perlindungan hukum bagi konsumen …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi_3.pdf ·...

123
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh: CAHAYA SETIA NUARIDA TRIANA E1A011035 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

Upload: doankhue

Post on 06-Feb-2018

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

i

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN

KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN

BANYUMAS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Strata Satu (S1) Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh:

CAHAYA SETIA NUARIDA TRIANA

E1A011035

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

Page 2: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Page 3: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

iii

PERNYATAAN:

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN

KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN

BANYUMAS

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi

yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan

gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Purwokerto, Februari 2015

Penulis

Page 4: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

iv

MOTTO

Hal yang benar-benar kau yakini pasti akan selalu terjadi, dan keyakinan akan suatu hal

menyebabkannya terjadi (Frank Loyd Wright).

Empat hal untuk dicantumkan dalam kehidupan:

Berpikir jernih tanpa terburu-buru;

Menyayangi setiap orang dengan tulus;

Bertindak dalam segala hal dengan motif yang termulia;

Dan Percaya kepada Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. (Hellen Keller).

Page 5: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

v

PERSEMBAHAN

ALLAH SWT, terima kasih atas semua rahmat, nikmat, dan kasih sayang yang selalu

dicurahkan dalam kehidupanku…

Bapak (Alm) dan Mamah tercinta terima kasih atas setiap lantunan doa yang selalu

mengiringi dalam setiap langkah hidupku, yang tak pernah lelah memberikan bimbingan,

semangat, dan bantuan baik moril maupun materiil…

Kakak-kakak ku tersayang terima kasih atas semua dukungan, bantuan dan semua yang

telah kalian berikan untukku…

Adek Ku Rahmaa terimakasih yaaa atas semangatnyaaa…

Sahabat-sahabatku Opi, Firra, Ayi, Ade Wundy, Mona, Herlina, Elva, Zidny, terimakasih

atas kebersamaan, semangat, dan bantuan yang selalu diberikan...

Teman seperjuangan angkatan 2011, Septi Dwi Wahyuni, S.H., Yuli Mega Siahaan, S.H.,

Natalia Dewi Anggraeni, S.H., Oky Wasrikaningrum, S.H., Dewi Indriyani, S.H., Sani

Page 6: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

vi

Cipti Rianti, S.H., Satrio Samtha Nugraha, S.H., Rizki Nurmayanti, S.H., terima kasih atas

kebersamaannya selama menjalani skripsi, nggak sia-sia yaa setiap hari kita nungguin

ruang dosen dan Alhamdulillah akhirnya kita semua bisa lulus Mareeeet, jangan lupakan

moment-moment kita yaaaa

Terima kasih untuk supportnya dan doanyaaa yaaa Ardhy kekasihku, ha..ha..ha..

Page 7: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

vii

Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu

mencurahkan Rahmat, Hidayah, dan Kasih Sayang-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG

BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN BANYUMAS”.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Penulis menyadari dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan

berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman;

2. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dosen Pembimbing I sekaligus selaku

Dosen Pembimbing Akademik yang berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran

serta selalu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini;

3. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang

berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta selalu memberikan bimbingan

dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

Page 8: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

viii

4. Bapak H. Suyadi, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

masukkan dalam penyempurnaan skripsi ini;

5. Bapak (Alm) dan Mamah tercinta serta kakak-kakak ku yang selalu memberikan doa,

dorongan, dan semangat hingga terselesaikannya skripsi ini;

6. Para Dosen dan Staff karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman atas

bantuan yang diberikan kepada penulis;

7. Bapak Dian Eri Rahmadi di Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi

Kabupaten Banyumas atas wawancara, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan

kepada penulis;

8. Bapak Eko Puncak, S.H. di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang atas

wawancara, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis;

9. Rekan-rekan seperjungan di Fakutas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,

khususnya angkatan 2011;

10. Semua pihak yang terkait, yang telah memberikan pengarahan dan nasihat dalam

penyusunan hingga dapat terselesaikannnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis

berharap agar suatu saat nanti hasil karya ini dapat bermanfaat. Akhir kata penulis

mengucapkan terima kasih.

Purwokerto, Februari 2015

Penulis

Page 9: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

ix

ABSTRAK

Kosmetik telah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, khususnya kaum wanita

yang selalu ingin tampil cantik. Keingian seorang wanita untuk selalu tampil cantik banyak

dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang beriktikad tidak baik. Saat ini banyak beredar

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya, khususnya di Kabupaten Banyumas. Adapun

tujuan penelitian ini untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-

undangan (Statute Approach) yang bersifat deskriptif. Sumber data penelitian ini

menggunakan data sekunder dari bahan kepustakaan yang didukung dengan data primer

dari hasil wawancara. Data diuraikan dalam bentuk teks naratif secara sistematis. Metode

analisis data yang digunakan adalah metode normatif kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik

yang mengandung bahan berbahaya telah dilakukan oleh pemerintah dan jajarannya dengan

cara pembinaan dan pengawasan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang

(BBPOM) berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052

Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi Dan Peredaran Kosmetika, serta sanksi

berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengawasan oleh

BBPOM dilakukan dengan dua metode yaitu Pre Market dan Post Market. Pre market

adalah pengawasan yang dilakukan sebelum produk kosmetik diedarkan, antara lain

penilaian dan pengujian atas mutu keamanan kosmetik. Post Market adalah pengawasan

yang dilakukan setelah produk kosmetik diedarkan, antara lain inspeksi sarana produksi dan

distribusi, sampling dan uji laboratorium untuk kosmetik di peredaran, penilaian dan

pengawasan iklan kosmetik serta informasi edukasi masyarakat dan public warning.

Pemerintah dalam hal ini telah melindungi hak-hak konsumen sebagaimana yang telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kata kunci: Perlindungan hukum, konsumen, kosmetik, bahan berbahaya.

Page 10: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

x

ABSTRACT

Cosmetic has became the primary need for the human, especially for the female

who always wants to perform beautiful. The female interest to keep always looking

beautiful this has been used by the businessman who has bad interest. Recently there are

many of the cosmetic that contains the dangerous elements, especially in the Regency of

Banyumas. Therefore, the purpose of this research is to find out the protection of law for

the female as the consumer to the cosmetic distribution that contains the dangerous

elements in the Regency of Banyumas. This research uses the method of normative

juridical by using the approach of Statute Approach that has the descriptive characteristic.

Data source in this research uses the secondary data from the literature material that is

supported with the primary data from the result of interview. Data is explained of

narrative texts systematically. Method of data analysis in this research uses the method of

qualitative normative. The result of research shows that the protection of law for the

female consumer for the cosmetic distribution that contains the dangerous elements has

been conducted by the government and its officers by giving the counseling and

controlling by Medicine and Food Controller Board (BBPOM Semarang) under the

regulation BPOM RI Number HK.03.1.23.12.11.10052 about Supervision Production and

Distribution of Cosmetics, and than punishment based on Ordinance Number 36 in 2009

about the Healthy. The controlling by BBPOM is conducted using two methods that are

Pre Market and Post Market. Pre Market is the controlling that is conducted before the

cosmetic products are distributed such as the adjustment and examination for the safety

quality of cosmetic. Post Market is the controlling that is conducted after the cosmetic

product is distributed such as inspection of the production and distribution devices,

sampling and laboratory examination for the cosmetic that have been distributed,

adjustment and controlling of the cosmetic advertisement and education information for

the society and public warning. Government in this case has protected the rights of

consumer which has been regulated in the Ordinance Number 8 in 1999 about the

Consumer Protection.

Keyword: Legal protection, consumer, cosmetics, dangerous elements.

Page 11: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................ iii

HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii

ABSTRAK ............................................................................................................. ix

ABSTRACT ........................................................................................................... x

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ......................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7

D. Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsumen

1. Pengertian Konsumen ................................................................................ 9

2. Hukum Perlindungan Konsumen .............................................................. 12

3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen .................... 13

Page 12: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

xii

4. Pihak-pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen ....................... 15

5. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen ...................................... 18

6. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen .............................................. 21

7. Tujuan Perlindungan Konsumen ............................................................... 22

8. Hak dan Kewajiban Konsumen ................................................................. 23

9. Penyelesaian Sengketa Konsumen ............................................................ 25

B. Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha ........................................................................... 27

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ............................................................ 28

3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ........................................... 30

4. Tanggung jawab Pelaku Usaha ................................................................. 32

C. Kosmetik

1. Pengertian Kosmetik ................................................................................. 40

2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik .............................................. 41

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ................................................................................................ 66

B. Pembahasan ..................................................................................................... 103

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .......................................................................................................... 117

B. Saran ................................................................................................................ 118

Page 13: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

xiii

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 119

LAMPIRAN ........................................................................................................... 120

Page 14: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman, dalam kehidupan masyarakat modern

khususnya kaum wanita mempunyai keinginan untuk tampil cantik. Hal tersebut

merupakan sesuatu yang wajar, tidak diherankan lagi banyak wanita rela menghabiskan

uangnya untuk pergi ke salon, ke klinik-klinik kecantikan ataupun membeli kosmetik untuk

memoles wajahnya agar terlihat cantik.

Pada era perdagangan bebas sekarang banyak kosmetik yang beredar di pasaran

dengan berbagai jenis merek. Keinginan seorang wanita untuk selalu tampil cantik banyak

dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan memproduksi atau

memperdagangkan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan untuk di edarkan kepada

masyarakat. Kebanyakan wanita sangat tertarik untuk membeli produk kosmetik dengan

harga murah serta hasilnya cepat terlihat. Oleh karena itu, wanita banyak yang memakai

jalan alternatif untuk membeli suatu produk walaupun produk kosmetik yang dibelinya

tidak memenuhi persyaratan serta tidak terdaftar dalam BPOM. Kosmetik tersebut mudah

didapatkan dengan harga yang terjangkau karena tidak adanya nomor izin edar dari BPOM,

tidak adanya label bahan baku kosmetik, dan tidak adanya tanggal kadaluwarsa produk.

Karena harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan mudah sehingga kosmetik tanpa izin

edar ini mudah dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidaktahuan konsumen akan efek samping

yang ditimbulkan dari kosmetik mengandung bahan berbahaya bisa dijadikan suatu alasan

Page 15: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

2

mereka untuk masih tetap menggunakan kosmetik tersebut. Konsumen biasanya

tidak meneliti suatu produk sebelum membeli, ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa

produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih diminati oleh para wanita.

Mereka umumnya langsung membeli produk kosmetik tanpa pertimbangan terlebih dahulu

mengingat produk yang dibeli memberikan efek samping secara langsung.

Sehubungan dengan hal tersebut Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul

Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan bahwa:

Hal tersebut memungkinkan beredar luasnya kosmetik-kosmetik dalam memenuhi

kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk pelaku usaha, baik kosmetik

yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang tidak berizin edar dari

pemerintah. Kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha

yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak

adanya perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari konsumen.1

Selanjutnya Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa:

Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha untuk memasarkan produk kosmetik

yang di produksi oleh mereka, misalnya yaitu dengan mencantumkan bahwa produk

kosmetik tersebut buatan luar negeri yang di impor langsung ke Indonesia.2

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1175/MenKes/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika, menyebutkan mengenai

pengertian kosmetik yaitu:

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada

bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian

luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan,

1Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 1.

2Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, Hal. 12.

Page 16: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

3

mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau

melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ada sejumlah kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya, antara lain berupa Bahan Kimia Obat (BKO) yang dapat

membahayakan tubuh manusia. Bahan Kimia Obat (BKO) tersebut antara lain seperti obat-

obatan jenis antibiotik, deksametason, hingga hidrokuinon. Jadi, yang dimaksud dengan

bahan berbahaya (Bahan Kimia Obat) dalam kosmetik adalah bahan kimia obat yang

dilarang penggunaannya dalam bahan baku pembuatan kosmetik, karena akan merusak

organ tubuh manusia. Oleh karena itu penggunaan bahan kimia obat yang mengandung

bahan berbahaya dalam pembuatan kosmetik dilarang.

Berdasarkan penjelasan Kepala Balai Besar POM Semarang, Dra. Zulaimah MSi

Apt, menyatakan bahwa:

Pembuatan kosmetik di CV. Dherma Estetika Indonesia yang beralamat di

Perumahan Permata Hijau blok 8 No. 57 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan

Purwokerto, bahan baku kosmetik yang dipergunakan untuk pembuatan krim antara

lain yaitu Bahan Kimia Obat (BKO). Salah satu bahan utama dalam pembuatan

kosmetik tersebut yaitu hidrokuinon. Di Indonesia, bahan aktif hidrokuinon sangat

dibatasi penggunaannya. Di masa lalu zat aktif hidrokuinon ini memang banyak

digunakan untuk bahan baku krim pemutih atau pencerah kulit. Namun setelah

banyak kasus masyarakat yang mengeluh terjadinya iritasi dan rasa terbakar pada

kulit akibat pemakaian krim pemutih tersebut, maka penggunaan hidrokuinon

sangat dibatasi.3

Konsumen yang mengeluh karena terjadi iritasi dan rasa terbakar pada kulit seperti

dalam kasus di atas telah mengalami peristiwa yang menyebabkan mereka tidak aman dan

3http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/16/mmvzmy-bpom-sita-kosmetik-ilegal-

mengandung-obat-terlarang (diakses pada tanggal 18 September 2014).

Page 17: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

4

tidak selamat. Ini berarti hak-hak mereka sebagai konsumen sebagaimana diatur dalam

undang-undang menjadi terganggu.

Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum mengharuskan semua pihak apabila

melakukan tindakan harus berlandaskan pada hukum, tidak terkecuali dengan pelaku usaha

yang berkecimpung dalam bisnis kosmetik. Tindakan pelaku usaha menjual produk

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya (Bahan Kimia Obat) merugikan konsumen

dan dapat dikatakan bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha yang ditentukan dalam

pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

yang menyebutkan bahwa:

Kewajiban Pelaku Usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan

usahanya.

Adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

diharapkan dapat menjamin tercapainya perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.

Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara

hukum karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur

tiap-tiap warga negaranya. Di sisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum

merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karena itu negara wajib memberikan

perlindungan hukum kepada warga negaranya. Setelah kita mengetahui pentingnya

perlindungan hukum, selanjutnya kita perlu juga mengetahui tentang pengertian

perlindungan hukum itu sendiri. Beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya

mengenai pengertian perlindungan hukum, diantaranya:

1. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang

harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik

Page 18: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

5

secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak

manapun.

2. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan

peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap

hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak

tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai

upaya pemerintah dalam menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan

kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi

yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut di atas dalam kaitannya dengan konsumen, maka Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai

kewajiban serta larangan bagi konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan

perdagangan. Ketidaktaatan konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatan perdagangan dapat

menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Sengketa ini dapat berupa salah

satu pihak tidak mendapat haknya karena pihak lain tidak memenuhi kewajibannya,

misalnya konsumen yang mengalami kerugian setelah mengkonsumsi suatu produk

tertentu. Sebagai contoh yaitu konsumen yang mengkonsumsi produk kosmetik dan

menyebabkan iritasi pada kulit setelah pemakaian kosmetik tersebut. Sengketa yang timbul

antara pelaku usaha dan konsumen dan berawal dari transaksi konsumen disebut sengketa

konsumen.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah akhirnya menetapkan pembentukan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdasarkan Peraturan Presiden Republik

Page 19: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

6

Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan

Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Pasal 67 Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013, menyebutkan bahwa:

BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan

obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan perlindungan konsumen dan

pengawasan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maka BPOM berusaha melakukan

upaya pengawasan dan peringatan kepada pelaku usaha untuk tidak menjual kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya dan BPOM akan menarik kosmetik tersebut dari peredaran.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil

suatu rumusan masalah yaitu:

Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

Page 20: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

7

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi

perkembangan ilmu hukum dalam bidang Hukum Dagang, khususnya Hukum

Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen

terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi kepentingan

akademis dan sebagai tambahan bahan kepustakaan, khususnya bagi yang berminat

meneliti mengenai hukum perlindungan konsumen.

Page 21: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan

sehari-hari yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat

mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian

tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, adalah sebagai berikut:4

Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,

yaitu:

Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain

yang tidak untuk diperdagangkan kembali.5

4Ahmadi Miru, Op. Cit, Hal. 19.

5Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran

Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen,

1981), Hal. 2.

Page 22: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

9

Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang

di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai

berikut:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Penjelasan mengenai pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2

menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul

Hukum Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa :

Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen

antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu

produk, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu

produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah

konsumen akhir. Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih

luas daripada pengertian konsumen pada Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian

barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa

UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan

manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian yang luas seperti

itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya

kepada konsumen.6

6Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajawali

Pers, Hal. 4-6.

Page 23: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

10

Az. Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,

yakni:

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau

untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan

hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk

diperdagangkan kembali (nonkomersial).7

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W.Miklitz, secara garis

besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu:

1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat

berperan dalam ekonomi pasar bebas;

c. Lancar berkomunikasi.

2. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki ciri-ciri:

a. Kurang berpendidikan;

b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah;

c. Tidak lancar dalam berkomunikasi.8

7Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, Hal.

13. 8Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi Revisi, Hal

3.

Page 24: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

11

2. Hukum Perlindungan Konsumen

a. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Menurut Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen,

menyebutkan bahwa:

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah

sangat sering terdengar. Namun belum jelas benar apa saja yang masuk

ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu

identik.9

A.Z Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen Suatu Pengantar, mengemukakan bahwa:

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

(barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam

kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Hukum Perlindungan Konsumen

merupakan bagian khusus dari hukum konsumen. Hukum perlindungan

konsumen adalah keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang

mengatur dan melindungi konsumen antara penyedia dan penggunanya,

dalam kehidupan bermasyarakat.10

Selanjutnya, Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya yang berjudul

Hukum Perlindungan Konsumen, juga berpendapat bahwa:

Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala

lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan

9Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, Hal. 9.

10Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 37.

Page 25: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

12

pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung

pada kemauan kita mengartikan.11

3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

a. Hubungan Langsung

Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut:

Hubungan langsung yang dimaksudkan adalah hubungan antara

produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian.

Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan

barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan

dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun

tertulis.12

Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu bentuk perjanjian tertulis

adalah perjanjian baku. Dimana perjanjian baku didasarkan pada asas

kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,

yaitu:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

Pengertian “sah” tersebut di atas yaitu telah memenuhi syarat sahnya

suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

11

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 5. 12

Ahmadi Miru, Op.Cit, Hal. 34.

Page 26: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

13

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Sehubungan dengan hal tersebut, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan

Marthalena Pohan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan,

menyatakan bahwa:

Namun demikian, dipenuhinya keempat syarat di atas belum menjamin

sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketentuan

lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian

tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut

mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang

dimaksud adalah kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata

sepakat diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan,

maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih ada

kemungkinan dibatalkan.13

b. Hubungan Tidak Langsung

Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut:

Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah

hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung

terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen

dengan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk

perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti

bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti

kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan

perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang

melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua

sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber

perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam

undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia,

yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan

pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang

13

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina

Ilmu.

Page 27: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

14

terakhir, yaitu undang-undang karena perbuatan manusia yang

melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan

perlindungan konsumen.14

4. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen

Mengingat kedudukan konsumen yang masih lemah, maka perlindungan

konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan pihak-pihak dalam

perlindungan konsumen, yaitu:

a. Konsumen

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.

Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya Hukum

Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa

yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis

dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan

yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak. Untuk

memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh

upaya hukum terlebih dahulu. Jika permintaan yang diajukan

konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-

pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen

berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan

kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari

14

Ahmadi Miru, Op.Cit, Hal. 35-36.

Page 28: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

15

pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk

itu.15

b. Pelaku Usaha

Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa:

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

c. Menteri

Menteri disini yaitu berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah menteri yang

ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul

Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Pengertian menteri dalam undang-undang tersebut menunjukkan

bahwa yang dimaksud adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan

(Menperindag). Menteri Perindustrian boleh mengizinkan barang

dan/atau jasa diproduksi oleh pelaku usaha, tetapi yang menentukan

apakah barang dan/atau jaa tersebut layak dikonsumsi dan dapat

diedarkan ke dalam masyarakat adalah Menteri Perdagangan.16

15

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 38. 16

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 22.

Page 29: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

16

d. Departemen atau Instansi Pemerintah

Departemen atau instansi pemerintah disini adalah instansi yang

terkait dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha bersangkutan dan

mempunyai kewenangan dalam perizinan serta penentuan standar produksi.

Departemen atau instansi pemerintah yang terkait dengan peredaran kosmetik

yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Dinas Perindustrian dan

Perdagangan.

e. Lembaga atau Instansi Dalam Perlindungan Konsumen

Lembaga atau instansi di sini berperan dalam perlindungan terhadap

konsumen untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah

dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

5. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen

Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyebutkan bahwa:

Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang

yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap

pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang

merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat

dari perlindungan kepentingan industri pada negara berkembang termasuk

Indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud

untuk memberikan perlindungan kepada konsumen atau anggota

masyarakat kurang berfungsi karena tidak diterapkan secara ketat.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama,

hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu

yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi

kepentingan konsumen. Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya

berbagai ketentuan perundang-undangan yang apabila dikaji, maka

Page 30: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

17

peraturan perundang-undangan tersebut sebenarnya memuat ketentuan

yang memberikan perlindungan kepada konsumen, walaupun dalam

konsiderans peraturan perundang-undangan tersebut tidak disebutkan untuk

tujuan perlindungan konsumen.17

Selanjutnya, untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas

produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen lahir, maka peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya adalah sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan

penjajahan bangsa Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam

menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang

mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.meskipun

KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di

dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, “penyewa”, “tertanggung”, atau

“penumpang”, yang tidak membedakan apakah mereka sebagai

konsumen akhir atau konsumen antara;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang

Barang. Penerbitan undang-undang ini dimaksudkan untuk menguasai

dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industry itu adalah

meningkatkan mutu dan hasil industry;

4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang

Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan

Baku dan Hasil Industri.18

Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tanggal 20 April 1999

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru

mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang

17

Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, hal. 67. 18

Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen, Bogor:

Ghalia Indonesia, Hal. 4.

Page 31: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

18

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan

Lembaran Negara Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan

Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal

pengakuan perlindungan konsumen dan secara legitimasi formal menjadi sarana

kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai

penyedia/pembuat produk bermutu.

Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

menegaskan bahwa:

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1

angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), Ahmadi

Miru dan Sutarman Yodo menyebutkan bahwa:

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan

sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut

sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan

berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa

karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para

pelaku usaha.19

19

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., Hal. 1.

Page 32: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

19

6. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Asas-asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Penjelasan resmi dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti

materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

7. Tujuan Perlindungan Konsumen

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:

Page 33: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

20

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Ahmadi Miru dan Sutarman

Yodo dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran

akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang

hukum perlindungan konsumen.20

8. Hak dan Kewajiban Konsumen

Menurut Az.Nasution dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen

Suatu Pengantar, menyatakan bahwa :

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.

Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum.

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik,

melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata

lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan

yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.21

20

Ibid, Hal. 34. 21

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 30.

Page 34: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

21

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:

1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. hak untuk memilih (the right to choose);

4. hak untuk didengar (the right to be heard).22

Empat hak dasar tersebut di atas diakui secara internasional. Dalam

perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The

International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi

beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan

ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

22

Sidharta, Op. Cit, Hal. 16-27.

Page 35: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

22

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Kebebasan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

merupakan suatu hak mutlak yang perlu direalisasikan tanpa pembatasan dalam

bentuk apapun. Sidharta mengemukakan hal tersebut sebagai berikut:

Adanya hak dan kebebasan untuk memenuhi dan mengkonsumsi suatu

produk tertentu seara tidak langsung memberikan arti bahwa dengan hak

dan kebebasan tersebut berarti konsumen harus dilindungi, karena dalam

kondisi seperti itu biasanya konsumen dihadapkan pada kondisi take it or

leave it, artinya jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari di

tempat lain.23

Kebutuhan hidup setiap orang selalu bertambah, hal tersebut untuk

menunjang kelangsungan hidupnya. Namun, kedudukan konsumen cenderung

berada pada posisi yang lemah, dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang

disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku

usaha, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian

konsumen dari berbagai aspek.

Selanjutnya, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen juga menyebutkan mengenai kewajiban konsumen

sebagai berikut :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

23

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi Revisi, Jakarta: PT. Grasindo,

Hal. 28.

Page 36: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

23

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

9. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pada dunia perdagangan antara konsumen dan pelaku usaha mempunyai

kepentingan yang berbeda. Adanya perbedaan kepentingan tersebut sehingga dapat

menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Untuk menyelesaikan

sengketa konsumen maka dibutuhkan upaya penyelesaian sengketa. Berkaitan

dengan penyelesaian sengketa, Ahmadi Miru menyatakan bahwa:

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin

tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat

dalam suatu sengketa.24

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut:

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum.

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan

atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana

diatur dalam Undang­undang.

(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh

24

Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, Hal. 155.

Page 37: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

24

apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak

atau oleh para pihak yang bersengketa.

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen terdapat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga

penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen. Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur

dalam Pasal 52 UUPK, sebagai berikut:

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam undang­undang ini;

e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang­undang ini;

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan

huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian

sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti

lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang­undang ini.

Page 38: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

25

B. Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha

Istilah “Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut:

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sehubungan dengan hal tersebut Az. Nasution dalam bukunya

menyatakan bahwa :

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha

adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang,

distributor dan lain-lain.25

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi

para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada

konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

25

Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 17.

Page 39: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

26

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Adapun dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah

disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan pula

mengenai kewajiban pelaku usaha yaitu sebagai berikut:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Berdasarkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan

manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan

budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha itu sendiri.

Page 40: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

27

3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum

Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk

mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut

berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau

jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai

upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau

jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai

berikut:26

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau

etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan

dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,

26

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 63.

Page 41: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

28

komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,

nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

perundangundangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan

memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang

dan/atau jasa. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini hakikatnya menurut

Numardjito yaitu:

Untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di

masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul,

kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket,

iklan, dan lain sebagainya.27

Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang

berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena barang jenis tersebut

jika rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan,

walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.

Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksudkan di atas

27

Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan

Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan

Konsumen, Bandung: Mandar Maju, Hal. 18.

Page 42: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

29

adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari

penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih

rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang

demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih

rendah daripada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi

yang diperolehnya.

4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul

Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau, kita harus

berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu

pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari

penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang

dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.28

Seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa kemudian

menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka dapat menggugat atau meminta ganti

rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak yang menimbulkan kerugian

di sini yaitu bisa produsen, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak

yang memasarkan produk, tergantung dari pihak yang menimbulkan kerugian bagi

konsumen.

Berkaitan dengan hal tersebut Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan

bahwa:

28

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal 59.

Page 43: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

30

Seperti telah disinggung dalam Bab I, Undang-undang tentang

Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas

tentang definisi dari jenis barang yang secara hukum dapat

dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu

pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku

usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini erat

kaitannya dengan konsep Product Liability yang banyak dianut oleh

negara-negara maju.29

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka ada dua hak konsumen yang

berhubungan dengan Product Liability sebagaimana Adrian Sutedi dalam

bukunya Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

menyebutkan bahwa:

1. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas

yang baik serta aman.

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan

barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan

konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali

diperdayakan oleh pelaku usaha. Konsumen sering dihadapkan pada

kondisi “jika setuu beli, jika tidak silahkan cari di tempat yang lain”.

Dalam situasi yang demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari

produk alternatif (bila masih ada), yang mungkin kualitasnya lebih

buruk.

2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

Jika barang yang dibelinya dirasakan cacat, rusak, atau telah

membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang

pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang

cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku

atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak

dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dengan

harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu

menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada

tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi dari harga

barang yang dibelinya.30

29

Ibid. 30

Adrian Sutedi, Op. Cit, Hal 51-52.

Page 44: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

31

Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap penyedia barang dan/atau jasa

memiliki tanggung jawab terhadap konsumen. Hal tersebut diatur pada Pasal 19

sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Berikut merupakan pasal-pasal yang mengatur

pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan ketentuan yang ada pada Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Substansi Pasal 19 ayat (1) menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo

dalam bukunya mengemukakan tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;

3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Page 45: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

32

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum Tentang

Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa:

Pasal 19 mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan

dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7

(tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.31

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha

lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan

konsumen apabila:

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan

perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui

adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku

usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari

tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual

kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang

dan/atau jasa tersebut.

Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa:

Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain

akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau

gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan

konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh

pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum.

31

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., Hal 65-66.

Page 46: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

33

Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang

ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang

menjual barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak

melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau

apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan

produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang

dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah

memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu,

dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.32

Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

mengemukakan bahwa:

Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali

kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa

tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan

konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah

melakukan perubahan tersebut.33

Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan Ahmad

Yani menyebutkan bahwa:

Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku

usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku

usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas jaminan

dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau

perbaikan.34

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab

atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan;

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

32

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hal. 155-156. 33

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal 67. 34

Ibid.

Page 47: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

34

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang

dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha yang

melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen,

sebagaimana disebutkan oleh Gunawan dan Ahmad Yani dalam bukunya yaitu:

Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang memproduksi

barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita

konsumen, jika:

a. Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang

dibelinya atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.35

Berkaitan dengan hal tersebut apabila dikaitkan pada asas umum hukum

perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain,

wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Jika

berbicara mengenai konsep dan teori dalam ilmu hukum, menurut Gunawan

Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya menyebutkan bahwa perbuatan yang

merugikan tersebut dapat lahir karena:

1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat

(yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi); atau

2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau dikenal dengan

perbuatan melawan hukum).36

Akibat dari kerugian yang diderita oleh konsumen maka gugatan yang

lazim digunakan biasanya adalah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

35

Ibid., Hal. 67-68. 36

Ibid,. Hal. 62.

Page 48: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

35

Apabila ada hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha, maka

gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen dikarenakan

tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha atau pelaku usaha. Apabila

konsumen menggunakan gugatan perbuatan melawan hukum, maka hubungan

kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha tidaklah disyaratkan. Hal

tersebut juga dikemukakan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam

bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:

Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh

konsumen sebagai akibat penggunaan produk hanya digolongkan menjadi

dua kategori, yaitu:

a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka

terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan

konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga

(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat

menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada

wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan

melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara

produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat

dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah

terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen.

Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.37

37

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal 127-129.

Page 49: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

36

C. Kosmetik

1. Pengertian Kosmetik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian mengenai kosmetik

dan kosmetika, yaitu:

Kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajah, kulit, rambut,

dan sebagainya seperti bedak dan pemerah bibir. Sedangkan kosmetika

adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik wajah, kulit dan

rambut.38

Menurut Syarif M. Wasitaatmadja, mengemukakan mengenai pengertian

kosmetik, yaitu:

Kosmetik dalam bahasa Yunani yaitu “kosmetikos” berarti keterampilan

menghias, sedang “kosmos” berarti hiasan.39

Selanjutnya, menurut Federal Food and Cosmetic Act (1958) pengertian

kosmetik yaitu:

Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,

dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan

dalam, dipergunakan pada badan manusia dengan maksud untuk

membersihkan, memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan

tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit

atau kesehatan tubuh secara keseluruhan. Dalam definisi tersebut jelas

dibedakan antara kosmetik dengan obat yang dapat mempengaruhi struktur

dan faal tubuh.40

38

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 39

Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press, Hal. 26-27. 40

Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia Kedokteran,

http;//www.scribd.com diakses tanggal 12 Desember 2014.

Page 50: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

37

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1175 / MenKes / PER / VIII / 2010 tentang Notifikasi

Kosmetika, menyebutkan juga mengenai pengertian kosmetik yaitu:

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan

pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ

genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk

membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki

bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik

a. Pengertian dan Tujuan Pengawasan

Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan

yang luas, cenderung kompleks, dan merupakan tanggung jawab bersama

antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran

serta masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik

mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia mengenai pengertian pengawasan yaitu berasal dari kata “awas” yang

artinya adalah sebagai berikut:

Awas adalah memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu

dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi

laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang

diawas.41

Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari

pengawasan peredaran kosmetik adalah sesuatu yang telah direncanakan

41

Ibid.

Page 51: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

38

terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan renana semula dan

apakah tujuannya telah tercapai. Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah

institusi atau departemen yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi atau

departemen dan untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau departemen.

Oleh karena itu, dalam setiap institusi atau departemen mutlak, bahkan rutin

adanya sistem pengawasan. Dengan demikian, pengawasan merupakan

instrumen pengendalian yang melekat pada suatu instansi atau departemen

untuk mencapai tujuannya.

Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan dan kegiatan

pelaksanaanya. Kegiatan pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat

keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah kegiatan tersebut dilaksanakan.

Keberhasilan dalam kegiatan pengawasan peredaran kosmetik perlu

dipertahankan atau ditingkatkan, sebaliknya setiap kegagalan dalam kegiatan

tersebut harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya baik dalam

menyusun rencana pengawasan atau pelaksanaannya. Untuk itulah, fungsi

pengawasan dilaksanakan agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk

melaksanakan perbaikan bila terdapat penyimpangan pada kegiatan peredaran

kosmetik sebelum menjadi lebih buruk.

Terdapat berbagai macam pengertian pengawasan menurut pendapat

para sarjana. Menurut Prayudi dalam bukunya Hukum Administrasi Negara,

mengemukakan pengertian pengawasan yaitu:

Page 52: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

39

Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang

dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang

dikehendaki, direncanakan, atau diperhatikan.42

Selanjutnya, Saiful Anwar dalam bukunya yang berjudul Sendi-Sendi

Hukum Administrasi Negara, menyatakan bahwa:

Pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah

diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat

mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.43

Dilain pihak, menurut Harold Koonz,dkk, yang dikutip oleh John

Salinderbo menyebutkan bahwa, pengawasan adalah:

Pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk

menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi

pengawasan itu mengukur pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita

dan renana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif

dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki

penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya

rencana-rencana.44

Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa pengawasan adalah proses kegiatan yang terus-

menerus dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah

dilaksanakan, kemudian mengkoreksi apakah pelaksanaannya sudah sesuai

dengan yang semestinya atau tidak. Selain itu, pengawasan merupakan proses

42

Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 80. 43

Saiful Anwar, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, Hal. 127. 44

Jhon Salindeho, 1998, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 39.

Page 53: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

40

pengkoreksian pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai

mana kegiatan tersebut berjalan atau dilakukan, sehingga mencegah secara dini

kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan.

Berbicara mengenai arti pengawasan, maka hal ini sangat erat

kaitannya dengan peran pemerintah. Supaya peredaran kosmetik di masyarakat

dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka

hendaknya diperlukan pengawasan yang lebih efektif disamping untuk

mengendalikan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di

daerah Kabupaten Banyumas khususnya. Sejalan dengan hal tersebut,

pemerintah pusat dalam hal melakukan pengawasan di daerah dengan

melakukan pelimpahan bidang pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan

Perindustrian serta Badan Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait

yang ada disetiap daerah.

Hakikat pengawasan itu sendiri menurut Lembaga Administrasi

Negara Republik Indonesia yaitu:

Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin

terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan,

kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta

pelaksanaan tugas-tugas organisasi.45

Selanjutnya disebutkan juga mengenai sasaran pengawasan yaitu

sebagai berikut:

45

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik

Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, Hal. 159.

Page 54: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

41

sebagai bagian dari aktivitas dan tanggung jawab pimpinan, sasaran

pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi,

efektivitas, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan

pelaksanaan tugas-tugas organisasi.46

Menurut Sukarno pengawasan tersebut mempunyai tujuan, yaitu

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan renana

yang digariskan.

b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai

dengan instruksi serta asas-asas yang telah diinstruksikan.

c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan

dalam bekerja.

d. Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efisien.

e. Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-

kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan kea rah

perbaikan.47

Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa

pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi agar nantinya

dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran

yang optimal. Mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, akan

tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian,

bahkan harus disertai dengan pengalaman.

b. Jenis-Jenis Pengawasan

Saiful Anwar menyebutkan bahwa berdasarkan terbentuknya

pengawasan dapat dibedakan sebagai berikut:

46

Ibid. 47

Sukarno K., 1992, Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar, Hal. 105.

Page 55: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

42

1. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu

badan atau organ yang secara organisatoris/struktural termasuk

dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan

yang dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendri.

2. Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga

yang seara organisatoris/structural berada di luar pemerintah dalam

arti eksekutif. Misalnya pengawasan keuangan dilakukan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).48

Selanjutnya, pengawasan juga dapat diklasifikasikan atas beberapa

jenis dengan tinjauan dari beberapa segi, antara lain:

1. Pengawasan dilihat dari segi cara pelaksanaannya dibedakan atas:

a. Pengawasan langsung

Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan

dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di

tempat terhadap objek yang diawasi.

b. Pengawasan tidak langsung

Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari

pengawasan langsung, yaitu dilakukan tanpa mendatangi

tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi.

Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan

menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi

yang disampaikan oleh pelaksana ataupun sumber lain.

Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa:

Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala

maupun laporan insidentil.

Surat pengaduan dari masyarakat.

Berita atau artikel dari media massa.

2. Pengawasan dilihat dari segi kewenangan

a. Pengawasan formal

Pengawasan formal adalah pengawasan resmi oleh lembaga-

lembaga pengawasan maupun oleh aparat pengawasan yang

mempunyai legalitas tugas dalam bidang pengawasan.

b. Pengawasan non formal

Pengawasan non formal adalah pengawasan yang dilakukan

oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.

Pengawasan ini sering juga disebut sosial kontrol (soial

control), misalnya pengawasan melalui surat pengaduan

masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.49

48

Saiful Anwar, Op. Cit, Hal. 127. 49

http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 20 Desember

2014.

Page 56: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

43

Pengawasan menurut waktu pelaksanaannya dalam buku Sistem

Administrasi Negara Republik Indonesia, disebutkan sebagai berikut:

a. Pengawasan Preventif

Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dimulai. Pengawasan

ini antara lain dilakukan dengan mengadakan pemeriksaan dan

persetujuan rencana kera dan rencana anggarannya, penetapan

Petunjuk Operasional (PO), persetujuan atas rancangan peraturan

perundangan yang akan ditetapkan oleh pejabat/instansi yang lebih

rendah. Pengawasan ini bersifat preventif dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,

kesalahan, terjadinya hambatan dan kegagalan.

b. Pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan sedang berlangsung

Pengawasan ini dilakukan dengan tujuan membandingkan antara

hasil yang nyata-nyata dicapai dengan yang seharusnya telah dan

yang harus dicapai dalam waktu selanjutnya. Demikian pentingnya

pengawasan ini, sehingga perlu dikembangkan sistem monitoring

yang mampu mendeteksi atau mengetahui secara dini

kemungkinan-kemungkinan timbulnya penyimpangan-

penyimpangan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan.

c. Pengawasan Represif

Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan pada akhir

kegiatan atau pengawasan yang dilakukan setelah terjadinya

penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.50

Sebagai langkah awal dari pengawasan tersebut, pelaksanaannya harus

dilakukan dengan penuh tanggung jawab karena dengan pengawasan yang

terarah dapat mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi atau yang tidak

diinginkan. Disamping itu juga perlu dikembangkan pengawasan berbagai

bidang atau sektor di daerah yang lebih konsisten.

50 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Op.Cit, Hal. 162.

Page 57: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

44

c. Sistem dan Proses Pengawasan

Usaha yang sangat penting untuk dilakukan dalam melakukan

pengawasan agar lebih efektif dan efisien adalah dengan kerja keras dan

bertanggung jawab. Dalam pengawasan perlu diadakan koordinasi antara

instansi vertikal yang terkait agar proses pengawasan lebih maksimal.

Kesemuanya harus diserasikan agar pelaksanaan pengawasan tersebut tidak

tumpang tindih. Kemudian dalam sistem pengawasan yang akan dilakukan

harus terkoordinasi dengan baik sesuai dengan aturan yang telah dikeluarkan

oleh instansi yang ada di atasnya, serta memperhatikan pula kebijakan-

kebijakan yang telah dikeluarkan oleh instansi terkait.

Menurut M. Manullang proses pengawasan secara umum terdiri dari

tiga fase, yaitu:

1. Menetapkan alat pengukur/standard

Bila seseorang hendak menilai suatu pekerjaan, hal ini baru dapat

dilakukan bila terdapat alat pengukur atau penilainya. Alat

pengukur atau penilai tadi harus ditetapkan terlebih dahulu.

Demikian juga halnya dalam pengawasan. Dalam pelaksanaan

pengawasan alat pengukur atau penilainya adalah merupakan

standard, yaitu dapat berupa renana, program kerja, atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku, hal ini adalah merupakan fase

pertama dari pengawasan.

2. Mengadakan penilaian

Pada fase kedua, mengadakan proses penilaian. Penilaian ini

berarti membandingkan hasil suatu pekerjaan atau kegiatan

dengan alat pengukur tadi. Dalam fase inilah akan terlihat apakah

suatu pekerjaan atau kegiatan sesuai dengan rencana, kebijakan,

atau peraturan perundang-undangan atau tidak.

3. Mengadakan perbaikan

Pada fase ketiga, mengadakan perbaikan. Tindakan perbaikan ini

merupakan konsekuensi dari tahap kedua. Maksudnya, apabila

pada fase kedua ditemukan ketidaksesuaian antara rencana,

kebijaksanaan, atau bertentangan dengan peraturan perundang-

Page 58: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

45

undangan dengan kenyataan dari suatu hasil pekerjaan atau

kegiatan, atau dengan kata lain berdasarkan penilaian pada fase

kedua ditemukan penyimpangan atau penyelewengan. Tindakan

perbaikan tersebut menurut M. Manullang diartikan sebagai

tindakan yang diambil untuk menyesuaikan hasil suatu pekerjaan

yang menyimpang agar sesuai dengan standard atau rencana yang

telah ditentukan sebelumnya.51

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tindakan perbaikan

adalah konsekuensi dari hasil pengawasan, yaitu setelah diadakan penilaian

ditemukan adanya penyimpangan. Oleh karena itu, tindakan perbaikan yang

dimaksud di atas adalah tindak lanjut pengawasan dalam arti yang lebih luas.

Dapat dikatakan demikian karena tindak lanjut pengawasan di samping

mengadakan tindakan perbaikan juga memberikan sanksi kepada subyek yang

melakukan penyimpangan.

Berkaitan dengan proses pengawasan yang diatur dalam peraturan

pemerintah tersebut, kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai pembinaan dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan tujuan

untuk melindungi kepentingan konsumen dari segala akibat buruk yang

ditimbulkan peredaran suatu barang dan/atau jasa. Pasal 29 UndangUndang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai

pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, sebagai berikut:

(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak

konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban

konsumen dan pelaku usaha.

51

M. Manullang, 1995, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal.18.

Page 59: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

46

(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan

konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh

Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan

koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:

a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat

antara pelaku usaha dan konsumen;

b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat;

c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta

meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang

perlindungan konsumen.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 29 UUPK tersebut, Ahmadi

Miru dan Sutarman Yodo mengemukakan bahwa:

Dalam penjelasan umum pada pasal tersebut menentukan, faktor

utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran

akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh pendidikan

yang masih rendah. Oleh karena itu, UUPK dimaksudkan menjadi

landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingat,

LPKSM).

Berdasarkan Penjelasan Umum UUPK di atas, maka dengan adanya

tanggung jawab pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan

konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen untuk memperoleh

hak-haknya sebagai konsumen. Pemberdayaan konsumen tersebut sesuai

dengan asas keadilan dan keseimbangan, tidak boleh merugikan kepentingan

pelaku usaha. Dalam usaha untuk melindungi kepentingan konsumen tidak

dimaksudkan bertujuan mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya

dengan melalui perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang

Page 60: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

47

sehat, dan lahirnya perusahaan-perusahaan yang baik untuk menghasilkan

barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Terkait dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tersebut, telah dijabarkan lebih lanjut

mengenai tugas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, penjabarannya yaitu

dengan rincian sebagai berikut:

(1) menciptakan iklim usaha sehat antara pelaku usaha dan konsumen,

dijabarkan dalam Pasal 4 bahwa upaya tersebut dilakukan atas

koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait dalam hal:

a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;

b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi

yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;

c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan

kualitas sumber daya manusia dan lembaga;

d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan

konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing;

e. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan,

pelatihan, keterampilan;

f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang

menyangkut perlindungan konsumen;

g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa;

h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku

usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan;

i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam

memenuhi standar mutu produksi kbarang dan/atau jasa serta

pencantuman label dan klausula baku.

(2) Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat, dijabarkan dalam Pasal 5 bahwa upaya tersebut

dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait

dalam hal :

a. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi

yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;

b. pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola

LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.

Page 61: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

48

(3) Berbagai upaya yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan

pengembangan di bidang perlindungan konsumen, dijabarkan

dalam Pasal 6 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi

Menteri dengan menteri teknis terkait, dalam hal :

a. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di

bidang perlindungan konsumen;

b. peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang

dan/atau jasa;

c. pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu

barang; dan

d. penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar

mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.

Berdasarkan penjabaran dalam peraturan pemerintah tersebut

menentukan bahwa pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh

Pemerintah yaitu sebagai upaya untuk menjamin hak konsumen dan pelaku

usaha serta dilaksanakannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas

keadilan dan/atau asas keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.

Selanjutnya, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengawasan, yaitu

sebagai berikut:

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen

serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya

diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar.

(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang

Page 62: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

49

berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri

teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan

perundangundangan yang berlaku.

(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan

kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan

menteri teknis.

(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Penjelasan dari Pasal 30 undang-undang tersebut adalah sebagai

berikut:

Ayat (2)

Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang

bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.

Ayat (3)

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian

dan/atau survei.

Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko

penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan,

dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

Ketentuan Pasal 30 tersebut cukup menjanjikan bagi upaya

perlindungan konsumen yaitu melalui masyarakat dan Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat di samping pemerintah sendiri melalui menteri

yang terkait dengan dalam bidangnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo

dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan

bahwa:

Page 63: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

50

Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 undang-undang tersebut, juga

tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran

masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat, disbanding dengan peran pemerintah yang

pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang

terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas

melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan

konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-

undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama

dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas

pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat

4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan

oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan

konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk

mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak

memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di

pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan

masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.52

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menghubungkan hal tersebut di

atas dengan penjelasan Pasal 3 ayat (3), sebagai berikut:

Pengawasan yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian,

dan/atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi

tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan,

dan lain-lain yang diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha tersebut menuntut

upaya pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang

menjadi hak-haknya menjadi sangat penting. Upaya yang

dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika

dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya,

khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus

mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya.53

52

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, Hal. 185. 53

Ibid,Hal. 185-186.

Page 64: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

51

Sehubungan dengan tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah

dan berkaitan dengan sikap acuh tak acuh dari konsumen sendiri atas

permasalahan yang ada, konsumen baru akan bertindak setelah timbul

permasalahan atau persoalan. Misalnya, iritasi akibat pemakaian suatu produk

kosmetik yang tidak layak diedarkan atau tidak layak untuk dikonsumsi.

Dengan adanya persoalan tersebut, barulah masyarakat bertindak dengan cara

mengadukan hal tersebut pada pemerintah atau instansi yang berwenang untuk

menangani masalah tersebut, hanya saja untuk pengawasan dengan cara

penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek pemuatan informasi

tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lainnya

tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sehingga pengawasan oleh

masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sesuai

dengan ketentuan Pasal 30 UUPK bukan merupakan tugas yang mudah

dilakukan.

Seiring berjalannya waktu kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya yaitu pemerintah telah berperan

aktif dalam melakukan pengawasan. Untuk lebih jelasnya bentuk pengawasan

tersebut diatur di dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001,

bahwa:

(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha

dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,

penantuman label dan klausa baku, serta pelayanan purna jual

barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang dimaksud,

Page 65: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

52

pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen,

misalnya tersedianya suku cadang dan jaminan atau garansi.

(2) Pengawasan sebagaimana dmaksud dalam ayat (1) dilakukan

dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan

penjualan barang dan/atau jasa.

(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat

disebarluaskan kepada masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan/atau menteri teknis

terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang

tugasnya masing-masing.

Selanjutnya, menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh

masyarakat juga ada pengaturannya dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor

58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa:

(1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau

jasa yang beredar di pasar.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei.

(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko

penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,

pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia

usaha.

(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat

disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada

Menteri dan menteri teknis.

Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen, mengemukakan bahwa:

Ketentuan tentang pengawasan yang diperankan oleh masyarakat

tersebut sama dengan ketentuan pengawasan yang diperankan oleh

LPKSM, hanya saja yang terakhir ini menysaratkan bahwa penelitian,

pengujian dan/atau survei yang dilakukan oleh LPKSM harus

Page 66: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

53

didasarkan pada adanya dugaan bahwa produk yang menjadi

penelitian, pengujian dan/atau survei tidak memenuhi unsure

keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen.

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen juga

mengatur seara konkrit pengawasan yang dilakukan pihak Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, yaitu:

(1) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau

jasa yang beredar di pasar.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Di samping

dapat juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat

baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok.

(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko

penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,

pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan

perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

(4) Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang

diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan

dan keselamatan konsumen. Adapun pelaksanaannya, dapat

dilakukan baik sebelum atau sesudah terjadi hal-hal yang

membahayakan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan

keselamatan konsumen.

(5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) dapat

disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada

Menteri dan menteri teknis.

Dari pasal-pasal yang telah diuraikan tersebut, telah menunjukkan

bahwa perlindungan konsumen dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, karena banyaknya

jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta wilayah Indonesia yang

luas. Kemudian pembinaan pelaku usaha dan pengawasan terhadap peredaran

barang dan/atau jasa di pasaran tidak hanya ditujukkan untuk melindungi

Page 67: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

54

kepentingan konsumen saja, tetapi memberikan manfaat bagi pelaku usaha

untuk meningkatkan daya saing perdagangan barang dan/atau jasa. Selain itu,

diharapkan adanya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen

agar dapat menciptakan iklim dunia usaha yang sehat.

Page 68: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu

metode pendekatan dengan perundang-undangan.54

Menurut Ronny Hanitijo disebutkan

bahwa:

Penelitian dengan pendekatan perundang-undangan yang menggunakan konsepsi

legal positivis bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.55

Sehubungan dengan metode yuridis normatif, Sunaryati Hartono menyatakan:

Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap norma-

norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan

konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat

dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah,

situs internet dan sebagainya.56

Amiruddin dan Zainal Asikin dalam bukunya yang berjudul Pengantar Metode

Penelitian Hukum, menyatakan bahwa:

54

Ronny Hanitijo Soemitro, 1992, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 11. 55

Ibid., hal 13. 56

Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung:

Alumni, hal. 139.

Page 69: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

56

Penelitian hukum normatif sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai

kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.57

B. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan spesifikasi deskriptif, yaitu menguraikan secara jelas

kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang

dihubungkan dengan penelitian yang dilakukan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten

Banyumas, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang, UPT Perpustakaan

Universitas Jenderal Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

D. Sumber Data

1. Data Sekunder

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang merupakan data

pokok dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup

peraturan perundang-undangan, buku-buku kepustakaan, karya ilmiah, artikel-

artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Menurut

57

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, Hal. 118.

Page 70: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

57

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji dalam bukunya Peneliatian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat, menyatakan bahwa data sekunder meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat berupa peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para

sarjana, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan

yang diteliti;

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya

kamus.58

2. Data Primer

Data yang berupa hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan

Pengendalian Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Penyidik Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan Semarang.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data Sekunder

Data Sekunder diperoleh dengan pada penelitian ini yaitu dengan cara

melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku

kepustakaan, karya ilmiah yang terkait dengan materi penelitian dan pokok

masalah yang diteliti, untuk kemudian dikaji sebagai pedoman untuk penyususnan

data.

2. Data Primer

58

Seorjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta: Rajawali, Hal. 14-15.

Page 71: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

58

Data primer diperoleh dari hasil wawancara secara bebas terpimpin dengan

Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Dinas Perindustrian dan Perdagangan,

dan Penyidik Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.

F. Metode Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian disusun secara sistematis untuk

mendapatkan gambaran umum dari obyek penelitian sebagai pedoman untuk membahas

masalah yang diteliti.

G. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara

sistematis, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan

penelitian,tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisis data dan hasil

pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.

H. Metode Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian kemudian dianalisis secara normatif

kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data yang akan disusun berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan-peraturan lainnya.

Selanjutnya, Ronny Hanitijo menyebutkan bahwa:

Metode ini dapat dikatakan normatif karena penelitian ini bertolak dari peraturan-

peraturan hukum yang ada sehingga merupakan norma hukum positif. Data yang

diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan

menafsirkan data berdasarkan doktrin hukum yang relevan dengan pokok

permasalahan, sehingga tidak menggunakan rumus-rumus atau angka-angka. Jadi

maksud dari metode normatif kualitatif yaitu penjabaran dan pembahasan terhadap

Page 72: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

59

hasil penelitian yang didasarkan pada norma atau kaida-kaidah hukum maupun

doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.59

59

Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hal. 11.

Page 73: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Dinas Perindustrian Perdagangan dan

Koperasi Kabupaten Banyumas dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

Semarang, maka diperoleh hasil penelitian dengan data-data sebagai berikut:

1. Data Sekunder

1.1 Pengertian

a. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk

digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku,

bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut

terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan

atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh

pada kondisi baik. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang

Kosmetik).

b. Kosmetik kontrak adalah kosmetik yang produksinya dilimpahkan

kepada produsen lain berdasarkan kontrak. (Pasal 1 Keputusan Kepala

Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

Page 74: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

61

c. Bahan kosmetik adalah bahan atau campuran bahan yang berasal dari

alam dan atau sintetik yang merupakan komponen kosmetik. (Pasal 1

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan

Kosmetik).

d. Bahan pewarna adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan

untuk memberi dan atau memperbaiki warna pada kosmetik. (Pasal 1

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan

Kosmetik).

e. Bahan pengawet adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan

untuk mencegah kerusakan kosmetik yang disebabkan oleh

mikrooganisme. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).

f. Bahan tabir surya adalah bahan yang digunakan untuk melindungi kulit

dari radiasi sinar ultra violet dengan cara menyerap, memancarkan, dan

menghamburkan. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).

g. Wadah adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan isi. (Pasal 1

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang

Kosmetik).

h. Pembungkus adalah kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan

isi. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

Page 75: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

62

i. Penandaan adalah keterangan yang cukup mengenai manfaat, keamanan

dan cara penggunaan serta informasi lain yang dicantumkan pada etiket

dan atau brosur atau bentuk lain yang disertakan pada kosmetik. (Pasal 1

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang

Kosmetik).

j. Etiket adalah keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang

dilekatkan, dicetak, diukir, dicantumkan dengan cara apapun pada

wadah atau dan pembungkus. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM

RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

k. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

l. Deputi adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik

dan Produk Komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Pasal 1

Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang

Kosmetik).

m. Pemeriksa adalah petugas yang ditunjuk oleh Kepala Badan untuk

melakukan Pemeriksaan. (Pasal 1 Keputusan Kepala POM RI Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

n. Izin Produksi adalah izin yang harus dimiliki oleh pabrik kosmetika

untuk melakukan kegiatan pembuatan kosmetika. (Pasal 1 Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang

Izin Produksi Kosmetika).

Page 76: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

63

o. Industri Kosmetika adalah industri yang memproduksi kosmetika yang

telah memiliki izin usaha industri atau tanda daftar industri sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin

Produksi Kosmetika).

1.2 Bahan kosmetik

Bahan kosmetik yang dilarang, terdiri dari bahan sebagaimana tercantum

dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018

tentang Bahan Kosmetik.

1. 3 Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik (CPKB)

1.3.1 Industri yang akan memproduksi kosmetik harus menerapkan CPKB

dalam pembuatan kosmetik. Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik,

yang selanjutnya disingkat CPKB adalah seluruh aspek kegiatan

pembuatan kosmetik yang bertujuan untuk menjamin agar produk

yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan

sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPKB sebagai berikut:

a. Penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan

secara bertahap dengan memperhatikan kemampuan industri

kosmetik. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

Page 77: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

64

b. CPKB sebgaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan oleh

Menteri. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

c. Pemberian bimbingan terhadap penyelenggaraan kegiatan

produksi, impor, peredaran dan penggunaan kosmetik dilakukan

oleh Kepala Badan. (Pasal 32 Peraturan Kepala Badan POM RI

Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

d. Pemberian bimbingan diarahkan untuk:

1. menjamin mutu dan keamanan kosmetik yang beredar;

2. meningkatkan kemampuan teknik dan penerapan CPKB;

3. mengembangkan usaha di bidang kosmetik. (Pasal 9

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45

tentang Kosmetik).

1.3.2 Konsumen yang mengeluh akibat kerusakan produk kosmetik maka

perusahaan harus melakukan penanganan terhadap keluhan

konsumen. Penanganan terhadap hasil pengamatan produk

diperedaran adalah sebagai berikut:

a. Keluhan dan laporan masyarakat yang menyangkut mutu,

keamanan dan hal lain yang merugikan atau menimbulkan

masalah hendaknya dicatat, diperiksa, dievaluasi, dan

ditindaklanjuti.

b. Kosmetik yang terbukti menimbulkan efek samping yang

merugikan dan keamanannya tidak memadai lagi harus ditarik dari

Page 78: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

65

peredaran dan dimusnahkan. (Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetik

Yang Baik).

1.4 Persyaratan untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan

kosmetik

Pelaku usaha yang akan mengedarkan kosmetik harus memenuhi

persyaratan dasar untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan

dari kosmetik yang akan diproduksi. Persyaratannya antara lain:

a. (1) Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan

Kosmetik yang Baik.

(2) Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik

yang Baik diberikan Sertifikat oleh Kepala Badan. (Pasal 8

Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45

tentang Kosmetik).

b. Langkah utama untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan

kosmetik bagi pemakainya adalah dengan menerapkan CPKB pada

seluruh aspek dan rangkaian produksi. CPKB merupakan salah satu

faktor penting untuk dapat menghasilkan produk kosmetik yang

memenuhi standar mutu dan keamanan. (Peraturan Kepala Badan POM

RI Nomor HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan

Kosmetik Yang Baik).

1.5 Izin produksi kosmetik

Page 79: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

66

Perusahaan yang akan memproduksi kosmetik harus mempunyai izin

produksi terlebih dahulu sebelum perusahaan melakukan kegiatan

pembuatan kosmetik. Prosedur perizinan produksi kosmetik tersebut sebagai

berikut:

a. Pembuatan kosmetika hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika.

(Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63

Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).

b. (1) Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki

izin produksi.

(2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada huruf d angka (1)

diberikan oleh Direktur Jenderal. (Pasal 4 Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin

Produksi Kosmetika).

c. Izin produksi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang

selama memenuhi ketentuan yang berlaku. (Pasal 5 Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin

Produksi Kosmetika).

d. (1) Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan

kosmetika yang akan dibuat.

(2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada huruf f angka (1),

dibedakan atas 2 (dua) golongan sebagai berikut:

a. golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika

Page 80: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

67

yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan

kosmetika;

b. golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang

dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu

dengan menggunakan teknologi sederhana.

(3) Bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu sebagaimana

dimaksud huruf f angka (2), ditetapkan oleh Kepala Badan. (Pasal

6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63

Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).

e. (1) Izin produksi industri kosmetika Golongan A diberikan

dengan persyaratan:

a. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab;

b. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan

dibuat;

c. Memiliki fasilitas laboratorium; dan

d. Wajib menerapkan CPKB.

(2) Izin produksi industri kosmetika Golongan B diberikan dengan

persyaratan:

a. Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian

sebagai penanggung jawab;

b. Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai

produk yang akan dibuat; dan

Page 81: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

68

c. Mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai

CPKB.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin produksi

sebagaimana dimaksud huruf g angka (1) dan angka (2) ditetapkan

oleh Direktur Jenderal. (Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi

Kosmetika).

1.6 Wadah dan pembungkus kosmetik

Wadah dan pembungkus kosmetik harus diberi penandaan yang

berisi informasi mengenai kosmetik agar konsumen mengenal produk atau

mengetahui mengenai produk yang akan dikonsumsinya.

a. (1) Wadah kosmetik harus dapat :

melindungi isi terhadap pengaruh dari luar.

Menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya

(2) Wadah sebagaimana dimaksud pada huruf a angka (1) harus dibuat

dengan mempertimbangkan keamanan pemakai dan dibuat dari

bahan yang tidak mengeluarkan atau menghasilkan bahan

berbahaya atau suatu bahan yang dapat mengganggu kesehatan, dan

tidak mempengaruhi mutu.

Page 82: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

69

(3) Tutup wadah harus memenuhi persyaratan huruf a angka (1) dan

(2). (Pasal 17 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745

tentang Kosmetik).

b. Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi

informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. (Pasal 19

Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).

c. (1) Penandaan harus berisi informasi yang sesuai dengan data

pendaftaran yang telah disetujui.

(2) Penandaan selain dari penandaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Badan.

(Pasal 20 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang

Kosmetik).

d. Penandaan kosmetik tidak boleh berisi informasi seolah-olah sebagai

obat. (Pasal 21 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745

tentang Kosmetik).

e. (1) Penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus jelas

dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab.

(2) Penandaan yang ditulis dengan bahasa asing, harus disertai

keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan

Page 83: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

70

lain dalam Bahasa Indonesia. (Pasal 22 Keputusan Badan POM RI

Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).

f. (1) Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan

informasi/ keterangan mengenai :

a. nama produk;

b. nama dan alamat produsen atau importir / penyalur;

c. ukuran, isi atau berat bersih;

d. komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik

indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku;

e. nomor izin edar;

f. nomor batch /kode produksi;

g. kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah

jelas penggunaannya;

h. bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang

dari 30 bulan;

i. penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.

(2) Apabila seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada angka (1)

tidak memungkinkan untuk dicantumkan pada etiket wadah, maka

dapat menggunakan etiket gantung atau pita yang dilekatkan pada

wadah atau brosur. (Pasal 23 Keputusan Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).

Page 84: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

71

g. (1) Nama produsen atau importir/penyalur harus dicantumkan secara

lengkap.

(2) Bagi kosmetik impor, selain nama importir harus dicantumkan pula

nama produsen.

(3) Bagi kosmetik lisensi, disamping nama produsen yang

memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi lisensi.

(4) Bagi kosmetik kontrak, disamping nama produsen yang

memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi kontrak.

(Pasal 25 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745

tentang Kosmetik).

1.7 Persyaratan produksi dan peredaran kosmetik

Kosmetik yang diproduksi atau diedarkan harus memenuhi beberapa

persyaratan sebagai berikut:

a. Persyaratan produksi kosmetik

(1) Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan

mutu serta persyaratan lain yang ditetapkan.

(2) Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan yang baik.

(3) Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat

dan Makanan. (Pasal 2 Keputusan Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).

Page 85: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

72

b. Peredaran kosmetik

(1) Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan mutu,

keamanan dan kemanfaatan.

(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana

dimaksud pada angka (1) sesuai dengan Kodeks Kosmetika

Indonesia dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

(Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).

1.8 Pendaftaran produk kosmetik

Kosmetik yang akan diedarkan harus memiliki izin edar atau nomor

pendaftaran agar dapat diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM). Peraturan yang berkaitan dengan pendaftaran produk kosmetik

yaitu:

a. Alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan rumah tangga yang

diedarkan atau dijual di wilayah Indonesia harus didaftarkan pada

Departemen Kesehatan cq.Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan

Makanan. (Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

140/Menkes/Per/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat kesehatan,

kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).

Page 86: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

73

b. Alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan rumah tangga yang terdaftar

harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Khasiat dan keamanan

Untuk kosmetik, keamanan yang cukup, yaitu tidak

menggunakan bahan yang dilarang, tidak melebihi batas kadar yang

ditetapkan untuk bahan, zat pengawet dan tabir surya yang

diizinkan dengan pembatasan, menggunakan zat warna yang

diinginkan sesuai dengan daerah penggunaannya.

2. Mutu

Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari cara produksi

yang baik dan hanya menggunakan bahan dengan spesifikasi yang

sesuai untuk kesehatan, kosmetika, dan perbekalan kesehatan rumah

tangga.

3. Penandaan

Untuk alat kesehatan dan kosmetika, penandaan yang cukup

yang dapat mencegah terjadinya salah pengertian atau salah

penggunaan. (Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

140/Menkes/Per/III/1991 trntang Wajib Daftar Alat kesehatan,

kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).

c. Pendaftaran kosmetik produksi dalam negeri dilakukan oleh produsen

kosmetik dalam negeri yang telah mendapat izin produksi dari Menteri

Kesehatan. (Kepuusan Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan

Departemen Kesehatan Nomor 1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk

Page 87: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

74

Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan

Kesehatan Rumah Tangga).

d. Permohonan pendaftaran dilakukan dengan mengisi formulir

pendaftaran secara lengkap, kemudian diajukan langsung kepada

Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan cq. Direktorat

Jenderal Pengawasan Kosmetika dan alat kesehatan. Bila permohonan

belum diisi secara lengkap, pemohon akan menerima pemberitahuan

kekurangan kelengkapan permohonan. (Kepuusan Direktur Jenderal

Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Nomor

1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk Peksanaan Wajib Daftar Alat

Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).

e. Yang berhak mendaftarkan kosmetik di wilayah Indonesia adalah:

1. produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri;

2. perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran;

3. badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari

negara asal. (Pasal 10 Keputusan Badan POM Nomor

HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).

1.9 Pengawasan terhadap peredaran kosmetik

Peredaran adalah pengadaan, pengangkutan, pemberian,

penyerahan, penjualan dan penyediaan di tempat serta penyimpanan, baik

untuk perdagangan atau bukan perdagangan.

Page 88: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

75

a. Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan

yang luas, cenderung kompleks dan merupakan tanggung jawab

bersama antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku

usaha. Peran serta masyarakat dan juga pelaku usaha dalam pengawasan

peredaran kosmetik mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan.

Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan dan Badan

Pengawas Obat dan Makanan melakukan tindakan dalam rangka

meningkatkan pengamanan kosmetik, antara lain mencakup:

1. Pendaftaran, penilaian, dan penguji terhadap produk kosmetik

sebelum beredar ke masyarakat

Registrasi mempunyai arti penting dalam pengawasan

kosmetik karena dalam proses registrasi tersebut dilakukan evaluasi

dan pengujian secara seksama yang meliputi mutu bahan, formulasi,

metode produksi, maupun aspek keamanan penggunaan. Melalui

evaluasi dan pengujian dalam system registrasi maka secara awal

akan dapat diketahui mutu dan keamanan kosmetiksebelum beredar

di masyarakat. Kosmetik yang nyata mengandung bahan-bahan

berbahaya, tidak akan diberi nomor registrasi dan dinyatakan

beredar di Indonesia.

2. Pembinaan dan pemeriksaan terhadap cara produksi dan distribusi

serta pengujian mutu

Guna meningkatkan penerapan cara-cara produksi yang baik

maka Departemen Kesehatan dan BPOM melakukan upaya

Page 89: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

76

pembinaan terutama terhadap industri kosmetik yang sedang dalam

tahap berkembang. Disamping itu pemeriksaan terhadap sarana

produksi dan distribusi akan ditingkatkan terus terutama untuk

mencegah beredarnya produk-produk yang tidak memenuhi syarat.

Oleh karena itu, dalam keadaan pemeriksaan terhadap sarana

produksi dilakukan pula pengambilan contoh (sampling) untuk

dilakukan penguji mutu di laboraturium.

3. Penetapan spesifikasi dan pembakuan mutu

Departemen Kesehatan telah menerbitkan Buku Kodeks

Kosmetik Indonesia yang berisi uraian dan persyaratan bahan

kosmetik. Kodeks Kosmetik merupakan pedoman yang harus

digunakan dalam pemilihan bahan produksi kosmetik di Indonesia.

4. Monitoring efek samping kosmetik

Terhadap produk-produk kosmetik yang telah terdaftar dan

beredar di masyarakat dilakukan pemantauan/monitoring terutama

mengenai efek samping yang mungkin timbul dalam penggunanya

oleh masyarakat. Pemantauan terhadap efek samping ini dilakukan

kerja sama dengan rumah sakit dan melibatkan para dokter ahli

kulit. Hasil monitoring ini sangat penting terutama untuk reevaluasi

terhadap produk-produk yang ada dalam peredaran.

5. Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada masyarakat

Page 90: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

77

Penyuluhan dan penyebaran informasi dipandang perlu

untuk terus ditingkatkan agar masyarakat dapat menggunakan

kosmetik secara tepat, benar, dan aman. Demikian pula dengan

tenaga-tenaga di bidang produksi dan distribusi kosmetik perlu

terus ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan

memberikan informasi-informasi mutakhir tentang berbagai aspek

yang berkaitan dengan kemajuan dan perkembangan kosmetik.

b. Pengaturan mengenai pengawasan terhadap peredaran kosmetika yaitu

sebagai berikut:

(1) Pengawasan terhadap produk kosmetik dilakukan oleh Kepala

Badan. (Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun

2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).

(2) Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya

pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk

menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan

tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah

pemeriksaan. (Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63

Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).

(3) Setiap kosmetika yang beredar wajib:

(a) memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, manfaat,

mutu, penandaan, klaim; dan

Page 91: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

78

(b) dinotifikasi. (Pasal 2 Keputusan Kepala Badan POM RI

Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang

Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).

(4) Pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan terhadap:

(a) sarana; dan

(b) kosmetika. (Pasal 3 Keputusan Kepala Badab POM RI Nomor

HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan

Produksi dan Peredaran Kosmetika).

(5) Pengawasan kosmetika sebagaimana dimaksud dalam angka (4)

huruf b antara lain meliputi :

(a) legalitas kosmetika;

(b) keamanan, kemanfaatan dan mutu;

(c) penandaan dan klaim; dan

(d) promosi dan iklan. (Pasal 5 Keputusan Kepala Badan POM RI

Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang

Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).

(6) Pemeriksaan dilakukan oleh petugas secara:

a. rutin

Pemeriksaan rutin sebagaimana dimaksud pada dilakukan

untuk mengetahui pemenuhan standar dan/atau persyaratan.

b. khusus.

Page 92: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

79

Pemeriksaan khusus dilakukan untuk menindaklanjuti hasil

pengawasan dan/atau informasi adanya indikasi pelanggaran.

(Pasal 6 Keputusan Kepala Badab POM RI Nomor

HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan

Produksi dan Peredaran Kosmetika).

(7) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, petugas pengawas dapat:

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan

produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan

kosmetika untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh

segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan,

penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan kosmetika;

b. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat

keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan,

pengangkutan dan perdagangan kosmetika, termasuk

menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;

c. memeriksa penerapan CPKB;

d. memeriksa penandaan dan klaim kosmetika;

e. memeriksa promosi dan iklan kosmetika;

f. mengambil contoh/sampling untuk dilakukan pengujian

laboratorium, dan;

g. melakukan pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan

kosmetika tidak memenuhi persyaratan. (Pasal 8 Keputusan

Page 93: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

80

Kepala Badab POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun

2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).

(8) Apabila hasil pemeriksaan oleh pemeriksa menunjukkan adanya

dugaan atau patut diduga adanya tindak pidana di bidang kosmetik

segera dilakukan penyidikan oleh penyidik Badan Pengawas Obat

dan Makanan. (Pasal 38 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).

c. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan:

Tugas BPOM:

1. Penilaian khasiat/kemanfaatan, keamanan, mutu, dan

penandaanserta analisis laboratorium dalam rangka pemberian izin

edar obat termasuk narkotika, bahan obat, tradisional, kosmetik, dan

makanan;

2. Pemeriksaan setempat dalam rangka pembinaan dan pengawasan di

bidang produksi dan distribusi obat termasuk narkotika, bahan obat,

obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan

makanan, serta sertifikasi cara pembuatan yang baik;

3. Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium terhadap obat

termasuk narkotika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik,

perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan yang beredar;

Page 94: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

81

4. Pemberian peringatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran

terhadap ketentuan yang menyangkut obat termasuk narkotika,

bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah

tangga, dan makanan;

Fungsi BPOM:

1. Penilaian dan pemantauan promosi dan iklan bahan obat, obat

tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan

makanan;

2. Pelaksanaan monitoring efek samping dan pemberian informasi;

Kewenangan BPOM:

1. Penarikan kembali dari peredaran dan pemusnahan obat termasuk

narkotika, bahan obat yang beresiko tinggi, obat tradisional,

kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan yang

tidak memenuhi syarat;

2. Penyusunan standar dan persyaratan mutu, keamanan dan

kemanfaatan produk yang berupa Kodeks Kosmetik Indonesia

untuk ditetapkan oleh Menteri Kesehatan;

3. Penetapan pedoman teknis penilaian dan pengujian laboratorium

obat termasuk bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan

Page 95: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

82

kesehatan rumah tangga dan makanan serta pemeriksaan sarana

produksi dan distribusinya;

4. Penyidikan tindak pidana di bidang obat termasuk narkotika dan

psikotropika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan

kesehatan rumah tangga, dan makanan. (Keputusan Bersama

Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara

Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 tentang Tugas, Fungsi,

dan Kewenangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan).

1.10 Sanksi

a. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar

dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 196

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

b. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

juta rupiah). (Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan).

Page 96: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

83

1.11 Pemberian Ganti Rugi

Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat ganti rugi apabila sediaan

farmasi dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya

kesehatan, cacat, dan kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat

kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan

kemanfaatan. (Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan).

2. Data Primer

2.1 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dian Eri Rahmadi, beliau

sebagai Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian di Dinas Perdagangan

dan Perindustrian, maka dapat diperoleh data sebagai berikut:

2.1.1 Penyebab kosmetik tanpa izin edar dapat beredar di

masyarakat

Kosmetik tanpa izin edar dapat beredar dan dikonsumsi oleh

masyarakat dikarenakan barang atau produk kosmetik yang beredar

di pasaran ada ribuan item sehingga tidak memungkinkan untuk

melihat satu persatu kelayakan atau keamanan dari produk atau

barang tersebut, oleh karena itu pengawasannya tidak bisa optimal

dan efektif serta jumlah tenaga yang terbatas untuk mengawasi

seluruh kabupaten Banyumas.

2.1.2 Akibat dari pelaku usaha yang memproduksi kosmetik tanpa

izin edar

Page 97: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

84

Pelaku usaha yang memproduksi kosmetik yang mengandung

bahan berbahaya serta tidak memiliki izin edar akan diberi surat

peringatan 1 (satu) kali, 2 (dua) kali, tetapi kalau sampai diberi

surat peringatan 3 (tiga) kali apabila pabrik tersebut tetap

memproduksi kosmetik illegal maka izin usahanya akan dicabut

dan jika tertangkap tangan oleh dinas-dinas yang mengawasi maka

pabrik pembuatan kosmetik langsung ditutup. Peredaran barang

atau produk yang bersentuhan dengan kulit apabila tidak

mencantumkan label dan tangggal kadaluwarsa maka produk

tersebut bisa disita dan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan,

setelah itu menjadi kewenanangan negara apakah barang atau

produk tersebut akan dimusnahkan atau dibakar.

2.1.3 Bentuk ganti rugi apabila konsumen mengalami kerugian

akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan

berbahaya

Konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan

kosmetik mengandung berbahaya maka diselesaikan melalui

mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya. Ganti rugi

tersebut tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak

karena merupakan sengketa konsumen di luar pengadilan.

2.1.4 Tanggung jawab pemerintah daerah dalam peredaran

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya

Page 98: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

85

Tanggung jawab pemerintah daerah dalam peredaran

kosmetik ilegal, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten

Banyumas sebagai dinas yang berfungsi sebagai pengawasan

barang yang beredar maka melakukan pembinaan. Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas melakukan

pembinaan dengan cara sosialisasi kepada pelaku usaha.

2.2 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Eko Puncak, S.H, beliau

sebagai Penyidik di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang,

maka dapat diperoleh data sebagai berikut:

2.2.1 Penyebab kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan

tanpa izin edar dapat beredar di masyarakat

Hal ini merupakan study lapangan. Kasus tersebut produsen

atau pelaku usahanya belum mempunyai izin produksi dan

pabriknya juga ilegal. Jika pabrik pembuatan kosmetik tersebut

ilegal, apabila berbicara ius poenandi (kewenangan negara), Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak bisa mengetahui

bahwa di tempat tersebut ada sebuah tempat produksi, tiba-tiba

barang tersebut sudah beredar di pasaran. Bahkan tentang kasus ini,

temuannya ada di pasaran dan terdengar permasalahan masyarakat

kemudian ditindaklanjuti dan dilakukan investigasi ternyata di

tempat tersebut ada sebuah rumah yang digunakan untuk

memproduksi kosmetik ilegal, setelah mendapat keterangan yang

pasti tim penyidikan melakukan operasi penertiban.

Page 99: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

86

Kesimpulannya, BPOM atau negara hanya bisa memantau pelaku

usaha yang mempunyai legalitas, apabila tidak mempunyai legalitas

maka BPOM tidak bisa mengetahui bahwa di tempat tersebut ada

pabrik kosmetik. Tetapi apabila mempunyai legalitas pelaku usaha

akan melapor ke Dinas Kesehatan Propinsi lalu di dinas tersebut

mempunyai data base yang kemudian dilaporkan ke BPOM,

sehingga BPOM bisa melakukan pengawasan ke tempat produksi.

2.2.2 Jenis bahan kimia obat yang mengandung bahan berbahaya

Bahan kimia obat yang sering dipakai dalam pembuatan

kosmetik berbahaya yaitu mercury, yang sering digunakan pada

pemutih wajah. Kecuali hidrokuinon yang dipakai pada cat kuku

dan pewarna rambut. Tetapi kalau untuk kosmetik yang dioles di

kulit tidak boleh ditambahkan dengan hidrokuinon.

2.2.3 Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya

Kasus tersebut perlindungan hukumnya dapat menuntut ganti

kerugian tetapi dalam hal ganti rugi tersebut bukan merupakan

tugas pokok dari BPOM, karena BPOM hanya melakukan

pengawasan. Apabila penyegelan terhadap sarana, BPOM tidak

mempunyai kewenangan tetapi hanya melakukan pengawasan

terhadap produk, yang mempunyai kewenangan adalah Dinas

Page 100: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

87

Perindustrian dan Perdagangan. Undang-Undang Perlindungan

Konsumen untuk penyelesaian sengketa konsumen ada lembaga

tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

2.2.4 Sanksi yang dikenakan kepada Pelaku Usaha yang

memproduksi kosmetik mengandung bahan berbahaya dan

tanpa izin edar

Berbicara ius poenali (hukum positif yang ada dalam

peraturan perundang-undangan), dasar hukumnya yaitu Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu:

1. Untuk kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan yaitu

kosmetik mengandung bahan berbahaya seperti kasus ini,

maka dapat dikenakan Pasal 196 dengan ancaman pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Untuk kosmetik yang tidak mempunyai izin edar atau belum

terdaftar maka dapat dikenakan Pasal 197 dengan ancaman

pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling

banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta

rupiah).

Kasus tersebut dikenakan 2 (dua) pasal untuk pelaku

usahanya yaitu Pasal 196 dan Pasal 197 karena kosmetik yang

Page 101: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

88

diedarkan tidak mempunyai izin edar dari BPOM dan mengandung

bahan berbahaya. Pada saat ada penggerebekan di tempat tersebut

juga sedang dilangsungkan kegiatan produksi, dan CV. Dherma

Estetika Indonesia sekarang sudah ditutup.

2.2.4 Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap

peredaran produk kosmetik di tiap-tiap daerah

Pengawasan yang dilakukan terhadap peredaran produk

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di masyarakat adalah

untuk menjamin mutu. Pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) ada 2 macam:

1. Pre Market

Pre Market adalah pengawasan yang dilakukan serta penilaian

dan pengujian atas mutu keamanan sebelum kosmetik

diedarkan.

2. Post Market

Post Market adalah pengawasan yang dilakukan setelah produk

kosmetik diedarkan di masyarakat, antara lain inspeksi sarana

produksi dan distribusi, monitoring efek samping kosmetik,

sampling dan uji laboratorium untuk kosmetik di peredaran,

penilaian dan pengawasan iklan kosmetik atau promosi, serta

penyebaran informasi melalui edukasi masyarakat dan public

warning.

Page 102: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

89

BPOM dalam melakukan pengawasan, berkaitan dengan ius

poenandi apabila ditemukan kosmetik yang mengandung bahan

berbahaya maka kosmetik itu akan disita dan apabila sudah

mendapatkan persetujuan dari Pengadilan kemudian penyidik

melakukan pemusnahan untuk kemudian dibakar di tempat

pembuangan akhir. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM hanya

melakukan pengamanan produk dan penyitaan terhadap produk atau

barangnya.

Berbicara mengenai prioritas utama yaitu bahan berbahaya

dalam pembuatan kosmetik maka harus mencantumkan tanggal

kadaluwarsa. Sepanjang untuk pengobatan di klinik tanpa adanya

tanggal kadaluwarsa itu diperbolehkan karena di klinik terdapat

takaran dokter dan berfungsi sebagai pengobatan dan resepnyapun

obat maka kalau di klinik bukan merupakan kosmetik tetapi sebagai

obat. Apabila sudah diedarkan sampai ke toko dimana orang yang

membeli itu tidak bisa bertanya ke pemilik toko maka harus diberi

informasi yang jelas. Misalnya, A datang ke klinik diperiksa dokter,

meskipun itu klinik kecantikan namun produknya adalah obat,

bukan kosmetik. Berbeda jika sudah masuk ke toko atau sudah

berada di toko itu dinamakan kosmetik karena jika sudah masuk ke

toko harus didaftarkan di BPOM.

Produk kosmetik yang tidak ada izin edarnya mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

Page 103: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

90

1. Sistim pemesanannya biasanya dengan cara dikirim

Misalnya: A memesan kosmetik, karena tidak mungkin diambil

di tempat tersebut lalu produk kosmetik tersebut dikirim oleh

ekspedisi.

2. Apabila membeli produk kosmetik tersebut dalam jumlah

banyak maka akan ditanya macam-macam oleh si pelaku usaha.

Berbicara mengenai law enforcement, misalnya toko A

menjual kosmetik yang mengandung bahan berbahaya maka

terhadap pemilik toko tersebut akan dilakukan:

a. Diperingatkan

Pelaku usaha yang menjual kosmetik atau yang mempunyai

toko diperingatkan dengan surat pernyataan bahwa benar telah

menjual kosmetik tanpa izin edar dan berjanji untuk tidak

mengulangi perbuatan tersebut. Apabila setelah membuat surat

pernyataan ternyata masih menjual kosmetik yang mengandung

bahan berbahaya terpaksa orang yang menjual akan

diperkarakan dan tokonya tidak ditutup karena terhadap

sarananya bukan merupakan kewenangan BPOM.

b. Pembinaan Pelaku Usaha

Pembinaan pelaku usaha terdapat penyuluhan terhadap pelaku

usaha. Pelaku usaha di sini dianggap cakap karena untuk

memperoleh izin mempunyai tahapan yang rumit.

Page 104: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

91

BPOM bermaksud memberikan aspek jera berbasis pembinaan

artinya apabila orang tersebut melakukan kejahatan bukan

berarti semuanya dirampas dan dia tidak bisa bekerja, karena

dia dituntut di pengadilan untuk orang yang tidak biasa

melakukan kejahatan itu merupakan obat yang sangat pahit dan

terhadap toko tersebut tetap tidak dilakukan penyegelan dengan

harapan keluarganya meneruskan usahanya untuk melanjutkan

penjualan teetapi dengan syarat toko tersebut menjual barang-

barang yang legal. Apabila selama menjalani proses ini pelaku

usaha tertangkap tangan lagi, maka hukumannya lebih berat

yaitu dengan pemberatan.

c. Pemusnahan terhadap barang atau produk

Pemusnahan ini dilakukan pada pabrik kosmetik ilegal yaitu

apabila setelah diperiksa dari hasil laboratorium ternyata tidak

sesuai ketentuan dalam pembuatan kosmetik, maka yang disegel

atau dimusnahkan di tempat adalah barang atau produk yang

illegal.

Dalam pembuatan kosmetik tidak ada industri rumahan, berbeda

dengan pangan. Industri kosmetik memerlukan tenaga ahli

dalam pembuatannya, tetapi jika pangan ada industri rumahan.

Karena kosmetik merupakan industri yang besar maka pelaku

usahanya harus mempunyai izin untuk pembuatan kosmetik

yaitu pelaku usaha mengajukan permohonan ke BPOM untuk

Page 105: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

92

mendapatkan izin, kemudian BPOM melampirkan persyaratan

lulus CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik) meliputi

alur dan bahan baku, lalu setelah memenuhi semua persyaratan

keluarlah izin edar serta notifikasi kosmetika.

2.2.5 Kendala pengawasan terhadap kosmetik di daerah

Di daerah dalam pengawasan peredaran kosmetik mengalami

kendala, yaitu:

a. Tingkat pendidikan dan pengetahuan pemilik toko masih

rendah sehingga mereka belum bisa membedakan kosmetik

legal dan ilegal.

b. Sales kosmetik biasanya lebih cenderung sekedar mencari

target atau keuntungan penjualan daripada berpikir tentang

keamanan kosmetik. Bahkan sales ini sedikit banyak sudah

mengetahui kosmetik tersebut ilegal tetapi tetap dijual.

c. Pemilik toko tidak bisa menerima hal tersebut karena

kurangnya pengetahuan tadi ketika kosmetik dimusnahkan.

Page 106: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

93

B. Pembahasan

Perlindungan hukum bagi konsumen pada dasarnya adalah melindungi hak-hak

konsumen. Hak-hak konsumen sebenarnya sudah dirumuskan secara jelas dan terinci di

dalam peraturan perundang-undangan yang semestinya diperhatikan dan dilindungi oleh

pihak pelaku usaha, hanya dalam prakteknya hal ini sering terabaikan karena iktikad tidak

baik dari pelaku usaha serta dalam melakukan usaha hanya didorong untuk mendapatkan

keuntungan yang sebesar-besarnya. Peristiwa tidak terpuji yang merugikan konsumen

ditemukan pada tahun 2013, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)

Semarang bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menggerebek sebuah rumah di

Perumahan Permata Hijau blok 8 No. 57 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto

Utara, Banyumas, Jawa Tengah. Rumah mewah yang dijadikan pabrik pembuatan produk

kosmetik ilegal tersebut menggunakan nama CV Dherma Estetika Indonesia. Ribuan wadah

dan bahan kosmetik disita. Petugas mengamankan bahan-bahan pembuat kosmetik seperti

hydrokinon, silikon, antibiotik berupa clindamisin dan cloramfenikol, dan ratusan jiriken

bahan campuran produk pembuatan kosmetik. Berdasarkan laporan masyarakat, produk

kosmetik tanpa menggunakan merk tersebut dapat membuat iritasi di kulit dan membuat

kulit menjadi belang-belang. Diantaranya adalah krim malam dan krim siang. Pangsa pasar

produk ini adalah mahasiswa dan pelajar karena harganya terjangkau. Izin perusahaan

kosmetik tersebut yang terdiri dari izin HO, SIUP, TDP juga tidak ada.

Berdasarkan kasus tersebut, konsumen akibat peredaran kosmetik yang

mengandung bahn berbahaya harus dilindungi. Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 angka

(2) UUPK, yaitu:

Page 107: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

94

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani mengemukakan mengenai pengertian

konsumen yaitu:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.60

Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.2 tentang keluhan konsumen apabila

dikaitkan dengan pasal 1 angka (2) UUPK dan pendapat Gunawan Widjaya dan Ahmad

Yani maka dapat dideskripsikan bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir,

yang artinya pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Apabila kita melihat pada

kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen di sini adalah pengguna kosmetik

tersebut.

Pasal 1 angka (3) UUPK mengartikan pelaku usaha sebagai berikut:

Pelaku Usaha adalah setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi.

Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen Di Indonesia menyebutkan pengertian pelaku usaha atau produsen yaitu:

60

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, Hal. 5.

Page 108: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

95

Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau

pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya

atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai

produsen.61

Az. Nasution menggolongkan pelaku usaha sebagai berikut:

a. Pelaku usaha sebagai pencipta atau pembuat barang yang menjadi sumber

terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.

b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen.

c. Pengusaha jasa (Pelaku usaha yang memberi pelayanan dan atau menjual sebuah

prestasi kepada konsumen).62

Berdasarkan data sekunder nomor 1.1 huruf o tentang industri kosmetika dan nomor

1.4 tentang persyaratan untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetik serta

didukung dengan data primer nomor 2.2.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka (3)

UUPK dan pendapat Ahmadi Miru serta Az. Nasution maka dapat dideskripsikan bahwa

pemilik pabrik kosmetik dalam kasus tersebut disebut sebagai pelaku usaha.

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum Suatu Pengantar,

mengemukakan bahwa:

Perlindungan hukum yaitu segala upaya yang dilakukan menjamin adanya kepastian

hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam

suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat terlihat baik dalam

Undang-Undang maupun dalam ratifikasi atau konvensi internasional.63

61

Ahmadi Miru, Op. Cit, Hal. 21-22. 62

Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, Hal.

10. 63

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, Hal. 20.

Page 109: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

96

Perlindungan konsumen menurut Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan

Konsumen Indonesia, yaitu:

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Adapun

materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-

lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen

sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak

konsumen.64

Berdasarkan pendapat Sudikno Mertokusumo dan Shidarta, maka dapat

disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan perlindungan

terhadap hak-hak konsumen yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak

konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Berdasarkan pendapat Sudikno dan Shidarta yang dijabarkan di atas, maka yang

dimaksud perlindungan konsumen adalah melindungi hak-hak konsumen seperti yang

64

Shidarta, Op.Cit, hal. 19.

Page 110: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

97

diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Khusus dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah perlindungan terhadap

hak-hak konsumen seperti yang diatur pada Pasal 4 huruf a, c, d, e, yaitu sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa

Pasal 4 huruf a UUPK, menyatakan bahwa:

Hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menyatakan bahwa:

Dari Sembilan butir hak konsumen di atas terlihat bahwa masalah

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau

jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang

tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak

untuk diedarkan dalam masyarakat.65

Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 tentang Bahan Kosmetik apabila

dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK dan pendapat Gunawan Widjaya dan

Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa kosmetik yang mengandung

mercury dan hidrokuinon dalam kasus ini tidak aman untuk digunakan karena

bahan kosmetika dinyatakan bahwa mercury dan hidrokuinon merupakan bahan

kosmetik yang dilarang dalam pembuatan kosmetik. Dapat disimpukan bahwa

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya serta tidak mempunyai izin edar dari

65

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, Hal.30.

Page 111: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

98

BPOM tidak aman untuk digunakan dan dapat mengancam keselamatan

konsumen. Kosmetik tersebut tidak layak untuk diedarkan di masyarakat karena

melanggar hak konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf a

UUPK, mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.9 tentang pengawasan terhadap

peredaran kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK dan kasus ini

dapat dideskripsikan bahwa produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat dan

mengakibatkan terganggunya kesehatan konsumen maka Badan Pengawas Obat

dan Makanan dapat menarik produk kosmetik dari peredaran dan melakukan

pemusnahan. Konsumen kosmetik yang mengalami kerugian berhak mendapatkan

ganti rugi akibat pemakaian produk kosmetik tersebut dan pelaku usahanya dapat

dikenai sanksi.

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul

Hukum Tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan bahwa:

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan

oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan

Konsumen memungkinkan dilakukannya penuntutan pidan terhadap pelaku

usaha dan/atau pengurusnya.66

Berdasarkan data sekunder nomor 1.10 tentang sanksi dan diperkuat

dengan data primer nomor 2.2.4 apabila dikaitkan dengan pendapat Gunawan

Widjaya dan Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa dengan adanya

66

Ibid, Hal. 84-85.

Page 112: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

99

sanksi dari pemerintah maka konsumen akan merasa aman, sehingga pemerintah

dalam hal ini telah memberikan kenyamanan dan keamanan kepada konsumen.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

Hak untuk memperoleh informasi atas barang atau produk yang akan dibeli

ini sangat penting, dimaksudkan agar konsumen dapat mengetahui informasi yang

jelas tentang suatu produk yang akan dikonsumsi karena dengan informasi tersebut

konsumen dapat memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya serta dapat

terhindar dari kerugian apabila produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.

Pasal 4 huruf c UUPK menyebutkan bahwa:

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

Pasal 7 UUPK menyebutkan bahwa:

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi

jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

Page 113: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

100

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

dengan perjanjian.

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani dalam bukunya mengemukakan

bahwa:

Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya,

maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang

dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas,

dan jujur.67

Berdasarkan data sekunder nomor 1.6 huruf f tentang wadah dan

pembungkus kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf

a dan b UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, maka dapat

dideskripsikan bahwa konsumen harus memperoleh informasi mengenai barang

dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi. Namun, dalam kasus ini konsumen

tidak mengetahui informasi mengenai barang atau produk kosmetik tersebut.

Produk kosmetik tersebut tidak mencantumkan label mengenai informasi kosmetik

tersebut sehingga konsumen tidak mengetahui manfaat produk, tanggal

kadaluwarsa bahkan efek samping dari penggunaan kosmetik tersebut. Hal ini

menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak beriktikad baik dalam melakukan kegiatan

67

Ibid, Hal.30.

Page 114: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

101

usahannya dalam memproduksi kosmetik. Jadi, dalam kasus ini konsumen tidak

mendapatkan hak atas informasi yang benar dan jelas mengenai kondisi barang

atau produk kosmetik yang dikonsumsi.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan

Setiap konsumen yang mengalami kerugian akibat pemakaian barang atau

produk maka harus didengar keluhan dan pendapatnya. Misalnya konsumen yang

mengkonsumsi produk kosmetik lalu mengalami iritasi setelah mengkonsumsinya

maka harus didengar keluhannya.

Pasal 4 huruf d UUPK, menyebutkan bahwa:

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa:

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan

lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini

dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan

produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk

tersebut kurang memadai ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian

yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk atau berupa pernyataan

atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan

kepentingan konsumen.68

Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.2 tentang keluhan konsumen dan

didukung dengan data primer nomor 2.2.1 apabila dikaitkan dengan pasal 4 huruf

68

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 43.

Page 115: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

102

d UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripsikan

bahwa pelaku usaha dalam kasus ini tidak menanggapi keluhan konsumen dan

dalam kasus ini konsumen tidak memperoleh haknya untuk didengar pendapat dan

keluhannya atas produk barang dan/atau jasa yang digunakan. Sehingga,

konsumen menyampaikan keluhan akibat pemakaian kosmetik tersebut kepada

Layanan Informasi Konsumen Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adanya

Layanan Informasi Konsumen BPOM maka pemerintah dalam hal ini telah

melindungi hak konsumen kosmetik untuk didengar pendapat dan keluhannya atas

barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa serta perlindungan konsumen secara patut

Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen pengguna

suatu barang dan/atau jasa yang telah dirugikan. Konsumen kosmetik dalam kasus

ini yang mengalami kerugian akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan

berbahaya berhak mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyelesaian

sengketa dapat diselesaikan di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Konsumen

yang dirugikan akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya

berhak memperoleh ganti rugi.

Pasal 4 huruf e UUPK, menyatakan bahwa:

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, mengemukakan bahwa:

Page 116: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

103

Hak atas ganti kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang

telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang

tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini terkait dengan penggunaan

yang telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi maupun

kerugian menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.69

Berdasarkan data sekunder nomor 1.3 tentang CPKB, nomor 1.5 tentang

izin produksi kosmetik, nomor 1.8 tentang pendaftaran produk kosmetik, dan

nomor 1.9 tentang pengawasan terhadap peredaran kosmetik serta didukung

dengan data primer nomor 2.1.1 dan 2.2.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf e

UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripikan

bahwa banyaknya produk kosmetik yang beredar di pasaran mengakibatkan

pemerintah tidak optimal dan efisien dalam melakukan pengawasan. Terlebih

apabila pabrik pembuatan kosmetik tersebut illegal maka pemerintah tidak bisa

melakukan pengawasan terhadap pembuatan kosmetik pada pabrik tersebut karena

tidak mengetahui bahwa di tempat tersebut ada pabrik kosmetik. Apabila

mempunyai legalitas maka pemerintah dapat melakukan pengawasan dan

pembinaan ke tempat produksi. Negara hanya bisa memantau pelaku usaha yang

mempunyai legalitas. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah mengenai Cara

Pembuatan Kosmetik Yang Baik bertujuan agar dalam pembuatan kosmetik tidak

menggunakan bahan yang berbahaya dan merupakan bentuk perlindungan hukum

yang ditujukkan untuk melindungi konsumen kosmetik.

Akibat dari perbuatan pelaku usaha yang mengakibatkan kerugian

konsumen dalam kasus ini, Pasal 19 UUPK menyebutkan bahwa:

69

Ibid, Hal. 44.

Page 117: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

104

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa

yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang­undangan yang berlaku.

(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7

(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan

pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa

kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK menyebutkan mengenai penyelesaian

sengketa sebagai berikut:

Pasal 45

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum.

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan

atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 tentang bahan kosmetik dan 1.11

tentang pemberian ganti rugi serta didukung dengan data primer nomor 2.1.3

apabila dikaitkan dengan Pasal 19 dan Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUPK serta

pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripsikan bahwa

konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya maka upaya penyelesaian sengketa dalam kasus ini

melalui fasilitas mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya, kemudian

Page 118: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

105

bentuk dan jumlah ganti rugi tergantung pada kesepakatan antara kedua belah

pihak yang bersengketa. Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar

pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Apabila pihak pelaku

usaha tidak bersedia bertanggung jawab secara sukarela atau proses non litigasi

tidak membuahkan hasil maka konsumen dapat mengajukan gugatan ke

pengadilan.

Page 119: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

106

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka peneliti dapat

memberikan kesimpulan bahwa:

a. Perlindungan hukum terhadap konsumen kosmetik agar merasa nyaman, aman, dan

selamat berkaitan dengan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya

secara normatif sebenarnya sudah diupayakan oleh pemerintah dan jajarannya dengan

menetapkan peraturan-peraturan mengenai pembinaan dan pengawasan berdasarkan

Keputusan Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang

Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika dan sanksi berdasarkan Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diharapkan dapat membuat

para pelaku usaha sadar sehingga melakukan usaha dengan iktikad baik.

b. Perlindungan terhadap hak konsumen kosmetik atas informasi yang benar, jelas, dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam Peraturan Badan POM

RI Nomor HK.00.05.4.17.45 Tentang Kosmetik sebenarnya sudah diatur secara jelas

berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha untuk memberi informasi yang selengkap-

lengkapnya untuk menghindari timbulnya kerugian pada pihak konsumen kosmetik.

c. Bagi konsumen kosmetik yang menderita kerugian, berdasarkan Pasal 19 UUPK

pelaku usaha diwajibkan untuk memberi ganti rugi. Sedangkan dari pihak pemerintah

Page 120: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

107

punya tanggung jawab untuk membina, mengawasi, dan memfasilitasi agar konsumen

kosmetik mendapatkan apa yang menjadi haknya.

B. Saran

1. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya seyogyanya menunjukkan iktikad baik dan

memberikan informasi yang jelas atas barang dan atau jasa yang diedarkan serta

berupaya memperhatikan hak-hak konsumen dan kewajibannya sebagai pelaku usaha

yang telah dirumuskan dalam UUPK.

2. Pemerintah seyogyanya meningkatkan pengawasan terhadap peredaran kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas untuk meminimalisir kerugian-

kerugian yang diderita oleh masyarakat.

3. Konsumen kosmetik hendaknya lebih hati-hati dalam membeli dan menggunakan

produk kosmetik agar terhindar dari bahaya.

Page 121: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

108

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Anwar, Saiful, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora: Madani Press.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,

Bandung: Alumni.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi Negara

Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

Manullang, M, 1995, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Miru Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.

Rajawali Pers.

Nasution, Az, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit

Media.

Nasution, Az, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit

Media.

Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang

Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri

Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung.

Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.

R. Prawirohamidjojo Soetojo dan Marthalena Pohan, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya:

Bina Ilmu.

Salindeho, Jhon, 1998, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika.

Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo.

Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi

Revisi.

Soekanto Seorjono dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Rajawali

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1992, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sukarno, 1992, Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar.

Page 122: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

109

Sutedi, Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen,

Bogor: Ghalia Indonesia.

Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press.

Yayasan Lembaga Konsumen, 1981, Perlindungan Konsumen Indonesia Suatu Sumbangan

Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan

Alat Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin

Produksi Kosmetika.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/MenKes/PER/VIII/2010

tentang Notifikasi Kosmetika.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 140/Menkes/Per/III/1991 trntang Wajib Daftar Alat

kesehatan, kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi

Kosmetik Yang Baik.

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara

Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 tentang Tugas, Fungsi, dan

Kewenangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan

Keputusan Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Nomor

1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan

Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran

Kosmetika.

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik.

Page 123: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_3.pdf · i perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang mengandung

110

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor:

HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 2013 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.00.05.42.2995 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.

Sumber lain

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Wawancara

Bapak Dian Eri Rahmadi (Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian di Dinas

Perdagangan dan Perindustrian).

Bapak Eko Puncak, S.H, (Penyidik di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

Semarang).

Online

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/16/mmvzmy-bpom-sita-kosmetik-

ilegal-mengandung-obat-terlarang (diakses pada tanggal 18 September 2014).

Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia

Kedokteran, http;//www.scribd.com diakses tanggal 12 Desember 2014.

http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 20

Desember 2014.