skripsi - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi pramutyas... ·...
TRANSCRIPT
i
PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI
DI SEKOLAH POLISI NEGARA PURWOKERTO
(Kajian Terhadap Penerapan PP Nomor 2 Tahun 2003
Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia)
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
SKRIPSI
Oleh :
PRAMUTYAS VARENTINA E1A010095
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : PramutyasVarentina
NIM : E1A010095
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
”PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI
NEGARA PERWOKERTO (KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PP NO 2
TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA)“
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil
karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan semua sumber data maupun
informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat diperiksa kebenarannya.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya
peroleh.
Purwokerto, 21 Februari 2015
Pramutyas Varentina
E1A010095
iv
ABSTRAK
PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI
DI SEKOLAH POLISI NEGARA PURWOKERTO
(Kajian Terhadap Penerapan PP Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia)
Oleh :
Pramutyas Varentina
E1A010095
Polri merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri. Peranan Polri yang berhubungan
langsung dengan masyarakat menyebabkan adanya suatu penyimpangan
penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Republik
Indonesia dan juga merupakan kasus tindak pidana penggelapan yang terjadi di
SPN Purwokerto.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan spesifikasi
penelitian preskriptif, serta dengan menggunakan metode pendekatan yuridis-
normatif. Kesimpulan dari penelitian adalah penegakan hukum dan disiplin
terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
Sanksi disiplin bagi anggota Polri yang melakukan penggelapan adalah
diberhentikan secara tidak hormat, sesuai dengan Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. Upaya yang harus
dilakukan oleh SPN Purwokerto dalam menciptakan disiplin anggota Polri yaitu
dapat berupa upaya preventif yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
pelanggaran disiplin dan juga upaya represif yang dilakukan sesuai prosedur
penyelesaian pelanggaran disiplin yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian
Republik Indonesia.
Kata kunci : Polri, Penegakan hukuman disiplin, Penggelapan.
v
ABSTRACT
Police is one of the functions of state administration. Role of the Police
who deal directly with the public led the case of abuse of authority in receipt of
prospective members of the Indonesian National Police, and is also a criminal
offense embezzlement cases that occurred in the State Police School Navan.
The method used in this study using prescriptive research specifications,
as well as by using a normative juridical approach. The conclusion of the study is
the rule of law and discipline of the members of the police who commit
disciplinary offenses stipulated in Government Regulation No. 2 of 2003 on Police
Discipline Regulations. Disciplinary sanctions for police officers who commit
fraud was dishonorably discharged, in accordance with Article 11 of Government
Regulation No. 1 of 2003 on Termination Police. Efforts must be made by SPN
Purwokerto in creating a disciplined member of the Police which can be a
preventive effort that works to prevent violations of discipline and repressive
efforts undertaken in accordance settlement procedure disciplinary offense which
has been committed by members of the Indonesian National Police.
Keywords: Police, Enforcement disciplinary punishment, Embezzlement
vi
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat, karunia serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul :"PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH
POLISI NEGARA PERWOKERTO (KAJIAN TERHADAP PENERAPAN
PP NO 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA)”dengan melalui proses
yang panjang, serta suka dan duka telah penulis lewati.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa,S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
2. Ibu Sri Hartini, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I, yang telah
sudi meluangkan waktu untuk konsultasi dan berdiskusi dengan penulis,
sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berfikir lebih baik;
3. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, atas
segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada
penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
4. Bapak H. Kadar Pamuji, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji atas segala masukan
yang diberikan kepada penulis;
5. Ibu Setiajeng Kadarsih, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan arahan selama menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6. Seluruh Dosen, staf, dan karyawan Fakultas Hukum Unsoed yang telah
mendidik dan membantu selama penulis menuntut ilmu di kampus ini.
7. Kedua orang tua, Bapak M. Amir Djoko Pranowo dan Ibu Titi Susanti, terima
kasih atas doa, cinta dan kasih sayangnya, semoga aku bisa membalas segala
vii
jerih payah Bapak dan Ibu dengan membanggakan Bapak dan Ibu. Aku
teramat sangat mencintai kalian.
8. Ibu Setya Lindu Jayati, S.H. yang telah membiayai kuliahku dan
menyemangatiku untuk masuk Fakultas Hukum, terimakasih atas dukungan
dan doanya selama ini. Terima kasih banyak Bu.
9. Adikku, Astrella Putri Prasasti. Terimakasih atas doa dan dukungan serta
semangatnya selama ini, semoga aku bisa menjadi Kakak yang baik bagimu.
10. Keluarga tercinta, Pakti dan Bu Nuk yang telah memberikan dukungan moril
dan materil padaku sehingga aku bisa sampai di tahap ini, terimakasih sudah
seperti orangtua bagiku yang sudah membantuku dan membimbingku, serta
keluarga yang lain yang selalu memberi motivasi dan membantu lancarnya
skripsi ini.
11. Kesayanganku, Eko Prasetiyo. Terimakasih atas semangatnya, bantuannya,
dukungannya dan kasih sayangnya. Terima kasih karena sudah selalu ada
untukku. Aku sangat menyayangimu.
12. Sahabatku Nuuru, Arrin terimakasih sudah menjadi teman dalam suka dan
duka selama ini.
13. Teman dan sahabatku Bella, Hanura, Nana, Ria, Nuna dan teman teman
angkatan 2010 yang tak bisa aku sebutkan satu persatu.
14. Teman-teman Mayangsari Accesoris Girls Shop yang menjadi teman kerja
part time selama ini, terimakasih atas motivasinya untukku.
15. Teman-teman seperjuangan skripsi. Terimakasih.
16. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak
kekurangan, Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak
lain yang membutuhkan.
Purwokerto, 21 Februari 2015
Penulis
Pramutyas Varentina
E1A010095
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
PRAKATA ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Administrasi Negara (HAN) .......................................... 8
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara ............................. 8
2. Asas-asas Hukum Administrasi Negara ................................. 13
3. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara ....................... 17
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik………………... 19
5. Hukum Kepegawaian………………………………………. 27
B. Kepolisian Negara Republik Indonesia ...................................... 32
1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia................ 32
2. Fungsi dan Peranan POLRI ……………………………….. 34
C. Penyelesaian Pelanggaran Anggota POLRI ……………...…… 35
1. Kode Etik Anggota POLRI ………………………………. 35
2. Peraturan Disiplin POLRI………..…………………………. 38
3. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota POLRI... 41
ix
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .................................................................... 45
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................. 47
C. Sumber Bahan Hukum ................................................................ 48
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ......................................... 50
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum ............................................ 51
F. Metode Penyajian Bahan Hukum ……………………………… 51
G. Metode Analisis Bahan Hukum .................................................. 52
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ........................................................................... 54
1. Bahan Hukum Primer ............................................................ 54
2. Bahan Hukum Sekunder ........................................................ 64
a. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2006…………... 64
b. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2007…………... 68
c. Pengertian Kode Etik ……………………………………... 72
d. Kode Etik Polri ………………………………………........ 76
B. Pembahasan ................................................................................ 79
1. Penerapan Hukuman Disiplin terhadap Anggota Polri
yang melakukan Tindak Pidana di SPN Purwokerto.................. 79
2. Upaya Polri dalam menciptakan disiplin anggota
di Sekolah Polisi Negara( SPN) Purwokerto………………… 102
BABV. PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................... 112
B. Saran .......................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.Indonesia merupakan negara hukum modern, dimana negara Indonesia
ikut berperan serta dalam setiap kehidupan masyarakat.Tujuan dari negara
Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu bahwa negara
Indonesia merupakan negara hukum yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan umum dan tata kehidupan bangsa, negara serta masyarakat
yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan.
Hukum di dalam negara hukum ditempatkan sebagai aturan main
dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan,
sementara tujuan hukum itu sendiri antara lain “…opgelegd om de
samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen” (diletakkan
untuk menata masyarakat yang damai, adil, dan bermakna). Artinya sasaran
dari Negara Hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan,
dan kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan
kemanfaatan atau kebermaknaan.1
1Ridwan HR. 2011, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Pers, hlm.22.
2
Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam
suatu negara hukum diatur dalam ketentuan hukum yang tertulis dalam
konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam Hukum Tata
Negara. Meskipun demikian, untuk menyelenggarakan persoalan-persoalan
yang bersifat teknis, Hukum Tata Negara itu tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan dengan efektif. Hukum Tata Negara membutuhkan hukum lain
yang lebih bersifat teknis, hukum tersebut adalah Hukum Administrasi
Negara.2
E. Utrecht memberikan definisi tentang administrasi negara sebagai
complex ambten/aPeraturan Pemerintaharaat atau gabungan jabatan-jabatan
administrasi yang berada di bawah pimpinan Pemerintah melaksanakan tugas
yang tidak ditugaskan kepada badan-badan Pengadilan dan Legislatif.3
Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Administrasi Negara adalah
hukum untuk (voor) mengatur pemerintahan atau penyelenggaraan
pemerintahan, sebagian dibuat atau berasal dari (van) pemerintah, dan hukum
itu digunakan dalam mengatur hubungan dengan pemerintah atau untuk
mempengaruhi terhadap (tegen) tindakan pemerintah; “ Recht voor, van, en
tegen het overheidsbestuur”. Sejalan dengan pemberian wewenang kepada
pemerintah untuk menata, mengatur, dan memberikan pelayanan kehidupan
warga negara, pembentukan peraturan–peraturan oleh administrasi negara
atau pemerintah merupakan suatu yang tidak dapat dihindari dalam
2ibid., hlm.23.
3ST. Marbun, Moh.Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, 2000,
Yogyakarta : Liberty, hlm.7.
3
penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam suatu negara hukum yang
modern, dengan alasan-alasan teoritik dan praktik.4
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak lepas dari ciri negara
hukum yang bercirikan adanya pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara dengan membagi kekuasaan negara dalam
tiga cabang, yaitu; (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang;
(ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan yang
menghakimi atau yudikatif. Menurut Montesquieu klasifikasi tersebut dikenal
dengan pembagian kekuasaan negara modern dalam 3 fungsi, yaitu legislative
(the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function),
dan yudisial ( the judicial function).5
Bagian dari kekuasaan eksekutif yang bertugas untuk
menyelenggarakan pemerintahan salah satunya adalah Pegawai Negeri,
dimana Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang
bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional,
jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan,
dan pembangunan.
Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan mengenai
Pegawai Negeri antara lain terdapat dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Mengenai jenis pegawai negeri
diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang menyebutkan bahwa Pegawai
4Ridwan HR, op.cit., hlm. 38.
5Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2014, Jakarta: Rajawali
Pers, hlm. 283.
4
Negeri dibagi menjadi 3 jenis yaitu : Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Salah satu jenis Pegawai Negeri yaitu Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia (selanjutnya disebut POLRI). Ketentuan mengenai
POLRI diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 menentukan bahwa anggota POLRI adalah pegawai
negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Fungsi POLRI ditentukan dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002
yang menyebutkan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas POLRI yang berhubungan langsung dengan masyarakat dapat
menyebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan adanya pelanggaran
khususnya peanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota POLRI. Untuk
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penyalahgunaan
wewenang dan pelenggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota POLRI,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Peraturan Disiplin Anggota POLRI.
5
Contoh penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran disiplin yang
dilakukan oleh anggota POLRI pernah terjadi di lingkungan Sekolah Polisi
Negara (SPN) Purwokerto. Terdapat 2 kasus yang serupa yaitu mengenai
pelanggaran hukuman disiplin yang diatur dalam Pasal 5 huruf a dan/atau
Pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin POLRI yaitu mengenai adanya penyalahgunaan pangkat dan
jabatannya dalam penerima calon anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan juga perbuatan tindak pidana penipuan atau penggelapan
sebagaimana diatur dalam Pasal 372 dan/atau Pasal 378 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan oleh oknum SPN
Purwokerto. Kedua oknum POLRI tersebut adalah AKP. Budi Utami dan
Brigadir TS.
Proses penyelesaian hukum atas pelanggaran disiplin tersebut terhadap
kedua oknum tersebut berbeda. AKP BU dihukum kurungan (penjara) selama
4 bulan atas putusan dalam Peradilan Umum dan juga dijatuhi hukuman
disiplin, sedangkan pada Brigadir TS hanya dijatuhi hukuman disiplin saja
tanpa dihukum dalam Peradilan Umum. Perbedaan penerapan hukuman
tersebut menimbulkan suatu persoalan hukum yang perlu dianalisis lebih
lanjut mengenai logika yuridis dari perbedaan tersebut.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis
tertarik untuk menyusun penulisan hukum dengan judul ” PENJATUHAN
HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI NEGARA
PURWOKERTO (Kajian Terhadap Penerapan PERATURAN
6
PEMERINTAH Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat rumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan hukuman disiplin terhadap anggota POLRI yang
melakukan tindak Pidana di Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto?
2. Bagaimanakah upaya POLRI dalam menciptakan disiplin anggota melalui
penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran disiplin di Sekolah Polisi
Negara Purwokerto ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
penelitiannya yaitu :
1. Ingin mengetahui dan menganalisis penerapan hukuman disiplin terhadap
anggota POLRI yang melakukan tindak Pidana di Sekolah Polisi Negara
(SPN) Purwokerto.
2. Ingin mengetahui dan menganalisis upaya POLRI dalam menciptakan
disiplin anggota melalui penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran
disiplin di Sekolah Polisi Negara Purwokerto.
7
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan agar hasil penelitian nantinya dapat memberikan
sumbangan pengetahuan di dalam penegakan hukum, terutama dalam
Hukum Administrasi Negara di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan
hukuman disiplin POLRI.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi
pembaca atuapun instansi yang terkait dalam hubungannya dengan
penerapan hukuman disiplin bagi anggota POLRI yang melakukan
pelanggaran.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Administrasi Negara
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara (HAN)
Hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum
publik, yakni hukum yang mengatur tentang tindakan pemerintah dan
mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau
hubungan antar-organ pemerintahan. Hukum administrasi negara
memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana
organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Dengan demikian hukum
administrasi negara berisi aturan main yang berkenaan dengan fungsi
organ-organ pemerintahan. Sjachran Basah, dalam hal ini berpendapat
bahwa Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang
memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang
sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi
negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.6
Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai rangkaian-
rangkaian aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat–alat
perlengkapan Negara menjalankan tugasnya.7Alat-alat administrasi
Negara dalam melaksanakan tugasnya, dengan sendirinya menimbulkan
6 Sjachran Basah. 1992.Perlindungan Hukum Terhadap Tindak Administrasi Negara.
Bandung: Alumni. Hal. 4. 7 Hartono Hadisoeprapto. 1993. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta:Liberty.
Hal.61.
9
hubungan-hubungan yang disebut hubungan hukum. Hubungan-
hubungan ini dapat dibedakan dalam dua jenis.8Hubungan-hubungan
tersebut antara lain :
a. Hubungan hukum antara alat administrasi negara yang satu dengan
alat administrasi negara yang lain;
b. Hubungan hukum antara alat administrasi negara dengan
perseorangan (individual), yakni para warga negara, atau dengan
badan-badan hukum swasta.
Dalam suatu negara hukum, hubungan–hubungan hukum
tersebut disalurkan dalam kaidah-kaidah tertentu, dan kaidah-kaidah
hukum inilah yang merupakan materi dari Hukum Administrasi Negara.9
Kaidah-kaidah hukum tersebut terdiri dari :
a. Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-
alat administrasi negara mengadakan kontak satu sama lain.
b. Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat
administrasi negara (pemerintah) dengan para warga negaranya.
Dalam ilmu Hukum Administrasi Negara yang penting adalah
perbuatan hukum alat administrasi negara dalam hubungannya dengan
warga negara, dimana hubungan ini akan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi negara.10
Hukum administrasi negara merupakan instrumen yuridis yang
digunakan oleh pemerintah yang secara aktif terlibat dalam kehidupan
8Ibid. Hal. 62.
9Loc. cit.
10Loc. cit.
10
kemasyarakatan, dan di sisi lain Hukum administrasi negara merupakan
hukum yang dapat digunakan oleh anggota masyarakat untuk
memperoleh perlindungan dari pemerintah. Diana Halim Koentjoro,
memberikan pendapatnya mengenai pengertian Hukum Administrasi
Negara sebagai berikut:
Hukum administrasi negara adalah sekumpulan peraturan yang
mengatur hubungan antara administrasi negara dengan warga
masyarakat, di mana administrasi negara diberi wewenang untuk
melakukan tindakan hukumnya sebagai implementasi dari policy suatu
pemerintahan.11
Philipus M. Hadjon, mengutip pendapat Belifante, memberikan
batasan pengertian mengenai hukum administrasi negara sebagai
berikut:
Istilah hukum administrasi negara dalam bukunya Pengantar Hukum
Administratif Negara, Administratief Recht berisi peraturan yang
berhubungan dengan administrasi. Administrasi dapat dipersamakan
artinya dengan “Bestuur”, dengan demikian “Administratief Recht”
disebut juga “Bestuur Recht”. Dalam fungsi penyelenggaraan
pemerintahan, Besturen mengandung pengertian fungsional dan
institusional/struktural. Fungsional “Bestuur” berarti fungsi
pemerintahan, sedangkan institusional/struktural “Bestuur” berarti
keseluruhan organ pemerintah. Bestuur dapat diartikan sebagai fungsi
pemerintahan, yaitu fungsi penguasa di luar lingkungan “regelgeving”
(pembentukan peraturan) dan “rechtspraak” (peradilan)12
Dalam suatu Negara hukum diperlukan asas perlindungan,
artinya dalam UUD ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi
11
Diana Halim Koentjoro. 2004. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Hal.4. 12
Philipus M. Hadjon, dkk. 1994. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.
11
manusia.13
Menurut Van Apeldorn, Hukum Administrasi Negara pada
pokoknya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Hukum Administrasi Formal (Formele Administratiefrecht atau
Formele Bestuurrecht), yaitu serangkaian atau sekumpulan
peraturan hukum yang mengatur perihal tata cara pelaksanaan atau
penerapan Hukum Administrasi Materiil.
2. Hukum Administrasi Materiil (Materiele Administratiefrecht atau
Matiriele Bestuurrecht) yaitu sekumpulan peraturan hukum yang
harus diindahkan oleh para pejabat/petugas negara bila mereka
melaksanakan tugas kenegaraan atau tugas pemerintahan atau tugas
mereka dalam menjalankan pemerintahan.14
Pengertian hukum administrasi negara yang luas, terdiri atas tiga
unsur yaitu:
a. Hukum Tata Pemerintahan, yaitu hukum eksekutif atau Hukum
Tata Pelaksanaan Undang-Undang; dengan perkataan lain hukum
mengenai aktivitas-aktivitas kekuasaan eksekutif (kekuasaan
untuk melaksanakan Undang-undang);
b. Hukum Administrasi Negara dalam arti sempit, yaitu hukum tata
pengurusan rumah tangga negara (segala tugas-tugas yang
ditetapkan undang-undang sebagai urusan negara);
13
Diana Halim Koentjoro. Op, Cit.Hal. 35-36. 14
Halim A.Ridwan. 1988. Hukum Administrasi Negara Dalam Tanya Jawab. Jakarta:
Ghalia. Hal.13-14. dikutip dari Tedi Sudrajat. 2005. Relevansi dan Efektivitas Sumpah/Janji
Pengangkatan Terhadap Pegawai Negeri Sipil di Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyumas. Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.Hal.30.
12
c. Hukum Tata Usaha Negara, yaitu hukum mengenai surat-
menyurat, rahasia dinas dan jabatan, kearsipan dan dokumentasi,
pelaporan dan dan statistik, tata cara penyimpanan berita acara,
pencatatan sipil, pencatatan nikah, talak dan rujuk, publikasi,
penerbitan-penerbitan negara.15
Hukum administrasi negara mengandung dua aspek, yaitu aturan
hukum yang mengatur alat perlengkapan negara menjalankan fungsinya
dan aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan
pemerintah dengan warga negara, hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Soehino sebagai berikut:
Dalam hukum administrasi negara terkandung dua aspek, yaitu
pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana
alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-
aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking)
antara alat perlengkapan negara atau pemerintah dengan para warga
negaranya.16
Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan yang
memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara,
termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan
hukum dalam hukum administrasi negara, di samping dibuat oleh
lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara
mandiri oleh administrasi negara. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Ridwan H.R. sebagai berikut:
Hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan
yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau
15
SF Marbun dan Moh. Mahfud MD. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Liberty. Hal.11. 16
Soehino 1984. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta: Liberty. Hal.2.
13
administrasi negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh
lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintahan dalam
hubungannya dengan warga negara, dan sebagian peraturan-peraturan
itu dibentuk pula oleh administrasi negara. Pembentukan peraturan-
peraturan oleh administrasi negara atau pemerintah merupakan sesuatu
yang tak dapat dihindari dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dalam suatu negara hukum yang modern.17
Dapat disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah
Hukum mengenai pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugas-
tugasnya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara.
Hukum Administrasi Negara (HAN) mengatur tentang
penegakan hukum. Penegakan hukum hakikatnya adalah mewujudkan
nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran.
Penegakan hukum dalam HAN terdiri dari pengawasan dan penerapan
sanksi. Menurut Soerjono Soekanto, ada 5 faktor yang memengaruhi
penegakan hukum, yaitu :18
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2. Asas-Asas Hukum Administrasi Negara (HAN)
Asas dalam istilah asingnya adalah beginsel, asal kata dari begin,
artinya permulaan atau awal. Asas adalah sesuatu yang mengawali atau
yang menjadi permulaan ”sesuatu” dan yang dimaksud dengan sesuatu
disini adalah “kaidah”, sedangkan kaidah/Norma adalah ketentuan-
17
Ridwan HR. 2007. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hal.35-36. 18
Ibid., hlm. 293.
14
ketentuan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam
pergaulan hidupnya dengan manusia lainnya. Jadi asas itu sendiri adalah
dasar dari suatu kaidah19
.
Norma menurut Hans Kelsen diartikan sebagai imperatief
voorsscrift, yaitu peraturan hukum yang harus diturut dan yang
dilindungi oleh sanksi,E.Utrecht menyebut Norma itu sebagai kaidah,
petunjuk hidup yang harus ditaati oleh anggota-anggota masyarakat
yang diberi sanksi atas pelanggarannya. Adapun sanksi artinya ancaman
hukuman atau hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang atau
lebih yang telah melakukan pelanggaran atas suatu Norma. Jadi asas itu
menjadi dasar dari Norma, dansanksi berfungsi melindungi Norma,
karena memberikan ancaman hukuman terhadap si pelanggar Norma.20
Demikian banyak kaidah-kaidah hukum, baik hukum perdata,
hukum pidana, hukum tata negara maupun hukum administrasi negara.
Pembentukannya didasarkan kepada suatu asas dan asas yang menjadi
dasar suatu kaidah disebut “asas hukum”, maka dalam lapangan hukum
administrasi negara dikenal juga asas-asas hukum administrasi yaitu,
sebagai berikut
a). Asas Legalitas (Legaliteitsbeginsel)
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan
kenegaraan di setiap Negara hukum terutama bagi Negara-negara
19
Soehino. Op, Cit.Hal.9. 20
Bachsan Mustafa. 1985. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remadja Karya. Hal.97–
98.
15
hukum dalam sistem continental. Asas legalitas memiliki makna, “Dat
het bestuur aan de wet is onderworpen21
(bahwa pemerintah tunduk
kepada undang-undang) atau “Het legeliteitsbeginsel houdt in dat alle
(algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten
berusten”22
(asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang
mengikat warga Negara harus didasarkan pada undang-undang).
Dengan kata lain, pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b). Asas Detournement de Pouvoir
Menurut Ridwan HR, Wewenang merupakan pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan
sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik. berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa
wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan,
artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
perundang-undangan.
c). Asas Exes De Pouvoir
Asas ini berarti bahwa apabila sudah diadakan pembagian
tugas diantara para pejabat administrasi negara, hendaknya para
pejabat melakukan tugas-tugasnya dalam batas-batas tugas yang telah
21
Ridwan HR. Op, Cit. Hal.65. 22
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud Md. Op, Cit. Hal.9.
16
diberikan oleh Undang-Undang agar tidak terjadi kesimpangsiuran
dalam melaksanakan tugasnya.
d). Asas Persamaan Hak
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Artinya, pemerintah tidak diperkenankan membedakan warga negara
yang satu dengan warga negara lainnya dalam memberikan pelayanan
atau melaksanakan tugas pemerintahan.
e). Asas Upaya Pemaksa
Asas upaya pemaksa atau disebut juga asas bersanksi
dimaksudkan untuk memberikan jaminan penaatan hukum
administrasi negara, sanksi administrasi, baik yang tercantum dalam
peraturan hukum administrasi maupun yang ada di luar peraturan
hukum administrasi, misalnya dalam KUHP.
f). Asas Freies Ermessen
Amrah Muslimin mengartikan freies Emerssen sebagai
”lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya” atau ”kebebasan
kebijaksanaan”.23
Menurut Sjachran Basah freies ermessen adalah
kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan
persoalan-persoalan penting dan mendesak yang muncul secara tiba-
23
Amrah Muslimin. 1985. Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi
dan Hukum Administrasi. Bandung : Alumni. Hal.73.
17
tiba dimana hukum (peraturan perundang-undangan) tidak
mengaturnya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan
moral.24
3. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Kekuasaan pemerintahan yang menjadi objek kajian Hukum
Administrasi Negara sangat luas, oleh karena itu tidak mudah
menentukan ruang lingkup hukum administrasi negara. Kesukaran
menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
Pertama, hukum administrasi negara berkaitan dengan tindakan
pemerintahan yang tidak semuanya dapat ditentukan secara
tertulis dalam peraturan perundang-undangan, seiring dengan
perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan
pemerintah dan masing-masing masyarakat di suatu daerah atau
negara berbeda tuntutan dan kebutuhan. Kedua, pembuatan
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan instrumen yuridis
bidang administrasi negara lainnya tidak hanya terletak pada satu
tangan atau lembaga. Ketiga, hukum administrasi negara
berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas
pemerintahan dan kemasyarakatan, yang menyebabkan
pertumbuhan bidang hukum administrasi negara tertentu berjalan
secara sektoral.25
Secara garis besar Hukum Administrasi Negara meliputi
bidang pengaturan sebagai berikut:
a. peraturan mengenai penegakan ketertiban dan keamanan,
kesehatan, dan kesopanan, dengan menggunakan aturan tingkah
laku bagi warga negara yang ditegakkan dan ditentukan lebih lanjut
oleh pemerintah;
b. peraturan yang ditujukan untuk memberikan jaminan sosial bagi
rakyat;
c. peraturan mengenai tata ruang yang ditetapkan pemerintah;
24
Sjachran Basah. Op, Cit. Hal.151. 25
Ibid.Hal.38.
18
d. peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemeliharaan dari
pemerintah termasuk bantuan terhadap aktivitas swasta dalam
rangka pelayanan umum;
e. peraturan yang berkaitan dengan pemungutan pajak
f. peraturan mengenai perlindungan hak dan kepentingan warga
negara terhadap pemerintah;
g. peraturan yang berkenaan dengan penegakan hukum administrasi;
h. peraturan mengenai pengawasan organ pemerintahan yang lebih
tinggi terhadap organ yang lebih rendah;
i. peraturan mengenai kedudukan hukum pegawai pemerintahan.26
Berdasarkan bidang pengaturan tersebut di atas, tampak bahwa
hukum administrasi negara itu sangat luas sehingga tidak dapat
ditentukan secara tegas ruang lingkupnya. Di samping itu, khusus bagi
negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat pula hukum
administrasi daerah, yaitu peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
administrasi daerah atau pemerintahan daerah. Namun demikian,
sekadar untuk memberikan gambaran, dapat disebutkan bahwa hukum
administrasi negara mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. sarana-sarana (instrumen) bagi penguasa untuk mengatur,
menyeimbangkan, dan mengendalikan berbagai kepentingan
masyarakat;
b. mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses
penyusunan dan pengendalian tersebut, termasuk proses
penentuankebijaksanaan;
c. perlindungan hukum bagi warga masyarakat;
d. menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik.27
Berdasarkan uraian di atas, dapat disebutkan bahwa hukum
administrasi negara adalah hukum yang berkenaan dengan
pemerintahan dalam arti sempit, yaitu hukum yang cakupannya secara
garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut:
26
Ibid. Hal.43. 27
Ibid. Hal.43-44.
19
a. perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik;
b. kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang
publik tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan
cara apa, dan bagaimana pemerintah menggunakan
kewenangannya; penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam
bentuk instrumen hukum sehingga diatur pula tentang pembuatan
dan penggunaan instrumen hukum;
c. akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan
kewenangan pemerintahan itu;
d. penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidangn
pemerintahan.28
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia
AAUPB di Indonesia berbeda dengan negeri Belanda, dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN) disebutkan asas umum penyelenggara negara,
yaitu Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara,
Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas,
Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas. Pada awalnya asas-asas
ini ditujukan untuk para penyelenggara secara keseluruhan, namun
seiring berjalannya waktu asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam
penyelenggaraan pemerintah dan dalam proses peradilan peradilan di
PTUN, yakni setelah adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
28
Ibid. Hal. 44.
20
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN.29
Berkenaan dengan keputusan (beschikking), AAUPB terbagi
dalam dua bagian yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan
yang bersifat material atau substansial. Asas yang bersifat formal
berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap
pembuatan keputusan seperti asas kecermatan yang menuntut
pemerintah untuk mengambil keputusan dengan persiapan yang
cermat dan asas permainan yang layak. Sehingga dirumuskan macam-
macam AAUPB sebagai berikut:
a). Asas kepastian hukum (principle of legal security);
Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih
bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum
material terkait erat dengan asas kepercayaan. Sedangkan aspek yang
bersifat formal terkait pada keputusan-keputusan yang
menguntungkan, dan harus disusun dengan kata-kata yang jelas.30
Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam Hukum Administrasi Negara,
yaitu asas het vermoeden van rechtmstigheid atau presumtio justea
causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha
negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama
29
Loc. Cit. 30
Ridwan H.R., Op. Cit., Hlm. 245.
21
belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang
bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.31
b). Asas keseimbangan (principle of proportionality);
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman
jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai juga persamaan
perlakuan sejalan dengan kepastian hukum. Sehingga terhadap
pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda
dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.32
c).Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of
equality);
Asas ini menghendaki agar badan pemerintah mengambil
tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus
yang faktanya sama.33
Meskipun tidak ada kasus yang mutlak sama
dengan kasus lain kendatipun tampak serupa, maka ketika pemerintah
menghadapi berbagai kasus yang tampaknya sama itu, ia harus
bertindak cermat untuk mempertimbangkan titik-titik persamaan.34
Asas ini memperoleh landasan yuridis yang kuat dalam Pasal 27 UUD
1945, jo Tap. MPR Nomor II/MPR/1978 pada lampiran “Naskah
31
Ibid., Hlm. 246. 32
Loc. Cit. 33
Ibid., Hlm. 247. 34
Ibid., Hlm. 248.
22
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, khususnya dalam
“Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.35
d). Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan. Asas ini
menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan berbagai
aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi warga negara.36
Timbulnya kerugian
dapat terjadi sebagai akibat perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah
atau dapat juga timbul karena akibat tidak melakukan suatu perbuatan
yang seharusnya dilaksanakannya.37
Sebelum mengambil keputusan, asas kecermatan mensyaratkan
kepada badan pemerintahan agar meneliti semua fakta yang relevan
dan semua kepentingan yang relevan dalam perimbangan.bila fakta-
fakta penting tidak diteliti, itu berarti tidak cermat. Selain itu tidak
boleh dengan mudah menyimpangi nasihat yang diberikan apalagi
panitia penasihat itu duduk ahli-ahli bidang tertentu. Penyimpangan
dapat dilakukan dengan memberi alasan dan kecermatan yang tinggi.38
35
S.F. Marbun, dkk.,Op. Cit., hlm. 217. 36
Ridwan H.R., Op. Cit., Hlm. 248. 37
S.F. Marbun, Op. Cit.,, Hlm. 214. 38
Ridwan H.R., Op. Cit., Hlm. 249.
23
e). Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);
Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan
pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup
sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin
alasan atau motivasi itu tercantum dalam keputusan,39
terutama bagi
mereka yang terkena dan tidak puas terhadap keputusan itu, dapat
mempergunakannya sebagai pangkal pembahasan dalam mengajukan
banding terhadap keputusan tersebut.40
f). Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of
Nomorn misuse of competence);
Asas tidak mempercampuradukkan ini menghendaki agar
pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku
atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. Dimana terdapat
dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang dalam Pasal 53 ayat
(2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu
penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan sewenang-
wenang (willekeur).41
Asas ini juga dapat dipergunakansebagai alasan
untuk mengajukan banding terhadap putusan PTUN.42
39
Ibid., Hlm. 250. 40
S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 217. 41
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 252. 42
S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 218.
24
g). Asas permainan yang layak (principle of fair play);
Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan
yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi
kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-
argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini
juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses
penyelesaian sengketa tata usaha negara.43
Asas ini dimaksudkan
sekaligus untuk memberikan respons atas perlakuan dan penjelasan
yang tidak menyenangkan yang diberikan oleh Badan Tata Usaha
Negara. Kerena itu, adanya suatu instansi banding merupakan syarat
mutlak bagi terealisirnya asas ini.44
h). Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or
prohibition of arbitrariness);
Asas ini menghendaki agar setiap badan atau pejabat
administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan
kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proposional,
sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas
kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau
administrasi negara memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah
43
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 255. 44
S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 222.
25
masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat,
maupun nilai-nilai lainnya.45
i). Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar
(principle of meeting raised expectation);
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga
negara. Oleh karena itu, aparat pemerintahan harus memperhatikan
asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada
warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun menguntungkan
bagi pemerintah.46
j). Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle
of undoing the concequences of annulled decision);
Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari
pekerjaannya dengan suatu surat keputusan (beschikking). Seorang
pegawai yang dipecat karena diduga melakukan kejahatan, tetapi
setelah dilakukan proses pemeriksaan di pengadilan ternyata tidak
bersalah. Hal ini berarti surat pemberhentian yang ditunjukan kepada
pegawai yang bersangkutan itu harus dianggap batal. Sehingga
pegawai yang tidak bersalah itu harus ditempatkan kembali pada
tempat pekerjaan semula dan harus diberi ganti rugi dan/atau
45
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 258. 46
Ibid.,hlm. 259.
26
kompensasi serta direhabilitasikan nama baiknya untuk meniadakan
akibat keputusan yang batal atau tidak sah. Ketentuan asas ini terdapat
dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.47
k). Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi
(principle of protecting the personal may of life);
Asas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas
perlindungan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak
kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara
hukum demokratis yang menjujung tinggi dalam melindungi hak asasi
setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan
pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yaitu
perlindungan hak asasi. Bagi Indonesia penerapan asas ini harus pula
dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan Norma-Norma
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, atau sebagaimana disebutkan
Kuntjoro PurbopraNomorto, asas tersebut harus disesuaikan dengan
pokok-pokok Pancasila dan UUD 1945.48
l). Asas kebijaksanaan (sapientia);
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk
47
Ibid.,hlm. 260. 48
Ibid.,hlm. 261.
27
menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan
perundang-undangan formal. Karena peraturan perundang-undangan
dengan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaan
yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua
persoalaan serta cepat ketinggalan zaman, sementara perkembangan
masyarakat itu bergerak dengan cepat dan dinamis.49
m). Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service)
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan
tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum yakni kepentingan
yang mencangkup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini
merupakan konsekuensi dianutnya konsepsi negara negara hukum
modern (welfare state), yang menempatkan pemerintah selaku pihak
yang bertanggung jawab untuk mewujudkan bestuurszorg
(kesejahteraan umum) warga negaranya.50
Ketentuan mengenai hal ini
dapat ditemukan secara yuridis pada alinea keempat Pembukaan UUD
1945 dan Pasal 33, 34 Batang Tubuh UUD 1945.51
5. Hukum Kepegawaian
Hukum kepegawaian merupakan hukum tertulis yang
memberikan pembatasan dan penjabaran mengenai aktivitas
kepegawaian. Objek hukum kepegawaian adalah hukum kepegawaian
49
Ibid.,hlm. 262. 50
Ibid.,hlm. 263. 51
S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 221.
28
yang dipelajari dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu hukum yang
berlaku bagi pegawai negeri yang bekerja pada administrasi negara
dan berkedudukan sebagai pegawai negeri. Dengan demikian,
kepegawaian adalah segala hal-hal mengenai kedudukan, kewajiban,
hak dan pembinaan Pegawai Negeri. Materi Hukum kepegawaian
yang dikenal dalam studi HAN adalah mengenai subjek hukum yang
mempunyai hubungan dinas publik, sedangkan pegawai-pegawai pada
perusahaan swasta yang tidak mempunyai hubungan dinas publik
menjadi lapangan studi sendiri, seperti Hukum Perburuhan atau
Hukum Perjanjian Kerja seperti yang diatur di dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.52
Menurut Logemann, hubungan dinas publik
bilamana seseorang tunduk pada perintah dari pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan yang dalam
melakukan suatu atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan
pemberian gaji dan beberapa keuntungan lain. Jadi inti dari hubungan
dinas publik itu adalah adanya kewajiban bagi pegawai yang
bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa syarat)
pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan oleh
pemerintah.
Ciri khas yang melekat pada lembaga pegawai negeri adalah
hubungan dinas publik, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud M.D dalam hal
ini menjelaskan sebagai berikut:
52
Moh.Mahfud M.D. 1988. Hukum Kepegawaian Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Hal.1.
29
Yang dimaksud hubungan dinas publik menurut Logemann adalah
bilamana seorang pegawai negeri telah mengikatkan dirinya untuk
tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau
beberapa macam jabatan yang dalam melakukan suatu jabatan atau
beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan
beberapa keuntungan lain. Berarti inti dari hubungan dinas publik
adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada
pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat
bahwa pegawai yang besangkutan tidak meNomorlak (menerima
tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah
ditentukan oleh pemerintah, sebaliknya pemerintah tidak berhak
mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus
adanya penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan.53
Dilihat dari hubungan antara tata hukum administrasi dan
hukum kepegawaian di atas dapat dilihat betapa pentingnya
kedudukan pegawai negeri yang sangat menentukan lancar tidaknya
suatu penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah
dalam menjalankan tugasnya diatur oleh suatu Norma hukum yaitu
hukum adminstrasi negara. Hukum adminsitrasi negara mengatur
aparaturnya, termasuk di dalamnya adalah pegawai-pegawainya.
Pengaturan ini bermaksud agar dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan dengan hak, kewajiban dan wewenangnya
masing-masing.
Hukum Administrasi Negara merupakan hukum publik, yang
mempelajari fungsi pemerintahan. Fungsi pemerintahan dirumuskan
segala macam kegiatan penguasa yang tidak termasuk kegiatan
perundang-undangan atau peradilan. Kegiatan penguasa merupakan
kegiatan pemerintahan, dimana kegiatan ini sebagian besar
53
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud M.D. Op, Cit. Hal. 98-99.
30
dilaksanakan oleh eksekutif. Obyek hukum administrasi negara adalah
kekuasaan pemerintah, jadi dalam hal ini yang dipelajari adalah
pemerintah. Penyelenggaraan pemerintah sebagian besar
dilaksanankan oleh pegawai negeri. Sedangkan obyek hukum
kepegawaian yang dipelajari adalah yang dipelajari dalam hukum
administrasi negara, yaitu hukum yang berlaku bagi pegawai negeri
yang bekerja pada administrasi negara sebagai pegawai negeri.
Pada Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Kepegawaian ditegaskan bahwa:
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang
bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas
negara, pemerintahan, dan pembangunan.
Pengertian ini berkaitan dengan masalah hubungan pegawai
negeri dengan pemerintah atau mengenai kedudukan pegawai negeri.
Pengertian pegawai negeri yang terdapat dalam Pasal 1 huruf a UU
Nomor 8 Tahun 1974 serta Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU
Nomor 43 Tahun 1999 inilah yang disebut dengan pengertian yang
bersifat stipulatif. Muchsan, dengan mengutip pendapat Kranenburg
Vegting dan Logemann, menyatakan sebagai berikut:
Untuk membedakan pegawai negeri dan pegawai lainnya dilihat
dari sistem pengangkatannya untuk menjabat dalam suatu dinas
publik. Pegawai negeri adalah pejabat yang ditunjuk, jadi tidak
termasuk mereka yang memangku suatu jabatan mewakili seperti
seorang anggota parlemen, seorang menteri, seorang presiden dan
sebagainya. Sedangkan Logemann menggunakan kriteria yang
bersifat materiil yakni hubungan antara negara dengan pegawai
negeri tersebut. Dikatakan selanjutnya bahwa pegawai negeri
31
adalah tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan
negara.54
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Aparatur Sipil Negara,yang merupakan perubahan atas UU Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pada Pasal 6
membagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai berikut:
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS);
b. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat
sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian
untuk menduduki jabatan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud
dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya
disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat
tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka
waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
Dalam Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004,
menyebutkan tentang jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dapat
diisi dari:
a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan
b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
54
Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta: Bina Aksara. Hal.13.
32
B. KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002, yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Pasal 1 angkah 1 tersebut
diatas mengandung dua pengertian, yaitu fungsi polisi dan lembaga
polisi.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai
negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi adalah aparat
penegak hukum dan penjaga kamtibmas (keamanan dan ketertiban
masyarakat) yang setiap saat harus berhubungan dengan masyarakat
luas.55
Pengertian kepolisian sebagai lembaga adalah organ pemerintah
yang ditetapkan sebagai suatu lembaga yang diberikan kewenangan
menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Jadi,apabila kita membicarakan persoalan kepolisian berarti berbicara
tentang fungsi dan lembaga kepolisian.
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia. Pasal 4 KUHAP ini secara umum telah menentukan, bahwa
setiap pejabat negara Republik Indonesia itu adalah penyelidik. Berarti
semua pegawai kepolisian negara tanpa kecuali telah dilibatkan di dalam
55
Anton Tabah, Polisi Budaya dan Politik, Klaten: CV Sahabat, 1996, hlm.2.
33
tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakekatnya merupakan salah
bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
yang ada hubungannya yang erat dengan tugas-tugas yang lain, yakni
sebagai satu keseluruhan upaya para penegak hukum untuk membuat
sesorang pelaku dari suatu tindak pidana itu harus
mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum pidana di depan
hakim. Semua hal ini mempunyai hubungan yang erat dengan putusan
kehendak dari pembentuk undang-undang untuk memberikan
pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dan
untuk adanya ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik
Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.56
Polisi sebagai aparat Pemerintah, maka organisasinya berada
dalam lingkup pemerintahan. Organisasi Polisi adalah bagian dari
organisasi Pemerintahan. Maka keberadaannya, tumbuh dan
berkembangnya, bentuk dan strukturnya ditentukan oleh visi pemerintah
yang bersangkutan terhadap pelaksanaan tugas Polisinya.57
56
Drs. P. A. F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. PEMBAHASAN KUHAP
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. SINAR GRAFIKA Jakarta
2010.Hal 48. 57
Kunarto, Perilaku Organisasi POLRI, Jakarta: PT CIPTA MANUNGGAL, 1997, hlm.
99.
34
2. Fungsi dan Peranan POLRI
Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang
berbunyi : “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.”
Rumusan tersebut disetujui oleh Pansus pada tanggal 10
September 2001 dengan pembahasan lebih lanjut diserahkan kepada
panitia kerja, dengan catatan diberi penjelasan Pasal bahwa “Fungsi
Kepolisian” harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi
manusia, hukum dan keadilan. Rumusan fungsi kepolisian dalam pasal 2
tersebut merupakan aktualisasi dari UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) dan
Pasal 6 (1) TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang mengatur tentangan
Kpolisian Negara Republik Indonesia yang di dalamnya memuat
substansi pemeliharaan keamanandan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
58Sedangkan peranan Kepolisian Republik Indonesia diatur didalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu merupakan alat
Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,
58
H.Pudi Rahardi M.H. Hukum Kepolisian.Profesionalisme dan Reformasi Polri,
Laksbang Mediatama, Surabaya.2007, hal. 55
35
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Sebagai bagian integral dari fungsi pemerintahan negara, fungsi
Kepolisian secara universal mencakup fungsi perlindungan, fungsi
pelayanan, dan penegakan hukum yaitu menjamin hidup dan milik.
Secara universal tataran fungsi Kepolisian mencakup tataran preventif
dan tataran represif. Tataran preventif menampakan diri dalam bentuk
tugas memelihara tertib dan ketertiban serta mencegah terjadinya
pelanggaran hukum, sedangkan tataran represif berupa penindakan
Kepolisian dan penegakan hukum (penyidikan tindak pidana sesuai
Hukum Acara Pidana).59
C. PENYELESAIAN PELANGGARAN ANGGOTA POLRI
1. Kode Etik Anggota POLRI
Etika merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan hidup manusia. Kemajuan peradaban dan budaya
manusia tidak terlepas dari yang namanya etika karena, tanpa etika
kehidupan tidak akan berjalan dengan teratur.Menurut H. Burhanudin
Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
Norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya.60
Nilai-nilai atau Norma-Norma itu terkandung didalam suatu
sistem yang dijadikan pedoman untuk bertingkah laku maupun dalam
59
Anton Tabah, Reformasi Kepolisian, Klaten: CV Sahabat, 1998, hlm.35. 60
.http://id.shvoong.com/social-sciences/2159592-pengertian-dan-
definisi-etika-menurut/#ixzz1t7BCc8fs.
36
menjalankan tugas yang berlaku bagi sekelompok orang yang terlibat
dalam kelompok profesi.Hakikatnya kode etik memuat aturan-aturan
atau Norma-Norma yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas
dan fungsi semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi.61
Secara etimologis istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno
ethos yang artinya kebiasaan atau watak. Jadi, dalam hal ini Etika
merupakan salah satu cabang filsafat yang dibatasi dengan dasar nilai
moral menyangkut pola perilaku atau kebiasaan yang diperbolehkan
atau tidak, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia yang
dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau suatu
organisasi tertentu.62
Dalam hal ini, etika berkaitan dengan adat istiadat
atau kebiasaan hidup seseorang ataupun masyarakat. Kebiasaan hidup
yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi.
Dalam kenyataan kehidupan sosial semua masyarakat mempunyai
aturan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata
kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan
menimbulkan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian maka
fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan
nilai-nilai moral tertentu.Secara teori menurut K. Bertens, pengertian
etika meliputi pengertian etika sebagai sistem nilai dan pengertian etika
sebagai filsafat moral.Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, etika
diartikan sebagai sistem nilai, filsafat moral, dan sebagai kode etik.
61
Ibid. 62
Desi Fernanda. Op, Cit. Hal. 2.
37
Pada hakekatnya kode etik diartikan sebagai nilai-nilai/Norma-
Norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Menurut Dr. A. Sonny
Keraf, kode etik adalah seperangkat aturan moral dalam sebuah
organisasi mengenai bagaimana semua anggota organisasi harus
bersikap dan berperilaku. Kode etik diartikan sebagai nilai-nilai, Norma-
Norma, atau kaedah-kaedah untuk mengatur perilaku moral dari suatu
profesi melalui ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dasar tertulis
yang harus ditaati oleh setiap anggota organisasi.
Maksud dan tujuan kode etik adalah untuk mengatur dan
member kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga
kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi
public yang memerlukan jasa-jasa baik professional. Kode etik jadinya
merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos
kerja anggota-anggota organisasi profesi.
Profesi adalah pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan fungsi
kemasyarakatan berupa karya pelayanan yang pelaksanaannya
dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian berkeilmuan
dalam bidang tertentu yang pengembangannya dihayati sebagai
panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus (etika
profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesame
demi kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap
martabat manusia ( respect for human dignity). Jadi, profesi itu
38
berintikan praktis ilmu secara bertanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah konkret yang dihadapi seorang warga masyarakat. Pengemban
profesi mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan salah satu nilai-
nilai kemanusiaan yang fundamental, seperti keilahian (imam), keadilan
(hukum), kesehatan (dokter), sosialisasi/pendidikan (guru), informasi
(jurnalis).
Menurut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Kode Etik
Profesi Polri adalah Norma-Norma atau aturan-aturan yang merupakan
kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun
ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut
dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang,
dan tanggung jawab jabatan.
2. Peraturan Disiplin POLRI
Disiplin adalah kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya
dengan kredibilitas dan komitmen. Disiplin anggota POLRI adalah
kehormatan yang menunjukan kredibilitas dan komitmen sebagai
anggota POLRI. Pembuatan peraturan disiplin bagi anggota POLRI
bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas dan
komitmen yang teguh. Kredibilitas dan komitmen anggota POLRI
adalah sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak
hukum dan pemelihara keamanan. Komitmen berbeda dengan loyalitas,
karena loyalitas cenderung mengaruh pada sifat mutlak dan berujung
39
pada kecenderungan pemimpin untuk menyalahgunakan loyalitas
tersebut (abuse of power). Pelaksanaan disiplin bagi anggota POLRI
berbeda dengan loyalitas, karena pelaksanaan peraturan didiplin
didasarkan pada kesadaran dari pada rasa takut, dan didasarkan pada
komitmen dari pada loyalitas.63
Peraturan disiplin bagi anggota POLRI di samping mengatur tata
kehidupan dalam pelaksanaan tugas juga mengatur tata kehidupan
anggota POLRI selaku pribadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Peraturan disiplin POLRI memuat pokok-pokok kewajiban, larangan,
dan sanksi apabila kewajiban seorang anggota polisi tidak laksanakan,
atau terjadi pelanggaran atas larangan.64
Untuk membina persatuan dan kesatuan serta meningkatkan
semangat kerja dan moril diadakan Peraturan Disiplin bagi anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin anggota yang di
dalamnya mengatur tentang kewajiban, larangan dan sanksi.
Sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin POLRI menyebutkan bahwa Kewajiban
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka kehidupan
bernegara dan bermasyarakat adalah :
a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945,
Negara dan Pemerintah
63
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI), Surabaya:
Laksbang Mediatama, 2007, hlm.124. 64
Ibid, hlm.125.
40
b. Mengutamakan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi
atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat
merugikan negara
c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
d. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan
sebaik baiknya
e. Hormat menghormati antar pemeluk agama
f. Menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia
g. Mentaati peraturan perundang undangan yang berlakun baik
berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara
umum
h. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan dan atau merugikan Negara / pemerintah
i. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat
j. Berpakaian rapi dan pantas
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin POLRI menyebutkan bahwa Dalam
pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
untuk :
a. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan
sebaik baiknya kepada masyarakat
b. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik baiknya
laporan atau pengaduan dari masyarakat
c. Mentaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
d. Melaksanakan tugas sebaik baiknya dengan penuh kesadaran dan
rasa tanggung jawab.
e. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan
dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia
f. Mentaati segala peraturan perundang undangan dan peraturan
kedinasan yang berlaku.
g. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana
terhadap bawahannya
h. Membimbing bawahannya dalam pelaksanaan tugas
i. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya
j. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi
kerja
k. Memberikan kesempatan kepada bewahannya untuk
mengembangkan karier
41
l. Mentaati perintah kedinasan yang syah dari atasan yang
berwenang
m. Mentaati jam kerja
n. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik
baiknya.
Sesuai pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin POLRI menyebutkan bahwa dalam rangka
memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dilarang :
a. Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia
b. Melakukan kegiatan Politik praktis
c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
d. Bekerjasama dengan orang lain didalam atau diluar lingkungan
kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi,
golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan kepentingan negara
e. Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk
mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor / instansi
Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi
f. Memiliki saham / modal dalam perusahaan yang kegiatan
usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya.
g. Bertindak sebagai pelindung ditempat perjudian, prostitusi, dan
tempat hiburan
h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang
punya utang
i. Menjadi perantara / makelar perkara
j. Menelantarkan keluarga
3. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota POLRI
Suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka
meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun
kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi, serta untuk
42
menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan,
peranan, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab institusi tersebut.
Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang
mempunyai aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan
tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik maupun kode
jabatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 telah diatur
tentang penyelesaian pelanggaran disiplin. Dalam Peraturan Pemerintah
ini diatur tentang tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan hukuman
disiplin serta tata cara pengajuan keberatan apabila anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin tersebut
merasa keberatan atas penjatuhan hukuman disiplin yang dijatuhkan
kepadanya.
Sesuai pasal 17 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan
pelanggaran disiplin akan dilakukan pemeriksaan oleh :
a. Atasan yang berhak menghukum ( Ankum )
b. Atasan langsung
c. Atasan tidak langsung
d. Unit Provoos POLRI atau
e. Oleh pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Ankum,
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan
mendidik anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
melakukan pelanggaran disiplin agar berubaha menjadi baik. Oleh sebab
itu setiap atasan yang berhak menghukum (Ankum) wajib memeriksa
43
lebih dahulu dengan seksama anggota POLRI yang melakukan
pelanggaran disiplin sebelum dijatuhkan hukuman. Hukuman didiplin
yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang
dilakukan sehingga dapat diterima rasa keadilan.65
Yang dimaksud dengan pelanggaran Disiplin adalah ucapan,
tulisan atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang melanggar peraturan disiplin, sesuai dengan Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang
Peraturan Disiplin POLRI.
Apabila pelaku pelanggaran dijatuhi tindakan disiplin, maka
penjatuhan tindakan disiplin tersebut dilaksanakan seketika dan
langsung pada saat diketahuinya pelanggaran, namun apabila pelaku
pelanggaran dijatuhi hukum disiplin maka penjatuhan hukuman disiplin
diputuskan dalam sidang disiplin dengan terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan terhadap pelaku pelanggaran disiplin. Hal tersebut diatur
dalam ketentuan pasal 17 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
Sesuai Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
Penyelesaian perkara pelanggaran disiplin dilaksanakan melalui tahapan
sebagai berikut :
a. Laporan / pengaduan
b. Pemeriksaan pendahuluan
c. Pemeriksaan didepan sidang disiplin
d. Penjatuhan Hukuman disiplin
65
Loc.cit.
44
e. Pelaksanaan hukuman
f. Pencatatan dalam data personel perorangan.
Apabila ternyata pelanggaran disiplin tersebut juga merupakan
tindak pidana maka penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan
tuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan. Sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Peraturan Disiplin Polri.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode merupakan cara kerja yang bersistem yang dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan.66
Metode pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif atau legal aPeraturan
Pemerintahroach, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau Norma-Norma dalam hukum positif.67
Konsep
ini memandang hukum identik dengan Norma-Norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.Konsepsi ini
memandang hukum sebagai suatu sistem Normatif yang bersifat mandiri,
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.68
Objek yang ada
kemudian diteliti dengan pendekatan yang terdiri dari :
1. Pendekatan Undang-Undang (Statute APeraturan Pemerintahroach).
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut-
paut dengan permasalahan yang diteliti.69
Pendekatan Perundang-
66
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus BesarBahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai
Pustaka. Hal.652. 67
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia. Hal. 295. 68
Ronny Hanitijo Soemitro.1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hal. 13-14. 69
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana. Hal.
70.
46
undangan digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur
mengenai Disiplin Polri dan Kode Etik Polri sebagaimana telah ditetapkan
dalam undang-undang. Dalam penelitian ini, peneliti menelaah peraturan
yang berkaitan dengan konsep pengaturan mengenai kualifikasi dan
mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran Disiplin yang
dilakukan oleh Polri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, dimana aturan yang
diteliti merupakan sistem yang tertutup, artinya terpisah dari aspek-aspek
yang lain, seperti sosial, budaya dan sebagainya.Tentunya peneliti juga
tidak meninggalkan sifat dari pendekatan Undang-undang ini yaitu :
a. Comprehensive artinya Norma-Norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
b. All-inclusivebahwa kumpulan Norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
c. Systematicbahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
Norma-Norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.70
2. PendekatanAnalisis (analytical aPeraturan Pemerintahroach)
Pendekatan analisis adalah pendekatan dengan menganalisa bahan
hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang
digunakan dalam peraturan perundang-undangan.71
Pendekatan Analisis
(Analytical APeraturan Pemerintahroach) dimaksudkan untuk mengetahui
makna yang dikandung oleh istilah-istilah hukum yang berkaitan dengan
kualifikasi dan mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran
kode etik/disiplin yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan
70
Johny Ibrahim.Op.cit. Hal.302-303. 71
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. Hal.54.
47
secara konsepsional dan penerapannya dalam praktik serta putusan-
putusan hukum.Tujuan dari penggunaan pendekatan perundang-undangan
ini agar penelitian ini menghasilkan simpulan mengenai kualifikasi dan
mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran Kode Etik yang
dilakukan Polri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Polri.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan
spesifikasi penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan
standar, prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam
melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya ada berhadapan
dengan apa yang seharusnya dan diakhiri dengan memberikan rumusan-
rumusan tertentu.72
Dalam spesifikasi penelitian preskriptif ada dua macam
spesifikasi penelitian yaitu inventarisasi peraturan perundang-undangan dan
sinkronisasi penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Penelitian ini
akan menginventarisir peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kualifikasi pelanggaran disiplin POLRI dan juga untuk menemukan
apakah hukuman yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna
menyelesaikan suatu perkara tertentu, yang dalam hal ini adalah mekanisme
penjatuhan hukuman kepada POLRI yang melanggar disiplin POLRI dan
dimanakah bunyi peraturan hukum itu dapat diketemukan termasuk kedalam
penelitian hukum (legal research).
72
Ibid., hlm.22-23.
48
C. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian Normatif Data sekunder merupakan data pokok atau
utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku
literature maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan objek
penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder (bahan-bahan
pustaka) terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.73
Dalam hal ini data sekunder dibagi menjadi tiga bagian, yakni
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri
dariperaturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU) atau Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda).74
Adapun bahan hukum
yang dikaji dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
d. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pokok – Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890).
73
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Op.cit.Hal.14. 74
Soerdjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal.296.
49
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian
Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
g. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Kepolisian Republik Indonesia.
h. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Republik Indonesia.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-
buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de
herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan
dengan topik penelitian.75
Dengan demikian bahan hukum sekunder yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal hukum, serta
artikel-artikel hukum yang berasal dari situs-situs internet yang berkaitan
dengan kualifikasi dan mekanisme penjatuhan hukuman terhadap
pelanggaran kode etik.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
75
Johnny Ibrahim. Op. Cit. Hal.296.
50
sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.76
Dengan
demikian, bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah kamus hukum, kamus Nomorn hukum, eksiklopedi, serta jenis lain
yang mendukung penelitian ini.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi
terhadap buku literatur, dokumen dan artikel sebagai bahan yang telah
diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya
dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan
pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh. Sehingga dalam penelitian ini
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang akan digunakan,
kemudian dikumpulkan dengan menggunakan metode kepustakaan dan
dokumenter.
1. Metode Kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan data dengan
melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, perundang-
undangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah,
dsb.)
2. Metode Dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan
menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun Nomorn-
pemerintah (putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo,
konsep pidato, buku harian, foto, risalah rapat, laporan-laporan, mass
76
Ibid.Hal. 296.
51
media, internet, pengumuman, intruksi, aturan suatu instansi, publikasi,
arsip-arsip ilmiah, dsb).77
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum
Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang telah diperoleh
kemudian diklasifikasikan dan diinventarisir berdasarkan relevansi terhadap
objek penelitian ini. Bahan hukum yang berkaitan dengan pokok
permasalahan kemudian dibahas dan dipaparkan, disusun secara sistematis,
dan logis, dimana antara bahan hukum yang satu dengan yang lainnya
memiliki hubungan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
dalam penelitian ini.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode display, suatu kegiatan memilah-milah bahan hukum ke dalam
bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan hukum yang
dikumpulkan. Selanjutnya, bahan hukum disajikan dalam bentuk Teks
Naratif, yaitu suatu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada
teori yang disusun secara logis dan sistematis. Setelah bahan hukum primer,
sekunder dan tersier dikumpulkan, akan dilakukan klasifikasi dan
inventarisasi. Dari hasil klasifikasi dan inventarisasi tersebut, hasil yang
diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis untuk menyelesaikan
masalah yang diteliti.
77
Tedi Sudrajat. 2010. Mata Kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum
(MPPH). Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Hal.12.
52
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung dari
istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara
konsep dan tekhnis penerapannya. Analisis bahan hukum bertujuan untuk
menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan arti atau makna
terhadap bahan hukum yang telah diolah sebelumnya. Penelitian ini
menggunakan logika deduktif melalui metode analisis Normatif kualitatif.
Metode analisis Normatif kualitatif merupakan cara menginterpretasikan
berdasarkan pengertian hukum, Norma hukum, teori-teori hukum,
sertadoktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum
diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta
yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis miNomorr dan melalui
proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution). Analisis bahan
hukum tersebut dilakukan dengan menggunakan model interpretasi sebagai
berikut :
1. Interpretasi sistematis
Menurut P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah
interpretasi dengan melihat kepada hubungan dimana aturan dalam suatu
undang-undang yang saling bergantung. Disamping itu juga harus dilihat
bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat
asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis
53
adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun
ketentuan dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.78
2. Interpretasi gramatikal
Merumuskan suatu aturan perundang-undangan atau suatu
perjanjian seharusnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat yang menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut, atau para
pihak yang terkait dengan pembuatan suatu teks perjanjian.79
Peneliti menggunakan kedua model interpretasi tersebut untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya
menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya tentang Objek yang diteliti.
78
Peter Mahmud Marzuki. 2007 (cet.ke-7).Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Hal.112. 79
Johny Ibrahim.Op.cit. Hal.220.
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBASAN
A. Hasil Penelitian
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
berupa peraturan perundang-undangan, yang akan disajikan secara
sitematis sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1) Pasal 1 ayat(3) : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
2) Pasal 30 ayat (2) : Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat, sebagai kekuatan pendukung
3) Pasal 30 ayat (4) : Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.
4) Pasal 30 ayat (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia , hubungan
kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat
55
keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan diatur dengan undang-undang.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
1) Pasal 372 : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.
2) Pasal 378 : Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi
hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara ( Pengganti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian)
1) Pasal 1 angka (1) :Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya
disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil
danpegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yangbekerja
pada instansi pemerintah.
56
2) Pasal 6 : Pegawai ASN terdiri atas:
a. PNS; dan
b. PPPK.
3) Pasal 7
(1) PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai
tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki
nomor induk pegawai secara nasional.
(2) PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai
dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan
Undang-Undang ini.
4) Pasal 20
(1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
(2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari:
a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan
b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dariprajurit
Tentara Nasional Indonesia dan anggotaKepolisian Negara
Republik Indonesia sebagaimanadimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan pada InstansiPusat sebagaimana diatur dalam
Undang-Undangtentang Tentara Nasional Indonesia dan
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara
RepublikIndonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASNtertentu yang
berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota
Kepolisian Negara RepublikIndonesia dan tata cara
pengisian jabatan ASNsebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur denganPeraturan Pemerintah.
5) Pasal 136 : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
57
1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
6) Pasal 139 : Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang Undang ini.”
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
1) Pasal 1
(1) Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia
2) Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
3) Pasal 5 ayat(1) : Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan alat negara yang berperan dalammemelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
sertamemberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
58
kepada masyarakat dalamrangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
4) Pasal 13 ayat (1) : Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:
4.1 memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
4.2 menegakkan hukum; dan
4.3 memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
5) Pasal 14 ayat (1) : Dalam melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan
patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai
kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin
keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan
warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-
undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil,
dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran
kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian
untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat,
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara
sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang
berwenang;
59
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
6) Pasal 15 ayat (1) :Dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian
Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat
yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit
masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administrative kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta
kegiatan masyarakat;
7) Pasal 18 :
Ayat (1) : Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.
Ayat (2): Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang
sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundangundangan, serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
60
8) Pasal 19
Ayat (1): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa
bertindak berdasarkan Norma hukum dan
mengindahkan Norma agama, kesopanan, kesusilaan,
serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Ayat (2):Dalam melaksanakan tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian
Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan
pencegahan.
9) Pasal 34
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian
lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.
10) Pasal 35
(1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia
diatur dengan Keputusan Kapolri.
5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003
Tentang Pemberhentian Anggota Polri
5.1.1 Pasal 11
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
a. melakukan tindak pidana;
b. melakukan pelanggaran;
c. meninggalkan tugas atau hal lain.
5.1.2 Pasal 12
61
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesi
diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian
Negara Republik Indonesia apabila:
a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut
pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat
dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu
dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri
sebagai calon anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c. melakukan usaha atau kegiatan yang nyata-nyata
bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan,
atau melakukan kegiatan yang menentang negara
dan/atau Pemerintah Republik Indonesia secara tidak
sah.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5.1.3 Pasal 13
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian
Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/janji
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sumpah/janji jabatan, dan/atau Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003
Tentang Peraturan disiplin Anggota Polri
1) Pasal 1
(4) Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan, tulisan, atau
perbuatan anggota Negara Republik Indonesia yang
melanggar peraturan disiplin.
(5) Tindakan disiplin adalah serangkaian teguran lisan dan/atau
tindakan fisik yang bersifat membina, yang dijatuhkan
62
secara langsung kepada anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(6) Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan oleh
atasan yang berhak menghukum kepada anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia melalui Sidang Disiplin.
2) Pasal 5 huruf a
Bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan
bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dilarang Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan
dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia
3) Pasal 6 huruf m
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang
mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas
dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
4) Pasal 7
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata
melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan
disiplin dan/atau hukuman disiplin.
5) Pasal 8
(1) Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan
fisik.
(2) Tindakan disiplin dalam ayat (1) tidak menghapus
kewenangan Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin
6) Pasal 9
Hukuman disiplin berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;
c. penundaan kenaikan gaji berkala;
d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu)tahun;
e. mutasi yang bersifat demosi;
f. pembebasan dari jabatan;
g.penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh
satu) hari.
63
7) Pasal 12
(1) Penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan
pidana.
(2) Penjatuhan hukuman disiplin gugur karena pelanggar
disiplin:
a. meninggal dunia,
b. sakit jiwa yang dinyatakan oleh dokter dan/atau badan
penguji kesehatan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8) Pasal 15
Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan disiplin adalah:
a. atasan langsung;
b. atasan tidak langsung; dan
c. anggota Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan lingkup tugas dan kewenangannya.
9) Pasal 16
(1) Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin
adalah:
a. Ankum, dan/atau
b. Atasan Ankum.
(2) Atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, berwenang memeriksa dan memutus atas keberatan yang
diajukan oleh terhukum.
(3) Ankum di lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara berjenjang adalah sebagai berikut:
a. Ankum berwenang penuh,
b. Ankum berwenang terbatas, dan
c. Ankum berwenang sangat terbatas.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
10) Pasal 17
(1) Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib
memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran
disiplin itu.
(2) Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin
adalah:
a. Ankum,
b. Atasan langsung,
c. Atasan tidak langsung,
64
d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
e. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum.
7 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi
Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri
1) Pasal 15
Anggota Polri yang diputus pidana dengan hukuman pidana
penjara minimum 3 (tiga) bulan yang telah berkekuatan hukum
tetap, dapat direkomendasikan oleh anggota siding Komisi Kode
Etik Polri tidak layak untuk tetap dipertahankan sebagai anggota
Polri.
2. Bahan Hukum Sekunder
2.1. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2006 (Kasus
Pertama)
Dari penelitian didapatkan data bahwa pada tahun 2006 telah
terjadi pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh Oknum Polri SPN
Purwokerto dan dari perkara tersebut didapatkan fakta fakta sebagai
berikut :
a. Terperiksa
Nama : BUDI UTAMI,Tempat tanggal lahir Purbalingga tanggal
6 Oktober 1965,Jenis kelamin Perempuan, Kebangsaan jawa –
Indonesia, Alamat Jl. Ketuhu Wirasana – Purbalingga, Agama
Islam, Pekerjaan POLRI Kesatuan SPN Purwokerto.
65
b. Permasalahan
Telah terjadi perkara Pelanggaran Disiplin sebagaimana
diatur dalam Peraturan PemerintahNomor 2 tahun 2003 tanggal 1
Januari 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri pasal 5 huruf a yaitu
Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan atau pasal 6 huruf a dan m yaitu Anggota Polri
dilarang mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas
dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
Terperiksa AKP BU yaitu pada saat pelaksanaan seleksi
penerimaan anggota Polri tahun penerimaan 2005 telah menerima
sejumlah uang dari Sdr. ISMU ARI CAHYADI ( Korban ) uang
sejumlah Rp. 55.000.000,- (LIMA PULUH LIMA JUTA
RUPIAH ) dan ternyata uang tersebut telah digunakan untuk
kepentingan pribadi AKP BU.
Atas perkara yang dilaporkan, Unit Provos SPN Purwokerto
kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara
pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa dengan
melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada saksi saksi
maupun menjadi terperiksa. Dan selanjutnya berdasarkan perintah
Atasan yang berhak menghukum ( ANKUM ), melaksanakan
prosedur penjatuhan hukuman disiplin kepada terperiksa atas
66
perbuatan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa
yaitu pelanggaran disiplin sesuai pasal 6 huruf m Peraturan
PemerintahNomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
c. Putusan Ankum pada saat sidang Hakim Disiplin
Dalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. :
SKHD/02/X/2006 tanggal 28 Juni 2006, Kepala Sekolah Polisi
Negara Purwokerto selaku Atasan yang Berhak Menghukum
(ANKUM) dengan memperhatikan hasil pemeriksaan Saksi, Alat
Bukti dan Terperiksa pada sidang disiplin, menyatakan bahwa
Terperiksa cukup bukti melakukan pelanggaran disiplin. Sehingga
ANKUM memutuskan bahwa :
Menyatakan AKP BU terbukti bersalah secara syah dan
meyakinkan melakukan pelanggaran Disiplin berupa
Mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas
dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2
Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
Menjatuhkan hukuman disiplin kepada AKP BU berupa
teguran tertulis dan mutasi yang bersifat demosi.
67
d. Pertimbangan Ankum
Dalam menjatuhkan hukuman disiplin kepada AKP BU
selaku Terperiksa, KA Sekolah Polisi Negara (SPN Purwokerto)
memiliki pertimbangan-pertimbangan selaku ANKUM, yaitu :
1) Adanya kesesuaian keterangan antara saksi saksi dan
terperiksa sehingga dapat mengungkap fakta fakta yang
membuktikan benar telah terjadi pelanggaran disiplin
melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan atau mengurusi, mensponsori dan atau
mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam
penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf a dan atau
pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Polri.
2) Sebelum sidang Hakim Disiplin menjatuhkan hukuman
disiplin kepada terperiksa terlebih dahulu mempertimbangkan
hal hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut :
Hal yang meringankan :Terperiksa belum pernah melakukan
pelanggaran disiplin sebelumnya.
Hal hal yang memberatkan:
68
1. Perbuatan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa
juga merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 372
KUHP yaitu pidana Penggelapan.
2. Terperiksa hanya dapat mengembalikan sebagian uang yang
diterima dan digunakan untuk kepentingan pribadi terperiksa.
e. Putusan Pidana dalam Peradilan Umum
Perbuatan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh
terperiksa juga merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam
pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu pidana
Penggelapan. AKP BU juga dijatuhi hukuman pidana dalam
Peradilan Umum. AKP BU dijatuhi hukuman penjara selama 4
(empat) bulan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,-
karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana penggelapan sebagaimana tertuang dalam Putusan
Nomor : 11/Pid B/2007/PN. Pwt pada hari Kamis, 15 Maret 2007.
2.2. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2007 (Kasus Kedua)
a. Terperiksa
Nama :TASLIM, Tempat tanggal lahir Purbalingga tanggal 6
Nomorvember 1961, Jenis kelamin Laki laki, Kebangsaan jawa –
Indonesia, Alamat Asrama Ksatrian SPN Purwokerto Blok B 20 –
Purwokerto, Agama Islam, Pekerjaan POLRI Kesatuan SPN
Purwokerto.
69
b. Permasalahan
Telah terjadi perkara Pelanggaran Disiplin sebagaimana
diatur dalam Peraturan PemerintahNomor 2 tahun 2003 tanggal 1
Januari 2002 tentang Peraturan Disiplin Polri pasal 5 huruf a yaitu
Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan atau pasal 6 huruf a dan m yaitu Anggota Polri
dilarang mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas
dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
Terperiksa BRIGADIR TS yaitu pada saat pelaksanaan seleksi
penerimaan anggota Polri tahun penerimaan 2004 telah menerima
sejumlah uang dari Sdr. MAHRADJI ( Korban ) uang sejumlah Rp.
36.000.000,- (TIGA PULUH ENAM JUTA RUPIAH ) dan uang
tersebut dan ternyata uang tersebut telah digunakan untuk
kepentingan pribadi BRIGADIR TS.
c. Putusan Ankum pada saat sidang Hakim Disiplin
Dalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. :
SKHD/01/VII/2007 tanggal 15 Juli 2007, Kepala Sekolah Polisi
Negara Purwokerto selaku Atasan yang Berhak Menghukum
(ANKUM) dengan memperhatikan hasil pemeriksaan Saksi, Alat
Bukti dan Terperiksa pada sidang disiplin, menyatakan bahwa
70
Terperiksa cukup bukti melakukan pelanggaran disiplin. Sehingga
ANKUM memutuskan bahwa :
1) Menyatakan Brigadir TS terbukti bersalah secara syah dan
meyakinkan melakukan pelanggaran Disiplin berupa
Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan atau mengurusi, mensponsori dan atau
mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam
penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf a dan atau
pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Polri.
2) Menjatuhkan hukuman disiplin kepada Brigadir TS berupa
penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu ) tahun
dan penempatan diruang khusus selama 15 hari dan hukuman
disiplin tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Hukuman
Disiplin Nomor Pol. : SKHD/01/VII/2007 tanggal 15 Juli
2007.
d. Pertimbangan Ankum
Dalam menjatuhkan hukuman disiplin kepada Brigadir TS
selaku Terperiksa, KA Sekolah Polisi Negara (SPN Purwokerto)
memiliki pertimbangan-pertimbangan selaku ANKUM, yaitu :
71
3) Adanya kesesuaian keterangan antara saksi saksi dan
terperiksa sehingga dapat mengungkap fakta fakta yang
membuktikan benar telah terjadi pelanggaran disiplin
melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan atau mengurusi, mensponsori dan atau
mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam
penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf a dan atau
pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Polri.
4) Sebelum sidang Hakim Disiplin menjatuhkan hukuman
disiplin kepada terperiksa terlebih dahulu mempertimbangkan
hal hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut :
Hal yang meringankan :
a. Terperiksa belum pernah melakukan pelanggaran disiplin
sebelumnya.
b. Kesanggupan terperiksa untuk mengembalikan uang yang
diterima dan digunakan untuk kepentingan pribadi
terperiksa
Hal hal yang memberatkan: Perbuatan pelanggaran disiplin
yang dilakukan oleh terperiksa juga merupakan perbuatan pidana
yang diatur dalam pasal 372 KUHP yaitu pidana Penggelapan.
72
2.3. Pengertian Kode Etik
Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, setiap
individu anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan
anggota masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya
cenderung semakin bebas, leluasa, dan terbuka. Akan tetapi tidak
berarti tidak ada batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang
melakukan kesalahan dengan menyinggung atau melanggar batasan
hak-hak asasi seorang lainnya, maka seseorang tersebut akan
berhadapan dengan sanksi hukum berdasarkan tuntutan dari orang
yang merasa dirugikan hak asasinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan
kondisi masyarakat di masa lalu, yang cenderung bersifat kaku dan
tertutup karena kehidupan sehari-harinya sangat dibatasi oleh berbagai
nilai Normatif serta berbagai larangan yang secara adat wajib
dipatuhinya.80
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam kehidupan
sehari-hari setiap anggota masyarakat akan berhadapan dengan
batasan-batasan nilai Normatif, yang berlaku pada setiap situasi
tertentu yang cenderung berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan
perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Batasan-
batasan nilai Normatif dalam interaksi dengan masyarakat dan
lingkungannya itulah yang kemudian dapat kita katakan sebagai nilai-
nilai etika. Sedangkan nilai-nilai dalam diri seseorang yang akan
80
Adam Indrawijaya. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Hal
37.
73
mengendalikan, dimunculkan atau tidaknya kepatuhan terhadap nilai-
nilai etika dapat kita sebut dengan moral atau moralitas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, mendefinisikan etik sebagai (1) kumpulan asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak; (2) nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat sedangkan etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak). Jadi kode etik pada prinsipnya merupakan
sistem dari prinsip-prinsip moral yang diberlakukan dalam suatu
kelompok sosial yang ditetapkan secara bersama-sama. Etika
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan hidup manusia. Kemajuan peradaban dan budaya
manusia tidak terlepas dari yang namanya etika karena, tanpa etika
kehidupan tidak akan berjalan dengan teratur.
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya
cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, dan watak.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai
untuk kata Etika, antara lain Etika sebagai sistem nilai atau sebagai
nilai-nilai atau Norma-Norma moral yang menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Beberapa ahli
74
telah merumuskan pengertian kata etika atau lazim juga disebut etik,
yang berasal dari kata Yunani ETHOS tersebut sebagai berikut ini81
:
O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan
manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori
tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan
buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang
berbicara mengenai nilai dan Norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya.
Etika merupakan refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan
untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh
kepercayaan dari masyarakat apabila dalam diri para elit professional
tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada
saat hendak memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat
yang memerlukannya.
Menurut Undang-undang tentang pokok pokok kepegawaian,
Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan
dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu contoh tertua adalah Sumpah Hipokrates, yang dipandang sebagai
81
Binziad Kadafi. et. Al. 2001 Advokat Indonesia Mencari Legitimas; Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia.Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia
(PSHK). Hal. 253.
75
kode etik pertama untuk profesi dokter. Hipokrates adalah dokter
Yunani kuno yang digelari : Bapak Ilmu Kedokteran. Beliau hidup
dalam abad ke- 5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah
ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal
dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional
yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Dengan demikian, etika
adalah Norma-Norma sosial yang mengatur perilaku manusia secara
Normatif tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus
dilakukan, merupakan pedoman bagi manusia untuk berperilaku
dalam masyarakat. Norma-Norma sosial tersebut dapat
dikelompokkan dalam hal yaitu Norma kesopanan atau etiket, Norma
hukum dan Norma moral atau etika. Etiket hanya berlaku pada
pergaulan antar sesama, sedang etika berlaku kapan saja, dimana saja,
baik terhadap orang lain maupun diri sendiri.
Etika dalam sebuah profesi disusun dalam sebuah Kode Etik.
Dengan demikian Kode Etik dalam sebuah profesi berhubungan erat
dengan nilai sosial manusia yang dibatasi oleh Norma-Norma yang
mengatur sikap dan tingkah laku manusia itu sendiri agar terjadi
keseimbangan kepentingan masing-masing di dalam masyarakat. Jadi
Norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk menilai sesuatu.
Ada tiga macam norma sosial yang menjadi pedoman bagi manusia
untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu norrma kesopanan atau
etiket, norma hukum dan norma moral atau etika. Etika atau sopan
76
santun, mengandung norma yang harus kita lakukan. Rumusan
konkret dari sistem etika bagi profesional dirumuskan dalam suatu
kode etik profesi yang secara harfiah berarti etika yang dikodifikasi
atau dituliskan. Bertens, menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas
yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di dalam anggotanya
dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materiil para
anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa
kode etik profesi adalah seperangkat kaedah perilaku sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.82
Maksud dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan
memberi kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga
kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi
publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional. Kode etik pada
dasarnya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan
pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.
2.4. Kode Etik Polri
Kode etik adalah sistem Norma, nilai dan aturan profesional
tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan
apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik
82
Biniziad Kadafi. et al.. Op. Cit. hal.252-253. mengutip K. Bertens.Etika.cet. V. 2000.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hal.280-281.
77
menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang
harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Kode etik bertujuan untuk memberikan jasa sebaik-baiknya
kepada pemakai atau nasabahnya secara profesional. Adanya kode etik
akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga
profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah
bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi
ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena
paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia
melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang
rugi adalah dia sendiri. Kode etik bukan merupakan kode yang kaku
akibat perkembangan zaman, tetapi kode etik mungkin menjadi usang
atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik
tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), kode etik disusun
oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode
etik tersendiri.
Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai
Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan
jati diri setiap anggota kepolisian meliputi etika pengabdian,
kelembagaan, dan keneagaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pencurahan
perhatian yang sangat serius dilakukan dalam menyusun etika
Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai landasan
78
etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata
memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dalam rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (1952).83
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia untuk pertama kali
ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri Nomor
Pol : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya
naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Indonesia beserta pedoman pengamalannya.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997
dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001
diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia
dengan Keputusan Kapolri Nomor Pol. : Kep/05/III/2001 serta
buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Indonesia dengan Keputusan Kapolri Nomor Pol. :
Kep/04/III/2001.
Perkembangan selanjutnya dengan Ketetapan MPR-RI
Nomor. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI
Nomor. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan
Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan amanar Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal 31 sampai dengan pasal
35, maka diperlukan perumusan kembali Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan tugas
kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang
83
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius,
Yogyakarta : 1975). Hal. 17.
79
mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa
keadilan.84
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu etika pengabdian, kelembagaan,
dan kenegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi
kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Tribrata dan dilandasi oleh nilai-nilai
luhur Pancasila.85
B. Pembahasan
1. Penerapan Hukuman Disiplin terhadap Anggota Polri yang
melakukan Tindak Pidana di Sekolah Polisi Negara Purwokerto
(SPN Purwokerto)
Indonesia sebagai negara hukum disebutkan di dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Konsep negara
hukum adalah merupakan hasil dari suatu perkembangan sejarah
pemerintahan dan hukum, sekitar abad ke III sebelum masehi,
Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya
dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait pada
84
Ibid. 85
Ibid.
80
„polis‟. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan yang menentukan
baik-buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang
baik yang bersusila yang pada akhirnya akan menjadikan manusia yang
bersikap adil. Apabila keadaan ini telah terwujud, maka terciptalah
“negara hukum‟, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya
yang berdasarkan atas keadilan.86
Konsekuensi dianutnya negara hukum di Indonesia, maka segala
hal yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat dan pencapaian
tujuan nasional dilandaskan pada hukum. Undang-Undang Dasar 1945
merupakan konstitusi yang sangat berbeda dengan negara lain,
perbedaan tersebut dapat dilihat dari pembukaan undang-undang dasar
yang memuat hal-hal yang mendasar diantaranya adalah pernyataan
kemerdekaan, tujuan dan dasar negara. Dari pembukaan tersebut dapat
diketahui arah dan tujuan yang akan dicapai oleh negara. Tujuan
tersebut telah dirumuskan dan dicantumkan dalam alenia IV, yaitu
sebagai berikut:
1. Membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
86SF Marbun dkk. 2002. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta : UII Pers. Hal. 1.
81
Penegasan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari
upaya untuk mencapai tujuan nasional, karenanya negara memerlukan
sarana dan prasarana yang mendukung, baik berupa sumber daya
manusia maupun sarana yang berbentuk benda, karena negara tidak
dapat melakukannya sendiri.87
Upaya yang harus dilakukan negara
dalam mencapai tujuan nasional yaitu dengan peningkatan kualitas
manusia secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional
dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memperhatikan perkembangan sosial.
Pengertian negara hukum yaitu Suatu negara dimana sikap
pemerintah dan warga negara berdasarkan hukum dan harus
dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum, hukum dijadikan panglima
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pemerintahan,
kemasyarakatan, maupun pembangunan. Berdasarkan konsep negara
hukum, tindakan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum harus
berdasarkan hukum, hukum yang dimaksud adalah Hukum
Administrasi Negara (HAN).
Pengertian Hukum Administrasi Negara dapat dilihat dari dua
aspek yaitu:pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara
bagaiman alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua,
aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum
87
Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta : Bina Aksara. Hal. 12.
82
(rechtsbetrekking) antara alat perlengkapan administrasi negara atau
pemerintah dengan para warga negaranya.88
Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai
Pemerintah beserta aparaturnya yang terpenting, yakni administrasi
negara.89
Tujuan hukum administrasi negara diarahkan pada
perlindungan hukum bagi rakyat dalam bentuk pembinaan,
pengayoman, dan partisipasi. Hubungannya dengan sumber daya
manusia, sistem administrasi negara terbagi menjadi dua, yaitu pegawai
negeri dan masyarakat yang merupakan dua organisasi aktivitas yang
mempunyai tujuan yang sama, namun di dalamnya terdapat perbedaan
wewenang dan pemerintahan. Pegawai Negeri mempunyai otoritas dan
wewenang secara hukum, sedangkan masyarakat tidak mempunyai
wewenang, sehingga hanya mengandalkan kerelaan berpartisipasi
dalam lingkungan publik agar tujuan kemasyarakatan dapat terwujud.
Pihak pemerintah mempunyai tugas-tugas terhadap masyarakat dengan
melaksanakan suatu kebijakan lingkungan dalam bentuk wewenang,
yaitu kekuasaan yuridis akan orang-orang pribadi, badan-badan hukum
dan memberikannya kepada Pegawai Negeri bawahan hak dan
kewajiban yang dapat mereka pegang menurut hukum.90
Menurut Utrecht, negara merupakan badan hukum yang terdiri
dari persekutuan orang (Gemeenschaap Van Merten) yang ada karena
perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah. Pengertian
88
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan hlm.2
89
SF. Marbun dkk.Op. cit. Hal. 22.
90
Philippus M. Hadjon, dkk. Op.Cit.Hal. 39.
83
badan hukum disini adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban
(subyek hukum). Negara akan mencapai tujuan dengan menggunakan
statusnya sebagai badan hukum tersebut. Hak dan kewajiban
dilaksanakan oleh aparatur negara yang melaksanakan hak dan
kewajiban negara yang disebut dengan subyek hukum yaitu Pegawai
Negeri91
yang sekarang disebut sebagai istilah Aparatur Sipil Negara
(ASN).
Undang-Undang yang berisi ketetuan mengenai kepegawaian
pada mulanya adalah Undang-Undang Nomor Tahun 1874 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian , yang telah diubah menjad Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-
ndang ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan
problematika kepegawaian. Oleh karena itu,Undang-Undang tersebut
diganti menjadi Undang-Udang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), maka Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 sebagaimana telah diubah menjadiUndang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dinyatakan sudah
tidak berlaku. Hal ini sebagamana telah ditentukan dalam Pasal 136
91Muchsan. Loc. Cit. Hal.12.
84
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
menentukan bahwa:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
8Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.”
Berkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan sebagai
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 139 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menentukan bahwa :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia
Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang
ini.”
Berkaitan dengan fungsi pemerintahan dalam suatu negara,
berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
85
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam
konteks trias politika, fungsi kepolisian adalah merupakan bagian dari
eksekutif (aparatur pemerintah).
Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri
pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan utuk
mewujudkan keamanan dalan negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselengaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat, serta terbinanya
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sedangkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa
tugas pokok Polri adalah :
i. Memelihara keamanan dan ketetiban masyarakat;
ii. Menegakkan hukum;dan
iii. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, setiap individu
anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan anggota
masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya cenderung
semakin bebas, leluasa, dan terbuka, akan tetapi tidak berarti tidak ada
86
batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang melakukan kesalahan
dengan menyinggung atau melanggar batasan hak-hak asasi seorang
lainnya, maka seseorang tersebut akan berhadapan dengan sanksi
hukum berdasarkan tuntutan dari orang yang merasa dirugikan hak
asasinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat di masa
lalu, yang cenderung bersifat kaku dan tertutup karena kehidupan
sehari-harinya sangat dibatasi oleh berbagai nilai normatif serta
berbagai larangan yang secara adat wajib dipatuhinya.92
Nilai-nilai atau norma-norma itu terkandung didalam suatu
sistem yang dijadikan pedoman untuk bertingkah laku maupun dalam
menjalankan tugas yang berlaku bagi sekelompok orang yang terlibat
dalam kelompok profesi. Hakikatnya kode etik memuat aturan-aturan
atau norma-norma yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas
dan fungsi semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi.93
Suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka
meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun
kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta
untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai
tujuan, peranan, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab institusi
tersebut.
Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang
mempunyai aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan
92
Adam Indrawijaya. Op. Cit. Hal 37. 93
Ibid.
87
tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik maupun kode
jabatan.
Dalam perkembangan pemerintahan modern, pengertian konsep
negara hukum mengalami perluasan dan pengembangan. Dewasa ini
dikenal adanya konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu
negara yang pemerintahnya mencampuri urusan masyarakat secara
intens, dengan maksud agar aparatur pemerintah secara aktif ikut
mengupayakan tercapainya derajat kesejahteraan masyarakat.
Konsekuensi logis welfare state, hampir semua urusan individu menjadi
“urusan pemerintahan”, sehingga ruang lingkup urusan pemerintahan
menjadi sangat luas. Dalam kaitannya dengan ruang lingkup Hukum
Administrasi Negara (HAN), maka materi muatan HAN menjadi
semakin luas dan tidak dapat dibatasi. Salah satu ruang lingkup Hukum
Administrasi Negara yaitu terdapat materi muatan mengenai penegakan
hukum.
Penerapan hukuman disiplin merupakan suatu penegakan
hukum. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum
positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati.94
Menurut
Soerjono Soekanto, ada 5 faktor yang memengaruhi penegakan hukum,
yaitu :95
6. Faktor hukumnya sendiri;
7. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum;
94
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 292. 95
Ibid., hlm. 293.
88
8. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
9. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
10. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Diantara kelima faktor yang memengaruhi penegakan hukum
tersebut di atas, faktor yang relevan untuk dibahas dalam tulisan ini
yaitu dilihat dari faktor hukumnya sendiri dan faktor penegak
hukumnya. Hukum yang berkaitan dengan hukum yang dimaksud dalam
tulisan ini yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan PemerintahNomor 1
Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan Peraturan
PemerintahNomor2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
Sedangkan mengenai faktor penegak hukumnya yaitu dilihat dari Kepala
SPN Purwokerto yang bertindak sebagai atasan yang berhak
menghukum (Ankum).
Berdasarkan ajaran penegakan hukum dalam Hukum
Administrasi Negara (HAN), penegakan hukum terdiri dari pengawasan
dan penerapan sanksi. Secara teoritis penerapan sanksi dapat
diberlakukan secara kumulatif, yaitu kumulatif internal dan kumulatif
eksternal. Kumulatif internal yaitu penerapan beberapa sanksi yang
bersifat sanksi administratif saja. Sedangkan kumulatif eksternal yaitu
penerapan beberapa sanksi yang bersifat sanksi administrative dan saksi
yang berupa pidana maupun perdata.
89
Anggota polri merupakan bagian dari jenis Pegawai Negeri yang
berfungsi menjalankan pemerintahan. Polri bertanggung jawab dalam
menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, Polri memiliki Kode Etik Profesi
yang berfungsi sebagai pembimbing perilaku anggota Polri dalam
menjalankan pengabdian profesinya dan sebagai pengawas hati nurani
agar anggota Polri tidak melakukan perbuatan tercela yang bertentangan
dengan nilai-nilai etis dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang
atas profesi Kepolisian yang dijalankannya. Kode etik profesi kepolisian
merupakan kristalisasi dari nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai
oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam
wujud komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, etika
kenegaraan, etika kelembagaan, dan etika dalam hubungan dengan
masyarakat.96
Selain memiliki kode etik profesi, dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia telah
diatur mengenai hak dan kewajiban POLRI dan dalam Peraturan
PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri juga
telah diatur tentang penyelesaian pelanggaran disiplin yang dilakukan
oleh Polri. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang tata cara
pemeriksaan, tata cara penjatuhan hukuman disiplin serta tata cara
pengajuan keberatan apabila anggota Kepolisian Negara Republik
96
H. Pudi Rahardi, M.H,.Op.Cit.Hal.149
90
Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin tersebut merasa keberatan atas
penjatuhan hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya.
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan
mendidik anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
melakukan pelanggaran disiplin agar berubaha menjadi baik. Oleh sebab
itu setiap ANKUM (atasan yang berhak menghukum) wajib memeriksa
lebih dahulu dengan seksama anggota POLRI yang melakukan
pelanggaran disiplin sebelum dijatuhkan hukuman. Hukuman didiplin
yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang
dilakukan sehingga dapat diterima rasa keadilan.97
Pelanggaran Disiplin adalah ucapan, tulisan atau perbuatan
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar
peraturan disiplin, sesuai dengan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin
POLRI.
Apabila pelaku pelanggaran dijatuhi tindakan disiplin, maka
penjatuhan tindakan disiplin tersebut dilaksanakan seketika dan
langsung pada saat diketahuinya pelanggaran, namun apabila pelaku
pelanggaran dijatuhi hukum disiplin maka penjatuhan hukuman disiplin
diputuskan dalam sidang disiplin dengan terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan terhadap pelaku pelanggaran disiplin. Hal tersebut diatur
97
Loc.cit.
91
dalam ketentuan pasal 17 ayat 1 Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun
2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
Pelanggaran disiplin terbagi menjadi 2 kategori yaitu
pelanggaran disiplin murni dan pelangaran disiplin tindak murni.
Pelanggaran disiplin murni adalah perbuatan yang dilakukan oleh
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar
peraturan peraturan kedinasan. Pelanggaran disiplin tidak murni adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang melanggar ketentuan ketentuan dalam Hukum
Pidana.
Menurut Pasal 16 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri, apabila
terjadi pelanggaran kumulatif antara pelanggaran disiplin dan
pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Sidang Disiplin atau Sidang Komisi Kode Etik Polri
berdasarkan pertimbangan atasan Ankum dari terperiksa dan pendapat
serta saran hukum dari Pengemban Fungsi Pembinaan Hukum.
Penanganan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dilakukan jika ada
laporan atau pengaduan yang diajukan oleh masyarakat, anggota Polri
atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengajuan laporan
atau pengaduan disampaikan kepada pengemban fungsi Propam di
setiap jenjang organisasi Polri. Berdasarkan laporan atau pengaduan
tersebut Propam kemudian melakukan pemeriksaan pendahuluan.
92
Apabila dari hasil pemeriksaan pendahuluan diperoleh dugaan kuat telah
terjadi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka Propam mengirimkan
berkas perkara kepada Pejabat yang berwenang dan mengusulkan untuk
dibentuk Komisi Kode Etik Polri untuk selanjutnya dilakukan sidang
guna memeriksa Anggota Polri yang diduga melanggar Kode Etik
Profesi Profesi Polri untuk dijatuhkan putusan yang bersifat final. 98
Peraturan disiplin Polri diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Ruang lingkup
berlakunya peraturan disiplin anggota polri ini tidak terbatas pada
anggota polri saja, namun demikian diperluas meliputi mereka yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan tunduk yang berlaku bagi
anggota polri, bahkan dikecualikan tidak berlaku bagi anggota polri
yang sedang menjalani pidana penjara. Perlu dipahami, bahwa didalam
organisasi kepolisian terdiri dari personil anggota polri dan pegawai
negeri sipil yang bertugas di lingkuran organisasi polri. Perluasan
lingkungan berlakunya bagianggota PNS yang bekerja di lingkungan
Polri, karna eksistensinya dapat mempengaruhi kinerja Organisasi
polri.99
Pandangan / sorotan negatif kepada Polri tidak lepas dari ulah,
sikap dan perilaku dari petugas Polisi dalam pelaksanakan tugas. Tidak
jarang masih ada oknum oknum Polisi yang kadang berbuat tercela dan
98
PudiRahardi, Op.Cit.Hal 172 99
Sadjijon.Memahami Hukum Kepolisian, LAKSBANG Presindo Yokyakarta. 2010.
Hal. 202.
93
nakal sehingga menodai citranya sebagai pelindung dan pengayom
masyarakat.
Masyarakat berpendapat proses seleksi masuk menjadi anggota
Polri pun harus menggunakan uang, dan hal inilah yang dimanfaatkan
oleh Brigadir TS dan AKP BU untuk mendapatkan keuntungan secara
finansial sehingga perbuatan keduanya telah terbukti benar melakukan
perbuatan pelanggaran disiplin dan merusak citra serta kehormatan
Polri.
Berdasarkan hal tersebut, dalam penanganan kasus yang ada
dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa kedua oknum Polri yang
melakukan pelanggaran disiplin tersebut telah diperiksa dan dijatuhi
hukuman disiplin oleh KA SPN Purwokerto yang dalam hal ini
bertindak sebagai ANKUM (Atasan yang berhak menghukum).
Mekanisme tentang bagaimana cara penjatuhan hukuman
disiplin terhadap anggota polri yang melakukan pelanggaran disiplin dan
atau juga merupakan tindak pidana dapat dilihat dari bagan dibawah ini.
Anggota Polri Ankum/Provos Bidbinkum Kapolda/Pimpinan Eksternal/Peradilan
Minta saran
Disiplin
PU
BAP Kasus
BAP LAP
Saran Sidang Penjatuhan
Hukuman
PU
94
Dari skema tersebut dapat diketahui bahwa proses penanganan
kasus penggelapan yang dilakukan oleh AKP BU dan Brigadir TS, baik
pelanggaran dan tindak pidana yang dilaporkan, ditemukan, dan
tertangkap tangan akan diperiksa oleh Provos untuk dibuatkan
pemberkasan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan dan diserahkan
kepada ANKUM. Provos melakukan hal tersebut atas perintah Ankum
sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003.
Provos dalam penerapan pasal terhadap kasus penggelapan dikenakan
pasal 5 huruf a dan atau Pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2003 yaitu mengenai pelanggaran disiplin Polri.
Berdasarkan Pasal 21 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisan Negara Republik Indonesia dan Pasal 28 Kep.Kapolri Nomor
Pol: Kep/43/X/2004 Ankum diharuskan untuk meminta saran dan
pendapat hukum kepada fungsi Pembina Hukum dalam hal ini Bidang
Pembinaan Hukum. Bidang Pembinaan Hukum dalam penerapan Pasal
terhadap penggelapan dikenakan Pasal 5 huruf a dan atau Pasal 6 huruf
m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Polri. Penggelapan juga merupakan tindak pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut
haruslah jelas karena berdasarkan pada Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
bahwa anggota Polri tunduk pada Peradilan Umum, sehingga dapan
95
dilakukan sidang disiplin dan atau dilanjutkan untuk diproses secara
pidana.
Pemberian saran pendapat hukum yang sudah selesai, berkas
perkara dikembalikan kepada Ankum/ Provos, yang selanjutnya
kewenangan untuk dilaksanakan atau tidaknya sidang disiplin dan untuk
dilanjutkan ke Peradilan Umum adalah keputusan dari Ankum. Apabila
Ankum menghendaki untuk dilaksanakan siding disiplin, maka Provos
yang bertugas untuk melaksanakan sidang disiplin atas perintah Ankum.
Namun bila akan diajukan ke Peradilan Umum, maka Provos membuat
surat pengantar untuk diserahkan ke Reskrim guna dilakukan
penyelidikan dan diproses secara pidana.
Sidang disiplin yang dilaksanakan akan menentukan hukuman
disiplin bagi si pelaku. Hukuman disiplin tersebut sesuai dengan Pasal 9
Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Polri dan Pasal 11 Kep/42/XI/2004. Penjatuhan hukuman disiplin
tersebut diatas terdiri dari 7 (tujuh) jenis hukuman disiplin yang bisa
dijatuhkan secara alternative atau kumulatif. Penjatuhan secara
alternative adalah Penjatuhan hukuman disiplin hanya dikenakan satu
jenis hukuman saja, sedangkan penjatuhan hukuman secara kumulatif
adalah penjatuhan hukuman bisa lebih dari satu jenis hukuman disiplin.
Pelaku yang telah menjalani hukuman disiplin tersebut, setelah
selesai harus meminta rehabilitasi kepada Bidpropam dalam hal ini Kasi
Rehab yang akan membantu dalam pemulihan nama baik dan
96
memberikan keputusan pengakhiran hukuman yang nantinya dapat
digunakan antara lain untuk mengikuti kenaikan pangkat, mengikuti
pendidikan, untuk memperoleh jabatan kembali. Bagi anggota yang
diproses pidana, maka disang disiplin tetap dilaksanakan dan proses
pidana tetap dilanjutkan.
Pelanggaran disiplin terbagi menjadi 2 kategori yaitu
pelanggaran disiplin murni dan pelangaran disiplin tindak murni.
Pelanggaran disiplin murni adalah perbuatan yang dilakukan oleh
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar
peraturan peraturan kedinasan. Pelanggaran disiplin tidak murni adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang melanggar ketentuan ketentuan dalam Hukum
Pidana. Dan perbuatan yang dilakukan oleh Brigadir TS adalah
termasuk suatu jenis pelanggaran disiplin tidak murni karena didalam
perbuatan pelanggaran disiplin telah terjadi perbuatan pidana yaitu
penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 372 KUHP.
ANKUM berdasarkan pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri dalam sidang disiplin
memutuskan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada Brigadir TS
yang tertuang didalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. :
SKHD/01/VII/2007 tanggal 15 Juli 2007 berupa penundaan pangkat
untuk paling lama 1 (satu ) tahun dan penempatan diruang khusus
selama 15 (lima belas) hari. AKP BU juga dinyatakan terbukti bersalah
97
secara syah dan meyakinkan melakukan pelanggaran disiplin berupa
Mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan
pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf m
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Polri. Atas dasar hal tersebut, ANKUM menjatuhkan hukuman disiplin
kepada AKP BU berupa teguran tertulis dan mutasi yang bersifat
demosi.
Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 tentang Peraturan Disiplin Polri, menyatakan bahwa apabila
ternyata pelanggaran disiplin tersebut juga merupakan tindak pidana
maka penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan
terhadap tindak pidana yang dilakukan. Mengacu pada ketentuan Pasal
12 ini, seharusnya Brigadir TS yang terbukti melakukan pelanggaran
disiplin dan juga penggelapan dituntut secara pidana dalam Peradilan
Umum seperti yang terjadi pada AKP BU. AKP BU selain mendapatkan
hukuman disiplin dalam sidang disiplin juga mendapatkan sanksi pidana
berupa pidana penjara selama 4 bulan dan membayar biaya perkara
sebesar Rp 2.500,- ( dua ribu lima ratus rupiah). AKP BU yang dijatuhi
hukuman pidana 4 bulan penjara berdasarkan suatu keputusan yang sah
dan berkekuatan hukum tetap dapat diberhentikan dengan tidak hormat
berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 dan
juga perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur Pasal 15 PERKAP
98
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Komisi Kode Etik
Polri, yaitu ”Anggota Polri yang diputus pidana dengan hukuman
penjara minimum 3 (tiga) bulan yang telah berkekuatan hukum tetap,
dapat direkomendasikan oleh anggota sidang komisi kode etik Polri
tidak layak untuk tetap dipertahankan sebagai anggota Polri.”
Untuk pelanggaran yang sama antara Brigadir TS dan AKP BU,
AKP BU dihukum sanksi pidana dan juga hukuman disiplin sedangkan
yang satunya lagi yaitu Brigadir TS tidak diterapkan sanksi pidana dan
hanya dijatuhi hukuman disiplin saja, dengan pertimbangan karena AKP
BU tidak dapat mengembalikan uang yang telah digelapkan kepada
korban. Dalam perspektif peradilan pidana, pengembalian uang
penggelapan tidak menghapus penjatuhan hukuman pidana,
pengembalian uang tersebut hanya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan hakim sebagai unsur yang dapat meringankan hukuman
yang nantinya akan dijatuhkan kepada terdakwa. Disamping itu,
terjadinya perbedaan sanksi juga memperlihatkan terjadinya suatu
ketidakadilan dalam suatu penerapan hukuman / penerapan sanksi.
Penjatuhan hukuman/penerapan sanksi terhadap anggota Polri,
sesuai dengan konsep Hukum Adminstrasi Negara, seharusnya
penerapan sanksi tesebut harus memperhatikan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 3
UUNomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang mengatur
99
ketentuan mengenai adanya asas-asas umum penyelenggaraan negara
yang meliputi :
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of
equality);
d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);
f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of Nomorn
misuse of competence);
g. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
h. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or
prohibition of arbitrariness);
i. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar
(principle of
j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of
undoing the concequences of annulled decision);
k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi
(principle of protecting the personal may of life);
l. Asas kebijaksanaan (sapientia);
m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service)
Salah satu asas-asas umum penyelenggaraan negara yaitu asas
kepastian hukum yang artinya asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Sehingga setiap
tindakan pemerintah harus sesuai dan berdasarkan atas Perundang-
undangan yang berlaku.
Berdasarkan asas kepastian hukum dalam Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, penjatuhan hukuman terhadap kedua oknum
POLRI di SPN Purwokerto tersebut harus berdasarkan pada Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah berdasarkan
Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
100
Republik Indonesia dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 tentang Penjatuhan Disiplin Polri.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, prosedur penyelesaian
pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh kedua oknum tersebut
harus diterapkan ketentuan yang sama, karena jenis dan tingkatan
pelanggarannya juga sama, sehingga apabila tidak ditaatinya asas
kepastian hukum, maka akan menimbulkan suatu ketidak adilan hukum.
Menurut Ridwan HR, asas keadilan dan kewajaran menghendaki
agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu
memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut
tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak
setiap orang. Karena itu setiap pejabat pemerintah dalam melakukan
tindakannya harus selalu memerhatikan aspek keadilan ini. Sedangkan
asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau
administrasi negara memerhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah
masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat,
maupun nilai-nilai lainnya.100
Perbedaan hukuman yang diterapkan terhadap Brigadir TS dan
AKP BU disamping tidak sesuai dengan asas keadilan, juga tidak sesuai
dengan asas keseimbangan. Asas keseimbangan menghendaki Asas ini
menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan
kelalaian atau kealpaan seorang pegawai juga persamaan perlakuan
100
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 258.
101
sejalan dengan kepastian hukum. Sehingga terhadap pelanggaran atau
kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda dikenakan sanksi
yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.101
Perbedaan penjatuhan sanksi tersebut juga telah bertentangan
dengan asas kesamaan dalam mengambil keputusan. Asas ini
menghendaki agar badan pemerintah mengambil tindakan yang sama
(dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama.102
Meskipun tidak ada kasus yang mutlak sama dengan kasus lain
kendatipun tampak serupa, maka ketika pemerintah menghadapi
berbagai kasus yang tampaknya sama itu, ia harus bertindak cermat
untuk mempertimbangkan titik-titik persamaan.103
Seharusnya KA SPN Purwokerto yang berlaku sebagai Ankum
mengambil tindakan yang sama dalam pengambilan tindakan penjatuhan
sanksi dalam kasus yang sama, karena pelanggaran yang dilakukan oleh
Brigadir TS dan AKP BU merupakan kasus yang sama, sehingga dalam
penjatuhan hukumannya pun harus berdasarkan asas kesamaan dalam
mengambil keputusan. Dengan demikian, sudah seharusnya bahwa
sanksi yang diterapkan kepada Brigadir TS dan AKP BU adalah berupa
hukuman / sanksi yang sama yaitu hukuman disiplin dan juga sanksi
pidana berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
101
Ibid.,hlm246-247. 102
Ibid., Hlm. 247. 103
Ibid., Hlm. 248.
102
B. Upaya Polri dalam menciptakan disiplin anggota di Sekolah Polisi
Negara ( SPN) Purwokerto
Polri sebagai bagian dari penegak hukum di Indonesia,
mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yaitu bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila
tidak dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme
dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas
yang dibebankan kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab.
Bertolak dari arti pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai
penegak hukum, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bahwa Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi. Dalam Kamus Besar
103
Bahasa Indonesia dijelaskan pengertian profesi adalah bidang pekerjaan
yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan
sebagainya) tertentu.
Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu lapangan kerja dapat
dikategorikan sebagai profesi diperlukan:
1. Pengetahuan;
2. Penerapan keadilan (competence of aPeraturan
Pemerintahlication);
3. Tanggung jawab sosial (sosial responsibility);
4. Self control;
5. Pengakuan oleh masyarakat (social sanction).
Mendasarkan pada syarat profesi tersebut di atas, terlihat bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memenuhinya sehingga
dapat dikatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan
profesi. Selanjutnya, guna menjamin kemampuan profesi kepolisian
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, disebutkan dalam Pasal 32
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, bahwa pembinaan kemampuan profesi pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui
pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta
pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan,
pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu
bahwa:
104
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian
lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.
Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tersebut di atas, telah diterbitkan Peraturan
Kapolri Nomor Pol. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang isinya memberikan pedoman bagi
anggota Polri dalam bertindak dan menjalankan tugasnya. Namun
demikian, segala pengaturan tentang kedisiplinan dan etika tersebut di
atas tentunya tidak akan dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya
upaya penegakannya.
Upaya penegakan disiplin dan Kode Etik Kepolisian sangat
dibutuhkan guna terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebankan dan
tercapainya profesionalisme Polri. Sangat tidak mungkin penegakan
hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak hukumnya sendiri
(Polri) tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidakdisiplinan dan
105
ketidakprofesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan
hukum atau pengungkapan kejahatan yang terjadi di masyarakat.
Kondisi melemahnya disiplin dan profesionalisme anggota Polri
yang terjadi pada saat ini mulai sering menjadi pembicaraan masyarakat
luas. Dengan sering diberitakannya di berbagai media massa mengenai
tindakan indisipliner yang dilakukan oleh anggota Polri, misalnya
adanya anggota Polri yang terlibat dalam tindak pidana seperti dibahas
dalam tulisan ini, tindakan sewenang-wenang anggota Polri, dan masih
banyak kasus lain yang menggambarkan kurang disiplinnya anggota
Polri, menjadikan keprihatinan sendiri bagi masyarakat terkait dalam
pelaksanaan tugas pokok Polri yaitu menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dari pengamatan sementara terhadap penegakan disipilin, kode
etik dan penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan
tindak pidana yang terjadi selama ini terdapat kerancuan atau
ketumpangtindihan penggunaan dasar hukumnya, yakni antara
penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
Peraturan Kapolri Nomor Pol. 7 Tahun 2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Misalnya saja terdapat salah seorang anggota Polri yang melakukan
106
tindak pidana penggelapan seperti yang dilakukan oleh oknum Polri
Brigadir TS dan AKP BU, dalam hal ini jelas anggota Polri tersebut
melakukan perbuatan tindak pidana, namun dalam praktiknya terhadap
anggota Polri tersebut hanya dikenai tindakan disiplin, dan masih
banyak lagi contoh lain.
Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat SPN Purwokerto
adalah unsur pelaksana Pendidikan pada Polda Jawa Tengah yang
berada dibawah Kapolda Jawa Tengah. Sekolah Polisi Negara
Purwokerto bertugas menyelenggarakan Pendidikan Pembentukan
Bintara Polri, Pelatihan Bintara Opsnal Polri serta Pendidikan dan
Pelatihan lain sesuai dengan Program / bijak Pimpinan Polda Jawa
Tengah.Dalam melaksanakan tugasnya SPN Purwokerto
menyelenggarakan Fungsi 104
:
a. Penyelenggaraan Pendidikan Pembentukan Bintara Polri, Pendidikan
Kejuruan dan Pelatihan Bintara Opsnal Polri serta Pendidikan dan
Latihan lain yang dibebankan berdasarkan Program Pendidikan dan
Pelatihan.
b. Pembinaan Kepribadian termasuk kepemimpinan, disiplin dan tata
tertib serta nilai-nilai moral dan etika profesi peserta didik / pelatihan.
c. Menyelenggarakan kerjasama bidang pendidikan dan pelatihan dengan
lembaga fungsi Kepolisian lainnya, dalam rangka pengembangan dan
peningkatan penyelenggaraan pendidikan dan Pelatihan.
d. Pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan / pelatihan terhadap
pengemban fungsi Kepolisian lainnya sesuai program kerjasama
dengan pihak lain.
e. Pembinaan dan penyelenggaraan peningkatan kemampuan tenaga
pendidik / instruktur.
104
www.jateng.polri.go.id/home.php?menu=94
107
Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat SPN Purwokerto
adalah unsur pelaksana pendidikan Polda Jawa Tengah yang terdiri
dari:
a. Unsur Pimpinan.
Kepala Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat Ka SPN
Purwokerto.
b. Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf
Sekretariat Lembaga disingkat Setlem, yang pelaksanaan tugasnya
dibantu oleh :
- Urusan Perencanaan, disingkat Urren.
- Urusan Administrasi, disingkat Urmin
- Urusan Tata Usaha, disingkat Urtu.
- Urusan Dalam, disingkat Urdal.
- Unit Provoost, disingkat Unit Prov.
c. Unsur Pelaksana Staf Khusus dan Pelayanan, terdiri dari :
- Poliklinik
- Bendahara Satuan, disingkat Bensat
d. Unsur Pelaksana
- Bagian Pengajaran dan Pelatihan disingkat Bagjarlat
- Korps Siswa, disingkat Korsis terdiri dari :Tenaga Pendidik /
Instruktur, disingkat Gadik / Instruktur.
Sekolah Polisi Negara Purwokerto dipimpin oleh Kepala Sekolah
Polisi Negara Purwokerto disingkat Ka SPN Purwokerto, yang
bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wakil Kepala
Kepolisian Daerah Jawa tengah.
108
Dalam hal berhalangan melaksanakan tugasnya Ka SPN
Purwokerto diwakili oleh Sekretaris Lembaga ( Seslem ) atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Ka SPN Purwokerto. Ka SPN Purwokerto
bertugas menyelenggarakan pendidikan pembentukan Bintara, Pelatihan
Bintara Opsnal Polri serta pendidikan dan Pelatihan lain sesuai dengan
Program dan bijak Pimpinan Polda Jawa Tengah. Dalam pelaksanaan
tugasnya Ka SPN Purwokerto berkewajiban :
1) Mengajukan saran dan Pertimbangan kepada Kepala Kepolisian
Daerah Jawa Tengah Cq. Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa
Tengah tentang penyelenggaraan pendidikan dan Latihan.
2) Berdasarkan Rencana Kerja Polda Jawa Tengah menetapkan
Rencana Kerja SPN Purwokerto.
3) Menentukan kebijaksanaan pelaksanaan dan pengambilan
Keputusan dalam rangka memimpin SPN Purwokerto guna
terselenggarannya fungsi SPN.
4) Membina disiplin, tata–tertib dan kesadaran hukum dilingkungan
SPN Purwokerto.
5) Melaksanakan tugas lain yang berhgubungan dengan tugas Ka
SPN
Dalam rangka menegakan disiplin anggota, KA SPN Purwokerto
sesuai fungsinya bertugas untuk melakukan Pembinaan Kepribadian
termasuk kepemimpinan, disiplin dan tata tertib serta nilai-nilai moral
dan etika profesi baik bagi personil SPN Purwokerto maupun peserta
didik / pelatihan. Yang dalam pelaksanaan hariannya dilaksanakan oleh
Unit Provos SPN Purwokerto. Upaya upaya tersebut dilakukan dengan
upaya Preventif maupun represif.
Contoh upaya preventif yang dilakukan oleh Unit Provost SPN
Purwokerto dilakukan dengan cara-cara antara lain :
a. Membuat rencana Kegiatan Penegakkan, ketertiban dan
kedisiplinan personel SPN Purwokerto,
109
b. Melaksanakan pemeliharaan ketertiban dan menegakkan Urusan
dalam dilingkungan SPN Purwokerto,
c. Melaksanakan Pemeriksaan Surat nyata diri, gampol, sikap
tampang, kendaraan dinas dan kendaraan Personel baik Polri
maupun PNS secara berkala,
d. Melaksanakan Pengamanan markas, kesatuan, asrama
dilingkungan SPN Purwokerto, baik Pengamanan VIP, proyek
Vital, gudang Senpi, dokumen dinas dan barang – barang
Inventaris Kantor termasuk pengamanan terhadap kegiatan-
kegiatan yang bersifat protokoler,
e. Melaksanakan upaya binluh hukum dan kedisiplinan secara berkala
dan terprogram.
Sedangkan upaya penegakan disiplin secara represif, dilakukan
sesuai prosedur penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam
Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Polri, apabila benar telah terjadi perkara pelanggaran disiplin.
Dalam mewujudkan Polri yang disiplin dalam melaksanakan
tugasnya dalam mengatur ketertiban masyarakat, perlu adanya strategi
dalam mewujudkan citra Polisi yang baik dalam pemerintahan. Hal itu
dapat dilakukan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.105
a. Program Jangka Pendek ( 1 Tahun )
1. Peningkatan kualitas Penyidik Provos Polda,
2. Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan anggota Polri terhadap
disiplin.
3. Pengadaan dan pengelolaan sarana pendukung tugas penegakan
Hukum Disiplin.
4. Membangun pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan
penegakkan hukum disiplin anggota Polri sebagai bentuk
transparansi dan akuntabilitas kinerja Polri kepada masyarakat.
105
Agus Wijayanto, 2010. Tesis :Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota
Polri guna mewujudkan Good governance dan Clean government Di internal polri
Dalam rangka memantapkan citra Polri. Semarang
110
b. Program Jangka Sedang ( 3 Tahun )
Dilaksanakan secara paralel dengan pelaksanaan kegiatan
pada program Jangka Pendek, dengan melaksanakan kegiatan
sebagai berikut:
1. Membangun dan memelihara komitmen Pimpinan Polri untuk
tegaknya disiplin, anggota Poiri.
2. Melakukan kerja sama dengan Lembaga Kompolnas dalam
rangka mempersiapkan dan mendukung peran Kompolnas tidak
hanya sebatas pemberi saran kepada Presiden tentang kinerja
Polri, akan tetapi juga sebagai kontrol sekaligus mitra bagi
Polri dengan saling tukar informasi.
3. Memelihara dan meningkatkan hubungan kerja sama dengan
media sehingga dapat berperan sebagai kontrol bagi anggota
Polri, untuk tetap berpartisipasi aktif secara proporsional
dengan penyebaran informasi yang tidak tendensius bahkan
mengarah kepada fitnah dalarn penegakkan hukum disiplin
anggota Polri.
4. Memelihara dan meningkatkan motivasi/dedikasi penegak
hukum disiplin Polri.
c. Program Jangka Panjang ( 5 Tahun )
Dilaksanakan secara Paralel bersamaan dengan Pelaksanaan
kegiatan pada program Jangka Pendek dan Jangka Sedang, dengan
melaksanakan kegiatan sebagai berikut :
1. Perbaikan atau merevisi aturan hukum disiplin.
2. Mengimplementasikan nilai-nilai paradigma baru Polri sebagai
polisi yang berwatak sipil dan nilai-nilai reformasi Polridalam
proses penegakkan hukum disiplin anggota Polri
3. Membangun dan memelihara hubungan kerja sama dengan
pihak kontrol eksternal lainnya seperti DPR, Komnasham
maupun BPK dengan maksud saling bertukar informasi secara
proporsional dalam kaitan peningkatan penegakan hukum
disiplin anggota Polri.
111
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Penerapan hukuman disiplin terhadap anggota Polri yang melakukan
tindak pidana di Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto :
Penegakan hukum disiplin Polri terhadap anggota Polri yang
melakukan tindak Pidana di SPN Purwokerto, khususnya dalam kasus
tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh Brigadir TS dan AKP
BU menunjukkan adanya inkonsistensi penerapan hukum.
Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri, AKP BU dapat
diberhentikan Tidak Dengan Hormat dari Dinas Kepolisian Negara
Republik Indonesia, karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melakukan tindak pidana, dan telah memperoleh putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan
penerapan sanksi terhadap Brigadir TS, hanya berupa hukuman
disiplin saja tanpa mendapat sanksi pidana pada Peradilan Umum, hal
tersebut bertentangan dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pemberian hukuman disiplin
112
tidak menghapuskan tuntutan terhadap tindak pidana. Penjatuhan
hukuman yang berbeda terhadap kedua oknum tersebut telah
memperlihatkan bahwa tidak terselenggaranya asas kepastian hukum,
asas keseimbangan, asas keadilan dan kewajaran dan asas kesamaan
dalam mengambil keputusan yang merupakan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik yang seharusnya menjadi pedoman
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan.
2. Upaya Polri dalam menciptakan disiplin anggota di Sekolah Polisi
Negara (SPN) Purwokerto :
Upaya yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini SPN
Purwokerto adalah dengan upaya penegakan disiplin secara preventif
yang bertujuan untuk mencegah adanya pelanggaran disiplin anggota
Polri dan juga upaya penegakan disiplin secara represif yang
dilakukan sesuai prosedur penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Peraturan Disiplin Polri, apabila benar telah terjadi perkara
pelanggaran disiplin.
113
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis memberikan saran
yaitu :
1) Dalam penjatuhan sanksi terhadap anggota Kepolisian Republik
Indonesia, hendaknya disamping memperhatikan Peraturan
Perundang-Undangan yang tertulis, seharusnya juga memperhatikan
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
2) Salah satu konsekuensi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah anggota
Polri tidak menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Berdasarkan hal tersebut, Penulis merekomendasikan agar diadakan
perubahan/pembaharuan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan
status anggota Polri sebagai pegawai negeri dalamUndang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Asshiddiqie, Jimly. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Basah, Sjachran. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak
Administrasi Negara. Bandung : Alumni.
Fernanda, Desi. 2003. Etika Organisasi Pemerintah. Jakarta :Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia.
Hadisoeprapto, Hartono. 1993. Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
Hadjon, Philipus M, dkk. 1999. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.
Ibrahim, Johny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Banyumedia.
Indrawijaya, Adam. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Penerbit Sinar
Baru.
Kadafi, Binziad. 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimas; Studi
Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).
K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Koentjoro, Diana Halim. 2004. Hukum Administrasi Negara. Jakarta
:Ghalia Indonesia.
Kunarto. 1997. Perilaku Organisasi POLRI. Jakarta: PT CIPTA
MANUNGGAL.
Lubis, Suhrawardi K..Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika, Jakarta 2006
Marbun, SF dkk. 2002. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara. Yogyakarta : UII Pers
Marbun, S.F. dan Moh. Mahfud Md. 1997. Pokok-Pokok Hukum
Administrasi. Yogyakarta : Liberty.
Marzuki, Peter Mahmud. 2007.Penelitian Hukum Normatif (cet.ke-7).
Jakarta: Kencana.
Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta :Bina Aksara
Muslimin, Amrah. 1985. Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi. Bandung : Alumni.
Mustafa, Bachsan. 1985. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remadja
Karya
P. A. F. Lamintang,Theo Lamintang. 2010. PEMBAHASAN KUHAP
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi.
Bandung : SINAR GRAFIKA.
Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi
POLRI), Surabaya: Laksbang Mediatama.
Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian, LAKSBANG Presindo
Yokyakarta.
Soehino. 1984. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta:
Liberty.
Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI
Press.
________________ dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Raja grafindo Persada.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum,
(Kanisius, Yogyakarta : 1975).
Tabah, Anton. 1996. Polisi Budaya dan Politik. Klaten: CV Sahabat.
_______1998.Reformasi Kepolisian, Klaten: CV Sahabat.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
TAP MPR Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran
Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Undang-UndangNomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok – Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian
Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Polri.
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja
Komisi Kode Etik Polri
C. Sumber Lain
www.jateng.polri.go.id/home.php?menu=94. Diakses pada tanggal 12
November 2014.
http://id.shvoong.com/social-sciences/2159592-pengertian-dan-definisi-
etika-menurut/#ixzz1t7BCc8fs.Diakses pada tanggal 15 November
2014.