perlindungan hukum bagi konsumen …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi_3.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN
KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN
BANYUMAS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Strata Satu (S1) Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh:
CAHAYA SETIA NUARIDA TRIANA
E1A011035
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
PERNYATAAN:
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN
KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN
BANYUMAS
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi
yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan
gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Purwokerto, Februari 2015
Penulis
iv
MOTTO
Hal yang benar-benar kau yakini pasti akan selalu terjadi, dan keyakinan akan suatu hal
menyebabkannya terjadi (Frank Loyd Wright).
Empat hal untuk dicantumkan dalam kehidupan:
Berpikir jernih tanpa terburu-buru;
Menyayangi setiap orang dengan tulus;
Bertindak dalam segala hal dengan motif yang termulia;
Dan Percaya kepada Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. (Hellen Keller).
v
PERSEMBAHAN
ALLAH SWT, terima kasih atas semua rahmat, nikmat, dan kasih sayang yang selalu
dicurahkan dalam kehidupanku…
Bapak (Alm) dan Mamah tercinta terima kasih atas setiap lantunan doa yang selalu
mengiringi dalam setiap langkah hidupku, yang tak pernah lelah memberikan bimbingan,
semangat, dan bantuan baik moril maupun materiil…
Kakak-kakak ku tersayang terima kasih atas semua dukungan, bantuan dan semua yang
telah kalian berikan untukku…
Adek Ku Rahmaa terimakasih yaaa atas semangatnyaaa…
Sahabat-sahabatku Opi, Firra, Ayi, Ade Wundy, Mona, Herlina, Elva, Zidny, terimakasih
atas kebersamaan, semangat, dan bantuan yang selalu diberikan...
Teman seperjuangan angkatan 2011, Septi Dwi Wahyuni, S.H., Yuli Mega Siahaan, S.H.,
Natalia Dewi Anggraeni, S.H., Oky Wasrikaningrum, S.H., Dewi Indriyani, S.H., Sani
vi
Cipti Rianti, S.H., Satrio Samtha Nugraha, S.H., Rizki Nurmayanti, S.H., terima kasih atas
kebersamaannya selama menjalani skripsi, nggak sia-sia yaa setiap hari kita nungguin
ruang dosen dan Alhamdulillah akhirnya kita semua bisa lulus Mareeeet, jangan lupakan
moment-moment kita yaaaa
Terima kasih untuk supportnya dan doanyaaa yaaa Ardhy kekasihku, ha..ha..ha..
vii
Kata Pengantar
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
mencurahkan Rahmat, Hidayah, dan Kasih Sayang-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG
BAHAN BERBAHAYA DI KABUPATEN BANYUMAS”.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Penulis menyadari dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan
berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
2. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dosen Pembimbing I sekaligus selaku
Dosen Pembimbing Akademik yang berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
serta selalu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini;
3. Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang
berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta selalu memberikan bimbingan
dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
viii
4. Bapak H. Suyadi, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
masukkan dalam penyempurnaan skripsi ini;
5. Bapak (Alm) dan Mamah tercinta serta kakak-kakak ku yang selalu memberikan doa,
dorongan, dan semangat hingga terselesaikannya skripsi ini;
6. Para Dosen dan Staff karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman atas
bantuan yang diberikan kepada penulis;
7. Bapak Dian Eri Rahmadi di Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi
Kabupaten Banyumas atas wawancara, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan
kepada penulis;
8. Bapak Eko Puncak, S.H. di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang atas
wawancara, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis;
9. Rekan-rekan seperjungan di Fakutas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
khususnya angkatan 2011;
10. Semua pihak yang terkait, yang telah memberikan pengarahan dan nasihat dalam
penyusunan hingga dapat terselesaikannnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis
berharap agar suatu saat nanti hasil karya ini dapat bermanfaat. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Purwokerto, Februari 2015
Penulis
ix
ABSTRAK
Kosmetik telah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, khususnya kaum wanita
yang selalu ingin tampil cantik. Keingian seorang wanita untuk selalu tampil cantik banyak
dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang beriktikad tidak baik. Saat ini banyak beredar
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya, khususnya di Kabupaten Banyumas. Adapun
tujuan penelitian ini untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-
undangan (Statute Approach) yang bersifat deskriptif. Sumber data penelitian ini
menggunakan data sekunder dari bahan kepustakaan yang didukung dengan data primer
dari hasil wawancara. Data diuraikan dalam bentuk teks naratif secara sistematis. Metode
analisis data yang digunakan adalah metode normatif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik
yang mengandung bahan berbahaya telah dilakukan oleh pemerintah dan jajarannya dengan
cara pembinaan dan pengawasan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang
(BBPOM) berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052
Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi Dan Peredaran Kosmetika, serta sanksi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengawasan oleh
BBPOM dilakukan dengan dua metode yaitu Pre Market dan Post Market. Pre market
adalah pengawasan yang dilakukan sebelum produk kosmetik diedarkan, antara lain
penilaian dan pengujian atas mutu keamanan kosmetik. Post Market adalah pengawasan
yang dilakukan setelah produk kosmetik diedarkan, antara lain inspeksi sarana produksi dan
distribusi, sampling dan uji laboratorium untuk kosmetik di peredaran, penilaian dan
pengawasan iklan kosmetik serta informasi edukasi masyarakat dan public warning.
Pemerintah dalam hal ini telah melindungi hak-hak konsumen sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kata kunci: Perlindungan hukum, konsumen, kosmetik, bahan berbahaya.
x
ABSTRACT
Cosmetic has became the primary need for the human, especially for the female
who always wants to perform beautiful. The female interest to keep always looking
beautiful this has been used by the businessman who has bad interest. Recently there are
many of the cosmetic that contains the dangerous elements, especially in the Regency of
Banyumas. Therefore, the purpose of this research is to find out the protection of law for
the female as the consumer to the cosmetic distribution that contains the dangerous
elements in the Regency of Banyumas. This research uses the method of normative
juridical by using the approach of Statute Approach that has the descriptive characteristic.
Data source in this research uses the secondary data from the literature material that is
supported with the primary data from the result of interview. Data is explained of
narrative texts systematically. Method of data analysis in this research uses the method of
qualitative normative. The result of research shows that the protection of law for the
female consumer for the cosmetic distribution that contains the dangerous elements has
been conducted by the government and its officers by giving the counseling and
controlling by Medicine and Food Controller Board (BBPOM Semarang) under the
regulation BPOM RI Number HK.03.1.23.12.11.10052 about Supervision Production and
Distribution of Cosmetics, and than punishment based on Ordinance Number 36 in 2009
about the Healthy. The controlling by BBPOM is conducted using two methods that are
Pre Market and Post Market. Pre Market is the controlling that is conducted before the
cosmetic products are distributed such as the adjustment and examination for the safety
quality of cosmetic. Post Market is the controlling that is conducted after the cosmetic
product is distributed such as inspection of the production and distribution devices,
sampling and laboratory examination for the cosmetic that have been distributed,
adjustment and controlling of the cosmetic advertisement and education information for
the society and public warning. Government in this case has protected the rights of
consumer which has been regulated in the Ordinance Number 8 in 1999 about the
Consumer Protection.
Keyword: Legal protection, consumer, cosmetics, dangerous elements.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ........................................................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ......................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsumen
1. Pengertian Konsumen ................................................................................ 9
2. Hukum Perlindungan Konsumen .............................................................. 12
3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen .................... 13
xii
4. Pihak-pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen ....................... 15
5. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen ...................................... 18
6. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen .............................................. 21
7. Tujuan Perlindungan Konsumen ............................................................... 22
8. Hak dan Kewajiban Konsumen ................................................................. 23
9. Penyelesaian Sengketa Konsumen ............................................................ 25
B. Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha ........................................................................... 27
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ............................................................ 28
3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ........................................... 30
4. Tanggung jawab Pelaku Usaha ................................................................. 32
C. Kosmetik
1. Pengertian Kosmetik ................................................................................. 40
2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik .............................................. 41
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................................................ 66
B. Pembahasan ..................................................................................................... 103
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................................... 117
B. Saran ................................................................................................................ 118
xiii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 119
LAMPIRAN ........................................................................................................... 120
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, dalam kehidupan masyarakat modern
khususnya kaum wanita mempunyai keinginan untuk tampil cantik. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang wajar, tidak diherankan lagi banyak wanita rela menghabiskan
uangnya untuk pergi ke salon, ke klinik-klinik kecantikan ataupun membeli kosmetik untuk
memoles wajahnya agar terlihat cantik.
Pada era perdagangan bebas sekarang banyak kosmetik yang beredar di pasaran
dengan berbagai jenis merek. Keinginan seorang wanita untuk selalu tampil cantik banyak
dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan memproduksi atau
memperdagangkan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan untuk di edarkan kepada
masyarakat. Kebanyakan wanita sangat tertarik untuk membeli produk kosmetik dengan
harga murah serta hasilnya cepat terlihat. Oleh karena itu, wanita banyak yang memakai
jalan alternatif untuk membeli suatu produk walaupun produk kosmetik yang dibelinya
tidak memenuhi persyaratan serta tidak terdaftar dalam BPOM. Kosmetik tersebut mudah
didapatkan dengan harga yang terjangkau karena tidak adanya nomor izin edar dari BPOM,
tidak adanya label bahan baku kosmetik, dan tidak adanya tanggal kadaluwarsa produk.
Karena harganya yang murah, dan dapat dibeli dengan mudah sehingga kosmetik tanpa izin
edar ini mudah dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidaktahuan konsumen akan efek samping
yang ditimbulkan dari kosmetik mengandung bahan berbahaya bisa dijadikan suatu alasan
2
mereka untuk masih tetap menggunakan kosmetik tersebut. Konsumen biasanya
tidak meneliti suatu produk sebelum membeli, ini bisa menjadi salah satu faktor mengapa
produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih diminati oleh para wanita.
Mereka umumnya langsung membeli produk kosmetik tanpa pertimbangan terlebih dahulu
mengingat produk yang dibeli memberikan efek samping secara langsung.
Sehubungan dengan hal tersebut Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul
Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan bahwa:
Hal tersebut memungkinkan beredar luasnya kosmetik-kosmetik dalam memenuhi
kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis untuk pelaku usaha, baik kosmetik
yang memiliki izin edar dari pemerintah sampai yang tidak berizin edar dari
pemerintah. Kegiatan seperti ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha
yang mempunyai iktikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak
adanya perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari konsumen.1
Selanjutnya Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa:
Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha untuk memasarkan produk kosmetik
yang di produksi oleh mereka, misalnya yaitu dengan mencantumkan bahwa produk
kosmetik tersebut buatan luar negeri yang di impor langsung ke Indonesia.2
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MenKes/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika, menyebutkan mengenai
pengertian kosmetik yaitu:
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian
luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
1Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 1.
2Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, Hal. 12.
3
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ada sejumlah kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya, antara lain berupa Bahan Kimia Obat (BKO) yang dapat
membahayakan tubuh manusia. Bahan Kimia Obat (BKO) tersebut antara lain seperti obat-
obatan jenis antibiotik, deksametason, hingga hidrokuinon. Jadi, yang dimaksud dengan
bahan berbahaya (Bahan Kimia Obat) dalam kosmetik adalah bahan kimia obat yang
dilarang penggunaannya dalam bahan baku pembuatan kosmetik, karena akan merusak
organ tubuh manusia. Oleh karena itu penggunaan bahan kimia obat yang mengandung
bahan berbahaya dalam pembuatan kosmetik dilarang.
Berdasarkan penjelasan Kepala Balai Besar POM Semarang, Dra. Zulaimah MSi
Apt, menyatakan bahwa:
Pembuatan kosmetik di CV. Dherma Estetika Indonesia yang beralamat di
Perumahan Permata Hijau blok 8 No. 57 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan
Purwokerto, bahan baku kosmetik yang dipergunakan untuk pembuatan krim antara
lain yaitu Bahan Kimia Obat (BKO). Salah satu bahan utama dalam pembuatan
kosmetik tersebut yaitu hidrokuinon. Di Indonesia, bahan aktif hidrokuinon sangat
dibatasi penggunaannya. Di masa lalu zat aktif hidrokuinon ini memang banyak
digunakan untuk bahan baku krim pemutih atau pencerah kulit. Namun setelah
banyak kasus masyarakat yang mengeluh terjadinya iritasi dan rasa terbakar pada
kulit akibat pemakaian krim pemutih tersebut, maka penggunaan hidrokuinon
sangat dibatasi.3
Konsumen yang mengeluh karena terjadi iritasi dan rasa terbakar pada kulit seperti
dalam kasus di atas telah mengalami peristiwa yang menyebabkan mereka tidak aman dan
3http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/16/mmvzmy-bpom-sita-kosmetik-ilegal-
mengandung-obat-terlarang (diakses pada tanggal 18 September 2014).
4
tidak selamat. Ini berarti hak-hak mereka sebagai konsumen sebagaimana diatur dalam
undang-undang menjadi terganggu.
Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum mengharuskan semua pihak apabila
melakukan tindakan harus berlandaskan pada hukum, tidak terkecuali dengan pelaku usaha
yang berkecimpung dalam bisnis kosmetik. Tindakan pelaku usaha menjual produk
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya (Bahan Kimia Obat) merugikan konsumen
dan dapat dikatakan bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha yang ditentukan dalam
pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yang menyebutkan bahwa:
Kewajiban Pelaku Usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya.
Adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
diharapkan dapat menjamin tercapainya perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.
Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara
hukum karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur
tiap-tiap warga negaranya. Di sisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum
merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karena itu negara wajib memberikan
perlindungan hukum kepada warga negaranya. Setelah kita mengetahui pentingnya
perlindungan hukum, selanjutnya kita perlu juga mengetahui tentang pengertian
perlindungan hukum itu sendiri. Beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya
mengenai pengertian perlindungan hukum, diantaranya:
1. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang
harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik
5
secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak
manapun.
2. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan
peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.
Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap
hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak
tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai
upaya pemerintah dalam menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi
yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut di atas dalam kaitannya dengan konsumen, maka Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai
kewajiban serta larangan bagi konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan
perdagangan. Ketidaktaatan konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatan perdagangan dapat
menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Sengketa ini dapat berupa salah
satu pihak tidak mendapat haknya karena pihak lain tidak memenuhi kewajibannya,
misalnya konsumen yang mengalami kerugian setelah mengkonsumsi suatu produk
tertentu. Sebagai contoh yaitu konsumen yang mengkonsumsi produk kosmetik dan
menyebabkan iritasi pada kulit setelah pemakaian kosmetik tersebut. Sengketa yang timbul
antara pelaku usaha dan konsumen dan berawal dari transaksi konsumen disebut sengketa
konsumen.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah akhirnya menetapkan pembentukan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdasarkan Peraturan Presiden Republik
6
Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Pasal 67 Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013, menyebutkan bahwa:
BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan
obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan perlindungan konsumen dan
pengawasan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, maka BPOM berusaha melakukan
upaya pengawasan dan peringatan kepada pelaku usaha untuk tidak menjual kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya dan BPOM akan menarik kosmetik tersebut dari peredaran.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil
suatu rumusan masalah yaitu:
Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
7
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi
perkembangan ilmu hukum dalam bidang Hukum Dagang, khususnya Hukum
Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen
terhadap peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi kepentingan
akademis dan sebagai tambahan bahan kepustakaan, khususnya bagi yang berminat
meneliti mengenai hukum perlindungan konsumen.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan
sehari-hari yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat
mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian
tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, adalah sebagai berikut:4
Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
yaitu:
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
yang tidak untuk diperdagangkan kembali.5
4Ahmadi Miru, Op. Cit, Hal. 19.
5Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran
Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen,
1981), Hal. 2.
9
Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai
berikut:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Penjelasan mengenai pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2
menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa :
Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu
produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah
konsumen akhir. Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih
luas daripada pengertian konsumen pada Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian
barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa
UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan
manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian yang luas seperti
itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya
kepada konsumen.6
6Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajawali
Pers, Hal. 4-6.
10
Az. Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan
Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,
yakni:
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu;
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau
untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (nonkomersial).7
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W.Miklitz, secara garis
besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu:
1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu;
b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat
berperan dalam ekonomi pasar bebas;
c. Lancar berkomunikasi.
2. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki ciri-ciri:
a. Kurang berpendidikan;
b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah;
c. Tidak lancar dalam berkomunikasi.8
7Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, Hal.
13. 8Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi Revisi, Hal
3.
11
2. Hukum Perlindungan Konsumen
a. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Menurut Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen,
menyebutkan bahwa:
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah
sangat sering terdengar. Namun belum jelas benar apa saja yang masuk
ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu
identik.9
A.Z Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan
Konsumen Suatu Pengantar, mengemukakan bahwa:
Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan bagian khusus dari hukum konsumen. Hukum perlindungan
konsumen adalah keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang
mengatur dan melindungi konsumen antara penyedia dan penggunanya,
dalam kehidupan bermasyarakat.10
Selanjutnya, Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perlindungan Konsumen, juga berpendapat bahwa:
Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala
lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan
9Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, Hal. 9.
10Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 37.
12
pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung
pada kemauan kita mengartikan.11
3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
a. Hubungan Langsung
Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut:
Hubungan langsung yang dimaksudkan adalah hubungan antara
produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian.
Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan
barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan
dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun
tertulis.12
Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu bentuk perjanjian tertulis
adalah perjanjian baku. Dimana perjanjian baku didasarkan pada asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yaitu:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
Pengertian “sah” tersebut di atas yaitu telah memenuhi syarat sahnya
suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
11
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 5. 12
Ahmadi Miru, Op.Cit, Hal. 34.
13
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Sehubungan dengan hal tersebut, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan
Marthalena Pohan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan,
menyatakan bahwa:
Namun demikian, dipenuhinya keempat syarat di atas belum menjamin
sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketentuan
lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian
tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut
mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang
dimaksud adalah kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata
sepakat diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan,
maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih ada
kemungkinan dibatalkan.13
b. Hubungan Tidak Langsung
Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut:
Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah
hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung
terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen
dengan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk
perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti
bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti
kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan
perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang
melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua
sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber
perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam
undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia,
yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan
pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang
13
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina
Ilmu.
14
terakhir, yaitu undang-undang karena perbuatan manusia yang
melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan
perlindungan konsumen.14
4. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen
Mengingat kedudukan konsumen yang masih lemah, maka perlindungan
konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan pihak-pihak dalam
perlindungan konsumen, yaitu:
a. Konsumen
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya Hukum
Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa
yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis
dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan
yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak. Untuk
memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh
upaya hukum terlebih dahulu. Jika permintaan yang diajukan
konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-
pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen
berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan
kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari
14
Ahmadi Miru, Op.Cit, Hal. 35-36.
15
pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk
itu.15
b. Pelaku Usaha
Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa:
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
c. Menteri
Menteri disini yaitu berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah menteri yang
ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Pengertian menteri dalam undang-undang tersebut menunjukkan
bahwa yang dimaksud adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperindag). Menteri Perindustrian boleh mengizinkan barang
dan/atau jasa diproduksi oleh pelaku usaha, tetapi yang menentukan
apakah barang dan/atau jaa tersebut layak dikonsumsi dan dapat
diedarkan ke dalam masyarakat adalah Menteri Perdagangan.16
15
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 38. 16
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 22.
16
d. Departemen atau Instansi Pemerintah
Departemen atau instansi pemerintah disini adalah instansi yang
terkait dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha bersangkutan dan
mempunyai kewenangan dalam perizinan serta penentuan standar produksi.
Departemen atau instansi pemerintah yang terkait dengan peredaran kosmetik
yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan.
e. Lembaga atau Instansi Dalam Perlindungan Konsumen
Lembaga atau instansi di sini berperan dalam perlindungan terhadap
konsumen untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah
dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
5. Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen
Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyebutkan bahwa:
Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang
yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap
pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang
merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat
dari perlindungan kepentingan industri pada negara berkembang termasuk
Indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen atau anggota
masyarakat kurang berfungsi karena tidak diterapkan secara ketat.
Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama,
hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu
yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi
kepentingan konsumen. Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya
berbagai ketentuan perundang-undangan yang apabila dikaji, maka
17
peraturan perundang-undangan tersebut sebenarnya memuat ketentuan
yang memberikan perlindungan kepada konsumen, walaupun dalam
konsiderans peraturan perundang-undangan tersebut tidak disebutkan untuk
tujuan perlindungan konsumen.17
Selanjutnya, untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas
produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen lahir, maka peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya adalah sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan
penjajahan bangsa Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam
menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang
mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.meskipun
KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di
dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, “penyewa”, “tertanggung”, atau
“penumpang”, yang tidak membedakan apakah mereka sebagai
konsumen akhir atau konsumen antara;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang. Penerbitan undang-undang ini dimaksudkan untuk menguasai
dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.
Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industry itu adalah
meningkatkan mutu dan hasil industry;
4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang
Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan
Baku dan Hasil Industri.18
Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tanggal 20 April 1999
Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru
mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang
17
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, hal. 67. 18
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen, Bogor:
Ghalia Indonesia, Hal. 4.
18
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan
Lembaran Negara Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal
pengakuan perlindungan konsumen dan secara legitimasi formal menjadi sarana
kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai
penyedia/pembuat produk bermutu.
Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
menegaskan bahwa:
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), Ahmadi
Miru dan Sutarman Yodo menyebutkan bahwa:
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut
sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan
berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa
karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para
pelaku usaha.19
19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., Hal. 1.
19
6. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen
Asas-asas dalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Penjelasan resmi dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
7. Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:
20
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Ahmadi Miru dan Sutarman
Yodo dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi
pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,
karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran
akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang
hukum perlindungan konsumen.20
8. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut Az.Nasution dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen
Suatu Pengantar, menyatakan bahwa :
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum.
Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik,
melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata
lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan
yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.21
20
Ibid, Hal. 34. 21
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, Hal. 30.
21
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. hak untuk memilih (the right to choose);
4. hak untuk didengar (the right to be heard).22
Empat hak dasar tersebut di atas diakui secara internasional. Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The
International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi
beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan
ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
22
Sidharta, Op. Cit, Hal. 16-27.
22
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kebebasan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
merupakan suatu hak mutlak yang perlu direalisasikan tanpa pembatasan dalam
bentuk apapun. Sidharta mengemukakan hal tersebut sebagai berikut:
Adanya hak dan kebebasan untuk memenuhi dan mengkonsumsi suatu
produk tertentu seara tidak langsung memberikan arti bahwa dengan hak
dan kebebasan tersebut berarti konsumen harus dilindungi, karena dalam
kondisi seperti itu biasanya konsumen dihadapkan pada kondisi take it or
leave it, artinya jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari di
tempat lain.23
Kebutuhan hidup setiap orang selalu bertambah, hal tersebut untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Namun, kedudukan konsumen cenderung
berada pada posisi yang lemah, dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.
Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang
disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku
usaha, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian
konsumen dari berbagai aspek.
Selanjutnya, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen juga menyebutkan mengenai kewajiban konsumen
sebagai berikut :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
23
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi Revisi, Jakarta: PT. Grasindo,
Hal. 28.
23
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
9. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pada dunia perdagangan antara konsumen dan pelaku usaha mempunyai
kepentingan yang berbeda. Adanya perbedaan kepentingan tersebut sehingga dapat
menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Untuk menyelesaikan
sengketa konsumen maka dibutuhkan upaya penyelesaian sengketa. Berkaitan
dengan penyelesaian sengketa, Ahmadi Miru menyatakan bahwa:
Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin
tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat
dalam suatu sengketa.24
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana
diatur dalam Undangundang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
24
Ahmadi Miru, 2011, Op. Cit, Hal. 155.
24
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak
atau oleh para pihak yang bersengketa.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen terdapat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur
dalam Pasal 52 UUPK, sebagai berikut:
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undangundang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian
sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undangundang ini.
25
B. Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha
Istilah “Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut:
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Sehubungan dengan hal tersebut Az. Nasution dalam bukunya
menyatakan bahwa :
Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang,
distributor dan lain-lain.25
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi
para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada
konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
25
Az. Nasution, Op. Cit, Hal. 17.
26
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Adapun dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah
disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan pula
mengenai kewajiban pelaku usaha yaitu sebagai berikut:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan
manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan
budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha itu sendiri.
27
3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum
Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk
mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut
berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau
jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai
upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau
jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai
berikut:26
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 63.
28
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundangundangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan
memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang
dan/atau jasa. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini hakikatnya menurut
Numardjito yaitu:
Untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di
masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul,
kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket,
iklan, dan lain sebagainya.27
Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang
berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan khusus, karena barang jenis tersebut
jika rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan,
walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.
Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksudkan di atas
27
Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan
Konsumen, Bandung: Mandar Maju, Hal. 18.
29
adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari
penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih
rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang
demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih
rendah daripada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi
yang diperolehnya.
4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul
Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau, kita harus
berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu
pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari
penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang
dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.28
Seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa kemudian
menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka dapat menggugat atau meminta ganti
rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak yang menimbulkan kerugian
di sini yaitu bisa produsen, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak
yang memasarkan produk, tergantung dari pihak yang menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Berkaitan dengan hal tersebut Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan
bahwa:
28
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal 59.
30
Seperti telah disinggung dalam Bab I, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas
tentang definisi dari jenis barang yang secara hukum dapat
dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu
pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku
usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini erat
kaitannya dengan konsep Product Liability yang banyak dianut oleh
negara-negara maju.29
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka ada dua hak konsumen yang
berhubungan dengan Product Liability sebagaimana Adrian Sutedi dalam
bukunya Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
menyebutkan bahwa:
1. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas
yang baik serta aman.
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan
barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan
konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali
diperdayakan oleh pelaku usaha. Konsumen sering dihadapkan pada
kondisi “jika setuu beli, jika tidak silahkan cari di tempat yang lain”.
Dalam situasi yang demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari
produk alternatif (bila masih ada), yang mungkin kualitasnya lebih
buruk.
2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian.
Jika barang yang dibelinya dirasakan cacat, rusak, atau telah
membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang
pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang
cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak
dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dengan
harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu
menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada
tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi dari harga
barang yang dibelinya.30
29
Ibid. 30
Adrian Sutedi, Op. Cit, Hal 51-52.
31
Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap penyedia barang dan/atau jasa
memiliki tanggung jawab terhadap konsumen. Hal tersebut diatur pada Pasal 19
sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Berikut merupakan pasal-pasal yang mengatur
pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan ketentuan yang ada pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Substansi Pasal 19 ayat (1) menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo
dalam bukunya mengemukakan tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
32
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa:
Pasal 19 mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan
dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.31
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha
lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan
konsumen apabila:
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari
tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
dan/atau jasa tersebut.
Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa:
Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau
gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan
konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh
pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
31
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., Hal 65-66.
33
Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang
ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang
menjual barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak
melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau
apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan
produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang
dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah
memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu,
dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.32
Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
mengemukakan bahwa:
Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali
kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa
tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah
melakukan perubahan tersebut.33
Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan Ahmad
Yani menyebutkan bahwa:
Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku
usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku
usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas jaminan
dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau
perbaikan.34
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab
atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
32
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hal. 155-156. 33
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal 67. 34
Ibid.
34
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha yang
melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen,
sebagaimana disebutkan oleh Gunawan dan Ahmad Yani dalam bukunya yaitu:
Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang memproduksi
barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen, jika:
a. Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibelinya atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.35
Berkaitan dengan hal tersebut apabila dikaitkan pada asas umum hukum
perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain,
wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Jika
berbicara mengenai konsep dan teori dalam ilmu hukum, menurut Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya menyebutkan bahwa perbuatan yang
merugikan tersebut dapat lahir karena:
1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat
(yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi); atau
2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau dikenal dengan
perbuatan melawan hukum).36
Akibat dari kerugian yang diderita oleh konsumen maka gugatan yang
lazim digunakan biasanya adalah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
35
Ibid., Hal. 67-68. 36
Ibid,. Hal. 62.
35
Apabila ada hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha, maka
gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen dikarenakan
tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha atau pelaku usaha. Apabila
konsumen menggunakan gugatan perbuatan melawan hukum, maka hubungan
kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha tidaklah disyaratkan. Hal
tersebut juga dikemukakan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:
Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh
konsumen sebagai akibat penggunaan produk hanya digolongkan menjadi
dua kategori, yaitu:
a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka
terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan
konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga
(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat
menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.
b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada
wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan
melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara
produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat
dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah
terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen.
Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.37
37
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal 127-129.
36
C. Kosmetik
1. Pengertian Kosmetik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian mengenai kosmetik
dan kosmetika, yaitu:
Kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajah, kulit, rambut,
dan sebagainya seperti bedak dan pemerah bibir. Sedangkan kosmetika
adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik wajah, kulit dan
rambut.38
Menurut Syarif M. Wasitaatmadja, mengemukakan mengenai pengertian
kosmetik, yaitu:
Kosmetik dalam bahasa Yunani yaitu “kosmetikos” berarti keterampilan
menghias, sedang “kosmos” berarti hiasan.39
Selanjutnya, menurut Federal Food and Cosmetic Act (1958) pengertian
kosmetik yaitu:
Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan
dalam, dipergunakan pada badan manusia dengan maksud untuk
membersihkan, memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan
tidak termasuk golongan obat. Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit
atau kesehatan tubuh secara keseluruhan. Dalam definisi tersebut jelas
dibedakan antara kosmetik dengan obat yang dapat mempengaruhi struktur
dan faal tubuh.40
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 39
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press, Hal. 26-27. 40
Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia Kedokteran,
http;//www.scribd.com diakses tanggal 12 Desember 2014.
37
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1175 / MenKes / PER / VIII / 2010 tentang Notifikasi
Kosmetika, menyebutkan juga mengenai pengertian kosmetik yaitu:
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ
genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki
bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik
a. Pengertian dan Tujuan Pengawasan
Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan
yang luas, cenderung kompleks, dan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran
serta masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik
mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengenai pengertian pengawasan yaitu berasal dari kata “awas” yang
artinya adalah sebagai berikut:
Awas adalah memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu
dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi
laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang
diawas.41
Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari
pengawasan peredaran kosmetik adalah sesuatu yang telah direncanakan
41
Ibid.
38
terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan renana semula dan
apakah tujuannya telah tercapai. Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah
institusi atau departemen yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi atau
departemen dan untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau departemen.
Oleh karena itu, dalam setiap institusi atau departemen mutlak, bahkan rutin
adanya sistem pengawasan. Dengan demikian, pengawasan merupakan
instrumen pengendalian yang melekat pada suatu instansi atau departemen
untuk mencapai tujuannya.
Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan dan kegiatan
pelaksanaanya. Kegiatan pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat
keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah kegiatan tersebut dilaksanakan.
Keberhasilan dalam kegiatan pengawasan peredaran kosmetik perlu
dipertahankan atau ditingkatkan, sebaliknya setiap kegagalan dalam kegiatan
tersebut harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya baik dalam
menyusun rencana pengawasan atau pelaksanaannya. Untuk itulah, fungsi
pengawasan dilaksanakan agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk
melaksanakan perbaikan bila terdapat penyimpangan pada kegiatan peredaran
kosmetik sebelum menjadi lebih buruk.
Terdapat berbagai macam pengertian pengawasan menurut pendapat
para sarjana. Menurut Prayudi dalam bukunya Hukum Administrasi Negara,
mengemukakan pengertian pengawasan yaitu:
39
Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang
dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang
dikehendaki, direncanakan, atau diperhatikan.42
Selanjutnya, Saiful Anwar dalam bukunya yang berjudul Sendi-Sendi
Hukum Administrasi Negara, menyatakan bahwa:
Pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah
diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat
mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.43
Dilain pihak, menurut Harold Koonz,dkk, yang dikutip oleh John
Salinderbo menyebutkan bahwa, pengawasan adalah:
Pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk
menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi
pengawasan itu mengukur pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita
dan renana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif
dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya
rencana-rencana.44
Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengawasan adalah proses kegiatan yang terus-
menerus dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah
dilaksanakan, kemudian mengkoreksi apakah pelaksanaannya sudah sesuai
dengan yang semestinya atau tidak. Selain itu, pengawasan merupakan proses
42
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 80. 43
Saiful Anwar, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, Hal. 127. 44
Jhon Salindeho, 1998, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 39.
40
pengkoreksian pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai
mana kegiatan tersebut berjalan atau dilakukan, sehingga mencegah secara dini
kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan.
Berbicara mengenai arti pengawasan, maka hal ini sangat erat
kaitannya dengan peran pemerintah. Supaya peredaran kosmetik di masyarakat
dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka
hendaknya diperlukan pengawasan yang lebih efektif disamping untuk
mengendalikan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di
daerah Kabupaten Banyumas khususnya. Sejalan dengan hal tersebut,
pemerintah pusat dalam hal melakukan pengawasan di daerah dengan
melakukan pelimpahan bidang pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan
Perindustrian serta Badan Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait
yang ada disetiap daerah.
Hakikat pengawasan itu sendiri menurut Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia yaitu:
Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin
terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan,
kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta
pelaksanaan tugas-tugas organisasi.45
Selanjutnya disebutkan juga mengenai sasaran pengawasan yaitu
sebagai berikut:
45
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik
Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, Hal. 159.
41
sebagai bagian dari aktivitas dan tanggung jawab pimpinan, sasaran
pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi,
efektivitas, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan
pelaksanaan tugas-tugas organisasi.46
Menurut Sukarno pengawasan tersebut mempunyai tujuan, yaitu
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan renana
yang digariskan.
b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai
dengan instruksi serta asas-asas yang telah diinstruksikan.
c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan
dalam bekerja.
d. Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efisien.
e. Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-
kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan kea rah
perbaikan.47
Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi agar nantinya
dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran
yang optimal. Mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, akan
tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian,
bahkan harus disertai dengan pengalaman.
b. Jenis-Jenis Pengawasan
Saiful Anwar menyebutkan bahwa berdasarkan terbentuknya
pengawasan dapat dibedakan sebagai berikut:
46
Ibid. 47
Sukarno K., 1992, Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar, Hal. 105.
42
1. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu
badan atau organ yang secara organisatoris/struktural termasuk
dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan
yang dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendri.
2. Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga
yang seara organisatoris/structural berada di luar pemerintah dalam
arti eksekutif. Misalnya pengawasan keuangan dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).48
Selanjutnya, pengawasan juga dapat diklasifikasikan atas beberapa
jenis dengan tinjauan dari beberapa segi, antara lain:
1. Pengawasan dilihat dari segi cara pelaksanaannya dibedakan atas:
a. Pengawasan langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan
dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di
tempat terhadap objek yang diawasi.
b. Pengawasan tidak langsung
Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari
pengawasan langsung, yaitu dilakukan tanpa mendatangi
tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi.
Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan
menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi
yang disampaikan oleh pelaksana ataupun sumber lain.
Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa:
Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala
maupun laporan insidentil.
Surat pengaduan dari masyarakat.
Berita atau artikel dari media massa.
2. Pengawasan dilihat dari segi kewenangan
a. Pengawasan formal
Pengawasan formal adalah pengawasan resmi oleh lembaga-
lembaga pengawasan maupun oleh aparat pengawasan yang
mempunyai legalitas tugas dalam bidang pengawasan.
b. Pengawasan non formal
Pengawasan non formal adalah pengawasan yang dilakukan
oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
Pengawasan ini sering juga disebut sosial kontrol (soial
control), misalnya pengawasan melalui surat pengaduan
masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.49
48
Saiful Anwar, Op. Cit, Hal. 127. 49
http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 20 Desember
2014.
43
Pengawasan menurut waktu pelaksanaannya dalam buku Sistem
Administrasi Negara Republik Indonesia, disebutkan sebagai berikut:
a. Pengawasan Preventif
Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dimulai. Pengawasan
ini antara lain dilakukan dengan mengadakan pemeriksaan dan
persetujuan rencana kera dan rencana anggarannya, penetapan
Petunjuk Operasional (PO), persetujuan atas rancangan peraturan
perundangan yang akan ditetapkan oleh pejabat/instansi yang lebih
rendah. Pengawasan ini bersifat preventif dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,
kesalahan, terjadinya hambatan dan kegagalan.
b. Pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan sedang berlangsung
Pengawasan ini dilakukan dengan tujuan membandingkan antara
hasil yang nyata-nyata dicapai dengan yang seharusnya telah dan
yang harus dicapai dalam waktu selanjutnya. Demikian pentingnya
pengawasan ini, sehingga perlu dikembangkan sistem monitoring
yang mampu mendeteksi atau mengetahui secara dini
kemungkinan-kemungkinan timbulnya penyimpangan-
penyimpangan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan.
c. Pengawasan Represif
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan pada akhir
kegiatan atau pengawasan yang dilakukan setelah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.50
Sebagai langkah awal dari pengawasan tersebut, pelaksanaannya harus
dilakukan dengan penuh tanggung jawab karena dengan pengawasan yang
terarah dapat mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi atau yang tidak
diinginkan. Disamping itu juga perlu dikembangkan pengawasan berbagai
bidang atau sektor di daerah yang lebih konsisten.
50 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Op.Cit, Hal. 162.
44
c. Sistem dan Proses Pengawasan
Usaha yang sangat penting untuk dilakukan dalam melakukan
pengawasan agar lebih efektif dan efisien adalah dengan kerja keras dan
bertanggung jawab. Dalam pengawasan perlu diadakan koordinasi antara
instansi vertikal yang terkait agar proses pengawasan lebih maksimal.
Kesemuanya harus diserasikan agar pelaksanaan pengawasan tersebut tidak
tumpang tindih. Kemudian dalam sistem pengawasan yang akan dilakukan
harus terkoordinasi dengan baik sesuai dengan aturan yang telah dikeluarkan
oleh instansi yang ada di atasnya, serta memperhatikan pula kebijakan-
kebijakan yang telah dikeluarkan oleh instansi terkait.
Menurut M. Manullang proses pengawasan secara umum terdiri dari
tiga fase, yaitu:
1. Menetapkan alat pengukur/standard
Bila seseorang hendak menilai suatu pekerjaan, hal ini baru dapat
dilakukan bila terdapat alat pengukur atau penilainya. Alat
pengukur atau penilai tadi harus ditetapkan terlebih dahulu.
Demikian juga halnya dalam pengawasan. Dalam pelaksanaan
pengawasan alat pengukur atau penilainya adalah merupakan
standard, yaitu dapat berupa renana, program kerja, atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku, hal ini adalah merupakan fase
pertama dari pengawasan.
2. Mengadakan penilaian
Pada fase kedua, mengadakan proses penilaian. Penilaian ini
berarti membandingkan hasil suatu pekerjaan atau kegiatan
dengan alat pengukur tadi. Dalam fase inilah akan terlihat apakah
suatu pekerjaan atau kegiatan sesuai dengan rencana, kebijakan,
atau peraturan perundang-undangan atau tidak.
3. Mengadakan perbaikan
Pada fase ketiga, mengadakan perbaikan. Tindakan perbaikan ini
merupakan konsekuensi dari tahap kedua. Maksudnya, apabila
pada fase kedua ditemukan ketidaksesuaian antara rencana,
kebijaksanaan, atau bertentangan dengan peraturan perundang-
45
undangan dengan kenyataan dari suatu hasil pekerjaan atau
kegiatan, atau dengan kata lain berdasarkan penilaian pada fase
kedua ditemukan penyimpangan atau penyelewengan. Tindakan
perbaikan tersebut menurut M. Manullang diartikan sebagai
tindakan yang diambil untuk menyesuaikan hasil suatu pekerjaan
yang menyimpang agar sesuai dengan standard atau rencana yang
telah ditentukan sebelumnya.51
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tindakan perbaikan
adalah konsekuensi dari hasil pengawasan, yaitu setelah diadakan penilaian
ditemukan adanya penyimpangan. Oleh karena itu, tindakan perbaikan yang
dimaksud di atas adalah tindak lanjut pengawasan dalam arti yang lebih luas.
Dapat dikatakan demikian karena tindak lanjut pengawasan di samping
mengadakan tindakan perbaikan juga memberikan sanksi kepada subyek yang
melakukan penyimpangan.
Berkaitan dengan proses pengawasan yang diatur dalam peraturan
pemerintah tersebut, kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan konsumen dari segala akibat buruk yang
ditimbulkan peredaran suatu barang dan/atau jasa. Pasal 29 UndangUndang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai
pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, sebagai berikut:
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha.
51
M. Manullang, 1995, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal.18.
46
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta
meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 29 UUPK tersebut, Ahmadi
Miru dan Sutarman Yodo mengemukakan bahwa:
Dalam penjelasan umum pada pasal tersebut menentukan, faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh pendidikan
yang masih rendah. Oleh karena itu, UUPK dimaksudkan menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingat,
LPKSM).
Berdasarkan Penjelasan Umum UUPK di atas, maka dengan adanya
tanggung jawab pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen untuk memperoleh
hak-haknya sebagai konsumen. Pemberdayaan konsumen tersebut sesuai
dengan asas keadilan dan keseimbangan, tidak boleh merugikan kepentingan
pelaku usaha. Dalam usaha untuk melindungi kepentingan konsumen tidak
dimaksudkan bertujuan mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya
dengan melalui perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang
47
sehat, dan lahirnya perusahaan-perusahaan yang baik untuk menghasilkan
barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Terkait dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tersebut, telah dijabarkan lebih lanjut
mengenai tugas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, penjabarannya yaitu
dengan rincian sebagai berikut:
(1) menciptakan iklim usaha sehat antara pelaku usaha dan konsumen,
dijabarkan dalam Pasal 4 bahwa upaya tersebut dilakukan atas
koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait dalam hal:
a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi
yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan lembaga;
d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan
konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing;
e. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan,
pelatihan, keterampilan;
f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang
menyangkut perlindungan konsumen;
g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa;
h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku
usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan;
i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam
memenuhi standar mutu produksi kbarang dan/atau jasa serta
pencantuman label dan klausula baku.
(2) Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat, dijabarkan dalam Pasal 5 bahwa upaya tersebut
dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait
dalam hal :
a. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi
yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
b. pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola
LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.
48
(3) Berbagai upaya yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen, dijabarkan
dalam Pasal 6 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi
Menteri dengan menteri teknis terkait, dalam hal :
a. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di
bidang perlindungan konsumen;
b. peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang
dan/atau jasa;
c. pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu
barang; dan
d. penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar
mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.
Berdasarkan penjabaran dalam peraturan pemerintah tersebut
menentukan bahwa pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh
Pemerintah yaitu sebagai upaya untuk menjamin hak konsumen dan pelaku
usaha serta dilaksanakannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas
keadilan dan/atau asas keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengawasan, yaitu
sebagai berikut:
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen
serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang
49
berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri
teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan
menteri teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Penjelasan dari Pasal 30 undang-undang tersebut adalah sebagai
berikut:
Ayat (2)
Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang
bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.
Ayat (3)
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian
dan/atau survei.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan,
dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Ketentuan Pasal 30 tersebut cukup menjanjikan bagi upaya
perlindungan konsumen yaitu melalui masyarakat dan Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat di samping pemerintah sendiri melalui menteri
yang terkait dengan dalam bidangnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa:
50
Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 undang-undang tersebut, juga
tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran
masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat, disbanding dengan peran pemerintah yang
pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang
terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-
undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama
dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas
pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat
4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan
oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan
konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk
mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di
pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan
masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menghubungkan hal tersebut di
atas dengan penjelasan Pasal 3 ayat (3), sebagai berikut:
Pengawasan yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian,
dan/atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi
tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan,
dan lain-lain yang diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha tersebut menuntut
upaya pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang
menjadi hak-haknya menjadi sangat penting. Upaya yang
dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika
dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya,
khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus
mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya.53
52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, Hal. 185. 53
Ibid,Hal. 185-186.
51
Sehubungan dengan tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah
dan berkaitan dengan sikap acuh tak acuh dari konsumen sendiri atas
permasalahan yang ada, konsumen baru akan bertindak setelah timbul
permasalahan atau persoalan. Misalnya, iritasi akibat pemakaian suatu produk
kosmetik yang tidak layak diedarkan atau tidak layak untuk dikonsumsi.
Dengan adanya persoalan tersebut, barulah masyarakat bertindak dengan cara
mengadukan hal tersebut pada pemerintah atau instansi yang berwenang untuk
menangani masalah tersebut, hanya saja untuk pengawasan dengan cara
penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek pemuatan informasi
tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lainnya
tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sehingga pengawasan oleh
masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sesuai
dengan ketentuan Pasal 30 UUPK bukan merupakan tugas yang mudah
dilakukan.
Seiring berjalannya waktu kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya yaitu pemerintah telah berperan
aktif dalam melakukan pengawasan. Untuk lebih jelasnya bentuk pengawasan
tersebut diatur di dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001,
bahwa:
(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha
dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
penantuman label dan klausa baku, serta pelayanan purna jual
barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang dimaksud,
52
pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen,
misalnya tersedianya suku cadang dan jaminan atau garansi.
(2) Pengawasan sebagaimana dmaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan
penjualan barang dan/atau jasa.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan/atau menteri teknis
terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang
tugasnya masing-masing.
Selanjutnya, menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat juga ada pengaturannya dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa:
(1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei.
(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia
usaha.
(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada
Menteri dan menteri teknis.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan
Konsumen, mengemukakan bahwa:
Ketentuan tentang pengawasan yang diperankan oleh masyarakat
tersebut sama dengan ketentuan pengawasan yang diperankan oleh
LPKSM, hanya saja yang terakhir ini menysaratkan bahwa penelitian,
pengujian dan/atau survei yang dilakukan oleh LPKSM harus
53
didasarkan pada adanya dugaan bahwa produk yang menjadi
penelitian, pengujian dan/atau survei tidak memenuhi unsure
keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen juga
mengatur seara konkrit pengawasan yang dilakukan pihak Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, yaitu:
(1) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Di samping
dapat juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat
baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok.
(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
(4) Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan
dan keselamatan konsumen. Adapun pelaksanaannya, dapat
dilakukan baik sebelum atau sesudah terjadi hal-hal yang
membahayakan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan
keselamatan konsumen.
(5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada
Menteri dan menteri teknis.
Dari pasal-pasal yang telah diuraikan tersebut, telah menunjukkan
bahwa perlindungan konsumen dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, karena banyaknya
jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta wilayah Indonesia yang
luas. Kemudian pembinaan pelaku usaha dan pengawasan terhadap peredaran
barang dan/atau jasa di pasaran tidak hanya ditujukkan untuk melindungi
54
kepentingan konsumen saja, tetapi memberikan manfaat bagi pelaku usaha
untuk meningkatkan daya saing perdagangan barang dan/atau jasa. Selain itu,
diharapkan adanya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen
agar dapat menciptakan iklim dunia usaha yang sehat.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu
metode pendekatan dengan perundang-undangan.54
Menurut Ronny Hanitijo disebutkan
bahwa:
Penelitian dengan pendekatan perundang-undangan yang menggunakan konsepsi
legal positivis bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.55
Sehubungan dengan metode yuridis normatif, Sunaryati Hartono menyatakan:
Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap norma-
norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan
konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat
dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah,
situs internet dan sebagainya.56
Amiruddin dan Zainal Asikin dalam bukunya yang berjudul Pengantar Metode
Penelitian Hukum, menyatakan bahwa:
54
Ronny Hanitijo Soemitro, 1992, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 11. 55
Ibid., hal 13. 56
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung:
Alumni, hal. 139.
56
Penelitian hukum normatif sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai
kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.57
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan spesifikasi deskriptif, yaitu menguraikan secara jelas
kemudian dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang
dihubungkan dengan penelitian yang dilakukan.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Banyumas, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang, UPT Perpustakaan
Universitas Jenderal Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
D. Sumber Data
1. Data Sekunder
Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang merupakan data
pokok dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup
peraturan perundang-undangan, buku-buku kepustakaan, karya ilmiah, artikel-
artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Menurut
57
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Hal. 118.
57
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji dalam bukunya Peneliatian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, menyatakan bahwa data sekunder meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para
sarjana, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan
yang diteliti;
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya
kamus.58
2. Data Primer
Data yang berupa hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan
Pengendalian Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Penyidik Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekunder
Data Sekunder diperoleh dengan pada penelitian ini yaitu dengan cara
melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku
kepustakaan, karya ilmiah yang terkait dengan materi penelitian dan pokok
masalah yang diteliti, untuk kemudian dikaji sebagai pedoman untuk penyususnan
data.
2. Data Primer
58
Seorjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Rajawali, Hal. 14-15.
58
Data primer diperoleh dari hasil wawancara secara bebas terpimpin dengan
Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
dan Penyidik Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang.
F. Metode Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian disusun secara sistematis untuk
mendapatkan gambaran umum dari obyek penelitian sebagai pedoman untuk membahas
masalah yang diteliti.
G. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara
sistematis, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan
penelitian,tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisis data dan hasil
pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
H. Metode Analisis Data
Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian kemudian dianalisis secara normatif
kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data yang akan disusun berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan-peraturan lainnya.
Selanjutnya, Ronny Hanitijo menyebutkan bahwa:
Metode ini dapat dikatakan normatif karena penelitian ini bertolak dari peraturan-
peraturan hukum yang ada sehingga merupakan norma hukum positif. Data yang
diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan
menafsirkan data berdasarkan doktrin hukum yang relevan dengan pokok
permasalahan, sehingga tidak menggunakan rumus-rumus atau angka-angka. Jadi
maksud dari metode normatif kualitatif yaitu penjabaran dan pembahasan terhadap
59
hasil penelitian yang didasarkan pada norma atau kaida-kaidah hukum maupun
doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.59
59
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hal. 11.
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Dinas Perindustrian Perdagangan dan
Koperasi Kabupaten Banyumas dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
Semarang, maka diperoleh hasil penelitian dengan data-data sebagai berikut:
1. Data Sekunder
1.1 Pengertian
a. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk
digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku,
bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut
terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan
atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh
pada kondisi baik. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang
Kosmetik).
b. Kosmetik kontrak adalah kosmetik yang produksinya dilimpahkan
kepada produsen lain berdasarkan kontrak. (Pasal 1 Keputusan Kepala
Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
61
c. Bahan kosmetik adalah bahan atau campuran bahan yang berasal dari
alam dan atau sintetik yang merupakan komponen kosmetik. (Pasal 1
Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan
Kosmetik).
d. Bahan pewarna adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan
untuk memberi dan atau memperbaiki warna pada kosmetik. (Pasal 1
Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018 tentang Bahan
Kosmetik).
e. Bahan pengawet adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan
untuk mencegah kerusakan kosmetik yang disebabkan oleh
mikrooganisme. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).
f. Bahan tabir surya adalah bahan yang digunakan untuk melindungi kulit
dari radiasi sinar ultra violet dengan cara menyerap, memancarkan, dan
menghamburkan. (Pasal 1 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik).
g. Wadah adalah kemasan yang bersentuhan langsung dengan isi. (Pasal 1
Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang
Kosmetik).
h. Pembungkus adalah kemasan yang tidak bersentuhan langsung dengan
isi. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
62
i. Penandaan adalah keterangan yang cukup mengenai manfaat, keamanan
dan cara penggunaan serta informasi lain yang dicantumkan pada etiket
dan atau brosur atau bentuk lain yang disertakan pada kosmetik. (Pasal 1
Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang
Kosmetik).
j. Etiket adalah keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang
dilekatkan, dicetak, diukir, dicantumkan dengan cara apapun pada
wadah atau dan pembungkus. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM
RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
k. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia. (Pasal 1 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
l. Deputi adalah Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik
dan Produk Komplemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Pasal 1
Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang
Kosmetik).
m. Pemeriksa adalah petugas yang ditunjuk oleh Kepala Badan untuk
melakukan Pemeriksaan. (Pasal 1 Keputusan Kepala POM RI Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
n. Izin Produksi adalah izin yang harus dimiliki oleh pabrik kosmetika
untuk melakukan kegiatan pembuatan kosmetika. (Pasal 1 Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang
Izin Produksi Kosmetika).
63
o. Industri Kosmetika adalah industri yang memproduksi kosmetika yang
telah memiliki izin usaha industri atau tanda daftar industri sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin
Produksi Kosmetika).
1.2 Bahan kosmetik
Bahan kosmetik yang dilarang, terdiri dari bahan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.05.42.1018
tentang Bahan Kosmetik.
1. 3 Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik (CPKB)
1.3.1 Industri yang akan memproduksi kosmetik harus menerapkan CPKB
dalam pembuatan kosmetik. Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik,
yang selanjutnya disingkat CPKB adalah seluruh aspek kegiatan
pembuatan kosmetik yang bertujuan untuk menjamin agar produk
yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan
sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPKB sebagai berikut:
a. Penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan
secara bertahap dengan memperhatikan kemampuan industri
kosmetik. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
64
b. CPKB sebgaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan oleh
Menteri. (Pasal 9 Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
c. Pemberian bimbingan terhadap penyelenggaraan kegiatan
produksi, impor, peredaran dan penggunaan kosmetik dilakukan
oleh Kepala Badan. (Pasal 32 Peraturan Kepala Badan POM RI
Nomor HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
d. Pemberian bimbingan diarahkan untuk:
1. menjamin mutu dan keamanan kosmetik yang beredar;
2. meningkatkan kemampuan teknik dan penerapan CPKB;
3. mengembangkan usaha di bidang kosmetik. (Pasal 9
Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45
tentang Kosmetik).
1.3.2 Konsumen yang mengeluh akibat kerusakan produk kosmetik maka
perusahaan harus melakukan penanganan terhadap keluhan
konsumen. Penanganan terhadap hasil pengamatan produk
diperedaran adalah sebagai berikut:
a. Keluhan dan laporan masyarakat yang menyangkut mutu,
keamanan dan hal lain yang merugikan atau menimbulkan
masalah hendaknya dicatat, diperiksa, dievaluasi, dan
ditindaklanjuti.
b. Kosmetik yang terbukti menimbulkan efek samping yang
merugikan dan keamanannya tidak memadai lagi harus ditarik dari
65
peredaran dan dimusnahkan. (Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetik
Yang Baik).
1.4 Persyaratan untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
kosmetik
Pelaku usaha yang akan mengedarkan kosmetik harus memenuhi
persyaratan dasar untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
dari kosmetik yang akan diproduksi. Persyaratannya antara lain:
a. (1) Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan
Kosmetik yang Baik.
(2) Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik
yang Baik diberikan Sertifikat oleh Kepala Badan. (Pasal 8
Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.17.45
tentang Kosmetik).
b. Langkah utama untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
kosmetik bagi pemakainya adalah dengan menerapkan CPKB pada
seluruh aspek dan rangkaian produksi. CPKB merupakan salah satu
faktor penting untuk dapat menghasilkan produk kosmetik yang
memenuhi standar mutu dan keamanan. (Peraturan Kepala Badan POM
RI Nomor HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan
Kosmetik Yang Baik).
1.5 Izin produksi kosmetik
66
Perusahaan yang akan memproduksi kosmetik harus mempunyai izin
produksi terlebih dahulu sebelum perusahaan melakukan kegiatan
pembuatan kosmetik. Prosedur perizinan produksi kosmetik tersebut sebagai
berikut:
a. Pembuatan kosmetika hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika.
(Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63
Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
b. (1) Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki
izin produksi.
(2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada huruf d angka (1)
diberikan oleh Direktur Jenderal. (Pasal 4 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin
Produksi Kosmetika).
c. Izin produksi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi ketentuan yang berlaku. (Pasal 5 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin
Produksi Kosmetika).
d. (1) Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan
kosmetika yang akan dibuat.
(2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada huruf f angka (1),
dibedakan atas 2 (dua) golongan sebagai berikut:
a. golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika
67
yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan
kosmetika;
b. golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang
dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu
dengan menggunakan teknologi sederhana.
(3) Bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu sebagaimana
dimaksud huruf f angka (2), ditetapkan oleh Kepala Badan. (Pasal
6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63
Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
e. (1) Izin produksi industri kosmetika Golongan A diberikan
dengan persyaratan:
a. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab;
b. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan
dibuat;
c. Memiliki fasilitas laboratorium; dan
d. Wajib menerapkan CPKB.
(2) Izin produksi industri kosmetika Golongan B diberikan dengan
persyaratan:
a. Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian
sebagai penanggung jawab;
b. Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai
produk yang akan dibuat; dan
68
c. Mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai
CPKB.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin produksi
sebagaimana dimaksud huruf g angka (1) dan angka (2) ditetapkan
oleh Direktur Jenderal. (Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi
Kosmetika).
1.6 Wadah dan pembungkus kosmetik
Wadah dan pembungkus kosmetik harus diberi penandaan yang
berisi informasi mengenai kosmetik agar konsumen mengenal produk atau
mengetahui mengenai produk yang akan dikonsumsinya.
a. (1) Wadah kosmetik harus dapat :
melindungi isi terhadap pengaruh dari luar.
Menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya
(2) Wadah sebagaimana dimaksud pada huruf a angka (1) harus dibuat
dengan mempertimbangkan keamanan pemakai dan dibuat dari
bahan yang tidak mengeluarkan atau menghasilkan bahan
berbahaya atau suatu bahan yang dapat mengganggu kesehatan, dan
tidak mempengaruhi mutu.
69
(3) Tutup wadah harus memenuhi persyaratan huruf a angka (1) dan
(2). (Pasal 17 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745
tentang Kosmetik).
b. Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi
informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. (Pasal 19
Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
c. (1) Penandaan harus berisi informasi yang sesuai dengan data
pendaftaran yang telah disetujui.
(2) Penandaan selain dari penandaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Badan.
(Pasal 20 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang
Kosmetik).
d. Penandaan kosmetik tidak boleh berisi informasi seolah-olah sebagai
obat. (Pasal 21 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745
tentang Kosmetik).
e. (1) Penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus jelas
dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab.
(2) Penandaan yang ditulis dengan bahasa asing, harus disertai
keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan
70
lain dalam Bahasa Indonesia. (Pasal 22 Keputusan Badan POM RI
Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
f. (1) Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan
informasi/ keterangan mengenai :
a. nama produk;
b. nama dan alamat produsen atau importir / penyalur;
c. ukuran, isi atau berat bersih;
d. komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik
indonesia atau nomenklatur lainnya yang berlaku;
e. nomor izin edar;
f. nomor batch /kode produksi;
g. kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah
jelas penggunaannya;
h. bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang
dari 30 bulan;
i. penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.
(2) Apabila seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada angka (1)
tidak memungkinkan untuk dicantumkan pada etiket wadah, maka
dapat menggunakan etiket gantung atau pita yang dilekatkan pada
wadah atau brosur. (Pasal 23 Keputusan Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
71
g. (1) Nama produsen atau importir/penyalur harus dicantumkan secara
lengkap.
(2) Bagi kosmetik impor, selain nama importir harus dicantumkan pula
nama produsen.
(3) Bagi kosmetik lisensi, disamping nama produsen yang
memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi lisensi.
(4) Bagi kosmetik kontrak, disamping nama produsen yang
memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi kontrak.
(Pasal 25 Keputusan Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745
tentang Kosmetik).
1.7 Persyaratan produksi dan peredaran kosmetik
Kosmetik yang diproduksi atau diedarkan harus memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
a. Persyaratan produksi kosmetik
(1) Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan
mutu serta persyaratan lain yang ditetapkan.
(2) Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan yang baik.
(3) Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan. (Pasal 2 Keputusan Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
72
b. Peredaran kosmetik
(1) Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana
dimaksud pada angka (1) sesuai dengan Kodeks Kosmetika
Indonesia dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
1.8 Pendaftaran produk kosmetik
Kosmetik yang akan diedarkan harus memiliki izin edar atau nomor
pendaftaran agar dapat diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Peraturan yang berkaitan dengan pendaftaran produk kosmetik
yaitu:
a. Alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan rumah tangga yang
diedarkan atau dijual di wilayah Indonesia harus didaftarkan pada
Departemen Kesehatan cq.Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan
Makanan. (Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
140/Menkes/Per/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat kesehatan,
kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
73
b. Alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan rumah tangga yang terdaftar
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Khasiat dan keamanan
Untuk kosmetik, keamanan yang cukup, yaitu tidak
menggunakan bahan yang dilarang, tidak melebihi batas kadar yang
ditetapkan untuk bahan, zat pengawet dan tabir surya yang
diizinkan dengan pembatasan, menggunakan zat warna yang
diinginkan sesuai dengan daerah penggunaannya.
2. Mutu
Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari cara produksi
yang baik dan hanya menggunakan bahan dengan spesifikasi yang
sesuai untuk kesehatan, kosmetika, dan perbekalan kesehatan rumah
tangga.
3. Penandaan
Untuk alat kesehatan dan kosmetika, penandaan yang cukup
yang dapat mencegah terjadinya salah pengertian atau salah
penggunaan. (Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
140/Menkes/Per/III/1991 trntang Wajib Daftar Alat kesehatan,
kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
c. Pendaftaran kosmetik produksi dalam negeri dilakukan oleh produsen
kosmetik dalam negeri yang telah mendapat izin produksi dari Menteri
Kesehatan. (Kepuusan Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan Nomor 1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk
74
Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga).
d. Permohonan pendaftaran dilakukan dengan mengisi formulir
pendaftaran secara lengkap, kemudian diajukan langsung kepada
Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan cq. Direktorat
Jenderal Pengawasan Kosmetika dan alat kesehatan. Bila permohonan
belum diisi secara lengkap, pemohon akan menerima pemberitahuan
kekurangan kelengkapan permohonan. (Kepuusan Direktur Jenderal
Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Nomor
1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk Peksanaan Wajib Daftar Alat
Kesehatan Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
e. Yang berhak mendaftarkan kosmetik di wilayah Indonesia adalah:
1. produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri;
2. perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran;
3. badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari
negara asal. (Pasal 10 Keputusan Badan POM Nomor
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik).
1.9 Pengawasan terhadap peredaran kosmetik
Peredaran adalah pengadaan, pengangkutan, pemberian,
penyerahan, penjualan dan penyediaan di tempat serta penyimpanan, baik
untuk perdagangan atau bukan perdagangan.
75
a. Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan
yang luas, cenderung kompleks dan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku
usaha. Peran serta masyarakat dan juga pelaku usaha dalam pengawasan
peredaran kosmetik mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan.
Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan melakukan tindakan dalam rangka
meningkatkan pengamanan kosmetik, antara lain mencakup:
1. Pendaftaran, penilaian, dan penguji terhadap produk kosmetik
sebelum beredar ke masyarakat
Registrasi mempunyai arti penting dalam pengawasan
kosmetik karena dalam proses registrasi tersebut dilakukan evaluasi
dan pengujian secara seksama yang meliputi mutu bahan, formulasi,
metode produksi, maupun aspek keamanan penggunaan. Melalui
evaluasi dan pengujian dalam system registrasi maka secara awal
akan dapat diketahui mutu dan keamanan kosmetiksebelum beredar
di masyarakat. Kosmetik yang nyata mengandung bahan-bahan
berbahaya, tidak akan diberi nomor registrasi dan dinyatakan
beredar di Indonesia.
2. Pembinaan dan pemeriksaan terhadap cara produksi dan distribusi
serta pengujian mutu
Guna meningkatkan penerapan cara-cara produksi yang baik
maka Departemen Kesehatan dan BPOM melakukan upaya
76
pembinaan terutama terhadap industri kosmetik yang sedang dalam
tahap berkembang. Disamping itu pemeriksaan terhadap sarana
produksi dan distribusi akan ditingkatkan terus terutama untuk
mencegah beredarnya produk-produk yang tidak memenuhi syarat.
Oleh karena itu, dalam keadaan pemeriksaan terhadap sarana
produksi dilakukan pula pengambilan contoh (sampling) untuk
dilakukan penguji mutu di laboraturium.
3. Penetapan spesifikasi dan pembakuan mutu
Departemen Kesehatan telah menerbitkan Buku Kodeks
Kosmetik Indonesia yang berisi uraian dan persyaratan bahan
kosmetik. Kodeks Kosmetik merupakan pedoman yang harus
digunakan dalam pemilihan bahan produksi kosmetik di Indonesia.
4. Monitoring efek samping kosmetik
Terhadap produk-produk kosmetik yang telah terdaftar dan
beredar di masyarakat dilakukan pemantauan/monitoring terutama
mengenai efek samping yang mungkin timbul dalam penggunanya
oleh masyarakat. Pemantauan terhadap efek samping ini dilakukan
kerja sama dengan rumah sakit dan melibatkan para dokter ahli
kulit. Hasil monitoring ini sangat penting terutama untuk reevaluasi
terhadap produk-produk yang ada dalam peredaran.
5. Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada masyarakat
77
Penyuluhan dan penyebaran informasi dipandang perlu
untuk terus ditingkatkan agar masyarakat dapat menggunakan
kosmetik secara tepat, benar, dan aman. Demikian pula dengan
tenaga-tenaga di bidang produksi dan distribusi kosmetik perlu
terus ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan
memberikan informasi-informasi mutakhir tentang berbagai aspek
yang berkaitan dengan kemajuan dan perkembangan kosmetik.
b. Pengaturan mengenai pengawasan terhadap peredaran kosmetika yaitu
sebagai berikut:
(1) Pengawasan terhadap produk kosmetik dilakukan oleh Kepala
Badan. (Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun
2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
(2) Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya
pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk
menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan
tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah
pemeriksaan. (Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63
Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika).
(3) Setiap kosmetika yang beredar wajib:
(a) memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, manfaat,
mutu, penandaan, klaim; dan
78
(b) dinotifikasi. (Pasal 2 Keputusan Kepala Badan POM RI
Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang
Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(4) Pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan terhadap:
(a) sarana; dan
(b) kosmetika. (Pasal 3 Keputusan Kepala Badab POM RI Nomor
HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan
Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(5) Pengawasan kosmetika sebagaimana dimaksud dalam angka (4)
huruf b antara lain meliputi :
(a) legalitas kosmetika;
(b) keamanan, kemanfaatan dan mutu;
(c) penandaan dan klaim; dan
(d) promosi dan iklan. (Pasal 5 Keputusan Kepala Badan POM RI
Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang
Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(6) Pemeriksaan dilakukan oleh petugas secara:
a. rutin
Pemeriksaan rutin sebagaimana dimaksud pada dilakukan
untuk mengetahui pemenuhan standar dan/atau persyaratan.
b. khusus.
79
Pemeriksaan khusus dilakukan untuk menindaklanjuti hasil
pengawasan dan/atau informasi adanya indikasi pelanggaran.
(Pasal 6 Keputusan Kepala Badab POM RI Nomor
HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan
Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(7) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, petugas pengawas dapat:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan
kosmetika untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh
segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembuatan,
penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan kosmetika;
b. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan,
pengangkutan dan perdagangan kosmetika, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
c. memeriksa penerapan CPKB;
d. memeriksa penandaan dan klaim kosmetika;
e. memeriksa promosi dan iklan kosmetika;
f. mengambil contoh/sampling untuk dilakukan pengujian
laboratorium, dan;
g. melakukan pemantauan hasil penarikan dan pemusnahan
kosmetika tidak memenuhi persyaratan. (Pasal 8 Keputusan
80
Kepala Badab POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun
2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika).
(8) Apabila hasil pemeriksaan oleh pemeriksa menunjukkan adanya
dugaan atau patut diduga adanya tindak pidana di bidang kosmetik
segera dilakukan penyidikan oleh penyidik Badan Pengawas Obat
dan Makanan. (Pasal 38 Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik).
c. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan:
Tugas BPOM:
1. Penilaian khasiat/kemanfaatan, keamanan, mutu, dan
penandaanserta analisis laboratorium dalam rangka pemberian izin
edar obat termasuk narkotika, bahan obat, tradisional, kosmetik, dan
makanan;
2. Pemeriksaan setempat dalam rangka pembinaan dan pengawasan di
bidang produksi dan distribusi obat termasuk narkotika, bahan obat,
obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan
makanan, serta sertifikasi cara pembuatan yang baik;
3. Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium terhadap obat
termasuk narkotika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik,
perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan yang beredar;
81
4. Pemberian peringatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan yang menyangkut obat termasuk narkotika,
bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah
tangga, dan makanan;
Fungsi BPOM:
1. Penilaian dan pemantauan promosi dan iklan bahan obat, obat
tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan
makanan;
2. Pelaksanaan monitoring efek samping dan pemberian informasi;
Kewenangan BPOM:
1. Penarikan kembali dari peredaran dan pemusnahan obat termasuk
narkotika, bahan obat yang beresiko tinggi, obat tradisional,
kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, dan makanan yang
tidak memenuhi syarat;
2. Penyusunan standar dan persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan produk yang berupa Kodeks Kosmetik Indonesia
untuk ditetapkan oleh Menteri Kesehatan;
3. Penetapan pedoman teknis penilaian dan pengujian laboratorium
obat termasuk bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan
82
kesehatan rumah tangga dan makanan serta pemeriksaan sarana
produksi dan distribusinya;
4. Penyidikan tindak pidana di bidang obat termasuk narkotika dan
psikotropika, bahan obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan
kesehatan rumah tangga, dan makanan. (Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 tentang Tugas, Fungsi,
dan Kewenangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan).
1.10 Sanksi
a. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 196
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).
b. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah). (Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan).
83
1.11 Pemberian Ganti Rugi
Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat ganti rugi apabila sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya
kesehatan, cacat, dan kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan. (Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan).
2. Data Primer
2.1 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dian Eri Rahmadi, beliau
sebagai Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian di Dinas Perdagangan
dan Perindustrian, maka dapat diperoleh data sebagai berikut:
2.1.1 Penyebab kosmetik tanpa izin edar dapat beredar di
masyarakat
Kosmetik tanpa izin edar dapat beredar dan dikonsumsi oleh
masyarakat dikarenakan barang atau produk kosmetik yang beredar
di pasaran ada ribuan item sehingga tidak memungkinkan untuk
melihat satu persatu kelayakan atau keamanan dari produk atau
barang tersebut, oleh karena itu pengawasannya tidak bisa optimal
dan efektif serta jumlah tenaga yang terbatas untuk mengawasi
seluruh kabupaten Banyumas.
2.1.2 Akibat dari pelaku usaha yang memproduksi kosmetik tanpa
izin edar
84
Pelaku usaha yang memproduksi kosmetik yang mengandung
bahan berbahaya serta tidak memiliki izin edar akan diberi surat
peringatan 1 (satu) kali, 2 (dua) kali, tetapi kalau sampai diberi
surat peringatan 3 (tiga) kali apabila pabrik tersebut tetap
memproduksi kosmetik illegal maka izin usahanya akan dicabut
dan jika tertangkap tangan oleh dinas-dinas yang mengawasi maka
pabrik pembuatan kosmetik langsung ditutup. Peredaran barang
atau produk yang bersentuhan dengan kulit apabila tidak
mencantumkan label dan tangggal kadaluwarsa maka produk
tersebut bisa disita dan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan,
setelah itu menjadi kewenanangan negara apakah barang atau
produk tersebut akan dimusnahkan atau dibakar.
2.1.3 Bentuk ganti rugi apabila konsumen mengalami kerugian
akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan
berbahaya
Konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan
kosmetik mengandung berbahaya maka diselesaikan melalui
mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya. Ganti rugi
tersebut tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak
karena merupakan sengketa konsumen di luar pengadilan.
2.1.4 Tanggung jawab pemerintah daerah dalam peredaran
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
85
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam peredaran
kosmetik ilegal, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Banyumas sebagai dinas yang berfungsi sebagai pengawasan
barang yang beredar maka melakukan pembinaan. Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas melakukan
pembinaan dengan cara sosialisasi kepada pelaku usaha.
2.2 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Eko Puncak, S.H, beliau
sebagai Penyidik di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Semarang,
maka dapat diperoleh data sebagai berikut:
2.2.1 Penyebab kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan
tanpa izin edar dapat beredar di masyarakat
Hal ini merupakan study lapangan. Kasus tersebut produsen
atau pelaku usahanya belum mempunyai izin produksi dan
pabriknya juga ilegal. Jika pabrik pembuatan kosmetik tersebut
ilegal, apabila berbicara ius poenandi (kewenangan negara), Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak bisa mengetahui
bahwa di tempat tersebut ada sebuah tempat produksi, tiba-tiba
barang tersebut sudah beredar di pasaran. Bahkan tentang kasus ini,
temuannya ada di pasaran dan terdengar permasalahan masyarakat
kemudian ditindaklanjuti dan dilakukan investigasi ternyata di
tempat tersebut ada sebuah rumah yang digunakan untuk
memproduksi kosmetik ilegal, setelah mendapat keterangan yang
pasti tim penyidikan melakukan operasi penertiban.
86
Kesimpulannya, BPOM atau negara hanya bisa memantau pelaku
usaha yang mempunyai legalitas, apabila tidak mempunyai legalitas
maka BPOM tidak bisa mengetahui bahwa di tempat tersebut ada
pabrik kosmetik. Tetapi apabila mempunyai legalitas pelaku usaha
akan melapor ke Dinas Kesehatan Propinsi lalu di dinas tersebut
mempunyai data base yang kemudian dilaporkan ke BPOM,
sehingga BPOM bisa melakukan pengawasan ke tempat produksi.
2.2.2 Jenis bahan kimia obat yang mengandung bahan berbahaya
Bahan kimia obat yang sering dipakai dalam pembuatan
kosmetik berbahaya yaitu mercury, yang sering digunakan pada
pemutih wajah. Kecuali hidrokuinon yang dipakai pada cat kuku
dan pewarna rambut. Tetapi kalau untuk kosmetik yang dioles di
kulit tidak boleh ditambahkan dengan hidrokuinon.
2.2.3 Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
Kasus tersebut perlindungan hukumnya dapat menuntut ganti
kerugian tetapi dalam hal ganti rugi tersebut bukan merupakan
tugas pokok dari BPOM, karena BPOM hanya melakukan
pengawasan. Apabila penyegelan terhadap sarana, BPOM tidak
mempunyai kewenangan tetapi hanya melakukan pengawasan
terhadap produk, yang mempunyai kewenangan adalah Dinas
87
Perindustrian dan Perdagangan. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen untuk penyelesaian sengketa konsumen ada lembaga
tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
2.2.4 Sanksi yang dikenakan kepada Pelaku Usaha yang
memproduksi kosmetik mengandung bahan berbahaya dan
tanpa izin edar
Berbicara ius poenali (hukum positif yang ada dalam
peraturan perundang-undangan), dasar hukumnya yaitu Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu:
1. Untuk kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan yaitu
kosmetik mengandung bahan berbahaya seperti kasus ini,
maka dapat dikenakan Pasal 196 dengan ancaman pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Untuk kosmetik yang tidak mempunyai izin edar atau belum
terdaftar maka dapat dikenakan Pasal 197 dengan ancaman
pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Kasus tersebut dikenakan 2 (dua) pasal untuk pelaku
usahanya yaitu Pasal 196 dan Pasal 197 karena kosmetik yang
88
diedarkan tidak mempunyai izin edar dari BPOM dan mengandung
bahan berbahaya. Pada saat ada penggerebekan di tempat tersebut
juga sedang dilangsungkan kegiatan produksi, dan CV. Dherma
Estetika Indonesia sekarang sudah ditutup.
2.2.4 Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap
peredaran produk kosmetik di tiap-tiap daerah
Pengawasan yang dilakukan terhadap peredaran produk
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di masyarakat adalah
untuk menjamin mutu. Pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) ada 2 macam:
1. Pre Market
Pre Market adalah pengawasan yang dilakukan serta penilaian
dan pengujian atas mutu keamanan sebelum kosmetik
diedarkan.
2. Post Market
Post Market adalah pengawasan yang dilakukan setelah produk
kosmetik diedarkan di masyarakat, antara lain inspeksi sarana
produksi dan distribusi, monitoring efek samping kosmetik,
sampling dan uji laboratorium untuk kosmetik di peredaran,
penilaian dan pengawasan iklan kosmetik atau promosi, serta
penyebaran informasi melalui edukasi masyarakat dan public
warning.
89
BPOM dalam melakukan pengawasan, berkaitan dengan ius
poenandi apabila ditemukan kosmetik yang mengandung bahan
berbahaya maka kosmetik itu akan disita dan apabila sudah
mendapatkan persetujuan dari Pengadilan kemudian penyidik
melakukan pemusnahan untuk kemudian dibakar di tempat
pembuangan akhir. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM hanya
melakukan pengamanan produk dan penyitaan terhadap produk atau
barangnya.
Berbicara mengenai prioritas utama yaitu bahan berbahaya
dalam pembuatan kosmetik maka harus mencantumkan tanggal
kadaluwarsa. Sepanjang untuk pengobatan di klinik tanpa adanya
tanggal kadaluwarsa itu diperbolehkan karena di klinik terdapat
takaran dokter dan berfungsi sebagai pengobatan dan resepnyapun
obat maka kalau di klinik bukan merupakan kosmetik tetapi sebagai
obat. Apabila sudah diedarkan sampai ke toko dimana orang yang
membeli itu tidak bisa bertanya ke pemilik toko maka harus diberi
informasi yang jelas. Misalnya, A datang ke klinik diperiksa dokter,
meskipun itu klinik kecantikan namun produknya adalah obat,
bukan kosmetik. Berbeda jika sudah masuk ke toko atau sudah
berada di toko itu dinamakan kosmetik karena jika sudah masuk ke
toko harus didaftarkan di BPOM.
Produk kosmetik yang tidak ada izin edarnya mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
90
1. Sistim pemesanannya biasanya dengan cara dikirim
Misalnya: A memesan kosmetik, karena tidak mungkin diambil
di tempat tersebut lalu produk kosmetik tersebut dikirim oleh
ekspedisi.
2. Apabila membeli produk kosmetik tersebut dalam jumlah
banyak maka akan ditanya macam-macam oleh si pelaku usaha.
Berbicara mengenai law enforcement, misalnya toko A
menjual kosmetik yang mengandung bahan berbahaya maka
terhadap pemilik toko tersebut akan dilakukan:
a. Diperingatkan
Pelaku usaha yang menjual kosmetik atau yang mempunyai
toko diperingatkan dengan surat pernyataan bahwa benar telah
menjual kosmetik tanpa izin edar dan berjanji untuk tidak
mengulangi perbuatan tersebut. Apabila setelah membuat surat
pernyataan ternyata masih menjual kosmetik yang mengandung
bahan berbahaya terpaksa orang yang menjual akan
diperkarakan dan tokonya tidak ditutup karena terhadap
sarananya bukan merupakan kewenangan BPOM.
b. Pembinaan Pelaku Usaha
Pembinaan pelaku usaha terdapat penyuluhan terhadap pelaku
usaha. Pelaku usaha di sini dianggap cakap karena untuk
memperoleh izin mempunyai tahapan yang rumit.
91
BPOM bermaksud memberikan aspek jera berbasis pembinaan
artinya apabila orang tersebut melakukan kejahatan bukan
berarti semuanya dirampas dan dia tidak bisa bekerja, karena
dia dituntut di pengadilan untuk orang yang tidak biasa
melakukan kejahatan itu merupakan obat yang sangat pahit dan
terhadap toko tersebut tetap tidak dilakukan penyegelan dengan
harapan keluarganya meneruskan usahanya untuk melanjutkan
penjualan teetapi dengan syarat toko tersebut menjual barang-
barang yang legal. Apabila selama menjalani proses ini pelaku
usaha tertangkap tangan lagi, maka hukumannya lebih berat
yaitu dengan pemberatan.
c. Pemusnahan terhadap barang atau produk
Pemusnahan ini dilakukan pada pabrik kosmetik ilegal yaitu
apabila setelah diperiksa dari hasil laboratorium ternyata tidak
sesuai ketentuan dalam pembuatan kosmetik, maka yang disegel
atau dimusnahkan di tempat adalah barang atau produk yang
illegal.
Dalam pembuatan kosmetik tidak ada industri rumahan, berbeda
dengan pangan. Industri kosmetik memerlukan tenaga ahli
dalam pembuatannya, tetapi jika pangan ada industri rumahan.
Karena kosmetik merupakan industri yang besar maka pelaku
usahanya harus mempunyai izin untuk pembuatan kosmetik
yaitu pelaku usaha mengajukan permohonan ke BPOM untuk
92
mendapatkan izin, kemudian BPOM melampirkan persyaratan
lulus CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik) meliputi
alur dan bahan baku, lalu setelah memenuhi semua persyaratan
keluarlah izin edar serta notifikasi kosmetika.
2.2.5 Kendala pengawasan terhadap kosmetik di daerah
Di daerah dalam pengawasan peredaran kosmetik mengalami
kendala, yaitu:
a. Tingkat pendidikan dan pengetahuan pemilik toko masih
rendah sehingga mereka belum bisa membedakan kosmetik
legal dan ilegal.
b. Sales kosmetik biasanya lebih cenderung sekedar mencari
target atau keuntungan penjualan daripada berpikir tentang
keamanan kosmetik. Bahkan sales ini sedikit banyak sudah
mengetahui kosmetik tersebut ilegal tetapi tetap dijual.
c. Pemilik toko tidak bisa menerima hal tersebut karena
kurangnya pengetahuan tadi ketika kosmetik dimusnahkan.
93
B. Pembahasan
Perlindungan hukum bagi konsumen pada dasarnya adalah melindungi hak-hak
konsumen. Hak-hak konsumen sebenarnya sudah dirumuskan secara jelas dan terinci di
dalam peraturan perundang-undangan yang semestinya diperhatikan dan dilindungi oleh
pihak pelaku usaha, hanya dalam prakteknya hal ini sering terabaikan karena iktikad tidak
baik dari pelaku usaha serta dalam melakukan usaha hanya didorong untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Peristiwa tidak terpuji yang merugikan konsumen
ditemukan pada tahun 2013, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)
Semarang bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menggerebek sebuah rumah di
Perumahan Permata Hijau blok 8 No. 57 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto
Utara, Banyumas, Jawa Tengah. Rumah mewah yang dijadikan pabrik pembuatan produk
kosmetik ilegal tersebut menggunakan nama CV Dherma Estetika Indonesia. Ribuan wadah
dan bahan kosmetik disita. Petugas mengamankan bahan-bahan pembuat kosmetik seperti
hydrokinon, silikon, antibiotik berupa clindamisin dan cloramfenikol, dan ratusan jiriken
bahan campuran produk pembuatan kosmetik. Berdasarkan laporan masyarakat, produk
kosmetik tanpa menggunakan merk tersebut dapat membuat iritasi di kulit dan membuat
kulit menjadi belang-belang. Diantaranya adalah krim malam dan krim siang. Pangsa pasar
produk ini adalah mahasiswa dan pelajar karena harganya terjangkau. Izin perusahaan
kosmetik tersebut yang terdiri dari izin HO, SIUP, TDP juga tidak ada.
Berdasarkan kasus tersebut, konsumen akibat peredaran kosmetik yang
mengandung bahn berbahaya harus dilindungi. Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 angka
(2) UUPK, yaitu:
94
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani mengemukakan mengenai pengertian
konsumen yaitu:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.60
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.2 tentang keluhan konsumen apabila
dikaitkan dengan pasal 1 angka (2) UUPK dan pendapat Gunawan Widjaya dan Ahmad
Yani maka dapat dideskripsikan bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir,
yang artinya pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Apabila kita melihat pada
kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen di sini adalah pengguna kosmetik
tersebut.
Pasal 1 angka (3) UUPK mengartikan pelaku usaha sebagai berikut:
Pelaku Usaha adalah setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.
Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Di Indonesia menyebutkan pengertian pelaku usaha atau produsen yaitu:
60
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, Hal. 5.
95
Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau
pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya
atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai
produsen.61
Az. Nasution menggolongkan pelaku usaha sebagai berikut:
a. Pelaku usaha sebagai pencipta atau pembuat barang yang menjadi sumber
terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.
b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen.
c. Pengusaha jasa (Pelaku usaha yang memberi pelayanan dan atau menjual sebuah
prestasi kepada konsumen).62
Berdasarkan data sekunder nomor 1.1 huruf o tentang industri kosmetika dan nomor
1.4 tentang persyaratan untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetik serta
didukung dengan data primer nomor 2.2.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka (3)
UUPK dan pendapat Ahmadi Miru serta Az. Nasution maka dapat dideskripsikan bahwa
pemilik pabrik kosmetik dalam kasus tersebut disebut sebagai pelaku usaha.
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
mengemukakan bahwa:
Perlindungan hukum yaitu segala upaya yang dilakukan menjamin adanya kepastian
hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam
suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat terlihat baik dalam
Undang-Undang maupun dalam ratifikasi atau konvensi internasional.63
61
Ahmadi Miru, Op. Cit, Hal. 21-22. 62
Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, Hal.
10. 63
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, Hal. 20.
96
Perlindungan konsumen menurut Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan
Konsumen Indonesia, yaitu:
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-
lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak
konsumen.64
Berdasarkan pendapat Sudikno Mertokusumo dan Shidarta, maka dapat
disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan perlindungan
terhadap hak-hak konsumen yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak
konsumen dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Berdasarkan pendapat Sudikno dan Shidarta yang dijabarkan di atas, maka yang
dimaksud perlindungan konsumen adalah melindungi hak-hak konsumen seperti yang
64
Shidarta, Op.Cit, hal. 19.
97
diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Khusus dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah perlindungan terhadap
hak-hak konsumen seperti yang diatur pada Pasal 4 huruf a, c, d, e, yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa
Pasal 4 huruf a UUPK, menyatakan bahwa:
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menyatakan bahwa:
Dari Sembilan butir hak konsumen di atas terlihat bahwa masalah
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang
paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau
jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang
tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak
untuk diedarkan dalam masyarakat.65
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 tentang Bahan Kosmetik apabila
dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK dan pendapat Gunawan Widjaya dan
Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa kosmetik yang mengandung
mercury dan hidrokuinon dalam kasus ini tidak aman untuk digunakan karena
bahan kosmetika dinyatakan bahwa mercury dan hidrokuinon merupakan bahan
kosmetik yang dilarang dalam pembuatan kosmetik. Dapat disimpukan bahwa
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya serta tidak mempunyai izin edar dari
65
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, Hal.30.
98
BPOM tidak aman untuk digunakan dan dapat mengancam keselamatan
konsumen. Kosmetik tersebut tidak layak untuk diedarkan di masyarakat karena
melanggar hak konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf a
UUPK, mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.9 tentang pengawasan terhadap
peredaran kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK dan kasus ini
dapat dideskripsikan bahwa produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat dan
mengakibatkan terganggunya kesehatan konsumen maka Badan Pengawas Obat
dan Makanan dapat menarik produk kosmetik dari peredaran dan melakukan
pemusnahan. Konsumen kosmetik yang mengalami kerugian berhak mendapatkan
ganti rugi akibat pemakaian produk kosmetik tersebut dan pelaku usahanya dapat
dikenai sanksi.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul
Hukum Tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan bahwa:
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan
oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan
Konsumen memungkinkan dilakukannya penuntutan pidan terhadap pelaku
usaha dan/atau pengurusnya.66
Berdasarkan data sekunder nomor 1.10 tentang sanksi dan diperkuat
dengan data primer nomor 2.2.4 apabila dikaitkan dengan pendapat Gunawan
Widjaya dan Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa dengan adanya
66
Ibid, Hal. 84-85.
99
sanksi dari pemerintah maka konsumen akan merasa aman, sehingga pemerintah
dalam hal ini telah memberikan kenyamanan dan keamanan kepada konsumen.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
Hak untuk memperoleh informasi atas barang atau produk yang akan dibeli
ini sangat penting, dimaksudkan agar konsumen dapat mengetahui informasi yang
jelas tentang suatu produk yang akan dikonsumsi karena dengan informasi tersebut
konsumen dapat memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya serta dapat
terhindar dari kerugian apabila produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
Pasal 4 huruf c UUPK menyebutkan bahwa:
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
Pasal 7 UUPK menyebutkan bahwa:
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
100
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani dalam bukunya mengemukakan
bahwa:
Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya,
maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang
dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas,
dan jujur.67
Berdasarkan data sekunder nomor 1.6 huruf f tentang wadah dan
pembungkus kosmetik apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf
a dan b UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, maka dapat
dideskripsikan bahwa konsumen harus memperoleh informasi mengenai barang
dan/atau jasa yang akan mereka konsumsi. Namun, dalam kasus ini konsumen
tidak mengetahui informasi mengenai barang atau produk kosmetik tersebut.
Produk kosmetik tersebut tidak mencantumkan label mengenai informasi kosmetik
tersebut sehingga konsumen tidak mengetahui manfaat produk, tanggal
kadaluwarsa bahkan efek samping dari penggunaan kosmetik tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
67
Ibid, Hal.30.
101
usahannya dalam memproduksi kosmetik. Jadi, dalam kasus ini konsumen tidak
mendapatkan hak atas informasi yang benar dan jelas mengenai kondisi barang
atau produk kosmetik yang dikonsumsi.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
Setiap konsumen yang mengalami kerugian akibat pemakaian barang atau
produk maka harus didengar keluhan dan pendapatnya. Misalnya konsumen yang
mengkonsumsi produk kosmetik lalu mengalami iritasi setelah mengkonsumsinya
maka harus didengar keluhannya.
Pasal 4 huruf d UUPK, menyebutkan bahwa:
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa:
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan
lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini
dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk
tersebut kurang memadai ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian
yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk atau berupa pernyataan
atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
kepentingan konsumen.68
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3.2 tentang keluhan konsumen dan
didukung dengan data primer nomor 2.2.1 apabila dikaitkan dengan pasal 4 huruf
68
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, Hal. 43.
102
d UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripsikan
bahwa pelaku usaha dalam kasus ini tidak menanggapi keluhan konsumen dan
dalam kasus ini konsumen tidak memperoleh haknya untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas produk barang dan/atau jasa yang digunakan. Sehingga,
konsumen menyampaikan keluhan akibat pemakaian kosmetik tersebut kepada
Layanan Informasi Konsumen Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adanya
Layanan Informasi Konsumen BPOM maka pemerintah dalam hal ini telah
melindungi hak konsumen kosmetik untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa serta perlindungan konsumen secara patut
Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen pengguna
suatu barang dan/atau jasa yang telah dirugikan. Konsumen kosmetik dalam kasus
ini yang mengalami kerugian akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan
berbahaya berhak mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyelesaian
sengketa dapat diselesaikan di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Konsumen
yang dirugikan akibat peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
berhak memperoleh ganti rugi.
Pasal 4 huruf e UUPK, menyatakan bahwa:
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, mengemukakan bahwa:
103
Hak atas ganti kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang
telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang
tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini terkait dengan penggunaan
yang telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi maupun
kerugian menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.69
Berdasarkan data sekunder nomor 1.3 tentang CPKB, nomor 1.5 tentang
izin produksi kosmetik, nomor 1.8 tentang pendaftaran produk kosmetik, dan
nomor 1.9 tentang pengawasan terhadap peredaran kosmetik serta didukung
dengan data primer nomor 2.1.1 dan 2.2.1 apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf e
UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripikan
bahwa banyaknya produk kosmetik yang beredar di pasaran mengakibatkan
pemerintah tidak optimal dan efisien dalam melakukan pengawasan. Terlebih
apabila pabrik pembuatan kosmetik tersebut illegal maka pemerintah tidak bisa
melakukan pengawasan terhadap pembuatan kosmetik pada pabrik tersebut karena
tidak mengetahui bahwa di tempat tersebut ada pabrik kosmetik. Apabila
mempunyai legalitas maka pemerintah dapat melakukan pengawasan dan
pembinaan ke tempat produksi. Negara hanya bisa memantau pelaku usaha yang
mempunyai legalitas. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah mengenai Cara
Pembuatan Kosmetik Yang Baik bertujuan agar dalam pembuatan kosmetik tidak
menggunakan bahan yang berbahaya dan merupakan bentuk perlindungan hukum
yang ditujukkan untuk melindungi konsumen kosmetik.
Akibat dari perbuatan pelaku usaha yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam kasus ini, Pasal 19 UUPK menyebutkan bahwa:
69
Ibid, Hal. 44.
104
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK menyebutkan mengenai penyelesaian
sengketa sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2 tentang bahan kosmetik dan 1.11
tentang pemberian ganti rugi serta didukung dengan data primer nomor 2.1.3
apabila dikaitkan dengan Pasal 19 dan Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUPK serta
pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dapat dideskripsikan bahwa
konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya maka upaya penyelesaian sengketa dalam kasus ini
melalui fasilitas mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya, kemudian
105
bentuk dan jumlah ganti rugi tergantung pada kesepakatan antara kedua belah
pihak yang bersengketa. Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Apabila pihak pelaku
usaha tidak bersedia bertanggung jawab secara sukarela atau proses non litigasi
tidak membuahkan hasil maka konsumen dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan.
106
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka peneliti dapat
memberikan kesimpulan bahwa:
a. Perlindungan hukum terhadap konsumen kosmetik agar merasa nyaman, aman, dan
selamat berkaitan dengan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
secara normatif sebenarnya sudah diupayakan oleh pemerintah dan jajarannya dengan
menetapkan peraturan-peraturan mengenai pembinaan dan pengawasan berdasarkan
Keputusan Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang
Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika dan sanksi berdasarkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diharapkan dapat membuat
para pelaku usaha sadar sehingga melakukan usaha dengan iktikad baik.
b. Perlindungan terhadap hak konsumen kosmetik atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam Peraturan Badan POM
RI Nomor HK.00.05.4.17.45 Tentang Kosmetik sebenarnya sudah diatur secara jelas
berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha untuk memberi informasi yang selengkap-
lengkapnya untuk menghindari timbulnya kerugian pada pihak konsumen kosmetik.
c. Bagi konsumen kosmetik yang menderita kerugian, berdasarkan Pasal 19 UUPK
pelaku usaha diwajibkan untuk memberi ganti rugi. Sedangkan dari pihak pemerintah
107
punya tanggung jawab untuk membina, mengawasi, dan memfasilitasi agar konsumen
kosmetik mendapatkan apa yang menjadi haknya.
B. Saran
1. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya seyogyanya menunjukkan iktikad baik dan
memberikan informasi yang jelas atas barang dan atau jasa yang diedarkan serta
berupaya memperhatikan hak-hak konsumen dan kewajibannya sebagai pelaku usaha
yang telah dirumuskan dalam UUPK.
2. Pemerintah seyogyanya meningkatkan pengawasan terhadap peredaran kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya di Kabupaten Banyumas untuk meminimalisir kerugian-
kerugian yang diderita oleh masyarakat.
3. Konsumen kosmetik hendaknya lebih hati-hati dalam membeli dan menggunakan
produk kosmetik agar terhindar dari bahaya.
108
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Anwar, Saiful, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora: Madani Press.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Bandung: Alumni.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
Manullang, M, 1995, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Miru Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.
Rajawali Pers.
Nasution, Az, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media.
Nasution, Az, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media.
Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri
Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung.
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
R. Prawirohamidjojo Soetojo dan Marthalena Pohan, 1984, Hukum Perikatan, Surabaya:
Bina Ilmu.
Salindeho, Jhon, 1998, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika.
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo.
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo Edisi
Revisi.
Soekanto Seorjono dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1992, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sukarno, 1992, Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar.
109
Sutedi, Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen,
Bogor: Ghalia Indonesia.
Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Syarif M. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok: UI Press.
Yayasan Lembaga Konsumen, 1981, Perlindungan Konsumen Indonesia Suatu Sumbangan
Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin
Produksi Kosmetika.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/MenKes/PER/VIII/2010
tentang Notifikasi Kosmetika.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 140/Menkes/Per/III/1991 trntang Wajib Daftar Alat
kesehatan, kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi
Kosmetik Yang Baik.
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 tentang Tugas, Fungsi, dan
Kewenangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan
Keputusan Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Nomor
1447/C/SK/1991 tentang Petunjuk Peksanaan Wajib Daftar Alat Kesehatan
Kosmetika, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran
Kosmetika.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik.
110
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2013 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.42.2995 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.
Sumber lain
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Wawancara
Bapak Dian Eri Rahmadi (Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian di Dinas
Perdagangan dan Perindustrian).
Bapak Eko Puncak, S.H, (Penyidik di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
Semarang).
Online
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/16/mmvzmy-bpom-sita-kosmetik-
ilegal-mengandung-obat-terlarang (diakses pada tanggal 18 September 2014).
Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia
Kedokteran, http;//www.scribd.com diakses tanggal 12 Desember 2014.
http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 20
Desember 2014.