan

oleh Bank Devisa. Sehingga transaksi yang dilakukan oleh bank

ini meliputi transaksi dalam negeri.12

d. Jenis Bank Dilihat dari Aspek Cara Menentukan Harga ;

Jenis bank dilihat dari aspek menentukan harga, baik harga beli

maupun harga jual dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Bank Konvensional, yaitu bank yang melaksanakan prinsip

konvensional yang menggunakan dua metode, yaitu :

a) Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk

simpanan seperti giro, tabungan, deposito berjangka, maupun

produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat

bunga tertentu.

11

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Utama

Grafiti, 2003, hlm 56-58 12

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta; Ekonisia, 2002, hlm. 30

17

b) Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau

menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase

tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.

2) Bank Syariah (bank bagi hasil), yaitu bank yang beroperasi

dengan prinsip-prinsip syariah Islam.13

4. Kegiatan Usaha Bank

Jasa perbankan diatur dalam Bab III tentang jenis dan usaha bank

dalam Undang-undang Perbankan. Dalam Pasal 6 Undang-undang Perbankan,

telah dijelaskan usaha-usaha bank umum.

“Usaha Bank Umum meliputi :

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;

b. Memberikan kredit ;

c. Menerbitkan surat pengakuan hutang ;

d. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk

kepentingan dan atas perintah nasabahnya :

1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank

yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan

dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;

2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa

berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan

surat-surat dimaksud ;

3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;

4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;

5. Obligasi ;

6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;

7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai

dengan 1 (satu) tahun ;

e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk

kepentingan nasabah ;

f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan

dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana

13

Ibid, hlm. 30-31.

18

telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana

lainnya ;

g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan

melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga ;

h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;

i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak ;

j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya

dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;

k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian

dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,

dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan

secepatnya ;

1. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan

wali amanat ;

m. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain

berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.”

Pasal 7 Undang-undang Perbankan menyebutkan :

“Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6, Bank Umum dapat pula :

a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi

ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank antara

perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha,

modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring

penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

c. Melakukan kegiatan penyertaan modal untuk sementara untuk

19

mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali

penyertaannya, dengan memnuhi ketentuan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia ; dan

d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun

dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana

pensiun yang berlaku”.

Dalam Pasal 13 Undang-undang Perbankan, dijelaskan usaha-usaha

Bank Perkreditan Rakyat.

Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu ;

b. Memberikan kredit ;

c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan

Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia ;

d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia

(SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan

pada bank lain.

Tujuan utama bank melaksanakan kegiatan penggunaan dana atau

penanaman dana adalah untuk memperoleh penghasilan berupa pendapatan.

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan bahwa “Pendapatan adalah

arus kas masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal

perusahaan selama suatu periode yang mengakibatkan kenaikan ekuitas dan

tidak secara langsung berasal dari kontribusi penanaman modal”.

Pendapatan merupakan salah satu bagian dari penghasilan selain

keuntungan. Pendapatan umumnya timbul dari transakasi dan peristiwa

20

ekonomi seperti penjualan, penghasilan jasa (fee), bunga, deviden, royalti dan

sewa.

Pendapatan yang diperoleh bank akan berpeluang meningkatkan

perolehan laba dan akan mempengaruhi presentase kerja yang dicapai suatu

bank. Jenis pendapatan yang diperoleh bank atas produk dan jasa yang

diberikan kepada masyarakat menurut Kasmir dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu pendapatan bunga (interest income) dan pendapatan non

bunga (fee based income).

Pendapatan bunga (interest income), adalah pendapatan yang

diperoleh dalam bentuk bunga atas pemberian kredit sebagai penyalur dana

kepada masyarakat, baik perorangan atau badan usaha dan juga penempatan

dana kepada bank lain. Sedangkan pendapatan non bunga (fee based income)

adalah pendapatan provisi, fee atau komisi yang diperoleh dari pemasaran

produk maupun transaksi jasa perbankan.

Teguh Pudjo Muljono mengungkapkan tiga jenis pendapatan bank

beserta sifatnya, yaitu sebagai berikut :

Pertama, pendapatan perkreditan sebagaimana halnya pada biaya

dana, besar kecilnya pendapatan perkreditan ini juga selain tergantung

kepada besarnya suku bunga kredit yang berlaku, juga akan

tergantung dengan jangka waktu pemakaian kredit tersebut oleh para

debitur yang bersangkutan.

Kedua, komponen pendapatan lain yang cukup besar yaitu dari hasil

transaksi di bidang valuta asing dalam segala bentuknya. Salah satu

pendapatan dari perdagangan valuta asing yaitu berupa selisih kurs.

Ketiga, jenis pendapatan lainnya ada dalam jasa-jasa perbankan. Jasa

tersebut biasanya tidak berbentuk suatu ikatan untuk suatu jangka

waktu yang panjang. Dimana pelaksanaannya dilakukan transaksi, di

sisi lain tarif-tarif yang dikenakan pada jasa-jasa perbankan biasanya

dilakukan oleh bank.

21

Malayu Hasibuan menyatakan bahwa “Jasa adalah setiap kegiatan

atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya

yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan

sesuatu dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu

produk”.

Jasa-jasa bank adalah salah satu aktifitas pada perbankan nasional

yang bertujuan memberikan kemudahan bagi nasabah dalam melakukan

transaksi keuangannya, dan di sisi lain merupakan sumber penerimaan bagi

perbankan. Sumber penerimaan dari jasa bank dikenal dengan nama

pendapatan provisi dan komisi atau pendapatan non bunga. Biasanya,

pendapatan provisi dan komisi atau pendapatan non bunga ini lebih sering

dikenal dengan nama fee based income.

Fee based income menurut Lapoliwa, adalah pendapatan bank dalam

bentuk komisi. Komisi tersebut berasal dari jasa-jasa yang telah diberikan

kepada para nasabah diantaranya, jasa dalam bentuk transfer dalam negeri,

inkaso dalam negeri, perdagangan dalam negeri, safe deposit box (SDB),

credit card, dana rekening titipan dan dana setoran.

B. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum dan Nasabah

1. Pengertian Perlindungan Hukum dan Nasabah

1.1. Pengertian Perlindungan Hukum

Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan

masyarakat. Dengan demikian, guna tetap mengekalkan kepercayaan

masyarakat terhadap bank, pemerintah harus berusaha melindungi

22

masyarakat dari tindakan lembaga atau oknum bank yang tidak

bertanggungjawab dan merusak sendi kepercayaan masyarakat. Apabila suatu

saat terjadi merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan

tersebut, hal tersebut merupakan bencana bagi ekonomi negara secara

keseluruhan dan keadaan tersebut sangat sulit untuk dipulihkan kembali.14

Menurut Sulistyandari, perlindungan hukum itu berkaitan tentang

bagaimana hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur

hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan

bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang

dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut. 15

Berdasarkan ketentuan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

perlindungan hukum itu merupakan bentuk tentang bagaimana caranya

hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan

kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana

hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya

untuk mempertahankan haknya tersebut.

Mengenai hak dan kewajiban, Nicolai memberikan pengertian sebagai

berikut :

“ Een recht houdt in de (rechtens gegeven) urijheid om een bepalde

feitelijke handeling te verichten of n ate laten, of de (rechtens

gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een

ander. Een plicht implieert een verplichting om een bepaalde

handeling te verichten of na laten”.

14

Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm.337 15

Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan

Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012, hlm. 282

23

(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan

tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan

tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan tertentu).16

Dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa ada dua macam perlindungan

hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk

mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan hukum bagi

rakyat ini minimal ada dua pihak, dimana perlindungan difokuskan pada salah

satu pihak, pemerintah di satu pihak dengan tindakan-tindakannya,

berhadapan dengan rakyat yang dikenai tindakan-tindakan pemerintah

tersebut. Segala sarana, diantaranya peraturan perundang-undangan yang

memfasilitasi pengajuan keberatan-keberatan oleh rakyat sebelum keputusan

pemerintah mendapat bentuk definitif, merupakan perlindungan hukum yang

preventif. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan

merupakan perlindungan hukum yang represif.17

1.2. Pengertian Nasabah

Sebelum mengarah lebih lanjut mengenai hubungan bank dengan

nasabah penyimpan, perlu kita ketahui tentang definisi dari nasabah, nasabah

penyimpan dan simpanan. Menurut Undang-undang Perbankan, disebutkan

bahwa :

16

Ibid, hlm. 283 17

Ibid, hlm. 283-284

24

“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank (Pasal 1 angka

16 Undang-undang Perbankan)”.

“Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di

bank dalam bentuk simpanan berdasarkan simpanan berdasarkan

perjanjian bank dengan nasbah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 17

Undang-undang Perbankan)”.

“Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan

dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-undang Perbankan)”.

“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada

bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro,

Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu (Pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan)”.

2. Hubungan Hukum Bank dengan Nasabah

Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat

terlihat dari hubungan yang muncul kegiatan usaha bank yang utama yaitu

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-

bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak, yang dalam

melaksanakan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat penyimpan dana

dilakukan dengan perjanjian penyimpanan antara bank dengan nasabah

25

penyimpan bentuk simpanan dapat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat

deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan

itu.deposito,giro dan tabungan. Adapun hubungan hukum yang dimaksud

terdiri dari :

a. Hubungan Kontraktual

Dalam hubungan kontraktual ini, hak-hak nasabah penyimpan lahir

dari kontrak atau perjanjian penyimpanan dana yang dibuat oleh bank dengan

nasabah penyimpan sendiri. Selain itu hak-hak nasabah penyimpan juga

diatur dalam atau diberikan oleh KUHPerdata maupun ketentuan hukum

perbankan. Hanya saja perjanjian penyimpanan dana dalam praktik isinya

ditentukan oleh pihak bank, seperti berapa besar dan perhitungan bunga atau

jasa simpanan, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah penyimpan

dan biasanya perjanjian penyimpanan dana merupakan perjanjian standar atau

baku yang biasanya terdapat ketentuan yang lebih menguntungkan pihak

bank.18

Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan yang dilahirkan

atau didasarkan dari perjanjian penyimpanan dana, bank berkedudukan

sebagai pihak debitur, karena bank adalah sebagai pihak yang berkewajiban

mengembalikan simpanan nasabah penyimpan sesuai yang diperjanjikan dan

nasabah penyimpan berkedudukan sebagai pihak kreditur, karena nasabah

18

Ibid, hlm. 300

26

penyimpan adalah sebagai pihak yang berhak atas pengembalian

simpanannya dari bank yang sesuai dengan yang diperjanjikan.19

Dapat disimpulkan hubungan bank dengan nasabah penyimpan

merupakan hubungan antara orang perseorangan yang merupakan lingkup

hukum perdata (hubungan kontraktual). Sehingga, dalam hubungan

kontraktual ini nasabah penyimpan mendapatkan perlindungan hukum dalam

bidang perdata, dimana telah dalam perlindungan hukum perdata pada

prinsipnya warga negara boleh mengatur sendiri menurut pandangan

hubungan satu sama lain (asas otonomi).20

b. Hubungan Non Kontraktual

Antara bank dengan nasabah penyimpan terdapat hubungan non

kontraktual yang sering disebut dengan asas-asas khusus dari hubungan

nasabah dengan bank. Menurut Zulkarnain Sitompul, asas khusus tersebut

antara lain hubungan kepercayaan (fiducia relation), hubungan kerahasiaan

(confidential relation) dan hubungan kehati-hatian (prudential relation).21

Hubungan non kontraktual ini adalah bahwa hubungan nasabah

penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak atau

perjanjian, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum

tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau

hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang

mengaturnya.22

19

Ibid, hlm. 297 20

Ibid, hlm. 301 21

Ibid, hlm. 293 22

Ibid, hlm. 303

27

Asas khusus yang dimaksud dalam hubungan non kontraktual ini

dapat dilihat dalam Undang-undang Perbankan, diantaranya :

1. Hubungan kepercayaan

Hubungan ini tersimpul dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan

Pasal 3 Undang-undang Perbankan. Dari beberapa pasal tersebut dapat

diketahui bahwa bank adalah lembaga perantara/intermediasi

(intermediary institution), dimana bank menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan, disini muncul hubungan hukum

antara bank (debitur) dengan nasabah penyimpan (kreditur), nasabah

penyimpan mempercayakan dana simpanannya kepada bank untuk

dikelola, untuk itu nasabah penyimpan berhak atas pengembalian

simpanan dengan bunga. 23

2. Hubungan kehati-hatian

Hubungan kehati-hatian tersimpul dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11

dan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Perbankan. Beberapa

pasal tersebut dapat dideskripsikan bahwa ketentuan perbankan di

Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan

usaha, artinya dalam melaksanakan kegiatan usaha seperti pemberian

kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus hati-

hati dengan memperhatikan dua hal. Pertama, bank wajib mempunyai

keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

23

Ibid, hlm. 304

28

utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan

yang diperjanjikan. Kedua, bank wajib memperhatikan mengenai

ketentuan batas maksimum dalam pemberian kredit atau kegiatan

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang disebutkan

dalam Pasal 11 Undang-undang Perbankan dan peraturan

pelaksanaannya. 24

3. Hubungan kerahasiaan

Hubungan kerahasiaan diatur dalam Pasal 40 dan diatur lebih

lanjut dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal

44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 47A dan Pasal 51 Undang-undang

Perbankan. Pasal 40 Undang-undang Perbankan dapat diketahui adanya

hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan yaitu bank

wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya, apa yang menjadikan kewajiban bagi bank tersebut

merupakan hak bagi nasabah penyimpan untuk dirahasiakan simpanan

dan identitasnya, dan jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban

tersebut pihak bank apakah itu dewan komisaris, direksi, pegawai bank

atau pihak terafiliasi mendapatkan sanksi pidana atau denda

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang

Perbankan. 25

4. Hubungan menjamin dana simpanan

24

Ibid, hlm. 308 25

Ibid, hlm. 315

29

Hubungan ini diatur dalam Pasal 37B Undang-undang Perbankan.

Ketentuan pasal tersebut dapat diketahui adanya hubungan hukum

antara bank dengan nasabah penyimpan yaitu bank mempunyai

kewajiban untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan melalui

Lembaga Penjamin Simpanan dan apa yang menjadi kewajiban bank

adalah hak bagi nasabah penyimpan untuk dijamin simpanannya. Oleh

karenanya Pasal 37B merupakan salah satu ketentuan dari Undang-

undang Perbankan yang bertujuan untuk memberi perlindungan hukum

terhadap nasabah penyimpan. 26

5. Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah

Hubungan hukum ini diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-

undang Perbankan tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan

Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Ketentuan pasal tersebut dapat

diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah

penyimpan, dimana bank mempunyai kewajiban untuk menyediakan

informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian

sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank dan

nasabah penyimpan mempunyai hak untuk memperoleh informasi

tersebut. 27

6. Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah

Hubungan ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia No.

7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pada saat

26

Ibid, hlm. 317 27

Ibid, hlm. 325

30

terjadi pelanggaran kewajiban bank dalam hubungan non kontraktual,

dimana dalam hubungan ini hak-hak nasabah muncul dari Undang-

undang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya dan nasabah

penyimpan merasa dirugikan atas pelanggaran kewajiban bank tersebut,

maka nasabah penyimpan dapat menuntut bank atas dasar perbuatan

melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang

mengatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian. 28

C. Tinjauan Tentang Perikatan

1. Pengertian Perikatan

Perjanjian menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang

dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua

orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang

diucapkan atau ditulis.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perikatan adalah terjemahan dari

istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang

mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat

itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli,

hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat

berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.

28

Ibid, hlm. 328-329

31

Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum 29

, dari uraian ini

dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan

hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa

perbuatan, kejadian dan keadaan. Objek hubungan hukum itu adalah harta

kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu

disebut kreditur dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur.

Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum

mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.30

2. Jenis-jenis Perikatan

Setelah dijelaskan mengenai pengertian perikatan berdasarkan

pengaturan dalam KUHPerdata atau di luar KUHPerdata, Subekti membagi

jenis-jenis perikatan yang merupakan sumber dari perikatan yang dilihat dari

bentuknya yaitu :

1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada

suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau

tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa

perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu

timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya

suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau

mempertanggung jawabkan (ospchortende voorwade). Suatu

contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau

saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu

akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu

(tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu

ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau

peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan

yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun

mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya

meninggalnya seseorang.

29

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

1993, hlm. 198 30

Ibid, hlm. 199

32

3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu

perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi,

sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan

lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan

kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

4. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair) ini

adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama

sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang

menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama

berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan

semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam

praktek.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah

suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada

kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakikatnya

tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang

membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya

dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu

pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.

Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang

menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian

ahli warisnya.

6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk

mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja

melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila

ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan

dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan

suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan

sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim

mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila

perjanjian telah sebahagian dipenuhi. 31

3. Wanprestasi dan Akibatnya

Setiap perjanjian sebagaimana telah dikemukakan dimuka, selalu

memuat suatu hal tertentu. Dalam hal ini, suatu hal tertentu tersebut adalah

prestasi. Sehingga sebelum mengutarakan pengertian wanprestasi, perlu

dikemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan prestasi.

31

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 35

33

Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur di dalam

setiap perikatan, baik perikatan yang bersumber pada perjanjian, undang-

undang maupun yang lainnya. Prestasi dapat berupa memberikan sesuatu,

berbuat suatu ataupun tidak berbuat sesuatu. Hal ini sebagaimana ketentuan

Pasal 1234 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah

untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat

sesuatu”. Berbuat sesuatu yang dimaksud adalah melakukan sesuatu perbuatan

seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian, misalnya prestasi untuk

membuat sebuah patung, dan sebagainya. Adapun pengertian prestasi tidak

berbuat sesuatu, adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan yang telah

diperjanjikan, misalkan tidak melakukan pemasangan iklan seperti yang telah

diperjanjikan.

Wanprestasi terjadi, disebabkan oleh kesalahan debitur sendiri.

Wanprestasi itu sendiri berarti prestasi buruk. Menurut Subekti, wanprestasi

dapat berupa hal-hal seperti berikut :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan melakukan ;

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi tidak

sebagaimana yang diperjanjikan ;

c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat ;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.32

32

R.Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua belas, Intermesa, Jakarta, 1990 hlm. 46

34

Persoalannya adalah, sejak kapan saat seorang debitur dapat dikatakan

wanprestasi. Dalam hal ini perlu diperhatikan, apakah dalam perjanjian itu

ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.

Perjanjian yang tidak ditentukan tenggang waktu pemenuhan

prestasinya, maka debitur perlu diperingatkan secara tertulis yang berisi suatu

perintah bahwa debitur segera atau pada waktu tertentu harus memenuhi

kewajibannya. Jika tidak dipenuhi, ia telah dinyatakan wanprestasi atau lalai,

namun apabila dalam perjanjian tersebut telah ditentukan tenggang waktu

pemenuhan prestasinya, maka debitur sudah dianggap wanprestasi dengan

lewatnya waktu yang ditentukan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1238

KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Si berutang adalah lalai, apabila ia

dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau

demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, lewatnya waktu yang

ditentukan.”

Akibat hukum yang diterima oleh debitur yang wanprestasi adalah

sanksi atau hukuman. Menurut Abdulkadir Muhamad, tentang akibat hukum

wanprestasi adalah ;

“Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi,

adalah hukuman atau sanksi berikut ini :

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita

oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). Ketentuan ini berlaku

untuk semua perikatan.

b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak

memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau

memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).

c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi

(Pasal 1237 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi

perikatan untuk memberikan sesuatu.

35

d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim

(Pasal 181 ayat 1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan

wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku

bagi untuk semua perikatan.

e. Memenuhi perjanjian, jika masih dapat dilakukan, atau

pembatalan perjanjian disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal

1267 KUHPerdata)”.33

4. Overmacht dan Risiko

Istilah overmacht secara umum diartikan sebagai keadaan memaksa.

Menurut Abdulkadir Muhammad :

”Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhi prestasi oleh debitur

karena terjadi peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat

diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat

perikatan”.34

Selanjutnya, Abdulkadir Muhammad mengemukakan pendapat

bahwa unsur-unsur yang dapat dipenuhi prestasi dalam keadaan memaksa itu

ialah :

a. Tidak penuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang membinasakan

atau memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan, ini selalu

bersifat tetap.

b. Tidak dipenuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang menghalangi

perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau

sementara.

c. Peristiwa itu tidak bisa diketahui atau diduga akan terjadi, pada

waktu membuat perikatan baik, oleh debitur maupun oleh kreditur,

jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur”.35

Terjadinya overmacht, debitur tidak disalahkan, karena keadaan

tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur. Misalnya barang

yang menjadi obyek perjanjian musnah atau hancur karena banjir. Sehubungan

33

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. hlm. 24 34

Ibid, hlm. 27 35

Ibid, hlm. 28

36

dengan itu pengertian overmacht dibedakan menjadi dua, yakni overmacht

yang bersifat tetap dan overmacht yang bersifat sementara.

Overmacht yang bersifat tetap, adalah apabila debitur tidak dapat lagi

memenuhi, atau kalaupun masih mungkin untuk memenuhinya tidak

mempunyai arti lagi bagi debitur, misalnya barang yang menjadi obyek

perjanjian musnah, karena bencana alam. Akibat hukum dari overmacht

bersifat tetap, adalah hapusnya perjanjian.

Adapun yang dimaksud dengan overmacht bersifat sementara, adalah

apabila overmacht itu hanya mengakibatkan tertundanya pelaksanaan

pemenuhan prestasi untuk sementara waktu. Apabila overmacht tersebut

berakhir, maka kreditur masih berhak menuntut pemenuhan prestasi.

Adanya dua macam overmacht tersebut, muncul dua macam teori :

a. Teori obyektif

Dasar teori ini adalah ketidakmungkinan. Teori ini

mengatakan, bahwa seorang debitur dapat mengemukakan dalam

keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasinya tidak mungkin

dapat dilaksanakan bagi setiap orang. Misalnya, sebuah hotel

terbakar di luar kesalahan pemiliknya, maka pihak hotel tidak

dapat melaksanakan kewajibannya menyediakan kamar.

b. Teori subyektif

Teori ini mengatakan, bahwa terdapat keadaan memaksa

jika debitur yang bersangkutan mengingat keadaan atau

kemampuan pribadinya, tidak dapat memenuhi prestasinya.

37

Menurut teori ini debitur masih mungkin memenuhi prestasinya,

meskipun mengalami kesulitan-kesulitan.

Pengaturan overmacht di dalam KUHPerdata terdapat pada Pasal 1244

dan Pasal 1245. Pasal 1244 KUHPerdata mengatakan bahwa debitur

diharuskan membayar ganti kerugian, apabila debitur tidak dapat membuktikan

bahwa tidak tepatnya dalam melaksanakan perjanjian itu, karena sesuatu hal

yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,

kecuali jika ada itikad buruk pada debitur, sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata

pada pokoknya menentukan bahwa tidak ada ganti kerugian yang harus

dibayar, apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak

disengaja, debitur berhalangan memberi atau berniat sesuatu yang diwajibkan,

atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Selanjutnya persoalan yang timbul dengan adanya overmacht ini,

adalah siapa yang harus memikul risiko. Pengertian risiko itu sendiri menurut

Subekti : “Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena

kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.36

Mengenai risiko ini, undang-undang membedakannya menjadi dua,

yaitu risiko pada perjanjian sepihak dan risiko pada perjanjian timbal balik.

Pada perjanjian sepihak, persoalan risiko hanya diatur dalam Pasal 1237

KUHPerdata, yang menentukan bahwa “Dalam hal adanya perikatan untuk

memberikan suatu kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan atas

tanggungan si berpiutang”.

36

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 98

38

Atas ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata tersebut, Subekti

menjelaskan bahwa :

“Perikatan tanggungan dalam hal ini sama dengan “risiko”. Dengan

begitu, dalam perikatan untuk berikan suatu barang tertentu tadi, jika

barang ini belum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar

kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si

berutang”, yaitu yang berhak menerima barang itu.”37

Perjanjian timbal balik persoalan mengenai risiko diatur oleh Pasal

1460 dan Pasal 1545 KUHPerdata. Pasal 1460 KUHPerdata menentukan :

”Jika kebendaan yang dijual itu suatu barang yang sudah ditentukan, maka

barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli meskipun

penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya”.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketentuan pasal tersebut adalah

bahwa perjanjian jual beli suatu barang tertentu, risiko ditanggung oleh

pembeli yang dalam penyerahan barang tersebut berkedudukan sebagai

kreditur, karena ia berhak menuntut penyerahan barangnya.

D. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Ketentuan tentang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata.

Sebelum mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengertian perjanjian,

perlu dikemukakan bahwa Buku III KUHPerdata tersebut berjudul “Tentang

Perikatan”. Artinya, perjanjian memiliki hubungan yang erat dengan perikatan,

dalam hal ini perjanjian itu merupakan salah satu sumber dari perikatan.

37

Ibid

39

Definisi tentang perjanjian diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata,

yakni “Pejanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut

dianggap mengandung kelemahan, sehingga oleh para sarjana turut serta

memberikan rumusan tersendiri mengenai pengertian perjanjian.

Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat : “Perjanjian adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan akibat hukum”.38

Sedangkan Subekti, mengemukakan bahwa “Suatu perjanjian adalah

suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.39

2. Asas-asas Hukum Perjanjian

Dalam perjanjian dijumpai beberapa asas hukum, baik berhubungan

dengan lahirnya perjanjian, isi perjanjian, akibat perjanjian maupun yang

berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian.

a. Asas Konsensualisme.

Asas konsensualisme berhubungan dengan kapan saat lahirnya

perjanjian. Istilah Konsensualisme itu sendiri berasal dari kata

“Konsensus” yang berarti kesepakatan. Maksud dari kesepakatan adalah

bahwa antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tercapai suatu

persesuaian kehendak. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus

pula dikehendaki oleh pihak lain.

38

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum :Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty,

Yogyakarta, 1988, hlm. 97 39

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesebelas, Intermesa, Jakarta, 1990, hlm. 1

40

Menurut asas konsensualisme , perjanjian telah lahir sejak saat

tercapainya kata sepakat diantara para pihak mengenai pokok-pokok

perjanjian. Subekti, dalam hal ini mengemukakan :

“Asas konsensualisme mempunyai arti yang penting, yaitu bahwa untuk

melahirkan perjanjian adalah cukup dengan tercapainya sepakat

mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjia itu

(dan perikatan yang ditimbulkannya) sudah dilahirkan pada saat atau

detik tercapainya konsensus”.40

b. Asas Kebebasan Berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang di

buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Para pihak diberi kebebasan untuk membuat aturan-

aturan sendiri mengenai perjanjian yang mereka adakan, namun, apabila

mereka tidak menentukan sendiri, maka terhadap aturan-aturan

mengenai perjanjian tersebut mereka tunduk pada ketentuan

KUHPerdata.

c. Asas Pacta Sunt Servanda.

Asas pacta sunt servanda dikenal sebagai asas kekuatan

mengikatnya perjanjian. Asas ini berhubungan akibat suatu perjanjian.

Perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat

40

Ibid, hlm. 5

41

sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut akan mengikat para

pihak yang membuatnya sebagai undang-undang. Hal ini berarti para

pihak yang mengadakan tidak dapat melepaskan diri secara sepihak

terhadap perjanjian yang bersangkutan tanpa kesepakatan yang secara

sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa kesepakatan pihak

lainnya, maka dapat dinyatakan wanprestasi.

d. Asas Itikad Baik.

Asas itikad baik berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, semua

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Maksud perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik adalah

bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma

kepatutan dan kesusilaan. Dalam hal ini undang-undang tidak

memberikan pengertian tentang apa yang di maksud dengan kepatutan

dan kesusilaan. Abdulkadir Muhammad, mengemukakan :

“jika dilihat dari katanya, kepatuhan artinya kepantasan, kelayakan,

kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan,

keadaban. Dari kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan

kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, cocok, sopan

dan beradab, sebagaimana bersama-sama dikehendaki oleh masing-

masing pihak yang berjanji.”41

3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai

syarat-syarat sahnya perjanjian yang isinya sebagai berikut :

1. Kesepakatan.

41

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm. 93

42

2. Kecakapan.

3. Objek tertentu.

4. Kausa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh

subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif.

Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek

perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif.

Menurut pendapat Subekti :

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan

syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak

terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya : Dari semula

tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan

demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu

null and void.

Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi,

perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak

mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.

Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak

cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara

tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga,

selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang

berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib suatu

perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan

suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan

voidable (bahasa Inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda). 42

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus

diberikan secara bebas, dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang

membuat perizinan tidak bebas, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.

42

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 20

43

Paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa

(psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu

pihak, karena diancam dan ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu

perjanjian.

Kekhilafan terjadi apabila salah satu puhak khilaf tentang hal-hal

yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang

penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai

orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Misalnya, sesorang

membeli sebuiah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah,

tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja.

Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan

tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan

perizinannnya. Misalnya, mobil yang yang ditawarkan diganti dulu

mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya.43

Adapun penjelasan dari masing-masing syarat sahnya perjanjian

adalah sebagai berikut :

1. Kesepakatan

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya

memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan

pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling

mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak

tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah

persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki

oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua

kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal

balik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya

”sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara apapun sepertinya

43

Ibid, hlm. 23-24

44

tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat

disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah

sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia

sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.44

J.Satrio menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian

kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan

kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus

merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan

hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan

suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus

nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.45

Adapun suatu sepakat dapat dikatakan cacat, jika pihak yang

memberikan perizinan atau menyetujui perjanjian itu dilakukan secara

tidak bebas. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, sepakat yang

didasarkan pada kehendak yang tidak bebas, maka sepakatnya tidak

sah dan menurut Pasal 1449 KUHPerdata, tetap lahir perjanjian, akan

tetapi atas dasar tuntutan dari pihak yang merasa memberikan

sepakatnya secara tidak bebas, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Hal ini dikarenakan adanya unsur kesesatan/kekhilafan, paksaan dan

penipuan.46

44

R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4 45 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993, hlm. 129 46

Nur Wakhid, Diktat ; Syarat Sahnya Perjanjian, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto,

2009, hlm. 26

45

Kesimpulannya, bahwa di dalam kata sepakat terkandung

petunjuk bahwa setidak-tidaknya ada dua pihak yang saling

memberikan persetujuan. Dikatakan saling memberi persetujuan jika

mereka memang menghendaki apa yang disepakatinya secara timbal

balik. Untuk adanya perjanjian diperlukan adanya sepakat, sebaliknya

jika tidak ada kata sepakat, maka tidak lahir perjanjian, sedangkan

untuk sahnya perjanjian, disamping diperlukan adanya sepakat, maka

sepakatnya sendiri haruslah merupakan sepakat yang sah.

2. Kecakapan

Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap

orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan

oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai

orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Berdasarkan

KUHPerdata pada umumnya seseorang dikatakan cakap untuk

melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, yaitu telah

mencapai umur 21 tahun.

Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang

yang tidak cakap membuat perjanjian :

1. Orang yang belum dewasa

2. Mereka yang berada di bawah pengampuan

3. Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh

undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-

46

undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan

tertentu.

Orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata

yaitu orang yang belum berumur 21 tahun, tetapi meskipun belum

berumur 21 tahun, apabila seseorang telah atau pernah menikah

dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

Ukuran belum dewasa untuk sekarang ini juga telah dijelaskan

dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan

menganut asas yang berbeda dengan KUHPerdata mengenai kriteria

dewasa.

Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Perkawinan mengatakan

bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum

pernah menikah ada di bawah kekuasaan orang tuanya.

Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan

bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam maupun diluar pengadilan.

Pasal 50 Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa

anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua berada di bawah perwalian. 47

Kesimpulannya, bahwa anak yang belum dewasa berada di

bawah kekuasaan orang tuanya atau walinya sampai yang

bersangkutan berumur 18 tahun.

Orang yang berada di bawah pengampuan yaitu orang yang

terganggu jiwanya, lemah akalnya dan pemboros berada di bawah

47

Tim Pengajar Hukum Perdata, Buku Ajar ; Hukum Perdata, Fakultas Hukum Unsoed,

Purwokerto, 2005, hlm. 26

47

pengampuan (atau paling tidak suatu ketika akan berada di bawah

pengampuan).48

Menurut KUHPerdata, seorang perempuan yang bersuami,

untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin

(kuasa tertulis) dari suaminya (Pasal 108 KUHPerdata). Untuk

perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukkan dalam

pengertian keperluan rumah tangga, dianggap si istri dimasukkan

dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian.49

Berkaitan dengan ketidakcakapan istri, dengan berlakunya

Undang-undang Perkawinan, maka istri adalah cakap bertindak. Hal

itu dapat disimpulkan dalam Pasal 31 ayat (2), 35 ayat (2) dan 36 ayat

(2).

Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan

bahwa masing-masing pihak (suami maupun istri) berhak untuk

melakukan perbuatan hukum.

Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan

bahwa harta bawaan adalah tetap di bawah penguasaan masing-

masing.

Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan

bahwa terhadap harta bawaan masing-masing suami dan istri

mempunyai hak untuk sepenuhnya melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya.50

Dengan demikian orang dikatakan cakap adalah apabila ia telah

berumur 18 tahun atau sudah menikah sebelum usia tersebut, sehingga

dapat dikatakan bahwa perjanjiannya akan sah apabila dilakukan oleh

mereka yang sudah dewasa dan tidak dibawah pengampuan.

48

J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 282 49

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 18 50

Tim Pengajar Hukum Perdata, Op.Cit, hlm. 30

48

3. Objek tertentu

Yang dimaksud dengan objek tertentu dalam suatu perjanjian

ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi

pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa

perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu.

Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa

suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok

perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari

ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

Kesimpulannya, perjanjian akan sah jika sudah memenuhi

syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan.

Ketentuan tersebut harus ditafsirkan, bahwa objek perjanjian harus

tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus secara individual

tertentu.51

4. Kausa yang halal

Yang dimaksud dengan kausa disini bukanlah sebab yang

mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa

suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para

pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti,

adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

51

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 293

49

Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab

atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-

undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Perjanjian yang mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat

perjanjian itu batal demi hukum.

Kesimpulannya, perjanjian akan sah jika isinya harus halal

(tidak terlarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan dilaksanakan.

Mereka mengadakan perjanjian dengan maksud untuk melaksanakan

isi perjanjian tersebut dan berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1337

KUHPerdata bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 52

4. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata,

peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHPerdata ini sering disebut juga

dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa

para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-

peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak

untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam

bentuk perjanjian itu :

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang

diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini,

misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, dan lain-lain.

2. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak

diatur dalam KUHPerdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang

menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang

52

Ibid, hlm. 305

50

ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-undang bagi

masing-masing pihak.53

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan

menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut 54

:

1. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan

kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual

beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya : hibah. Perjanjian

atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak

yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara

kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoemd).

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama

sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut

diatur dan diberi nama oleh pembentuk Undang-undang,

berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian

khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata. Di luar

perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-

perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat

di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya

perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan

mengadakan perjanjian yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian.

Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa

beli.

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan

perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain

(perjanjian yang menimbulkan perikatan).

5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil.

Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil adalah perjanjian dimana

diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak

untuk mengadakan perikatan-perikatan.

6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

53 R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,

1978, hlm. 10 54 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001, hlm. 90-93

51

a. perjanjian liberatoir : yaitu perjanjian dimana para pihak

membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya

pembebasan hutang (kwijtschelding) dalam Pasal 1438

KUHPerdata.

b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian

dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang

berlaku di antara mereka.

c. perjanjian untung-untungan : misalnya prjanjian asuransi, Pasal

1774 KUHPerdata.

d. Perjanjian publik : yaitu perjanjian yang sebagian atau

seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak

bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian

ikatan dinas.

7. Perjanjian campuran.

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai

unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar

(sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual beli) dan juga

memberikan pelayanan.

8. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama.

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai

nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian tersebut diatur dan

diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe

yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama

terdapat dalam Bab V s.d. XVIII Buku Ketiga Kitab Undang-

undang Hukum Perdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh

perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi banyak terjadi dalam

masyarakat. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas

kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam Hukum

Perjanjian. Misalnya : perjanjian sewa beli.

5. Berakhirnya Perjanjian

Pada umumnya suatu perjanjian akan berakhir apabila tujuan

perjanjian itu telah tercapai, yaitu masing-masing pihak telah memenuhi

prestasi sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian,

namun perlu dikemukakan, bahwa hapusnya perjanjian adalah berbeda dengan

hapusnya perikatan. Sebab dapat terjadi suatu perikatan hapus, sedangkan

perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal ini dapat terjadi,

karena di dalam suatu perjanjian sering kali terdiri dari beberapa perikatan.

52

Sebagai contohnya, adalah dalam perjanjian jual beli. Dengan dibayarnya

harga barang, maka perikatan mengenai pembayarannya menjadi hapus,

sedangkan perikatan mengenai penyerahannya masih tetap ada. Suatu

perjanjian akan hapus apabila semua perikatan dalam perjanjian dapat

menyebabkan hapusnya semua perikatan, yakni apabila suatu perjanjian

berlaku surut, misalnya karena wanprestasi.

Disamping itu, suatu perjanjian juga dapat hapus atau berakhir dengan

cara-cara berikut :

a. Apabila telah ditentukan sendiri oleh para pihak dalam perjanjian

yang bersangkutan dengan penetapan waktu tertentu ;

b. Apabila telah ditentukan oleh undang-undang tentang batas waktu

berlakunya suatu perjanjian, misalnya perjanjian jual beli dengan

hak membeli kembali tidak boleh lebih dari lima tahun ;

c. Ditentukan oleh para pihak atau undang-undang, bahwa apabila

terjadi suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir,

misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia ;

d. Dengan pernyataan penghentian oleh salah satu pihak atau kedua

belah pihak dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran

menurut kebiasaan-kebiasaan setempat, misalnya perjanjian sewa-

menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian ;

e. Putusan hakim karena ada salah satu pihak mengajukan tuntutan

untuk mengakhiri perjanjian ;

53

f. Selama masih berlangsungnya suatu perjanjian para pihak

mengadakan kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian yang mereka

buat.

E. Tinjauan Tentang Perjanjian Sewa-menyewa

1. Pengertian Perjanjian Sewa-menyewa

Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian khusus

yang ketentuan-ketentuannya terdapat dalam bab ketujuh Buku III

KUHPerdata. Sistematika Buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu

ketentuan umum (Bab I tentang perikatan-perikatan umumnya, Bab II tentang

perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dan Bab IV

tentang hapusnya perikatan-perikatan) dan ketentuan khusus yang memuat

peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang telah ditentukan oleh

KUHPerdata (Bab V-XVIII ditambah Bab VII A Pasal 1457-1864

KUHPerdata). Dalam hal ini perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu

bagian yang diatur dalam ketentuan khusus disamping perjanjian yang

lainnya, seperti misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar,

perjanjian penitipan barang, dan lain sebagainya.

Menurut Pasal 1548 KUHPerdata disebutkan bahwa “Sewa-menyewa

ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang,

selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak

tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”.

54

Meskipun KUHPerdata telah memberikan definisi tentang perjanjian

sewa-menyewa, namun demikian beberapa sarjana masih memandang perlu

untuk memberikan definisi sendiri.

M. Isa Arif, memberikan definisi :

“Bahwa perjanjian sewa-menyewa adalah suatu persetujuan di mana

pihak yang satu berkewajiban untuk memberikan kenikmatan suatu

benda kepada pihak yang lain dengan harga yang oleh pihak yang lain

disetujui untuk dibayar.”55

Subekti, memberikan definisi:

“Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu

menyanggupi untuk menyerahkan suatu barang untuk dipakai selama

suatu jangka waktu tertentu, sedang pihak lain menyanggupi untuk

membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada

waktu yang telah ditentukan.”56

Dengan terdapatnya beberapa definisi mengenai perjanjian sewa-

menyewa tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam sewa-menyewa terdapat

unsur-unsur sebagai berikut :

a. Menyerahkan suatu barang untuk dinikmati.

Barang yang diserahkan sebagai obyek dalam perjanjian sewa-

menyewa adalah bukan untuk dimiliki melainkan hanya dikuasai, dipakai

atau dinikmati, sehingga dalam sewa-menyewa hak milik tidak beralih.

Dengan perkataan lain penyerahan barang dalam sewa-menyewa hanya

bersifat penyerahan kekuasaan belaka, bukan penyerahan hak milik, seperti

halnya dalam perjanjian jual beli.

Oleh karena dalam sewa-menyewa tidak terjadi penyerahan hak

millik, maka pihak yang menyewakan tidak harus sebagai pemilik barang

55

M. Isa Arif, Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 43 56

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 84

55

yang menjadi obyek sewa-menyewa. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan

oleh Subekti :

“Karena kewajiban yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk

dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia

tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian, maka seorang

yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah menyewakan barang yang

dikuasainya dengan hak tersebut.”57

Barang dijadikan obyek sewa-menyewa dalam hal ini. Ketentuan

umum sewa-menyewa mengatakan bahwa semua jenis barang baik yang

bergerak maupun tak bergerak, dapat disewakan. Ketentuan umum tentang

sewa-menyewa ini termuat dalam bagian kesatu Bab VII Buku III

KUHPerdata. Adapun ketentuan khusus mengatur tentang perjanjian sewa-

menyewa juga diterapkan ketentuan-ketentuan umum Buku III KUHPerdata

sepanjang di dalam ketentuan khusus menyimpang. Ketentuan-ketentuan

khusus yang mengatur perjanjian sewa-menyewa terdapat pada Bab VII Buku

III KUHPerdata. Menurut sistematikanya, Bab VII Buku III KUHPerdata

dibagi menjadi empat bagian, yaitu :

Bagian I : Tentang ketentuan-ketentuan umum.

Bagian II : Tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap

penyewaan tanah.

Bagian III : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan

perabot rumah.

57

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 40

56

Bagian IV : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa tanah.

Sehubungan dengan barang yang dapat menjadi obyek sewa-menyewa

ini, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapat :

“Oleh karena maksud dari sewa-menyewa adalah untuk dikemudian hari

mengembalikan barang kepada pihak yang menyewakan, maka tidak

mungkin ada persewaan barang yang pemakaiannya berakibat musnahnya

barang itu, misalnya barang-barang makanan.”58

b. Selama waktu tertentu.

Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan perkataan “waktu tertentu”,

bukanlah berarti bahwa untuk berlangsungnya sewa-menyewa harus

ditentukan lebih dahulu suatu jangka waktu yang telah tertentu. Namun,

masing-masing pihak harus dapat menghentikan atau mengakhiri sewa-

menyewa tersebut, dengan memperhatikan tenggang waktu tertentu menurut

adat dan kebiasaan setempat. Dalam pelaksanaannya pun sering terjadi bahwa

sewa-menyewa diadakan untuk jangka waktu yang tidak tertentu.

c. Pembayaran suatu harga.

Pembayaran suatu harga sewa merupakan salah satu unsur yang harus

ada dalam sewa-menyewa. Dalam hal ini pembayaran harga sewa merupakan

hak yang akan diterima oleh yang menyewakan.

Pusat yang menjadi perhatian adalah wujud pembayaran harga sewa.

Dalam hal ini apakah harus berwujud uang ? Ternyata KUHPerdata sendiri

tidak memberikan ketentuan. Dalam kenyataan sehari-hari pembayaran

58 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Cetakan Kedelapan, Sumur, Bandung, 1985, hlm. 43

57

dengan sejumlah uang adalah pembayaran harga sewa yang paling umum.

Dalam hal ini, karena uang disamping alat pembayaran yang sah, juga paling

mudah dan praktis.

Berhubungan dengan hal ini, Subekti berpendapat :

“Kalau jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang

perjanjiannya bukan jual beli lagi tetapi tukar-menukar, tetapi dalam sewa-

menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang

atau jasa.”59

Dengan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian, maka

pembayaran harga sewa dengan bentuk barang atau jasa tersebut tidak akan

merubah sifat dari perjanjian sewa-menyewa itu sendiri.

2. Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa-menyewa

Perjanjian sewa-menyewa terdapat dua subyek, yaitu yang menyewakan

dan penyewa. Kedua subyek dalam sewa-menyewa tersebut masing-masing

memiliki hak dan kewajiban. Apa yang menjadi hak yang menyewakan

merupakan kewajiban bagi penyewa, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban

yang menyewakan merupakan hak penyewa, dengan perkataan lain pihak yang

menyewakan dan pihak penyewa dalam beberapa hal dapat kedudukan sebagai

kreditur dan dalam hal berkedudukan sebagai debitur.

Subyek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Subyek

perjanjian sewa-menyewa tersebut berupa orang, maka disyaratkan orang yang

dimaksud harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan oleh peraturan hukum tidak

59

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 41

58

dibatasi atau dilarang dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah, misalnya

tidak dilarang oleh peraturan kepailitan.

Adapun yang dimaksud dengan sudah dewasa, adalah apabila sudah

mencapai usia 21 tahun atau sudah kawin, meskipun belum mencapai usia 21

tahun. Pada umumnya seseorang dikatakan dapat melakukan perbuatan hukum

apabila telah mencapai kedewasaan disamping memenuhi aturan yang telah

ditentukan di atas, sedangkan ukuran dewasa sekarang ini menurut Pasal 47 ayat

(1) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa anak yang belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah ada di bawah kekuasaan

orang tuanya, yang artinya anak tersebut belum dapat melakukan perbuatan

hukum.

Apabila orang-orang belum dewasa berkehendak mengadakan perjanjian

sewa-menyewa, maka yang harus bertindak adalah orang tua atau walinya,

sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya, maka yang harus bertindak

adalah pengawasnya. Untuk orang yang di bawah pengampuan yang mewakili

adalah pengampunya dan untuk orang yang berada dalam keadaan pailit yang

bertindak adalah Balai Harta Peninggalan (BHP).

Pembahasan berikutnya adalah mengenai obyek perjanjian sewa-

menyewa yang dalam hal ini obyek perjanjian sewa-menyewa adalah suatu

barang yang disewa dan harga sewa.

Sehubungan dengan barang yang dapat dijadikan obyek dalam perjanjian

sewa-menyewa ini, Bab VII Buku III KUHPerdata di dalam ketentuan umumnya

hanya menyebutkan bahwa semua jenis barang baik yang bergerak maupun tak

bergerak dapat disewakan. Ketentuan mengenai barang yang disewa tersebut

59

masih sangat umum dan luas, oleh karena itu beberapa sarjana memberikan

pendapatnya.

3. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak Perjanjian Sewa-menyewa

3.1. Hak yang menyewakan

Sebagaimana diketahui perjanjian sewa-menyewa merupakan

perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak harus berprestasi,

sehingga dalam banyak hal apa yang merupakan hak penyewa menjadi

kewajiban yang menyewakan dan sebaliknya kewajiban penyewa

merupakan hak bagi yang menyewakan.

Hak-hak pihak yang menyewakan tersebut diantaranya :

a. Menerima pembayaran harga sewa pada waktu yang telah

ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan ;

b. Perlakuan yang baik atas barang yang disewakannya ;

c. Menerima kembali barang yang disewakan setelah jangka waktu

sewa berakhir ;

d. Menurut pembatalan perjanjian sewa-menyewa dengan disertai

penggantian kerugian, atau melepaskan sewanya kepada orang lain.

3.2. Kewajiban yang menyewakan

Kewajiban-kewajiban pihak yang menyewakan harus dilaksanakan

sebagaimana telah ditentukan oleh KUHPerdata, diantaranya :

a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.

b. Memelihara barang yang disewakan dengan seksama, sehingga

barang tersebut dapat dipakai oleh penyewa sebagaimana

dimaksudkan dalam perjanjian.

60

c. Memberikan kepada penyewa kenikmatan yang tenteram atas barang

yang disewakan, selama berlangsungnya sewa-menyewa.

d. Melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan

yang perlu untuk dilakukan, kecuali pembetulan-pembetulan kecil

yang menjadi kewajiban penyewa.

e. Menanggung segala cacat dari barang yang disewakan yang

merintangi pemakaian barang tersebut, sekalipun pihak yang

menyewakan tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian sewa-

menyewa tersebut dibuat.

f. Mengenai kerugian apabila cacat-cacat di atas mengakibatkan bagi

penyewa.

Perlu ditambahkan bahwa kewajiban pihak yang menyewakan

untuk memberikan kenikmatan yang tenteram di atas adalah

dimaksudkan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan

hukum dari pihak ketiga atas barang yang disewakan, namun kewajiban

untuk memberikan kenikmatan yang tenteram atas barang yang

disewakan ini tidak termasuk pengamanan-pengamanan dalam arti

gangguan-gangguan fisik, dalam hal gangguan-gangguan fisik yang

dialami penyewa di dalam penggunaan barang yang disewakannya

menjadi tanggungan penyewa.

3.3. Hak penyewa

Dalam perjanjian sewa-menyewa pihak penyewa mempunyai hak-hak

sebagai berikut :

61

a. Menerima barang yang disewakan pada waktu dan dalam keadaan

seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan.

b. Memperoleh kenikmatan yang tenteram atas barang yang disewakan

selama sewa-menyewa tersebut berlangsung.

c. Menuntut kepada pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi

dalam hal penyewa mendapat gangguan-gangguan dari pihak ketiga atas

dasar hak yang dikemukakan pihak ketiga tersebut. Dalam hal ini, maka

tuntutan tersebut sepadan dengan sifat gangguan tersebut.

d. Menuntut agar pihak yang menyewakan ditarik sebagai dalam perkara

apabila penyewa digugat oleh pihak ketiga di pengadilan.

e. Berhak atas ganti kerugian apabila pihak yang menyewakan

menyerahkan barang yang disewakannya dalam keadaan cacat,

sehingga mengakibatkan suatu kerugian bagi penyewa dalam

penggunaannya.

3.4. Kewajiban penyewa

Kewajiban-kewajiban penyewa yang harus dilaksanakan adalah :

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 1560 KUHPerdata, pihak penyewa harus

melaksanakan dua kewajiban utama, yaitu :

- Menggunakan barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah

yang baik.

- Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang ditentukan.

b. Melakukan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari atas barang

yang disewanya.

62

c. Melengkapi sendiri perabotan rumah secukupnya dalam hal disewa

tersebut sebuah rumah kediaman, kecuali apabila penyewa memberikan

cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa.

d. Bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewanya, kecuali

apabila penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut dapat

terjadi karena suatu hal di luar kesadaran penyewa.

Adapun yang dimaksudkan dengan kewajiban untuk menggunakan

barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah yang baik adalah

kewajiban untuk menggunakan barang yang disewanya seolah-olah barang

tersebut adalah kepunyaan sendiri. Apabila ternyata penyewa menggunakan

barang yang disewanya dengan tujuan lain yang menyimpang dari apa yang

dimaksudkan di dalam perjanjiannya, maka yang menyewakan berhak

untuk meminta pembatalan.

4. Sewa Tertulis dan Sewa Lisan

Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh

undang-undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa

tertulis dan sewa lisan 60

. Sewa-menyewa yang diadakan tertulis, maka sewa

itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah

habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu.

Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka

sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak

yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak

60 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm.

47

63

menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan

mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat,

jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu

diperpanjang untuk waktu yang sama. 61

Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 KUHPerdata dan

perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata,

jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu

sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan

menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu

tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama,

untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat dan tak dapatlah ia

meninggalkan rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan

sesudahnya dilakukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut

kebiasaan setempat (Pasal 1587 KUHPerdata).62

Uraian yang panjang lebar itu dimaksudkan bahwa sewa tertulis

tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah

sewa, berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat

diakhiri menurut adat kebiasaan setempat.63

5. Berakhirnya Perjanjian Sewa-menyewa

Undang-undang telah membedakan sewa-menyewa menjadi dua

bentuk, yakni sewa-menyewa tertulis dan lisan, namun pembedaan itu

dipandang penting untuk menentukan saat berakhirnya sewa-menyewa,

61 Ibid

62 Ibid

63 Ibid

64

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1570 sampai dengan Pasal 1572

KUHPerdata dapat diketahui, bahwa dalam hal sewa-menyewa dibuat dengan

tulisan, maka sewa berakhir demi hukum apabila waktu yang di tentukan

telah lewat, tanpa perlu memberitahukan untuk pemberhentian sewa tersebut,

sedangkan dalam hal sewa di buat dengan lisan, maka sewa-menyewa

tersebut berakhir apabila pihak yang satu memberitahukan pada pihak yang

lain, bahwa ia hendak memberhentikan atau mengikuti tenggang waktu yang

diharuskan menurut kebiasaan setempat. Apabila tidak ada pemberitahuan

seperti itu, maka dianggap sewa tersebut diperpanjang untuk waktu yang

sama.

Undang-undang juga menentukan sebagaimana dikatakan oleh Pasal

1575 KUHPerdata, bahwa perjanjian sewa-menyewa tidak berakhir dengan

meninggalkan pihak yang menyewa maupun pihak yang menyewa.

6. Risiko Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa

Pengertian risiko sebagaimana dikemukakan di muka, adalah

kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh satu kejadian atau

peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak.

Dalam pada itu Bab VII Buku III KUHPerdata tidak menyebutkan

secara jelas ketentuan mengenai risiko dalam perjanjian sewa-menyewa dan

siapa yang harus memikulnya. Akan tetapi ketentuan tentang risiko

merupakan kesimpulan dari Pasal 1533 KUHPerdata. Adapun Pasal 1153

KUHPerdata menentukan sebagai berikut :

“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah

karena suatu kejadian yang tak disengaja maka persetujuan sewa

65

gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah si

penyewa minta pengurangan harga sewa, atau ia akan meminta

bahkan pembatalan persetujuan sewanya ; tetapi tidak dalam satu dari

kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi”.

Dengan demikian terhadap ketentuan Pasal 1553 KUHPerdata dapat

diberikan kesimpulan sebagai berikut :

(1) Dalam hal barang yang menjadi obyek sewa-menyewa musnah sama

sekali di luar kesalahan salah satu pihak, risiko sepenuhnya ditanggung

oleh pemilik barang.

(2) Dalam hal hanya sebagian barang yang disewakan musnah, maka

penyewa dapat memilih membatalkan perjanjian atau pengurangan harga

sewa.

F. Tinjauan Tentang Perjanjian Baku

1. Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian baku ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh masalah sosial

dan ekonomi. Pihak pelaku usaha menerapkan perjanjian baku dengan

menentukan syarat-syarat secara sepihak karena memerlukan transaksi yang

cepat, berbiaya murah, efektif dan efisien. Konsumen mempunyai kedudukan

yang lemah baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya,

sehingga hanya menerima saja.

Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan

lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya

menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit

banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan

kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya

66

masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek

hukum perjanjian.64

Menurut Sutan Remy Sjahdeni, yang dimaksud dengan perjanjian

baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah

dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.65

Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan bahwa perjanjian baku

adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan

dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.66

Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah

perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau

pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan

pengusaha, yang distandarisasikan atau dibakukan meliputi model, rumusan

dan ukuran.67

Selain itu terdapat pula definisi resmi dari klausula baku yang

diberikan dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang disebutkan 68

:

“Setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan

dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang

64

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka hukum Bisnis, Cetakan Pertama, Bandung : Alumni,

1994, hlm. 46 65

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993,

hlm. 66 66

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 48 67

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 6 68

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

67

dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan

wajib dipenuhi oleh konsumen”.

2. Syarat-syarat Perjanjian Baku

Adapun dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat baku, yang

dimaksud disini adalah konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa

perjanjian yang masih akan dibuat, jumlahnya tidak tentu tanpa

membicarakan terlebih dahulu isinya. Syarat-syarat ini biasanya terdapat

dalam nota pembelian, tiket-tiket pengangkutan, angket pesanan dan

sebagainya.

Syarat-syarat dalam perjanjian baku yang selalu muncul dalam

masyarakat antara lain meliputi tentang :

1. Cara mengakhiri perjanjian ;

2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian ;

3. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ;

4. Penyelesaian sengketa melalui kepentingan pihak ketiga 69

;

Perihal syarat-syarat dalam perjanjian baku, Treitel menjelaskan

bahwa syarat perjanjian baku dapat dimasukkan dalam perjanjian atau

kontrak dengan penandatanganan atau dengan pemberitahuan.

1. Penandatanganan ( By Signature )

Seseorang yang menandatangani surat perjanjian adalah terikat

oleh syarat-syarat yang ada meskipun ia tidak membacanya. Jadi

tidak peduli apakah ia mengerti bahasa Inggris atau tidak ;

2. Pemberitahuan ( By Notice )

Apabila syarat telah tercetak diatas surat yang diserahkan dan

suatu pihak kepada pihak yang lain diumumkan pada waktu

69

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,

Alumni, Bandung, 1981, hlm. 67

68

perjanjian dibuat, syarat itu telah diberitahukan secara patut

kepada pihak lawannya. 70

3. Jenis-jenis Perjanjian Baku

Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : 71

1. Perjanjian baku sepihak.

Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat

kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak

kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi kuat

dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam

organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah.

Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas

tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria /

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak

Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak

Tanggungan.

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat.

Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan

Notaris atau Advokat yang bersangkutan.

70

Purwahid Patrik, Hukum Kontrak Indonesia Seri Dasar Hukum Dagang 5, Elips,

Bandung, 1997, hlm. 145 71

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 50

69

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legisme

positivism. Konsep ini mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang, selain

itu konsep ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat

otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

Deskriptif maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

keadaan atau gejala dari obyek yang diteliti secara menyeluruh dan sistematis

tanpa mengambil kesimpulan secara umum.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk

Purwokerto, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas

Jenderal Soedirman dan media Internet.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu :

70

1. Data Sekunder sebagai data utama, yang digolongkan dan diuraikan ke

dalam :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat, terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundang-

undangan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

3. Undang-undang No 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

4. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

5. Akta Perjanjian Safe Deposit Box (SDB) di PT Bank Negara

Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dalam

penelitian ini menggunakan literatur buku-buku kepustakaan, hasil

penelitian berupa data-data yang diperoleh dari di PT Bank Negara

Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto dan Internet.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini

menggunakan kamus hukum.

2. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan sebagai

pendukung data sekunder. Dalam hal ini, informan adalah PGS

71

(Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) PT Bank Negara

Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.

5. Metode Pengumpulan Data

a. Data Sekunder

Pengumpulan data dilakukan melalui inventarisasi bahan hukum

(studi kepustakaan) dan/atau sinkronisasi sumber bahan hukum

yang sesuai dengan relevansi penelitian ini untuk mendapatkan

hasil penelitian yang lengkap, objektif dan dapat

dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam penelitian ini,

metode pengumpulan bahan hukum adalah dengan melakukan

suatu inventarisasi data sekunder.

b. Data Primer

Dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan

PGS (Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) PT

Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.

6. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian dan

disusun secara sistematis yaitu bahwa keseluruhan data yang diperoleh akan

dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan akan disesuaikan

dengan pokok permasalahan, sehingga akan terbentuk satu kesatuan yang

utuh mengenai masalah yang diteliti.

7. Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis

72

normatif kualitatif yaitu suatu analisis yang menjabarkan dan menafsirkan

data dengan berdasarkan pada norma-norma hukum, doktrin-doktrin dan

teori-teori ilmu hukum yang relevan dengan pokok permasalahan sehingga

dapat menjawab permasalahan dan dapat diambil suatu simpulan.

73

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PT Bank Negara Indonesia

(Persero) Tbk Purwokerto, diperoleh data sekunder berupa akta Perjanjian

Sewa-menyewa Safe Deposit Box, Brosur Safe Deposit Box dan data primer

berupa wawancara dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini di PT Bank

Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.

1. Data Sekunder

1.1. Akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box

1.2. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box

Contoh para pihak yang terlibat di dalam akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk

Purwokerto adalah sebagai berikut :

I. SUBAGIYO, SE,MM, Pemimpin Bidang Pelayanan Nasabah

selaku kuasa dari Pemimpin PT. Bank Negara Indonesia (Persero)

Tbk Purwokerto berdasarkan Surat Kuasa Pemimpin Cabang

No.PWO/01/003 tanggal 21 Oktober 2009 dalam hal ini bertindak

dalam jabatannya tersebut dan dengan demikian berdasarkan

Anggaran Dasar Perseroan beserta perubahan-perubahannya yang

terakhir sebagaimana termaktub dalam Akta No. 46 tanggal' 13

Juni 2008 yang dibuat di hadapan Fathiah Helmi, SH Notaris di

74

Jakarta dan telah mcndapatkan pcrsetujuan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat

Keputusan No. AHU-50609.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 12

Agustus 2008, berwenang bertindak untuk dan atas nama PT Bank

Negara Indonesia (Persero) Tbk, berkedudukan dan berkantor

pusat di Jakarta, Jl. Jend. Sudirman Kav 1, untuk selanjutnya

disebut Bank.

II. SET1A KRISBIANTORO, bertempat tinggal/berkedudukan di Jl.

KS Tubun Gg. Belimbirg No. 10 RT 006 RW 007 Kel. Rejarari

Kec. Purwokerto Barat, Kab. Banyumas sesuai SIM Nomor

761214140238, untuk selanjutnya disebut Penyewa.

1.3. Maksud dan Tujuan Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box

Untuk mengadakan Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box.

1.4. Objek Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box

1 (satu) buah safe deposit box (untuk selanjutnya disebut "SDB")

miilik bank dengan detail sebagai berikut :

SDB Nomor : 155

Ukuran : 5 X 10 X 24 Inch

Nomor Kunci : 155 ( asli dan duplikat)

Adapun keterangan yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 akta

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box PT Bank Negara Indonesia

(Persero) Tbk Purwokerto mengenai jangka waktunya 1 (satu) tahun dan

harga sewa sebesar Rp.350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah).

75

1.5. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-menyewa Safe

Deposit Box

a. Hak Penyewa

1. Penyewa hanya dapat menggunakan safe deposit box yang

disewanya untuk menyimpan perhiasan, surat-surat penting dan

barang-barang berharga lainnya dan dilarang menggunakan safe

deposit box untuk menyimpan senjata api, barang-barang yang

dilarang oleh Undang-undang/Pemerintah dan zat-zat kimia

yang diduga dapat membahayakan/merusak safe deposit box dan

lingkungan sekitarnya.

2. Penyewa berhak memberi kuasa kepada pihak ketiga dengan

menggunakan formulir yang disediakan oleh bank, untuk

membuka dan membuat apa yang dikehendaki terhadap isi safe

deposit box tersebut dengan persetujuan bank. Pemegang kuasa

harus orang yang telah dikenal baik oleh penyewa dan telah

diperkenalkan kepada bank sesuai dengan kartu pengenal yang

dimilikinya, yang aslinya diperlihatkan dan ditunjukkan kepada

bank.

3. Hanya penyewa atau pemegang kuasa yang berhak

menandatangani dokumen yang berkaitan dengan penyewaan

safe deposit box, dan untuk itu contoh tandatangani yang

bersangkutan harus tercantum dalam formulir.

76

4. Penyewa atau pemegang kuasa diperbolehkan memasuki

ruangan khazanah tempat menyimpan safe deposit box dan

berhak membuka safe deposit box yang disewanya guna

mengeluarkan barang-barangnya pada setiap hari kerja dengan

ketentuan setiap kunjungan ke dalam ruang khazanah maksimal

15 menit.

5. Penyewa atau pemegang kuasa hanya dapat membuka safe

deposit box dengan bantuan seorang petugas/pegawai bank yang

ditunjuk.

6. Penyewa berhak untuk menghentikan sewa safe deposit box ini

secara sepihak setiap saat sebelum jangka waktu sewa berakhir,

tetapi berhak menuntut bank untuk membayar ganti rugi

mengembalikan bagian dari harga sewa untuk jangka waktu

yang belum berjalan.

b. Kewajiban Penyewa

1. Penyewa wajib membayar biaya sewa sesuai dengan jangka

waktu yang telah dikehendaki.

2. Penyewa wajib menguasai dan menyimpan sendiri anak kunci

safe deposit box dengan baik dan bertanggungjawab penuh atas

kerugian yang timbul akibat hilang dan atau rusaknya anak

kunci safe deposit box tersebut.

77

3. Apabila dipandang perlu dan atas permintaan bank, penyewa

atau pemegang kuasa wajib memperlihatkan kepada bank isi

safe deposit box yang disewanya.

4. Penyewa wajib segera memberitahukan kehilangan anak kunci

dengan melampirkan asli surat tanda penerimaan laporan

kehilangan dari kepolisian setempat terhitung sejak tanggal

kehilangan tersebut.

5. Penyewa wajib memberitahukan secara tertulis kepada bank

setiap kali terjadi perubahan alamat dan tempat tinggal

penyewa. Segala akibat/kerugian yang timbul karena kelalaian

pemberitahuan alamat/tempat tinggal tersebut menjadi tanggung

jawab penyewa.

6. Penyewa wajib segera mengosongkan safe deposit box dan

mengembalikan anak kunci yang dikuasainya dalam keadaan

baik kepada bank paling lambat pada tanggal berakhirnya

perjanjian safe deposit box ini.

a. Hak Bank

1. Dalam hal perjanjian sewa ini tidak diperpanjang oleh

penyewa, sedangkan barang-barang yang disimpan dalam safe

deposit box tidak diambil, bank berhak memperpanjang jangka

waktu safe deposit box selama 15 (limabelas) hari terhitung

mulai tanggal berakhirnya perjanjian ini tanpa persetujuan

78

terlebih dahulu dari penyewa, dan harga sewa perpanjangan

menjadi beban penyewa.

2. Setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan, bank tidak

bertanggungjawab dan tidak dapat dituntut ganti rugi atas

kerugian dan kerusakan atas sebagian/seluruh berubahnya

mutu, berkurangnya jumlah atau hilangnya barang yang

disimpan dalam safe deposit box.

3. Bank berhak secara sepihak tanpa persetujuan dari penyewa

untuk melakukan pembongkaran terhadap safe deposit box

yang disewa oleh penyewa apabila :

a. Anak kunci hilang dan atau kunci safe deposit box rusak,

sehingga safe deposit box tidak dapat dibuka tanpa

membongkarnya terlebih dahulu.

b. Jangka waktu sewa telah berakhir tetapi tidak diperpanjang

atau harga sewa tidak dibayar walaupun telah diperingatkan

oleh bank.

4. Apabila terjadi pembongkaran sebagaimana yang dimaksud di

atas, maka bank berhak dan dengan ini diberi kuasa oleh

penyewa untuk menjual barang-barang secara lelang yang

disimpan dengan harga berapapun yang dianggap wajar oleh

bank. Hasil penjualan barang tersebut selanjutnya akan

digunakan untuk membayar uang sewa yang tertunggak, biaya

notaris, serta biaya-biaya lain yang ditimbulkan olehnya dan

79

jika ada kelebihan, bank akan menyimpannya atau

dikembalikan kepada penyewa atau pemegang kuasa tanpa

bunga apapun.

b. Kewajiban Bank

1. Bank berkewajiban untuk menjaga safe deposit box agar

senantiasa terkunci dengan baik. Bank bertanggungjawab atas

kerugian yang ditimbulkan secara langsung dari tidak

dipenuhinya kewajiban bank tersebut.

2. Bank wajib untuk membayar kembali harga sewa untuk jangka

waktu yang belum berjalan, apabila karena ditetapkan bahwa

safe deposit box yang bersangkutan tidak dapat diperpanjang

lagi.

3. Sekurang-kurangnya 1 (satu) kali sebelum perjanjian ini

berakhir, bank berkewajiban untuk memberitahukannya kepada

penyewa mengenai akan berakhirnya perjanjian sewa safe

deposit box ini.

1.6. Pembatasan Tanggung Jawab Bank

Bank tidak bertanggung jawab atas :

1. Perubahan kualitas/kuantitas, kehilangan, atau kerusakan barang

yang disimpan dalam SDB.

2. Resiko yang timbul karena force majeure yaitu bencana alam

seperti banjir dan gempa bumi, perang, huru hara, pemogokan,

80

sabotase, atau kebakaran yang dapat mengakibatkan perubahan'

fisik, kualitas dan/atau kuantitas dari barang simpanan.

3. Kerugian atau kehilangan yang diakibatkan oleh perampokan ,

penyerbuan atau perampasan dengan menggunakan ancaman atau

kekerasan terhadap Petugas atau Pejabat Bank ataupun terhadap

penyewa atau kuasanya.

1.7. Penyelesaian Perselisihan dan Domisili Hukum

1. Apabila timbul perselisihan mengenai pelaksanaan Perjanjian ini

para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara

musyawarah/mufakat, dengan menyampaikan kepada pihak

lainnya mengenai perbedaan pendapat yang timbul.

2. Jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dimulainya

penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini

tidak tercapai mufakat, maka para pihak setuju untuk

menyelesaikan melalui Pengadilan.

Tentang Perjanjian ini dan segala akibatnya. para pihak sepakat

memilih domisili hukum yang umum dan tetap di Kantor

Kepaniteraan Pengadilan Negeri Purwokerto.

1.8. Perubahan Perjanjian

1. Bank berhak-untuk melakukan perubahan dan /atau penambahan

terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Perjanjian ini

berdasarkan pertimbangan bank tanpa berkewajiban untuk

meminta persetujuan kepada penyewa terlebih dahulu dan

81

perubahan tersebut merupakan bagian dan menjadi satu kesatuan

yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.

2. Perubahan-perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal ini akan diinformasikan oleh bank kepada penyewa

dengan cara dan sarana yang dianggap baik oleh bank.

1.9. Lain-lain

1. Masing-masing pihak menjamin kepada pihak lainnya bahwa

pihaknya akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik.

Tidak satupun ketentuan dan atau penafsiran atas ketentuan

dalam perjanjian ini akan digunakan oleh satu pihak untuk

mengambil keuntungan secara tidak wajar dan atau

mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya.

2. Lampiran-lampiran yang ada pada perjanjian ini mengikat para

pihak, serta merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak

terpisahkan dari perjanjian ini.

3. Perjanjian ini tunduk pada Hukum Negara RI, hal-hal yang tidak

dan/atau belum diatur dalam perjanjian ini tunduk pada

ketentuan hukum yang berlaku bagi perjanjian, termasuk namun

tidak terbatas pada Hukum Perjanjian yang termuat dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata.

4. Dalam hal terdapat ketentuan dalam perjanjian ini yang

dinyatakan batal atau tidak berlaku oleh peraturan perundang-

82

undangan yang berlaku, maka ketentuan lain dalam perjanjian

ini dinyatakan tetap berlaku dan mengikat para pihak.

1.10. Brosur Perjanjian sewa-menyewa Safe Deposit Box

Sesuai brosur perjanjian sewa-menyewa safe deposit box PT Bank

Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto, pihak bank memberikan

jaminan rasa aman tanpa kecemasan kepada pihak penyewa. Safe deposit

box dianggap sebagai tempat yang terjamin keamanan dan kerahasiannya

untuk menyimpan barang dan dokumen berharga, seperti polis asuransi,

BPKB kendaran, sertifikat tanah, ijazah, saham, perhiasan, medali, barang-

barang koleksi dan sebagainya, sehingga penyewa tidak perlu repot

menyiapkan tempat khusus untuk menyimpan barang atau dokumen

berharga.

Keuntungan dari perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah

sebagai berikut :

1. Penyewa (nasabah) memperoleh Kartu Tanda Penyewa BNI

Safe Deposit Box.

2. Ruang penyimpanan didukung oleh sistem keamanan canggih,

tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi pengamanan 24

jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih.

3. Terjamin keamanan dan kerahasiannya.

4. Tersedia berbagai jenis ukuran safe deposit box sesuai

kebutuhan.

83

Adapun ketentuan harga sewa safe deposit box tergantung pada

jangka waktu penyewaannya dengan berbagai ukuran box yang telah

disediakan oleh bank. Adapun ketentuannya sebagai berikut :

1. Ukuran 3 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 150.000,00/ 6 bulan

dan Rp. 250.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp.

500.000,00.

2. Ukuran 5 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 250.000,00/ 6 bulan

dan Rp. 350.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp.

500.000,00.

3. Ukuran 10 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 450.000,00/ 6 bulan

dan Rp. 550.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp.

500.000,00.

Kemudahan yang diberikan kepada penyewa untuk menyewa safe

deposit box, diantaranya :

1. Cukup dengan memiliki rekening BNI (BNI Taplus, BNI

Dollar atau BNI Giro).

2. Penyewa dapat dengan leluasa dan aman mengurus barang atau

dokumen di ruangan khusus yang nyaman dan aman.

3. Persyaratan sewa mudah.

Persyaratan sewa safe deposit box ini cukup dengan mengisi

formulir aplikasi, melampirkan fotocopy KTP atau bukti identitas lain dan

mengisi, serta menandatangani perjanjian safe deposit box yang telah

ditentukan bank.

84

2. Data Primer

Data yang bersumber dari hasil wawancara dengan PGS (Pengganti

Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) di PT Bank Negara Indonesia

(Persero) Tbk Purwokerto. Adapun data-data yang diperoleh, sebagai berikut :

2.1. Data kaitannya dengan tidak disebutkannya hak dan kewajiban para

pihak dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.

Pada umumnya, nasabah tidak membaca secara detail tentang pasal-

pasal yang tertulis dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit

box, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak.

2.2. Data kaitannya dengan pihak nasabah yang tidak melaksanakan

kewajibannya.

Ada peringatan dari pihak bank bagi nasabah terkait tanggungjawab

sebagaimana mestinya sebagai nasabah untuk melaksanakan

kewajibannya, hal ini dapat berupa surat peringatan atau panggilan

melalui via telepon kepada nasabah, namun jika masih tetap tidak ada

tanggapan, maka pihak bank mendatangi alamat rumah penyewa.

2.3. Data kaitannya dengan perjanjian safe deposit box yang dikaitkan

dengan perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata.

Box tidak diberikan kepada penyewa untuk dinikmati, namun pada

prinsipnya, bank lebih ke alasan keamanan saja untuk menjaminkan

isi safe deposit box yang aman, oleh karena itulah box dibuat dengan

teknologi canggih, sehingga box tetap dalam penguasaan bank, yang

85

dinikmati penyewa adalah berbentuk penguasaan fisik berupa box di

bank, bukti kepemilikan dan pemanfaatan sarana.

2.4. Data kaitannya dengan masalah-masalah yang sering timbul dalam

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.

Masalah yang sering timbul adalah :

1. Pada saat waktu sewa berakhir dan isi safe deposit box masih dalam

penguasaan bank, namun penyewa ada di luar kota dan debet

rekening penyewa pun kosong, sehingga bank terpaksa mencari salah

satu keluarga, saudara atau ahli waris penyewa. Adapun penyewa

diberi sanksi berupa denda 10% per bulan jika terlambat dalam

pembayaran harga sewa safe deposit box.

2. Penyewa meninggal. Hal ini dapat dipindahtangankan dengan

catatan harus ada keputusan dari pengadilan mengenai siapa ahli

waris dari penyewa, harus satu orang ahli waris. Disamping itu, ada

pula syarat berupa surat kematian penyewa yang harus diberikan ke

pihak bank.

3. Anak kunci yang dipegang nasabah untuk membuka safe deposit box

hilang, sehingga mereka melapor kepada bank untuk segera diatasi.

Untuk memastikan bahwa anak kunci tersebut hilang, maka dimintakan

surat laporan kehilangan dari pihak kepolisian. Berdasarkan hasil

laporan tersebut, maka bank mencairkan uang jaminan anak kunci

nasabah dan memanggil vendor ahli untuk membuka dan membuat

anak kunci baru, proses pekerjaan tersebut disaksikan oleh petugas yang

86

berwenang dan dibuatkan Berita Acara pekerjaan pada ruangan safe

deposit box.

2.5. Data kaitannya dengan perjanjian sewa-menyewa safe deposit box

apabila terjadi kebakaran di bank.

Apapun risikonya yang dalam hal ini jika terjadi kebakaran, bank

tidak bertanggung jawab atas isi safe deposit box para penyewa,

karena bank sudah memberikan pelayanan yang sangat canggih

berupa box yang dibuat kuat, tebal dan tahan api, sehingga box tidak

akan mungkin terbakar.

2.6. Data kaitannya dengan tanggung jawab keamanan (security) apabila

terjadi perampokkan.

Tidak bertanggungjawabnya security dapat diwajarkan apabila terjadi

perampokkan, karena pihak bank tidak munafik akan merasa takut jika

perampok mengancam atau dengan kekerasan melakukan tindakan

yang semena-mena, apalagi jika menyangkut nyawa seseorang, namun

hal ini dapat di asuransikan, khususnya penyewa safe deposit box,

meskipun dalam akta tidak di tuliskan. Keterangan mengenai asuransi

tidak dijelaskan lebih lanjut, karena dalam hal ini PT Bank Negara

Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto sama sekali belum pernah mengalami

adanya perampokkan.

2.7. Data kaitannya dengan hal-hal yang harus diperhatikan para pihak

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.

87

Pihak bank maupun nasabah dalam perjanjian penyimpanan dengan

safe deposit box harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Adanya biaya yang dibebankan kepada penyewa, antara lain uang

sewa, uang agunan kunci dan denda keterlambatan pembayaran

sewa.

2. Tidak menyimpan barang barang yang dilarang dalam safe deposit

box.

3. Menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau

disalahgunakan pihak lain.

4. Memperlihatkan barang yang disimpan bila sewaktu-waktu

diperlukan oleh bank.

5. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang, maka uang agunan

kunci akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan

pembongkaran safe deposit box yang wajib disaksikan sendiri oleh

penyewa.

6. Memiliki daftar isi dari safe deposit box dan menyimpan fotocopy

(salinan) dokumen tersebut di rumah untuk referensi.

7. Penyewa bertanggung jawab apabila barang yang disimpan

menyebabkan kerugian secara langsung maupun tidak terhadap

bank dan penyewa lainnya.

2.8. Data kaitannya dengan subyek perjanjian sewa-menyewa safe deposit

box.

88

Subyek yang menjadi nasabah safe deposit box dalam hal ini adalah

sebagai berikut :

1. Orang Pribadi (Perorangan).

2. Badan Hukum (Non Perorangan).

2.9. Data kaitannya dengan kenaikkan harga sewa safe deposit box.

Kenaikkan harga sewa safe deposit box berlaku sejak Juni 2012,

kenaikkan harga sewa senilai Rp. 50.000,- dan uang jaminan kunci

tidak berubah, adapun keterangannya sebagai berikut :

1. Ukuran 3 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 200.000,00/ 6 bulan dan

Rp. 300.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.

2. Ukuran 5 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 300.000,00/ 6 bulan dan

Rp. 400.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.

3. Ukuran 10 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 500.000,00/ 6 bulan dan

Rp. 600.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.

B. Pembahasan

Menurut Kasmir, safe deposit box adalah jasa bank diberikan khusus

kepada para nasabah utamanya. Jasa ini dikenal juga dengan nama safe loket.

Safe deposit box berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan disewakan

kepada nasabah yang berkepentingan untuk menyimpan dokumen-dokumen

atau benda-benda berharga miliknya.72

72

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2005, hlm. 160

89

Perjanjian sewa-menyewa safe deposit box merupakan salah satu

layanan perbankan dalam bentuk menyewakan kotak khusus yang digunakan

untuk menyimpan barang-barang berharga dalam jangka waktu tertentu

kepada nasabah. Kotak yang di sewa ini tahan api dan dilengkapi dua buah

kunci yang harus dibuka secara bersamaan.

Pada dasarnya, perjanjian safe deposit box itu tunduk pada

KUHPerdata yaitu perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata) dan

pada ketentuan umum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata.

Selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga tunduk pada ketentuan

perbankan. Permasalahan yang muncul dalam skripsi ini yaitu tentang

bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai penyewa dalam

perjanjian safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk

Purwokerto.

Gambaran diatas memberikan ilustrasi, bahwa fokus perlindungan

hukum terhadap nasabah dalam bidang pelayanan jasa safe deposit box dapat

berakibat pada kerugian yang dialami oleh nasabah, sehingga diperlukan suatu

perlindungan hukum terhadap nasabah bank, khususnya pada nasabah safe

deposit box.

Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah “Perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek

hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”73

73 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka, Jakarta, 1989,

hlm. 874

90

Definisi perlindungan hukum menurut Syachrul Machmud

menjelaskan bahwa :

“Perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang

dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah,

swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan

pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang

ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan

terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara

sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945

diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas

sistem konstitusi (hukum dasar)”.74

Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut

Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi

subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan wanprestasi.75

Konsep perlindungan hukum terhadap nasabah dalam penelitian ini

menunjuk pada pendapat Sulistyandari, yaitu bahwa perlindungan hukum itu

berkaitan tentang bagaimana hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau

mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan

bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar

haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.76

Mengenai hak dan kewajiban menurut Nicolai, hak mengandung

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau

74 Syachrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang

Diduga melakukan Medikal Malapraktik, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 81 75 Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,

1991, hlm. 9 76

Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan

Perbankan di Indonesia, Op.Cit, hlm. 282

91

menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban

memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.77

Data 1.5 mengenai hak dan kewajiban para pihak jika dikaitkan

dengan pendapat Syachrul Machmud, Sudikno Mertokusumo, Nicolai dan

Sulistyandari, maka dapat dideskripsikan bahwa perlindungan hukum

meliputi daya upaya yang secara sadar dilakukan para pihak dalam perjanjian

safe deposit box untuk memenuhi kesejahteraan hidup, melindungi subyek

hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disertai sanksi

apabila ada yang melakukan wanprestasi, serta memberikan keadilan yaitu

mengatur hak dan kewajiban.

Sehubungan dengan konsep perlindungan tersebut, data 1.5 tentang

hak dan kewajiban para pihak, apabila di interpretasikan berdasarkan pendapat

Sulistyandari (sebagaimana disebut dalam Bab II), maka hubungan hukum

antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual dan non

kontraktual, maka pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap

nasabah safe deposit box akan di pilah berdasarkan hubungan kontraktual dan

non kontraktual.

Hubungan kontraktual pada dasarnya berbicara mengenai hak-hak

nasabah penyimpan yang lahir dari kontrak atau perjanjian penyimpanan dana

yang dibuat oleh bank dengan nasabah penyimpan sendiri 78

, sedangkan

hubungan non kontraktual adalah bahwa hubungan nasabah penyimpan

dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak atau perjanjian,

77

Ibid, hlm. 283 78

Ibid, hlm. 300

92

melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis atau

peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau hukum tidak

tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang mengaturnya.79

Hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah safe deposit box

dapat di lihat dalam Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan, bahwa

kegiatan usaha bank antara lain adalah "menyediakan tempat” untuk

menyimpan barang dan surat berharga", berdasarkan penjelasannya di dalam

Undang-undang Perbankan, yang dimaksud dengan "menyediakan tempat"

dalam ketentuan ini adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan

penyewaan tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa

perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank adalah jasa penyimpanan barang,

yang disebut dengan safe deposit box (SDB).

Perjanjian safe deposit box tunduk pada ketentuan perjanjian sewa-

menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata), serta ketentuan umum tentang perjanjian

yang di atur dalam Buku ke tiga (Bab I, II dan IV KUHPerdata) yaitu dalam

Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian. Adapun suatu

perjanjian itu sah harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu adanya :

1. Kesepakatan.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah

persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang

dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain

79

Ibid, hlm. 303

93

dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama

secara timbal balik.80

2. Kecakapan.

Orang yang cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan

ketentuan kedewasaan sesuai dalam Undang-undang yang

berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjiannya akan sah

apabila dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan tidak

dibawah pengampuan. Undang-undang mengatakan bahwa

kedewasaan seseorang apabila telah berumur 18 tahun atau sudah

menikah ( Pasal 47 jo Pasal 50 Undang-undang Perkawinan).

3. Objek tertentu.

Objek tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian.

Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian

yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan

untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu.

4. Kausa yang halal.

Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang

hendak dicapai oleh para pihak yang tidak dilarang oleh undang-

undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan.

80

R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Op.Cit, hlm. 4

94

Data 1.1, 1.2, dan 1.3 tentang akta perjanjian, para pihak, serta

maksud dan tujuan perjanjian apabila dikaitkan dengan Pasal 6 huruf h

Undang-undang Perbankan, Pasal 1548 KUHPerdata tentang perjanjian sewa-

menyewa dan Pasal 1320 KUHPerdata, maka dapat dideskripsikan bahwa

perjanjian safe deposit box sah dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam perjanjian safe

deposit box ini juga berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang

disebutkan, bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Menurut M. Yahya Harahap, fokus perlindungan nasabah tertuju

pada ketentuan peraturan perundang-undangan, serta ketentuan perjanjian

yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan hukum

yang terjadi antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian.

Pada umumnya, perjanjian yang sering dilakukan antara bank dengan nasabah

telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.81

Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya

sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang

belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis,

81

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung, 1986,

hlm. 283

95

harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain yang spesifik dari

objek yang diperjanjikan.82

Menurut Pitlo, latar belakang timbulnya perjanjian baku adalah

disebabkan kerena keadaan sosial dan ekonomi, dimana perusahaan yang

besar, perusahaan semi, pemerintah ataupun perusahaan-perusahaan

pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk

kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. Pihak

lawannya (wederpartij) yang pada umumnya memiliki kedudukan (ekonomi)

lemah, baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya hanya

menerima apa yang disodorkan itu.83

Adapun ciri-ciri dari perjanjian baku menurut Mariam Darus

Badrulzaman, yaitu :

a. Berbentuk tertulis, biasanya dalam bentuk formulir.

b. Bersifat massal dan konfektif (tanpa memperhatikan perbedaan

kondisi tiap-tiap individu).

c. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi

(ekonominya) kuat.

d. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama

menentukan isi perjanjian itu.

82

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,

hlm. 66 83

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, hlm. 117

96

e. Terdorong oleh kebutuhannya, masyarakat (debitur) terpaksa

menerima perjanjian itu. 84

Data 1.1 tentang akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box,

apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, M. Yahya

Harahap, Sutan Remy Sjahdeni, Pitlo dan Mariam Darus Badrulzaman

dapat di deskripsikan, bahwa perjanjian sewa-menyewa safe deposit box

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan merupakan perjanjian

baku.

Berdasarkan data 1.1 mengenai akta perjanjian, ketentuan ini dapat

diketahui bahwa perjanjian safe deposit box menganut asas kebebasan

berkontrak, artinya bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk membuat

suatu perjanjian dalam bentuk apa saja dan menentukan isi perjanjiannya

sendiri asal tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak melanggar

ketertiban umum dan kesusilaan, sehingga asas pacta sunt servanda yang

dikenal sebagai asas kekuatan mengikatnya perjanjian berlaku adanya. Asas ini

berhubungan akibat suatu perjanjian. Hal ini berarti para pihak yang

mengadakan perjanjian safe deposit box tidak dapat melepaskan diri secara

sepihak terhadap perjanjian safe deposit box tanpa kesepakatan yang secara

sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa kesepakatan pihak

lainnya, sehingga jika ada yang menyimpang, maka dapat dinyatakan

wanprestasi.

84

Ibid, hlm. 115

97

Berdasarkan uraian di atas, perjanjian safe deposit box menganut asas

kebebasan berkontrak, karena walaupun ketentuan isi perjanjian telah

ditentukan sepihak oleh bank, namun nasabah dalam hal ini telah

menandatangani perjanjian safe deposit box, maka dengan demikian ada

kebebasan berkontrak, karena pada dasarnya kebebasan berkontrak itu dapat

berlaku jika sudah ada tanda tangan oleh para pihak, sehingga dalam hal ini,

penyewa (nasabah) turut menentukan isi perjanjian yang ditentukan oleh bank.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa perjanjian safe deposit box adalah

perjanjian sewa-menyewa, dalam hal ini perjanjian sewa-menyewa safe deposit

box yang dilakukan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto

tunduk pada ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata tentang perjanjian sewa-

menyewa, yang disebutkan bahwa “Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian,

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada

pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan

dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu

disanggupi pembayarannya”.

Adapun kewajiban dari pihak yang menyewakan menurut Pasal 1550

KUHPerdata :

a. Menyerahkan (leveren) barangnya kepada si penyewa ;

b. Memelihara barangnya sedemikian rupa, sehingga barangnya dapat

dipakai secara yang dimaksudkan ;

98

c. Berusaha supaya si penyewa selama persetujuan sewa-menyewa

berjalan, selalu secara tenteram dapat memakai dan menikmati

barangnya yang disewa itu (rusting genot).

Sedangkan kewajiban dari penyewa menurut Pasal 1560 KUHPerdata,

yaitu :

a. Memakai barang yang disewa secara sangat berhati-hati (als een

goed huisvader) ;

b. Membayar uang sewa pada waktu-waktu yang ditentukan dalam

persetujuan sewa-menyewa.

Data 1.4 mengenai objek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box

dan data 1.5 mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian safe

deposit box apabila dikaitkan dengan Pasal 1548 KUHPerdata dan Pasal 1550

KUHPerdata, maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian safe deposit box

telah memenuhi ketentuan dimana pihak yang menyewakan memberikan

kenikmatan suatu barang yaitu berupa box dan penyewa membayar harga

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, hal ini didukung data primer

No. 2.3.

Untuk membahas perlindungan hukum nasabah bank sebagai penyewa

dalam perjanjian safe deposit box selain harus tunduk pada perjanjian sewa-

menyewa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perbankan, harus

pula tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, dikarenakan dalam penelitian ini konstruksi hukumnya terletak

pada hubungan sewa-menyewa dimana kedudukan nasabah bank tersebut

99

sebagai penyewa atau konsumen dari yang menyewakan yaitu pihak bank yang

hak-haknya diatur dalam undang-undang tersebut.

Shidarta menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen pada dasarnya

merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau

kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mempunyai sifat melindungi

konsumen beserta hak-haknya”.85

Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang mengatur hak konsumen, diantaranya sebagai berikut :

Pasal 4 menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan ;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa ;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan ;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen ;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif ;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.86

Jika isi perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No:

PWO/04/109/2011 diintepretasikan berdasarkan Pasal 4 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diperoleh

85

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 14 86

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

100

inventarisasi perlindungan hukum bagi nasabah bank sebagai konsumen yang

pada hakikatnya bertujuan melindungi hak-hak nasabah sebagai penyewa

secara keseluruhan.

Perlindungan hukum nasabah sebagai penyewa yang dimaksud adalah

meliputi :

1. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan yang diperoleh

konsumen atas penyewaan terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) akta perjanjian

sewa-menyewa safe deposit box, dimana penyewa mendapat hak untuk

memperpanjang jangka waktu yang sama secara otomatis. Disamping itu,

nasabah sebagai penyewa memperoleh kenyamanan terkait transaksi

pembayaran uang sewa yang terkandung dalam Pasal 3 ayat (2) akta

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dengan cara mendebet melalui

rekening penyewa nasabah sebagai penyewa pada pihak bank. Kenyamanan

ini juga diperoleh nasabah sebagai penyewa untuk memeriksa barang yang

disimpan dalam safe deposit box pada setiap hari kerja bank, hal ini

tercermin dalam Pasal 6 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit

box yang menentukan bahwa penyewa dapat mengunjungi safe deposit box

setiap hari kerja bank (senin s/d jumat) pada pukul 08.00 s/d 16.00.

2. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan, perlindungan hukum ini

secara yuridis tercermin dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) akta

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang dapat disimpulkan bahwa

penyewa wajib menyerahkan uang jaminan kepada pihak bank sebagai

jaminan pembayaran penggantian anak kunci yang rusak/hilang dan uang

101

jaminan itu akan dikembalikan kepada penyewa manakala jangka waktu

sewa berakhir. Disamping itu, perlindungan hukum atas hak keamanan ini

tercermin pula dalam Pasal 5 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe

deposit box, dimana safe deposit box hanya dapat dibuka dengan 2 (dua)

anak kunci ; satu kenci master dipegang oleh bank dan satu kunci lainnya

dipegang oleh penyewa. Dengan demikian, keamanan isi safe deposit box

menjadi terjamin oleh karena untuk membuka safe deposit box harus

dilakukan dengan 2 (dua) kunci secara bersama-sama. Selain itu

perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan ini juga diatur dalam Pasal

5 ayat (7) dan ayat (9) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang

pada garis besarnya bank bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan

sarana safe deposit box yang diakibatkan adanya kerusakan atau sebab-

sebab lain, serta apabila safe deposit box yang disewakan tidak bisa

dibuka/ditutup sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (3) akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box.

Dengan mendasarkan pada fakta normatif diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa hak-hak atas keamanan nasabah sebagai penyewa safe deposit box

secara nyata diatur dalam perjanjian yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum kepada penyewa.

3. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi.

Informasi bagi nasabah sebagai penyewa safe deposit box merupakan hal

yang penting untuk diperoleh, guna mendukung terlaksananya perjanjian

safe deposit box. Hal ini secara yuridis diatur dalam Pasal 3 ayat (3) dan

102

ayat (4) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, dimana penyewa

berhak untuk memperoleh informasi pendebetan rekening dan penyesuaian

besarnya harga sewa dan biaya lainnya yang berkaitan dengan perjanjian.

Disamping itu, penyewa juga berhak atas informasi bilamana pihak bank

akan melakukan perbaikan sarana safe deposit box yang karena rusak atau

sebab lain sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (7) akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box. Selanjutnya, penyewa juga berhak atas informasi

mengenai perubahan dan/atau penambahan ketentuan yang ada pada

perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box.

4. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box, masalah

kerahasiaan isi safe deposit box menjadi hal yang penting bagi keamanan

dan keselamatan barang yang disimpan di dalam safe deposit box. Menjaga

kerahasiaan isi safe deposit box merupakan kewajiban hukum bagi bank

dengan tujuan untuk memberi kebebasan kepada nasabah sebagai penyewa

untuk menyimpan barang apa saja sepanjang barang-barang tersebut tidak

dilarang dalam perjanjian safe deposit box. Jaminan kerahasiaan isi safe

deposit box ini terkandung di dalam Pasal 5 ayat (2) akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box yang menentukan petugas bank tidak

diperbolehkan memeriksa wujud dari barang yang disimpan dalam safe

deposit box. Dengan demikian, secara yuridis kerahasiaan isi safe deposit

box benar-benar dijamin oleh bank, baik kerahasiaan mengenai jenis,

barang, kualitas maupun kuantitas barang yang disimpan dalam safe deposit

103

box, hal ini tercermin dari keanekaragaman yang boleh dismpan dalam safe

deposit box sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (3) akta perjanjian

sewa-menyewa safe deposit box.

5. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa,

perlindungan hukum ini tercermin dalam ketentuan Pasal 5 ayat (5) akta

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan jika penyewa

perorangan meninggal dunia, maka yang berhak mengambil barang yang

disimpan dalam safe deposit box adalah ahli waris dari pejabat/instansi yang

berwenang dan identitas diri yang masih berlaku. Perlindungan hukum ini

hanya dapat diperoleh nasabah atau penyewa manakala nasabah atau

penyewa meninggal dunia, dengan menyerahkan syarat-syarat tertentu

kepada bank sesuai syarat-syarat yang ada dalam akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box. Disamping itu, perlindungan hukum terhadap

hak atas kebebasan pelimpahan kuasa ini tercermin pula dalam Pasal 7 akta

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang antara lain menentukan :

1. PENYEWA dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk

mengambil/menyimpan barang simpanan pada SDB yang

disewanya dan segala akibat yang timbul dari pemberian kuasa

tersebut menjadi tanggung jawab PENYEWA.

2. Apabila PENYEWA berrnaksud untuk memberikan kuasa kepada

pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka

Penerima Kuasa harus datang bersama-sama dengan PENYEWA

pada saat pembukaan sewa SDB untuk menandatangani Kartu

Contoh Tanda Tangan dan Kartu Tanda Penyewa.

3. BANK tidak bertanggung jawab atas tindakan Penerima Kuasa

yang dilakukan setelah kuasa berakhir, selama BANK belum

memperoleh pemberitahuan mengenai berakhirnya kuasa tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat diintepretasikan bahwa

hak untuk memberikan kuasa kepada pihak lain oleh penyewa baik untuk

104

mengambil atau menyimpan barang simpanan dalam safe deposit box secara

yuridis dijamin dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box,

dengan syarat penyewa dan penerima kuasa harus datang bersama-sama

pada saat pembukaan sewa safe deposit box untuk menandatangani kartu

contoh tanda tangan dan kartu tanda penyewa.

6. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan dengan

cara perdamaian. Perlindungan hukum ini tercermin dalam Pasal 12 ayat (1)

akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan bahwa

“Apabila timbul perselisihan mengenai pelaksanaan perjanjian ini para

pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah/mufakat, dengan

menyampaikan kepada pihak lainnya mengenai perbedaan pendapat yang

timbul”.

Berdasarkan pada fakta-fakta normatif tersebut diatas, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa nasabah sebagai penyewa di dalam akta perjanjian

sewa-menyewa safe deposit box secara umum mendapatkan perlindungan

hukum atas hak-hak yang diatur dalam akta tersebut yang berupa :

1. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan.

2. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan.

3. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi.

4. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box.

5. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa.

6. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan

dengan cara perdamaian.

105

Berkaitan dengan pernyataan tersebut diatas, Pasal 1338 KUHPerdata

mengatur asas-asas pelaksanaan perjanjian meliputi :

1. Asas perjanjian sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

2. Asas perjanjian tidak boleh ditarik secara sepihak.

3. Asas perjanjian dilakukan dengan itikad baik.

Ketentuan tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum bagi para pihak dalam suatu perjanjian yang mengandung

arti bahwa pelaksanaan perjanjian safe deposit box harus dilaksanakan sesuai

kesepakatan para pihak yang diatur dalam perjanjian itu sendiri.

Apabila perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No :

PWO/04/109/2011 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata,

maka dapat diintepretasikan bahwa perjanjian safe deposit box yang

dilaksanakan antara nasabah atau penyewa dengan bank yang berobjek safe

deposit box No. 155 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box dengan nilai perjanjian sebesar Rp. 350.000,-

sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa

safe deposit box adalah merupakan perjanjian yang dibuat secara sah dan

berlaku sebagai undang-undang bagi penyewa maupun bank. Hal ini

mengandung arti bahwa pelanggaran terhadap isi perjanjian merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa hak-hak nasabah sebagai penyewa yang diatur dalam akta perjanjian

sewa-menyewa safe deposit box No : PWO/04/109/2011 dijamin perlindungan

hukumnya oleh asas bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang

106

sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, hal ini tersirat

dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) akta perjanjian sewa-menyewa safe

deposit box. Selanjutnya jika perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dilihat

dari berlakunya asas bahwa perjanjian tidak boleh ditarik sepihak dan asas

itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, maka dapat

disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa safe deposit box pada dasarnya

telah mengatur asas tersebut yang secara tersurat maupun tersirat tercermin

dalam Pasal 15 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang

menyatakan bahwa : ”Masing-masing pihak menjamin kepada pihak lainnya

bahwa pihaknya akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik. Tidak

satupun ketentuan dan/atau penafsiran atas ketentuan dalam perjanjian ini akan

digunakan oleh satu pihak untuk mengambil keuntungan secara tidak wajar

dan/atau mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya”.

Dari fakta tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak-

hak nasabah sebagai penyewa sebagaimana ditentukan dalam perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box pada hakikatnya telah mendapatkan pelindunganan

hukum di dalam pelaksanaannya sesuai dengan hukum yang berlaku.

Mengingat keterangan mengenai hak-hak yang dilindungi nasabah safe

deposit box telah disebutkan, adapun keterangan lebih lanjut mengenai hak-hak

yang tidak dilindungi terhadap nasabah safe deposit box yang diantaranya

adalah terkait jika terjadinya wanprestasi yang dilakukan pihak bank dan jika

terjadi overmacht yang dalam hal ini pihak bank memberi suatu pembatasan

tanggung jawab.

107

Dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, apa yang menjadi

kewajiban pihak penyewa adalah menjadi hak bagi pihak bank dan apa yang

menjadi kewajiban bank adalah hak bagi penyewa, oleh karena itu perjanjian

sewa-menyewa safe deposit box merupakan perjanjian timbal balik.

Berdasarkan data 1.5 mengenai hak dan kewajiban, baik bank maupun nasabah

terdapat persamaan dan perbedaan dengan ketentuan Pasal 1550 dan Pasal

1560 KUHPerdata. Persamaanya, yakni bank wajib memelihara dengan aman

mengenai barang yang di sewakan yang dalam hal ini yaitu kotak safe deposit

box, sehingga dapat digunakan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh nasabah

yaitu nasabah aman menyimpan barang-barangnya di dalam safe deposit box,

serta bank juga berhak memperoleh uang sewa yang dibayarkan oleh nasabah.

Adapun perbedaannya, perlu diuraikan disini bahwa perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box memiliki kekhasan tersendiri. Sebagaimana telah

dikemukakan, bahwa obyek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah

kotak safe deposit box yang di sewa, sedangkan kotak safe deposit box yang

disewakan oleh bank tidak diserahkan oleh bank kepada nasabah, yang

diserahkan oleh bank adalah hak untuk menggunakannya, kotak safe deposit

box tetap pada penguasaan bank.

Dengan demikian, data 1.5 tersebut apabila dihubungkan dengan Pasal

1550 dan Pasal 1560 KUHPerdata yang dalam hal ini jika bank tidak

melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya sesuai perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box tersebut, maka nasabah berhak menuntut bank atas

dasar wanprestasi.

108

Selanjutnya inti dari suatu perjanjian adalah adanya prestasi yang harus

dipenuhi. Pada umumnya, literatur yang ada membagi prestasi ke dalam tiga

macam, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu

menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, namun,

Ahmadi Miru tidak sependapat dengan pembagian tersebut karena, apa yang

disebut sebagai macam-macam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi

hanya cara-cara melakukan prestasi, yakni :87

a. Prestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah

menyerahkan sesuatu (barang) ;

b. Prestasi yang berupa jasa, cara melaksanakannya adalah dengan

berbuat sesuatu ;

c. Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya

adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang

dilarang dalam perjanjian.

Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan

dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh

kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus

dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan

oleh kebiasaan, kepatutan atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi

tersebut berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.88

Perlu dikemukakan disini, bahwa perjanjian safe deposit box termasuk

perjanjian timbal balik pihak debitur dan kreditur. Karena sifat timbal baliknya

tersebut, maka baik pihak kreditur maupun debitur harus menunaikan prestasi

sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang atau menurut

87

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007, hlm. 69-70 88

Ibid, hlm. 70

109

perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, wanprestasi dapat dilakukan oleh pihak

debitur maupun kreditur.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa wanprestasi atau

tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak

disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena

memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena

terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa:

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi ;

b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna ;

c. Terlambat memenuhi prestasi ;

d. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak

yang wanprestasi) dirugikan, sebagai contoh jika pihak lain tersebut adalah

pedagang, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena

pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus

menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan :

a. Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi) ;

b. Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).

Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut

oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun,

jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan

tersebut dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu : 89

89

Ibid, hlm. 75

110

a. Pembatalan kontrak saja ;

b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi ;

c. Pemenuhan kontrak saja ;

d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Pembagian atas 4 (empat) kemungkinan tuntutan tersebut di atas,

sekaligus merupakan pernyataan ketidaksetujuan Ahmadi Miru, atas pendapat

yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih

menambahkan satu kemungkinan lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi saja”

karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi saja yang lepas dari

kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak, karena dibatalkan

atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi

para pihak dan tidak ada pilihan lain, sehingga tidak mungkin ada tuntutan

ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi. Tuntutan

apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung

pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila

tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak wanprestasi

tersebut juga dibebani biaya perkara.90

Adapun mengenai akibat dari wanprestasi itu sesuai dalam Pasal 1267

KUHPerdata, yang berupa ; pembatalan kontrak saja, pembatalan kontrak

disertai tuntutan ganti rugi, pemenuhan kontrak saja dan pemenuhan kontrak

disertai tuntutan ganti rugi.

90

Ibid, hlm. 75-76

111

Demikian juga dalam hal perjanjian sewa-menyewa safe deposit box

antara bank dengan nasabah, penyewa dapat menuntut ganti kerugian jika dari

pihak bank telah melakukan wanprestasi. Sebagai contoh, bank dapat dituntut

ganti rugi atas kerugian dan kerusakan atas sebagian/seluruh berubahnya mutu,

berkurangnya jumlah atau hilangnya barang yang disimpan dalam safe deposit

box, karena pihak bank tidak memelihara dan menjaga safe deposit box dengan

baik sesuai dengan keperluan yang dimaksudkan dalam perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box.

Dikaitkan dengan akibat wanprestasi, dengan demikian jika bank tidak

melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box

tersebut, maka nasabah berhak menuntut bank atas dasar wanprestasi, sesuai

dalam Pasal 1267 KUHPerdata yaitu berupa pemenuhan kontrak dan ganti

rugi.

Pada bab terdahulu telah dikemukakan mengenai pengertian overmacht

dan risiko. Telah dikemukakan pula bahwa dengan terjadinya overmacht, maka

akan timbul persoalan tentang siapa yang harus memikul risiko.

Dalam perjanjian sewa-menyewa pada umumnya risiko ditanggung

oleh pemilik barang. Hal ini merupakan kesimpulan dari Pasal 1533

KUHPerdata. Untuk lebih jelasnya Pasal 1533 KUHPerdata menyebutkan

bahwa : ’’Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah

karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi

hukum’’.

112

Diketahui bahwa keadaan memaksa (overmacht) ialah keadaan tidak

dapat dipenuhi prestasi oleh debitur, karena terjadi peristiwa bukan karena

kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga

akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

Adapun macam-macam overmacht, sebagiai berikut :

1. Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) adalah suatu keadaan

memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak

mungkin dilaksanakan.

2. Overmacht yang bersifat nisbi (relatif) adalah suatu keadaan yang

memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat

dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan yang demikian

besarnya, sehingga tidak lagi pantas kreditur menuntut pelaksanaan

tersebut.91

Adapun untuk menentukan sifat memaksa dari overmacht yang bersifat

nisbi ada 2 (dua) macam ukuran yaitu ukuran subyektif dan ukuran obyektif.

Ukuran subyektif adalah ukuran bagaimana keadaan seseorang tertentu yang

berbeda dengan orang lain. Ukuran ini menentukan apabila suatu keadaan

menyebabkan orang tertentu tidak dapat melaksanakan perikatan karena hal-hal

yang melekat pada diri orang bersangkutan, maka keadaan tersebut merupakan

keadaan memaksa menurut ukuran subyektif, sedangkan yang dimaksud

ukuran obyektif adalah ukuran bagaimana keadaan orang pada umumnya. Jika

suatu keadaan menyebabkan semua orang tidak dapat melaksanakan perikatan,

maka keadaan ini merupakan keadaan memaksa yang di ukur secara obyektif.92

Berdasarkan data 1.6 mengenai perjanjian sewa-menyewa safe deposit

box apabila terjadi kebakaran di bank, maka dapat disimpulkan bahwa kejadian

91

Tim Pengajar Hukum Perdata, Buku Ajar ; Hukum Perdata, Op.Cit, hlm. 101 92

Ibid, hlm. 101-102

113

seperti terjadinya kebakaran dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box

dikategorikan sebagai overmacht yang bersifat mutlak (absolut), yang dalam

hal ini pihak bank tidak bertanggungjawab, padahal maksud nasabah

(penyewa) menyimpan barang berharga dalam safe deposit box adalah agar ada

jaminan keamanan di bank sebagaimana yang dijanjikan, dengan demikian

dalam hal ini pihak nasabah tidak dilindungi, karena jika terjadi kebakaran

hingga barang yang disimpan dalam safe deposit box musnah, maka bank tidak

bertanggungjawab, sehingga risiko di tanggung sendiri oleh nasabah safe

deposit box, padahal bank mempunyai kewajiban untuk menjaga dan

memelihara obyek perjanjian (box) agar dapat digunakan nasabah safe deposit

box sebagaimana yang dijanjikan, terlebih seperti yang dimaksudkan dalam

brosur bahwa obyek sewa dibuat tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi

pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih, jadi disini ada

perluasan keadaan overmacht.

Disamping itu, selain dikategorikan sebagai overmacht yang bersifat

mutlak (absolut), kejadian overmacht perjanjian sewa-menyewa safe deposit

box juga dapat di lihat dari ukuran subyektif, dimana untuk menentukan sifat

memaksanya dari overmacht tersebut. Dari keterangan ini timbul pertanyaan

apakah kehilangan atau kerusakan barang safe deposit box itu merupakan

overmacht, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 8 dalam akta perjanjian sewa-

menyewa safe deposit box mengenai pembatasan tanggung jawab bank, yang

menyebutkan bahwa :

Bank tidak bertanggung jawab atas :

114

4. Perubahan kualitas/kuantitas, kehilangan, atau kerusakan barang

yang disimpan dalam SDB.

5. Resiko yang timbul karena force majeure yaitu bencana alam seperti

banjir dan gempa bumi, perang, huru hara, pemogokan, sabotase,

atau kebakaran yang dapat mengakibatkan perubahan' fisik, kualitas

dan/atau kuantitas dari barang simpanan.

6. Kerugian atau kehilangan yang diakibatkan oleh perampokan ,

penyerbuan atau perampasan dengan menggunakan ancaman atau

kekerasan terhadap Petugas atau Pejabat Bank ataupun terhadap

penyewa atau kuasanya.

Dari ketentuan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa hilang

atau rusaknya barang yang di simpan dalam safe deposit box itu juga

merupakan suatu overmacht. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis,

dalam hal overmacht dan risiko seperti ini belum pernah terjadi sampai dengan

mengakibatkan kerugian pada penyewa, seperti barangnya hilang atau rusak.

Yang pernah terjadi adalah kunci untuk membuka kotak safe deposit box itu

rusak, sehingga tidak dapat untuk membuka, yang dalam hal ini metode

penanganan bank dengan langsung melakukan tindakan pembetulan.

Dikaitkan dengan perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang

terdapat adanya asas kebebasan berkontrak, asal tidak bertentangan dengan

Undang-undang, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, walaupun

perjanjian ini telah dibuat secara baku oleh pihak bank, maka dengan adanya

kebebasan tersebut, dapat saja penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh

pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pihak bank yang dituangkan di

dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box kurang memenuhi rasa

keadilan dan lebih menguntungkan pihak bank sebagai pihak yang

menyelengarakan safe deposit box.

115

Adapun bahwa akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box tersebut

dapat dilihat adanya beberapa klausula Eksonerasi 93

, yaitu klausula baku yang

sifatnya dapat merugikan konsumen (nasabah) atau klausula baku yang dilarang

oleh undang-undang. Klausula eksonerasi tersebut cenderung menunjukkan

adanya bentuk pembebasan tanggung jawab yang dilakukan oleh bank, sehingga

penyewa atau nasabah yang akhirnya terpaksa menanggung segala risiko yang

ada.

Dengan demikian, karena dari perjanjian baku yang ditentukan sepihak

oleh pihak bank dan adanya klausula eksonerasi di dalam akta, maka nasabah

(penyewa) kurang mendapatkan perlindungan hukum, khususnya kaitannya

dengan masalah terjadinya kehilangan/kerusakan barang safe deposit box dan

terjadinya perampokan, sehingga merupakan bentuk pembatasan tanggung jawab

dari pihak bank yang dalam hal ini dikaitkan dengan kewajiban bank yang harus

menjaga dan memelihara obyek sewa (box) agar dapat digunakan oleh nasabah

penyewa safe deposit box sesuai yang dimaksud dalam brosur bahwa ruang

penyimpanan didukung dengan tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi

pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih, maka

seharusnya pihak bank bertanggungjawab jika terjadi kehilangan/kerusakan dan

perampokan.

Berkaitan dengan keadaan tersebut, berlakunya asas konsensualisme

menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan

berkontrak. Tanpa adanya kesepakatan dari salah satu pihak yang membuat

93

http://ojomta.blogspot.com/2010/09/eksonerasi.com

116

perjanjian, maka perjanjian yang dibuat itu dapat dibatalkan. Pembatasan

terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338

KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan

dengan itikad baik. Karenanya, para pihak tidak dapat menentukan

sekehendak hatinya mengenai klausula-klausula yang terdapat dalam

perjanjian, terutama praktek perjanjian safe deposit box yang ada di bank,

tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang

didasarkan pada itikad buruk misalnya paksaan atau penipuan yang

mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan

apabila nasabah menimbulkan ketidakpatutan, maka dapat dituntut ke pengadilan

dengan dasar itikad baik, sehingga tidak menutup kemungkinan isi perjanjian itu

dapat mengalami perubahan.

Perlindungan debitur terhadap perjanjian baku melalui itikad baik ialah

yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3), bahwa semua perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pitlo, tidak lain berarti bahwa kita

harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatutan dan keadilan. Menafsirkan

suatu perjanjian adalah menetapkan akibat-akibat daripadanya. Mengacu pada

itikad baik orang dapat merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata

aslinya, tetapi HR di negeri Belanda tetap tidak mau mengakui, bahwa asas

itikad baik dapat menyampingkan isi perjanjian, sampai pada arrest HR tahun

1967 perkara mengenai HBU dan Saladin.94

94

Proyek ELIPS, Hukum Kontrak di Indonesia, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1998, hlm.

154

117

Meskipun Saladin gagal menggugat HBU (Hollandse Bank Unie),

bahwa syarat eksonerasi itu bertentangan dengan itikad baik, tetapi setidak-

tidaknya HR telah mempertimbangkan bahwa asas itikad baik dapat menilai

apakah syarat eksonerasi dari bank itu sah atau tidak. Dan mulai saat itu asas

itikad baik dapat dipakai untuk menilai apakah syarat eksonerasi (perjanjian

baku) itu sah atau tidak.95

Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian walaupun dengan kontraknya

jika terjadi kerusakan, kehilangan dan perampokkan atas barang yang di simpan

nasabah kurang terlindungi, namun nasabah berhak menuntut berdasarkan Pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata atas dasar itikad baik.

Perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat pula

ditinjau dari hubungan non kontraktual. Berdasarkan hubungan non

kontraktual ini, perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat

diperoleh dari Undang-undang Perbankan. Perlu diuraikan disini, bahwa

hubungan non kontraktual ini meliputi adanya hubungan kepercayaan,

hubungan kehati-hatian dan hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah,

yang dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum dalam perjanjian

safe deposit box.

Asas perbankan yang dapat dikaitkan dari persoalan tersebut yaitu

adanya asas kepercayaan, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank

dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Hubungan

ini tersimpul dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 Undang-undang

95

Ibid

118

Perbankan.96

Bank perlu terus menjaga kesehatan bank nya, karena berbagai

persoalan yang menimbulkan kerugian terhadap nasabah dapat menyebabkan

ketidakpercayaan nasabah terhadap bank, khususnya dalam hal ini adalah

nasabah safe deposit box. Ketentuan pasal-pasal tersebut merupakan

perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan

terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kepercayaan.

Hubungan kehati-hatian tersimpul dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11 dan

Pasal 29 ayat (1),(2),(3) Undang-undang Perbankan. 97

Ketentuan perbankan di

Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha,

yang artinya dalam hal ini pihak yang menyewakan safe deposit box itu harus

dengan prinsip kehati-hatian untuk melindungi dan memelihara barang dalam

safe deposit box yang dipercayakan kepadanya. Bank juga wajib mempunyai

keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan,

serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi pembayaran harga sewa.

Ketentuan pasal-pasal yang terkait tersebut merupakan perlindungan hukum

yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan terhadap nasabah safe

deposit box atas dasar hubungan kehati-hatian.

Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah diatur dalam Pasal 29

ayat (4) Undang-undang Perbankan tentang Transparansi Informasi Produk

Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Ketentuan pasal tersebut dapat

diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan,

dimana bank mempunyai kewajiban untuk menyediakan informasi mengenai

96

Sulistyandari, Op.Cit, hlm. 304 97

Ibid, hlm. 308

119

kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah

yang dilakukan melalui bank dan nasabah penyimpan mempunyai hak untuk

memperoleh informasi tersebut,98

oleh karena itu bank harus memberikan

informasi sejelas-jelasnya terhadap nasabah, khususnya dalam hal ini yaitu

bagi nasabah safe deposit box. Ketentuan Pasal 29 ayat (4) tersebut

merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang

Perbankan terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kepedulian

terhadap risiko nasabah.

Pada konteks hubungan non kontraktual, perlindungan hukum dalam

perjanjian safe deposit box dapat pula diperoleh dari Undang-undang Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lahirnya Undang-undang ini

telah memberikan harapan-harapan besar bagi konsumen (nasabah), hal ini

dikarenakan seorang konsumen akan mempunyai landasan, serta payung

hukum untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan dalam dunia usaha

tidak terkecuali terhadap nasabah PT Bank Negara Indonesia (Persero), selain itu

adanya Undang-undang Perlindungaan Konsumen akan semakin memudahkan

pemerintah dan berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan,

pembinaan, serta pendidikan kepada konsumen akan dapat memaksimalkan

perannya dalam dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan lain sebagainya.

Sebagai konsekuensi terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi

pelanggarnya, dengan demikian upaya untuk lebih menjadikan seorang

98

Ibid, hlm. 325

120

konsumen sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan hukum benar-

benar terwujud.

Dengan diberlakunya undang-undang tersebut paling tidak akan

semakin membuka peluang konsumen (nasabah) lebih kondusif dan nyaman

karena akan senantiasa mendapatkan sebuah jaminan perlindungan yang

maksimal. Dalam dunia perekonomian peran konsumen sebagai salah satu

penggerak roda ekonomi suatu negara tidak akan dapat berjalan. Begitu besar

peran dari seorang konsumen atau nasabah sering kali tidak diimbangi dengan

perlakuan yang adil dari pihak-pihak tertentu, terutama para produsen nakal

yang hanya mengandalkan modal besar, tanpa berpegang pada etika bisnis,

kurang sadar akan pentingnya suatu perlindungan hukum terhadap hak-hak

konsumen sering kali menimbulkan praktek transaksi yang hanya

menguntungkan satu pihak saja yaitu penjual, yang dalam hal ini adalah bank

oleh sabab itu kemudian muncul wacana untuk lebih menghargai eksistensi

seorang konsumen dalam sebuah pasal besar menyangkut ekonomi dengan

memunculkan sebuah Undang-undang Perlindungan Konsumen.

121

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis

kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa :

1). Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam

perjanjian sewa-menyewa safe deposit box telah diatur dan terlindungi

berdasarkan akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No :

PWO/04/109/2011, yang meliputi :

a. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan.

b. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan.

c. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi.

d. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box.

e. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa.

f. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan

dengan cara perdamaian.

2). Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam

perjanjian safe deposit box dikaitkan dengan wanprestasi dan

overmacht, serta statusnya sebagai nasabah bank, berdasarkan :

a. Hubungan kontraktual.

Nasabah safe deposit box berhak mengajukan tuntutan atas dasar

wanprestasi berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata dengan pemenuhan

122

kontrak dan ganti rugi jika pihak bank tidak melaksanakan prestasi

sesuai yang di janjikan, sedangkan dalam hal jika terjadi kehilangan

atau kerusakan, kebakaran dan perampokkan nasabah kurang

terlindungi, karena dalam hal ini bank tidak bertanggungjawab,

karena disini ada perluasan dari overmacht dan pembebasan

tanggung jawab dari pihak bank, namun nasabah masih berhak

menuntut berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata atas dasar

itikad baik.

b. Hubungan non kontraktual.

Undang-undang Perbankan memberikan perlindungan hukum

terhadap nasabah safe deposit box, diantaranya nasabah berhak

menuntut atas dasar Pasal 16 dan Pasal 46 Undang-undang Perbankan

mengenai adanya hubungan kepercayaan, Pasal 49 ayat (2) huruf b dan

Pasal 52 Undang-undang Perbankan mengenai adanya hubungan

kehati-hatian dan hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah.

B. Saran

Mengingat perjanjian safe deposit box yang dibuat secara baku dan

sepihak oleh bank, pihak bank seyogyanya memberikan informasi dan

menjelaskan secara rinci dan jelas mengenai isi perjanjian dan akibat-akibat

hukumnya, sehingga nasabah tahu mengenai apa yang menjadi hak dan

kewajibannya dalam perjanjian safe deposit box tersebut.

123

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Arif ,M, Isa, Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2003.

Badrulzaman, Mariam, Darus, Aneka hukum Bisnis, Cetakan Pertama, Bandung,

Alumni, 1994.

Badrulzaman, Mariam, Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001.

Badrulzaman, Mariam, Darus, Pembentukan Hukum Nasional dan

Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buku Satu, Balai Pustaka, Jakarta,

1989.

Djumhana, M, Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Keempat, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2003.

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun

1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999.

Hasibuan, Malayu, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung,

1986.

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2005.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2008.

Machmud, Syachrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter

yang Diduga melakukan Medikal Malapraktik, CV. Mandar Maju,

Bandung, 2008.

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Cetakan Pertama,

Liberty, Yogyakarta, 1988.

124

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007.

Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.

Muhammad,Abdulkadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan

Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,

Cetakan Kedelapan, Sumur, Bandung, 1985.

Patrik, Purwahid, Hukum Kontrak Indonesia Seri Dasar Hukum Dagang 5, Elips,

Bandung, 1997.

Proyek ELIPS , Hukum Kontrak di Indonesia, Perpustakaan Nasional, Jakarta,

1998.

Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1993.

Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-undang, Ctk.

Kedua, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Satrio, J, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2000.

Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang

bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir

Indonesia, Jakarta, 1993.

Subekti, R, Aneka Perjanjian, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1982.

Subekti, R, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992.

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Ctk. Keduabelas, Intermesa, Jakarta, 1990.

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesebelas, Intermesa, Jakarta, 1990.

125

Suhardi, Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Ctk. Keempat,

Kanisius, Yogyakarta, 2006.

Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui

Pengawasan Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012.

Suryodiningrat, R,M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito,

Bandung,1978.

Suyatno, Thomas, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia, Jakarta, 1997.

Tim Pengajar Hukum Perdata, Diktat ; Hukum Perdata, Fakultas Hukum Unsoed,

Purwokerto, 2005.

Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Pertama,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Wakhid, Nur, Diktat ; Syarat Sahnya Perjanjian, Fakultas Hukum Unsoed,

Purwokerto, 2009.

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka

Utama Grafiti, 2003.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

SUMBER LAIN

Akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box PT Bank Negara Indonesia

(Persero) Tbk Purwokerto.

Brosur Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box PT Bank Negara Indonesia

(Persero) Tbk Purwokerto.

http://ojomta.blogspot.com/2010/09/eksonerasi.com