skripsi - fakultas hukum unsoedfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi_13.pdf · 0...
TRANSCRIPT
0
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE
DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS
(Studi Putusan Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)
SKRIPSI
Oleh :
ADE DARMAWAN
E1A109087
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE
DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS
(Studi Putusan Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
ADE DARMAWAN
E1A109087
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE
CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU-LINTAS
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. PWT)
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenaranya. Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, Agustus 2014
Ade Darmawan
E1A10908
v
ABSTRAK
Tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk membela diri dengan diberi
kesempatan untuk mengajukan seorang saksi A De Charge yang dianggap dapat
meringankan atau membela dirinya sebagai upaya untuk melemahkan dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, sehingga keterangan saksi A De Charge dapat dipergunakan sebagai
bahan pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga menjunjung tinggi
kebenaran materiil. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan
menuangkan hasilnya dalam skripsi yang berjudul : KEKUATAN PEMBUKTIAN
KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN
LALU LINTAS ( Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT )
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang pertama,
Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge dalam tindak pidana
kecelakaan lalu lintas dalam Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT ? Kedua,
bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT ?
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kekuatan pembuktian saksi A De Charge
dalam persidangan dan juga untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa Kekuatan
Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
merupakan alat bukti yang sah dan hakim bebas untuk menerima atau menyingkirkan isi
keterangan saksi A De Charge yang diberikan dipersidangan untuk dasar pertimbangan
hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara 3 (tiga) bulan, dan pidana
denda sebesar Rp. 500.000,-- (lima ratus ribu rupiah) terhadap terdakwa karena telah
memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP.
Kata kunci : Pembuktian, Saki A De Charge, Kecelakaan Lalu Lintas
vi
ABSTRACT
The suspect or defendant has the right to defend himself by having the given the
opportunity to propose a witness A De Charge which is considered to relieve or defend
him in an attempt to weaken the Prosecution accusations that the witness A De Charge
can be used as a consideraton for the judges in talking decisions that uphold the truth of
the material. Based on these descriptions, the author is interested in making the research
and making thesis entitled: THE POWER OF A DE CHARGE WITNESS AS THE
EVIDENCE ON THE CRIMINAL ACT OF TRAFFIC ACCIDENTS (Judicial Review
Decision Number: 49 / Pid.Sus / 2012 / PN.PWT)
Based on the above, the problem can be formulated first, How does the strength
of evidence A De Charge witness testimony in criminal acts of traffic accidents in
Decision No. 49 / Pid.Sus / 2012 / PN.PWT? Second, how the basic legal of judge
considerations in a criminal passed a decision to Decision Number: 49 / Pid.Sus / 2012 /
PN.PWT?
The aims of this study are to determine the strength of evidence A De Charge
witness in the trial and also to know the legal considerations of judges in takes decisions.
Based on research results obtained the conclusion that the Strength of Evidence
Testimony of Witness A De Charge in Traffic Accident Criminal Acts is legal evidence
and the judge is be free to accept or get rid of the contents of A De Charge witness
testimony given in trial for consideration of the legal basis for the judge in passed a
decision of criminal prison of 3 (three) months, and criminal fine of Rp. 500.000, - (five
hundred thousand rupiah) to the defendant because it has met the minimum threshold of
proof principle formulated in the Article 183 of KUHAP.
Key Word: Evidence, A De Charge Witness, Traffict Accident.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE
DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS ( Tinjauan
Yuridis Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. PWT ).
Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi
ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari
bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai
pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini.
2. Pranoto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun serta
banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup
Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran
dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai.
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat
membangun dalam penyusunan skripsi ini.
4. Weda Kupita, S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan
memberi masukan pada skripsi penulis.
viii
5. Edy Waluyo, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.
8. Kedua orang tua tercinta, Sudarmo D.S dan Woro Triherningsih, yang selalu
mendoakan, memberi nasihat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi.
Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya,
namun mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkan.
Purwokerto, Agustus 2014
Penulis
PERSEMBAHAN
Kupersembahakan Skripsi ini Kepada :
ix
Terima kasih yang terutama kepada Allah Swt yang telah memberikan segala
rahmat dan hidayahnya kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik dan tiada halangan apapun.
Kedua Orang Tua Tercinta
Bapak Sudarmo D.S dan Ibu Woro Triherningsih yang selalu aku sayangi
yang selalu memberiku nasihat, motivasi dan senantiasa menyemangati ku
selama menyelesaikan skripsi. Dan pastinya doa yang tiada henti hingga aku
menyandang gelar Sarjana Hukum. Kasih dan perhatianmu tidak terkira.
Timakasih Bapak Ibu, Love you.
Keluargaku Tercinta
Kakaku tercinta Mas Panji Darmawan, S.H., dan adiku tercinta Aji
Darmawan.
Sahabat-Sahabat Tercinta
Untuk Andhi Vembrianto, Habibi Muamar Irfan, Alfian Nurgozhali, S.H.,
Odra Valendra, Muhammad Ibnu Ajis, Yuliantiko, Randy Setyawan, Singgih
Dwi Kuncoro, Rendika Setyawan, Adit, Reza, Saugie, Rizal, Tris
Kusumawardani, Erni Farida, Novia Kurniasih, Rossi, Mba Andi Pratiwi,
dan lain-lain..
Untuk teman kos aku yang aku sayangi, Habibi, Rosi Dias Permana, Neru
Adiputra, Unggul Budi Wicaksono.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN .......................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii
x
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
ABSTRACT ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR......................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian .............................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ........................................................... 7
B. Pembuktian........................................................................................... 19
C. Keterangan Saksi A De Charge
1. Pengertian Saksi............................................................................... 41
2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge.................... 43
D. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana.................................................................50
2. Pengertian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas..........................51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ..............................................................................52
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 52
xi
C. Sumber Data ........................................................................................ 52
D. Metode Pengumpulan Data.................................................................. 53
E. Metode Penyajian Data......................................................................... 53
F. Metode Analisis Data............................................................................ 53
G. Spesifikasi Penelitian Terdahulu ......................................................... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 54
B. Pembahasan ......................................................................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................ 102
B. Saran .................................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melalui hukum acara pidana, maka bagi setiap individu yang melakukan
penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya
dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut
hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa
haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dan untuk
membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
diperlukan adanya suatu pembuktian.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka
terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP,
terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, oleh
karena itu, hukum harus hati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan nilai
pembuktian.1
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai produk bangsa
Indonesia telah menetapkan beberapa alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan
1M. Taufik Makaro dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hlm, 102-103
1
2
untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut
undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP adalah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tercantum alat-alat bukti yang sah
antara lain keterangan saksi. Pada umumnya keterangan saksi merupakan alat
bukti yang paling utama dalam perkara pidana, karena hampir semua pembuktian
perkara pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi.2
Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah :
“Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu.”
Tampak ada tiga tolok ukur tanggungjawab keterangan saksi, yakni (a)
melihat, (b) mendengar, dan (c) mengalami. Instrumen alat ukur itu adalah mata,
telinga, dan perasaan yang semuanya bersifat alami normal. Opini sebagai hasil
rumusan olah pikir yang menjadi pendapat, asumsi, pernyataan, analisis atau
kesimpulan dari saksi bukanlah bernilai alat bukti sehingga karena itu harus
segera ditolak oleh penyidik pada saat penyidikan, dan hakim Yang memimpin
sidang atau oleh penuntut umum dan atau advokat.3
2M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
hlm., 286 3Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009, hlm. 263.
3
Didalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dikatakan “Dalam
keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau
testimonium de auditu”. Dengan demikian bahwa keterangan saksi yang diperoleh
dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah.4
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu
tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum
acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi yang hanya mendengar
dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau
hearsay evidence, patut tidak dipakai di Indonesia pula.5
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, menjadi landasan bagi pembuat
undang-undang untuk menetapkan kesaksian sebagai “kewajiban” bagi setiap
orang. Penegasan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2)
KUHAP sebagai berikut :
a) Menjadi saksi adalah “kewajiban hukum”,
b) Orang yang menolak memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu
sidang pengadilan, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap
kewajiban hukum yang dibebankan undang-undang kepadanya,
c) Orang yang menolak kewajiban memberi keterangan sebagai saksi
dalam sidang pengadilan, dapat dikenakan pidana berdasarkan
ketentuan undang-undang yang berlaku.6
Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP
tersebut, disimpulkan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam
pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah kewajiban bagi setiap
4Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:Sinar Grafika, 2001, hlm. 264
5Ibid, hlm. 264-265
6M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 169
4
orang.
Pemeriksaan saksi yang hadir dalam persidangan bertujuan untuk
mendengar keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan
dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Tata cara
pemeriksaan saksi menurut Yahya Harahap7 adalah sebagai berikut :
1. Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang;
2. Memeriksa identitas saksi;
3. Saksi “wajib” mengucapkan sumpah.
Kewajiban hukum bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara
pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan sumpah menurut
agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya
tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan
perkara yang bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban,
tidak ada jalan lain bagi seorang saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali
penolakan itu mempunyai alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa memberi
keterangan tanpa sumpah, hanya mereka yang disebut pada Pasal 171 KUHAP,
yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin
serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan hukum dengan judul :
“KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI A DE
CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU
LINTAS (Studi Putusan Nomor 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)
7Ibid, hlm. 172-174
5
b. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi A DE CHARGE
dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas pada Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.
Purwokerto?
c. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian terhadap saksi A DE
CHARGE dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan Putusan
Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana terhadap Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto.
d. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu
hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum
6
pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan
kepustakaan.
b. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
2. Manfaat Praktis
a. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku
kuliah dengan kenyataan di lapangan.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan
di dalam penegakan hukum acara khususnya hukum acara pidana
tentang penegakan hukum dalam tindak pidana Kecelakaan lalu
lintas.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
a. Peradilan Cepat
Terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada
keputusan pengadilan. Penjabaran asas cepat diatur dalam Pasal 24 (4),
Pasal 25 (4), Pasal 26 (4), Pasal 27 (4), Pasal 28 (4), dan Pasal 102 (1)
KUHAP. Segera dilakukan penyidikan. Pasal 140 KUHAP Penuntut
Umum segera membuat surat dakwaan, Pasal 50 KUHAP segera
diadili, Pasal 326 KUHAP Pelimpahan berkas perkara Banding ke
Pengadilan Tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal mohon banding.
b. Sederhana
Yang dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif.
c. Biaya Ringan
Biaya Ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh
masyarakat. Penjelasan umum Pasal 1 Undang- Undang No. 48 Tahun
2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya
KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-
kata yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP.Untuk
7
8
menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP
yang memakai istilah “segera”.8
Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie
semakin ditekankan dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e
dikatakan:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), misalnya Pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4),
28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa
jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat
sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini
mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan
terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
8Ibid., hlm. 12.
9
di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3).
Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi
penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut
Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan.
Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
MenurutYahya Harahap9 menjabarkan mengenai asas sederhana
dan biaya ringan adalah sebagai berikut :
1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi
yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami
kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa.
2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut
ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya
sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses
penahanan.
3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-
nyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan
wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-
balik, tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan.
Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika hulp magistraat melakukan
penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam memberitahu
jaksa. Arti dari kata peradilan cepat dan sederhana adalah bahwa peradilan
9M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid
I).,Jakarta : Pustaka Kartini,2001, Hal 54.
10
dilaksanakan dengan proses yang jelas dan tidak berbelit-belit, sehingga
peradilan dapat berjalan dengan cepat, selain itu tidak merugikan terdakwa.
Selain hal tersebut dengan peradilan yang berjalan dengan cepat dan
sederhana diharapkan tidak mengeluarkan biaya yang besar, sehingga
peradilannya memiliki sifat biaya ringan.
Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada
istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu
diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum.
Bambang Poernomo10
dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:
“Proses perkara pidana dengan biaya yang murah diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme
bekerjannya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang
berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding
karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan
lebih kecil.”
Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam
KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu.Asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP
sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak
yang diutamakan dalam KUHAP.
10
Bambang Poernomo. 1993. Pola-Pola Dasar Teori Asas Umun Hukum Acara Pidana
dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 66.
11
2. Praduga Tidak Bersalah
Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah
dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam
Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
M. Yahya Harahap11
dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:
“Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya
sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum
(law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP
memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan
prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”.
3. Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum.Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa.
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopili, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal
ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa.Dominus berasal
dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya
11
M Yahya Harahap.Op.Cit, hlm. 40.
12
delik diajukan kepadanya.Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari
penuntut umum.
Pengertian asas oportunitas menurut A.Z. Abidin Farid12
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan umum.”
Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan
umum” dalam sebuah perkara. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan
penjelasan sebagai berikut:
“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam
penerapan asas oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat”.
Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo13
yang dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:
“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang
disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan
Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau
adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna
kepentingan masyarakat”.
12
Andi Hamzah. Op. Cit.hlm. 17. 13
Ibid.,hlm. 20.
13
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4)
KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat
(4) lebih dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut:
“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya,
terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut
tidak terpenuhi”.
Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena
masih ada pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik
yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban
umum (openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum
untuk menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal
tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP.
Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi
hukum.
Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan
seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan
dilakukan di belakang pintu tertutup.Pertimbangan tersebut sepenuhnya
diserahkan kepada hakim.Hakim melakukan hal itu berdasarkan jabatannya
14
atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat
mengajukan permohonan agar sidang tertutup unutk umum dengan alasan
demi nama baik keluarganya.14
Sebagaimana menurut D. Simons15
yang dikutip Andi Hamzah dalam
bukunya, sebagai berikut:
“HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan
bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan
suatu persidangan tertutup untuk umum”.
Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak
dapat dibanding.Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun
dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Bahkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas merumuskan sebagai berikut:
“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.
5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum pula dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3a
KUHAP. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, merumuskan sebagai berikut:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”.
14
Ibid., hlm. 21. 15
Ibid.
15
Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga
menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap
setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut:
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.Untuk jabatan ini
diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang
menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili
golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam
tentang ilmu hukum. Menurut D. Simons16
sebagaimana dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun
1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu
dari Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut
maka Jerman juga tidak menganutnya.”
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP
yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat
kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:
16
Ibid. hlm. 22.
16
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
4. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik
atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan
Negara.
5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
6. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
Andi Hamzah17
dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:
“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum
menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan
kelonggaran-kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata,
bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut
terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum
secara merata.”
Adnan Buyung Nasution18
, sebagaimana dikutip dalam buku Andi
Hamzah berpendapat sebagai berikut:
“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah
banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya
bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan
oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi
dan keadaan kesehatan yang buruk”.
8. Asas Akusator dan Inkisitor
Asas inkisitoir adalahsuatu sistem pemeriksaan yang memandang
seseorang tersangka sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan
dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu
pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup.Sedangkan asas akusator adalah
kebalikan dari prinsip inkisitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa
17
Ibid. hlm. 24. 18
Ibid.
17
(penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya,
yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak
memihak.
Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan
bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator.Ini berarti perbedaan antara
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya
telah dihilangkan.
Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi
ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun
terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukumnya.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut
tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan
universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri
beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum
sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan
dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa
pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”.
18
Andi Hamzah19
berpendapat dalam bukunya sebagai berikut:
“Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan
pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin
dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu
pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi,
kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.”
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Ini berbeda
dengan acara perdata di mana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili
kuasanya.Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim
dengan terdakwa.20
Bambang Poernomo21
berpendapat bahwa :
“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam
persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan
lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar
dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara
pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan
langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa
untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan
keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak
bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan
diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya.Pengecualian dari asas
langsung ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek
atau in absentia. Pasal 213 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
19
Ibid. hlm. 25. 20
Ibid., hlm. 25. 21
Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta:
Liberty, 1985.Hal. 79.
19
“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang”.
Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara
pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur
macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam
pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta
kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.22
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap 23
sebagai berikut:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan.”
Dari uraian singkat di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum
acara Pidana, antara lain:
a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau
penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
22
Sasangka, Hary & Rosita Lyli.2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Bandung : Mandar Maju.hlm:10
23
M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 273.
20
bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh bertindak leluasa dengan
caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat
bukti, tidak boleh bertebtangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang
telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim harus benar-
benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan
pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis
hakim akan meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang
akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara
dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang
ditemukan.kalau tidak demikian bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang
yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.24
b. Berhubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus
berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang
secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.25
Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian
yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang
dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak
dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus
dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan
berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang
24
Ibid., hlm 274. 25
Ibid.
21
dibenarkan sistem pembuktian. Tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan
pendapat subjektif hakim.26
Pengakuan dalam hukum acara pidana tidak melenyapkan kewajiban
pembuktian. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum
acara pidana “selamanya” tetap diperlukan sekalipun terdakwa “mengakui”
tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila terdakwa mengakui
kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap
berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan “bersalah” (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan
kewajiban penuntut umum dan persidangan utuk menambah dan
menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat
bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti
petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP
yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan dari terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah telah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain”.
Ketentuan itu sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 308 HIR yang
menegaskan untuk dapat menghukum terdakwa selain daripada pengakuannya
harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti bukti yang lain.27
26
Ibid. 27
Ibid., hlm. 175.
22
Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Rumusan pasal tersebut selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious
(generally known).28
2. Teori Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan.Bagaimana akibatnya jika seseorang yang
didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar.Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.Berbeda
dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.29
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada
beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan.Sistem pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat
(negara).30
Berkaitan dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,
ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:
28
Ibid., hlm. 176. 29
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 249. 30
Ibid.
23
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Menurut teori ini pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat
pembuktian yang disebut undang-undang.Dikatakan secara positif karena
hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang,
maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga
teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).
Menurut D. Simons 31
sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam
bukunya, menyatakan sebagai berikut:
“Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif (positief wettellijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertiimbangan subyektif hakim secara ketat menurut peraturan-
peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu
berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”.
Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut
di Indonesia.Pendapat Wirjono Prodjodikoro32
sebagaimana dikutip dalam
buku Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
“Bagaimana hakim akan menetapkan kebenaran selain dengan cara
menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula
keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin
sekali adalah sesuai denan keyakinan masyarakat.”
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction intime.Menurut sistem ini keyakinan hakim tidak
31
Ibid., hlm. 251. 32
Ibid.
24
ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.Untuk
membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang.Asal sudah dipenuhi syarat-syarat
dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup untuk
menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
(Conviction in Time)
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian
menurut undang-undang secara positif, adalah teori pembuktian menurut
keyakinan hakim melulu.Teori ini disebut juga conviction intime.33
Disadari
bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu
membuktikan kebenaran.Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin
terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Bertolak pangkal dari pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan
hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian yang demikian pernah dianut di
Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini
katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi
keyakinannya.34
Berdasarkan teori ini hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang
terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan hakim belaka tanpa didukung oleh
33
Andi Hamzah. Op. cit. hlm. 252. 34
Wirjono Prodjodikoro. Op Cit. hlm. 72.
25
alat bukti yang cukup.Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari
tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa sudah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa.
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu
(Laconvictian Raisonee).Menurut teori ini hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan
kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive)
yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.Jadi
putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.Sistem atau teori pembuktian
ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut
alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).35
Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memeggang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.Akan tetapi,
faktor keyakinan hakim dibatasi.Jika dalam sistem pembuktian conviction-in
time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem
conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan
yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Selain itu keyakinan hakim
35
Andi hamzah.Op. Cit.hlm. 253.
26
harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima
akal.Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian
alasan yang masuk akal.36
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif
Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in
time.37
Menurut Wirjono Prodjodikoro38
sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
(negatitief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan,
pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua ialah berfaedah jika ada aturan
yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam
melakukan peradilan.”
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara
ekstrim.Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif.Dari hasil penggabungan kedua sistem
36
M. Yahya harahap. Op. Cit.hlm. 278. 37
Ibid. 38
Andi Hamzah. Op. Cit.hlm. 257.
27
yang saling bertolak belakang tersebut, terwujud suatu “sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakimyang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.39
Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidaknya
seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata. Atau
hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketetuan dan cara
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Seorang terdakwa baru bisa dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan
itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian tersebut,
untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang,
2. Dan keyakinan hakim yang harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.40
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini
memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menetukan salah dan
tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur
tersebut.Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup
39
M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 279. 40
Ibid.
28
mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.41
Misalnya ditinjau dari segi
cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa
cukup terbukti, tetapi walaupun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin”
dengan kesalahan terdakwa, dalam hal tersebut maka terdakwa tidak dapat
dinyatakan bersalah. Sebaliknya jika hakim benar-benar yakin akan kesalahan
terdakwa melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi keyakinan
tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan
dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti itupun
terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.Oleh karena itu, diantara kedua
unsur atau komponen tersebut harus saling mendukung.42
3. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menetukan secara “limitatif” alat bukti
yang sah menurut undang-undang.Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.Ketua sidang, penuntut
umum, dan penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan
mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Para pihak di atas tidak memiliki
keleluasaan untuk mempergunakan alat bukti sesuai dengan kehendaki di luar
alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Bukti yang dinilai
sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”
hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja.Pembuktian dengan alat bukti di luar
alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai
nilai serta tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat.
41
Ibid. 42
Ibid.
29
Adapun alat bukti menurut undang-undang sesuai dengan apa yang
disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa.
Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan
alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan nama
alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu “pengakuan
terdakwa” menjadi keterangan terdakwa.43
a. Keterangan Saksi
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kecuali menjadi
saksi yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang merumuskan sebagai
berikut:
(1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa;
(2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajad ketiga;
(3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Selain karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ada
ketentuan lain yaitu Pasal 170 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari
43
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 259.
30
kewajiban untuk member keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal
yang dipercayakan kepadanya”.
Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang
menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan.Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau
pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang
menentukan sak tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
Pasal 170 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut di atas
mengatakan “…dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan
keterangan sebagai saksi…”, hal tersebut berarti jika yang bersangkutan
bersedia untuk menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah,
maka pengecualiaan menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan
atau karena martabatnya merupakan pengecualian relatif.
Selain Pasal 170 ayat (1) KUHAP ada pengecualian untuk
memberikan kesaksian di bawah sumpah yaitu Pasal 171 KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah
ialah.
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatanya baik kembali.”
Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,
31
sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa
disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah
atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka
hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Pasal 160 ayat (3) KUHAP merumuskan bahwa sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu
merupakan syarat mutlak.44
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan
apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Agar supaya keterangan saksi dapat diniai sebagai alat bukti,
keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya
sendiri, dilihatnya sendiri, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa
pidana, baru bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi itu
44
Ibid., hlm 263.
32
dinyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang
pengadilan (outside the court) bukan sebagai alat bukti, sehingga tidak dapat
digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.45
Salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi.
Pengertian saksi menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, merumuskan
sebagai berikut:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi dalam pemeriksaan saksi
merupakan hal yang paling penting dalam persidangan suatu perkara pidana.
Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat
bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu
bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di
samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Beberapa syarat sahnya keterangan saksi agar keterangan saksi
tersebut dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan
pembuktian, adalah sebagai berikut:
1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut
rumusan pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib
mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut
45
M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 288.
33
dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji
berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya
dan tiada lain daripadaa yang sebenarnya.
Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya
sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan.
Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk
mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji
pada prinsipnya wajib mengucapkan “sebelum” saksi memberikan
keterangan, akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan,
sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan
keterangan.46
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau
janji,sudah ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal
160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua
sudang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan
Negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau
dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau
mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim.
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
46
Ibid., hlm. 286.
34
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah
keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka
27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan
dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat diterik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai
kekuatan nilai pembuktian.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai
hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan
ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan
35
Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi
yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus
dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa.
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti,
keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan”.
Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan
tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya
sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat
bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court)
bukan alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap dapat dianggap cukup
membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau
sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan
seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan haus
36
dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2)
KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya”.
Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat
dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
dakwa, atau “ unus testis nullus testis”.47
Hal tersebut berarti jika alat bukti
yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka
keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya.
Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal
yang dijelaskan di atas, maka dapat diketahuibahwa sebagai berikut:
a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi.
b. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu
harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya, alat
bukti lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan
dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu
telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang
47
Ibid., hlm. 288.
37
seperti itu adalah keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang
banyak, jika keterangan para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan
antara yang satu dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu
kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sndiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”.
Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan
beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai
kekuatan pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling
hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau
kejadian tertentu. Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan
satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan
menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum keterangan seperti itu
tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.48
b. Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua
oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP,
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan
persidangan pengadilan”.
48
Ibid., hlm. 290.
38
Pasal tersebut tidak menjawab apa itu yang disebut ahli dan keterangan
ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini.Pasal 343
Ned. Sv. Memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan keterangan
ahli sebagai berikut:
“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai
pertimbangannya”.
Menurut Wirjono Prodjodikoro49
sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Isi keterangan seorang saksi dan seorang ahli berbeda.Keterangan
seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan
keterangan seorang ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai
hal-hal yang sudah nyata ada dan mengambil kesimpulan dari hal-hal
itu.”
KUHAP membedakan keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai
alat bukti “keterangan ahli”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 186 KUHAP
dengan keterangan seorang ahliyang diberikan secara tertulis di luar sidang
pengadilan sebagai alat bukti “surat”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 187
butir c KUHAP.50
c. Alat Bukti Surat
Pasal dalam KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat hanya
satu pasal yaitu Pasal 187 KUHAP yang terdiri dari empat ayat sebagai
berikut:
(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
49
Andi Hamzah. Op. Cit.hlm. 274. 50
Ibid., hlm. 274.
39
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangan itu;
(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan
yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang
diminta secara resmi daripadanya;
(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
d. Alat Bukti Petunjuk
Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan definisi petunjuk
sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Menurut KUHAP yang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk
adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Jika dilihat Pasal 188 ayat
(3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tercermin bahwa pada akhirnya
persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama
dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Disebut pengamatan oleh hakim
(eigen warrneming van de rechter) yaitu harus dilakukan selama sidang, apa
40
yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat
dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah
diketahui oleh umum.51
e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
KUHAP dengan jelas mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai
alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Pengertian keterangan terdakwa terdapat
pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang
tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri”.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar.
Ditinjau dari segi pengertian bahasa, jelas terasa terdapat perbedaan
makna antara pengakuan dan keterangan. Pada pengakuan, terasa benar
mengandung perntataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Sedangkan
pada kata keterangan lebih bersifat suatu penjelasan akan apa yang telah
dilakukan seseorang. Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP dapat
disimpulkan bahwa apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang
pengadilan, dan apa yang dinyatakan dan dijelaskan itu ialah tentang
perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang
51
Ibid., hlm. 278.
41
berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana
yang sedang diperiksa.52
C. Keterangan Saksi A De Charge
1. Pengertian Saksi
Salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi.
Pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang
merumuskan:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu”.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
dimaksud dengan saksi yaitu :
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Menurut Hibnu Nugroho53
menerangkan bahwa:
“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan,penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Pembuktian merupakan bagian paling penting dalam hukum acara pidana,
guna mencari dan menemukan kebenaran materiil, telah diatur dalam Pasal 184
KUHAP tentang alat-alat bukti yang sah, yang dapat diajukan sebagai alat bukti di
persidangan. Salah satunya bentuk alat bukti keterangan saksi, terbagi dalam dua
kategori yaitu:
52
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 319. 53
Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang
:BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34.
42
1. Keterangan saksi yang memberatkan tersangka atau terdakwa dimana saksi
ini diajukan oleh Penuntut Umum.
2. Keterangan saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa, saksi seperti
ini diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum.
Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan
saksi, dan hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada
pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya dua alat bukti di samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian
dengan alat bukti keterangan saksi.54
Keterangan saksi adalah alat bukti utama, dimana kedudukannya sebagai
alat bukti guna membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa dan dapat
menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar
telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi merupakan urutan
yang pertama, sehingga hal ini akan membawa konsekuensi dalam pembuktian,
dimana perkara pidana yang pertama diajukan adalah keterangan saksi. Baru
setelah mendengar keterangan saksi baru mendengar keterangan terdakwa.
2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge
Dalam pemeriksaan perkara, terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Untuk membuktikan bahwa ia tidak
bersalah, ia dapat menggunakan saksi yang meringankan atau ahli.
54
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP(Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, 2007,
hlm. 286.
43
Dalam praktek pemeriksaan perkara pidana, hal yang paling mendasar
dikedepankan adalah mengenai hak-hak tersangka atau terdakwa baik dari tingkat
penyidikan sampai dengan tingkat peradilan.Salah satu dari beberapa hak
terdakwa yang diatur dalam KUHAP hak terdakwa untuk menghadirkan saksi A
De Charge. Dalam proses pemeriksaan di persidangan, penyidik dapat meminta
keterangan dari saksi yang memberatkan terdakwa dan terdakwa pun berhak
meminta agar dihadirkan saksi yang meringankan atau A De Charge. Pasal 116
ayat (3) dan (4) KUHAP menerangkan, dalam pemeriksaan tersangka atau
terdakwa dinyatakan apakah menghendaki saksi yang meringankan atau saksi
yang dapat menguntungkan baginya atau yang disebut saksi A De Charge.
Hal ini dilakukan dengan alasan karena tersangka berhak melakukan
pembelaan terhadap dakwaan yang dituduhkan kepadanya dengan mengajukan
seorang saksi, dan karena pada umumnya para saksi itu memberatkan tersangka.
Bila terdakwa menghendaki adanya saksi yang meringankan atau A De Charge,
maka penyidik wajib memeriksanya dicatat dalam berita acara, dengan
memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Pengertian dari saksi A De Charge adalah saksi yang diajukan oleh
terdakwa di dalam persidangan ataupun tahap pemeriksaan untuk memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.55
Saksi A De Charge dalam KUHAP diatur dalam Pasal 65 KUHAP yang
berbunyi:
55 Benyamin Asri, Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Penyidikan, Penuntutan dan
Peradilan, Bandung: Tarsito, 1989, hal.41.
44
“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”
Pasal 65 KUHAP menjelaskan bahwa tersangka atau terdakwa sejak
diperiksa oleh penyidik mempunyai hak untuk mengajukan saksi-saksi guna
memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya.
Berkaitan adanya hak untuk mengajukan saksi atau ahli yang oleh undang-
undang telah diberikan oleh tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 KUHAP, sehingga para pemeriksa disemua tingkat pemeriksaan
wajib menanyakan kepada tersangka atau terdakwa, yaitu apakah ia akan
mengajukan saksi-saksi atau saksi ahli yang dapat memberikan keterangan yang
sifatnya menguntungkan bagi terdakwa.
Saksi A De Charge yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat
hukumnya, dimaksudkan untuk melemahkan dakwaan yang didakwakan Jaksa
Penuntut Umum kepada terdakwa. Tujuan lain adalah untuk menemukan dan
mewujudkan kebenaran materiil, ketua sidang tidak hanya terpaut pada bahan dan
keterangan yang telah tertuang dalam berita acara penyidikan saja, tetapi juga
berhak meminta keterangan ahli.
Leden Marpaung56
berpendapat bahwa:
“Untuk mencapai tujuan mencari kebenaran materiil, telah selayaknya
bahwa hakim tidak terbatas pada bahan yang telah ada dalam berkas
perkara yang diperoleh sebagai hasil penyidikan. Dengan demikian adalah
tepat jika hakim diberi kewenangan untuk minta bahan baru.”
56
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan
Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi) , Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 115.
45
Tujuan diajukannya saksi yang meringankan atau saksi A De Charge oleh
penasehat hukum atau terdakwa, yaitu untuk melemahkan dakwaan Jaksa
Penuntut Umum yang didakwaan kepada terdakwa. Diajukannya saksi A De
Charge terdakwa berharap dapat dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya atau
bahkan diputus bebas.
Tata-Tata Cara Pemeriksaan Saksi A De Charge
Keterangan saksi A De Charge yang diajukan oleh terdakwa atau
penasihat hukumnya, sebelum dijadikan putusan, hakim ketua sidang wajib
mendengar keterangan saksi tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 160
ayat (1) butir c KUHAP, yaitu:
“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkata dan atau
yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum selama
berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang
wajib mendengar keterangan saksi tersebut.”
Tata cara pemeriksaan saksi A De Charge sama dengan pemeriksaan saksi
A Charge, dengan titik berat pada pernyataan-pernyataan yang mengarah pada
pengungkapan fakta yang bersifat membalik atau melemahkan dakwaan penuntut
umum atau setidaknya bersifat meringankan.57
Tata cara pemeriksaan saksi Menurut Mohammad taufik Makarodan
Suharsil58
, yaitu;
57
Wisnubroto, Op,Cit, hlm 21 58
Mohammad taufik Makarao dan Suharsil, Op,Cit, hlm. 108-120
46
1. Saksi dipanggil seorang demi seorang
Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut
urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua
sidang.Pemeriksaan saksi secara satu persatu bertujuan agar keterangan
yang mereka berikan tetap bersifat bebas, jangan sampai terjadi keterangan
seorang saksi didengar oleh saksi yang lain, yang berakibat mempengaruhi
saksi yang berangkutan.
2. Memeriksa identitas saksi
Maksud pemeriksaan identitas serta hubungan saksi dengan terdakwa,
untuk memberikan penjelasan kepada persidangan tentang kedudukan saksi
dalam perkara yang sedang diperiksa, hal ini dijadikan titik tolak bagi ketua
sidang untuk menentukan sikap perlu tidaknya saksi didengar
keterangannya maupun untuk menentukan kualitas keterangan yang
diberikan saksi dalam persidangan.
3. Saksi wajib mengucapkan sumpah
Sumpah diberikan sebelum memberi keterangan. Sebelum memberi
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3)
KUHAP).
Sumpah diberikan sesudah memberi keterangan. Jika pengadilan
menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji
sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan keterangan ( Pasal 160 ayat
(4) KUHAP).
4. Sumpah dapat diucapakan di luar sidang Alasan penyumpahan diluar sidang
menurut M. Yahya Harahap59
“Kekhidmatan sumpah, artinya saksi atau ahli yang mengucapkan
sumpah atau janji tadi akan lebih sadar isi sumpah yang diucapkannya
bila pelaksanaannya dilakukan di luar sidang, juga supaya saksi lebih
jujur dalam memberikan keterangan.”
5. Penolakan sumpah dapat dikenakan sandera
Saksi dapat menolak untuk disumpah jika ada alasan yang sah.Tentang
alasan yang sah ini adalah diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
6. Ketarangan saksi di sidang berada berbeda dengan berita acara
Menurut ketentuan Pasal 163 KUHAP, keterangan saksi di sidang
berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim
ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai pembedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan
sidang.
7. Terdakwa dapat membantah atau membenarkan keterangan saksi
Pemberian hak membantah atau membenarkan keterangan saksi, sesuai
59
M. Yahya Harahap, Op,Cit, hlm.176
47
dengan asas keseimbangan dalam menegakkan hukum. Pasal 164 ayat (1)
KUHAP mengatakan:
“Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang
keterangan tersebut.”
8. Kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa
Saksi tidak boleh menolak setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya,
sepanjang pertanyaan itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau
sepanjangpertanyaan itu relevan dengan perkara yang diperiksa. Pasal 164
ayat (2) dan (3)KUHAP mengatakan:
“(2)Penuntut umum atau penasehat hukum dengan perantara hakim
ketuasidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada
saksi dan terdakwa.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh
penuntut umum atau penasehat hukum kepada saksi atau terdakwa
dengan memberikan alasannya.”
9. Larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi. Sesuai dengan penjelasan Pasal 166
KUHAP, jika dalam salah satu pernyataan disebutkan suatu tindak pidana
yang tidak diketahui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan
oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka
pertanyaan yang demikian itu dianggap sebagai pertanyaanyang bersifat
menjerat.
10. Saksi yang telah memberikan keterangan tetap hadir di sidang
Berdasarkan ketentuan Pasal 167 KUHAP, setiap saksi yang telah
selesai memberikan keterangan, tetap hadir dalam ruang sidang.Bahkan
izin meninggalkan ruang sidang, kecuali ketua sidang memberi
izin.Bahkan izin meninggalkan ruang sidang harus dibatalkan oleh ketua
sidang, apabila penuntut umum atau terdakwa maupun penasihat hukum
mengajukan keberatan.
11. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi. Pasal 168 KUHAP
menerangkan:
“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
48
12. Mereka yang dapat minta dibebaskan menjadi saksi :
Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHAP terdapat sekelompok orang
yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi.
Hal pembebasan diri menjadi saksi sifatnya tidak mutlak. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 170 KUHAP, yaitu mereka yang karena pekerjaan,
harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajibanuntuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadamereka. Hakim menentukan
sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
13. Mereka yang boleh memberi keterangan tanpa sumpah
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
14. Pemeriksaan saksi dapat didengar tanpa hadirnya terdakwa
Pasal 173 KUHAP memberi kemungkinan bagi hakim ketua sidang
untuk memberikan dan mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya
terdakwa, dengan jalan mengeluarkan terdakwa dari ruang sidang.Setelah
terdakwa keluar persidangan dilanjutkan memeriksa dan mendengar
keterangan saksi. Tata cara pemeriksaan saksi seperti ini, didasarkan pada
alasan pertimbangan, hakim berpendapat dan menilai saksi merasa
tertekan memberikan keterangan jika terdakwa hadir dalam pemeriksaan.
15. Keterangan saksi palsu Pasal 174 KUHAP menentukan:
(1) apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua
sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya
memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap tetap memberikan
keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang
karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa
dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal yang demikian, oleh panitera segera dibuat berita
acarapemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebut
alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita
acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta diselesaikan
menurut ketentuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu, hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam
perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi selesai.
16. Pemeriksaan saksi dan terdakwa dapat dilakukan dengan juru bahasa dan
penerjemah Pasal 177 KUHAP menentukan:
(1) jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim
ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji
akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
49
(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara,
ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara ini.
Darwan Prints60
,mengemukakan beberapa syarat yang harus dimiliki saksi
agar kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :
a. Syarat formal
Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu
diberikan dibawah sumpah;
b. Syarat materiil
Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah
sebagai alat pembuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah
cukup untuk alat pembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan.
Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah
adalah :
1. Syarat formil :
Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum
maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP).
2. Syarat materiil
a) Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana (Pasal 1
butir 26 atau 27 KUHAP).
b) Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (Pasal
1 butir 27 KUHAP).
c) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa/ asas ini terkenal dengan sebutan unus testis nullus testis (Pasal
185 ayat (2) KUHAP.
60
Darwan Prints, Op,Cit ,hlm. 108.
50
D. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak
pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang
dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit.
Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu,
ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Menurut Pompe61
, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang
Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :
a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah
suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ;
b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit”
adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di
atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua
pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu :
a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.
b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit”
adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan
sengaja atau alfa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
61
http://gsihaloho.blogspot.com
51
Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk
setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat
oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan
lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang
panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung
jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas
didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap
ada.
2. Pengertian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2009, dalam Pasal 1 angka (24 merumuskan :
“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga
dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna
Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda”
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :
59/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tersebut terdakwa adalah seorang anak, yang dikenakan
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni melakukan tindak pidana
yang karena kelalaian menyebabkan orang lain meninggal dunia dan diancam
dengan pidana selama satu tahun.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis.
Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep
ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
yaitu semua penelitian yang bertujuan menggambarkan objek yang diteliti,
yaitu objek tentang keterangan saksi yang tidak dihadirkan pada pemeriksaan
di persidangan yang digali secara mendalam aturan-aturannya (norma-
normanya) kemudian dideskripsikan tanpa maksud untuk mengambil suatu
kesimpulan yang berlaku secara umum.
3. Sumber Data
a. Data sekunder, yaitu berupa literatur-literatur, buku-buku, serta dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian.
b. Data primer, yaitu merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif artinya
memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan
52
53
yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
mendukung dalam penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara mempelajari
buku-buku, literatur-literatur maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan
materi penelitian.
5. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara
sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh
akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
6. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
kualitatif, yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis
berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan
dengan teori-teori hukum yang ada.
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dalam Putusan Nomor
:49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, tentang Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas,
diperoleh sebagai berikut:
1. Duduk Perkara
Terdakwa KF pada hari Selasa, tanggal 19 Oktober 2010 sekitar pukul
21.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Oktober
2010 bertempat di Jalan A.Yani ikut Desa Purwanegara Kecamatan
Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada tempat
lain masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto,
yang mengemudikan Kendaraan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaianya mengakibatkan orang lain meninggal dunia, perbuatan tersebut
dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB,
terdakwa keluar dari tempat kostan dengan mengendarai sepeda motor
Yamaha Vega R. No.Pol. B-6659-EKB dengan tujuan ketempat rental yang
berada di Karangjambu Kab.Banyumas.
Selanjutnya terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Vega R
No.Pol B-6659-EKB dengan kecepatan 40-50 km/jam dengan gigi
persneling II berada di Jalan A.Yani ikut Desa Purwanegara Kec.
54
55
Purwokerto Utara Kab.Banyumas dan keadaan jalan cuaca terang, kondisi
jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada jalan untuk memotong
jalan/jalan leter U.
Terdakwa pada saat mengendarai motor dalam keadaan terburu-buru,
lalu terdakwa mengendarai sepeda motornya dari arah selatan menuju ke
arah utara atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya terdakwa berada di
jalan sebelah timur ke arah selatan, kemudian terdakwa memotong jalan ke
jalan sebelah kiri atau barat.
Selanjutnya pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat
terdakwa melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara
yang jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak
mendahulukan laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong
jalan dan akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-S
yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO dengan kecepatan 40-50
km/jam masuk gigi persneling III, tidak bisa menghindari sepeda motor
yang dikendarai oleh terdakwa yang tiba-tiba berada di as atau marka jalan
sebelah barat.
Akibat dari tabrakan tersebut sepeda motor Yamaha Jupiter Z. No.Pol.
R-6943-S yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO yang
berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA tidak
sadarkan diri dan dirawat di RS Margono Soekarjo Purwokerto dan setelah
dilakukan perawatan akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA
IRIANA meninggal dunia.
56
Bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum
Daerah Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto No. 474.3/12770/IPJ/12-6-
2012 tanggal 09 Juni 2012 yang ditandatangani oleh dokter AGUS BUDI
SETIAWAN SpBS dengan hasil pemeriksaan ditemukan luka lecet pada
wajah akibat trauma tumpul, luka lecet pada perut akibat trauma tumpul,
ditemukan pula gegar otak pada kepala (contusio serebri) serta sembab otak
akibat trauma benda tumpul yang menyebabkan cedera kepala berat,
kematian diperkirakan karena cedera kepala berat akibat trauma tumpul
dikepala.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan uraian di atas, terdakwa melakukan tindak pidana karena
kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan
tunggal melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan yang mempunyai unsur-
unsur :
1. Setiap orang ;
2. Yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya ;
3. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia ;
1. Unsur Setiap orang ;
Yang dimaksud dengan Setiap orang adalah siapa saja yang
menunjuk sebagai Subyek Hukum ;
57
Penuntut Umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama
KHAIRIL FALAQ Bin SUTRISNO yang membenarkan identitasnya
seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah mendengar
keterangansaksi-saksi serta keterangan terdakwa dipersidangan didapat
fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka
telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar KHAIRIL FALAQ
Bin SUTRISNO;
Menurut pengamatan Majelis, selama pemeriksaan dipersidangan
Terdakwa sehat jasmani dan rohani, tidak sedang dibawah pengampuan,
mampu merespon jalannya persidangan dengan baik, sehingga dengan
demikian Terdakwa telah memenuhi kriteria sebagai subyek hukum
sehingga mampu untuk mendukung setiap hak dan kewajibannya oleh
karena itu dipandang mampu mempertanggung jawabkan atas segala
perbuatannya, dengan demikian unsur “ setiap orang“ telah terpenuhi
pada diri terdakwa;
2 . Yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya;
Berdasarkan fakta dipersidangan terungkap, pada hari Selasa
tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.30 wib telah terjadi kecelakaan
lalu-lintas antara sepeda motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB
dikendarai Terdakwa dengan sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol.R-
6943-S yang dikendarai saksi GABin YUSMANTO yang berboncengan
dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA dan peristiwa
58
tersebut terjadi di Jalan A Yani ikut Desa Purwanegara Kec. Purwokerto
Utara Kab. Banyumas.
Kecelakaan tersebut terjadi ketika terdakwa pada saat
mengendarai motor dalam keadaan terburu-buru, dan saat itu terdakwa
mengendarai sepeda motornya dari arah selatan menuju ke arah utara
atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya terdakwa berada di jalan
sebelah timur ke arah selatan, kemudian terdakwa menyeberang jalan dan
saat itu posisi sepeda motor terdakwa memotong jalan ke jalan sebelah
kiri atau barat.
Pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat terdakwa
melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara yang
jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak
mendahulukan laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong
jalan dan akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-
S yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO dengan kecepatan 40-
50 km/jam masuk gigi persneling III, tidak bisa menghindari sepeda
motor yang dikendarai oleh terdakwa yang tiba-tiba berada di as atau
marka jalan sebelah barat.
Akibat dari tabrakan tersebut pengendara sepeda motor Yamaha
Jupiter Z No.Pol R-6943-S saksi GABin YUSMANTO yang
berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA
tidak sadarkan diri dan dirawat di RS Margono Soekarjo Purwokerto dan
59
kondisi korban setelah dilakukan perawatan selama 13 hari akhirnya
korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA meninggal dunia.
Dari fakta dan pertimbangan diatas dapat diketahui Terdakwa
telah lalai dalam mengemudikan sepeda motor sehingga unsur kedua
telah terpenuhi.
3 .Unsur Mengakibatkan orang lain meninggal dunia;
Dari fakta-fakta hukum yang terungkap dari keterangan saksi-
saksi, keterangan terdakwa, alat bukti surat berupa visum et repertum
dan barang bukti maka akibat peristiwa kecelakaan lalu lintas yang
terjadi pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.00 wib
antara sepeda motor Yamaha Vega R No.Pol. B-6659-EKB yang
dikendarai Terdakwa dengan sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol.R-
6943-S yang dikendarai saksi GITAARISTIANTO Bin YUSMANTO
yang berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA
IRIANA dan peristiwa tersebut terjadi di Jalan A Yani ikut Desa
Purwanegara Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas telah
mengakibatkan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA meninggal
dunia :
Penyebab korban meninggal dunia pada dasarnya dapat diketahui
dari hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto No. 474.3/12770/IPJ/12-6-2012 tanggal
09 Juni 2012 yang ditanda tangani oleh dokter AGUS BUDI
SETIAWAN SpBS atas nama RENGGAR AFRA SABILA IRIANA ,
60
umur 14 tahun, jenis kelamin perempuan dengan hasil pemeriksaan
ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, luka lecet pada
perut akibat trauma tumpul, ditemukan pula gegar otak pada kepala
(contusio serebri) serta sembab otak akibat trauma benda tumpul yang
menyebabkan cedera kepala berat, kematian diperkirakan karena cedera
kepala berat akibat trauma tumpul dikepala.
Dari fakta hukum diatas maka dapat diketahui akibat kecelakaan
lalu-lintas antara sepeda motor yang dikendarai oleh terdakwa dengan
sepeda motor yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO yang
berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA
telah mengakibatkan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA
meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit selama 13 hari sehingga
dengan demikian unsur ketiga telah terpenuhi ;
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut diatas, Majelis telah
mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari bukti mana Majelis
memperoleh keyakinan bahwa terdakwa KHAIRIL FALAQ Bin
SUTRISNO, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut
Umum melanggar pasal 310 (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan karena tidak ditemukan
alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum dan alasan
pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri terdakwa, maka
61
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepada terdakwa harus dijatuhi
pidana.
Terhadap pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada
pokoknya hanya mohon keringan hukuman, maka pembelaan tersebut
akan dipertimbangkan bersama-sama dengan petimbangan mengenai hal-
hal yang meringankan dan penjatuhan pidana terhadap terdakwa juga
telah mempertimbangkan saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan
sebagaimana tertuang dalam berkas penelitian kemasyarakatan tertanggal
3 Februari 2012 dan juga permohonan dari orang tua terdakwa.
Karena selama pemeriksaan di persidangan tidak diajukan bukti-
bukti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak orang tua korban selama
korban dirawat di rumah sakit maka Pengadilan Negeri tidak dapat
memerintahkan kepada pihak terdakwa untuk mengganti biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak kelurga korban sebagaimana tercantum ketentuan
Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Karena selama pemeriksaan perkara ini terdakwa telah dikenakan
penahanan, maka lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Oleh karena tidak ada alasan yang sah yang dapat mengeluarkan
terdakwa dari tahanan maka diperintahkan agar terdakwa tetap ditahan.
Oleh karena terdakwa telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana
maka kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara seperti yang
tercantum dalam amar putusan.
62
3. Pembuktian
a. Keterangan Saksi
1. Saksi IR, memberikan keteranganbahwa :
Saksi tidak kenal dengan Terdakwa, saksi adalah orang tua dari
RAFRA SABILA IRIANA yaitu korban yang meninggal dunia dalam
kecelakaan lalu-lintas antara sepeda motor yang dikendarai terdakwa
dan sepeda motor yang dikendarai GA.
Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.45 WIB
diberitahu oleh saudara ADIT teman les anak saksi yang
memberitahukan bahwa anak yang bernama RENGGAR AFRA
SABILA IRIANA mengalami kecelakaan lalu-lintas di Jalan Ahmad
Yani Purwokerto dan sudah dibawa ke RSU Margono Sukarjo
Purwokerto dan saksi langsung datang ke rumah sakit tersebut untuk
melihatnya.
Ketika saksi sampai di Rumah Sakit Margono Sukarjo, saksi
melihat anaknya yaitu RENGGAR AFRA SABILA yang kondisinya
tidak sadar dan ada luka bagian muka dan setelah dirawat selama 13
hari dirumah sakit akhirnya meninggal dunia.
Saksi tidak mengetahui langsung kejadiannya. Menurut keterangan
yang saksi peroleh di Kepolisian bahwa pada waktu kejadian
kecelakaan membonceng sepeda motor sdr. GA. Dari pihak terdakwa
maupun keluarganya tidak ada yang datang meminta maaf atau
63
memberikan santunan kepada saksi.Saksi menyerahkan perkara ini
untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Saksi GA bin Y,memberikan keterangan bahwa :
Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.30 WIB
telah terjadi kecelakaan lalu lintas antara sepeda motor Yamaha Vega
No.Pol. B-6659-EKB yang dikendarai terdakwa dengan sepeda motor
Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-S yang dikendarai oleh saksi
berboncengan dengan RENGGAR AFRA SABILA IRIANA di Jalan
A Yani ikut Desa Purwanegara Kecamatan Purwokerto Utara
Kabupaten Banyumas. Awalnya saksi menjemput korban RENGGAR
AFRA SABILA IRIANA untuk pergi les di Biper Sawangan
Purwokerto tidak minta ijin orang tuanya.
Setelah selesai mengikuti les saksi memboncengkan korban
RENGGAR AFRA SABILA IRIANA pulang dengan mengambil
jalan muter lewat alun-alun Purwokerto dan melalui jalan A.Yani ikut
Desa Purwanegara Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten
Banyumas.
Kecepatan kendaraan yang saksi kendarai sekitar 35 km/jam masuk
gigi 3.Pada saat kendaraan saksi melaju dari arah selatan menuju utara
ditabrak oleh terdakwa yang datang arah timur dan mengenai sepeda
motor saksi pada bagian samping sebelah kanan sehingga saksi dan
korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA jatuh terseret dan
terpental.
64
Akibat kecelakaan tersebut RENGGAR AFRA SABILA IRIANA
yang terseret dan jatuh terpental kemudian tidak sadarkan diri dan
setelah dirawat dirumah sakit umum Margono Soekarjo Purwokerto
selama 13 hari akhirnya meninggal dunia.Ditempat kejadian kondisi
jalan datar, ada lampu penerangan jalan dan sepi tidak turun hujan.
Sebelumnya saksi tidak melihat ada sepeda motor terdakwa, karena
saksi sedang ngobrol dengan korban RENGGAR AFRA SABILA
IRIANA dan terdakwa tidak menyalakan lampu depan.
3. Saksi S bin S,memberikan keterangan :
Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010, pukul 21.30 WIB, di
jalan A. Yani ikut Desa Sokanegara Kecamatan Purwokerto Timur,
Kabupaten Banyumas telah terjadi peristiwa kecelakaan lalu-lintas.
Peristiwa kecelakaan lalu-lintas tersebut terjadi antara Sepeda
Motor Yamaha Yupiter Z No.pol. R-6983 S dengan motor Yamaha
Vega No.Pol. B-6659-EKB.Sewaktu ada kejadian kecelakaan lalu-
lintas tersebut saksi sedang berdiri di warung rokok milik Bapak
Godar yang posisinya disebelah utara jalan tempat terjadinya
kecelakaan lalu-lintas tersebut.
Saksi melihat dan mendengar langsung kejadian kecelakaan lalu-
lintas antara sepeda Motor Yamaha Yupiter Z No.pol. R-6983 S
dengan motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659 EKB tersebut.
65
Menurut saksi jarak warung pak Godar ditempat saksi berdiri
dengan jalan raya A Yani tempat terjadinya kecelakaan lalu-lintas
tersebut antara 60 meter.
Sebelum terjadi kecelakaan lalu-lintas sepeda motor Yamaha
Jupiter Z No.Pol.R-6843-S datang dari arah selatan ke utara
sedangkan untuk sepeda motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB
datang dari arah selatan ke utara namun melewati lajur sebelah timur
(melawan arus) dan langsung memotong jalan lajur sebelah barat.
Sebelum terjadi kecelakaan lalu-lintas di lajur sebelah barat banyak
sepeda motor yang lewat (arus lalu-lintas ramai).Titik tabrak antara
sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol.R-6983-S dengan sepeda
motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB disebelah barat as marka
jalan.
Setelah terjadi tabrakan sepeda motor Yamaha Vega B-6659-EKB
berikut pengendaranya jatuh ke arah utara dari titik bentur antara 3
meter, sedangkan pengendara Yamaha Jupiter Z R-6943-S berikut
pemboncengnya berada di sebelah utaranya.
Akibat dari kecelakaan lalu-lintas tersebut ada korban dua orang
meninggal dunia yaitu satu laki-laki dan satu perempuan yang
mengalami luka-luka cukup parah pada bagian kepala.Kecelakaan
lalu-lintas tersebut bisa terjadi disebabkan karena faktor sepeda motor
Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB sewaktu masuk memotong jalan
66
ke lajur barat dengan cara memaksakan padahal arus lalu-lintas
sedang ramai sepeda motor.
Dipersidangan terdakwa telah mengajukan 2 (dua) orang saksi
yang menguntungkan Terdakwa ( A De Charge ) yang masing-masing
telah memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya
berikut:
1. Saksi DJUREMI : (saksi A De Charge )
Saksi pekerjaannya sebagai Guru BK di SMK Negeri III
Purwokerto dengan tugas sebagai guru BK. Saksi kenal dengan
Terdakwa karena tercatat sebagai salah satu siswa di SMK N III
Purwokerto jurusan Jasa Boga.
Sekarang terdakwa sudah lulus dan tamat sekolah dan telah bekerja
di Hotel Aston Purwokerto.Selama sekolah terdakwa mempunyai
perilaku yang baik tidak ada catatan kenakalan dan mempunyai sifat
penurut (manut tidak neko-neko).
Perilaku terdakwa di luar sekolah terpantau tidak pernah ada
masalah.Setahu saksi terdakwa diajukan dipersidangan ini karena ada
masalah kecelakaan lalu-lintas dan korban yang meninggal dunia
bernama RENGGAR seorang anak perempuan putra dari pak Irianto.
Pada saat terjadi kecelakaan tahun 2010 terdakwa masih kelas II
SMK N III Purwokerto. Saksi yang ditunjuk oleh sekolah untuk
melakukan mediasi antara terdakwa dan keluarganya dengan keluarga
korban pak IRIANTO. Saksi selaku guru BK diberi amanat oleh
67
sekolah telah berkali-kali mengantar keluarga terdakwa menemui
keluarga korban untuk melakukan upaya perdamaian tetapi selalu
ditolak oleh pak IRIANTO dan menganggap terdakwa yang salah.
Saksi mengetahui keluarga terdakwa pernah memberikan uang
duka dalam amplop tetapi ditolak oleh keluarga korban.
Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menyatakan benar.
2. Saksi LAKSMI WATI :
Saksi pekerjaanya sebagai guru di SMK Negeri III Purwokerto
dengan tugas sebagai wali kelas terdakwa di kelas II jurusan Jasa
Boga.Saksi kenal dengan terdakwa karena tercatat sebagai salah satu
siswa di SMK N III Purwokerto jurusan Jasa Boga.
Sekarang terdakwa sudah lulus dan tamat sekolah dan telah
bekerja di Hotel Aston Purwokerto. Selama sekolah terdakwa
mempunyai perilaku yang baik tidak ada catatan kenakalan dan
mempunyai kegiatan ekstra kurikuler bidang kesenian.
Perilaku terdakwa di luar sekolah terpantau tidak pernah ada
masalah. Setahu saksi terdakwa diajukan dipersidangan ini karena ada
masalah kecelakaan lalu-lintas dan korban yang meninggal dunia
bernama RENGGAR seorang anak perempuan putra dari pak
IRIANTO.
Pada saat terjadi kecelakaan tahun 2010 terdakwa masih kelas II
SMK 3 Purwokerto. Sekolah pernah memfasilitasi upaya perdamaian
antara keluarga terdakwa dengan keluarga korban dan Pak DJUREMI
68
yang ditunjuk oleh sekolah untuk melakukan mediasi antara terdakwa
dan keluarganya dengan keluarga korban pak Irianto.
Setahu saksi selaku guru BK yang diberi amanat oleh sekolah
pak DJUMERI telah berkali-kali mengantar keluarga terdakwa
menemui keluarga korban untuk melakukan upaya perdamaian tetapi
selalu ditolak oleh pak IRIANTO dan menganggap terdakwa yang
salah.
Surat
Berdasarkan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Daerah
Prof.Dr.Margono Soekarjo Purwokerto No.474.3/12770/IPJ/12-6-
2012 tanggal 09 Juni 2012 yang ditanda tangani oleh dokter AGUS
BUDI SETIAWAN SpBS atas nama RENGGAR AFRA SABILA
IRIANA, umur 14 tahun, jenis kelamin perempuan dengan hasil
pemeriksaan ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul,
luka lecet pada perut akibat trauma tumpul, ditemukan pula gegar otak
pada kepala (contusio serebri) serta sembab otak akibat trauma benda
tumpul yang menyebabkan cedera kepala berat, kematian diperkirakan
karena cedera kepala berat akibat trauma tumpul di kepala.
Barang Bukti :
a. 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R-6943-S;
b. 1 (satu)buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R-6943-
S;
c. 1(satu) unit sepeda motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB;
69
d.1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No.Pol. B-6659-
EKB.
b. Keterangan Terdakwa
Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Pada hari Selasa, tanggal 19 Oktober 2010, pukul 21.00 WIB,
terdakwa keluar dari tempat kostan dengan mengendarai sepeda motor
Yamaha Vega R No.Pol. B-6659-EKB dengan tujuan ketempat rental
yang berada di Desa Karangjambu Kecamatan Purwokerto Utara
Kab.Banyumas.
Pada saat itu terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Vega
R No.Pol B-6659-EKB dengan kecepatan 40-50 km/jam dengan gigi
persneling II di Jalan A Yani ikut Desa Purwanegara Kec.Purwokerto
Utara Kab.Banyumas pada saat itu keadaan jalan cuaca terang, kondisi
jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada jalan untuk memotong jalan
atau jalan leter U.
Pada saat mengendarai motor terdakwa dalam keadaan terburu-
buru, lalu terdakwa mengendarai sepeda motornya dari arah selatan
menuju ke arah utara atau melawan arus lalu- lintas. Seharusnya
terdakwa berada di Jalan A. Yani sebelah timur ke arah selatan.
Kemudian terdakwa memotong jalan ke jalan sebelah kiri atau barat.
Pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat terdakwa
melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara yang
jaraknya kurang lebih 4-5 meter, terdakwa langsung memotong jalan dan
akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-S yang
70
dikendarai oleh saksi GA Bin Y menabrak dari belakang dan menyeret
sepeda motor terdakwa.
Akibat dari tabrakan tersebut pengendara sepeda motor Yamaha
Jupiter Z No.Pol R-6943-S yaitu saksi GA Bin Y yang berboncengan
dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA jatuh tidak
sadarkan diri.
Setelah dilakukan perawatan selama 13 hari di RSU Margono
Soekarjo akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA
meninggal dunia.
Keluarga terdakwa yang didampingi oleh pihak SMK NIII
Purwokerto telah berusaha meminta maaf dan memberikan uang duka
kepada keluarga korban akan tetapi selalu ditolak.
Terdakwa mengaku bersalah dan berjanji untuk tidak mengulangi
perbuatannya dan akan lebih berhati-hati dikemudian hari. Serta
terdakwa mengaku belum pernah dihukum dan terdakwa sebagai anak
tertua diharapkan dapat membantu ekonomi keluargannya.
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutus
sebagai berikut :
a. Menyatakan terdakwa (KF) telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan
orang lain meninggal dunia”, sebagaimana diatur dan diancam dalam
71
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan ;
b. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa KF Bin S selama 6
(enam) bulan dikurangi selama waktu terdakwa menjalani tahanan
sementara memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
c. Menyatakan barang bukti berupa:
- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R- 6943 –S.
- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R- 6943-S
Dikembalikan kepada saksi GA Bin Y.
- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB
- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-
EKB dikembalikan kepada terdakwa KF Bin S.
d. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp
1.000,- (seribu rupiah) ;
Putusan Hakim Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi, keterangan ahli,
keterangan saksi A De Charge, keterangan terdakwa dihubungkan dengan
barangbukti yang diajukan dipersidangan maka ditemukanfakta-fakta hukum
sebagai berikut :
1. Bahwa benar, terdakwa pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar
pukul 21.00 WIB,terdakwa keluar dari tempat kostan dengan
mengendarai sepeda motor YamahaVega R No. Pol. B-6659-EKB
72
dengan tujuan ketempat rental yang berada di Desa Karang jambu
Kab.Banyumas.
2. Bahwa selanjutnya terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Vega R
No.Pol B-6659-EKB dengan kecepatan 40-50 km/jam dengan gigi
persneling II berada di Jalan A. Yani ikut Desa Purwanegara
Kec.Purwokerto Utara Kab.Banyumas dan keadaan jalan cuaca terang,
kondisi jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada jalan untuk
memotong jalan / jalan leter U.
3. Bahwa terdakwa pada saat mengendarai motor dalam keadaan terburu-
buru, lalu terdakwa mengendarai sepeda motornya dari arah selatan
menuju ke arah utara atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya
terdakwa berada di jalan sebelah timur ke arah selatan, kemudian
terdakwa memotong jalan ke jalan sebelah kiri/barat.
4. Bahwa selanjutnya pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat
terdakwa melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara
yang jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak
mendahulukan laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong
jalan dan akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-
S yang dikendarai oleh saksi GA Bin Y dengan kecepatan 40-50 km/jam
masuk gigi persneling III, tidak bisa menghindari sepeda motor yang
dikendarai oleh terdakwa yang tiba-tiba berada di as atau marka jalan
sebelah barat.
73
5. Bahwa akibat dari tabrakan tersebut pengendara sepeda motor Yamaha
Jupiter Z No.Pol R-6943-S saksi GA Bin Y yang berboncengan dengan
korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA tidak sadarkan diri dan
dirawat di RS Margono Soekarjo Purwokerto dan setelah dilakukan
perawatan selama 13 hari akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA
IRIANA meninggal dunia.
6. Bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum Daerah
Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto No. 474.3/12770/IPJ/12-6-2012
tanggal 09 Juni 2012 yang ditanda tangani oleh dokter AGUS BUDI
SETIAWAN SpBS atas nama RENGGAR AFRA SABILA IRIANA ,
umur 14 tahun, jenis kelamin perempuan dengan hasil pemeriksaan
ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, luka lecet pada
perut akibat trauma tumpul, ditemukan pula gegar otak pada kepala
(contusio serebri) serta sembab otak akibat trauma benda tumpul yang
menyebabkan cedera kepala berat, kematian diperkirakan karena cedera
kepala berat akibat trauma tumpul dikepala.
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut
diatas, Majelis telah mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari
bukti mana Majelis memperoleh keyakinan bahwa terdakwa KF Bin S,
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum melanggar pasal
310 (4) Undang-Undang Nomor22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan , dan karena tidak ditemukan alasan pemaaf yang
74
meniadakan sifat melawan hukum dan alasan pembenar yang
meniadakan kesalahan dalam diri terdakwa, maka terdakwa harus
dinyatakan bersalah dan kepada terdakwa harus dijatuhi pidana;
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Penasihat Hukum
Terdakwa yang pada pokoknya hanya mohon keringan hukuman, maka
pembelaan tersebut akan dipertimbangkan bersama-sama dengan
petimbangan mengenai hal-hal yang meringankan dan penjatuhan pidana
terhadap terdakwa juga telah mempertimbangkan saran-saran dari
pembimbing kemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam berkas
penelitian kemasyarakatan tertanggal 3 Februari 2012 dan juga
permohonan dari orang tua terdakwa;
Menimbang, bahwa karena selama pemeriksaan di persidangan
tidak diajukan bukti-bukti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak orang
tua korban selama korban dirawat di rumah sakit maka Pengadilan
Negeri tidak dapat memerintahkan kepada pihak terdakwa untuk
mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak kelurga korban
sebagaimana tercantum ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22
tahun 2009;
Menimbang, bahwa karena selama pemeriksaan perkara ini
terdakwa telah dikenakan penahanan, maka lamanya terdakwa berada
dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
75
Menimbang, bahwa oleh karena tidak ada alasan yang sah yang
dapat mengeluarkan terdakwa dari tahanan maka diperintahkan agar
terdakwa tetap ditahan;
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti bersalah
dan dijatuhi pidana maka kepadanya dibebani untuk membayar biaya
perkara seperti yang tercantum dalam amar putusan dibawah;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan akan
dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa:
Hal-hal yang memberatkan :
a. Kelalaian terdakwa mengakibatkan korban meninggal dunia ;
Hal-hal yang meringankan :
b.Terdakwa belum pernah dihukum;
c. Terdakwa selalu hadir dan sopan dalam persidangan:
d.Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan menyesali perbuatannya;
e.Terdakwa berkategori terdakwa anak sehingga masih dimungkinkan untuk
memperbaiki dirinya dikemudian hari;
f.Terdakwa dikenal baik di lingkungan sekolah dan tidak ada catatan buruk di
sekolah;
g.Terdakwa sebagai anak tertua diharapkan dapat membantu ekonomi
keluarganya;
h.Bahwa keluarga Terdakwa telah berusaha berkali-kali menemui keluarga
korban untuk mencari kesepakatan damai.
76
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas Majelis berkeyakinan bahwa pidana yang akan dijatuhkan dalam amar
putusan dibawah, telah setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa :
- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R- 6943 –S.
- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R- 6943-S
Adalah milik saksi GA Bin Y maka harus dikembalikan kepada saksi GA
Bin Y.
- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB
- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB
Adalah milik terdakwa KF Bin S maka harus dikembalikan kepada Terdakwa
KF Bin S.
Mengingat, Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
jo Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta
pasal-pasal dari undang-undang dan peraturan lain yang bersangkutan ;
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan terhadap
terdakwa yaitu:
1. Menyatakan terdakwa: KF Bin S, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “KARENA KELALAIANNYA
MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA ”.
77
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa tersebut dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp
500.000,-- (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa
tidak dapat membayar pidana denda tersebut maka dapat diganti dengan
wajib latihan kerja selama 15 (lima belas) hari.;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4.Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
a.1 (satu) unit sepada motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R- 6943 –S;
b.1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R- 6943-
S dikembalikan kepada saksi GA Bin Y;
c.1(satu) unit sepada motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB;
d.1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-
EKBdikembalikan kepada Terdakwa KF Bin S.
6.Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 1.000,--
(seribu rupiah).
B. Pembahasan
1. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge dalam
tindak pidana kecelakaan lalu lintas pada Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto.
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
78
dilarangdan diancam dengan pidana. Moeljatno62
menggunakan istilah
perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai berikut:
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.”
Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT
telah terjadi tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang
lain meninggal dunia. Awal mulanya terdakwa yang masih berstatus pelajar
dari SMK N III Purwokerto itu keluar dari kostan dengan mengendarai sepeda
motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB. Kendaraan yang dikendarai
dengan kecepatan 40-50 km/jam yang pada waktu itu berada di Jalan A.Yani
Desa Purwanegara Kec.Purwokerto Utara Kab.Banyumas dan pada saat itu
keadaan jalan cuaca terang, kondisi jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada
jalan untuk memotong jalan / jalan leter U. Saat itu mengendarai dalam
keadaan terburu-buru lalu mengendarai dari arah selatan menuju ke arah utara
atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya terdakwa berada di jalan
sebelah timur ke arah selatan, kemudian terdakwa memotong jalan ke jalan
sebelah kiri atau barat. Selanjutnya pada saat terdakwa memotong jalan sebelah
barat terdakwa melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara
yang jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak mendahulukan
laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong jalan dan akhirnya
laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No Pol. R-6943-S yang dikendarai oleh
saksi GA Bin Y dengan kecepatan 40-50 km/jam masuk gigi persneling III
62
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm.54
79
sudah tidak bisa menghindari sepeda motor yang dikendarai oleh tedakwa yang
tiba-tiba berada di as atau marka jalan sebelah barat. Akibat dari tabrakan
tersebut sepeda motor yang dikendarai oleh saksi GA Bin Y yang
berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA tidak
sadarkan diri dan dirawat di RS Margono Soekardjo Purwokerto dan setelah
dilakukan perawatan akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA
meninggal dunia.Penasihat Hukum Terdakwa dalam Putusan
Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT menghadirkan 2 orang saksi A De Charge
yaitu saksi DJUREMI dan saksi LAKSMI WATI yang mana terdakwa
mempunyai hak untukmenghadirikan saksi yang menguntungkan dalam
persidangan, hal ini sesuai denganketentuan Pasal 65 KUHAP yang menjadi
dasar dihadirkannya saksi A De Charge. Membuktikan ada tidaknya tindak
pidana dapat diketahui dengan cara pembuktian di sidang pengadilan tentunya
setelah proses pemeriksaan dikepolisian.
Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam mengungkapkan
suatu tindakpidana. Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril63
:
“Proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah
ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari
hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan
alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus
dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena
itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan masalah pembuktian.”
Sedangkan Leden Marpaung64
menyatakan bahwa :
63
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, OP,Cit. hlm. 102-103. 64
Leden Marpaung, Op,Cit. hlm. 22-23.
80
“Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh Pengadilan
dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh Pengadilan
Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Sebelumnya seseorang
diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal
ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of
innocence). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan
harus dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut. Untuk
menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti”
dimaksud untuk menentukan “kebenaran.”
Seorang hakim dalam melakukan pembuktian harus benar-benar
memilikikecermatan dan kehati-hatian karena keputusan yang akan diambilnya
berhubungandengan nasib seorang yang didakwa melakukan tindak pidana.
Jangan sampai iamengambil keputusan yang keliru karena akan menyebabkan
penderitaan bagi orangyang tidak bersalah. Menurut R.Soesilo65
, hakim dalam
memeriksa suatu perkarapidana didalam pengadilan senantiasa berusaha
membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi;
b. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana;
c. Apakah sebabnya peristiwa-peristiwa itu terjadi;
d. Siapakah orang yang telah bersalah berbuat peristiwa itu.
Upaya Hakim untuk membuktikan kebenaran yang selengkap-lengkapnya
tentang suatu perkara pidana dipandu oleh KUHAP, diantaranya tersebut dalam
Pasal 183 KUHAP sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
65
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut
KUHAP Bagi Penegak Hukum), bogor, Politeia, 1982. hlm. 109
81
Majelis hakim yang hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam
putusan yang akan dijatuhkan, harus menguji kebenaran itu dengan alat bukti,
dengan cara, dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat
bukti yang ditemukan. Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang
akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang secara limitatif sebagaimana yang disebut dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti dilakukan dalam batas-batas
yang dibenarkan undang-undang, agar dapat mewujudkan kebenaran materiil.
Kebenaran yang diwujudkan dalam putusan harus berdasar pada hasil perolehan
dan penjabaran yang tidak keluar dari garis yangdibenarkan sistem pembuktian,
dan tidak diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Alat bukti yang
dihadirkan di persidangan harus saling bersesuaian satu sama lain, tidak boleh
saling berdiri sendiri.
Alat-alat bukti sangat diperlukan dalam persidangan, oleh karena itu
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi, dan bahwa
terdakwalah yang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tersebut.
Dengan demikian alat bukti itu adalah sangatpenting di dalam usaha penemuan
kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan
tersebut. Alat bukti pertama yang sah menurut KUHAP adalah keterangan saksi,
82
pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling
utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana
yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua
pembuktian perkara pidana, selalu disadarkan kepada pemeriksaan keterangan
saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.66
Menjadi saksi dalam suatu perkara pidana merupakan kewajiban hukum
bagi setiap orang. Tapi KUHAP memberikan beberapa pengecualian, ada
beberapa orang yang dibebaskan dari kewajiban tersebut. Orang-orang yang
dikecualikan oleh KUHAP untuk menjadi saksi adalah sebagai berikut:
i. Karena hubungan keluarga atau saudara atau perkawinan ( Pasal 168
KUHAP );
ii.Karena memegang pekerjaan, harkat martabat atau jabatan yang diwajibkan
menyimpan rahasia (Pasal 170 KUHAP);
iii.Karena umur belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau
merekayang sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali (Pasal 171
KUHAP).
Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, Terdakwa telah mengajukan
alat bukti keterangan saksi A De Charge berjumlah 2 orang yaitu Djuremi, dan
Laksmi Wati. Saksi-saksi yang diajukan oleh terdakwa dalam perkara tersebut
telah memberi keterangan mengenai apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami
sendiri tentang suatu kejadian pidana. Agar keterangan saksi dapat bernilai
66M. Yahya, Harahap. Op. Cit. hlm. 286
83
sebagai alat bukti, maka suatu keterangan saksi harus memenuhi syarat yang
ditentukan dalam undang-undang. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan
pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai
nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan
yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.
Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat
bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, menurut M. Yahaya
Harahap67
dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
a. harus mengucapkan sumpah atau janji;
b. keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti;
c. keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;
d. keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup;
e. keterangan beberapa saksi berdiri sendiri.
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji
Undang-undang menentukan agar keterangan saksi dianggap sah dan
mempunyai kekuatan pembuktian maka seorang saksi harus mengucapkan
sumpah atau janji, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 160 ayat (3)
KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3)KUHAP maka dapat diambil
suat kesimpulan dalam pemeriksaan disidang pengadilan, saksi yang hendak
memberikan keterangan dimuka persidangan haruslah mengucapkan sumpah
67
Ibid. hlm. 286- 289
84
terlebih dahulu sebelum memberikan keterangannya tersebut. Pengucapan
sumpah ini merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan oleh saksi sebelum
memberikan keterangannya.
Hal ini ditegaskan dengan kalimat “sebelum memberi keterangan, saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-
masing”. Dari kutipan kalimat yang terdapat dalam Pasal 160 ayat ( 3 )
KUHAP tersebut maka jelaslah dapat dikatakan bahwa KUHAP menuntut agar
mewajibkan seorang saksi mengucapkan sumpah atau janji sebelum
memberikan keterangan. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut
agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada
sebenarnya.
Menurut Andi Hamzah68
:
“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau tidak
mengucapkan janji, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, tetapi
hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim.”
Namun dalam hal lain jika dianggap perlu pengadilan dapat meminta
seorang saksi atau ahli untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi atau
ahli tersebut selesai memberikan keterangan, hal ini dirumuskan dalam Pasal
160 ayat (4)KUHAP yang berbunyi:
“Jika dianggap perlu seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau
berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan keterangan.”
68
Andi Hamzah, Op,Cit, hlm. 240
85
Berdasarkan pemeriksaan dipersidangan, maka saksi A De Charge yang
terdapat dalam Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, yang diajukan oleh
penasihat hukum terdakwa yaitu saksi Djuremi dan Laksmi Wati semuanya
telah diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangan di depan
persidangan oleh hakim yang memeriksa sehingga telah memenuhi syarat dan
ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dengan demikian saksi A De Charge
yang diajukan oleh terdakwa telah sah untuk diajukan sebagai alat bukti.
b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti, tidak semua keterangan saksi
yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.Keterangan saksi yang mempunyai
nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelakan Pasal 1 angka 27
KUHAP, yaitu:
1. Yang saksi liat sendiri,
2. Saksi dengar sendiri,
3. Dan saksi alami sendiri,
4. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN.PWT yang diberikan dalam persidangan adalah
keterangan yang saksi dengar, saksi lihat dan saksi alami sendiri serta
menyebut alasan daripengetahuannya itu, yaitu mengenai fakta yang dilakukan
terdakwa. Berdasarkan hal tersebut maka keterangan yang saksi A De Charge
berikan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP, sehingga
keterangan saksi A De Charge dalamPutusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN.PWT adalah keterangan yang mempunyai nilai sebagai
alat bukti yang sah yang dapat digunakan oleh hakim sebagai dasar
86
pertimbangan untuk menentukan keyakinan tetang bersalah atau tidaknya
terdakwa.
c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu
harus dinyatakan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penegasan Pasal
185 ayat (1)KUHAP, yaitu:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.”
Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya
sendiri,dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa
pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi
nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar
sidang pengadilan ( outside the Court ) bukan alat bukti, tidak dapat
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
M. Yahya Harahap69
, menyatakan:
“Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan, bukan alat bukti
tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa,
sekalipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum ada mendengar keterangan seorang yang berhubungan dengan
peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan itu mereka dengar
di halaman kantor pengadilan atau keterangan itu disampaikan oleh
seseorang kepada hakim dirumah tempat tinggalnya. Keterangan yang
demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan itu tidak
dinyatakan di sidang pengadilan.”
Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan
Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, semuanya diberikan di sidang pengadilan
dengan mengucapkan sumpah terlebih dulu untuk memberikan keterangan
69
M. Yahya, Harahap. Op. Cit .hlm. 810
87
yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Berdasarkan hal
tersebut maka ketentuanPasal 185 ayat (1)KUHAP, bahwa keterangan saksi
harus diberikan di sidang pengadilan telah terpenuhi, sehingga keterangan
saksi A De Charge dalam PutusanNomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT
merupakan alat bukti sah yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan putusannya.
d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Pasal 183 KUHAP merumuskan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan
kesalahan seorang terdakwa, harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-
kurangnya dengan duaalat bukti. Jadi, betitik tolak dari ketentuan Pasal 185
ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai
alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus
testis”.
M. Yahya Harahap70
menyatakan:
“Jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari
seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau
alat bukti yang lain, atau kesaksian tunggal, yang seperti ini tidak dapat
dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.”
Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT terdapat beberapa alat bukti
yang diajukan di persidangan, diantaranya alat bukti 3 keterangan saksi yang
70
Ibid, hlm. 288
88
diajukanoleh penuntut umum atau saksi A Charge, keterangan ahli, dan 2
keterangan saksi yang diajukan oleh terdakwa atau saksi A De Charge, dan
juga keterangan terdakwa. Dengan demikian telah terpenuhi ketentuan
minimum pembuktian dan “the degree of evidence”, yakni keterangan saksi
ditambah dengan, keterangan ahli yaitu hasil Visum Et Repertum, dan
keterangan saksi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa danalat bukti
keterangan terdakwa.
e. Keterangan beberapa saksi berdiri sendiri.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri diatur dalam Pasal 185 ayat ( 4 ) ,
yang menegaskan:
i. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan syarat,
ii. Apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.71
M. Yahya Harahap72
menyatakan:
“Keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti
serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi
tersebut saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu
keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa orang saksi yang
berdiri sendiri sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain,
tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.”
Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, yang terdiri dari 2 orang yaitu saksi Djuremi, dan
71
M. Yahya, Harahap. Op. Cit .hlm .290 72
M. Yahya, Harahap. Loc.Cit.
89
Laksmi Wati, semuanya saling berhubungan yaitu bahwa mereka sama-sama
bekerja sebagai guru di SMK N 3 Purwokerto dan terdakwa pada waktu itu
masih berstatus sebagai siswa di SMK N 3 Purwokerto. Saksi Laksmi Wati
adalah wali kelas dari terdakwa. Sehingga mengetahui sikap terdakwa sewaktu
di sekolah. Hal tersebut juga berkaitan dengan keterangan saksi yang diajukan
oleh penuntut umum atau saksi A Charge. Berdasarkan hal tersebut antara
saksi A Charge dan saksi A De Charge memiliki hubungan serta saling
menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Sehingga
keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, telah memenuhi ketentuan Pasal 185 ayat (4)
KUHAP sehingga dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah dalam
persidangan.
Hal lain yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena dikenal adanya
asas unus testisnullus testis dimana kesaksian yang berdiri sendiri oleh seorang
saksi saja bukan merupakan alat bukti.
Pasal 185 ayat ( 2 ) KUHAP merumuskan :
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.”
Menurut Syaiful Bakhri73
dapat diambil suatu pengertian:
1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
73
Dr. Syaiful Bakhri.S.H.,MH. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik,
file:///E://beban-pembuktian-dalam-beberapa-praktik.html, diakses tgl 1 Juni 2014, pukul 17.37
WIB.
90
2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian
tunggal itu harus mencukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti
yang lain.
Saksi A De Charge yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa
berjumlah 2 orang yang semuanya memberikan keterangan atas apa yang ia
lihat, ia dengar dan ia alami sendiri dan kesemuanya memberikan keterangan
dibawah sumpah dan antara keterangan yang satu dengan yang lain terdapat
persesuaian dan tidak berdiri sendiri.
Maka dapat dikatakan bahwa saksi A De Charge tersebut tidak melanggar
Pasal 185ayat (2) KUHAP.
Darwan Prints74
, mengemukakan beberapa syarat yang harus dimiliki
saksi agar kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :
a. Syarat formal
Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu
diberikan dibawah sumpah;
b. Syarat materiil
Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup
untuk alat pembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan.
Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah
adalah :
1. Syarat formil :
Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum
maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4)
KUHAP).
2. Syarat materil
74
Prints Darwan, Op,Cit, hlm 108.
91
a. Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana (
Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP ).
b. Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (
Pasal 1 butir 27 KUHAP ).
c. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa/ asas ini terkenal dengan sebutan unus testis
nullus testis (Pasal 185ayat (2) KUHAP.
Walaupun sudah memenuhi syarat materiil dan formil, hakim tidak
mempunyai ikatan untuk memakai keterangan saksi, hakim bebas memakai
alat bukti yang ia yakini. Saksi biasanya diberi kesempatan oleh hakim untuk
menceritakan tentang apa yang dia alaminya, dilihatnya atau didengarnya
secara bebas, selanjutnya hakim ketua dapat menanyakan hal-hal yang lebih
spesifik, baik dengan berpedoman pada hasil pemeriksaan penyidik yang
tercatat dalam berita acara penyidikan maupun pertanyaan baru.75
Menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, harus
terdapat saling berhubungan antara keterangan-keterangan tersebut, sehingga
dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran
keterangan para saksi,Pasal 185 ayat (6) KUHAP menuntut kewaspadaan
hakim, untuk sungguh-sungguh memperhatikan:
75
Wisnubroto, Op,Cit hlm.17.
92
1. Persesuaian antara keterangan saksi;
Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan
hakim yang harus diuraikan secara terperinci dan sistematis.
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;
Apabila yang diajukan penuntut umum dalam persidangan terdiri dari
saksidengan alat bukti lain baik berupa ahli, surat atau petunjuk hakim
dalam sidang ataupun pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-
sungguh saling bersesuaian atau bertentangan antara keterangan saksi itu
dengan alat bukti lain.
3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu; Hakim harus mencari alasan
saksi tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti maka akan memberikan
gambaran yang kabur bagi hakim tentang gambaran yang diberikan oleh
saksi.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi tidaknya keterangan itu dipercaya. Barangkali yang
terpenting diperhatikan hakim dalam menilai cara hidup dankesusilaan
saksi adalah yang menyangkut nilai-nilai kepribadian dan akhlak saksi
yang bersangkutan. Termasuk didalamnya kejujuran, keimanan,
ketakwaan, maupun yang berkenaan dengan sifat-sifat buruk yang sering
diperlihatkan saksi seperti culas, dengki, pembohong, suka memfitnah dan
lain sebagainya.
Kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge adalah sama dengan
kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diajukan oleh penuntut umum.
93
Menurut M. Yahya Harahap76
kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai
alat bukti yang sah adalah:
1. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas, pada alat bukti kesaksian
“tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig
bewijskracht), dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan
pembuktian yang mengikat dan menentukan ( beslissende
bewijskracht).
Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai
nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh karena itu, alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan
pembuktian yang menentukan.
2. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim, alat
bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk
menilai kesempurnaan dan kebenarannya.
Sistem pembuktian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas
menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk), hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya
seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang
dan keyakinan hakim sendiri. Jadi, didalam sistem negatif ada dua hal yang
merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan
pendapatnya Alfitra77
Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang
undang.
Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti
tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Apabila salah satu unsur diantara dua unsur itu tidak ada, maka tidak
cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Hakim baru diwajibkan
76
M.Yahya Harahap, Op,Cit.hlm.274 77
Alfitra,OP,Cit.hlm 29.
94
menghukum orang, apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana yang
bersangkutan adalah terbukti.
Menurut hasil pemeriksaan di persidangan maka terungkap keterangan
antara saksi Djuremi dan Laksmi Wati, antara saksi satu dengan yang lain
saling bersesuaian dan saling menguatkan, sehingga dapat dijadikan dasar oleh
hakim untuk menjatuhkan putusan.
Pasal 183 KUHAP merumuskan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan Pasal 183 KUHAP mengandung tiga asas yaitu:
1. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran
materiil atau kebenaran materiil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 183
KUHAP.
2. Asas keyakinan hakim berdasarkan Pasal 183 KUHAP menganut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negative bahwa hakim baru boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila telah terbukti dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktiannya itu
hakim yakin bahwa terdakwalah yang bersalah.
3. Asas pembuktian minimum bertitik tolak pada batas minimum pembuktian,
bagaimanapun sempurnanya suatu alat bukti, kesempurnaan itu tidak dapat
berdiri sendiri akan tetapi harus didukung oleh minimal alat bukti yang lain
guna memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183
KUHAP.
95
Berdasarkan ketentuan diatas mengandung maksud bahwa hakim bebas
untuk menilai kekuatan alat bukti keterangan saksi, artinya dalam hal ini hakim
tidak terikat dengan alat bukti keterangan saksi A De Charge yang diajukan oleh
penasihat hukum terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Hal lain
yang dapat disimpulkan dari ketentuan tersebut adalah bahwa alat bukti
keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas artinya
hakim tidak terikat denganalat bukti keterangan saksi akan tetapi didasarkan
pada asas keyakinan hakim danasas batas minimum pembuktian serta asas
kebenaran materiil.
Keterangan saksi A De Charge adalah sebagai alat bukti yang sifatnya
meringankan terdakwa dan dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan
Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT terdiri dari 2 saksi yang diajukan oleh
penasihat hukum terdakwa guna menguntungkan atau meringankan terdakwa.
Berdasarkan uraian diatas dan fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam
persidangan, diketahuai bahwa saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:
49/Pid.Sus/2012/PN.PWT yaitu Djuremi, dan Laksmi Wati, masing masingtelah
memenuhi syarat mutlak sebagai saksi yakni saksi A De Charge telah
memberikan keterangan yang ia lihat, ia dengar, dan alami sendiri, dalam
persidangan Djuremi, menjelaskan bahwa saksi kenal dengan terdakwa karena
terdakwa tercatat sebagai salah satu siswa di SMKN 3 Purwokerto jurusan Jasa
Boga. Saksi juga menjelaskan bahwa selama sekolah terdakwa mempunyai
perilaku yang baik tidak ada catatan kenakalan dan mempunyai sifat penurut
96
(manut tidak neko-neko) dan juga perilaku terdakwa di luar sekolah terpantau
tidak pernah ada masalah. Dan saksi Laksmi Wati, menjelaskan bahwa dulu
terdakwa bersekolah di SMK N 3 Purwokerto, dan sekarang sudah lulus dan
tamat sekolah dan telah bekerja di Hotel Aston Purwokerto. Saksi juga
mengatakan selama di sekolah terdakwa mempunyai perilaku yang baik tidak
ada catatan kenakalan dan mempunyai kegiatan ekstra kulikuler bidang
kesenian. Kemudian masing-masing saksi juga telah diambil sumpahnya
sebelummemberikan keterangan sehingga memenuhi kualifikasi sebagai alat
bukti. Selanjutnya keterangan saksi A De Charge tersebut apabila dihubungkan
antara keterangan satu dan yang lain terdapat saling persesuaiaan dan saling
menguatkan sehingga memberikan keyakinan kepada hakim. Sehingga
keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT
adalah alat bukti sah yang memiliki nilai kekuatan pembuktian. Kekuatan
pembuktian keterangan saksi A De Charge adalah sama dengan kekuatan
pembuktian keterangan saksi yang diajukan oleh penuntut umum, sehingga
kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge dalam Putusan
Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT sebagai alat bukti sah adalah bebas, artinya
hakim bebasuntuk menerima atau menyingkirkan isi keterangan saksi yang
diberikan dipersidangan, nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi A De
Charge tergantung pada penilaian hakim. Hakim dalam menerima keterangan
saksi A De Charge yang kemudian dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara
selama 3 (tiga) bulan, dan pidana denda sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu
97
rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar pidana denda
tersebut maka dapat diganti dengan wajib latihan kerja selama 15 (lima belas)
hari terhadap terdakwa (KF).
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa.78
2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana
Terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:
1. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah atau minimum
pembuktian;
2. Adanya keyakinan hakim.
78
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.
273.
98
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan.Menurut C. Djisman Samosir79mengenai alat-alat bukti dan
pembuktian yaitu ;
”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa,
acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna
membantu hakim untuk pengambilan keputusannya.Alat-alat bukti ini
adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu.
Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha
penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang
melakukan perbuatan tersebut”.
Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu bermakna
bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat
bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim
ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa
yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh
dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga
membenarkan pelakunya adalah terdakwa.80
Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai
dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada
79
C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina
Cipta, 1985. hlm 79. 80
Nikolas Simanjuntak ,Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2009, hlm 244.
99
peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan
suatu motivasi”.
Putusan Nomor :49/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto bahwa majelis hakim
yang memeriksa perkara tersebut telah memeriksa alat bukti berupa keterangan
saksi korban dan keterangan saksi A De Charge serta alat bukti surat berupa
Visum et Repertum Nomor 474.3/12770/IPJ/12-6-2012 dan juga keterangan
terdakwa,
Selain menghadirkan saksi, Penuntut Umum juga telah mengajukan barang
bukti berupa :
1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R-6943-S;
1 (satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R-6943-S ;
1 (satu) unitsepeda motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB;
1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB.
Bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan telah dilakukan
pemeriksaan, yaitu berdasarkan berita acara pemeriksaan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara Putusan Nomor :49/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto menyatakan
bahwa :
1. Menyatakan terdakwa KH terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ”KARENA KELALAIANNYA
MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA”
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp 500.000,-
100
(lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat
membayar pidana denda tersebut maka dapat diganti dengan wajib
latihan kerja selama 15 (lima belas) hari.81
Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan
beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat
mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari
surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam
pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11
KUHAP yang merumuskan :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”
Laden Marpaung82menyebutkan :
“Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan
dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan.
Ada juga yang mengartikan putusan atau vonis sebagai vonis tetap
(definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah
hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.”
Putusan perkara Nomor: 49/Pis.Sus/2012/PN.PWTmerupakan bentuk
putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1)
KUHAP menyebutkan bahwa :
81
Ibid. hlm 32-33 82
Laden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar
Grafika. Jakarta. 1994.hlm.36.
101
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP
serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam
perkara ini bagi terdakwa (KF) dengan hukuman pidana penjara selama 3 (tiga)
bulan dan pidana denda sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) karena
terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan ;
Putusan perkara pidana Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, dengan
penjatuhan pidana 3 (tiga) bulan penjara dinilai sudah sesuai dengan perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pelaku tindak pidana “ KARENA
KELALAIANNYA MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL
DUNIA” sehingga melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
102
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge dalam Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas pada Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.
Purwokerto. Dapat disimpulkan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang
ditemukan dalam persidangan. Adanya saksi yang meringankan terdakwa atau
saksi A De Charge yaitu Djuremi, dan Laksmi Wati, masing masing telah
memenuhi syarat mutlak sebagai saksi yakni saksi A De Charge telah
memberikan keterangan yang ia lihat, ia dengar, dan alami sendiri, merupakan
alat bukti yang sah dan hakim bebas untuk menerima atau menyingkirkan isi
keterangan saksi A De Charge yang diberikan dipersidangan untuk dasar
pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara 3
(tiga) bulan, dan pidana denda sebesar Rp. 500.000,-- (lima ratus ribu rupiah)
dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar pidana denda
tersebut maka dapat diganti dengan wajib latihan kerja selama 15 ( lima belas)
hari terhadap terdakwa.
2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana
Terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto. Dapat
disimpulkan berdasarkan alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh
Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan
terdakwa, alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor
474.3/12770/IPJ/12-6-2012 serta barang bukti yang telah disebutkan. Alat
102
103
bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang
dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas. Hakim berkeyakinan bahwa
pidana yang akan dijatuhkan dalam amar putusan telah setimpal dengan
perbuatan yang dilakukan terdakwa. Hakim juga telah memberikan hak kepada
terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, antara lain dengan
menghadirkan saksi A De Charge dalam persidangan. Majelis Hakim juga
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap
terdakwa.
B. Saran
1. Hendaknya pembentuk undang-undang perlu membuat ketentuan yang
mengatur lebih jelas mengenai saksi yang meringankan atau A De Charge,
sehingga dalam pelaksanaanya tidak terjadi permasalahan mengenai
diajukannya saksi yang meringankan atau saksi A De Charge oleh terdakwa
ataupun penasihat hukum terdakwa sebagai upaya melemahkan dakwaan
Jaksa Penuntut Umum.
2. Hendaknya hakim perlu mempertimbangkan dengan hati nuraninya tentang
keterangan yang diberikan oleh saksi A De Charge baik di tingkat penyidikan
maupun pada tingkat persidangan, sehingga peranan keterangan saksi A De
Charge dapat benar-benar berfungsi untuk menguatkan keyakinan hakim agar
putusan yang dihasilkan tetap menjunjung tinggi kebenaran materiil.
104
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur :
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan
KorupsiDi Indonesia, Jakarta : Raih Aksa Sukses.
Asri, Benyamin, 1989, Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Penyidikan,
Penuntutan dan Peradilan, Bandung: Tarsito.
Hamzah, Andi, 1986,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,
Indonesia.
_______, 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya. 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali Edisi kedua, Sinar Grafika: Jakarta.
______ ,2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika: Jakarta.
__, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Edisi
kedua, Sinar Grafika: Jakarta.
Lamintang Theo, dan P.A.F. Lamintang. 2010, Pembahasan KUHAP
(Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi),
Jakarta :Sinar Grafika.
Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan
&Penyidikan)Bagian Pertama Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
______,1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak PidanaEkonomi.Sinar
Grafika: Jakarta.
Moelyatno.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum
Pidana. Jakart:Bina Aksara.
M. Taufik Makaro dan Suharsil, 2004.Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta.
Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia,
Semarang :Badan Penerbit Undip.
105
Purnomo, Bambang. 1985, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana
Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor8 Tahun 1981, Liberty,
Yogyakarta.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1993, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Projodikoro, Wirjono. 1967.Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur
Bandung, Jakarta.
Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan
Bandung: Bina Cipta.
Soesilo, R, 1982. Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara
Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum ), Politeria: Bogor.
Simanjuntak, Nikolas. 2009.Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum,
Ghalia Indonesia: Bogor.
Wisnubroto, A.L. 2002. Praktek Peradilan Pidana: Proses Persidangan
Perkara Pidana. Jakarta: Galaxi Puspa.
Zainal, Abidin. 2007.Hukum Pidana 1, Sinar Grafika: Jakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
_________Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
C. Sumber Lain :
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT.
http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi, diakses pada tanggal 26 Juli 2013 pada
pukul 15. 28 WIB
Dr. Syaiful Bakhri.S.H.,MH. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik,
file:///E://beban-pembuktian-dalam-beberapa-praktik.html, diakses
tgl 1 Juni 2014, pukul 17.37 WIB.