tinjauan yuridis terhadap penggunaan …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/yustyawan...

80
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) SKRIPSI Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A009044 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

Upload: dinhbao

Post on 30-Mar-2018

230 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA

AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

(Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di

Pakistan Tahun 2009)

SKRIPSI

Oleh:

YUSTYAWAN WIDYATMIKO

E1A009044

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

i

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA

AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

(Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di

Pakistan Tahun 2009)

SKRIPSI

Oleh:

YUSTYAWAN WIDYATMIKO

E1A009044

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : YUSTYAWAN WIDYATMIKO

NIM : E1A009044

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA

AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

(Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di

Pakistan Tahun 2009)

Yang saya buat ini betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya

orang lain, maupun dibuatkan orang lain.

Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran

sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari

Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH) yang saya sandang.

Purwokerto, Februari 2015

YUSTYAWAN WIDYATMIKO

E1A009044

iv

MOTTO

“SEKALI LAYAR TERKEMBANG,

SURUT KITA BERPANTANG”

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi

dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN

PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan

Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009)” telah

terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto.

Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa

bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak.

Oleh karenanya, dengan segala hormat, penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman;

2. Prof. Dr. Ade Maman Suherman, SH, M.Sc., selaku Ketua Bagian Hukum

Internasional, atas segala masukan yang diberikan kepada penulis;

3. Dr. H.M. Isplancius, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I

atas segala perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga

penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir;

4. Aryuni Yuliantiningsih, SH, MH., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II

atas segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan

kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;

5. Dr. Noer Indriati, S.H, M.Hum., selaku Dosen Penguji atas segala

masukan yang diberikan kepada penulis;

6. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

7. Orangtuaku tercinta, Ayahanda Drs. H. Setyo Mukaryadji dan Ibunda

Yusnani serta adikku tersayang Herlambang Yustyasaputra dan Fauziah

Sekar Yustyawati atas semua kasih sayang dan doanya yang tidak pernah

terputus sepanjang waktu;

8. Mia Sarah Zuztitiana, S.Si., atas dukungan dan motivasi yang diberikan

kepada penulis;

9. Keluarga besar Pemuda Pancasila dan Satuan Pelajar dan Mahasiswa

Pemuda Pancasila (SAPMA PP) Kabupaten Banyumas atas semua

pengalaman berharganya.

Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak

kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga

skripsi dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan.

Amin.

Purwokerto, Februari 2015

Penulis

ABSTRAK

Pada saat ini ada teknologi yang sudah digunakan atau yang akan

digunakan dalam berperang, pesawat tanpa awak (unmanned drones) adalah yang

paling terlihat sebagai contoh teknologi terbaru. Amerika Serikat menggunakan

pesawat tanpa awak (unmanned drones) untuk melakukan serangan militer

dengan alasan bahwa unmanned drones merupakan senjata paling efektif dalam

membasmi jaringan teroris. Tetapi kenyataannya unmanned drones dapat

memberikan penderitaan dan mengakibatkan luka yang berlebihan kepada

manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan

penggunaan unmanned drones menurut Hukum Humaniter Internasional dan

untuk mengetahui kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan

tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan

menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan kasus (case approach). Sumber data yang digunakan adalah data

sekunder. Data kemudian dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan unmanned

drones belum diatur secara tegas dalam Hukum Humaniter Internasional.

Unmanned drones merupakan senjata yang ilegal penggunaannya dalam sengketa

bersenjata internasonal karena melanggar prinsip-prinsip yang ada di dalam

Hukum Humaniter Internasional. Karena banyak pelanggaran yang dilakukan oleh

penggunaan unmanned drones, maka perlu dibuat peraturan yang mengatur

penggunaan unmanned drones dalam konflik bersenjata dan memberikan batasan

yang dipandang pantas dalam penggunaannya. Serangan unmanned drones

Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 merupakan pelanggaran kedaulatan

negara lain. Operasi militer Amerika Serikat untuk menangkap teroris melanggar

prinsip yang ada di dalam Hukum Humaniter Internasional, yaitu prinsip

kemanusiaan (humanity), prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip

proporsionalitas (proportionality principle). Amerika Serikat memiliki kewajiban

untuk melindungi warga negaranya dari ancaman teroris, namun kewajiban

tersebut harus seimbang terhadap kewajiban untuk melindungi kehidupan

penduduk sipil yang tidak bersalah dalam konflik antara negara dan teroris.

ABSTRACT

Nowadays there are some technologies that had been used or to be used in

war, unmanned drone is the most visible as an example that latest technology.

United States use an unmanned drones for a military attack with a reason that the

unmanned drones are the most effective in rooting out terrorist. But in fact

unmanned drones can give an excessive wound and caused misery to man. The

purpose of this research is to determine the use of unmanned drones regulation by

International Humanitarian Law and to determine the United State unmanned

drones attack in Pakistan in 2009 by International Humanitarian Law and to

determine the case of United States of America’s unmanned drones attack in

Pakistan in 2009 reviewed according to International Humanitarian Law.

The research method used is the juridical norm, by means of a statutory

approach method and the approach of the case. The source of the data used are

secondary data. The data are then analyzed using the methods of normative

qualitative.

Based on the survey results of research that the use of unmanned drones

not clearly regulated in humanitarian international law. Unmanned drones were

a illegal its use in an armed dispute internasional because it violated the

principles laid down in humanitarian international law. Because many of the

violations committed by the use of unmanned drones, it needs to be made to the

regulations governing the use of unmanned drones in armed conflict and provide

restrictions deemed appropriate in its use. The united states unmanned drone

attack in Pakistan in 2009 is a violation of the sovereignty of other countries.

United States military operation to capture terrorists in violation of the principle

of International Law, namely the principle of Humanity, the principle of

limitation, and the principle of proportionality. United States have a duty to

protect its citizens from terrorist threats, but such obligations should be balanced

against the obligation to protect the lives of innocent civilians in the conflict

between the State and terrorists.

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................. ii

SURAT PERNYATAAN ........................................................................................................ iii

MOTTO ................................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. v

ABSTRAK .............................................................................................................................. vii

ABSTRACT ........................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 7

D. Kegunaan Penelitian ................................................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 8

A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional .................................................... 8

1. Pengertian Hukum Internasional dan Subyek Hukum Internasional ........... 8

2. Sumber Hukum Internasional .................................................................... 11

B. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional ................................................ 13

1. Pengertian dan Tujuan Hukum Humaniter Internasional .......................... 13

2. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional ................................... 18

3. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional .................................... 20

4. Sarana dan Metode Berperang .................................................................. 24

ix

C. Tinjauan Tentang Unmanned Drones .................................................................... 27

1. Sejarah Unmanned Drones ....................................................................... 27

2. Pengertian Unmanned Drones .................................................................. 29

3. Jenis-Jenis Unmanned Drones .................................................................. 31

BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................................... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................................... 37

BAB V PENUTUP.................................................................................................................. 63

A. Simpulan .................................................................................................... 63

B. Saran .......................................................................................................... 65

Daftar Pustaka

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan instrumen utama masyarakat baik nasional maupun

internasional untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dari gangguan,

baik oleh perorangan, golongan ketertiban, atau pemerintah.1 Unsur utama yang

dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban, dengan terwujudnya

ketertiban, berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan

terpenuhi. Sehingga untuk mewujudkan ketertiban itu manusia akan

memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang

dirumuskan dalam bentuk kaidah, oleh karena itu demi mewujudkan ketertiban,

segala aspek kehidupan manusia perlu diatur oleh hukum.

Tujuan utama hukum internasional mengarah kepada upaya untuk

menciptakan sistem hubungan-hubungan internasional yang adil, akan tetapi

dalam perkembangan selanjutnya telah terbukti adanya suatu upaya untuk

menjamin secara obyektif adanya keadilan diantara negara-negara. Selain

mengingat bahwa negara-negara memperoleh perlakuan adil, hukum bangsa-

bangsa modern juga bertujuan untuk menjamin keadilan bagi umat manusia.2

Salah satu cabang dalam Hukum Internasional adalah Hukum Humaniter

Internasional. Hukum Humaniter Internasional memberikan banyak kontribusi

untuk adanya perang yang manusiawi yaitu perang yang menjunjung tinggi

1Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, 2006, hlm.2. 2J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, diterjemahkan oleh

Bambang Iriana Djajaatmaja, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm.6.

2

prinsip kemanusiaan dan hak asasi tiap manusia untuk dilindungi. Dengan ini

menyebabkan adanya aturan-aturan dari hukum kebiasaan maupun sumber-

sumber hukum internasional lainnya untuk mencegah terjadinya perang yang

sangat besar.

Seiring dengan dinamisnya perkembangan Hukum Internasional, ada

beberapa senjata yang dilarang penggunaannya dan persenjataan lain diatur

penggunaannya sesuai dengan prinsip-prinsip umum Hukum Internasional

maupun Hukum Humaniter Internasional. Prinsip-prinsip dalam Hukum

Internasional ini terdapat baik dalam kondisi jus ad bellum dan jus in bello.

Prinsip jus ad bellum (law on the use of force atau peraturan dalam kekuatan

bersenjata) dan prinsip jus in bello (law in war atau peraturan saat perang). Jus ad

bellum berorientasi pada peraturan yang diatur dalam Piagam PBB ataupun

peraturan yang mengesahkan suatu negara dalam mengambil tindakan kekerasan.

Jus in bello merupakan pengaplikasian peraturan-peraturan yang dilakukan pada

saat peperangan atau lebih dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional.3

Kedua keadaan di atas memiliki prinsip-prinsip yang harus diterapkan,

baik prinsip pada jus ad bellum agar dapat mengkategorikan bahwa penggunaan

kekuatan bersenjata suatu negara dapat diakui keabsahannya ataupun prinsip

dalam jus in bello yang terkait dengan apakah negara-negara yang sedang dalam

peperangan tidak melanggar atau bertindak jauh dari apa yang seharusnya

3 ICRC Overview. IHL and Other Legal Regimes – Jus Ad Bellum and Jus In Bello.

www.icrc.org. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.

3

dilakukan.4 Prinsip-prinsip tersebut, khususnya prinsip yang terkait dalam jus in

bello telah lama digunakan dan dituangkan dalam Konvensi Jenewa.

Perkembangan dari senjata-senjata yang digunakan dalam peperangan,

konflik, perlindungan untuk negara dan keamanan internasional diatur dalam

Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 mengenai alat dan cara

berperang, bunyi Pasal 36 ini adalah:

“In the study, development, acquisition or adoption of a new weapon,

means or method of warfare, a High Contracting Party is under an

obligation to determine whether its employment would, in some or all

circumstances, be prohibited by this Protocol or by any other rule of

international law applicable to the High Contracting Party”

terjemahan bebasnya adalah :

di dalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan

suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu Pihak Peserta

Agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau

segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau

oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku

terhadap Pihak Peserta Agung).

Pasal tersebut bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan

yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar

tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip

hukum internasional yang telah ada.

Memasuki abad 20 masyarakat internasional sadar akan pentingnya

peraturan yang lebih luas, detail dan mengatisipasi penggunaan kekuatan

bersenjata. Lewat pernyataannya dalam diskusi International Humanitarian Law

and New Weapon Technologies, Presiden Palang Merah Internasional menyatakan

bahwa sekarang ini, kita hidup dalam masa teknologi informasi dan melihat

4 Alexander Moseley. Just War Theory. www.iep.utm. Diakses pada tanggal 13 Maret

2014.

4

teknologi dipergunakan dalam wilayah tempur. Pada saat ini banyak teknologi

baru yang sudah digunakan maupun yang baru akan digunakan untuk berperang.

Beberapa teknologi yang sekarang ini sudah digunakan untuk berperang

diantaranya yaitu teknologi cyber, sistem remote control dan sistem senjata robot.

Pesawat tanpa awak (unmanned drones) adalah yang paling terlihat sebagai

contoh teknologi terbaru.5

Pernyataan ini tentu saja merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa yang

meresahkan dunia internasional sekarang ini khususnya penggunaan remote-

controlled weapon systems. Penggunaan unmanned drones atau pesawat tanpa

awak sebagai senjata dalam memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain

menjadi perbincangan yang kontroversial dalam forum internasional. Pada saat ini

Hukum Internasional tidak mempunyai kepastian dalam mengatur mengenai

penggunaan unmanned drones, tidak sama seperti pengaturan Hukum

Internasional terhadap nuklir ataupun misil balistik.

Unmanned drones digunakan oleh Amerika Serikat dengan alasan bahwa

unmanned drones merupakan senjata paling efektif dalam membasmi jaringan

teroris dan telah dioperasikan semenjak jaman Presiden Bush dan dimasa Presiden

Obama sekarang ini.

Pada tahun 2009 salah satu agen spesial dari PBB, the Special

Rapporteur, Philip Alston menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones oleh

Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan dan Afghanistan dapat

dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional, kecuali Amerika

5 Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan

Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional, Lex

Crimen, Volume 2 Nomor 1 Januari 2013, hlm. 186.

5

Serikat dapat menunjukkan pemberitahuan yang sepantasnya dan mekanisme

yang akuntabilitas. Hal ini dipicu dari fakta yang terjadi dilapangan yang mana

pemerintah Amerika Serikat menolak untuk menyediakan informasi resmi

mengenai penggunaan unmanned drones dalam penyerangan yang menewaskan

ribuan orang di Afganistan, Iraq, Pakistan, Yemen dan Somalia. Penyerangan di

Pakistan sendiri, tentara militer Amerika Serikat telah melepaskan serangan

sebanyak 297 kali yang menyebabkan meninggalnya 1.800 rakyat sipil.

Penggunaan unmanned drones semakin dikenal dengan penyerangan yang

menewaskan Osama Bin Laden di Pakistan tahun 2011 lalu.6

Penyerangan Amerika di Pakistan atau penyerangan Central Intelligence

Agency (“CIA”) di Pakistan dan daerah yang telah dikenal sebagai war zones

(wilayah perang) banyak dipandang oleh pemerhati Hukum Internasional sebagai

penyerangan yang illegal karena bertentangan dengan Hukum Perang. Kemudian

beberapa pemerhati Hukum Internasional menyatakan bahwa pembunuhan

masyarakat sipil secara luas dapat berakibat pada kejahatan perang. Hal ini

dikarenakan penyerangan terhadap penduduk lokal yang tidak berdaya dan tanpa

adanya kepentingan militer dapat berakibat pada pelanggaran berat terhadap

Konvensi Jenewa yang membuat tindakan itu masuk dalam kategori kejahatan

perang.

6Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. www.nytimes.com. Diakses pada tanggal

10 Maret 2014.

6

Terkait dengan hal diatas dalam laporan pada Dewan Hak Asasi Manusia

(Human Rights Council) mengenai extrajudicial, summary or arbitrary

executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan unmanned

drones. Beberapa mengungkapkan penggunaan unmanned drones tidak sesuai

dengan Hukum Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya

menyebabkan kematian yang tidak seharusnya. Ada pula yang menyatakan bahwa

penggunaan unmanned drones sesuai karena mempergunakan misil yang

diperbolehkan dalam Hukum Humaniter Internasional.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul :

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA

AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak

Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah legalitas penggunaan unmanned drone dalam sengketa

bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional?

2. Bagaimanakah kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan

tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional?

7

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk memahami legalitas dari penggunaan unmanned drones dalam sengketa

bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional.

2. Untuk mengetahui kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di

Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah

pengembangan ilmu pengetahuan dibidang Hukum Humaniter

Internasional yang terkait dengan penggunaan kekuatan bersenjata

khususnya unmanned drones, yang dipergunakan oleh suatu negara beserta

dengan tanggung jawab negara terkait.

b. Memperluas cakrawala dan memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu pengetahuan.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan

Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ,

Purwokerto.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi serta masukan bagi para

mahasiswa, akademisi dan terutama bagi masyarakat luas dalam upaya

memahami isu-isu yang terkait dengan Hukum Humaniter Internasional,

khususnya dalam hal kekuatan bersenjata.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional

1. Pengertian Hukum Internasional dan Subjek Hukum Internasional

Pada umumnya Hukum Internasional diartikan sebagai himpunan dari

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur

hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam

kehidupan masyarakat internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan

oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly,

terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan

subjek-subjek hukum lainnya.

Hukum internasional sekarang mengacu pada peraturan-peraturan dan

norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada

suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti organisasi

internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan lainnya. Hukum

Internasional mengakui bahwa aktor-aktor baru dapat diminta untuk berpartisipasi

di pentas internasional. Negara, meskipun tetap sebagai pemeran utama hukum

internasional, tidak lagi sebagai subjek yang eksklusif seperti dulu. Hukum

internasional pada awalnya hanya mengenai pengaturan hubungan antar negara

dan kemudian hanya dalam hal hubungan diplomatik dan pengaturan perang.7

7 Rebecca M.M Wallace, International Law, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi,

IKIP Semarang Press, Semarang, 1993, hlm.1.

9

Hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara tetapi

juga subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organisasi internasional,

kelompok-kelompok supranasional, dan gerakan-gerakan pembebasan nasional.

Hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam

hubungannya dengan negara-negara. Pada saat ini hukum internasional tidak lagi

semata-mata merupakan hukum antar negara dengan tampilnya aktor-aktor baru

non negara, namun dalam kehidupan internasional, negara masih tetap

memainkan peranan utama mengingat dampak kedaulatan yang dimilikinya

terhadap keseluruhan sistem hukum internasional.8

Subjek hukum internasional adalah setiap pemilik, pemegang, atau

pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. 9 Hal

itu terlihat dari fase awal kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, yaitu

hanya negara yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi,

seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan terhadap pelaku-pelaku

subjek hukum internasional.

Bentuk-bentuk subjek hukum internasional, diantaranya :10

1. Negara

Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti klasik dan telah

seperti itu sejak lahirnya hukum internasional. Hingga saat ini masih ada

anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hubungan antar

Negara.

8 Boer Mauna , Hukum Internasional Edisi ke-2, PT Alumni, Bandung, 2005, hlm.1.

9 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003,

hlm.87. 10

Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi), Bandung, CV

Pustaka Setia, 201, hlm. 214.

10

2. Takhta Suci

Takhta suci Vatican merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum

internasional yang telah ada sejak dahulu disamping Negara. Hal ini merupakan

peninggalan-peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya

merupakan Kepala gereja roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga

saat ini takhta suci mempunyai perwakilan diplomatik dibanyak ibu kota

terpenting di Indonesia termasuk di Jakarta.

3. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai

tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Organisasi ini dapat

dkatakan sebagai suatu subjek hukum yang terbatas yang lahir karena sejarah,

walaupun kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan konvensi

Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan

Korban Perang). Sekarang, Palang Merah Internasional secara umum diakui

sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum

internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.

4. Organisasi Internasional

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional

sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian

mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi

internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan

kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa PBB merupakan subjek hukum

11

internasional, setidaknya menurut hukum internasional khusus yang

bersumberkan konvensi internasional.

5. Orang Perseorang (Individu)

Sejarah singkat mengenai individu sebagai subjek hukum internasional

yaitu pada saat perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri

Perang Dunia antara Jerman, Inggris, dan Perancis dengan setiap sekutunya,

terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu mengajukan perkara ke

hadapan Mahkamah Arbritase Internasional. Ketentuan serupa terdapat dalam

perjanjian antara Jerman dan polandia tahun 1922 mengenai Silsela atas (Upper

Silsela).

2. Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan

merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam

masyarakat internasional. Sumber hukum dalam hukum internasional diatur dalam

Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice),

11 yang berbunyi :

1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law

such disputes as are submitted to it, shall apply:

a. International convention, whether general or particular, establishing

rules expressly recognized by the contesting states,

b. International custom as evidence of a general ractices accepted as law,

c. The general principles of law recognized by civilized nations,

d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the

teachings of the most highly qualified publicist of the various nations, as

subsidiary means for the determination of rules of law.

11

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1999, hlm.33.

12

Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional

disebutkan bahwa yang termasuk sumber hukum internasional yaitu :

a. Perjanjian internasional atau Traktat (International convention, whether general

or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states).

Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau

negara-negara di tingkat internasional. Traktat memberikan pengaruh terhadap

arah pembentukan suatu kaidah hukum internsional. Pada dasarnya traktat

memiliki dua sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan

traktat kontrak (treaty of contract).

b. Kebiasaan internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum yang dilakukan

oleh negara dan diterima sebagai hukum (International custom as evidence of a

general practices accepted as law).

Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktik-praktik

yang telah dilakukan oleh negara-negara. Tidak setiap kebiasaan internasional

merupakan kaidah hukum. Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum

kebiasaan internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut :

1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu

tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan

tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional;

2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negara-negara tidak

menyatakan keberatan terhadapnya.

13

c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general

principles of law recognized by civilized nations).

Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari berbagai

bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan.12

d. Keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai

negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum (Judicial decisions and

the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as

subsidiary means for the determinations of rules of law).

Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum

hanya merupakan sumber tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran

ahli hukum dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum

internasional, kebiasaan internasional, dan asas-asas umum hukum.13

B. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional

1. Pengertian dan Tujuan Hukum Humaniter Internasional

Istilah Hukum Humaniter Internasional atau lengkapnya disebut

international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah

hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum

sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa

dikenal dengan istilah hukum humaniter. Hukum Humaniter Internasional (HHI)

ialah sebagai salah satu bagian Hukum Publik Internasional, merupakan salah satu

alat dan cara yang digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau

12

Jawahir thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional, Refika Aditama,

Bandung, 2006, hlm.64. 13

Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,

Bandung, 2003, hlm.150-151.

14

negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh

masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Hukum Humaniter

Internasional merupakan satu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis

yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu

internasional yang berkaitan dengan kerugian dan korban perang.14

International Committee of The Red Cross memberi pengertian pada

hukum humaniter internasional yaitu aturan-aturan internasional, yang dibentuk

oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan

untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung

dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun non internasional, dan

untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari pihak-pihak yang

berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk

melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak

konflik.

Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu bagian dari

Hukum Publik Internasional yang diterapkan pada waktu pertikaian senjata.

Tujuan Hukum Humaniter Internasional adalah menjamin penghormatan manusia

dalam batas keperluan militer dan ketertiban umum, serta mengurangi akibat-

akibat permusuhan. Sebagai bagian dari Hukum Publik Internasional, tentu saja

aturan-aturan hukum humaniter internasional tidak hanya bersumber dari

perjanjian internasional saja. Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya,

14

Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional,

Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 27.

15

norma hukum humaniter internasional juga bersumber dari kebiasaan

internasional dan prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa.

Di dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20,

diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepnya banyak dipengaruhi

oleh asas kemanusiaan. Di dalam perkembangan sekarang ini, istilah hukum

sengketa bersenjata mengalami perubahan, yaitu diganti dengan istilah Hukum

Humaniter Internasional yang berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International

Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau Hukum Humaniter

Internasional (International Humanitarian Law). Beberapa rumusan mengenai

hukum humaniter antara lain : 15

a) Menurut Jean Pictet :

International Humaniterian Law in the wide sense is constitutional legal

provision, whether written and costumary, ensuring respect for individual and his

well being.

b) Geza Herzegh merumuskan bahwa Hukum Humaniter Internasional adalah:

Part of the rules of public international law which serve as the protection of

individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is

closely related to them but must be clearly distinguish from these it purpose and

spirit being different.

15

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The

Redcross , Jakarta, 1999, hlm.8.

16

c) Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah :

Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban

perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan

segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri

Berdasarkan pengertian diatas, maka terbentuk ruang lingkup hukum

humaniter, dimana dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu aliran

luas, aliran tengah, aliran sempit. Jean Pictet, menganut aliran luas, yaitu bahwa

hukum humaniter mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hukum Hak

Asasi Manusia. Hal ini berseberangan dengan Geza Hergezh. Menurutnya,

pengertian hukum humaniter internasional termasuk dalam aliran sempit, hanya

terbatas pada hukum Jenewa saja, adapun alasan yang dikemukakan oleh Hergezh

adalah : 16

a. Hukum yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat internasional

hanyalah Hukum Jenewa saja, apabila Hukum Den Haag dimasukan maka

akan mengurangi sifat humaniter yang diutamakan.

b. Hak Asasi Manusia tidak dimasukkan karena di dalam literatur hukum Negara

sosialis, hak asasi manusia ini ditegakkan dengan sarana hukum nasional.

Haryomataram sebagai penganut aliran tengah mengatakan hukum

humaniter hanya terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Tujuan pokok

dari kaidah-kaidah hukum ini untuk alasan-alasan perikemanusiaan guna

mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu, serta untuk membatasi

kawasan di dalam mana kebiasaan konflik bersenjata diizinkan. Berdasarkan

16

Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,

Surakarta, 1994, hlm.20.

17

alasan inilah, ketentuan-ketentuan itu kadang-kadang disebut sebagai “hukum

perang humaniter” atau kaidah-kaidah hukum “perang yang berperikemanusiaan”.

Nama-nama yang ada pada saat ini diakui untuk kaidah-kaidah tersebut adalah

“hukum humaniter internasional”.17

Hukum Humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari

sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak

dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang

dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Mohamed bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter itu adalah untuk

memanusiawikan perang.18

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh hukum humaniter

internasional diantaranya adalah :

a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari

penderitaan yang tidak perlu (unnecessary syffering) karena perang akan selalu

memakan korban baik dari pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil.

b. Menjamin Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang

jatuh ke tangan musuh, tidak dibenarkan perlakuan yang tidak layak, sistem

pembalasan, ini sangat dilarang oleh Hukum Humaniter. Bagi kombatan yang

jatuh ke tangan musuh harus diberi perlindungan dan perawatan serta berhak

diperlakukan sebagai tahanan perang.

c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa batas, seperti penggunaan

senjata perang yang sangat berbahaya dan memiliki daya membunuh yang

17

T.May Rudy, Hukum Internasional 2, PT.Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.78. 18

Arlina Permanasari, Op-cit, hlm.12.

18

sangat dahsyat. Dalam hal ini yang terpenting adalah tidak melanggar

kemanusiaan.

2. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional

Hukum perang yang kini lazim disebut Hukum Humaniter dibuat untuk

mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa,

seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau

dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan

penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik bagi masyarakat

awam atau penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun

bagi korban perang dan anggota combatant (pelaku pertempuran) yang terluka.

Oleh karena itu ada beberapa asas yang terkandung dalam Hukum Humaniter.

Asas-asas yang terkandung dalam Hukum Humaniter adalah : 19

a. Asas keperluan/kepentingan militer (military necessity), yaitu untuk

memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata

yang saling bertempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang

tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar hukum dan

yang tidak melanggar hukum (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh

digunakan dan yang tidak boleh digunakan.

b. Asas Kemanusiaan (humanitarian), yaitu untuk menerapkan perlakuan

terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan bagaikan

binatang (hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia, menghargai

19

T.May Rudy, Op.Cit, hlm.81.

19

hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak asasi

manusia.

c. Asas Ksatria (chivalry), yaitu untuk berlaku ksatria, tidak membokong lawan,

dan tidak berbuat khianat. Dalam hal ini termasuk larangan untuk melakukan

pembalasan dendam kesumat dengan mengatasnamakan perang atau situasi

pertempuran. Perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau

melumpuhkan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel,

keluarga, dan harta-benda lawan.

Selain adanya asas-asas dalam Hukum Humaniter Internasional, terdapat

pula prinsip-prinsip mendasar dari Hukum Humaniter Internasional. Prinsip-

prinsip tersebut adalah :

a. Prinsip Non-Diskriminasi, maksudnya untuk menghargai persamaan derajat

tidak membeda-bedakan, baik para pihak dalam pertempuran maupun korban

perang atas dasar agama, ras, etnis, suku bangsa, warna kulit, status sosial, dan

sebagainya. Sehingga setiap pelaku dalam konflik bersenjata mendapat

perlindungan dari kekejaman perang.20

b. Prinsip Pembedaan, prinsip ini diterapkan dalam Hukum Humaniter agar ada

pembedaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Dalam perang harus

dapat dibedakan antara kombatan dengan penduduk sipil. Hal ini dilakukan

agar tidak terjadi salah sasaran dalam perang. Kombatan adalah golongan

penduduk yang ikut secara aktif dalam permusuhan, mereka secara terang-

terangan mengangkat senjata untuk berperang, dan merupakan pihak yang

20

T.May Rudy, Op.Cit, hlm.81.

20

dapat dijadikan sasaran dalam perang. Mereka berhak mempertahankan diri,

baik menyerang bahkan sampai membunuh lawan. Sedangkan penduduk sipil

adalah mereka yang tidak ikut langsung dalam permusuhan, dan dilindungi

haknya. Mereka bukan merupakan sasaran dalam perang, bahkan

dimungkinkan untuk pindah menuju tempat yang lebih aman apabila di

daerahnya terjadi perang. Prinsip ini muncul dari adanya Konvensi Jenewa

1949. Hal ini diterapkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya

pelanggaran terhadap hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai

kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja.

c. Prinsip Proporsionalitas, prinsip ini menyatakan bahwa kerusakan yang akan

diderita oleh penduduk sipil atau obyek-obyek sipil harus proporsionalitas

sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan

militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya

serangan terhadap sasaran militer.

Prinsip-prinsip diatas harus selalu dijadikan pedoman oleh para pihak yang

bersengketa agar tujuan perang yang diinginkan dapat terwujud. Baik asas

maupun prinsip harus dilakukan secara seimbang dan dilakukan dengan penuh

tanggung jawab oleh para pihak.

3. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional

Meskipun pemikiran untuk membatasi perang dengan memasukkan dan

memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan telah memiliki akar sejarah yang

panjang, hukum humniter sebagai suatu sistem yang modern baru muncul pada

abad 19 dengan lahirnya konvensi-konvensi yang menjadi dasar hukum bagi

21

pelaksanaan HHI. Sebagaimana yang dikemukakan oleh jean Pictet bahwa dalam

Hukum Humaniter Internasional terdapat 2 aturan pokok disamping aturan-aturan

lainnya, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum Den Haag merupakan ketentuan HHI yang mengatur mengenai

cara dan alat berperang. Membicarakan mengenai Hukum Den Haag berarti

membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun

1899 yang disebut dengan Konvensi Den Haag 1899 serta Konferensi Perdamaian

II tahun 1907 atau dikenal dengan Konvensi Den Haag 1907.21

Konvensi Den

Haag 1899 yang dilaksanakan pada Mei 1899 selama 2 bulan tersebut

menghasilkan tiga konvensi, yaitu :

a. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional

b. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat

c. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus

1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan Konvensi Den Haag 1907 mengatur mengenai alat-alat, sarana,

atau metode yang diperbolehkan dalam perang merupakan hasil Konferensi

Perdamaian II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899.22

Konvensi ini menghasikan 13 konvensi, yaitu:

1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;

2) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut

Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;

3) Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;

21

Arlina Permanasari, Op.cit, hlm.23. 22

T.May Rudy, Op.Cit, hlm.82.

22

4) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan

Peraturan Den Haag;

5) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral

dalam Perang di Darat;

6) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan

Peperangan;

7) Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang;

8) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;

9) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;

10) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Perang di

Laut;

11) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak

Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;

12) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan;

13) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di

Laut.

Berbeda dengan Hukum Den Haag, Hukum Jenewa lebih mengatur

mengenai perlindungan korban sebagai akibat perang yang terjadi. Hukum Jenewa

terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat

Konvensi Jenewa 1949 yang masing-masing adalah :

i. Konvensi Jenewa mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang

yang luka dan sakit di pertempuran darat.

23

ii. Konvensi Jenewa mengenai perbaian keadaan anggota angkatan perang di

laut yang luka, sakit, dan korban karam.

iii. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang.

iv. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang.

Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977

disempurnakan dengan Protokol Tambahan yang mengatur mengenai

perlindungan penduduk sipil. Protokol Tambahan ini disebut dengan Protokol

Tambahan I tahun 1977 (Additional Protocol I) tentang Perlindungan Korban

dalam Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II tahun 1977

(Additional Protocol II) tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata

Non-internasional.

Secara umum Protokol Tambahan I Tahun 1977 mengatur mengenai

sengketa bersenjata internasional. Sengketa bersenjata internasional (international

armed conflict) adalah pertempuran antara angkatan bersenjata dari setidak-

tidaknya dua negara. Artinya sengketa bersenjata internasional adalah

persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain. Disamping

berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol I tahun 1977 tentang

Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Internasional juga berlaku dalam

situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada Pasal

ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata

antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation dan racist

regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri,

sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam

24

Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan

bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana yang diatur dalam Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa.23

Protokol Tambahan II mengatur mengenai sengketa bersenjata non-

inernasional. Sengketa bersenjata non-internasional melibatkan beberapa pihak,

yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata non-

internasional dapat terlihat sebagai suatu situasi dimana terjadi permusuhan antara

angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata

yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu negara.

Disamping itu sengketa bersenjata non-internasional mungkin pula terjadi pada

situasi-situasi dimana faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan

satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah.24

4. Sarana dan Metode Berperang

Telah kita ketahui bahwa hukum Den Haag terdiri dari serangkaian

peraturan yang mengatur mengenai sarana (alat) dan metode (cara) berperang,

baik berupa konvensi maupun deklarasi, yang terbentuk dalam Konferensi

Perdamaian di Den Haag pada tahun 1899 dan 1907, yakni yang menghasilkan

serangkaian konvensi Den Haag.25

Sarana dan metode berperang diatur dalam Konvensi Den Haag. Metode

berperang menurut Konvensi Den Haag diatur dalam beberapa ketentuan.

Pertama, ketentuan Pasal 23 (b) Konvensi Den Haag yang melarang membunuh

atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat ( treacherously).

23

Arlina Permanasari, Op Cit, hlm.133 24

Ibid, hlm.143. 25

Ibid, hlm.57

25

Ketentuan Pasal 24 Konvensi Den Haag yang menyatakan bahwa tipu muslihat (

ruses of war) serta pelaksanaan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

mendapatkan informasi mengenai musuh dianggap diperbolehkan.

Salah satu masalah adalah bagaimana menentukan bahwa suatu tindakan

dikategorikan sebagai suatu tindakan curang atau tipu muslihat. Contoh tindakan

yang termasuk tindakan curang adalah sebagaimana tercermin dalam Pasal 23(f)

dimana penggunaan bendera perdamaian (flag of truce) tidak pada tempatnya

adalah dilarang (sebagaimana diketahui, bendera perdamaian berfungsi untuk

melindungi negosiator atau perantara).

Konvensi Den Haag juga melarang, bukan berdasarkan ada sifat curang

tidaknya suatu perbuatan, tetapi karena sifat kejamnya suatu perbuatan (cruelty),

misalnya larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de

combat atau yang telah menyerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 (c)

Konvensi Den Haag. Demikian pula hal ini tercermin dalam ketentuan pasal 25

Konvensi Den Haag mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan,

daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan. Apabila hal

tersebut akan dilakukan, maaka komandan yang bersangkutan harus

mengumumkan terlebih dulu kepada penguasa sipil yang bersangkutan. Demikian

pula terdapat larangan perampasan suatu kota atau suatu tempat, sebagaimana

tercermin dalam Pasal 28 Konvensi Den Haag.

26

Di dalam Konvensi Den Haag, Pasal 35 menurut apa yang disebut

peraturan dasar dicantumkan tiga ketentuan, yaitu :26

a. Dalam setiap konflik bersenjata, hak dari pihak-pihak dalam konflik untuk

memilih atau menentukan cara atau alat berperang dibatasi (ketentuan ini

terdapat juga dalam Pasal 22 Konvensi Den Haag).

b. Dilarang menggunakan senjata proyektil material dan metode berperang yang

menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu.

c. Dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang, atau dapat diharapkan

akan menyebabkan kerusakan luas (hebat) berjangka panjang terhadap

lingkungan hidup.

Pasal 38 Konvensi Den Haag melarang penggunaan secara tidak tepat atau

tidak terbatas dari emblem-emblem: palang merah, bintang sabit merah serta singa

dan matahari merah, dan emblem-emblem lain yang ditentukan dalam konvensi

atau protokol.

Selain diatur di dalam Konferensi Den Haag, aturan mengenai sarana dan

metode berperang juga dijelaskan di dalam Protokol Tambahan I. Ketentuan

mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I terdapat

dalam Bagian III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare,

Combatant and Prisoner of War Status” (pasal 35-47). Secara garis besar,

ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan

lagi, antara lain dengan adanya penambahan aturan dasar (basic rules), ketentuan

mengenai senjata-senjata baru, adanya penabahan lambang-lambang internasional

26

T.May Rudy, Op.Cit, hlm. 89.

27

yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori orang-

orang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata (antara lain terdapat

ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata, dan sebagainya).

Ketentuan lain tentang alat/sarana berperang yang ditambahkan dalam

Protokol adalah adanya kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menentukan

apakah penggunaan senjata-senjata baru yang sedang dikembangkan akan

bertentangan dengan Protokol I atau dengan aturan hukum internasional lainnya

yang mengikat negara tersebut. Apabila negara yang bersangkutan tidak

melakukan hal tersebut, maka negara tersebut akan bertanggung jawab terhadap

setiap kerusakan yang terjadi.27

C. Tinjauan Tentang Unmanned Drones

1. Sejarah Unmanned Drones

Upaya pertama untuk membuat pesawat udara dari torpedo angkatan udara

terjadi di Amerika Serikat pada saat perang dunia I. Sebuah pesawat tanpa pilot

dibuat untuk menyerang target dan menjatuhkan bom yang mematikan dengan

sendirinya.

Pada tahun 1916 - 1917 dibuat pesawat tanpa awak yang diberi nama

Hewitt Sperry Automatic Airplane. Pesawat tanpa awak ini melakukan sejumlah

tes penerbangan pendek untuk membuktikan bahwa pesawat tanpa awak itu ada

dan bisa diciptakan. Pada November 1917 perwakilan Angkatan Darat Amerika

Serikat menyaksikan salah satu penerbangan ini dan memulai sebuah peluncuran

torpedo atau bom terbang. Proyek ini dipimpin oleh Letnan.Kolonel Bion J.

27

Arlina Permanasari, Op.Cit, hlm.67-68.

28

Arnold. Berbagai perusahaan bekerja sama untuk memproduksi 20 pesawat tanpa

awak lengkap, dan uji coba penerbangan berhasil dilakukan pada 4 Oktober 1918.

Pada saat Perang Dunia I berakhir, lima minggu kemudian semua proyek

dihentikan kecuali untuk beberapa eksperimen pesawat tanpa awak. Kemudian

proyek ini dihentikan total pada tahun 1925 .

Angkatan Udara dari Ordnance memutuskan untuk melanjutkan

pengembangan sebuah pesawat radio kontrol. Sebuah pesawat latih N-9

digunakan sebagai dasar kendaraan dan ditambah dengan stabilisasi dan peralatan

radio kontrol yang dikembangkan oleh Naval Research Laboratory dan oleh Carl

Norden. Sebuah penerbangan pesawat tanpa awak sukses pada 15 September

1924, tapi pesawat itu rusak pada saat pendaratan dan tenggelam. Kejadian

tersebut mengakhiri pengembangan pertama drone, atau disebut pesawat tanpa

awak.

Pada tahun 1936 Angkatan Udara memulai program drone lain yang

dimaksudkan untuk memberikan target yang realistis untuk latihan meriam anti

pesawat. Pesawat yang digunakan adalah Stearman Hammond JH 1 dan peralatan

radio kontrol dikembangkan kembali oleh Naval Research Laboratory. Drone ini

melakukan penerbangan pertama pada 15 November 1937. Pada musim panas

berikutnya drone tersebut pertama kali digunakan untuk latihan sasaran

antipesawat dari USS Ranger. Komandan Fahrney kemudian menyarankan

pengembangan drone untuk penyerangan.

29

Pada Januari 1941 dimulai konversi dari TG-2 (pesawat torpedo) dan BG-

1 (dive bomber) ke rudal, dikonversi dan dibuat pesawat torpedo tanpa awak.

Diterbangkan oleh pilot pada jarak sepuluh mil. Kemudian berhasil digunakan

untuk menyerang pada tanggal 23 Maret 1942. Pada tanggal 19 April 1942,

Pesawat pengebom itu di coba kembali di Chesapeake Bay. Pesawat tersebut

diterbangkan oleh seorang pilot melalui layar monitor sejauh 11 mil. Tes ini

membuktikan bahwa drone merupakan senjata untuk penyerangan yang praktis.

Kemudian mulai digunakan dalam Perang Dunia II .28

2.Pengertian Unmanned Drones

Unmanned Drones secara global masih belum memiliki definisi yang

rampung dan konsisten. Sepanjang perkembangannya, Unmanned Drones dikenal

juga dengan Pilotless Aircratft, Uninhabited Aircraft, Remotely Piloted Vehicles

(RPV) dan Remotely Operated Aircraft (ROA).

Hambatan dalam menentukan definisi yang tepat untuk Unmanned Drones

dikarenakan aplikasi penggunaannya berbeda-beda. Ada yang digunakan untuk

militer, sipil dan komersial. Pendefinisian yang berbeda-beda ini menghasilkan

kerumitan dalam memberikan satu definisi yang tepat, contohnya pendefinisian

Unmanned Drones militer, belum tentu dapat di aplikasikan pada definisi

Unmanned Drones komersial.

28

Hystory Drones. www.theuav.com. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014.

30

Oleh karena itu, di bawah ini terdapat beberapa definisi yang bisa

dijadikan komparasi antara satu definisi dengan definisi yang lain, antara lain:29

1. “A power driven aircraft, other than a model aircraft, that is designed to fly

without a human operator on board” (terjemahan bebas: sebuah pesawat alik

yang berbeda dengan model pesawat lainnya, pesawat yang di desain untuk

terbang tanpa operator manusia di dalamnya).

2. “A powered, aerial vehicle that does not carry a human operator, uses

aerodynamic forces to provide lift, can fly autonomously or be piloted

remotely, can be expandable or recoverable, and can carry a lethal or non-

lethal payload. Ballistic or semi ballistic vehicles, cruise missiles, and artillery

projectiles are not considered Unmanned Aerial Vehicles” (terjemahan bebas:

sebuah pesawat bertenaga angin yang tidak dapat membawa operator manusia,

menggunakan kekuatan aerodinamis untuk mengangkatnya naik, dapat terbang

secara otonom atau dikontrol dengan pengendali, dan dapat membawa atau

tidak membawa senjata. Kendaraan balistik atau bukan blistik, misil dan

projektil artileri tidak dapat dikatakan sebagai pesawat tanpa awak).

Saat ini, pesawat tanpa awak mampu melakukan misi pengintaian dan

penyerangan. Atas serangan pesawat tanpa awak tersebut, banyak laporan

mengatakan bahwa banyak serangan pesawat tanpa awak yang berhasil tetapi

pesawat tanpa awak mempunyai reputasi untuk menyerang secara berlebihan atau

menyerang target yang salah.

29

Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan

Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional, Lex

Crimen, Volume 2 Nomor 1 Januari 2013, hlm. 190.

31

Pesawat tanpa awak juga semakin banyak digunakan untuk keperluan sipil

(non militer) seperti pemadam kebakaran, keamanan non militer atau pemeriksaan

jalur pemipaan. Pesawat tanpa awak sering melakukan tugas yang dianggap

terlalu kotor dan terlalu berbahaya untuk pesawat berawak.30

3. Jenis-Jenis Unmanned Drones

Pada perkembangannya, drones tidak hanya digunakan untuk berperang.

Terdapat beberapa jenis drones yang ada sekarang ini. Jenis-jenis drones yang ada

pada saat ini adalah: 31

A. Target and decoy:

Fungsi drones ini adalah melacak keberadaan musuh dan juga sebagai umpan

bagi pesawat lawan pada saat perang di udara. .

Contohnya adalah pesawat RQ-2B Pioneer, Pesawat tanpa awak ini

adalah hasil kolaborasi antara Amerika Serikat dan Israel Aircraft Industries.

Pesawat ini telah dipergunakan oleh US Marine Corps, US Navy dan US Army

sejak 1986. Pioneer bertugas melakukan pengintaian, pengawasan, pencarian

target, dan mendukung penembakan angkatan laut baik pada siang hari maupun

malam hari. Panjang badan 14 kaki dan rentang sayap 17 kaki, Pioneer dapat

terbang hingga ketinggian 15.000 kaki selama lima jam. Pioneer dalam

melakukan misi dapat mengangkut beban hingga 37 Kg dan dilengkapi sensor

optik serta alat pendeteksi ranjau.

30

Pengertian Pesawat Tanpa awak. www.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 20 Mei

2014. 31

Jenis-jenis Unmanned Drones. www.theuav.com. Diakses pada tanggal 19 Mei 2014.

32

B. Reconnaissance:

Fungsi drones ini adalah sebagai mata-mata atau pengintai di medan perang.

Contohnya adalah Pesawat RQ-8A Fire Scout, Helikopter yang diadopsi

dari helikopter jenis ringan Schweizer 330SP, RQ-8A Fire Scout digunakan

oleh US Navy untuk misi pengintaian. Helikopter ini mampu beroperasi selama

empat jam lebih dengan jarak 120 mil dari pusat kendali dengan sistem

navigasi berbasis GPS.32

C. Combat:

Fungsi drones ini adalah untuk melakukan penyerangan yang mematikan pada

saat berperang.

Contohnya adalah pesawat General Atomics MQ-1 Predator. MQ-1

Predator adalah pesawat multifungsi tanpa awak yang dikembangkan untuk

menjadi mesin penghancur. Dalam operasi militer Amerika di Afghanistan,

Yaman Somalia, Irak dan Pakistan, Reaper dilengkapi dengan rudal AGM 114

Hellfire39 dan dipergunakan untuk memburu dan menghancurkan target.

Pesawat ini dapat mengangkut beban hingga lima ton, berkecapatan 368 Kmph

pada ketinggian 50.000 kaki dan dapat terbang sejauh 5.891 kilometer dari

pusat kendali. Pesawat ini dilengkapi dengan IR targeting sensor, laser

rangefinder40 dan synthetic aperture radar. Reaper dapat dibongkar pasang

dan diangkut ke berbagai lokasi dengan mudah.

32

Pesawat-tanpa-awak-tercanggih . odyckdnero.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 mei 2014.

33

D. Research and development:

Fungsi drones ini adalah untuk mengembangkan teknologi di bidang

penerbangan.

Contohnya adalah pesawat Close Range Surveilance (CR-10). Pesawat ini

dibuat oleh Lembaga Penerbangan dan Penerbangan dan Antariksa Nasional

(Lapan). Pesawat tersebut dibuat untuk mengembangkan teknologi

penerbangan khususnya di bidang pesawat tanpa awak di Indonesia.33

E. Civil and Commercial:

Drones ini dirancang khusus untuk aplikasi sipil dan komersial.

Contohnya adalah pesawat Northrop Grumman Global Hawk. Global

Hawk adalah pesawat tanpa awak yang terbesar dan tercanggih di dunia saat

ini. RQ4 Global Hawk adalah pesawat tanpa awak pertama yang memperoleh

sertifikasi dari badan penerbangan Amerika untuk terbang dan mendarat di

bandara sipil secara otomatis, karena keunggulannya ini, Global Hawk

diharapkan dapat menjadi perintis pesawat penumpang dengan pilot otomatis

dimasa mendatang. Untuk keperluan militer, pesawat ini dapat dipergunakan

untuk melakukan pengintaian, pengawasan dan survey intelejen lainnya pada

daerah yang luas dan dalam jangka waktu yang lama.

33

Asia-tenggara-teknologi-pesawat. indodefensetechno.blogspot.com. Dikunjungi pada

tanggal 19 mei 2014.

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif34

, dengan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) yaitu peneliti melihat hukum sebagai

sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat comprehensive, all-inclusive dan

systematic.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif

maksudnya bahwa penelitian ini menggambarkan keadaan atau gejala dari objek

yang akan diteliti secara menyeluruh dan sistematis. Analitis karena kemudian

dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum,

kaidah hukum dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di delegasi ICRC (International committee of The Red

Cross) Indonesia di Jakarta, unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan

Universitas Jenderal Soedirman, dan media internet.

34

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,

Malang, 2008, hlm 294.

35

D. Sumber Data

Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data

pokok yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang

berasal dari bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum sekunder yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya hasil penelitian,

hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

Selain data sekunder, dalam penelitian ini juga digunakan data tersier, data

tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

ensiklopedia, dan lain-lain.35

E. Metode Pengumpulan Data

Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi

peraturan undang-undang yakni, dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan

data sekunder dan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data ialah

dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya

ilmiah sarjana, dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah

maupun jurnal surat kabar dan dokumen resmi lainya yang relevan dengan

masalah yang diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelajari sebagai satu kesatuan

yang utuh.

35

Johny Ibrahim, Op-Cit, hlm.392

36

F. Metode Penyajian Data

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara

sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh dihubungkan satu dengan yang

lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan

merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian.

G. Metode Analisa Data

Untuk menganalisa data yang diperoleh, digunakan metode secara normatif

kualitatif yaitu pembahasan dan penjabaran data hasil penelitian yang

mendasarkan pada norma atau kaidah-kaidah hukum secara doktrin-doktrin yang

relevan dengan permasalahan.

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Legalitas Penggunaan Unmanned Drone

Dunia modern tidak saja membawa kita pada kemajuan-kemajuan

teknologi yang berkembang pesat, akan tetapi juga pada bayangan ketakutan akan

semakin meningkatnya pembuatan dan perkembangan teknologi dalam bidang

persenjataan terutama pada saat Perang Dunia I dan Perang Dunia II, banyak

senjata baru yang dikembangkan bahkan beberapa diantaranya memiliki daya

rusak yang berbahaya seperti senjata biologi, senjata nuklir, senjata kimia, dan

senjata yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan. Senjata-senjata yang

menambah penderitaan manusia harus dihindarkan pemakaiannya karena hal ini

sangat bertentangan dengan rasa perikemanusiaan dan tujuan utama hukum

humaniter yang mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan

dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.36

Pada saat ini telah muncul bermacam-macam jenis senjata baru yang

digunakan untuk berperang. Salah satunya adalah senjata dengan menggunakan

pesawat tanpa awak (Unmanned Drone). Selain digunakan sebagai senjata dalam

berperang, unmanned drone memiliki banyak fungsi lain. diantaranya adalah

sebagai mata-mata, sebagai pengawas lingkungan, sebagai pengantar paket, dan

sebagai alat untuk mengambil foto maupun video bagi dunia jurnalistik.37

36

Arlina Permanasari, Op.Cit, hlm. 12. 37

Fungsi drone pesawat tanpa awak selain perang, www.betabicara.com, diakses pada

tanggal 29 November 2014.

38

Fungsi unmanned drone yang pertama adalah sebagai mata-mata. Ini

adalah fungsi pertama kali yang dikenal oleh masyarakat. Penggunaan unmanned

drone sebagai mata-mata ini adalah dengan menerbangkan unmanned drone di

atas wilayah musuh untuk mengetahui keberadaan target ataupun mengetahui

situasi di wilayah yang akan diserang. Fungsi kedua unmanned drone sebagai

pengawas lingkungan. Fungsi yang hampir sama dengan fungsi mata-mata

unmanned drone ini berfungsi untuk mengawasi suatu daerah tertentu. Unmanned

drone diterbangkan di suatu daerah tertentu untuk mengawasi jika terjadi

pelanggaran, misalnya pelanggaran lalu lintas, pencemaran lingkungan, kebakaran

hutan, dll.

Fungsi ketiga unmanned drone sebagai pengantar paket, perusahaan online

store terbesar di Amerika Serikat, Amazon sedang menguji coba unmanned drone

mereka. Fungsi unmanned drone Amazon ini adalah untuk mengantar barang dari

gudang ke pembeli dan tidak lagi melalui jasa kurir atau paket yang biasa

digunakan. Unmanned drone jenis ini masih dalam tahap uji coba. Keempat yaitu

fungsi unmanned drone sebagai alat untuk mengambil gambar dalam dunia

jurnalistik. Pada saat ini, perkembangan unmanned drone semakin maju, bukan

hanya militer saja yang menggunakan unmanned drone tetapi juga jurnalis.

Tujuannya adalah pengambilan gambar dari udara untuk memperoleh foto atau

video mengenai pemberitaan yang sedang mereka siarkan, sehingga berita yang

disampaikan ke masyarakat lebih menarik.38

38

Ibid.

39

Pada saat ini Unmanned Drones telah berkembang pesat. Perkembangan

ini dipacu karena adanya konflik global dan memberikan revolusi dalam dunia

penerbangan. Alasan utama dalam pembuatan Unmanned Drones adalah agar para

pilot mengontrol pesawatnya dengan sistem kontrol eksternal. Konfigurasi dari

penggunaan pesawat tanpa awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan keuntungan

ekonomi. Konsep pesawat tanpa awak ini diambil dari konsep layang-layang.

Konsepnya dengan memanfaatkan aerodinamis untuk mengangkat bendanya dan

dikontrol dari bawah.

Unmanned Drones juga menjadi sarana transportasi untuk keguanan

pelayanan sipil, pemerintahan dan dalam pasar komersial. Hanya saja, seperti

Eropa, Kanada atau Amerika Serikat telah mengembangkan kegunaan Unmanned

Drones dalam bidang militer. Pengembangan Unmanned Drones jenis militer ini

dimulai pada tahun 1990 yang dipergunakan dalam pertempuran. Unmanned

Drones ini dinamakan unmanned combat aerial vehicles (UCAVs). Awalnya,

UCAV ini tidak akan digunakan sampai dengan dekade pertama dari abad baru

yaitu abad 20, tapi dengan peristiwa 9/11, UCAV pun mulai dioperasikan.

Perkembangan Unmanned Drones kemudian memberikan implikasi dalam

Hukum Internasional.39

39

Michael Nas, Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned

Aerial Vehicles, 2008, Hlm.1.

40

Penggunaan unmanned drone tidak memerlukan pilot untuk mengendarai

pesawat tersebut. Selain itu, unmanned drone dilengkapi dengan fasilitas

persenjataan sehingga dapat melakukan penembakan saat itu juga, baik dengan

kontrol oleh pilot yang berjarak ribuan mil atau secara otonom. Amerika Serikat

adalah negara pertama yang menggunakan unmanned drone tepatnya pada masa

pemerintahan Bush.

Penyerangan dengan unmanned drone dilakukan pertama kali di

Afganistan. Pada masa Presiden Obama, penyerangan dengan menggunakan

pesawat tanpa awak mengalami peningkatan yang signifikan. Saat ini terjadi

kontroversi terhadap cara menangkap para pelaku teror sesuai dengan cara yang

dipakai Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa mereka menggunakan

unmanned drones untuk Global War on Terror. Penggunaan unmanned drones ini

ditentang karena dianggap melanggar syarat untuk membedakan yang mana

penduduk sipil dan kombatan atau prinsip necessity untuk proporsionalitas.

Faktanya, pada tahun 2010 terdapat 118 serangan di Pakistan. CIA pun dilaporkan

telah menerbangkan unmanned drones ke Yamea, Somalia, Djibouti, Kenya dan

Etiopia dalam rangka untuk menarget jaringan Al-Qaeda.

Perdebatan sengit mengenai penggunaan Unamnned Drones dikaitkan

dengan ada atau tidaknya aplikasi dari hukum humaniter internasional dan juga

kehadiran dari hukum hak asasi manusia internasional tetap dijalankan baik dalam

waktu perang dan damai. Hukum hak asasi manusia melindungi seorang tersangka

sedangkan dengan penggunaan unmanned drone, seseorang dapat diserang hanya

berdasarkan kecurigaan tanpa diproses terlebih dahulu.

41

Pesatnya perkembangan unmanned drones memicu pertanyaan terhadap

isu hukum. Permasalahan mendasarnya terkait dengan teknologi yang digunakan

pada unmanned drones. Teknologi ini menghadirkan sistem unmanned drones

yang menggunakan pilot eksternal (sistem komputer yang diprogramkan untuk

mengatur unmanned drones). Kemudian, muncul pertanyaan terkait apakah

unmanned drone dengan sistem pilot eksternal pantas dipergunakan dan

memenuhi standar-standar hukum internasional, khususnya Hukum Humaniter

Internasional.

Unmanned drone tidak secara spesifik disebutkan dalam perjanjian-

perjanjian terkait senjata atau perangkat hukum lainnya dari hukum humaniter

internasional, akan tetapi, penggunaan segala sistem persenjataan, termasuk

unmanned drone, dalam situasi konflik bersenjata sangat jelas harus tunduk pada

aturan dalam hukum humaniter internasional. Hal ini berarti, ketika menggunakan

unmanned drone, para pihak dalam suatu konflik harus selalu membedakan antara

kombatan dan sipil dan antara objek militer dan objek sipil.

Mereka harus mengambil semua langkah kehati-hatian yang

memungkinkan untuk menghindari jatuhnya korban penduduk dan infrastruktur

sipil, serta mereka harus menunda atau membatalkan serangan bila kerugian atau

kerusakan yang diprediksi akan timbul terhadap penduduk sipil atau objek sipil

berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang

akan didapat. Menurut perspektif hukum humaniter internasional, setiap senjata

yang memungkinkan untuk melancarkan serangan yang lebih tepat, dan

membantu terhindarnya atau meminimalisir korban sipil insidentil, cedera

42

terhadap warga sipil, ataupun kerusakan objek sipil, harus dijadikan pilihan

dibandingkan senjata yang tidak dapat melakukannya. Ketika unmanned drone

digunakan dalam situasi di mana tidak ada sengketa bersenjata, maka hal tersebut

legal menurut hukum humaniter internasional40

Legalitas dari penggunaan unmanned drone dalam kondisi konflik

bersenja dapat dikaji berdasarkan Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa

tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional.41

Banyak negara yang

menggunakan pesawat tanpa awak mengatakan bahwa pesawat ini legal karena

hanya menggunakan hellfire missiles42

yang tidak dilarang penggunaannya dan

tetap sejalan dengan Pasal 36 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun

1977 tersebut. Banyak para ahli hukum menentang penggunaan unmanned drone

dengan menyatakan bahwa pesawat tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip yang

tertuang dalam Hukum Humaniter Internasional.

40

Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum ,

http://icrcjakarta.info, diakses pada tanggal 28 November 2014.

41 Pasal 36 Protokol Tambahan I Berbunyi : Didalam penyelidikan, pengembangan

menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu Pihak

Peserta Agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan

penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum

internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung tersebut. 42

Hellfire missile atau dalam bahasa indonesia rudal kendali adalah senjata militer berupa

roket yang bisa dikendalikan atau memiliki sistem pengendali otomatis untuk mencari target atau

menyesuaikan arah, www.wikipedia.co.id, diakses pada tanggal 15 Desember 2014.

43

Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 tentang

Sengketa Bersenjata Internasional ini bermaksud untuk menjaga perkembangan

dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi

internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas

dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada.

Penggunaan unmanned drones dalam hukum humaniter internasional

dapat dianalisis menurut hukum Den Haag yang mengatur mengenai sarana (alat)

dan metode (cara) berperang, baik berupa konvensi maupun deklarasi, yang

terbentuk dalam Konferensi Perdamaian di Den Haag pada tahun 1899 dan 1907,

yang menghasilkan serangkaian Konvensi Den Haag.

Mengenai metode dan sarana berperang diatur dalam ketentuan sebagai

berikut:

a. Metode dan Sarana Berperang menurut Konvensi Den Haag Tahun 1907 tentang

Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

Untuk memahami peraturan Den Haag, terlebih dahulu harus diketahui dua

peraturan dasar (basic rule) yang mendasarinya, yaitu:

1. In any armed conflict, the right of the parties to the conflict to chose

methods or means of warfare is not unlimited.

2. It is prohibited to employ weapon, projectiles materials and methods

of warfare of nature to cause superflous injury or unnecessary

suffering.

44

Peraturan yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat untuk

melakukan peperangan (means of warfare) dalam suatu sengketa bersenjata

adalah keterbatasan memilih dalam menggunakan sarana atau alat berperang.

Masyarakat internasional memahami bahwa walaupun perang dapat dipakai

sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, namun hak pihak yang bersengketa

dalam menggunakan sarana dan metode perang, tidak tak terbatas (is not

unlimited). Prinsip tersebut adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya

pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang

dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan

senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan

menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan

(superflous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).

Menurut prinsip pembatasan, metode perang yang benar adalah metode yang

dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan. 43

Prinsip Pembatasan juga tercantum dalam ketentuan Pasal 22 Konvensi

Den Haag Tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, yang

menyatakan bahwa :

1. Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak dalam konflik untuk memilih

metode atau alat perang adalah tidak tak terbatas.

2. Hal ini dilarang untuk mempergunakan senjata, material, dan metode perang

alam yang menyebabkan luka berlebihan.

43

Rina Rusman, Op.Cit, hlm.46.

45

Jadi para pihak yang berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih

alat dan metode perang. Para pihak tidak dapat menggunakan senjata yang dapat

menyebabkan penderitaan yang berlebihan (superflous injury) atau penderitaan

yang tidak perlu (unnecessary suffering). Penggunaan unmanned drones

bertentangan dengan Pasal 22 Hague Regulations Tahun 1907 karena dapat

menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap objek sasarannya sehingga

menyebabkan penduduk baik kombatan maupun non-kombatan terluka bahkan

mati.

Adapun batasan dalam memilih alat dan metode perang, berkaitan dengan

prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle),

dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23 Hague Regulations Tahun

1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Berkaitan dengan larangan

penggunaan unmanned drones, maka prinsip pembatasan (Limitation Principle)

dan prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle) yang terkandung dalam

pasal 22 Hague Regulations44

Tahun 1907 bisa menjadi acuan.

Aturan mengenai larangan penggunaan unmanned drones berkaitan

dengan Pasal 23 huruf (e) Hague Regulations Tahun 1907, yaitu “To employ arms

projectiles, or material calculated to cause unnecessary suffering”. Penjelasan

pasal tersebut mengandung arti bahwa para pihak dalam berperang harus

memperhatikan prinsip proporsionalitas. Prinsip ini mempunyai tujuan untuk

menyeimbangkan antara kepentingan militer dan resiko yang akan merugikan

44

Pasal 22 Hague Regulations: Hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-

alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas.

46

penduduk sipil.45

Prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang

akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsionalitas

sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan

militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya

serangan terhadap serangan militer. 46

Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata

tidak menimbulkan korban, kerusakan, dan penderitaan, yang berlebihan.

Terutama dalam hal ini kerusakan-kerusakan yang berlebihan dan tidak perlu

terhadap objek-objek non-militer dan non-kombatan. Penggunaan unmanned

drones yang dianggap senjata yang lebih efektif digunakan untuk berperang

nyatanya banyak menimbulkan korban jiwa dari penduduk sipil dan menyebabkan

kerusakan yang berlebihan. Hal ini merupakan pelanggaran dari prinsip

proporsionalitas.

b. Sarana dan Metode berperang menurut Protokol Tambahan I Tahun 1977 tentang

Sengketa Bersenjata Internasional (Protocol Additional to Geneva Conventions of

12 August 1949, and Relating to Protection of Victims of Internasional Armed

Conflict).

45

Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit, hlm.11. 46

Sri Setianingsih Suwardi, Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan dengan

Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter dalam Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian

Hukum Internasional FH UI, Depok, 2006, hlm.11.

47

Ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol

Tambahan I terdapat dalam bagian III Protokol yang berjudul “Methods and

Means of Warfare, Combatant and Prisoner of War Status” (Pasal 35-47). Secara

garis besar, ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam protokol ini

disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan aturan dasar (basic

rules). Hal ini tercantum dalam Pasal 35 (3) Protokol Tambahan I Tahun 1977

tentang Sengketa Bersenjata Internasional yang menjelaskan bahwa dalam setiap

konflik bersenjata hak para pihak dalam memilih metode atau cara perang tidak

tak terbatas, dalam berperang para pihak dilarang menggunakan senjata, proyektil

dan metode peperangan alam yang dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan

atau penderitaan yang tidak perlu, pihak yang berperang dilarang untuk

menggunakan metode atau alat perang yang dimaksudkan, atau mungkin

diharapkan, dapat menyebabkan penderitaan jangka panjang dan kerusakan parah

pada lingkungan alam.

Penggunaan unmanned drones harus memperhatikan prinsip kemanusiaan,

prinsip ini menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk berperilaku

memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang menggunakan kekerasan

yang dapat menimbulkan penderitaan yang berlebihan. Individu mempunyai hak

untuk dihormati hidupnya, integritasnya, baik fisik maupun moral, dan atribut

yang melekat pada personalitas. 47

Mahkamah Internasional PBB menafsirkan

prinsip kemanusiaan sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa

diskriminasi pada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas

47

Jean Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, International

Committee of The Red Cross, Geneva, hlm. 35.

48

internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia di manapun

adanya. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan

terhadap manusia.48

Ketika terjadi konflik bersenjata juga harus memperhatikan prinsip

pembedaan, prinsip pembedaan mengatakan bahwa semua pihak yang terlibat

dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan)

dengan orang sipil. Tujuan dari prinsip pembedaan ini ini adalah untuk

melindungi warga sipil. Penggunaan unmanned drones tidak dapat memenuhi

prinsip pembedaan karena dalam praktiknya serangan unmanned drones banyak

menimbulkan korban jiwa yang berasal dari penduduk sipil.

Berdasarkan uraian beberapa peraturan hukum humaniter yang berkaitan

dengan penggunaan unmanned drone yang sudah dipaparkan diatas, unmanned

drone merupakan senjata yang ilegal dan tidak dapat dibenarkan penggunaannya

di dalam suatu sengketa bersenjata. Penggunaan unmanned drones tidak dapat

dibenarkan karena sifatnya yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal

tanpa dapat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer dan tidak hanya

menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman. Penggunaan unmanned

drone di dalam suatu sengketa bersenjata melanggar prinsip hukum humaniter

internasional, diantaranya prinsip pembedaan, prinsip proporsionalitas, prinsip

kemanusiaan dan prinsip pembatasan.

48

Ambarwati, dkk, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan

Internasional, Rajawali Pers, jakarta, 2009, hlm.40.

49

Menurut prinsip pembedaan unmanned drone tidak bisa membedakan

antara kombatan dan non-kombatan, sehingga banyak penduduk sipil yang

menjadi korban. Selain itu unmanned drone bertentangan dengan prinsip

proporsionalitas karena menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap obyek-

obyek sipil. Penggunaan unmanned drone juga tidak sesuai dengan prinsip

pembatasan dan prinsip kemanusiaan karena penggunaan unmanned drone

menimbulkan unnecessary sufferings (penderitaan yang tidak perlu) dan

superflous injury (penderitaan yang berlebihan) terhadap penduduk sipil.

B. Kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun

2009

Amerika Serikat di bawah komando Presiden Bush mendeklarasikan

perang terhadap teroris untuk pertama kalinya pada tahun 2001. Perang melawan

teroris atau yang dikenal dengan istilah War on Terror serta Counterterrorism

merupakan perang kontemporer yang di deklarasikan oleh Amerika Serikat sejak

peristiwa serangan teroris ke gedung World Trade Center di New York pada 11

September 2001. Sejak peristiwa tahun 2001 tersebut Amerika Serikat

menggunakan unmanned drones untuk tujuan pengawasan dan pengintaian

terhadap jaringan teroris.49

Unmanned drones digunakan oleh Amerika Serikat

untuk mengintai target yang dianggap sebagai teroris dan membunuhnya.

49

Fellin Fidi Kinanti, Analisis Relevansi Serangan Drone Amerika Serikat dalam Operasi

Counterterrorism di Pakistan dan Afghanistan dengan Etika Perang, Universitas Airlangga.

50

Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengakui telah menggunakan

unmanned drones yang dilengkapi misil untuk menyerang target yang

mengancam patroli Amerika Serikat dan Inggris di Irak Selatan pada Oktober

2002.50

Penyerangan Amerika Serikat terhadap negara-negara Timur Tengah

dengan menggunakan unmanned drones telah menimbulkan kerusakan skala besar

dan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang lama bahkan banyak

mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang bukan merupakan sasaran militer.51

Pada tahun 2003 unmanned drones diterbangkan dari pangkalan militer Amerika

Serikat dari Camp Lemonnier di Djibouti untuk tujuan yang sama di Yaman.

Unmanned drones Amerika Serikat telah digunakan untuk serangan mematikan di

Afghanistan, Irak, Yaman, dan Somalia dengan tugas melakukan pembunuhan

terutama di Pakistan sejak tahun 2004.52

Serangan Amerika Serikat tersebut

dilakukan di negara yang tidak sedang berperang dengan dirinya, penyerangan

tersebut untuk membunuh dan menghapuskan kelompok teroris seperti Al-Qaeda,

Taliban dan juga kelompok sekutu lainnya. Serangan tersebut dilakukan dengan

menggunakan unmanned drones yang merupakan sebuah pesawat tanpa awak

yang dikontrol dari jarak jauh.

Penggunaan unmanned drones dalam serangan Amerika Serikat di

Pakistan sejak tahun 2004 dengan total serangan mencapai 400 serangan menuai

banyak kritikan dan pertanyaan. Baik dari segi legalitas senjata yang digunakan

berdasarkan hukum humaniter, pelanggaran kedaulatan terhadap wilayah

50

Serangan pesawat tanpa awak (UAV) 2004-2009, www.mirror.unpad.ac.id, diakses

pada tangal 30 November 2014. 51

Ibid. 52

Rick Rozoff, Drone: Pesawat Pembunuh Amerika, www.akhirzaman.info, diakses pada

tanggal 30 November 2014.

51

Pakistan, pemenuhan prinsip-prinsip hukum perang dalam penggunaan unmanned

drones di Pakistan, dan prinsip pembedaan. Pihak yang terlibat dalam konflik

bersenjata harus membedakan antara sasaran perang (kombatan) dengan orang

sipil (non-kombatan). Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan

dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang. Tujuan dari

prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil dan objek sipil.

Unmanned drones merupakan sebuah persenjataan yang baru yang

digunakan dalam situasi perang, sehingga unmanned drones tidak secara tertulis

dilarang ataupun dianggap sebagai alat yang dapat menimbulkan tindakan tidak

pandang bulu (indiscriminate) atau penipuan (perfidy). Sistem persenjataan yang

digunakan AS di Pakistan menggunakan MQ-1 dan MQ-9 Reaper Drone

dikontrol melalui satelit dari bandara angkatan udara yang berlokasi di Amerika

Serikat, dari tempat tersebut, pilot dapat melihat secara langsung melalui kamera

drones, mengontrol pergerakannya, memilih target, dan menembakkan

senjatanya. Dengan berat hanya sekitar 1,000 pounds, drones dapat menghabiskan

waktu 24 jam di udara, terbang pada ketinggian 26.000 kaki.53

Ketika target

dikunci oleh pilot, maka pesawat akan mengontrol misil kepada target dengan

kemungkinan tepat sasaran yang tinggi. Sedangkan Reaper yang lebih besar dapat

membawa 14 hellfire missile atau 4 hellfire missle dengan 500 pound bom yang

penggunaanya diyakini memberikan dampak kerusakan yang parah.54

53

Samuel Dorion Wyer, Targeted killing in The war On Terror: The history and Legality

of US Practice, Middlebury College, 2012, hlm.32. 54

Hellfire morality and strategy, www.stratfor.com, diakses pada tanggal 14 Oktober

2014.

52

Kemampuan ini membuat unmanned drones diyakini sebagai senjata yang

lebih baik dalam memilih target daripada pesawat berawak, sehingga dalam

hukum internasional unmanned drones dianggap tidak berbeda dengan senjata

yang diluncurkan dari pesawat berawak seperti helikopter atau pesawat tempur

lainnya. Menurut hal tersebut unmanned drones merupakan sistem persenjataan

yang tidak bertentangan dengan hukum humaniter mengenai penggunaan senjata.

Penggunaan unmanned drones harus tunduk pada hukum internasional55

dan

memenuhi prinsip hukum humaniter seperti proporsionalitas dan pembedaan. Satu

hal yang tidak boleh dilupakan adalah penggunaan unmanned drones dalam

kekuatan bersenjata haruslah memperhitungkan apakah penggunaannya akan

mengakibatkan kerugian terhadap rakyat sipil atau tidak.56

Amerika Serikat harus

membedakan antara kombatan, penduduk sipil yang terlibat dalam peperangan

dan penduduk sipil yang dilindungi, antara target teroris dan masyarakat sipil.

55

Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum ,

http://icrcjakarta.info, diakses pada tanggal 28 November 2014. 56

Witny Tanod Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan

Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional1, hlm.

193.

53

Berikut ini adalah beberapa data korban unmanned drones Amerika

Serikat di Pakistan :

Serangan Drones Amerika Serikat , Statistik Perhitungan menurut New America

Foundation hingga 8 February 2013. 57

Year Number of

Attacks

Number Killed

Min Max

2004 1 5 8

2005 3 12 13

2006 2 90 102

2007 4 48 77

2008 36 219 344

2009 54 350 721

2010 122 608 1,028

2011 72 366 599

2012 48 222 349

2013 8 47 58

Total 350 1,967 3,299

Menurut data di atas terlihat bahwa total serangan yang dilakukan AS di

Pakistan hingga 8 Januari 2013 sebanyak 350 serangan, angka minimal

kematian adalah 1.967 dan maksimal 3.299 orang.

57

The Year of the Drone: An Analysis of U.S. Drone Strikes in Pakistan, 2004–2012".

New America Foundation.http://counterterrorism.newamerica.net/drones, diakses pada 10

September 2014.

54

The Bureau of Investigative Journalism memperkirakan hasil di bawah ini

mengenai serangan Drones hingga Januari 2013. 58

a. Total serangan: 362

b. Total korban terbunuh yang dilaporkan: 2,629 – 3,461

c. Korban sipil yang terbunuh : 475 – 891

d. Korban anak-anak yang terbunuh: 176

e. Total korban yang dilaporkan terluka : 1,267 – 1,431

f. Serangan di bawah komando Pemerintahan Bush : 52

g. Serangan di bawah komando Pemerintahan Obama : 310

Selain di Pakistan, serangan unmanned drones Amerika Serikat di

beberapa negara lain juga menimbulkan banyak korban jiwa dari kalangan

penduduk sipil. Korban serangan unmanned drones Amerika Serikat di

Afganistan berjumlah 1.963 dan 3.293, di Somalia antara 3.072 sampai 4.756

orang, sedangkan serangan unmanned drones di Yaman berjumlah 55-65

serangan, total terbunuh 269-389 orang, anak terbunuh 5 orang serta dengan

serangan tambahan berjumlah 83-102 serangan, dengan data total terbunuh 302-

481 orang, terluka 81-108 orang dan serangan operasi lain berjumlah 12-77

serangan, dengan korban terbunuh 144-380 orang, anak-anak 24-26 orang serta

korban terluka 22-114 orang. Selain itu serangan terhadap negara Somalia dengan

total serangan 4-10, total terbunuh 9-30 orang, terluka 2-24 orang serta meliputi

58

Woods, Chris; Lamb, Christina (4 February 2012). "Obama terror drones: CIA tactics

in Pakistan include targeting rescuers and funerals".Bureau of Investigative Journalism. Diakses

di www.thebureauinvestigates.com/2012/02/04/obama-terror-drones-cia-tactics-in-pakistan-

include-targeting-rescuers-and-funerals, diakses pada 12 September 2014.

55

serangan pada operasi lainnya berjumlah 8-15 serangan, total terbunuh 48-150

orang, anak-anak 1-3 orang.59

Menurut data di atas penggunaan unmanned drones yang dianggap sebagai

senjata yang lebih baik dalam memilih target tidak terpenuhi, walaupun

unmanned drones dianggap membuat serangan menjadi lebih tepat sasaran,

namun tetap saja dalam praktiknya unmanned drones telah salah membunuh atau

melukai warga sipil sehingga tidak memenuhi prinsip pembedaan, dimana para

korban tidak hanya teroris tetapi juga mengenai para penduduk sipil dan anak-

anak yang seharusnya tidak diperbolehkan menjadi target dalam penyerangan.

Anak-anak harus dilindungi dari berbagai bentuk penyerangan seperti yang

tertuang dalam Konvensi Jenewa keempat dengan menyatakan bahwa “children

shall be the object of special respect and shall be protected against any form of

indecent assault”. Penggunaan kata “shall” membuat sebuah pengaturan yang

bersifat perintah dalam bentuk kewajiban dan para pihak wajib untuk

melaksanakan peraturan dari untuk melindungi anak-anak dari berbagai serangan

yang tidak layak, termasuk menjadi target sebuah misil.

Protokol 1 Konvensi Jenewa Pasal 51 ayat 5 huruf (b) menjelaskan bahwa

dalam konteks perlindungan terhadap non-kombatan, serangan yang dilarang

adalah termasuk segala jenis serangan yang diharapkan dapat menyebabkan

kematian penduduk sipil dan yang dapat menimbulkan kerusakan berlebihan. Ini

berarti bahwa Amerika Serikat dengan dronesnya telah melanggar military

necessity dan terjadi penderitaan yang berlebihan (unnecessary sufferings) yang

59

The Bureau of Investigative Journalism, Covert Drone War,

www.thebureauinvestigates.com, diakses pada tanggal 30 November 2014.

56

bertentangan dengan asas proporsionalitas, sebab keunggulan militer yang dicapai

tidak berimbang dengan korban dan kerusakan yang ditimbulkan.

Penggunaan unmanned drones tidak berbeda dengan penggunaan senjata

lainnya dalam perang, meskipun operator sistem senjata yang dikendalikan

berlokasi jauh dari medan tempur, mereka tetap mengoperasikan sistem

persenjataan, melakukan identifikasi target, dan menembakkan misil. Mereka

secara umum beroperasi di bawah rantai komando, maka menurut hukum

humaniter internasional, operator pesawat tanpa awak, dan rantai komando

mereka bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi.

Fakta bahwa mereka berada ribuan kilometer dari medan tempur, tidak

menghilangkan tanggung jawab operator dan rantai komando, yang mana

termasuk menjunjung prinsip proporsionalitas dan pembedaan, serta mengambil

langkah kehati-hatian dalam melakukan serangan, sehingga operator unmanned

drones tidak berbeda dengan helikopter atau pesawat tempur lainnya sejauh

terkait kewajiban mereka untuk taat pada hukum humaniter internasional terkait,

dan mereka tidaklah berbeda sejauh terkait menjadi sasaran berdasarkan aturan

hukum humaniter internasional. Berdasarkan yang telah dipaparkan sebelumnya,

bahwa penyerangan dengan menggunakan unmanned drones menuai kontroversi

mengenai pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Amerika Serikat dengan

menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara dimana para teroris

bersembunyi.

57

Artikel 2 (4) Piagam PBB melarang penggunaan kekuatan bersenjata

dalam wilayah negara lain dengan pengecualian bahwa negara tersebut memberi

kewenangan atau menyetujui, negara tersebut tidak mampu dalam mengatasi

kelompok-kelompok separatis yang mengancam negara penyerang atau negara

penyerang bergerak atas hak self-defense yang diatur dalam Piagam PBB Pasal

51.60

Pakistan secara tegas menolak serangan-serangan unmanned drones

Amerika Serikat yang menyerang di wilayahnya. Di lain pihak Pemerintah

Pakistan dilaporkan telah menyetujui dan bekerjasama dengan langkah-langkah

Amerika Serikat dalam usaha kontra-terorisme dengan mengijinkan pesawat

Amerika Serikat terbang di bandara Shamsi yang dekat dengan perbatasan

Afghanistan dan kadang mengikutsertakan intelijen mereka dalam penargetan.61

Hal ini mengaburkan legalitas serangan Amerika Serikat berdasarkan hukum

humaniter.

Amerika Serikat dan Pakistan memang merupakan mitra dalam perang

melawan terorisme. Amerika Serikat meminta Pakistan untuk memaninkan peran

konstruktif dalam upaya mencapai perdamaian di Afghanistan. Pakistan diharap

dapat menjembatani dialog dengan Taliban, karena Pakistan dianggap memiliki

60

Pasal 51 Piagam PBB: Tidak ada suatu ketentuan dalam Piagam ini yang boleh

merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata

terjadi terhadap suatu Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil

tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional.

Tindakan- tindakan yang diambil oleh Anggota-anggota dalam mclaksanakan hak membela diri ini

harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat

mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut Piagam ini untuk pada

setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan

perdamaian serta keamanan intemasional. 61

Samuel Dorion Wyer, Op.Cit . hlm 43

58

hubungan sejarah dengan kelompok Taliban.62

Amerika Serikat menganggap

Pakistan tidak mampu untuk menghentikan tindakan terorisme yang dilakukan

oleh kelompok taliban tersebut dan melakukan penyerangan terhadap teroris di

wilayah Pakistan tanpa persetujuan dari pihak Pakistan. Sejak saat itulah

hubungan antara Amerika Serikat dan Pakistan memanas.

Pakistan keberatan dengan penyerangan unmanned drones di wilayahnya.

Penggunaan kekuatan bersenjata oleh Amerika Serikat di Pakistan dapat dianggap

tidak melanggar kedaulatan Pakistan apabila diperlukan dalam self defense

sebagai respon dari sebuah serangan bersenjata atau sebagai respon penyerangan

11 September 2001.63

Agar penggunaan kekuatan bersenjata dapat sesuai dengan

hukum, negara tuan rumah harus dalam keadaan tidak mampu dalam mengambil

langkah-langkah dalam menghadapi kelompok-kelompok separatis. Pakistan

dianggap tidak mampu untuk menghentikan kelompok teroris di wilayahnya dan

tidak mampu untuk mengadili kelompok teroris transnasional tersebut yang

memberikan ancaman terhadap kepentingan Amerika Serikat dan penduduknya.

Berdasarkan self defense Amerika Serikat menyatakan berhak untuk

menggunakan kekuatan bersenjata di wilayah Pakistan dan wajib untuk

menghormati dan mematuhi Hukum Humaniter Internasional yang berlaku.

Hal yang serupa terjadi saat operasi penyerangan yang menewaskan

Osama Bin Laden, pemimpin Al-Qaeda pada tanggal 2 Mei 2009 di Abbotabad

Pakistan. Penyerbuan Osama Bin Laden dianggap telah melanggar kedaulatan

62

Parlemen Pakistan bahas hubungan dengan as, http://www.dw.de, diakses pada

tanggal 29 November 2014. 63

Stephen M. Pezzi, The Legality Of Killing Osama Bin Laden, Harvard Law School,

National Security Journal.

59

Pakistan, sebab Pemerintah Pakistan menyatakan bahwa penyerbuan tersebut

tanpa persetujuan Pemerintah Pakistan untuk menggunakan kekuatan bersenjata di

wilayahnya yang dianggap melanggar Artikel 2 paragraf (4) Piagam PBB. Operasi

ini didukung berdasarkan artikel 51 Piagam PBB mengenai hak self defense yang

dimiliki oleh Amerika Serikat. Bin laden dipercaya berkelanjutan merencanakan

further terrorist attacks on US. Selain itu, Leon Panetta yang merupakan direktur

CIA mengatakan bahwa Pakistan tidak mampu dalam menangani terorisme di

wilayahnya sebab tempat persembunyian Bin Laden tidak jauh dari akademi

militer Pakistan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Pakistan

untuk mendampingi AS dalam melawan terorisme.64

Hal tersebut dapat dikaitkan

dengan ketidakmauan atau ketidakmampuan Pakistan untuk menghapuskan

ancaman teroris sehingga pembunuhan Osama dapat dilegalkan berdasarkan self

defense.

Perkembangan sekarang ini penggunaan hak bela diri suatu negara telah

berkembang dengan adanya konsep baru mengenai hak bela diri yang telah

dilakukan oleh beberapa negara dan bahkan telah meninggalkan ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan oleh PBB.65

Dalam melakukan serangan militer

dalam rangka hak bela diri tersebut harus mempertimbangkan: (i) asas

proporsionalitas mengenai keseimbangan kekuatan dari kedua belah pihak yang

ada, (ii) masih berlangsung konflik antara kedua belah pihak, (iii) asas

pembuktian secara hukum dan (iv) kewajiban untuk segera melaporkan kepada

64

Stephen M. Pezzi, The Legality Of Killing Osama Bin Laden, Harvard Law School,

National Security Journal. 65

Sumaryono Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT.Tatanusa, jakarta,

2007, hlm.142.

60

Dewan Keamanan PBB mengenai tindakan yang dilakukan dalam rangka hak bela

diri tersebut.66

Penggunaan senjata dalam tindakan pembelaan diri adalah terbatas,

dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter internasional harus

diberlakukan walaupun menyangkut hak pembelaan diri yang memiliki aspek

mendesak dan inheren.67

Penggunaan unmanned drones dalam serangan Amerika Serikat

bertentangan dengan prinsip military necessity, proportionality, humanity,

limitation, dan distinction. Pertama, bila ditinjau dari prinsip military necessity.

Penggunaan unmanned drones dapat memperbesar kemungkinan keberhasilan

suatu operasi militer, namun hal itu tidak sebanding dengan dampak negatif yang

ditimbulkan akibat penggunaannya bila melihat penggunaan unmanned drones ini

lewat kesesuaiannya dengan prinsip yang lain, khususnya prinsip Proportionality

dan juga prinsip Distinction.

Penggunaan unmanned drones melanggar prinsip proportionality,

banyaknya infrastruktur sipil yang hancur hanya demi melumpuhkan suatu target

menjadi kekurangan dari penggunaan unmanned drones dari segi ini. Selain itu

masih tingginya angka kematian korban non-target maupun nonkombatan yang

dihasilkan dari serangan unmanned drones ini masih terbilang tinggi. Selain itu

ada juga permasalahan mengenai kemampuan unmanned drones dalam

membedakan kombatan dengan non-kombatan atau warga sipil, banyaknya

kejadiaan unmanned drones salah sasaran mempertanyakan kemampuan

66

Ibid, hlm.144. 67

D. J. Harris, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet &

Maxwell, London, 2004. hlm. 889 .

61

unmanned drones ini untuk memenuhi prinsip distinction dari Hukum Humaniter

Internasional.

Akibat dari penggunaan unmanned drones juga menimbulkan dampak

trauma pada orang-orang yang selamat dari penyerangan unmanned drones. Hal

ini menjadikan unmanned drones memiliki kemampuan untuk melakukan teror

terhadap targetnya, sehingga menimbulkan trauma berkepanjangan baik bagi

target maupun penduduk sipil yang berdekatan dengan lokasi unmanned drones

tersebut, padahal dalam ketentuan Hukum Humaniter Internasional, penggunaan

senjata yang memiliki dampak jangka panjang dan menimbulkan penderitaan

yang tidak perlu tidak dapat dibenarkan, dan hal ini juga berarti tidak sejalan

dengan prinsip limitation yang dimiliki oleh Hukum Humaniter Internasional.

Banyaknya dampak negatif dari penggunaan unmanned drones sebagai

salah satu instrumen perang perlu ditinjau lebih jauh lagi baik dari segi legalitas

maupun efektifitasnya di medan perang. Unmanned drones mengudara dengan

misil selama 24 jam di atas rumah penduduk untuk mengawasi setiap pergerakan

teroris. Menembaki para teroris atau individu yang dianggap terlibat dengan

aktifitas terorisme. Hal ini tentu memberi potensi dampak psikologis dari

unmanned drones yang timbul dengan beterbangan di atas tempat tinggal mereka

selama berjam-jam atau berhari-hari tanpa akhir. Hal ini berdampak terhadap

ketakutan masyarakat untuk beraktifitas di luar rumah, dengan banyaknya kerabat

mereka yang meninggal akibat serangan unmanned drones. Mereka takut untuk

mendatangi pernikahan atau pemakaman, sebab bisa saja operator drones di

62

Amerika Serikat salah menafsirkan mereka sebagai kumpulan dari Taliban atau

Al-Qaeda.68

Anak-anak juga takut untuk pergi ke sekolah dan bermain di luar rumah.

Terhadap hal ini, penulis beranggapan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh

Amerika Serikat di atas pemukiman penduduk tidak hanya membunuh penduduk

yang tidak bersalah namun juga telah memberikan rasa trauma dan secara tidak

langsung memberikan perasaan tidak aman dan nyaman, memberikan ancaman

dan mengintimidasi penduduk sipil. Hal ini serupa dengan dampak yang

ditimbulkan dari sebuah tindakan terorisme. Kematian penduduk sipil terutama

wanita dan anak-anak yang seharusnya dilindungi dalam sebuah konflik

bersenjata, terlebih bahwa kematian tersebut bukan dalam jumlah yang sedikit dan

memiliki dampak dalam waktu panjang.

68

Drone attacks Pakistan counterproductive report, http://guardiannews.com, diakses

pada tanggal 30 November 2014.

63

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Legalitas penggunaan unmanned drone dalam sengketa bersenjata

menurut Hukum Humaniter Internasional.

Penggunaan unmanned drone dalam sengketa bersenjata belum diatur

secara tegas dalam hukum humaniter internasional. Pasal 36 Protokol Tambahan

I Tahun 1977 menyebutkan, untuk menjaga perkembangan dari persenjataan

yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar

tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip

hukum internasional yang telah ada.

Dilihat dari prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, unmanned

drone merupakan senjata yang ilegal penggunaannya dalam sengketa bersenjata

internasional. Menurut Pasal 22 Hague Regulations Tahun 1907 para pihak yang

bersengketa tidak dapat menggunakan senjata yang dapat menyebabkan

penderitaan yang berlebihan (superflous injury) atau penderitaan yang tidak perlu

(unnecessary suffering).

Penggunaan unmanned drones bertentangan dengan Pasal 22 Hague

Regulations Tahun 1907 karena dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan

terhadap obyek sasarannya sehingga menyebabkan penduduk baik kombatan

maupun non-kombatan terluka bahkan mati. Pasal 23 huruf (e) menyebutkan

bahwa para pihak dalam berperang harus memperhatikan prinsip

64

proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan

senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan, dan penderitaan, yang berlebihan.

Aturan mengenai larangan penggunaan unmanned drones diperjelas di dalam

Ketentuan Protokol Tambahan I Tahun 1977 Pasal 35 yang melarang penggunaan

senjata, proyektil dan bahan peledak serta metode perang alam untuk

menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

2. Serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009

ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional.

Serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009

merupakan pelanggaran kedaulatan negara lain. Tindakan perang melawan terror

(war on teror) sebagai upaya pertahanan diri (self defence) yang dilakukan

Amerika Serikat melanggar ketentuan hukum internasional yang termuat dalam

Piagam PBB, Artikel 2 paragraf (4) tentang larangan penggunaan kekuatan

bersenjata dalam hubungan internasional.

Operasi militer Amerika Serikat untuk menangkap teroris melanggar

prinsip proportionality karena menyebabkan korban di pihak sipil yang berupa

kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan

dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan

tersebut. Serangan Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 yang menimbulkan

banyak korban jiwa dari penduduk sipil tersebut dilarang dalam prinsip humanity.

65

Penggunaan unmanned drones Amerika Serikat untuk melakukan operasi

militer di Pakistan menimbulkan trauma pada penduduk sipil yang selamat dari

serangan unmanned drones. Penggunaan senjata yang memiliki dampak jangka

panjang dan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu tidak dapat dibenarkan

dalam ketentuan Hukum Humaniter Internasional karena tidak sejalan dengan

prinsip limitation hukum humaniter internasional.

B. Saran

1. Perlunya dibuat peraturan yang mengatur penggunaan unmanned drone

dalam konflik bersenjata agar tidak menimbulkan korban yang berlebihan

dan memberikan batasan-batasan yang dipandang pantas dalam

penggunaan unmanned drone ini.

2. Amerika Serikat selaku negara yang menggunakan unmanned drones

dalam melakukan serangan terhadap teroris sebagai bentuk self-defense

harus patuh terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku,

sebab walaupun setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi

warga negaranya, namun kewajiban tersebut harus seimbang terhadap

kewajiban untuk melindungi kehidupan penduduk sipil yang tidak bersalah

dalam konflik antara negara dan teroris.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan

Internasional, Jakarta: Rajawali Pers.

D. J. Harris, 2004, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition,

Sweet & Maxwell, London.

Haryomataram, 1994, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas

Maret University Press.

Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Malang : Bayumedia Publishing.

Kansil, C.S.T , 1999, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes, Ety R, 2003, Pengantar Hukum

Internasional, Bandung: Alumni.

Mauna, Boer, 2005, Hukum Iinternasional Edisi ke-2, Bandung : PT Alumni.

Parthiana, I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar

Maju.

Permanasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: International

Committee of The Redcross

Rudy , T.May, 2002, Hukum Internasional 2, Bandung : PT.Refika Aditama.

Rusman, Rina, 2010, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan

Internasional, Jakarta: Rajawali Pers.

Supriyadi, Dedi, 2013, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi),

Bandung : CV Pustaka Setia.

Suryokusumo, Sumaryono. 2007. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta:

PT.Tatanusa.

Starke , J.G, 1992, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh,

diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika.

Thontowi, Jawahir dan Iskandar, Pranoto, 2006. Hukum Internasional,

Bandung:Refika Aditama.

Wallace , Rebecca M.M, 1993, International Law, diterjemahkan oleh Bambang

Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang Press.

Wyer, Samuel Dorion, 2012, Targeted killing in The war On Terror: The history

and Legality of US Practice, Middlebury College.

SUMBER LAIN :

Tanod, Witny, 2013, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata

Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam

Hukum Internasional . Lex Crimen, Volume 2 Nomor 1.

Pictet, Jean, The Principles of International Humanitarian Law, Geneva,

International Committee of The Red Cross.

M. Pezzi, Stephen. The Legality Of Killing Osama Bin Laden, Harvard Law

School, National Security Journal.

ICRC Overview. IHL and Other Legal Regimes – Jus Ad Bellum and Jus In Bello,

diakses pada tanggal 13 Maret 2014, www.icrc.org.

Alexander Moseley, Just War Theory, diakses pada 13 Maret 2014, www.iep.utm.

Rick Rozoff, Drone: Pesawat Pembunuh Amerika, diakses pada tanggal 30

November 2014, www.akhirzaman.info.

Bin Laden Is Dead. Obama Says Doug Mills, New York Times, diakses pada

tanggal 10 Maret 2014, www.nytimes.com.

History Drones, diakses pada tanggal 23 Mei 2014, www.theuav.com.

Pengertian Pesawat Tanpa Awak, diakses pada tanggal 20 Mei 2014,

www.wikipedia.org.

Jenis-jenis Unmanned Drones, diakses pada tanggal 19 Mei 2014,

www.theuav.com.

Asia tenggara teknologi pesawat, diakses pada tanggal 19 mei 2014,

indodefensetechno.blogspot.com.

“The Year of the Drone: An Analysis of U.S. Drone Strikes in Pakistan, 2004–

2012". New America Foundation, diakses pada 10 September 2014.

http://counterterrorism.newamerica.net/drones.

Woods, Chris; Lamb, Christina (4 February 2012). "Obama terror drones: CIA

tactics in Pakistan include targeting rescuers and funerals".Bureau of

Investigative Journalism, diakses pada 12 September 2014.

www.thebureauinvestigates.com.

Morality and strategy, diakses pada 14 Oktober 2014.

www.stratfor.com/weekly/hellfire.

Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum, diakses pada 6

Oktober 2014. http;//icrcjakarta.info/berita/.

Fungsi drone pesawat tanpa awak selain perang, diakses pada tanggal 29

November 2014, www.betabicara.com.

The Bureau of Investigative Journalism, Covert Drone War, diakses pada tanggal

30 November 2014, www.thebureauinvestigates.com.

Parlemen Pakistan bahas hubungan dengan as, diakses pada tanggal 29

November 2014, http://www.dw.de.

Penggunaan pesawat tanpa awak bersenjata harus sesuai hukum , diakses pada

tanggal 28 November 2014, http://icrcjakarta.info,

UNDANG-UNDANG / KONVENSI INTERNASIONAL:

Konvensi Den Haag Tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.

Protokol Tambahan Tahun 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional.