skripsi - fakultas hukum unsoedfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi_13.pdf · 0...

116
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Putusan Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt) SKRIPSI Oleh : ADE DARMAWAN E1A109087 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014

Upload: lamnhu

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

0

KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE

DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

(Studi Putusan Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

SKRIPSI

Oleh :

ADE DARMAWAN

E1A109087

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

ii

KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE

DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

(Studi Putusan Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :

ADE DARMAWAN

E1A109087

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

iii

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A DE

CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU-LINTAS

(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. PWT)

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta

informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenaranya. Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Purwokerto, Agustus 2014

Ade Darmawan

E1A10908

v

ABSTRAK

Tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk membela diri dengan diberi

kesempatan untuk mengajukan seorang saksi A De Charge yang dianggap dapat

meringankan atau membela dirinya sebagai upaya untuk melemahkan dakwaan Jaksa

Penuntut Umum, sehingga keterangan saksi A De Charge dapat dipergunakan sebagai

bahan pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga menjunjung tinggi

kebenaran materiil. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan

menuangkan hasilnya dalam skripsi yang berjudul : KEKUATAN PEMBUKTIAN

KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN

LALU LINTAS ( Tinjauan Yuridis Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT )

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang pertama,

Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge dalam tindak pidana

kecelakaan lalu lintas dalam Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT ? Kedua,

bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT ?

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kekuatan pembuktian saksi A De Charge

dalam persidangan dan juga untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan putusan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa Kekuatan

Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

merupakan alat bukti yang sah dan hakim bebas untuk menerima atau menyingkirkan isi

keterangan saksi A De Charge yang diberikan dipersidangan untuk dasar pertimbangan

hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara 3 (tiga) bulan, dan pidana

denda sebesar Rp. 500.000,-- (lima ratus ribu rupiah) terhadap terdakwa karena telah

memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP.

Kata kunci : Pembuktian, Saki A De Charge, Kecelakaan Lalu Lintas

vi

ABSTRACT

The suspect or defendant has the right to defend himself by having the given the

opportunity to propose a witness A De Charge which is considered to relieve or defend

him in an attempt to weaken the Prosecution accusations that the witness A De Charge

can be used as a consideraton for the judges in talking decisions that uphold the truth of

the material. Based on these descriptions, the author is interested in making the research

and making thesis entitled: THE POWER OF A DE CHARGE WITNESS AS THE

EVIDENCE ON THE CRIMINAL ACT OF TRAFFIC ACCIDENTS (Judicial Review

Decision Number: 49 / Pid.Sus / 2012 / PN.PWT)

Based on the above, the problem can be formulated first, How does the strength

of evidence A De Charge witness testimony in criminal acts of traffic accidents in

Decision No. 49 / Pid.Sus / 2012 / PN.PWT? Second, how the basic legal of judge

considerations in a criminal passed a decision to Decision Number: 49 / Pid.Sus / 2012 /

PN.PWT?

The aims of this study are to determine the strength of evidence A De Charge

witness in the trial and also to know the legal considerations of judges in takes decisions.

Based on research results obtained the conclusion that the Strength of Evidence

Testimony of Witness A De Charge in Traffic Accident Criminal Acts is legal evidence

and the judge is be free to accept or get rid of the contents of A De Charge witness

testimony given in trial for consideration of the legal basis for the judge in passed a

decision of criminal prison of 3 (three) months, and criminal fine of Rp. 500.000, - (five

hundred thousand rupiah) to the defendant because it has met the minimum threshold of

proof principle formulated in the Article 183 of KUHAP.

Key Word: Evidence, A De Charge Witness, Traffict Accident.

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat

serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan

judul “KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE

DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS ( Tinjauan

Yuridis Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. PWT ).

Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi

ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari

bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai

pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis

ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini.

2. Pranoto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan

bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun serta

banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup

Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran

dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai.

3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Skripsi II yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat

membangun dalam penyusunan skripsi ini.

4. Weda Kupita, S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan

memberi masukan pada skripsi penulis.

viii

5. Edy Waluyo, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah

memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang

telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan.

8. Kedua orang tua tercinta, Sudarmo D.S dan Woro Triherningsih, yang selalu

mendoakan, memberi nasihat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi.

Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya,

namun mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis

menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan

saran yang membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi

ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang

membutuhkan.

Purwokerto, Agustus 2014

Penulis

PERSEMBAHAN

Kupersembahakan Skripsi ini Kepada :

ix

Terima kasih yang terutama kepada Allah Swt yang telah memberikan segala

rahmat dan hidayahnya kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik dan tiada halangan apapun.

Kedua Orang Tua Tercinta

Bapak Sudarmo D.S dan Ibu Woro Triherningsih yang selalu aku sayangi

yang selalu memberiku nasihat, motivasi dan senantiasa menyemangati ku

selama menyelesaikan skripsi. Dan pastinya doa yang tiada henti hingga aku

menyandang gelar Sarjana Hukum. Kasih dan perhatianmu tidak terkira.

Timakasih Bapak Ibu, Love you.

Keluargaku Tercinta

Kakaku tercinta Mas Panji Darmawan, S.H., dan adiku tercinta Aji

Darmawan.

Sahabat-Sahabat Tercinta

Untuk Andhi Vembrianto, Habibi Muamar Irfan, Alfian Nurgozhali, S.H.,

Odra Valendra, Muhammad Ibnu Ajis, Yuliantiko, Randy Setyawan, Singgih

Dwi Kuncoro, Rendika Setyawan, Adit, Reza, Saugie, Rizal, Tris

Kusumawardani, Erni Farida, Novia Kurniasih, Rossi, Mba Andi Pratiwi,

dan lain-lain..

Untuk teman kos aku yang aku sayangi, Habibi, Rosi Dias Permana, Neru

Adiputra, Unggul Budi Wicaksono.

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN .......................................................................... i

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii

x

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ iv

ABSTRAK ............................................................................................................ v

ABSTRACT ......................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR......................................................................................... vii

PERSEMBAHAN ................................................................................................ ix

DAFTAR ISI ......................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ............................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian .............................................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ........................................................... 7

B. Pembuktian........................................................................................... 19

C. Keterangan Saksi A De Charge

1. Pengertian Saksi............................................................................... 41

2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge.................... 43

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana.................................................................50

2. Pengertian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas..........................51

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ..............................................................................52

B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 52

xi

C. Sumber Data ........................................................................................ 52

D. Metode Pengumpulan Data.................................................................. 53

E. Metode Penyajian Data......................................................................... 53

F. Metode Analisis Data............................................................................ 53

G. Spesifikasi Penelitian Terdahulu ......................................................... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .................................................................................... 54

B. Pembahasan ......................................................................................... 77

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ............................................................................................ 102

B. Saran .................................................................................................. 103

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melalui hukum acara pidana, maka bagi setiap individu yang melakukan

penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya

dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut

hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa

haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dan untuk

membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan

diperlukan adanya suatu pembuktian.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses

pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang

“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka

terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa

dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP,

terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, oleh

karena itu, hukum harus hati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan nilai

pembuktian.1

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai produk bangsa

Indonesia telah menetapkan beberapa alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan

1M. Taufik Makaro dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hlm, 102-103

1

2

untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut

undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP adalah :

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tercantum alat-alat bukti yang sah

antara lain keterangan saksi. Pada umumnya keterangan saksi merupakan alat

bukti yang paling utama dalam perkara pidana, karena hampir semua pembuktian

perkara pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi.2

Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah :

“Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya itu.”

Tampak ada tiga tolok ukur tanggungjawab keterangan saksi, yakni (a)

melihat, (b) mendengar, dan (c) mengalami. Instrumen alat ukur itu adalah mata,

telinga, dan perasaan yang semuanya bersifat alami normal. Opini sebagai hasil

rumusan olah pikir yang menjadi pendapat, asumsi, pernyataan, analisis atau

kesimpulan dari saksi bukanlah bernilai alat bukti sehingga karena itu harus

segera ditolak oleh penyidik pada saat penyidikan, dan hakim Yang memimpin

sidang atau oleh penuntut umum dan atau advokat.3

2M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008,

hlm., 286 3Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia

Indonesia, 2009, hlm. 263.

3

Didalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dikatakan “Dalam

keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau

testimonium de auditu”. Dengan demikian bahwa keterangan saksi yang diperoleh

dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah.4

Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu

tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum

acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi yang hanya mendengar

dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau

hearsay evidence, patut tidak dipakai di Indonesia pula.5

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, menjadi landasan bagi pembuat

undang-undang untuk menetapkan kesaksian sebagai “kewajiban” bagi setiap

orang. Penegasan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2)

KUHAP sebagai berikut :

a) Menjadi saksi adalah “kewajiban hukum”,

b) Orang yang menolak memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu

sidang pengadilan, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap

kewajiban hukum yang dibebankan undang-undang kepadanya,

c) Orang yang menolak kewajiban memberi keterangan sebagai saksi

dalam sidang pengadilan, dapat dikenakan pidana berdasarkan

ketentuan undang-undang yang berlaku.6

Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP

tersebut, disimpulkan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam

pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah kewajiban bagi setiap

4Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:Sinar Grafika, 2001, hlm. 264

5Ibid, hlm. 264-265

6M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 169

4

orang.

Pemeriksaan saksi yang hadir dalam persidangan bertujuan untuk

mendengar keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan

dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Tata cara

pemeriksaan saksi menurut Yahya Harahap7 adalah sebagai berikut :

1. Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang;

2. Memeriksa identitas saksi;

3. Saksi “wajib” mengucapkan sumpah.

Kewajiban hukum bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara

pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan sumpah menurut

agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya

tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan

perkara yang bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban,

tidak ada jalan lain bagi seorang saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali

penolakan itu mempunyai alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa memberi

keterangan tanpa sumpah, hanya mereka yang disebut pada Pasal 171 KUHAP,

yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin

serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penulisan hukum dengan judul :

“KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI A DE

CHARGE DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU

LINTAS (Studi Putusan Nomor 49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)

7Ibid, hlm. 172-174

5

b. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi A DE CHARGE

dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas pada Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

putusan pidana terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.

Purwokerto?

c. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian terhadap saksi A DE

CHARGE dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan Putusan

Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan putusan pidana terhadap Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto.

d. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu

hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum

6

pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan

kepustakaan.

b. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama

kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto.

2. Manfaat Praktis

a. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku

kuliah dengan kenyataan di lapangan.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan

di dalam penegakan hukum acara khususnya hukum acara pidana

tentang penegakan hukum dalam tindak pidana Kecelakaan lalu

lintas.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

1. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

a. Peradilan Cepat

Terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada

keputusan pengadilan. Penjabaran asas cepat diatur dalam Pasal 24 (4),

Pasal 25 (4), Pasal 26 (4), Pasal 27 (4), Pasal 28 (4), dan Pasal 102 (1)

KUHAP. Segera dilakukan penyidikan. Pasal 140 KUHAP Penuntut

Umum segera membuat surat dakwaan, Pasal 50 KUHAP segera

diadili, Pasal 326 KUHAP Pelimpahan berkas perkara Banding ke

Pengadilan Tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal mohon banding.

b. Sederhana

Yang dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian

perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif.

c. Biaya Ringan

Biaya Ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh

masyarakat. Penjelasan umum Pasal 1 Undang- Undang No. 48 Tahun

2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya

KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-

kata yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP.Untuk

7

8

menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP

yang memakai istilah “segera”.8

Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie

semakin ditekankan dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e

dikatakan:

“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya

ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan

secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), misalnya Pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4),

28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa

jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat

sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah

mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini

mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat

penyelesaian perkara tersebut.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) Pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan

terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu

8Ibid., hlm. 12.

9

di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan

oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3).

Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang

menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang

patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan

penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi

penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan

hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut

Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan.

Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki

peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

MenurutYahya Harahap9 menjabarkan mengenai asas sederhana

dan biaya ringan adalah sebagai berikut :

1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi

yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami

kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa.

2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut

ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya

sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses

penahanan.

3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-

nyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan

wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-

balik, tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan.

Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika hulp magistraat melakukan

penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam memberitahu

jaksa. Arti dari kata peradilan cepat dan sederhana adalah bahwa peradilan

9M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid

I).,Jakarta : Pustaka Kartini,2001, Hal 54.

10

dilaksanakan dengan proses yang jelas dan tidak berbelit-belit, sehingga

peradilan dapat berjalan dengan cepat, selain itu tidak merugikan terdakwa.

Selain hal tersebut dengan peradilan yang berjalan dengan cepat dan

sederhana diharapkan tidak mengeluarkan biaya yang besar, sehingga

peradilannya memiliki sifat biaya ringan.

Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada

istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu

diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum.

Bambang Poernomo10

dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:

“Proses perkara pidana dengan biaya yang murah diartikan

menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme

bekerjannya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang

berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding

karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan

lebih kecil.”

Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam

KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu.Asas

peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP

sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama

sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak

yang diutamakan dalam KUHAP.

10

Bambang Poernomo. 1993. Pola-Pola Dasar Teori Asas Umun Hukum Acara Pidana

dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 66.

11

2. Praduga Tidak Bersalah

Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah

dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan

hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam

Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP yang

merumuskan sebagai berikut:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau

dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah

sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

M. Yahya Harahap11

dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:

“Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya

sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum

(law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP

memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan

prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”.

3. Asas Oportunitas

Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi

wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut

penuntut umum.Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa.

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai

monopili, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal

ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa.Dominus berasal

dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya

11

M Yahya Harahap.Op.Cit, hlm. 40.

12

delik diajukan kepadanya.Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari

penuntut umum.

Pengertian asas oportunitas menurut A.Z. Abidin Farid12

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum

untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat

seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum.”

Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di

Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan

umum”.

Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan

umum” dalam sebuah perkara. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan

penjelasan sebagai berikut:

“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam

penerapan asas oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk

kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan

masyarakat”.

Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo13

yang dikutip dalam

bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:

“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang

disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan

Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau

adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna

kepentingan masyarakat”.

12

Andi Hamzah. Op. Cit.hlm. 17. 13

Ibid.,hlm. 20.

13

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4)

KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka

sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam

perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

(4) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)

mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”

Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat

(4) lebih dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut:

“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya,

terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut

tidak terpenuhi”.

Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena

masih ada pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik

yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban

umum (openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum

untuk menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal

tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP.

Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi

hukum.

Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan

seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan

dilakukan di belakang pintu tertutup.Pertimbangan tersebut sepenuhnya

diserahkan kepada hakim.Hakim melakukan hal itu berdasarkan jabatannya

14

atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat

mengajukan permohonan agar sidang tertutup unutk umum dengan alasan

demi nama baik keluarganya.14

Sebagaimana menurut D. Simons15

yang dikutip Andi Hamzah dalam

bukunya, sebagai berikut:

“HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan

bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan

suatu persidangan tertutup untuk umum”.

Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak

dapat dibanding.Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun

dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Bahkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan

Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas merumuskan sebagai berikut:

“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.

5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini

tegas tercantum pula dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3a

KUHAP. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, merumuskan sebagai berikut:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang”.

14

Ibid., hlm. 21. 15

Ibid.

15

Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga

menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap

setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut:

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.”

6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap

Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa

dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.Untuk jabatan ini

diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang

menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili

golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam

tentang ilmu hukum. Menurut D. Simons16

sebagaimana dikutip dalam

bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut:

“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara

Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun

1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu

dari Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut

maka Jerman juga tidak menganutnya.”

7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP

yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat

kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:

16

Ibid. hlm. 22.

16

1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan.

2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua

tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

4. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik

atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan

Negara.

5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum

guna kepentingan pembelaan.

6. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari

tersangka/terdakwa.

Andi Hamzah17

dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:

“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum

menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan

kelonggaran-kelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata,

bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut

terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum

secara merata.”

Adnan Buyung Nasution18

, sebagaimana dikutip dalam buku Andi

Hamzah berpendapat sebagai berikut:

“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah

banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya

bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan

oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi

dan keadaan kesehatan yang buruk”.

8. Asas Akusator dan Inkisitor

Asas inkisitoir adalahsuatu sistem pemeriksaan yang memandang

seseorang tersangka sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan

dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu

pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup.Sedangkan asas akusator adalah

kebalikan dari prinsip inkisitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa

17

Ibid. hlm. 24. 18

Ibid.

17

(penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya,

yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak

memihak.

Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan

bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator.Ini berarti perbedaan antara

pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya

telah dihilangkan.

Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi

ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun

terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukumnya.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum

selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut

tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan

universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri

beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum

sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan

dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa

pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”.

18

Andi Hamzah19

berpendapat dalam bukunya sebagai berikut:

“Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan

pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin

dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu

pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi,

kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.”

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara

langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Ini berbeda

dengan acara perdata di mana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili

kuasanya.Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim

dengan terdakwa.20

Bambang Poernomo21

berpendapat bahwa :

“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam

persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan

lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar

dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara

pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan

langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa

untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan

keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak

bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”

Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan

diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya.Pengecualian dari asas

langsung ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek

atau in absentia. Pasal 213 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

19

Ibid. hlm. 25. 20

Ibid., hlm. 25. 21

Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta:

Liberty, 1985.Hal. 79.

19

“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk

mewakilinya di sidang”.

Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara

pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana.

B. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur

macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam

pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.22

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap 23

sebagai berikut:

“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian

juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang

dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam

membuktikan kesalahan yang didakwakan.”

Dari uraian singkat di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum

acara Pidana, antara lain:

a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan

mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau

penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat

22

Sasangka, Hary & Rosita Lyli.2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.

Bandung : Mandar Maju.hlm:10

23

M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 273.

20

bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh bertindak leluasa dengan

caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat

bukti, tidak boleh bertebtangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa

mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang

telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim harus benar-

benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan

pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis

hakim akan meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang

akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara

dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang

ditemukan.kalau tidak demikian bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang

yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.24

b. Berhubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan

meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus

berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang

secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.25

Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian

yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang

dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak

dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus

dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan

berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang

24

Ibid., hlm 274. 25

Ibid.

21

dibenarkan sistem pembuktian. Tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan

pendapat subjektif hakim.26

Pengakuan dalam hukum acara pidana tidak melenyapkan kewajiban

pembuktian. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum

acara pidana “selamanya” tetap diperlukan sekalipun terdakwa “mengakui”

tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila terdakwa mengakui

kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap

berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.

Pengakuan “bersalah” (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan

kewajiban penuntut umum dan persidangan utuk menambah dan

menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat

bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti

petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP

yang merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan dari terdakwa saja tidak

cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah telah melakukan perbuatan

yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti

yang lain”.

Ketentuan itu sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 308 HIR yang

menegaskan untuk dapat menghukum terdakwa selain daripada pengakuannya

harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti bukti yang lain.27

26

Ibid. 27

Ibid., hlm. 175.

22

Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal tersebut

sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai

berikut:

“Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”.

Rumusan pasal tersebut selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious

(generally known).28

2. Teori Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.Dalam hal ini pun

hak asasi manusia dipertaruhkan.Bagaimana akibatnya jika seseorang yang

didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan

alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar.Untuk inilah

maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.Berbeda

dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.29

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada

beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang

didakwakan.Sistem pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat

(negara).30

Berkaitan dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,

ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:

28

Ibid., hlm. 176. 29

Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 249. 30

Ibid.

23

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara

Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)

Menurut teori ini pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat

pembuktian yang disebut undang-undang.Dikatakan secara positif karena

hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang,

maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga

teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).

Menurut D. Simons 31

sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam

bukunya, menyatakan sebagai berikut:

“Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

positif (positief wettellijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua

pertiimbangan subyektif hakim secara ketat menurut peraturan-

peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu

berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”.

Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut

di Indonesia.Pendapat Wirjono Prodjodikoro32

sebagaimana dikutip dalam

buku Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

“Bagaimana hakim akan menetapkan kebenaran selain dengan cara

menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula

keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin

sekali adalah sesuai denan keyakinan masyarakat.”

Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan

pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction intime.Menurut sistem ini keyakinan hakim tidak

31

Ibid., hlm. 251. 32

Ibid.

24

ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.Untuk

membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang.Asal sudah dipenuhi syarat-syarat

dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup untuk

menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

(Conviction in Time)

Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian

menurut undang-undang secara positif, adalah teori pembuktian menurut

keyakinan hakim melulu.Teori ini disebut juga conviction intime.33

Disadari

bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu

membuktikan kebenaran.Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin

terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.

Bertolak pangkal dari pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan

hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan

bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut

Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian yang demikian pernah dianut di

Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini

katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi

keyakinannya.34

Berdasarkan teori ini hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang

terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan hakim belaka tanpa didukung oleh

33

Andi Hamzah. Op. cit. hlm. 252. 34

Wirjono Prodjodikoro. Op Cit. hlm. 72.

25

alat bukti yang cukup.Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari

tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa sudah cukup

terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa.

c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas

Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut

pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu

(Laconvictian Raisonee).Menurut teori ini hakim dapat memutuskan

seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan

kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive)

yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.Jadi

putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.Sistem atau teori pembuktian

ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut

alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).35

Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memeggang

peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.Akan tetapi,

faktor keyakinan hakim dibatasi.Jika dalam sistem pembuktian conviction-in

time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem

conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan

yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang

mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Selain itu keyakinan hakim

35

Andi hamzah.Op. Cit.hlm. 253.

26

harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima

akal.Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian

alasan yang masuk akal.36

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif

Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif

merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in

time.37

Menurut Wirjono Prodjodikoro38

sebagaimana dikutip oleh Andi

Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:

“Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif

(negatitief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan,

pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang

kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,

janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak

yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua ialah berfaedah jika ada aturan

yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada

patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam

melakukan peradilan.”

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan

keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara

ekstrim.Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-

undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu

sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif.Dari hasil penggabungan kedua sistem

36

M. Yahya harahap. Op. Cit.hlm. 278. 37

Ibid. 38

Andi Hamzah. Op. Cit.hlm. 257.

27

yang saling bertolak belakang tersebut, terwujud suatu “sistem pembuktian

menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi salah tidaknya

seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakimyang didasarkan kepada

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.39

Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidaknya

seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata. Atau

hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketetuan dan cara

pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Seorang terdakwa baru bisa dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang

didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan

itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian tersebut,

untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem

pembuktian menurut undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang,

2. Dan keyakinan hakim yang harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.40

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini

memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menetukan salah dan

tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur

tersebut.Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup

39

M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 279. 40

Ibid.

28

mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.41

Misalnya ditinjau dari segi

cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa

cukup terbukti, tetapi walaupun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin”

dengan kesalahan terdakwa, dalam hal tersebut maka terdakwa tidak dapat

dinyatakan bersalah. Sebaliknya jika hakim benar-benar yakin akan kesalahan

terdakwa melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi keyakinan

tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan

dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti itupun

terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.Oleh karena itu, diantara kedua

unsur atau komponen tersebut harus saling mendukung.42

3. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menetukan secara “limitatif” alat bukti

yang sah menurut undang-undang.Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.Ketua sidang, penuntut

umum, dan penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan

mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Para pihak di atas tidak memiliki

keleluasaan untuk mempergunakan alat bukti sesuai dengan kehendaki di luar

alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Bukti yang dinilai

sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”

hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja.Pembuktian dengan alat bukti di luar

alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai

nilai serta tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat.

41

Ibid. 42

Ibid.

29

Adapun alat bukti menurut undang-undang sesuai dengan apa yang

disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa.

Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan

alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan nama

alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu “pengakuan

terdakwa” menjadi keterangan terdakwa.43

a. Keterangan Saksi

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kecuali menjadi

saksi yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang merumuskan sebagai

berikut:

(1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau

kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa;

(2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa

sampai derajad ketiga;

(3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Selain karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ada

ketentuan lain yaitu Pasal 170 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai

berikut:

“Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya

diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari

43

Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 259.

30

kewajiban untuk member keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal

yang dipercayakan kepadanya”.

Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang

menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan.Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau

pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang

menentukan sak tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan

kebebasan tersebut.

Pasal 170 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut di atas

mengatakan “…dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan

keterangan sebagai saksi…”, hal tersebut berarti jika yang bersangkutan

bersedia untuk menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah,

maka pengecualiaan menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan

atau karena martabatnya merupakan pengecualian relatif.

Selain Pasal 170 ayat (1) KUHAP ada pengecualian untuk

memberikan kesaksian di bawah sumpah yaitu Pasal 171 KUHAP yang

merumuskan sebagai berikut:

“Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah

ialah.

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum

pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatanya baik kembali.”

Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa anak yang belum

berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,

31

sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa

disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah

atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka

hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Pasal 160 ayat (3) KUHAP merumuskan bahwa sebelum memberikan

keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara

agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu

merupakan syarat mutlak.44

Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan

apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang merumuskan

sebagai berikut:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Agar supaya keterangan saksi dapat diniai sebagai alat bukti,

keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut

sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian

keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya

sendiri, dilihatnya sendiri, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa

pidana, baru bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi itu

44

Ibid., hlm 263.

32

dinyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang

pengadilan (outside the court) bukan sebagai alat bukti, sehingga tidak dapat

digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.45

Salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi.

Pengertian saksi menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, merumuskan

sebagai berikut:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami

sendiri.”

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi dalam pemeriksaan saksi

merupakan hal yang paling penting dalam persidangan suatu perkara pidana.

Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat

bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu

bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di

samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan

pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Beberapa syarat sahnya keterangan saksi agar keterangan saksi

tersebut dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan

pembuktian, adalah sebagai berikut:

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.

Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut

rumusan pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib

mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut

45

M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 288.

33

dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji

berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya

dan tiada lain daripadaa yang sebenarnya.

Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya

sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan.

Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk

mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.

Berkaitan dengan hal tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji

pada prinsipnya wajib mengucapkan “sebelum” saksi memberikan

keterangan, akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan,

sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan

keterangan.46

Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau

janji,sudah ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan

sebagai berikut:

(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk

bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal

160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap

dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua

sudang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan

Negara paling lama empat belas hari.

(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau

dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau

mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan

merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan

hakim.

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.

46

Ibid., hlm. 286.

34

Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah

keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka

27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri

dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan

dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat diterik

kesimpulan sebagai berikut:

a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya

dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar

pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu

peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai

sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai

kekuatan nilai pembuktian.

b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai

hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat

bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan

ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat

dianggap sebagai alat bukti.

c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan

merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan

35

Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi

yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus

dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan

terdakwa.

3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti,

keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut

sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan

sebagai berikut:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan

di sidang pengadilan”.

Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan

tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya

sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat

bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court)

bukan alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan

kesalahan terdakwa.

4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Supaya keterangan saksi dapat dianggap dapat dianggap cukup

membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau

sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan

seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan haus

36

dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2)

KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya”.

Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat

dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan

dakwa, atau “ unus testis nullus testis”.47

Hal tersebut berarti jika alat bukti

yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka

keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang

cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya.

Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal

yang dijelaskan di atas, maka dapat diketahuibahwa sebagai berikut:

a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus

didukung oleh dua orang saksi.

b. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu

harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya, alat

bukti lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.

Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan

dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu

telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang

47

Ibid., hlm. 288.

37

seperti itu adalah keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang

banyak, jika keterangan para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan

antara yang satu dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu

kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, yang merumuskan sebagai

berikut:

“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sndiri tentang

suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat

bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada

hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga

dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”.

Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan

beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai

kekuatan pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling

hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau

kejadian tertentu. Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan

satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan

menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum keterangan seperti itu

tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.48

b. Keterangan Ahli

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua

oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP,

merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan

persidangan pengadilan”.

48

Ibid., hlm. 290.

38

Pasal tersebut tidak menjawab apa itu yang disebut ahli dan keterangan

ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini.Pasal 343

Ned. Sv. Memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan keterangan

ahli sebagai berikut:

“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan

yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai

pertimbangannya”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro49

sebagaimana dikutip oleh Andi

Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:

“Isi keterangan seorang saksi dan seorang ahli berbeda.Keterangan

seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan

keterangan seorang ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai

hal-hal yang sudah nyata ada dan mengambil kesimpulan dari hal-hal

itu.”

KUHAP membedakan keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai

alat bukti “keterangan ahli”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 186 KUHAP

dengan keterangan seorang ahliyang diberikan secara tertulis di luar sidang

pengadilan sebagai alat bukti “surat”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 187

butir c KUHAP.50

c. Alat Bukti Surat

Pasal dalam KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat hanya

satu pasal yaitu Pasal 187 KUHAP yang terdiri dari empat ayat sebagai

berikut:

(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,

49

Andi Hamzah. Op. Cit.hlm. 274. 50

Ibid., hlm. 274.

39

yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang

jelas dan tegas tentang keterangan itu;

(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang

termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan

yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan;

(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang

diminta secara resmi daripadanya;

(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan

isi dari alat pembuktian yang lain.

d. Alat Bukti Petunjuk

Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan definisi petunjuk

sebagai berikut:

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Menurut KUHAP yang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk

adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Jika dilihat Pasal 188 ayat

(3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,

setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tercermin bahwa pada akhirnya

persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama

dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Disebut pengamatan oleh hakim

(eigen warrneming van de rechter) yaitu harus dilakukan selama sidang, apa

40

yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat

dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah

diketahui oleh umum.51

e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

KUHAP dengan jelas mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai

alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Pengertian keterangan terdakwa terdapat

pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai

berikut:

“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang

tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau

alami sendiri”.

Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat

bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa

hendaknya didengar.

Ditinjau dari segi pengertian bahasa, jelas terasa terdapat perbedaan

makna antara pengakuan dan keterangan. Pada pengakuan, terasa benar

mengandung perntataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Sedangkan

pada kata keterangan lebih bersifat suatu penjelasan akan apa yang telah

dilakukan seseorang. Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP dapat

disimpulkan bahwa apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang

pengadilan, dan apa yang dinyatakan dan dijelaskan itu ialah tentang

perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang

51

Ibid., hlm. 278.

41

berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana

yang sedang diperiksa.52

C. Keterangan Saksi A De Charge

1. Pengertian Saksi

Salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi.

Pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang

merumuskan:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut

alasan dari pengetahuannya itu”.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

dimaksud dengan saksi yaitu :

“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Menurut Hibnu Nugroho53

menerangkan bahwa:

“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan,penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Pembuktian merupakan bagian paling penting dalam hukum acara pidana,

guna mencari dan menemukan kebenaran materiil, telah diatur dalam Pasal 184

KUHAP tentang alat-alat bukti yang sah, yang dapat diajukan sebagai alat bukti di

persidangan. Salah satunya bentuk alat bukti keterangan saksi, terbagi dalam dua

kategori yaitu:

52

M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 319. 53

Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang

:BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34.

42

1. Keterangan saksi yang memberatkan tersangka atau terdakwa dimana saksi

ini diajukan oleh Penuntut Umum.

2. Keterangan saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa, saksi seperti

ini diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum.

Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan

saksi, dan hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada

pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya dua alat bukti di samping

pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian

dengan alat bukti keterangan saksi.54

Keterangan saksi adalah alat bukti utama, dimana kedudukannya sebagai

alat bukti guna membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa dan dapat

menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar

telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi merupakan urutan

yang pertama, sehingga hal ini akan membawa konsekuensi dalam pembuktian,

dimana perkara pidana yang pertama diajukan adalah keterangan saksi. Baru

setelah mendengar keterangan saksi baru mendengar keterangan terdakwa.

2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge

Dalam pemeriksaan perkara, terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Untuk membuktikan bahwa ia tidak

bersalah, ia dapat menggunakan saksi yang meringankan atau ahli.

54

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP(Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, 2007,

hlm. 286.

43

Dalam praktek pemeriksaan perkara pidana, hal yang paling mendasar

dikedepankan adalah mengenai hak-hak tersangka atau terdakwa baik dari tingkat

penyidikan sampai dengan tingkat peradilan.Salah satu dari beberapa hak

terdakwa yang diatur dalam KUHAP hak terdakwa untuk menghadirkan saksi A

De Charge. Dalam proses pemeriksaan di persidangan, penyidik dapat meminta

keterangan dari saksi yang memberatkan terdakwa dan terdakwa pun berhak

meminta agar dihadirkan saksi yang meringankan atau A De Charge. Pasal 116

ayat (3) dan (4) KUHAP menerangkan, dalam pemeriksaan tersangka atau

terdakwa dinyatakan apakah menghendaki saksi yang meringankan atau saksi

yang dapat menguntungkan baginya atau yang disebut saksi A De Charge.

Hal ini dilakukan dengan alasan karena tersangka berhak melakukan

pembelaan terhadap dakwaan yang dituduhkan kepadanya dengan mengajukan

seorang saksi, dan karena pada umumnya para saksi itu memberatkan tersangka.

Bila terdakwa menghendaki adanya saksi yang meringankan atau A De Charge,

maka penyidik wajib memeriksanya dicatat dalam berita acara, dengan

memanggil dan memeriksa saksi tersebut.

Pengertian dari saksi A De Charge adalah saksi yang diajukan oleh

terdakwa di dalam persidangan ataupun tahap pemeriksaan untuk memberikan

keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.55

Saksi A De Charge dalam KUHAP diatur dalam Pasal 65 KUHAP yang

berbunyi:

55 Benyamin Asri, Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Penyidikan, Penuntutan dan

Peradilan, Bandung: Tarsito, 1989, hal.41.

44

“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan

saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan

keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”

Pasal 65 KUHAP menjelaskan bahwa tersangka atau terdakwa sejak

diperiksa oleh penyidik mempunyai hak untuk mengajukan saksi-saksi guna

memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya.

Berkaitan adanya hak untuk mengajukan saksi atau ahli yang oleh undang-

undang telah diberikan oleh tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 65 KUHAP, sehingga para pemeriksa disemua tingkat pemeriksaan

wajib menanyakan kepada tersangka atau terdakwa, yaitu apakah ia akan

mengajukan saksi-saksi atau saksi ahli yang dapat memberikan keterangan yang

sifatnya menguntungkan bagi terdakwa.

Saksi A De Charge yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat

hukumnya, dimaksudkan untuk melemahkan dakwaan yang didakwakan Jaksa

Penuntut Umum kepada terdakwa. Tujuan lain adalah untuk menemukan dan

mewujudkan kebenaran materiil, ketua sidang tidak hanya terpaut pada bahan dan

keterangan yang telah tertuang dalam berita acara penyidikan saja, tetapi juga

berhak meminta keterangan ahli.

Leden Marpaung56

berpendapat bahwa:

“Untuk mencapai tujuan mencari kebenaran materiil, telah selayaknya

bahwa hakim tidak terbatas pada bahan yang telah ada dalam berkas

perkara yang diperoleh sebagai hasil penyidikan. Dengan demikian adalah

tepat jika hakim diberi kewenangan untuk minta bahan baru.”

56

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan

Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi) , Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 115.

45

Tujuan diajukannya saksi yang meringankan atau saksi A De Charge oleh

penasehat hukum atau terdakwa, yaitu untuk melemahkan dakwaan Jaksa

Penuntut Umum yang didakwaan kepada terdakwa. Diajukannya saksi A De

Charge terdakwa berharap dapat dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya atau

bahkan diputus bebas.

Tata-Tata Cara Pemeriksaan Saksi A De Charge

Keterangan saksi A De Charge yang diajukan oleh terdakwa atau

penasihat hukumnya, sebelum dijadikan putusan, hakim ketua sidang wajib

mendengar keterangan saksi tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 160

ayat (1) butir c KUHAP, yaitu:

“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang

memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkata dan atau

yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum selama

berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang

wajib mendengar keterangan saksi tersebut.”

Tata cara pemeriksaan saksi A De Charge sama dengan pemeriksaan saksi

A Charge, dengan titik berat pada pernyataan-pernyataan yang mengarah pada

pengungkapan fakta yang bersifat membalik atau melemahkan dakwaan penuntut

umum atau setidaknya bersifat meringankan.57

Tata cara pemeriksaan saksi Menurut Mohammad taufik Makarodan

Suharsil58

, yaitu;

57

Wisnubroto, Op,Cit, hlm 21 58

Mohammad taufik Makarao dan Suharsil, Op,Cit, hlm. 108-120

46

1. Saksi dipanggil seorang demi seorang

Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut

urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua

sidang.Pemeriksaan saksi secara satu persatu bertujuan agar keterangan

yang mereka berikan tetap bersifat bebas, jangan sampai terjadi keterangan

seorang saksi didengar oleh saksi yang lain, yang berakibat mempengaruhi

saksi yang berangkutan.

2. Memeriksa identitas saksi

Maksud pemeriksaan identitas serta hubungan saksi dengan terdakwa,

untuk memberikan penjelasan kepada persidangan tentang kedudukan saksi

dalam perkara yang sedang diperiksa, hal ini dijadikan titik tolak bagi ketua

sidang untuk menentukan sikap perlu tidaknya saksi didengar

keterangannya maupun untuk menentukan kualitas keterangan yang

diberikan saksi dalam persidangan.

3. Saksi wajib mengucapkan sumpah

Sumpah diberikan sebelum memberi keterangan. Sebelum memberi

keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara

agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3)

KUHAP).

Sumpah diberikan sesudah memberi keterangan. Jika pengadilan

menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji

sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan keterangan ( Pasal 160 ayat

(4) KUHAP).

4. Sumpah dapat diucapakan di luar sidang Alasan penyumpahan diluar sidang

menurut M. Yahya Harahap59

“Kekhidmatan sumpah, artinya saksi atau ahli yang mengucapkan

sumpah atau janji tadi akan lebih sadar isi sumpah yang diucapkannya

bila pelaksanaannya dilakukan di luar sidang, juga supaya saksi lebih

jujur dalam memberikan keterangan.”

5. Penolakan sumpah dapat dikenakan sandera

Saksi dapat menolak untuk disumpah jika ada alasan yang sah.Tentang

alasan yang sah ini adalah diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

6. Ketarangan saksi di sidang berada berbeda dengan berita acara

Menurut ketentuan Pasal 163 KUHAP, keterangan saksi di sidang

berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim

ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan

mengenai pembedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan

sidang.

7. Terdakwa dapat membantah atau membenarkan keterangan saksi

Pemberian hak membantah atau membenarkan keterangan saksi, sesuai

59

M. Yahya Harahap, Op,Cit, hlm.176

47

dengan asas keseimbangan dalam menegakkan hukum. Pasal 164 ayat (1)

KUHAP mengatakan:

“Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua

sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang

keterangan tersebut.”

8. Kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa

Saksi tidak boleh menolak setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya,

sepanjang pertanyaan itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau

sepanjangpertanyaan itu relevan dengan perkara yang diperiksa. Pasal 164

ayat (2) dan (3)KUHAP mengatakan:

“(2)Penuntut umum atau penasehat hukum dengan perantara hakim

ketuasidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada

saksi dan terdakwa.

(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh

penuntut umum atau penasehat hukum kepada saksi atau terdakwa

dengan memberikan alasannya.”

9. Larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat

Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada

terdakwa maupun kepada saksi. Sesuai dengan penjelasan Pasal 166

KUHAP, jika dalam salah satu pernyataan disebutkan suatu tindak pidana

yang tidak diketahui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan

oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka

pertanyaan yang demikian itu dianggap sebagai pertanyaanyang bersifat

menjerat.

10. Saksi yang telah memberikan keterangan tetap hadir di sidang

Berdasarkan ketentuan Pasal 167 KUHAP, setiap saksi yang telah

selesai memberikan keterangan, tetap hadir dalam ruang sidang.Bahkan

izin meninggalkan ruang sidang, kecuali ketua sidang memberi

izin.Bahkan izin meninggalkan ruang sidang harus dibatalkan oleh ketua

sidang, apabila penuntut umum atau terdakwa maupun penasihat hukum

mengajukan keberatan.

11. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi. Pasal 168 KUHAP

menerangkan:

“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat

didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa;

b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa

sampai derajat ketiga;

c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

48

12. Mereka yang dapat minta dibebaskan menjadi saksi :

Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHAP terdapat sekelompok orang

yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan

sebagai saksi.

Hal pembebasan diri menjadi saksi sifatnya tidak mutlak. Sesuai

dengan ketentuan Pasal 170 KUHAP, yaitu mereka yang karena pekerjaan,

harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

minta dibebaskan dari kewajibanuntuk memberi keterangan sebagai saksi,

yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadamereka. Hakim menentukan

sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

13. Mereka yang boleh memberi keterangan tanpa sumpah

Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum

pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali.

14. Pemeriksaan saksi dapat didengar tanpa hadirnya terdakwa

Pasal 173 KUHAP memberi kemungkinan bagi hakim ketua sidang

untuk memberikan dan mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya

terdakwa, dengan jalan mengeluarkan terdakwa dari ruang sidang.Setelah

terdakwa keluar persidangan dilanjutkan memeriksa dan mendengar

keterangan saksi. Tata cara pemeriksaan saksi seperti ini, didasarkan pada

alasan pertimbangan, hakim berpendapat dan menilai saksi merasa

tertekan memberikan keterangan jika terdakwa hadir dalam pemeriksaan.

15. Keterangan saksi palsu Pasal 174 KUHAP menentukan:

(1) apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua

sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya

memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman

pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap tetap memberikan

keterangan palsu.

(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang

karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa

dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut

perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

(3) Dalam hal yang demikian, oleh panitera segera dibuat berita

acarapemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebut

alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita

acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta diselesaikan

menurut ketentuan undang-undang ini.

(4) Jika perlu, hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam

perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi selesai.

16. Pemeriksaan saksi dan terdakwa dapat dilakukan dengan juru bahasa dan

penerjemah Pasal 177 KUHAP menentukan:

(1) jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim

ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji

akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.

49

(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara,

ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara ini.

Darwan Prints60

,mengemukakan beberapa syarat yang harus dimiliki saksi

agar kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :

a. Syarat formal

Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu

diberikan dibawah sumpah;

b. Syarat materiil

Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah

sebagai alat pembuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah

cukup untuk alat pembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan.

Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah

adalah :

1. Syarat formil :

Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum

maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP).

2. Syarat materiil

a) Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana (Pasal 1

butir 26 atau 27 KUHAP).

b) Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (Pasal

1 butir 27 KUHAP).

c) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa/ asas ini terkenal dengan sebutan unus testis nullus testis (Pasal

185 ayat (2) KUHAP.

60

Darwan Prints, Op,Cit ,hlm. 108.

50

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak

pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang

dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit.

Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu,

ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Menurut Pompe61

, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang

Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :

a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah

suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit”

adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan

dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di

atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua

pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu :

a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit”

adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan

sengaja atau alfa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

61

http://gsihaloho.blogspot.com

51

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk

setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat

oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan

lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang

panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung

jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas

didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap

ada.

2. Pengertian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dalam Undang-Undang

Nomor 22 tahun 2009, dalam Pasal 1 angka (24 merumuskan :

“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga

dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna

Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta

benda”

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :

59/Pid.Sus/2012/PN.Pwt tersebut terdakwa adalah seorang anak, yang dikenakan

Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 jo Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni melakukan tindak pidana

yang karena kelalaian menyebabkan orang lain meninggal dunia dan diancam

dengan pidana selama satu tahun.

52

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis.

Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep

ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom

tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif

yaitu semua penelitian yang bertujuan menggambarkan objek yang diteliti,

yaitu objek tentang keterangan saksi yang tidak dihadirkan pada pemeriksaan

di persidangan yang digali secara mendalam aturan-aturannya (norma-

normanya) kemudian dideskripsikan tanpa maksud untuk mengambil suatu

kesimpulan yang berlaku secara umum.

3. Sumber Data

a. Data sekunder, yaitu berupa literatur-literatur, buku-buku, serta dokumen-

dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian.

b. Data primer, yaitu merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif artinya

memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan

52

53

yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), serta peraturan perundang-undangan lainnya yang

mendukung dalam penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara mempelajari

buku-buku, literatur-literatur maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan

materi penelitian.

5. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian

disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara

sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh

akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

6. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara

kualitatif, yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis

berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan

dengan teori-teori hukum yang ada.

54

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dalam Putusan Nomor

:49/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, tentang Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas,

diperoleh sebagai berikut:

1. Duduk Perkara

Terdakwa KF pada hari Selasa, tanggal 19 Oktober 2010 sekitar pukul

21.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Oktober

2010 bertempat di Jalan A.Yani ikut Desa Purwanegara Kecamatan

Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada tempat

lain masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto,

yang mengemudikan Kendaraan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaianya mengakibatkan orang lain meninggal dunia, perbuatan tersebut

dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut :

Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar pukul 21.00 WIB,

terdakwa keluar dari tempat kostan dengan mengendarai sepeda motor

Yamaha Vega R. No.Pol. B-6659-EKB dengan tujuan ketempat rental yang

berada di Karangjambu Kab.Banyumas.

Selanjutnya terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Vega R

No.Pol B-6659-EKB dengan kecepatan 40-50 km/jam dengan gigi

persneling II berada di Jalan A.Yani ikut Desa Purwanegara Kec.

54

55

Purwokerto Utara Kab.Banyumas dan keadaan jalan cuaca terang, kondisi

jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada jalan untuk memotong

jalan/jalan leter U.

Terdakwa pada saat mengendarai motor dalam keadaan terburu-buru,

lalu terdakwa mengendarai sepeda motornya dari arah selatan menuju ke

arah utara atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya terdakwa berada di

jalan sebelah timur ke arah selatan, kemudian terdakwa memotong jalan ke

jalan sebelah kiri atau barat.

Selanjutnya pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat

terdakwa melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara

yang jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak

mendahulukan laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong

jalan dan akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-S

yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO dengan kecepatan 40-50

km/jam masuk gigi persneling III, tidak bisa menghindari sepeda motor

yang dikendarai oleh terdakwa yang tiba-tiba berada di as atau marka jalan

sebelah barat.

Akibat dari tabrakan tersebut sepeda motor Yamaha Jupiter Z. No.Pol.

R-6943-S yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO yang

berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA tidak

sadarkan diri dan dirawat di RS Margono Soekarjo Purwokerto dan setelah

dilakukan perawatan akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA

IRIANA meninggal dunia.

56

Bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum

Daerah Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto No. 474.3/12770/IPJ/12-6-

2012 tanggal 09 Juni 2012 yang ditandatangani oleh dokter AGUS BUDI

SETIAWAN SpBS dengan hasil pemeriksaan ditemukan luka lecet pada

wajah akibat trauma tumpul, luka lecet pada perut akibat trauma tumpul,

ditemukan pula gegar otak pada kepala (contusio serebri) serta sembab otak

akibat trauma benda tumpul yang menyebabkan cedera kepala berat,

kematian diperkirakan karena cedera kepala berat akibat trauma tumpul

dikepala.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan uraian di atas, terdakwa melakukan tindak pidana karena

kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan

tunggal melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 Tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan yang mempunyai unsur-

unsur :

1. Setiap orang ;

2. Yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya ;

3. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia ;

1. Unsur Setiap orang ;

Yang dimaksud dengan Setiap orang adalah siapa saja yang

menunjuk sebagai Subyek Hukum ;

57

Penuntut Umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama

KHAIRIL FALAQ Bin SUTRISNO yang membenarkan identitasnya

seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah mendengar

keterangansaksi-saksi serta keterangan terdakwa dipersidangan didapat

fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka

telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar KHAIRIL FALAQ

Bin SUTRISNO;

Menurut pengamatan Majelis, selama pemeriksaan dipersidangan

Terdakwa sehat jasmani dan rohani, tidak sedang dibawah pengampuan,

mampu merespon jalannya persidangan dengan baik, sehingga dengan

demikian Terdakwa telah memenuhi kriteria sebagai subyek hukum

sehingga mampu untuk mendukung setiap hak dan kewajibannya oleh

karena itu dipandang mampu mempertanggung jawabkan atas segala

perbuatannya, dengan demikian unsur “ setiap orang“ telah terpenuhi

pada diri terdakwa;

2 . Yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya;

Berdasarkan fakta dipersidangan terungkap, pada hari Selasa

tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.30 wib telah terjadi kecelakaan

lalu-lintas antara sepeda motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB

dikendarai Terdakwa dengan sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol.R-

6943-S yang dikendarai saksi GABin YUSMANTO yang berboncengan

dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA dan peristiwa

58

tersebut terjadi di Jalan A Yani ikut Desa Purwanegara Kec. Purwokerto

Utara Kab. Banyumas.

Kecelakaan tersebut terjadi ketika terdakwa pada saat

mengendarai motor dalam keadaan terburu-buru, dan saat itu terdakwa

mengendarai sepeda motornya dari arah selatan menuju ke arah utara

atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya terdakwa berada di jalan

sebelah timur ke arah selatan, kemudian terdakwa menyeberang jalan dan

saat itu posisi sepeda motor terdakwa memotong jalan ke jalan sebelah

kiri atau barat.

Pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat terdakwa

melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara yang

jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak

mendahulukan laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong

jalan dan akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-

S yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO dengan kecepatan 40-

50 km/jam masuk gigi persneling III, tidak bisa menghindari sepeda

motor yang dikendarai oleh terdakwa yang tiba-tiba berada di as atau

marka jalan sebelah barat.

Akibat dari tabrakan tersebut pengendara sepeda motor Yamaha

Jupiter Z No.Pol R-6943-S saksi GABin YUSMANTO yang

berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA

tidak sadarkan diri dan dirawat di RS Margono Soekarjo Purwokerto dan

59

kondisi korban setelah dilakukan perawatan selama 13 hari akhirnya

korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA meninggal dunia.

Dari fakta dan pertimbangan diatas dapat diketahui Terdakwa

telah lalai dalam mengemudikan sepeda motor sehingga unsur kedua

telah terpenuhi.

3 .Unsur Mengakibatkan orang lain meninggal dunia;

Dari fakta-fakta hukum yang terungkap dari keterangan saksi-

saksi, keterangan terdakwa, alat bukti surat berupa visum et repertum

dan barang bukti maka akibat peristiwa kecelakaan lalu lintas yang

terjadi pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.00 wib

antara sepeda motor Yamaha Vega R No.Pol. B-6659-EKB yang

dikendarai Terdakwa dengan sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol.R-

6943-S yang dikendarai saksi GITAARISTIANTO Bin YUSMANTO

yang berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA

IRIANA dan peristiwa tersebut terjadi di Jalan A Yani ikut Desa

Purwanegara Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas telah

mengakibatkan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA meninggal

dunia :

Penyebab korban meninggal dunia pada dasarnya dapat diketahui

dari hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto No. 474.3/12770/IPJ/12-6-2012 tanggal

09 Juni 2012 yang ditanda tangani oleh dokter AGUS BUDI

SETIAWAN SpBS atas nama RENGGAR AFRA SABILA IRIANA ,

60

umur 14 tahun, jenis kelamin perempuan dengan hasil pemeriksaan

ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, luka lecet pada

perut akibat trauma tumpul, ditemukan pula gegar otak pada kepala

(contusio serebri) serta sembab otak akibat trauma benda tumpul yang

menyebabkan cedera kepala berat, kematian diperkirakan karena cedera

kepala berat akibat trauma tumpul dikepala.

Dari fakta hukum diatas maka dapat diketahui akibat kecelakaan

lalu-lintas antara sepeda motor yang dikendarai oleh terdakwa dengan

sepeda motor yang dikendarai oleh saksi GABin YUSMANTO yang

berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA

telah mengakibatkan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA

meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit selama 13 hari sehingga

dengan demikian unsur ketiga telah terpenuhi ;

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut diatas, Majelis telah

mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari bukti mana Majelis

memperoleh keyakinan bahwa terdakwa KHAIRIL FALAQ Bin

SUTRISNO, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut

Umum melanggar pasal 310 (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan karena tidak ditemukan

alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum dan alasan

pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri terdakwa, maka

61

terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepada terdakwa harus dijatuhi

pidana.

Terhadap pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada

pokoknya hanya mohon keringan hukuman, maka pembelaan tersebut

akan dipertimbangkan bersama-sama dengan petimbangan mengenai hal-

hal yang meringankan dan penjatuhan pidana terhadap terdakwa juga

telah mempertimbangkan saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan

sebagaimana tertuang dalam berkas penelitian kemasyarakatan tertanggal

3 Februari 2012 dan juga permohonan dari orang tua terdakwa.

Karena selama pemeriksaan di persidangan tidak diajukan bukti-

bukti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak orang tua korban selama

korban dirawat di rumah sakit maka Pengadilan Negeri tidak dapat

memerintahkan kepada pihak terdakwa untuk mengganti biaya yang telah

dikeluarkan oleh pihak kelurga korban sebagaimana tercantum ketentuan

Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

Karena selama pemeriksaan perkara ini terdakwa telah dikenakan

penahanan, maka lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Oleh karena tidak ada alasan yang sah yang dapat mengeluarkan

terdakwa dari tahanan maka diperintahkan agar terdakwa tetap ditahan.

Oleh karena terdakwa telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana

maka kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara seperti yang

tercantum dalam amar putusan.

62

3. Pembuktian

a. Keterangan Saksi

1. Saksi IR, memberikan keteranganbahwa :

Saksi tidak kenal dengan Terdakwa, saksi adalah orang tua dari

RAFRA SABILA IRIANA yaitu korban yang meninggal dunia dalam

kecelakaan lalu-lintas antara sepeda motor yang dikendarai terdakwa

dan sepeda motor yang dikendarai GA.

Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.45 WIB

diberitahu oleh saudara ADIT teman les anak saksi yang

memberitahukan bahwa anak yang bernama RENGGAR AFRA

SABILA IRIANA mengalami kecelakaan lalu-lintas di Jalan Ahmad

Yani Purwokerto dan sudah dibawa ke RSU Margono Sukarjo

Purwokerto dan saksi langsung datang ke rumah sakit tersebut untuk

melihatnya.

Ketika saksi sampai di Rumah Sakit Margono Sukarjo, saksi

melihat anaknya yaitu RENGGAR AFRA SABILA yang kondisinya

tidak sadar dan ada luka bagian muka dan setelah dirawat selama 13

hari dirumah sakit akhirnya meninggal dunia.

Saksi tidak mengetahui langsung kejadiannya. Menurut keterangan

yang saksi peroleh di Kepolisian bahwa pada waktu kejadian

kecelakaan membonceng sepeda motor sdr. GA. Dari pihak terdakwa

maupun keluarganya tidak ada yang datang meminta maaf atau

63

memberikan santunan kepada saksi.Saksi menyerahkan perkara ini

untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Saksi GA bin Y,memberikan keterangan bahwa :

Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar jam 21.30 WIB

telah terjadi kecelakaan lalu lintas antara sepeda motor Yamaha Vega

No.Pol. B-6659-EKB yang dikendarai terdakwa dengan sepeda motor

Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-S yang dikendarai oleh saksi

berboncengan dengan RENGGAR AFRA SABILA IRIANA di Jalan

A Yani ikut Desa Purwanegara Kecamatan Purwokerto Utara

Kabupaten Banyumas. Awalnya saksi menjemput korban RENGGAR

AFRA SABILA IRIANA untuk pergi les di Biper Sawangan

Purwokerto tidak minta ijin orang tuanya.

Setelah selesai mengikuti les saksi memboncengkan korban

RENGGAR AFRA SABILA IRIANA pulang dengan mengambil

jalan muter lewat alun-alun Purwokerto dan melalui jalan A.Yani ikut

Desa Purwanegara Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten

Banyumas.

Kecepatan kendaraan yang saksi kendarai sekitar 35 km/jam masuk

gigi 3.Pada saat kendaraan saksi melaju dari arah selatan menuju utara

ditabrak oleh terdakwa yang datang arah timur dan mengenai sepeda

motor saksi pada bagian samping sebelah kanan sehingga saksi dan

korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA jatuh terseret dan

terpental.

64

Akibat kecelakaan tersebut RENGGAR AFRA SABILA IRIANA

yang terseret dan jatuh terpental kemudian tidak sadarkan diri dan

setelah dirawat dirumah sakit umum Margono Soekarjo Purwokerto

selama 13 hari akhirnya meninggal dunia.Ditempat kejadian kondisi

jalan datar, ada lampu penerangan jalan dan sepi tidak turun hujan.

Sebelumnya saksi tidak melihat ada sepeda motor terdakwa, karena

saksi sedang ngobrol dengan korban RENGGAR AFRA SABILA

IRIANA dan terdakwa tidak menyalakan lampu depan.

3. Saksi S bin S,memberikan keterangan :

Pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010, pukul 21.30 WIB, di

jalan A. Yani ikut Desa Sokanegara Kecamatan Purwokerto Timur,

Kabupaten Banyumas telah terjadi peristiwa kecelakaan lalu-lintas.

Peristiwa kecelakaan lalu-lintas tersebut terjadi antara Sepeda

Motor Yamaha Yupiter Z No.pol. R-6983 S dengan motor Yamaha

Vega No.Pol. B-6659-EKB.Sewaktu ada kejadian kecelakaan lalu-

lintas tersebut saksi sedang berdiri di warung rokok milik Bapak

Godar yang posisinya disebelah utara jalan tempat terjadinya

kecelakaan lalu-lintas tersebut.

Saksi melihat dan mendengar langsung kejadian kecelakaan lalu-

lintas antara sepeda Motor Yamaha Yupiter Z No.pol. R-6983 S

dengan motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659 EKB tersebut.

65

Menurut saksi jarak warung pak Godar ditempat saksi berdiri

dengan jalan raya A Yani tempat terjadinya kecelakaan lalu-lintas

tersebut antara 60 meter.

Sebelum terjadi kecelakaan lalu-lintas sepeda motor Yamaha

Jupiter Z No.Pol.R-6843-S datang dari arah selatan ke utara

sedangkan untuk sepeda motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB

datang dari arah selatan ke utara namun melewati lajur sebelah timur

(melawan arus) dan langsung memotong jalan lajur sebelah barat.

Sebelum terjadi kecelakaan lalu-lintas di lajur sebelah barat banyak

sepeda motor yang lewat (arus lalu-lintas ramai).Titik tabrak antara

sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol.R-6983-S dengan sepeda

motor Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB disebelah barat as marka

jalan.

Setelah terjadi tabrakan sepeda motor Yamaha Vega B-6659-EKB

berikut pengendaranya jatuh ke arah utara dari titik bentur antara 3

meter, sedangkan pengendara Yamaha Jupiter Z R-6943-S berikut

pemboncengnya berada di sebelah utaranya.

Akibat dari kecelakaan lalu-lintas tersebut ada korban dua orang

meninggal dunia yaitu satu laki-laki dan satu perempuan yang

mengalami luka-luka cukup parah pada bagian kepala.Kecelakaan

lalu-lintas tersebut bisa terjadi disebabkan karena faktor sepeda motor

Yamaha Vega No.Pol. B-6659-EKB sewaktu masuk memotong jalan

66

ke lajur barat dengan cara memaksakan padahal arus lalu-lintas

sedang ramai sepeda motor.

Dipersidangan terdakwa telah mengajukan 2 (dua) orang saksi

yang menguntungkan Terdakwa ( A De Charge ) yang masing-masing

telah memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya

berikut:

1. Saksi DJUREMI : (saksi A De Charge )

Saksi pekerjaannya sebagai Guru BK di SMK Negeri III

Purwokerto dengan tugas sebagai guru BK. Saksi kenal dengan

Terdakwa karena tercatat sebagai salah satu siswa di SMK N III

Purwokerto jurusan Jasa Boga.

Sekarang terdakwa sudah lulus dan tamat sekolah dan telah bekerja

di Hotel Aston Purwokerto.Selama sekolah terdakwa mempunyai

perilaku yang baik tidak ada catatan kenakalan dan mempunyai sifat

penurut (manut tidak neko-neko).

Perilaku terdakwa di luar sekolah terpantau tidak pernah ada

masalah.Setahu saksi terdakwa diajukan dipersidangan ini karena ada

masalah kecelakaan lalu-lintas dan korban yang meninggal dunia

bernama RENGGAR seorang anak perempuan putra dari pak Irianto.

Pada saat terjadi kecelakaan tahun 2010 terdakwa masih kelas II

SMK N III Purwokerto. Saksi yang ditunjuk oleh sekolah untuk

melakukan mediasi antara terdakwa dan keluarganya dengan keluarga

korban pak IRIANTO. Saksi selaku guru BK diberi amanat oleh

67

sekolah telah berkali-kali mengantar keluarga terdakwa menemui

keluarga korban untuk melakukan upaya perdamaian tetapi selalu

ditolak oleh pak IRIANTO dan menganggap terdakwa yang salah.

Saksi mengetahui keluarga terdakwa pernah memberikan uang

duka dalam amplop tetapi ditolak oleh keluarga korban.

Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menyatakan benar.

2. Saksi LAKSMI WATI :

Saksi pekerjaanya sebagai guru di SMK Negeri III Purwokerto

dengan tugas sebagai wali kelas terdakwa di kelas II jurusan Jasa

Boga.Saksi kenal dengan terdakwa karena tercatat sebagai salah satu

siswa di SMK N III Purwokerto jurusan Jasa Boga.

Sekarang terdakwa sudah lulus dan tamat sekolah dan telah

bekerja di Hotel Aston Purwokerto. Selama sekolah terdakwa

mempunyai perilaku yang baik tidak ada catatan kenakalan dan

mempunyai kegiatan ekstra kurikuler bidang kesenian.

Perilaku terdakwa di luar sekolah terpantau tidak pernah ada

masalah. Setahu saksi terdakwa diajukan dipersidangan ini karena ada

masalah kecelakaan lalu-lintas dan korban yang meninggal dunia

bernama RENGGAR seorang anak perempuan putra dari pak

IRIANTO.

Pada saat terjadi kecelakaan tahun 2010 terdakwa masih kelas II

SMK 3 Purwokerto. Sekolah pernah memfasilitasi upaya perdamaian

antara keluarga terdakwa dengan keluarga korban dan Pak DJUREMI

68

yang ditunjuk oleh sekolah untuk melakukan mediasi antara terdakwa

dan keluarganya dengan keluarga korban pak Irianto.

Setahu saksi selaku guru BK yang diberi amanat oleh sekolah

pak DJUMERI telah berkali-kali mengantar keluarga terdakwa

menemui keluarga korban untuk melakukan upaya perdamaian tetapi

selalu ditolak oleh pak IRIANTO dan menganggap terdakwa yang

salah.

Surat

Berdasarkan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Daerah

Prof.Dr.Margono Soekarjo Purwokerto No.474.3/12770/IPJ/12-6-

2012 tanggal 09 Juni 2012 yang ditanda tangani oleh dokter AGUS

BUDI SETIAWAN SpBS atas nama RENGGAR AFRA SABILA

IRIANA, umur 14 tahun, jenis kelamin perempuan dengan hasil

pemeriksaan ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul,

luka lecet pada perut akibat trauma tumpul, ditemukan pula gegar otak

pada kepala (contusio serebri) serta sembab otak akibat trauma benda

tumpul yang menyebabkan cedera kepala berat, kematian diperkirakan

karena cedera kepala berat akibat trauma tumpul di kepala.

Barang Bukti :

a. 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R-6943-S;

b. 1 (satu)buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R-6943-

S;

c. 1(satu) unit sepeda motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB;

69

d.1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No.Pol. B-6659-

EKB.

b. Keterangan Terdakwa

Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan

yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Pada hari Selasa, tanggal 19 Oktober 2010, pukul 21.00 WIB,

terdakwa keluar dari tempat kostan dengan mengendarai sepeda motor

Yamaha Vega R No.Pol. B-6659-EKB dengan tujuan ketempat rental

yang berada di Desa Karangjambu Kecamatan Purwokerto Utara

Kab.Banyumas.

Pada saat itu terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Vega

R No.Pol B-6659-EKB dengan kecepatan 40-50 km/jam dengan gigi

persneling II di Jalan A Yani ikut Desa Purwanegara Kec.Purwokerto

Utara Kab.Banyumas pada saat itu keadaan jalan cuaca terang, kondisi

jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada jalan untuk memotong jalan

atau jalan leter U.

Pada saat mengendarai motor terdakwa dalam keadaan terburu-

buru, lalu terdakwa mengendarai sepeda motornya dari arah selatan

menuju ke arah utara atau melawan arus lalu- lintas. Seharusnya

terdakwa berada di Jalan A. Yani sebelah timur ke arah selatan.

Kemudian terdakwa memotong jalan ke jalan sebelah kiri atau barat.

Pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat terdakwa

melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara yang

jaraknya kurang lebih 4-5 meter, terdakwa langsung memotong jalan dan

akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-S yang

70

dikendarai oleh saksi GA Bin Y menabrak dari belakang dan menyeret

sepeda motor terdakwa.

Akibat dari tabrakan tersebut pengendara sepeda motor Yamaha

Jupiter Z No.Pol R-6943-S yaitu saksi GA Bin Y yang berboncengan

dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA jatuh tidak

sadarkan diri.

Setelah dilakukan perawatan selama 13 hari di RSU Margono

Soekarjo akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA

meninggal dunia.

Keluarga terdakwa yang didampingi oleh pihak SMK NIII

Purwokerto telah berusaha meminta maaf dan memberikan uang duka

kepada keluarga korban akan tetapi selalu ditolak.

Terdakwa mengaku bersalah dan berjanji untuk tidak mengulangi

perbuatannya dan akan lebih berhati-hati dikemudian hari. Serta

terdakwa mengaku belum pernah dihukum dan terdakwa sebagai anak

tertua diharapkan dapat membantu ekonomi keluargannya.

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutus

sebagai berikut :

a. Menyatakan terdakwa (KF) telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan

orang lain meninggal dunia”, sebagaimana diatur dan diancam dalam

71

Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan ;

b. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa KF Bin S selama 6

(enam) bulan dikurangi selama waktu terdakwa menjalani tahanan

sementara memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan ;

c. Menyatakan barang bukti berupa:

- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R- 6943 –S.

- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R- 6943-S

Dikembalikan kepada saksi GA Bin Y.

- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB

- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-

EKB dikembalikan kepada terdakwa KF Bin S.

d. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (seribu rupiah) ;

Putusan Hakim Pengadilan Negeri

a. Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi, keterangan ahli,

keterangan saksi A De Charge, keterangan terdakwa dihubungkan dengan

barangbukti yang diajukan dipersidangan maka ditemukanfakta-fakta hukum

sebagai berikut :

1. Bahwa benar, terdakwa pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 sekitar

pukul 21.00 WIB,terdakwa keluar dari tempat kostan dengan

mengendarai sepeda motor YamahaVega R No. Pol. B-6659-EKB

72

dengan tujuan ketempat rental yang berada di Desa Karang jambu

Kab.Banyumas.

2. Bahwa selanjutnya terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Vega R

No.Pol B-6659-EKB dengan kecepatan 40-50 km/jam dengan gigi

persneling II berada di Jalan A. Yani ikut Desa Purwanegara

Kec.Purwokerto Utara Kab.Banyumas dan keadaan jalan cuaca terang,

kondisi jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada jalan untuk

memotong jalan / jalan leter U.

3. Bahwa terdakwa pada saat mengendarai motor dalam keadaan terburu-

buru, lalu terdakwa mengendarai sepeda motornya dari arah selatan

menuju ke arah utara atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya

terdakwa berada di jalan sebelah timur ke arah selatan, kemudian

terdakwa memotong jalan ke jalan sebelah kiri/barat.

4. Bahwa selanjutnya pada saat terdakwa memotong jalan sebelah barat

terdakwa melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara

yang jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak

mendahulukan laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong

jalan dan akhirnya laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No.Pol. R-6943-

S yang dikendarai oleh saksi GA Bin Y dengan kecepatan 40-50 km/jam

masuk gigi persneling III, tidak bisa menghindari sepeda motor yang

dikendarai oleh terdakwa yang tiba-tiba berada di as atau marka jalan

sebelah barat.

73

5. Bahwa akibat dari tabrakan tersebut pengendara sepeda motor Yamaha

Jupiter Z No.Pol R-6943-S saksi GA Bin Y yang berboncengan dengan

korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA tidak sadarkan diri dan

dirawat di RS Margono Soekarjo Purwokerto dan setelah dilakukan

perawatan selama 13 hari akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA

IRIANA meninggal dunia.

6. Bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Umum Daerah

Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto No. 474.3/12770/IPJ/12-6-2012

tanggal 09 Juni 2012 yang ditanda tangani oleh dokter AGUS BUDI

SETIAWAN SpBS atas nama RENGGAR AFRA SABILA IRIANA ,

umur 14 tahun, jenis kelamin perempuan dengan hasil pemeriksaan

ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, luka lecet pada

perut akibat trauma tumpul, ditemukan pula gegar otak pada kepala

(contusio serebri) serta sembab otak akibat trauma benda tumpul yang

menyebabkan cedera kepala berat, kematian diperkirakan karena cedera

kepala berat akibat trauma tumpul dikepala.

Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut

diatas, Majelis telah mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum, dari

bukti mana Majelis memperoleh keyakinan bahwa terdakwa KF Bin S,

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum melanggar pasal

310 (4) Undang-Undang Nomor22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan , dan karena tidak ditemukan alasan pemaaf yang

74

meniadakan sifat melawan hukum dan alasan pembenar yang

meniadakan kesalahan dalam diri terdakwa, maka terdakwa harus

dinyatakan bersalah dan kepada terdakwa harus dijatuhi pidana;

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Penasihat Hukum

Terdakwa yang pada pokoknya hanya mohon keringan hukuman, maka

pembelaan tersebut akan dipertimbangkan bersama-sama dengan

petimbangan mengenai hal-hal yang meringankan dan penjatuhan pidana

terhadap terdakwa juga telah mempertimbangkan saran-saran dari

pembimbing kemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam berkas

penelitian kemasyarakatan tertanggal 3 Februari 2012 dan juga

permohonan dari orang tua terdakwa;

Menimbang, bahwa karena selama pemeriksaan di persidangan

tidak diajukan bukti-bukti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak orang

tua korban selama korban dirawat di rumah sakit maka Pengadilan

Negeri tidak dapat memerintahkan kepada pihak terdakwa untuk

mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak kelurga korban

sebagaimana tercantum ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22

tahun 2009;

Menimbang, bahwa karena selama pemeriksaan perkara ini

terdakwa telah dikenakan penahanan, maka lamanya terdakwa berada

dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

75

Menimbang, bahwa oleh karena tidak ada alasan yang sah yang

dapat mengeluarkan terdakwa dari tahanan maka diperintahkan agar

terdakwa tetap ditahan;

Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti bersalah

dan dijatuhi pidana maka kepadanya dibebani untuk membayar biaya

perkara seperti yang tercantum dalam amar putusan dibawah;

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan akan

dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan

meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa:

Hal-hal yang memberatkan :

a. Kelalaian terdakwa mengakibatkan korban meninggal dunia ;

Hal-hal yang meringankan :

b.Terdakwa belum pernah dihukum;

c. Terdakwa selalu hadir dan sopan dalam persidangan:

d.Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan menyesali perbuatannya;

e.Terdakwa berkategori terdakwa anak sehingga masih dimungkinkan untuk

memperbaiki dirinya dikemudian hari;

f.Terdakwa dikenal baik di lingkungan sekolah dan tidak ada catatan buruk di

sekolah;

g.Terdakwa sebagai anak tertua diharapkan dapat membantu ekonomi

keluarganya;

h.Bahwa keluarga Terdakwa telah berusaha berkali-kali menemui keluarga

korban untuk mencari kesepakatan damai.

76

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

diatas Majelis berkeyakinan bahwa pidana yang akan dijatuhkan dalam amar

putusan dibawah, telah setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh

terdakwa;

Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa :

- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R- 6943 –S.

- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R- 6943-S

Adalah milik saksi GA Bin Y maka harus dikembalikan kepada saksi GA

Bin Y.

- 1(satu) unit sepada motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB

- 1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB

Adalah milik terdakwa KF Bin S maka harus dikembalikan kepada Terdakwa

KF Bin S.

Mengingat, Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

jo Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta

pasal-pasal dari undang-undang dan peraturan lain yang bersangkutan ;

b. Amar Putusan Pengadilan Negeri

Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan terhadap

terdakwa yaitu:

1. Menyatakan terdakwa: KF Bin S, terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “KARENA KELALAIANNYA

MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA ”.

77

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa tersebut dengan

pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp

500.000,-- (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa

tidak dapat membayar pidana denda tersebut maka dapat diganti dengan

wajib latihan kerja selama 15 (lima belas) hari.;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4.Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;

5. Menyatakan barang bukti berupa :

a.1 (satu) unit sepada motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R- 6943 –S;

b.1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R- 6943-

S dikembalikan kepada saksi GA Bin Y;

c.1(satu) unit sepada motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-EKB;

d.1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No. Pol B- 6659-

EKBdikembalikan kepada Terdakwa KF Bin S.

6.Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 1.000,--

(seribu rupiah).

B. Pembahasan

1. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge dalam

tindak pidana kecelakaan lalu lintas pada Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto.

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang

78

dilarangdan diancam dengan pidana. Moeljatno62

menggunakan istilah

perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai berikut:

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.”

Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT

telah terjadi tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang

lain meninggal dunia. Awal mulanya terdakwa yang masih berstatus pelajar

dari SMK N III Purwokerto itu keluar dari kostan dengan mengendarai sepeda

motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB. Kendaraan yang dikendarai

dengan kecepatan 40-50 km/jam yang pada waktu itu berada di Jalan A.Yani

Desa Purwanegara Kec.Purwokerto Utara Kab.Banyumas dan pada saat itu

keadaan jalan cuaca terang, kondisi jalan beraspal, jalan lurus dua arah dan ada

jalan untuk memotong jalan / jalan leter U. Saat itu mengendarai dalam

keadaan terburu-buru lalu mengendarai dari arah selatan menuju ke arah utara

atau melawan arus lalu-lintas yang seharusnya terdakwa berada di jalan

sebelah timur ke arah selatan, kemudian terdakwa memotong jalan ke jalan

sebelah kiri atau barat. Selanjutnya pada saat terdakwa memotong jalan sebelah

barat terdakwa melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan ke utara

yang jaraknya kurang lebih 4-5 meter, kemudian terdakwa tidak mendahulukan

laju sepeda motor tersebut, terdakwa langsung memotong jalan dan akhirnya

laju sepeda motor Yamaha Jupiter Z No Pol. R-6943-S yang dikendarai oleh

saksi GA Bin Y dengan kecepatan 40-50 km/jam masuk gigi persneling III

62

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm.54

79

sudah tidak bisa menghindari sepeda motor yang dikendarai oleh tedakwa yang

tiba-tiba berada di as atau marka jalan sebelah barat. Akibat dari tabrakan

tersebut sepeda motor yang dikendarai oleh saksi GA Bin Y yang

berboncengan dengan korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA tidak

sadarkan diri dan dirawat di RS Margono Soekardjo Purwokerto dan setelah

dilakukan perawatan akhirnya korban RENGGAR AFRA SABILA IRIANA

meninggal dunia.Penasihat Hukum Terdakwa dalam Putusan

Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT menghadirkan 2 orang saksi A De Charge

yaitu saksi DJUREMI dan saksi LAKSMI WATI yang mana terdakwa

mempunyai hak untukmenghadirikan saksi yang menguntungkan dalam

persidangan, hal ini sesuai denganketentuan Pasal 65 KUHAP yang menjadi

dasar dihadirkannya saksi A De Charge. Membuktikan ada tidaknya tindak

pidana dapat diketahui dengan cara pembuktian di sidang pengadilan tentunya

setelah proses pemeriksaan dikepolisian.

Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam mengungkapkan

suatu tindakpidana. Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril63

:

“Proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah

ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat

bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari

hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan

alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus

dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena

itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan

mempertimbangkan masalah pembuktian.”

Sedangkan Leden Marpaung64

menyatakan bahwa :

63

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, OP,Cit. hlm. 102-103. 64

Leden Marpaung, Op,Cit. hlm. 22-23.

80

“Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh Pengadilan

dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh Pengadilan

Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Sebelumnya seseorang

diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal

ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of

innocence). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan

harus dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut. Untuk

menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti”

dimaksud untuk menentukan “kebenaran.”

Seorang hakim dalam melakukan pembuktian harus benar-benar

memilikikecermatan dan kehati-hatian karena keputusan yang akan diambilnya

berhubungandengan nasib seorang yang didakwa melakukan tindak pidana.

Jangan sampai iamengambil keputusan yang keliru karena akan menyebabkan

penderitaan bagi orangyang tidak bersalah. Menurut R.Soesilo65

, hakim dalam

memeriksa suatu perkarapidana didalam pengadilan senantiasa berusaha

membuktikan :

a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi;

b. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana;

c. Apakah sebabnya peristiwa-peristiwa itu terjadi;

d. Siapakah orang yang telah bersalah berbuat peristiwa itu.

Upaya Hakim untuk membuktikan kebenaran yang selengkap-lengkapnya

tentang suatu perkara pidana dipandu oleh KUHAP, diantaranya tersebut dalam

Pasal 183 KUHAP sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

65

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut

KUHAP Bagi Penegak Hukum), bogor, Politeia, 1982. hlm. 109

81

Majelis hakim yang hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam

putusan yang akan dijatuhkan, harus menguji kebenaran itu dengan alat bukti,

dengan cara, dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat

bukti yang ditemukan. Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang

akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah

ditentukan undang-undang secara limitatif sebagaimana yang disebut dalam

Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, dan keterangan terdakwa. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan

pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti dilakukan dalam batas-batas

yang dibenarkan undang-undang, agar dapat mewujudkan kebenaran materiil.

Kebenaran yang diwujudkan dalam putusan harus berdasar pada hasil perolehan

dan penjabaran yang tidak keluar dari garis yangdibenarkan sistem pembuktian,

dan tidak diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Alat bukti yang

dihadirkan di persidangan harus saling bersesuaian satu sama lain, tidak boleh

saling berdiri sendiri.

Alat-alat bukti sangat diperlukan dalam persidangan, oleh karena itu

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi, dan bahwa

terdakwalah yang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tersebut.

Dengan demikian alat bukti itu adalah sangatpenting di dalam usaha penemuan

kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan

tersebut. Alat bukti pertama yang sah menurut KUHAP adalah keterangan saksi,

82

pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling

utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana

yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua

pembuktian perkara pidana, selalu disadarkan kepada pemeriksaan keterangan

saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,

masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.66

Menjadi saksi dalam suatu perkara pidana merupakan kewajiban hukum

bagi setiap orang. Tapi KUHAP memberikan beberapa pengecualian, ada

beberapa orang yang dibebaskan dari kewajiban tersebut. Orang-orang yang

dikecualikan oleh KUHAP untuk menjadi saksi adalah sebagai berikut:

i. Karena hubungan keluarga atau saudara atau perkawinan ( Pasal 168

KUHAP );

ii.Karena memegang pekerjaan, harkat martabat atau jabatan yang diwajibkan

menyimpan rahasia (Pasal 170 KUHAP);

iii.Karena umur belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau

merekayang sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali (Pasal 171

KUHAP).

Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, Terdakwa telah mengajukan

alat bukti keterangan saksi A De Charge berjumlah 2 orang yaitu Djuremi, dan

Laksmi Wati. Saksi-saksi yang diajukan oleh terdakwa dalam perkara tersebut

telah memberi keterangan mengenai apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami

sendiri tentang suatu kejadian pidana. Agar keterangan saksi dapat bernilai

66M. Yahya, Harahap. Op. Cit. hlm. 286

83

sebagai alat bukti, maka suatu keterangan saksi harus memenuhi syarat yang

ditentukan dalam undang-undang. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan

pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai

nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan

yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.

Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat

bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, menurut M. Yahaya

Harahap67

dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:

a. harus mengucapkan sumpah atau janji;

b. keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti;

c. keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;

d. keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup;

e. keterangan beberapa saksi berdiri sendiri.

a. Harus mengucapkan sumpah atau janji

Undang-undang menentukan agar keterangan saksi dianggap sah dan

mempunyai kekuatan pembuktian maka seorang saksi harus mengucapkan

sumpah atau janji, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 160 ayat (3)

KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau

janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan

keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3)KUHAP maka dapat diambil

suat kesimpulan dalam pemeriksaan disidang pengadilan, saksi yang hendak

memberikan keterangan dimuka persidangan haruslah mengucapkan sumpah

67

Ibid. hlm. 286- 289

84

terlebih dahulu sebelum memberikan keterangannya tersebut. Pengucapan

sumpah ini merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan oleh saksi sebelum

memberikan keterangannya.

Hal ini ditegaskan dengan kalimat “sebelum memberi keterangan, saksi

wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-

masing”. Dari kutipan kalimat yang terdapat dalam Pasal 160 ayat ( 3 )

KUHAP tersebut maka jelaslah dapat dikatakan bahwa KUHAP menuntut agar

mewajibkan seorang saksi mengucapkan sumpah atau janji sebelum

memberikan keterangan. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut

agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan

memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada

sebenarnya.

Menurut Andi Hamzah68

:

“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau tidak

mengucapkan janji, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, tetapi

hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan

hakim.”

Namun dalam hal lain jika dianggap perlu pengadilan dapat meminta

seorang saksi atau ahli untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi atau

ahli tersebut selesai memberikan keterangan, hal ini dirumuskan dalam Pasal

160 ayat (4)KUHAP yang berbunyi:

“Jika dianggap perlu seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau

berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan keterangan.”

68

Andi Hamzah, Op,Cit, hlm. 240

85

Berdasarkan pemeriksaan dipersidangan, maka saksi A De Charge yang

terdapat dalam Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, yang diajukan oleh

penasihat hukum terdakwa yaitu saksi Djuremi dan Laksmi Wati semuanya

telah diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangan di depan

persidangan oleh hakim yang memeriksa sehingga telah memenuhi syarat dan

ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dengan demikian saksi A De Charge

yang diajukan oleh terdakwa telah sah untuk diajukan sebagai alat bukti.

b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti, tidak semua keterangan saksi

yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.Keterangan saksi yang mempunyai

nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelakan Pasal 1 angka 27

KUHAP, yaitu:

1. Yang saksi liat sendiri,

2. Saksi dengar sendiri,

3. Dan saksi alami sendiri,

4. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN.PWT yang diberikan dalam persidangan adalah

keterangan yang saksi dengar, saksi lihat dan saksi alami sendiri serta

menyebut alasan daripengetahuannya itu, yaitu mengenai fakta yang dilakukan

terdakwa. Berdasarkan hal tersebut maka keterangan yang saksi A De Charge

berikan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP, sehingga

keterangan saksi A De Charge dalamPutusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN.PWT adalah keterangan yang mempunyai nilai sebagai

alat bukti yang sah yang dapat digunakan oleh hakim sebagai dasar

86

pertimbangan untuk menentukan keyakinan tetang bersalah atau tidaknya

terdakwa.

c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;

Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu

harus dinyatakan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penegasan Pasal

185 ayat (1)KUHAP, yaitu:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan.”

Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya

sendiri,dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa

pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi

nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar

sidang pengadilan ( outside the Court ) bukan alat bukti, tidak dapat

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

M. Yahya Harahap69

, menyatakan:

“Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan, bukan alat bukti

tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa,

sekalipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat

hukum ada mendengar keterangan seorang yang berhubungan dengan

peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan itu mereka dengar

di halaman kantor pengadilan atau keterangan itu disampaikan oleh

seseorang kepada hakim dirumah tempat tinggalnya. Keterangan yang

demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan itu tidak

dinyatakan di sidang pengadilan.”

Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan

Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, semuanya diberikan di sidang pengadilan

dengan mengucapkan sumpah terlebih dulu untuk memberikan keterangan

69

M. Yahya, Harahap. Op. Cit .hlm. 810

87

yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Berdasarkan hal

tersebut maka ketentuanPasal 185 ayat (1)KUHAP, bahwa keterangan saksi

harus diberikan di sidang pengadilan telah terpenuhi, sehingga keterangan

saksi A De Charge dalam PutusanNomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT

merupakan alat bukti sah yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan

hukum hakim dalam menjatuhkan putusannya.

d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Pasal 183 KUHAP merumuskan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah

yang bersalah melakukannya.”

Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan

kesalahan seorang terdakwa, harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-

kurangnya dengan duaalat bukti. Jadi, betitik tolak dari ketentuan Pasal 185

ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai

alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus

testis”.

M. Yahya Harahap70

menyatakan:

“Jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari

seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau

alat bukti yang lain, atau kesaksian tunggal, yang seperti ini tidak dapat

dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.”

Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT terdapat beberapa alat bukti

yang diajukan di persidangan, diantaranya alat bukti 3 keterangan saksi yang

70

Ibid, hlm. 288

88

diajukanoleh penuntut umum atau saksi A Charge, keterangan ahli, dan 2

keterangan saksi yang diajukan oleh terdakwa atau saksi A De Charge, dan

juga keterangan terdakwa. Dengan demikian telah terpenuhi ketentuan

minimum pembuktian dan “the degree of evidence”, yakni keterangan saksi

ditambah dengan, keterangan ahli yaitu hasil Visum Et Repertum, dan

keterangan saksi yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa danalat bukti

keterangan terdakwa.

e. Keterangan beberapa saksi berdiri sendiri.

Keterangan beberapa saksi yang berdiri diatur dalam Pasal 185 ayat ( 4 ) ,

yang menegaskan:

i. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau

keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan syarat,

ii. Apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain

sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau

keadaan tertentu.71

M. Yahya Harahap72

menyatakan:

“Keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti

serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi

tersebut saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu

keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa orang saksi yang

berdiri sendiri sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain,

tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.”

Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, yang terdiri dari 2 orang yaitu saksi Djuremi, dan

71

M. Yahya, Harahap. Op. Cit .hlm .290 72

M. Yahya, Harahap. Loc.Cit.

89

Laksmi Wati, semuanya saling berhubungan yaitu bahwa mereka sama-sama

bekerja sebagai guru di SMK N 3 Purwokerto dan terdakwa pada waktu itu

masih berstatus sebagai siswa di SMK N 3 Purwokerto. Saksi Laksmi Wati

adalah wali kelas dari terdakwa. Sehingga mengetahui sikap terdakwa sewaktu

di sekolah. Hal tersebut juga berkaitan dengan keterangan saksi yang diajukan

oleh penuntut umum atau saksi A Charge. Berdasarkan hal tersebut antara

saksi A Charge dan saksi A De Charge memiliki hubungan serta saling

menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Sehingga

keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, telah memenuhi ketentuan Pasal 185 ayat (4)

KUHAP sehingga dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah dalam

persidangan.

Hal lain yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena dikenal adanya

asas unus testisnullus testis dimana kesaksian yang berdiri sendiri oleh seorang

saksi saja bukan merupakan alat bukti.

Pasal 185 ayat ( 2 ) KUHAP merumuskan :

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya.”

Menurut Syaiful Bakhri73

dapat diambil suatu pengertian:

1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus

didukung oleh dua orang saksi;

73

Dr. Syaiful Bakhri.S.H.,MH. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik,

file:///E://beban-pembuktian-dalam-beberapa-praktik.html, diakses tgl 1 Juni 2014, pukul 17.37

WIB.

90

2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian

tunggal itu harus mencukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti

yang lain.

Saksi A De Charge yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa

berjumlah 2 orang yang semuanya memberikan keterangan atas apa yang ia

lihat, ia dengar dan ia alami sendiri dan kesemuanya memberikan keterangan

dibawah sumpah dan antara keterangan yang satu dengan yang lain terdapat

persesuaian dan tidak berdiri sendiri.

Maka dapat dikatakan bahwa saksi A De Charge tersebut tidak melanggar

Pasal 185ayat (2) KUHAP.

Darwan Prints74

, mengemukakan beberapa syarat yang harus dimiliki

saksi agar kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :

a. Syarat formal

Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu

diberikan dibawah sumpah;

b. Syarat materiil

Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai

alat pembuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup

untuk alat pembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan.

Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah

adalah :

1. Syarat formil :

Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum

maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4)

KUHAP).

2. Syarat materil

74

Prints Darwan, Op,Cit, hlm 108.

91

a. Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana (

Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP ).

b. Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (

Pasal 1 butir 27 KUHAP ).

c. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa/ asas ini terkenal dengan sebutan unus testis

nullus testis (Pasal 185ayat (2) KUHAP.

Walaupun sudah memenuhi syarat materiil dan formil, hakim tidak

mempunyai ikatan untuk memakai keterangan saksi, hakim bebas memakai

alat bukti yang ia yakini. Saksi biasanya diberi kesempatan oleh hakim untuk

menceritakan tentang apa yang dia alaminya, dilihatnya atau didengarnya

secara bebas, selanjutnya hakim ketua dapat menanyakan hal-hal yang lebih

spesifik, baik dengan berpedoman pada hasil pemeriksaan penyidik yang

tercatat dalam berita acara penyidikan maupun pertanyaan baru.75

Menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, harus

terdapat saling berhubungan antara keterangan-keterangan tersebut, sehingga

dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau

keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran

keterangan para saksi,Pasal 185 ayat (6) KUHAP menuntut kewaspadaan

hakim, untuk sungguh-sungguh memperhatikan:

75

Wisnubroto, Op,Cit hlm.17.

92

1. Persesuaian antara keterangan saksi;

Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan

hakim yang harus diuraikan secara terperinci dan sistematis.

2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;

Apabila yang diajukan penuntut umum dalam persidangan terdiri dari

saksidengan alat bukti lain baik berupa ahli, surat atau petunjuk hakim

dalam sidang ataupun pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-

sungguh saling bersesuaian atau bertentangan antara keterangan saksi itu

dengan alat bukti lain.

3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu; Hakim harus mencari alasan

saksi tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti maka akan memberikan

gambaran yang kabur bagi hakim tentang gambaran yang diberikan oleh

saksi.

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat mempengaruhi tidaknya keterangan itu dipercaya. Barangkali yang

terpenting diperhatikan hakim dalam menilai cara hidup dankesusilaan

saksi adalah yang menyangkut nilai-nilai kepribadian dan akhlak saksi

yang bersangkutan. Termasuk didalamnya kejujuran, keimanan,

ketakwaan, maupun yang berkenaan dengan sifat-sifat buruk yang sering

diperlihatkan saksi seperti culas, dengki, pembohong, suka memfitnah dan

lain sebagainya.

Kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge adalah sama dengan

kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diajukan oleh penuntut umum.

93

Menurut M. Yahya Harahap76

kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai

alat bukti yang sah adalah:

1. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas, pada alat bukti kesaksian

“tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig

bewijskracht), dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan

pembuktian yang mengikat dan menentukan ( beslissende

bewijskracht).

Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai

nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh karena itu, alat bukti

kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan

pembuktian yang menentukan.

2. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim, alat

bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk

menilai kesempurnaan dan kebenarannya.

Sistem pembuktian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas

menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk), hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya

seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang

dan keyakinan hakim sendiri. Jadi, didalam sistem negatif ada dua hal yang

merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan

pendapatnya Alfitra77

Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang

undang.

Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti

tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

Apabila salah satu unsur diantara dua unsur itu tidak ada, maka tidak

cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Hakim baru diwajibkan

76

M.Yahya Harahap, Op,Cit.hlm.274 77

Alfitra,OP,Cit.hlm 29.

94

menghukum orang, apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana yang

bersangkutan adalah terbukti.

Menurut hasil pemeriksaan di persidangan maka terungkap keterangan

antara saksi Djuremi dan Laksmi Wati, antara saksi satu dengan yang lain

saling bersesuaian dan saling menguatkan, sehingga dapat dijadikan dasar oleh

hakim untuk menjatuhkan putusan.

Pasal 183 KUHAP merumuskan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya.”

Ketentuan Pasal 183 KUHAP mengandung tiga asas yaitu:

1. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran

materiil atau kebenaran materiil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 183

KUHAP.

2. Asas keyakinan hakim berdasarkan Pasal 183 KUHAP menganut sistem

pembuktian menurut undang-undang secara negative bahwa hakim baru boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila telah terbukti dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktiannya itu

hakim yakin bahwa terdakwalah yang bersalah.

3. Asas pembuktian minimum bertitik tolak pada batas minimum pembuktian,

bagaimanapun sempurnanya suatu alat bukti, kesempurnaan itu tidak dapat

berdiri sendiri akan tetapi harus didukung oleh minimal alat bukti yang lain

guna memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183

KUHAP.

95

Berdasarkan ketentuan diatas mengandung maksud bahwa hakim bebas

untuk menilai kekuatan alat bukti keterangan saksi, artinya dalam hal ini hakim

tidak terikat dengan alat bukti keterangan saksi A De Charge yang diajukan oleh

penasihat hukum terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Hal lain

yang dapat disimpulkan dari ketentuan tersebut adalah bahwa alat bukti

keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas artinya

hakim tidak terikat denganalat bukti keterangan saksi akan tetapi didasarkan

pada asas keyakinan hakim danasas batas minimum pembuktian serta asas

kebenaran materiil.

Keterangan saksi A De Charge adalah sebagai alat bukti yang sifatnya

meringankan terdakwa dan dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam

menjatuhkan putusan. Keterangan saksi A De Charge dalam Putusan

Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT terdiri dari 2 saksi yang diajukan oleh

penasihat hukum terdakwa guna menguntungkan atau meringankan terdakwa.

Berdasarkan uraian diatas dan fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam

persidangan, diketahuai bahwa saksi A De Charge dalam Putusan Nomor:

49/Pid.Sus/2012/PN.PWT yaitu Djuremi, dan Laksmi Wati, masing masingtelah

memenuhi syarat mutlak sebagai saksi yakni saksi A De Charge telah

memberikan keterangan yang ia lihat, ia dengar, dan alami sendiri, dalam

persidangan Djuremi, menjelaskan bahwa saksi kenal dengan terdakwa karena

terdakwa tercatat sebagai salah satu siswa di SMKN 3 Purwokerto jurusan Jasa

Boga. Saksi juga menjelaskan bahwa selama sekolah terdakwa mempunyai

perilaku yang baik tidak ada catatan kenakalan dan mempunyai sifat penurut

96

(manut tidak neko-neko) dan juga perilaku terdakwa di luar sekolah terpantau

tidak pernah ada masalah. Dan saksi Laksmi Wati, menjelaskan bahwa dulu

terdakwa bersekolah di SMK N 3 Purwokerto, dan sekarang sudah lulus dan

tamat sekolah dan telah bekerja di Hotel Aston Purwokerto. Saksi juga

mengatakan selama di sekolah terdakwa mempunyai perilaku yang baik tidak

ada catatan kenakalan dan mempunyai kegiatan ekstra kulikuler bidang

kesenian. Kemudian masing-masing saksi juga telah diambil sumpahnya

sebelummemberikan keterangan sehingga memenuhi kualifikasi sebagai alat

bukti. Selanjutnya keterangan saksi A De Charge tersebut apabila dihubungkan

antara keterangan satu dan yang lain terdapat saling persesuaiaan dan saling

menguatkan sehingga memberikan keyakinan kepada hakim. Sehingga

keterangan saksi A De Charge dalam Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT

adalah alat bukti sah yang memiliki nilai kekuatan pembuktian. Kekuatan

pembuktian keterangan saksi A De Charge adalah sama dengan kekuatan

pembuktian keterangan saksi yang diajukan oleh penuntut umum, sehingga

kekuatan pembuktian keterangan saksi A De Charge dalam Putusan

Nomor:49/Pid.Sus/2012/PN.PWT sebagai alat bukti sah adalah bebas, artinya

hakim bebasuntuk menerima atau menyingkirkan isi keterangan saksi yang

diberikan dipersidangan, nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi A De

Charge tergantung pada penilaian hakim. Hakim dalam menerima keterangan

saksi A De Charge yang kemudian dipergunakan sebagai bahan pertimbangan

hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara

selama 3 (tiga) bulan, dan pidana denda sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu

97

rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar pidana denda

tersebut maka dapat diganti dengan wajib latihan kerja selama 15 (lima belas)

hari terhadap terdakwa (KF).

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang

boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan

kesalahan terdakwa.78

2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto

Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:

1. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah atau minimum

pembuktian;

2. Adanya keyakinan hakim.

78

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.

273.

98

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan.Menurut C. Djisman Samosir79mengenai alat-alat bukti dan

pembuktian yaitu ;

”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa,

acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna

membantu hakim untuk pengambilan keputusannya.Alat-alat bukti ini

adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu.

Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha

penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang

melakukan perbuatan tersebut”.

Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu bermakna

bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat

bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim

ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa

yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh

dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga

membenarkan pelakunya adalah terdakwa.80

Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai

dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar

pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada

79

C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina

Cipta, 1985. hlm 79. 80

Nikolas Simanjuntak ,Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta : Ghalia

Indonesia, 2009, hlm 244.

99

peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan

suatu motivasi”.

Putusan Nomor :49/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto bahwa majelis hakim

yang memeriksa perkara tersebut telah memeriksa alat bukti berupa keterangan

saksi korban dan keterangan saksi A De Charge serta alat bukti surat berupa

Visum et Repertum Nomor 474.3/12770/IPJ/12-6-2012 dan juga keterangan

terdakwa,

Selain menghadirkan saksi, Penuntut Umum juga telah mengajukan barang

bukti berupa :

1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z No. Pol R-6943-S;

1 (satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Jupiter Z No.Pol R-6943-S ;

1 (satu) unitsepeda motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB;

1(satu) buah STNK Sepeda Motor Yamaha Vega R No.Pol B-6659-EKB.

Bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan telah dilakukan

pemeriksaan, yaitu berdasarkan berita acara pemeriksaan.

Berdasarkan pemaparan di atas maka hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara Putusan Nomor :49/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto menyatakan

bahwa :

1. Menyatakan terdakwa KH terbukti secara sah dan menyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana ”KARENA KELALAIANNYA

MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA”

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp 500.000,-

100

(lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat

membayar pidana denda tersebut maka dapat diganti dengan wajib

latihan kerja selama 15 (lima belas) hari.81

Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan

beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat

mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan.

Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil

mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari

surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam

pemeriksaan dalam sidang pengadilan.

Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11

KUHAP yang merumuskan :

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.”

Laden Marpaung82menyebutkan :

“Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan

dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan.

Ada juga yang mengartikan putusan atau vonis sebagai vonis tetap

(definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah

hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.”

Putusan perkara Nomor: 49/Pis.Sus/2012/PN.PWTmerupakan bentuk

putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1)

KUHAP menyebutkan bahwa :

81

Ibid. hlm 32-33 82

Laden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar

Grafika. Jakarta. 1994.hlm.36.

101

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP

serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam

perkara ini bagi terdakwa (KF) dengan hukuman pidana penjara selama 3 (tiga)

bulan dan pidana denda sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) karena

terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan ;

Putusan perkara pidana Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT, dengan

penjatuhan pidana 3 (tiga) bulan penjara dinilai sudah sesuai dengan perbuatan

yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pelaku tindak pidana “ KARENA

KELALAIANNYA MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL

DUNIA” sehingga melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

102

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi A De Charge dalam Tindak Pidana

Kecelakaan Lalu Lintas pada Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.

Purwokerto. Dapat disimpulkan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang

ditemukan dalam persidangan. Adanya saksi yang meringankan terdakwa atau

saksi A De Charge yaitu Djuremi, dan Laksmi Wati, masing masing telah

memenuhi syarat mutlak sebagai saksi yakni saksi A De Charge telah

memberikan keterangan yang ia lihat, ia dengar, dan alami sendiri, merupakan

alat bukti yang sah dan hakim bebas untuk menerima atau menyingkirkan isi

keterangan saksi A De Charge yang diberikan dipersidangan untuk dasar

pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara 3

(tiga) bulan, dan pidana denda sebesar Rp. 500.000,-- (lima ratus ribu rupiah)

dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar pidana denda

tersebut maka dapat diganti dengan wajib latihan kerja selama 15 ( lima belas)

hari terhadap terdakwa.

2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Terhadap Putusan Nomor: 49/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto. Dapat

disimpulkan berdasarkan alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh

Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan

terdakwa, alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor

474.3/12770/IPJ/12-6-2012 serta barang bukti yang telah disebutkan. Alat

102

103

bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang

dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas. Hakim berkeyakinan bahwa

pidana yang akan dijatuhkan dalam amar putusan telah setimpal dengan

perbuatan yang dilakukan terdakwa. Hakim juga telah memberikan hak kepada

terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, antara lain dengan

menghadirkan saksi A De Charge dalam persidangan. Majelis Hakim juga

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap

terdakwa.

B. Saran

1. Hendaknya pembentuk undang-undang perlu membuat ketentuan yang

mengatur lebih jelas mengenai saksi yang meringankan atau A De Charge,

sehingga dalam pelaksanaanya tidak terjadi permasalahan mengenai

diajukannya saksi yang meringankan atau saksi A De Charge oleh terdakwa

ataupun penasihat hukum terdakwa sebagai upaya melemahkan dakwaan

Jaksa Penuntut Umum.

2. Hendaknya hakim perlu mempertimbangkan dengan hati nuraninya tentang

keterangan yang diberikan oleh saksi A De Charge baik di tingkat penyidikan

maupun pada tingkat persidangan, sehingga peranan keterangan saksi A De

Charge dapat benar-benar berfungsi untuk menguatkan keyakinan hakim agar

putusan yang dihasilkan tetap menjunjung tinggi kebenaran materiil.

104

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur :

Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan

KorupsiDi Indonesia, Jakarta : Raih Aksa Sukses.

Asri, Benyamin, 1989, Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Penyidikan,

Penuntutan dan Peradilan, Bandung: Tarsito.

Hamzah, Andi, 1986,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,

Indonesia.

_______, 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harahap, M. Yahya. 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali Edisi kedua, Sinar Grafika: Jakarta.

______ ,2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar

Grafika: Jakarta.

__, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Edisi

kedua, Sinar Grafika: Jakarta.

Lamintang Theo, dan P.A.F. Lamintang. 2010, Pembahasan KUHAP

(Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi),

Jakarta :Sinar Grafika.

Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan

&Penyidikan)Bagian Pertama Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

______,1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak PidanaEkonomi.Sinar

Grafika: Jakarta.

Moelyatno.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum

Pidana. Jakart:Bina Aksara.

M. Taufik Makaro dan Suharsil, 2004.Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta.

Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia,

Semarang :Badan Penerbit Undip.

105

Purnomo, Bambang. 1985, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana

Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor8 Tahun 1981, Liberty,

Yogyakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1993, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti,

Ghalia Indonesia, Jakarta

Projodikoro, Wirjono. 1967.Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur

Bandung, Jakarta.

Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan

Bandung: Bina Cipta.

Soesilo, R, 1982. Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara

Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum ), Politeria: Bogor.

Simanjuntak, Nikolas. 2009.Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum,

Ghalia Indonesia: Bogor.

Wisnubroto, A.L. 2002. Praktek Peradilan Pidana: Proses Persidangan

Perkara Pidana. Jakarta: Galaxi Puspa.

Zainal, Abidin. 2007.Hukum Pidana 1, Sinar Grafika: Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

_________Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,

C. Sumber Lain :

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 49/Pid.Sus/2012/PN.PWT.

http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi, diakses pada tanggal 26 Juli 2013 pada

pukul 15. 28 WIB

Dr. Syaiful Bakhri.S.H.,MH. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik,

file:///E://beban-pembuktian-dalam-beberapa-praktik.html, diakses

tgl 1 Juni 2014, pukul 17.37 WIB.