penahanan terhadap tersangka tindak pidanafh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/pdf...
TRANSCRIPT
PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENCURIAN RINGAN
(Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk)
SKRIPSI
Oleh:
YANUAR ARIFIN
E1A009004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENCURIAN RINGAN
(Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
YANUAR ARIFIN
E1A009004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
iii
HALAMAN PENGESAHAN
PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENCURIAN RINGAN
(Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk)
Oleh :
YANUAR ARIFIN
NIM. E1A009004
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah diterima dan disetujui pada tanggal 24 Februari 2014
Para Penguji/Pembimbing
Penguji I Penguji II Penguji III
Pembimbing I Pembimbing II
Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H Pranoto, S.H.,M.H. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H
NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19540305 198601 1 001 NIP. 19640724 199002 1 001
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : YANUAR ARIFIN
NIM : E1A009004
Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENCURIAN RINGAN
(Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk)
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil
karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto, 24 Februari 2014
YANUAR ARIFIN
NIM. E1A009004
v
ABSTRAK
PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENCURIAN RINGAN
(Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk)
Oleh:
YANUAR ARIFIN
E1A009004
Penahanan terhadap tersangka dalam tindak pidana pencurian ringan
dalam putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor : 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk,
merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP. Perkara-perkara pencurian yang tergolong ringan seharusnya
masuk dalam kategori tindak pidana ringan yang mana seharusnya lebih tepat
didakwa dengan Pasal 364 KUHP dan harusnya tidak dikenakan penahanan.
Melalui penelitian yuridis normative dengan pendekatan perundang-undangan,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penahanan terhadap tersangka tindak
pidana pencurian ringan implementasi Perma No.02 Tahun 2012 dalam Putusan
Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk.
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa Sesuai Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk, dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor
02 Tahun 2012, Pencurian Ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan,
tidak bias dikenakan penahanan karena prosedur penahanan Tersangka H tidak
sesuai dengan alas an obyektif penahanan yaitu Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Akibat
hokum dalam Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk penahanan yang
dilakukan terhadap tersangka H dalam tindak pidana pencurian ringan terkait
PERMA Nomor 02 Tahun 2012 secara yuridis normative menyalahi aturan
PERMA Nomor 02 Tahun 2012 walaupun memang Perma tersebut tidak
mengatur sanksinya.
Kata kunci: Penahanan, Pencurianringan, Perma No. 02 / 2012.
vi
ABSTRACT
THE DETENTION OF SUSPECT IN A CRIMINAL OF LIGHT ROBBERY
OFFENSE
(implementation of Supreme Court Regulation no.02 2012 in a verdict number:
03 / daf.pid.c / 2013 / pn.slk)
By :
YANUAR ARIFIN
E1A009004
The detention of suspects in a criminal of Light Robberyoffense in a
verdict of the district court solok number: 03 / daf.pid.c / 2013 / pn.slk, is
violation of Supreme Court Regulation 02/2012 about the adjustment of the limits
Light Robbery and the amount of fines in KUHP. Larceny appertain a very mild
supposed to be included in the category of mild criminal act which should be
more precise charged with article 364 KUHP and should not subject to detention.
Through research juridical normative with the approach of legislation, research
is aimed to know the detention of suspects a criminal Light Robbery the
implementation of Supreme Court Regulation no.02 2012 in a verdict number: 03
/ daf.pid.c / 2013 / pn.slk.
Based on research, known that the appropriate the award number: 03 /
daf.pid.c / 2013 / pn.slk, with this Supreme Court Regulation No. 02 2012, Light
Robbery with an imprisonment of no longer than three months can't worn
detention because the procedure of the detention of suspects dd not conforming to
reason objective detention namely article 21 paragraph ( 4 ) kuhap. As a result of
law in a verdict number: 03 / daf.pid.c / 2013 / pn.slk detention of suspects in a
criminal H in a criminal of Light Robbery of Supreme Court Regulation No. 02
2012 in a juridical manner normative violating the rules of Supreme Court
Regulation No. 02 2012 although indeed Supreme Court Regulation does not
regulate the sanction.
Keyword: Detention, Light Robbery, Supreme Court Regulation 02/2012.
vii
PERSEMBAHAN
1. Sri Mayani, S.H., selaku pembing akademik saya yang pertama sebelum
beliau pensiun yang selalu memberikan arahan dalam mengambil mata
kuliah dan juga nasehat-nasehatnya yang selalu saya ingat;
2. Hj Krisnhoe Kartika, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing akademik
yang menggantikan Sri Mayani, S,H., memotivasi saya dalam
penyeleseian skripsi ini;
3. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah;
4. Seluruh staf karyawan Fakultas HukumUniversitas Jenderal Soedirman
yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan;
5. Seluruh keluarga saya, adik saya Rifqi Aziz dan Nadia Ainun Lutfiah
yang selalu mendoakan saya;
6. Teman-teman penulis, yang memberikan do’a dan semangat kepada
penulis teman spesial saya Dyah Puspito Nagri, Denisa, Rifai, Amar,
Febri S.H, Redo, Aji, Johan, Awan, Rizal, Danang, Krisna, Yoyo, Adji,
Rudi, Fajar;
7. Teman-teman tim futsal Dragonfly dan blackpride, Vivin R, S.H.,
DhianS.H, Asep, Wahyu, Deby, Bangi, Aga, Wahib, Arbi, Dana, Dani,
Dodi, Irfan, Hendri yang memberikan do’a dan semangat kepada penulis;
8. Teman-teman KKN POSDAYA, Billa, Hegar, Noy, Tian, Budi, Aya,
Ayin;
9. Semua teman-teman angkatan 2009 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
viii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul: PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA
PENCURIAN RINGAN(Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor
02 Tahun 2012 terhadap Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk). Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
2. Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Kepala Bagian Hukum Acara;
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang
memberikan motivasi, arahan, dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
4. Pranoto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
5. Dr. HibnuNugroho, S.H., M.H.,selaku Dosen Penguji Skripsi yang
memberi masukan dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis dan
ix
kuliahannya yang membuat saya termotivasi untuk menjadi lebih mngerti
perkembangan hukum;
6. Kedua orang tuatercinta,H. Bachrudin (Alm) dan Hj. Fadilah yang tidak
pernah habis memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan, dorongan dan
semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya
literatur. Namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus
sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya
bagi kita semua.
Purwokerto, 24 Februari 2014
Penulis
x
HALAMAN MOTTO
“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya
itu adalah untuk dirinya sendiri.”(QS Al-Ankabut [29]: 6)
“ Seorang takkan menjadi sukses tanpa cobaan yang berat, jadi
percaya saya pada rencana Allah SWT dan lakukan yang terbaik untuk
mencapai sukses. ”
(Yanuar Arifin)
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ............................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................. vi
PERSEMBAHAN ...................................................................... ..... vii
PRAKATA ................................................................................... viii
HALAMAN MOTTO .................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................. xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 5
C. Tujuan Penelitian........................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian ................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ......................... 8
2. Tujuandan Fungsi Hukum AcaraPidana ............... 10
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana ........................... 13
B. Pengertian, Tujuan, dan Dasar Penahanan
xii
1. Pengertian dan Tujuan Penahanan........................ 27
2. Dasar dan Alasan Penahanan................... ............ 29
C. Tindak Pidana Pencurian Ringan
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Ringan dan
Bentuk Acara Pemeriksaannya.......................... ... 31
2. Sanksi dan Denda Tindak Pidana Pencurian
Ringan............................................................... ... 37
D. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
(Perma No. 02 Tahun 2012)
1. LatarBelakangPermaNo. 02 Tahun 2012 .............. 38
2. Perspektif PenerarpanPerma No. 02 Tahun 2012
Dalam Tindak Pidana Pencurian Ringan dan
Ketentuan Jumlah Denda dalam Tindak Pidana
Pencurian Ringan................................................. 40
3. Ketentuan Jumlah Denda Dalam Tindak Pidana
Pencurian Ringan Menurut Perma
Nomor 02 Tahun 2012...................................... 43
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan..................................................... 45
B. Spesifikasi Penelitian .................................................. 45
C. Sumber Data Sekunder .............................................. 45
D. Metode Pengumpulan Data ........................................ 47
E. Metode Penyajian Data .............................................. 47
xiii
F. Metode Analisa Data ................................................. 47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................... 49
B. Pembahasan ................................................................ 71
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan .................................................................... 92
B. Saran ......................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Hal ini
berarti setiap kegiatan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan atas hukum
yang berlaku, yaitu hukum positif dan juga hukum tidak tertulisnya. Termasuk
dalam kegiatan penegakan hukum, penegakan hukum itu sendiri berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia agar terlindungi, maka hukum harus
dilaksanakan.
Dalam penegakkan hukum terdapat berbagai hukum yang harus ditegakkan
yaitu hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara pada garis besarnya dan
berbagai hukum yang tidak tertulis. Mengenai bidang hukum pidana dibagi atas
hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil sering
disebut hukum pidana dan hukum pidana formil sering disebut sebagai hukum
acara pidana, dapat dikatakan bahwa hukum pidana formil atau hukum acara
pidana merupakan peraturan tentang hukum pidana (materil) itu ditegakkan atau
diacarakan. Hal tersebut sesuai dengan pedoman pelaksanaan KUHAP adalah :
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapakan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran
hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
2
guna menentukan apakah terbukti bahwa bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 1”
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka sangatlah erat dengan
hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Wirjono
Prodjodikoro2 berpendapat bahwa :
“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan – peraturan yang
memuat cara bagaimana badan – badan pemerintah yang berkuasa, yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai
tujuan Negara dengan menegakkan hukum pidana.”
Hukum acara pidana diatur dan dikodifikasikan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Walau dalam perkembangannya Undang-Undang
Hukum Acara Pidana tertinggal oleh perkembangan yang terjadi dalam kehidupan
di masyarakat tetapi masih tetap digunakan sampai sekarang.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
mengatur mengenai apa yang disebut dengan penyelidikan, penyidikan,
penangkapan, penyitaan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, praperadilan,
pemeriksaan di pengadilan, putusan pengadilan, upaya hukum dan lain-lain, yang
mana hal-hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 KUHAP. Peneliti tertarik mengenai
masalah upaya paksa penahanan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
mengatur mengenai upaya paksa dan ditinjau dari standar universal maupun
dalam KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM atau hak
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 6. 2 http://typinggugunggunawan.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-sistem-hukum-
acara.html, diakses pada tanggal 13 September 2013
3
privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat
penegak hukum) dalam melaksanakan fungsi peradilan pidana (criminal justice
system), yang dapat diklasifikasikan meliputi:
1. Penangkapan (arrest)
2. Penahanan(detention)
3. Penggeledahan (searching),dan
4. Penyitaan; perampasan, pemblesahan (Seizure)
Menurut Yahya Harahap3 penerapan upaya paksa yang dikemukakan di
atas, diatur dalam dua sistem dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana:
1. Mengenai tindakan upaya paksa yang berkenaan dengan penangkapan
(Pasal 16 KUHAP) dan penahanan (Pasal 20 dan seterusnya, KUHAP);
merupakan kewenangan inheren dari setiap aparat penegak hukum
berdasar diferensiasi fungsional secara instansional tanpa campur tangan
(intervensi) atau bantuan dari aparat penegak hukum lain,
2. Sebaliknya, mengenai upaya paksa penggeledahan (Pasal 32 KUHAP) dan
penyitaan (Pasal 38 KUHAP), memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
Sesuai penjelasan diatas upaya paksa merupakan kewenangan inheren
aparat penegak hukum tanpa campur tangan pihak lain. Kenyataannya upaya
paksa dilakukan karena ada intervensi dari pers yang begitu kuat maupun tuntutan
masyarakat yang begitu tinggi sehingga membuat para penegak hukum
melakukan upaya paksa.
Penulis membahas mengenai upaya paksa penahanan, upaya paksa
penahanan memang erat hubungannya dengan HAM. HAM adalah suatu hak
3Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar
Grafika, 2000, Hlm. 6-7.
4
melekat secara kodrati pada hidup manusia, dan apanila HAM itu tidak ada, tidak
akan bisa sebagai manusia.4.
“ Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik, atau penuntut atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 Butir 21
KUHAP)“.
Definisi penahanan, Andi Hamzah5 berpendapat bahwa:
“ Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan
bergerak seseorang. Jadi, di sini terdapat pertentangan dua asas, yaitu hak
bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus
dihormati di satu pihak dan kepentingan banyak atau masyarakat dari
perbuatan jahat tersangka. Di sinilah letak keistimewaanya hukum acara
pidana itu. Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-
asas yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya
hak kebebasan seseorang karena dilakukan upaya paksa penahanan. Oleh
karena itu, penahanan dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam
penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan. “
Penahanan yang penulis bahas mengenai penahanan terhadap tersangka
tindak pidana pencurian ringan, yang dirasa mengusik rasa kemanfaatan suatu
penahanan. Berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana,
Mahkamah Agung sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman telah
mengeluarkan sebuah produk hukum yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor
02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah
denda dalam KUHP. Dengan peraturan tersebut, memberi kesempatan bagi para
penegak hukum untuk memproses pelaku kejahatan secara proporsional tanpa
harus mengorbankan keadilan dan kemanfaatan dalam hukum.
Pada intinya penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda
dalam KUHP adalah menaikkan batasan denda tindak pidana ringan menjadi Rp
4 Kunarto, HAM dan POLRI, Jakarta, Pt. Cipta Manunggal, 1997, Hlm 9. 5Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana.Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm.129.
5
2.500.000,- sehingga dalam perkara Pencurian, Penipuan, Penggelapan,
Penadahan yang nilai barang atau uangnya tidak melebihi nominal tersebut maka
Penegak hukum dari mulai penyidik polisi sampai pada hakim Ketua Pengadilan
tidak menetapkan penahanan pada tersangka karena termasuk tindak pidana
ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan, diharapkan juga tidak ada lagi
penyeleseian perkara yang mengusik hati nurani dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tersebut
diharapkan mampu menampung aspirasi masyarakat dalam kaitannya dengan
penegakan hukum yang memperhatikan unsur kemanfaatan dan keadilan hukum
demi terciptanya hukum yang berkeadilan.
Sesuai putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk
terdakwa H yang melakukan tindak pidana pencurian ringan yang di atur dalam
Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana
paling lama tiga bulan penjara dan batasannya yang sekarang sudah diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012, dalam prosesnya tersangka
H dikenakan upaya paksa penahanan walaupun penahanan yang dilakukan oleh
penyidik disini tidak memenuhi syarat obyektif penahanan yang tercantum dalam
Pasal 21 ayat 4 KUHAP, bahwa tindak pidana yang boleh dilakukan penahanan
oleh penyidik adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau
lebih, penahanan tersangka H juga tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 02 Tahun 2012. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul : PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA
TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN (Implementasi Peraturan
6
Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk ).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam pendahuluan, maka
disusunlah perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prosedur penahanan oleh penyidik terhadap tersangka dalam
Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk ?
2. Bagaimanakah akibat hukum penahanan terhadap tersangka dalam Putusan
Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk terkait PERMA No 02 tahun 2012 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan menganalisa prosedur penahanan oleh penyidik terhadap
tersangka dalam Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk.
2. Mengetahui dan menganalisa akibat hukum penahanan terhadap terhadap
tersangka dalam Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk terkait PERMA
No 02 tahun 2012.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Diharapkan penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran dan juga
pengetahuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum pada khususnya terutama hukum acara pidana. Serta tambahan referensi
dalam penanganan kasus pencurian ringan setelah adanya Perma Nomor 02 Tahun
2012.
2. Kegunaan Praktis
7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan bagi mereka yang berminat dibidang hukum.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum pidana diklasifikasikan menjadi dua cabang utama, yaitu
hukum pidana materil (Hukum Pidana) dan hukum pidana formil (Hukum
Acara Pidana). Hukum pidana materil merupakan hukum yang memuat
petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat
dipidananya sesuatu perbuatan, serta petunjuk tindak pidananya.
Sedangkan hukum pidana formil dinamakan dengan hukum acara pidana
yang merupakan aturan-aturan mengenai hal-hal apa saja yang harus
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat
didalamnya, dalam hal persangkaan bahwa hukum pidana telah dilanggar.
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan
mengadakan hukum pidana.6
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan hukum acara
pidana, tetapi KUHAP mengatur mengenai apa yang disebut dengan
6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur bandung, Bandung,
1980, hlm. 13.
9
penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penyitaan, penggeledahan,
penahanan, penuntutan, praperadilan, pemeriksaan di pengadilan,
putusan pengadilan, upaya hukum dan lain-lain, yang mana hal-hal
tersebut terdapat dalam Pasal 1 KUHAP. Untuk mengetahui definisi
mengenai apa yang disebut dengan hukum acara pidana, maka
didasarkan pada pendapat (doktrin) dari para sarjana. Dibawah ini
disajikanbeberapa definisi mengenai hukum acara pidana menurut para
sarjana, diantaranya sebagai berikut :
a. Van Bemmelen7
“Kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana
cara negara, bila dihadapkan suatu kejadian yang menimbulkan
syak wasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana,
dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan
dimuka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang
didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang
telah terbukti, dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan. ”
b. Suryono Sutarto8
Secara singkat hukum acara pidana dapat dirumuskan sebagai aturan-
aturan tentang tata cara penyelenggaraan peradilan pidana.
c. Wirjono Prodjodikoro9
“ Hukum acara pidana berkaitan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat
cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. ”
7 Jupri, Pengertian Hukum Acara Pidana. http://www.negarahukum.com/, diakses tanggal
1 Oktober 2013 pukul 22.00 WIB. 8 Suryono Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, Yayasan Cendekia Purna Dharma,
Semarang, 1987, hlm. 5. 9 Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit, hlm.15.
10
Inti dari berbagai doktrin di atas, bahwa hukum acara pidana
memberikan petunjuk kepada aparat penegak hukum bagaimana prosedur
untuk mempertahankan hukum pidana materil, bila ada seseorang atau
sekelompok orang yang disangka/dituduh melanggar hukum pidana, aparat
penegak hukum diberikan batasan-batasan dalam menggunakan
kewenangannya agar tidak sewenang-wenang dalam tindakannya. Hukum
acara pidana sebagaimana yang termuat dalam KUHAP merupakan suatu
peraturan tentang bagaimana aparat penegak hukum yakni : Polisi, Jaksa,
Hakim, dan Advokat menjalankan kewenangannya untuk menegakan
hukum pidana materil guna mendapatkan kebenaran materiil, yaitu
kebenaran yang selengkapnya tanpa mengorbankan hak-hak Tersangka /
Terdakwa dalam prosesnya.
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana.
Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan
tujuan Hukum Pidana, yaitu menciptakan kemanfaatan, keadilan, dan
kepastian hukum di masyarakat.10
Hukum pidana memuat tentang rincian
yang termasuk perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana yang dapat
dihukum dan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
pelanggar hukum pidana. Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur
bagaimana proses yang harus dilalui oleh aparat penegak hukum dalam
rangka mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggarnya
10
Sudikno Mertokusumo, MENGENAL HUKUM SUATU PENGANTAR, Yogyakarta,
Liberty, 2007, Hlm.160
11
guna mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Hal tersebut sesuai
dengan pedoman pelaksanaan KUHAP :
“ Tujuan dari hukum acara pidana ialah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.11
”
Tujuan hukum acara pidana mencari dan menemukan kebenaran
materiil itu hanya merupakan tujuan antara, tujuan akhir sebenarnya
menurut Andi Hamzah ialah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman,
kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.12
Beberapa
sarjana mempunyai pendapat mengenai tujuan hukum acara pidana,
diantaranya sebagai berikut:
a. Van Bemmelen13
mengemukakan adanya tiga fungsi hukum acara
pidana, yaitu sebagai berikut :
1. Mencari kebenaran materil;
2. Pemberian keputusan oleh hakim;
3. Pelaksanaan keputusan.
b. Bambang Poernomo14
11 Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit, hlm. 8. 12
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1985, hlm 9. 13 J.M van Bemmelen. Strafvordering. hlm. 1-2. 14 Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Pidana Indonesia, Amarta, Yogyakarta, 1993,
hlm. 28-29.
12
“ Tujuan hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan
ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum
mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan
memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak asasi
dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan negara,
penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat. Didalam perkembangan keilmuan-keilmuan hukum
acara pidana tidak hanya sekedar menemukan kebenaran dan keadilan
didalam hukum, akan tetapi kemampuannya harus sampai kepada
segala aspek yang terkandung dalam nilai-nilai kebenaran dan
keadilan yang bersangkutan. Aspek-aspek kebenaran dan keadilan
tersebut harus menyentuh hukum untuk kemanusiaan atau hukum
berperikemanusiaan, sebagai suatu perkembangan hukum acara
pidana yang mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan
dengan baik. oleh karena itu ada sementara pendapat ahli hukum
bahwa hukum acara pidana itu benar akan tetapi ditinjau dari seluruh
aspek kebenaran dan keadilan hukum, pernyataan tersebut kurang
tepat, sebab hak asasi manusia menjadi salah satu aspek saja dalam
hukum.”
c. Andi Hamzah15
“ Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari, dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan hukum pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukansuatu
pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari peradilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan. ”
d. Wirjono Prodjodikoro16
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan,
baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun menakut-nakuti
orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian
hari tidak melakukan kejahatan lagi ; atau
2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang
baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
15Andi Hamzah, Loc.Cit, hlm. 8. 16 Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit, hlm. 19.
13
3) Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pemeriksaan perkara
pidana tertuang dalam KUHAP terbagi dalam empat proses atau
tahap, yaitu :
a) Proses penyidikan;
b) Proses penuntutan;
c) Proses pemeriksaan di sidang pengadilan; dan
d) Proses pelaksanaan putusan pengadilan.
Berdasarkan pendapat para sarjana diatas maka tujuan hukum acara
pidana ialah mencari dan mendapatkan kebenaran sebagaimana
ditegaskan dalam pedoman pelaksanaan KUHAP.Itinya acara pidana
sebenarnya hanya membuktikan persesuaian antara keyakinan hakim
dengan kebenaran sejati sekaligus sebagai aturan yang membatasi
tindakan aparat penegak hukum dalam setiap proses pemeriksaan
terhadap tersangka dan atau terdakwa.
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Asas-asas hukum bukanlah aturan hukum melainkan suatu bingkai
dari sebuah aturan hukum. Asas-asas hukum harus ada dalam setiap
aturan hokum, jika asas-asas hukum tidak ada dalam sebuah aturan
hukum maka aturan tersebut tidak dapat dimengerti. Hal tersebut yang
dikatakan oleh Hibnu Nugroho17
, bahwa :
“ asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan
dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Asas-asas hukum tidak begitu
gamblang dijelaskan oleh suatu paraturan perundang-undangan
tetapi tersirat dalam aturan-aturan hukum. Asas hukum bersifat
umum oleh karena itu harus dituangkan dalam aturan hukumnya
agar dapat diterapkan. ”
17 Hibnu Nugroho, Intregralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Media
Prima Aksara. Jakarta, 2012, hlm.33.
14
Asas - asas hukum acara pidana menjadi tolak ukur tindakan para
penegak hukum agar tidak bertindak sewenang-wenang, sehingga tidak
merugikan hak tersangka dan / atau terdakwa dalam proses pemeriksaan
perkara di tingkat,penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
pengadilan, sampai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut sesuai dengan pendapat M. Yahya
Harahap18
, bahwa :
“ KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum, hal tersebut
diartikan sebagai dasar patokan hukum sekalius tonggak pedoman
bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan
pasal-pasal KUHAP. Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada
aparat penagak hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud
menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota
masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan
tindakan yang menyangkut KUHAP. ”
Hukum acara pidana juga memiliki asas-asas hukum acara pidana
agar hukum acara pidana dapat dipahami. Asas-asas hukum acara pidana
yaitu:
a. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam
KUHAP merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang tercantum
dalam Pasal 4 ayat (2), yang menyatakan bahwa :
“ Pengadilan membantu para pencari keadilan, dan berusaha
mengatasi segala hambatan, dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan sederhana. Cepat, dan biaya ringan.”
18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm.
35.
15
Ketentuan Dalam penjelasan KUHAP butir 3 huruf e
menegaskan lagi bahwa :
“ Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana, dan
biaya ringan serta bebas, dan jujur, dan tidak memihak haris
diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”
Menurut Lilik Mulyadi19
asas peradilan cepat ialah :
“Pada dasarnya, asas ini terdapat dalam pasal 2 ayat (4) dan
pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dan
penjelasan umum angka 3 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Secara konkret, jika dijabarkan bahwa dengan dilakukan
peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan,
dimaksudkan agar terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa
berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian procedural
hukum serta proses administrasi biaya perkara yang ringan dan
tidak terlalu membebaninya. Terhadap penerapan asas ini dalam
praktik peradilan dapatlah diberikan nuansa bahwa peradilan
cepat dan sederhana tampak adanya pembatasan waktu
penanganan perkara, baik perdata maupun pidana pada tingkat
yudex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) masing-
masing enam bulan dan apabila dalam waktu enam bulan belum
selesai diputus, ketua pengadilan negeri / ketua pengadilan
tinggi harus melaporkan hal tersebut beserta alas an-alasannya
kepada ketua pengadilan tinggi atau Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992).
Adapun terhadap peradilan dengan biaya ringan khususnya
dalam perkara pidana berorientasi pada pembebanan biaya
perkara bagi terdakwa yang dijatuhi pidana. Adapun terhadap
peradilan dengan biaya ringan khususnya dalam perkara pidana
berorientasi pada pembebanan biaya perkara bagi terdakwa yang
dijatuhi pidana (pasal 197 ayat (1) huruf I Jo. Pasal 222 ayat (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana”.
19
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap : Surat
Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Jakarta, Citra Aditya, 2012, hal 14
16
Menurut doktrin yang lainnya Andi Hamzah20
, Penjelasan
umum mengenai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan
banyak dijabarkan dalam KUHAP, antara lain :
1) Pasal-Pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), dan 28
ayat (4) KUHAP. Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat
ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti
tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum,
dan hakim harus sudah mengeliuarkan tersangka atau terdakwa dari
tahanan demi hukum. Dengan sendirinya hal ini mendorong
penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut;
2) Pasal 50 KUHAP mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa
untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada
waktu dimulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan
ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2) segera diadili oleh
pengadilan, ayat (3);
3) Pasal 102 ayat (1) KUHAP mengatakan penyelidik yang menerima
laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan;
4) Pasal 106 KUHAP mengatakan hal yang sama tersebut di atas bagi
penyidik;
5) Pasal 107 ayat (3) KUHAP mengatakan bahwa dalam hal tindak
pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b KUHAP, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf a KUHAP;
6) Pasal 110 KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum
dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata segera. Begitu
pula Pasal 138. 7) Pasal 140 ayat (1) KUHAP menyatakan : “ Dalam hal penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Asas hukum acara pidana peradilan Cepat, sederhana, dan biaya
ringan menghendaki suatu peradilan yang efektif, dan efisien lebih
untuk kepentingan tersangka/terdakwa.
20 Andi Hamzah, Loc.Cit, hlm.11.
17
b. Asas Akusator dan Asas inkisitur
Asas Akusator dalam pemeriksaan perkara pidana adalah
merupakan sistem pemeriksaan yang menempatkan tersangka sebagai
subyek, dimana tersangka mempunyai kedudukan didalam perkara
pidana dengan penyidik atau penuntut umum sebagai pendakwa.21
Hal
tersebut dalam rangka penghormatan terhadap kedudukan tersangka
atau terdakwa dalam suatu pemeriksaan bukan lagi sebagai objek
pemeriksaan, melainkan sebagai subjek dalam suatu tujuan
pemeriksaan termasuk dalam sistem pembuktian yang alat-alat bukti
berupa “pengakuan terdakwa” diganti dengan “ keterangan terdakwa
”, yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
kesalahan yang dialakukan tersangka atau terdakwa.
Taufik Makarao dan Suhasril22
mengatakan bahwa:
“Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa
dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai
obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus
didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang
mempunyai harkat dan martabat harga diri”.
Menurut M.Yahya Harahap23
, asas ini ditinjau dari segi teknis
penyidikan dinamakan “prinsip akusator”, yaitu menempatkan
kedudukan tersangka dan atau terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan sebagai :
21
Tanusubroto, S. Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung, Armico, 1984, hal 25. 22
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan
Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal 3. 23 M.Yahya Harahap, Loc.Cit, hlm.40.
18
1) Subyek, dalam artian bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena
itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan
dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, dan martabat
harga diri.
2) Kesalahan, dalam artian yang menjadi obyek pemeriksaan dalam
prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan
tersangka / terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan.
Asas inkisitur terdakwa ditempatkan sebagai objek pemeriksaan,
terdakwa dipaksa mengakui perbuatan pidana yang dipersangkakan
padanya dengan cara aparat penegak hukum melakukan tindakan
kekerasan, penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang lainnya, yang
bertujuan untuk memaksa terdakwa agar mengakui perbuatan pidana
yang dipersangkakan padanya.
Menurut doktrin Andi Hamzah24
, Asas Inkusitor adalah :
“Asas Inkisitor adalah sistem pemeriksaan yang menempatkan
tersangka sebagai objek yang memandang bahwa pengakuan
merupakan alat bukti terpenting sehingga terkadang
menimbulkan penganiayaan atau kekerasan didalam
pemeriksaan.”
c. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent)
Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocent) dalam hal
aparat penegak hukum mencari kebeneran materil tanpa harus
mengorbankan hak tersangka atau terdakwa dalam prosesnya. Asas ini
dapat dilihat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP, asas ini
juga telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan
:
24
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Jakarta, Ghalia, 1990, hal
32.
19
“ Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya, dan memperoleh kekuatan hukum
tetap ”
Intinya asas ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka
(tersangka), ataupun didakwa (terdakwa) wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan dan
membuktikan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
d. Asas Pemeriksaan Terbuka Untuk Umum
Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 153 ayat (3), dan (4)
KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut :
1) Pasal 153 ayat (3) KUHAP :Untuk keperluan pemeriksaan,
Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali perkara kesusilaan, dan terdakwanya anak-
anak.
2) Pasal 153 ayat (4) KUHAP : Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat (2), dan (3) mengakibatkan batalnya putusan demi
hukum.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 18 dan Pasal 195 KUHAP dengan tegas
menyatakan:
“ Semua Putusan hanya sah, dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum ”
Menurut M. Yahya Harahap25
, asas terbuka utuk umum :
“Pada saat membuka persidangan pemeriksaan perkara
seseorang terdakwa, hakim ketua harus menyatakan “terbuka
untuk umum” (Pasal 153 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
25 M. Yahya Harahap, Loc.Cit, 2010, hal. 56.
20
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan
ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum”
(Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tentu terhadap
ketentuan ini ada kecualinya sepanjang mengenai perkara yang
menyangkut “kesusilaan” atau yang duduk sebagai terdakwa
terdiri dari “anak-anak”. Dalam hal ini persidangan dapat
dilakukan dengan “pintu tertutup.”.
Bambang Poernomo26
, menyatakan bahwa :
“ Sifat terbuka sidang pengadilan dimaksudkan agar khalayak
ramai dapat mengikuti, dan mengawasi jalannya pemeriksaan
pengadilan, bukan dalam arti masuknya orang-orang dalam
ruang pengadilan. bisa saja terjadi, seseorang yang ingin
mendengarkan pemeriksaan ditolak untuk masuk ruang sidang
yang luasnya terbatas, akan tetapi dapat dipersilahkan mengikuti
melalui alat pengeras suara yang dipasang dihalaman gedung.
Kejadian demikian tidak bertentangan dengan asas terbuka
untuk umum (seperi halnya dalam perkara kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal
153 ayat (3) KUHAP, namun keputusan Hakim tetap dinyatakan
dalam sidang yang terbuka untuk umum. ”
e. Asas Legalitas
Asas Legalitas Hukum Acara Pidana di Indonesia terdapat
dalam konsideran Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana huruf a, yang merumuskan :
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga
Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan
pemerintahan itu tidak ada kecualinya”.
Indonesia sebagai Negara hukum maka pelaksanaan penerapan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana harus bersumber pada titik tolak peraturan
26 Bambang Poernomo, Loc.Cit, hlm. 61.
21
hukum (The Rule of Law). Menurut M. Yahya Harahap27
, berpendapat
bahwa :
“Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum acara pidana
adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas
legalitas. Pelaksanaan penerapan Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana harus
bersumber pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan
penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan
undang-undang dan menempatkan kepentingan hukum dan
perundang-undangan di atas segala-galanya.”
f. Asas Oportunitas
Hak penuntutan mengenal 2 asas, yaitu “ Asas Legalitas ”, dan “
Asas Oportunitas ( het legalities en het opportunities ) ”. Asas
oportunitas sebenarnya bertentangan dengan asas Legalitas, karena
menurut asas legalitas, Jaksa / Penuntut Umum wajib menuntut suatu
delik. Sedangkan dalam asas oportunitas, Jaksa / Penuntut Umum
tidak wajib menuntut jika menurut pertimbangannya akan merugikan
kepentingan umum.
Pengertian “kepentingan umum” itu sendiri dalam pedoman
pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah kepentingan yang
menyangkut Negara dan masyarakat dan bukan kepentingan pribadi.
Dalam penjelasan Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara tegas
disebutkan “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak
27 M. Yahya Harahap, Loc.Cit, hal. 36.
22
termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa Agung”
Pasal 32 huruf c Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas dianut di
Indonesia, isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut :
“ Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan
kepentingan umum. ”
Dalam hal ini Yahya Harahap28
, berpendapat :
“ Sebagaimana kita ketahui, bertolak belakang dengan asas
legalitas adalah asas “Oportunitas” yang berarti sekalipun
seorang tersangka telah terang cukup bersalah menurut
pemeriksaan pernyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat
dijatuhi hukuman namun hasil pemeriksaan tersebut tidak
“deponer” oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi
kepentingan umum”. Kejaksaan berpendapat akan lebih
bermanfaat lagi kepentingan umum jika perkara itu tidak
diperiksa dimuka sidang pengadilan. Dengan demikian
perkaranya dikesampingkan saja (deponer). Cara penyampingan
yang seperti itulah yang disebut Asas Oportunitas.”.
Menurut A.Z Abidin Farid29
, perumusan tentang asas oportunitas
adalah sebagai berikut :
“ Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut
umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa
syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik
demi kepentingan umum. ”
g. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Sidang
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
28
Ibid, hal 34-35. 29 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Jakarta, Ghalia, 2004,
hlm. 14.
23
Hukum Acara Pidana dalam penjelasan umum butir 3 a. Pasal 5 ayat
(1) tersebut merumuskan sebagai berikut :
“ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang. ”
“ Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum
dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. ”
Perlakuan sama didepan hukum biasa disebut “equality before
the law” merupakan asas universal yang harus selalu dijadikan
pedoman dalam setiap tindakan hukum aparat penegak hukum.
Menurut Lilik Mulyadi30
asas perlakuan sama di depan sidang
ialah :
“Pada asasnya elemen yang melekat mengandung makna
perlindungan sama di depan hukum (equal protection on the
law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum
(equal justice under the law). Tegasnya, hukum acara pidana
tidak mengenal adanya peraturan yang memberi perlakuan
khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum).”
h. Asas Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.
KUHAP telah mengatur ketentuan mengenai bantuan hukum,
sehingga tersangka / terdakwa bisa mendapatkan kebebasan dalam
pemeriksaan suatu perkara pidana. Hal tersebut terdapat dalam Pasal
69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, yaitu sebagai berikut :
1) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau
ditahan;
2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada
semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
4) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar
oleh penyidik, dan penuntut umum, kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan negara;
30 Lilik Mulyadi, Loc.Cit, hal 14.
24
5) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka / terdakwa guna
kepentingan pembelaan;
6) Penasihat hukum berhak mmengirim surat, dan menerima surat dari
tersangka / terdakwa.31
Asas bahwa Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum ditegaskan pada Penjelasan Umum angka 3 huruf 1 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana merumuskan bahwa:
“setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan”.
i. Asas Pemeriksaan Hakim secara Langsung
Asas pemeriksaan Hakim secara langsung diatur dalam Pasal
154 dan Pasal 155 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 154 KUHAP
merumuskan :
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil
masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan
bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan
tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua
sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak
datang disidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan terhadap
terdakwa tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua
sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan
tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap
terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak
hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk
31 Ibid, hlm. 21.
25
kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama
berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang
pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6)
dan menyampaikan kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155 KUHAP :
(1) Pada Permulaan Sidang, hakim ketua sidang menanyakan
tentang nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaannya
serta mengingatkan kepada terdakwa supaya memperhatikan
segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya disidang.
(2) a) Sesudah itu hakim ketua sidang minta pada penuntut umum
untuk membacakan surat dakwaan.
b) Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila
terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas
permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang
diperlukan.
Pengecualian dari asas langsung adalah putusan dijatuhkan
tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan
pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP).
Menurut Andi Hamzah32
, asas pemeriksaan Hakim secara
langsung adalah :
“Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa, dan para saksi.
Berbeda dengan acara perdata dimana Tergugat dapat diwakili
oleh Kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan,
artinya bukan tertulis antara hakim, dan terdakwa. Ketentuan
mengenai hal tersebut di atas diatur dalam Pasal-Pasal 154, 155
KUHAP, dan seterusnya.”
j. Asas Peradilan Dilaksanakan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan
Tetap
32Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Jakarta, Ghalia, 2008, hlm 22.
26
Hakim ialah aparat penegak hukum yang menerima, memeriksa,
memutuskandan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 1 KUHAP huruf 8,
yang merumuskan sebagai berikut :
“ Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili. ”
Asas Peradilan dilaksanakan oleh Hakim karena jabatannya dan
tetapini menentukan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk
menyatakan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena
jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri
yang sifatnya diangkat secara insidentil dalam sistem hukum Anglo
saxon seperti yang di anut di Amerika Serikat. Sistem juri yang
menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu Dewan yang
mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya
mereka adalah awam atau tidak tahu hukum. Pendapat umum
mengenai suatu peristiwa hukum dalam pemeriksaan pengadilan lazim
dilakukan di negara yang menganut sistem hukum Anglo saxon.
k. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Asas ganti kerugian dan rehabilitasi ini diatur dalam Pasal 95-97
KUHAP. Kerugian dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP adalah kerugian
yang ditimbulkan karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau
dikenakan tindakan lain, kemudian yang dimaksud kerugian karena
tindakan lain adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan
rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
27
Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama
dari pidana yang dijatuhkan.
Rehabilitasi diatur dalam Pasal 1 butir 23 KUHAP, yang
menyatakan sebagai berikut :
“ Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan
pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan atau diadili
tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang atau karena
kekeliruannya mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. ”
B. Pengertian, Tujuan, Dasar Penahanan
1. Pengertian dan Tujuan Penahanan
Sebagai penegak hukum, penyidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Penyidikan suatu istilah dimaksudkan
sejajar dengan pengertian osporing (Belanda) dan investigation (Inggris)
atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).33
KUHAP dalam Pasal 1 butir
ke-2 memberi definisi penyidikan sebagai berikut:
“ Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-undangini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”
Sesuai pengertiannya pinyidikan dilakukan oleh penyidik sebagai
penegak hukum yang diberi wewenang. Untuk mencari barang bukti
dalam tindakan penyidikan, kadang perlu melakukan upaya paksa yang
33
Ibid, hlm. 120.
28
sesuai wewenang penyidik dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, salah
satunya adalah penahanan.
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini (Pasal 1 Butir 21 KUHAP) “.
Definisi penahanan, Andi Hamzah34
berpendapat bahwa:
“ Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan
kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, di sini terdapat
pertentangan dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak
dan kepentingan banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat
tersangka. Di sinilah letak keistimewaanya hukum acara pidana itu.
Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas
yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia
khususnya hak kebebasan seseorang karena dilakukan upaya paksa
penahanan. Oleh karena itu, penahanan dilakukan jika perlu sekali.
Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal
bagi penahanan. “
Kesimpulannya penahanan salah satu bentuk perampasan
kemerdekaan bergerak seseorang walaupun bertentangan dengan dua
asas yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia
yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan banyak atau
masyarakat dari perbuatan jahat tersangka. Hal ini dilakukan untuk
kepentingan penyidikan.
2. Dasar dan Alasan Penahanan
Mengenai ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya
ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri
secara objektif, tergantung pada usaha dan tindakan penyidik untuk
34
Ibid, hlm.129.
29
menyelesaikan fungsi pemeriksaan penyidikan sehingga penyidik dapat
benar-benar mencapai hasil penyidikan yang akan diteruskannya kepada
pihak penuntut umum. Demikian juga penahanan yang dilakukan oleh
penuntut umum atau hakim yaitu untuk kepentingan pemeriksaan pada
tahap prapenuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
KUHAP mengatur alasan penahanan yaitu dalam Pasal 21 ayat (1)
dan ayat (4). Pasal 21 ayat (1) menyebutkan alasan penahanan, yang
merupakan alasan subyektif dari penyidik yaitu:
“ Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana “.
Alasan subyektif disini masih banyak menjadi pertentangan, karena
batas apa yang menjadi syarat subyektif penahanan itu sendiri masih
tidak jelas.
“Batasan syarat subjektif menyebutkan bahwa penahanan bisa
dilakukan apabila ada kekhawatiran tersangka/ terdakwa melarikan
diri, merusak, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi
perbuatannya. Tiga unsur subjektif itu menjadi batasan yang masuk
kategori grey area atau wilayah abu-abu, sehingga acap pada kasus
yang sama, tersangka mendapat perlakuan yang berbeda dari pihak
penyidik.“35
Mengenai alasan penahanan secara obyektif dari penyidik adalah
suatu tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan terhadap
tersangkanya harus merupakan tindak pidana diancam dengan pidana
35 http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/bias-syarat-subjektif-penahanan.html, diakses
22 Januari 2014.
30
penjara lima tahun atau lebih sesuai Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4)
KUHAP. Alasan penahanan Obyektif sudah sangat jelas secara yuridis
karena sudah tertuang dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP.
Oleh karena itu sudah tidak ada pertentangan lagi seperti alasan subyektif
penahanan.
Untuk melakukan penahanan terdapat dasar penahanan, menurut
Taufik Makarao36
dasar penahanan di bagi dua yaitu:
1. Dasar keadaan atau keperluan
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat 1 KUHAP).
2. Dasar Yuridis
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),
Pasal 296, Pasal 333 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat
(1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 rechtenondonantie (pelanggaran
terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
staatblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor
8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal
36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Nomor
3086) (pasal 21 ayat (4) KUHAP).
C. Tindak Pidana Pencurian Ringan
36
Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2004, Hlm 36-37.
31
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Ringan dan Acara Pemeriksaanya
Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan
“Strafbaarfeit” yang berasal dari KUHP Belanda yang kemudian di
berlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada
masapenjajahan belanda, hingga kini masih digunakan di Indonesia
sampai dibentuknya peraturan perundang-undangan yang baru.
Moeljatno37
menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah perbuatan
pidana, dan merumuskan sebagai berikut :
“ perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Dimana larangan tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Antara larangan, dan ancaman pidana
ada hubungan erat oleh karena itu keduanya tidak dapat
dipisahkan.”
Sudarto38
menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak
pidana, alasannya:
“ pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal asal
diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi
dari pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak
pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi merupakan
sosiologishie gelding. ”
Dalam hukum positif pengertian pencurian telah diatur dan
dijelaskan dalam BAB XXII Pasal 362 KUHP, yang berbunyi :
“ Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
37 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54. 38 Sudarto, Loc.Cit, hlm. 39.
32
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling
banyak Rp 900,-. ”
Ketentuan Pasal 362 KUHP digolongkan sebagai pencurian biasa
merupakan ketentuan yang termasuk di dalam bidang hukum materiil.
Peraturan ini menentukan suatu tindak pidana yang menunjukkan siapa
yang dapat dipidana, perbuatan apa yang dapat dipidana, dan hukuman
apa yang dapat dijatuhkan. Sedangkan Pencurian ringan diatur dalam
ketentuan Pasal 364 KUHP yang menyatakan :
“ Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan 363 KUHP ke-
4, begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5,
apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumah rumahnya, jika harga barang yang dicuri
tdak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dikenai, karena
pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling banyak enam puluh rupiah. ”
Berdasarkan rumusan Pasal 364 KUHP diatas, maka unsur-unsur
dalam pencurian ringan adalah :
1. Pencurian dalam bentuk yang pokok (Pasal 362 KUHP);
2. Pencurian yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih secara bersama-
sama (Pasal 363ayat (1) ke-4 KUHP);
3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar , merusak atau
memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;
4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya; dan
apabila harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp 250,-.
33
Pencurian ringan menurut Tongat39
adalah :
“ pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian di dalam
bentuknya yang pokok,yang karena ditambah dengan dengan
unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi
diperingan. ”
Mengenai tindak pidana ringan, berkaitan dengan Pasal 205 ayat
(1) KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara
atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam
Paragraf 2 bagian ini. Prosedur Acara Pemeriksaan Tindak Pidana
Ringan dalam Bab XVI (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan), Bagian
Keenam (Acara Pemeriksaan Cepat), pada paragraf 1 yang berjudul
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP, yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp7.500,-.
Pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dengan acara cepat,
Pengadilan Negeri menentukan hari-hari tertentu yang khusus untuk
melayani pemeriksaan tindak pidana ringan. Menurut Pasal 206 KUHAP,
hari-hari tertentu untuk mengadili perkara tindak pidana ringan yaitu :
a. 7 Hari dalam satu bulan
39 Tongat, Hukum Pidana materiil, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2006,
hlm.41.
34
b. Hari-hari tersebut diberitahukan pengadilan kepada penyidik supaya
mengetahui dan dapat mempersiapkan pelimpahan berkas perkara
tindak pidana ringan.
Suatu hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan perkara tindak
pidana ringan ialah prosedur “ pelimpahan ” dan “ pemeriksaan ” tanpa
dicampuri dan diikuti oleh penuntut umum. Hal tersebut telah ditentukan
dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP, yaitu :
a. Pelimpahan perkara dilakukan Penyidik “ atas kuasa Penuntut Umum
”;
b. Dalam tempo 3 hari Penyidik Menghadapkan segala sesuatu yang
diperlukan ke Sidang;
c. Perkara yang diterima segera disidangkan pada hari itu juga. (Pasal
207 ayat (1) huruf b KUHAP);
d. Panggilan Terdakwa untuk menghadap ke persidangan pada hari yang
telah ditentukan. ( Pasal 207 ayat (1) huruf a KUHAP);
e. Panitera mencatat dalam register perkara yang diterimanya.
(Penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf a KUHAP);
f. Pengajuan perkara tanpa surat dakwaan. (Pasal 207 ayat (2) huruf b
KUHAP);
g. Pemeriksaan perkara dengan Hakim tunggal. (Pasal 205 ayat (3)
KUHAP);
h. Saksi tidak mengucap sumpah. (Pasal 208 KUHAP).
Tata cara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan telah
ditentukan di dalam KUHAP secara limitatif, dalam penerapannya ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Diantaranya yaitu :
1) Pelimpahan perkara dilakukan Penyidik “atas kuasa penuntut umum”,
berdasarkan penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP yang dimaksud
“atas kuasa” dari penuntut umum kepada penyidik adalah “ Demi
hukum ”, sehingga dalam hal ini Penyidik bertindak atas “ Kuasa
Undang-Undang ”, dan tidak memerlukan surat kuasa khusus lagi dari
penuntut umum, sehingga pelimpahan berkas perkara langsung ke
35
pengadilan tanpa melalui aparat penuntut umum, selain itu penyidik
berwenang langung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti,
saksi, ahli, atau juru bahasa yang diperlukan kesidang pengadilan.
2) Dalam tempo 3 hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang
diperlukan ke sidang, terhitung sejak berita acara pemeriksaan telah
selesai dibuat oleh penyidik. Tempo 3 hari merupakan batas waktu
minimum sesuai dengan Pasal 205 ayat (2) jo. Pasal 164 ayat 2 jo.
Penjelasan Pasal 152 ayat (2) KUHAP. Yang dimaksud batas waktu
minimum adalah tidak boleh kurang dari tempo yang telah ditentukan.
Sehingga jika kurang dari 3 hari, maka tidak sah. Perkara yang
diterima segera disidangkan pada hari itu juga, ketentuan ini dalam
Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP bersifat imperatif, karena dalam
ketentuannya berbunyi “ harus segera ” disidangkan pada hari itu juga.
3) Pemberitahuan sidang kepada Terdakwa dilakukan dengan cara :
a. Dengan pemberitahuan secara tertulis,
b. Pemberitahuan tertulis itu memuat tentang : hari, tanggal, jam, dan
tempat sidang pengadilan,
c. Catatan pemberitahuan bersama berkas dikirim ke pengadilan.
Pemberitahuan dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi
kewajiban untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam,
dan tempat yang ditentukan. Setelah pengadilan menerima perkara
dengan acara pemeriksaan acara tindak pidana ringan, hakim yang
bertugas memeriksa perkara memerintahkan panitera mencatat dalam
buku register. Oleh karena penyelesaiannya yang cepat maka perkara
36
yang diadili menurut acara pemeriksaan cepat sekaligus dimuat dalam
buku register dengan masing-masing diberi nomor untuk dapat
diselesaikan secara berurutan sebagaimana dalam Pasal 207 ayat (1)
KUHAP.
4) Pengajuan dan pemeriksaan perkara dengan cara tindak pidana ringan
tanpa dakwan, surat dakwaan dianggap tercakup dalam catatan buku
register. Sesuai dengan Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP buku
register perkara dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan
memuat :
a) Nama lengkap,
b) Tenpat lahir,
c) Umur (tanggal lahir),
d) Jenis kelamin,
e) Kebangsaan,
f) Tempat tinggal,
g) Agama,
h) Pekerjaan terdakwa
i) Tindak pidana yang didakwakan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 205 ayat (3) KUHAP, ditegaskan
bahwa pemeriksaan perkara tindak pidana ringan, pengadilan
mengadilinya dengan “hakim tunggal”. Dalam hal saksi, sesuai dengan
ketentuan Pasal 208 KUHAP saksi yang memberikan keterangan dalam
sidang pengadilan tanpa mengucapkan sumpah atau janji.
Putusan dalam pemeriksaan perkara acara tindak pidana ringan
tidak dibuat secara khusus dan tersendiri seperti putusan pekara dengan
acara biasa. Selain itu putusan tersebut tidak dicatat dan disatukan dalam
berita acara sidang seperti yang berlaku dalam perkara pemeriksaan
37
dengan acara singkat. Putusan dalam perkara tindak pidana ringan cukup
berupa bentuk “ catatan ”, yang sekaligus berisi amar putusan berbentuk
“ catatan ” dalam daftar catatan perkara. Hal tersebut terkait dengan sifat
pemeriksaan acara cepat yang serba cepat, namun dengan tidak
mengorbankan kecermatan dan ketelitian dalam pemeriksaannya.
2. Sanksi dan Denda Tindak Pidana Pencurian Ringan
Tindak pidana pencurian bukan merupakan hal yang baru karena
sudah diatur dalam KUHP, Tetapi sejak keluarnya PERMA No 02 tahun
2012 yang pada intinya penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan
jumlah denda dalam KUHP adalah menaikkan batasan denda tindak
pidana ringan menjadi Rp 2.500.000,-.
Tindak pidana pencurian ringan dalam Pasal 364 ancaman
hukumannya ialah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling
banyak Rp 250 ,-. Khusus untuk pidana denda sebenarnya sudah dikenal
sejak lama, merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana
penjara. Mungkin setua pidana mati40
namun baru pada abad ini dapat
dimulai keemasan pidana denda. Sebab itu, kemudian denda ini berhasil
menggeser kedudukan pidana badan dari peringkat pertama Pidana denda
sebagai salah satu pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP
yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam
Buku I dan Buku II KUHP.
40 Andi Hamzah, Loc.Cit, hlm. 53.
38
Pada zaman modern ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-
delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda
memiliki sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam
perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain. Perbedaannya ialah denda dalam perkara pidana
dibayarkan kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara
perdata dibayarkan kepada orang pribadi atau badan hukum. Pengaturan
pidana denda dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 10 jo Pasal 30,
dimana mengatur mengenai pola pidana denda. Ditentukan bahwa
banyaknya pidana denda sekurang-kurangnya Rp.3,75 sebagai ketentuan
minimum. Jika dijatuhkan pidana denda, dan pidana denda tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan
pengganti tersebut sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama 6
bulan. Menurut Zamhari Abidin41
, bahwa tugas hukum pidana adalah
melindungi kepentingan hukum yang tergolong ke dalam perlindungan
terhadap nyawa, badan, kehormatan, kebebasan, dan kekayaan.”
D. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 (Perma No. 02
Tahun 2012)
1. Latar Belakang Lahirnya Perma No. 02 Tahun 2012.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 merupakan
landasan bagi pengadilan dalam mengadili kejahatan tindak pidana
pencurian ringan dengan menggunakan acara pemeriksaan cepat. Latar
41 Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Schema (bagan) dan
Sysnosis (catatan singkat), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 4.
39
belakang lahirnya Perma No. 02 Tahun 2012 tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan penjelasan umum, yaitu sebagai berikut :
Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang
yang kecil yang kini diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan
masyarakat. Pada umumnya masyarakat menilai bahwa sangatlah tidak
adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5
tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak
sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.
Banyaknya perkara-perkara tersebut yang masuk ke pengadilan
juga telah membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari
segi persepsi publik terhadap pengadilan. umumnya masyarakat tidak
memahami bagaimana proses jalannya perkara pidana sampai bisa masuk
ke pengadilan, pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan dalam
setiap tahapan, dan masyarakat pun umumnya hanya mengetahui ada
tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara tersebut di
sidangkan di pengadilan. dan oleh karena sudah sampai tahap
persidangan di pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke
pengadilan, dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat.
Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah
tidak tepat di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang
ancamannya paling lama 5 tahun. Perkara-perkara pencurian ringan
seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan (Lichte
misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364
KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau denda
paling banyak Rp 250,-. Jika perkara-perkara tersebut didakwa dengan
Pasak 364 KUHP tersebut maka tentunya berdasarkan KUHAP para
tersangka/terdakwa perkara-perkara tersebut tidak dapat dikenakan
penahanan (Pasal 21 KUHAP) serta acara pemeriksaan di pengadilan
yang digunakan haruslah Acara Pemeriksaan Cepat yang cukup diperiksa
oleh Hakim Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Selain itu berdasarkan Pasal 45 huruf A Undang-Undang Mahkamah
Agung No. 3 Tahung 2009, perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan
kasasi karena ancaman hukumannya di bawah 1 tahun penjara.
Mahkamah Agung memahami bahwa mengapa penuntut umum
saat ini mendakwa para terdakwa dalam perkara-perkara tersebut dengan
menggunakan Pasal 362 KUHP, oleh karena batasan pencurian ringan
yang diatur dalam Pasal 364 KUHP saat ini adalah barang atau uang
yang nilainya di bawah Rp 250,-. Nilai tersebut sudah tidak sesuai lagi
saat ini, sudah hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp 250,-
tersebut. Angka Rp 250,- tersebut merupakan angka yang ditetapkan oleh
pemerintah dan DPR pada tahun 1960, melalui Perpu No.16 Tahun 1960
tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, yang kemudian disahkan
menjadi Undang-Undang melalui UU No. 1 Tahun 1961 tentang
40
Pengesahan Semua Undang-Undang Darurat dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Bahwa untuk
mengefektifkan kembali Pasal 364 KUHP sehingga permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam perkara-perkara yang saat ini menjadi
perhatian masyarakat tersebut Pemerintah dan DPR perlu melakukan
perubahan atas KUHP, khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada
dalam KUHP. Namun mengingat sepertinya hal tersebut belum menjadi
prioritas Pemerintah dan DPR, selain itu proses perubahan KUHP oleh
Pemerintah dan DPR akan memakan waktu yang cukup lama, walaupun
khusus untuk substansi ini sebenarnya mudah, untuk itu Mahkamah
Agung memandang perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung ini
untuk menyesuaikan nilai uang yang menjadi batasan tindak pidana
ringan, baik yang diatur dalam Pasal 364 maupun pasal lainnya.42
2. Perspektif Penerapan Perma No. 02 Tahun 2012 dalam Tindak Pidana
Pencurian Ringan dan Ketentuan Jumlah Denda dalam Tindak Pidana
Pencurian Ringan menurut Perma No. 02 Tahun 2012
Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
dalam perkara tindak pidana ringan dapat dilihat dalam beberapa
perspektif. Berikut ini akan disajikan artikel ilmiah hasil penelitian dari
kalangan akademisi, dan praktisi hukum terkait Perma No. 02 Tahun
2012.
Perma Nomor 2 Tahun 2012 dibentuk sebagai upaya penyesuaian
terhadap kondisi non hukum yang terjadi di luar proses peradilan.
Pertama, tudingan masyarakat terkait dengan kinerja pengadilan yang
dinilai bersikap tidak adil tanpa pemahaman yang utuh atas criminal
justice system. Kedua, Perma tersebut tidak hanya berbicara mengenai
penyesuaian batasan jumlah denda, namun ada itikad baik dari MA
untuk memperbaiki proses peradilan. Namun, upaya memperbaiki
proses peradilan berdasarkan kewenangan MA hanya dapat diterapkan
di lingkungan pengadilan. Perma ini tidak mampu secara hukum
menjangkau pihak lain yang berada pada sistem peradilan pidana seperti
Penyidik Kepolisian maupun Jaksa Penuntut Umum. Karena secara ilmu
perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 secara garis
besar peraturan yang dibuat oleh MA masuk dalam lingkup keputusan
42 Penjelasan Umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012, di akses tanggal
1November 2013 pukul 18.45 WIB
41
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat mengatur (regeling) sehingga
tepat bila dibuat dalam bentuk “peraturan”, yang dikenal dengan istilah
“Interna Regeling”.
Secara eksplisit memang dinyatakan pada pertimbangan Perma No 2
Tahun 2012, Bahwa Perma ini sama sekali tidak bermaksud mengubah
KUHP, Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian nilai uang
yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Hal ini
dimaksudkan memudahkan penegak hukum khususnya Hakim, untuk
memberikan keadilan terhadap perkara yang diadili. Namun bila melihat
dalam butiran Pasal-Pasal Perma tersebut maka secara tidak langsung
Perma tersebut merubah ketentuan dalam KUHP dan seakan akan
menjadi Lex Specialis dari KUHP dengan kata lain mengatur tentang
hukum pidana materil bukan merupakan ranah hukum pidana formil.
Karena ketentuan materilnya diubah maka secara otomatis penegakan
hukum formilnya akan menyesuaikan. Tentunya hal ini menimbulkan
kerancuan dan tidak sejalan dengan makna pada Pasal 79 undang-
undang Kehakiman. Seruan revisi KUHP sudah sejak lama sekali di
dengung-dengungkan, karena begitu banyak pengaturan dalam KUHP
tersebut telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang
semakin maju dan terus berkembang. Lahirnya Perma No 2 Tahun 2012
ini merupakan suatu bukti bahwa KUHP sudah saatnya untuk direvisi
dan bisa bayangkan bagaimana bila setiap ketentuan KUHP yang tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman dibuat Permanya. Bahwa sejak
tahun 1960 nilai rupiah mengalami penurunan sebesar 10.000 kali jika
dibandingkan harga emas saat ini. Nilai uang yang terdapat pada KUHP
belum pernah mengalami penyesuaian sehingga berimplikasi terhadap
penerapan sejumlah pasal yang ada pada KUHP seperti pada Pasal 364,
373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP. Selain itu keberadaan Perma
No. 2 Tahun 2012 tidak dapat menjamin dan menjadi payung hukum
yang kuat dari rasa keadilan masyarakat yang tertindas sebagaimana
yang dirasakan saat ini.
Sebagai peraturan yang diterbitkan dengan tujuan untuk memperlancar
jalannya peradilan, PERMA telah menunjukkan berbagai peranannya di
dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya
di bidang peradilan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa putusan Hakim
yang ternyata mempergunakan PERMA sebagai dasar di dalam bagian
pertimbangan hukumnya, dalam hal terjadinya kekosongan ataupun
kekurangan aturan di dalam undang-undang hukum acara. Kesemuanya
itu dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai sarana penemuan hukum
dan dalam rangka melakukan penegakan Hukum di Indonesia. Akhirnya
walaupun penuh pro dan kontra keberadaan Perma No 2 Tahun 2012.
Sebaiknya sosialisasi terhadap keberadaan PERMA tersebut agar lebih
ditingkatkan dan instansi penegak hukum lainnya seperti Polisi dan
Kejaksaan agar dapat menyesuaikan di jajaran masing-masing, sehingga
PERMA dapat diterapkan guna keadilan bagi pencari keadilan
khususnya masyarakat tidak mampu, yang terkadang terpaksa
42
melakukan suatu tindak pidana ringan demi sesuap nasi. Maka secara
tidak langsung membantu penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di
bidang Peradilan dan sebagai payung hukum sementara menanti KUHP
yang baru atau menanti Perma tersebut menjadi Undang-Undang
tersendiri. Keluarnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2
Tahun 2012 tentang tindak pidana ringan (Tipiring) terhadap pelaku
pencurian, penipuan, penggelapan dan penadahan dengan jumlah
kerugian di bawah Rp2.500.000,- tidak perlu dilakukan penahanan,
mengundang kontroversi dari sejumlah pihak.
Penerapan Perma No. 2 Tahun 2012 ini sebenarnya hanya berlaku bagi
Hakim Pengadilan, dan tidak berlaku bagi Penyidik dalam hal ini
Penyidik Polri dan Kejaksaan (sesuai yang tercantum dalam Pasal 2).
Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah mengenai apakah
tersangka akan dikenakan penahanan atau tidak. Hal ini mengingat
dalam Pasal 2 (3) Perma 02/2012 ini dijelaskan bahwa, apabila terdakwa
sebelumnya dikenakan penahanan, maka Ketua Pengadilan tidak
menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan. Ini tentu suatu hal
yang sangat ironis, mengingat permasalahan penahanan tersangka
merupakan kewenangan dan pertimbangan Penyidik. Kelemahan yang
mendasar dari Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah regulasi itu hanya
merupakan peraturan (regeling) yang mengikat untuk internal hakim-
hakim di lingkungan MA, yakni di Pengadilan Negeri (PN) dan
Pengadilan Tinggi (PT). Konsekuensinya, Ketua Pengadilan dalam
melihat kasus tindak pidana harus mampu melihat nilai objek sengketa
ketika menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan,
dan penadahan dari jaksa penuntut umum. Bila mendasarkan pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP), kasus pidana harus terlebih
dahulu melalui dua pintu, yakni penyidikan di Kepolisian dan
penuntutan di Kejaksaan. Persoalannya, dua institusi Hukum ini tidak
terikat oleh Perma tersebut. Lebih dari itu, dua institusi Hukum itu juga
belum merespon secara positif atas Perma, misalnya dengan menindak
lanjuti di level bawah Kepolisian dan Kejaksaan dalam memproses
kasus-kasus tipiring. 43
Terkait dengan ketentuan jumlah denda dalam tindak pidana pencurian
ringan menurut Perma No. 02 Tahun 2012, maka penyesuaian nilai
rupiah berpedoman pada harga emas yang berlaku pada sekitar tahun
1960. Bahwa batasan nilai yang diatur dalam Pasal-Pasal pidana ringan
tersebut perlu disesuaikan dengan kenaikan tersebut, untuk
mempermudah perhitungan Mahkamah Agung menetapkan kenaikan
nilai rupiah tersebut tidak dikalikan 10.077 namun cukup 10.000 kali.
43 Aswindri R. N., 2012, “PERSPEKTIF TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH
DENDA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2012 DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN”, diakses tanggal
1November 2013, Pukul 18.45 WIB
43
Dengan dilakukannya penyesuaian seluruh nilai uang yang ada dalam
KUHP baik terhadap Pasal-Pasal tindak pidana ringan maupun terhadap
denda diharapkan kepada seluruh Pengadilan untuk memperhatikan
implikasi terhadap penyesuaian ini dan sejauh mungkin
mensosialisasikan hal ini kepada Kejaksaan Negeri yang ada
diwilayahnya agar apabila terdapat perkara-perkara pencurian ringan
maupun tindak pidana ringan lainnya tidak lagi mengajukan dakwaan
dengan menggunakan Pasal 362, 372, 378, 383, 406 maupun 480 KUHP
namun Pasal-Pasal sesuai yang mengacu pada Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012. Selain itu jika Pengadilan menemukan
terdapat terdakwa tindak pidana ringan yang dikenakan penahanan agar
segera membebaskan. Selain itu mengefektifkan kembali pidana denda
serta mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah
banyak melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan
baru, sejauh mungkin para Hakim mempertimbangkan sanksi denda
sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkan, dengan tetap
mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta rasa keadilan
masyarakat.44
3. Ketentuan Jumlah Denda Dalam Tindak Pidana Pencurian Ringan
Menurut Perma Nomor 02 Tahun 2012
Kasus pencurian ringan ancaman hukumannya ialah pidana penjara paling
lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 60,-. Tindak pidana pencurian
ringan, harga barangnya tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00. Hal ini sesuai dengan
PERMA Nomor 02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan
dalam jumlah denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dilatar belakangi oleh:
1. Bahwa sejak tahun 1960 seluruh nilai uang yang terdapat dalam KUHP
belum pernah disesuaikan kembali. Hal ini berimplikasi pasa
digunakannya pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362 KUHP atas
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364 KUHP;
2. Bahwa apabila nilai uang yang ada dalam KUHP tersebut disesuaikan
dengan kondidi saat ini maka penanganan perkara tindak pidana ringan
seperti pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan dan
sejenisnya dapat ditangani secara proposional mengingat ancaman
44Ibid, diakses tanggal 1 November 2013
44
hukuman paling tinggi yang dapat dijatuhkan hanyalah tiga bulan
penjara, dan terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan
penahanan, serta acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara
Pemeriksaan Cepat, selain itu perkara-perkara tersebut tidak dapat
diajukan upaya hukum kasasi;
3. Bahwa materi perubahan KUHP pada dasarnya merupakan materi
undang-undang, namun mengingat perubahan KUHP diperkirakan akan
memakan waktu yang cukup lama sementara perkara-perkara terus
masuk ke pengadilan, Mahkamah Agung memandang perlu melakukan
penyesuaian nilai rupiah yang ada dalam KUHP berdasarkan harga
emas yang berlaku pada tahun 1960;
4. Bahwa sejak tahun 1960 nilai rupiah telah mengalami penurunan
sebesar kurang lebih 10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada
saat ini. Untuk itu maka seluruh besaran rupiah yang ada dalam KUHP
kecuali Pasal 303 dan 303bis perlu disesuaikan;
5. Bahwa Peraturan Mhkamah Agung ini sama sekali tidak bermaksud
mengubah KUHP, Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian
nilai uang yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini.
Hal ini dimaksudkan penegak hukum khususnya hakim untuk
memeberikan keadilan terhadap perkara yang diadilinya.
Hal ini ditegaskan lagi oleh pendapat para pakar hukum pidana, dalam
beberapa keterangan Pers, bahwa :
“ Peraturan tersebut dianggap sebagai salah satu jalan tengah di antara
himpitan paham legalistik yang mengedepankan peraturan perundang-
undangan sebagai kepastian hukum yang kerap bertentangan dengan teori
keadilan yang lebih mengedepankan rasa keadilan yang berlaku di
masyarakat, dengan adanya peraturan tersebut kini para penegak hukum
tidak dapat lagi bertindak sewenang-wenang melakukan penahanan
terhadap pelaku tindak pidana ringan (Tipiring) yang melakukan kejahatan
dengan nilai di bawah Rp 2.500.000,- .45
”
“ Harifin berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para hakim
sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat
terutama bagi penyelesaian tindak pidana ringan (Tipiring) sesuai dengan
bobot tindak pidananya. “Perma ini juga ditujukan untuk menghindari
masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan
yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak langsung akan
membantu sistem peradilan pidana untuk kita bekerja lebih efektif dan
efisien.46
”
45 Bryan Bernadi, 2012, Hukum yang Prorakyat (on-line). http: / / www.Gagasanhukum.
html, diakses 13 September 2013. 46
Agus Sahbani, 2012, MA Terbitkan Perma Batasan Tipiring (on-line). http: / / www.
Hukumonline.com /ma-terbitkan-perma-batasan-tipiring.html, diakses 13 September 2012.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan beberapa pendekatan masalah yang meliputi pendekatan Undang-
Undang (statute approach), dan pendekatan analisis (analytical approach).47
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani48
.Pendekatan analitis maksud utamanya adalah mengetahui makna yang
dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus
mengetahui penerapannya dalam praktik.49
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Preskriptif50
. Penelitian secara prespektif degan cara menganalisis persoalan
hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut
dalam peristiwa hukum.
3. Sumber Data Sekunder
Bahwa penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data
pokok yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi:
47 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normati,. Malang, Bayumedia
Publishing, 2006, hlm 300-308. 48 Ibid, hal 303 49 Ibid, hal 310 50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, hal
22.
46
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk
dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-
badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya
paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam
penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah:
1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP);
2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang
– Undang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan;
3) Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 02 Tahun 2012;dan
4) Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tertier
47
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensklipodia.51
4. Metode Pengumpulan Data
Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi
peraturan undang-undang yakni, dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan
data sekunder dan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data ialah
dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya
ilmiah sarjana, dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah
maupun jurnal surat kabar dan dokumen resmi lainya yang relevan dengan
masalah yang diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelajari sebagai satu kesatuan
yang utuh.
5. Metode Penyajian Data
Data dan Hasil penelitian diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian -
uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang
diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai
dengan kebutuhan penelitian.
6. Metode Analisa Data
Untuk menganalisa data yang diperoleh, akan digunakan metode secara
normatif kualitatif yaitu pembahasan dan penjabaran data hasil penelitian yang
51 Amirudin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal 32.
48
mendasarkan pada norma atau kaidah - kaidah hukum secara doktrin – doktrin
yang relevan dengan permasalahan.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,
data pokok yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data sebagai berikut :
1. Catatan Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk Tindak Pidana Pencurian Ringan;
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP;
Berdasarkan data sekunder dari hasil penelitian, maka dapat diuraikan
sebagai berikut :
1) Catatan Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk tentang Tindak Pidana Pencurian Ringan;.
Penelitian dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto terhadap catatan
Putusan Pengadilan Nomor : 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk tentang Tindak
Pidana Pencurian Ringan. Catatan Putusan Pengadilan tersebut di buat
oleh Hakim Pengadilan Negeri Solok dalam daftar catatan perkara (Pasal
209 Ayat (2) KUHAP.
50
Tersangka H dikenakan penahanan oleh penyidik, perkara tersebut
di sidangkan dalam persidangan terbuka untuk umum di Pengadilan
Negeri Solok yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana
ringan dengan acara pemeriksaan cepat dan menggunakan Hakim
Tunggal. Dari catatan Putusan Pengadilan tersebut dapat diperoleh data
sebagai berikut :
a) Duduknya perkara
Bahwa ia Terdakwa H bertempat tinggal di Padang Panjang,
umur 42 tahun, tanggal lahir 25 Desember 1971, jenis kelamin Laki-
laki, Kebangsaan Indonesia, Tempat Tinggal Perumnas Padang Reno
No. 44 Kelurahan Koto Panjang Kecamatan Padang Panjang Timur
Kota Padang Panjang, agama Islam, pekerjaan tidak ada, pada Sabtu
tanggal 25 Februari 2013 sekira pukul 09.00 WIB atau setidak-
tidaknya pada waktu lain dalam bulan Februari2013, bertempat di
Perumnas Padang Reno Kelurahan Kota Panjang Kecamatan Padang
Panjang Timur Kota Padang Panjang atau setidak-tidaknya pada
suatutempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Solok,mengambilsuatu barang yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, dengan maksud untukdimiliki barang itu dengan
melawan hak berupa plastik merk PP ukuran 8x13/2 7x4/2 sebanyak 4
kg, plastik merk Kharisma ukuran 15/3 19/3 24/3 sebanyak 9 ikat,
plastik merk Jeruk 35 sebanyak 2 ikat, dan palstik merk PE ukuran
51
10/1 12/1 14/1 20/1 sebanyak 3 kg milik saksi korban Z, perbuatan
tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Pada hari Sabtu tanggal 25 Februari 2013 sekira pukul 08.00
wib. Terdakwa H berjalan kaki dengan tujuan akan pulang kerumah di
Perumnas Padang Reno Kelurahan Koto Panjang Kecamatan Padang
Panjang Timur Kota Padang Panjang dan ketika berjalan melintas di
depan warung saksi korban Z sekira pukul 09.00 WIB. Terdakwa
melihat warung yang kosong tidak ada pemiliknya kemudian terdakwa
timbul niat untuk mengambil beberapa plastik yang ada di depan
warung tersebut lalu terdakwa berjalan mendekati warung tersebut dan
kedua tangannya langsung memegang dan mengambil beberapa
plastik tersebut kemudian lari kearah barat, tidak lama kemudian
terdakwa diamankan oleh Petugas Polres kota Solok. akibat perbuatan
Terdakwa, saksi korban Z mengalami kerugian sebesar Rp. 350.000,-
(tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
b) Pengajuan Perkara Tanpa Surat Dakwaan
Hakim membaca dakwaan yang tercakup dalam catatan buku
register yang diajukan oleh Penyidik Pembantu pada Kepolisian
Polres Solok Kota dengan No. Pol. : LP/61/B/II/2013-Polres Solok
Kota, tanggal 26 Februari 2013 (Terdakwa didakwa telah melanggar
ketentuan Pasal 364 KUHP, yaitu tindak pidana pencurian ringan).
c) Pembuktian
52
Pembuktian didasarkan atas tindak pidana yang didakwakan
terhadap terdakwa yang tercakup dalam catatan buku register perkara
yang dibuktikan oleh Penyidik Pembantu POLRI pada Kepolisian
Polres Kota Solok dengan menggunakan alat-alat bukti, dan barang
bukti sebagai berikut :
(1) Alat bukti Saksi
Saksi-saksi telah memberikan keterangan dibawah sumpah di
persidangan :
(a) Saksi Korban Z
Saksi memberikan keterangan dibawah sumpah dengan
keterangan bahwa terdakwa telah mengambil barang bukti
berupa plastik merk PP ukuran 8x13/2 7x4/2 sebanyak 4 kg,
plastik merk Kharisma ukuran 15/3 19/3 24/3 sebanyak 9 ikat,
plastik merk Jeruk 35 sebanyak 2 ikat, dan palstik merk PE
ukuran 10/1 12/1 14/1 20/1 sebanyak 3 kg milik saksi korban
Z.
(2) Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Terdakwa membenarkan isi dakwaan, dan seluruh keterangan yang
telah diberikan oleh saksi. Selain itu terdakwa juga mengenal
barang-barang bukti yang diperlihatkan, yaitu berupa :
(a) Plastik merk PP ukuran 8x13/2 7x4/2 sebanyak 4 kg ;
(b) Plastik merk Kharisma ukuran 15/3 19/3 24/3 sebanyak 9 ikat ;
(c) Plastik merk Jeruk 35 sebanyak 2 ikat ; dan
(d) Plastik merk PE ukuran 10/1 12/1 14/1 20/1 sebanyak 3 kg.
53
d) Putusan Hakim
Putusan Hakim dalam perkara Nomor :
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk berbeda dengan putusan perkara dengan
acara pemeriksaan biasa, putusan perkara tindak pidana pencurian
ringan berbentuk catatan yang termuat dalam buku register perkara.
Dalam catatan putusan Hakim tersebut antara lain berisi Pertimbangan
Hukum dan amar putusan yang langsung menyebut tentang identitas
terdakwa, tindak pidana yang didakwakan, susunan persidangan, jenis
hukuman yang dijatuhkan, besarnya biaya perkara, tanggal, bulan dan
tahun putusan yang diucapkan, dan ditandatangani oleh Hakim
Tunggal dan Panitera yang menyidangkan perkara tersebut. Berikut
ini pertimbangan hukum beserta amar putusan dalam putusan tersebut:
(1) Pertimbangan Hukum
Setelah membaca dan mempelajari surat-surat yang
berhubungan dengan perkara ini ;
Setelah melihat barang bukti dalam perkara ini ;
Setelah membaca dan mempelajari kesepakatan damai antara
Terdakwa dan saksi korban ;
Setelah mendengar keterangan Terdakwa di persidangan ;
Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh
penyidik telah melanggar Pasal 364 KUHP ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pada keterangan saksi korban
dan keterangan Terdakwa yang pada pokoknya mengakui perbuatan
54
yang didakwakan kepadanya, dan barang bukti yang diajukan di
persidangan maka Terdakwa sudah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian ringan”
sebagaimana yang didakwakan kepadanya, dan oleh karena itu
haruslah dijatuhi pidana ;
Menimbang, bahwa mengenai barang bukti dalam perkara ini
berupa plastik merk PP ukuran 8x13/2 7x4/2 sebanyak 4 kg, plastik
merk Kharisma ukuran 15/3 19/3 24/3 sebanyak 9 ikat, plastik merk
Jeruk 35 sebanyak 2 ikat, dan palstik merk PE ukuran 10/1 12/1 14/1
20/1 sebanyak 3 kg, oleh karena barang bukti tersebut adalah milik
saksi korban maka harus dikembalikan ke saksi korban ;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah ditahan maka
masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangi dari pidana
yang diajtuhkan ;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan
bersalah dan akan dipidana maka Terdakwa harus pula dibebani untuk
membayar biaya perkara ini ;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan perlu
dipertimbangkan hal – hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan bagi Terdakwa :
Hal-hal yang memberatkan :
1. Tidak ditemukan adanya hal-hal yang membartkan bagi
Terdakwa,
55
Hal-hal yang meringankan :
1. Terdakwa sopan dipersidangan,
2. Terdakwa berterus terang dan mengakui perbuatannya,
3. Telah adanya kesepakatan damai antara Terdakwa dengan
saksi korban ;
Menimbang, bahwa berdasarkan segala sesuatu yang telah
dipertimbangkan di atas, maka pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini telah pantas,
adil, serta setimpal dengan kesalahan Terdakwa ;
Memperhatikan Pasal 364 KUHP, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor : 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Nota Kesepakatan Bersama
antara Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian RI tentang
Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan
Keadilan Restoratif (Restorative Justice), serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan :
(2) Amar Putusan
Sesuai dengan hasil pemeriksaan, Kemudian Hakim
menjatuhkan putusan, dan menyatakan dalam amar putusannya bahwa
:
56
1. Menyatakan Terdakwa H pgl Man sebagaimana identitas tersebut
diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana“pencurian ringan”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara
selama 10(sepuluh) hari ;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwadikurangkan dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Menetapkan barang bukti berupa :
a. Plastik merk PP ukuran 8x13/2 7x4/2 sebanyak 4 kg,
b. Plastik merk Kharisma ukuran 15/3 19/3 24/3 sebanyak 9 ikat,
c. Plastik merk Jeruk 35 sebanyak 2 ikat, dan
d. Plastik merk PE ukuran 10/1 12/1 14/1 20/1 sebanyak 3 kg,
dikembalikan kepada saksi korban Z pgl Cun ;
5. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.1.000,-
(seriburupiah) ;
Demikianlah diputus pada hari Kamis, tanggal 7 Maret 2013,
oleh DadiSuryandi, S.H., M.H., sebagai Hakim Tunggal pada
Pengadilan Negeri Solok, putusantersebut diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga olehHakim
Tunggal tersebut, dengan didampingi oleh Fitriati, S.H., sebagai
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Solok dan dihadiri oleh
Brigadir Roni Rollies, S.H.,sebagai Penyidik Pembantu pada
Kepolisian Resort Solok Kota serta dihadapan Terdakwa,-.
57
Berdasarkan uraian data tersebut, berupa catatan putusan dalam
daftar catatan perkara, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
terkait dengan pemeriksaan perkara tindak pidana ringan yang
diperiksa menggunakan acara pemeriksaan cepat. Diantaranya adalah
sebagai berikut :
Catatan Putusan dibuat oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam
daftar catatan perkara, hal tersebut sesuai dengan Pasal 209 ayat (2)
KUHAP yang menyatakan bahwa :
“ Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika
dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai
dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat penyidik. ” Pemeriksaan acara cepat sifatnya cepat namun tidak
menghilangkan ketelitian dalam pemeriksaan perkara, hal tersebut
sesuai dengan penjelasan Pasal 209 KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut :
“ Ketentuan Pasal ini dimaksudkan untuk mempercepat
penyelesaian perkara, meskipun demikian dilakukan dengan
penuh ketelitian. ”
Persidangan dalam perkara tersebut di pimpin oleh seorang
Hakim tunggal dan seorang Panitera, bukan majelis Hakim seperti
dalam acara biasa, maupun acara singkat, hal tersebut sesuai dengan
Pasal 205 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan bahwa :
“ Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam acara sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (1) (Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terkahir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding. ”
58
Dalam Putusan tersebut pemeriksaan perkara sampai
dijatuhkannya Putusan Hakim dilaksanakan dan diputuskan pada hari
itu juga, yaitu pada hari Kamis, tanggal 07 Maret 2013, dilakukan
penahanan terhadap tersangka H, dimana dalam dilakukan penahan,
penyidik mempunyai kewenangan. KUHAP mengatur alasan
penahanan yaitu dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4). Pasal 21 ayat
(1) menyebutkan alasan penahanan, yang merupakan alasan subyektif
dari penyidik yaitu:
“ Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana
“.
Dalam perkara ini juga telah ada upaya restorative justice
(keadilan restoratif) yang padapokoknya sebagai berikut :
1. Pihak I (pertama) dan pihak II (kedua) sepakat untuk
berdamai dan berjanjimenjaga hubungan silaturrahmi.
2. Pihak I (pertama) berjanji tidak akan mengulangi perbuatan
yang sama terhadappihak kedua.
3. Pihak II (kedua) bersedia mencabut laporan polisi di Polres
Solok Kota denganNo. Pol. : LP/61/B/II/2013-Polres Solok
Kota, tanggal 26 Februari 2013.
59
4. Apabila pihak I (pertama) ataupun pihak II (kedua)
melanggar/tidak mematuhisurat perjanjian perdamaian ini
bersedia diproses sebagaimana hukum yangberlaku.
Pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dengan acara cepat
pada prakteknya dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri pada hari-hari
tertentu yang khusus melayani pemeriksaan tindak pidana ringan.
Menurut Pasal 206 KUHAP, hari-hari tertentu untuk mengadili
perkara tindak pidana ringan yaitu :
1. 7 hari dalam satu bulan; 2. Hari-hari tersebut diberitahukan pengadilan kepada penyidik
supaya mengetahui dan dapat mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan.
Dengan adanya penetapan hari-hari tertentu yang dikhususkan
untuk pemeriksaan perkara tindak pidana ringan, diharapkan
pemeriksaan dan penyelesaian tidak mengalami hambatan.
Alat bukti dalam sidang tersebut berupa barang bukti,
keterangan saksi korban dan keterangan terdakwa. Hakim
menjatuhkan putusan dengan mempertimbangakan keterangan saksi
korban, keterangan terdakwa, serta barang-barang bukti yang
diajukan. Saksi dalam perkara tersebut memberikan keterangan
setelah mengucapkan sumpah atau janji, mengenai pengucapan
sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan dalam sidang
tindak pidana ringan maka Hakim dalam perkara tersebut berpedoman
pada ketentuan Pasal 208 KUHAP, yang menyatakan bahwa :
“ Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak
mengucapkan sumpah atau janji kecuali Hakim menganggap
perlu. ”
60
Sesuai dengan bunyi pasal tersebut, dalam sidang perkara tindak
pidana ringan menggunakan acara cepat Hakim diberi kebebasan
untuk membebani saksi dengan tanggung jawab moral yaitu dengan
mengucap sumpah ataupun tidak membebaninya dengan sumpah
sebelum memberi keterangan. Hakim dalam perkara tersebut memilih
membebani saksi dengan sumpah sebelum memberikan keterangan,
hal tersebut sesuai dengan Pasal 209 KUHAP, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa walaupun penyelesaian tindak pidana
ringan yang diperiksa dengan acara cepat sifatnya cepat, namun sifat
cepatnya penyelesaian perkara tindak pidana ringan tidak boleh
mengorbankan ketelitian hakim dalam hal menemukan dan
mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sebenar-
benarnya dan selengkap-lengkapnya yang menjadi tujuan hukum
acara pidana.
Pembentuk undang-undang tidak memberikan alasan maupun
latar belakang yang jelas terkait rumusan dalam ketentuan Pasal 208
KUHAP, seolah-olah ketentuan Pasal 208 KUHAP bertentangan
dengan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang menegaskan “ kewajiban ”
saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberi
keterangan. Mengenai hal tersebut, M. Yahya Harahap52
berpendapat
bahwa :
“ Bagaimanapun anggapan yang diberikan terhadap tindak
pidana ringan, jangan sampai melenyapkan nilai-nilai
52 M. Yahya Harahap, Loc.Cit, hlm. 428
61
kekhidmatan dan kebenaran sejati dalam pemeriksaan dan
putusan yang dijatuhkan. ”
“ Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, sebaiknya hakim yang
memeriksa perkara dalam acara tindak pidana ringan mengikuti
saja kalimat terakhir Pasal 208 KUHAP, yang mengatakan
bahwa, saksi sebelum memberikan keterangan mengucapkan
sumpah atau janji “ jika itu dianggap perlu oleh Hakim ”,
anggap saja pengucapan sumpah atau janji itu “ perlu ” demi
untuk menjamin kejujuran dan moralitas saksi mengutarakan
keterangan yang sebenarnya, dan dari segi kejiwaan, hakim
yang bersangkutan akan lebih lega menjatukan putusan jika
didukung oleh keterangan saksi yang dilandasi dengan sumpah
atau janji. ”
Pengajuan perkara dalam sidang tersebut tanpa surat dakwaan,
sesuai dengan ketentuan Pasal 207 ayat (2) huruf a, dan b, yang
merumuskan bahwa :
a) Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam
buku register semua perkara yang diterimanya;
b) Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur, atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.
Alasan dari pembentuk undang-undang mencukupkan catatan
register perkara dalam sidang pengadilan tindak pidana ringan
menggunakan acara cepat dapat dibaca pada penjelasan Pasal 207 ayat
(2) huruf b KUHAP, yang merumuskan :
“ Ketentuan ini memberikan kepastian hukum di dalam
mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak
diperlukan surat dakwaan yang dibuat penuntut umum seperti
untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana
yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register terssebut
pada huruf a. ”
Sidang pengadilan dalam perkara tersebut tidak menggunakan
surat dakwaan melainkan menggunakan catatan register, sehingga
penyidik pembantu “atas kuasa” penuntut umum, dalam hal ini
62
penyidik pembantu Kepolisian Polres Kota Solok mendakwa terdakwa
dengan Pasal 364 KUHP, yakni tindak pidana pencurian ringan seperti
yang termuat dalam putusan tersebut.
Pembuktian dalam tindak pidana ringan yang diperiksa
menggunakan acara pemeriksaan cepat dalam perkara tersebut
menggunakan 3 alat bukti, yakni keterangan Saksi korban, keterangan
Terdakwa dan barang bukti, yang mana sebelum saksi korban
memberikan keterangannya terlebih dahulu disumpah oleh Hakim.
Seperti diketahui bahwa dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan
hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah (Penjelasan Pasal 184
KUHAP), hal ini berbeda dalam pembuktian dalam acara pemeriksaan
biasa dimana dinyatakan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. ”
Ditegaskan dalam penjelasan pasal tersebut bahwa, ketentuan
dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Menurut
pendapat M. Karjadi dan R.Soesilo53
Pasal 183 KUHAP tersebut
menyatakan bahwa :
“ Dengan mudah dapat dikatakan, bahwa menurut pasal ini
maka unsur untuk dapat memidana terdakwa itu adalah
minimum dua buah alat bukti yang sah dan keyakinan hakim,
bahwa suatu tindak pidana betul-betul telah terjadi dan bahwa
53 M. Karjadi dan R. Soesilo, Loc.Cit
63
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Akan tetapi
walaupun demikian ada satu kekecualiannya yaitu bahwa dalam
pemeriksaan acara cepat keyakinan hakim cukup didukung oleh
satu alat bukti yang sah (periksa penjelasan Pasal 184
KUHAP).”
Hukum acara pidana Indonesia menganut asas minimum
pembuktian, dan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, kemudian dengan melihat
ketentuan dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP bahwa, dalam acara
pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti,
dalam hal ini pembentuk undang-undang tidak menjelaskan latar
belakang ketentuan dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP.
Dengan melihat ketentuan dalam pasal-pasal tersebut M. Yahya
Harahap54
berpendapat bahwa :
“ Dalam perkara acara tindak pidana ringan, asas batas
minimum pembuktian, dan sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP tidak perlu diterapkan secara mutlak. Tanpa saksi-
saksipun perkara dapat diputus. Buktinya Pasal 208 KUHAP
sendiri sudah menegaskan, saksi yang memberikan keterangan
di sidang pengadilan (tindak pidana ringan) “ tidak
mengucapkan ” sumpah atau janji. Akan tetapi seperti
dikatakan, seandainya ada pemeriksaan keterangan saksi,
sebaiknya saksi yang bersangkutan lebih dulu mengucapkan
sumpah sebelum memberikan keterangan, karena hal ini sama
sekali tidak bertentangan dengan undang-undang. Dengan
demikian dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, alat
bukti keterangan terdakwa memegang peranan penting sebagai
alat bukti yang sempurna dan menentukan. Jika terdakwa
membenarkan/mengakui perbuatan yang didakwakan tanpa
didukung oleh alat bukti yang lainnya, maka cukup memadai
(sufficient) atau membuktikan kesalahan terdakwa, jika
terdakwa mungkir, baru diperlukan upaya pembuktian dengan
54 M. Yahya Harahap, Op.Cit.
64
alat bukti yang lain berupa saksi, surat, petunjuk. Namun kalau
alat bukti lain tidak ada sedangkan terdakwa mungkir, terdakwa
tidak dapat dinyatakan bersalah sesuai dengan asas in dubio pro
reo (jika terdapat keraguan menguntungkan yang besalah).
Sebab sekalipun Pasal 183 KUHAP tidak perlu diterapkan
secara mutlak dalam tindak pidana ringan, dengan keyakinan
hakim saja tidak dapat dijadikan landasan membuktikan
kesalahan terdakwa.Untuk mendukung keyakinan hakim,
minimal diperlukan satu alat bukti. Bisa berupa keterangan
terdakwa, surat, keterangan ahli, atau petunjuk. Tidak layak
menghukum terdakwa yang mungkir hanya berdasar keyakinan
hakim semata. ”
Hakim Pengadilan Negeri Solok Nomor :
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk telah menjatuhkan putusan dalam perkara
tersebut dengan berdasarkan pemeriksaan dalam sidang pada hari
Kamis, tanggal 07 Maret 2013 di Pengadilan Negeri Solok. Pada
intinya hakim menjatuhkan putusan berdasarkan keterangan terdakwa,
dan saksi korban, serta barang bukti yang diajukan, Pengadilan Negeri
berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah
terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
oleh karena itu terdakwa harus dipidana mengingat Pasal 364 KUHP,
KUHAP, dan peraturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini.
Demikian uraian data mengenai hasil penelitian yang diperoleh
dari putusan tindak pidana pencurian ringan, berupa catatan register
perkara pada Pengadilan Negeri Solok yang diperiksa menggunakan
acara pemeriksaan cepat. Berkaitan dengan data sekunder berikutnya,
dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa penjatuhan pidana dengan
mengingat ketentuan Pasal 364 KUHP (Pencurian Ringan), KUHAP,
dan peraturan lain yang bersangkutan dengan pekara ini, peraturan
65
lain yang dimaksud ialah Peraturan Mahkamah Agung Nomor Tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP yang merupakan produk hukum dari Mahkamah
Agung.
1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP
Terkait dengan data sekunder dalam penelitian ini, penulis akan
menguraikan data penelitian berupa Peraturan perundang-undangan yaitu
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Pada
umumnya setiap penelitian berangkat dari keingintahuan penulis,
penelitian ini ditujukan untuk mengetahui penahanan yang dilakukan
terhadap tersangka H sudah sesuai atau tidak, setelah ditetapkannya
Perma No. 02 Tahun 2012 mengenai penyesuaian batasan tindak pidana
ringan dan jumlah denda dalam KUHP di lingkungan peradilan pada
umumnya, serta di lingkungan pengadilan negeri dalam pemeriksaan
tindak pidana pencurian ringan pada khususnya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 merupakan
produk hukum Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada saat itu yaitu Harifin A.
Tumpa, di Jakarta pada tanggal 27 Februari 2012. Seperti yang telah di
bahas pada bab sebelumnya, latar belakang lahirnya Peraturan
66
Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 secara singkat dapat dijelaskan
sebagai berikut :
i. Mahkamah Agung mengharapkan supaya Pengadilan menjatuhkan
pidana yang sungguh-sungguh setimpal dengan beratnya dan
sifatnya tindak pidana tersebut dan jangan sampai menjatuhkan
pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat;
ii. Banyaknya perkara-perkara pencurian ringan tidak tepat didakwa
dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya
paling lama 5 (lima) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan
seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan yang mana
seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang
ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda
paling banyak Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah);
iii. Jika perkara-perkara tersebut didakwa dengan Pasal 364 KUHP
maka tentunya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana para tersangka atau terdakwa perkara-perkara tersebut tidak
dapat dikenakan penahanan (Pasal 21 KUHAP) serta acara
pemeriksaan di Pengadilan yang digunakan haruslah Acara
Pemeriksaan Cepat yang cukup diperiksa oleh Hakim Tunggal
kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan
terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP,
menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP acara pemeriksaan tindak
pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara
atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp.7000,- (tujuh ribu rupiah) dan penghinaan ringan;
iv. Berdasarkan Pasal 45A Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dua kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perkara-perkara
tersebut tidak dapat diajukan kasasi karena ancaman hukumannya
di bawah 1 (satu) tahun penjara;
v. Mahkamah Agung memahami alasan Penuntut Umum saat ini
mendakwa para terdakwa dalam perkara-perkara tersebut dengan
menggunakan Pasal 362 KUHP, oleh karena batasan pencurian
ringan yang diatur dalam Pasal 364 KUHP saat ini adalah barang
atau uang yang nilainya di bawah Rp.250,- (dua ratus lima puluh
rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini,
sudah hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp.250,-
(dua ratus lima puluh rupiah) tersebut. Bahwa angka Rp.250,- (dua
ratus lima puluh rupiah) tersebut merupakan angka yang ditetapkan
oleh Pemerintah dan DPR pada tahun 1960 melalui Perpu Nomor
67
16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Pengesahan Semua Undang-Undang Darurat dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
vi. Untuk mengefektifkan kembali Pasal 364 KUHP sehingga
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkara-perkara
yang saat ini menjadi perhatian masyarakat tersebut Pemerintah
dan DPR perlu melakukan perubahan atas KUHP, khususnya
terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam KUHP. Namun
mengingat sepertinya hal tersebut belum menjadi prioritas
Pemerintah dan DPR, akan memakan waktu yang cukup lama,
walaupun khusus untuk substansi ini sebenarnya mudah, untuk itu
Mahkamah Agung memandang perlu menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung ini untuk menyesuaikan nilai mata uang yang
menjadi batasan tindak pidana ringan, baik yang diatur dalam Pasal
364 KUHP maupun Pasal-Pasal lainnya, yaitu Pasal 373
(penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384
(penipuan ringan oleh penjual), Pasal 407 ayat (1) (perusakan
ringan) dan Pasal 482 (penadahan ringan), Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak
Pidana dan Jumlah Denda di dalam KUHP, hanya sedikit merubah
nilai nominal yang ada di dalam KUHP, karena di dalam KUHP
nilai rupiah telah mengalami banyak perubahan yang sangat
signifikan sejak tahun 1960 dan belum mengalami perubahan
hingga saat ini;
vii. Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan tersebut untuk
mengembalikan fungsi Pasal 364 KUHP agar efektif dan
memberikan keadilan kepada pencuri yang melakukan pencurian
dengan nilai barang atau uang bernilai tidak lebih dari
Rp.2.500.000,- untuk dapat memeriksa, mengadili dan memutus
perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur
dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menetapkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentunya
mempertimbangkan tentang pentingnya penyesuaian batasan tindak
pidana ringan, dan jumlah denda yang ada dalam KUHP. Pertimbangan
hukum dalam rangka penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan
68
jumlah denda dalam KUHP tersebut terdapat dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor Tahun 2012, secara singkat dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Bahwa sejak tahun 1960 seluruh nilai uang yang terdapat dalam
KUHP belum pernah disesuaikan kembali. Hal ini berimplikasi pada
digunakannya pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362
KUHP atas tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364 KUHP;
b. Bahwa apabila nilai uang yang ada dalam KUHP tersebut disesuaikan
dengan kondisi sat ini maka penanganan perkara tindak pidana ringan
seperti pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan dan
sejenisnya dapat ditangani secara proporsional mengingat ancaman
hukuman paling tinggi yang dapat dijatuhkan hanyalah tiga bulan
penjara, dan terhadap tersangka atau terdakwa tidak tepat dikenakan
penahanan, serta acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara
pemeriksaan cepat. Selain itu perkara-perkara tersebut tidak dapat
diajukan upaya hukum Kasasi;
c. Bahwa materi perubahan KUHP pada dasarnya merupakan materi
undang-undang, namun mengingat perubahan KUHP diperkirakan
akan memakan waktu yang cukup lama sementara perkara-perkara
terus masuk ke pengadilan, Mahkamah Agung memandang perlu
melakukan penyesuaian nilai rupiah yang ada dalam KUHP
berdasarkan harga emas yang berlaku pada tahun 1960;
d. Bahwa sejak tahun 1960 nilai rupiah telah mengalami penurunan
sebesar ± 10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada saat ini.
Untuk itu maka seluruh besaran rupiah yang ada dalam KUHP kecuali
Pasal 303 dan 303bis perlu disesuaikan;
e. Bahwa Peraturan Mahkamah Agung ini sama sekali tidak bermaksud
mengubah KUHP, Mahkamah Agung hanya melakukan pemyesuaian
nilai uang yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini.
Hal ini dimaksudkan memudahkan penegak hukum khususnya hakim,
untuk memberikan keadilan terhadap perkara yang diadilinya.
Pada intinya, KUHP yang sekarang berlaku, khususnya mengenai
nilai uang dalam batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda sudah
sangat tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga pasal-pasal
mengenai tindak pidana ringan menjadi tidak efektif, bahkan tidak
69
berfungsi, hal ini terkait dengan isi rumusan dalam butir pasal-pasal
dalam KUHP. Pasal 364 KUHP mengenai tindak pidana pencurian
ringan mengatur mengenai tindak pidana ringan atau kejahatan ringan
yang menetapkan bahwa harga barang yang di curi tidak lebih dari Rp
250,-. Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
perkembangan zaman yang mana sudah hampir tidak ada harga barang
yang bernilai Rp 250,-. Dengan demikian, mengingat peraturan
perundang-undangan terkait, maka Mahkamah Agung memutuskan
menetapkan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tersebut
mengatur mengenai Penyesuaian batasan tindak pidana ringan, dan
jumlah denda yang terdapat dalam KUHP, terdiri atas II Bab, dan 5
Pasal. Bab I mengenai penyesuaian batasan tindak pidana ringan, Bab II
mengenai penyesuaian jumlah denda dalam KUHP kaitannya dengan
denda tindak pidana ringan. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan pasal
perpasal, yaitu sebagai berikut :
Pasal 1
Kata-kata “ dua ratus lima puluh rupiah ” dalam Pasal 364, 373, 379,
384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah);
Pasal 2
1. Dalam menerima pelimpahan perkara Pencurian, Penipuan,
Penggelapan, Penadahan, dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan
Wajib memperhatikan nilai barang atau nilai uang yang menjadi
obyek perkara dan memperhatikan Pasal 1 di atas.
70
2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak labih dari Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan
segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang
diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua
Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan
penahanan.
Pasal 3
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP
kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan ayat (2),
dilipatgandakan menjadi 10.000 (sepuluh ribu) kali.
Pasal 4
Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-
pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib
memperhatikan Pasal 3 diatas.
Pasal 5
Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.
Peraturan Mahkamah Agung ditetapkan pada tanggal 27 Februari
2012 oleh Ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yaitu Harifin A. Tumpa
yang dimaksudkan untuk merespon rasa keadilan masyarakat yang
terganggu akibat penerapan Pasal 362 KUHP yaitu tindak pidana
pencurian biasa terhadap pencurian yang tergolong ringan nilai
barangnya atau nilai uangnya, hal tersebut mengusik rasa keadilan
masyarakat ketika penegakan hukum tumpul ke atas namum tajam ke
bawah. Pelaksanaan penegakan hukum haruslah mementingkan aspek
keadilan dan juga kemanfaatan, serta nilai-nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, jadi tidak hanya mementingkan aspek
kepastian hukum saja.
71
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian data-data sekunder berupa :
a) Catatan putusan register perkara nomor :
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slktentang Tindak Pidana Pencurian Ringan ; dan
b) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Pencurian Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP ;
Penulis melakukan studi pustaka terhadap data-data sekunder tersebut
di atas, kemudian dihubungkan dengan obyek penelitian, dan dianalisa
untuk menjawab permasalahan Penahanan Terhadap Tersangka Tindak
Pidana Pencurian Ringan (Implementasi PERMA No. 02 Tahun 2012
Terhadap Putusan Nomor : 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk).
1. Prosedur penahanan penyidik terhadap tersangka dalam Putusan
Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk.
Untuk mengetahui prosedur penahanan penyidik terhadap
tersangka dalam Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk, penulis
terlebih dahulu menjelaskan mengenai tindak pidana dalam Putusan
Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk, yaitu tindak pidana pencurian ringan.
Dalam hukum positif pengertian pencurian telah diatur dan dijelaskan
dalam BAB XXII Pasal 362 KUHP, yang berbunyi :
“ Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling
banyak Rp 900,-. ”
72
Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari
pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan
dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya
menjadi diperingan.55
Pencurian ringan diatur dalam ketentuan Pasal 364
KUHP, yang menyatakan :
“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan 363 KUHP ke-4,
begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5,
apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumah rumahnya, jika harga barang yang dicuri
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dikenai, karena
pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling banyak enam puluh rupiah. ”
Berdasarkan rumusan Pasal 364 KUHP diatas, maka unsur-unsur
dalam pencurian ringan adalah :
1. Pencurian dalam bentuk yang pokok (Pasal 362 KUHP);
2. Pencurian yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih secara
bersama-sama (Pasal 363ayat (1) ke-4 KUHP);
3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau
memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam
palsu;
4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada
rumahnya; dan apabila harga barang yang dicurinya tidak lebih
dari Rp 250,-.
Batas harga barang pencurian ringan sebesar Rp 250,- dirasa tidak
sesuai perkembangan nilai rupiah di masa sekarang dan dirasa Pasal 364
kurang efektif lagi penerpannya. Untuk itu Mahkamah Agung
menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
55 Tongat, Loc.Cit, hlm. 41.
73
KUHP pada tanggal 27 februari di jakarta, tepatnya saat laporan tahunan
2011 yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung pada saat itu
(Harifin A. Tumpa), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tersebut berisi lima pasal yang pada dasarnya mengatur tentang
penyesuaian besaran-besaran uang yang ada dalam pasal-pasal KUHP,
yang terakhir kali disesuaikan pada tahun 1960. Penyesuaian besaran
uang dilakukan dengan perbandingan harga emas pada masa itu dengan
saat ini, hasilnya seluruh nilai uang yang ada di KUHP (kecuali Pasal 303
dan 303 bis KUHP) harus dibaca dengan dikali lipatkan sebanyak 10.000
kali.
Mahkamah Agung sebagai badan pelaksana Kekuasaan kehakiman
berharap bahwa, dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 02 Tahun 2012 tersebut dapat mengefektifkan kembali Pasal 364
KUHP sehingga permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkara-
perkara yang saat ini menjadi perhatian masyarakat tersebut dapat
teratasi, selain itu juga dapat mengefektifkan kembali pidana denda serta
mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak
melampaui kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru,
kemudian sejauh mungkin para hakim mempertimbangkan sanksi denda
sebagai pilihan pemidanaan yang akan dijatuhkannya, dengan tetap
mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta rasa keadilan
masyarakat.
74
Contoh perkara yang telah di putus dan berkekuatan hukum tetap
yaitu tindak pidana pencurian 3 (tiga) biji kakao yang dilakukan oleh
nenek Minah di perkebunan milik PT. RSA (Rumpun Sari Antan) IV
Darmakradenan dengan kerugian senilai Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu
rupiah). Pada saat pemeriksaan di persidangan, terdakwa nenek minah
didakwa dengan Pasal 362 KUHP, untuk kesalahannya nenek Minah
dituntut pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Beberapa contoh kasus
lainnya yaitu : vonis penjara dua bocah yang mencuri burung parkit milik
guru, AAL yang merupakan bocah pencuri sandal jepit dari Kota Palu,
Sulawesi Tengah, kemudian dua anak dibawah umur pencuri ayam,
keduanya bernama Ipan Septian (13) dan Rama (13) yang diancam
hukuman 3,5 tahun penjara.
Acara pemeriksaan yang digunakan dalam perkara tersebut
merupakan acara pemeriksaan cepat dalam perkara tindak pidana
pencurian ringan yang diatur dalam ketentuan KUHAP, bagian keenam,
paragraf I, pengaturannya terdapat dalam Pasal 205 KUHAP sampai
dengan Pasal 210 KUHAP. Perlu diketahui bahwa KUHAP telah
menentukan 3 macam bentuk acara pemeriksaan, yaitu :
1) Acara Pemeriksaan Biasa;
2) Acara Pemeriksaan Singkat; dan
3) Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri dari :
a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan; dan
b. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan.
Terdapat juga acara pemeriksaan khusus (Pidana Khusus / Pid.Sus)
yang ditujukan bagi tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika,
75
tindak pidana korupsi (tipikor), kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia
(pelanggaran HAM) dan sebagainya yang ketentuannya berada di luar
KUHP, dan KUHAP.
Pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dengan acara cepat pada
prakteknya dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri pada hari-hari tertentu
yang khusus melayani pemeriksaan tindak pidana ringan. Menurut Pasal
206 KUHAP, hari-hari tertentu untuk mengadili perkara tindak pidana
ringan yaitu :
1. 7 hari dalam satu bulan; 2. Hari-hari tersebut diberitahukan pengadilan kepada penyidik
supaya mengetahui dan dapat mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan.
Saksi-saksi mengenai pengucapan sumpah atau janji sebelum
memberikan keterangan dalam sidang tindak pidana ringan maka Hakim
dalam perkara tindak pidana pencurian ringan berpedoman pada
ketentuan Pasal 208 KUHAP, yang menyatakan bahwa :
“ Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak
mengucapkan sumpah atau janji kecuali Hakim menganggap
perlu. ”
Sesuai dengan bunyi pasal tersebut, dalam sidang perkara tindak
pidana ringan menggunakan acara cepat Hakim diberi kebebasan untuk
membebani saksi dengan tanggung jawab moral yaitu dengan mengucap
sumpah ataupun tidak membebaninya dengan sumpah sebelum memberi
keterangan. Hakim dalam perkara tersebut memilih membebani saksi
dengan sumpah sebelum memberikan keterangan, hal tersebut sesuai
dengan Pasal 209 KUHAP, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa walaupun penyelesaian tindak pidana ringan yang diperiksa
76
dengan acara cepat sifatnya cepat, namun sifat cepatnya penyelesaian
perkara tindak pidana ringan tidak boleh mengorbankan ketelitian hakim
dalam hal menemukan dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu
kebenaran yang sebenar-benarnya dan selengkap-lengkapnya yang
menjadi tujuan hukum acara pidana.
Pembentuk undang-undang tidak memberikan alasan maupun latar
belakang yang jelas terkait rumusan dalam ketentuan Pasal 208 KUHAP,
seolah-olah ketentuan Pasal 208 KUHAP bertentangan dengan Pasal 160
ayat (3) KUHAP yang menegaskan “ kewajiban ” saksi untuk
mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberi keterangan.
Mengenai hal tersebut, M. Yahya Harahap56
berpendapat bahwa :
“ Bagaimanapun anggapan yang diberikan terhadap tindak pidana
ringan, jangan sampai melenyapkan nilai-nilai kekhidmatan dan
kebenaran sejati dalam pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan. ”
“ Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, sebaiknya hakim yang
memeriksa perkara dalam acara tindak pidana ringan mengikuti
saja kalimat terakhir Pasal 208 KUHAP, yang mengatakan bahwa,
saksi sebelum memberikan keterangan mengucapkan sumpah atau
janji “ jika itu dianggap perlu oleh Hakim ”, anggap saja
pengucapan sumpah atau janji itu “ perlu ” demi untuk menjamin
kejujuran dan moralitas saksi mengutarakan keterangan yang
sebenarnya, dan dari segi kejiwaan, hakim yang bersangkutan akan
lebih lega menjatukan putusan jika didukung oleh keterangan saksi
yang dilandasi dengan sumpah atau janji. ”
Pengajuan perkara dalam sidang tersebut tanpa surat dakwaan,
sesuai dengan ketentuan Pasal 207 ayat (2) huruf a, dan b, yang
merumuskan bahwa :
c) Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam
buku register semua perkara yang diterimanya;
56 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 428
77
d) Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur, atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.
Alasan dari pembentuk undang-undang mencukupkan catatan
register perkara dalam sidang pengadilan tindak pidana ringan
menggunakan acara cepat dapat dibaca pada penjelasan Pasal 207 ayat
(2) huruf b KUHAP, yang merumuskan :
“ Ketentuan ini memberikan kepastian hukum di dalam
mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak
diperlukan surat dakwaan yang dibuat penuntut umum seperti
untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana
yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register terssebut
pada huruf a. ”
Sesuai uraian tentang tindak pidana pencurian ringan tersebut
apakah bisa dilakukan upaya pakasa penahanan, bagaimananakah
prosedur penahanan yang dilakukan penyidik dalam Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk.
Sebagai penegak hukum, penyidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Penyidikan suatu istilah dimaksudkan
sejajar dengan pengertian osporing (Belanda) dan investigation (Inggris)
atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).57
KUHAP memberi definisi
penyidikan sebagai berikut:
“ Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-undangini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”
57
Andi Hamzah, Loc.Cit, hlm. 120.
78
Sesuai pengertiannya pinyidikan dilakukan oleh penyidik sebagai
penegak hukum yang diberi wewenang. Untuk mencari alat bukti dalam
tindakan penyidikan demi mencari kebenaran materil sesuai tujuan
hukum acara pidana. Penyidikan dalam dalam perkara Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk mengenai tindak pidana pencurian ringan
yang diatur dalam pasal 364 KUHP.
Penyidik sesuai pasal 7 KUHAP berwenang melakukan upaya
paksa, kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur
mengenai upaya paksa dan ditinjau dari standar universal maupun dalam
KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM atau hak
privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa
(aparat penegak hukum) dalam melaksanakan fungsi peradilan pidana
(criminal justice system), yang dapat diklasifikasikan meliputi:
1. Penangkapan (arrest)
2. Penahanan(detention)
3. Penggeledahan (searching),dan
4. Penyitaan; perampasan, pemblesahan (Seizure)
Menurut Yahya Harahap58
penerapan upaya paksa yang
dikemukakan di atas, diatur dalam dua sistem dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana:
1. Mengenai tindakan upaya paksa yang berkenaan dengan
penangkapan (Pasal 16 KUHAP) dan penahanan (Pasal 20 dan
seterusnya, KUHAP); merupakan kewenangan inheren dari
58Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar
Grafika, 2000, Hlm. 6-7.
79
setiap aparat penegak hukum berdasar diferensiasi fungsional
secara instansional tanpa campur tangan (intervensi) atau
bantuan dari aparat penegak hukum lain,
2. Sebaliknya, mengenai upaya paksa penggeledahan (Pasal 32
KUHAP) dan penyitaan (Pasal 38 KUHAP), memerlukan izin
Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Penulis disini menarik membahas penahanan, yaitu penahanan
terhadap tindak pidana pencurian ringan sesuai yang sudah saya jelaskan
diatas mengenai tindak pidana pencurian ringan. Menurut KUHAP
penahanan ialah :
“ Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini (Pasal 1 Butir 21 KUHAP)“.
Definisi penahanan, Andi Hamzah59
berpendapat bahwa:
“ Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan
kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi, di sini terdapat
pertentangan dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak
dan kepentingan banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat
tersangka. Di sinilah letak keistimewaanya hukum acara pidana itu.
Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas
yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia
khususnya hak kebebasan seseorang karena dilakukan upaya paksa
penahanan. Oleh karena itu, penahanan dilakukan jika perlu sekali.
Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal
bagi penahanan. “
Penahanan juga diatur oleh Perkap No 12 tahun 2009 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara pidana. Dalam Pasal
dalam 85 mengatur tentang prinsip penahanan yaitu :
(1) Dalam rangka menghormati HAM, tindakan penahanan harus
memperhatikan standar sebagai berikut:
59
Ibid, hlm 129.
80
a. Setiap orang mempunyai hak kemerdekaan dan keamanan pribadi;
b. Tidak seorangpun dapat ditangkap ataupun ditahan dengan
sewenang-wenang; dan
c. Tidak seorangpun boleh dirampas kemerdekaannya kecuali
dengan alasan-alasan tertentu dan sesuai dengan prosedur seperti
yang telah ditentukan oleh hukum.
(2) Tindakan penahanan hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum dan
menurut tata cara yang diatur di dalam peraturan perundang-
undangan.
(3) Tahanan yang pada dasarnya telah dirampas kemerdekaannya, harus
tetap diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sebelum ada
keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Penahanan dilakukan menurut prosedur atau tata cara yang
ditentukan dalam KUHAP. Dalam hal ini, surat perintah dari penyidik
menjadi mutlak. Dalam surat perintah tersebut, harus disebutkan :
1. identitas tersangka yaitu tersangka H,
2. alasan dilakukannya penahanan, yaitu alasan penahanan obyektif dan
subyektif penyidik,
3. uraian singkat tentang sangkaan tindak pidananya, yaitu tindak
pidana pencurian ringan
4. tempat dilakukannya penahanan (dalam hal dilakukan penahanan
rumah tahanan negara).
Surat penahanan yang diatur dalam Perkap No 12 tahun 2009
tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara pidana Pasal
86 yang isinya :
(1) Penahanan wajib dilengkapi Surat Perintah Penahanan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Surat Perintah Penahanan dikeluarkan setelah melalui mekanisme
gelar perkara yang dilaksanakan oleh Tim Penyidik, dibawah
pengawasan Perwira Pengawas Penyidik dan dilaporkan kepada
pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan.
81
(3) Pejabat yang berwenang menandatangani Surat Perintah Penahanan
adalah pejabat serendah-rendahnya sebagai berikut:
a. Direktur Reserse/Kadensus pada Bareskrim Polri;
b. Direktur Reserse/Kadensus di tingkat Polda;
c. Kepala Satuan/Bagian Reserse di tingkat Polwil;
d. Kepala Satuan Reserse di tingkat Polres;
e. Kepala Kewilayahan tingkat Polsek.
(4) Surat Perintah Penahanan yang ditandatangani oleh pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tembusannya wajib
disampaikan kepada Atasan Langsung.
Untuk melakukan upaya paksa penahanan penegak hukum atau
penyidik disini dalam perkara Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk
dengan minimal dengan dua alat bukti permualaan. Alat bukti yang
digunakan penyidik dalam melakukan penahanan, yaitu barang bukti
berupa plastik merk PP ukuran 8x13/2 7x4/2 sebanyak 4 kg, plastik merk
Kharisma ukuran 15/3 19/3 24/3 sebanyak 9 ikat, plastik merk Jeruk 35
sebanyak 2 ikat, dan palstik merk PE ukuran 10/1 12/1 14/1 20/1
sebanyak 3 kg milik saksi korban Z, keterangan saksi korban, dan
keterangan terdakwa.
Sesuai Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk, prosedur
penahanan Tersangka H tidak sesuai dengan alasan obyektif penahanan.
Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda
dalam KUHP. Maka dengan jumlah kerugian dari korban Z senilai Rp.
350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) masuk dalam Tindak Pidana
Pencurian Ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan,
harusnya tidak bisa dikenakan penahanan. Karena alasan penahanan
82
obyektif disini jelas diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang
merumuskan :
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih
Latar belakang Keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
jumlah denda dalam KUHP itu juga menghindari penahanan yang
dilakukan penyidik. Jika perkara-perkara tersebut didakwa dengan Pasal
364 KUHP maka tentunya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana para tersangka atau terdakwa perkara-perkara tersebut tidak
dapat dikenakan penahanan (Pasal 21 KUHAP) serta acara pemeriksaan
di Pengadilan yang digunakan haruslah Acara Pemeriksaan Cepat yang
cukup diperiksa oleh Hakim Tunggal kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa, sebagaimana diatur dalam
Pasal 205-210 KUHAP, menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP acara
pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan
pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.7000,- (tujuh ribu rupiah) dan penghinaan
ringan.
Penahanan Tersangka H Sesuai Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk lebih didasarkan pada alasan subyektif
penahanan. KUHAP mengatur alasan subyektif penahanan yaitu dalam
83
Pasal 21 ayat (1) menyebutkan alasan penahanan, yang merupakan alasan
subyektif dari penyidik yaitu:
“ Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan atau mengulangi tindak pidana “.
Alasan subyektif disini masih banyak menjadi pertentangan, karena
batas apa yang menjadi syarat subyektif penahanan itu sendiri masih
tidak jelas.
“ Batasan syarat subjektif menyebutkan bahwa penahanan bisa
dilakukan apabila ada kekhawatiran tersangka/ terdakwa melarikan
diri, merusak, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi
perbuatannya. Tiga unsur subjektif itu menjadi batasan yang masuk
kategori grey area atau wilayah abu-abu, sehingga acap pada kasus
yang sama, tersangka mendapat perlakuan yang berbeda dari pihak
penyidik. “60
2. Akibat hukum penahanan terhadap tersangka dalam tindak pidana
pencurian ringan dalam Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk
terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2012.
Sesuai penjelasan pada pembahasan rumusan masalah yang
pertama, mengenai tindak pidana pencurian ringan yang salah satunya
dilakukan terdakwa H dalam Putusan Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk.
Banyak perkara-perkara yang menusik rasa keadilan di masyarakat yaitu
tindak pidana pencurian 3 (tiga) biji kakao yang dilakukan oleh nenek
Minah di perkebunan milik PT. RSA (Rumpun Sari Antan) IV
60 http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/bias-syarat-subjektif-penahanan.html, diakses
22 Januari 2014.
84
Darmakradenan dengan kerugian senilai Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu
rupiah). AAL yang merupakan bocah pencuri sandal jepit dari Kota Palu,
Sulawesi Tengah, kemudian dua anak dibawah umur pencuri ayam,
keduanya bernama Ipan Septian (13) dan Rama (13) yang diancam
semuanya oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal 362 KUHP.
Contoh perkara-perkara diatas tentunya mengusik rasa keadilan
masyarakat, hal tersebut karena pada umumnya masyarakat tidak
memahami bagaimana proses jalannya perkara pidana sampai bisa masuk
ke pengadilan, kemudian pihak-pihak mana saja yang memiliki
kewenangan dalam setiap tahapan, dan masyarakat pun umumnya hanya
mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saat perkara
tersebut disidangkan di Pengadilan, oleh karena sudah sampai tahap
persidangan di Pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke
Pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat. Hal tersebut tentunya membebani Pengadilan, baik
dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik terhadap pengadilan,
khususnya kepercayaan publik terhadap lembaga pengadilan dalam hal
penegakan hukum yang berkeadilan.
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Dengan adanya
peraturan tersebut, kini memungkinkan bagi para penegak hukum untuk
memproses pelaku kejahatan secara proporsional tanpa harus
85
mengorbankan keadilan dan kemanfaatan dalam hukum, termasuk kasus
pencurian ringan yang sering menjadi sorotan masyarakat.
Keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
banyak menimbulkan pro dan kontra. Mahkamah Agung menentukan
nilai Rp. 250,- dibaca Rp. 2.500.000,- dalam pasal 364 KUHP ini
berdasarkan Bahwa sejak tahun 1960 nilai rupiah telah mengalami
penurunan sebesar ± 10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada
tahun 2012. Sehingga nilai Rp. 250,- dilipatkan 10.000 sesuai
perbandingan harga emas itu.
Hal ini ditegaskan lagi oleh pendapat para pakar hukum pidana,
dalam beberapa keterangan Pers, bahwa :
“ Peraturan tersebut dianggap sebagai salah satu jalan tengah di
antara himpitan paham legalistik yang mengedepankan peraturan
perundang-undangan sebagai kepastian hukum yang kerap
bertentangan dengan teori keadilan yang lebih mengedepankan rasa
keadilan yang berlaku di masyarakat, dengan adanya peraturan
tersebut kini para penegak hukum tidak dapat lagi bertindak
sewenang-wenang melakukan penahanan terhadap pelaku tindak
pidana ringan (Tipiring) yang melakukan kejahatan dengan nilai di
bawah Rp 2.500.000,- .61
”
“ Harifin berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para
hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat terutama bagi penyelesaian tindak pidana ringan
(Tipiring) sesuai dengan bobot tindak pidananya. “Perma ini juga
ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang
berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah
masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem
peradilan pidana untuk kita bekerja lebih efektif dan efisien.62
”
61 Bryan Bernadi, Loc.Cit, diakses 13 September 2013.
62Agus Sahbani, Loc.Cit, diakses 13 September 2013.
86
Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tersebut memerlukan suatu kesepakatan bersama agar dapat terlaksana
berdasarkan Nota Kesepakatan bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Acara
Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restorative ditetapkan
pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2012, bertempat di Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Dalam Pasal 2 maksud dan tujuan dari Nota Kesepakatan Bersama
Mahkumjakpol, merumuskan
(1) Nota Kesepakatan Bersama ini dimaksudkan untuk :
a. Sebagai pedoman dalam menerapkan batasan tindak pidana
ringan dan jumlah denda bagi pelaku dengan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat;
b. Sebagai pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP keseluruh aparat penegak hukum.
Nota Kesepakatan Bersama Mahkumjakpol merupakan peraturan
pelaksana dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP sehingga mengikat bagi instansi terkait, yaitu bagi
Mahkamah Agung sendiri, serta pengadilan-pengadilan dibawahnya,
yaitu pengadilan tinggi, dan juga pengadilan negeri. Dengan adanya SKB
tersebut maka sistem peradilan pidana yang berawal dari penyelidikan,
87
penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh institusi Kepolisian dan
Kejaksaan juga terikat dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02
Tahun 2012. Sesuai Pasal 9 Nota Kesepakatan Bersama Mahkumjakpol
harus mensosialisasikannya.
Para pihak wajib melakukan sosialisasi Nota Kesepakatan Bersama
ini kepada Pemerintah, Swasta, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat.
Oleh karena itu penyidik dalam Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk juga terikat dan harus mensosialisasikan lewat
penegakkan hukumnya yang sesuai peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan penegakkan hukum, maka aparat penegak hukum
dalam hal ini penyidik harus memperhatikan tiga unsur penegakan
hukum pidana, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).63
Penahanan oleh penyidik dalam Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk yang dilakukan terhadap terdakwa H dalam
tindak pidana pencurian ringan melanggar tiga unsur penegakan hukum
tersebut. Penegakan hukum pertama yaitu kepastian hukum, penahanan
oleh penyidik melanggar kepastian hukum karena Penahanan yang
dilakukan penyidik disini menyalahi Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 karena tipiring harusnya tidak bisa dikenakan
penahanan karena ancaman hukumannya dibawah lima tahun penjara
sesuai yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
63
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit, Hlm.160.
88
Unsur yang kedua penegakkan hukum pidana yaitu kemanfaatan,
Penahanan oleh penyidik dalam Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk yang dilakukan terhadap terdakwa H dalam
tindak pidana pencurian ringan tidaklah bermanfaat. Penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP akan mengurangi persoalan kelebihan kapasitas di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS / Rumah Tahanan Negara (RUTAN) yang
dapat mewujudkan keadilan berdimensi Hak Asasi Manusia.
Penegakkan hukum pidana yang ketiga mengenai keadilan,
penahanan oleh penyidik dalam Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk yang dilakukan terhadap terdakwa H dalam
tindak pidana pencurian ringan, tidak memenuhi rasa keadilan bagi
tersangka. Begitu juga rasa keadilan dimasyarakat karena dirasa
penahanannya tidak bermanfaat.
Penahanan Tersangka H Sesuai Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk, juga melanggar due procces of law yaitu
proses penegakkan hukum.
“ Dalam rangka melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan
“penyidikan”, undang-undang telah memberikan “hak istimewa”
atau “hak privilese” kepada Polri untuk melakukan: “memanggil-
memeriksa-menangkap-menahan-menggeledah-menyita” terhadap
tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak
pidana. Namun, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan
istimewa” tersebut, harus tetap taat dan tunduk kepada prinsip-
prinsip: the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki
dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara” yang
ada, tidak boleh dilakukan undue process. Permasalahan ini perlu
89
disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan oleh
masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan
“penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara, atau
“diskresi” yang dilakukan oleh penyidik. hal ini sangat
bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap
pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan. Oleh sebab itu, tujuan
dikemukakannya persoalan ini, sebagai ajakan untuk meningkatkan
“ketaatan” mematuhi penegakan the right of due process of law. ”64
Sesuai penjelasan tersebut maka jelas penahanannya secara yuridis
normatif menyalahi aturan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02
Tahun 2012. Sedangkan bagaimana akibat hukum penahanan terhadap
tersangka dalam tindak pidana pencurian ringan dalam Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor
02 tahun 2012, pengertian akibat hukum adalah :
“ Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan
untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku
dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya
merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna
memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum”65
“ Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat
yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain
yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum
yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai
akibat hukum.” 66
Sesuai penjelasan akibat hukum diatas, suatu tindakan yaitu
penahanan oleh penyidik terhadap tersangka H akankah menimbulakan
akibat hukum. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh penyidik terhadap
penahanan tersangka H tidak menimbulkan akibat hukum seperti sanksi
64 http://antoni-mitralaw.blogspot.com/2010/05/due-process-of-law.html, diakses 29
Januari 2014.
65 Soeroso., Loc.Cit, hlm 295 66 Pipin, Syarifin, Loc.Cit, hlm 71
90
atau hukuman bagi penyidik karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2012 tidak mengatur sanksinya. Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 hanya mengatur apabila penyidik sudah melakukan
penahanan, maka Ketua Pengadilan tidak menetapkan perpanjangan
penahanan. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 yang merumuskan:
“ apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan,
Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun
perpanjangan penahanan.”
Maka penahanan yang dilakukan oleh penyidik tidak diteruskan
atau perpanjangan penahanan di tingkat Pengadilan oleh Ketua
Pengadilan. Dalam hal penyalahan wewenang upaya paksa penahanan,
KUHAP memeberikan hak bagi tersangka melakukan Praperadilan yang
diatur dalam pasal 1 angka 10 (a) KUHAP yang merumuskan :
“Sah atau tidaknya suatu penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka”.
Praperadilan tentang sah atau tidaknya penahanan oleh penyidik
dalam Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk,
“sah atau tidaknya penahanan tergantung dari dipenuhinya syarat-
syarat penahanan, baik syarat formil maupun syarat materil. Syarat
formil penahanan, yaitu penahanan memiliki dasar hukum yang
jelas, terutama dasar hukum bagi pejabat yang melakukannya dan
dilakukan berdasarkan prosedur (dalam hal dan menurut cara) yang
ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, penahanan, juga harus
memenuhi syarat materil, yaitu penahanan dilakukan untuk
mencapai tujuan yang ditentukan dalam undang-undang dan
91
mempunyai alasan yang sah, baik alas an secara objektif maupun
subjektif. ”67
Sebenarnya bisa dilakukan upaya praperadilan, tetapi kemanfaatan
dari praperadilan disini kurang. Mungkin tersangka juga merasa akan
lebih lama penyelesiannya karena acara pemeriksaan yang digunakan
dalam penyelesian tindak pidana pencurian ringan adalah acara
pemeriksaan cepat, menggunakan hakim tunggal dan sekali sidang
langsung diputus pada hari itu juga.
67
http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/praperadilan-terhadap-sah-atau-
tidaknya.html. diakses tanggal 18 Februari 2014
92
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Penahanan dilakukan menurut prosedur atau tata cara yang ditentukan
dalam KUHAP. Dalam hal ini, surat perintah dari penyidik menjadi
mutlak. Dalam surat perintah tersebut, harus disebutkan identitas
tersangka, alasan dilakukannya penahanan, uraian singkat tentang
sangkaan tindak pidananya, dan tempat dilakukannya penahanan (dalam
hal dilakukan penahanan rumah tahanan negara). Sesuai Putusan Nomor:
03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk, penahanan terhadap tersangka H menyalahi
prosedur penahanan karena tidak sesuai dengan alasan dilakukannya
penahanan yaitu alasan obyektif penahanan.
2. Akibat hukum penahanan yang dilakukan terhadap tersangka H sesuai
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang penyesuaian
batasan tindak pidana ringan dalam jumlah denda secara yuridis normatif
menyalahi aturan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
Pasal 2 ayat (3), walaupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun
2012 tersebut tidak mengatur sanksinya.
B. Saran.
Saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam menangani kasus Tindak
93
Pidana Pencurian Ringan perlu ada peraturan lebih lanjut lagi mengenai
sanksi yang diberikan kepada penegak hukum jika tidak melaksanakan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 terutama mengenai
penahanan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abidin, Zamhari. 1986, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Schema
(bagan) dan Sysnosis (catatan singkat), Jakarta: Ghalia Indonesia.
Amirudin, dan H.Zainal, Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
___________ . 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP.Jakarta : Sinar Grafika.
Ibrahim, Johny.2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (edisi
refisi). Malang : Bayu Media Publishing.
Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politea.
Kunarto. 1997. HAM dan POLR. Jakarta: Pt. Cipta Manunggal.
Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Prenada Media.
Makarao, Mohammad taufik, Suharsil. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Teori
Dan Praktek. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mertokusumo, Sudikno. 2007.MENGENAL HUKUM, SUATU PENGANTAR.
Yogyakarta. Liberty
Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap : Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan). Jakarta : Citra
Aditya Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif. Malang : Bayu Media.
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia.Jakarta: Media Prima Aksara.
Poernomo, Bambang. 1993. Orientasi Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta:
Amarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung:
Sumur.
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Soeroso. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Sudikno Mertokusumo. 2007. MENGENAL HUKUM, SUATU PENGANTAR,
Yogyakarta, Liberty.
Suko Legowo, Pramono. 2008. “Efektifitas Sistem Peradilan Sederhana, Cepat,
dan Biaya Ringan di Lingkungan peradilan Umum”. Jurnal Dinamika
Hukum. Nomor 1(Volume 8): 29.
Sutarto, Suryono. 1987. Sari Hukum Acara Pidana I. Semarang: Yayasan
Cendekia Purna Dharma.
Syaripin, Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Tanusubroto. 1984. Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Armic.
Tongat. 2006. Hukum Pidana materiil. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
B. Peraturan Perundang- Undangan
Indonesia, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana / Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana.
, Peraturan Pengganti Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1960
tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 18
Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam kitab Undang –
Undang Hukum Pidana Lainnya yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945.
, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
, Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
KAPOLRI, Perkap No 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian
Penanganan Perkara pidana
Indonesia, Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang – Undangan.
Mahkamah Agung Replubik Indonesia, Peraturan Mahkamh Agung Nomor 02
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP.
, Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
(MAHKUMJAKPOL) tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Capat, Serta
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
C. Sumber Internet :
http://typinggugunggunawan.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-
sistemhukum-acara.html diakses pada tanggal 13 September 2013
Bernadi, Bryan. 2012. Hukum Yang Pro Rakyat (on-line),
http :// www.Gagasanhukum/hukum-yang-pro-rakyat.html, diakses
13September 2013.
Sahbani, Agus.2012. MA Terbitkan Perma Batasan Tipiring (on-line),
http ://www.hukumonline.com/ma-terbitkan-perma-batasan-tipiring.html,
diakses 13September 2013.
Aswindri R. N., 2012, “PERSPEKTIF TINDAK PIDANA RINGAN DAN
JUMLAH DENDA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 DALAM
TINDAK PIDANA PENCURIAN”
http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/bias-syarat-subjektif-penahanan.html diakses tanggal 29 Oktober 2013
http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/praperadilan-terhadap-sah-
atau-tidaknya.html diakses tanggal 8 Februari 2014
D. Sumber lain :
Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor: 03/Daf.Pid.C/2013/PN.Slk