pembuktian rekaman suara dalam tindak …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bea...
TRANSCRIPT
PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor
:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
SKRIPSI
Oleh :
BEA PRADANA
E1A009205
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor
:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
BEA PRADANA
E1A009205
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
iii
HALAMAN PENGESAHAN
PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor
:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
Oleh :
BEA PRADANANIM. E1A009205
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum padaFakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah diterima dan disetujui pada tanggal 24 Februari 2014
Para Penguji/Pembimbing
Penguji I Penguji II Penguji IIIPembimbing I Pembimbing II
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. Handri Wirastuti S, S.H.,M.H. Pranoto, S.H., M.H.
NIP. 19640724 199002 1 001 NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19540305 198601 1 001
MengetahuiDekan Fakultas Hukum,
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.NIP. 19640923 198901 1 001
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : BEA PRADANA
NIM : E1A009205
Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor
:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil
karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto, 24 Februari 2014
BEA PRADANANIM. E1A009205
v
ABSTRAK
PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK PIDANA
PENGANIAYAAN
(Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Nomor
:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.)
Oleh:
BEA PRADANAE1A009205
Dalam hal proses pembuktian di Persidangan terdapat suatu alat buktirekaman suara, walaupun kedudukan rekaman suara tidak jelas apabilamenggunakan aturan alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka dibutuhkanUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan TransaksiElektronik unntuk mengatur secara spesifik mengenai kedudukan rekaman suaradapat sebagai alat bukti yang sah atau tidak.
Berdasarkan hal tersebut maka timbul masalah yang akan di bahas yaitubagaimana penerapan dan kedudukan rekaman suara dalam Putusan PengadilanNegeri Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
Tujuan dari penelitian ini apabila kita menerapkan rekaman suaraberdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi Elektronik, rekaman suara sebagai perluasan alat bukti sah yang diaturdalam KUHAP. Rekaman suara menjadi alat bukti sah yang berdiri sendiri danmerupakan alat bukti sah selain yang sudah diatur dalam perundang-undangan.Tetapi rekaman suara tidak begitu saja dapat diterapkan, karena banyak factoryang mempengaruhinya terutama factor yang mempengaruhi penetapan hakimmengenai rekaman suara dapat menjadi alat bukti atau tidak.
Kesimpulan dari hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan NegeriNomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. menunjukan bahwa dalam utusan tersebutterdapat rekaman suara yang dapat menjadi alat bukti sah namun demikian denganbeberapa factor sebagai pertimbangan hakim tidak menggunakan rekaman suarasebagai alat bukti sah dalam kasus tersebut.
Kata kunci: rekaman suara, alat bukti, perluasan alat bukti sah
vi
ABSTRACT
There is a voice recording that exist in the verification process at a trial.Core of regulation that regulate about evidence is Pasal 184 KUHAP. Butunfortunately, position of voice recording is not clearly explained by thisregulation. So we need to see UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi danTransaksi Elektronik to get a specific regulation about whether a voice recordingis legitimate or not.
Based on those things, appear a problem that will be researched in thisresearch. The problem is how about the implementation and position of voicerecording in decision of court number 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
The purpose of this research is if we implement voice recording based onUU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, voicerecording is an extension of legitimate evidence that regulated in KUHAP. Voicerecording can be an independent legitimate evidence. Voice recording is also alegitimate evidence beside what regulated in KUHAP. However, voice recordingis can not simply be applied because many factors that influence it. Main factor isjudge determination. Judge has an authorithy to decide wether a voice recordingcan be a legitimate evidence or not.
The conclusion of this research looks inside Court Decision Number:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. the result of this research shows us that voicerecording can be a legitimate evidence. Somehow, based on many factors, judgecan not use the voice recording as a legitimate evidence in this case.
Keywords: voice recording, legitimate evidence, extension of legitimateevidence.
vii
PERSEMBAHAN
1. Seluruh keluarga saya, adik saya Greget Dwi Laras Sesanti dan aiman
Bangkit Prabasworo dan seluruh keluarga besar saya yang selalu
mendoakan saya;
2. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang
telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
3. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan;
4. Teman-teman penulis, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang
memberikan do’a dan semangat kepada penulis.Teman-teman PBMH,
kelas C, teman-teman kelompok skripsi acara pidana dan yang lainnya
yang memberikan do’a dan semangat kepada penulis;
5. Kekasih saya Alfantaura Dini Acca yang senantiasa memberikan doa dan
dukungan bagi saya dan selalu mendampingi saya;
6. Teman-teman KKN POSDAYA;
7. Semua teman-teman angkatan 2009 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu;
8. Teman-teman kosan Pranacitra yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
viii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri
Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.) Skripsi ini disusun sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
2. Dr. Hibnu Nugroho,S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang
memberikan motivasi, arahan, dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
4. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan
dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis dan kuliahannya yang
membuat saya termotivasi untuk menjadi lebih mngerti perkembangan
hukum;
5. Kedua orang tua tercinta, Suseto Joko Lelono dan Sri Murdiyanti yang
tidak pernah habis memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan, dorongan
ix
dan semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang penulisan skripsi
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya
literatur. Namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus
sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya
bagi kita semua.
Purwokerto, 24 Februari 2014
Penulis
x
HALAMAN MOTTO
“ Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya
itu adalah untuk dirinya sendiri. ” (QS Al-Ankabut [29]: 6)
“ Seorang takkan menjadi sukses tanpa cobaan yang berat, jadi
percaya saya pada rencana Allah SWT dan lakukan yang terbaik untuk
mencapai sukses. ”
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ....................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ............................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ............................................................................ vii
PRAKATA ....................................................................................... viii
HALAMAN MOTTO ..................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Perumusan Masalah ..................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ......................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian .................................................... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian………..... ......................... 12
2. Macam-Macam Alat bukti KUHAP ...................... 15
3. Macam-Macam system pembuktian ..................... 23
B. Rekaman Suara
xii
1. Pengertian rekaman suara……….. ........................ 27
2. Kedudukan Rekaman Suara................... ............. 29
3. Kekuatan pembuktian rekaman suara………….... 35
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Pendekatan ...................................................... 42
2. Spesifikasi Penelitian .................................................... 42
3. Lokasi Penelitian………............................................... 42
4. Jenis data……………………………………………… 43
5. Metode Pengumpulan Data .......................................... 44
6. Metode Penyajian Data ................................................ 44
7. Metode Analisa Data .................................................... 45
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................ 49
B. Pembahasan .................................................................. 71
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................... 92
B. Saran ............................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu hukum publik adalah hukum pidana yang pengaturannya di
Indonesia diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan
penegakannya menggunakan hukum acara pidana yang ada dalam KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tahapan penegakkan hukum acara
pidana (formil) dalam KUHAP meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta
jika diperlukan maka dilakukan upaya hukum.
Tugas utama hukum acara pidana yang khas, particular, itu adalah untuk
mencari kebenaran hukum dengan menetapkannya dalam satu putusan hakim, dan
putusan itu sendiripun secara kumulatif harus sekaligus bermakna sebagai
pelaksana perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan atau
saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana. Oleh sebab itu, kebenaran yang hendak
diputuskan bukanlah sekedar benar, tetapi benar yang bisa
dipertanggungjawabkan sebagai kepastian perlindungan hukum dan hak-hak asasi
manusia (HAM).1
1. Nikolas simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, GhaliaIndonesia, hal 234
2
Perkara pidana itu ada jika diketahui ada tindak pidana atau peristiwa
pidana atau kejahatan yang dilakukan2, sehingga pemeriksaan suatu perkara
pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk
mencari kebenaran materiil (materiilewaarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkapkan
suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan
penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Tujuan dari hukum
acara pidana dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diterbitkan oleh Menteri
Kehakiman adalah sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkanatau setidak-tidaknya mendekati kebenaran amteriil, ialah kebenaran yangselengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dedngan menerapkanhukum pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencarisiapakah pelaku yang dapat didakwaan melakukan suatu pelanggaranhukum, dan selanjutnya meminta dan putusan dari pengadilan gunamenentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukandan apakah orang ynag didakwakan itu dapat dipersalahkan pada tahappersidangan perkara tersebut3.”
Berdasarkan kalimat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yaitu
kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidak-tidaknya mendakati kebenaran
yang sesungguhnya.
2Mohammad Taufik Makarao, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Ghalia Indonesia, hal 113
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal 7-8
3
Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen4 dalam bukunya leerboek van herNederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwaq tiga fungsi pokokacara pidana adalah:
a. Mencari dan menemukan kebenaran;b. Pengambilan putusan oleh hakim;c. Pelaksanaan daripada putusan.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran
karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti itulah,
hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang
kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana
adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya
adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan
kesejahteraan dalam masyarakat.5
Usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran
materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan
dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang. Hal ini sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan bahwa:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilankarena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinanbahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalahatas perbuatan ytang didakwakan atas dirinya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, maka dalam proses
4Ibid, hal 8-9
5Ibid.
4
penyelesaian perkara pidana penegakan hukum wajib mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan
selengkap mungkin.
Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan terdapat proses
pembuktian. Pembuktian yang dilakukan berdasarkan argumentasi atau dalil yang
didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara,
merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara di pengadilan. Di
dalamnya terkait erat persoalan hak-hak hukum dan bahkan hak asasi setiap orang
atau pihak-pihak yang dipersangkakan telah melakukan pelanggaran hukum.
Lebih-lebih dalam hukum pidana dimana seorang dapat didakwa telah melakukan
perbuatan pidana tertentu, yang apabila berdasarkan alat bukti yang diajukan
disertai dengan keyakinan hakim menyatakan bersalah, padahal sebenarnya ia
tidak bersalah, sehingga putusan hakim berdasarkan pembuktian yang dilakukan
itu dapat menyebabkan orang yang bersalah bebas tanpa ganjaran, sedangkan
orang yang sama sekali tidak bersalah menjadi terpidana dengan cara yang tidak
adil. Oleh sebab itu, metode pembuktian yang dikembangkan oleh hakim haruslah
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat sungguh-sungguh
menghasilkan keadilan.
Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya fakta-
fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis
terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang
berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana
5
sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya
berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.
Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan
suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Adapun alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah
ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
Alat bukti yang sah ialah:a. Keterangan saksi;b. Keterangan ahli;c. Surat;d. Petunjuk;e. Keterangan terdakwa.
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana seringkali para penegak hukum
dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan
sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya.
Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam
rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak
hukum tersebut.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ialah teori system pembuktian menurut
6
Undang-Undang secara negative (negatief wetteljike bewijs theorie), yang dalam
hal ini keyakinan hakim tetap ada, tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang
menjadi pembuktian final melainkan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai
apakah alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang (limitatif) sudah
terpenuhi dan pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya
fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran ynag logis
terhadap fakta-fakta yang lalu yang tidak terang menjadi terang yang berhubungan
dengan tindak pidana, pembuktian dalam acara pidana sangat penting karena
nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam
alat bukti yang ada dalam persidangan.
Dalam perkembangan era globalisasi sekarang ini, perkembangan
teknologi yang semakin pesat menuntut aturan hukum untuk berperan secara
fleksibel dengan perkembangan teknologi. Teknologi terkadang dapat membantu
Terkait dengan pembuktian dalam persidangan, salah satunya mengenai perluasan
alat bukti yang pada aturannya suatu alat bukti yang sah diatur dalam KUHAP,
sehingga ini yang membuat pengertian alat bukti yang limitatif dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 dapat menjadi sempit. tetapi disini penulis akan
membahas bagaimana suatu hasil perkembangan teknologi yaitu berupa sebuah
bukti dalam pembuktian. Walaupun kedudukannya tidak jelas apabila hanya
mengacu dengan aturan limitatif alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP maka
dibutuhkan suatu undang undang untuk mengatur secara spesifik mengenai
kedudukan Rekaman Suara dapat sebagai Alat Bukti yang Sah atau hanya sebagai
barang bukti saja.
7
Untuk itu Pemerintah membuat suatu Undang-Undang untuk dapat
mendukung perkembangan teknologi yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang ini akan
memberikan perluasan arti alat bukti yang sah menurut Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan suatu bentuk aspirasi dari
Pemerintah Indonesia bersama dengan DPR dari adanya suatu kemungkinan
dampak buruk yang timbul.6
Agar dapat melakukan investigasi yang benar terhadap alat bukti informasi
dan transaksi elektronik, sehingga sebuah kejahatan dapat terungkap, maka
diperlukan sisi positif dan kemajuan bidang computer. Hal ini berarti aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi computer dibutuhkan untuk memeriksa menganalisis
setiap barang bukti digital yang satu dengan yang lain, sehingga kejahatan
tersebut dapat menjadi terang dan keberadaan pelaku dapat dilacak untuk
kemudian dapat ditangkap demi mempertanggungjawabkan kejahatannya.
Aplikasi tersebut dikenal dengan istilah digital forensic.7
Menurut Mohammad Nuh Al-Azhar8 adanya klasifikasi digital forensicatau spesialisasi digital forensic yang memiliki cakupan luas, sehingga
6O.C. Kaligis, 2012, “penerapan Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dalam prakteknya”, Yarsif Watampone, Jakarta, Hal505-5067
Muhammad Nuh Al-Azhar, 2012, “digital forensic Panduan Praktis InvestigasiKomputer”, Jakarta, Salemba Infotek. Hal 178
Ibid. hal 25-26
8
pengelompokannya berdasarkan pada bentuk fisik maupun bentuk logisdari barang bukti yang diperiksa/dianalisis, sebagai berikut:
1. Computer Forensic, yaitu Forensic ini berkaitan dengan barang bukticomputer pribadi;
2. Mobile Forensic, yaitu Forensik ini berkaitan dengan barang buktielektronik berupa handphone atau smartphone. Pemeriksaan inibiasanya berkaitan dengan informasi; digital yang tersimpan di barangbukti tersebut;
3. Audio Forensic, yaitu Forensik ini berkaitan dengan rekaman suarapelaku kejahatan rekaman biasanya diperiksa untuk kepentingan voicerecognition, yaitu memeriksa dan menganilisis suara yang ada dalamrekaman barang bukti (dikenal dengan unknown sample), yangkemudian dibandingkan dengan suara pembanding (known samples)dalam rangka untuk mengetahui apakah suara unkown adalah identikatau tidak identik dengan suara known. Jika identik maka suara barangbukti berasal dari subjek pembanding, dan sebaliknya. Jika tidakidentik, maka suara barang bukti tidak berasal dari subjek pembanding;
4. Video Forensic;5. Image Forensic;6. Cyber Forensic.
Menarik untuk dibahas dalam kasus dimana hakim memutuskan bahwa
bukti rekaman suara itu dijadikan sebagai barang bukti. Di sisi lain, apabila
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) bahwa kedudukan bukti rekaman suara adalah sebagai
alat bukti yang sah. Berdasar asas lex specialis derogat legi generalis, ketentuan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bisa sebagai Undang Undang
yang bersifat lebih khusus.
Alat bukti dengan barang bukti merupakan hal yang berbeda dan alat-alat
bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, maka alat-alat tersebut
dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan
bagi hakim akan kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
9
terdakwa. Alat-alat bukti yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP.
Dalam proses pembuktian kasus penganiayaan ini terdapat suatu bukti
rekaman suara. Analisis terhadap barang bukti tersebut diperlukan dalam
penyidikan terhadap tindak pidana ini yang bertujuan untuk mengetahui atau
menyelidiki apakah benar korban menderita karena penganiyaan tersebut atau
tidak.
Putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :
445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel., terdapat suatu kasus mengenai Tindak Pidana
Penganiayaan, dimana hakim memutus terdakwa dengan penjara selama 5 (lima)
bulan karena terbukti melakukan penganiayaan.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang berjudul “PEMBUKTIAN REKAMAN SUARA DALAM TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Nomor :
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah Rekaman Suara dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam
Putusan No: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.?
10
2. Bagaimana kekuatan pembuktian rekaman suara dalam Tindak Pidana
Penganiayaan dalam Putusan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Rekaman suara dapat sebagai alat bukti yang sah
dalam Putusan No: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian rekaman suara dalam
tindak pidana penganiayaan terhadap Putusan Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan
pengetahuan hukum dalam bidang acara pidana terutama dalam
penggunaan bukti rekaman suara untuk mengungkap Penganiayaan
dan dapat mengetahui kedudukan rekaman suara.
2. Kegunaan Praktis
a. Dapat memberikan data dan informasi mengenai bidang ilmu
yang telah diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada
dalam praktek
11
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta
pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat
pada hal yang sama
c. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan
analistis penulis, khususnya dalam Hukum Acara Pidana
d. Untuk memperoleh data yang akan dipergunakan oleh penulis
dalam penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar
sarjana dalam Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan proses penting dalam pemeriksaan sidang di
pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia
bersalah atau tidak. Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah melindungi
orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan
kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat
berarti apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus
mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang
dimaksud kepentingan terdakwa adalah terdakwa harus tetap diperlakukan adil
sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau
sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini
terkandung asas equality before the law).9 Asas equality before the law adalah
adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak
mengadakan perbedaan perlakuan.
Pembuktian dalam acara pidana sangat penting karena nantinya akan
terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang
ada dalam persidangan.
9Luhut MP Pangaribuan, 2005, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan
oleh Advocat. Djambatan. Jakarta hal 3-4.
13
Menurut M. Yahya Harahap10, Pembuktian adalah ketentuan yang beisipenggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yangdibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untukmembuktikan kesalahan yang didakwakan.
Sebelum masuk dalam persidangan, sebenarnya dalam hal pembuktian
pengumpulan bukti tindak pidana sudah dilakukan dalam proses penyidikan,
dalam penyidikan tersebut dilakukan pengumpulan bukti untuk meyakinkan
bahwa tindakan tersebut tindak pidana atau bukan.
Dalam melaksanakan penegakan hukum, penyidikan merupakan tahap
yang sangat penting. Jika terjadi kegagalan pada proses penyidikan akan berakibat
fatal pada proses pembuktian dalam persidangan. Seperti diketahui istilah
penyidikan dalam bahasa Indonesia memiliki kata dasar “sidik”. Sidik berarti
terang. Jadi menyidik berarti membuat terang atau jelas. Di sisi lain kata sidik
berarti juga bekas yang kita jumpa dalam sidik jari, bekas jari atau telapak jari,
sehingga menyidik juga berarti mencari bekas, dalam hal ini berarti bekas-bekas
kejahatan.11
Tahap penyidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
penegakan hukum pidana, karena kesalahan dalam penyidikan berakibat salahnya
semua proses. Hasil penyidikan menjadi dasar pembuatan surat dakawaan,
tuntutan hingga akhirnya akan diputuskan oleh hakim bahwa seseorang memang
10M. Yahya harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, SinarGrafika, Jakarta, Hal.252.11
Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,Media Prima Aksara, Jakarta, hal 2
14
terbukti bersalah dan harus menerima sanksi pidana atau bahkan sebaliknya
memperoleh kebebasannya.
Seperti diketahui bahwa tugas polisi sebagai penyidik baik sebelum
maupun sesudah berlakunnya KUHAP telah ada. Fungsi kepolisian yang langsung
berhubungan dengan masalah penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 13
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tersebut mempunyai wewenang salah
satunya adalah membeslah barang untuk dijadikan bukti.12
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pembuatan undang-undang
sangat menyadari, kedudukan penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan
sangatlah penting. Penyidikan merupakan ujung tombak pengungkapan suatu
tindak pidana. Guna mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu mencari dan
menemukan kebenaran materiil, maka beban pencarian untuk menemukan alat-
alat bukti yang akan digunakan oleh penuntut umum di persidangan ada di pundak
penyidik. Kegagalan penyidik dalam mencari dan menemukan alat bukti di
lapangan akan menjadi rentetan kegagalan penemuan kebenaran materiil dalam
proses persidangan nantinya.13
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:1. Memerima laporan atau pengaduan diri seorang tentang adanya
tindak pidana;2. Mencari keterangan dan barang bukti;
12Ibid, hal 38
13Ibid, hal 42
15
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan sertamemeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2. Macam-Macam Alat Bukti KUHAP
Untuk menentukan suatu kebenaran yang obyektif, juga salah satunya harus
menggunakan alat bakti.
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatuperbuatan, dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat digunakansebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim ataskebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan olehterdakwa.14
Apabila berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan
mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat bukti yang tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas
pada yang ditentukan saja.
Urutan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian. Kekuatan
pembuktian diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomro 8 tahun 1981 tentang
14Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm 23.
16
Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis nullus testis. Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim. Kekuatan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentnag Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabiladengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperolehkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya.
Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan – ketentuan
dalam hukum acara pidana yang akan terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang
terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang
benar dan pembuktian yang obyektif dan terhindar dari rekayasa para pelaksana
persidangan. Untuk menemukan suatu kebenaran yang obyektif juga salah satunya
dengan menggunakan alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
disebutkan mengenai alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam
mengambil keputusan, alat bukti itu ialah :
a. Keterangan Saksib. Keterangan Ahlic. Suratd. Petunjuke. Keterangan terdakwa.
a. Keterangan saksi
Pada umumnya semua orang bisa menjadi saksi. Pengecualiannya terdapat
dalam Pasal 168 KUHAP berikut :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – samasebagai terdakwa;
17
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa,saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyaihubungan karena perkawinan, dan anak – anak saudara terdakwasampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama– sama sebagai terdakwa.
Di dalam Pasal 170 KUHAP dijelaskan juga mengenai mereka – mereka
yang karena pekerjaannya, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan
sebagai saksi.Menurut penjelasan Pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang
menentukan adanya kewajiban untuk kewajiban untuk menyimpan rahasia
ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa
jika tidak ada ketentuan peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang
jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini,
hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk
mendapatkan kebebasan tersebut.15
Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana terdapat
dalam berita acara penyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam
pemeriksaan sidang.
Menurut Pasal 163 KUHAP, dikatakan bahwa jika keterangan saksi di
dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam berkas perkara, hakim
ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan.
15Andi Hamzah, 2008, Ibid, hal 262
18
Harus juga diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus
disertai dengan alasan – alasan yang bisa diterima. Apabila bisa diterima baru bisa
dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja
pencabutan keterangan saksi tersebut harus ditolak.
b. Keterangan Ahli
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam :
a. Pasal 120 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b. Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang
surat dan tulisan palsu.
c. Pasal 133 KUHAP menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk
menentukan korban luka keracunan atau mati adalah ahli
kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya.
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh
Pasal 183 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu tidak mencantumkan
keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut
sama dengan Ned.Sv. dan hukum acara pidana modern di banyak negeri.
Berdasarkan Pasal 186 KUHAP maka keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan. Jadi, Pasal tersebut tidak menjawab
siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan Pasal tersebut
juga tidak menjelaskan hal ini.Keterangan ahli menurut Pasal 343 Ned. Sv. Disana
dikatakan bahwa keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan
19
dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya,tentang sesuatu apa yang dimintai
pertimbangannya.16
Keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Jika dilihat dari segi isi
keterangan yang diberikan, maka terlihat perbedaannya yaitu ketika seorang saksi
memberikan keterangan maka ia hanya memberikan keterangan mengenai apa yag
dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu
penilaian mengenai hal – hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan
mengenai hal itu sesuai bidang ilmu yang ahli kuasai.
c. Surat
Alat bukti surat selanjutnya adalah surat yang pengertiannya dicantumkan
dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atassumpah jabatan atau dikaitkan dengan sumpah, adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resi yang dibuat oleh pejabatumum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuatketerangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat ataudialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dab tegas tentangketeranganya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang – undanganatas surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalamtata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagipembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yanh memuat pendapat berdasarkankeahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang dimintasecara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isidari alat pembuktian yang lain.
Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat ditinjau dari beberapa segi
yaitu 17:
16Ibid, hlm 272-273.
20
1) Dari segi formil
Apabila dilihat dari segi formal alat bukti surat yang disebut dalam
Pasal 187 huruf a, b, c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna.
Oleh karena itu mempunyai kekuatan pembuktian formal yang
sempurna.
2) Dari segi materiil
Apabila dilihat dari segi materiil semua alat bukti surat yang disebut
Pasal 187 KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan
mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama dengan
alat bukti yang lain mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Menurut M.Yahya Harahap18:“Berdasarkan ketentuan mengenai kekuatan pembuktian dilihat dari segimateriil dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat bukti suratmempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, hakim bebas menilaikekuatannya dan kebenarannya yang dapat ditinjau dari beberapa alasanyaitu dari segi azas kebenaran sejati, segi keyakinan hakim maupun dariazas batas minimum pembuktian”.
Kekuatan dan penilaian alat bukti terdapat dalam Pasal 185 KUHAP
sampai dengan Pasal 189 KUHAP.Kekuatan alat bukti atau juga dapat disebut
sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat bergantung dari
beberapa faktor. Suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif apabila
sikap atau perilaku pihak lain menuju ke satu tujuan yang dikehendaki.
Pembuktian walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik)
yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang
17M Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, Hal 289.
18Ibid, Hal 291.
21
adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, nilai kesempurnaannya pada
alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri.
Bagaimanapun sikap kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti
surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap
memerlukan dukungan alat bukti lain. Artinya, sifat kesempurnaan formalnya
harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal
183 KUHAP.
Ada dua hal yang perlu diingat tentang kekuatan alat bukti surat, sesuaipendapatnya Alfitra19yaitu :
1) Bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap bukti-bukti surat dalam perkara pidana dikuasai oleh aturan bahwa merekaharus menentukan keyakinan hakim. Dengan demikian, dalam perkarapidana, akta yang sama dapat saja dikesampingkan oleh hakim.
2) Pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaranmateriil.
d. Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut:
“,Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karenapersesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengantindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindakpidana dan siapa pelakunya”.
Diperjelas lagi di ayat (2) Pasal diatas, yang berbunyi :
“Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperolehdari :
a. Keterangan saksi;b. Surat;c. Keterangan terdakwa.
Dalam ayat (3) dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
19Alfitra, 2011, Op.Cit. Hal.93
22
“Mengenai kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaantertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah iamengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaanberdasarkan hati nuraninya”.
Jadi, berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Pengertian diperoleh, artinya alat
bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung (indirect bewijs). Oleh
karena itu, banyak yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat
bukti.
Menurut Van Bemmelen20 mengatakan, “Akan tetapi keasalahan yang
terutama adalah, bahwa orang telah menganggap petunjuk – petunjuk itu sebagai
suatu alat bukti, sedang dalam kenyataannya adalah tidak demikian.”
e. Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan
yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa
dilakukan sesudah pemeriksaan keterangan saksi – saksi.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti
tidak perlusama atau berbentuk pengakuan.Semua keterangan terdakwa
hendaknya di dengar.Apakah itu berupa penyangkalan,pengakuan, ataupun
pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim
mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian
menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944.
20Alfitra, 2011, Ibid, hal 102
23
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena
pengakuan sebgai alat bukti mempunyai syarat – syarat berikut :
a. Mengaku melakukan delik yang didakwakan,
b. Mengakui ia bersalah.
Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas
pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van
Toelichting Ned.Sv.penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti sah.21
Alat - alat bukti di atas dapat diajukan dari pihak terdakwa maupun dari
pihak Kejaksaan. Biasanya jika alat bukti tersebut diajukan dari pihak terdakwa
maka terkesan untuk meringankan hukuman terdakwa, sedangkan jika alat bukti
tersebut dihadirkan oleh pihak kejaksaan dalam hal ini oleh jaksa maka sifat alat
bukti tersebut terkesan untuk memberatkan karena seorang jaksa kedudukannya
sebagai wakil dari Negara dan demi kepentingan masyarakat umum maka ia harus
bersikap obyektif.
Selain dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan
bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang
melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan
keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk
membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.
3. Macam-Macam System Pembuktian
Dalam melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidanatidak terlepas dari proses pembuktian. Alfitra22 menulis bahwa :
21Andi Hamzah, 2008, hal 278
24
Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur
tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat – alat
bukti yang sah, dan dilakukan tindakan – tindakan dengan prosedur khusus
guna mengetahui fakta – fakta yuridis dipersidangan, system yang dianut
dalam pembuktian, syarat – syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut
serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu
pembuktian.
Adanya proses pembuktian didalam pengadilan memberikan kesempatan
baik kepada terdakwa maupun kepada hakim untuk membuat terang tentang
dugaan adanya tindak pidana. Berbagai macam tindak pidana yang terdapat di
masyarakat, termasuk didalamnya yakni tindak pidana persetubuhan. Dalam
tindak pidana persetubuhan terdakwa maupun hakim akan membuat terang
tentang dugaan adanya tindak pidana tersebut sehingga pada nantinya akan
didapat putusan yang sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sebenarnya pembuktian merupakan hal yang terpenting di dalam acara
pidana. Pembuktian perlu dilakukan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya
seseorang terdakwa melewati pemeriksaan yang dilakukan didepan sidang
pengadilan. Untuk melaksanakan suatu pembuktian, haruslah terdapat alat – alat
bukti yang sah. Alat – alat bukti pada akhirnya akan meyakinkan hakim dalam
menemukan kebenaran materiil.
1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang – Undang Secara
Positif ( Positive Wettelijk Bewijstheorie )
22Alfitra, 2011, Ibid, hal 21
25
Sistem pembuktian positif ( positief wetelijk ) adalah sistem pembuktian
yang menyadarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan
oleh undang – undang.23
Menurut D. Simons seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah24, sebagaiberikut: Sistem atau teori pembuktian berdasar undang – undang secarapositif ( positief wetelijk ) ini berusaha untuk menyingkirkan semuapertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurutperaturan – peraturan pembuktian yang keras.
Sistem ini menjelaskan jika alat – alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang – undang dapat dipergunakan menurut ketentuan undang – undang maka
hakim wajib menentukan bahwa hal tersebut telah terbukti walaupun itu
bertentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri maupun sebaliknya.
2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Aliran ini sangat sederhana. Hakim tidak terikat atas alat – alat bukti apa
pun. Putusan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, walaupun hakim secara
logika mempunyai alasan – alasan, tetapi hakim tersebut tidak diwajibkan
menyebut alasan – alasan tersebut.25
Sistem ini memberikan teori bahwa keyakinan hakim melulu yang
sekiranya berdasarkan keyakinan hatinya memberikan dampak penetapan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini memberikan
banyak kekurangan seperti adanya kebebasan yang besar kepada hakim, yang
berakibat bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya akan sulit melakukan
pembelaan.
23Alfitra, 2011, Ibid,hal.28
24Andi Hamzah, 2008,hal 251
25Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana ( Penyelidikan dan Penyidikan ),Sinar
Grafika, 2009, hal.26
26
Menurut Wirjono Prodjodikoro26, sistem pembuktian demikian pernah
dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.
Sistem ini katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan
yang Logis ( Laconviction Raisonnee )
Teori ini menyatakan bahwa, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar – dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan ( conclusive ) yang berlandaskan
kepada peraturan – peraturan pembuktian tertentu.27
Sistem ini memberikan penjelasan bahwa hakim dibebaskan dari
keterikatan alat – alat bukti, pada dasarnya hakim menjatuhkan putusan
berdasarkan atas keyakinan dengan berdasarkan keyakinan yang disertai dengan
alasan – alasan yang logis.
4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang – Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk)
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa : Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Kalimat tersebut menyatakan pembuktian bahwa pembuktian harus
berdasarkan kepada undang – undang ( KUHAP ). Dalam hal ini hakim hanya
26Andi Hamzah , 2008, Op.cit, hal.252
27Ibid, hal 253
27
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang dengan minimal melalui dua alat bukti
yang sah dan keyakinan hakim.
Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang – undang
secara negatif ( negatief wettelijk bewijstheorie ) ini, pemidanaan didasarkan
kepada pembuktian yang berganda ( dubbel en grondslag , kata D. Simons ), yaitu
pada peraturan undang – undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang
– undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang –
undang.28
Berdasarkan uraian tentang Pasal 183 KUHAP, menjelaskan bahwa
KUHAP menganut sistem pembuktian negative wettelijk, bahwa hakim di dalam
mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh
alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang dan keyakinan (nurani) hakim
sendiri.29
A. Rekaman Suara
1. Pengertian Rekaman Suara
Salah satu barang bukti elektronik yang ditemukan di TKP atau yang
berkaitan dengan kasus (baik pidana maupun perdata) adalah barang bukti alat
rekam suara (audio recorder) yang berisi rekaman suara percakapan seseorang
dengan orang lain. Rekaman suara pembicaraan yang merupakan barang bukti
digital ini, pada kasus tertentu memiliki peranan yang sangat penting untuk
mengungkap kasus atau menunjukan keterlibatan seseorang dengan kasus yang
28Andi Hamzah, 2008, Op.cit,hal.256
29Alfitra,2011, Ibid, hal.29
28
sedang diinvestigasi. Dari rekaman suara, orang-orang yang melakukan
percakapan dapat diketahui identitasnya melalui pemeriksaan audio forensic untuk
voice recognition dengan metode komparasi, yaitu membandingkan suara di
dalam rekaman barang bukti (unknown samples). Jika hasil voice recognition
menunjukan bahwa suara unknown samples identik dengan suara known samples,
maka suara percakapan dalam rekaman barang bukti dapat disimpulkan berasal
dari pemilik suara pembanding.
Dengan prosedur penanganan barang bukti rekaman suara yang benar yang
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisinya yang prosedural,
diharapkan hasil pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dapat
menunjukan secara ilmiah kepemilikan suara yang ada dalam rekaman tersebut
untuk disajikan sebagai alat bukti kuat dipengadilan.
Pada dasarnya teori suara dihasilkan melalui proses generation dan
filtering. Pada proses Generation, suara pertama kali diproduksi melalui
bergetarnya pita suara (vocal cord atau vocal fold) yang berada di laring (larynx)
untuk menghasilkan bunyi periodic. Bunyi periodic yang bersifat konstan tersebut
kemudian di filterisasi melalui vocal tract (disaebut juga dengan istilah resonator
suara atau articulator) yang mencakup lidah (tongue), gigi (teeth), bibir (lips),
langit-langit (palate), dan lain-lain sehingga bunyi tersebut dapat menjadi bunyi
keluaran (output) berupa bunyi vocal (vowel) dan/atau bunyi konsonan
(consonant) yang membentuk kata-kata yang memiliki arti sehingga nantinya
dapat dianalisis untuk voice recognition). 30
30Mohammad Nuh Al-Azhar, Op Chit, hal 145
29
2. Kedudukan Rekaman Suara
Dalam proses di Persidangan suatu perkara akan melalui tahap pembuktian,
dalam hal pembuktian sebuah bukti yang diajukan itu dapat menentukan
bagaimana isi putusan perkara tersebut, kedudukan sebuah bukti yang diajukan
sangat menentukan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusannya.
Apabila pihak korban mengajukan sebuah bukti rekaman suara dari sebuah
telepon genggam milik korban yang menurut korban rekaman tersebut adalah
rekaman suara saat korban sedang dianiaya oleh pelaku.
Menurut Andi Hamzah31 mengatakan:Barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai manadelik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delikdilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk jugabarang yang merupakan hasil dari suatu delik .Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
a. Merupakan objek materiil;b. Berbicara untuk diri sendiri;c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana
pembuktian lainnya;d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan
terdakwa.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo32:Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. DalamPasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwasegala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenalibarang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkanbarang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialahbarang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atausebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagaibarang bukti pengadilan.
31Andi Hamzah, 2008, Ibid, hal. 254
32http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamis tanggal 26 September 2013
30
Kecenderungan terus berkembangnya teknologi tentunya membawa
berbagai implikasi yang harus segera diantisipasi dan juga diwaspadai. Upaya itu
sekarang telah melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun dengan lahirnya Undang-Undang ITE belum semua permasalahan
menyangkut masalah ITE dapat ditangani. Persoalan tersebut antara lain
dikarenakan:
a. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomr 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektroniktidak semata-mata Undang-Undang
ini bisa diketahui oleh masyarakat pengguna teknologi informasi dan
praktisi hukum;
b. Berbagai bentuk perkembangan teknologi yang menimbulkan
penyelenggaraan dan jasa baru harus dapat diidentifikasikan dalam
rangka antisipasi terhadap pemecahan berbagai persoalaan teknis yang
dianggap baru sehingga dapat dijadikan bahan untuk penyusunan
berbagai peraturan pelaksana;
c. Pengayaan akan bidang-bidang hukum yang sifatnya sektoral (rejim
hukum baru) akan makin menambah semarak dinamika hukum yang
akan menjadi bagian system hukum nasional.33
Perkembangan membuat klasifikasi mengenai barang bukti semakin
komplek, jika mengacu kepada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
33Ahmad M Ramli, 2008, dinamika konvergensi hukum telematika dalam system hukum
nasional,jurnal legislasi Indonesia, vol 5, no 4
31
Informasi dan Transaksi Elektronik maka terdapat sebuah barang bukti elektronik
dan barang bukti digital adalah sebagai berikut:
Barang Bukti ElektronikJenis-jenisnya meliputi:a. Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;b. Handphone, smartphone;c. Flashdisk/thumb drive;d. Floppydisk;e. Harddisk;f. CD/DVD;g. Router, switch; hub;h. Kamera video, CCTV;i. Kaemra digital;j. Music/video player, dan lain-lain
Barang Bukti DigitalBarang bukti ini bersifat digital yang diekstrak atau di-recover dari barangbukti elektronik. Barang bukti dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan istilahinformasi elektronik dan dokumen elektronik. Contoh barang bukti digital:a. Logical file,b. Deleted file,c. Lost file,d. File slack,e. Log file,f. Encrypted file,g. Steganography file,h. Office file,i. Audio file, Yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain, yang
biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain. File audio yang berisikanrekaman suara percakapanorang ini biasanya menjadi penting dalaminvestigasi ketika suara di dalam file audio tersebut perlu diperiksa dandianalisis secara audio forensic untuk memastikan suara tersebutapakah sama dengan suara pelaku kejahatan.
j. Video file.34
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan
antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital. Barang bukti
elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital memiliki isi yang
34Mohammad Nuh Al-Azhar, Op Chit, hal 27-29
32
bersifal digital.35 Rekaman suara dalam sebuah handphone yang berdasar
penjelasan diatas termasuk kedalam jenis barang bukti elektronik dan data
ekstrakannya yang berupa audio file merupakan barang bukti digital.
Pembuktian terhadap suatu tindak pidana akan selalu berkaitan dengan alat
bukti, dimana berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus
mempertanggung jawabkan perbuataannya apabila berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka yang dinilai sebagai
alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai ‘kekuatan pembuktian’ hanya terbatas
kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1)Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari
alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila
ada barang bukti yang tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut Pasal
184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
maka barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut. Seiring
berkembangnya teknologi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti pesatnya
perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang_Undang Nomer
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
35Mohammad Nuh Al-Azhar, Op chit., hal 29
33
Dalam Undang-Undnag Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti (limitatif) yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah ketentuan yang berlaku
untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di
luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.36
Rekaman suara dapat di golongkan sebagai informasi elektronik atau
dokumen elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4), yang berbunyi:
ayat (1):
“informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,foto,electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tandam angka, kode akses,symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapatdipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”ayat (4):
“dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau system elektronik,termasuk tetapi tidak terbatas dalam tulisan, suara, gambar, peta,rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbolatau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami olehorang yang mampu memahaminya.”
36http://selalucintaindonesia.wordpress.cm/2013/01/05/undang-undang-informasi-dan-
transaksi-elektronik/diakses pada 25 november 2013
34
Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa:
”informasi elektrenik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasilcetakannya…. Merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai denganhukum acara yang berlaku di Indonesia.”
Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima
dalam system hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti
peradilan agama, perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah
konstitusi, termasuk artibtrase.37
Pemahaman “perluasaan” tersebut dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Perluasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
i. Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maka alat bukti
ditambah satu alat bukti yaitu alat bukti Informasi dan Transaksi
Elektronik.
ii. Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hasil cetakan
Informasi elektronik dan dokumen elektronik secara hakiki ialah
surat.
37http://www.hukumonline.com/klinik/detail/it502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan. diakses pada tanggal 25 november 2013
35
iii. Perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi Elektronik atrau
Dokumen Elektronik sebagai sumber petunjuk sebagaimana
dimungkinkan dalam beberapa Undang-Undang.38
Ketentuan ini telah menegaskan bahwa alat bukti elektronik merupakan
alat bukti yang berdiri sendiri atau lebih tepatnya lex specialis derogate legi
generalie dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, hal ini juga diperkuat dengan Pasal 44 huruf (b) Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa
Informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain
sebagaimana alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan
yang sudah ada, sedangkan barang bukti digital berupa audio file harus dilakukan
proses voice recognition dari seorang ahli agar dapat mengetahui keaslian
rekaman suara tersebut.
3. Kekuatan Pembuktian Rekaman Suara
Apabila mengacu pada KUHAP, mengenai Informasi yang disimpan
secara elektronik, termasuk rekaman, tidak dapat diajukan sebagai alat bukti
berdasarkan KUHAP. KUHAP juga tidak mengatur bagaimana legalitas print out
(hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi
elektronik sebagai alat bukti.
Informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah
diundangkannya Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Undang Undang No. 20 tahun 2001). Pasal 26 (A)
38http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 25 november 2013
36
Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di
simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus
tindak pidana korupsi.
Selain dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2001, informasi elektronik
sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam Pasal 38 huruf (b) Undang Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang Undang
No.15 Tahun 2002), serta Pasal 27 huruf (b) Undang Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang Undang No. 15
Tahun 2003).
Walaupun Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang Undang
Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 telah
mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi
keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi,
pencucian uang dan terorisme saja.
Di dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang Undang
Nomor 15 tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 15 tahun 2003 juga belum ada
kejelasan mengenai legalitas print out sebagai alat bukti. Juga belum diatur tata
cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan
informasi/dokumen eleltronik sebagai alat bukti ke pengadilan.
Menurut Brian A. Prasetyo39, Sebagai Direktur Lembaga Kajian HukumTeknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bahwa Dasar hukumpenggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilanmenjadi semakin jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang
39 http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/03/30/alat-bukti-dan-barang-bukti-segi-pidana/diakses pada hari Kamis tanggal 26 September 2013
37
No. 11 Tahun 2008 Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 44). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dinilai lebih memberikan kepastian hukumdan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidanakorupsi, pencucian uang dan terorisme saja.
Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, Undang
Undang No. 11 Tahun 2008 juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat
bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai
berikut (Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008):
a. Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang
ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh
pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut; dan
d. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
38
Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Tegasnya, syarat-syarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai
persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Selain itu, keadaan-
keadaan tersebut berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan
berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, atau
keterangan terdakwa.
Menurut Adami Chazawi40, Persyaratan suatu petunjuk adalah sebagaiberikut:
a. Adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan,kejadian,, dan keadaan merupakan fakta-fakta yang menunjukan tentangtelah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukan,dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindakan pidanatersbut;
b. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan,kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antaraperbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan;
c. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukan adanya duahal,yaitu menunjukan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana danmenunjukan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanyaproses pembentukan alat bukti petunjuk, yang sekaligus merupakan tujuandari alat bukti petunjuk;
d. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat,dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian yang
40Eddy O.S.H., 2012, teori & hukum pembuktian, erlangga, Jakarta, hal 109
39
diabstraksi dari pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkandari minimal dua alat bukti yang sah.
Konteks teori pembuktian, petunjuk adalah circumstantial evidence atau
bukti tidak langsung yang bersifat sebagai pelengkap atau accessories evidence.
Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri, namun merupakan alat bukti
sekunder yang diperoleh dari alat bukti primer, dalam hal ini adalah keterangan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Mengapa keterangan ahli, meskipun alat
bukti primer atau mandiri, tidak dijadikan sebagai sumber diperolehnya suatu alat
bukti petunjuk? Hal ini berkaitan dengan sifat keterangan ahli adalah berdasarkan
sebjektivitas seorang ahli, kendatipun keterangan ahli haruslah disampaikan
secara objektif.41
Hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum semua terikat
pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang undang.
Hakim harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan alat
bukti dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan pengadilan. Apabila
majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan
dalam putusan, maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan
undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian suatu alat
bukti haruslah berdasarkan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Menurut Andi Hamzah42 ada empat teori sistem pembuktian dalamhukum acara pidana, salah satunya yakni: Pembuktian berdasarkankeyakinan yang rasional (berenderieerde bewijsleer) Ajaran pembuktian
41Eddy O.S.H., Ibid, hal 110
42Andi Hamzah,Terminologi Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
40
yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwaberdasarkan keyakinan, tetapi keyakinannya itu didasarkan segala alatbukti yang ada dengan mempergunakan alasan yang rasional.
Sistem pembuktian berdasar keyakinan yang rasional harus didasarkan
atas keyakinan hakim, di mana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan
yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang.43
Ketentuan mengenai prinsip minimum pembuktian diatur dalam Pasal
183 KUHAP yang merumuskan sebagi berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabiladengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperolehkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Penyebutan kata-kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti”, maka berarti
bahwa hakim pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang hanya
didasarkan atas satu alat bukti saja. Makna dari keyakinan hakim bukan diartikan
perasaan hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi conviction intime ataupun
conviction-raisonee, akan tetapi keyakinan hakim adalah keyakinan yang
didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut undang-undang.
Pasal 183 KUHAP jelas sekali terlihat bahwa hukum acara pidana
Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative
atau negatief wettelijk bewijsleer. Artinya seseorang baru boleh dipidana apabila
43Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan
Praktek, Cetakan pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 105-106.
41
hakim yakin akan kesalahan terdakwa yang dibuktikan dengan alat bukti yang sah
menurut undang-undang.44
Dalam sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untukmembuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan pendapatnya Alfitra45,yakni:a. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang undang;b. Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti
tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Suatu alat bukti informasi dan transaksi elektronik untuk dapat dijadikan
alat bukti hukum yang sah harus konsisten antara sumber yang menghasilkan
dengan print out atau digital fingerprint. Sumber dari alat bukti digital adalah
penting untuk menjamin keabsahan dan keaslian suatu alat bukti digital,
dikarenakan alat bukti digital sangat rentan untuk dilakukan perubahan oleh
siapapun sehingga dapat menyesatkan pembuktian perkara.
44Hibnu Nugroho, Buku Ajar Pengantar Hukum Acara Pidana, Purwokerto, Fakultas
Hukum Unsoed, 2002, hal 44.45
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi diIndonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2011, hal 29.
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-
undangan (Statute Approach) dan pendekatan analitis (Analitical
Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani, sedangkan pendekatan analitis
maksud utama ini adalah mengetahui makna yang dikandung dalam
peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus
mengetahui penerapannya dalam praktik.46
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah preskriprif, yaitu suatu
penelitian yang menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang
senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya, agar dapat
memberikan rumusan-rumusan tertentu47
3. Lokasi Penelitian
46Johnny, Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi),
Malang, Bayu Media Publishing, 2007, hal 303 dan 310.47
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2005, hal 22.
43
Lokasi penelitian bertempat di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
4. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yakni data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti dan
dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian, yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, ialah semua aturan hukum yang
dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga
negara, dan/atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya
akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara
resmi pula oleh aparat negara. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Penulis menggunakan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel.
b. Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar
hukum.
44
c.Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu
kamus hukum.48
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan
dan metode dokumenter. Metode kepustakaan, yakni suatu cara
pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan
pustaka, seperti literatur dan hasil penelitian, sedangkan metode
dokumenter, yaitu suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah
terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah,
seperti putusan pengadilan dan internet.49
6. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh
kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang
disusun secara sistematis, logis, dan rasional, dalam arti keseluruhan
data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh.
48Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2006, hal 32.49
Tedi Sudrajat, “MPPH”, Materi Kuliah, FH Unsoed, 2008, hal 31.
45
7. Metode Analisis Data
Metode analisis data menggunakan logika deduktif melalui
metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis normatif merupakan
cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian
berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum
serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan50
50Ibid., hal 34.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap : Muhammad Reza Fahlefi alias Eza Gionino
Tempat Lahir : Jakarta
Umur / Tanggal Lahir : 26 Tahun / 10 Mei 1987
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jl. Buluh Rt. 007/001 kelu. Balekambang
kec.Kramat Jati Jakarta Timur atau
Cibubur Cauntry No. 22 Cikeas Cibubur
Bogor.
2. Duduk Perkara
Saksi korban Ardina Rasti Widiani dengan Terdakwa Muhamad Reza
Pahlefi alias Eza Gionino dulunya berpacaran yaitu sejak Agustus 2010 sampai
tahun 2012, pada tanggal 10 juli 2011 saksi Ardina Rasti Widiani mulanya
menjemput terdakwa disebuah travel di daerah Cilandak, selanjutnya menuju
rumah Saksi di Jalan Pejaten Barat 2 No. 81A Kemang Timur Jakarta Selatan.
Sewaktu berada di rumah saksi Ardina Rasti Widiani terjadi cek cok mulut antara
47
Terdakwa dengan saksi Ardina Rasti Widiani yang disebabkan oleh karena
Terdakwa membaca BBM dalam BB saksi yang berisi percakapan antara saksi
Ardina Rasti dengan sutradaranya. Sehingga Terdakwa menjadi marah lalu
terdakwa mambanting BB Onix milik saksi Ardina Rasti hingga hancur.
Selanjutnya terdakwa mengatakan ngentot loh, anjing, perek, loe ngomong
apa aja, gue paling ga suka ada sutradara yang dekat sama loe, lalu saksi Ardina
Rasti Widiani mengatakan jangan ngomong kasar kau, kita omongin baik baik,
namun terdakwa tidak terima lalu menonjok dinding dengan dengan batu bata
sambil berkata anjing, perek dan selanjutnya Terdakwa melempar kursi kearah
saksi Ardina Rasti Widiani sehingga kursi tersebut mengenai kaca pintu sehingga
kaca pintu tersebut pecah.
Selanjutnya terdakwa menonjok muka saksi Ardina Rasti sebanyak 3
(tiga) kali dan selanjutnya saksi terjatuh, selanjutnya terdakwa menendang rusuk
dan perut sebelah kiri saksi berkali-kali sehingga saksi Ardina Rasti Widiani
menjadi tidak sadar diri atau pingsan. Setelah saksi pingsan terdakwa meminta
tolong kepada saksi Djoko Effendi dan Adi Pramono yang sedang bertugas
sebagai security di rumah depan rumah saksi Ardina Rasti Widiani untuk
mengangkat saksi keatas mobil milik terdakwa. Saksi Djoko Effendi masuk
kerumah saksi Ardina Rasti Widiani dan melihat Ardina Rasti Widiani sedang
tergeletak di lantai dan saksi melihat rumah tersebut dalam keadaan berantakan,
d\an saksi melihat ada pecahan kaca.
Sebelumnya saksi Djoko Effendi dan Adi Pramono mendengar suara rebut
–ribut di dalam rumah saksi Ardina Rasti Widiani dan terdengar suara minta
48
ampun dan saksi juga mendengar bunyi kaca pecah. Saksi Ardina Rasti Widiani
dinaikan ke mobil terdakwa, yang mengangkat adalah terdakwa dan saksi Djoko
Effendi dan Adi Pramono dalam keadaan pingsan dan selanjutnya terdakwa dan
Adi Pramono mengantar saksi korban ke R.S.JMC, ditengah perjalanan menuju
RS, terdakwa mengatakan kepada saksi Adi Pramono bahwa saksi Ardina Rasti
Widiani pingsan karena jatuh bdari kamar mandi.
Sampai di RS.JMC saksi Ardina Rasti Widiani dibawa ke IGD dan yang
pertama memeriksa saksi Ardina Rasti Widiani adalah saksi Anisatul Asfarah
dimana saksi Anisatul Asfarah melihat ada luka dikaki sebelah kiri korban.
Setelah itu saksi Ardina Rasti diperiksa oleh Dr. Rosnalia, dimana terdakwa
mengatakan bahwa korban jatuh dikamar mandi sehingga Dr. Rosnalia tidak
melakukan pemeriksaan yang mengarah kepada penganiayaan.
Setelah mendapatkan perawatan, saksi Ardina Rasti Widiani dibawa
pulang oleh terdakwa ke rumah di Jl. Pejaten Barat 2 No. 81A Kemang Timur
Jakarta Selatan. Akibat dari pemukulan dan tendangan terdakwa, saksi Ardina
Rasti Widiani selama beberapa hari merasa lemas dan tidak bisa melakukan
aktifitasnya dan telapak kaki kirinya luka. Dari tanggal 10 juli 2011 tersebut
terdakwa selalu tidur di rumah Ardina Rasti Widiani, paginya terdakwa berangkat
syuting kemudian malam kembali tidur di rumah saksi Ardina Rasti Widiani dan
selalu bertemu Ardina Rasti Widiani di rumahnya.
Pada hari Jumat tanggal 3 Januari 2012 bertempat do rumah saksi Ardina
Rast di Jl. Puri Bintaro II No. 36 Perumahan Puri Bintaro, Bintaro sektor 9
Tangerang Sealatan, kembali terjadi pertengkaran antara terdakwa dan saksi
49
Ardina Rasti Widiani di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdakwa
mencengkram saksi Ardina Rasti Widiani dengan mencekik lehernya, dan setelah
itu terdakwa menjambak rambut Ardina Rasti Widiani dan menyeret ke sudut
tempat tidur lalu terdakwa membenturkan kepala Ardina Rasti Widiani ke sudut
tempat tidur, sehingga Ardina Rasti Widiani berteriak kesakitan. Setelah itu duduk
di teras dan kemudian kembali masuk kedalam kamar dan terjadi lagi
pertengkaran mulut, selanjutnya terdakwa memukul kepala dan menarik rambut
Ardina Rasti Widiani, hal ini didukung dengan barang bukti berupa Rekaman
Audio/suara yang direkam oleh saksi Ardina Rasti Widiani pada saat kejadian
dengan menggunakan I Phone warna putih milik saksi Ardina Rasti Widiani
dengan durasi rekaman lebih kurang 44 menit yang diperdengarkan dipersidangan
yang menunjukan pertengkaran antara terdakwa dengan saksi Ardina Rasti
Widiani, dengan ada suara Ardina Rasti Widiani menangis dan menjerit kesakitan,
serta pada menit ke 8 terdengar bunyi benturan beberapa kali, dan dalam rekaman
tersebut terdengar bunyi gesekan-gesekan yang keras dan suara di dalam rekaman
tersebut diakui oleh terdakwa bahwa suara tersebut adalah suara terdakwa dan
Ardina Rasti Widiani.
Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut kepala saksi Ardina Rasti Widiani
benjol, hal ini sesuai dengan Visum et Repertum dari RSPP Pertamina No. M
08551/ B211030 21012-58, tanggal 31 oktober 2012, yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Dr. Jarot Wahyu Ardhi yaitu dokter pada IGD Rumah Sakit
Pertamina atas nama Ardina Rasti Widiani dengan hasil pemeriksaan ditemukan
benjolan pada kepala dengan ukuran 1x1 cm, ditemukan jaringan parut pada bahu
50
kanan dengan panjang 3 cm, luka tersebut disebabkan oleh karena benturan
dengan benda tumpul. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut saksi Ardina Rasti
Widiani terganggu dalam melakukan aktifitasnya sekian hari, dimana sebagai artis
pada waktu itu yang sedang melaksanakan syuting, sehingga akibatnya saksi
korban tidak bisa optimal dalam melakukan kegiatannya.
3. Dakwaan
Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun
secara Alternatif, yaitu :
KESATU : Pasal 351 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,
atau
KEDUA : Pasal 406 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,
atau
KETIGA : Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1)
KUHP.
4. Pembuktian
a. Keterangan Saksi
Saksi Korban Ardina Rasti Widiani
Saksi melapor ke kepolisian bulan Oktober 2012 di Polres Jakarta Selatan
terkait kasus kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan Eza gionino terhadap
dirinya. Kasus Pertama kejadiannya pada tanggal 10 Juli 2011 di tempat tinggal
saksi pribadi di Jl. Pejaten Barat II No. 81A Jakarta Selatan, di rumah tinggal
saksi. Di rumah saksi, terdakwa dan saksi mulai cek cok mulut, cek cok tersebut
51
karena terdakwa telah membaca salah satu BBM saksi dalam BlackBerry Onix
milik saksi, dan itu yang membuat terdakwa marah. Disinyalir terdakwa cemburu
percakapan saksi dengan sutradara yang membahas video clip dengan terdakwa.
Terdakwa langsung membanting Blackberry tersebut lalu langsung berkata
ngentot lu, anjing, perek, lo ngomong apa aja, gue paling ga suka lo BBMan sama
sutradara, pemain atau siapa saja yang cowok, lalu saksi berusaha
menjelaskannya.
Terdakwa menonjok dinding dengan menggunakan batu bata, sambil terus
berkata kasar. Kemudian terdakwa mengacungkan kursi dan dilempar hingga
menghantam pintu hingga membuat kaca pecah, itu membuat saksi shock. Saksi
menangis karena takut, kemudian terdakwa memegang bahu saksi dan menonjok
saksi 3 (tiga) kali di bagian kuping kiri saksi.
Saksi terhuyung dan terjatuh pada pecahan kaca,saksi kemudian ditendang
terdakwa, lebih terkena rusuk sebelah kiri perut, saksi ditendang hingga pingsan
dan ketika saksi bangun sudah berada di JMC. Saksi hanya melihat suster yang
sedang mengobati kaki saksi, badan saksi bengkak semua saat bangun, karena
saksi mengalami alergi obat paracetamol dan aspirint. Saksi mengalami lebam
kaki kanan dan tulang rusuk saksi terasa sakit selama satu minggu. Tidak ada
visum di Rumah Sakit tetapi ada rekam medisnya didalam berkas. Sekitar satu
minggu kaki saksi pincang dan saksi membatalkan kontrak kerja saksi karena
saksi merasa badannya ngilu dan ada luka di telapak kakinya.
Kejadian berikutnya di rumah saksi di Daerah Bintaro, dalam posisi saksi
dan terdakwa sudah putus dan tidak ada hubungan apa-apa. Di rumah tersebut
52
saksi dan terdakwa makan bersama, terdakwa juga membawa beberapa kaleng bir,
akan tetapi ketika saksi di kamar mandi terdakwa marah karena menganggap saksi
terlalu lama di kamar mandi. Terdakwa menyeret saksi sambil menjambak dari
kamar mandi dari depan wastafel ke tempat tidur, kemudian mendorong saksi ke
kasur, sambil terdakwa berkata makian kasar. Kemudian terdakwa mengambil
kursi dan dilempar ke pintu kamar mandi, kemudian menyerang saksi lagi dan
lebih kearah kepala. Saksi tidak membela diri, hanya memohon ampun dan
menutupi muka saksi saja.
Pemukulan terjadi lagi ketika saksi akan mencari Blackberry sanksi yang
ternyata sudah dalam keadaan hancur. Tapi saksi masih ada handphone satu lagi,
yaitu Iphone. Kemudian saksi menyalahkan voice recorder, tujuannya ketika itu
adalah apabila terjadi pingsan lagi dan saksi tidak ada yang menemani maka ada
bukti. Pemukulan terjadi lagi dan mulai cek cok lagi, terdakwa mulai
menyudutkan saksi sambil mencengkram pipi saksi smbil memukul,
mencengkram, mencekik, kemudian menjedotkan saksi ke tempat tidur. Dan
semua yang dilakukan terekam.
Saksi melapor ke polisi sekitar oktober 2012 di Polres Jakarta Selatan,
saksi melihat ada bekas goresan – goresan luka di kaki, jadi saksi berasumsi jika
luka itu disebabkan oleh pecahan kaca. Pintu di kamar mandi saksi rusak, layar
Blackberry saksi rusak, kursi saksi yang di kamar juga rusak.
Saksi Djoko Effendi
Saksi yang bekerja sebagai satpam keamanan di rumah ibu Joke yaitu di
depan rumah saksi korban Ardina Rasti Widiani. Saksi hanya mendengar mereka
53
ribut begitu saja, saksi tidak mendengar suara pemukulan, hanya ada suara yang
saksi tidak tahu suara apa itu. Saksi yang membantu terdakwa membawa Ardina
Rasti Widiani ke mobil terdakwa pada saat Ardina Rasti Widiani sedang pingsan.
Saksi Dr. Rosnalia
Saksi sebagai dokter UGD yang memeriksa Ardina Rasti Widiani pada
saat Ardina Rasti Widiani pingsan dan dibawa ke UGD. Secara fisik Ardina Rasti
Widiani tidak ditemukan luka.
Saksi Anisatul Asfarahsaksi
Yang memeriksa Ardina Rasti Widiani di IGD Rumah Sakit JMC, saksi
melihat luka goresan di telapak kaki kiri Ardina Rasti Widiani.
Saksi Sharena Gunawan
Saksi mendengarkan rekaman yang dibuat oleh Ardina Rasit Widiani pada
saat pertengakarannya dengan terdakwa.
Saksi Anneke Titi Hapsari
Pada saat saksi memeluk Ardina Rasti Widiani, kemudian Ardina Rasti
Widiani mengeluh kesakitan dan kemudian Ardina Rasti Widiani menunjukan
rekaman Pertengkarannya dengan terdakwa.
Saksi Stevani Emanuel
Saksi tau kasus penganiayaan dari saudara Ardina Rasti Widiani, saksi
adalah teman Ardina Rasti Widiani. Ketika saksi berada di rumah Ardina Rasti
Widiani, saksi melihat bekas barang- barang rusak seperti pintu, kursi, handphone.
Saksi Ike Risfendi als. Fendi
54
Saksi pernah bekerja di rumah Radina Rasti Widiani di Bintaro sejak
Desember 2011 sampai November 2012. Saksi pernah mendengar cek cok mulut
antara Ardina Rsti Widiani dengan terdakwa. Saksi tidak pernah melihat terdakwa
melakukan kekerasan terhadap Ardina Rasti Widiani.
Saksi Nikita Tirta Jaya (saksi di Luar Berkas)
Saksi dating dalam persidangan ini atas panggilan Kejaksaan, kemudian
saksi menceritakan Ketika saksi datang ke rumah Ardina Rasti Widiani, saksi
melihat ada pecahan kaca di pintu.
Saksi Herni Atika, SE
Saksi pernah diperlihatkan oleh Ardina Rasti Widiani bekas penganiayaan
oleh terdakwa kepada dirinya yaitu berupa barang – barang berupa pintu kamar
mndi yang rusak.
Saksi Eliza Mutia Rohmani
Saksi tidak tahu adanya kejadian antara Ardina Rasti Widiani dengan
terdakwa, setahu saksi luka lebam yang dialami Ardina Rasti Widiani adalah
karena terjatuh di kamar mandi.
Saksi Adi Pramono
Saksi sebagai security di Pejaten Barat, saksi mendengar ada pertengkaran
di rumah Ardina Rasti Widiani dan terdengar suara pecahan kaca. Saksi dan
terdakwa yang membawa Ardina Rasti Widiani ke Rumah Sakit saat dia Pingsan.
Saksi Faizal (Saksi Ade Chardge)
Saksi sebagai unite calling, tugasnya memanggil pihak pihak satu hari
sebelum shooting. Apabila ada artis yang sakit bisa meminta ijin kepada saksi
55
agar dapat istirahat, tetapi pada tanggal 8 tersebut Ardina Rasti Widiani tidak ada
keluhan kepada saksi.
b. Keterangan Ahli
Saksi Ahli Dr. Jarot Wahyu Ardhi
Saksi adalah dokter yang membuat visum untuk Ardina Rasti Widiani,
saksi menemukan benjolan di kepala seukuran 1x1 cm dan sebuah jaringan parut
dengan panjang 3 cm.
Saksi ahli Abimanyu Wahyu Hidayat
Saksi sebagai ahli telematika yang akan menjelaskan mengenai rekaman
penganiayaan tersebut. Menurut saksi inti dari rekaman itu adalah hanya
pertengkaran kecil antara pasangan yang biasa saja. Kemudian ada kesan
seseorang teriak menganggap dirinya mengalami kekerasan. Kekerasan yang ahli
dengar dalam rekaman tersebut dalam kontennya, ada suara teriakan, ada suara
benda bergeser tapi tidak ada suara kekerasan atau tamparan. Tapi dalam
konteksnya ada pertengkaran disana.
c. Surat
Bukti surat berupa visum et Repertum dari RSPP Pertamina No. M
08551/B 211030 21012-58, tanggal 31 oktober 2012, yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Dr. Jarot Wahyu Ardhi, dokter pada IGD Rumah Sakit Pertamina
atas nama Ardina Rasti Widiani dengan hasil pemeriksaan ditemukan benjolan
pada kepala dengan ukuran 1x1 cm, ditemukan jaritan parut pada bahu kanan
dengan panjang 3 cm, luka tersebut desebabkan oleh karena benturan benda
tumpul.
56
Juga diajukannya Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari
pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013
tanggal 18 Februari 2013 disimpulkan:
1. Ditemukan 23 (dua puluh tiga) kata yang memiliki kemiripan teknis
Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
dengan pembanding subjek Eza Gionino dapat disimpulkan bahwa
barang bukti identik dengan suara pembanding;
2. Ditemukan 21 (dua puluh satu) kata yang memiliki kemiripan tehknis.
Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
dengan pembanding subjek Ardina Rasti Widiani dapat disimpulkan
bahwa barang bukti identik dengan suara pembannding.
Dan hal tersebut bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan saksi
Ardina Rasti Widiani yang membenarkan bahwa Rekaman Suara yang
terdapat pada Handphone Iphone milik saksi Ardina Rasti Widiani
tersebut adalah benar suara Terdakwa dan suara saksi Ardnia Rasti
Widiani.
d. Keterangan Terdakwa
Terdakwa tidak membaca BBM dari sutradara ke Ardina Rasti Widiani
mengenai video clipnya tetapi terdakwa membaca BBM sebelumnya dan itu
murni pertanyaan yang penuh perhatian. Terdakwa bertanya kepada Ardina Rasti
Widiani tentang maksud BBM tersebut, tetapi malah Ardina Rasti Widiani
menuduh terdakwa yang selingkuh yang membuat terdakwa kesal.
57
Terdakwa mengaku tidak melakukan pemukulan dan tendangan, luka kecil
dikaki Ardina Rasti Widiani adalah karena menginjak pecahan kaca di ruang
keluarga. Saat Ardina Rasti Widiani pingsan di Kamar mandi itu menurut
terdakwa karena penyakit asma Ardina Rasti Widiani kambuh.
5. Tuntutan Penuntut Umum
Dalam perkara ini, adapun Tuntutan Penuntut Umum yaitu:
1) Menyatakan terdakwa Mohamad Reza Fahlevi alias Eza Gionino bersalah
melakukan tindakan pidana “penganiayaan” sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP pada dakwaan kesatu.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhamad Reza Fahlevi alias Eza
Gionino dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap
ditahan.
3) Menyatakan barang bukti berupa:
- 1 (satu) buah kursi yang sudah rusak.
- 1 (satu) buah handphone Blackberry yang sudah rusak.
- 1 (satu) buah pintu kamar mandi yang sudah rusak.
- 1 (satu) buah I Phone yang berisi rekaman suara Ardina Rasti Widiani
dan Mhuamad Reza fahlevi alias Eza Gionino pada saat terjadi
penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan.
Dikembalikan kepada saksi korban Ardina Rasti Widiani.
58
4) Menyatakan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-
(dua ribu rupiah).
6. Putusan Pengadilan
a. Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa di Persidangan terdakwa mengajukan Saksi Ade
charge Faisal dan Ahli telematika R. Abimanyu Wahyu H., diama saksi Faisal
menerangkan bekerja disebuah Production House sebagai unit calling yang
bertugas menghubungi pemain 1 hari sebelum shooting. Bahwa saksi Ardina Rasti
Widiani dari tanggal 7 sampai 11 Juni 2012 selama 5 (lima) hari melakukan
shooting FTV, dimana tanggal 8 Juni 2012 saksi bertemu dengan saksi Ardina
Rasti Widiani di ruang make up, namun saksi tidak memperhatikan kondisi fisik
Ardina Rasti widiani dan shooting berjalan lancer, dan saksi tidak selalu
berdekatan dengan Ardina Rasti Widiani saat berlangsung shooting, selanjutnya
Ahli R. Abimanyu Wahyu. H., yang memberikan keterangan di Persidangan
sebagai Ahli Telematika bahwa telah melakukan pemeriksaan terhadap rekaman
Ardina Rasti Widiani dan terdakwa dari internet dan Ahli menerima berupa CD
dari Penasehat Hukum Terdakwa dan dari rekaman itu terpotong 6 file kata-kata
dari 8 menit, bahwa dari rekaman itu Ahli hanya mendengar suara 2 orang sedang
cek cok mulut dan saksi tidak mendengar adanya bunyi pemukulan dan tamparan.
Menimbang, bahwa di Persidangan sewaktu Majelis minta kepada Ahli
untuk mendengar rekaman asli sebagai barang bukti yang diajukan di Persidangan
berupa IPhone milik Ardina Rasti Widiani ahli menyatakan tidak bisa menilai
59
rekaman tersebut oleh karena untuk mendengarnya saksi harus ada alatnya,
sedangkan ahli tidak membawa alat tersebut di Persidangan, maka dalam hal ini
menurut Majelis ahli hanya mendengar rekaman CD berupa rekaman ulang dari
Penasehat Hukum Terdakwa dan tidak pernah mendengar rekaman asli yang ada
di IPhone Ardina Rasti Widiani yang dijadikan barang bukti di Persidangan.
Menimbang, bahwa demikian pula mengenai dalil Penasehat Hukum
dalam Nota Pembelaannya dari keterangan Ahli Abimanyu Wahyu, Ahli
Telematika yang menerangkan dalam rekaman yang Ahli dengar tidak terdapat
kekerasan physic baik berupa pemukulan ataupun tamparan dan cakaran serta
bantingan benda, haruslah ditolak oleh karena sebagaimana diuraikan diatas
bahwa Ahli hanya mendengar dari internet dan rekaman ulang yang diterima dari
Penasehat Hukum Terdakwa, dan ketika di persidangan diperlihatkan IPhone
berupa rekaman asli, Ahli menyatakan belum pernah mendengar langsung dan
ketika Majelis meminta Ahli untuk menganalisa suara yang ada di dalam rekaman
tersebut di Persidangan, Ahli menyatakan bahwa tidak bisa untuk menganalisa
rekaman kalau mendengarnya tanpa alat, sedangkat ahli saat ini tidak membawa
alat tersebut, sehingga bukti T-7a sampai dengan T-10 harus pula
dikesampingkan.
Menimbang, bahwa di persidanagan diputar secara utuh lebih kurang 44
menit, dimana di dalam rekaman tersebut terdengar suara pertengkaran antara
terdakwa dengan Ardina Rasti Widiani dan terdengar adanya benturan dan
teriakan-teriakan dari Ardina Rasti Widiani menjerit kesakitan, dimana suara yang
ada dalam rekaman tersebut diakui oleh terdakwa dan Ardinba Rasti Widiani.
60
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan maka semua unsur
yang di dakwakan dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP telah
terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa, maka Majelis berpendapat bahwa Terdakwa
telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang di dakwakan dalam dakwaan altiernatif pertama.
Menimbang, bahwa oleh karena semasa dalam proses perkara ini
Terdakwa berada dalam tahanan, maka sesuai dengan Pasal 22 ayat (4) KUHAP
masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah dan
dipidana, maka kepadanya dibebankan pula untuk mebayar biaya perkara;
Mengingat ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP
dan ketentuan perundang-undangan lain yang bersangkutan dengan perkara ini:
b. Amar putusan
Menyatakan terdakwa Mohamad Reza Fahlefi alias Eza Gionino dengan
identitasnya tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang dilakukan secara berulang”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara 7 (tujuh) bulan;
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
61
Menetapkan barang bukti berupa:
a. 1 (satu) kursi yang sudah rusak;
b. 1 (satu) buah Handphone Blackberry yang sudah rusak;
c. 1 (satu) buah pintu kamar mandi yang sudah rusak;
d. 1 (satu) buah IPhone yang berisi rekaman Ardina Rasti Widiani dan terdakwa
pada saat kejadian;
Dikembalikan kepada saksi korban Ardina Rasti Widiani;
Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
B. Pembahasan
1. Rekaman Suara dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam Putusan No:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
Pembuktian dalam kasus penganiayaan dengan Nomor perkara:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., sangat penting karena nantinya akan terungkap
kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam
persidangan.
Menurut M. Yahya Harahap51, Pembuktian adalah ketentuan yang beisipenggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yangdibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untukmembuktikan kesalahan yang didakwakan.
51M. Yahya harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, SinarGrafika, Jakarta, Hal.252.
62
Dalam proses di Persidangan perkara tersebut akan melalui tahap
pembuktian, dalam hal pembuktian sebuah bukti yang diajukan itu dapat
menentukan bagaimana isi putusan perkara tersebut, kedudukan sebuah bukti
yang diajukan sangat menentukan pertimbangan hakim dalam memberikan
keputusannya.
Hal tersebut yang membuat para pihak dalam perkara penganiayaan dengan
Nomor perkara: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., di persidangan pembuktian
berupaya untuk mencari bukti – bukti yang dapat membuktikan kedudukan pihak
tersebut, sebagai contoh yang lebih spesifik bahwa bagi terdakwa upaya mencari
bukti-bukti yang dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam kasus
penganiayaan dengan No. Perkara: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., dimana dalam
kasus tersebut korban mendapatkan kekerasan fisik berupa penganiayaan yang
dilakukan oleh terdakwa dengan berulang-ulang, untuk membuktikan bahwa
korban mendapatkan penganiayaan dari terdakwa maka kemudian korban dalam
sidang pembuktian mengajukan bukti. Yang penulis bahas ini dari pihak korban
mengajukan sebuah bukti rekaman suara dari sebuah telepon genggam milik
korban yang menurut korban rekaman tersebut adalah rekaman suara saat korban
sedang dianiaya oleh pelaku. Korban menginginkan bukti rekaman suara tersebut
dapat menjadi sebuah alat bukti yang sah yang dapat menguatkan keyakinan
hakim bahwa terdakwa bersalah dengan melakukan penganiayaan terhadap
korban secara berulang-ulang.
Apabila pembuktian rekaman suara dalam perkara penganiayaan Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., sebagai bukti maka dibutuhkan ilmu bantu audio
63
forensic sebagai cabang dari ilmu bantu digital forensic dalam proses
pembuktiannya. Audio Forensik berkaitan dengan rekaman suara pelaku
kejahatan. Rekaman suara ini biasanya diperiksa untuk kepentingan voice
recognition, yaitu memeriksa dan menganalisis suara yang ada di rekaman suara
tersebut ( yang dikenal sebagai unknow samples ), yang kemudian dibandingkan
suara pembanding ( know samples ) yaitu suara korban dan suara terdakwa dalam
rangka untuk mengetahui apakah suara unknow adalah identik atau tidak identik
dengan suara known. Apabila identik maka rekaman suara sesuai dengan suara
pembanding dan sebaliknya.
Pemeriksaan dan analisis audio forensic untuk mengidentifikasi rekaman
suara haruslah dilakukan secara komprehensif, khususnya dalam penanganan
barang bukti rekaman suara yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar digital
forensic dengan mengikuti standard operating procedure (SOP). Sebagai contoh
SOP 12 tentang Analisis Audio forensic daridigital forensic analyst team (DFAT)
puslabfor yang salah satunya mengacu pada spectrographic voice identication: A
Forensic Survey yang dikeluarkan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI),
Amerika Serikat.
Tahapan-tahapan audio forensic dalam mengidentifikasi rekaman suara
meliputi:
1. Acquisition (akuisisi file rekaman suara) yaitu melakukan pemeriksaan
terlebih dahulu terhadap fakta kasus dengan barang bukti rekaman
suara. Tentang spesifikasi teknis audio recorder seperti merek, model,
ukuran dan serial number dari handphone sebagai recorder.
64
Dalam perkara penganiayaan Nomor:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.,
maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap handphone yang
berisikan rekaman suara tersebut.
Selain fakta kasus, pemeriksaan juga harus sudah mundapatkan suara
pembanding (control atau unknow samples) terhadap suara dalam
audio recorder yang takan dianalisis dan dilengkapi dengan
administrasi penyidikan yang lengkap. Pengambilan contoh suara
pembanding yang disetujui dan ditandatangani oleh subjek yang
contoh suaranya akan dianalisis, dalam hal ini perkara penganiayaan
Nomor:445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., suara saksi korban dan terdakwa.
File yang berisikan rekaman suara barang bukti kemudian dianalisis
lebih lanjut agar mendapatkan historis teknis dari file rekaman
tersebut, termasuk keaslian file rekaman yang juga dapat diperiksa
melalui spectrum analysis;
2. Audio enchancement (peningkatan kualitas rekaman dengan
melakukan noise filtering) yaitu rekman suara barang bukti
diperdengarkan (playback) untuk melihat kualitas rekaman. Jika
kualitasnya tidak bagus dikarenakan banyak noise, maka terhadap
rekaman suara tersebut harus dilakukan proses enhacement untuk
meningkatkan kualitas rekaman sehingga percakapan terdengar jelas.
Proses enhacement ini dapat dilakukan di computer analisis berbasis
Ms, Windows dan linux dengan didukung aplikasi-aplikasi audio yang
dapat diandalkan untuk pemrosesan yang efisien dan efektif. Sebagian
65
aplikasi ini bahkan dapat menghilangkan noise yang kuat sehingga
memunculkan kembali suara percakapan yang ada;
3. Decoding (pembuatan transkrip dari suara percakapan yang jelas) yaitu
setelah percakapan yang berasal dari rekaman barang bukti terdengar
jelas dilanjutkan dengan pembuatan transkrip rekaman. Pembuatan
transkrip rekaman harus dilakukan oleh minimal dua orang pemeriksa.
Ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai akurasi yang lebih presisi
terhadap hasil transkrip. Transkrip rekaman harus mencantumkan label
subjek (misalnya: subjek 1, subjek 2) dan waktu (alam
jam:menit:detik) yang sesuai dalam berjalannya rekaman. Interval
penandaan waktu dpat disusun setiap 30 detik atau 1 menit. Jika suara
percakapan dalam rekaman tidak jelas, maka ditulis “tidak jelas”.
Artinya hasil transkrip hanya memperlihatkan suara percakapan yang
jelas dan dapat dipahami pengucapan kata-katanya;
4. Voice recognition dan kesimpulannya yaitu proses ini memastikan
apakah suara dalam rekaman barang bukti identik dengan contoh suara
pembanding. Dengan demikian proses ini mengambil kata-kata yang
pengucapannya sama antara suara barang bukti dengan suara
pembanding. Terhadap kata-kata tersebut dilakukan analisis audio
forensic berbasis analisis terhadap pitch, formant, forman bandwidth,
dan spektogram. Disyaratkan minimal 20 kata yang memiliki
kesamaan antar suara barang bukti dan suara pembanding dari hasil
analisis terhadap pitch, formant, forman bandwidth, dan spektogram,
66
guna menentukan apakah suara barang bukti identik dengan suara
pembanding. Ini merujuk pada “spectrographic voice identification: A
Forensic Survey” yang disausun oleh Koenig, B.E. dari Federal
Bureau of Investigation. Jika jumlah yang diucapkan dalam rekaman
barang bukti tidak mencapai minimal 20 kata, maka status rekaman
suara barang bukti adalah tidak memenuhi syarat baudio forensic.
Selanjutnya tidak dapat dilakukan analisis voice recognition. Analisis
pitch berdasarkan pada perhitungan statistic nilai pitch minimum,
maksimum, dan rata-rata serta standar deviasi yang dilengkapi grafik
antara suara barang bukti dan suara pembanding. Meskipun begitu,
ananlisis pitch yang lebih lengkap dapat menggunakan metode
perhitungan statistic one-way anova sehingga perbandingan dua
kelompok data pitch antara suara barang bukti (unknown) dengan
suara pembanding (known) lebih akurat. Analisis forman dan formant
bandwidth berdasarkan perhitungan statistic One-Way Anova yang
dilengkapi bentuk graphical distribution untuk melihat pola
penyebaran nilai antara suara barang bukti dengan suara pembanding.
Analisis forman dan bandwidth ini meliputi formant 1, formant 2 dan
formant 3. Analisis spektogram berdasarkan pada pola umum dan pola
khusus yang bersifat khas antara suara barang bukti dengan suara
pembanding. Pola-pola yang khas ini meliputi formant 1, formant 2,
dan formant 3 yang disertai tingkat energy (bandwidth) pada masing-
masing formant. Dikarenakan spektogram dapat memvisualisasikan
67
secara lengkap masing-masing forman dan bandwidth dari kata yang
diucapkan secara konsisten, maka analisis spektogram sangat penting
dalam penentuan terakhir analisis voice recognition.52
Pada dasarnya teori suara dihasilkan melalui proses generation dan
filtering. Pada proses Generation, suara pertama kali diproduksi melalui
bergetarnya pita suara (vocal cord atau vocal fold) yang berada di laring (larynx)
untuk menghasilkan bunyi periodic. Bunyi periodic yang bersifat konstan tersebut
kemudian di filterisasi melalui vocal tract (disebut juga dengan istilah resonator
suara atau articulator) yang mencakup lidah (tongue), gigi (teeth), bibir (lips),
langit-langit (palate), dan lain-lain sehingga bunyi tersebut dapat menjadi bunyi
keluaran (output) berupa bunyi vocal (vowel) dan/atau bunyi konsonan
(consonant) yang membentuk kata-kata yang memiliki arti sehingga nantinya
dapat dianalisis untuk voice recognition). 53
Rekaman suara sebagai hasil dari perkembangan teknologi kedudukannya
menjadi bukti suatu tindak pidana yang apabila dikaitkan dengan macam-macam
alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana maka rekaman suara tidak masuk dalam klasifikasi
alat bukti yang sah sesuai dengan aturan yang bersifat limitative dalam Pasal 184
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Apabila rekaman suara bukan sebagai alat bukti sah maka kedudukannya
dapat juga hanya sebagai barang bukti, rekaman suara dapat juga menjadi barang
bukti tindak pidana.
52Muhammad Nuh Al-Azhar, 2012, “digital forensic Panduan Praktis Investigasi
Komputer”, Jakarta, Salemba Infotek. Hal 2553
Mohammad Nuh Al-Azhar, Op Chit, hal 145
68
Menurut Andi Hamzah54 mengatakan:Barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai manadelik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delikdilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk jugabarang yang merupakan hasil dari suatu delik .
Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :a. Merupakan objek materiilb. Berbicara untuk diri sendiric. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana
pembuktian lainnyad. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo55:barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segalabarang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang buktiterebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang buktitersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yangdigunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasilsuatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang buktipengadilan.
Berdasarkan pendapat tersebut rekaman suara dapat menjadi sebuah barang
bukti apabila mendapatkan pengakuan dari terdakwa dan juga saksi korban.
Rekaman suara sebagai hasil perkembangan teknologi manusia dapat dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik karena perkembangan membuat klasifikasi mengenai barang bukti
semakin komplek, jika mengacu kepada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka terdapat sebuah barang bukti
elektronik dan barang bukti digital adalah sebagai berikut:
Barang Bukti ElektronikJenis-jenisnya meliputi:a. Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;b. Handphone, smartphone;
54Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254
55http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti
dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamis tanggal 26 September 2013
69
c. Flashdisk/thumb drive;d. Floppydisk;e. Harddisk;f. CD/DVD;g. Router, switch; hub;k. Kamera video, CCTV;h. Kaemra digital;i. Music/video player, dan lain-lain
Barang Bukti DigitalBarang bukti ini bersifat digital yang diekstrak atau di-recover dari barangbukti elektronik. Barang bukti dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan istilahinformasi elektronik dan dokumen elektronik. Contoh barang bukti digital:a. Logical file,b. Deleted file,c. Lost file,d. File slack,e. Log file,f. Encrypted file,g. Steganography file,h. Office file,i. Audio file,Yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain, yangbiasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain. File audio yang berisikanrekaman suara percakapanorang ini biasanya menjadi penting dalaminvestigasi ketika suara di dalam file audio tersebut perlu diperiksa dandianalisis secara audio forensic untuk memastikan suara tersebut apakahsama dengan suara pelaku kejahatan.j. Video file.56
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan
antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital. Barang bukti
elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital memiliki isi yang
bersifal digital.57 Dalam perkara Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel terdapat
barang bukti Rekaman suara dalam sebuah handphone milik korban yang berdasar
56Ibid, 27-29
57Ibid, hal 29
70
penjelasan diatas termasuk kedalam jenis barang bukti elektronik dan data
ekstrakannya yang berupa audio file merupakan barang bukti digital.
Pembuktian terhadap suatu tindak pidana akan selalu berkaitan dengan alat
bukti, dimana berdasarkan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana maka Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan Saksi;b. Keterangan Ahli;c. Surat;d. Petunjuk;e. Keterangan Terdakwa.
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus
mempertanggung jawabkan perbuataannya apabila berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka yang dinilai sebagai
alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai ‘kekuatan pembuktian’ hanya terbatas
kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari
alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila
ada barang bukti sebuah rekaman suara yang tidak termasuk dalam klaisifikasi
alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana maka barang bukti rekaman suara tersebut tidak sah
untuk menjadi alat bukti sah menurut Undang-Undang tersebut. Seiring
berkembangnya teknologi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti pesatnya
71
perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang_Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti (limitatif) yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah ketentuan yang berlaku
untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di
luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.58
Rekaman suara dapat di golongkan sebagai informasi elektronik atau
dokumen elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4), yang berbunyi:
ayat (1):
“Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,foto,electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tandam angka, kode akses,symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapatdipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”ayat (4):
“Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau system elektronik,termasuk tetapi tidak terbatas dalam tulisan, suara, gambar, peta,rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol
58http://selalucintaindonesia.wordpress.cm/2013/01/05/undang-undang-informasi-
dan-transaksi-elektronik/diakses pada 25 november 2013
72
atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami olehorang yang mampu memahaminya.”
Dari pengertian Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elketronik diatas, syarat utama agar rekaman
suara digolongkan menjadi informasi elektronik adalah harus merupakan satu atau
sekumpulan data elektronik yang telah diolah dan memiliki arti. Data elektronik
adalah data digital yang bersumber dari perangkat elektronik. Rekaman suara
yang dibahas ini merupakan sekumpulan data dari sebuah handphone sebagai alat
elektronik yang sudah diolah melalui proses voice recognition yang menghasilkan
ekstraksi berupa audio file dimana rekaman tersebut mempunyai arti yang dapat
dipahami isinya.
Dari pengertian Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elketronik diatas, rekaman suara digolongkan
menjadi dokumen elektronik karena:
1. Rekaman suara merupakan informasi elektronik;
2. Rekaman suara yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog digital, elektromagnetik di sebuah
handphone;
3. Rekaman suara dapat didengar melalui computer, handphone atau
system elektromagnetik;
4. Rekaman suara memiliki makna/arti.
73
Berdasarkan penjelasan diatas, rekaman suara dapat digolongkan menjadi
informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka rekaman suara dapat menjadi
alat bukti yang sah di depan hukum/pengadilan.59
Yang menjadi permasalahan terkait rekaman suara tersebut adalah
kedudukan rekaman suara tersebut dalam perkara penganiayaan Nomor
445/Pid.B/2013/PN.JKTSel., dapat menjadi alat bukti yang sah atau hanya
berkedudukan sebagai barang bukti saja. Dalam prakteknya penerapan rekaman
suara tidak dapat begitu saja menjadi alat bukti sah jika dikaitkan dengan kentuan
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
dimana rekaman suara tidak tercantum sebagai alat bukti yang sah dalam pasal
tersebut.
Rekaman suara dapat digolongkan menjadi informasi elektronik dan
dokumen elektronik ini juga dapat menjadi alat bukti yang sah di depan
hukum/pengadilan, hal ini tertuang pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Pasal ini sangatlah fenomenal dalam arti aparat penegak hukum tidak lagi
secara kaku menyandarkan alat bukti yang sah yang berjumlah lima jenis sesuai
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
untuk temuan-temuan yang berupa data digital/elektronik.
59Muhammad Nuh Al-Azhar, 2012,ibid, Hal 46
74
Pasal 5 tersebut sudah mengakomodasi rekaman suara tersebut sebagai alat
bukti hukum yng sah, terlepas dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana yang membuat penggolongan alat bukti yang
sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.
Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa:
”Informasi elektrenik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasilcetakannya…. Merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai denganhukum acara yang berlaku di Indonesia.”
Ketentuan pasal tersebut menejelaskan bahwa rekaman suara merupakan
perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia yang hal ini juga diperkuat pada Pasal 44 huruf b bahwa Informasi
elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain alat bukti
yang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah
ada.
Lebih lanjut Pasal 44 Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa:
“alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilanmenurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan; danb. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebgaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan 4 sertaPasal 5 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3).”
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut menegaskan bahwa alat bukti
75
rekaman suara menjadi alat bukti yang sah dan telah diterima dalam system
hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan agama,
perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah konstitusi, termasuk
artibtrase.60
Pemahaman “perluasaan” tersebut dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Perluasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maka alat bukti
ditambah satu alat bukti yaitu alat bukti Informasi dan Transaksi
Elektronik.
2. Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hasil cetakan
Informasi elektronik dan dokumen elektronik secara hakiki ialah
surat.
3. Perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi Elektronik atau
Dokumen Elektronik sebagai sumber petunjuk sebagaimana
dimungkinkan dalam beberapa Undang-Undang.61
Berdasarkan penjelasan diatas, rekaman suara cenderung sebagai
perluasan jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
60http://www.hukumonline.com/klinik/detail/it502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetak-
tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan. diakses pada tanggal 25 november 201361
http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 25 november 2013
76
11 Tahun 2008 ketentuan ini telah menegaskan bahwa alat bukti elektronik pada
perkara Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel yaitu sebuah handphone yang berisi
rekaman suara merupakan alat bukti yang berdiri sendiri atau lebih tepatnya lex
specialis derogate legi generalie dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga diperkuat dengan Pasal 44 huruf b
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik bahwa Informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat
bukti lain, selain sebagaimana alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan
perundang-undangan yang sudah ada, sedangkan barang bukti digital berupa
audio file dilakukan proses voice recognition dari seorang ahli agar dapat
mengetahui keaslian rekaman suara tersebut.
voice recognition merupakan proses memastikan apakah suara di dalam
barang bukti identik dengan contoh suara pembanding. Dengan demikian proses
ini mengambil kata-kata yang pengucapannya sama antara suara barang bukti
dengan suara pembanding. Terhadap bukti rekaman suara dalam perkara
penganiayaan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., sudah dilakukan proses voice
recognition dan mendapatkan minimal 20 kata yang berbeda makna dan dapat
diterima (accepted) dikarenakan memiliki kesamaan (very similar) pola dan
analisis untuk menyimpulkan bahwa suara barang bukti adalah identik dengan
suara pembanding. Jika tidak ditemukan sejumlah kata tersebut, maka
kesimpulannya adalah tidak identik.
Salah satu barang bukti elektronik yang ditemukan atau yang berkaitan
dengan kasus penganiayaan ini adalah barang bukti alat rekam suara (audio
77
recorder) yang berisi rekaman suara percakapan seseorang dengan orang lain.
Rekaman suara pembicaraan yang merupakan barang bukti digital ini, pada kasus
tertentu memiliki peranan yang sangat penting untuk mengungkap kasus atau
menunjukan keterlibatan seseorang dengan kasus yang sedang diinvestigasi. Dari
rekaman suara, orang-orang yang melakukan percakapan dapat diketahui
identitasnya melalui pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dengan
metode komparasi, yaitu membandingkan suara di dalam rekaman barang bukti
(unknown samples). Jika hasil voice recognition menunjukan bahwa suara
unknown samples identik dengan suara known samples, maka suara percakapan
dalam rekaman barang bukti dapat disimpulkan berasal dari pemilik suara
pembanding.
Dengan prosedur penanganan barang bukti rekaman suara yang benar yang
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisinya yang prosedural,
diharapkan hasil pemeriksaan audio forensic untuk voice recognition dapat
menunjukan secara ilmiah kepemilikan suara yang ada dalam rekaman tersebut
untuk disajikan sebagai alat bukti kuat dipengadilan.
Dalam perkara No. 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., bukti rekaman suara
dalam Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari pusat
Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal
18 Februari 2013 disimpulkan:
1. Ditemukan 23 (dua puluh tiga) kata yang memiliki kemiripan teknis
Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
78
dengan pembanding subjek Eza Gionino dapat disimpulkan bahwa
barang bukti identik dengan suara pembanding;
2. Ditemukan 21 (dua puluh satu) kata yang memiliki kemiripan tehknis.
Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
dengan pembanding subjek Ardina Rasti Widiani dapat disimpulkan
bahwa barang bukti identik dengan suara pembannding.
Dan hal tersebut bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan saksi
Ardina Rasti Widiani yang membenarkan bahwa Rekaman Suara yang
terdapat pada Handphone Iphone milik saksi Ardina Rasti Widiani
tersebut adalah benar suara Terdakwa dan suara saksi Ardnia Rasti
Widiani.
Dalam proses pembuktian Rekaman suara tersebut antara Terdakwa
dengan Ardina Rasti Widiani juga sudah mengakui kebenaran suaranya masing-
masing, begitu juga terdakwa membenarkan dari suara Ardina Rasti Widiani
dalam setiap percakapan kejadian dalam rekaman tersebut.
Dalam perkara Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel terdapat barang bukti
elektronik berupa rekaman suara dalam sebuah handphone milik korban yang
hasil ekstraknya merupakan barang bukti digital audio file yang memuat rekaman
suara pertengkaran antara korban dengan terdakwa, sedangkan suatu alat bukti
informasi dan transaksi elektronik yaitu rekaman suara dapat dijadikan alat bukti
hukum yang sah karena sudah konsisten antara sumber yang menghasilkan
dengan suara pembandingnya. Sumber dari alat bukti digital adalah penting untuk
menjamin keabsahan dan keaslian suatu alat bukti digital, dikarenakan alat bukti
79
digital sangat rentan untuk dilakukan perubahan oleh siapapun sehingga dapat
menyesatkan pembuktian perkara. Dalam perkara Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., barang bukti digital audio file telah dilakukan
proses voice recognition untuk menentukan keasliannya dan mempunyai
kecocokan, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
2. Kekuatan pembuktian rekaman suara bersifat bebas dalam tindak
pidana penganiayaan Putusan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus
mempertanggung jawabkan perbuataannya apabila berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka yang dinilai sebagai
alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai ‘kekuatan pembuktian’ hanya terbatas
kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari
alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila
ada barang bukti yang tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut Pasal
184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
maka barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut.
Hal tersebut menjelaskan bahwa apabila hanya mengacu kepada
pembuktian yang berdasarkan kepada pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
80
1981 tentang Hukum Acara pidana maka bukti rekaman suara dalam perkara
penganiayaan dengan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak dapat menjadi alat bukti
yang sah dan ini menjadi ketentuan yang inkonstitusional apabila dikaitkan
dengan seiring berkembangnya teknologi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi
mengikuti pesatnya perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya
Undang_Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti (limitatif) yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik maka bukti rekaman suara dalam perkara penganiayaan
nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., dapat menjadi alat bukti yang sah dan
mepunyai kekuatan pembuktian yang bebas dan berdiri sendiri yang dimana
kedudukannya adalah sebagai alat bukti sah yang lain selain yang ada dalam Pasal
184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti rekaman suara telah diterima
dalam system hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti
peradilan agama, perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah
konstitusi, termasuk artibtrase.62
62http://www.hukumonline.com/klinik/detail/it502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetak-
tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan. diakses pada tanggal 25 november 2013
81
Walaupun dalam perkara penganiayaan dengan nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., bukti rekaman suara sebagai alat bukti yang sah
yang mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan berdiri sendiri yang
berkedudukan selain alat bukti yang sah berdasarkan Pasl 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetapi oleh majelis hakim
bukti tersebut dikesampingkan dan hanya berkedudukan sebagi barang bukti yang
harus dikembalikan kepada saksi korban.
Apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana mengenai Informasi yang disimpan secara elektronik
termasuk rekaman tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, juga tidak mengatur
bagaimana legalitas print out (hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata cara
perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti.
Dalam fakta perkara penganiayaan Nomor 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.,
rekaman suara juga tidak bisa begitu saja hanya ditentukan oleh aturan yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tetapi ada beberapa factor yang menjadi pertimbangan dalam
menentukan kekuatan pembuktian rekaman suara tersebut.
Yang pertama, kekuatan pembuktian rekaman suara ditentukan dari hasil
Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal
18 Februari 2013.
Dalam perkara No. 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., bukti rekaman suara
dalam Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari pusat
82
Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB: 426/FKF/2013 tanggal
18 Februari 2013 disimpulkan:
1. Ditemukan 23 (dua puluh tiga) kata yang memiliki kemiripan teknis
Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
dengan pembanding subjek Eza Gionino dapat disimpulkan bahwa
barang bukti identik dengan suara pembanding;
2. Ditemukan 21 (dua puluh satu) kata yang memiliki kemiripan tehknis.
Audio Forensik untuk Voice Recognition antara sample barang bukti
dengan pembanding subjek Ardina Rasti Widiani dapat disimpulkan
bahwa barang bukti identik dengan suara pembannding.
Dan hal tersebut bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan saksi
Ardina Rasti Widiani yang membenarkan bahwa Rekaman Suara yang
terdapat pada Handphone Iphone milik saksi Ardina Rasti Widiani
tersebut adalah benar suara Terdakwa dan suara saksi Ardnia Rasti
Widiani.
Dari hasil laboratorium terdapat kecocokan antara suara pada bukti
rekaman suara dengan suara terdakwa dan saksi korban, bahkan saksi korban dan
terdakwa mengakui bahwa suara dalam rekaman suara tersebut adalah benar-
benar suara mereka.
Yang kedua, dalam hal penemuan bukti elektronik maka harus
bekerjasama dengan seorang atau tim ahli yang memiliki tingkat kompetensi dan
professionalitas yang jelas dibidang digital forensic. Meskipun begitu ada syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat dikategorikan sebagai
83
ahli. Menurut penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf h Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dibidang
teknologi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai
pengetahuannya tersebut. Dalam kasus penganiayaan dengan Nomor perkara
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel. Seseorang atau tim ahli berhubungan dengan barang
bukti elektronik berupa rekaman suara dari sebuah handphone milik korban
didalam hasil Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal No. LAB:
426/FKF/2013 tanggal 18 Februari 2013. Hasil akhir seseorang ahli atau tim
tersebut dapat menemukan bukti digital yang dapat digolongkan sebagai informasi
dan/atau transaksi elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan bukti digital ini dapat diterima
sebagai alat bukti hukum yang sah oleh pengadilan.
Dalam fakta persidangan terdapat keterangan dari Abimayu Wahyu
Hidayat sebagai saksi ahli telematika yang menjelaskan bahwa telematika adalah
solusi digital sebagai sarana dan prasarana metode untuk memperoleh, mengolah,
mengorganisir sampai menggunakan data yang bermakna atau masih bisa
dipahami oleh system tersebut, multimedia adalah bagian dari telematika tapi
dasarnya multi media itu adalah TAGAV (text, Animasi, Gambar, Audio, Video).
Audio itu mendeteksi adanya gerakan tapi tidak dapat mendeteksi apakah itu
gerakan dari amnesia, gerakan benda, efek lemparan manusia atau pantulan dari
efek lemparan manusia, kecuali pada bagian sampling apakah itu hasil suatu
gerakan, pergeseran atau benturan dan lain sebagainya. Audio adalah pendukung
84
dari rekaman visual, jika ada audio tanpa adanya pendukung visual biasanya
pelaku atau yang terlibat disana memberikan suatu analogi dengan memberikan
suatu kesan suatu cerita adanya pergerakan tersebut. Misalnya, dimana ada
sandiwara radio yang tentu saja berbeda dengan sinetron di televisi yang
menceritakan suatu kejadian. Kejadian itu harus disampaikan dulu atau
divisualisasikan oleh penyiar radio dengan menceritakan bagaimana benda
tersebut, sebesar apa dan menabrak apa, ada informasi yang harus diupayakan
oleh pembuat rekaman apa yang sebetulnya terjadi pada rekaman audio tersebut.
Menurut saksi ahli tersebut bahwa bukti rekaman suara tersebut yang
terputus-putus bisa terjadi karena dua hal, bisa terjadi karena system atau bisa
terjadi disengaja intervensi dari manusia. Rekaman terputus karena system
misalkan durasinya panjang sampai 4 jam kemudian ada hal yang penting dan
pengirimannya sulit, maka pembuat akan memutus-mutuskannya. Tapi di luar itu,
bisa juga system membuat rekaman lanjutannya, tujuannya agar secara perekaman
akan bekerja secara maksimal.
Saksi ahli berpendapat bahwa dalam rekaman tersebut hanya terdapat
pertengkaran mulut dan tidak bisa dipastikan terdapat kekerasan fisik karena bukti
itu berupa rekaman audio. Inti dari rekaman tersebut hanya pertengkaran kecil
antara pasangan yang biasa saja yang kemudian ada kesan seseorang teriak
menganggap dirinya mengalami kekerasan.
Yang ketiga, penggunaan rekaman suara dalam sebuah pembuktian
sebagai alat bukti tidak terlepas dari pertimbangan sejarah Informasi atau
dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah diundangkannya
85
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Undang-Undang No.20 tahun 2001). Pasal 26 A Undang-Undang No.20
tahun 2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga
dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi.
Selain dalam Undang-Undang No.20 tahun 2001, informasi elektronik
sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam Pasal 38 huruf b Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang No.15
tahun 2002), serta 27 huruf b Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang No. 15 tahun 2003).
Walaupun Undang-Undang No. 20 tahun 2001, Undang-Undang No. 15
tahun 2002 dan Undang-Undang No.15 tahun 2003 telah mengakui legalitas
informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas
pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja.
Di dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001, Undang-Undang No. 15
tahun 2002 dan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 juga belum ada kejelasan
mengenai legalitas print out sebagai alat bukti. Juga belum diatur tata cara yang
dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi dan dokumen
eleltronik sebagai alat bukti ke pengadilan.
Selain mengakui informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat
bukti, Undang-Undang No. 11 tahun 2008 juga mengakui print out (hasil cetak)
sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 yang menyebutkan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
86
yang sah. Berdasarkan sejarah tersebut menjelaskan bahwa penggunaan rekaman
suara sebagai informasi dan dokumen elektronik tidak begitu saja dapat
diterapkan tetapi jugs ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Yang ke empat, rekaman suara menjadi Informasi Elektronik dan
Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut (Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008):
a. Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
d. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Terhadap perkara penganiayaan yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan nomor perkara: 445/Pid.B/2013/JKT.Sel. tersebut dalam proses
pembuktiannya dari pihak korban mengajuakan bukti sebuah rekaman suara dari
sebuah handphone milik korban. Rekaman suara tersebut sangan rentan untuk
dimanipulasi apabila tidak memenuhi syarat dan prosedur yang benar.
87
Yang kelima, berkaitan dengan system pembuktiannya, dimana hakim
mempertimbangkan kedudukan dari rekaman suara. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, rekaman suara tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah,
tetapi dalam perkara ini hakim memutuskan bahwa bukti rekaman suara yang
diajukan korban untuk di kesampingkan dan hanya sebagai barang bukti yang
harus dikembalikan kepada si korban.
Tetapi hal demikian bisa saja terjadi, karena dalam konteks teori
pembuktian, Hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum semua
terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang
undang. Hakim harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan
mempertimbangkan alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan
pengadilan. Apabila majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran
yang akan dijatuhkan dalam putusan, maka harus berdasarkan alat-alat bukti yang
telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan
pembuktian suatu alat bukti haruslah berdasarkan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang. Berdasarkan hal tersebut maka rekaman suara tidak masuk dalam
kategori yang ada dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana karena rekaman suara sebagai alat bukti yang sah
yang lain selain yang berada dalam Pasal tersebut berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
88
Yang ke enam, rekaman suara berkaitan dengan keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusannya. Menurut Andi Hamzah ada empat teori sistem
pembuktian dalam hukum acara pidana, salah satunya yakni:
Pembuktian berdasarkan keyakinan yang rasional (berenderieerdebewijsleer) Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakimmenjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan, tetapikeyakinannya itu didasarkan segala alat bukti yang ada denganmempergunakan alasan yang rasional.63
Dalam sistem negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan pendapatnya Alfitra64, yakni:
a. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-
undang;
b. Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti
tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka Tindak pidana Penganiayaan
yang dilakukan terdakwa dalam Perkara Putusan Nomor:
445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., apabila dihubungkan dengan Pasal 183 dan Pasal
184 ayat (1) KUHAP serta teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat
diketahui bahwa pembuktian dalam perkara ini sudah memenuhi prinsip batas
minimum yang sekurang-kurangnya dua alat bukti yang saling bersesuaian dan
saling menguatkan, dan juga keyakinan hakim bahwa terdakwa secara
meyakinkan melakukan tindak pidana. Hal ini dinilai sudah cukup untuk menilai
kesalahan terdakwa.
63Andi Hamzah,Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.2009.
64Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2011, hlm. 29.
89
Fakta mengenai bukti rekaman suara yang diajukan dalam persidangan,
Hakimdalam menjatuhkan putusannya sudah memenuhi unsur dalam Pasal 183
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berdasarkan
keyakianan hakim menetapkan rekaman suara tersebut sebagai barang bukti dan
dikesampingkan untuk menjadi alat bukti, karena dalam pertimbangannya bahwa
mengenai dalil Prnasehat Hukum dalam Nota Pembelaannya dari keterangan Ahli
Abimayu, Ahli Telematika yang menerangkan dalam rekaman yang ahli dengar
tidak terdapat kekerasan physic baik berupa pemukulan ataupun tamparan dan
cakaran serta bantingan benda. Dan bukti rekaman suara haruslah dikesampingkan
sebagai alat bukti oleh karena sebagaimana bahwa Ahli hanya mendengar di
internet dan rekaman ulang yang diterima dari Penasehat Hukum Terdakwa, dan
ketika di Persidangan diperlihatkan IPHONE berupa rekaman asli, Ahli
menyatakan belum pernah mendengar langsung dan ketika Majelis meminta Ahli
untuk menganalisa suara yang ada dalam rekaman tersebut di Persidangan, Ahli
menyatakan bahwa tidak bisa untuk menganalisa rekaman kalau mendengarnya
tanpa alat, sedangkan saat ini tidak membawa alat tersebut, sehingga bukti T-7a
sampai dengan T-10 harus pula dikesampingkan dan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian.
Jadi dalam hal pembuktian, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melakukan penganiayaan terhadap korban. Hal ini diyakinkan dengan
adanya alat bukti dan keterangan saksi saksi lainya yang dihadirkan dalam
persidangan. Sehingga dengan ini terdakwa diputus pidana penjara selama 7
(tujuh) bulan.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Rekaman suara dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel., dapat menjadi alat bukti sah
karena:
a. Rekaman suara tersebut digolongkan menjadi Informasi dan
Dokumen Elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
b. Sebuah handphone yang berisi rekaman suara merupakan alat bukti
yang berdiri sendiri atau lebih tepatnya lex specialis derogate legi
generalie dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga diperkuat dengan Pasal
44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa rekaman suara
merupakan alat bukti lain, selain sebagaimana alat bukti yang
dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah ada.
91
c. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa
Rekaman suara merupakan perluasan alat bukti yang sah.
2. Bukti Rekaman suara dari sebuah handphone dalam kasus
penganiayaan dengan Nomor perkara: 445/Pid.B/2013/PN.JKT.Sel.,
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah yang
berdiri sendiri, tetapi dalam putusan hakim mengesampingkan alat bukti
rekaman suara dan hanya sebagai barang bukti yang harus
dikembalikan kepada saksi korban karena ada beberapa faktor dalam
pertimbangannya,yaitu:
a. Hasil Laboratorium Forensik yang menggunakan audio forensic;
b. Keterangan Tim Ahli;
c. Sejarah penerapan rekaman suara;
d. Syarat rekaman suara menjadi alat bukti sah;
e. System pembuktian;
f. Keyakinan Hakim.
B. Saran
Adanya aturan yang harus lebih jelas dan tegas mengatur lebih khusus
mengenai bukti rekaman suara untuk dapat membantu mengungkapkan kebenaran
materiil tindak pidana dan memberikan keyakinan kepada hakim, karena hakim
dalam memutuskan suatu perkara walaupun terdapat Undang-Undang yang lebih
bersifat khusus yang mengaturnya tetapi tetap tidak terlepas dari aturan pada Pasal
92
183 KUHAP dimana keyakinan hakim tetap menjadi unsur dalam memutuskan
suatu perkara pidana.
93
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, danKorupsi di Indonesia. Jakarta. Raih Asa Sukses. 2011.
Amiruddin dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 2006.
Harahap, yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAPPemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, danPeninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2002
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.2008
____________. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.2009.
Hiariej, Eddy OS. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta. Penerbit Erlangga.2012.
Ibrahim,Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (EdisiRevisi). Malang. Bayu Media Publishing. 2007.
Kaligis, O.C. Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentangInformasi dan Transaksi Elektronik dalam prakteknya. Jakarta.Yasir Watampone. 2012
Marpuang, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan danPenyidikan). Sinar Grafika. 2009
Marzuki,Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana PrenadaMedia Group. 2005.
Nugroho,Hibnu. Buku Ajar Pengantar Hukum Acara Pidana. Purwokerto.Fakultas Hukum Unsoed, 2002.
____________. Integralisasi Penyidkian Tindak Pidana Korupsi DiIndonesia. Jakarta. Media Prima Aksara. 2012
Nuh, Al-Azhar,Muhammad. Digital forensic Panduan Praktis Investigasicomputer. Jakarta. Salemba Infotek. 2012
Pangribuan, Luhut MP. Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi diPengadilan ole Advocat. Jakarta. Djambatan. 2005
94
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: GhaliaIndonesia, 1983
Sudrajat,tedi. “MPPH”. Materi Kuliah. FH Unsoed. 2008.
Simanjuntak,Nikolas. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum.Ghalia Indonesia. 2009.
Taufik Makarao, Mohammad & Suharsil. Hukum Acara Pidana: DalamTeori dan Praktek, Cetakan pertama. Jakarta. Ghalia Indonesia.2004.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KitabUndang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasidan Transaksi Elektronik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman
C. Sumber Lain
Ramli, Ahmad M. dinamika konvergensi hukum telematika dalamsystem hukum nasional. jurnal legislasi Indonesia. vol 5. no 4. 2008.
PUTUSAN PERKARA Nomor : 445/Pid.B/2013/PN.JKT.sel.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamistanggal 26 September 2013
http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/03/30/alat-bukti-dan-barang-bukti-segi-pidana/ diakss pada hari Kamis tanggal 26 September 2013
http://mujimanstai.blogspot.com/2012/07/delik-penganiayaan-menurut-hukum-pidana.html Diakses pada hari Kamis Tanggal 26September 2013
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti? Diakses pada Hari kamistanggal 26 September 2013
95
http://selalucintaindonesia.wordpress.com/2013/01/15/undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik/ diakses 25 november2013
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan diakses pada tanggal25 november 2013
http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 25 november2013