pembuktian terhadap pelaku pasif atas harta...

155
i PEMBUKTIAN TERHADAP PELAKU PASIF ATAS HARTA KEKAYAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Tinjauan Yuridis Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda) SKRIPSI Disusun oleh: Bahar Nur Rahman E1A010210 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014

Upload: lyngoc

Post on 02-Mar-2019

260 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

PEMBUKTIAN TERHADAP PELAKU PASIF ATAS HARTA

KEKAYAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Tinjauan Yuridis Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda)

SKRIPSI

Disusun oleh:

Bahar Nur Rahman

E1A010210

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

ii

PEMBUKTIAN TERHADAP PELAKU PASIF ATAS HARTA

KEKAYAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Tinjauan Yuridis Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:

Bahar Nur Rahman

E1A010210

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

iii

iv

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : BAHAR NUR RAHMAN

NIM : E1A010210

Judul Skripsi :

PEMBUKTIAN TERHADAP PELAKU PASIF ATAS HARTA

KEKAYAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Tinjauan

Yuridis Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya

sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang

lain.

Apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,

maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 21 November 2014

Bahar Nur Rahman

NIM. E1A010210

v

“PEMBUKTIAN TERHADAP PELAKU PASIF ATAS HARTA

KEKAYAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Tinjauan Yuridis Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda)”

Oleh :

BaharNur Rahman

E1A010210

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir ini, sering kita mendengar dalam pemberitaan

media-media mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh

pejabat-pejabat negara atau biasa disebut dengan penjahat kerah putih. Seiring

dengan perkembangan, pencucian uang sekarang ini juga sudah dilakukan oleh

masyarakat biasa yang bukan berlatar belakang pejabat. Di mana uang hasil dari

kejahatan ini selanjutnya disimpan di lembaga keuangan seperti bank.

Penyimpanan uang ini bertujuan agar uang hasil dari kejahatan itu menjadi legal.

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam

perkembangannya tidak hanya fokus kepada pelaku aktifnya saja, tetapi juga

penegakkan hukumnya fokus ke pelaku pasifnya.

Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui bagaimana proses

pembuktian terhadap pelaku pasif dan Untuk mengetahui gambaran mengenai

dasar pertimbangan hukum Hakim dalam membuat Putusan pemidanaan

terhadap pelaku pasif. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis

Normatif dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif

kualitatif, yaitu mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada putusan maupun

perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.

Penelitian yang dilakukan terhadap Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda

diperoleh hasil sebagai berikut : Beban pembuktian terbalik dapat diterapkan

kepada pelaku pasif pencucian uang. Terdakwa harusnya mengetahui telah

menerima uang transferan dari hasil bisnis narkotika suaminya bersama rekannya

yang ditransfer melalui rekening Terdakwa. Sehingga Terdakwa telah melanggar

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kata Kunci : Pembuktian, pelaku pasif, tindak pidana pencucian uang.

vi

ABSTRACT

These last few years, often we hear in the news about money laundering

that committed by state officials or commonly called the white-collar criminals

(white collar crime). Nowadays, money laundering has also been done by

ordinary people who don’t have a background as state officials. Where the

proceeds of crime is then stored in a financial institution such as a bank. Storage

of money is intended to make the proceeds of the crime becomes legal.

Prevention and combating of money laundering nowadays not only focus on the

active actors, but also focus on law inforcement to passive actors.

This study aims to determine how the process of proving to the passive

actors and to find a description of the legal considerations in making the verdict

by judges against passive actors. This study uses normative juridical approach to

examine library materials (secondary data) that exist. The method used in this

study is a qualitative normative, that is to process and interpret based on

decisions and legislation relating to the research.

Research conducted on Verdict No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda obtained as

follows: The burden of proof can be applied to passive actors of money

laundering. The defendant should have known that she had received money

transfer from the result of narcotics business of her husband with his colleagues

that were transferred through the defendant's account. So that the defendant has

violated Article 5 paragraph (1) of the Act 8 of 2010 Concerning the Prevention

and Combating of Money Laundering.

Keywords: Evidence, passive actors, money laundering

vii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, setelah

melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi

dengan judul: “PEMBUKTIAN TERHADAP PELAKU PASIF ATAS

HARTA KEKAYAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Tinjauan Yuridis Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda)” telah terselesaikan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa

hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman dan juga Dosen Pembimbing Akademik atas motivasi

dan nasihat-nasihat dalam berproses dari awal di Fakultas Hukum;

2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang

telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala ilmu,

nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H, M.H., selaku dosen penguji atas segala saran

dan masukan yang diberikan kepada penulis;

viii

5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

6. Kedua orang tua tercinta, yang tidak pernah habis memberikan doa, kasih

sayang, pengorbanan, dorongan dan semangat dari kecil hingga dewasa dan

sepanjang penulisan skripsi ini;

7. Rekan seperjuangan dalam penyelesaian skripsi;

8. Teman-teman sesama mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed, Angkatan 2010

khususnya Kelas C, yang selalu memotivasi dan mendukung penulis;

9. Keluarga Besar UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) LFC (Law Football

Club);

10. Sutrisno Wibowo S.H., Direktorat Kerjasama dan Hubungan Masyarakat

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);

11. Bobby Mokoginta S.H., Direktorat Kerjasama dan Hubungan Masyarakat

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);

12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur.

Namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang

saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat penulis

harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi kita

semua.

ix

Purwokerto, 21 November 2014

Penulis

x

HALAMAN MOTTO

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

(QS. Ar-Rahman Ayat 13)

“Sesuatu yang belum dikerjakan seringkali tampak mustahil, kita baru

yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik”

(Evelyn Underhill)

“Victory loves preparation”

(The Mechanic)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii

SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................ v

ABSTRACT ........................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

HALAMAN MOTTO ........................................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ......................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 7

D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 9

A. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana ........................................ 9

B. Asas-asas Hukum Acara Pidana .................................................... 15

C. Tindak Pidana Pencucian Uang ..................................................... 26

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ............................... 26

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang ........................... 31

xii

D. Pembuktian Terhadap Pelaku Pasif dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang ............................................................................. 39

1. Pengertian Pembuktian ............................................................. 39

2. Pengertian Harta Kekayaan ...................................................... 46

3. Kriteria Pelaku Pasif .................................................................. 47

E. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ...... 50

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 54

A. Metode Pendekatan ....................................................................... 54

B. Spesifikasi Penelitian ..................................................................... 55

C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 55

D. Sumber Data .................................................................................. 56

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ............................................ 57

F. Metode Pengolahan Bahan Hukum ................................................ 58

G. Metode Analisis ............................................................................. 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 59

A. Hasil Penelitian .............................................................................. 59

1. Duduk Perkara ........................................................................... 59

2. Dakwaan Penuntut Umum ........................................................ 60

3. Pembuktian ............................................................................... 64

4. Tuntutan Penuntut Umum ......................................................... 85

5. Putusan Pengadilan ................................................................... 86

B. Pembahasan ................................................................................... 95

xiii

1. Proses Pembuktian terhadap Pelaku Pasif atas Harta Kekayaan

pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda ............................. 95

2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan

Putusan Pidana terhadap Pelaku Pasif pada Putusan

No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda .................................................. 121

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 135

A. Simpulan ...................................................................................... 135

B. Saran ............................................................................................ 136

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Surat Keterangan Melakukan Izin Penelitian di Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan (PPATK)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi sekarang ini dan jaman yang semakin berkembang

dan maju, membuat tindak kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang juga semakin dinamis. Seperti beberapa tahun terakhir ini, sering

kita mendengar dalam pemberitaan media televisi maupun media elektronik

mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat-

pejabat negara atau biasa disebut dengan penjahat kerah putih (white collar

crime).

Melihat keadaan yang akhir-akhir ini sering kita lihat dan dengar

,mungkin sudah tidak asing lagi dengan kasus Pencucian Uang yang

beberapa tahun terakhir ini menjadi bahan pembicaraan di berbagai media di

negara kita. Mengenai pengertian pencucian uang, yang dimaksud dengan

pencucian uang (money laundering) itu sendiri adalah suatu upaya

perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana

atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi

keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah

berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Pencucian uang yang disebut dengan istilah Money Laundering,

Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip

oleh Munir Fuady mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis

munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak

2

tahun 1830. Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan

uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan

narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat

gangster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat

yang terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago).

Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan

mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di

Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana

(Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh

kelompok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money

Laundering Modern. Setelah memasuki tahun 1980 an kegiatan ini semakin

jadi dengan banyaknya penjualan obat bius. Bertolak dari sini dikenal istilah

narco dollar atau drug money yang merupakan uang hasil penjualan

narkotika. Perkembangan selanjutnya uang panas itu disimpan di lembaga

keuangan antaranya di bank. Penyimpanan uang panas ini dengan tujuan

agar uang hasil dari kejahatan itu menjadi legal.1

Bagi organisasi kejahatan, harta kekayaan sebagai hasil kejahatan

ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran harta

kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan

diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama-kelamaan akan

menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena

itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu

1 http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/pencucian-uang-sebagai-kejahatan_

03.html?=1 (diakses tanggal 9 Maret 2014).

3

organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi

kejahatan melakukan pencucian uang agar asal-usul harta kekayaan yang

sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak

hukum.2

Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup terbuka menjadi

sasaran pemutihan uang, karena di Indonesia terdapat faktor–faktor

potensial sebagai daya tarik bagi pelaku money laundering, gabungan antara

kelemahan sistem sosial dan celah-celah hukum dalam sistem keuangan

antara lain sistem devisa bebas, tidak diusutnya asal-usul yang ditanamkan

dan perkembanganya pasar modal, pedagang valuta asing dan jaringan

perbankan yang telah meluas ke luar negeri. Melihat besarnya dampak yang

ditimbulkannya terhadap stabilitas pekonomian negara, maka sejumlah

negara telah menetapkan aturan yang cukup ketat guna mengungkap money

laundering.3

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan

atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari

tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak

pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan

leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah

maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana. Pencucian Uang tidak hanya

mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem

2 Tim New Merah Putih, 2008, Undang-Undamg Pemberantasan Tindak Pidana Anti

Korupsi, Yogyakarta : New Merah Putih, hal. 196. 3 Financial Action Task Force on Money laundering, 2000, Report on Money:

Laundering Typologies, 1999-2003, hal. 2.

4

keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam

konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui

melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas

untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta

kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi

kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan

tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk

menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran

dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana.

Dalam tindak pidana pencucian uang terkait dua tindak pidana, yaitu

kejahatan menghasilkan uang haram dan pencucian uang haram. Kualifikasi

tindak pidana pencucian uang dirumuskan sebagai penempatan harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak

pidana ke dalam penyedia jasa keuangan maupun yang lainnya, baik atas

nama sendiri atau atas nama orang lain. Berdasarkan ketentuan ini maka

adanya perbuatan korupsi tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup

kalau ada pengetahuan atau dugaan bahwa uang haram tersebut berasal dari

perbuatan korupsi, yaitu bila sudah terdapat bukti permulaan yang cukup.

Dalam tindak pidana pencucian uang terdapat lembaga khusus yang

berfungsi sebagai perantara untuk memberikan data transaksi mencurigakan

5

kepada aparat penyidik yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK). Lembaga ini merupakan lembaga independen yang

akan melakukan fungsi penyelidikan yaitu mengumpulkan, menyimpan,

menganalisis, mengevaluasi informasi transaksi yang dicurigai dan diduga

sebagai perbuatan pencucian uang, sebelum informasi itu diteruskan kepada

penyidik untuk diproses berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP.)

Dalam prakteknya, orang-orang yang melakukan white collar crime

cenderung untuk melakukan kejahatan yang sama berulang kali jika dia

menganalis secara ekonomi keuntungan yang akan diperolehnya akan lebih

besar daripada biaya yang dikeluarkan. Keuntungan itu diperhitungkan dari

kemungkinan biaya bila tertangkap dan terbukti melakukan kejahatan serta

besarnya hukuman yang akan dijatuhkan. Bila biaya kejahatan yang telah

diperhitungkan lebih rendah dibandingkan keuntungan yang akan didapat

saat melakukan kejahatan tersebut, maka orang tersebut akan merespon

dengan melakukan kejahatan yang sama.4

Seperti yang telah kita ketahui akhir-akhir ini banyak para pelaku

yang sedang menjalani proses hukum terkait dengan tindak pidana

pencucian uang yang didakwakan kepada mereka. Harta kekayaan yang

dialirkan oleh para pelaku kepada penerimanya tersebut untuk

menyamarkan asal usulnya memang erat kaitannya berasal dari hasil tindak

pidana penyalahgunaan narkotika, terorisme korupsi, penyuapan atau

4 Hikmahanto Juwana, Bahan Kuliah Magister Hukum, Teori hukum, UI Press hal. 152.

6

gratifikasi, walaupun tidak menutup kemungkinan dari hasil tindak pidana

lainnya. Dalam kasus pencucian uang yang saat ini sedang menjadi bahan

pembicaraan publik, yang menarik dalam kasus ini adalah Harta Kekayaan

yang mereka dapat dari hasil tindak pidana sebelumnya yang kemudian

untuk menutupi jejak/asal-usul dari harta kekayaan tersebut, kemudian harta

tersebut mereka alirkan ke berbagai pihak, mulai dari memasukkan ke

rekening keluarga, teman sampai bahkan membagikannya kepada public

figure atau artis.

Selain korupsi dan penyalahgunaan narkotika, banyak sekali

sebenarnya tindak pidana asal yang kemudian untuk menyamarkan hasil

dari tindak pidana tersebut oleh pelaku dilakukan pencucian uang agar

seolah-olah harta kekayaan tersebut berasal dari hasil yang legal atau sah.

Seperti tidak pidana terorisme, penipuan, dan masih banyak lagi seperti

yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan apa yang telah yang telah diuraikan di atas, maka

peneliti tertarik untuk meneliti masalah mengenai pembuktian terhadap

pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang, dan mencoba

menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul : “PEMBUKTIAN

TERHADAP PELAKU PASIF ATAS HARTA KEKAYAAN DALAM

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Tinjauan Yuridis Putusan

No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda)”

7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang

permasalahan di atas, maka dapat ditarik perumusan masalah yaitu :

1. Bagaimanakah proses pembuktian terhadap pelaku pasif atas

harta kekayaan pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda ?

2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum Hakim dalam

menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pasif pada Putusan

No.603/ Pid.Sus/2013/ PN.Sda ?

C. Tujuan Penelitian

Dari identifikasi rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin

dicapai oleh penulis dalam penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuktian terhadap

pelaku pasif atas harta kekayaan dalam tindak pidana pencucian

uang pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda.

2. Untuk mengetahui seperti apa gambaran mengenai dasar

pertimbangan hukum Hakim dalam membuat Putusan

pemidanaan terhadap pelaku pasif pada Putusan

No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda.

D. Kegunaan Penelitian

Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan

pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan dan manfaat,

baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan,

yaitu :

8

1. Kegunaan Teoritis

a. Dengan dilakukannya penelitian hukum ini diharapkan bisa

memberikan gambaran mengenai bagaimana proses pembuktian

terhadap pelaku pasif atas harta kekayaan dalam tindak pidana

pencucian uang, terutama pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/

PN.Sda.

b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menambah literatur

ilmiah, diskusi hukum seputar perkembangan hukum mengenai

bagaimana dasar pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan

putusan pidana terhadap terdakwa pelaku pasif tindak pidana

pencucian uang pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat

memberikan masukan taupun informasi bagi pihak-pihak mengenai

proses pembuktian terhadap pelaku pasif atas harta kekayaan dalam

tindak pidana pencucian uang.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana

a. Fungsi Hukum Acara Pidana

Fungsi hukum pidana formal atau hukum acara pidana adalah

melaksanakan hukum pidana material, artinya memberikan peraturan

cara bagaimana negara dengan mempergunakan alat-alatnya dapat

mewujudkan wewenangnya untuk mempidana atau membebaskan

pidana.

Dalam mewujudkan wewenang tersebut di atas, ada dua macam

kepenting-an yang menuntut kepada alat negara, yaitu:

1. Kepentingan umum, bahwa seorang yang melanggar suatu

peraturan hukum pidana harus mendapatkan pidana yang

setimpal dengan kesalahannya untuk mempertahan-kan

keamanan umum, dan

2. Kepentingan orang yang dituntut, bahwasanya orang yang

dituntut perkara itu harus diperlakukan secara jujur dan adil,

artinya harus dijaga jangan sampai orang yang tidak bersalah

dijatuhi pidana, atau apabila ia memang bersalah, jangan

sampai ia memperoleh pidana yang terlampau berat, tidak

seimbang dengan kesalahannya.

Menurut R. Soesilo, Hukum Acara Pidana fungsinya adalah

melaksanakan hukum pidana materiil artinya memberi peraturan, cara

10

bagaimana Negara dan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya

untuk memidana atau membebaskan pidana.5

Secara lebih ringkas dikemukakan oleh Van Bemmelen seperti

yang dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, menemukan tiga fungsi

acara pidana sebagai berikut6:

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

b. Pemberian keputusan oleh hakim, dan;

c. Pelaksanaan keputusan.

Van Bemmelen7 dalam bukunya “Leerboek van het Nederlandes

Straf-procesrecht”, yang disitir Rd. Achmad S. Soema Dipradja8,

mengemukan bahwa pada pokoknya Hukum Acara Pidana mengatur

hal-hal:

1. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilarangnya

Undang-undang pidana, oleh alat-alat negara, yang khusus

diadakan untuk keperluan tersebut.

2. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu.

3. Diikhtiarkan segala daya upaya agar para pelaku dari perbuatan

tadi, dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan.

4. Alat-alat bukti yang telah diperoleh dan terkumpul hasil

pengusutan dari kebenaranpersangkaan tadi diserahkan kepada

hakim, demikian juga diusahakan agar tersangka dapat

dihadapkan kepada hakim.

5. Meneyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang

terbukti tidaknya daripada perbuatan yang disangka dilakukan

5 R. Soesilo, 1982, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor Politea, hal.

12. 6 Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia

Indonesia, hal. 8-9. 7 Andi Hamzah, 1983 Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta : Ghalia

Indonesia, hal. 19. 8 Rd. Achmat S. Soema Dipradja,1977, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana, Pen.

Alumni Bandung, hal. 16, dikutip dari bukunya D. Soedjono, 1982, Pemeriksaan Pendahuluan

menurut K.U.H.A.P. Pen. Alumni Bandung, hal. 1.

11

oleh tersangka dan tindakan atau hukuman apakah yang lalu

akan diambil atau dijatuhkan.

6. Menentukan daya upaya hukum yang dapat dipergunakan

terhadap putusan yang diambil Hakim.

7. Putusan yang pada akhirnya diambil berupa pidana atau

tindakan untuk dilaksanakan.

Demikian pula menurut Rd. Achmad S Soema Dipradja, bahwa

hukum acara pidana adalah ”untuk menentukan, aturan agara para

pengusut dan pada akhirnya Hakim, dapat berusaha menembus ke arah

ditemukannya kebenaran dari perbuatan yang disangka telah dilakukan

orang”9.

Menurut Bambang Poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum

acara pidana melalui alat perlengkapannya, ialah10

:

1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran;

2. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan;

3. Melaksanakan keputusan secara adil.

b. Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan Hukum Acara Pidana pada hakekatnya adalah mencari

kebenaran dan mengarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian,

para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada hakim

dalam menyidik, menuntut, dan mengadili perkara harus senantiasa

berdasar kebenaran dan hal-hal yang sungguh terjadi. Selain itu para

penegak hukum hendaknya dalam menjalankan fungsi dan wewenang

9 Ibid.

10 Bambang Poernomo,1988 Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana,

Yogyakarta: Liberty, hal. 29.

12

senantiasa berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana sebagai landasannya.

Selain fungsi hukum acara pidana yang telah dijelaskan di atas,

maka dapat dikemukakan tujuan dari hukum acara pidana, sebagaimana

telah dirumuskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP tahun 1982,

bahwa Tujuan dari hukum acara pidana adalah:

1. Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat;

2. Untuk mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan

melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan

dan menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat

dipersalahkan;

3. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya

hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hukum acara pidana

mengatur pula pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari

putusan tersebut.

13

Dengan demikian berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP

tersebut di atas, telah menyatukan antara tujuan dan tugas atau fungsi

hukum acara pidana, namun seharusnya tujuan tujuan hukum acara

pidana dari segi teoritis diparalel-kan dengan tujuan hukum pada

umumnya yaitu untuk mencapai “kedamaian” dalam masyarakat.

Selanjutnya dalam operasionalisasi tujuan hukum acara pidana dari segi

praktis adalah untuk mendapatkan suatu kenyataan yang ”berhasil

mengurangi keresahan dalam masyarakat berupa aksi sosial yang bersifat

rasional dan konstruktif didasarkan kebenaran hukum dan keadilan

hukum”11

.

Menurut pendapat dari S. Tanusoebroto dalam bukunya

mengemukakan tujuan Hukum Acara Pidana adalah12

:

“Tujuan Hukum Acara Pidana adalah mengatur tata cara dalam

rangka ikhtiar untuk menentukan kebenaran daripada felt yang

disangka telah diperbuat orang sehingga terbukalah kemungkinan

justru untuk mencegah dilakukannya penuntutan terhadap

seseorang yang telah bersalah untuk dijatuhi sanksi pidana.”

Selain dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP di atas, yang telah

merumuskan mengenai tujuan hukum acara pidana, maka di sini ada

beberapa pendapat dari para sarjana yang mengemukakan tentang tujuan

hukum acara pidana, sebagai berikut :

11

Ibid. 12

S.Tunusoebroto, 1984, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Cetakan Pertama,

Armico : Bandung, Hal. 9.

14

Menurut R. Soesilo13

, bahwa “tujuan daripada hukum acara

pidana, adalah sebagai berikut “pada hakekatnya memang mencari

kebenaran. Para Penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada

Hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa

harus berdasar kebenaran, harus berdasarkan hal-hal yang sungguh-

sungguh terjadi”. Lanjut dikemukakan bahwa “Dalam mencari kebenaran

ini, hukum acara pidana menggunakan bermacam-macam ilmu

pengetahuan seperti kriminalistik, daktiloskop, ilmu dokter kehakiman,

photografi dan lain sebagainya, agar supaya jangan sampai terdapat

kekeliruan-kekeliruan dalam memidana orang”.

Menurut Andi Hamzah14

, bahwa tujuan daripada hukum acara

pidana adalah sebagai berikut “mencari dan menemukan kebenaran

material itu hanya merupakan tujuan antara, artinya ada tujuan akhir

yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal ini,

mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil dan

sejahtera (tata tentram kerta raharja)”.

Menurut Moch. Faisal Salam15

, tujuan hukum acara pidana adalah

“untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati

kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana

secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku

13

R. Soesilo, Op.Cit. hal. 19. 14

Andi Hamzah, Loc.Cit. 15

Moch. Faisal Salam, Op. Cit. hal.1.

15

yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan

selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna

menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan

dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Tujuan dari hukum acara pidana ini juga sudah termuat dalam

landasan atau garis-garis tujuan yang hendak dicapai oleh Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada dasarnya telah

ditelaah pada huruf (e) konsiderans yang merumuskan :

“Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu

dibidang Hukum Acara Pidana adalah agar masyarakat

menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan

pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan

fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum,

keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan

Pancasila dan Undang-Undang 1945”.

Dari beberapa pendapat sarjana mengenai tujuan dan fungsi

Hukum Acara Pidana yang sudah dikemukakan di atas harus senantiasa

memperhatikan hak-hak asasi manusia dan konsekuensi bagi penegak

hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

KUHAP dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, kebenaran

materiil merupakan hal yang paling penting dalam pelaksanaan KUHAP.

B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Hukum yang baik dalam pelaksanannya harus mempunyai landasan-

landasan asas dan juga prinsip. Landasan-landasan ini sebagai dasar patokan

hukum yang melandasi Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dalam penerapan penegakkan hukum. Asas-asas atau prinsip

16

hukum inilah tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegakk

hukum dalam menerapkan pasal-pasal yang terdapat pada Kitap Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas-asas ini bukan saja hanya

menjadi pedoman dan patokan bagi aparat penegak hukum saja, tetapi juga

bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas

pelaksanaan tindakan yang menyangkut Kitap Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

Menurut Andi Hamzah16

, terdapat sembilan asas penting dalam

hukum acara pidana, yaitu:

1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Suatu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan

biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan

secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan

penjelasan umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut:

“Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya

ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan

secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan

Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa

tersangka dan terdakwa berhak:

a. Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik;

b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;

c. Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut

umum; dan

d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.

16

Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Sinar

Grafika, hal. 23.

17

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak menggunakan

istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah17

bahwa istilah “satu kali dua

puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”. Demikianlah

sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam

praktik penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah “segera”,

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan diganti

dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh empat

jam”, “dua bulan”, dan seterusnya.

Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke

Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur

sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat. Pasal 110

KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik

dengan kata “segera.”

Pasal 140 ayat (1) KUHAP, merumuskan bahwa:

“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil

penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu

secepatnya membuat surat dakwaan.”

Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya,

berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh

ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung

jawab. Dalam KUHAP Tentang asas sederhana dan biaya ringan:

17

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 19.

18

a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan

ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang

mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak

pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98);

b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat;

c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut

ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya

sebagai pelaksanaan prinsip mempercepat dan

menyederhanakan poses penahanan;

d. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-

nyata memberi kesederhanaan penanganan fungsi dan

wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-

balik, timpang tindih dan saling bertentangan.

Proses perkara pidana dengan biaya ringan diartikan

menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya

para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang

berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding,

karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan.

Menurut Andi Hamzah18

, peradilan cepat (terutama untuk

menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim)

merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang

18

Ibid. hal. 11.

19

bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang

tersebut.

Secara ringkasnya menurut Sudikno Mertokusumo19

Sederhana

adalah sederhana peraturannya, sederhana untuk dipahami dan tidak

berbelit-belit. Cepat berarti tidak berlarut-larut proses penyelesaiannya.

Beaya ringan berarti beaya untuk mencari keadilan itu dapat terpikul

oleh rakyat. Itu semuanya dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk

mencari kebenaran dan keadilan.

2. Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)

Asas ini dapat di lihat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP,

bahwa:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan

atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap

tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

tetap.”

Asas ini merupakan asas penghormatan kepada seseorang yang

berhadapan dengan hukum dikatakan tidak bersalah sebelum adanya

putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

3. Oportunitas

Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang

melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan

kepentingan umum. Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan

19

Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Yogyakarta:

Liberty, hal. 123.

20

Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa:

“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan

suatu perkara demi kepentingan umum”

A.Z. Abidin seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi

suatu rumusan tentang asas oportunitas adalah asas hukum yang

memberikan wewenangnya kepada Penuntut Umum untuk menuntut

atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi

yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.20

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Pada dasarnya setiap persidangan bersifat terbuka untuk umum

kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya

anak-anak. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 153

ayat (3) KUHAP, bahwa:

“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka

sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam

perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”

Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut terbuka untuk

umum, maka hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan

putusan hakim pengadilan menjadi “batal demi hukum”. Terhadap

ketentuan ini ada kecualinya mengenai perkara yang menyangkut

kesusilaan dan terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini

persidangan dapat dilakukan dengan tertutup. Menurut pendapat Andi

20

Ibid. hal. 14.

21

Hamzah21

bahwa ketentuan yang terdapat di dalam pasal tersebut terlalu

limitatif, seharusnya hakim diberikan kebebasan untuk menentukan

sesuai situasi dan kondisi apakah sidang tersebut terbuka atau tertutup

untuk umum.

Yahya Harahap22

berpendapat bahwa semua persidangan

pengadilan terbuka untuk umum. Pada saat majelis hakim hendak

membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum.”

Setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan, dapat hadir

memasuki ruang sidang. Pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka,

sehingga dengan demikian makna prinsip persidangan terbuka untuk

umum benar-benar tercapai. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka

untuk umum disebut sebagai asas demokrasi. Asas ini memberi makna

yang mengarahkan tindakan penegakan hukum di Sistem Peradilan

Indonesia (SPP) Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan

“keterbukaan” serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan

dalam mengambil keputusan.

5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim

Penjelasan Umum Butir 3a Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di

muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. Jadi

sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa

21

Andi Hamzah, Op. Cit. 22

M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua,

Jakarta : Sinar Grafika, hal. 110.

22

peradilan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang di

dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya pembedaan. Sebagaimana yang

disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo, dimuka hukum semua orang

adalah sama (equality before the law). Pengadilan tidak hanya mengadili

berdasarkan undang-undang seperti yang tercantum dalam Pasal 20 AB,

tetapi mengadili menurut hukum23

.

6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya dan Tetap

Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa

dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk

jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara. Berdasarkan

rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia.”

Prinsip ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut

undang-undang, yakni sistem pembuktian undang-undang secara

negatif. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki (ultimate truth) di

dalam membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan batas minimum

pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.24

7. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

23

Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. 24

M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 112.

23

Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau

terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan

hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak saat di tangkap atau di

tahan pada semua tingkat pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 69 sampai

dengan 74 KUHAP dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa

mendapatkan:

1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap

atau ditahan (Pasal 69 KUHAP);

2. Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan

(Pasal 69 KUHAP);

3. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau

terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu

(Pasal 70 ayat (1) KUHAP);

4. Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi

tersangka tidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum

kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara (Pasal

71 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP);

5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau

penuntut umum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72

KUHAP);

6. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari

tersangka atau terdakwa (Pasal 73 KUHAP).

24

Pengecualian dari pasal tersebut di atas terdapat pada ketentuan

Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak

hukum menegaskan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau

ancaman pidana 15 tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai

penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua

tingkat pemeriksan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat

hukum bagi mereka.

Menurut Andi Hamzah25

pembatasan-pembatasan hanya

dikenakan jika penasehat hukum menyalahgunakan hak-haknya

tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tersebut

hanya dari segi yuridis semata-mata bukan dari segi politik, sosial dan

ekonomi.

8. Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir)

Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum

menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya

perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang

pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.

Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau

terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subjek, bukan objek

pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus

didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat.

25

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 21.

25

Kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa

menjadi objek dalam prinsip akusator.26

Menurut Andi Hamzah27

, prisnsip inkusitor adalah

menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai objek yang dapat

diperlakukan dengan sewenang-wenang. Sedangkan menurut L. J. Van

Apeldoorn yang dimaksud akusator dan inkusitor adalah:

Sifat accusatoir ialah prinsip, bahwa dalam acara pidana,

pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak

yang sama haknya. Penuntut umum dan terdakwa melakukan

pertarungan hukum (rechtsstriid) di muka hakim yang tidak berpihak;

Kebalikannya ialah asas inquisitoir dalam mana hakim sendiri

mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai

pendakwa, jadi dalam mana tugas dari orang yang menuntut, orang yang

mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang.28

9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung,

artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan

acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.

Menurut Andi Hamzah29

hal ini berkaitan dengan tujuan hukum

acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, di mana hakim

26

Ibid. hal. 22. 27

Loc. Cit. 28

L. J. Van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.

338. 29

Ibid.

26

melakukan pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung.

Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis

antara hakim dan terdakwa.

C. Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang

bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang

atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang

kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari

kegiatan yang sah.30

Pencucian uang atau money laundering merupakan rangkaian

kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau

organisasi terhadap uang haram, yaitu uang dimaksud untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari

pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan

terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama

memasukan uang tersebut ke dalam sistemkeuangan (financial system)

sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem

keuangan itu sebagai uang yang halal.

30

Adrian Sutedi, 2007, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,

Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 19.

27

Ada beberapa ahli yang mempunyai pendapat tentang pengertian

pencucian uang atau money laundering:31

1. Menurut Welling

Pencucian uang adalah proses penyembunyian keberadaan

sumber tidak sah atau aplikasi pendapat tidak sah,sehingga

pendapatan itu menjadi sah.

2. Menurut Fraser

Pencucian uang adalah sebuah proses yang sungguh

sederhana dimana uang kotor di proses atau dicuci melalui

sumber yang sah atau bersih sehingga orang dapat menikmati

keuntungan tidak halal itu dengan aman.

3. Menurut M.Giovanoli

Money laundering merupakan proses dan dengan csra seperti

itu,maka aset yang di peroleh dari tindak pidana

dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut

seolah berasal dari sumber yang sah.

4. Mr.J.Koers

Money laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan

hasil kejahatan kedalam suatu peredaran yang sah dan

menutupi asal-usul tersebut.

5. Byung-Ki Lee

Money laundering merupakan proses memindahkan kekayaan

yang di peroleh dari aktivitas yang melawan hukum menjadi

modal yang sah.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2003

Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang, Pencucian uang adalah perbuatan

menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,

menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri,

menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan

31 http://panduanhukum.blogspot.com/2012/05/pengertian-tindak-pidana-pencucian-

uang.html (diakses tanggal 11 Maret 2014).

28

maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta

kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Adapun menurut ketentuan Article 38 (3) Finance Act 1993

Luxembourg, pencucian uang dapat didefinisikan sebagai32

:

“Suatu perbuatan yang terdiri atas penipuan, menyembunyikan,

pembelian, pemilikan, menggunakan, menanamkan, penempatan,

pengiriman, yang dalam undang-undang yang mengatur

mengenai kejahatan atau pelanggaran secara tegas menetapkan

status perbuatan tersebut sebagai tindak pidana khusus, yaitu

suatu keuntungan ekonomi yang diperoleh dari tindak pidana

lainnya.”

N.H.T. Siahaan dalam bukunya menyimpulkan tentang

pengertian tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai

perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak

sah supaya terlihat diperoleh dari dana atau modal yang sah33

.

Sedangkan Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa tidak ada

definisi yang universal dan komprehensif mengenai tindak pidana

pencucian uang (money laundering), karena berbagai pihak seperti

institusi-institusi investigasi, kalangan pengusaha, Negara-negara dan

organisasi-organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri untuk itu.

Akan tetapi dia mengambil kesimpulan tentang berbagai definisi tentang

pencucian uang sebagai berikut34

:

“Pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian

kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang

32

Arief Amrullah, 2004, Money Laundering (Tindak Pidana Pencucian Uang), Malang

: Bayu Media, hal.10-11. 33

N.H.T. Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan, hal. 7. 34

Sutan Remy Sjahdeini, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan

Pembiayaan Terorisme, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, hal. 5.

29

atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari

tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau

otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak

pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang

tersebut ke dalam system keuangan (financial system) sehingga

uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan

itu sebagai uang halal.”

Sebagai catatan berkenaan dengan definisi tindak pidana

umumnya, maka masalah definisi tindak pidana pencucian uang menjadi

sesuatu yang sangat penting. Pentingnya menentukan definisi dalam

tindak pidana antara lain berkaitan dengan asas lex certa, yaitu nullum

crimen sine lege stricta atau tiada suatu kejahatan tanpa peraturan yang

jelas dan terbatas. Hal ini juga menyiratkan bahwa ketentuan tindak

pidana harus dirumuskan secara jelas dan limitatif atau terbatas, tidak

bersifat karet, untuk menjaga kepastian hukum. Implikasinya akan

menunjukkan rumusan delik, siapa yang dimaksud sebagai pelaku, lalu

apa saja yang dimaksud unsur objektif dan subjektif35

. Tindak pidana

atau delik secara singkat berarti, “suatu kelakuan manusia yang oleh

peraturan perundang-undangan diberikan sanksi pidana, atau

merupakan perilaku manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam

pidana.”36

Mengenai pengertian dan juga kriteria yang tergolong tindak

pidana pencucian uang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

35

Yenti Ganarsih,2009, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta :

FHUI, hal. 47. 36

Ibid. hal. 194.

30

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang yaitu termuat dalam Pasal 3, 4 dan 5 :

Pasal 3

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,

membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan

mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta

Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan

hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul

Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang

dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,0 (sepuluh miliar

rupiah).

Pasal 4

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal

usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hakhak, atau

kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena

tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama

20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5

Ayat (1)

Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Dari rumusan pasal tersebut terlihat bahwa mengenai pengertian

maupun kategori-kategori yang bisa tergolong dalam tindak pidana

pencucian uang dari pembuat undang-undang memang sudah sedemikan

rupa dibuat sebiasa mungkin untuk mengakomodir tindakan-tindakan

31

dalam kategori tindak pidana pencucian uang, juga sangat membatsi

ruang gerak para pelaku yang akan melakukan pencucian uang dari hasil

tindak pidana. Dan terlihat juga bahwa pemerintah memang sangat

bersemangat untuk memerangi dan memberantas tindak pidana

pencucian uang. Hal itu terlihat dalam sanksi pidana yang termuat dalam

undang undang tersebut yang begitu besar dan membuat orang yang akan

berpikir berkali-kali untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencucian Uang

Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana, maka

perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang

dilakukan tersebut. Termasuk juga dalam tindak pidana pencucian uang

ini, jika seseorang atau badan hukum yang melakukan pencucian uang

baik sebagai pelaku aktif maupun pasif maka harus memenuhi unsur-

unsurnya.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam

undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang

dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta

unsur merupakan hasil tindak pidana.

Mengenai tindak pidana pencucian uang, pengaturan secara

yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

32

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana37

:

a. Pertama

Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap

Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan,

membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan

dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas

harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 Undang-

Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang).

b. Kedua

Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan

kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai

penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,

penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan

yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

37

http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang (diakses tanggal 3 Maret 2014).

33

Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan

pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor

yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur

dalam undang-undang ini. (Pasal 5 Undang-Undang Republik

Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ).

c. Ketiga

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia

No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan pula bagi mereka

yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang

dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan,

pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan

melakukan pencucian uang.

Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: adanya

unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur

objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya suatu kegiatan

menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan,

menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar

34

negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang

diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur

subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan

sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal

dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau

menyamarkan harta tersebut38

.

Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terkait

perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap

orang” dimana dalam Pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang

adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian

korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini

disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan

yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan “transaksi” menurut

ketentuan dalam Undang-undang ini adalah seluruh kegiatan yang

menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun “transaksi

keuangan” diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima

penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang

berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur

38

http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html (diakses tanggal 11 Juni 2014).

35

tindak pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang

mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai

maupun melalui proses pentransferan/memindahbukukan.

Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang

tertuang pada pasal 1 angka (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

adalah:

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil,

karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang

bersangkutan;

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut

diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari

pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan

oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini;

c. Transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal

dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga

berasal dari hasil tindak pidana; atau

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk

dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta

kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Bisa dikatakan merupakan tindak pidana pencucian uang, salah

satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun

2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku

melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan

hasil tindak pidana. Pengertian “hasil tindak pidana” ini diuraikan pada

Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pada pasal ini harta

36

kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak

pidana adalah harta yang berasal dari kejahatan, antara lain :

Ayat (1) :

Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari

tindak pidana:

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. narkotika;

d. psikotropika;

e. penyelundupan tenaga kerja;

f. penyelundupan migran;

g. di bidang perbankan;

h. di bidang pasar modal;

i. di bidang perasuransian;

j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap;

n. terorisme;

o. penculikan;

p. pencurian;

q. penggelapan;

r. penipuan;

s. pemalsuan uang;

t. perjudian;

u. prostitusi;

v. di bidang perpajakan;

w. di bidang kehutanan;

x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4

(empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga

merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Ayat (2) :

Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan

digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak

langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau

teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

37

Dengan mengingat bahwa pencucian uang merupakan tindak

pidana “dampak”, maka Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

menentukan tindak pidana dari primer money laundering ada 26 jenis

yang sudah disebutkan dalam Pasal 2 di atas. Merujuk uandang-undang

tersebut, yang dimaksud sebagai pencucian uang adalah tindakan tiap

orang melakukan transfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,

menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk,

menukarkan dengan mata uang/surat berharga dan perbuatan lain.

Upaya itu bertujuan untuk menyembunyikan menyamarkan atas

aset yang diperoleh secara tidak sah. Dari beberapa kasus korupsi, sering

muncul modus menitipkan atau mengibahkan aset, baik berupa simpanan

uang, rumah dan maupun mobil kepada orang-orang di sekitar pekaku.

Misalnya kepada anggota keluarga, teman atau sopir pribadi.39

Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada Pasal 3

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terdapat beberapa

tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana

pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja :

1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan

baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal

39

Hibnu Nugroho, 2013, “Honor Penyanyi Dangdut”, Suara Merdeka, 23 November

2013.

38

diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh

melalui tindak pidana.

2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu

penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain,

baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.

3. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang

diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari

tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama

pihak lain.

4. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang

diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari

hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama

pihak lain.

5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga

merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik

atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.

6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga

merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.

7. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan

yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak

pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan

39

tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta

kekayaan tersebut.

Mengenai pembuktian tindak pidana pencucian uang ini nantinya

hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan.

Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut

merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya

tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut. Bukan untuk

membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate

crime) yang menghasilkan harta kekayaan.

D. Pembuktian Terhadap Pelaku Pasif Dalam Tindak Pidana Pencucian

Uang

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral dan memegang peranan yang

sangat penting dalam pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan.

Hal ini dikarenakan pada pembuktian di tentukan bersalah atau tidaknya

seorang terdakwa. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan tidak

mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka terdakwa

akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi

maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu proses

pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai orang

yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau bahkan

orang yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah.

40

Pengertian pembuktian memang sangat beragam, setiap ahli

hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak

ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata

“membuktikan”. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo40

disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada

hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi

kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Sedangkan

Subekti41

menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim

tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan. Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut,

membuktikan atau pembuktian dapat dinyatakan sebagai proses untuk

menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan

didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada

akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa

yang salah.

Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa

pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,

sehingga harus mempertanggungjawabkannya42

. Pembuktian adalah

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-

cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan

40

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. hal. 135. 41

Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramitha, hal. 1. 42

Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal.

133.

41

yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan

boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan43

.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana atau biasa disebut dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai

pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian

dalam Pasal 183 yang merumuskan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Sedangkan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang

tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :

Alat bukti yang sah ialah:

a.keterangan saksi;

b.keterangan ahli;

c.surat;

d.petunjuk;

e.keterangan terdakwa.

Beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian,

antara lain :

a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan

Hakim Semata (Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-

tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya

tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi

43

M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 273.

42

bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa

sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim

tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.

Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti

tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat

dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara

hakim menjadi subjektif sekali. Kelemahan pada sistem ini

terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada

hakim, kepada perseorangan sehingga sulit untuk melakukan

pengawasan. Hal ini terjadi di praktek Peradilan Perancis yang

membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak

mengakibatkan putusan bebas yang aneh.

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim

Atas Alasan yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga

mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-

satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi

keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang

nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan

hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak

diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh

undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di

43

luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan

adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan

dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem

pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh

“reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus

“reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat

diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan

keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut

dengan sistem pembuktian bebas44

.

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif

(Positif Wettelijks theode)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem

pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran

bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada

tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat

dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wettelijk

sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan

keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan

yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di

persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat

bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus

dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi

44

Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra

Aditya, hal. 56.

44

cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-

undang, maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan

harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim

akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa

dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar objektif karena

menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-

undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak

memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan

perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum

acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah

kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini

digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk

bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu

berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor.

Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan

belaka, dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan

saja45

.

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara

Negatif (Negative Wettelijk).

Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana

apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan

undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang

45

Darwin Prinst, Op.Cit. Hal. 65.

45

didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan

sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya”.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa

menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif

terdapat dua komponen yaitu46

:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang.

Sistem ini memadukan unsur “objektif dan subjektif”

dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang

paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu

diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung

keterbuktian kesalahan terdakwa.

Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan

harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat

bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana

tersebut. Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut

46

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 279.

46

undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 183 KUHAP yang isinya :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”

Dengan demikian Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang

terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus :

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah

b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.47

Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

macam-macam sistem pembuktian sampai dengan sistem pembuktian

yang dianut oleh Indonesia melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) yang sudah dijelaskan di atas, maka aturan mengenai

pembuktian ini yang merupakan bagian dari rangkaian beracara di dalam

persidangan berlaku untuk semua tindak pidana yang diatur di Indonesia,

termasuk tindak pidana pencucian uang dan juga pelaku pasifnya.

2. Pengertian Harta Kekayaan

Pengertian Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 4 Undang-

Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu:

47

Ibid, hal. 280.

47

“semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud”.

Sedangkan pengertian Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 13

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu:

“semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik

secara langsung maupun tidak langsung."

Berdasarkan pengertian mengenai harta kekayaan dari kedua

definisi tersebut, maka yang termasuk dalam harta kekayaan adalah

semua benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang

berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh secara langsung

maupun tidak langsung. Penjabaran dari harta kekayaan tersebut bisa

termasuk dari harta kekayaan yang berasal dari kejahatan yang dilakukan

pencucia uang. Harta kekayaan yang berasal dari kejahatan atau tindak

pidana asal ini menjadi tujuan utama dan juga sebagai objek dari

pencucian uang yang dilakukan para pelaku.

3. Kriteria Pelaku Pasif

Pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan yang berdimensi

internasional yang bukan merupakan hal baru lagi di berbagai negara

termasuk Indonesia. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak

perlu mempertimbangkan hasil yang diperoleh, dan besarnya uang yang

dikeluarkan, karena tujuan utamanya untuk menyamarkan atau

menghilangkan asal usul uang. Sehingga pada akhirnya dapat dinikmati

atau digunakan secara aman. Tujuan kriminalisasi pencucian uang adalah

48

untuk mencegah segala bentuk praktik penyamaran hasil kekayaan yang

didapatkan dari hasil kejahatan. Kejahatan money laundering diancam

dengan sanksi pidana. Pelaku dapat menggunakan hasil kejahatannya

secara “aman” tanpa dicurigai oleh aparat penegak hukum, sehingga

berkeinginan untuk melakukan kejahatan lagi, atau untuk melakukan

kejahatan lain yang terorganisir.48

Dalam perkembangan tindak pidana pencucian uang yang sampai

saat ini terus berkembang, apabila dilihat dari munculnya pencucian uang

ini, di mana tindak pidana pencucian uang ini muncul karena ada

kelanjutan dari tindak pidana asal yang mendahuluinya atau dilakukan

lebih dahulu. Selain menjerat pada pelaku utama atau biasa disebut

pelaku aktif yang melakukan pencucian uang, juga bisa menjerat pelaku

pasif dalam proses pencucian uang ini.

Mengenai pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku pasif

(penerima pasif) ini tidak serta merta semua pelaku pasif dapat

dikenakan sanksi pidana. Untuk menentukan pelaku pasif dapat

dikenakan sanksi pidana atau tidak, maka harus ada kriteria-kriteria yang

menentukan bahwa seorang pelaku pasif dapat dikenakan sanksi pidana.

Kriteria tersebut termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, bahwa :

Ayat 1 :

48

Deni Krisnawati, dkk, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena

Pundi Aksara, hal. 126.

49

Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka pelaku pasif yang

menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,

hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta

Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana dan apabila tidak melaporkan kewajibannya sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun Tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka pelaku pasif

tersebut dapat dikenakan sanksi dipidana.

Jika cermati, sebenarnya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 tersebut terdiri dari 2 (dua) ketentuan tentang tindak pidana

pencucian uang, yaitu49

:

a. Setiap Orang yang menerima penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau

menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan basil tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

b. Setiap Orang yang menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau

menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

49

R. Wiyono, 2014, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 71.

50

diduganya merupakan basil tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

Sesuai dengan ketenyuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 9,

yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam Pasal 5 adalah :

a. Orang perseorangan; atau

b. Korporasi

Jadi sebenarnya tindak pidana pencucian uang sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

disamping dapat dilakukan oleh orang perseorangan (natuurlijk persoon)

juga dapat dilakukan oleh korporasi. Hanya saja korporasi yang

melakukan tindak pidana pencucian uang tersebut tidak dijatuhkan

pidana denda yang disebutkan dalam Pasal 5, tetapi dijatuhkan pidana

denda yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1)50

. Maka untuk mengetahui

pelaku pasif atau juga disebut dengan penerima pasif tersebut dapat

dipidana atau tidak, harus dilakukan pembuktian yang cermat oleh

Hakim di dalam persidangan

E. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap

perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi

internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian

yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan

pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money

50

Ibid. hal. 72.

51

laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat

mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan

dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.

Di dalam praktik money laundering itu diketahui banyak dana-dana

potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money

laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk

investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman

walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih

rendah.51

Untuk memerangi kegiatan-kegiatan pencucian uang disebuah

negara, pada umumnya dibentuk oleh negara itu lembaga khusus yang nama

generiknya disebut dengan Financial Inteligence Unit (FIU). Suatu FIU

adalah suatu lembaga yang menerima informasi keuangan, menganalisis

atau memproses informasi tersebut, dan menyampaikan hasil informasi

tersebut kepada otoritas yang berwenang untuk menunjang upaya-upaya

memberantas kegiatan pencucian uang. Pada tahun 1996, baru ada beberapa

saja FIU di dunia, tetapi pada saat ini terdapat 69 yurisdiksi negara yang

memiliki FIU diseluruh dunia. Negara-negara yang telah memiliki FIU

tergabung dalam apa yang disebut dengan Egmont Group of FIU52

. Di

Indonesia sendiri lembaga FIU tersebut adalah Pusat Pelaporan Dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang bertindak sebagai Pemegang

51

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia (Bandung : Books

Terrace & Library, 2008), hal. 1. 52

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. hal. 247.

52

Peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana Pencucian

uang di Indonesia.

Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah

lembaga independen yang dibentuk dan didirikan oleh Pemerintah Indonesia

pada tahun 2003 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 82 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. PPATK bertanggung jawab

kepada Presiden. Meskipun secara yuridis PPATK telah ada sejak

diundangkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dalam Pasal 18 ayat

(1) menetapkan bahwa PPATK dibentuk dalam rangka pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang, akan tetapi PPATK mulai

melaksanakan fungsinya secara efektif pada bulan Oktober 2003. Sejak saat

itu Indonesia telah memiliki lembaga intelijen keuangan (financial intelejen

unit) sebagai lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas,

wewenang serta serta bertanggungjawab kepada Presiden dan berkedudukan

di Jakarta.53

Di Indonesia PPATK merupakan badan independen, namun

fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. PPATK

bertugas mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan

kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor

53

Harmadi, 2011, Kejahatan Pencucian Uang, Malang : Setara Press, hal. 108-109.

53

penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang terutama

melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang mencurigakan.54

Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak

pidana pencucian uang di Inonesia ada di tangan Pusat Pelaporan Dan

Analisis Transaksi Keuangan selanjutnya disingkat PPATK. Karena, jika

Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak

menjalankan fungsinya dengan benar, maka efektivitas dari pelaksanaan

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak akan

tercapai.55

Andrew Haynes mengatakan bahwa paradigma baru dalam

menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan

nafsu dan motivasi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan, dengan

cara menghalanginya untuk menikmati hasil atau buah dari kejahatan yang

dilakukannya. Karena hasil kejahatan merupakan life blood of the crime,

artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan

sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi.

Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga

akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena

tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi.56

54

Ayumiati,Tindak Pidana Pencucian (Uang Money Laundering) dan Strategi

Pemberantasannya, Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, LEGITIMASI, Vol.1 No. 2,

Januari-Juni 2012, hal. 236. 55

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang

Di Pasar Modal, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 219. 56

Dikutip dari paper yang ditulis untuk mendukung Delegasi RI Pada Forthy-Seventh

Session of The Comision on Narcotic Drugs, diselenggarakan di Wina 15-22 Maret 2004, hal. 2.

54

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini Metode Penelitian Hukum yang dilakukan

adalah penelitian Yuridis Normatif (doctrinal legal approach), yakni suatu

metode penelitian yang dilakukan sepenuhnya menggunakan data

sekunder.57

Pendekatan Undang-Undang digunakan untuk menelaah semua

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek permasalahan.

Pendekatan konseptual dilakukan guna menggabungkan kata-kata dengan

objek-objek tertentu dengan cara menempatkan arti kata-kata tersebut secara

tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran. Pendekatan analisis

digunakan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah

yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional.

Sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik hukum. Penggunaan

ketiga pendekatan masalah tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan materi

muatan tentang objek permasalahan.

Dalam penelitian ini dumungkinkan juga menggunakan pendekatan

yuridis sosiologis sebagai data pendukung di lapangan, menekankan pada

pencarian-pencarian, keajegan-keajegan empirik dengan konsekuensi selain

57

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas

Indonesia (UI-Press), Hal. 53.

55

mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi terhadap tingkah

laku yang benar-benar terjadi.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar prosedur,

ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum,

sehingga apa yang senyatanya berhadapan dengan apa yang seharusnya,

agar dapat memberikan rumusan-rumusan tertentu58

.

Dengan kata lain penelitian ini menganalisis persoalan hukum

dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut

dalam peristiwa hukum59

. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai

ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat

preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai hukum,

validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.

Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menciptakan standar prosedur, ketentuan-

ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum60

.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Purwokerto Kabupaten Banyumas, di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat

Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

58

Jhonny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang :

Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, hal. 303 dan 310. 59

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencara Media Group, hal.

22. 60

Ibid, hal. 91.

56

serta media elektronik (internet). Dan dimungkinkan juga penelitian

dilakukan di tempat lain untuk memperoleh data pendukung.

D. Sumber Data

Data yang diperoleh terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat, berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahan hukum ini bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.

Dan bahan hukum ini juga merupakan keseluruhan aturan hukum

yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga

negara. dan/atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya

akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara

resmi pula oleh aparat negara. Meliputi :

1. Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan

Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

3. Undang-undang No. 25 tahun 2003 Tentang Perubahan

Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang;

4. Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil

penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

57

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan

adalah buku-buku literatur, hasil karya para sarjana, hasil-

hasil penelitian dan Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda

yang menjadi objek penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu yaitu bahan di luar hukum

yang digunakan untuk mendukung objek penelitian. Tolok

ukur dalam penggunaan bahan ini adalah dari aspek

keilmuannya.61

Artinya bahan yang digunakan dapat

membantu mengidentifikasi dan menganalisis fakta secara

akurat sehingga dapat menemukan isu hukum atas fakta

tersebut. Bahan Hukum Tersier ini dapat berupa Kamus,

Ensiklopedia, dan tulisan yang terkait dengan permasalahan-

permasalahan yang diangkat penulis.

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi

peraturan undang-undang yakni, Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

data sekunder, dan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data

adalah dengan studi kepustakaan, internet, telaah artikel ilmiah, telaah karya

ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah

maupun jurnal surat kabar dan dokumen resmi lainya yang relevan dengan

masalah yang diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelajari sebagai satu

61

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1983, Penelitian Hukum Normatif ; Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta : RajaGrafindo Persada, hal. 101.

58

kesatuan yang utuh. Dimungkinkan juga dalam penelitian ini menggunakan

data yang diambil di lapangan.

F. Metode Pengolahan Bahan Hukum

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh

kemudian disajikan dalam bentuk Naratif. Dengan uraian-uraian yang

disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data

yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan

dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan

yang utuh.

G. Metode Analisis

Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara

kualitatif, yaitu analisis atau pembahasan dengan cara menjabarkan dan

memberikan Interpretasi terhadap data-data yang diperoleh dengan

mendasarkan pada norma-norma yang berlaku atau pada kaidah-kaidah

hukum yang berlaku dihubungkan dengan pokok masalah.

59

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Duduk Perkara

Duduk perkara dalam putusan ini, yaitu berawal dari

ditangkapnya saksi Yus Winarno (terdakwa dalam perkara Pidana asal)

bersama terdakwa Lilik Hamidah, pada hari Rabu tanggal 17 April 2013

sekitar pukul 09.00 WIB di tempat kediaman saksi Yus Winarno di Jln.

Bungurasih Barat No. 13 Rt. 001/Rw. 02 Kelurahan Bungurasih

Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo oleh saksi Jipri Setiawanto dan

saski Sumanto yang merupakan anggota dari Badan Narkotika Nasional

(BNN) dalam rangka melakukan penggerebekan ditempat tersebut yang

diduga merupakan tempat jaringan Peredaran gelap Narkotika, kemudian

setelah dilakukan penggeledahan, didapatkan Narkotika Golongan I jenis

shabu sebanyak 15 (lima belas) bungkus seberat kurang lebih 4.913,2

gram milik saksi Sodikin alias Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Ca

alias Cak San alias Pak Kaji alias Mr. “D” yang selanjutnya cukup

disebut sebagai “Sodikin” saja (terdakwa dalam penuntutan terpisah)

yang disimpan oleh saksi Yus Winarno di tempat kediamannya atas

perintah saski Sodikin yang juga sebagai terdakwa dalam Pidana asal.

Selanjutnya dilakukan pencarian terhadap saksi Sodikin di tempat

kediamannya di Jalan Bungurasih barat No.12 Kelurahan Bungurasih

60

Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo yang terletak diseberang jalan dari

tempat kediaman saksi Yus Winarno, kemudian dilakukan

penggeledahan dirumah tersebut , namun saksi Sodikin sudah tidak

berada ditempat dan ternyata terdakwa Lilik Hamidah adalah merupakan

istri saksi Sodikin yang dinikahi sejak tahun 1998. Penggeledahan

dirumah saksi Sodikin bersama terdakwa Lilik Hamidah di rumahnya

sudah tidak ditemukan lagi Narkotika, namun diketemukan barang-

barang berupa :

a. Buku Tabungan BCA atas nama Lilik Hamidah;

b. Kartu ATM BCA;

c. Beberapa STNK dan BPKB Kendaraan Mobil dan Motor atas

nama Sodikin, Lilik Hamidah dan atas nama orang lain;

d. Beberapa Sertifikat Tanah dan Bangunan;

e. Akta Kelahiran atas nama Sodikin;

f. Buku Nikah atas nama Sodikin dan Lilik Hamidah;

g. Beberapa Surat Line (Trayek) Angkot milik Sodikin dan Lilik

Hamidah;

h. Kartu nama atas nama Dicky A. Sodikin;

i. Kwitansi pembelian sawah atas Sodikin dll;

2. Dakwaan Penuntut Umum

Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa penuntut Umum dengan

dakwaan tertanggal 19 Juli 2013, Nomor Reg. Perkara: PDM-

157/SIDOA/Fuh.1/07/2013, sebagai berikut :

61

KESATU :

PRIMAIR :

Bahwa terdakwa Lilik Hamidah pada waktu-waktu yang tidak

dapat ditentukan lagi dengan pasti mulai saat kurun waktu terdakwa

menikah dengan saksi Sodikin alias Dicky A. Sodikin alias Jidos alias

Pak Ca alias Cak San alias Pak Kaji alias Mr. “D” yang selanjutnya

cukup disebut sebagai “Sodikin” saja (terdakwa dalam penuntutan

terpisah dan pidana asal) pada tanggal 6 september 1998 hingga

terdakwa ditangkap pada tanggal 17 April 2013, atau setidak tidaknya

mulai saat terdakwa mengetahui suaminya (saksi Sodikin) pernah terlibat

kasus Narkotika pada tahun 2006 atau setidak-tidaknya mulai saat

terdakwa Lilik Hamidah membuka Rekening Bank BCA di KCP Makro

Pepelegi dengan Nomor 4650320773 pada tanggal 15 Desember 2009

hingga kurun waktu terdakwa ditangkap pada tanggal 17 April 2013,

bertempat di Jalan Bungurasih Barat No. 12 Rt. 001/Rw. 02 Kelurahan

Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, atau

setidak-tidaknya di suatu tempat di wilayah Jawa Timur atau setidak-

tidaknya yang masuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Sidoarjo

Jawa Timur yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut,

ia terdakwa telah melakukan: menempatkan, membayarkan atau

membelanjakan, menintipkan, menukarkan, menyembunyikan atau

menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan,

mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta dan benda atau aset baik

62

dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau

tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak

pidana Prekursor Narkotika.

Perbuatan mana ia terdakwa Lilik Hamidah sebagaimana diatur

dan diancam pidana sesuai Pasal 137 Huruf (a) Undang-Undang No.35

tahun 2009 tentang Narkotika.

SUBSIDAIR :

Bahwa terdakwa Lilik Hamidah pada waktu dan tempat

sebagaimana telah diuraikan pada dakwaan Primair diatas, terdakwa

telah menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan,

penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau

transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk

benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud

yang diketahuinya berasal dari Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak

pidana Prekursor Narkotika.

Perbuatan mana ia terdakwa Lilik Hamidah sebagaimana diatur

dan diancam pidana sesuai Pasal 137 Huruf (b) Undang-Undang No.35

tahun 2009 tentang Narkotika.

KEDUA :

PRIMAIR :

Bahwa terdakwa Lilik Hamidah pada waktu dan tempat

sebagaimana pada dakwaan kesatu diatas, terdakwa telah menempatkan,

mentransfer, atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya

63

atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana Narkotika dengan

tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

Perbuatan terdakwa Lilik Hamidah sebagaimana diatur dan

diancam pidana sesuai Pasal 3 Undang-Undang No.8 tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

SUBSIDAIR :

Bahwa terdakwa Lilik Hamidah pada waktu dan tempat

sebagaimana telah diuraikan pada dakwaan Primair diatas, terdakwa

telah menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,

peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan

hasil tindak pidana Narkotika.

Perbuatan terdakwa Lilik Hamidah sebagaimana diatur dan

diancam pidana sesuai Pasal 4 Undang-Undang No.8 tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

LEBIH SUBSIDAIR :

Bahwa terdakwa Lilik Hamidah pada waktu dan tempat

sebagaimana telah diuraikan pada dakwaan Kedua Subsidair diatas,

terdakwa telah menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau

menggunakan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana Narkotika.

64

Perbuatan terdakwa Lilik Hamidah sebagaimana diatur dan

diancam pidana sesuai Pasal 5 Undang-Undang No.8 tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

3. Pembuktian

Untuk membuktikan dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum telah

menghadirkan saksi-saksi, yang memberi keterangan dibawah sumpah/

janji, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

Saksi I : Wawan Purdianto alias Cebol :

Saksi kenal dengan Terdakwa sejak kecil dan sekarang saksi dan

Terdakwa tinggal pada RW yang sama, namun Terdakwa tinggal di

RT.01, sedangkan saksi tinggal di RT.03. Saksi ditangkap oleh Badan

Narkotika Nasional (BNN) pada bulan April 2013 sekira puku; 09.00

Wib karena di rumah saksi ditemukan sabu-sabu seberat 4,5 kg dan

sabu-sabu itu milik Alek alias pak Cak alias pak Cak dan saksi bertugas

sebagai kurir Alek alias pak Cak sejak Januari 2013dan rencananya sabu-

sabu tersebut akan diberikan kepada Heri (DPO). Saksi mendapat tugas

dari Alek untuk mensortir sabu-sabu yang baik dan yang tidak baik dan

sabu-sabu yang tidak baik dikembalikan kepada Heri dan mensortir itu

dikerjakan di rumah saksi atau di rumah Yus Winarno, dengan upah

Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Saksi II : Yus Winarno :

Saksi kenal dengan Terdakwa sekitar 6-7 tahun yang lalu saat

saat itu saksi bekerja sebagai supir angkot dan selanjutnya 2 (dua) tahun

65

yang lalu saksi diajak oleh Terdakwa untuk bekerja mengurusi angkot

Terdakwa, di mana Terdakwa mempunyai 10 (sepuluh) angkot dan 20

(dua puluh) orang supir, dimana supir itu dibuat giliran pagi dan sore.

Kemudian saksi ditangkap pada tanggal 17 april 2013 sekira pukul 09.00

WIB karena pada saat dilakukan penggeledahan di tempat tinggal saksi

ditemukan sabu-sabu seberat 4,9 kg, lalu Wawan ditangkap, dan

seminggu kemudian Terdakwa ditangkap. Saksi adalah kurir dari pak

Cak atau pak Alex dan pak Cak bukanlah Terdakwa. Saksi kenal dengan

Alex saat dia main ke garasi Terdakwa bersama dengan Terdakwa. Sabu-

sabu yang ditemukan tersebut tidak ada hubungannya dengan Terdakwa.

Saksi menyangkal keterangannya pada BAP yang berisi tentang

keterlibatan Terdakwa dengan sabu-sabu seberat 4,9 kg tersebut dan

saksi menerangkan hal tersebut karena pada saat penyidikan, saksi

dipukuli untuk mengaku bahwa sabu-sabu tersebut adalah milik

Terdakwa. Usaha Terdakwa selain dari pemilik angkot adalah jual solar,

usaha laundry, restaurant. Usaha angkot ini dimulai sejak tahun 1997.

Tetapi saksi tidak tahu, apakah Terdakwa pernah dihukum atau tidak.

Saksi III : Sumanto :

Saksi adalah Anggota Kepolisian yang ditugaskan pada Badan

Narkotika Nasional (BNN). saksi bersama Tim dari Badan Narkotika

Nasional mendapat informasi orang yang ditangkap atas dugaan yang

berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika dan pada tanggal 17 April

2013 sekira pukul 09.00 WIB, Tim BNN melakukan penangkapan

66

terhadap Yus Winarno karena menemukan sabu-sabu di rumah

Terdakwa, yang nerupakan tempat tinggal Yus Winarno seberat lebih

kurang 5 kg, dimana sabu-sabu tersebut ada yang ditanam, ditaruh di

kamar yang diletakkan di tas hitam dan saat ditanyakan, Yus Winarno

menjawab bahwa sabu-sabu tersebut adalah milik bapak dan ketika

ditanyakan, siapa bapak itu, oleh Yus Winarno menjawab bahwa bapak

adalah Sodikin. Saksi sempat melihat Sodikin lari melalui pintu

belakang. Saat itu datang Terdakwa dan saat ditanyakan, Terdakwa

menerangkan bahwa ia adalah isteri Sodikin. Selanjutnya dilakukan

penggeledahan dan penyitaan barang bukti dari rumah Terdakwa dan

semua barang bukti yang diperlihatkan dipersidangan diduga berasal dari

kejahatan narkotika, yang disaksikan oleh Terdakwa dan selanjutnya

barang bukti tersebut diserahkan kepada penyidik. Terdakwa ditangkap

karena ada bukti transfer ke rekening Terdakwa.

Saksi IV : Setyo Edi, M.M., S.H. :

Saksi bekerja sebagai Legal Office pada PT. Berau Bunker

Internasional yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 2012. PT.

Berau Bunker Internasional pada bulan November 2012, bekerja sama

dengan Terdakwa, dimana Terdakwa meminjam bendera PT.Berau

Bunker Internasional sebagai Pimpinan Cabang PT. Berau Bunker

Internasional Surabaya, untuk itu Terdakwa mempunyai kewajiban,

yakni membayar royalti 15 % perbulan dari provit (keuntungannya per

bulan) atau Rp.100,00 (seratus rupiah) per liter. Modal PT. Berau Bunker

67

Internasional Cabang Surabaya berasal dari Terdakwa sendiri dan tidak

mempunyai hubungan dengan administrasi dengan PT. Berau Bunker

Internasional Pusat. Oleh karena PT.Berau Bunker Internasional Cabang

Surabaya yang dikelola/dipegang oleh Terdakwa tidak transparan, tidak

membuat laporan 2 (dua) mingguan atau per bulan dan tidak membayar

royalti kepada PT. Berau Bunker Internasional, maka PT.Berau Bunker

Internasional Pusat menghentikan kerjasama dengan Terdakwa pada

bulan Maret 2013 dan penghentian kerjasama ini terjadi sebelum

terjadinya perkara pidana ini. Setahu saksi, Terdakwa juga mempunyai

usaha laundry dan usaha angkutan dan saksi tidak tahu usaha lainnya.

Saksi V : SODIKIN ALIAS DICKY A. SODIKIN ALIAS JIDOS

ALIAS PAK CAK ALIAS PAK KAJI ALIAS MR. D :

Pada tahun 1997 saksi mempunyai 1 (satu) unit mobil angkutan

kota (angkot) dan pada waktu itu juga saksi melangsungkan perkawinan

dengan Terdakwa dan menumpang di rumah mertua Terdakwa. Tahun

1997 saksi pernah berusaha di bidang perkayuan, yakni beli di Jember

dan dijual di Surabaya dan hasilnya membeli garasi. Saksi ditangkap oleh

Polisi karena memakai narkotika dan dihukum selama 6 (enam) bulan

dan tahun 2008 ditangkap lagi karena memakai narkotika dan dihukum

selama 10 (sepuluh) bulan. Setelah keluar dari tahanan, saksi berusaha

kayu lagi. Dia juga mempunyai kurir dalam peredaran narkotika sejak

tahun 2013, di mana Alex meminta bantuan saksi untuk mencari orang

yang mau dijadikan sebagai kurir peredaran gelap narkotika dan saksi

68

bekerjasama dengan Alex sejak tahun 2013, yakni selama 1 (satu) tahun

dan 3 (tiga) bulan. Setiap ada narkotika yang datang, saksi mendapat

uang sejumlah Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan narkotika

yang datang kepada saksi sebanyak 8 (delapan) kali dan saksi mendapat

uang sejumlah Rp.160.000.000,00 (seratus enam puluh juta rupiah).

Kemudian uang terebut ditransfer oleh Alex melalui rekening Saiful

Dayat dan saksi menerima uang transferan tersebut melalui rekening

Terdakwa dan melalui rekening orang lain, yakni Vivi Magdalena dan

Susiyah. Terdakwa juga pernah menasehati saksi agar berhenti memakai

narkotika.

Saksi Verbalisan I : MURNILA, S.H. :

Saksi adalah Penyidik pada Diektorat Pengawasan Tahanan,

Barang Bukti dan Aset Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika

Nasional dan telah melakukan penyidikan atas diri Terdakwa dan Lilik

Hamidah. Saat ditanyakan tentang rekening an. Kartika, Margareta dan

Doni Ferari di persidangan, saksi menerangkan bahwa rekening tersebut

pernah ditanyakan kepada Terdakwa, namun Terdakwa Lilik Hamidah

menerangkan bahwa ia tidak tahu tentang rekening tersebut dan saat

ditanyakan kepada Sodikin, ia menerangkan bahwa itu adalah transaksi

narkotika yang masuk ke rekening Terdakwa Lilik Hamidah. Saksi

menerangkan pula bahwa Terdakwa Lilik Hamidah secara langsung tidak

tahu kalau transfer uang tersebut merupakan hasil dari narkotika, tetapi

Terdakwa pernah menduga bahwa uang itu berasal dari narkotika dan

69

saat Terdakwa menanyakan hal ini kepada Sodikin, uangnya koq banyak,

dari mana itu dan dijawab oleh Sodikin, kalau uang itu merupakan

rezeki.

Saksi Verbalisan II : MUSTARFINGAH :

Saksi adalah Penyidik pada Diektorat Pengawasan Tahanan,

Barang Bukti dan Aset Deputi Bidang Pemberantasan Bdan Narkotika

Nasional dan telah melakukan penyidikan atas diri Terdakwa dan Lilik

Hamidah dan semua saksi, yakni Ali Imron, Yus Winarno, Wawan

Purdianto alais Cebol, Jipri Setiawanto, Setyo Edi, Endarto Putra Jaya

dan Isnu Yuwana. Saksi pernah menanyakan kepada Lilik Hamidah

berkenaan dengan tranferan yang diterimanya di rekeningnya dan Lilik

Hamidah menerangkan dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan

juga untuk usaha. Saksi juga menanyakan tenang pentransferan dari

Susiayah, yang dijawab oleh Lilik Hamidah digunakan untuk membeli

tanah, pembelian mobil, food court. Kalau diperhatikan antara rekening

yang dikeluarkan dengan pembelian barang yang dijadikan barang bukti,

ada hubunannya, yaitu pembelian tanah Pulger pada tahun 2012, mobil

ada yang tahun 2011 s/d 2012, food court diperoleh tahun 2010-

2011,sedangkan tanah ada yang atas nama orang tua Lilik Hamidah,

yang patut diduga kalau barang bukti tersebut diperoleh dari hasil

narkotika dan pembuktiannya, Terdakwa harus aktif untuk membuktikan

bahwa barang yang diperoleh itu bukan dari hasil kejahatan.

70

Saksi a de charge I : ANDIK ATMO SUWONDO :

Rumah saksi dengan rumah Terdakwa berjarak sekitar 300

meter, dia bekerja sebagai supir pada tahun 2000 dan saksi mengetahui

kalau Sodikin mempunyai usaha angkot sejak tahun 1996 sebanyak 1

(satu) unit dan kemudian berkembang sampai saat ini ada 10 (sepuluh)

unit, namun saksi membawa angkot orang lain. Saksi pernah dimintai

tolong oleh Sodikin untuk menjadi supirnya saat dia pulang kampung.

Setahu saksi, usaha Sodikin adalah usaha angkot yang dimulai sejak

tahun 1996, dimana saat itu angkotnya hanya 1 (satu) unit dan sejak

tahun 2006 s/d sekarang ada 10 (sepuluh) unit. angkot milik Sodikin, di

mana Sodikin membelinya secara bertahap, yakni bila 1 (satu) mobil

sudah lunas, langsung dia beli 1 (satu) lagi. Saksi pernah diajak oleh

Sodikin sebanyak 3 (tiga) kali untuk membeli mobil trayek pada tahun

2003 dan 2004. Sodikin juga melakoni usaha kayu, dimulai sejak tahun

2000 s/d 2001, dengan cara membeli kayu di Banyuwangi, Jember dan

Bojonegoro. Pada tahun 2006 Sodikin tidak usaha kayu lagi.

Pada tahun 2009 Sodikin membuka usaha minyak solar dan saksi

pernah diajak oleh Sodikin ke kantornya di Perak. Sodikin juga memuka

usaha loundry yang dimulai sejak tahun 2008, dimana Sodikin

membangun tempat usahanya dan beli mesin-mesin cuci dan saksi tidak

terlibat dalam usaha ini, namun saksi pernah menyetir mobil untuk ambil

cucian dan usaha loundry ini masih ada sampai sekarang. Usaha food

court dimulai sejak tahun 2005 dan saksi pernah mengirim bahan

71

makanan dan menurut keterangan Sodikin, ia membeli usaha ini secara

mencicil, namun saksi tidak tahu tentang pembelian atau pembayaran

toko tersebut. Rumah yang menjadi tempat tinggal Sodikin adalah rumah

mertuanya (ibu Terdakwa) dan garasi yang yang ada di depan rumahnya

dibeli oleh Sodikin tahun 1997 dan saat itu masih tanah dan saksi tidak

tahu, tahun berapa garasi itu dibangun. Saksi tidak tahu tentang

pembelain rumah dan tanah milik Sodikin lainnya dan yang mengurusi

usaha angkot dan food court adalah Terdakwa Lilik Hamidah, (istri

Sodikin).

Saksi a de charge II : FITRIYANINGSIH :

Saksi adalah adik kandung dari suami Terdakwa, dimana suami

Terdakwa anak nomor 1 (satu) sedangkan saksi anak nomor 3 (tiga). Dia

tinggal di kelurahan yang sama dengan Terdakwa , namun beda RT dan

RW nya dan jarak antara rumah saksi dengan rumah Terdakwa sekitar 10

(sepuluh) menit jika berjalan kaki dan saksi jarang ke rumah Terdakwa

dan saksi tinggal bersama ibu saksi. Garasi yang ada di depan rumah

Terdakwa adalah peninggalan dari orang tua Terdakwa dan mertua

Terdakwa dikenal dengan juragan tanah. Terdakwa melangsungkan

perkawinan dengan Sodikin pada tahun 1997 dan sebelum

melangsungkan perkawinan, suami Terdakwa adalah supir angkot,

mempunyai 1 (satu) angkot dan saat itu Terdakwa adalah kasir di

Ramayana. Suami Terdakwa mempunyai usaha, antara lain : usaha

loundry yang dimulai tahun 2008 dan sekarang usaha loundry tersebut

72

tela pindah ke kampung yang berdiri di tanah orang tua Terdakwa, usaha

food court yang dibeli di Cito ahun 2005 dengan cara mengangsur, usaha

minyak yang dimulai tahun 2011 dan usaha angkot, namun saksi tidak

tahu pasti. Saksi tidak tahu dengan tanah dan rumah lainnya milik

Terdakwa dan suaminya. Selain mobil angkot, suami Terdakwa juga

mempunyai mobil Pajero dan Honda Civic, namun saksi tidak tahu tahun

pembelian mobil tersebut. Saksi juga tidak tahu tentang sepeda motor

milik suami Terdakwa.

Saksi a de charge III : SITI KHOLIFAH :

Saksi adalah adik sepupu dari suami Terdakwa, di mempunyai 8

(delapan) bidang tanah dengan dasar sertifikat dan Akta Jual beli.

Delapan tanah tersebut pernah saksi jadikan sebagai jaminan atas

pinjaman di Bank Danamon, Bank BPR Budi, Bank BPR Swanatra,

Bank BPR Eka Usaha dan pinjaman kepada perseorangan pada tahun

2009 dengan bunga yang cukup tinggi dan pada tanggal 09 Februari 2012

saksi meminjam uang kepada suami Terdakwa sebesar

Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) untuk melunasi seluruh

pinjaman saksi, dengan perjanjian apabila saksi tidak melunasi pinjaman

tersebut, maka seluruh sertifikat dan Akta Jual Bali tersebut akan

dibaliknamakan menjadi nama suami Terdakwa dan perjanjian itu dibuat

bulan Juli 2012. Perjanjian tersebut dibuat oleh suami Terdakwa,

sedangkan saksi hanya menandatanganinya saja. Kemudian saksi telah

mencicil pinjaman tersebut sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta

73

rupiah) kemudian Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)

dan Rp.50.000.000,00 (l;ima puluh juta rupiah) pembayaran/pencicilan

kesatu dan kedua mempunyai kwitansi, yaitu tertanggal 12 Oktober 2013

dan 16 Maret 2013, sedangkan pencicilan kedua tidak ada tanda

terimanya dan sertifikat tersebut saksi titipkan kepada suami Terdakwa.

Saksi a de charge IV : GEGER SUPRIYANTO :

Saksi memiliki mobil merk Pajero Sport yang dibeli di show

Room Ngagel, Surabaya pada tahun 2012 dengan harga

Rp.450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) dan mobil

tersebut disewa oleh suami Terdakwa dengan harga Rp.6.000.000,00

(enam juta rupiah) per bulan sejak 1 Januari 2013 s/d sekarang dan baru

3 (tiga) kali pembayaran. Perjanjian sewa menyewanya tidak ada,

rencananya sewa itu hanya untuk 2 (dua) bulan saja, namun sampai saat

ini mobil tersebut belum dikembalikan. Ketika dihadapkan dengan

barang bukti nomor 43, saksi menerangkan bahwa ia tidak tahu bahwa

DO Mobil Pajero Sport dengan nomor 0011200 adalah atas nama

Sodikin (suami Terdakwa). Selanjutnya atas pertanyaan Hakim di

persidangan, saksi menerangkan bahwa yang membeli mobil tersebut

adalah Terdakwa, bukan saksi.

Keterangan Ahli : ISNU YUWANA DARMAWAN :

Saksi bekerja pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) mulai tahun 2012. Menurut saksi, pencucian uang

adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam upaya untuk

74

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang

diperoleh dari suatu tindak pidana bahwa kewenangan dari Pusat

Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan adalah memberikan

advis/pendapat kepada Penyidik, Penuntut Umum tentang pencucian

uang

Tindak Pidana Pencucian Uang dibagi 2 (dua), yaitu :

1. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif, artinya Terdakwa melakukan

tindak pidana sendiri dalam hal mentrasfer uang yang berasal dari

tindak pidana.

2. Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif, artinya setiap orang yang

menerima aliaran uang yang berasal dari suatu tindak pidana.

Apakah suatu perbuatan merupakan tindak pidana pencucian

uang dapat dilihat dengan cara memeperhatikan tempus delictinya,

dimana apabila ada koneksi dari kejahatan yang dilakukan dan hasil dari

kejahatan yang dilakukan, itu tindak pidana pencucian uang.

Menurut Pasal 69 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

menyatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian

uang, tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Di dalam tindak pidana pencucian uang dikenal azas pembuktian

terbalik, yakni Jaksa Penuntut Umum berhak untuk membuktikan bahwa

barang-barang yang diperoleh oleh Terdakwa adalah hasil kejahatan dan

75

Terdakwa juga bisa membuktikan bahwa barang-barang yang

diperolehnya itu bukan dari hasil kejahatan. Semua sumber dana yang

dihasilkan dari kejahatan, hasilnya juga dianggap merupakan hasil dari

kejahatan. Setiap usaha yang didanai dari modal hasil kejahatan

pencucian uang, hasil usahanya juga merupakan kejahatan. Setiap

transaksi keuangan yang mencurigakan, harus dilaporkan ke PPATK,

tidak memandang besar nilainya. Untuk transaksi dengan uang tunai

sebesar Rp.500.000.000,00 yang menurut penyidik mencurigakan, harus

dilaporkan ke PPATK.

Di dalam perkara ini, BNN meminta PPATK untuk memberikan

pendapat atas tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Terdakwa.

Penyidik menemukan transaksi-transaksi atau mutasi-mutasi keuangan

Terdakwa dan suaminya, juga ditemukan bukti-bukti berupa pembelian

mobil Pajero Spot, mobil angkot dan sawah-sawah orang lain dan Ahli

memberikan pendapat berdasarkan informasi dari Penyidik, bukan secara

fisik. Ahli juga mendapat informasi dari penyidik, bahwa usaha suami

Terdakwa adalah loundry, kios untuk jualan, restaurant, angkot dan

penjualan solar

Ahli berpendapat bahwa untuk Sodikin (suami Terdakwa) dapat

dikenakan Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

sedangkan untuk Terdakwa dikenakan Pasal 5 Undang-Undang No.8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

76

Pencucian Uang. Ahli juga berpendapat bahwa barang bukti dalam

perkara ini juga merupakan hasil dari kejahatan. Transaksi yang

mencurigakan dalam perkara suami Terdakwa ini dimulai tahun 2011.

Semua data yang ada pada Penyidik harus dibuktikan dihadapan Majelis

Hakim. Terdakwa harusnya, patut menduga tentang pekerjaan suaminya

dan berapa penghasilan suaminya dan apabila isteri tidak menanyakan

dari mana uang suami berasal, maka istri termasuk salah;

Keteranagan Terdakwa : LILIK HAMIDAH :

Di dalam persidangan telah didengar keterangan Terdakwa, yang

pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

Bahwa Terdakwa adalah isteri Sodikin dan melangsungkan

perkawinan pada tahun 1998 dan setelah melangsungkan perkawinan,

tinggal di rumah ibu Terdakwa. Pada tanggal 17 April 2013 sekira pukul

09.00 WIB, Terdakwa pulang dari senam dan melihat ada orang ramai di

depan rumahnya, lalu Terdakwa mendekati dan Terdakwa langsung

ditanyai oleh Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN). Kemudian

Terdakwa menjawab bahwa Terdakwa adalah isteri Sodikin dan

Terdakwa ditanyai di mana suami Terdakwa (Sodikin) dan Terdakwa

menjawab ada di Malang dan pada saat itu juga Terdakwa diamankan

oleh Petugas BNN dan melakukan penggeledahan.

Suami Terdakwa (Sodikin) pada awalnya memiliki 1 (satu) unit

angkutan kota (angkot) pada tahun 1997 (sebelum melangsungkan

perkawinan dengan Terdakwa dan kemudian berkembang menjadi 10

77

(sepuluh) angkot. Tahun 2005 suami Terdakwa ditangkap karena

memakai narkotika dan dihukum selama 6 (enam) bulan dan pada tahun

2007 juga ditangkap karena karena memakai narkotika dan dihukum

selama 8 (delapan) bulan.

Usaha suami Terdakwa antara lain angkutan kota (angkot),

Loundry, Food Court, yang semuanya Terdakwa yang menjalanakan dan

modalnya dari suami Terdakwa, yakni dari usaha kayu dan solar yang

dijalankan oleh suami Terdakwa. Terdakwa mempunyai 2 (dua) buku

tabungan BCA, yakni yang dibuka tahun 2009 dan tahun 2013, namun

Terdakwa tidak ingat nomor rekening tersebut.

Barang Bukti yang telah diajukan di dalam Persidangan, berupa :

1. 1 (satu) buah buku cek BCA Seri nomor : CR 144026 – 144050 an.

SODIKIN;

2. 1 (satu) buah buku cek BCA Seri nomor : BD 930726 – 930750 an.

SODIKIN;

3. 1 (satu) buah buku cek BCA Seri nomor : CR 144001 – 144025 an.

SODIKIN;

4. 1 (satu) buah buku cek BCA Seri nomor : BD 930701 – 930725 an.

SODIKIN;

5. 1 (satu) buah buku cek Mandiri nomor : FN 939801 – 939825;

6. 1 (satu) buah buku cek Mandiri nomor : RI 457.626 – 457.650;

7. 1 (satu) buah Token Mandiri;

8. 13 (tiga belas) lbr Transaksi Keuangan Perusahaan PT. BBI;

78

9. 2 (dua) buah Tempat Kartu Simpati No. 0812 32 256578 dan 0812 32

947767 milik terdakwa SODIKIN;

10. 1 (satu) buah STNK Sepeda Motor Merk Kawasaki No. Pol. W 3064

MD an. KHOJINUDIN, No. Rangka : MH4KR150PCKP22529,

No.Sin. KR150KEP93780;

11. 1 (satu) buah STNK Sepeda Motor Merk Yamaha No. Pol. N 2968

OW an. LILIK MULIANA, No. Rangka : MH328D40DBJ205829,

No.Sin. 28D3203359;

12. 1 (satu) buah STNK Sepeda Motor Merk Yamaha No. Pol. W 4390

TA an. LILIK HAMIDAH, No. Rangka : MH344D001AK026211,

No.Sin. 44D026387;

13. 1 (satu) buah Sertipikat Hak Milik No. 776 an. Ny. SUHARNI;

14. 1 (satu) buah BPKB Mobil Truck Merk Hino No.Pol. : H 1916 DR

an. NURWANTO;

15. 1 (satu) buah BPKB Mobil Truck Merk Toyota No. Pol. : N 8997 W

an. F.ROESMININGSIH;

16. 1 (satu) buah BPKB Sepeda Motor Merk Honda No.Pol. : L 3741 CL

an. CHOLIFAH;

17. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. W 6490

FU an. SODIKIN;

18. 1 (satu) buah BPKB Sepeda Motor Merk Yamaha No.Pol. : W 4390

TA an. LILIK HAMIDAH;

79

19. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. W 7495

UN an. SODIKIN;

20. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W

2688 FU an. H. MOCH. YAZID;

21. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W

7834 UN an. LILIK HAMIDAH;

22. 1 (satu) buah BPKB Mobil Barang Merk Suzuki No.Pol. : L 4024

AU an. BAMBANG GONDO HADIJITNO;

23. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W

2183 GU an. SODIKIN;

24. 1 (satu) buah BPKB Mobil Barang Merk Suzuki No.Pol. : H 1847

RW an. MULYANTO;

25. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : L

2431 NU an. HERY SUTOPO;

26. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : L

1025 UG an. SRI WAHYUNI;

27. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W

7762 UR an. SODIKIN;

28. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W

7201 UR an. LILIK HAMIDAH;

29. 1 (satu) buah BPKB Mobil Penumpang Merk Honda No.Pol. : L

1555 HF an. VIVI MAGDALENA;

80

30. 1 (satu) buah BPKB Sepeda Motor Merk Yamaha No.Pol. : L 6580

GL an. VIVI MAGDALENA;

31. 1 (satu) buah BPKB Sepeda Motor Merk Yamaha No.Pol. : N 2968

OW an. LILIK HAMIDAH;

32. 1 (satu) buah ATM Paspor BCA no. 6019 0025 4080 8203;

33. 1 (satu) buah Akte Kelahiran No. 1548/DSP/1992 an. SODIKIN;

34. 1 (satu) buah Buku Nikah an. SODIKIN dan LILIK HAMIDAH;

35. 1 (satu) buah Buku Tabungan BCA No. Rek. 4650320773 an. LILIK

HAMIDAH;

36. 1 (satu) buah Buku Tabungan BCA No. Rek. 4650440647 an. LILIK

HAMIDAH; -

37. 1 (satu) buah Sertipikat Hak Milik Nomor : 227 an. EDDY YUSUF

dan Surat Kuasa Menjual Nomor : 46 an. Tuan EDDY YUSUF dan

Tuan HENDRA KURNIAWAN;

38. 1 (satu) lembar Kartu Keluarga an. SODIKIN;

39. 1 (satu) bendel Mutasi Rekening an. Putra Pratama Mandiri CV;

40. 1 (satu) buah Kartu Nama DICKY A. SODIKIN (PT. Berau Bunker

Internasional);

41. 1 (satu) buah Kunci serep Mobil Merk Honda warna Hitam;

42. 1 (satu) lembar. Kwitansi Dari Bpk SODIKIN Untuk delapan belas

bidang sawah di Desa Jambearum, Wonosari. Kec. Puger Jember

sebesar Rp. 700.000.000 (tujuh ratus juta rupiah);

81

43. 1 (satu) lembar DO Mobil Pajero Sport Nomor : 0011200 an.

SODIKIN;

44. 1 (satu) buah Sertipikat Hak Milik Nomor : 353 an. SITI

KHOLIFAH;

45. 1 (satu) buah Akta Jual Beli No. 1668/PGR/2000 an. PAIMIN P.

FATIM dan HOLIFAH;

46. 1 (satu) buah Sertipikat Hak Milik Nomor : 191 an. SITI

KHOLIFAH;

47. 1 (satu) buah Akta Jual Beli No. 719/PGR/1986 an. P. KASMARI

LAMSORI dan SITI HOLIPAH;

48. 1 (satu) buah Akta Jual Beli No. 230/PGR/1990 an. SUBAKIR dan

HOLIPAH;

49. 1 (satu) buah Akta Hibah No. 233/PGR/1990 an. PAIMIN P. FATIM

dan HOLIPAH;

50. 1 (satu) buah Akta Jual Beli No. 549/PGR/2002 an. B.H. NAWAWI

dan HOLIFAH;

51. 1 (satu) buah Akta Jual Beli No. 231/PGR/1990 an. P. SABI dan

HOLIPAH; --------

52. Akta Jual Beli No. 206/PGR/2012 an. SAMAD H.

ROHMATULLAH dan SODIKIN;

53. 1 (satu) Exp Surat Pernyataan Untuk Mengadakan Jual Beli an. SITI

KHOLIFAH als HOLIPAH dan SODIKIN;

82

54. 1 (satu) buah Buku Paspor T 145275 an. SODIKIN PAIMIN

DJALIL;

55. 1 (satu) buah Buku Catatan Restoran Borobudur;

56. 6 (enam) buah Surat-surat Lane Mobil Angkot dalam dompet plastic;

57. Sepeda Motor Merk Kawasaki No. Pol. W 3064 MD, No.Rangka :

MH4KR150PCKP22529, No.Sin. KR150KEP93780 STNK an.

KHOJINUDIN;

58. Sepeda motor merk Honda Panthom warna hitam No. Pol. L-1300

SS, No Rangka 26-1313811, No. Sim 25E 1514149;

59. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W 7379 UR;

60. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : L 1205 UJ;

61. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W 7818 UN;

62. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W 7834 UN;

63. 63. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W 7495

UN;

64. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : L 1025 UG;

65. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : L 1236 UM;

66. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W 7762 UR;

67. 1 (satu) unit Mobil Penumpang Merk Suzuki No.Pol. : W 7201 UR;

68. 1 (satu) unit Mobil Merk Pajero Sport warna putih No.Pol. : L 115

HA;

69. 1 (satu) unit Mobil Merk Honda Civic warna silver No.Pol. : L 115 ;

83

70. 1 (satu) unit Mobil Merk Toyota avanza warna biru metalik No.Pol. :

DA 7221 TA;

71. 1 (satu) unit Mobil Merk Toyota avanza warna merah metalik

No.Pol. : L 1785 PE;

72. 1 (satu) unit toko Food Court Blok FF30 “ NASI GORENG BAKAR

BOROBUDUR “ lantai First alamat Mall Cito (City Of Tomorrow)

Jl. Ahmad Yani No. 288 Surabaya;

73. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 2970 M² , sesuai sertifikat Hak Milik No.

191 An. SITI KHOLIFAH;

74. Sebidang tanah yang terletak di Desa Wonosari Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 1686 M², sesuai sertifikat hak milik No.

353 An. SITI KHOLIFAH;

75. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 1.250 M², sesuai Akta Hibah No.

233/PGR/1990 An. PAIMIN P. FATIM dan HOLIPAH;

76. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 1.100 M², sesuai Akta Jual Beli No.

549/PGR/2002 An. BH. NAWAWI dan HOLIPAH;

77. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 3070 M², sesuai Akta Jual Beli No.

719/PGR/1986 An. P. KASMARI LAMSORI dan SITI HOLIPAH;

84

78. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 2780 M², sesuai Akta Jual Beli No.

230/PGR/1990 An. SUBAKIR dan HOLIPAH;

79. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 2.700 M², sesuai Akta Jual Beli No.

1.668/PGR/2000 An. PAIMIN P. FATIM dan HOLIFAH;

80. Sebidang tanah yang terletak di Desa Jambearum Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 1.020 M², sesuai Akta Jual Beli No.

231/PGR/1990 An. P. SABI dan HOLIFAH;

81. Sebidang tanah yang terletak di Desa Wonosari Kec. Puger, Kab.

Jember Jawa Timur seluas 980 M², sesuai Akta Jual Beli No.

206/PGR/2012 An. SAMAD H. ROHMATULLAH dan SODIKIN;

82. 1 (satu) unit rumah usaha “ LAUNDRY WARNA “ alamat Jl.

Bungurasih Barat No. 48 RT. 001/002 Kel. Bungurasih Kec. Waru

Kab. Sidoarjo;

83. 1 (satu) unit Rumah alamat Jl. Bungurasih Barat No. 13 RT. 001/002

Kel. Bungurasih Kec. Waru Kab. Sidoarjo;

84. Uang tunai sejumlah Rp.322.450.000,- (tiga ratus dua puluh dua juta

empat ratus lima puluh ribu rupiah).,yang disita dari 10 rekening

yang dikuasai oleh terdakwa An. SODIKIN berdasarkan penetapan

penyitaan No. 835/PEN.PID/2013/PN.JKT.TIM, tanggal 20 Juni

2013 yang ditanda tangani oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri

85

Jakarta Timur An. MARYANA S.H., M.H. Nip.

195802191985031003;

4. Tuntutan Penuntut Umum

Penuntut Umum dalam persidangan ini menuntut supaya Majelis

Hakim memeriksa dan mengadili perkara ini dan menjatuhkan putusan

yang pada pokoknya sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa : LILIK HAMIDAH terbukti bersalah

melanggar melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana

dalam dakwaan Kedua Lebih Subsidair Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara

selama : 2 (dua) tahun, dengan memperhitungkan dan mengurangi

sepenuhnya masa selama Terdakwa menjalani penahanan sementara;

3. Menghukum Terdakwa untuk membayar denda sebesar

Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan

kurungan;

4. Menyatakan barang bukti no. 1 sampai dengan no. 84, barang bukti

yang sama dipergunakan dalam perkara an. Terdakwa Sodikin alias

Jidos;

5. Menetapkan Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp.5.000,00 (lima ribu rupiah);

86

5. Putusan Pengadilan

a. Pertimbangan Hukum Hakim

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa

serta keterangan Ahli serta barang bukti yang diperlihatkan

dipersidangan, maka terdapat fakta hukum sebagai berikut :

1. bahwa pada tahun 2006 suami Terdakwa ditangkap oleh Polisi

karena memakai narkotika dan dihukum selama 6 (enam) bulan

dan selanjutnya suami Terdakwa ditangkap lagi karena memakai

narkotika dan dihukum selama 10 (sepuluh) bulan dan pada saat

itulah suami Terdakwa berkenalan dengan orang yang bernama

Alex dan berdasarkan Berita Acara Penyidikan (BAP) pada bulan

Desember 2010 Alex datang menjumpai suami Terdakwa untuk

meminta bantuan mencarikan orang yang bisa menjadi kurir

dalam peredaran gelap narkotika dan pada bulan Oktober 2011

akhirnya, suami Terdakwa mendapatkan orang yang bisa

bekerjasama dalam peredaran gelap narkotika, yakni : Wawan

Purdianto alias Cebol, Yus Winarno, Pramono Widiarso alias Cak

Sut dan Heri (DPO), namun pada sisi lain, suami Terdakwa

menerangkan bahwa kerjasama antara suami Terdakwa dengan

Alex baru dimulai pada tahun 2013, yakni selama 1 (satu) tahun

dan 3 (tiga) bulan;

2. Bahwa selanjutnya Sodikin (suamiTerdakwa) mendapat kiriman

narkotika berupa sabu-sabu dari Alex dan untuk itu suami

87

Terdakwa membagi tugas orang yang direkrutnya tersebut untuk

menerima kiriman narkotika, mengirimkannya ke tempat yang

ditentukan oleh Alex serta membersihkan narkotika yang diterima

tersebut sebelum dikirimkan ke tempat yang ditentukan oleh

orang yang bernama Alex tersebut;

3. Bahwa untuk melakukan pekerjaan sebagaimana yang ditentukan

oleh Alex tersebut, suami Terdakwa mendapat imbalan berupa

uang, yang ditranfer oleh Alex melalui rekening atas nama Saiful

Dayat dan suami Terdakwa menerima tranferan uang tersebut

melalui rekeningnya sendiri serta rekening orang lain, yakni

rekening an. Vivi Magdalena dan Susiyah;

4. Bahwa selanjutnya uang transferan yang diterima oleh suami

Terdakwa dari Alex tersebut telah ditransfer oleh suami

Terdakwa ke rekening Terdakwa yang bernama Lilik Hamidah,

dipergunakannya untuk membeli mobil dan keperluan suami

Terdakwa lainnya serta dipinjamkan kepada orang lain;

Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan

dakwaan kombinasi antara dakwaan yang berbentuk alternatif dan

dakwaan yang berbentuk subsidairitas.

Majelis Hakim akan membuktikan dakwaan alternatif Kedua

Lebih Subsidair, yakni : sebagaimana diatur dan diancam dalam

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan

88

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau

menggunakan harta kekayaan;

3. Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak

pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika,

penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan migran, di bidang

perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,

kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdaganagn senjata

gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan,

pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di

bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup,di bidang kelautan

dan perikanan atau tindak pidana lain yang diancam dngan pidana

penjara 4 (empat) tahun atau lebih;

Mengenai unsur I : Setiap orang :

Menimbang, bahwa setiap orang ditujukan kepada orang /

manusia, sebagai subjek hukum yang menyandang hak dan

kewajiban di dalam hukum dan dapat dipertanggung jawabkan atas

perbuatannya ;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap

dipersidangan, telah ternyata yang dimaksud dengan setiap orang

89

dalam hal ini adalah Terdakwa, yang berada dalam keadaan sehat

rohani dan jasmani, sehingga dapat dipertanggung jawabkan atas

setiap perbuatannya dan dengan demikian, unsur I : setiap orang,

telah terbukti ;

Mengenai unsur II : Menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

penukaran atau menggunakan harta kekayaan :

Menimbang, bahwa unsur II ini berbentk alternatif, dimana

apabila salah satu perbuatan telah terbukti, maka unsur ini telah pula

terbukti;

Menimbang, bahwa saksi Sodikin alias Dicky A. Sodikin

alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D menerangkan

bahwa ia mengetahui isterinya (Terdakwa) mempunyai rekening pada

Bank BCA dengan nomor rekening : 4650320773 dan 4650440647;

Menimbang, bahwa keterangan saksi ini bersesuaian dengan

bukti surat berupa : Tabungan BCA No. Rek. 4650320773 an. LILIK

HAMIDAH dan Tabungan BCA No. Rek. 4650320773 an. LILIK

HAMIDAH;

Menimbang, bahwa adanya rekening Terdakwa pada bank

BCA, sebagaimana diterangkan saksi tersebut telah pula dibenarkan

oleh Terdakwa di persidangan, walaupun Terdakwa menerangkan

bahwa ia lupa akan nomor rekeningnya tersebut;

90

Menimbang, bahwa selanjutnya saksi Sodikin alias Dicky A.

Sodikin alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D telah

beberapa kali mengirimkan uang dengan cara mentranfernya dari

rekeningnya sendiri dan dari rekening orang lain, yakni an. Vivi

Magdalena dan Susiyah yang dikuasainya, ke rekening Terdakwa

(Bank BCA No.Reg. 4650320773), sehingga berjumlah

Rp.92.700.999,00 (sembilan puluh dua juta tujuh ratus ribu rupiah);

Menimbang, bahwa saksi Sodikin alias Dicky A. Sodikin

alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D juga telah

beberapa kali mengirimkan uang dengan cara mentranfernya dari dari

rekening orang lain,yakni dari rekening an.Kartika, Margareta dan

Dony Ferary, yang keseluruhannya berjumlah Rp.203.500.000,00

(dua ratus tiga juta lima ratus ribu rupiah);

Menimbang, bahwa keterangan saksi tersebut yang berkaitan

dengan adanya pentransferan uang tersebut telah bersesuaian dengan

data mutasi rekening BCA an. Lilik Hamidah (Terdakwa), Sodikin,

Vivi Magdalena, Susiyah, Kartika, Margareta dan Dony Ferary;

Menimbang, bahwa adanya pentransferan uang tersebut telah

pula dibenarkan oleh Terdakwa di persidangan, bahkan Terdakwa

telah menggunakan uang transferan tersebut antara lain untuk

membangun tempat usaha laundry “Warna”, menyumbang anak

yatim, membeli alat olah raga;

91

Menimbang, bahwa dengan telah ternyata Terdakwa

menerima pentransferan uang dan menggunakan hartaa kekayaan;

Menimbang, bahwa dengan demikian unsur II : menerima

pentransferan, menggunakan harta kekayaan, telah terbukti;

Mengenai unsur III : Diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika,

psikotropika, penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan migran,

di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang

perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,

perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,

penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di

bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan

hidup,di bidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lain

yang diancam dngan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih;

Menimbang, bahwa unsur III ini juga berbentuk alternatif,

dimana apabila salah satu perbuatan telah terbukti, maka unsur ini

telah pula terbukti;

Menimbang, bahwa sebagaimana dipertmibangkan diatas,

telah ternyata bahwa Terdakwa telah menerima pentransferan uang

melalui rekeningnya pada Bank BCA;

Menimbang, bahwa sebagaimana pula telah dipertimbangkan

diatas, jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa melalui

pentranfean ke rekeningnya (Bank BCA No.Reg. 4650320773),

92

berjumlah Rp.92.700.999,00 (sembilan puluh dua juta tujuh ratus

ribu rupiah), yang berasal dari rekening rekening suaminya (Sodikin

alias Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias

Mr.D), rekening Vivi Magdalena dan Susiyah;

Menimbang, bahwa disamping itu pula, Terdakwa telah pula

menerima pentransferan uang dari rekening an. Kartika, Margareta

dan Dony Ferary, yang keseluruhannya berjumlah Rp.203.500.000,00

(dua ratus tiga juta lima ratus ribu rupiah);

Menimbang, bahwa Terdakwa mengetahui bahwa suaminya

melakukan pentransferan uang yang relatif cukup besar, yang tidak

sebanding dngan penghasilan suaminya dan untuk itu Terdakwa

pernah menanyakan kepada suaminya tentang dari mana uang itu

diperoleh, namun suaminya (Sodikin alias Dicky A. Sodikin alias

Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D) hanya menjawab, “itu

rezeki, gak usah ditolak“;

Menimbang, bahwa Terdakwa mengetahui bahwa suaminya

pernah dihukum sebanyak 2 (dua) kali dalam perkara

menyalahgunakan/memakai narkotika pada tahun 2006 dan 2008 dan

Terdakwa pernah pula menasehati suaminya, agar jangan lagi

berhubungan dengan narkotika, dengan maksud agar tidak masuk

penjara lagi;

Menimbang, bahwa dengan demikian, walaupun Terdakwa

tidak mengetahui secara pasti keterlibatan suaminya dalam peredaran

93

gelap narkotika, namun dengan telah menerima pentransferan uang

yang relatif besar yang tidak sebanding dengan penghasilan suaminya

tersebut, maka Terdakwa telah patut menduga bahwa uang yang

diterima Terdakwa dari suaminya melalui pentransferan tersebut

berasal dari hasil kejahatan, dalam hal ini narkotika;

Menimbang, bahwa dengan demikian pula, maka unsur III :

patut diduganya merupakan hasil kejahatan narkotika, telah terbukti;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan-

pertimbangan tersebut diatas, maka seluruh unsur dakwaan alternatif

Kedua Lebih Subsidair, telah terbukti;

Menimbang, bahwa selama persidangan berlangsung, ternyata

Terdakwa tidak dikecualikan dari hukuman, baik karena alasan

pembenar maupun karena alasan pemaaf ;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan

Terdakwa, telah pula menimbulkan keyakinan bagi Majelis Hakim

akan kesalahan Terdakwa, sehingga dengan demikian Terdakwa telah

terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan melakukan tindak

pidana : “Menerima pentransferan, membelanjakan harta kekayaan

yang patut diduganya merupakan hasil tindak pidana narkotika“ dan

oleh karenanya Terdakwa haruslah dijatuhi pidana penjara dan denda

yang setimpal dengan perbuatannya serta dibebani pula untuk

membayar biaya perkara ;

94

Menimbang, bahwa lamanya Terdakwa ditahan di Rumah

Tahanan Negara haruslah dikurangkan segenapnya dari pidana yang

akan dijatuhkan;

Menimbang, bahwa oleh karena tidak terdapat alasan untuk

mengeluarkan Terdakwa dari Rumah tahanan Negara, maka

Terdakwa haruslah dipertintahkan tetap ditahan.

b. Amar Putusan Pengadilan Negeri

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa : LILIK HAMIDAH tidak terbukti

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan pada

dakwaan alternatif Kedua Primair dan Subsidair;

2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut;

3. Menyatakan Terdakwa : LILIK HAMIDAH telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana :

“Menerima pentransferan membelanjakan harta kekayaan yang

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana narkotika“;

4. Memidana Terdakwa dengan pidana penjara selama : 1 (satu)

tahun dan 4 (empat) bulan, serta denda sebesar Rp.15.000.000,00

(lima belas juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut

tidak dibayar, maka akan digantikan dengan pidana kurungan

selama : 2 (dua) bulan;

5. Menyatakan lamanya Terdakwa ditahan di Rumah Tahanan

Negara dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijatuhkan;

95

6. Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan;

7. Menyatakan barang bukti no.1 sampai dengan no. 84

dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan

dalam perkara Terdakwa Sodikin alias Dicky A. Sodikin alias

Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D;

8. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar

Rp.5.000,00 (lima ribu

rupiah);

B. Pembahasan

1. Proses Pembuktian Terhadap Pelaku Pasif atas Harta Kekayaan

Pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/ PN.Sda

a. Pengaturan Mengenai Pelaku Pasif Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang sampai saat ini masih menjadi

ancaman yang serius bagi bangsa dan negara, karena selain bisa

mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan,

juga bisa merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tindak pidana pencucian uang memang harus dicegah dan diberantas, di

mana pencucian uang ini merupakan suatu kejahatan besar yang

menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang sangat besar atau asal

usul dari harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan yang kemudian

disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal

dengan pencucian uang.

96

Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa tidak ada definisi

yang universal dan komprehensif mengenai tindak pidana pencucian

uang (money laundering), karena berbagai pihak seperti institusi-

institusi investigasi, kalangan pengusaha, Negara-negara dan organisasi-

organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri untuk itu. Dari

definisi-definisi yang telh dikemukakan pleh para pakar mengenai apa

yang dimaksud money laundering, dapat disimpulkan sebagai berikut62

:

“Pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian

kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang

atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari

tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau

otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak

pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang

tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga

uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan

itu sebagai uang halal.”

Tidaklah mudah untuk membuktikan adanya suatu tindak pidana

pencucian uang, karena tindak pidana ini dilakukan melalui proses

kegiatan yang sangat kompleks. Proses pencucian uang ini dilakukan

dengan melewatkan uang yang diperoleh secara illegal melalui

serangkaian transaksi finansial yang rumit guna menyulitkan berbagai

pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut.

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha

pencucian uang yaitu63

:

1. Placement

62

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. Hal.5 63

Adrian Sutedi, 2008, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung : PT Citra Aditya

Bakti, Hal. 18.

97

Tahap ini merupaka tahap pertama, yaitu pemilik uang

tersebut mendepositkan uang haram tersebut ke dalam sistem

keuangan (financial system). Karena uang itu sudah masuk ke dalam

sistem keuangan perbankan,berarti uang itu juga telah masuk ke

dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Oleh karena uang

yang telah ditempatkan di suatu bank itu selanjutnya dapat lagi

dipindahkan ke bank lain, baik di negara tersebut maupun di negara

lain. Uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam sistem keuangan

negara yang bersangkutan, tetapi telah masuk juga ke dalam sistem

keuangan global atau internasioanal.

Dengan placement dimaksudkan “the physical dispoal of cash

proceedsderived from legal activity”. Dengan perkataan lain fase

pertama dari proses pencucian uang haram ini adalah memindahkan

uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk

menghindarkan jejaknya.

2. Layering

Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari

sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transakasi

keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana.

Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa

rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil dari placement ke tempat

lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk

menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.

98

3. Integration

Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang

telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke

dalam berbagai bentuk kekayaan materiil atau keuangan,

dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah maupun

untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Jadi begitu uang

tersebut telah dapat diupayakan proses pencuciannya melalui cara

layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan unng yang

telah menjadi uang halal yang digunakan untuk kegiatan bisnis atau

kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan

yang mengendalikan uang tersebut.

Selain tahap proses pencucian uang seperti yang telah tertulis di

atas, ada juga pendapat menurut Anwar Nasution64

, beliau mengatakan

bahwa ada empat faktor yang dilakukan dalam proses pencucian uang.

Pertama, baik merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun

sumber uang hasil kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga

mudah dibawa ke mana-mana. Ketiga, merahasiakan proses pencucian

uang itu sehingga menyulitkan pelacakannya oleh petugas hukum.

Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

Dalam perkembanngannya, pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana pencucian uang tidak hanya fokus kepada pelaku aktifnya

saja, tetapi sekarang ini juga penegakkan hukumnya fokus ke pelaku

64

Anwar Nasution, Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering, dalam Jurnal

Hukum Bsinis, Vol. 3, Tahun 1998, hal. 12-13.

99

pasifnya. Mengenai pelaku pasif sendiri di dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasa Tindak Pidana

Pencucian Uang sudah diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) yang merumuskan

:

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan basil tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sutrisno Wibowo S.H. dari

Direktorat Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) definisi mengenai pelaku pasif

adalah pelaku pasif ini tidak melakukan tindak pidana asal, dia

menerima harta kekayaan dari hasil tindak pidana, tidak hanya berupa

uang yang dilakukan atau diterima melalui sistem keuangan, tetapi bisa

saja dengan uang tunai/cash untuk menerima aset sepanjang memenuhi

rumusan Pasal 5 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dan

juga harus memenuhi rumusan delik untuk bisa disangkakan dengan

Pasal 5 tersebut.65

Sampai saat ini, Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Pemberantasa Tindak Pidana Pencucian Uang

65

Hasil Wawancara dengan Sutrisno Wibowo S.H., Direktorat Kerjasama dan

Hubungan Masyarakat, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada

tanggal 15 September 2014.

100

masih menjadi senjata utama untuk menjerat para pelaku pasif dari

tindak pidana pencucian uang. Mengenai efektifitas dari Pasal 5 ini,

Menurut Bobby Mokoginta S.H., dari Direktorat Kerjasama dan

Hubungan Masyarakat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK), berpendapat bahwa terhadap suatu peraturan

perundang-undangan harus dilaksanakan terlebih dahulu, masalah

efektif atau tidaknya. Pelaku pasif sekarang ini memang sering muncul,

banyak sekarang kasus pelaku pasif pencucian uang dijerat

menggunakan menggunakan Pasal 5 ini. Sehingga kita lihat saja pasal

tersebut masih dipakai, jadi masih efektif. Efektifitas pasal tersebut

cukup baik dalam penerapan prakteknya66

.

Berkaitan dengan rumusan definisi mengenai pelaku pasif

tersebut, yang paling penting adalah pembuktiannya. Karena proses

pembuktian di persidangan merupakan suatu tahap yang sangat

menentukan di mana dapat suatu tindak pidana yang didakwakan dapat

terbukti atau tidak. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung

maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa,

sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah

66

Hasil Wawancara dengan Bobby Mokoginta S.H., Direktorat Kerjasama dan

Hubungan Masyarakat, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada

tanggal 15 September 2014.

101

terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus

mempertanggung jawabkannya67

.

b. Sitem Pembuktian yang Dianut oleh Hukum Acara Indonesia

dan Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik

Tahap pembuktian di persidangan ini memang menjadi fokus

utama dalam beracara di pengadilan. Karena untuk dapat menjatuhkan

putusan pidana, Majelis Hakim harus mempunyai keyakinan bahwa

Terdakwa telah bersalah. Di Indonseia sendiri, sistem pembuktian dalam

beracara di persidangan, menganut sistem pembuktian Negatif (negative

wettelijk). Menurut teori ini Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana

apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-

undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari

adanya alat-alat bukti itu. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 183 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan :

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, telah jelas bahwa agar dapat

dijatuhkan suatu putusan pidana, maka setidaknya harus ada dua alat

bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan Hakim bahwa terdakwa

memang benar dan terbukti melakukan tindak pidana. Jika Hakim tidak

yakin atau ragu-ragu dalam terhadap dua alat bukti yang dihadirkan

dalam persidangan, maka akim harus memutus perkara tersebut yang

67

Darwan Prinst. Op. Cit. hal. 133.

102

paling ringan atau menguntungkan terdakwa, seperti yang termuat dalam

asas in dubio pro reo yang artinya “Dalam keadaan yang meragukan,

Hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa.”

Dengan demikian Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) mengatur untuk bisa menentukan salah atau tidaknya

seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus

:

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah

b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.68

Sehingga, sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara

Indonesia melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) seperti yang sudah dijelaskan adalah ,maka aturan mengenai

pembuktian ini yang merupakan bagian dari rangkaian beracara di dalam

persidangan berlaku untuk semua tindak pidana yang diatur di

Indonesia, termasuk pelaku aktif tindak pidana pencucian uang dan juga

pelaku pasifnya.

Pembuktian terhadap pelaku pasif pencucian uang pada dasarnya

sama dengan pembuktian tidak pidana lainnya. Penegakkan hukum

terhadap pelaku pasif sampai saat ini terus dilakukan secara intensif.

Dalam perkembangannya penegakkan hukum pelaku pasif ini tampaknya

memang lebih sulit, karena para penegak hukum dalam menjerat pelaku

68

M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hal. 280.

103

pasif memang masih mengalami kesulitan untuk memenuhi unsur-unsur

yang termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasa Tindak Pidana Pencucian Uang. Agar bisa

dijerat dengan Pasal 5 ini, tetap harus dilihat pemenuhan unsur-unsurnya.

Tidak boleh terbentuk opini yang terlalu dini apakah seseorang tersebut

pelaku pasif pencucian atau bukan, tetap harus dilihat apakah dia

memenuhi unsur-unsur rumusan Pasal 5 atau tidak, karena yang disebut

sebagai pelaku adalah mereka yang memenuhi unsur-unsurnya.69

Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur

subjektif (mens rea) dan unsur objektif (actus reus). Mens rea yang harus

dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut

menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan

dengan unsur terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk

melakukan transaksi. Untuk membuktikan unsur mengetahui tentunya

sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan wingly.

Selanjutnya, berkenaan pembuktian unsur patut menduga maka hal ini

persis yang tertera dalam pembuktian pasal 480 KUHP yang menjelaskan

adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja

setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended, yaitu

bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan. Untuk pembuktian

ini pun sulit. Maka dari itu, apabila unsur sengaja dan mengetahui atau

69

Hasil Wawancara dengan Bobby Mokoginta S.H. Op. Cit.

104

patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari kejahatan, dengan

sendirinya unsur intended terbukti70

.

Pembuktian terhadap pelaku Tidak pidana pencucian uang bisa

juga dilakukan dengan cara sitem beban pembuktian terbalik. Pada

asasnya, beban “Pembuktian Terbalik” bermula dari sistem pembuktian

yang dikenal dari Negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon terbatas

pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification”

atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya

Malaysia dan Singapura, yang mengatur gratifikasi dalam The Status of

Prevention of Corruption Act Malaysia and Singapore.71

Pembuktian terbalik ini di Indonesia secara normatif sudah diatur

dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang yang menyatakan :

“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa

wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan

hasil tindak pidana.”

Makna dari pasal tersebut, kata “wajib” mengandung pengertian

bahwa undang-undang ini menganut sistem pembuktian terbalik, namun

dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa terdakwa “diberi

kesempatan” untuk membuktikan harta kekayaannnya dan bukan berasal

dari tindak pidana. Bunyi kata “wajib” dan “diberi kesempatan”

mempunyai pengertian yang berbeda. Dengan demikian sistem

70

Adrian Sutedi. Op. Cit. Hal.214. 71

Lilik Mulyadi, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis,

Praktik dan Masalahnya, Bandung : Alumni, Hal. 254.

105

pembuktian dalam undang undang ini masih menjadi perdebatan, bahkan

sebenarnya membuat hal yang jelas menjadi tidak jelas72

.

Kemudian sistem pembuktian terbalik ini diperbaharui dengan

diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Di

dalam undang-undang ini sistem pembuktian terbalik diatur lebii detai

dari undang-undang sebelumnya, yaitu termuat dalam Pasal 77 dan 78 :

Pasal 77 :

“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,

terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan

merupakan hasil tindak pidana.”

Pasal 78 :

Ayat (1): “Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan

terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait

dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).”

Ayat (2): “Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang

terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan

cara mengajukan alat bukti yang cukup.”

Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan, maka

Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan

merupakan hasil tindak pidana. Pada penjelasan pasal ini tertera cukup

jelas, sehingga konstruksi hukum yang termuat pada undang-undang ini

mengamanatkan bahwa terdakwa tidak lagi “diberi kesempatan” dalam

72

Philips Darwin, 2012, Money Laundering (Cara Memahami Dengan Tepat dan Benar

Soal Pencucian Uang), Jakarta : Sinar Ilmu, Hal. 68.

106

pembuktian terbalik, namun “wajib” untuk melakukannya. Inilah

kelebihan undang-undang pencucian uang yang baru dibanding undang

undang yang lama73

. Sistem beban pembuktian terbalik dalam undang-

undang sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang

pengadilan, tidak dalam tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua

tindak pidana, hanya pada kejahatan yang bersifat serius (serious crime)

yang sulit dalam hal pembuktiannya, misalnya korupsi, penyelundupan,

narkotika, psikotropika, atau penggelapan pajak,dan tindak pidana

perbankan. Seperti yang sudah termuat dalam Pasal 77 Undang-Undang

No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, yaitu dengan disebutkannya “Untuk

kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan”, maka dapat dikatakan

bahwa sistem beban pembuktian terbalik hanya dapat diterapkan pada

waktu dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Metode pembuktian terbalik merupakan alternatif hukum

pembuktian yang kini dipandang sebagai “sarana hukum” yang ampuh

untuk mengejar aset hasil kejahatan dan mengembalikannya kepada

negara. Namun, penggunaan model ini harus memiliki dua fungsi, yaitu:

Pertama, model ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian

asal usul harta kekayaan (aset) dari suatu kejahatan, akan tetapi disisi

lain, tidak dapat dipergunakan sehingga bertentangan dengan hak asasi

seorang tersangka/terdakwa. Kedua, model ini tidak memiliki tujuan

73

Ibid. Hal. 78.

107

yang bersifat represif melalui proses kepidanaan melainkan harus

bertujuan yang bersifat rehabilitative dan semata-mata untuk

memulihkan aset hasil dari kejahatan tertentu (recovery)74

.

Sitem pembuktian terbalik ini bisa dikatakan bertentangan

dengan sitem hukum acara di negara kita, karena sistem pembuktian

terbalik di negara kita tidak dikenal atau digunakan. Di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 66. Di dalam

pasal ini dinyatakan bahwa Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian. Dari pernyataan pasal tersebut pun terlihat jelas

jika dalam proses pembuktian dalam persidangan, terdakwa tidak

dibebani kewajiban pembuktian, sehingga dalam hal ini Jaksa Penuntut

Umum lah yang harus membuktikan dakwaannya. Dalam asas

pembuktian terbalik, Hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa

telah bersalah melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of

guilt. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya

tidak bersalah. Walaupun demikian, penerapan beban pembuktian

terbalik ini tidak murni hanya Terdakwa yang hanya membuktikan

dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi juga dari Jaksa

Penuntut Umum yang juga harus membuktikan apa yang telah

didakwakan kepada Terdakwa. Sehingga didalam pelaksanaan asas

praduga bersalah (presumption of guilt) tidaklah dilakukan secara

74

Abdul Latief. Tindak Pidana Korupsi dan Problematikanya Dalam Praktik Penerapan

Hukum. Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Tahun XXVIII No. 324 November 2012. Jakarta

pusat : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Hal. 41.

108

mutlak, terdakwa bersifat aktif hanya pada pembuktian asal usul harta

kekayaan.

Mengenai pro dan kontra terhadap penerapan beban pembuktian

terbalik ini, menurut Bobby Mokoginta,75

dikatakan bahwa kalau

posisinya sebagai pelaku pasti mereka akan berbicara tentang HAM,

tetapi jika posisinya dari pihak penegak hukum maka akan berbicara

tentang kepastian hukum. Ada pengaruh subjektifitas tergantung dari

posisinya, tetapi sebagai seoarang sarjana hukum, alat apapun yang bisa

digunakan semaksimal mungkin kita gunakan. Sepanjang itu efektif dan

membantu penegakkan hukum harus dipakai, bila sudah tidak berguna

lagi harus dihapus. Jika nanti dilakukan evaluasi dan ada hal yang

berebihan akan dikurangi dan jika ada hal yang masih kurang maka

ditambahkan sesuai dengan keseimbangan.

Harta kekayaan adalah merupakan salah satu unsur di samping

unsur-unsur yang lain dari tindak pidana pencucian uang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. Sebagai unsur dari tindak

pidana pencucian uang, unsur harta kekayaan harus disebutkan dalam

surat dakwaan dan sebenarnya harus dibuktikan dengan alat-alat bukti

yang sah oleh Penuntut Umum di pemeriksaan sidang pengadilan76

.

Tetapi dengan adanya Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

75

Hasil Wawancara dengan Bobby Mokoginta S.H., Op. Cit. 76

R. Wiyono, Op. Cit., Hal. 216.

109

Uang, yang menentukan bahwa yang wajib membuktikan unsur harta

kekayaan adalah Terdakwa, maka dikatakan bahwa sistem pembuktian

terbalik ini berlaku terhadap pelaku aktif maupun pelaku pasif tidak

memandang pidana asalnya.

c. Pembuktian terhadap Pelaku Pasif Pencucian Uang pada

Putusan No.603/Pid.Sus/ 2013/PN.Sda

Pembuktian merupakan titik sentral dan memegang peranan yang

sangat penting dalam pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan.

Hal ini dikarenakan pada pembuktian di tentukan bersalah atau tidaknya

seorang terdakwa. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan tidak

mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka terdakwa

akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi

maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu proses

pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai orang

yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau bahkan

orang yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah.

Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara

pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Van

Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu77

:

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

b. Pemberian keputusan oleh hakim;

77

Andi Hamzah. Op. Cit. halaman 13.

110

c. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi

“mencari kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua

fungsi berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui

alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan

yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh jaksa. Namun hal yang tidak

kalah penting adalah peran jaksa di dalam menerapkan suatu peraturan

perundang-undangan, dimana jaksa memiliki peranan yang sangat

penting untuk tercapainya fungsi hukum acara pidana.

Meskipun pembuktian merupakan titik strategis di dalam proses

peradilan pidana, namun pembuktian itu sendiri adalah sebuah proses

yang rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kalau

hukum acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai “filter” yang

akan menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dengan

perlindungan hak-hak individu, maka sistem pembuktian merupakan

“core filter” (tempat penyaringan), sebab melalui proses pembuktian

itulah akan ditentukan apakah ketentuan pembuktian (bewijsracht) dari

setiap alat bukti akan menjadikan seorang terdakwa dibebaskan

(vrijspraak), dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van alle

rechtsvervolging), ataukah dipidana.78

78

Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta :

Rajawali Pers, Hal. 193.

111

Mengenai alat bukti tindak pidana pencucian uang juga sudah

diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu :

“Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian

Uang ialah:

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

dan/atau

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,

diterima, atau disimpan secara elektronikdengan alat optik atau

alat yang serupa optik dan Dokumen.”

Alat bukti yang sah dalam tindak pidana pada umumnya (kecuali

tindak pidana korupsi dan tindak pidan terorisme) berbeda dengan alat

bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang. Karena

alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pada umumnya

umumnya (kecuali tindak pidana korupsi dan tindak pidan terorisme)

adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari79

:

Alat bukti yang sah ialah:

a.keterangan saksi;

b.keterangan ahli;

c.surat;

d.petunjuk;

e.keterangan terdakwa

Sedangkan alat bukti yang sah dalam tindak pidana pencucian

uang, di samping sebagaimana yang dimaksud Pasal 73 huruf (a)

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu alat bukti yang sah

79

R. Wiyono, 2014, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta : Sinar Grafika, Hal. 208.

112

yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang termasuk

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf (b) Undang-Undang No. 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, yaitu Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik

atau alat yang serupa optik dan Dokumen.

Jika melihat dalam kasus perkara yang ada dalam Putusan

No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda, putusan tersebut dengan Terdakwa Lilik

Hamidah. Lilik Hamidah ini merupakan Terdakwa pada tindak pidana

pencucian uang. Berawal dari ditangkapnya saksi Yus Winarno

(terdakwa dalam perkara Pidana asal) bersama terdakwa Lilik Hamidah,

pada hari Rabu tanggal 17 April 2013 sekitar pukul 09.00 WIB di tempat

kediaman saksi Yus Winarno di Jln. Bungurasih Barat No. 13 Rt.

001/Rw. 02 Kelurahan Bungurasih Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo

oleh saksi Jipri Setiawanto dan saski Sumanto yang merupakan anggota

dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam rangka melakukan

penggerebekan ditempat tersebut yang diduga merupakan tempat

jaringan Peredaran gelap Narkotika, kemudian setelah dilakukan

penggeledahan, didapatkan Narkotika Golongan I jenis shabu sebanyak

15 (lima belas) bungkus seberat kurang lebih 4.913,2 gram milik saksi

Sodikin alias Dicky A. Sodikin (terdakwa dalam penuntutan terpisah)

yang disimpan oleh saksi Yus Winarno di tempat kediamannya atas

perintah saski Sodikin yang juga sebagai terdakwa dalam Pidana asal.

113

Selanjutnya dilakukan pencarian terhadap saksi Sodikin di tempat

kediamannya di Jalan Bungurasih barat No.12 Kelurahan Bungurasih

Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo yang terletak diseberang jalan dari

tempat kediaman saksi Yus Winarno, kemudian dilakukan

penggeledahan dirumah tersebut, namun saksi Sodikin sudah tidak

berada ditempat dan ternyata terdakwa Lilik Hamidah yang merupakan

istri saksi Sodikin yang dinikahi sejak tahun 1998. Penggeledahan

dirumah saksi Sodikin bersama terdakwa Lilik Hamidah di rumahnya

sudah tidak ditemukan lagi Narkotika. Terdakwa Lilik Hamidah diduga

telah melakukan tindak pidana pencucian uang sebagai penerima pasif

atau pelaku pasif. Terdakwa telah menerima harta kekayaan berupa uang

dan harta benda lainnya dari Sodikin yang mempunyai bisnis haram

narkotika.

Terdakwa Lilik Hamidah dituntut Jaksa penuntut Umum

kombinasi antara dakwaan alternatif dan dakwaan subsidair, yaitu :

Kesatu : Primair : sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

Subsidair : sebagaima diatur dan diancam pidana dalam Pasal 137 huruf

b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika atau

Kedua : Primair : sebagaima diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Subsidair : sebagaima

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8

114

Tahun2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, Lebih Subsidair : sebagaima diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum di atas, Terlihat bahwa

Jaksa Penuntut Umum tidak main-main dalam menjerat Terdakwa, baik

dengan Undang-Undang Narkotika maupun Undang-Undang Pencucian

Uang. Dalam pembuktiannya berdasarkan putusan tersebut, dari pihak

Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan saksi-saksi yang bisa

membuktikan jika Terdakwa bersalah. Saksi-saksi yang dihadirkan

dalam persidangan juga saksi yang merupakan terdakwa, dengan perkara

yang terpisah termasuk juga suami Terdakwa yaitu Sodikin.

Seperti yang diketahui, pembuktian terhadap tindak pidana

pencucian uang ini bisa dikatakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan

pembuktiannya, karena sulitnya untuk memenuhi unsur-unsur terhadap

pasal yang didakwakan. Dalam perkara pada Putusan No.603/Pid.

Sus/2013/PN.Sda. ini proses pembuktian yang dilakukan Jaksa Penuntut

Umum untuk membuktikannya dakwaannya di dalam persidangan

dengan menghadirkan saksi-saksi, seperti saksi biasa, saksi yang juga

termasuk terdakwa tindak pidana asal dalam hal ini mengenai narkotika,

saksi verbalisan (saksi dari pihak penyidik), dan juga saksi a de charge.

Berdasarkan macam-macam saksi yang dihadirkan dalam

persidangan tersebut, terlihat bahwa alat bukti yang ada dalam

115

persidangan bisa dikatakan sudah memenuhi Pasal 183 KUHAP, bahkan

lebih dari cukup dari dua alat bukti yang sah. Menurut Martiman

Prodjohamidjojo80

, Pasal 183 KUHAP mengandung substansi :

1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa :

a. Tidak terjadi;

b. Terdakwa telah bersalah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut, terkandung

dua asas mengenai pembuktian yaitu :

1. Asas minimum pembuktian yaitu asas bahwa untuk membuktikan

kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah;

2. Asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif yang

mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping

kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula diikuti keyakinan

hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa.

Salah satu dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah mendakwa

Terdakwa dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidan Pencucian Uang, di mana

pasal tersebut dinilai sangat sesuai dengan perbuatan yang oleh

Terdakwa Lilik Hamidah. Pasal 5 ini mengatur tentang perbuatan setiap

Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau

80

Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti, Jakarta :

Ghalia Indonesia, Hal. 12.

116

menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan basil tindak pidana, dalam kasus ini tindak pidana asalnya

adalah narkotika. Keterangan Ahli : Isnu Yuwana Darmawan, tindak

Pidana Pencucian Uang dibagi 2 (dua), yaitu :

1. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif, artinya Terdakwa

melakukan tindak pidana sendiri dalam hal mentrasfer uang

yang berasal dari tindak pidana.

2. Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif, artinya setiap orang

yang menerima aliaran uang yang berasal dari suatu tindak

pidana

Hal yang menguatkan Terdakwa sebagai pelaku pasif atau

penerima pasif dari tindak pidana pencucian uang bisa dilihat dari

keterangan saksi Sodikin yang tidak lain adalah Terdakwa dalam tindak

pidana asal dan juga sebagai istri Terdakwa Lilik Hamidah, yaitu

pemeriksaan saksi, keterangan Saksi Sodikin bahwa uang hasil dari

bisnis narkotika bersama rekannya ditransfer melalui rekening Terdakwa

Lilik Hamidah dan juga melalui rekening orang lain. Kemudian kepada

saksi Sodikin, Terdakwa pernah menasehatinya agar berhenti memakai

narkotika. Dari ketrangan saksi Sodikin ini terlihat jelas bahwa Terdakwa

Lilik Hamidah melakukan pencucian uang pasif.

Lebih jelasnya mengenai pelaku pasif pencucian uang yang

didakwakan kepada Terdakwa Lilik Hamidah yang dirumuskan dalam

Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

117

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucain Uang akan disajikan dalam

bentuk bagan di bawah ini :

Berdasarkan bagan tentang rumusan Pasal 5 tersebut di atas,

seseorang yang melakukan pencucian uang pasif harus dibuktikan

terlebih dahulu perbuatannya, apakah sudah memenuhi unsur-unsurnya

atau belum. Perbuatan tersebut haruslah memenuhi unsur mens rea dan

unsur actus reus nya. Mens rea adalah suatu sikap batin seseorang

terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan actus reus

adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan.

Berdasarkan bagan di atas seseorang atau korporasi yang

melakukan pencucian uang pasif harus dipenuhi unsur mens rea dan

actus reus nya. Harus dilihat mens rea nya terhadap perbuatan yang

Mens Rea Diketahui,

Patut Diduga,

dari hasil tindak pidana

Actus Reus (Perbuatan)

Menggunakan (Commision)

Menerima atau Menguasai (Ommision)

Subjek :

Orang

perseorangan korporasi

Objek :

Harta

Kekayaan

- Sumbangan

- Penitipan

- Penukaran

- Penempatan

- Pentransferan

- Pembayaran

- Hibah

118

dilakukan, yaitu dia harus menduga atau patut diduga bahwa harta

kekayaan yang diterimanya itu berasal dari tindak pidana. Kemudian

unsur actus reus nya yaitu perbuatan seseorang atau korporasi terhadap

harta benda yang diterimanya, bisa perbuatan untuk “Menggunakan”

(Commision) dan perbuatan untuk “Menerima atau Menguasai”

(Ommision), seperti penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,

sumbangan, penitipan, penukaran.

Harus ada mens rea atau sikap batin yang bisa menempatkan dia

(Terdakwa) memliki kesalahan. Pelaku pasif tetap memegang teguh pada

adanya unsur mens rea dan actum reus atau tindakan menerima. Kalau

hanya menerima saja tetap harus dilihat mens rea nya, seperti bagaimana

cara mengetahui dari mana uang tersebut berasal, ketika menerima uang,

dll., apa yang dilakukan, apakah diam saja atau bagaimana. Dilihat juga

dia melakukan kesalahan secara sengaja atau lalai.81

Dikaitkan dengan kasus yang ada dalam Putusan No.603/

Pid.Sus/2013/PN.Sda, Terdakwa Lilik Hamidah yang didakwa salah

satunya dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 2010. Dalam

pembuktiannya dengan menghadirkan berbagai saksi, di sini terlihat

bahwa keterangan saksi yang memberikan jawaban kunci dengan

dikaitkan terhadap unsur mens rea dan unsur actus reus adalah dari

keterangan saksi Sodikin yang juga merupakan Terdakwa Lilik Hamidah

dan keterangan Terdakwa sendiri. Yaitu keterangan saksi Sodikin yang

81

Hasil Wawancara dengan Sutrisno Wibowo S.H., Op. Cit.

119

mengatakan bahwa uang hasil dari bisnis narkotika bersama rekannya

ditransfer melalui rekening Terdakwa Lilik Hamidah dan juga melalui

rekening orang lain. Jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa melalui

pentranfean ke rekeningnya (Bank BCA No.Reg. 4650320773),

berjumlah Rp.92.700.999,00 (sembilan puluh dua juta tujuh ratus ribu

rupiah), yang berasal dari rekening rekening suaminya (Sodikin alias

Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D),

rekening Vivi Magdalena dan Susiyah. Selain itu, Terdakwa juga

menerima pentransferan uang dari rekening an. Kartika, Margareta dan

Dony Ferary, yang keseluruhannya berjumlah Rp.203.500.000,00 (dua

ratus tiga juta lima ratus ribu rupiah).

Kemudian kepada saksi Sodikin, Terdakwa pernah

menasehatinya agar berhenti memakai narkotika. Kemudian dari

keterangan Terdakwa Lilik Hamidah bahwa usaha suami Terdakwa

antara lain angkutan kota (angkot), Loundry, Food Court, yang

semuanya Terdakwa yang menjalanakan dan modalnya dari suami

Terdakwa, yaitu dari usaha kayu dan solar yang dijalankan oleh suami

Terdakwa. Terdakwa juga mengetahui sejak lama pekerjaan suaminya

tersebut tidak hanya sebatas berwiraswasta saja tetapi terdakwa tahu

kalau suaminya juga berbisnis Narkotika karena suaminya pernah

dipenjara 2 (dua) kali terlibat dengan kasus Narkotika sekira tahun 2006

tetapi Terdakwa Lilik Hamidah hanya menasehatinya saja agar suaminya

berhenti berbisnis narkotika walaupun terdakwa sudah sering curiga

120

terhadap penghasilan suaminya yang tidak sesuai dengan pekerjaannya

dan menanyakan kepada suaminya dari mana uang-uang yang didapat

selama ini, namun terdakwa tetap saja menerima, menyimpan dan

menikmati pemberian suaminya dari hasil keuntungan berbisnis

Narkotika tersebut. Kemudian dari keterangan saksi verbalisan I yaitu

Murnila, S.H., mengatakan bahwa Terdakwa Lilik Hamidah secara

langsung tidak tahu kalau transfer uang tersebut merupakan hasil dari

narkotika, tetapi Terdakwa pernah menduga bahwa uang itu berasal dari

narkotika.

Dari alat bukti tersebut bisa dikatakan bahwa Terdakwa Lilik

Hamidah memang melakukan pencucian uang pasif atau sebagai pelaku

pasif, karena perbuatan Terdakwa tersebut telah memenuhi unsur mens

rea dan actus reus dengan menerima harta kekayaan dari suaminya dan

juga menguasainya. Perbuatan tersebut seharusnya sudah diketahui oleh

Terdakwa dan juga patut menduganya harta kekayaan yang diterimanya

berasal dari tindak pidana sesuai dengan keterangan di atas.

Sistem beban pembuktian terbalik bisa juga diterpakan pada

perkara uang ada dalam Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda. Bisa saja

dilakukan beban pembuktian terbalik terhadap Terdakwa Lilik Hamidah,

karena karena sudah diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang. Sistem pembuktian terbalik sesuai yang dianut negara kita yaitu

pembuktian terbalik berimbang, di mana Terdakwa yang harus

121

membuktikan harta kekayaannya bukan hasil dari tindak pidana, selain

itu juga Jaksa Penuntut Umum juga harus ikut membuktikannya. Seperti

yang dikatakan oleh saksi ahli Isnu Yuwana Darmawan, yang bekerja

pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak

tahun 2012, beliau mengatakan bahwa dalam tindak pidana pencucian

uang dikenal azas pembuktian terbalik, yakni Jaksa Penuntut Umum

berhak untuk membuktikan bahwa barang-barang atau harta kekayaan

yang diperoleh oleh Terdakwa Lilih Hamidah adalah hasil kejahatan dan

Terdakwa Lilik Hamidah juga bisa membuktikan bahwa barang-barang

yang diperolehnya itu bukan dari hasil kejahatan.

2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Pidana Terhadap Pelaku Pasif pada Putusan No.603/Pid.Sus/

2013/PN.Sda

Peranan Hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan

kejahatan pencucian uang. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang

didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan pencucian

uang ini sangat sulit. Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk

melaksanakan tugasnya dalam mengadili suatu perkara dan bisa

memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.

Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran

materiil, putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan Hakim. Menurut

Yulies Tiena Masriani, mengatakan bahwa:

122

“Fungsi Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran

materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim82

.”

Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya

didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral dari

pemeriksaan di muka sidang pengadilan karena menyangkut ditentukan

tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan

dan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal

ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika

seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan

yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan

Hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana

bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum

acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal83

.

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus memegang prinsip

minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan, harus sekurang-

kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah dan disertai dengan

keyakinan hakim. Macam-macam alat bukti ini termuat dalam pasal 184

82

Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesi, Jakarta : Sinar Grafika, Hal.

83. 83

Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, Hal.

249.

123

ayat (1) KUHAP, yaitu terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli,

petunjuk dan keterangan terdakwa.

Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa hukum acara pidana

Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negative atau negatief wettelijk bewijsleer. Artinya seseorang baru boleh

dipidana apabila hakim yakin akan kesalahan terdakwa yang dibuktikan

dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang84

.

Dalam sistem pembuktian undang-undang secara negatif, ada dua

hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa,

sesuai dengan pendapat Alfitra85

, yakni:

a. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang;

b. Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti-

bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Adami Chazawi yang

mengatakan :

“Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan

Terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,

hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta

dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak

cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa Terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini

haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti

yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian

didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang

84

Hibnu Nugroho. 2002, Buku Ajar Pengantar Hukum Acara Pidana, Purwokerto :

Fakultas Hukum, Hal. 44. 85

Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses. Hal. 29.

124

merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-

sendiri.”86

Dalam Putusan No.603/Pid.Sus/ 2013/PN.Sda, Terdakwa Lilik

Hamidah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan

kombinasi antara dakwaan yang berbentuk alternatif dan dakwaan yang

berbentuk subsidaritas, yakni Kesatu : Primair : sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, Subsidair : sebagaima diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika atau Kedua : Primair : sebagaima diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, Subsidair : sebagaima diatur dan diancam pidana dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 8 Tahun2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lebih Subsidair :

sebagaima diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

Mengenai dakwaan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa

dalam dakwaan alternatif Kesatu baik Primair maupun Subsidair,

Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Undang-Undang No. 35

86

Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T

Alumni.

125

Tahun 2009 Tentang Narkotika. Untuk membuktikan dakwaan alternatif

Kesatu ini, haruslah memenuhi persyaratan, yaitu ada putusan Hakim

yang menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau prekursor

Narkotika dan putusan tersebut haruslah pula telah berkekuatan hukum

tetap. Dalam hal ini Terdakwa belum pernah duhukum karena melakukan

tindak pidana narkotika.

Majelis Hakim berpendapat bahwa dakwaan yang adil, tepat dan

patut untuk dibuktikan atas perbuatan yang didakwakan atas diri

Terdakwa adalah dakwaan Kedua, yakni : sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu

Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5.

Mengenai proses persidangan ini tentang pelaku pasif atau

penerima pasif tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan

terlebih dahulu pidana asalnya, karena memang berdiri sendiri, terlebih

Terdakwa adalah pelaku pasifnya. Hal tersebut juga sudah diatur dalam

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyatakan :

“Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang

tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Berdasarkan pasal tersebut, dalam pelaksanaannya memang

masih ada pro dan kontra. Untuk menyidangkan sebagai pelaku

126

pencucian uang, tidak perlu tindak pidana asal ditemukan atau diputus

terlebih dahulu. Ada dua pendapat yg berkembang tentang hai ini87

:

a. Pelaku aktif maupun pelaku pasif tidak perlu dibuktikan

pidana asalnya;

b. Pelaku pasif tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya,

yang harus dibuktikan yindak pidana asalnya adalah pelaku

aktifnya.

Berdasarkan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan,

Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan yang seperti yang

didakwakan, yaitu Pasal 3, dan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tidak Pidana Pencucian

Uang, karena dalam pemenuhan unsur yang keduan alat bukti saksi dan

surat tidak ada satupun yang terbukti. Namun Majelis Hakim

menyatakan Terdakwa terbukti telah melakukan pencucian uang pasif

dalam dakwaan lebih subsidair, yaitu Pasal 5 Undang-Undang No. 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tidak Pidana

Pencucian Uang. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5 ini antara

lain :

1. Setiap orang;

2. Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,

hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta

kekayaan;

87 Hasil Wawancara dengan Sutrisno Wibowo S.H., Op. Cit.

127

3. Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak

pidana korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyeludupan

tenaga kerja, penyeludupan migran, di bidang perbankan, di bidang

pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai,

perdagangan orang, perdaganagn senjata gelap, terorisme, penculikan,

pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,

prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang

lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikananatau tindak pidana

lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) atau lebih.

Mengenai unsur I : Setiap orang :

Yang dimaksud setiap orang adalah ditujukan kepada orang /

manusia, sebagai subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban di

dalam hukum dan dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, telah ternyata yang

dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah Terdakwa, yang

berada dalam keadaan sehat rohani dan jasmani, sehingga dapat

dipertanggung jawabkan atas setiap perbuatannya dan dengan demikian,

unsur I : setiap orang, telah terbukti.

Mengenai unsur II : Menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

penukaran atau menggunakan harta kekayaan :

Unsur II ini berbentk alternatif, dimana apabila salah satu

perbuatan telah terbukti, maka unsur ini juga telah terbukti.

128

Saksi Sodikin alias Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Cak

alias Pak Kaji alias Mr.D menerangkan bahwa ia mengetahui isterinya

(Terdakwa) mempunyai rekening pada Bank BCA dengan nomor

rekening : 4650320773 dan 4650440647. Keterangan saksi ini

bersesuaian dengan bukti surat berupa : Tabungan BCA No. Rek.

4650320773 an. LILIK HAMIDAH dan Tabungan BCA No. Rek.

4650320773 an. LILIK HAMIDAH.

Adanya rekening Terdakwa pada bank BCA, sebagaimana

diterangkan saksi tersebut telah pula dibenarkan oleh Terdakwa di

persidangan, walaupun Terdakwa menerangkan bahwa ia lupa akan

nomor rekeningnya tersebut. Selanjutnya saksi Sodikin alias Dicky A.

Sodikin alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D telah

beberapa kali mengirimkan uang dengan cara mentranfernya dari

rekeningnya sendiri dan dari rekening orang lain, yakni an. Vivi

Magdalena dan Susiyah yang dikuasainya, ke rekening Terdakwa (Bank

BCA No.Reg. 4650320773), sehingga berjumlah Rp.92.700.999,00

(sembilan puluh dua juta tujuh ratus ribu rupiah);

Saksi Sodikin alias Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Cak

alias Pak Kaji alias Mr.D juga telah beberapa kali mengirimkan uang

dengan cara mentranfernya dari dari rekening orang lain,yakni dari

rekening an.Kartika, Margareta dan Dony Ferary, yang keseluruhannya

berjumlah Rp.203.500.000,00 (dua ratus tiga juta lima ratus ribu rupiah).

Keterangan saksi tersebut yang berkaitan dengan adanya pentransferan

129

uang tersebut telah bersesuaian dengan data mutasi rekening BCA an.

Lilik Hamidah (Terdakwa), Sodikin, Vivi Magdalena, Susiyah, Kartika,

Margareta dan Dony Ferary. Pentransferan uang tersebut dibenarkan oleh

Terdakwa di persidangan, bahkan Terdakwa telah menggunakan uang

transferan tersebut antara lain untuk membangun tempat usaha laundry

“Warna”, menyumbang anak yatim, membeli alat olah raga.

Sehingga dengan telah Terdakwa menerima pentransferan uang

dan menggunakan hartaa kekayaan, dengan demikian unsur II :

menerima pentransferan, menggunakan harta kekayaan, telah terbukti.

Mengenai unsur III : Diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika,

psikotropika, penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan migran, di

bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,

kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdaganagn senjata gelap,

terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan,

pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di

bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup,di bidang kelautan

dan perikanan atau tindak pidana lain yang diancam dngan pidana

penjara 4 (empat) tahun atau lebih;

Unsur III ini juga berbentuk alternatif, apabila salah satu

perbuatan telah terbukti, maka unsur ini juga telah terbukti.

Sebagaimana dipertmibangkan diatas, telah ternyata bahwa

Terdakwa telah menerima pentransferan uang melalui rekeningnya pada

130

Bank BCA. Jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa melalui

pentranfean ke rekeningnya (Bank BCA No.Reg. 4650320773),

berjumlah Rp.92.700.999,00 (sembilan puluh dua juta tujuh ratus ribu

rupiah), yang berasal dari rekening rekening suaminya (Sodikin alias

Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D),

rekening Vivi Magdalena dan Susiyah.

Disamping itu, Terdakwa juga telah menerima pentransferan uang

dari rekening an. Kartika, Margareta dan Dony Ferary, yang

keseluruhannya berjumlah Rp.203.500.000,00 (dua ratus tiga juta lima

ratus ribu rupiah);

Terdakwa mengetahui bahwa suaminya melakukan pentransferan

uang yang relatif cukup besar, yang tidak sebanding dngan penghasilan

suaminya dan untuk itu Terdakwa pernah menanyakan kepada suaminya

tentang dari mana uang itu diperoleh, namun suaminya (Sodikin alias

Dicky A. Sodikin alias Jidos alias Pak Cak alias Pak Kaji alias Mr.D)

hanya menjawab, “ itu rezeki, gak usah ditolak “.

Terdakwa juga mengetahui bahwa suaminya pernah dihukum

sebanyak 2 (dua) kali dalam perkara menyalahgunakan / memakai

narkotika pada tahun 2006 dan 2008 dan Terdakwa pernah pula

menasehati suaminya, agar jangan lagi berhubungan dengan narkotika,

dengan maksud agar tidak masuk penjara lagi. Walaupun demikian,

Terdakwa tidak mengetahui secara pasti keterlibatan suaminya dalam

peredaran gelap narkotika, namun dengan telah menerima pentransferan

131

uang yang relatif besar yang tidak sebanding dengan penghasilan

suaminya tersebut, maka Terdakwa telah patut menduga bahwa uang

yang diterima Terdakwa dari suaminya melalui pentransferan tersebut

berasal dari hasil kejahatan, dalam hal ini narkotika. Maka, dengan

demikian unsur III : patut diduganya merupakan hasil kejahatan

narkotika, telah terbukti. Berdasarkan uraian dan pertimbangan-

pertimbangan tersebut diatas, maka seluruh unsur dakwaan alternatif

Kedua Lebih Subsidair, telah terbukti.

Sehingga keterangan saksi-saksi dan Terdakwa, telah

menimbulkan keyakinan bagi Majelis Hakim akan kesalahan Terdakwa,

sehingga dengan demikian Terdakwa telah terbukti bersalah secara sah

dan menyakinkan melakukan tindak pidana : “Menerima pentransferan,

membelanjakan harta kekayaan yang patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana narkotika“.

Sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu Majelis Hakim

akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang

meringankan :

Hal-hal yang memberatkan :

- bahwa perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat;

- bahwa perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program

Pemerintah yang sedang giat-giatnya tindak pidana pencucian uang.

Hal-hal yang memberatkan :

- bahwa Terdakwa belum pernah dihukum;

132

- bahwa Terdakwa bersikap sopan di persidangan;

- bahwa Terdakwa mengakui perbutannya, sehingga tidak menyulitkan

jalannya persidangan;

- bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidakakan

mengulanginya lagi

- bahwa Terdakwa mempunyai tanggunag keluarga yang masih

membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari Terdakwa.

Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan

pidana penjara selama : 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan, serta denda

sebesar Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan digantikan dengan

pidana kurungan selama : 2 (dua) bulan.

Sebenarnya, jika melihat Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang , di mana ada pengecualian terhadap pelaku pasif yang

tidak dapat dipidana, pasal tersebut menyatakan bahwa ketentuan

sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan

kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Terkait mengenai pengaturan kriteria pihak pelapor pada Pasal 17

Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, masih sebatas pada

133

penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan atau jasa lain. Ke

depan perluasan pengkategorian pelapor dalam wujud Peraturan

Pemerintah akan sangat jelas bila dilakukan dengan memperluas

penyedia jasa88

. Upaya itu akan memberikan kepastian hukum kepada

para artis sekaligus masyarakat biasa yang dengan itikad baik

melaporkan harta kekayaan yang diterimanya dari hasil kejahatan yang

belum diatur dalam Pasal 17 tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mengenai penerapan

unsur-unsur Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut,

sudah sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang terdapat dalam

Pasal 183 KUHAP, di mana hukum acara pidana Indonesia menganut

sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau negatief

wettelijk bewijsleer, yaitu seseorang baru boleh dipidana apabila hakim

telah yakin akan kesalahan terdakwa yang dibuktikan dengan alat bukti

yang sah menurut undang-undang. Jika dilihat dari Putusan tersebut, alat

bukti yang dihadirkan di persidangan merupakan alat bukti yang sah, dan

unsur-unsurnya terhadap Pasal 5 terpenuhi. Sehingga Majelis Hakim

berkeyakinan bahwa Terdakwa Lilik Hamidah telah terbukti melakukan

pencucian uang pasif atau sebagai pelaku pasif dengan tindak pidana asal

narkotika.

88

Hibnu Nugroho, 2013. “Honor Penyanyi Dangdut”. Suara Merdeka. 23 November 2013.

134

Keyakinan Majelis Hakim juga didukung dengan terpenuhinya

unsur mens rea nya, di mana dalam pembuktiannya melalui keterangan

saksi-saski, Terdakwa telah menerima pentransferan uang melalui

rekeningnya pada yang berasal dari suaminya yang merupakan Terdakwa

dalam Tindak pidana asal yaitu narkotika. Terdakwa mengetahui bahwa

suaminya melakukan pentransferan uang yang relatif cukup besar, yang

tidak sebanding dngan penghasilan suaminya. Sehingga Terdakwa

harusnya patut menduga bahwa uang tersebut berasal dari hasil

kejahatan. Selain itu juga terpenuhinya unsur actus reus nya, yaitu

dengan Terdakwa telah menggunakan uang transferan tersebut antara lain

untuk membangun tempat usaha. Sehingga keyakinan hakim dalam

menjatuhkan pidana kepada Terdakwa ini sudah sesuai dengan

menjatuhkan pidana penjara selama : 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan,

serta denda sebesar Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan digantikan

dengan pidana kurungan selama : 2 (dua) bulan.

135

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan No.

No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pembuktian terhadap pelaku pasif atas harta kekayaan dalam tindak

pidana pencucian uang pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda :

a. Beban Pembuktian terbalik bisa diterapkan terhadap Terdakwa Lilik

Hamidah, langkah ini merupakan alternatif hukum pembuktian yang

menjadi senjata ampuh untuk mengejar aset harta kekayaan yang

berasal dari dari hasil kejahatan.

b. Terdakwa Lilik Hamidah didasarkan pada alat-alat bukti yang

dihadirkan di persidangan, harusnya mengetahui telah menerima

uang transferan dari hasil bisnis narkotika suaminya bersama

rekannya yang ditransfer melalui rekening Terdakwa, jumlah uang

yang diterima oleh Terdakwa melalui pentranferan ke rekening Bank

BCA dengan No.Reg. 4650320773 miliknya, berjumlah

Rp.92.700.999,00.

2. Pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

Terhadap Pelaku Pasif pada Putusan No.603/Pid.Sus/2013/PN.Sda :

a. Terdakwa Lilik hamidah telah terbukti melanggar Pasal 5 Undang-

Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

136

Tindak Pidana Pencucian Uang, karena Terdakwa Lilik Hamidah

harusnya mengetahui telah menerima pentransferan uang melalui

rekeningnya pada yang berasal dari suaminya yang merupakan

Terdakwa dalam Tindak pidana asal yaitu narkotika. Terdakwa

mengetahui bahwa suaminya melakukan pentransferan uang yang

relatif cukup besar yang tidak sebanding dengan penghasilan

suaminya, sehingga Terdakwa Lilik Hamidah harusnya sudah patut

menduga uang dan harta kekayaan yang diterimanya merupakan hasil

dari tindak pidana narkotika yang dilakuakan suaminya.

b. Terdakwa Lilik Hamidah telah memenuhi unsur mens rea dan actus

reus, yaitu harusnya mengatahui harta kekayaan yang diterimanya

berasal dari hasil kejahatan dan telah menggunakan dan menguasai

harta kekayaan hasil dari kejahatan tersebut dan Majelis Hakim

memutus dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 4 bulan, serta

denda sebesar Rp.15.000.000,00 sudah sesuai.

B. Saran

Pembuktian terhadap pelaku pasif pencuaian uang yang sekarang

ini menjadi fokus perhatian penegak hukum dalam rangka pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang harus dilakukan

dengan cermat, teliti dan profesional terutama bagi para Hakim sebagai

pihak yang mengadili. Dengan diaturnya sistem beban pembuktian

terbalik pada tindak pidana pencucian uang menjadi langkah terobosan

dalam upaya pemberantasan yang lebih maksimal. Diharapkan proses

137

pembuktian ini bisa mengasilkan hasil yang lebih maksimal dan tentunya

pelaku aktif maupun pelaku pasif pencucian uang menjadi jera.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur :

Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi

di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses.

Amrullah, Arief. 2004. Money Laundering (Tindak Pidana Pencucian Uang).

Malang : Bayu Media.

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung :

P.T Alumni.

Danil, Elwi. 2012. Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya.

Jakarta : Rajawali Pers.

Darwin, Philips. 2012. Money Laundering (Cara Memahami Dengan Tepat dan

Benar Soal Pencucian Uang). Jakarta : Sinar Ilmu.

Fuady, Munir. 2006. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata. Bandung :

Citra Aditya.

Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

____________. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali) Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.

Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Malang : Cetakan Ketiga. Bayumedia Publishing.

Juwana, Hikmahanto. Bahan Kuliah Magister Hukum.Teori hukum. Jakarta : UI

Press.

Krisnawati, Deni, dkk. 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Jakarta:

Pena Pundi Aksara

Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut

Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Jakarta: Sinar

Grafika.

Makarao, Mohammad Taufik & Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam

Teori Dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencara Media

Group.

Masriani, Yulies Tiena. 2008. Pengantar Hukum Indonesi. Jakarta : Sinar

Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Yogyakarta:

Liberty.

Mulyadi, Lilik. 2011. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis,

Praktik dan Masalahnya, Bandung : Alumni.

Nasution, Bismar. 2008. Rezim Anti Money Laundering di Indonesia. Bandung :

BooksTerrace & Library.

Nugroho, Hibnu. 2002. Buku Ajar Pengantar Hukum Acara Pidana. Purwokerto

: Fakultas Hukum.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti.

Jakarta : Ghalia Indonesia.

Puspa, Yan Pramadya.1977. Kamus Hukum (Edisi Lengkap). Semarang : Aneka.

Salam, Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung :

Mandar Maju.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan

Pembiayaan Terorisme. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas

Indonesia (UI-Press).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1983. Penelitian Hukum Normatif ; Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Subekti, 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramitha.

Sunggono, Bambang. 2012. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali

Pers.

Sutarto, Soeryono. 1987. Teori Hukum Acara Pidana, Semarang : Yayasan

Cennekia Purna Dharma.

Sutedi, Adrian. 2007. “Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,

Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.

Wiyono, R. 2014. Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta : Sinar Grafika.

Yustiavandana, Ivan, Arman Nefi dan Adiwarman. 2010. Tindak Pidana

Pencucian Uang Di Pasar Modal. Bogor : Ghalia Indonesia.

Jurnal dan Artikel :

Ayumiati, “Tindak Pidana Pencucian Unag (Money Laundering) dan Strategi

Pemberantasannya”. Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum.

Legitimasi. Vol.1 No. 2. Januari-Juni 2012.

Halif. “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui

Undang-Undang Pencucian Uang”. Jurnal Anti Korupsi. PUKAT FHUJ.

Vol. 2 No. 2 November 2012.

Latief, Abdul. Tindak Pidana Korupsi dan Problematikanya Dalam Praktik

Penerapan Hukum. Majalah Hukum VARIA PERADILAN. Tahun XXVIII

No. 324 November 2012. Jakarta pusat : Ikatan Hakim Indonesia

(IKAHI).

Nasution, Anwar. Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering. Jurnal

Hukum Bsinis. Vol. 3. Tahun 1998.

Nugroho, Hibnu. 2013. “Honor Penyanyi Dangdut”. Suara Merdeka. 23

November 2013.

Sabatini. “Implementasi Undang-Undang Pencucian Uang (TPPU) di Indonesia

(Suatu Gambaran Tentang Pengetahuan dan Aplikasi Aparat Penyidik

Penuntut Umum dan PPATK)”. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 6

No.III Desember 2010.

Undang-Undang :

Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana.

________, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang.

________, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang.

________, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

________, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Wawancara :

Wawancara dengan Sutrisno Wibowo S.H., Direktorat Kerjasama dan Hubungan

Masyarakat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),

pada tanggal 15 September 2014.

Wawancara dengan Bobby Mokoginta S.H., Direktorat Kerjasama dan

Hubungan Masyarakat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK), pada tanggal 15 September 2014.

Internet :

http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/pencucian-uang-sebagai-

kejahatan_03.html?=1 (diakses tanggal 9 Maret 2014).

http://panduanhukum.blogspot.com/2012/05/pengertian-tindak-pidana-

pencucian-uang.html (diakses tanggal 11 Maret 2014).

http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang (diakses tanggal 3 Maret 2014).

http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html (diakses tanggal 11 Juni 2014).