putusan pengadilan yang menyatakan …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi...

Download PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI DWI... · Formulasi Surat Gugatan ... tangga yang damai dan teratur. 3 Hal ini senada

If you can't read please download the document

Upload: vudat

Post on 06-Feb-2018

232 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT

    DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI

    (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)

    SKRIPSI

    OLEH :

    DWI KANTININGSIH

    E1A009239

    KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    FAKULTAS HUKUM

    PUEWOKERTO

    2015

  • I

    PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT

    DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI

    (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)

    SKRIPSI

    Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu

    Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

    Universitas Jenderal Soedirman

    OLEH :

    DWI KANTININGSIH

    E1A009239

    KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    FAKULTAS HUKUM

    PUEWOKERTO

    2015

  • IV

    ABSTRAK

    Putusan Pengadilan Agama pada Pengadilan Agama Jambi atas perkara Nomor

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tertanggal 17 Juli 2013 tentang Gugat Cerai antara seorang ibu

    rumah tangga (istri) sebagai penggugat dan seorang laki-laki (suami ) sebagai tergugat, hakim

    memberikan pertimbangan hukum bahwa penggugat tidak hadir dalam persidangan yang

    telah ditentukan dan memberikan putusan gugatan penggugat Tidak Dapat Diterima (Niet

    Onvankelijk Verklaard). Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam pasal 124

    HIR/148 Rbg yang menyatakan bahwa jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah

    ditentukan atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri persidangan maka hakim dapat

    menjatuhkan putusan gugur. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan

    penelitian dengan mengambil judul skripsi PUTUSAN PENGADILAN YANG

    MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT

    CERAI (Suatu Tinjuan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi).

    Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-

    undangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujun untuk mengetahui pertimbangan

    hukum hakim dalam memutus Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai dan

    untuk mengetahui akibat hukum terhadap Gugatan Yang Tidak Dapat Diterima dalam

    perkara gugat cerai. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa majelis hakim

    pengadilan agama jambi dalam memutus perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tidak

    cermat karena pertimbangan hukum hakim atas ketidakhadiran penggugat dalam persidangan

    yang telah ditentukan maka seharusnya hakim menggunakan pasal 124 HIR/ 148 Rbg yakni

    menjatuhkan putusan Gugur bukan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima. Akibat hukum

    dari Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai, maka penggugat dapat

    mengajukan gugatan kembali ke persidangan dengan jalan memperbaiki atau menghilangkan

    cacat formil yang terdapat pada gugatan.

    Kata Kunci : Gugatan, Gugat Cerai, Putusan, Pengadilan Agama.

  • V

    ABSTRACT

    Religion court decision in Jambi Religion Court in case number :

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi date 17July 2013 about divorce lawsuit between a housewife

    (wife) as plaintiff and men as defendant, judges give legal consideration that plaintiff is

    absent in process of court which has been determined and give decision that lawsuit from

    plaintiff is unacceptable (Niet Onvankelijk Verklaard). It is not accordance with the

    regulation in article 124 HIR/148 Rbg which is state : if plaintiff is absent in the day of court

    that has been determined or does not sent representative to attend the court than judges can

    give droped decision. Based on the description, author has interest to do research by take

    title of the thesis DECISION OF COURT WHICH STATES THAT LAWSUIT IS

    UNACCEPTABLE IN DIVORCE LAWSUITCASE ( Judicial Review ofDecision Number :

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi).

    The type of research is normative juridical with approaching method is statute

    approach and analytical approach. This research has goal to know the legal considerations of

    judges to make unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case also to know legal

    consequences of unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case. Based on result of

    research obtained conclusion that judges of Jambi Religion Court in decision making process

    for case Number 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi were not meticulous because legal consideration

    of the judges about plaintiff absence in process of court which has been determined, so

    judges must use article 124 HIR/ 148 Rbg which givedroped decisionand it is not

    unacceptable lawsuit decision. Legal consequences of unacceptable lawsuit decision in

    divorce lawsuit case then plaintiff can resubmit the lawsuit to the court with fix or eliminate

    formal defect in that lawsuit.

    Key words : Lawsuit, Divorce Lawsuit, Judge Decision, Religion Court

  • VI

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrahmaanirrahim

    Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

    melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

    hukum (skripsi) berjudul PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN

    GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI(Suatu

    Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi).

    Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna

    memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada universitas jenderal soedirman

    purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari begitu banyak kekurangan dalam penulisan

    hukum ini, untuk itu penulis dengan besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.

    Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bimbingan, arahan,

    petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut

    membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis

    menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

    1. Bapak Slamet Nurudin dan Ibu Karsiti serta Kakak dan adikku Tercinta Wan Prihat

    Sasianto dan Dedi Akhmad Kurniawan yang telah memberikan dukungan baik moril

    maupun materiil.

    2. Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

    Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam meningkatkan kualitas

    Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya, sekaligus sebagai Pembimbing 1

    yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan

  • VII

    dan memberi masukan yang sangat berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat

    penulis selesaikan.

    3. Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan

    waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    4. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono , S.H.,M.H.S, selaku Dosen Pembimbing II, atas

    segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya skripsi

    ini.

    5. Bapak Pranoto, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan

    saran demi penyempurnaan skripsi ini.

    6. Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik.

    7. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

    yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang mana telah mengajarkan dan

    membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

    Jenderal Soedirman.

    8. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di

    Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

    9. Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi yang telah memberikan beasiswa penuh

    kepada penulis sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi

    Fakultas Hukum Unsoed hingga selesai.

    10. Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran (PMAT).

    11. Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran angkatan 2009.

    12. Teman-teman Unit Kerohanian Islam (UKI) Fakultas Hukum Unsoed.

    13. Teman-teman Keluarga Besar Mahasiswa Jambi (KBMJ).

    14. Keluarga besar Bapak Supardjo dan teman-teman wisma supardjo.

  • VIII

    15. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

    Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang telah

    diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat

    memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan akademis, praktisi

    serta masyarakat umum.

    Purwokerto, Februari 2015

    Penulis,

    Dwi Kantiningsih

  • IX

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

    LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

    LEMBAR PERNYATAAN. ............................................................................ iii

    ABSTRAK........................................................................................................ iv

    ABSTRACT................ ..................................................................................... v

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

    DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

    BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    A. Latar Belakang .................................................................... 1

    B. Perumusan Masalah ............................................................ 7

    C. Tujuan Penelitian ................................................................ 8

    D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 8

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 10

    A. Kompetensi Pengadilan Agama ............................................ 10

    1. Kompetensi Relatif ........................................................ 10

    2. Kompetensi Absolut ..................................................... 12

    B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama .......................... 14

    C. Gugatan .............................................................................. 16

    1. Pengertian Gugatan ...................................................... 16

    2. Formulasi Surat Gugatan .............................................. 17

    3. Tata Cara Mengajukan Gugatan ................................... 17

    4. Perceraian .................................................................... 20

    D. Tata Cara Panggilan ............................................................ 21

  • X

    1. Pengertian Panggilan .................................................... 21

    2. Tahap Pemanggilan ...................................................... 23

    E. Putusan Hakim .................................................................... 28

    1. Pengertian Putusan ........................................................ 28

    2. Putusan Gugur ............................................................... 29

    3. Putusan Verstek ............................................................. 31

    4. Putusan Contradictoir .................................................... 32

    5. Kekuatan Putusan .......................................................... 34

    6. Sifat Putusan ................................................................. 35

    7. Susunan Dan Isi Putusan ................................................ 39

    8. Putusan Pengadilan Agama ........................................... 40

    BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 43

    A. Tipe Penelitian .................................................................... 43

    B. Metode Penelitian ............................................................... 43

    C. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 43

    D. Sumber Bahan Hukum ........................................................ 44

    E. Metode Penyajian Hukum ................................................... 45

    F. Metode analisa bahan hukum .............................................. 45

    BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 50

    A. Hasil Penelitian ................................................................... 50

    B. Pembahasan ........................................................................ 55

    BAB V. PENUTUP .................................................................................... 71

    A. Kesimpulan .............................................................................. 71

    B. Saran ........................................................................................ 72

    DAFTAR PUSTAKA

  • 2

    keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, oleh karena itu dalam

    pelaksanaan perkawinan memerlukan norma hukum yang mengaturnya.

    Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan

    dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing

    anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

    Menurut Hukum Islam perkawinan (pernikahan) adalah suatu akad yaitu

    akad yang menghalalkan pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak

    dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan

    yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila seorang pria dan seorang

    perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu rumah tangga,

    maka hendaknya kedua calon suami isteri tersebut terlebih dahulu melakukan

    akad nikah.1Menurut pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan

    yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Guna

    mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu adanya landasan

    yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur,

    hal ini dituangkan dalam suatu Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi

    semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.2

    Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur tentang Perkawinan yang

    tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

    telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu Tentang

    Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan

    1 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-

    undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm.11 2Ibid, hlm. 12.

  • 3

    Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 TentangKompilasi Hukum Islam (KHI)

    serta peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan. Perkawinan mempunyai

    tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

    berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

    Undang-Undang Perkawinan. Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu

    diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu.

    Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang

    berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk

    itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.

    Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk

    memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah

    tangga yang damai dan teratur.3 Hal ini senada dengan firman Allah dalam Al

    Quran Surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: "Dan di antara tanda-tanda

    kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu

    sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-

    Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

    benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berfikir".

    Di dalam mengarungi bahtera rumah tangga banyak sekali hal hal yang

    harus dihadapi oleh pasangan suami isteri dan ketika Kondisi rumah tangga

    mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami istri sudah tidak dapat lagi di

    damaikan maka perceraianlah yang kerap menjadi solusi terbaiknya. Undang-

    3 Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hlm. 12-

    18.

  • 4

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi

    mengenai perceraian secara khusus namundidalam Pasal 39 ayat (2) Undang-

    UndangTentang Perkawinan serta penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa

    perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah

    ditentukan.Ada dua macam perceraian sesuai dengan Undang-Undang Tentang

    Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 41, yaitu :

    1. Cerai gugat

    Cerai gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini

    sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada sang suami.

    2. Cerai talak

    Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal

    ini sang suami memberikan talak kepada sang istri.

    Alasan-alasan perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1

    Tahun 1974 disebutkan dalam Pasal 39, Penjelasan Undang-Undang Perkawinan

    yang diulangi dalam Pasal 19 peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah

    Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam yang

    mengatakan :

    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

    penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

    2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-

    turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal

    lain di luar kemampuannya.

  • 5

    3. Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat

    setelah perkawinannya berlangsung.

    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

    membahayakan pihak lain.

    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

    tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.

    6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

    dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.

    Dilihat dari Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, ada tambahan dua sebab

    perceraian yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative

    penting karena sebelumnya tidak ada.

    Dalam perkara perceraian, Indonesia memiliki dua lembaga peradilan yang

    dapat menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu Pengadilan Negeri dan

    Pengadilan Agama. Bagi warga negara indonesia yang beragama non islam dapat

    mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Negeri sedangkan warga negara

    indonesia yang beragama islam dapat mengajukan gugatan cerai kepada

    Pengadilan Agama dalam hal ini sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor

    50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Dalam menyelesaikan perkara

    perceraian ini hakim memiliki peran yang sangat penting karena hakim memiliki

    tugas seperti yang telah termuat dalamUndang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009

    Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa tugas

    hakim dalam peradilan adalah membantu dan berusaha mengatasi segala

    hambatan dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat,

  • 6

    dan biaya ringan. Tugas hakim pada pokoknya adalah menerima, memeriksa dan

    mengadili sesuatu menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim

    tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

    kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas sesuai

    dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Pengadilan Agama Jambi yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

    dengan Nomor Register 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi pada tanggal 17 Juli 2013

    telah menjatuhkan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk

    Verklaart) atas permohonan gugat cerai yang diajukan oleh seorang ibu rumah

    tangga ke Pengadilan Agama Jambiyang selanjutnya di sebut sebagai penggugat

    kepada seorang laki-laki (suami dari ibu rumah tangga) yang selanjutnya di sebut

    sebagai tergugat.

    Duduk perkaranya bahwa antara Penggugat Dan Tergugat adalah suami istri

    yang sah dan telah melangsungkan pernikahan di jawa pada tanggal 21 mei 1980,

    yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA)

    sebagaimana bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah tertanggal 23 mei 1980,

    yang dikeluarkan oleh KUA SemendoPenggugat, Jawa timur. Pada awalnya

    mereka hidup dengan baik selayaknya suami istri sehingga di karuniai seorang

    anak. Namun pada tahun 2007 Tergugat pergi meninggalkan Penggugat tanpa

    memberi tahu Penggugat kemana tujuan alamatnya sampai sekarang lebih kurang

    6 tahun lamanya. Atas sikap dan/ atau perbuatan Tergugat tersebut, telah sangat

    menderita lahir maupun bathin dan atas sikap dan/ atau perbuatan Tergugat

  • 7

    tersebut Tergugat telah melanggar kewajibannya dan melanggar sighat taklik talak

    oleh sebab itu Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jambi.

    Dalam putusan Perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi peneliti tertarik

    meneliti putusan tersebut karenadi peroleh beberapa fakta hukum yaituTergugat

    tidak dipanggil secara patut, Penggugat atau wakil kuasanyatidak hadir pada hari

    sidang yang telah ditentukan dan berdasarkan berita acara panggilan relaas

    ternyata Penggugat tidak bertempat tinggal sesuai dengan surat gugatan

    penggugat. Berdasarkan peraturan yang termuat dalam Pasal 122 HIR/146 RBg,

    Pasal 124 HIR/148 RBg dan Pasal 126 HIR/15o RBg Hakim dapat menjatuhkan

    putusan gugur. Namun , pada kenyataannya Hakim Pengadilan Agama Jambi

    telah menjatuhkan putusanGugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk

    Verklaart) atas permohonan gugat cerai yang dilakukan oleh Penggugat. Putusan

    tersebut mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul

    Putusan Pengadilan Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima

    Dalam Perkara Gugat Cerai (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan

    Nomor: 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)

    B. Perumusan Masalah

    1. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus gugatan tidak dapat

    diterima dalam perkara gugat cerai pada putusan Nomor

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi ?

    2. Bagaimana akibat hukum terhadap gugatan yang tidak dapat diterima

    dalam perkara gugat cerai pada putusan Nomor

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi ?

  • 8

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah :

    1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus

    gugatan yang tidak dapat diterima dalam perkara gugat cerai dalam

    putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.

    2. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan terhadap parapihak

    dalam perkara gugat cerai pada putusan Nomor

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.

    D. Kegunaan Penelitian

    Penelitian mengenai gugatan tidak dapat diterima mempunyai kegunaan

    untuk :

    1. Secara teoritis

    a. Memperluas pengetahuan dan menambah referensi mengenai

    gugatan tidak dapat diterima.

    b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan

    terhadap kajian-kajian dibidang hukum acara perdata.

    2. Secara praktis

    a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

    penulis dan dapat digunakan khususnya kepada hakim dalam

    mempertimbangkan materi muatan gugatan.

  • 9

    b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan

    bagi para pihak dalam perkara, hakim, advokat, maupun

    masyarakat mengenai gugatan yang tidak dapat diterima.

  • 10

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kompetensi Pengadilan Agama

    Kompetensi seringkali disebut juga dengan kekuasaan.

    kompetensi berasal dari bahasa Belanda competentie, yang terkadang

    diterjemahkan juga dengan kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut

    dianggap semakna.

    Berbicara tentang kompetensi peradilan dalam kaitannya dengan hukum

    acara perdata, biasanya menyangkut dua hal yaitu :

    1. Kompetensi Relatif

    Kompetensi relatif diartikan sebagai kompetensi pengadilan

    yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan

    kompetensi Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya,

    misalnya antara Pengadilan Negeri Magelang dengan pengadilan

    negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan

    Pengadilan Agama Baturaja.4

    Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi

    :

    Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota

    4 Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.

  • 11

    kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya

    atau kabupaten.

    Pada penjelasan pasal 4 ayat (1) berbunyi :

    pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada

    dikotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya

    meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak

    tertutup kemungkinan adanya pengecualian.

    Sesuai dengan yang telah di uraikan di atas bahwasannya tiap-

    tiapPengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau

    dikatakan mempunyai yurisdiksi relatif tertentu, dalam hal ini

    meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan

    tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang.

    Contoh, dikabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan

    Agama, karena kondisi transportasi sulit. Yurisdiksi relatif ini

    mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama

    mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak

    eksepsi tergugat.

    Menurut teori umum hukum acara perdata peradilan umum

    (tentang tempat mengajukan gugatan) , apabila Penggugat

    mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja,

    diperbolehkan dan Pengadilan Negeri tersebut masih boleh memeriksa

    dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari

    pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat)

  • 12

    memilih untuk berperkara dimuka pengadilan negeri mana saja yang

    mereka sepakati.Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas

    dinyatakan lain. Pengadilan Negeri dalam hal ini, boleh menerima

    pendaftaran perkara tersebut disamping boleh pula menolaknya.

    Namun, dalam praktek, Pengadilan Negeri sejak dari semula sudah

    tidak berkenan menerima gugatan/ permohonan semacam itu,

    sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya

    gugatan / permohonan itu di ajukan.

    Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk

    Pengadilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang

    Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor

    7 Tahun 1989.

    Sebelum Peradilan Agama mempunyai kompetensi absolut yang

    seragam diseluruh indonesia , Peradilan Agama tidak dapat menerima

    ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara

    yang misalnya enjadi kompetensi absolut Peradilan Agama di pulau

    sumatera belum tentu juga menjadi kompetensi absolut Peradilan

    Agama di pulau jawa, misalnya dalam perkara waris.

    2. Kompetensi Absolut

    Kompetensi absolut artinya kompetensi pengadilan yang

    berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan

  • 13

    pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis

    pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.5

    Misalnya, Pengadilan Agama yang berkompetensi memeriksa dan

    mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung

    berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.

    Banding dari Pengadilan Agama di ajukan Ke Pengadilan Tinggi

    Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.

    Terhadap kompetensi absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan

    untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk

    kompetensi absolutnya atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk

    kompetensi absolutnya, pengadilan agama dilarang menerimanya. Jika

    Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat

    mengajukan keberatan yang di sebut eksepsi absolut dan jenis

    eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan

    bahkan boleh diajukan kapan saja, malahan sampai ditingkat banding

    atau ditingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk

    salah satu diantara tiga alasan yang membolehkan orang memohon

    kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk

    membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas

    kompetensi absolutnya. 6

    5 Ibid, Hal 27

    6Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2009

  • 14

    B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

    Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping

    sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi

    wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara untuk mewujudkan

    hukum materiil islam dalam batas-batas kekuasaannya.

    Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan

    mengadili serta menyelesaikan perkara dan fungsinya (menegakkan hukum

    dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan acara

    yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga

    acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal islam yang

    belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara

    Indonesia). Namun, kini setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun

    2009 atas perubahan kedua Undang-Undang Nomor.

    7 Tahun 1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, maka

    hukum acara Peradilan Agama menjadi kongkrit. Pasal 54 dari Undang-

    Undang tersebut berbunyi:

    Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

    Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam

    lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus

    dalam undang-undang ini.

    Menurut Pasal diatas, hukum acara Peradilan Agama sekarang

    bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat

    dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas

  • 15

    Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan

    Peradilan Umum.

    Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara

    perdata peradilan umum, antara lain:

    1. HIR (Het Herziene Inlandsche Regelement) atau disebut juga RIB

    (Regelement Indonesia Yang Di Perbaharui).

    2. RBg (Recht Regelement Buitegewesten) atau disebut juga Regelemen

    untuk daerah seberang, maksudnya untuk luar jawa-madura.

    3. Rsv (Regelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman

    jajahan belanda dahulu berlaku untuk Raad Van Justitie.

    4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga kitab Undang-Undang

    Hukum Perdata Eropa.

    5. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Tentang Peradilan Umum.

    Peraturan Perundang-Undangan tentang acara perdata yang sama-

    sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama,

    adalah:

    1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Ketentuan-

    Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

    2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 , Tentang Mahkamah Agung.

    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaannya.7

    7Roihan Rasyid, Op-Cit. Hal 20-21

  • 16

    C. Gugatan

    1. Pengertian Gugatan

    Menurut Darwan Prints, SH., gugatan adalah suatu upaya atau

    tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk

    melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian

    yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan.

    Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH., mengemukakan

    bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan

    memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk

    mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting).

    Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu

    permohonan yang disampaikan kepada pengadilan yang berwenang

    tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai

    dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.8 Dalam hal

    gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak penggugat atau

    parapenggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para

    turut tergugat.

    8Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, 2006,

    Prenanda Media Group, Jakarta, Hal. 1.

  • 17

    2. Formulasi Surat Gugatan

    Formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat

    gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan

    hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan

    dengan itu, dalam uraian ini akan dikemukakan berbagai ketentuan

    formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan. Syarat-

    syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai dengan

    sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang

    benar, apa yang dikemukakan Prof.Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118

    HIR/ 142 RBg dan Pasal 120 HIR/144 RBg, tidak menetapkan syarat

    formulasi atau isi gugatan.9 Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan

    praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang

    jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem

    dagvaarding.

    1. Identitas para pihak (penggugat/ pemohon dan tergugat/

    termohon :

    a. Nama (beserta bin/binti dan aliasnya),

    b. Umur,

    c. Agama,

    d. Pekerjaan

    9Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradyana Paramita, Jakarta, 1993. Hal. 24

  • 18

    e. Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak

    diketahui hendaknya ditulis, Dahulu bertempat di....tetapi

    sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.

    f. Kewarganegaraan (jika perlu).10

    2. Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan

    penjelasan yang berhubugan dengan hukum yang dijadikan

    dasar/ asalan gugat. Posita memuat :

    a. Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum.

    b. Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan

    merupakan keharusan. Hakimlah yang harus

    melengkapinya dalam putusan nanti.

    3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat/ pemohon

    agar dikabulkan oleh hakim.

    Ketua/ hakim dapat membantu Penggugat / Pemohon atau

    kuasanya dalam hal mengajukan gugatan / permohonan (Pasal 143

    RBg / Pasal 119 HIR).11

    3. Tata Cara Mengajukan Gugatan

    Tata cara mengajukan gugatan di atur dalam Pasal 119 HIR atau

    Pasal 143 RBg, yaitu :

    1. Gugatan ditujukan kepada ketua pengadilan

    10

    Mukti Arto, Op.Cit. Hal.40 11

    Mukti Arto, Loc.Cit.Hal. 41.

  • 19

    Gugatan dialamatkan kepada ketua pengadilan dengan

    permintaan, agar pengadilan:

    a. Menentukan hari persidangan, dan

    b. Memanggil penggugat dan tergugat, serta

    c. Memeriksa perkara yang diajukan penggugat kepada

    tergugat.

    2. Gugatan disampaikan kepada kepaniteraan pengadilan.

    Sekalipun gugatan ditujukan dan dialamatkan kepada ketua

    pengadilan, tetapi penyampaiannya dimaksukkan kepada

    panitera pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 121 ayat (1)

    HIR atau Pasal 145 ayat (1) RBg.

    3. Pemohon wajib lebih dulu membayar ongkos perkara.

    Lebih lanjut Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 ayat (4) RBg

    menegaskan, salah satu syarat formal gugatan, agar penggugat

    telah membayar panjar ongkos perkara. Selama penggugat

    belum melunasi panjar ongkos perkara berdasar perhitungan

    yang diperkirakan pengadilan, gugatan tidak boleh didaftar

    dalam buku register perkara, dan gugatan dianggap belum ada.

    Perhitungan panjar ongkos perkara yang disebut dalam

    Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 RBg, berpatokan pada

    taksiran biaya kantor kepaniteraan dan ongkos-ongkos

    melakukan segala jenis panggilan dan pemberitahuan serta biaya

    materai. Memperhitungkan biaya pemanggilan atau

  • 20

    pemberitahuan didasarkan kepada keadaan setempat.

    Tergantung pada jarak pihak-pihak yang hendak dipanggil. Jika

    jaraknya jauh, perhitungan sesuai dengan ongkos perjalanan

    yang umum. Jangan diambil perhitungan biaya transportasi yang

    mahal seperti taksi dan sebagainy, jika tempat itu dapat dicapai

    dengan pengangkutan bis umum.

    Ketentuan biaya perkara yang diatur dalam pasal HIR atau

    RBg, diperjelas lagi dalam Undang-Undang Nomor 50 Thun

    2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

    1989. Dalam pasal ini dirinci apa saja yang menjadi dasar

    perhitungan jumlah biaya perkara :

    a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai yag diperlukan

    untuk perkara itu ;

    b. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya

    pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu ;

    c. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan

    setempat dan tindakan lain yang diperlukan oleh

    pengadilan dalam perkara itu ;

    d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain.

    4. Perceraian

    Perceraian adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri

    yang telah melangsungkan pernikahan secara sah tidak dapat lagi

  • 21

    mempertahankan perkawinannya dengan cara mengajukan

    permohonan cerai kepada pengadilan dikarenakan adanya sebab-sebab

    tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ada dua macam

    perceraian yang disebutkan dalam Pasal 39-41 Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :

    a. Cerai gugat

    Cerai gugat adalah terputusnyaikatan suami istri dimana dalam

    hal ini sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada suami.

    b. Cerai talak

    Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam

    hal ini sang suami memberikan talak kepada istri.

    D. Tata Cara Panggilan

    1. Pengertian Panggilan

    pengertian panggilan dalam hukum acara perdata :

    menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada

    pihak-pihak yag terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar

    memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan

    majelis hakim atau pengadilan. Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat

    (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya

    panggilan yang dilakukan juru sita yang di anggap sah dan resmi.

    Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR/145

  • 22

    RBg di perolehnya lewat perintah ketua (Majelis hakim) yang

    dituangkan dalam penetapat hari sidang atau penetapan

    pemberitahuan. Pemanggilan atau panggilan (convocation,

    convocatie) dalam arti sempit dan sehari-hari sering diidentikan,

    hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang pada hari yang

    ditentukan. Akan tetapi, dalam hukum acara perdata, sebagaimana

    dijelaskan Pasal 388 HIR, pengertian panggilan meliputi makna dan

    cakupan yang lebih luas, yaitu :

    a. Panggilan sidang pertaa kepada penggugat dan tergugat;

    b. Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau

    salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik

    tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;

    c. Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah

    satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak

    dapat mengahdirkan saksi yang penting ke persidangan);

    d. Selain daripada itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga

    tindakan hukumpemberitahuan atau aanzegging (notification),

    antara laian :

    a) Pemberitahuan putusan PT dan MA,

    b) Pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding,

    c) Pemberitahuan memori banding dan kontra memori

    banding, dan

  • 23

    d) Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi

    kepada termohon kasasi.

    Dalam hal ini, kepada seseorang disampaikan pesan atau

    informasi agar dia tahu tentang sesuatu hal yang hendak dilakukan

    oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang akan dilakukan

    pengadilan. Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan

    meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan

    undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan

    berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.12

    2. Tahap Pemanggilan

    Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya,

    registrasi, penetapan hari majelis tentang hari sidang, tahap

    selanjutnya tindakan pemanggilan pihak penggugat dan tergugat untuk

    hadir didepan persidangan pengadilan (hearing) pada hari dan jam

    yang ditentukan.

    Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu

    diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti

    yang dimaksud di bawah ini :

    a. Majelis Memerintahkan Panggilan

    Setelah menerima pelimpahan berkas dari ketua PA, majelis

    segera menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti

    12

    Yahya Harahap, Op.Cit Hal213-214

  • 24

    pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk

    memanggil kedua belah pihak (penggugat dan tergugat), supaya

    hadir didepan sidang pengadilan pada waktu yang ditentukan

    untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR/ 145 RBg,

    pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga

    menghadirkan saksi-saksi mereka.13

    b. Yang Melaksanakan Panggilan

    Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan

    atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal

    388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 v :

    a) Dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif

    yang di milikinya;

    b) Jika orang yang hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi

    relatif yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan

    berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan

    pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah

    hukum tersebut.

    Dari penjelasan di atas, kewenangan atau yurisdiksi relatif

    juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif PN tempatnya berfungsi.

    Pemanggilan yang dilakukan juru sita diluar yurisdiksi relatif

    13

    Ibid, Hal. 219

  • 25

    yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas

    wewenang (exceeding its power), dan berakibat :

    a) Pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan

    b) Atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat

    juru sita yang tidak berwenang (unauthorized bailiff).

    Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor

    49 Tahun 2009, secara formil jabatan fungsional juru sita telah

    merupakan salah satu subsistem dalam organisasi PN. Fungsi

    utamanya, mambantu panitera melaksanakan pemanggilan,

    pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.14

    c. Bentuk Panggilan

    Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv,

    panggilan dilakukan dalam bentuk :

    a) Surat tertulis (in writing),

    b) Lazim disebut surat panggilan atau relaas panggilan

    maupun berita acara panggilan, dan

    c) Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral),

    karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu,

    panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum.

    Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tertulis, perlu

    diperhatikan perluasan jangkauan yang diatur dalam Pasal 2 ayat

    14

    Ibid, Hal. 219-220

  • 26

    (3) Rb sebagai pedoman. Pasal ini membenarkan bentuk tertulis,

    meliputi :

    a) Telegram, dan

    b) Surat mencatat.15

    d. Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat

    Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR/ 145

    RBg dan Pasal 1 Rv yang menjelaskan, surat panggilan pertama

    berisi :

    a) Nama yang dipanggil,

    b) Hari dan jam serta tempat tinggal,

    c) Membawa saksi-saksi yang diperlukan,

    d) Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan

    e) Penegasan, dapat enjawab gugatan dengan surat.

    Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif.

    Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif.

    Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya,

    mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak

    sah.

    Akan tetapi, untuk menghindari proses peradilan yang

    terlampau bercorak sempit dan kaku, jika salah satu di antaranya

    tidak tercantum, dapat ditolerir, asalkan kelalaian itu tidak

    15

    Ibid, Hal. 220

  • 27

    mengenai nama orang yang dipanggil dan hari, serta tempat

    sidang. Kalau jamnya yang tidak disebut, masih bisa ditolerir

    atas alasan, secara umum dan masuk akal sehat, semua orang

    tahu jam persidangan pengadilan menurut kebiasaan

    berlangsung dari jam 9 sampai 14.

    Bagaimana kalau yang dilalaikan itu mengenai mambawa

    saksi, surat-surat atau penjelasan dapat menjawab gugatan

    secara tertulis? Secara hukum kelalaian atas hal-hal tersebut,

    dapat dikategorikan pelanggaran HAM (hak asasi manusia)

    tergugat tanpa alasan, panggilan telah melenyapkan hak-hak

    yang diberikan hukum kepadanya untuk membela dan

    mempertahankan haknya didepan persidangan pengadilan.

    Namun demikian, secara realitis, hal itu tidak mutlak mematikan

    HAM tergugat. Karena, haknya untuk menjawab,

    menghadapkan saksi, dan menyampaikan dokumen, tetap

    terbuka lebar, sejak proses persidangan dimulai. Oleh karena itu,

    secara realitis dan objektif, kelalaian yang demikian tidak

    mengakibatkan panggilan tidak sah.

    Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal

    121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk :

    a) Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan,

    dan

  • 28

    b) Salinan tersebut, dianggap gugatan asli.16

    E. Putusan Hakim

    1. Pengertian Putusan

    Menurut sistem HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan

    Rbg (rechts reglement Buitengewesten) Hakim mempunyai peranan

    aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara.

    Hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang

    mengajukan gugatannya ke pengadilan (Pasal 119 HIR-143 Rbg)

    dengan maksud supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas

    persoalannya dan memudahkan Hakim dalam memeriksa perkara

    itu.17

    Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,

    sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, di ucapkan di

    persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan

    suatu perkara atau sengketa antara para pihak.18

    Menurut Sudikno Mertokusumo putusan hakim adalah suatu

    pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi

    wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk

    mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara

    para pihak.

    16

    Ibid, Hal 221 17

    Abdulkadir Mahmud, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

    1990.Hal 21. 18

    Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit . Hal. 175

  • 29

    Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang

    telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk

    putusan tertulis maupun lisan (Andi Hamzah, 1986: 485).

    Menurut Darwan Prints, putusan merupakan hasil akhir dari

    pemeriksaan perkara di pengadilan.19

    2. Putusan Gugur

    Bentuk putusan ini diatur dalam Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg. Jika

    penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, atau

    tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil

    dengan patut, dalam kasus yang seperti itu :

    Hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan

    menggugurkan gugatan penggugat,

    Berbarengan dengan itu, penggugat dihukum membayar biaya

    perkara.

    Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut, dijelaskan

    dalam pasal 77 Rv:

    1) Pihak tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud Putusan

    pengguguran gugatan yang didasarkan atas keinginan penggugat

    menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind

    vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan meskipun

    pokok perkara secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri

    19

    Darwan Prints, Op.Cit.Hal 205

  • 30

    pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu

    sebabnya undang-undang menyatakan pihak tergugat tidak dapat

    diajukan perlawanan atau verzet.

    2) Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan

    perlawanan atau verzet. Terhadap putusan tersebut, tertutup hak

    penggugat untuk mengajukan perlawanan atau verzet. Sifat

    putusannya :

    a. Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula

    mengikat kepada para pihak atau find and binding.

    b. Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga

    tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan

    banding atau kasasi.

    3) Penggugat dapat mengajukan gugatan baru Satu-satunya jalan

    yang dapat ditempuh penggugat menghadapi putusan

    pengguguran gugatan, hanya:

    a. Mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara

    yang sama, karena dalam putusan pengguguran gugatan

    tidak melekat ne bis in idem, sehigga dapat lagi diajukan

    sebagai perkara baru.

    b. Dan untuk itu, penggugat dibebani membayar biaya

    perkara karena biaya yang semula telah dibayarkan untuk

    gugatan yang digugurkan.

  • 31

    Mengenai hal ini telah dibahas secukupnya dalam uraian

    pengguguran gugatan sebagai salah satu bagian dari pembahasan

    ruang lingkup gugatan contentiosa.20

    3. Putusan Verstek

    Bentuk putusan ini diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR/149

    RBg. Pasal ini memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan

    putusan verstek :

    Apabila pada sidang pertama pihak tergugat tidak hadir

    menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah,

    Padahal sudah di panggil oleh juru sita secara patut, kepadanya

    dapat dijatuhkan putusan verstek.

    Putusan verstek merupakan kebalikan pengguguran

    gugatan yakni sebagai hukuman yang diberikan undang-undang

    kepada tergugat atas keingkarannya menghadiri persidangan yang

    ditentukan. Bentuk hukuman yang dikenakan kepada tergugat atas

    keingkarannya yaitu :

    1) Dianggap mengakui dalil gugatan penggugat secara murni dan

    bulat berdasarkan Pasal 174 HIR, Pasal 1925 KUH Perdata,

    2) Atas dasar anggapan pengakuan itu, gugatan penggugat

    dikabulkan, kecuali jika gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar

    hukum.

    20

    Yahya Harahap, Op.Cit. Hal. 873-874

  • 32

    Cuma, kepada penggugat yang dijatuhi putusan verstek, masih :

    Diberi hak mengajukan perlawanan atau verzet,

    Dan hal itu dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari

    dari tanggal pemberitahuan putusan verstek kepada

    tergugat.21

    4. Putusan Contradictoir

    Bentuk putusan ini dikaitkan atau ditinjau dari segi kehadiran

    para pihak pada saat putusan diucapkan. Ditinjau dari segi ini, terdapat

    dua jenis putusan kontradiktor.

    1) Pada saat putusan diucapkan para pihak hadir Pada waktu

    putusan dijatuhkan dan diucapkan hakim, pihak penggugat dan

    tergugat atau kuasa mereka sama-sama datang menghadiri

    persidangan namun

    Kemungkinan pada sidang-sidang yang lalu, salah satu

    pihak, penggugat atau tergugat pernah tidak datang

    menghadiri persidangan,

    Dan pada saat putusan diucapkan, kedua belah pihak

    datang menghadiri persidangan maka bentuk putusan yang

    dijatuhkan berbentuk kontradiktor.

    21

    Ibid, Hal. 874

  • 33

    Jadi yang menentukan apakah putusan itu berbentuk

    kontradiktor adalah faktor kehadiran para pihak pada saat

    putusan diucapkan hakim.

    2) Pada saat putusan di ucapkan salah satu pihak tidak hadir.

    Bentuk ini merupakan variabel dari putusan kontradiktor yang

    pertama, dan rujukannya mengacu pada ketentuan Pasal 127

    HIR/ 151 Rbg dengan tata cara sebagai berikut:

    Baik pada sidang pertama maupun pada sidang-sidang

    berikutnya, pihak yang bersangkutan selalu hadir dalam

    persidangan atau mungkin juga pada salah satu sidang

    tidak hadir, sehingga hakim menerapkan proses

    pemeriksaan op tegenspraak atau pada sidang-sidang yang

    lain selalu hadir,

    Akan tetapi pada saat putusan diucapkan, pihak tersebut

    atau salah satu pihak tidak hadir, maka dalam kasus yang

    seperti ini, putusan yang dijatuhkan adalah berbentuk

    putusan kontradiktor, bukan putusan verstek.

    Misalkan, pada saat putusan diucapkan, pihak tergugat

    atau penggugat tidak hadir dalam persidangan, ketidakhadiran

    itu tidak merubah putusan dari bentuk kontradiktor menjadi

    verstek. Oleh karena itu, Pasal 127 HIR/ 151 RBg dan Pasal 81

    Rv memperingatkan, terhadap putusan kontradiktor yang

    dijatuhkan tanpa dihadiri salah satu pihak :

  • 34

    Tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet,

    Upaya hukum yang dapat diajukan adalah permintaan

    banding atau upaya hukum biasa.22

    5. Kekuatan Putusan

    HIR (Het herziene indonesisch reglement) tidak mengatur

    tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam

    kekuatan:

    a. Kekuatan mengikat

    Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya

    mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917 KUH Perdata).

    Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa

    teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan

    mengikat daripada putusan.

    b. Kekuatan pembuktian

    Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk

    tulisan, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk

    dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang

    mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau

    pelaksanaannya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum

    22

    Yahya Harahap, Loc.Cit, Hal. 874-875

  • 35

    pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh

    suatu kepastian tentang sesuatu.

    c. Kekuatan eksekutorial

    Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu

    persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini

    tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya

    saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya

    (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu

    putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila

    putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena

    putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk

    kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan

    eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang

    ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

    Bahwa kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang

    Maha Esa memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-

    putusan pengadilan di Indonesia.

    6. Sifat Putusan

    Menurut Darwan Prints, putusan diklasifikasikan sebagai berikut :

    1) Interlocotoir Vonis

  • 36

    Interlocotoir Vonis (putusan sela), adalah putusan yang belum

    merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotoir Vonis) itu

    dapat berupa :

    a. Putusan Provisional (Tak Dim)

    Putusan Provisionil (Tak Dim), adalah putusan yang

    diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok

    perkara; karena adanya alasan-alasan yang mendesak itu.

    Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, dimana

    gugatan pokoknya adalah mohon cerai, akan tetapi

    sebelum itu karena suami yang digugat itu telah

    melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada

    istrinya itu, maka si suami tersebut terlebih dahulu

    dihukum untuk membayar nafkah kepada istrinya itu,

    sebelum putusan akhir terhadap gugatan cerai itu.

    Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang

    untuk berperkara secara cuma-Cuma (Pro Deo) sesuai

    Pasal 235 HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan

    Provisional.

    b. Putusan Prepatoir

    Putusan Prepatoir, adalah putusan sela guna

    mempersiapkan putusan akhir. Misalnya putusan yang

    menolak/ mengabulkan pengunduran sidang, karena alasan

    yang tidak tepat/ tidak dapat diterima (AT. Hamid 1984:

  • 37

    209). Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan pendapat

    tentang pengunduran sidang antara penggugat dengan

    tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus

    mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu.

    c. Putusan Insidental

    Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil

    secara insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian

    kuasa dari salah satu pihak (AT. Hamid 1984 : 269).

    Terhadap putusan sela atau belum merupakan putusan

    akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara

    tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama

    dengan permohonan banding terhadap putusan akhir

    (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974). Logika

    pelarangan permohonan banding terhadap putusan sela

    secara terpisah dari pokok perkara, adalah untuk

    menghindarkan berlarut-larutnya perkara dipengadilan.

    2) Putusan Akhir

    Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa :

    a. Niet Onvankelijk Verklaart

    Niet onvankelijk verklaart berarti tidak dapat diterima,

    yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa

    gugatan penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-

  • 38

    alasan pengadilan mengambil keputusan menyatakan

    suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah :

    a) Gugatan tidak berdasar hukum;

    b) Gugatan tidak patut;

    c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/

    ketertiban umum;

    d) Gugatannya salah;

    e) Gugatannya kabur;

    f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;

    g) Objek gugatannya tidak jelas;

    h) Subjek gugatannya tidak lengkap;

    i) Dan lain-lain

    b. Tidak berwengan mengadili

    suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak

    berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut

    maupun kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan

    tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili

    gugatan itu. Oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak

    dapat diterima.

    c. Gugatan dikabulkan

    Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan

    akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila

    gugatan terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya

  • 39

    terbukti sebagian, maka akan dikabulkan sebagian pula

    sepanjang yang dapat dibuktikan itu. Adakalanya pula

    suatu gugatan yang dikabulkan ternyata menjadi nihil, dan

    tidak dapat dilaksanakan; karena adanya suatu kelemahan

    dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh

    pengadilan.

    d. Gugatan ditolak

    Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya

    didepan pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak.

    Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya

    sebagian saja.23

    7. Susunan Dan Isi Putusan

    Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)

    tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim

    harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal. 183, 184, 187 HIR

    (Pasal 194, 195, 198 rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,

    27 RO, 61 Rv. menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim

    terdiri dari 4 bagian, yaitu :

    a. Kepala Putusan

    Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas

    putusan yang berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ke-

    23

    Darwan Prints, Op-Cit. hal. 206-209

  • 40

    Tuhanan Yang Maha Esa. Kepala putusan ini memberikan

    kekuatan eksekutorial pada putusan.

    b. Identitas Para Pihak

    Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2

    pihak, maka didalam putusan harus dimuat identitas para pihak

    lain antara lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau

    ada.

    c. Pertimbangan

    Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi 2 (dua),

    yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan

    pertimbangan tentang hukumnya.

    d. Amar

    Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan

    yang merupaka amar atau diktum. Ini berarti bahwa hukum,

    merupakan tanggapan terhadap petitum.24

    8. Putusan Pengadilan Agama

    Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman Undang-

    Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-

    undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, pada

    prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai

    dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi

    24

    Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. Hal.220-225

  • 41

    peradilan ini, para hakim peradilan agama harus menyadari

    sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan

    keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang

    hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan

    suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu

    keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapat

    perhatian yang seimbang secara profesional, meskipun dalam praktik

    sangat sangat sulit untuk mewujudkannya. Hakim harus berusaha

    semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu

    mengandung asas tersebut diatas. Jangan sampai ada putusan hakim

    yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan

    masyarakat, terutama bagi pencari keadilan.

    Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan

    kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar.

    Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna

    mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut

    disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang

    berperkara tidak lagi menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang

    memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari

    suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang

    dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.

    Setiap putusan pengadilan agama harus dibuat oleh haki dalam

    bentuk tulisan dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim

  • 42

    anggota yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan majelis

    hakim yang dibuat oleh ketua pengadilan agama, serta ditandatangani

    pula oleh panitera pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan

    panitera (Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970).

    Apa yang diucapkan oleh hakim dalam sidang haruslah benar-benar

    sama dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah

    benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang

    pengadilan.

    Putusan yang bersifat perdata, Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal

    189 ayat (2) RBg mewajibkan para hakim untuk mengadili semua

    tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Haki dilarang

    menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut

    sebagaimana tersebut dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189

    ayat (3) R.Bg. kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu

    disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,

    sebagaimana tersebut dlaam Pasal 41c Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 jo. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintan Nomor 9

    Tahun 1975 dan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam.

  • 43

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Tipe Penelitian

    Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis

    Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom,

    terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum.25

    Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata

    hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum.

    B. Metode Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah yang ada didalam penelitian ini, pendekatan yang

    dipergunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) dan

    Pendekatan Analitis (Analytical Approach).

    C. Spesifikasi Penelitian

    Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    prespektif26

    , yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan

    cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.

    25

    Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1988. Hal 13 26

    Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, Hal.22.

  • 44

    D. Sumber Bahan Hukum

    1. Bahan Hukum Primer

    Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau

    dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan

    pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang

    dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini, bahan

    hukum primer yang digunakan adalah:

    a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglement),

    b. RBg (Recht Regelement Buitegewesten),

    c. KUH Perdata,

    d. Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek

    penelitian (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

    Praturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor. 48

    Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Kompilasi Hukum Islam dan

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989),

    e. Putusan Pengadilan Agama Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.

    2. Bahan Hukum Sekunder

    Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

    dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan penjelasan mengenai

    bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami

    bahan hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan

    permasalahan yang diteliti.

  • 45

    3. Bahan Hukum Tertier

    Bahan hukum tertier adalah bahan hukumm yang memberikan petunjuk

    maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

    seperti kamus (hukum), ensiklopedia.27

    E. Metode Penyajian Hukum

    Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks normatif

    yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun

    secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh

    dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan

    pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.

    F.Metode Analisa Bahan Hukum

    Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung

    diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga

    diperlukan kegiatan penemuanHukum (rechtsvinding).

    Hakim dalam menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum

    atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum.28

    27 Amirudin, Dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

    Persada, Jakarta, 2003, Hal 32. 28

    Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal. 76

  • 46

    1. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang

    memberi penjelasan yang gamblang mengenaiteks undang-undang agar

    ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa

    tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui

    makna undang-undang.

    Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa

    metode yaitu secara:

    a. Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundang-

    undangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf

    penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar

    menerapkan silogisme.

    b. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara

    penafsiran yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti kata-

    kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hakim wajib menilai

    arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.

    c. Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran

    yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan

    dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan

    keseluruhan sistem hukum. Karena, terbentuknya suatu undang-

    undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem

    perundang-undangan yang berlakusehingga tidak mungkin ada satu

    undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan

    perundang-undangan lainnya.

  • 47

    d. Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang

    dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau

    terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.

    e. Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara

    penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna

    atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan.

    f. Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran

    dengan jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi

    hukum yang timbul dari perjanjian internasional.

    g. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang

    menjelaskan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada

    undang-undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu

    dalam rancangan undang-undang.

    h. Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai

    atau lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam

    kamus atau makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam

    kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.

    i. Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas

    ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau

    makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.

    j. Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undang-

    undang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang

    digunakan di dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan

  • 48

    melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apayang telah

    ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.

    k. Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis

    masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini

    digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

    l. Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari

    suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan

    perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari

    dari disiplin ilmu yang berbeda-beda.

    m. Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna

    yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh

    para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul

    kareananya.

    n. Interpretasi dalam Perjanjian Internasional yaitu penafsiran dalam

    perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi,

    pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan.

    2. Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan

    hakim apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur

    secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi:

    a. Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu

    merupakan metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu

    perkara ke dalam lingkup pengaturan yang sebenarnya tidak

    dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan.

  • 49

    b. Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu

    menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada

    perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan

    peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

    c. Penyempitan Hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang

    sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum

    yang ksusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-

    ciri.

    3. Konstruksi Hukum yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau

    membentuk pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk

    menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk

    bahasa dan istilah yang baik.

    Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif,

    dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan, karena pada

    dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah memberikan

    pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada dalam masyarakat.

  • 50

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    a. Hasil Penelitian

    Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi, yang akan diuraikan sebagai berikut:

    1. Para Pihak Yang Berperkara

    1.1. Ibu Rumah Tangga (Istri), umur 60 tahun, agama islam,

    pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal kota jambi,

    selanjutnya disebut sebagai pihak Penggugat.

    MELAWAN

    1.2. Laki-laki (Suami), umur 58 tahun, agama islam, pekerjaan

    swasta, tempat tinggal di kota jambi, selanjutnya disebut sebagai

    pihak Tergugat.

    2. Duduk Perkara

    2.1. Dalam surat gugatan Penggugat Tertanggal 07 Maret 2013, yang

    didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jambi pada

    tanggal 07 Maret 2013 mengemukakan sebagai berikut:

    2.1.1. Bahwa antara penggugat dan tergugat adalah suami istri

    yang sah dan telah melangsungkan pernikahan di jawa

    pada tanggal 21 Mei 1980, yang dicatat oleh Pegawai

    Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA)

  • 51

    sebagaimana bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah,

    yang dikeluarkan oleh KUA Semendo, Jawa Timur.

    2.1.2. Bahwa pada waktu akad nikah, penggugat berstatus

    perawan sedangkan tergugat berstatus jejaka dan sesaat

    setelah akad nikah, Tergugat mengucapkan sighat

    taklik talak yang isinya sebagaimana tercantum di

    dalam Buku Kutipan Akata Nikah;

    2.1.3. Bahwa setelah akad nikah Penggugat dan Tergugat

    hidup bersama sebagai suami istri dengan bertempat

    tinggal dirumah orangtua Penggugat di Jawa Timur

    lebih kurang selama 2 (dua) tahun, kemudian pada

    tahun 1982 pindah ke Jambi seperti alamat Penggugat

    tersebut diatas, kemudian pisah;

    2.1.4. Bahwa selama ikatan pernikahan, Penggugat dan

    Tergugat telah melakukan hubungan layaknya suami

    istri (bada dukhul), dan telah dikaruniai seorang anak

    bernama ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT 1,,

    umur 31 tahun, sudah berkeluarga;

    2.1.5. Bahwa keadaan rumah tangga Penggugat dengan

    Tergugat sebenarnya berjalan rukun dan harmonis,

    akan tetapi pada tahun 2007 Tergugat pergi

    meninggalkan Penggugat tanpa memberitahu

  • 52

    Penggugat kemana tujuan alamatnya sampai sekarang

    lebih kurang 6 (enam) tahun lamanya;

    2.1.6. Bahwa selama kepergiaannnya tersebut, Tergugat tidak

    pernah memberi nafkah wajib maupun kabar kepada

    Penggugat tentang keberadaannya, sedangkan Tergugat

    tidak meninglkan sesuatu yang dapat Penggugat

    manfaatkan sebagai nafkah;

    2.1.7. Bahwa penggugat telah berusaha mencari Tergugat,

    antara lain menanyakan kepada teman-temannya akan

    tetapi mereka tidak mengetahuinya dimana Tergugat

    berada;

    2.1.8. Bahwa atas sikap dan/atau perbuatan Tergugat tersebut,

    Penggugat telah sangat menderita baik lahir maupun

    bathin , dan oleh karenanya Penggugat tidak rela;

    2.1.9. Bahwa dengan demikian, Tergugat telah melanggar

    sighat taklik talak yang pernah diucapkannya, dan oleh

    sebab itu Penggugat mengajukan gugatan cerai ke

    Pengadilan Agama Jambi;

    2.2. Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar

    Ketua Pengadilan Agama jamb c/q Majelis Hakim untuk

    memeriksa dan mengadili perkara ini serta berkenan

    menjatuhkan putusan sebagai berikut:

    2.2.1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

  • 53

    2.2.2. Memutuskan hubungan perkawinan Penggugat dan

    Tergugat putus karena perceraian;

    2.2.3. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang

    berlaku;

    2.3. Apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang

    seadil-adilnya;

    2.4. Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah

    ditetapkan, Penggugat tidak hadir menghadap dipersidangan dan

    tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya,

    ternyata berdasarkan berita acara relaas panggilan tanggal 18

    april 2013 Nomor: 0225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang dibacakan

    dipersidangan, Penggugat tidak bertempat tinggal sesuai dengan

    surat gugatan Penggugat;

    2.5. Menimbang, bahwa oleh karena alamat Penggugat tidak jelas,

    maka majelis berpendapat gugatan Pengguggat dinyatakan tidak

    dapat diterima (NO);

    2.6. Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapat ini

    cukuplah Pengadilan menunjuk kepada berita acara perkara ini

    yang untuk selanjutnya dianggap termuat dan menjadi yang tak

    terpisahkan dari penetapan ini;

  • 54

    3. Tentang Pertimbangan Hukumnya

    3.1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat

    adalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas;

    3.2. Menimbang, bahwa oleh karena alamat Penggugat tidak jelas

    berdasarkan berita acara relaas panggilan, maka majelis

    berpendapat perkara Nomor : 0225/ Pdt.G/2013/PA.Jambi

    dinyatakan NO;

    3.3. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-

    Undang Nomor. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah

    dengan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 terakhir dengan

    perubahan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009, Maka biaya

    perkara dibebankan kepada Penggugat;

    3.4. Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan

    yang berlaku dan hukum syara yang berkaitan dengan perkara

    ini;

    4. Putusan

    4.1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet

    Ontvankelijk Verklaard);

    4.2. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya

    perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 241.000,- (dua

    ratus empat puluh satu ribu rupiah).

  • 55

    b. Pembahasan

    1. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Gugatan Tidak Dapat

    Diterima Dalam Perkara Gugat Cerai Pada Putusan Nomor.

    225/Pdt.G/2013/PA.Jambi

    Proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan

    diawali dengan pengajuan gugatan oleh pihak yang merasa haknya

    terganggu atau dirugikan oleh pihak lain.Berdasarkan HIR dan RBg

    yang berlaku, penggugat bebas merumuskan surat gugatannya, sebab

    tidak diatur secara tegas oleh HIR dan RBg tentang syarat-syarat

    pembuatan suatu gugatan. Akan tetapi di dalam prakteknya, ada

    beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam merumuskan

    sebuah gugatan.

    Beberapa ketentuan tersebut memang harus diperhatikan dalam

    merumuskan gugatan yang akan diajukan ke pengadilan yang

    berwenang sebab sangat mempengaruhi kesempurnaan gugatan.

    Sempurna tidaknya sebuah gugatan akan berimplikasi terhadap

    pertimbangan hakim dalam menilai sinkronisasi antara uraian yang

    menjadi dasar gugatan dengan tuntutan yang dimohonkan ke

    pengadilan. Semakin jelas sebuah gugatan semakin memudahkan

    proses pemeriksaan. Kesempurnaan sebuah gugatan merupakan salah

    satu langkah awal penggugat untuk meyakinkan majelis hakim yang

    memeriksa dan mengadili perkara tersebut terkait dalil yang diuraikan

  • 56

    dalam surat gugatan. Gugatan yang dikatakan sempurna adalah surat

    gugatan dengan formulasi yang memenuhi syarat.

    Pasal 118/ 142 RBg dan Pasal 120 HIR/144 RBg, tidak

    menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan.29

    Akan tetapi, sesuai

    dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut

    formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan

    petitum sesuai dengan sistem dagvaarding.

    1. Identitas para pihak (penggugat/ pemohon dan tergugat/

    termohon :

    a. Nama (beserta bin/binti dan aliasnya),

    b. Umur,

    c. Agama,

    d. Pekerjaan

    e. Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak

    diketahui hendaknya ditulis, Dahulu bertempat di....tetapi

    sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.

    f. Kewarganegaraan (jika perlu).30

    2. Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan

    penjelasan yang berhubugan dengan hukum yang dijadikan

    dasar/ asalan gugat. Posita memuat :

    a. Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum.

    29

    Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradyana Paramita, Jakarta, 1993. Hal. 24 30

    Mukti Arto, Op.Cit, Hal.40

  • 57

    b. Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan

    merupakan keharusan. Hakimlah yang harus

    melengkapinya dalam putusan nanti.

    3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat/ pemohon

    agar dikabulkan oleh hakim.

    Ketua/ hakim dapat membantu Penggugat / Pemohon atau

    kuasanya dalam hal mengajukan gugatan / permohonan (Pasal 143

    Rbg / Pasal 119 HIR).31

    Gugatan yang syarat formilnya tidak terpenuhi maka gugatan

    tersebut dapat di katakan cacat formil.Terdapat berbagai macam cacat

    formil yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan

    akhir dengan dictum menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet

    Onvankelijk Verklaar). Cacat formil yang dapat di jadikan dasar oleh

    hakim menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif dalam bentuk

    amar menyatakan gugatan tidak dapat diterima, antara lain sebagai

    berikut :32

    a. Yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung

    oleh surat kuasa khusus berdasarkan syarat yang diatur dalam

    Pasal 123 HIR jo. SEMA No.1 Tahun 1971 jo. SEMA No. 4

    tahun 1996.

    b. Gugatan mengandung error in persona.

    31

    Mukti Arto.Loc.Cit.Hal 41. 32

    Yahya Harahap, 2011, Op.Cit. Hlm 888

  • 58

    Kemungkinan adanya cacat seperti ini bisa berbentuk

    sebagai berikut :33

    a) Diskualifikasi in person, yakni yang bertindak sebagai

    penggugat tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk

    menggugat. Dalam kuasa yang demikian, penggugat

    tidak memiliki persona standi in judicio di depan PN atau

    terhadap perkara tersebut. Dalam hal demikian,

    tergugat dapat mengajukan exception in persona, atas

    alasan diskualifikasi in person, yakni orang yang

    mengajukan gugatan bukanlah orang yang berhak dan

    mempunyai kedudukan hukum untuk itu.

    b) Gemis aanhoedanigheid, yakni pihak yang ditarik

    sebagai tergugat keliru. Misalnya, terjadi perjanjian jual

    beli antara A dan B. Kemudian A menarik C sebagai

    tergugat agar C memenuhi perjanjian. Dalam kasus

    tersebut, tidakan menarik C sebagai pihak tergugat

    adalah keliru, karena C tidak mempunyai hubungan

    hukum dengan A.

    c) Plurium litis consortium, yakni yang bertindak sebagai

    penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak

    lengkap. Masih ada orang yang harus ikut dijadikan

    sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang

    33

    Ibid. Hlm. 438

  • 59

    dipersoalkan dapat diselesaikan secara tuntas dan

    menyeluruh.

    b. Gugatan di luar yurisdiksi absolut atau relatif pengadilan.

    Apa yang disengketakan berada di luar kompetensi atau

    yurisdiksi absolut peradilan yang bersangkutan, karena

    perkara yang disengketakan termasuk kewenangan absolut

    peradilan lain. Kewenan