fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bab i - v... · web viewfungsi...

210
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya-upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perkembangan ekonomi dewasa ini menunjukkan arah yang semakin bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu diperlukan berbagai kebijaksanaan dan penyesuaian dibidang perekonomian termasuk sector Perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional. Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan menunjang system pembayaran merupakan factor yang sangat menentukan. Sehubungan dengan itu 1

Upload: phungduong

Post on 06-May-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya-

upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat

yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Perkembangan ekonomi dewasa ini menunjukkan arah yang semakin bergerak cepat

dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu diperlukan berbagai

kebijaksanaan dan penyesuaian dibidang perekonomian termasuk sector Perbankan

sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian

nasional. Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga

intermediasi dan menunjang system pembayaran merupakan factor yang sangat

menentukan. Sehubungan dengan itu diperlukan penyempurnakan terhadap system

Perbankan nasional dan merupakan tanggung jawab antara pemerintah, bank-bank itu

sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank, tangung jawab bersama itu akan

memelihara tingkat kesehatan Perbankan, sehingga dapat berperan secara maksimal

dalam perekonomian nasional.

Perbankan sebagai sektor yang vital dan strategis mendapat kemudahan-

kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, antara lain paket kebijaksanaan

1

pemerintah (deregulasi), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan mendirikan

bank-bank baru maupun perluasan membuka cabang-cabang di daerah-daerah serta

perubahan status dari Bank pemerintah menjadi bentuk perusahaan perseroan.

Perubahan yang timbul oleh adanya kemudahan tersebut disatu sisi memang

menguntungkan tetapi disisi lain juga menjadikan persaingan antar bank semakin

ketat. Dengan adanya tingkat persaingan antar bank mengakibatkan setiap bank saling

berlomba untuk memberikan kredit kepada nasabah debiturnya, hal ini akan

berdampak semakin tingkat bunga kredit bank semakin kadang-kadang tidak rational

dalam memberikan kredit dengan bunga rendah, disamping itu banyak sekali bank-

bank yang melakukan terobosan tetapi melanggar peraturan Bank Indonesia.

Adanya kebijaksanaan tersebut pemerintah menunjuk agar pembinaan dan

pengawasan bank dapat terlaksana secara efektif maka Bank Indonesia diberikan

kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perijinan, pembinaan

dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang tidak memenuhi

peraturan Perbankan yang berlaku.

Salah satu kebijaksanaan Perbankan yang diterbitkan Pemerintah adalah

tentang Bank Perkreditan Rakyat, penyempurnakan system Perbankan di Indonesia

ditempuh antara lain dengan menyerderhanakan jenis Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat. UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10

Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat diharapkan untuk

2

membiayai usaha mikro dan kecil terutama dibidang pertanian dan masyarakat

didaerah pedesaan. Bank Perkreditan Rakyat selama ini telah membiayai usaha mikro

dan kecil disektor pertanian, perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain termasuk

konsumsi.1

Karakteristik kredit Bank Perkreditan Rakyat sebagai lembaga pembiayaan

UMKM (Usaha Menengah Kecil Mikro ) antara lain : Plafon kecil, jangka waktu

singkat, tingkat bunga relatif tinggi. Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat

dijalankan dengan memenuhi tuntutan nasabah antara lain prosedur yang sederhana,

waktu pemrosesan yang singkat.

Masalah dan tantangan yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat antara lain

Permodalan yang terbatas, kualitas SDM yang relaif belum memadai, disamping itu

persaingan bank semakin ketat baik antar Bank Perkreditan Rakyat sendiri maupun

Bank Umum serta lembaga keuangan lain. Sehingga penyebaran Bank Perkreditan

Rakyat terkonsentrasi di Jawa Bali. Kontribusi kredit Bank Perkreditan Rakyat

kepada UMKM relatif kecil (4,1 %) sedangkan untuk penyangga dana likuiditas

sebagai pengayom Bank Perkreditan Rakyat sangat terbatas, kredit yang tersalur pada

sektor pertanian relatif kecil (6,1 %) dari seluruh kredit Bank Perkreditan Rakyat

menurut data Bank Indonesia tahun 2010.2

1 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 2 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR

3

Harapan pemerintah terhadap perkembangan Bank Perkreditan Rakyat

sebagaimana perubahan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka Bank

Perkreditan Rakyat dapat berperan sebagai berikut:

1. Berperan sebagai Ujung Tombak Lembaga Keuangan Mikro, serta

Mendukung Pengembangan Ekonomi Pedesaan.

Industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan mampu menjadi lembaga

pembiayaan yang sehat, kuat dan produktif yaitu Industri Bank

Perkreditan Rakyat yang didukung oleh : Permodalan yang kuat, SDM

kompeten dan berintegritas tinggi dan wawasan yang luas, operational

yang efisien.

2. Bank Perkreditan Rakyat dapat memberikan pelayanan kepada usaha

mikro kecil secara merata diseluruh wilayah Indonesia.

Salah satu pokok permasalahan dalam Bank Pekreditan Rakyat agar

menjadi Bank yang sehat adalah sistem pengawasan dalam pemberian

kredit, karena efektifitas pengawasan yang tidak memadai akan

menjadikan industri Bank Perkreditan Rakyat mengalami kegagalan baik

sistem SDM maupun dalam pengawasan kredit yang diberikan kepada

debiturnya. Sehingga menciptakan Bank Perkreditan Rakyat yang tidak

sehat.3

3 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR 4

Sistem Pengawasan Pemberian Kredit dapat diukur efektivitasnya dan

merupakan komponen penting pengawasan dengan hubungan hukum dalam tata kerja

managemen Bank Perkreditan Rakyat ( BPR) yang sehat dan aman serta membantu

pengurus Bank Perkreditan Rakyat (BPR), menjamin pelaporan keuangan dan

manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan Bank Perkreditan Rakyat (

BPR ) terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta

mengurangi resiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-

hatian.

Salah satu pihak yang berkepentingan terhadap Sistem Pengendalian Internal

adalah Sistem Pengawasan Intern dimana didalamnya terdapat Pengawasan dan

Pemeriksaan Intern yang lebih dikenal dengan Internal Control / Audit.

Terselenggaranya Sistem Pengendalian Intern yang handal dan efektif

menjadi tanggung jawab dari pengurus dan para pejabat Bank Perkreditan Rakyat,

selain itu pengurus juga berkewajiban untuk meningkatkan risk culture yang efektif

pada organisasi Bank Perkreditan Rakyat dan memastikan hal tersebut melekat di

setiap jenjang organisasi.

Sistem Pengendalian Intern perlu mendapat perhatian mengingat bahwa salah

satu faktor penyebab terjadinya kesulitan usaha Bank Perkreditan Rakyat adalah

adanya berbagai kelemahan dalam pelaksanaan Sistem pengawasan dan

Pengendalian Intern Bank Perkreditan Rakyat antara lain:4

4PT UKABIMA , 2005.Seminar di Jakarta , internal control/audit proseduresby Ukabima Team5

a. Kurangnya efektifitas mekanisme pengawasan, tidak jelasnya

akuntabilitas dari pengurus bank dan kegagalan dalam mengembangkan

budaya pengendalian intern pada seluruh jenjang organisasi.

b. Kurang memadainya pelaksanaan edentifikasi dan penilaian atas resiko

dari kegiatan operasional bank Bank Perkreditan Rakyat..

c. Tidak ada atau gagalnya suatu pengendalian pokok terhadap operasional

bank, seperti pemisahan fungsi, otorisasi, verifikasi, dan kaji ulang atas

resiko dan kinerja bank.

d. Kurangnya komunikasi dan informasi antar jenjang dalam organisasi

bank, khususnya informasi di tingkat pengambilan keputuan tentang

penurunan kualitas risiko dan penerapan tindakan perbaikan.

e. Kurang memadai atau efektifnya program audit intern dan kegiatan

pemantauan lainnya.

f. Kurangnya komitmen manageman bank untuk melakukan proses

pengendalian intend dan penerapkan sanksi yang tegas terhadap

pelanggaran ketentuan yang berlaku, kebijakan dan prosedur yang

ditetapkan oleh Bank Perkreditan Rakyat.

Kebijakan Perkreditan Bank adalah aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang

disusun untuk menentukan arah operational / bisnis perkreditan Bank selain itu

kebijakan juga merupakan:5

5 Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia, 2006. Strategi dan Arah Kebijakan BPR6

1. Sarana mewujudkan budaya kredit yang akan dikembangkan di Bank pada

prinsipnya juga mengandung makna-makna filosofis sebagai berikut:

a. Sebagai visi yang komprehensif mengenai tata laksana perkreditan

bank serta komitmen bersama bahwa keputusan-keputusan di bidang

perkreditan harus konsisten dengan kepentingan stake holder dan

sasaran strategis Bank secara keseluruhan.

b. Sebagai pedoman untuk mengukur dan menilai resiko yang dapat

dikomunikasikan, mudah dipahami dan akurat.

c. Sebagai sarana menumbuhkan dan membudayakan kebijakan kredit

yang konserfativ atau pruden dengan tetap mengacu pada konsep

keseimbangan di antara resiko, keuntungan dan peluang.

d. Sebagai sarana menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap kualitas

analisa kredit, keputusan di bidang perkreditan dan tanggungjawab

dalam melakukan monitoring kualitas kreditnya.

2. Sarana informasi bagi seluruh jajaran (pegawai dan direksi) dibidang

perkreditan dalam memahami dan melaksanakan keputusan-keputusan

kredit dan relationship management.

3. Sarana untuk memberikan dasar ruang lingkup dan alokasi fasilitas kredit,

tata cara pemberian kredit, pelayanan kredit, dan penggunaan /penarikan

kredit secara umum.

7

Pada pembahasan dimuka telah disimpulkan bahwa perkreditan merupakan

salah satu usaha yang penting bagi dunia perbankan serta dari perkreditan akan

memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar pula, namun dibalik itu

ternyata pengelolaan perkreditan mempunyai berbagai masalah yang cukup rumit

pula antara lain dalam:6

1. Pemahaman masing-masing jenis usaha yang akan dibiayai dengan kredit

hal ini dapat dimengerti bahwa di masyarakat terdapat ribuan jenis usaha

yang mengandung permasalah satu sama lain berbeda, sedangkan di lain

pihak perbankan tetap dituntut untuk selalu akrab dengan permasalahan-

permasalah para nasabahnya.

2. Masalah perkreditan bersifat “ Kasuasistis “ artinya masalah yang ada

pada satu debitur akan berbeda dengan debitur yang lain sehingga aparat

perbankan dituntut harus mempunyai daya analis yang cukup tajam dan

secara cepat dapat pula mengindentifikasi dari permasalah yang dibadapi

para nasabahnya.

3. Pengamanan masalah perkreditan cukup kompleks sehingga untuk

penanganannya sering-sering melibatkan kerja sama berbagai disiplin ilmu

pengatehuan/berbagai disiplin profesi antara lain : ahli hukum, ahli

pemasaran, akuntan, insinyur berbagai bidang lainnya.

6 Teguh Pudjo Mulyono 1987, Management Perkreditan Bagi Bank Komersiil BPFE Yogyakarta Hal.28

4. Untuk dapat melaksanakan kegiatan kredit dengan baik diperlukan

sejumlah dana yang besarnya seimbang dengan biaya yang relatip lebih

rendah dari rata-rata suku bunga kredit. Biaya akan ditekan pada jumlah

paling minim agar jangan terjadi “ idle fund “

5. Dalam kegiatan perkreditan banyak tersangkut dengan ketentuan-

ketentuan perundang-undangan, peraturan pemerintah maupun kebijakan-

kebijakan pemerintah yang sering berubah dari suatu periode ke periode

yang lannya, bahkan kegiatan perkreditan inipun juga sangat terpengaruh

dari arus politik yang sedang berkuasa.

6. Mengingat banyak masalah yang tersangkut dalam kegiatan perkreditan

dan juga mengingat prosesnya yang berlangsung untuk jangka waktu yang

cukup lama. Maka akan menimbulkan pula masalah “ administrasi “ dan

”pengawasan “ yang cukup rumit.

7. Pihak bank akan dituntut profisional dalam melakukan kebijakan bank,

karena tingkat permasalahan yang komplek, harus secara jeli menganalisa

terhadap setiap permohonan kredit oleh debitur. Disamping itu mengingat

jenis-jenis kredit itu mempunyai aneka ragam yang tak terbatas.

Serta lain-lain kesulitan, permasalahan yang masih sangat banyak, yang tidak

mungkin untuk dapat diuraikan satu per satu dalam tulisan ini.

Selanjutnya di samping adanya berbagai kesulitan/masalah-masalah seperti

tersebut diatas. Yang harus dapat diselaikan dengan baik, masih ada pula faktor-

9

faktor yang harus dipertimbangkan serta diperhatikan secara seksama oleh para

pengelola perkreditan agar kredit-kredit yang telah diberikan kepada para debiturnya

dapat diselesaikan dengan baik, baik pokoknya maupun bunga dari kredit itu sendiri.

Adapun faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pemberian kredit antara lain :7

1. Faktor Intern Bank

a. Adanya “self dealing“ atau tindak kecurangan dari aparat pengelola

kredit.

b. Adanya kurang pengetahuan / ketrampilan pengelola kredit.

c. Kurang baiknya managemen informasi yang dibangun oleh bank

sendiri.

d. Lemahnya organisasi dan managemen dan tidak adanya kebijakan

perkreditan yang baik pada bank bersangkutan.

e. Kurangnya tingkat pengawasan kredit terhadap para debiturnya.

f. Adanya sikap yang ceroboh, lalai dan menggampangkan dari

pengelola perkreditan.

2. Faktor Extern Bank

a. Kegiatan perekonomian makro / kegiatan politik kebijaksanaan

pemerintah yang di luar jangkauan bank untuk diperkirakan.

b. Adanya itikad baik dari nasabah debitur yang diragukan.

7 Teguh Pudjo Mulyono, 1987. Managemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, BPFE,Yogyakarta Hal. 6.

10

c. Adanya persaingan yang cukup tajam di antara perbankan itu sendiri

sehingga bank bersangkutan tidak mampu untuk melakukan seleksi

resiko usahanya di bidang perkreditan.

d. Adanya tekanan-tekanan dari berbagai kekuatan politik di luar bank

sehingga menimbulkan kompromi terhadap prinsip-prinsip yang

sehat.

e. Adanya kesulitan / kegagalan dalam proses likuidasi dari perjanjian

kredit yang telah disepakati antara nasabah dengan baik.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pemberian kredit dan agar

pengawasan berjalan secara efektif, maka kami terdorong untuk mengadakan

penelitian guna menyusun skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS HUKUM

PENGAWASAN INTERNAL BANK TERHADAP PEMBERIAN KREDIT

KEPADA NASABAH DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR)

UKABIMA SEJAHTERA CILACAP”. Penelitian ini dilakukan pada BPR di kota

Cilacap salah satu BPR yang cukup berkembang dan pengawasan cukup baik.

11

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank terhadap

Pemberian Kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.

2. Bagaimanakah pengaruh faktor Motivasi Pengawasan, Kepatuhan Hukum

dan Kerjasama Bank dengan Nasabah terhadap Efektivitas Hukum

Pengawasan Internal Bank terhadap Pemberian Kredit kepada Nasabah di

PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas hukum pengawasan internal Bank terhadap

pemberian kredit kepada Nasabah di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.

2. Untuk mengetahui faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum, dan

kerjasama bank dengan nasabah terhadap efektivitas hukum pengawasan

internal bank dalam pemberian kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.

D. Kegunaan Penelitian.

1. Kegunaan Teoritis

12

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang Hukum Perdata, khususnya Hukum

Perbankan sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang

berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan internal pada Bank

Perkreditan Rakyat khususnya terhadap PT. Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP.

2. Kegunaan Praktis

2.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan untuk

evaluasi terhadap undang-undang perbankan dan undang-undang Bank

Indonesia khususnya Bank Perkreditan Rakyat serta memberikan

informasi bagi pemerintah dan masyarakat pentingnya sistem fungsi

pengawasan yang dilakukan oleh internal bank dan external Audit dari

BPKP dan Bank Indonesia.

2.2. Bagi peneliti, hasil penelitian merupakan sarana untuk menambah dan

pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan efektivitas

sistem pengawasan dalam pemberian kredit di Bank Perkreditan Rakyat

(BPR), serta menambah perbendaharaan teorisasi dan aplikasi dalam

praktek Perbankan dalam statusnya peneliti sebagai pengawas pada Bank

Perkreditan Rakyat.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM BANK

1. Pengertian Bank

Pengertian Bank dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa:

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.

Apabila kita menelusuri sejarah dan termohologi “ bank “ kata bank

berasal dari bahasa Italy “banca“ yang berarti bence yaitu suatu bangku

tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang

memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk

di bangku-bangku dihalaman pasar ( Abdulrrachman A, 1991 :80).

Dalam suatu kamus, kata “bank“ diartikan sebagai : (webster, Noah

1972 : 146)8

8 Munir Fuady, 1999. Hukum Perbankan Modern, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1314

1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk

memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-

fund tertentu dengan cek, notes, dan lain-lain, dan juga bank

memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan

memungut bunga.

2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut.

3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat

beroperasinya perusahaan perbankan.

Fungsi dan tujuan perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan

Pasal 4 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan :

1. Adalah fungsi utama Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur

dana dari masyarakat.

2. Perbankan bertujuan menunjang pelaksanakan pembangunan nasional

dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan

stabilitas nasional ke arah kesesjahteraan masyarakat banyak.

Menurut pendapat Muhamad Djumhana dalam bukunya hukum

Perbankan Di Indonesia, Bank berfungsi :

a. Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara effektif dan effisien. Bank menjadi tempat untuk menitipkan, dan penyimpanan uang yang dalam prakteknya sebagai tanda penitipan dan penyimpanan uang tersebut, maka kepada penitip dan penyimpan diberikan selembar kertu tanda bukti.

15

Sedangkan dalam fungsinya sebagai penyalur dana, maka bank memberikan kredit, atau membelikannya kedalam surat-surat berharga.

b. Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang Bank bertindak sebagai penghubung antara nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak langsung melakukan pembayaran tetapi cukup memerintahkan pada bank untuk menyelesaikan 9

Oleh karena itu bank dalam melaksanakan fungsinya harus menghindari hal-hal berikut :

1) Sistem free fight liberalisme (kebebasan yang menimbulkan eksploitasi (terhadap manusia dan bangsa).

2) Sistem etatisme (pemerintah bersifat dominant, mendesak dan mematikan poyrmsi dan daya kreasi unit-unit ekonomi luar sector Negara).

3) Persaingan tidak sehat serta memusatkan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli atau mohopsoni :10

2. Jenis-Jenis Bank

Didalam Undang-undang Perbankan No.10 Tahun 1998 telah diatur

beberapa jenis Perbankan, dimana setiap jenis bank dapat dilihat dari

fungsinya, serta kepemilikannya juga luasnya kegiatan operasionalnya.

1) Bank Sentral

Yang menjadi Bank Sentral adalah Bank Indonesia, yang mengatur

lebih lanjut terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam

pasal 8 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 ditentukan bahwa Bank

Indonesia bertugas untuk :

9 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Banti, Bandung, 2000, hal xi.10 Ibid, Hal 5.

16

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.

b. Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran.

c. Mengatur dan mengawasi bank.

Tugas Bank Indonesia sesuai Pasal 24 sampai dengan 35 UU No.

23 tahun 1999, tugas Bank Indonesia sebagai pengawas Perbankan hanya

sampai pada tahun 2002, yang kemudian tugas mengawasi Bank akan

dilakukan oleh Lembaga Pengawas Sector Jasa Keuangan ( LPJK )

berdasarkan Undang-undang No. 21 tahun 2011 tentang otoritas Jasa

Keuangan atau Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang

pelaksanaannya untuk perbankan dilakukan paling lambat tanggal 31

Desember 1013.

2) Bank Umum

Adalah bank yng dapat memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran, dimana dalam pelaksanakan kegiatan usahanya dapat secara

konvensional atau berdasarkan prinsip syariah Pendirian Bank Umum

dapat dilakukan oleh:

a. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.

b. WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing

dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.11

3) Bank Campuran

11 Ibid, Hal.37.17

Adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih

Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga

Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki

sepenuhnya oleh warga Negara Indonesia, dengan satu atau lebih yang

berkedudukan di luar negeri.

4) Bank Devisa

Adalah Bank yang melayani lalu lintas pembayaran baik dalam dan

luar negeri misalnya melayani pembukaan dan pembayaran L/C.sebagian

besar transaksi dalam bentuk valuta asing.

5) Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

Bank Berdasarkan Prinsip Syariah ini diatur dalam Undang-undang

Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang dilatarbelakangi adanya

suatu keyakinan dalam agama Islam yang berdasar pada prinsip syariah,

yaitu :

1. Prinsip bagi hasil (Mudharabah ).

2. Prinsip penyertaan modal ( Musharakah ).

3. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah),

atau pembiayaan barang modal berdasar sewa murni tanpa pilihan

18

(Ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas

barang yang disewa dari bank oleh pihak lain (Ijarah Iqtina ).

6) Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang

dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

(UU No.10 Tahun 1998 tertang perbankan ). Sedangkan Bank Perkreditan

Rakyat menurut Sukmadi (1994:17 ) adalah bank sekunder yang berfungsi

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa

deposito berjangka atau tabungan serta pemberian kredit.

3. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

BPR berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Dengan tujuan untuk melaksanakan Pembangunan Nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ke arah

peningkatan kesesjahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR adalah melayani

kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan

pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan

untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan

kesempatan usaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidal jatuh ke

tangan renternir atau pelepas uang.

19

3.1. Tujuan BPR

BPR dalam rangka ikut membantu meningkatkan produktivitas dan

penghasilan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mempunyai

beberapa tujuan dalam menjalankan usaha diantaranya :

a. Menunjang kelancaran penyediaan sarana produksi terutama

permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya

dan pembangunan desa pada khususnya.

b. Menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha segolongan

ekonomi lemah di pedesaan dan menciptakan lapangan kerja

secara langsung.

c. Meningkatkan produktifitas usaha pertanian dan perdagangan di

pedesaan.

d. Meningkatkan pendapatan didesa secara nyata karena usaha kecil

dan menengah.

e. Meningkatkan taraf hidup dengan jalan memberikan kredit kepada

pedagang kecil usaha mikro.

3.2. Fungsi BPR

Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan

untuk mencapai tujuan tersebut diatas BPR juga menjalankan fungsinya

sebagai :

20

a. Memberikan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah

murah dan mengarah pada masyarakat pedesaan.

b. Menyediakan kelancaran penyediaan sarana permodalan untuk

kegiatan produktif.

c. Meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama masyarakat

pedesaan, dan meningkatkan untuk gemar menabung.

d. Melindungi masyarakat pedesaan dari lintah darat.

e. Untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan

pembangunan daerah

Dari beberapa difinisi dan penggolongan Bank, dapat diketahui

bahwa bank memegang peranan penting dalam kehidupan perekonomian

yang merupakan pelaksanaan kegiatan moneter dan menjadi penghimpun

dana dalam jumlah yang besar dalam masyarakat. Dari uraian tersebut

diatas agar tidak terjadi pelanggaran dalam pelaksanakan pemberian

kredit pada Bank Perkreditan Rakyat, maka perlu adanya tindakan efektif

terhadap pengawasan dalam pemberian kredit kepada para nasabah

debitur, dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia secara

teratur setiap tahunnya dilakukan juga audit dari lembaga yang

berkompeten, begitu juga audit dari pihak intern bank sendiri dimana

hasilnya akan dipakai sebagai pegangan oleh bank itu sendiri. Untuk

21

mengetahui apakah prosedur Bank Indonesia telah dilaksanakan atau

dilanggar.

Apakah efektivitas pengawasan yang dilakukan selama ini sudah

tepat dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas sistem

pengawasan dalam pemberian kredit kepada nasabah apabila belum

efektiv maka sistem apa yang akan diterapkan sehingga menjamin

kinerja kesehatan Bank dan tidak melanggar aturan dan ketentuan Bank

Indonesia. Disamping itu apabila terjadi pelanggaran, maka tindakan apa

yang segera (represif /prefentif ) dilakukan oleh menegemen untuk

menyelamatkan Bank dari kerugian dan pelanggaran.

Bank harus mengawasi juga hubungan hukum atas pengajuan

kredit sehingga kredit itu disetujui dan kredit itu lunas tepat pada

waktunya. Dalam hal ini Bank Perkreditan Rakyat perlu menerapkan

sistem pengawasan atau prinsip-prinsip fungsi pengawasan kredit dari

permohonan kredit sampai dengan pelunasan kreditnya dan bersifat

menyeluruh sehingga kredit tersebut lunas sesuai dengan jangka

waktunya.

Tujuan pengawasan adalah mengamati pelaksanakan tugas apakah

telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan undang-

undang Bank Indonesia, apakah pelaksanakan tugas direksi staf dan

22

karyawan telah melampaui kewenangannya, atau sesuai dengan laporan

yang telah disusun sebagai laporan rencana kerja tahunan ke Bank

Indonesia sesuai target, apakah pemberian kreditnya melampaui Batas

Minimum Pemberian Kredit ( BMPK ), bagaimana jaminan bank, sektor

apa yang tidak boleh dibiayai dan peraturan Bank Indonesia yang telah

dikeluarkan yang harus dilaksanakan oleh Bank Perkreditan Rakyat

( BPR ) antara lain:

1. Peraturan BI No.8/18/PBI/2006: Tentang Kewajiban Penyediaan

Modal Minimum BPR.

2. Peraturan BI No.8/19/PBI/2006: Tentang Kualitas Aktiva

Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif BPR.

3. Peraturan BI No.8/20/PBI/2006: Tentang Transparasi Kondisi

Keuangan BPR.

4. Peraturan BI No.8/26/PBI/2006: Tentang Bank Pekreditan Rakyat.

5. Peraturan BI No.13/1/PBI/2011: Tentang Tingkat Kesehatan Bank

Umum.

TINJAUAN UMUM KREDIT

1. Pengertian Kredit

23

Sebelum membahas seluk beluk manajemen perkreditan, maka harus

mengerti kredit itu sendiri yang mempunyai demensi beraneka ragam,

Dimulai dari kata “ Kredit “ yang berasal dari bahasa Yunani “ Credere “ yang

berarti “ Kepercayaan “ atau dalam bahasa latin “ Creditum “ yang berarti

keperyayaan dan kebenaran12 dalam praktek sehari-hari pengertian ini

selanjutnya berkembang lebih luas lagi antara lain :

1) Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau

mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan

dilakukan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang telah

disepakati.

2) Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di

Indonesia, yang telah dirumuskan dalam bab.1, pasal 1.2 Undang-

undang Pokok Perbankan No.7 tahun 1992 jo Undang-undang Npo. 10

tahun 1998 yang merumuskan :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara Bank

dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah

bunga yang telah ditentukan “.

12 Dana F.Kellerman “ The New Grolier Wester International Dictionary “ Grorier, New York,1971, hal.237

24

Dalam praktek sehari-hari persetujuan kredit dinyatakan dalam bentuk

perjanjian tertulis baik dibawah tangan maupoun secara notariil, dan sebagai

pengaman pihak peminjam akan memenuhi kewajibannya akan menyerahkan

suatu jaminan baik yang bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan.

2. Syarat-Syarat Kredit

Untuk kredit telah dikenal adanya prinsip 5 C atau the five crediet

analisis ada yang menyebut proinsip 6 C atau the six crediet analisis.

kelima prinsip yang klasik ini meliputi 13:

1) Character

Kehidupan moral salah satu factor utama satu kepercayaan yaitu

suatu kepercayaan yang mendasari keperyayaan yang positip, menilai

sampai sejauh mana integritas dari debitur tersebut untuk menyelesaikan

utangnya.

2) Capacity

Yaitu menilai kepada calon debituir mengenai kemampuan

melunasi kewajiban-kewajibannya. Pendekatan historical, yaitu usahanya

selalu mengalami kegagalan, atau malahan berkembang dapat dilakukan

melalui berbagai pendekatan antara lain :

13 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 11 – 17

25

a. Pendekatan historis, apakah bersangkutan usahanya banyak

mengalami kegagalan, atau selalu menunjukan perkembangan

yang semakin maju dari waktu ke waktu.

b. Pendekatan finansiil, yaitu dari posisi neraca dan laporan keuangan

Rugi-Laba beberapa periode terakhir.

c. Pendekatan edukasional, yaitu pendidikan para pengurus

perusahaan calon debitur.

d. Pedekatan yuridis, apakah calon debitur secara yuridis mempunyai

kapasitas untuk mewakili dirinya ataupun badan usaha yang

diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.

e. Pendekatan managerial, yaitu sampai sejauh manakah tingkat

ketrampilan dan kemampuan nasabah dalam melaksanakan fungsi

managemen dalam memimpin perusahaannya.

f. Pendekatan tehnis, yaitu penilaian sampai sejauh kemampuan

calon debitur mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga

kerja, sumber bahan baku, peralatan kerja/mesin-mesin

administrasi dan keuangan, bahkan sampai merebut market share.

3) Capital

26

Yaitu jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur.

Hal ini dapat berupa barang-barang bergerak dan tidak bergerak. Biasanya

calon debitur yang telah menanamkan dananya dalam proporsi yang besar

dibandingkan dengan kredit yang diperolehnya dari Bank tentu akan

melakukan usahanya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab

biasanya akan berhasil.

4) Collateral

Yaitu barang jaminan yang diserahkan oleh debitur sebagai jaminan

atas kredit yang diterimanya. Biasanya secara yuridis cukup sempurna

bila jaminan tersebut marketable artinya mudah dijual atau dicairkan.

5) Condition of economy

Yaitu situasi dan kodisi politik, ekonomi, budaya dan lain-lain yang

mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk

suatu kurun waktu tertentu yang memungkinkan akan mempengaruhi

kelancaran usaha dan perusahaan yang memperoleh kredit.

6) Constraint

Yaitu kondisi yang tidak mungkin untuk melakukan usaha ditempat

itu walaupun unsur 5 C cukup baik (contoh usaha ternak babi didaerah

mayoritas penduduknya beragama islam).

3. Kebijaksanaan dan Asas-Asas Kredit

27

Untuk mengatasi berbagai kerumitan serta dalam upaya agar kegiatan

perkreditan tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan suatu

rangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu baik secara

tertulis ataupun tidak tertulis sebelum pelaksanakan perkreditan itu

berlangsung. Rangkaian peraturan tersebut disebut sebagai kebijaksanaan

kredit (Credit policy). Keputusan kredit tersebut harus bersifat tehnis dan

mengandung keputusan-keputusan politis.14

Azas pokok yaitu:15

1) Azas likwiditas, yaitu suatu azas yang mengharuskan bank untuk tetap

dapat menjaga tingkat likwiditasnya, karena satu bank yang tidak

likwid akibatnya sangat parah atau hilangnya kepercayaan dari para

nasabahnya atau masyarakat luas.

Bank dikatakan likwid apabila memenuhi beberapa kriteria antara lain:

a. Bank tersebut memiliki “cash assets“ sebesar kebutuhan akan

digunakan untuk memenuhi likuiditasnya.

b. Bank tersebut memiliki assets lainnya yang dapat dicairkan

sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarannya

14 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 1715 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 17-22

28

Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cas

assets baru melalui berbagai bentuk hutang.

2) Azas solvabilitas, usaha pokok perbankan yaitu menerima simpanan

dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit. Sehingga

bank harus pandai-pandai mengatur kebijaksanaan, surat-surat

berharga, dan mengatur tingkat kegagalan sekecil mungkin.

3) Azas rentabilitas, setiap usaha tentu mencari keuntungan baik untuk

eksistensinya maupun pengembangan usahanya. Berupa selisih antara

biaya dana dengan pendapatan bunga yang diterima dari para

debiturnya.

Keberhasilan bank untuk mengumpulkan penerimaan bunga

merupakan sumbangan yang besar bagi suksesnya bank itu sendiri. Disamping

bank harus memperhatikan azas tersebut ia harus pula memperhatikan faktor-

faktor yang mempengaruhi kebijakan perkreditan yaitu keadaan

perekonominan, perkembangan politik:

a. Peraturan-peraturan penguasa moneter yang ada.

b. Kemampuan bank yang bersangkutan dalam mengumpulkan dana biaya

yang relatip murah.

c. Volume permintaan kredit dari masyarakat business.

d. Tingkat (besarnya) laba yang diharapkan.

e. Kemampuan managemen bank itu sendiri.

29

f. Para saingan dari bank-bank/lembaga keuangan lainnya yang memasarkan

jasa perkreditan.

4. Jenis-Jenis Kredit

Dalam klasifikasi ini bentuk perkreditan dapat dilihat dari obyek yang

dibiayai dengan kredit tersebut antara lain:16

a. Kredit untuk Modal Kerja, yaitu kredit yang diberikan kepada

debiturnya untuk kebutuhan modal kerjanya. Kriteria bahwa kredit itu

akan habis dalam satu cycle usahanya.

b. Kredit investasi, yaitu kredit-kredit yang diberikan oleh perbankan

untuk membeli barang-barang modal yang tidak habis dalam satu

cycle usahanya, maksudnya proses dari pengeluaran uang kas dan

kembali menjadi uang kas akan memakan jangka waktu yang cukup

panjang setelah melalui beberapa kali perputaran.

c. Personal loan, adalah kredit yang diberikan kepada perorangan untuk

kebutuhan konsumtip.

d. Non Cash Loan, adalah kredit yang diberikan, kredit sejenis yang

belum efektif dapat ditarik secara tunai ataupun secara pemindah

bukuan, tetapi didalamnya telah terkandung adanya suatu kesanggupan

untuk melakukan pembayaran di kemudian hari.

4.1. Bank Garansi

16 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 24-30

30

a. Jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh Bank yang

mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang

menerima jaminan apabila pihak yang dijamin melakukan cidera

janji atau ingkar janji;

b. Jaminan dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya

atas surat-surat berharga seperti avalis dan endosemen yang dapat

menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila yang

dijamin cidera janji.

4.2. Fasilitas Pembukaan L/C Import

Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk penjual atas

permintaan dan sesuai dengan instruksi pembeli, dimana bank

memberikan jaminan atau memberikan kuasa kepada bank bank lain

untuk melakukan pembayaran akseptasi atau negaosiasi wesel-wesel

berdasarkan penyerahan dokumen yang ditentukan sesuai syarat dan

kondisi dalam L/C yang bersangkutan.

Masih banyak kredit-kredit, Kredit kelolaan, Kredit Investasi Kecil,

Kredit Modal Kerja Permanen, di samping kredit kelayakan, kredit

mahasiswa.

Pembagian kredit menurut sifatnya:17

17 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 39-47

31

a. Berulang ( revolving credit)

Yaitu kredit yang dapat ditarik sesuai dengan kebutuhan dana

dari pihak debitur. Jangka waktunya kreditnya juga dapat

diperpanjang selama kegiatan usahanya masih ada.

b. Kredit sekali tarik (einmalig kredit/self liquidating credit )

Kredit sekali tarik untuk suatu jangka waktu kemudian harus

dilunasi sekaligus pada saat transaksi kredit yang dibiayai telah

selesai (ciri kas kredit antara lain: untuk jasa pemborong

kontrak kerja. Kredit ekspor dan seterusnya).

c. Kredit dengan plafond menurun/Kredit Investasi

Kredit tersebut diberikan sesuai jatwal sesuai dengan plafond

angsuran yang telah disepakati bersama.

A. PENGAWASAN KREDIT

1. Pengertian Pengawasan Kredit

Salah satu fungsi managemen yang penting dalam setiap kegiatan

usaha yaitu tahap “ Pengawasan “, begitu juga di dalam perkreditan, karena

kegiatan pengawasan akan merupakan penjagaan dan pengamanan terhadap

kekayaan bank yang disalurkan (diinvestasikan) di bidang perkreditan.

Kegiatan pengawasan ini akan menjadi lebih penting lagi manakala diingat

32

bahwa “kredit“ merupakan “risk assets” bagi bank., karena assets tersebut

dikuasai oleh pihak di luar bank yaitu nasabah. Untuk peningkatan effisiensi

dan penjagaan/pengamanan terhadap harta bank tersebut tentu “adminitrasi

perkreditan“ harus dapat diandalkan.18

Pengawasan kredit yaitu salah satu fungsi managemen dalam usahanya

untuk menjaga pengamanan dan pengelolaan kekayaan bank dalam bentuk

perkreditan yang lebih baik dan efisien, guna menghindari terjadinya

penyimpangan-penyimpangan dengan cara mendorong dipenuhinya

kebijakan-kebijakan perkreditan yang telah ditetapkan dan mengusahakan

penyusunan administrasi kredit yang benar.

Jadi pengawasan kredit ini merupakan upaya dalam penjagaan dan

pengamanan harta bank dalam bentuk kredit. Ini bersifat preventif. Pengertian

dari pengawasan bersifat represif, untuk menyelamatkan kemungkinan-

kemungkinan kerugian yang potensiil akan timbul lebih besar, atau untuk

mecegah kerugian tersebut sama sekali, minimal harus mampu untuk

meminimisir kerugian yang akan timbul.

2. Obyek dan Fungsi Pengawasan Kredit

Obyek pengawasan kredit meliputi semua aspek perkreditan dan

semua obyek pengawasan tanpa melakukan pengecualian, yaitu :

18 Perbarindo pendidikan di Jakarta 2008, Sistem pengawasan BPR.33

1) Pengawasan terhadap semua pejabat, pegawai bank maupun pihak ke

tiga yang terkait dengan perkreditan.

2) Pengawasan terhadap semua jenis kredit, termasuk kredit kepada

pihak-pihak yang terkait dengan Bank dan debitur besar. Pengawasan

terhadap pihak-pihak terkait dengan Bank dan debitur-debitur besar

tertentu dilakukan secara lebih intensif.

Fungsi pengawasan (built in control) merupakan fungsi dari tanggung

jawab dari setiap tingkatan managemen sesuai wewenang dan tanggung

jawabnya masing-masing.

1) Fungsi pengawasan kredit harus dua arah dari upaya yang bersifat

pencegahan sedini mungkin atas terjadinya hal-hal yang dapat

merugikan bank dalam perkreditan atau timbulnya praktek pemberian

kredit yang tidak sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian.

Fungsi tersebut tercermin dalam struktur pengendalian

intern/menejemen Bank yang terkait dengan perkreditan (Pecegahan

Preventif ).

2) Pengawasi kredit harus dilakukan sehari-hari oleh menegemen Bank

atas setiap pelaksanakan pemberian kredit atau yang lazim dikenal

pengawasan melekat.

34

3) Mengawasi apakah pemberian kredit telah dilaksanakan sesuai dengan

kebijakan Perkreditan Bank, Pedoman Pelaksanakan Kredit dan

ketentuan intern Bank yang berlaku.

4) Memantau perkembangan kegiatan debitur dan memberikan

peringatan sedini mungkin mengenai penurunan kualitas kredit-kredit

yang diperkirakan mengandung resiko bagi Bank melalui/ kepada unit

bisnis terkait.

5) Mengawasi apakah penilaian kolektibitas kredit telah sesuai dengan

ketentuan berlaku yang ditetapkan oleh Bank.

6) Memantau dan mengawasi secara khusus apakah pemberian kredit

kepada pihak terkait dengan Bank dan debitur-dibitur besar tertentu

telah sesuai dengan kebijakan Perkreditan Bank dan tidak melanggar

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

7) Memantau kecukupan jumlah Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif (PPAP).

3. Tujuan dan Ruang Lingkup Pengawasan Perkreditan

Tujuan Pengawasan perkreditan sebagai berikut:19

1) Agar pengawasan/penjagaan dalam pengelolaan kekayaan bank

di bidang perkreditan dapat dilakukan dengan baik untuk

19 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 424-425

35

menghindarkan penyelewengan baik dari oknum-oknum

ekstern/intern bank.

2) Untuk memastikan ketelitian dan kebenaran data administrasi di

bidang perkreditan serta penyusunan perkreditan yang lebih

baik.

3) Untuk memajukan effisiensi di dalam pengelolaan dan tata

laksana usaha di bidang perkreditan dan mendorong tercapainya

rencana yang ada.

4) Untuk memajukan agar kebijakan yang telah ditetapkan seperti

tersebut diatas dipatuhi dengan baik.

Ruang lingkup pengawasan tersebut diatas akan dapat dibedakan lagi

secara lebih mendetail yaitu:20

1. Pengawasan dalam arti sempit yaitu berupa pengawasan administratif

yang mempunyai ruang lingkup untuk mengetahui kebenaran data-data

admnistratif.

2. Pengawasan dalam arti luas yaitu merupakan kegiatan pengendalian

dalam suatu perusahaan yang kita kenal dengan managemen control

yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu di bidang :

- Financial di dalam pelaksanakannya sering kita sebut Financial audit.

- Operational – Sering kita sebut Operational Audit performance audit.20 Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, Edisi Kesatu, BPFE, Yogyakarta, 1987, hal. 425

36

- Management/Policy – sering kita sebut management audit.

Apabila dilihat tingkat/pola pengawasan berbeda-beda satu sama

lainnya sesuai situasi dan kondisi dari pada debitur sendiri. Salah satu bentuk /

pola pengawasan yang dituntut bagi bank sebagai “Agent Development“

(dalam mengembangkan para pengusaha golongan ekonomi lemah) adalah

bidang pembinaan, baik pembinaan di bidang management, pembinaan tehnik

produksi. Untuk pengawasan setiap pejabat harus dapat melakukan atau

memilih sesuai dengan keadaan debiturnya.

Disamping pengawasan tersebut diatas tujuan dan kegunakan bank

juga melaksanakan Struktur Pengedalian Intern Perkreditan. ( SPIP). Struktur

Pengendalian Intern/pengendalian managemen yang memadai dalam

perkreditan diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya penyalahgunakan

wewenang dan praktek pemberian kredit yang tidak sehat dengan

mengabaikan prinsip kehati-hatian oleh berbagai pihak yang dapat merugikan

bank. Struktur pengendalian intern bank meliputi:

a. Pengawasan Intern

1. engawasan Melekat

2. Pengawasan Fungsional

b. Pengawasan Ekstern

Pengawasan ekstern instansi, yairu dilakukan oleh BPKP dan BI.

37

4. Cara-Cara Pengawasan Kredit

a. Cara pelaksanaannya:

1. Pengawasan langsung adalah pengawasan dilaksanakan ditempat

kegiatan berlangsung, yaitu dengan inspeksi dan pemeriksaan secara

mendadak.

2. Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan berdasarkan

pemantauan dari laporan baik bulanan triwulanan, dan pemantauan

dari kinerja dari bank yang bersangkutan.

b. Menurut waktu pelaksanaan pengawasan:

1. Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan di mulai sampai dengan

persetujuan kredit dengan mengadakan pemeriksaan dan persetujuan

rencana kerja dan rencana anggarannya. Pengawasan ini bersifat

preventif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan,

penyimpangan dan pemborosan.

2. Pengawasan dilakukan selama pekerjaan berlangsung, untuk

memonitoring pelaksanakan kerja apakah sesuai dengan rencana kerja

sesuai arahan yang benar.

3. Pengawasan yang dilakukan represif terhadap rencana kerja dibanding

dengan hasilnya apakah tidak terjadi kebocoran sehingga merugikan

Bank.

38

4. Pengawasan terhadap kesalahan kerja bagaimana tindak lanjutnya

untuk mengatasinya.

c. Pengembangan Sistem Pengawasan

Untuk mengembangkan system pengawasan yang efisien dan

efektif, maka pejabat atau pihak Bank harus segera merespon akibat yang

akan timbul sehingga dengan segera membenahi atau meluruskan,

mengkoreksi agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat kerugian Bank.

Atau melaporkan sesuai aturan Bank Indonesia.

d. Struktur Pengendalian Intern Perkreditan

Struktur pengedalian intern/pengedalian managemen yang

memadai dalam perkreditan diperlukan untuk menjamin tidak terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan praktek pemberian kredit yang tidak

sehat dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian oleh berbagai pihak

yang dapat merugikan Bank, Kebijakan struktur pengendalian intern bank

meliputi :

1. Penerapam Struktur Pengendalian Intern

Struktur pengendalian intern dalam perkreditan harus

diterapkan pada semua tahapan, yaitu mulai dari permohonan kredit

sampai dengan pelunasan kredit.

2. Cakupan Struktur Pengendalian Intern Perkreditan

39

Struktur pengendalian Intern dibidang perkreditan sekurang

kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Pengawasan ganda dalam pengambilan keputusan kredit

dilakukan melalui mekanisme prinsip four-eye.

b. Pengawasan harus diterapkan pada setiap tahap proses

pemberian kredit yang mengandung unsur kerawanan

terhadap penyalah gunakan atau dapat menimbulkan kerugian

keuangan Bank. Pengawasan yang bersifat review secara

komprehensif atas kredit dimaksud dilakukan oleh Satuan

Kerja Audit Intern (SKAI). Temuan-temuan audit oleh SKAI

tersebut diinformasikan (secara tertulis) kepada Unit

Business, unit risk Management dan unit credit Restructuring

untuk ditindak lanjuti, guna mendektesi dan mengantisipasi

segala resiko perkreditan secara lebih dini sehingga kerugian

dapat dihindari dan diminimalisir.

c. Adanya mekanisme bahwa setiap pelanggaran terhadap

Kebijakan Perkreditan Bank dan Pedoman Pelaksanakan

Kredit dapat segera diketahui dan dilaporkan kepada pejabat

atau Direksi yang berwenang.

e. Kajian Berkala Atas Efektivitas Sistem Pengendalian Intern

Perkreditan

40

1. Guna menjamin efektivitas system pengendalian intern secara

berkesinambungan, Bank wajib melakukan kajian berkala atas system

pengendalian intern perkreditan.

2. Kajian berkala dimaksud dilaksanakan secara periodik berdasarkan

perkembangan factor intern dan ekstern Bank. Sehubungan dengan hal

tersebut diatas maka bagaimanakah efektivitas hukum keperdataan

(hukum perbankan) terhadap sistem pengawasan kredit apakah dapat

mencegah atau mengurangi tingkat pelanggaran didalam mekanisme

pemberian kredit di Bank

D. EFEKTIVITAS HUKUM

1. Pengertian Efektivitas Hukum

Berkaitan dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang

sering menjadi masalah urgensi adalah masalah hukum. Kata Efektifitas

berasal dari kata dasar efektif yang kemudian mendapat akhiran itas.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata efektivitas berarti :

Efektivias adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya): manjur atau mujarab (tentang obat, obat itu ternyata cukup efektif mengurangi rasa sakit); dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan).21

21 Pusat Bahasa,Dep.Pendidikan Nasional, kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 Jakarta 2003hal.284.41

Menurut A. Emerson, efektivitas ialah pengukuran dalam arti

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelas

bila sasaran atau tujuan tercapai sesuai dengan yang direncanakan

sebelumnya adalah efektif.22

Kata efektivitas juga banyak dilontarkan oleh para ahli hukum

khususnya aliran sosiologi, baik dalam negeri maupun diluar negeri.

Istilah tersebut didasarkan atas pemikiran para ahli yang memang

mempunyai dasar tersendiri yang tumbuh menjadi teori, yang kemudian

teori-teori akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas suatu

permasalahan.

Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam

bahasa Inggris “effective” yang telah mengintervensi dalam bahasa

Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda

“effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Sedangkan efektivitas

hakum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan

hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum

itu sendiri. Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi

hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum

beragam, bergantung pada sudut pandang yang diambil.

22 Astuti Ajie Probo Retno,Pengaruh Iklim Organisasi dam Pembinaan Pegawai Terhadap Efektivitas Pelayanan Umum di KanorKec.Banyumas,PurwokertoFISIP UNSOED.2006, hal 17.

42

Soerjono Soekanto23 berbicara mengenai derajat efektivitas suatu

hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat

terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal

suatu asumsi, bahwa : “Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan

suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsi-nya

hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan

hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi

masyarakat dalam pergaulan hidup”. Dengan demikian efektivitas sebuah

hukum dalam masyarakat adalah kemampuan hukum untuk menciptakan

keadaan yang dikehendaki oleh hukum.

Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah

kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah

hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar

efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum. Dalam

tulisan yang lain Soerjono juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud

dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar

hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat,

artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan

filosofis.

2. Teori Efektivitas Hukum23 Soerjono Soekanto, Factor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarta Rajawali,1983, hal 62

43

Berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum

tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk

mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.

Tujuan hukum24 tersebut tercermin dalam tujuan dibentuknya suatu

produk hukum yaitu dilihat dari tiga aspek yaitu :

a. Kepastian Hukum (reshtssicherhit)

Maksud dari kepastian hukum ialah hukum yang berlaku

tidak boleh menyimpang. Ada sebuah istilah “fiat justitia et pereat

mundus” yang artinya ialah meskipun langit akan runtuh hukum

harus tetap detegakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan

yustisiabel terhadap tindakan sewenang, yang berarti bahwa

seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan

adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum

masyarakat akan lebih tertib. Tujuan dari kepastian hukum ialah

mencipkan ketertiban masyarkat.

b. Kemanfaatan (zweckmassigkeot)

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum

harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan

sampai karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan karena

24 Iswanto, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan kedua, Purwokerto, UNSOED 2003,hal 167-168.44

hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan

didalam masyarakat.

c. Keadilan (gerechtihkeit)

Hukum harus memenuhi rasa keadilan masyarakat, artinya

bahwa setiap orang adalah sama dihadapan hukum, mendapat

perilaku yang sama, mendapat kesempatan yang sama, dan

sebagainya dalam hukum.

Agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat secara benar-

benar, harus memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara

yuridis, sosiologis dan filosofis. Namun dalam realisasinya tidak semudah

itu, karena untuk mengejar berfungsinya hukum yang benar-benar

merefleksi dalam kehidupan masyarakat sangat bergantung pada usaha-

usaha menanamkan hukum, reaksi masyarakat dan jangka waktu

menanamkan ketentuan hukum secara efektif.

Kajian mengenai proses penegakaan hukum itu sendiri akan

bersinggungan dengan banyak aspek lain yang melingkupinya. Suatu hal

yang pasti bahwa, usaha untuk mewujudkan ide atau nilai selalu

melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh faktor lainnya. Oleh

karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang

berdiri sendiri, melainkan selalu berdiri diantara berbagai faktor, atau

45

dengan kata lain titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar

suatu rumusan hitam diatas putih yang ditetapkan dalam berbagai bentuk

peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu

sejala yang dapat diamati didalam masyarakat antara lain tingkah laku

warga masyarakat. Hal ini berarti bahwa, titik perhatian harus ditujukan

kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faaktor non hukum

lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat.25

Pendekatan yang diungkapkan oleh Julius Stone diatas, antara lain

dapat dijumpai penerapannya diadalam hukum pada pendekatan yang

dilakukan oleh Robert B. Seidmen. Siedmen mencontoh untuk

menerapkan pandangan tersebut didalam analisanya mengenai

“Bekerjanya Hukum didalam Masyarakat”. Menurut Robert B. Siedmen

menyatakan bahwa, bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3

(tiga) unsur dasar, yakni : pembuat hukum, pelaksana hukum dan

pemegang peran.

Secara lebih lengkap model bekerjanya hukum model Robert B.

Seidmen ini dilukiskan dalam bagan berikut:

MODEL BEKERJANYA HUKUM DALAM MASYARAKAT

25 Ibid.hal 31.46

KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA

Gambar 1. Bekerjanya Hukum Menurut Robert B. Seidmen

Dari bagan diatas oleh R.Seidmen diuraikan ke dalam dalili-dalil

yang dikutip oleh Sacipto Rahardjo26 sebagai berikut:

a. Setiap peraturan hukum memberi tahu tentang bagaimana seorang

pemegang peran (role occutant) itu diharapkan bertindak ;

26 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Alumni,Bandung, 1986, hal 161.

47

UMPAN BALIKLEMBAGA PEMBUAT HUKUMUMPAN BALIK

LEMBAGA PENERAP HUKUM PEMEGANG PERAN

KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA

KEKUATAN PERSONAL DAN SOSIAL LAINNYA

AKTIFITAS PENERAPAN

NORMANORMA

b. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu

respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-

peraturan yang ditujukan kepadanya , sanksi-sanksinya, aktifitas dari

lembaga pelaksana hukum serta keseluruhan kompleks kekuatan

sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya;

c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai

serpons terhadap peraturan hukum merupakan funfsi peraturan-

peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya,

keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya

yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari

para pemegang peran;

d. Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi

peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-

sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik,

ediologi dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-

umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.

Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa setiap anggota

masyarakat sebagai pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola

peranan yang dimainkan baik oleh norma-norma hukum maupun oleh

kekuatan-kekuatan diluar hukum. Disamping itu, dari badan diatas

tampak pula peranan dari kekuatan-kekuatan personal dan sosial, yang

48

tidak hanya berpengaruh terhadap masyarakat sebagai sasaran yang diatur

oleh hukum melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum, dalam

kekuatan personal dan sosial ini termasuk kompleks suatu tatanan

lainnya. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak hanya

ditentukan oleh hukum semata akan tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan

personal dan sosial lainnya.27

Berkenaan dengan “ peran atau peranan “ dan “ status “ sebagai

tempat individu dalam hubungan sosial, Maurce Duveger28 menjelaskan

sebagai berikut : “ Setiap manusia memegang banyak sekali posisi sosial

“. Setiap posisi ini menampilkan kesempatan bagi suatu seri hubungan-

hubungan sosial. Bidang hubungan sosial ini adalah pada prinsipnya

sesuatu yang bisa dibanyangkan orang sama sekali terlepas dari indifidu

yang menduduki posisi tersebut. Kedudukan sosial yang demikian ini

dinamakan “ status “. Bagi setiap status ada sejumlah tingkahlaku yang

diharapkan dari individu, yang memegang posisi dan serentak atribut-

atribut tertentu yang seharusnya dimiliki. Diartikan sebagai “ peranan “

adalah atribut sebagai akibat dari status dan perilaku (tindakan) yang

diharapkan oleh anggota-anggota lain dari masyarakat terhadap pemegang

status. Singkatnya “ peranan “ hanyalah sebuah aspek dari status. Stoetzel

mengatakan bahwa “ Status “ adalah pola tindakan (perilaku) kolektif 27 Satjipto Raharjo,op,cit.hal 36.28 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dakhidae, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998. hal.101-102.

49

yang secara normal bisa diharapkan individu dari orang-orang lain.

Sedangkan “peranan” adalah pola tindakan (perilaku) kolektif yang

diharapkan oleh orang lain terhadap individu. Setiap orang adalah pelaku

di dalam masyarakat dimana ia hidup yang harus memainkan beberapa

peran dalam hubungan sosialnya.

Merdasarkan pada teori di atas, maka secara obyektif dapat

diinterprestasikan bahwa, tindakan individual dalam situasi tertentu

merupakan suatu kumpulan dari peranan-peranan yang dilakukan oleh

seorang individu. Tindakan yang merupakan konsekkuensi dari suatu

peran dapat dimotivasi melalui proses sosialisasi, yakni suatu dorongan

untuk mendapatkan pengakuan. Dalam masyarakat, manusia dipandang

dari peran yang dimilikinya, dengan konsep peran yang sesungguhnya

adalah berkaitan dengan konsep manusia. Setiap individu dalam

masyarakat memegang suatu peran dan ia akan berperilaku sesuai dengan

persyaratan yang ditentukan dari peran yang dimilikinya, yang mana

peran tersebut dibentuk melalui kedudukannya di dalam struktur normatif

tata sosial dan oleh sistem kultur yang berlaku, sehingga peran tersebut

dibatasi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam sistem

sosial tersebut.29

29 Michael Rush dan Philip Althof, Pengantar Sosiologi Politik,Penterjemah Kartini Kartono. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1987, Hal.234.

50

Setiap peran mengandung sejumlah kewajiban dan menjelaskan

kewajiban sesuai dengan peran yang dimiliki, berarti ikut membangun,

memelihara dan menjaga eksistensi sistem sosial secara keseluruhan.

Sistem sosial dilihat fungsional, mengandung sanksi-sanksi atas

kewajiban yang merupakan konsekuensi peran yang dimiliki individu-

individu serta memberikan berbagai imbalan yang merupakan pendorong

bagi individu yang menjadi pelaku dari suatu peran. Dengan demikian

peranan merupakan aspek yang dinamis dari status (kedudukan).

Apabila seeorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai

dengan kedudukannya, maka maka dia menjalankan peranan. Peranan

menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-

kesempatan apa yang dihentikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya

peranan adalah mengatur perikelakuan seseorang dan juga bahwa peranan

menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan

perbuatan-perbuatan orang lain.Sehingga dengan demikian orang yang

bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku

orang-orang sekelompoknya.30

Status dapat diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam

suatu kelompok yang lebih besar lagi. Status sosial artinya adalah tempat

seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sehubungan dengan orang-orang

30 Soerjono Soekanto,op.cit.hal 238.51

lainnya dalam kelompok yang lebih besar lagi. Status sosial artinya

adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehingga

dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,

prestesinya, hak-hak dan kewajibannya. Secara abstrak status berarti

tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang

dikatakan mempunyai beberapa status, oleh karena seseorang biasanya

ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.31

Apabila konsep “ peran, norma dan status “ di atas, diaplikasikan

ke dalam permasalahan proses pembatasan kewenangan pejabat dalam

pelayanan perbankan, maka secara yuridis sosiologis seorang

pejabat/pelaksana yang melakukan hubungan transaksi dengan nasabah,

masing-masing mempunyai kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan

merupakan wadah atau tempat hak-hak dan kewajiban-kewajiban,

sedangkan peranan merupakan proses pelaksana hak-hak dan kewajiban

tersebut, Hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pejabat/pelaksana mana

timbul berdasarkan peranan hukum dan transaksi perbankan. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan wewenang untuk

berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas

yang harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Apabila hak-hak dan kewajiban-kewajiban dapat dilaksanakan maka akan

31 Ibid,hal.233-234.52

timbul kewenangan Pejabat dalam menjalankan tugasnya untuk

melakukan upaya pemberian kredit kepada masyarakat.

Paksaan di dalam hukum modern pada akhirnya didasarkan pada

wewenang rationil-legal. Akan tetapi penggunaan paksaan dapat

mengurangi kewibawaan wewenang tersebut didalam kenyataanya.

Masalahnya kemudian berkisar pada sejauh mana warga-warga

masyarakat mematuhi hukum dan apakah akibat-akibat penerapan sanksi-

sanksi sebagai pembenaran terhadap kaedah-kaedah, untuk kepentingan

mana kemudian dijatuhkan hukuman-hukuman. Terlalu banyak sanksi,

sanksi yang tidak tepat, sanksi yang tidak adil, sanksi yang sewenang-

wenang dapat mengurangi kewibawaan penegakan hukum maupun dasar

pembenaran sanksi-sanksi tersebut.

Hukum sebagaimana diterima dan dijalani di Indonesia termasuk

ke dalam katagori hukum yang modern. Modernitas tersebut tampak

dalam ciri-ciri yang berikut :32

1. Dikehendaki adanya bentuk yang tertulis, seperti tampak pada

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa

kemerdekaan kebangsaan Indonesia hendaknya disusun suatu Undang-

Undang Dasar.

32Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.31-32.

53

2. Hukum berlaku untuk seluruh wilayah negara, suatu pernyataan dapat

juga disimpulkan dari kata-kata dalam Undang-Undang Dasar yang

menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar tersebut disusun untuk “

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia “. Pernyataan tersebut sesuai dengan salah satu karakteristik

hukum modern yang dibuat oleh Marc Galanter, yaitu bahwa hukum

modern terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat uniform serta

diterapkan tanpa mengenal variasi. Peraturan-peraturan tersebut lebih

bersifat teritorial dari pada pribadi, artinya peraturan yang sama

diterapkan terhadap anggota-anggota dari semua agama, suku, kelas

daerah dan kelamin. Apabila diakui adanya perbedaan-perbedaan

maka hukum bukan sesuatu yang disebabkan oleh kualitas yang

interistik, seperti antara bangsawan dan budak atau antara kaum

Brahmana dan kelas-kelas yang lebih rendah, melainkan disebabkan

oleh fungsi, kondisi dan hasil-hasil karya yang didapat oleh seseorang

dalam kehidupan keduniaan.

3. Hukum merupakan sarana yang dipakai secara sadar untuk

mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Hal tersebut

dapat dilihat pada rumusan dari Repelita-repelita terdahulu.

Berbicara tentang penerapan hukum, maka kita harus melihat

hukum sebagai suatu sistem, yang selalu berinteraksi dengan sistem yang

54

lain. Lawrence M. Freidman mengemukakan adanya komponen-

komponen yang terkandung dalam hukum yaitu :33

a) Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur.

b) Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.

c) Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture yakni hukumnya, lawyers dan judged’s dan external legal cultural yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya.

Semuanya merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem

hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan.

Menurut Weber yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo,

kecenderungan umum dalam perkembangan hukum modern adalah untuk

menjadi makin rasional. Secara teoritis, perkembangan tersebut melalui

tahap-tahap sebagai berikut :34

1. Pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara

kharismatik. Dalam istilah Weber, pengadaan hukum tersebut

terjadi melalui apa yang disebut dengan law propets, Weber

33 Esmi Warassih,Op.Cit, hal 82.34 Ibid, hal 41-42.

55

berpendapat bahwa cara pengadaan hukum seperti inilah, yaitu

melalui yaitu melalui law propets, yang benar-benar dapat disebut

sebagai pengadaan hukum yang kreatif, yaitu menciptakan sesuatu

dari nol. Pengadaan hukum dilakukan seperti dilakukan oleh ahli

hukum, bagaimana orisionilnya, tetaplah bertolak dari kaidah

hukum yang sudah ada sebelumnya.

2. Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para Legal

honoratioris, yaitu penciptaan hukum oleh para Kautelarjuristen

(cauelary yurisprudence). Cara tersebut mengandung suatu seni

dan ketrampilan untuk menciptakan dan melakukan inovasi

hukum. Terlihat pada tahap ini, Weber hendak menunjukkan pada

pengadaan hukum yang tidak begitu saja jatuh dari keadaan entah

berentah, seperti pada tahap terdahulu, melainkan hukum yang

tercipta melalui teknik-teknik dan keterampilan tersendiri. Dalam

pencapaian ini, hukum terkait pada preseden.

3. Pembebanan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekular

dan teokratis.

4. Tahap yang terakhir adalah penggarapan hukum secara sistimatis

dan penyelenggaraan hukum secara profisional oleh orang-orang

yang mendapat pendidikan hukum dengan cara-cara ilmiah dan

logisformal.

56

Teori-teori selanjutnya berkisar pada penerapan sanksi-sanksi

sebagai faktor yang menyebabkan kepatuhan hukum yang oleh Barku

dianggap mempunyai kelemahanyaitu “It also has been asserted that

sanction real of threted, have adeterrent effect although this is one of the

great unexamined premises of legal theory“35 Sanksi pada hakekatnya

merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah kelompok. Sanksi

tersebut dapat berwujud sebagai sanksi positif dan sanksi negative.

Sanksi-sanksi positif adalah unsur-unsur ysng mendorong terjadinya

kepatuhan dan peikelakuan yang sesuai dengan kaedah-kaedah.

Sebaliknya sanksi-sanksi negative menjatuhkan hukuman kepada

pelanggar-pelanggar kaedah-kaedah kelompok. Dengan demikian maka

proses pemberian sanksi-sanksi, mencakup semua sistem imbalan dan

hukuman, yang akibatnya adalah suatu dukungan yang efektif untuk

mematuhi kaedak-kaedah. Perihal sanksi-sanksi tersebut Hoefnagels

mengemukakan pendapat bahwa ;36

“ It may be assumed in principle and in view of human experience that censure and encouragement are both useful for influencing behavior to conform with the law. It is known that an inner willingness in the person concerned to cooperate in the influencing process isit primary aid for influencing behavoir. It may be assumed in view of human axperience that such willingness is created more easily by encouragement than by discouragement, or censure as the case may be “

35 Ibid. hal.232.36 Ibid. hal 233.

57

Selanjutnya Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat

kepatuhan hukum sebagai berikut:37

1. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum

dan menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari

mereka yang berwenang.

2. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum

dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian

yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang

bersangkutan.

3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan

kaedah-kaedah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa.

4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui

hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai

wewenang.

5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun

tidak atuh pada hukum (melakukan protes).

Sehubungan dengan efektivitas sanksi-sanksi tersebut, terutama

sanksi-sanksi negatif Shwartz dan Orleans pernah mengadakan suatu

penelitian yang menghasilkan beberapa hipotesa sebagai berikut: 38

37 Ibid, Hal 234.38 Ibid. hal 234.

58

1. Sanksi negatif (c.q.hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang

dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya.

2. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajat

efektifitasnya.

3. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya

kerugian.

4. Kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai

suatu alternatif yang sederajat dengan penerapan sanksi negatif.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum

Sistem hukum dapat memainkan peranan sebagai pendukung

dan penunjangnya dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan

hukum itu sendiri. Suatu sistem hukum yang tidak efektif akan

menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai. Sistem hukum

dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia didalam

masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan didalam aturan-

aturan hukum yang berlaku. Paul dan Diaz, seperti yang dikutip oleh

Esmi Warassih, mengajukan lima syarat yang harus dipenuhi untuk

mengefektifkan sistem hukum yaitu: 39

1) Mudah tidaknya makna aturan hukum itu untuk ditangkap dan

dipahami.

39 Ibid, hal 105-106.59

2) Luas tidaknya kalangan masyarakat yang mengetahui isi aturan

hukum yang bersangkutan.

3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya

mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,

melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan

sengketa-sengketa.

5) Anggapan dan perlakuan dikalangan warga masyarakat

bahwaaturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang

sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.

Pernyataan diatas sangat menarik untuk dikaji dalam hubungan

dengan pembicaraan dalam budaya hukum. Hukum yang dipakai sebagai

sarana untuk mengubah tingkah laku tentunya mengandung nilai-nilai

yang berbeda dengan nilai yang telah dikenal oleh masyarakat sehingga

diperlukan komunikasi hukum agar hukum berlaku efektif. Untuk

menanamkan nilai-nilai baru sehingga dapat melembaga sebagai pola

tingkah laku yang baru di masyarakat, maka perlu adanya proses

pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran

hukum masyarakat, Proses pelembagaan tersebut dapat dilihat pada bagan

berikut: 40

40 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers 2009 hal 127-129.60

Proses pelembagaan = efektifitas menanamkan unsur-unsur baru –

(dikurangi) kekuatan yang menentang dalam masyarakat / (dibagi)

kecepatan menanam unsur-unsur baru.

Efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan

tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan

lembaga baru didalam masyarakat. Semakin besar tenaga manusia, makin

ampuh alat-alat yang digunakan, makin rapi dan teratur organisasinya dan

makin sesuai sestem penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat,

makin besar hasil yang dapat dicapai dalam usaha lembaga penanaman

itu. Setiap usaha untuk menanamkan sesuatu yang baru pasti akan

mendapat reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang merasa

dirugikan. Kekuatan yang menentang tersebut akan berpengaruh negatif

terhadap berhasilnya proses pelembagaan. Dengan demikian maka

jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan

menentang dari masyarakat besar, maka kemungkinan terjadinya sukses

dalam kelembagaan yang terkecil atau bahkan hilang sama sekali.

Demikian pula sebaliknya. Apabila efektivitas penanaman itu besar dan

kekuatan menentang dari masyarakat kecil maka jalannya proses

kelembagaan menjadi lancar.

Bekerjanya hukum masyarakat menurut Donald Black, seperti

yang disampaikan oleh Saryono Hanadi, dipengaruhi oleh faktor personal

61

(diantaranya adalah pengalaman, pengetahuan, sikap, perilaku, persepsi,

opini, kecerdasan, kepatuhan, kepemimpinan, dan lain-lain, faktor

pemegang peran, faktor pelaksana hukum dan faktor sosial.41 Faktor-

faktor sosial yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum dalam

masyarakat adalah:

1. Stratifikasi masyarakat, adalah kelas sosial masyarakat secara

vertikal, berhubungan dengan harta kekayaan/sosial ekonomi,

kesolehan dalam agama, kekuasaan, keturunan keluarga ningrat

dan sebagainya. Masyarakat dengan stratifikasi tinggi cenderung

memiliki kemudahan hukum dan sebaliknya. Hukum lebih banyak

berpihak pada stratifikasi yang tinggi dan banyak dikenakan pada

pihak yang berada pada posisi bawah.

2. Morfologi, yaitu hubungan horisontal dalam kehidupan sosial.

Dalam hubungannya dengan bekerjanya hukum adalah bahwa

masyarakat yang berada dalam pusat kehidupan sosial lebih

banyak memiliki hukum dan kemudahan-kemudahan hukum

daripada masyarakat yang jauh dari pusat lokasi kehidupan sosial,

sehingga jika terjadi pelanggaran maka penangannya cenderung

kurang serius pada masyarakat yang dekat dengan pusat

kehidupan sosial dibanding dengan masyarakat yang jauh.

41 Saryono Hanadi, Sosiologi Hukum, Bahan kuliah, Purwokerto, FH Unsoed, 2008.hal 5-8.62

3. Organisasi, yaitu kerjasama untuk mencapai tujuan. Hubungan

organisasi dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat adalah

bahwa organisasi yang sudah baik dan mapan akan lebih banyak

memiliki hukum dari pada organisasi yang belum mapan.

Akibatnya, pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang lebih

baik cenderung tidak ditangani dengan serius.

4. Budaya, yaitu simbol dari kehidupan sosial seperti agama, nilai-

nilai, tanda kebesaran, kebiasaan dan lain-lain. Hubungan budaya

dengan bekerjanya hukum adalah bahwa kemampuan untuk

menempatkan pranata hukum di tengah-tengah sistem budaya

masyarakat. Hukum merupakan simbol dari sistem budaya yakni

adanya kesesuaian antara hukum dan sistem budaya yang ada

dalam masyarakat sebagai nilai-nilaidan sikap hukum. Dengan

demikian perubahan pada sistem budaya harus diikuti dengan

perubahan sistem hukumnya.

5. Kontrol sosial, yaitu suatu proses yang dilakukan untuk

menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan

harapan. Hubungannya dengan bekerjanya hukum dalam

masyarakat adalah bahwa kontrol sosial dijalankan dengan

menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan

kekuasaan negara sebagai lembaga yang terorganisir secara

63

politik. Dengan demikian hukum bertugas untuk memecahkan

masalah melalui pengaturan hubungan sosial dan

mempertahankan pola-pola hubungan sosial dan kaidah-kaidah

yang berlaku.

Term efektivitas secara umum Soerjono Soekanto berbicara

mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf

kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak

hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa taraf kepatuhan hukum

yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum.

Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut

telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan

melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.42Dalam ilmu sosial antara

lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau

kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umunya telah menjadi

faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya suatu yang ditetapkan

dalam hal ini hukum, Soedjono Soekanto 43 berpendapat bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukumnyam

faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor masyarakat, dan faktor

kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh

42 Soerjono Sukanto, 1983, op.cit. Hal 62.43Soejono Sukanto, 1983, op.cit.hal 62.

64

karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak

ukur daripada efektivitas berlakunya hukum.

a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)

Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari

Undang- Undang mungkin disebabkan karena:

1. Tidak diikutinya berlakunya azas-azas Undang-Undang.

2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat

dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang.

3. Ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang

yang .mengakibatkan kesimpangsiuran didalam

penafsiran serta penerapannya.

b. Faktor penegak hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam

masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-

kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Penegak

hukum harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari

golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau

menjalankan peranannya. Selain itu, sebagai panutan, penegak

hukum juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat

didalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah

hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.

65

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada

penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau

penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari

lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan

penanggulangan tersebut adalah:

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam

peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi; kegairahan

yang sanga terbatas untuk memikirkan masa depan,

sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;

3. Belum adanya kemampuan untuk menunda kepuasan suatu

kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;

4. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan

pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara

mendidik, melatih, dan membiasakan diri untuk mempunyai

sikap-sikap sebagai berikut:

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalamann

maupun penemuan-penemuan baru. Artinya, sebanyak

mungkin menghilangkan prasangka terhadap hal-hal yang

66

baru atau yang berasal dari luar sebelum dicoba

manfaatnya;

2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan

setelah menilai kekurangan-kekurangan yang ada pada

saat itu;

3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi sekitarnya

dengan dilandasi suatu kesabaran, bahwa persoalan-

persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya;

4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin

mengenai pendiriannya;

5. Orientasi kemasa kini dan masa depan sebenarnya

merupakan suatu urutan;

6. Menyadari akan potensi-potensi yang ada dalam dirinya,

dan percaya bahwa potensi-potensi tersebut akan dapat

dikembangkan;

7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada

nasib (yang buruk);

8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi

di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun

kehormatan diri sendiri maupun pihak-pihak lain;

67

10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil

atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap44.

c. Faktor Sarana dan Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak

mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar,

Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga

manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,

peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.

Adanya hambatan penyelesaian perkara bukanlah semata-

mata disebabkan karena banyaknya perkara yang harus

diselesaikan, sedangkan waktu untuk mengadilinya atau

menyelesaikannya adalah terbatas. Penambahan jumlah hakim

untuk menyelesaikan perkara, hanya mempunyai dampak yang

sangat kecil di dalam usaha untuk mengatasi hambatan-hambatan

pada penyelesaian perkara, terutama dalam jangka panjang.

Selain itu, masalah lain yang erat hubunganya dengan

penyelesaian perkara dan sarana atau fasilitasnya, adalah soal

efektivitas dan sanksi negatif yang ancamkan terhadap peristiwa-

peristiwa pidana tertentu. Tujuan sanki-sanksi tersebut dapat

mempunyai efek yang menakutkan terhadap pelanggaran-

44 Ibid hal 34-3668

pelanggaran potensial, maupun yang pernah dijatuhi hukuman

karena pernah melanggar (agar tidak mengulanginya). Sanki

negatif yang relatif berat atau diperberat, bukan merupakan sarana

yang efektif untuk dapat mengendalikan kejahatan maupun

penyimpangan-penyimpangan lainnya.

Sarana ekonomi ataupun biaya daripada pelaksanaan

sanksi-sanksi negatif diperhitungkan, dengan berpegang pada cara

yang lebih efektif dan efisien, sehingga biaya dapat ditekan di

dalam program-program pemberantasan kejhatan jangka panjang.

Kepastian didalam penanganan perkara maupun kecepatannya,

mempunyai dampak yang lebih nyata, apabila dibandingkan

dengan peningkatan sanksi negatif belaka. Kalau tingkat kepastian

dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-

sanksi negatif akan mempunyi efek menakuti yang lebih tinggi

pula, sehingga akan dapat mencegah peningkatan kejahatan

maupun residivisme.

d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu,

dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat

mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Pada dasarnya

69

masyarakat cenderung untuk mengartikan hukum dan bahkan

mengidentifikasikanhukum sebagai petugas atau pejabat. Salah

satu akibatnya adalah baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan

dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut

pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur

maupun proses.

Adanya hal itu, mengakibatkan tidak terbentuknya

kompetensi hukum dalam masyarakat. Sedangkan kompetensi

hukum tidak mungkin ada apabila warga masyarakat:

1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak

mereka dilanggar atau terganggu.

2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk

melindungi kepentingan-kepentingannya.

3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum

karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik.

4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi

yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.

5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di

dalam proses interaksi dengan pelbagai unsur kalangan

formal.

e. Faktor Kebudayaan

70

Kebudayaan Indonesia merupakan sesuatu yang mendasari

hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan hukum

yang berlaku dikalangan rakyat banyak. Disamping itu, berlaku

hukum tertulis (Perundang-undangan) yang timbul dari golongan

tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan

wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut

harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari

hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat

berlaku secara efektif.

Perubahan-perubahan sosial yang besar dan fundamental

selalu diikuti dengan penyesuaian pada segi kehidupan hukumnya.

Namun jika hukum sama sekali atau bahkan tidak dapat

memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan sosial yang

terjadi, maka hukum sulit diharapkan untuk menjadi instrument

dalam menata kehidupan sosial yang semakin besar dan

komplek.45

45 Esmi Warassih, Op,cit.,hal 9.71

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan pendekatan Yuridis

Sosiologis. Digunakannya metode pendekatan ini didasarkan pada alasan bahwa,

dalam penelitian ini Hukum diartikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang

terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. Asumsi ini searah dengan

pendapat Ronny Hanitiyo Soemitro46 yang menyatakan bahwa, dalam studi hukum

yang empirik, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang

otonom, tetapi sebagai suatu pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-

variabel sosial lainnya.

2. Metode Penelitian

Dalam Penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian, yakni :

a. Metode Survei, yaitu suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh

fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan

secara faktual, guna membedah dan mengenal masalah-masalah serta

46 Ronny Hanitiyo Soemitro, 1985. Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, hal. 123.72

mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang

berlangsung.47 Hasil dari survei berupa data primer, yaitu data yang bersumber

dari individu maupun kelompok masyarakat, dalam hal ini Individu Nasabah

penerima kredit dari PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA

SEJAHTERA Cilacap dan bilamana diperlukan beberapa Pejabat Bank

tersebut.

b. Metode Kepustakaan, yaitu suatu cara penelitian dengan menelusuri

literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun guna memperoleh informasi

yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.48 Metode ini digunakan

bertujuan untuk mecari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi

yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian ini. Hasil dari

penelusuran kepustakaan berupa data sekunder, baik yang berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier yang

berkaitan dengan efektivitas sistem pengawasan internal dalam pemberian

kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA

Cilacap serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

c. Metode Dokumenter, yakni sutau penelitian dengan cara menelursuri

dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang sedang

diteliti pada institusi-institusi terkait.49 Hasil dari penelusuran dokumentasi

47 Moh. Nasir, 1999. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 65.48 Sumadi Suryabrata, 1989. Metodologi Penelitian Sosial, CV. Rajawali, Jakarta, hal 72.49 Sanapiah Faesal, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah

Asuh, Malang, hal 158. 73

berupa data sekunder, terutama yang bersumber pada dokumen-dokumen

resmi dari PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA

Cilacap.

3. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini terfokus pada penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif adalah

suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau lukisan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

antar fenomena yang diteliti.50

Dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat

efektivitas hukum pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit kepada

Nasabah dan faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap efektivitas hukum

pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah tersebut di PT.

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.

4. Lokasi Penelitian

50 Moh. Nasir, Op.Cit., hal 63.74

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di PT. Bank Perkreditas

Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Pemilihan lokasi ini didasarkan

pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Intensitas pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

UKABIMA SEJAHTERA Cilacap tergolong tinggi yang mencakup Nasabah

dari segala lapisan masyarakat dengan berbagai jenis kredit yang diberikan;

b. PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap

merupakan salah satu bank yang relatif cepat berkembang jika dilihat dari segi

usahanya, tercatat tidak kurang dari 500 Nasabah penerima kredit dalam

periode tahun 2011/2012;

c. Secara kebetulan Peneliti berposisi sebagai pengurus Yayasan PT. Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap dan menempati

posisi cukup strategis, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam hal

pengumpulan data;

d. Secara kebetulan Peneliti bertempat tinggal di wilayah kota Cilacap, sehingga

penelitian dapat dilakukan lebih efektif dan efisien terutama mengenai tenaga,

waktu dan biaya.

5. Populasi Penelitian

75

Populasi adalah kumpulan atau himpunan dari individu dengan kualitas serta ciri-

ciri yang telah ditetapkan.51 Dalam penelitian ini populasi mencakup seluruh individu

Nasabah penerima kredit dan beberapa Pejabat bank tersebut , dengan populasi

sasaran adalah Nasabah penerima kredit yang bermasalah dan Pejabat di bagian

Perkreditan pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cilacap.

6. Metode Pengambilan Sampel

Untuk memperoleh jumlah sampel yang cukup representatif, pengambilan

sampel dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Simple Random

Sampling (sampel acak sederhana) dari seluruh populasi yang ada di lokasi penelitian.

Simple Random Sampling adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa

sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai

kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.52

Berdasarkan penelitian pendahuluan diperoleh data bahwa, Nasabah Penerima

Kredit pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap

sampai periode April 2012, tercatat kurang lebih sebanyak 600 (Enam ratus)

Nasabah Penerima Kredit dari segala lapisan masyarakat. Dari sebanyak 600 (Enam

ratus) Nasabah Penerima Kredit tersebut, diambil sampel sebanyak 5% (Lima

51 Moh. Nasir, Ibid., hal 32552 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 2008. Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES, Jakarta,

hal. 155-156.76

presen) dengan cara Acak, sehingga jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini

sebanyak 30 (Tiga puluh) Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap.

Pengambilan sampel tersebut di atas didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan mengenai karakteristik (ciri-ciri umum) homoginitas masing-masing

populasi, antara lain :

(1) Semua populasi adalah Nasabah Penerima Kredit pada PT. Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap

(2) Semua populasi dalam mengembalikan kredit kepada PT. Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap, dilakukan dengan cara

mengangsur pada setiap bulan;

(3) Semua populasi secara geografis berdomisili secara tetap di wilayah

Kabupaten Cilacap dengan adat-istiadat yang sama;

(4) Semua populasi dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan

gaya dan dialeg banyumasan.

Berdasarkan pada ciri-ciri homoginitas populasi tersebut di atas, maka dapat

diasumsikan bahwa jumlah sampel sebanyak 30 (Tiga puluh) Nasabah Penerima

Kredit yang diambil dalam penelitian ini cukup mewakili (representan), sehingga

akurasi data yang diperolehpun cukup valid dan mempunyai reliabilitas yang

memadai untuk memecahkan masalah yang dirumuskan dalam bab sebelumnya.

77

7. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini memerlukan 2 (dua) jenis data, yakni :

a. Data Primer, yakni data utama yang bersumber dari individu responden

yang menjadi sampel dalam penelitian ini yang meliputi data hasil angket

maupun wawancara;

b. Data Sekunder, yakni data penunjang data primer yang bersumber dari

buku-buku referensi, laporan penelitian, jurnal ilmiah, majalah ilmiah,

makalah seminar, hasil-hasil pertemuan ilmiah, internet dan dokumen-

dokumen resmi pada sistem informasi dan dokumentasi resmi yang ada

pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA

Cilacap.

8. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, dalam penelitian ini digunakan

beberapa metode dan instrumen penelitian sebagai berikut :

a. Metode Angket, dengan instrumen penelitian berupa Angket (kuesioner),

yang berisi pertanyaan-pertanyaan baik yang bersifat tertutup maupun yang

terbuka, yang telah disiapkan lebih dahulu untuk diisi oleh semua responden. 78

Angket (kuesioner) adalah suatu alat penelitian yang dilakukan dengan jalan

mengedarkan suatu daftar pertanyaan berupa formulir-formulir yang diajukan

secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk mendapatkan jawaban atau

tanggapan (respons) tertulis seperlunya.53

b. Metode Interview (wawancara), dengan instrumen penelitian yang berupa

Out Line Interview atau pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-

pertanyaan pokok yang disampaikan kepada individu responden tertentu guna

melengkapi data yang tidak bisa dikumpulkan dengan metode Angket.

Interview (Wawancara) adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu

masalah tertentu, yang berupa tanya jawab secara lisan, dimana dua orang

atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.54

c. Metode Dokumenter, dengan instrumen penelitian yang berupa Form

Dokumentasi dalam wujud matriks yang berisi informasi narasi yang

diperoleh dari sumber-sumber data sekunder.

9. Metode Pengolahan Data

53 Kartini Kartono, 1986. Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, hal 200.54 Kartini Kartono, Ibid., hal 171.

79

Data yang terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan cara-cara sebagai

berikut :55

a. Mengkode Data, yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara

mempelajari jawaban responden, memutuskan perlu tidaknya jawaban

responden dan memberikan simbol berupa angka pada jawaban

responden;

b. Mentabulasi Data, yakni suatu pengolahan data yang dilakukan dengan

cara mengelompokkan jawaban responden dan memasukannya ke dalam

tabel-tabel, baik tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang pada tiap-

tiap tally atau kolom tabel tersebut;

c. Mengedit Data, yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan

cara mengadakan evaluasi atau mencek jawaban-jawaban semua

responden dengan menekankan pada konsistensi jawaban satu dengan

yang lain, terutama untuk pertanyaan-pertanyaan yang saling berhubungan

guna menghilangkan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul.

10. Metode Penyajian Data

55 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Op.Cit., hal 219 – 220.

80

Dalam penelitian ini data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel-tabel,

terutama tabel distribusi frekuensi dan tabel silang. Di samping itu, data akan

disajikan pula dalam bentuk “Teks Naratif”, yakni suatu uraian pernyataan-

pernyataan yang disusun secara sistematis, logis, konsisten dan rasional. Penyajian

data dalam bentuk Teks Naratif ini digunakan untuk menjelaskan data yang berupa

angka-angka dalam tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang.

11. Definisi Operasional Variabel

a. Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank adalah kemampuan suatu

regulasi pengawasan dari diri bank untuk menciptakan keadaan atau situasi

kesehatan bank sebagaimana yang diharapkan, yang dapat dinyatakan dalam

pengukuran efektif, kurang efektif dan tidak efektif.

b. Pemberian Kredit Bank adalah suatu kegiatan bank untuk memberikan

pinjaman sejumlah dana kepada Nasabah dengan suku bunga tertentu sesuai

dengan kontrak kreditnya, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran sesuai

regulasi, kurang sesuai regulasi dan tidak sesuai regulasi.

c. Motivasi Pengawasan adalah serangkaian pemberian dorongan kepada

seseorang untuk melakukan tindakan pengawasan dalam pemberian kredit

bank guna mencapai tujuan yang diinginkan lembaga perbankan, yang dapat

dinyatakan dalam pengukuran motivasi tinggi, sedang dan rendah.

81

d. Kepatuhan Hukum adalah tingkat kedisiplinan setiap pegawai perbankan

terhadap segala tata tertib atau regulasi yang berlaku dalam pemberian kredit

bank tersebut, yang dapat dinyatakan dalam pengukuran kepatuhan tinggi,

sedang dan rendah.

e. Intensitas Pengawasan adalah jumlah suatu kegiatan melakukan kontrol dan

pemeriksaan dalam satuan bulan terhadap pemberian kredit kepada nasabah,

yang dapat dinyatakan dalam pengukuran intensitas tinggi, sedang dan rendah.

f. Kerjasama adalah suatu tindakan bersama-sama antara pihak Bank dengan

Nasabah, dimana secara bersama-sama untuk menyumbangkan tenaga dan

pemikirannya secara sukarela dan kesadarannya untuk saling membantu guna

mencapai tujuan bersama dalam pemberian kredit, yang dapat dinyatakan

dalam pengukuran kerjasama tinggi, sedang dan rendah.

12. Metode Analisis Data

Untuk membahas permasalahan yang diungkapkan di muka, data hasil penelitian

dianalisis dengan menggunakan metode “Kuantitatif dan Kualitatatif”. Dalam

analisis Kuantitatif dipilih model analisis statistik sederhana, yang menekankan pada

penggunaan metode Distribusi Frekuensi Analisis dan Silang Analisis,56, sedangkan

56 Supranto J., 1995. Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 48.82

dalam analisis Kualitatif akan digunakan metode Analisis Isi (Content Analysis) dan

Analisis Perbandingan (Comparative Analysis).57

Untuk mengupas lebih mendalam dalam analisis di atas, akan digunakan metode

Interpretasi dan diskusi, yakni suatu model interpretasi dengan cara mendiskusikan

atau mendialogkan antara data di satu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan

norma hukum di lain pihak. Dengan model Interpretasi dan diskusi ini, diharapkan

pengambilan keputusan sebagai kesimpulan akhir yang menyimpang sekecil mungkin

dapat dihindari.

57 Lexy J. Moleong, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 207.

83

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian merupakan keseluruhan data hasil survey di lapangan yang

dikumpulkan dengan menggunakan Quisioner (angket), berisi pertanyaan-pertanyaan

yang disebarkan kepada 30 nasabah PT. Bank Prekrditan Rakyat (BPR) UKABIMA

SEJAHTERA Cilacap, yang bertindak sebagai sampel responden dan diambil

berdasarkan metode acak sederhana dalam penelitian ini.

Angket yang diajukan kepada responden berisi 55 buah pertanyaan-pertanyaan

yang terbagi dalam 4 variabel dan 4 indikator, dimana variabel Efektivitas hukum

pengawasan internal bank (∑X) terdapat 25 pertanyaan, yang terdiri dari indikator-

indikator ; (a) pemeriksaan terhadap kepribadian nasabah (X1) sebanyak 5 buah

pertanyaan; (b) pemeriksaan terhadap jaminan kredit (X2) sebanyak 7 buah

pertanyaan; (c) pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit (X3) sebanyak 7 buah

pertanyaan; dan (d) pemeriksaan terhadap pengembalian kredit (X4) sebanyak 6 buah

pertanyaan. Kemudian variabel motivasi pengawasan (Y1) jumlah pertanyaan

sebanyak 10 buah, variabel kepatuhan hukum (Y2) sebanyak 10 buah pertanyaan dan

variabel kerjasama Bank dan Nasabah (Y3) sebanyak 10 buah pertanyaan.

84

Adapun distribusi nilai (skor) masing-masing vaiabel dan indikator menurut 30

responden adalah sebagai berikut :

Tabel 1 :

Distribusi Nilai (Skor) Masing-masing Variabel dan Indikator

Menurut 30 Responden

No.

Resp

Faktor-Faktor Efektivitas Hukum Pengawasan

Y1 Y2 Y3 X1 X2 X3 X4 ∑X

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

29

20

28

17

29

18

29

22

28

30

23

28

29

19

30

25

21

17

26

24

30

23

30

20

27

18

28

20

30

29

19

30

30

24

30

26

20

18

28

29

21

15

24

25

22

13

25

14

23

28

16

20

19

14

18

20

17

15

26

27

15

8

14

10

15

7

14

13

15

15

15

15

15

12

14

15

13

9

13

14

18

12

21

12

17

15

18

10

16

20

21

11

15

20

16

18

21

19

20

18

21

18

20

16

21

19

21

19

21

21

21

21

21

12

20

21

20

18

20

13

16

17

17

18

18

18

18

16

16

17

8

16

16

16

16

16

9

15

17

11

70

55

72

56

71

59

71

58

68

73

65

63

67

60

66

70

63

61

70

56

85

21

22

23

24

25

29

27

29

30

29

30

30

27

30

29

20

27

21

20

21

15

15

15

15

15

17

16

19

19

20

21

21

21

20

21

16

16

15

18

14

69

68

71

73

69

No.Resp

Faktor-Faktor Efektivitas Hukum PengawasanY1 Y2 Y3 X1 X2 X3 X4 ∑X

26

27

28

29

30

28

18

22

27

28

30

24

26

30

25

20

26

18

28

21

15

13

15

12

15

18

19

21

20

18

21

20

18

21

20

14

17

16

15

16

68

69

70

68

69

Sumber : Data Primer yang diolah.

Di mana :

∑X = Efektivitas Hukum Pengawasan, merupakan jumlah keseluruhan nilai

masing-masing indikator;

X1 = Pemeriksaan terhadap kepribadian nasabah;

X2 = Pemeriksaan terhadap jaminan kredit;

X3 = Pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit;

X4 = Pemeriksaan terhadap pengembalian kredit.

Y1 = Motivasi Pengawasan;

Y2 = Kepatuhan Hukum Nasabah;

Y3 = Kerjasama Bank dan Nasabah.

86

Selanjutnya, dalam setiap pertanyaan, diberikan 3 alternatif jawaban, dimana

pada jawaban yang benar diberikan skor 3, jawaban yang kurang benar diberikan skor

2 dan pada jawaban yang tidak benar diberikan skor 1.

Untuk menghitung interval kelas pada masing-masing variabel dan indikator,

dipergunakan metode sebagai berikut :

(a) Menentukan batas interval kelas menjadi 3 tingkatan pada masing-masing

variabel dan indikator, dengan cara ;

(1) Menetapkan besarnya Range (R) dari jumlah skor masing-masing

variabel dan indokator, dengan rumus : R = Skor tertinggi – Skor

terendah;

(2) Menghitung besarnya interval kelas masing-masing variabel dan

indikator, dengan rumus :

R i = ------ K

Di mana : i = besarnya interval kelas; R = Range; K = jumlah kelas yang dikehendaki.

(b) Membagi masing-masing variabel dan indikator menjadi 3 (tiga) tingkatan

dalam bentuk tabel Distribusi Frekuensi dan tabel Silang

Berdasarkan perhitungan Interval Kelas dengan menggunakan rumus di atas,

maka diperoleh gambaran interval kelas masing-masing variabel dan indikator

sebagai berikut :

87

(1) Varibabel Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank (∑X) :

● Nilai 55 – 60, adalah rendah;

● Nilai 61 – 67, adalah sedang;

● Nilai 68 – 73, adalah tinggi.

(2) Indikator Pemeriksaan Kepribadian Nasabah (X1) :

● Nilai 7 – 9, adalah rendah;

● Nilai 10 – 12, adalah sedang;

● Nilai 13 – 15, adalah tinggi.

(3) Indikator Pemeriksaan Jaminan Kredit (X2) :

● Nilai 10 – 13, adalah rendah.

● Nilai 14 – 17, adalah sedang;

● Nilai 18 – 21, adalah tinggi.

(4) Indikator Pemeriksaan Pengelolaan Kredit (X3) :

● Nilai 12 – 14, adalah rendah;

● Nilai 15 – 17, adalah sedang;

● Nilai 18 – 21, adalah tinggi.

(5) Indikator Pemeriksaan Pengembalian Kredit (X4) :

● Nilai 8 – 10, adalah rendah;

● Nilai 11 – 14, adalah sedang;

● Nilai 15 – 18, adalah tinggi.

(6) Variabel Motivasi Pengawasan (Y1) :

● Nilai 17 – 20, adalah rendah;

● Nilai 21 – 25, adalah sedang;

● Nilai 26 – 30, adalah tinggi.

(7) Variabel Kepatuhan Hukum Nasabah (Y2) :

● Nilai 18 – 21, adalah rendah;

● Nilai 22 – 25, adalah sedang;

● Nilai 26 – 30, adalah tinggi.

88

(8) Variabel Kerjasama Bank dan Nasabah (Y3) :

● Nilai 13 – 17, adalah rendah;

● Nilai 18 – 22, adalah sedang;

● Nilai 23 – 28, adalah tinggi

89

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank Terhadap Pemberian Kredit di PT.

Bank Perkreditan Rakyat UKABIMA SEJAHTERA Cilacap

Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, pengawasan terhadap

lembaga perbankan di Indonesia merupakan tugas Bank Indonesia. Hal ini

ditentukan secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang

Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa tugas Bank Indonesia mencakup antara

laian : (a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan

menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (c) mengatur dan mengawasi bank.

Dalam hubungannya dengan tugas Bank Indonesia untuk mengatur dan

mengawasi bank, mendapat penjabaran lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 24

Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyebutkan bahwa dalam rangka

melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank

Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan

dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, pelaksanaan pengawasan Bank dan

mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang

Perbankan disebutkan bahwa :

(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indoensia;

90

(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,

solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib

melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian;

(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan

melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang

tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan

dananya kepada bank;

(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai

kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi

nasabah yang dilakukan melalui bank;

(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagimana dimaksud dalam ayat

(2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dari ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia dan Pasal 29 Undang-

Undang Perbankan tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa tugas mengatur,

membina dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, dimaksudkan agar bank selalu

dalam keadaan sehat, dimana tingkat kesehatan bank diukur dengan indikator ;

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,

solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, wajib melakukan

kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini mengandung arti bahwa

lembaga perbankan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam melakukan

91

kegiatan usahanya, pada dasarnya wajib melakukan pengawasan secara internal bank

yang bersangkutan, di samping secara eksternal diawasi oleh Bank Indonesia.

Berkaitan dengan kegiatan usaha bank, ketentuan Pasal 13 Undang-Undang

Perbankan menyebutkan bahwa, usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito

berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. Memberikan kredit;

c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah,

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.

Berdasarkan pada hal di atas, maka secara sosiologis masalah efektivitas

pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah, pada hakikatnya

merupakan penyelenggaraan hukum perbankan yang dalam bekerjanya tidak terlepas

keterkaitannya dengan aspek-aspek non-hukum, seperti ekonomi, politik, sosial,

budaya dan sebagainya.

Dalam hubungannya dengan masalah bekerjanya hukum, sebagaimana telah

disinggung dalam bab sebelumnya, Robert B. Seidman mengemukakan teorinya yang

menyatakan bahwa, bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga)

komponen dasar, yakni ; (a) Lembaga pembuat hukum; (b) Lembaga pelaksana

92

hukum; dan (c) Pemegang peranan. Dalam interaksinya, ketiga komponen dasar

tersebut selalu dipengaruhi oleh kekuatan-keuatan personal dan sosial lainnya.

Dari teori di atas dapatlah diketahui bahwa, setiap anggota masyarakat sebagai

pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang diharapkan

daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar

hukum. Dengan demikian, hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat dan

diterapkan oleh masyarakat kepada masyarakat, sehingga tidak ada alasan apriori

mengapa hukum tidak dapat beradaptasi dengan segera terhadap perubahan-

perubahan lingkungannya.

Selain itu, dari bagan tersebut di atas tampak peranan dari kekuatan sosial, yang

tidak hanya berpengalaman terhadap masyarakat sebagai sasaran yang diatur oleh

hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum, dalam kekuatan sosial ini

termasuk kompleks suatu tatanan lainnya. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam

masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Artinya, tingkah laku

masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial

lainnya.

Berkaitan dengan teori tersebut, Ronny Hanitiyo Soemitro memberikan

ulasannya antara lain sebagai berikut :

“Bagaimana seorang pemegang peran bertingkah laku merupakan hasil

penjumlahan (resultance) dari semua kekuatan-kekuatan yaitu yang berasal dari orang

(personal-forces) dan yang berasal dari masyarakat (societies-forces), yang ditujukan

93

kepada pemegang peran itu. Kenyataan menunjukkan dengan jelas bahwa hampir

semua peranan di dalam masyarakat diatur oleh hukum. Apabila suatu peranan diatur

oleh hukum, maka kekuatan sosial terpenting yang beroperasi terhadap pemegang

peran adalah kegiatan dari para pejabat. Pejabat membentuk peraturan-peraturan yang

diharapkan akan dipatuhi oleh pemegang peran, sedangkan pejabat-pejabat

menempati kedudukan yang menentukan mengenai apakah suatu sanksi itu sesuai dan

apabila sesuai maka selanjutnya bertindak memaksakan sanksi tersebut. Faktor kritis

dalam menentukan bagaimana seorang pemegang peran, kekuatan-kekuatan sosial

dan personal yang bekerja terhadap pemegang peran dan kegiatan lembaga penerap

sanksi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa lembaga pembentuk hukum dan

lembaga penerap sanksi tidak beroperasi di ruang hampa. Kedua lembaga ini juga

merupakan obyek dari norma-norma sebagai akibat dari kedudukannya dan mendapat

pengaruh dair kekuatan-kekuatan sosial dan personal”.

Apabila teori bekerjanya hukum ini diaplikasikan ke dalam masalah efektivitas

pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit pada PT. Bank Perkreditan

Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap, maka yang dimaksud lembaga pembuat hukum

adalah Pemerintah, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan

yang dimaksud lembaga pelaksana hukum tidak lain adalah PT. Bank Perkreditan

Rakyat Ukabima Sejahtera itu sendiri, dan yang dimaksud dengan pemegang peran

adalah nasabah sebagai penerima kredit dari Bank Perkreditan Rakyat tersebut.

Dalam proses pelaksanaan pengawasan internal terhadap pemberian kredit, baik PT.

94

Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera maupun Nasabah sebagai penerima

kredit, selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan personal dan sosial lannya.

Untuk memperoleh gambaran tentang Efektivitas Pengawasan Internal Bank

dalam Pemberian Kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat

Ukabima Sejahtera, hasil penelitian mengungkapkan gambaran sebagaimana

dipaparkan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2 : Efektivitas Pengawasan Internal Bank Terhadap Pemberian Kredit Kepada Nasabah

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

55 – 6061 – 6768 – 73

RendahSedangTinggi

6618

20,0020,0060.00

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah

Dari tabel di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, dari 30 Nasabah sebagai

responden, terdapat sebanyak 6 (20,00%) responden menyatakan efektivitas

pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit adalah rendah dan sedang, serta

sebanyak 18 (60,00%) responden mengaku tingkat efektivitas pengawasan internal

Bank dalam pemberian kredit adalah tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa, sebagian besar responden menyatakan bahwa, efektivitas pengawasan internal

Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah adalah tinggi. Hal ini mengandung

arti bahwa, pengawasan internal dalam pemberian kredit kepada Nasabah yang

dilakukan oleh PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera tersebut

menunjukkan tingkat yang efektif.

95

Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan secara

analogis bahwa, PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera sebagai pihak

yang bertugas melakukan pengawasan internal dalam pemberian kredit kepada

Nasabah, secara umum telah melaksanakan pengawasan sesuai dengan pedoman dan

peraturan hukum yang berlaku.

Bilamana kenyataan ini ditafsirkan dengan mendasarkan pada doktrin dari

Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa, ”Efektivitas Hukum adalah

kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti

yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum”, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa, pengawasan internal bank sebagai salah satu peraturan yang berlaku dalam

pemberian kredit kepada nasabah, ternyata mampu mengatur untuk menciptakan

kondisi bank yang selalu dalam keadaan sehat, dimana tingkat kesehatan bank diukur

dengan indikator ; kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,

rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha pemberian

kredit bank, melalui media pengenalan pribadi nasabah, kuantitas dan kualitas

jaminan hak kebendaan, tujuan pengelolaan kredit dan kelancaran pengembalian

kredit nasabah.

Tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal bank sebagaimana dipaparkan

di atas, dapat dibuktikan dengan melihat pada unsur-unsur sasaran pengawasan

sebagai indikator yang antara lain meliputi ; (a) Pemeriksaan Bank terhadap

kepribadian Nasabah; (b) Pemeriksaan Bank terhadap Jaminan Kredit; (c)

96

Pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah; dan (d) Pemeriksaan Bank

terhadap pengembalian kredit.

Bilamana tingginya tingkat efektivitas pengawasan internal bank dalam

pemberian kredit kepada Nasabah tersebut, dilihat dari indikator pemeriksaan Bank

terhadap kepribadian Nasabah, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana

dituangkan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 3 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Kepribadian Nasabah

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

7 – 9 10 – 1213 – 15

RendahSedangTinggi

3324

10,0010,0080.00

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai

responden, terdapat sebanyak 3 (10,00%) responden menunjukkan tingkat

pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah adalah rendah dan sedang, serta

sebanyak 24 (80,00%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap

kepribadian Nasabah adalah tinggi.

Dari fakta tersebut di atas, dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar

responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah

dalam pemberian kredit adalah tinggi. Kenyataan ini mengandung arti bahwa,

sebelum memberikan kredit kepada nasabah, Bank lebih dahulu melakukan tindakan

pengenalan terhadap pribadi nasabah secara seksama dan teliti sebagai pelaksanaan

97

dari prinsip kehati-hatian bank. Intensitas pengenalan terhadap pribadi Nasabah yang

relatif tinggi tersebut, sangat menentukan pula tingginya efektivitas pengawasan

internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang menyetakan bahwa,

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prisip syariah, bank umum

wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas etikad dan

kemampuan serta kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Apabila kenyataan dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data yang dituangkan

dalam tabel 2 di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan

Bank terhadap kepribadian Nasabah, cenderung mewarnai tingginya tingkat

efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tingginya tingkat pemeriksaan Bank

terhadap pribadi Nasabah, merupakan keyakinan yang mendalam Bank atas

kemampuan Nasabah untuk mengembalikan kredit yang diterimanya. Hal ini mejadi

salah satu instrumen pengawasan internal Bank yang relatif efektif.

Selanjutnya, jika tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian

kredit kepada Nasabah ini dilihat dari indikator tingkat pemeriksaan Bank terhadap

jaminan kredit, dapat diperoleh gambaran bahwa, sebagian besar responden mengaku

tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan relatif tinggi. Hal

98

ini dapat dibuktkan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel

di bawah ini :

Tabel 4 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Jaminan Kredit

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

10 – 1314 – 1718 – 21

RendahSedangTinggi

4719

13,3323,3363,34

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, sebanyak 4 (13,33%) responden

menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit adalah rendah, dan

sebanyak 7 (23,33%) responden menunjukkan tingkat yang sedang atas pemeriksaan

Bank terhadap jaminan kreditnya, serta sebanyak 19 (63,34%) responden menyatakan

tinggi tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan Nasabah.

Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,

sebagian besar responden menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan

kredit yang diajukan oleh Nasabah adalah tinggi. Dengan demikian dapat

diasumsikan bahwa, pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit merupakan salah satu

instrumen untuk melakukan pengawasan secara internal dalam pemberian kredit,

dengan maksud agar pemberian kredit yang melebihi nilai jaminan optimal mungkin

dapat dihindari. Tujuan dari pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit ini

diharapkan pemberian kredit tersebut tidak melampaui Batas Maksimal Pemberian

Kredit (BMPK) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 11 ayat (4A) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa,

99

“Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank

dilarang melampaui Batas Maksimun pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).

Jika data dalam tabel ini dihubungkan dengan tabel 2 di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang diajukan

nasabah pada dasarnya sangat menentukan bagi tingkat efektivitas pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit. Artinya, tingginya tingkat pemeriksaan Bank

terhadap jaminan kredit, cenderung menentukan tingginya tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.

Selanjutnya, bilamana efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian

kredit ini, dilihat dari indikator pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang

diberikan kepada Nasabah, hasil penelitian mengungkapkan gambaran sebagaimana

tertuang dalam tabel berikut ini :

Tabel 5 : Tingkat Pemeriksaan Bank terhadap Pengelolaan Kredit Nasabah

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

12 – 1415 – 1718 - 21

RendahSedangTinggi

2127

6,673,3390,00

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel di atas secara jelas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah

sebagai responden, terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan tingkat

pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit adalah rendah, dan sejumlah 1

100

(3,33%) responden menyatakan sedang tingkat pemeriksaan Bank terhadap

pengelolaan kredit Nasabah, serta sejumlah 27 (90,00%) responden menyatakan

bahwa tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah adalah relatif

tinggi.

Dari fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sebagian besar responden

menyatakan tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diterimanya

relatif tinggi. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang

diberiakan kepada Nasabah, mengandung maksud agar Bank dapat mengetahui secara

pasti, apakah kredit yang telah diberikan tersebut benar-benar dipergunakan sebagai

modal usaha sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang diajukan Nasabah.

Tindakan pemeriksaan ini dilakukan, karena di dalam praktik sering terjadi tindakan

penyalahgunaan kredit oleh Nasabah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain

yang tidak sesuai dengan peruntukkan kredit sebagaimana mestinya. Dengan

demikian, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit tersebut, pada

dasarnya merupakan tinakan pengawasan Bank dalam pemberian kredit kepada

Nasabah. Hal ini berdampak terhadap kelancaran proses pengembalian kredit oleh

Nasabah sesuai dengan kesepakatan yang diperjanjikan dalam kontrak kreditnya.

Ditinjau dari perspektif Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, tindakan

pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit yang diberikan kepada Nasabah, pada

hakikatnya merupakan cara-cara yang ditempuh Bank untuk menyelamatkan kredit

yang telah dicairkan kepada Nasabah, dengan tujuan agar Nasabah mampu

101

mengembalikan kredit yang diambilnya dengan lancar sesuai dengan jangka waktu

yang telah disepakati dalam kontrak kredit, sehingga Bank tidak dirugikan karena

penyalahgunaan kredit oleh Nasabah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat

(3) Undang-Undang Perbankan, yang antara lain menyatakan bahwa, “Dalam

memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan

usaha lainnya, Bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank dan

kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya kepada Bank”.

Apabila data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2 di atas,

maka dapat diinpterpretasikan bahwa, efektivitas pengawasan internal Bank terhadap

pemberian kredit kepada Nasabah, sangat ditentukan oleh tindakan pemeriksaan Bank

terhadap pengelolaan kredit. Hal ini mengandung arti bahwa, tingginya tingkat

pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit, menentukan pula tingginya tingkat

efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tersebut.

Di samping indikator-indikator tersebut di atas, tingkat efektivitas pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit, juga ditentukan pula oleh indikator tingkat

pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit. Dalam hubungannya dengan hal

tersebut, dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh gambaran sebagaimana

dituangkan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 6 : Tingkat Pemeriksaan Bank Terhadap Pengembalian Kredit

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

12

8 – 1112 – 14

RendahSedang

32

10,006,67

102

3 15 - 18 Tinggi 25 83,33Total 30 100,00

Sumber : Data Primer yang diolah

Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah sebagai

responden, terdapat sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat pemeriksaan

Bank terhadap pengembalian kredit adalah rendah, dan sejumlah 2 (6,67%)

responden menyatakan bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian

kredit menunjukkan tingkat yang relatif sedang, serta sejumlah 25 (83,33%)

responden menyatakan tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit

menunjukkan tingkat yang relatif tinggi.

Dari fakta di atas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar responden

menyatakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit menunjukkan tingkat

yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, tindakan pemeriksaan Bank

terhadap pengembalian kredit oleh Nasabah, merupakan tindakan pengawasan

internal Bank, yang bertujuan untuk menarik kembali dana yang telah disalurkan

kepada Nasabah melalui kredit serta keuntungan yang seharusnya diperoleh dengan

membebankan bunga dengan persentase tertentu kepada Nasabah.

Pengawasan semacam ini merupakan cara-cara yang ditempuh Bank secara

internal untuk menyelamatkan sejumlah dana yang telah disalurkan kepada Nasabah.

Cara ini dilakukan Bank, karena secara sosiologis tindakan pengembalian kredit dari

Nasbah acapkali tidak sesuai dengan jangka waktu kredit yang telah diperjanjikan.

103

Seperti halnya tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit, tindakan

pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit inipun merupakan cara-cara

pengawasan yang legal untuk dipergunakan Bank, dalam rangka menghimpun dana

kembali dari Nasabah, sehingga Bank tidak dirugikan karena pemberian kredit.

Legalisasi model pengawasan internal Bank ini, secara implisit diperkenankan oleh

ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perbankan sebagaimana telah

disinggung di muka. Dengan demikian secara yuridis formal, model pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit semacam ini dijamin oleh Undang-Undang

Perbankan.

Apabila kenyataan dalam tabel 6 ini dihubungkan dengan data yang ada dalam

tabel 2 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit, bergantung pula pada tindakan pemeriksaan

Bank terhadap kegiatan pengembalian kredit. Hal ini mengandung arti bahwa, jika

tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit tersebut tinggi, maka

tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah

semakin dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian dapatlah

diinterpretasikan bahwa, tindakan pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit,

merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengawasan

internal Bank dakam pemberian kredit nampak sangat relevan dan saling

ketergantungan satu sama lainnya.

104

Berdasarkan pada uraian tersbut di atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum

bahwa, tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit

tergolong tinggi. Artinya, tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian

kredit dapat diimplementasikan secara efektif. Tingginya tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank terhadap pemberian kredit ini ditunjang oleh berperannya

beberapa unsur, yakni :

(1) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah dalam

pemberian kredit;

(2) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap hak kebendaan sebagai

jaminan kredit;

(3) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit Nasabah

sebagai modal usaha;

(4) Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kegiatan pengembalian kredit

dari Nasabah.

2. Pengaruh Faktor Motivasi Pengawasan, Kepatuhan Hukum dan Kerjasama Terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit

Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa Efektivitas hukum

merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan aspek bekerjanya hukum dalam

masyarakat yang melibatkan tiga komponen dasar seperti lembaga pembuat hukum,

lembaga penerap hukum dan masyarakat yang dikenai hukum. Ketiga komponen

105

dasar tersebut dalam interaksinya tidak terlepas pengaruhnya dari faktor-faktor sosial

dan personal lainnya.

Dalam hubungannya dengan efektivitas pengawasan internal Bank dalam

pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima

Sejahtera Cilacap, pada hakikatnya merupakan penyelenggaraan hukum yang dalam

interaksinya acapkali dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor dominan yang

seringkali berpengaruh terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam

pemberian kredit ini, diasumsikan antara lain faktor motivasi pengawasan, kepatuhan

hukum pengawasan dan kerjasama antar karyawan, pimpinan Bank dan Nasabah.

Ketiga faktor tersebut, merupakan kekuatan-kekuatan personal dan sosial lainnya

yang mempengaruhi interaksi lembaga penerap peraturan hukum dengan aksi-aksi

pemegang peran sebagaimana digariskan dalam teori bekerjanya hukum dalam

masyarakat model Robert B. Seidman yang telah disinggung pada pemaparan di

muka.

Bilamana efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada

Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Ukabima Sejahtera Cilacap ini dilihat

dari pengaruhnya faktor motivasi pengawasan, maka dapat diperoleh gambaran

bahwa sebagian besar responden menyatakan tindakan pengawasan yang dilakukan

oleh pihak Bank dalam pemberian kredit menunjukkan tingkat yang tinggi. Hal ini

dapat dibuktokan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam tabel

sebagai berikut :

106

Tabel 7 : Tingkat Motivasi Pengawasan dalam Pemberian Kredit

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

17 – 2021 – 2526 – 30

RendahSedangTinggi

6618

20,0020,0060,00

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah

Dari tabel di atas dapat diungkapkan bahwa, dari 30 Nasabah yang bertindak

sebagai responden dalam penelitian ini, terdapat sejumlah 6 (20,00%) responden

menunjukkan tingkat motivasi yang rendah dan sedang, serta sejumlah 18 (60,00%)

responden menunjukkan tingkat motivasi yang tinggi dalam melaksanakan

pengawasan internal terhadap pemberian kredit kepada nasabah.

Berdasarkan pada data tersebut di atas, dapat diinterpreasikan bahwa sebagian

besar responden menyatakan tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian

kredit kepada nasabah menunjukkan tingkat motivasi yang relatif tinggi. Tingginya

tingkat motivasi pengawasan ini ditunjang pula dengan adanya motif agar dapat

terciptanya kondisi Bank yang sehat, dan suatu harapan agar dana yang telah

disalurkan melalui kredit tersebut dapat ditarik kembali melalui pelaksanaan

kewajiban nasabah melunasi utangnya. Dengan demikian, motivasi pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit merupakan masalah yang sangat penting

dalam setiap usaha Bank dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui kredit dalam kondisi Bank

107

yang tetap sehat. Kenyataan ini sesuai dengan doktrin yang dikemukakan oleh

Buchari Zainun, yang menyatakan sebagai berikut :

“Motivasi dapat dilihat sebagai bagian yang fundamental dari kegiatan

manajemen, sehingga sesuatunya dapat ditujukan kepada pengarahan potensi dan

daya manusia dengan jalan menimbulkan, menghidupkan dan menumbuhkan tingkat

keinginan yang tinggi, kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perseorangan

maupun kelompok dalam organisasi”.

Jika data dalam tabel 7 di atas diinterpretasikan dengan mendasarkan pada

doktrin Buchari Zainun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, pemenuhan

keinginan dan pengharapan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam

pengelolaan manajemen perbankan dengan prinsip keahati-hatian Bank, dapat

dilakukan melalui sistem pengawasan, dengan jalan melakukan segala tindakan

pemeriksaan dalam kaitannya dengan pemberian, pengelolaan dan pengembalian

kredit yang telah disalurkan kepada Nasabah. Dengan demikian motivasi merupakan

rangkaian pemberian dorongan kepada lembaga perbankan, dalam hal ini PT. Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Ukabima Sejahtera Cilacap, untuk melakukan tindakan

pengawasan internal guna mencapai tujuan yang diinginkan oleh lembaga perbankan

tersebut.

Apabila data dalam tabel 7 ini dihubungkan dengan hasil penelitian dalam tabel 2

di atas, maka nampak ada kecenderungan berpengaruhnya faktor motivasi ini

terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Hal ini dapat

108

dibuktikan dengan mengkaji lebih lanjut data hasil penelitian yang dituangkan dalam

tabel di bawah ini :

Tabel 8 : Pengaruh Faktor Motivasi Pengawasan terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank dalam Pemberian Kredit

Motivasi

Efektivitas

Rendah Sedang Tinggi Total

F % F % F % F %

● Rendah

● Sedang

● Tinggi

4

1

1

13,34

3,33

3,33

2

2

2

6,66

6,67

6,67

0

3

15

0,00

10,00

50,00

6

6

18

20,00

20,00

60,00

Total 6 20,00 6 20,00 18 60,00 30 100,00

Sumber : Data primer yang diolah

Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, pada masing-masing tingkat

motivasi yang rendah, sedang dan tinggi, menunjukkan tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit yang berbeda-beda, dimana pada

tingkat motivasi yang rendah, terdapat sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan

tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang rendah, dan sejumlah 1 (3,33%)

responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang sedang

dan tinggi.

Selanjutnya jika dilihat dari tingkat motivasi pengawasan yang sedang, terdapat

sejumlah 2 (6,67%) responden menyatakan masing-masing menunjukkan tingkat

efektivitas pengawasan internal Bank yang rendah, sedang dan tinggi dalam

pemberian kredit kepada Nasabah.

109

Bilamana dikaji dari tingkat motivasi pengawasan yang tinggi, maka diperoleh

gambaran bahwa, sebanyak 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank yang sedang, dan sebanyak 15 (50,00%) responden

menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang relatif tinggi pula

dalam pemberian kredit.

Berdasarkan pada kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa, ada

kecenderungan faktor motivasi berpengaruh secara positif terhadap tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit. Hal ini nampak dari segi bahwa

semakin tinggi tingkat motivasi pengawasan, maka semakin tinggi pula tingkat

efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.

Dengan demikian, faktor motivasi dalam pengawasan internal menunjukan adanya

hubungan yang searah dengan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam

pemberian kredit. Artinya, faktor motivasi dalam penyelenggaraan pengawasan

internal sangat menentukan efektif, kurang efektif atau tidak efektifnya pengawasan

internal dalam pemberian kredit tersebut. Dengan kata lain, tindakan pengawasan

yang didorong oleh faktor motivasi, ternyata mampu untuk menciptakan kondisi

efektivitas segala kegiatan yang berhubungan dengan pemberian kredit menjadi

lancar sesuai dengan harapan dari lembaga perbankan itu sendiri.

Selanjutnya, jika masalah efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian

kredit ini ditinjau dari pengaruhnya faktor kepatuhan Pegawai dan Pimpinan lembaga

perbankan serta Nasabah penerima kredit, maka dapat diperoleh gambaran tentang

110

tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah dalam kaitannya dengan pemberian

kredit yang dapat dikemukakan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 9 : Tingkat Kepatuhan Pengawasan Bank dan Nasabah dalam pelaksanaan Pemberian Kredit

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

18 – 2122 – 2526 – 30

RendahSedangTinggi

6420

20,0013,3366,67

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah

Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 30 responden terdapat

sejumlah 6 (20,00%) responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan

Nasabah relatif rendah, dan sejumlah 4 (13,33%) responden menyatakan tingkat

kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif sedang, serta sejumlah 20 (66,67%)

responden menyatakan tingkat kepatuhan pengawasan Bank dan Nasabah relatif

tinggi.

Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan sementara bahwa,

sebagian besar responden menunjukkan tingkat kepatuhan pengawasan yang relatif

tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, kepatuhan Bank dan Nasabah terhadap

peraturan-peraturan hukum yang berkaiatan dengan pemberian kredit merupakan

kepatuhan pengawasan internal, yang mampu memelihara tingkat kesehatan Bank,

sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset dan manajemen, likuiditas,

rentabilitas solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank.

111

Dalam hubungannya dengan istilah kepatuhan, Soerjono Soekanto

mengemukakan pendapatnya bahwa. “Kepatuhan adalah suatu keadaan tertib dimana

orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi, tunduk pada peraturan-peraturan

hukum yang telah ada dengan senang hati dan kesadarannya”.

Apabila kenyataan dalam tabel 9 di atas, diinterpretasikan dengan mendasarkan

pada doktrin Soerjono Soekanto ini, maka dapat disimpulkan bahwa, tindakan

pengawasan internal Bank dapat dilakukan secara efektif, apabila didukung dengan

keadaan yang tertib, dimana Pegawai, Pimpinan dan Nasabah Lembaga perbankan

tersebut tunduk terhadap segala ketentuan hukum yang berkaitan dengan pemberian

kredit, dengan senang hati dan kesadaran pribadinya, terutama yang bersangkutan

dengan pengawasan kepribadian Nasabah, hak kebendaan sebagai jaminan kridit,

pengelolaan kredit dan pengembalian kredit. Kenyataan ini mendorong timbulnya

dugaan kuat bahwa, ada kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap

efektivitas pengawasan internal Bank dalam pelaksanaan pemebrian kredit kepada

Nasabah.

Kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas

pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit ini, akan lebih jelas manakala data

dalam tabel 9 ini dikorelasikan dengan data yang dituangkan dalam tabel 2 tersebut

dimuka, yang dapat dituangkan dalam tabel silang sebagai berikut :

112

Tabel 10 : Pengaruh Faktor Kepatuhan Terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit

Kepatuhan

Efektivitas

Rendah Sedang Tinggi Total

F % F % F % F %

● Rendah

● Sedang

● Tinggi

3

3

0

10,00

10,00

0,00

2

0

2

6,67

0,00

6,67

1

3

16

3,33

10,00

53,33

6

6

18

20,00

20,00

60,00

Total 6 20,00 4 13,33 20 66,67 30 100,00

Sumber : Data primer yang diolah

Tabel di atas mengungkapkan bahwa, dari sejumlah 6 (20,00%) responden

dengan tingkat kepatuhan yang rendah, terdapat sebanyak 3 (10,00%) responden

masing-masing menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank relatif

rendah dan sedang dalam pemberian kredit.

Selanjutnya dari 4 (13,33%) responden yang tingkat kepatuhannya sedang,

terdapat sejumlah 2 (6,67%) responden masing-masing menyatakan tingkat

efektivitas pengawasan internal Bank relatif rendah dan tinggi dalam pemberian

kredit kepada Nasabah.

Tabel di atas mengungkap pula bahwa, dari sejumlah 20 (66,67%) responden

yang menyatakan tingkat kepatuhannya tinggi, terdapat sejumlah 1 (3,33%)

responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank adalah rendah,

dan sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan

internal bank adalah sedang, serta sebanyak 16 (53,33%) responden menyatakan

113

relatif tinggi tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit

kepada Nasabah.

Mendasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada

kecenderungan berpengaruhnya faktor kepatuhan terhadap efektivitas pengawasan

internal secara positif dalam pemberian kredit kepada nasabah. Artinya, semakin

tinggi tingkat kepatuhan pengawasan, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas

pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah. Dengan

demikian dapat diasumsikan bahwa, faktor kepatuhan Bank dan Nasabah terhadap

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemberian kredit, cenderung sangat

menentukan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank yang dilakukan.

Di samping faktor motivasi dan kepatuhan yang cenderung mempengaruhi

tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit, faktor

kerjasama diduga kuat juga cenderung berpengaruh terhadap tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian

yang menggambarkan tingkat kerjasama pengawasan antara Bank dan Nasabah

sebagaimana dituangkan dalam tabel berikut ini :

Tabel 11 : Tingkat Kerjasama Pengawasan Dalam Pemberian Kredit

No. Interval Kelas Kategorisasi Frekuensi(F)

Persentase(%)

123

13 – 1718 – 2223 – 28

RendahSedangTinggi

71310

23,3343,3433,33

Total 30 100,00Sumber : Data Primer yang diolah

114

Dari tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 30 Nasabah yang

bertindak sebagai responden, terdapat sejumlah 7 (23,33%) responden menyatakan

tingkat kerjasama pengawasan adalah rendah, dan sejumlah 13 (43,34%)

responden menyataka tingkat kerjasama pengawasan yang relatif sedang, serta

sejumlah 10 (33,33%) responden menyatakan tingkat kerjasama pengawasan relatif

tinggi.

Dari kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden

menunjukkan tingkat kerjasama pengawasan yang relatif sedang. Kondisi ini tidak

berbeda banyak dengan responden yang menyatakan tingkat kerjasama pengawasan

yang relatif tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, unsur kerjasama dalam

melakukan pengawasan internal Bank tergolong sangat menentukan bagi efektif atau

tidak efektifnya pengawasan tersebut dalam pemberian kredit kepada Nasabah.

Tinggi, sedang dan rendahnya tingkat kerjasama dalam pelaksanaan pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit, secara empirik ditentukan oleh ada atau tidak

adanya unsur-unsur :

(1) Kesediaan para Pegawai dan Nasabah Bank untuk bekerjasama dengan

rekan-rekan sekerja, maupun dengan pimpinan Bank yang didasarkan untuk

mencapai tujuan bersama;

(2) Kesediaan untuk sering membantu diantara para pegawai dan nasabah

sehubungan dengan tindakan pengawasan internal bank dalam pemberian

kredit kepada Nasabah;

115

(3) Adanya keaktifan dari individu-individu dalam melakukan kegiatan-kegiatan

perbankan, tertama yang berhubungan dengan tindakan pengawasan internal

Bank dalam pemberian kredit.

Bilamana data dalam tabel 11 ini dihubungkan dengan tabel 2 di muka, maka

nampak bahwa faktor kerjasama pengawasan cenderung berpengaruh terhadap

efektivitas pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada nasabah. Hal

ini dapat dibuktikan dengan melihat data yang dituangkan dalam tabel silang sebagai

berikut :

Tabel 12 : Pengaruh Faktor Kerjasama terhadap Efektivitas Pengawasan Internal Bank Dalam Pemberian Kredit

Kerjasama

Efektivitas

Rendah Sedang Tinggi Total

F % F % F % F %

● Rendah

● Sedang

● Tinggi

4

3

0

13,33

10,00

0,00

0

3

10

0,00

10,00

33,33

2

0

8

6,67

0,00

26,67

6

6

18

20,00

20,00

60,00

Total 7 23,33 13 43,33 10 33,33 30 100,00

Sumber : Data primer yang diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, secara parsial pada masing-masing

tingkatan variabel kerjasama pengawasan maupun variabel efektivitas pengawasan

internal Bank dalam pemberian kredit mengungkapkan bahwa, dari sebanyak 7

(23,33%) yang menyatakan tingkat kerjasama rendah, terdapat sejumlah 4 (13,33%)

responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal Bank juga rendah, dan

116

sejumlah 3 (10,00%) responden menyatakan tingkat efektivitas pengawasan internal

Bank relatif sedang.

Selanjutnya jika dilihat dari tingkat kerjasama pengawasan yang sedang, maka

diperoleh gambaran bahwa, sebanyak 3 (10,00%) responden yang tingkat

kerjasamanya sedang, menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan yang sedang

pula, dan sebanyak 10 (33,33%) responden dengan tingkat kerjasama yang sedang,

menunjukkan tingkat efektivitas pengawasan internal yang relatif tinggi.

Di samping itu, dari tabel di atas dapat diungkapkan pula bahwa, dari sejumlah

10 (33,33%) responden yang tingkat kerjasamanya relatif tinggi, terdapat sebayak 2

(6,67%) responden yang tingkat kerjasamanya relatif tinggi, tetapi menunjukkan

tingkat efektivitas pengawasan internal yang rendah, dan sebanyak 8 (26,67%)

responden dengan tingkat kerjaama yang tinggi, menunjukkan tingkat efektivitas

pengawasan internal yang tinggi pula.

Dari kenyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, ada kecenderungan

yang positif berpengaruhnya faktor kerjasama terhadap tingkat efektivitas

pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit di PT. Bank Perkreditan Rakyat

Ukabima Sejahtera Cilacap. Artinya, semakin tinggi tingkat kerjasamanya pada

lembaga perbankan tersebut, maka semakin tinggi pula efektivitas pengawasan

internal Bank dalam pelaksanaan pemberian kredit kepada Nasabah. Hal ini

membuktikan bahwa faktor kerjasama atar pegawai dan pimpinan Lembaga

perbankan, sangat menentukan tingkatan efektivitas pengawasan internal Bank dalam

117

pemberian kredit kepada nasabah. Ini berarti bahwa, tindakan pengawasan internal

Bank yang efektif, secara yuridis mampu untuk memelihara kesehatan bank sesuai

dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset dan manajemen, likuiditas,

rentabilitas solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan

pemberian kredit kepada nasabah.

Berdasarkan pada fakta tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, faktor

motivasi, kepatuhan dan kerjasama cenderung berpengaruh secara positif terhadap

efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah.

Artinya, semakin tinggi tingkat motivasi, kepetuhan dan kerjasama, maka semakin

tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit

kepada Nasabah.

Apabila kenyataan tersebut di atas, diinterpretasikan dengan mendasarkan pada

teori bekerjanya hukum model Robert B. Seidman sebagaimana telah disinggung di

muka, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan internal Bank merupakan proses

berinteraksinya antara Bank sebaai lembaga penerap peraturan hukum dengan unsur

birokrasi perbankan sebagai pihak pemegang peran. Tindakan pengawsan internal

Bank ini pada dasarnya merupakan aksi-aksi yang dapat dimainkan oleh lembaga

perbankan, yang merupakan respons positif dari unsur Birokrasi perbankan sebagai

pihak pemegang peran, yang dalam interaksinya tidak terlepas dari pengaruhnya

faktor personal dan sosial lainnya. Faktor personal yang berpengaruh secara positif

terhadap efektivitas pengawasan internal Bank mencakup motivasi pengawasan dan

118

kepatuhan hukum, sedangkan faktor kerjasama merupakan faktor sosial. Ketiga

faktor ini, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama cenderung berpengaruh

secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank dalam proses pemberian

kredit kepada Nasabah.

119

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis sebagaimana telah dipaparkan

pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan-simpulan sebagai berikut :

1. Tingkat efektivitas pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada

Nasabah, menunjukkan tingkat yang relatif tinggi. Tingginya tingkat

efektivitas pengawasan internal Bank ini ditunjang dengan indikator-

indikator:

a. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap kepribadian Nasabah;

b. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap jaminan kredit yang

diajukan oleh Nasabah;

c. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengelolaan kredit

Nasabah;

d. Tingginya tingkat pemeriksaan Bank terhadap pengembalian kredit

oleh Nasabah;

2. Faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum dan kerjasama, cenderung

berpengaruh secara positif terhadap efektivitas pengawasan internal Bank

dalam pemberian Kredit. Artinya, semakin tinggi tingkat motivasi, kepatuhan

dan kerjasama, maka semakin tinggi pula tingkat efektivitas pengawasan

internal Bank dalam pemberian krdedit kepada Nasabah.

120

B. Saran-saran

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tingkat kerjasama antara lembaga perbankan

dengan pegawai birokrasi perbankan masih relatif sedang, maka hendaknya

perlu ditingkatkan kerjasama yang sekarang ada untuk masa-masa mendatang,

sehingga tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit kepada

Nasabah dapat dilaksanakan secara lebih efektif.

2. Meskipun tindakan pengawasan internal Bank dalam pemberian kredit tergolong

efektif, namun dalam praktiknya masih terdapat pula tindakan penyalahgunaan

kredit yang tidak sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang dilakukan oleh

Nasabah, maka hendaknya perlu Bank meningkatkan pengawasannya terutama

dalam pengelolaan kredit yang diterima oleh Nasabah, agar penggunaan

kreditnya sesuai dengan tujuan permohonan kredit yang diajukan.

121

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pengawasan BPR BANK INDONESIA. Strategi dan Arah Kebijakan

BPR. Makalah yang disampaikan pada Seminar dan Training tentang BPR

di Jakarta, tanggal 5 September 2006.

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 2000.

Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Alih Bahasa : Daniel Dakhidae. Jakarta :

Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Hanadi, Saryono. Sosiologi Hukum. Bahan kuliah. Purwokerto : FH Unsoed, 2008.

Iswanto. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedua. Purwokerto : UNSOED, 2003.

Mulyono, Teguh Pudjo. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil. Edisi 1.

Yogyakarta : BPFE, 1987.

Perbarindo. Sistem Pengawasan BPR. Makalah yang disampaikan pada Seminar dan

Training Komisaris tentang Pengawasan BPR di Jakarta, tahun 2008.

122

Pusat Bahasa, Dep.Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3.

Jakarta, 2003,

Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta

Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Alumni. Bandung, 1986..

Retno, Astuti Ajie Probo. Pengaruh Iklim Organisasi dam Pembinaan Pegawai

Terhadap Efektivitas Pelayanan Umum di Kantor Kec.Banyumas.

Purwokerto : FISIP UNSOED, 2006.

Rush, Michael, dan Althof, Philip. Pengantar Sosiologi Politik. Alih Bahasa : Kartini

Kartono. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1987.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :

Rajawali, 1983.

…………………. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, 2009.

Sukarman. Efektivitas Kepmenkes 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar

Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Purwokerto : Pascasarjana Unsoed,

2011.

123

LAMPIRAN

124

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO

PENELITIAN : EFEKTIVITAS HUKUM PENGAWASAN INTERNAL BANK TERHADAP PEMBERIAN KREDIT KEPADA NASABAH DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) UKABIMA SEJAHTERA CILACAP

Nomor Responden : …………

I. Pengantar

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas dan kewajiban dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Di samping itu, tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank terhadap pemberian kredit kepada Nasabah dan pengaruhnya faktor motivasi pengawasan, kepatuhan hukum, dan kerjasama terhadap tingkat efektivitas hukum pengawasan internal bank dalam pemberian kredit kepada Nasabah pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) UKABIMA SEJAHTERA Cilacap. Demi tercapainya tujuan penelitian ini, maka peneliti dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat memohon kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara untuk membantu mengisi angket/daftar pertanyaan yang peneliti sediakan dan sudilah kiranya Bapak/Ibu/Saudara mengisi angket tersebut dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam kesempatan yang baik ini peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kesediaan dari Bapak/Ibu/Saudara yang telah meluangkan waktu untuk mengisi angket ini dan peneliti mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada pertanyaan yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu/Saudara sekalian.

II. Petunjuk Pengisian

Dalam angket yang peneliti sebarkan ini, terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yakni : □ Bagian A, berisi Identitas Responden, Untuk bagian ini Bapak/Ibu/Saudara

cukup mengisi kolom yang telah tersedia; □ Bagian B, berisi daftar pertanyaan. Untuk bagian ini Bapak/Ibu/Saudara

cukup memilih satu jawaban yang dianggap benar menurut Bapak/Ibu/

125

Saudara, dengan memberikan tanda silang (X) di depan jawaban yang tersedia.

III. Angket Penelitian

A. Identitas Responden 1. Nama Nasabah : ………………(TIDAK DISEBUT) 2. Umur Nasabah : ………………. Tahun 3. Jenis Kelamin : a. Laki-laki; b. Perempuan 4. Tingkat Pendidikan : a. Sekolah Dasar (SD); b. S.L.T.P. c. S.L.T.A. d. Perguruan Tinggi (PT)

B. Daftar Pertanyaan

(1) Efektivitas Hukum Pengawasan Internal Bank 1. Apakah sebelum pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu

melakukan pemeriksaan terhadap pribadi Nasabah ? Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.

2. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah dalam pemberian kredit kepada Nasaah, pihak Bank selalu mempertimbangkan kemampuan ekonomi Nasabah ?Jawab : a. Selalu mempertimbangkan, b. Kadang-kadang mempertimbangkan, c. Tidak pernah mempertimbangkan.

3. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank memeriksa jenis usaha Nasabah yang akan dibiayai ?Jawab : a. Ya memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.

4. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap kondisi usaha Nasabah yang akan dibiayai ?Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.

126

5. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu menanyakan terhadap relasi Nasabah dengan bank-bank lainnya ?Jawab : a. Selalu menanyakan; b. Kadang-kadang menanyakan; c. Tidak pernah menanyakan.

6. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank selalu melakukan pemeriksaan terhadap kelayakan jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ?

Jawab : a. Selalu memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak pernah memeriksa.

7. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah pihak Bank melakukan penafsiran terhadap nilai jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ?

Jawab : a. Ya menafsirkan; b. Kadang-kadang menafsirkan; c. Tidak tahu.

8. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah besarnya nilai penafsiran bank terhadap jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah, sesuai dengan nilai yang senyatanya ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai.

9. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank dapat menerima jaminan kebendaan yang bukan atas nama pemohon kredit (atas nama orang lain) ?Jawab : a. Menerima; b. Kadang-kadang menerima; c. Tidak tahu.

10. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah dalam pemberian kredit, pihak Bank menerima jaminan kebendaan di luar hak tanggungan seperti Bukti Pemelikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang diajukan oleh Nasabah ?Jawab : a. Menerima; b. Kadang-kadang menerima; c. Tidak tahu.

127

11. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah nilai jaminan kebendaan yang diajukan dalam permohonan kredit, sesuai dengan besarnya nilai kredit yang disetujui pihak Bank ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai.

12. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, pernahkah Bank memberikan kredit yang besarnya nilai kredit lebih besar daripada nilai jaminan kebendaan yang diajukan oleh Nasabah ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak tahu

13. Apakah dalam pemberian kredit kepada Nasabah, pihak Bank mengadakan studi kelayakan tentang kemampuan Nasabah dalam mengalokasikan kredit yang diterimanya ?

Jawab : a. Ya mengadakan; b. Kadang-kadang mengadakan; c. Tidak tahu.

14. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, Apakah pihak Bank melakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian peruntukan kredit pada bidang usaha Nasabah ?Jawab : a. Ya memeriksa; b. Kadang-kadang memeriksa; c. Tidak tahu.

15. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah kredit yang diberikan oleh Bank digunakan sesuai dengan tujuan permohonan kredit ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurag sesuai; c. Tidak sesuai.

16. Apakah usaha Nasabah yang dibiayai kredit tersebut mengalami perkembangan dalam produktivitasnya ?Jawab : a. Berkembang; b. Kurang berkembang; c. Tidak berkembang.

17. Menurut Bpk/Ibu/Sdr, apakah pihak Bank mengetahui kondisi usaha Nasabah yang dibiayai oleh kredit tersebut ?Jawab : a. Mengetahui; b. Tidak mengetahui; c. Tidak tahu.

128

18. Apakah dengan pemberian kredit oleh Bank tersebut, Nasabah merasa ada keuntungan ekonomi ?Jawab : a. Ya menguntungkan; b. Kurang menguntungkan; c. Tidak menguntungkan.

19. Apakah pihak Nasabah mampu mengembalikan kredit yang diterimanya kepada Bank secara wajar ?Jawab : a. Mampu;

b. Kurang mampu; c. Tidak mampu.

20. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah dalam pengembalian kredit yang telah diterimanya tergolong lancar ?Jawab : a. Lancar; b. Kurang lancar; c. Tidak lancar.

21. Pernahkah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah Bank mendapatkan suatu peringatan dari pihak Bank selama proses pengembalian kredit yang diambil ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang; c. Tidak pernah.

22. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap tindakan pengawasan yang dilakukan Bank dalam penggunaan kredit yang diterimanya ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.

23. Bagaimanakah sikap Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap cara pengawasan yang dilakukan oleh Bank atas kredit yang diterimanya ?Jawab : a. Setuju; b. Kurang setuju; c. Tidak setuju.

129

24. Apakah cara pengawasan yang dilakukan Bank terhadap kredit yang diterima Nasabah sesuai dengan prosedur yang berlaku ?Jawab : a. Sesuai; b. Kurang sesuai; c. Tidak sesuai.

25. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah tindakan pengawasan yang dilakukan Bank terhadap kredit yang diberikan tersebut bermanfaat ?Jawab : a. Bermanfaat; b. Kurang bermanfaat; c. Tidak bermanfaat.

(2) Motivasi Pengawasan

26. Apakah dengan pemberian kredit oleh Bank mendorong kebutuhan usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah lebih baik ?Jawab : a. Mendorong; b. Kurang medorong; c. Tidak mendorong.

27. Apakah pihak Bank mampu untuk menciptakan hubungan yang baik antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan karyawan-karyawan bank ?

Jawab : a. Mampu;b. Kurang mampu;c. Tidak mampu;

28. Apakah pihak Bank berusaha untuk memberi kesempatan kembali kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah untuk memamfaatkan kredit berikutnya ?Jawab : a. Berusaha; b. Kurang berusaha; c. Tidak berusaha.

29. Apakah pihak Bank menghargai hasil usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah atas alokasi kredit yang diberikan ?Jawab : a. Menghargai; b. Kurang menghargai; c. Tidak menghargai.

30. Bagaimana pendapat Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah tentang cara Bank dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang diberikan ?Jawab : a. Bijaksana; b. Kurang bijaksana; c. Tidak bijaksana.

130

31. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, bagaimanakah perlakukan Bank kepada sesama Nasabah pengambil kredit ?Jawab : a. Baik; b. Kurang baik; c. Tidak baik.

32. Apakah Bank selalu memperhatikan akan adanya penilaian dan memberikan penghargaan terhadap usaha Bpk/Ibu/Sdr yang dibiayai dengan kredit tersebut ?Jawab : a. Selalu memperhatikan; b. Kadang-kadang memperhatikan; c. Tidak memperhatikan.

33. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan adanya pengawasan terhadap tujuan penggunaan kredit ?Jawab : a. Puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.

34. Apakah pihak Bank selalu memberikan jaminan akan terpenuhinya kebutuhan usaha Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah ?Jawab : a. Selalu memberikan jaminan b. Kurang memberikan jaminan; c. Tidak memberikan jaminan.

35. Apakah pihak Bank memberikan isentif atas berhasilnya usaha dan lancarnya pengembalian kredit yang diberikan kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah ?Jawab : a. Selalu memberi; b. Kadang-kadang memberi; c. Tidak perah memberi.

(3) Kepatuhan Hukum

36. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu mematuhi ketentuan tentang batas maksimal pemberian kredit ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi.

131

37. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu mematuhi tentang ketentuan jaminan kebendaan dalam pemberian kredit ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi.

38. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank selalu memberikan peringatan terhadap Nasabah yang lalai membayar pengembalian kreditnya ?Jawab : a. Selalu memperingatkan; b. Kadang-kadang memperingatkan; c. Tidak memperingatkan.

39. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah Bank sealu mematuhi prosedur pemeriksaan kelayakan Nasabah dalam pemberian kredit ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kurang mematuhi; c. Tidak mematuhi.

40. Apakah Bank dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang diberikan kepada Nasabah selalu nenatuhi kontrak krditnya ?Jawab : a. Selalu mematuhi; b. Kadang-kadang mematuhi; c. Tidak mematuhi.

41. Jika Bank menghendaki adanya jaminan tambahan atas kredit yang diberikan kepada Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah akan dipenuhi ?Jawab : a. Dipenuhi; b. Kadang-kadang dipenuhi; c. Tidak dipenuhi.

42. Bilamana Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, mendapatkan saran-saran dari Bank tentang pengolaan usahanya, apakah Bpk/Ibu/Sdr melaksanakannya sesuai dengan saran-saran tersebut ?Jawab : a. Sesuai; b. Kadang-kadang sesuai; c. Tidak sesuai.

43. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap pelayanan Bank dalam pemberian kredit ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas;

132

c. Tidak puas.

44. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah terhadap penerapan kebijakan Bank tentang kredit yang diberikan ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.

45. Sudahkah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah merasa puas dengan besarnya kredit yang diberikan Bank ?Jawab : a. Merasa puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.

(4) Kerjasama Bank dan Nasabah

46. Pernahkah pihak Bank mengikutsertakan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dalam suatu kegiatan-kegiatan tertentu yang diadakan oleh Bank ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah.

47. Apakah Bpk/Ibu/Sdr sebagai nasabah pernah diikutsertakan dalam kegiatan sosialisasi tentang kebijakan-kebijakan bank yang berlaku ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah.

48. Apakah Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah pernah mengadakan kerjasama dengan pimpinan atau pegawai Bank tersebut ?Jawab : a. Pernah; b. Kadang-kadang pernah; c. Tidak pernah.

49. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah adanya kerjasama antara pegawai bank dengan Nasabah, dirasakan adanya sesuatu yang memaksa dan memberatkan ?Jawab : a. Ya merasakan; b. Sedikit merasakan; c. Tidak sama sekali.

133

50. Menurut Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, apakah adanya kerjasama antara pegawai bank dengan Nasabah, merupakan sesuatu yang menguntungkan bagi kedua pihak ?Jawab : a. Ya menguntungkan; b. Sedikit menguntungkan; c. Tidak sama sekali.

51. Bagaimana perasaan Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah, jika kerjasama dengan pihak Bank tersebut memberikan keuntungan ?Jawab : a. Puas; b. Kurang puas; c. Tidak puas.

52. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, menimbulkan perlakuan yang berbeda kepada para Nasabah ?Jawab : a. Tidak sama sekali; b. Sedikit membedakan; c. Sangat membedakan.

53. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat menunjang untuk memperoleh fasilitas kredit yang diberikan ?Jawab : a. Tidak sama sekali; b. Sedikit menunjang; c. Sangat menunjang.

54. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat mendorong pengembalian kredit tepat waktu sesuai kontrak kreditnya ?Jawab : a. Mendorong; b. Kadang-kadang mendorong; c. Tidak mendorong.

55. Apakah dengan adanya kerjasama antara Bpk/Ibu/Sdr sebagai Nasabah dengan pihak Bank, dapat mempengaruhi pengawasan dalam pemberian kredit kepada Nasabah ?

Jawab : a. Sangat berpengaruh;b. Sedikit berpengaruh;c. Tidak berpengaruh.

134

Cilacap, ….. Juli 2012

TTD

(P e n e l i t i )

135