kekuatan pembuktian alat bukti saksi dalam …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi...
TRANSCRIPT
1
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/
PN.TIPIKOR.Smg.)
SKRIPSI
Oleh :
CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO
E1A008128
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
2
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/
PN.TIPIKOR.Smg.)
Diajukan untuk Pra syarat Skripsi pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
SKRIPSI
Oleh :
CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO
E1A008128
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
3
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
Skripsi ini disusun oleh :
NAMA : CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO
NIM : E1A008128
ANGKATAN : 2008
PROGRAM STUDY : Ilmu Hukum
Bidang Kekhususan : Hukum Acara Pidana
Judul Skripsi :KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan
Perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.
Smg.)
ISI DAN FORMAT TELAH DISETUJUI
Pada Tanggal, November 2013
Menyetujui,
Pembimbing I/Penguji I Pembimbing II/Penguji II Penguji III
4
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO
NIM : E1A008128
Judul Skripsi :KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi
Terhadap Putusan Perkara Nomor :
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 4 November 2013
CATUR DHARMAWAN RISDIYANTO
NIM E1A008128
iii
5
MOTTO
"Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak
dan kerjakanlah hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan
orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanya pada
Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah
tempat meminta dan memohon".
”Bukanlah hidup kalau tidak ada masalah, bukanlah sukses
kalau tidak melalui rintangan, bukanlah menang kalau tidak
dengan pertarungan, bukanlah lulus kalau tidak ada ujian,
dan bukanlah berhasil kalau tidak berusaha”
iv
6
PERSEMBAHAN
Syukur Allhamdulilah Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan Skripsi.
Skripsi ini ku persembahkan sebagai rasa terimakasihku yang tak
terhingga kepada:
Ayah dan Ibu tercinta yang telah membesarkanku, membimbingku
,mendidikku dan senantiasa mendoakanku dan senantiasa memberikan
dukungan baik moril maupun materil, terimakasih ayah dan ibunda atas
kebaikanmu, sungguh ananda tidak bisa membalasnya tetapi ananda
berusaha selalu jadi yang tebaik untuk ayah dan ibunda.
Selain itu Skripsi ini Ku Persembahkan untuk Tunanganku Tercinta.
Terimakasih untuk Pembimbing Akademik saya,
Bpk Waidin, S.H.
Terimakasih kepada para dosen Pembimbing skripsi
saya, Bpk Pranoto, S.H,.M.H, Ibu Handri Wirastuti
Sawitri, S.H,.M.H, Bpk Dr. Hibnu
Nugroho,S.H,.M.H.
Terimakasih untuk semua teman-teman yang sudah
datang diseminarku. v
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan judul
“KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor :
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg)” berhasil diselesaikan.
Penulisan ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh kerena itu perkenankan
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
3. Bapak Pranoto,S.H.,M.H selaku pembimbing utama yang telah
memberikan dukungan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;
4. Ibu Handri Wirastuti Sawitri,S.H.,M.H selaku pembimbing pembantu
yang telah memberikan dukungan dan bimbingan dalam penulisan skripsi
ini.
5. Bapak Dr. Hibnu Nugroho,S,H.,M,H selaku penguji yang telah
memberikan saran-saran yang bermanfaat bagi penulisan skripsi ini;
6. Bapak Waidin, S.H selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahannnya dalam akademik;
vi
8
7. Orangtuaku yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang tiada
henti, terimakasih atas doa, bantuan, dan dukungan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini;
8. Kakak-kakaku, Anwi Warsito, S.H dan Pamadya Romadhona terimakasih
atas kasih sayang, doa dan dukungannya.
9. Siti Samsunah (Bunda) terimakasih atas segala kasih sayang, doa dan
dukungannya yang selalu diberikan setiap saat.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini.
Akhir kata, kritik serta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan
atas skripsi ini yang penulis sadari sepenuhnya masih jauh dari sempurna.
Semoga skripsi ini dengan segal kekurangan dan kelebihannya dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Purwokerto, November 2013
Penulis
Catur Dharmawan Risdiyanto
vii
9
ABSTRAK
Pembuktian mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran
materiil. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan
mempertimbangkan masalah pembuktian seperti diatur dalam KUHAP. Faktor manusia
merupakan penyebab utama terjadinya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, hal tersebut
terjadi karena adanya kesempatan dan kurang tanggungjawabnya atas kepercayaan yang
diberikan oleh pemerintah kepada pelaku Tindak Pidana Korupsi tersebut. Hakim dalam
kasus ini menggunakan alat bukti Saksi yang digunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa atas Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan kerugian perekonomian
Negara. Alat Bukti Saksi merupakan alat bukti keterangan yang menentukan, dan menilai
apakah tindak pidana itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Berdasarkan
uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul
“Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap
Putusan Perkara Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg?”
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusun pokok
permasalahan, pertama bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti saksi pada Putusan
perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? kemudian yang kedua bagaimana
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam Putusan
perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? Spesifikasi penelitian ini
menggunakan spesifikasi penelitian perskriptif, yaitu suatu penelitian untuk mendapatkan
saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu,
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.
Pertimbangan hakim menilai kekuatan alat bukti saksi dalam Tindak Pidana
Korupsi yang menyebabkan kerugian perekonomian Negara pada putusan Pengadilan
Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? adalah sah karena telah terpenuhinya
syarat formil dan syarat materiilnya sebagai alat bukti saksi dengan keterangan beberapa
Pertimbangan hakim pada Putusan Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg. dalam
membuktikan kesalahan terdakwa yaitu dengan terpenuhinya batas minimum pembuktian
menurut Pasal 183 KUHAP yaitu sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah
berupa saksi dan keterangan ahli. Penjatuhan pidana 1 (satu) tahun 9 (sembilan) bulan
kepada terdakwa hanya untuk mempertanggungjawabkan secara yuridis atas Tindak
Pidana Korupsi.
Kata kunci : Pembuktian, keterangan saksi, Tindak Pidana Korupsi.
viii
10
ABSTRACT
Proof has the objective to seek and obtain the material truth. herefore judges must
be cautious, careful and mature in assessing and considering the problems of proof as set
out in the Criminal Procedure Code. he human factor is a major cause of Corruption in
Indonesia, it happens because of the lack of opportunity and the responsibility for
keperayaan diberikaan by the government to the perpetrators of Corruption Act. The
judge in this case using the witness evidence used to prove the guilt of the accused on the
Corruption which resulted in loss of the State's economy. Evidence Witness testimony is
decisive evidence, and assess whether the crime actually occurred and performed by the
defendant. Based on these descriptions, the writer is interested in conducting a study titled
"The Power Proof Evidence Witness In Corruption (Studies on Judgment Case Number:
01/Pid.Sus./2011/PN.TIPIKOR.Smg
Based on the background described above, then composed subject matter, first,
how the strength of evidence in the witness evidence Decision Number :
01/Pid.Sus/2011/PN.Tipikor.Smg? then the second how the judge in imposing criminal
judgement against the defendant in Decision Number :
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg? This study uses the specification specifications
perskriptif research, is a study to get suggestions on what to do to solve a particular
problem, the source data used in this study is a secondary data source.
Consideration judges assess the strength of evidence in the witness Corruption
causes economic losses in the State Court judgment No.
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg. is legitimate because it has been the fulfillment of
formal requirements and their material conditions as evidence a witness, with the
description of some judges Considerations in Decision Number :
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg in proving the guilt of the accused is the fulfillment
of the minimum threshold of proof under Section 183 Criminal Procedure Code that at
least with two valid evidence such as witness and expert testimony. Criminal punishment
1 (one) year 9 (nine) months to the defendant legally accountable only to the Corruption
Keywords: Evidence, witnesses, Corruption.
11
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
PERNYATAAN ............................................................................................. iii
MOTTO .......................................................................................................... iv
PESEMBAHAN ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7
A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................. 7
B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................. 9
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana .............................................. 10
D. Tindak Pidana Korupsi ............................................................ 18
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ..................................... 18
ix
12
2. Pertanggungjawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................... 19
3. Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 20
E. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam Tindak Pidana
Korupsi .................................................................................... 24
1. Pengertian Pembuktian .................................................... 24
2. Teori Pembuktian ............................................................. 25
3. Alat-Alat Bukti ................................................................. 27
a. Alat Bukti Saksi ........................................................ 27
b. Alat Bukti Keterangan Ahli ....................................... 32
F. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Tindak
Pidana Korupsi ........................................................................ 33
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 37
A. Metode Pendekatan ................................................................. 37
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 38
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 38
D. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 39
E. Metode Penyajian Data ............................................................ 40
F. Metode Analisis Data .............................................................. 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 41
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 41
B. Pembahasan ............................................................................. 79
x
13
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 96
A. Simpulan .................................................................................. 96
B. Saran ........................................................................................ 97
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh manusia harus
dipertanggungjawabkan baik di depan masyarakat maupun Tuhan Yang Maha
Esa. Salah satu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan tersebut adalah
melalui hukum. Hukum adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan/atau norma-
norma yang berlaku di masyarakat dan digunakan sebagai pedoman tingkah
laku dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Keberadaan hukum sangatlah
penting di dalam suatu negara karena hukum dapat mempengaruhi berbagai
segi kehidupan di dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara. Selain itu,
hukum dapat dipergunakan sebagai pengendalian sosial.
Peraturan hukum pidana harus dijamin pelaksanaannya, agar ditaati
oleh masyarakat. Hukum pidana yang mengandung norma hukum dan sanksi
pidana, diterapkan terhadap barang siapa melakukan perbuatan pidana yang
dilakukan dengan kesalahan yang dapat merugikan atau membahayakan
masyarakat. Hukum pidana tidak dapat dilaksanakan apabila tanpa ada aturan
beracara, yaitu untuk proses perkara pidana dan menentukan suatu keputusan
dengan menjatuhkan sanksi pidana atau keputusan lain, kepada seseorang
yang terbukti atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana dengan
2
kesalahannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu
dilaksanakan melalui hukum acara pidana.1
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapakan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan2.
Pembuktian merupakan bagian yang terpenting dari keseluruhan
proses Hukum Acara Pidana. Hakim memberikan putusannya berdasarkan
atas penilaiannya terhadap pembuktian. Pembuktian bukanlah sesuatu yang
mudah, bahkan untuk kasus-kasus korupsi, pembuktian masih menjadi
sesuatu hal yang rumit, selain itu juga harus diperkuat dengan adanya alat
bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Pengungkapan dalam tindak pidana korupsi yang mengakibatkan
kerugian perekonomian negara, penyidik menggunakan bukti keterangan
saksi untuk membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang
1Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Azas-azas umum Hukum Acara Pidana,
Liberty : Jakarta 1982. hal. 2.
2Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandiri Maju
:Bandung, 2001, Hal. 1.
3
menyebabkan kerugian perekonomian negara, selain itu juga harus
didasarkan pada persesuaian antara keterangan para saksi dengan barang
bukti yang diajukan di persidangan.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat,
perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi merupakan
pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat3.
Tahapan penegakkan Hukum Acara Pidana (formil) dalam KUHAP
meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta jika diperlukan maka
dilakukan upaya hukum. Tindakan awal dalam pengungkapan suatu perkara
yang sangat penting adalah diadakannya penyidikan, penyidikan dalam
KUHAP Pasal 1 butir 2.
Adanya Hukum Acara Pidana masyarakat diharapkan dapat
menghayati hak dan kewajibannya untuk meningkatkan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-
masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat
3Soejono Karni, 17 April 2010, Perkembangan Korupsi Dan Pemberantasan Korupsi Di
Indonesia, http;// SoejonoKarni.worddoress.com/2010;;04/17/Perkembangan-korupsi-dan
pemberantasan-korupsi-di Indonesia.
4
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi
terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Putusan di Pengadilan Negeri Semarang terdapat suatu kasus
mengenai Tindak Pidana korupsi yang mengakibatkakan kerugian
perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya,
terbukti melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia.
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dan di tambah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Drs.
Arief Zainuddin, MM dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 9
(sembilan) bulan serta menjatuhkan pidana denda Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Dari keterangan beberapa saksi maka benar terdakwa Drs. Arief
Zainuddin MM terbukti menggelapkan surat, menyalahgunakan wewenang
dan melakukan tindak pidana korupsi yang bertujuan menguntungkan atau
5
memperkaya diri sendiri dengan cara menjual mobil inventaris Daihatsu
Terios.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang berjudul “KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SAKSI
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap Putusan Perkara
Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.SMG).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti saksi dalam tindak pidana
korupsi pada Putusan perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.
Smg?.
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara Tindak Pidana
Korupsi dalam Putusan perkara Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.
Smg?.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti saksi dalam tindak
pidana korupsi pada Putusan perkara Nomor:
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara Tindak
Pidana Korupsi dalam Putusan perkara Nomor : 01/Pid.Sus/2011/
PN.TIPIKOR.Smg.
6
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum
Acara Pidana khususnya dalam kekuatan pembuktian alat bukti saksi
putusan mengenai tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan Praktis
a. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi
mereka yang bergerak dalam bidang hukum khususnya Hukum Acara
Pidana.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta
pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan berminat pada hal
yang sama.
c. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analissis
penulis, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
d. Untuk memperoleh data yang akan dipergunakan oleh penulis dalam
penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar sarjana
dalam Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil, dimana hukum
formil ini bertugas menegakkan hukum meteriil pidana yang telah dilanggar.
Hukum acara pidana sering dianggap sebagai cabang ilmu hukum yang
sempit yang menjadi bagian dan ilmu pengetahuan hukum positif . Bahkan
ada suatu pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari
sebagaimana lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum
pelengkap terhadap hukum pidana materiil, sedangkan hukum pidana itu
sendiri sekedar sanksi belaka karena berfungsi mempertahankan norma yang
berada diluar hukum pidana atau hukum yang tidak berdiri sendiri.
Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran
materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan keamanan Negara,
tidak cukup hanya diatur oleh hukum pidana saja. Karena agar pelaku
8
kejahatan dapat diajukan kemuka sidang pengadilan, harus melalui prosedur
tertentu yang diatur oleh peraturan yang tersendiri.4
Tentang ruang lingkup Hukum Acara Pidana, R. Soesilo5 berpendapat
bahwa hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan yang
mengatur soal-soal sebagai berikut :
a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada
sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana;
b. Cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak
pidana apakah yang telah dilakukan;
c. Setelah ternyata bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa
dan cara bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik
orang-orang yang disangka bersalah melakukan tindak pidana itu;
d. Cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu;
e. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa
dan menggeledah badan dan tempat lain serta menyita barang-
barang itu untuk membuktikan kesalahan dari tersangka;
f. Cara bagaimana pemeriksaan didalam sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana; dan
g. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana
itu harus dilakukan dan sebagainya.
Selanjutnya Andi Hamzah6 menyebutkan dalam bukunya :
“Ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana
substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana
formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk
menjalankan hukum acara pidana substantif (materiil), sehingga
disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Hukum
pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana
Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana
4Moch Faisal S, Op.Cit. hlm. 1-2.
5R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi
PasaL. (Politea : Bogor)1983. hal 3 6Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. (Sinar Grafika : Jakarta)
2008. hlm. 2-4.
9
dan menjatuhkan pidana. KUHAP tidak memberikan definisi tentang
hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan,
penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya
hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan
lain-lain. Seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 1 KUHAP”.
B. Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana secara singkat adalah “Mencari
Kebenaran Materiil”. Hakim untuk menemukan kebenaran materiil itu
dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
hakim tidak hanya terbatas pada surat dakwaan saja. Akan tetapi untuk
memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua
pihak yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula dengan saksi-saksi
yang diajukan oleh kedua belah pihak. Tujuan hukum acara pidana mencari
kebenaran, tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban,
ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan di dalam masyarakat.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana ialah untuk menemukan suatu
kebenaran, dan berdasarkan kebenaran itu akan diterapkan suatu putusan
hakim yang melaksanakan suatu peraturan hukum pidana.
Menurut pendapat R. Soesilo7:
“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari
kebenaran.Para penegak hukum mulai dan polisi, jaksa, sampai pada
Hakim dalam menyelidik menuntut dan mengadili perkara senantiasa
harus berdasar kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-
7R. Soesilo, Op, Cit, Hlm 19
10
sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang
berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang
cerdas, juga berkepribadian yang tangguh yang kuat mengelakkan
dan menolak segala godaan”
Tujuan Hukum Acara Pidana pada pedoman pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikeluarkan
oleh menteri Kehakiman sebagai berikut:
“Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran
yang selangkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat
dengan tujuan untuk mencarii siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dan pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Dalam Hukum Acara Pidana terdapat ketentuan-ketentuan, asas-asas
yang menjadi dasar yang mengatur. Asas-asas tersebut adalah :
a) Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Cepat artinya melaksanakan peradilan diharapkan dapat
diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang
singkat.
Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan
peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit.
Biaya ringan berarti penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan
menekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan,
11
menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang
hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja.
Maka dari itu Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut
di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 2 ayat (4) Undang-
Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, yang
menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman
kepada asas cepat, tepat, sederhana dan biaya yang ringan.
Pencantuman peradilan cepat di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana cukup banyak yang diwujudkan
dengan istilah “segera”. Peradilan cepat merupakan suatu sistem peradilan
untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim,
karena di dalam penahanan terdapat suatu pengekangan yang berupa
kebebasan sehingga dalam hal ini dapat melanggar hak asasi manusia.
M. Yahya Harahap8 berpendapat mengenai asas sederhana dan biaya
ringan ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, bahwa :
1. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti
rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami
kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98);
2. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam “acara cepat”
3. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti
rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai
8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
dan Penuntutan) Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 54.
12
pelaksanaan dari prinsip mempercepat dan menyederhanakan
proses penahanan;
4. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata,
memberi makna menyederhanakan penanganan fungsi dan
wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik,
tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan.
b) Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence)
Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence) telah
disebutkan dalam Penjelasan Umum butir 3c Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
Penjelasan Umum Butir 3 Huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan/atu
dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sampai dengan adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
M. Yahya Harahap9 berpendapat bahwa :
“Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya
sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan
hukum (law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang
9Ibid.hal. 40.
13
dianut KUHAP memberi pedoman kepada aparat penegak hukum
untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”
c) Asas Oportunitas
Negara Indonesia mempunyai suatu badan khusus yang diberi tugas
dan wewenang untuk melakukan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak
pidana disebut penuntut umum. Penuntut umum itu disebut juga dengan
jaksa. Pengertian mengenai penuntut umum dan jaksa diatur dalam KUHAP
sebagai berikut :
Pasal 6 Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana :
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana :
“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim”.
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum, sebagai
monopoli artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut
dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari
bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta delik yang
diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari
penuntut umum.
14
Pengertian asas oportunitas menurut A. Z Abidin Farid seperti yang
dikutip dalam bukunya Andi Hamzah10
sebagai berikut :
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan umum.”
d) Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum tercantum dalam
Pasal 153 ayat (3) dan (4).
Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana :
”Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana :
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum”.
Bambang Poernomo11
, memberikan penjelasan mengenai asas
pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum yang diuraikan sebagai
berikut:
“Menyatakan bahwa sifat terbuka di sidang pengadilan dimaksudkan
agar khalayak ramai dapat mengikuti dan mengawasi jalannya
10
Andi Hamzah, Op.Cit.,hal. 17. 11
Bambang Poernomo, Op. Cit., hal 153.
15
pemeriksaan pengadilan, bukan dalam arti masuknya orang-orang
dalam ruangan pengadilan. Bisa saja terjadi, seseorang yang ingin
mendengarkan pemeriksaan ditolak untuk masuk di ruangan sidang
yang luasnya terbatas, akan tetapi dipersilahkan mengikuti melalui
alat pengeras yang dipasangkan di halaman gedung. Kejadian yang
demikian tidak bertentangan dengan asas Terbuka Untuk Umum”.
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana secara tegas merumuskan :
”Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
e) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum ini telah dianut oleh beberapa negara. Asas
perlakuan orang sama di depan hukum biasa disebut sebagai equality before
the law. Asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum butir 3 huruf a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.”
Penjelasan umum butir 3 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Dari hal tersebut diatas dapat dilihat bahwa di dalam memperlakukan
orang yang berhadapan hukum diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan
16
antara yang satu dengan yang lain baik antara polisi, jaksa, hakim, gubernur,
pejabat maupun terhadap masyarakat. Sehingga setiap orang dalam
menjalankan hak dan kewajibannya diperlakukan sama di depan hakim.
f) Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan
Tetap
Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh
hakim karena jabatannya dan bersifat tetap, untuk jabatan ini diangkat hakim-
hakim yang tetap oleh kepala negara. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
merumuskan :
“Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam Undang-Undang”.
Menurut D. Simons sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah12
, menyatakan sebagai berikut :
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak
tahun 1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru
sistem itu dari Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan
sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.”
g) Asas Akusator dan Inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
telah menganut asas akusator hal ini telah dibuktikan ketentuan adanya
kebebasan memberi dan mendapatkan nasehat hukum.
12
Andi Hamzah, Op.Cit.,Hal. 22.
17
M. Yahya Harahap13
berpendapat bahwa, asas akusatur atau prinsip
akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap
tingkat pemeriksaan:
1. Adalah subjek : Bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu
tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri,
2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
“kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa.
Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.
Kebalikan dari asas akusator adalah asas inkusitor, asas inkusitor
bahwa tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut
oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inkusitor memandang bahwa
pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Oleh karena itu,
pemeriksa berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka dengan
segala cara baik dengan tindakan kekerasan atau penganiayaan.
Sesuai dengan Hak Asasi Manusia yang telah dianut oleh beberapa
negara secara universal maka asas inkusitor telah ditinggalkan banyak negara,
dan hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana
Indonesia
h) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Andi Hamzah14
Berpendapat bahwa Pada pemeriksaan dipengadilan
dilakukan oleh hakim secara langsung kepada tedakwa dan sanksi, berbeda
13
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 40. 14
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Sinara Grafika, 2001, hal
10-23
18
dengan acara perdata dimana terdakwa dapat diwakili oleh kuasanya.
Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, bukan tertulis antara hakim
dan terdakwa, dimana hakim bisa mengorek keterangan lebih jauh baik
kepada terdakwa, maupun kepada saksi-saksi untuk mencari keterangan.
Pengertian dari asas ini bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan
dilakukan oleh hakim secara langsung yaitu kepada terdakwa dan para saksi.
Dalam pemeriksaan hukum acara pidana berbeda dengan hukum acara
perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan juga
dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.
D. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:
corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,
badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari
korupsi dapat berupa :
1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok
dan sebagainya.
3. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai
kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
4. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya);
5. Koruptor (orang yang korupsi).
19
Baharuddin Lopa15
mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau
perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau
diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian
Negara (Pasal 3).
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
2. Pertanggungjawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban
pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
15
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, Bumi Aksara Group 2005. Hal 9.
20
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah; atau orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas
dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
3. Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
a. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1) Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
dilakukan dalam keadaan tertentu.
21
2) Pidana Penjara
a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat
1)
b. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi
setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para
saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
d. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal
29, pasal 35, dan pasal 36.
3) Pidana Tambahan
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut.
22
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu
yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti maka
terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
b. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas
Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda
dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan
pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1) sampai
(5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya.
23
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat
diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus
korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat
pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa
ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau
ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah :
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi;
24
2. Perbuatan melawan hukum;
3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana
yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain.
E. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan
nasib terdakwa, maka dari itu apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan Undang-Undang tidak cukup membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa harus
dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-
Undang, maka kepadanya akan dijatuhkan hukuman.
Oleh karena itu hakim harus cermat dan matang dalam
mempertimbangkan nilai pembuktian.
Pembuktian merupakan titik sentral pemerikasaan perkara dalam
sidang pengadilan. Tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk
mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari
kesalahan seorang.
MenurutYahya Harahap16
:
16
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, (Sinar
Grafika : Jakarta) 1985. hlm. 769.
25
“Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang
dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa”.
Pernyataan ini dipertegas dalam penjelasannya yaitu :
“Pembuktian juga merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-
alat bukti yang dibenarkan menurut Undang-Undang dan yang boleh
dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan dari seorang
terdakwa.”17
Yahya Harahap18
juga menyatakan :
“Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, ada prinsip
yang sangat perlu untuk dibicarakan, yakni masalah asas minimum
pembuktian. Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau
paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya,
untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:
a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah
dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan
ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling
bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan
antara satu dengan yang lain;
b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan
keterangan dua orang saksi yang saling berkesesuaian dan
saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan
seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan
keduanya saling berkesesuaian”.
2. Teori Pembuktian
MenurutYahya harahap19
, Ilmu Hukum Acara Pidana dikenal ada
beberapa teori sistem pembuktian, yaitu :
a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seseorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”
17
Ibid. 18
M. Yahya Harahap, Op. cit. hlm. 262-263. 19
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 277-278.
26
hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian
kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan
menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam
sistem ini.
b. Conviction- Raisonee
Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap
memegang peranan peranan penting dalam menentukan salah
tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini,
faktor faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem
pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa
tanpa batas, maka dalam sistem ini keyakinan hakim harus
didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan
hakim dalam sistem ini harus dilandasi reasoning atau alasan-
alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar
alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai
dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima
akal. Tidak semata-mata atas alasan keyakinan yang tertutup
tanpa uraian alasan yang masuk akal.
c. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif
Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian
menurut keyakinan atau conviction-in time. Keyakinan hakim
dalam sistem ini, tidak ikut berperan menurut salah atau
tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-
undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”.
Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian
menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan
terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
d. Pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif
(Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara pembuktian menurut undang-undang
secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem
yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari
keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya
secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.
27
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti
Prinsip dari teori pembuktian Negatief Wettelijk seperti yang dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam sidang pembuktian, hakim wajib menganut sistem pembuktian
berdasarkan Undang-Undang negatif (negatifef wetterlijk). Hal ini sesuai
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, yang merumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
3. Alat Bukti
Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan mengenai alat
bukti yang sah yaitu:
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
a. Keterangan saksi
Keterangan Saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
28
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan
alasan dari perbuatannya itu.
Pengertian keterangan saksi dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (27)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagai berikut :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, hal ini terdapat
pada prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan
kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-
kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru
bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan
alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai
alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus
testis nullus testis“.
Kemudian, dasar pertimbangan kebenaran keterangan saksi. Seorang
hakim berpegang pada empat hal yang tercantum dalam Pasal 185 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
29
Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dasar pertimbangan
kebenaran keterangan saksi tidak termasuk pertimbangan (BAP) dan pada
waktu persidangan.
Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan :
“Adapun dalam menilai kebenaran seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya”.
Hakim wajib menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-
Undang negatif (negatief wetterlijk), yaitu menggunakan dua alat bukti yang
sah menurut Undang-Undang. Hal ini sesuai Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang merumuskan sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sebagaimana menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah20
mengatakan bahwa :
20
Ibid. Hal. 252.
30
“Teori berdasar keyakinan hakim yang didasarkan kepada keyakinan
hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan
dimungkinkan tanpa didsarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-
Undang”.
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.
Hampir semua perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi.
Sekurang-kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih
diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Maka dari itu
untuk menjadi seorang saksi harus memenuhi syarat materiil dan formil.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang
dimaksud dengan saksi adalah:
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyididkan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah:
“Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya ini”.
31
a) “Yang ia dengar”, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran orang
lain. Harus langsung secara pribadi didengar oleh saksi sendiri
tentang peristiwa pidana.
b) “Yang ia lihat sendiri”, berarti pada waktu kejadian ataupun
rentetan peristiwa pidana yang terjadi, sungguh-sungguh
disaksikan oleh mata kepala sendiri.
c) “Ia alami sendiri”, biasanya saksi yang seperti ini adalah orang
yang menjadi korban peristiwa pidana tersebut. Terutama dalam
bentuk-bentuk peristiwa pidana kejahatan perkosaan maupun
kejahatan penganiayaan, korban yang dapat dijadikan sebagai
saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan.21
Selain syarat materiil seperti yang diuraikan diatas, hukum acara
mengatur syarat lain yang disebut syarat formil, yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana mengatur para pihak yang tidak dapat
didengar keterangannya sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri
sebagai saksi. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 168 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana :
“Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, maka tidak dapat
didengar katerangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi” :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.
21
M. Yahya Harahap ,Op. Cit, hlm 145.
32
b. Saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa
sampal derajat ketiga
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Kemudian saksi wajib disumpah. Hal ini sesuai dengan Pasal 160
ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana :
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucap sumpah atau
janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang
sebenarnya”.
Andi Hamzah22
mengatakan bahwa :
“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucap
janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi
hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim”.
b. Keterangan Ahli
Menurut Andi Hamzah23
, bahwa keterangan ahli yaitu:
Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang diminta
pertimbangannya, oleh karena itu sebagai seorang saksi ahli seseorang
dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut
pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus.
22
Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 263. 23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Hal.
282
33
Keterangan ahli diatur dalam Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan”
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahilan khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan
ahil maupun keterangan saksi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dinyatakan sebagai alat bukti yang sah.
Akan tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa disumpah tidak
mempunyai kekuatan pembuktian melainkan hanya dapat dipergunakan
untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim.
F. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Tindak Pidana
Korupsi
Dalam Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan
penjelasan tentang hakim,yakni : Hakim adalah pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Kata “mengadili”
didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 KUHAP, adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan
asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
34
Hakim adalah profesi yang menentukan seorang pencari keadilan
untuk mendapatkan keadilan terhadap peristiwa yang terjadi padanya. Untuk
memberikan keadilan seorang hakim dalam proses peradilan melakukan
tindakan.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh hakim adalah menelaah
tentang peristiwa yang diajukan kepadanya. Setelah itu memberikan
pertimbangan atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum
yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan
menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa hukum melalui putusan hakim24
.
Putusan hakim merupakan puncak dari peradilan yang memberikan
dampak kepada pihak yang berperkara ataupun pencari keadilan. Seorang
hakim dalam memutus sebuah perkara mempertimbangkan layak atau
tidaknya terdakwa dijatuhi pidana oleh seorang hakim didasarkan oleh
keyakinan hakim dan sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang
sah, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Dalam Passal tersebut tidak hanya hakim dan keyakinannya
yang berperan dalam persidangan, namun juga adanya alat bukti untuk
menggali kebenaran materiil.
Kebenaran materiil yang dicari dalam proses peradilan pidana melalui
beberapa tahapan. Dalam tahapan tersebut agenda sidang pembuktian
mencerminkan peristiwa yang terjadi berdasarkan alat bukti yang dihadirkan
di sidang peradilan oleh jaksa penuntut umum dan atau penasihat hukum.
24
Saleh, K .Wantjik. 1977. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 39.
35
Pada tahap pembuktian, hakim dapat melihat dari alat bukti yang dihadapkan
pada hakim dan hakim berhak menilai dari keterangan dan barang bukti.
Ketentuan Pasal 180 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal jika diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,
hakim ketua sidang dapat meminta bantuan keterangan ahli dan dapat pula
meminta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Keyakinan hakim ini dapat mendasari hakim dalam pertimbangan
hukum untuk memutus sebuah perkara pidana khususnya perkara tindak
pidana korupsi, namun dalam hal pertimbangan hukum dalam format putusan
pemidanaan yang tertera dalam Pasal 197 KUHAP tidak memuat adanya
keyakinan hakim dituliskan dalam pertimbangan hukum. Sehingga
dikhawatirkan dalam membuat putusan pemidanaan terhadap perkara tindak
pidana korupsi hakim hanya mengikuti kehendak dari hakim ketua atau ada
hakim yang hanya ikut memberikan suara dalam pertimbangan hukum
putusan pemidanaan. Hal tersebut berpotensi menimbulkan putusan yang
kurang sesuai dengan rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.
Hakim wajib menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-
Undang negatif (negatief wetterlijk), yaitu menggunakan dua alat bukti yang
sah menurut Undang-Undang. Hal ini sesuai Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang merumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
36
Sebagaimana menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi
Hamzah25
mengatakan bahwa :
“Teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada
keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah
melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini,
pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
dalam Undang-Undang”.
Dalam pemeriksaan saksi pada Putusan Nomor :
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg, hakim mendasarkan pada sistem
pembuktian berdasar Undang-Undang secara negatif. Keyakinan hakim tetap
ada tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang menjadi pembuktian final.
Keyakinan hakim menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang sudah terpenuhi.
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara
pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua
perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi. Sekurang-
kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
25
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hal. 252
37
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data
sekunder, sehingga penelitian yang digunakan adalah dengan
pendekatan yuridis normatif, 26
yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif27.
Amiruddin dan Zaenal Asikin28
menyatakan bahwa :
“Pada penelitian seperti ini seringkali hukum dikonsepkan
sebagai sesuatu yang tertulis di dalam perundang-undangan
(Law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas”.
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah
metode penelitian hukum Normatif karena dalam penelitian ini
menganalisis secara normatif Putusan Nomor : 01/Pid.Sus/2011/
26
Ronny Hanityo Soemitro, 1994, metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.9 27
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.,(Malang;
Bayumedia Publishing),hal. 295. 28
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, hal.118
38
PN.TIPIKOR. SMG atas terdakwa Drs Arief Zainuddin apakah telah
benar dalam amar putusasnnya.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spesifikasi penelitian deskripstif. Menurut Soerjono Soekanto29
dalam buku Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut:
“Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan
keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil
kesimpulan yang berlaku umum.”
Selain itu pengertian deskriptif Menurut Bambang Soenggono,
yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan
diteliti.30
Dalam hal ini penulis mencoba menggambarkan analisa
terhadap Putusan Nomor : 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.SMG atas
terdakwa Drs. Arief Zainuddin baik dalam segi kwalifikasi tindak
pidana, pertimbangan hakim, fakta persidangan dan lainnya.
3. Jenis dan Sumber Data
Pada penulisan ini sumber data yang diperlukan adalah data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.
Dari bahan hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
29
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.10. 30
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal.35.
39
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang kekuatan
hukum mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Nomor s8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan isinya tidak
mengikat, terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, penelitian di
bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan hukum,
berita, eksaminasi publik dan semua publikasi baik dari media
cetak maupun elektronik.
4. Metode Pengumpulan Data
Sumber data diperoleh dengan melakukan Inventarisasi perundang-
undangan dokumen resmi dan literatur, kemudian dicatat berdasarkan
relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji
sebagai suatu kajian yang utuh.
40
5. Metode Penyajian Data
Data yang disajikan berbentuk teks naratif yang disusun secara
sistematis. Maksudnya adalah keseluruhan data primer yang diperoleh
akan dihubungkan dengan data sekunder yang didapat serta
dihubungkan satu sama lain dengan pokok permasalahan yang diteliti
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis
kualitatif yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan
menjabarkan dan menginterpretasikan data yang berlandaskan pada
teori-teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.31
Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban
terhadap permasalahan yang diteliti.
31
Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,
hal.93.
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Studi Kasus tentang Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam
Tindak Pidana Korupsi terhadap Putusan Nomor:
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg yang dilakukan di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Semarang, diperoleh data berdasarkan buku-buku literatur
dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan. Berdasarkan Studi Kasus tersebut maka diperoleh data-data
sebagai berikut:
1. Duduk Perkara
Pada Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor:
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg telah dilakukan tindak pidana karena
melakukan tindakan yang dapat merugikan perekonomian bangsa dan negara
oleh terdakwa AZ selaku Pegawai Negeri Sipil, NIP. 195806071988031005,
diangkat sebagai Sekretaris Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kota
Semarang oleh Walikota Semarang dengan Surat Keputusan Walikota
Semarang Nomor : 821.2/30/2008, tanggal 30 Desember 2008. Sebagai
Sekretaris BPPT Kota Semarang Terdakwa diserahi sebuah kendaraan
(mobil) dinas, operasional berupa Daihatsu Terios, Merk/Type F70ORG-TS,
tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, Nomor Polisi H-
42
9530-RS sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda
Empat Nomor : 024/I, tanggal 05 Januari 2009 ditandatangani oleh Saksi MS
dan terdakwa AZ yang berisi bahwa saksi MS jabatan Kepala BPPT Kota
Semarang selaku Pihak Pertama menyerahkan mobil dinas kepada terdakwa
AZ jabatan Sekretaris BPPT Kota Semarang sebagai Pihak Kedua untuk
digunakan sebagai kendaraan operasional Sekretaris BPPT Kota Semarang
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Pada hari yang sudah tidak dapat diingat lagi pada bulan Mei 2010
Terdakwa meminjam BPKB Kendaraan (Mobil) Dinas Operasional tersebut
kepada saksi H selaku Kasubag Umum BPPT kota Semarang dengan alasan
BPKB tersebut akan diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Pemerintah Kota
Semarang oleh Terdakwa untuk perpanjangan pajak kendaraan, kemudian
pada bulan Mei sampai awal bulan Juni 2010 bertempat dirumah Terdakwa
telah membuat sendiri Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal, Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMDA) Kota Semarang
Sekarang Berubah menjadi BPPT Kota Semarang Nomor : 024.2/127/1 Juni
2008 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan identitas Nomor Polisi
H-9530-RS yang selanjutnya menjadi hak milik Terdakwa AZ dengan Berita
Acara Serah Terima mobil tanggal 31 Juli 2008 yang menerangkan saksi HK
jabatan Kepala BPPT Kota Semarang telah menyerahkan sebuah mobil
Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS beserta BPKB nya kepada
Terdakwa AZ dan sebuah tanda terima uang Rp. 80.000.000,- (Delapan Puluh
43
Juta Rupiah) tanggal 1 Juni 2008 dari Terdakwa guna membayar mobil
Daihatsu Terios dengan Nomor Polisi H-9530-RS.
Setelah surat-surat selesai dipalsukan maka terdakwa mengendarai
mobil dinas yang sudah berplat hitam menuju ke Kendal dengan maksud
untuk mencari pinjaman uang sebesar Rp. 30.000.000,- (Tiga Puluh Juta
Rupiah) dengan jaminan BPKB kendaraan dinas operasional Daihatsu Terios
Nomor Polisi H-9530-RS tersebut. Sesampainya di Kendal Terdakwa
bertemu dengan Saksi HR di Kendal dan Terdakwa mengutarakan niatnya
untuk mencari pinjaman kemudian saksi HR menyarankan terdakwa untuk
bertemu dengan Saksi MM selaku Pemilik Showroom BB Motor yang ada di
Kendal, kemudian Terdakwa menemui saksi MM bersama dengan saksi HR,
setelah mereka bertemu dan mencapai kesepakatan dan terdakwa diberi
pinjaman sebesar Rp. 100.000.000,- dari Showroom BB Motor dengan syarat
Mobil Daihatsu Terios berserta STNK dan BPKB nya ditinggal di Showroom
BB Motor sebagai jaminan.
Pada hari itu Terdakwa diberi uang Rp. 45.000.000,- oleh saksi MM
sebagai uang muka Pembelian Mobil Daihatsu Terios tersebut dan dibuatkan
kwitansi pembayaran pertanggal 5 Juni 2010 dengan catatan mobil akan
diambil setelah 1 bulan terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010 dengan catatan
jika tidak diambil syah menurut jual beli.
Pada hari senin 7 Juni 2010 dilakukan pembayaran lagi oleh saksi
MM kepada Terdakwa sebesar Rp. 55.000.000,- dan dibuatkan kwitansi
tanggal 7 Juni 2010 sebesar Rp. 100.000.000,- guna pembayaran satu buah
44
mobil Daihatsu Terios dengan catatan mobil akan diambil setelah satu bulan
terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010 dan jika tidak diambil syah menurut jual-
beli sehingga total pembayarannya sebesar Rp. 100.000,000-. Bersamaan
dengan diterimanya uang dari saksi MM maka Mobil Daihatsu Terios Nomor
Polisi H-9530-RS menyertakan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset-aset Daerah (BKPMDA)
Kota Semarang Nomor : 024.2/127 tanggal 1 Juni 2008 tentang pelepasan
Mobil Daihatsu Terios dengan identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang
selanjutnya menjadi hak milik terdakwa dan Berita Acara serah terima mobil
tanggal 31 Juli 2008. Oleh karena tidak mengindahkan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Dakwaan
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Terdakwa didakwa
melakukan Tindak Pidana Korupsi dengan dakwaan kombinasi / Alternatif
Komulatif dengan membuktikan dakwaan yang dikomulatifkan yaitu dakwaan
pertama kesatu melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan kedua melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Pembuktian
Pembuktian di persidangan memeriksa beberapa alat bukti yaitu:
45
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi yang intinya menerangkan sebagai berikut:
1. Saksi ke-1 (MS)
Masdiana Safitri, SH menjabat sebagai Kepala Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu (BPPT) Kota Semarang sejak tanggal 31 Desember 2008
sampai sekarang. Terdakwa saat itu menjabat sebagai Sekretaris Badan
Pelayanan dan Perijinan Terpadu (BPPT), dengan adanya kasus ini terdakwa
sekarang dinonaktifkan.
Sebagai Sekretaris BPPT Terdakwa mendapat fasilitas mobil operasional
sekretariat berupa mobil Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS, warna
hitam dengan plat nomor warna merah, sebelum saksi menjabat sebagai
Kepala BPPT Kota Semarang, mobil Daihatsu Terios tersebut sudah
digunakan oleh Terdakwa tetapi tidak ada serah terimanya.
Pada tanggal 5 Januari 2009 saksi membuat Berita Acara Serah Terima
Kendaraan Dinas Roda Empat Nomor : 024/I yang isi nya adalah Saksi
selaku Kepala BPPT Kota Semarang menyerahkan mobil dinas Daihatsu
Terios Nomor Polisi H-9530-RS kepada Terdakwa selaku Sekretaris BPPT
Kota Semarang dengan ketentuan :
1. Tidak boleh memindah tangankan atau meminjamkan/ menjual
kendaraan roda empat tersebut kepada pihak lain ;
2. Tidak boleh menggunakan kendaraan roda empat tersebut untuk
kepentingan pribadi;
46
3. Jika diperlukan unutk kepentingan dinas sanggup menyerahkan
kendaraan dinas tersebut ;
4. Berkewajiban memelihara kendaraan dinas tersebut ;
Mobil operasional Sekretaris BPPT Kota Semarang tersebut yang
bernomor polisi H-9530-RS tersebut telah dijual oleh Terdakwa kepada
seseorang di Kendal antara bulan Juni tahun 2010, Saat bulan Juni 2009
tersebut Terdakwa jarang datang ke kantor dan pada bulan Juni 2009 mobil
dinas operasional Daihatsu Terios H-9530-RS juga tidak pernah ada di
kantor, Saksi membuat Surat Teguran ke I tanggal 10 Agustus 2010 dan Surat
Teguran Ke II tanggal 20 Agustus 2010, untuk mengklarifikasi alasan
Terdakwa tidak masuk kantor dan untuk mengklarifikasi pemakaian mobil
dinas Daihatsu Terios H-9530-RS yang tidak semestinya. Terhadap Surat
Teguran tersebut,Terdakwa menjelaskan bahwa mobil Daihatsu Terios
tersebut telah dijual kepada orang Kendal dan Sampai sekarang mobil dinas
tersebut belum dikembalikan oleh Terdakwa;
Penjualan atau penghapusan suatu mobil dinas harus sesuai dengan
prosedur yang ada dan juga harus melalui ijin serta permohonan dari
Pemerintah Kota Semarang di bagian perlengkapan, Mobil dinas yang bisa
dihapuskan atau dilelang adalah mobil yang usianya sudah tua dan tidak bisa
diperbaiki lagi atau biaya perawatannya mahal, sedangkan mobil dinas
Daihatsu Terios H-9530- RS masih berusia muda karena diadakan pada
tahun 2008, Mobil dinas tersebut diberikan kepada jabatannya bukan orang
perseorangan, Kepada yang diserahi mobil dinas tersebut diserahkan mobil
47
dan STNKnya saja, sedangkan BPKBnya disimpan di Sub Bagian Umum,
Menurut peraturan terbaru, BPKB disimpan di Bagian Rumah Tangga Setda
Kota Semarang.
Setelah ada pemberitaan tentang mobil dinas di surat kabar, saksi dilapori
oleh Sub Bagian Umum bahwa BPKB mobil Daihatsu Terios H-9530-RS
dipinjam oleh Terdakwa dengan alasan untuk perpanjangan STNK dan untuk
diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Setda, Pengadaan mobil dinas yang
dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal, Pemberdayaan
BUMD & Aset Daerah (BKPMPB&A) Kota Semarang yang sekarang
berubah nama menjadi BPPT Kota Semarang adalah Daihatsu Terios Nomor
Polisi H-9530- RS, Saksi meminta Terdakwa untuk membawa mobil dinas ke
kantor, tapi Terdakwa berbelit-belit bilang kalau mobil ada di bengkel,
setelah ada klarifikasi terdakwa mengaku kalau mobil dijual di Kendal,
perbuatan Terdakwa menjual mobil dinas tersebut melanggar Klausul yang
ada pada Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat Nomor :
024/I , tanggal 5 Januari 2009, Mobil dinas tersebut merupakan aset
Pemerintah Kota Semarang sehingga Negara telah dirugikan, Terhadap
keterangan saksi tersebut Terdakwa menyatakan benar dan tidak ada
tanggapan.
2. Saksi-2 (HK)
Saksi saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMPB&A) Kota
Semarang dari bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2008,
48
Terdakwa AZ saat itu juga menduduki jabatan sebagai Sekretaris
BKPMPB&A, Mulai Januari 2009 BKPMPB&A berubah menjadi BPPT,
selanjutnya saksi diganti oleh Saksi MS sebagai Kepala BPPT kota Semarang
dan Terdakwa juga masih menjabat sebagai Sekretaris BPPT, Pada tahun
2008 BKPMPB&A pernah mengadakan pengadaan mobil dinas operasional
jenis Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS, dengan sistem lelang, saksi
menyerahkan mobil dinas tersebut kepada Kepala Bidang Pengawasan Sdr,
Kartono untuk kendaraan operasional, STNK dan BPKB mobil dinas tersebut
atas nama Pemerintah Kota Semarang dan warna Tanda Nomor Kendaraan
surat :
a. Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah Kota Semarang Nomor :
024.2 / 127 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan
identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang selanjutnya menjadi Hak
Milik AZ tanggal 1 Juni 2008 ;
b. Berita Acara Serah Terima Mobil dari Saudara kepada AZ tanggal
13 Juli 2008;
c. Kwitansi Tanda Terima uang sebesar Rp.80.000.000 ,00 (delapan
puluh juta rupiah ) dari AZ untuk pembayaran Mobil Daihatsu
Terios No. Pol H-9530- RS ;
Tandatangan yang ada pada surat-surat tersebut bukan tanda tangan
saksi, Saksi juga pernah ditelepon oleh Terdakwa yang mengatakan terdakwa
minta maaf kepada saksi karena terdakwa telah memalsukan tandatangan
49
Saksi, Pada saat itu BPKB Mobil Daihatsu Terios No. Pol . H-9530-RS
dipegang oleh Kasubag Umum (Sdr. Bachtiar Effendi).
Tahun 2009 ada ketentuan dari Sekretariat Daerah Kota Semarang, maka
semua Aset Daerah termasuk BPKB Mobil tersebut harus diserahkan dan
disimpan dibagian Rumah Tangga Pemerintah Kota Semarang.
3. Saksi-3 (H)
Saksi adalah Kasubag Umum dan Kepegawaian pada BBPT Semarang
sejak bulan Januari 2009, sedangkan terdakwa merupakan atasan atasan
langsung saksi yaitu sebagai sekretariat BPPT Kota Semarang, sebagai
sekretaris BPPT Kota Semarang Terdakwa memperoleh fasilitas berupa mobil
operasional Daihatsu Terios H-9530-RS warna hitam plat nomor warna merah
STNK dan BPKB atas nama Pemerintah Kota Semarang, Mobil tersebut
pengadaan tahun 2008 oleh BKPMPB&A dan terdaftar dalam infentaris BPPT
Kota Semarang Nomor urut 211.
Pada akhir tahun 2009 saksi menerima BPKB kendaraan Dinas Daihatsu
Terios H-9530- RS dari saksi Bachtiar Effendi (Kasubag Umum BPPT yang
lama), Saksi pada awal tahun 2010 membuatkan konsep Berita Acara
Penyerahan Kendaraan Dinas Roda Empat dari Ibu Masdiana sebagai Kepala
BPPT kepada terdakwa AZ selaku Sekretaris BPPT dan melaporkan kepada
Terdakwa selaku atasan langsung mengenai BPKB Kendaraan Dinas Daihatsu
Terios H-9530-RS sekarang disimpan oleh saksi, Saksi meminta pendapat,
apakah BPKB tersebut tetap disimpan saksi atau diserahkan ke Bagian Rumah
Tangga Pemerintah Kota Semarang.
50
Sekitar bulan Mei 2010 Terdakwa meminta BPKB Kendaraan Dinas
Daihatsu Terios H-9530-RS kepada saksi dengan alasan akan diserahkan ke
bagian Rumah Tangga Pemerintah kota Semarang dan akan digunakan untuk
perpanjangan pajak STNK, Saksi mau menyerahkan BPKB kendaraan tersebut
karena Terdakwa selaku atasan langsung, dan Terdakwa juga beralasan BPKB
akan diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Pemkot Semarang serta untuk
perpanjangan pajak STNK mobil, Saksi sebagai Kasubag Umum pernah
menanyakan kepada Terdakwa tentang keberadaan BPKB mobil tersebut dan
keberadaan mobil tersebut karena mobil dinas Daihatsu Terios jarang ada
dikantor BPPT Kota Semarang, Terdakwa saat itu juga Menerangkan
mengenai BPKB sudah diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Pemerintah Kota
Semarang sedangkan mobil dinas tersebut berada di bengkel.
Saksi pernah melaporkan kepada Kepala BPPT Kota Semarang setelah
masalah mobil dinas tersebut muncul di Koran, Kendaraan dinas Daihatsu
Terios H-9530-RS tersebut sampai sekarang belum dikembalikan oleh
Terdakwa ke BPPT Semarang, menurut informasi dari atasan saksi, mengenai
mobil tersebut telah dijual kepada seseorang di Kendal.
4. Saksi-4 (BE)
Terdakwa merupakan Sekretaris BPPT Kota Semarang yang sebelumnya
bernama Badan Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset
Daerah (BKPMPB&A)
Pada saat itu Saksi selaku Kasubag Umum dan kepegawai pada Badan
Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah
51
(BKPMPB&A) sejak tahun 2002 sampai akhir 2008, Saksi telah dimutasikan
sebagai Kasubbid Pemberdayaan BUMD pada BPPT semarang dan Saksi
diganti oleh Sdr. Hartuti.
Pada tahun 2008 BKPMPB&A mengadakan Pengadaan Mobil Dinas
merek Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS warna hitam dengan cara
lelang umum, setelah proses lelang tersebut kemudian surat-suratnya keluar
maka mobil tersebut saksi serahkan selaku Kasubag Umum kepada Sdr.
Kartono selaku Kabid Pengawasan BPPT Semarang pada tanggal 12 Desember
2008, dengan Berita Acara Serah Terima atas Perintah kepala BKPMPB&A.
Mobil tersebut digunakan untuk kendaraan operasional kantor Kepala Bidang
Pengawasan BPPT Kota Semarang, dan memang mobil tersebut boleh dibawa
pulang.
Pembiayaan Operasional semua kendaraan dinas dilakukan oleh
Pemerintah kota Semarang, misalnya perpanjangan STNK, Ganti Oli serta
service, Mobil dinas tersebut diserahkan kepada Sdr. Kartono selaku Kabid
Pengawasan beserta STNK nya, sedangkan BPKB kendaraan tidak diserahkan
karena disimpan diSub Bagian Umum BPPT Kota Semarang, BPKB memang
tidak diperkenankan untuk diserahkan kepada Pengguna Mobil, saksi
mengetahui mobil dinas Terios tersebut ternyata dipakai oleh Terdakwa sejak
akhir Desember 2008, tetapi Saksi itidak mengetahui alasannya, pikiran saksi
karena Terdakwa memiliki jabatan Eselon III a sedangkan Sdr.Kartono
memiliki jabatan Eselon III b.
52
Pada bulan Desember 2009 BPKB kendaraan operasional tersebut saksi
serahkan kepada Sdr.Hartuti selaku Kasubag Umum BPPT yang baru
menggantikan Saksi bertempat di BPPT Kota Semarang, pada pertengahan
tahun 2010 Saksi tidak melihat mobil operasional tersebut berada dikantor
BPPT dan tidak pernah dipakai oleh Terdakwa, dengan tidak ada mobil dinas
tersebut maka operasional BPPT Kota Semarang terganggu, sesuai peraturan
internal ada ketentuan bahwa mobil operasional tidak boleh dipindah
tangankan, dijual, atau digadaikan.
5. Saksi-5 (K)
Mobil dinas yang dipakai terdakwa awalnya dipakai oleh Kasubag Umum,
kemudian diserahkan kepada saksi pada tanggal 12 Desember 2008, untuk
kendaraan operasional saksi selaku Kabid Pengawasan BPPT Kota Semarang,
bahwa saksi memakai mobil dinas Daihatsu Terios H-9530-RS tersebut hanya
15 hari kemudian mobil dinas tersebut diminta oleh Terdakwa selaku
Sekretaris BPPT. Saksi menyerahkan mobil dinas tersebut dengan Berita Acara
Serah Terima tanggal 30 Desember 2008 yang ditandatangani oleh Saksi dan
Terdakwa , saat itu Kepala BKPMPB&A Kota Semarang sedang cuti ibadah
haji.
Saksi mengetahui yang ditunjuk sebagai Pejabat sementara Kepala
BKPMPB&A adalah dari luar BKPMPB&A, mobil tersebut saksi serahkan
kepada Terdakwa tidak melalui Kepala atau Kasubag Umum karena
pemahaman saksi , mengenai Jabatan Terdakwa Eselon III a sedangkan Saksi
Eselon III b, karena itu ketika Terdakwa meminta mobil dinas tersebut, saksi
53
langsung menyerahkan, dan saksi hanya diberikan kendaraan operasional
Toyota Kijang Kapsul yang sebelumnya dipakai oleh Terdakwa. Pada awal
bulan Agustus 2010 Saksi dipanggil oleh Kepala BPPT Kota Semarang (Ibu
Masdiana) di ruangan beliau bersama dengan Kepala Bidang yang lainnya ,
kemudian diberitahukan mengenai mobil dinas Daihatsu Terios telah
digadaikan oleh Terdakwa AZ.
Saat rapat pemanggilan tersebut Terdakwa tidak ikut dalam ruangan itu
karena terdakwa tidak masuk kantor, setelah 1 (satu) minggu ada utusan dari
Showroom “BB” yang datang menghadap Kepala BPPT Kota Semarang untuk
mengklarifikasi masalah mobil tersebut, saat mengklarifikasi Saksi dan
Terdakwa AZ ikut didalam ruangan Kepala BPPT dan saat itu diperoleh
informasi bahwa mobil dinas Daihatsu Terios Nomor Polisi : H-9530-RS
tersebut telah dijual oleh Terdakwa AZ ke Showroom BB Kendal seharga
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah),
Saat itu juga Terdakwa AZ membenarkannya dan bersedia untuk
mengembalikan mobil tersebut sekitar 1 minggu, tetapi sampai sekarang mobil
tersebut belum dikembalikan oleh Terdakwa, saksi melihat terakhir mobil
dinas Daihatsu terios No.Pol. H-9530-RS tersebut telah dipakai oleh AZ ke
Kantor sekitar bulan Juni 2010, saat Kepala BKPMPB&A Kota Semarang
sedang cuti ibadah haji , Terdakwa menjabat sebagai PLH Kepala
BKPMPB&A Kota Semarang berdasarkan memo kepala kepada Walikota.
54
6. Saksi-6 (Mohamad Muslich)
Saksi bekerja sebagai Pengelola Showroom BB Motor Kendal bergerak
dibidang jual-beli mobil yang terletak di Jalan Raya Soekarno Hatta Nomor
106 Kendal, terhitung sejak 2006 sampai saat ini.
Saksi bertemu dengan Terdakwa AZ pada hari Sabtu tanggal 05 Juni 2010,
dan ketika itu saksi berada di showroom BB Motor-Kendal, Kemudian datang
karyawan bernama Dudek Ardian bersama orang yang mengaku bernama Heri
dan Terdakwa AZ yang intinya menawarkan mobil Daihatsu Terios, warna
hitam, Nomor Polisi : H-9530-RS, pada saat itu Dudek Ardian menawarkan
kepada Saksi, mobil merek Daihatsu Terios berasal dari Lelang Mobil di
Pemkot Semarang. Nomor Polisi H-9530-RS, plat sudah hitam, BPKB komplit,
di lengkapi surat lelang, slip gaji, KTP atas nama Drs. Arief Zainuddin, MM,
Sdr. Heri meyakinkan saksi yang pokoknya menyatakan AZ sebagai orang
yang dapat dipercaya dan Terdakwa AZ meyakinkan saksi juga yang intinya
mobil tersebut tidak bermasalah.
Saat itu Terdakwa memakai baju dinas dan Terdakwa juga menunjukan
dan menyerahkan Surat sebagai pemenang lelang mobil Daihatsu Terios,
BPKB Asli, STNK asli , Berita Acara Serah Terima kepada Terdakwa, dan
KTP asli Terdakwa, serta slip gaji, mobil menggunakan plat hitam, sedangkan
BPKB dan STNK atas nama Pemerintah Kota Semarang, Tedakwa juga
meyakinkan mengenai mobil tidak ada masalah, dan Saksi juga yakin karena
Terdakwa memakai baju dinas dan penampilannya meyakinkan, Awalnya
Terdakwa meminta untuk dipinjami uang sebesar Rp. 30.000.000,- ( tiga puluh
55
juta rupiah ) dengan jaminan BPKB Mobil tersebut, saksi saat itu tidak mau
dengan permintaan tersebut karena di Showroom BB Motor tidak ada sistem
seperti itu, lalu saksi menawarkan kalau mau mobil dan surat-suratnya
ditinggal.
Saksi menyetujui penawaran itu dengan harga disepakati Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah), selanjutnya pada saat itu akan dibayar dulu
sebesar Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) sedangkan sisanya
sebesar Rp. 55.000.000, - ( lima puluh lima juta rupiah) diserahkan kepada
Terdakwa pada tanggal 07 Juni 2010, setelah uang Rp.45.000.000,- (empat
puluh lima juta rupiah ) tersebut saksi serahkan kepada Terdakwa lalu
dibuatkan kwitansi sebesar Rp.45.000.000, - (empat puluh lima juta rupiah )
dengan catatan “unit akan diambil setelah 1 bulan, terhitung mulai tanggal 5
Juni 2010, dan apabila tidak diambil, sah menurut jual beli”.
Maksud catatan tersebut mengenai terdakwa diprioritaskan untuk membeli
kembali mobil dalam jangka waktu 1 bulan, dan mobil tersebut tidak akan
dijual kepada orang lain selama 1 bulan, dan apabila dibeli kembali oleh
Terdakwa maka saksi akan diberi keuntungan, Kemudian pada tanggal 7 Juni
2010 dilakukan pembayaran Rp.55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah)
kepada Terdakwa dan diberi kwitansi pembayaran tertulis Rp.100.000 .000,-
(seratus juta rupiah) dan juga diberi catatan“unit akan diambil setelah 1 bulan,
terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil, sah menurut
jual beli”.
56
Ternyata sampai dengan 1 (satu) bulan mobil tersebut tidak dibeli lagi oleh
Terdakwa, kemudian mobil tersebut dijual oleh Saksi kepada saksi S orang
Kendal seharga Rp.126.000..000,- (seratus dua puluh enam juta rupiah), mobil
tersebut beserta surat-suratnya sekarang sudah disita oleh Kejaksaan Negeri
Semarang, Saksi juga merasa rugi karena saksi harus mengganti mobil kepada
saksi S, karena mobil Daihatsu terios tersebut disita oleh Kejaksaan.
7. Saksi-7 (DA)
Pada tanggal 5 Juni 2010 terdakwa AZ datang ketempat saksi bekerja di
Showroom BB Motor Jl. Soekarno Hatta N0. 106 Kendal bersama dengan
Saksi HR untuk menawarkan sebuah mobil Daihatsu Terios warna hitam
Nomor Polisi H-9530-RS.
Saat itu Terdakwa AZ mengatakan mau pinjam uang sebesar
Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan jaminan BPKB mobil Daihatsu
terios tersebut, tetapi saksi mengatakan tidak bisa, karena Showroom tidak
melayani seperti model itu, Terdakwa AZ kemudian mengatakan bagaimana
kalau mobil ini dijual Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah ) selanjutnya saksi
menghubungi saksi MM (Mamad) selaku yang memegang peranan di
Showroom BB Motor.
Setelah itu saksi dan saksi MM mengecek kondisi mobil beserta
kelengkapan berkas-berkasnya berupa BPKB, STNK, berkas lelang, surat
pelepasan dari kantor Pemkot Semarang kepada terdakwa AZ yang menurut
saksi asli semua, setelah melihat surat-surat tersebut kemudian saksi
57
menyetujui harga Rp.100.000 .000,- (seratus juta rupiah ) untuk mobil
Daihatsu Terios tersebut, setelah ada kesepakatan antara saksi dan Terdakwa
AZ maka terjadi pembayaran dan karena saat itu hari Sabtu tanggal 5 Juni 2010
tidak bisa mengambil uang di Bank, maka dibayar terlebih dahulu sejumlah
Rp.45.000.000 ,- (empat puluh lima juta rupiah) , pada hari Senin tanggal 7
Juni 2010. Sdr. Mamad memberikan uang lagi kepada saksi sebesar
Rp.55.000.000 ,- (lima puluh lima juta rupiah) untuk pembayaran kekurangan
jual / beli mobil Daihatsu Terios tersebut. Saksi bersama saksi HR
menghubungi Terdakwa dan diminta oleh Terdakwa bertemu di Kantor BPPT
Kota Semarang, tetapi ketika bertemu Terdakwa mengatakan agar ketemu di
rumah Terdakwa saja , sesampainya di rumah Terdakwa kemudian Terdakwa
mengajak agar pembayaran dilakukan di rumah saksi HR di daerah Kendal
saja. Saksi bersama saksi HR dan Terdakwa menuju ke rumah Heri di kendal ,
dan kemudian saksi menyerahkan uang Rp.55.000.000 ,00 kepada Terdakwa
untuk kekurangan pembayaran mobil Daihatsu terios tersebut , setelah
menyerahkan uang tersebut , maka dibuatkan kwitansi pembayaran sebesar
Rp.100.000.000,- guna pembayaran Mobil Daihatsu terios H-9530-RS, dan
pada kwitansi diberi catatan mengenai “unit akan diambil setelah1 bulan ,
terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil , sah menurut
jual beli ” dan uang diterima oleh Terdakwa.
Mobil tersebut dibawa ke Showroom BB Motor dengan menggunakan Plat
Hitam No. Pol H-9530-RS, sedangkan STNK dan BPKB memang menyatakan
Warna Tanda Nomor Kendaraan Bermotor / TNKB Merah, tetapi pada saat itu
58
terdakwa AZ menyertakan Surat Keputusan Pelepasan Mobil , dan Berita
Acara Serah Terima Mobil serta Tanda Terima Pembayaran dari terdakwa AZ
kepada Bendahara , dari situ saksi percaya mengenai mobil tersebut memang
sudah dilelang dan pemenangnya adalah Sdr. AZ. Saksi kenal dengan Heri
tetapi tidak akrab dan kenal hanya sebatas makelaran mobil saja yang sering
menawarkan/memberitahu kalau ada orang mau jual mobil hasil lelang.
8. Saksi ke-8 (S)
Pada hari senin tanggal 12 Juli 2010 saksi bersama dengan Haji Achmad
Ikhsan datang ke Showroomn BB Mobil Kendal dan ditawari mobil Daihatsu
Terios warna hitam Nomor Polisi : H-9530-RS (Plat Hitam),
Saksi tertarik dan nego harga dengan Muhamad Muslih yang disepakati
harga Rp.140.000 .000,- (seratus empat puluh juta rupiah) dengan perjanjian
Velg mobil diganti Racing, Pajak STNK diperpanjang dan Cat yang lecet
diperbaiki Saksi memberikan uang muka Rp.5.000.000,- ( lima juta rupiah ) di
tambah mobil saksi yang Mitsubishi L-300 warna putih harus ditinggal di
Showroom BB Motor, kemudian saksi MM mengatakan mobil Daihatsu Terios
akan diantar ke rumah saksi sekitar Pukul 14.00 WIB, dan selanjutnya saksi
pulang.
Hari berikutnya saksi datang lagi ke Showroom BB Motor menyerahkan
uang Rp.48.000.000,- dan 1 (satu) unit mobil L-300 milik saksi yang dihargai
Rp.70.000.000 ,- oleh BB Motor, kemudian saksi menyerahkan uang lagi
Rp.3.000.000,- sehingga jumlah uang yang diserahkan oleh saksi ke BB Motor
untuk membayar Mobil Daihatsu Terios tersebut sejumlah Rp.126.000 .000,-
59
Mulai saat terdakwa membeli mobil tersebut sampai dengan menggunakan
mobil tersebut, saksi tidak pernah diperlihatkan BPKB dan STNK mobil oleh
pihak Showroom BB Motor denan alasan surat-surat masih diurus untuk balik
nama dan perpanjangan pajak, dalam keseharian untuk menggunakan mobil
Daihatsu Terios tersebut Saksi hanya diberi Surat Tilang oleh Saksi MM.
Tanggal 9 Nopember 2010 Saksi bermaksud memperbaiki plat mobil yang
diikat dengan kawat diganti dengan baut, tapi saat mengencangkan baut
ternyata cat plat mobil Daihatsu terios tersebut terkelupas dan kelihatan warna
dasarnya adalah merah kemudian Saksi menaruh curiga dan was- was apakah
mobil tersebut platnya merah. Tanggal 10 Nopember 2010 Saksi segera
mengembalikan mobil Daihatsu terios tersebut ke Shoowroom BB Motor dan
bertemu dengan saksi MM, tetapi tidak mau menerima pengembalian mobil
tersebut dengan alasan mau pergi keluar kota dan mobil agar dibawa kembali
ke rumah. Saksi sering menghubungi Saksi MM, menanyakan tentang status
mobil tersebut dan akan mengembalikan mobil tersebut tetapi tidak pernah
ketemu, saksi baru mengetahui mengenai mobil tersebut adalah milik
Pemerintah Kota Semarang dan plat mobilnya masih berwarna merah setelah
saksi didatangi oleh Penyidik dari Kejaksaan Negeri Semarang di rumah saksi
untuk melakukan penyitaan mobil Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS
tersebut pada hari Jum’at tanggal 29 Nopember 2010 di rumah saksi.
9. Saksi ke 9 (ABL)
Jabatan saksi saat ini sebagai Kepala Bagian Rumah Tangga dan Santel
Sekretariat Daerah Kota Semarang sejak 14 Oktober 2010 Tugas pokok dan
60
tanggung jawab Saksi adalah : Memelihara sarana transportasi dan
penyimpanan dokumen kepemilikan kendaraan dinas (BPKB) , baik mobil
ataupun motor . Mengelola sandi dan telekomunikasi di Gedung Balai kota,
Gedung Pandanaran, dan Gedung Juang, serta di rumah dinas Walikota dan
Wakil Walikota . Pasal 25 ayat (2) Peraturan Walikota Semarang Nomor : 19A
Tahun 2009 tanggal 15 September 2009, menyatakan: “Dokumen kepemilikan
kendaraan dinas milik Pemerintah Daerah disimpan oleh Bagian Rumah
Tangga dan Santel Sekretariat Daerah” .
Berdasarkan Rekapitulasi Kendaraan Dinas Roda 4 Pemerintah Kota
Semarang hingga akhir bulan Oktober 2010, Bagian Rumah Tangga dan Santel
Sekretariat Daerah Kota Semarang, tidak pernah menyimpan BPKB mobil
dinas merek Daihatsu Terios Nomor Polisi : H-9530-RS tersebut karena belum
diserahkan oleh BPPT Kota Semarang sebagai Instansi yang melaksanakan
pengadaan mobil dinas merek Daihatsu Terios Nomor Polisi : H9530-RS
tersebut. Saksi pernah meminta BPKB mobil Daihatsu Terios No Pol H-9530-
RS ke BPPT Kota Semarang pada bulan Februari 2010 dan pada bulan
Nopember 2010 tetapi pihak BPPT tidak pernah menyerahkan.
b. Keterangan Terdakwa
Menurut Terdakwa AZ Bahwa Terdakwa adalah Pegawai Negeri Sipil,
sejak Tahun 1987 Terdakwa diangkat sebagai CPNS bertugas di Sekretariat
Daerah Kota Semarang, Pada Tahun 2004 Terdakwa diangkat menjadi
Sekretaris BKPMPB&A Kota Semarang, Pada tahun 2009 sampai sekarang
diangkat menjadi Sekretaris BPPT Kota Semarangoleh Walikota Semarang
61
sebagai SekretarisBPPT, Terdakwa membawahi Kasubag Keuangan,
Kepegawaian, dan Bagian Umum.
Kewenangan Terdakwa dalam bidang keuangan dan barang yaitu :
perencanaan keuangan di BPPT Kota Semarang, mengusulkan kepada Kepala
tetapi Terdakwa tidak mempunyai kewenangan memutus. Fasilitas yang
diperoleh dari Pemerintah Kota Semarang sebagai Sekretaris BPPT Kota
Semarang yaitu Mobil Dinas, yang digunakan untuk operasional tugas sebagai
Sekretaris BPPT Kota Semarang, yaitu Mobil Toyota Kijang Kapsul.
Kemudian pada tanggal 30 Desember 2008 Terdakwa memperoleh
fasilitas mobil dinas Daihatsu Terios warna Hitam Nomor Polisi H-9530-RS
(Plat Merah), beserta STNKnya, mobil dinas tersebut Terdakwa terima dari
Sdr. Kartono (Kabid Pengawasan BPPT Kota Semarang), dan ada Surat
Penyerahannya. Kemudian pada tanggal 5 Januari 2009 Terdakwa
menandatangani Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Nomor : 024/I
antara Terdakwa dengan Masdiana Safitri sebagai Kepala BPPT Kota
Semarang.
Tanggung jawab Terdakwa sebagai pemegang Mobil Dinas yaitu tertuang
dalam Berita Acara Serah Terima Kendaraan DinasNomor : 024/I yaitu :
1) Tidak boleh memindah tangankan atau meminjamkan/menjual kendaraan
dinas tersebut;
2) Tidak boleh menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi;
3) Apabila dibutuhkan untuk kepentingan dinas, sanggup menyerahkan
kendaraan dinas tersebut;
62
4) Wajib memelihara, menjaga keamanan dan keutuhan kendaraan dinas
tersebut;
Sekitar bulan Mei 2010Terdakwa minta BPKB kepada Saksi Hartuti
(Kasubag Umum BPPT) dengan alasan BPKB akan diserahkan ke Bagian Rumah
Tangga Pemerintah Kota Semarang dan akan dipergunakan untuk memperpanjang
pajak STNK mobil. Terdakwa membuat sendiri Surat Keputusan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal, Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah Kota
Semarang Nomor :024.2 / 127 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan
Identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang selanjutnya menjadi hak milik Saudara
AZ tanggal 1 Juni 2008 dan Berita Acara Serah Terima Mobil tanggal 31 Juli
2008 antara Dra Harini Krisniati MM dengan Saksi, Serta Terdakwa lampirkan
pula Tanda Terima pembayaran Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)
tanggal 1 Juni 2008 dari Terdakwa kepada Bendahara BKPMPBA kota
Semarang( Ir.Endang Saptorini ).
Terdakwa juga yang menandatangani sendiri tanda tangan yang ada di
dokumen palsu tersebut, pada tanggal 5 Juni 2010 terdakwa bermaksud pinjam
uang Rp.30.000.000,- ( tiga puluh juta ) dengan jaminan BPKB mobil dinas
tersebut, dengan perantara saksi HERI (alamat Perumahan Patebon Asri 7.B
Kendal) tersebut, selanjutnya ditunjukan ke BB Motor yang berada di Jl.Sukarno
Hatta 106 Kendal, keinginan Terdakwa untuk pinjam uang tersebut sangat sulit
dan kemudian melalui lobi-lobi Sdr. Heri dengan Staf BB Motor (Sdr. Ardian)
tersebut hasilnya disampaikan kepada Terdakwa.
63
Terdakwa dapat dipinjami Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan
jaminan BPKB, STNK dan Mobil harus ditinggal, Terdakwa menyetujui
kesepakatan tersebut, Terdakwa juga menyampaikan mengenai mobil dinas
tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain karena mobil tersebut masih plat
merah serta BPKB beridentitas juga dengan Plat merah, pada saat itu mobil
Daihatsu Terios plat Nomor Polisi H-9530-RS warna merah tetapi dicat sendiri
oleh Terdakwa menggunakan plat hitam, setelah terjadi kesepakatan antara
Terdakwa dengan pihak BB Motor lalu Terdakwa menerima uang pembayaran
mobil tersebut sebesar Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah), lalu
dibuatkan kwitansi sebesar Rp.45.000.000,- dengan catatan “unit akan diambil
setelah 1 bulan, terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil,
sah menurut jual beli.
Pada tanggal 7 Juni 2010 Terdakwa menerima pembayaran
Rp.55.000.000,00 dari pihak BB Motor untuk pembayaran mobil Daihatsu Terios
H-9530- RS di rumah Saksi Heri, oleh pihak BB Motor tersebut dibuatkan
kwitansi sebesar Rp.100.000.000,00 dengan catatan “unit akan diambil setelah 1
bulan, terhitung mulai tanggal 5 Juni 2010, dan apabila tidak diambil, sah menurut
jual beli, awalnya Terdakwa meminta pembayaran dikantor, tetapi tidak jadi
kemudian Terdakwa minta di Rumah terdakwa dan tidak jadi lagi, kemudian
Terdakwa meminta pembayaran di rumah saksi Heri di Kendal, uang tersebut
dipinjam oleh Saksi Heri Rp. 40.000.000,- dan sampai sekarang belum
dikembalikan.
64
Sampai sekarang mobil tersebut tidak dibeli lagi oleh Tedakwa, Terdakwa
menggunakan uang tersebut untuk membayar hutang-hutang Terdakwa yang saat
itu uang hutang tersebut digunakan untuk bisnis Terdakwa yang telah ditipu
orang, terdakwa menjual mobil tersebut ke Kendal karena pada awalnya ingin
pinjam uang dengan jaminan mobil tersebut dan Terdakwa juga mempunyai
kenalan orang di Kendal yang bernama Nasuha, sebelum Terdakwa menerima
penyerahan mobil Daihatsu Terios No Pol H-9530-RS dari Kartono, terdakwa
memintanya kepada Kartono agar mobil tersebut dipakai oleh Terdakwa
sedangkan Kartono memakai mobil dinas yang dipakai oleh Terdakwa yaitu
Toyota Kijang Kapsul.
Pada saat itu Terdakwa menjadi PLH Kepala BPPT Kota Semarang,
karena kepala BPPT sedang pergi ibadah Haji, sebagai PLH Terdakwa
mempunyai kewenangan seperti Kepala terkecuali masalah dengan keuangan
Pembagian/pendistribusian mobil dinas di BPPT Semarang termasuk dalam
wewenang dari Sekretaris BPPT Kota Semarang, Uang Rp.100.000.000,-(seratus
juta rupiah) yang diterima oleh Terdakwa dari penjualan mobil tersebut telah
digunakan oleh Terdakwa untuk membayar hutang sebanyak Rp. 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah) dan Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah)
digunakan atau dipinjam oleh saksi Heri.
Terdakwa mengaku bersalah, khilaf, dan menyesal serta berjanji tidak
akan mengulangi perbuatannya lagi.
65
c. Keterangan Ahli
Telah didengar keterangan ahli, yaitu YS yang memberikan keterangan
pada pokoknya sebagai berikut :
1. Saksi bertugas sejak Januari 2010 sebagai Kasi Standarisasi Perdagangan
pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang dengan tugas
pokok melakukan pengujian mutu barang yang ada dipasaran ;
2. Cara penghitungan harga mobil bukan baru yaitu apabila mobil tersebut
masih diproduksi oleh pabrik maka harga mobil pada daftar harga
(Pricelist) dari produsen dengan dihitung penyusutan harganya sebesar
10% pertahun;
3. Besar penyusutan 10 % tersebut adalah berdasarkan perkiraan dan survey
lapangan;
4. Berdasarkan hitungan ahli, harga mobil dinas Merek Daihatsu, Model/type
Terios TS/F700RG, tahun pembuatan 2008, warna hitam, isi silinder 1945
cc, yaitu Harga PriceListx Penyusutan = Rp153.400.000,00 x 20% =
Rp.124.320.000,00 (seratus dua puluh empat juta tiga ratus dua puluh ribu
rupiah).
4. Tuntutan Penuntut Umum
Berdasarkan uraian dalam dakwaan tersebut di atas, Penuntut Umum
menuntut Terdakwa AZ dengan tuntutan yang pada intinya sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa AZ tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Pertama Primer melanggar
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU. RI. Nomor 31 Tahun 1999 tentang
66
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan di
tambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Membebaskan terdakwa AZ dari Dakwaan Pertama Primer;
3. Menyatakan terdakwa AZ terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana ”Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu Korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara“sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dan di tambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang didakwakan
dalam Dakwaan Pertama Subsider ;
4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AZ dengan pidana penjara selama
2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa di tahan, dengan perintah supaya
terdakwa tetap di tahan di Rutan Kedungpane Semarang;
5. Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa AZ dengan denda sebesar
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka terdakwa harus menjalani
pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan;
67
6. Menyatakan Barang Bukti berupa :
a. 1 (satu) unit Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/Type F70ORG-TS,
tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor
rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor
polisi H-9530-RS ;
b. 1 (satu) buah BPKB Mobil Daihatsu Terios, Merek/ Type
F70ORG-TS, tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna
hitam, nomor rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin
DAM0418, nomor polisi H-9530-RS, nama pemilik Pemerintah
Kota Semarang ;
c. 1 (satu) buah STNK Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ Type
F70ORG-TS, tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna
hitam, nomor rangka MHKG2CJU8K005689, nomor mesin
DAM0418, nomor polisi H-9530-RS atas nama Pemerintah Kota
Semarang ; Dikembalikan ke Pemerintah Kota Semarang ;
d. Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah Kota Semarang Nomor :
024.2 / 127 tentang Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan
identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang selanjutnya menjadi Hak
Milik terdakwa AZ tanggal 1 Juni 2008 ;
e. Berita Acara Serah Terima Mobil kepada AZ tanggal 31 Juli 2008;
68
f. Tanda Terima uang sebesar Rp.80.000.000 , - (delapan puluh juta
rupiah) dari terdakwa AZ untuk pembayaran Mobil Daihatsu
Terios No. Pol .H-9530RS ;
g. Kwitansi Pembayaran mobil Daihatsu Terios H-9530-RS dari
Dudek Adrian / Muslich kepada terdakwa AZ sebesar Rp.
100.000.000 , - (seratus juta rupiah), dibuat di Kendal pada
tanggal 7 Juni 2010 ;
h. Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat , tanggal
5 Januari 2009 dari Masdiana Safitri SH (Kepala BPPT Kota
Semarang) kepada AZ (sekretaris BPPT KotaSemarang) , berupa
Kendaraan Daihatsu TERIOS, Merek/ Type F70ORG-TS, tahun
pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor
rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor
polisiH-9530- RS ;
i. Surat Penyerahan mobil dinas Daihatsu Terios , Nomor Polisi H-
9530-RS dari Bachtiar Effendi S.Sos, kepada Kartono S.Sos,
tanggal 12 Desember 2008 ;
j. Surat Penyerahan mobil dinas Daihatsu Terios Nomor Polisi H-
9530-RS dari Kartono S.Sos kepada terdakwa tanggal 30
Desember 2008 ; Tetap terlampir dalam berkas ;
7. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).
69
5. Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan Hakim
Berdasarkan alat-alat bukti yang telah diajukan Jaksa Penuntut Umum
dapat dibuktikan sebagaimana dinyatakan dalam tuntutannya, maka Majelis
Hakim dalam musyawarahnya mempertimbangkan sebagai berikut:
Terdakwa didakwa melanggar dakwaan pertama kesatu dalam Dakwaan
Pertama Primer, unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah :
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2. Perbuatan melawan hukum;
3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
1) Unsur kesatu dan ketiga “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat menimbulkan kerugian keuangan Negara
atau perekonomian”
Majelis hakim menyatakan pendapatnya sebagai berikut :
Memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menambah kekayaan, sehingga timbul suatu keadaan bertambahnya
kekayaan.
Di persidangan tidak terdapat bukti yang diajukan oleh Penuntut
Umum, yang dapat membuktikan berapa kekayaan diri Terdakwa atau
kekayaan orang lain atau kekayaan suatu korporasi sebelum Terdakwa
melakukan perbuatan dan berapa kekayaan diri Terdakwa atau kekayaan
orang lain atau kekayaan suatu korporasi sesudah Terdakwa melakukan
70
perbuatan oleh karena itu tidak dapat diketahui apakah diri Terdakwa atau
orang lain atau suatu korporasi bertambah kaya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka unsur “memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tidak terbukti.
Salah satu unsur tindak pidana dalam dakwaan Pertama Primer
tidak terbukti , maka Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana
dalam dakwaan Pertama Primer , dan oleh karena itu Terdakwa harus
dibebaskan dari dakwaan Pertama Primer tersebut ; Menimbang,
selanjutnya Pengadilan akan mempertimbangkan dakwaan Pertama
Subsidair , yaitu Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana tersebut
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memiliki unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi ;
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;
3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara ;
2) Unsur “kesatu” “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi”
Perbuatan “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi “ adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
71
“Kesengajaan” tersebut haruslah meliputi tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi , dengan demikian menguntungkan diri sendiri , atau
orang lain , atau suatu korporasi adalah kehendak dan juga tujuan dari Terdakwa,
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan Terdakwa dalam
hubungannya satu dengan yang lain, serta barang bukti yang diajukan di
persidangan yang saling berkesesuaian, diperoleh fakta-fakta hukum sebagai
berikut; Terdakwa AZ menjabat sebagai Sekretaris BKPMD&A Kota Semarang
telah mendapat fasilitas kendaraan operasional Daihatsu Terios H-9530-RS, yang
diterima pada tanggal 5 Januari 2009 dari Kepala BPPT Kota Semarang saksi MS
dan dibuatkan Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat, Pada
awal bulan Mei 2010 Terdakwa meminta BPKB Kendaraan Daihatsu Terios
tersebut dari Kasubag Umum BPPT Kota Semarang oleh saksi H dengan alasan
untuk diserahkan ke Bagian Rumah Tangga Setda Kota Semarang dan untuk
perpanjangan pajak STNK, Sudah ada niat dari Terdakwa untuk mempergunakan
BPKB tersebut untuk mencari pinjaman uang dan BPKB tersebut dijadikan
jaminan. Pada bulan Mei 2010 telah membuat sendiri secara melawan hukum
surat- surat antara lain :
a . Surat Keputusan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal , Pemberdayaan
BUMD dan Aset Daerah (BKPMD&A) Kota Semarang (sekarang berubah
menjadi BPPT Kota Semarang) Nomor :024.2 / 127, tanggal 1 Juni 2008 tentang
Pelepasan Mobil Daihatsu Terios dengan Identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang
selanjutnya menjadi hak milik terdakwa AZ;
72
b. Berita Acara Serah Terima Mobil tanggal 31 Juli 2008 yang menerangkan
bahwa Dra. Harini Krisniati , MM, jabatan Kepala BKPMDA Kota Semarang
telah menyerahkan sebuah mobil Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS
beserta BPKBnya kepada terdakwa AZ jabatan Sekretaris BKPMDA Kota
Semarang ;
c . Tanda Terima uang Rp.80.000.000 , - (delapan puluh juta rupiah) tanggal 1
Juni 2008 dari terdakwa AZ guna membayar Mobil Daihatsu Terios dengan
Nomor Polisi H-9530-RS. Terdakwa juga menandatangani sendiri tanda tangan
Saksi HK sebagai Kepala BKPMD&A Kota Semarang dan memalsukan tanda
tangan Bendahara BKPMD&A Ir. Endang Saptorini, bahwa pada tanggal 5 Juni
2010 terdakwa menjual Kendaraan Dinas Operasional Sekretaris BPPT Kota
Semarang No.Pol H-9530-RS tersebut ke Showroom BB Motor Kendal seharga
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dari penjualan tersebut telah dibayar oleh
Showroom BB Motor pada tanggal 5 Juni 2010 sebesar Rp. 45.000.000,00 dan
pada tanggal 7 Juni 2010 sebesar Rp.55.000 .000 ,00 (lima puluh lima juta
rupiah);
Uang tersebut digunakan oleh Terdakwa untuk membayar hutang-
hutangnya dan menurut keterangan terdakwa uang tersebut dipinjam oleh Saksi
HR sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah), showroom BB Kendal
menjual lagi mobil tersebut kepada Saksi S dengan harga Rp.140.000.000,-
(seratus empat puluh juta rupiah).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka Terdakwa telah terbukti melakukan
serangkaian perbuatan dengan maksud dan tujuan memperoleh keuntungan untuk
73
diri sendiri dengan mendapatkan uang sejumlah Rp.55.000.000,- ( lima puluh
lima juta rupiah), saksi HR memperoleh keuntungan yaitu mendapatkan uang
pinjaman dari Terdakwa sebesar Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan
Showroom BB Kendal mendapatkan keuntungan selisih harga beli dari Terdakwa
dan menjual kepada Saksi S, sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah).
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka menurut Pengadilan unsur
“dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” telah terbukti.
3) Unsur “kedua” Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah sumpah, keterangan ahli, dan
keterangan terdakwa dipersidangan, serta adanya barang bukti didalam perkara
ini, maka telah terungkap fakta-fakta sebagai berikut :
a. Terdakwa AZ adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai
CPNS pada tahun 1987;
b. Pada tahun 2004 Terdakwa diangkat sebagai Sekretaris
BKPMD&A Kota Semarang yang mempunyai tugas dan
kewenangan dalam bidang keuangan dan barang yaitu :
perencanaan keuangan di BPPT Kota Semarang, mengusulkan
kepada Kepala tetapi Terdakwa tidak mempunyai kewenangan
memutus, juga mempunyai tugas mendistribusikan Kendaraan
Operasional Dinas BKPMD&A Kota Semarang;
74
c. Pada akhir tahun 2008 terdakwa ditunjuk sebagai PLH Kepala
BKPMD&A Kota Semarang karena Kepala sedang cuti untuk
melaksanakan ibadah haji ;
d. Terdakwa sebagai PLH mempunyai tugas dan tanggung jawab
seperti Kepala BKPMD&A Kota Semarang kecuali untuk masalah
keuangan;
e. Pada tanggal 30 Desember 2010 Terdakwa sebagai PLH Kepala
BKPMD&A Kota Semarang dan sebagai Sekretaris BKPMD&A
Kota Semarang meminta kepada Kabid Pengawasan BKPMD&A
Kota Semarang untuk bertukar Kendaraan Dinas Operasional
Daihatsu Terios No Pol. H-9530-RS yang dipakai oleh Saksi
Kartono dengan Kendaraan Dinas yang dipakai terdakwa yaitu
Toyota Kijang Kapsul ;
f. Setelah dilakukan serah terima dan dibuatkan Berita Acara Serah
terima antara Terdakwa dengan Kartono pada tanggal 30 Desember
2008;
g. BKPMD&A Kota Semarang berubah menjadi BPPT Kota
Semarang dan Terdakwa tetap menjabat sebagai Sekretaris BPPT
Kota Semarang;
h. Pada tanggal 5 Januari 2009 Terdakwa menerima Penyerahan
Kendaraan Dinas Roda Empat dari Kepala BPPT Kota Semarang
(Masdiana Safitri ) ;
75
i. Penyerahan tersebut dibuatkan Berita Acara Serah Terima
Kendaraan Dinas Roda Empat yang didalamnya terdapat Klausula
:
1). Tidak boleh memindahtangankan atau meminjamkan/menjual
kendaraan roda empat tersebut kepada pihak lain ;
2).Tidak boleh menggunakan kendaraan roda empat tersebut untuk
kepentingan pribadi ;
3). Apabila dibutuhkan untuk kepentingan dinas, sanggup
menyerahkan kendaraan roda empat tersebut ;
4). Wajib memelihara, menjaga keamanan dan keutuhan kendaraan
roda empat tersebut
j. Pada awal bulan Mei 2010 Terdakwa meminta BPKB Kendaraan
Daihatsu Terios tersebut dari Kasubag Umum BPPT Kota
Semarang (Dra Hartuti) dengan alasan untuk diserahkan ke Bagian
Rumah Tangga Setda Kota Semarang dan untuk perpanjangan
pajak STNK ;
k. Pada bulan Mei 2010 telah membuat sendiri secara melawan
hukum Surat Keputusan kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal, Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMD&A)
Kota Semarang (sekarang berubah menjadi BPPT Kota Semarang)
Nomor : 024.2 /127 tanggal 1 Juni 2008 tentang Pelepasan Mobil
Daihatsu Terios dengan Identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang
selanjutnya menjadi hak milik terdakwa AZ Berita Acara Serah
76
Terima Mobil tanggal 31 Juli 2008 yang menerangkan Dra.
HARINI KRISNIATI , MM, jabatan Kepala BKPMDA Kota
Semarang telah menyerahkan sebuah mobil Daihatsu Terios
Nomor Polisi H-9530-RS beserta BPKBnya kepada terdakwa AZ
jabatan Sekretaris BKPMDA Kota Semarang dan sebuah Tanda
Terima uang Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) tanggal
1 Juni 2008 dari terdakwa AZ guna membayar Mobil Daihatsu
Terios dengan Nomor Polisi H-9530-RS, terdakwa juga
menandatangani sendiri tandatangan Saksi HK sebagai Kepala
BKPMD&A Kota Semarang dan memalsukan tandatangan
Bendahara BKPMD&A Ir. Endang Saptorini ;
l. Pada tanggal 5 Juni 2010 terdakwa menjual Kendaraan Dinas
Operasonal Sekretaris BPPT Kota Semarang No.Pol. H-9530-RS
tersebut ke Showroom BB Motor Kendal seharga Rp.100.000.000,-
(seratus juta rupiah).
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa AZ tidak terbukti melakukan tindak pidana tersebut
dalam dakwaan pertama primer ;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primer tersebut ;
3. Menyatakan Terdakwa AZ telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “KORUPSI”;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa AZ oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 9 (sembilan) bulan serta menjatuhkan pidana
77
denda Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga )
bulan ;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
6. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan Rumah Tahanan
Negara di Semarang ;
7. Memerintahkan agar barang bukti berupa :
a. 1 (satu) unit Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ Type F70ORG-TS, tahun
pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam , nomor rangka
MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-9530-RS ;
b. 1 (satu) buah BPKB Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ TypeF70ORG-TS, tahun
pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor rangka
MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-9530-RS,
nama pemilik Pemerintah Kota Semarang ;
c. 1 (satu ) buah STNK Mobil Daihatsu TERIOS, Merek/ TypeF70ORG-TS,
tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam, nomor rangka
MHKG2CJU8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-9530-RS atas
nama Pemerintah Kota Semarang, dikembalikan ke Pemerintah Kota Semarang ;
Barang bukti berupa :
a. Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan
BUMD dan Aset Daerah Kota Semarang Nomor : 024.2 /127 tentang Pelepasan
78
Mobil Daihatsu Terios dengan identitas Nomor Polisi H-9530-RS yang
selanjutnya menjadi Hak Milik terdakwa AZ tanggal 1 Juni 2008 ;
b. Berita Acara Serah Terima Mobil kepada terdakwa AZ tanggal 31 Juli 2008 ;
c. Tanda Terima uang sebesar Rp.80.000 .000 , - (delapan puluh juta rupiah) dari
AZ untuk pembayaran Mobil Daihatsu Terios No.Pol. H-9530-RS ;
d. Kwitansi Pembayaran Mobil mobil DaihatsuTerios H-9530-RS dari Dudek
Adrian /Muslich kepada AZ sebesar Rp. 100.000.000 , - (seratus juta rupiah ),
dibuat di Kendal pada tanggal 7 Juni 2010 ;
e. Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas Roda Empat, tanggal 5 Januari
2009 dari Masdiana Safitri SH (Kepala BPPT Kota Semarang) kepada AZ
(sekretaris BPPT Kota Semarang), berupa Kendaraan Daihatsu Terios, Merek/
Type F70ORG-TS, tahun pembuatan 2008, tahun perakitan 2008, warna hitam,
nomor rangka MHKG2CJIJ8K005689, nomor mesin DAM0418, nomor polisi H-
9530-RS ;
f . Surat Penyerahan mobil dinas DaihatsuTerios, Nomor Polisi H-9530-RS dari
Bachtiar Effendi S.Sos, kepada Kartono S.Sos, tanggal 12 Desember 2008 ;
g. Surat Penyerahan mobil dinas Daihatsu Terios Nomor Polisi H-9530-RS dari
Kartono S.Sos kepada terdakwa AZ tanggal 30 Desember 2008; tetap terlampir
dalam berkas ;
8. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.5.000 , - ( lima ribu rupiah ) kepada
Terdakwa ;
Demikian diputus dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang. Pada Hari SENIN
79
tanggal 07 MARET 2011 oleh SUGENG HIYANTO, SH, MH, Ketua Majelis
Hakim ; H.MARSIDIN NAWAWI, SH, MH. dan ASMADINATA, SH,
M.Hum, Para Anggota Majelis Hakim. Putusan tersebut diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis
Hakim dan Para Anggota Majelis Hakim tersebut dengan dibantu oleh RC.
HELMY
HARTANDYA, SH, Panitera Pengganti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Semarang, dengan dihadiri oleh Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Semarang dan Terdakwa serta Penasihat Hukum Terdakwa.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil studi kasus terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi, di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Semarang dalam Putusan Nomor
01/PID.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg.
1. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam tindak pidana korupsi
pada putusan perkara Nomor : 01/ Pid.Sus/ 2011/ PN.TIPIKOR.Smg
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari kesalahan seseorang.
MenurutYahya Harahap32
:
“Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan
yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa”.
32
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, (Sinar
Grafika : Jakarta) 1985. hlm. 769.
80
Pernyataan ini dipertegas dalam penjelasannya yaitu, bahwa :
“Pembuktian juga merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan menurut Undang-Undang dan yang boleh
dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan dari seorang
terdakwa.”33
Yahya Harahap34
juga menyatakan :
“Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, ada prinsip yang
sangat perlu untuk dibicarakan, yakni masalah asas minimum pembuktian.
Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan
dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan
terdakwa harus merupakan:
a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi
ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk,
dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut
harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak
saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan
keterangan dua orang saksi yang saling berkesesuaian dan
saling menguatkan, maupun penggabungan antara
keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal
keterangan keduanya saling berkesesuaian”.
Menurut Pasal 1 butir (26) KUHAP merumuskan :
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.”
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti Prinsip
dari teori pembuktian Negatif Wettelijk seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto
33
Ibid. 34
M. Yahya Harahap, Op. cit. hlm. 262-263.
81
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Dalam sidang pembuktian, hakim wajib menganut sistem pembuktian
berdasarkan Undang-Undang negatif (negatifef wetterlijk). Hal ini sesuai Pasal
183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yang merumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana
yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara
pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi. Sekurang-kurangnya, di
samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih diperlukan pembuktian dengan
alat bukti keterangan saksi. Maka dari itu untuk menjadi seorang saksi harus
memenuhi syarat materiil dan formil.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan
saksi adalah:
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1
sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP ini
82
adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar
hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi, yang ditinjau dari sudut dapat
atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak-geriknya dan
yang lain-lain.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam
Pasal 160 ayat (3) KUHAP bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam
setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya
masing-masing.
Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang
sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam
persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau
janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan
Pasal 160 ayat (4), jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan
sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi
ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi
tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan
alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat
menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat
diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan
perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan
83
diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat
dipertanggung jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan
saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut
dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling
lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).
Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan sebagai berikut :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu".
Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut
dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula
pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana).
Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan
Pasal 135 ayat (1) KUHAP dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan
dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang
diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar
mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai
pembuktian.
b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil
pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat
84
bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang
dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak
dapat dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan
merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185
ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu
setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi
harus dikesampingkan dari pernbuktiandalammembuktikan kesalahan
terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.35
Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin dalam bukunya
"Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut :
"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan
hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan
tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya
mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri oleh orang lain tersebut".36
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena
ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena
mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai
obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
35
M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. 36
Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar
Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.
85
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa;
d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan Undang-
Undang;
Kemudian dalam Pasal 171 KUHAP ditentukan saksi yang tidak disumpah
yaitu :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila
meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai
petunjuk saja.
Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari
seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja
tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-
86
benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus
testis).
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang
didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal
itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence
yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185
ayat (2) adalah :
1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian
tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang
lain.37
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) untuk menilai kebenaran
keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu;
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri dan ia alami
sendiri dengan menyebutkan alasan dari perbuatannya itu.
Pengertian keterangan saksi dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (27) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana sebagai berikut :
37
Ibid. Hal.288.
87
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Putusan PN. Semarang
Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg merupakan alat bukti yang sah dan
hakim bebas memakai sebagai alat bukti saksi untuk dasar pertimbangan hukum
bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara selama 1
(satu) tahun 9 (sembilan) bulan terhadap terdakwa AZ dan membayar denda Rp.
50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Berikut merupakan keterangan dari saksi-saksi yang memberikan
keterangannya tentang terdakwa : Saksi ke-1 (Masdiana Safitri, SH) Masdiana
Safitri, SH menjabat sebagai Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT)
Kota Semarang sejak tanggal 31 Desember 2008 sampai sekarang. Terdakwa saat
itu menjabat sebagai Sekretaris Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu (BPPT),
dengan adanya kasus ini terdakwa sekarang dinonaktifkan. Saksi-2 (Dra. Harini
Krisniati, MM) Saksi saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset Daerah (BKPMPB&A) Kota
Semarang dari bulan April 2007 sampai dengan bulan Desember 2008. Saksi-3
(Dra. Hartuti) Saksi adalah Kasubag Umum dan Kepegawaian pada BBPT
Semarang sejak bulan Januari 2009, sedangkan terdakwa merupakan atasan atasan
langsung saksi yaitu sebagai sekretariat BPPT Kota Semarang. Saksi-4 (Bachtiar
Effendi) Terdakwa merupakan Sekretaris BPPT Kota Semarang yang sebelumnya
bernama Badan Koordinasi Penanaman Modal Pemberdayaan BUMD dan Aset
88
Daerah (BKPMPB&A). Saksi-5 (Kartono) Mobil dinas yang dipakai terdakwa
awalnya dipakai oleh Kasubag Umum, kemudian diserahkan kepada saksi pada
tanggal 12 Desember 2008, untuk kendaraan operasional saksi selaku Kabid
Pengawasan BPPT Kota Semarang. Saksi-6 (Mohamad Muslich) Saksi bekerja
sebagai Pengelola Showroom BB Motor Kendal bergerak dibidang jual-beli mobil
yang terletak di Jalan Raya Soekarno Hatta Nomor 106 Kendal, terhitung sejak
2006 sampai saat ini. Saksi ke 7 (Dudek Ardian) Pada tanggal 5 Juni 2010
terdakwa Arief Zainuddin datang ketempat saksi bekerja di Showroom BB Motor
Jl. Soekaro Hatta N0. 106 Kendal bersama dengan Sdr. Heri untuk menawarkan
sebuah mobil Daihatsu Terios warna hitam Nomor Polisi H-9530-RS. Saksi ke 8
(Sodikin) Pada hari senin tanggal 12 Juli 2010 saksi bersama dengan Haji
Achmad Ikhsan datang ke Showroomn BB Mobil Kendal dan ditawari mobil
Daihatsu Terios warna hitam Nomor Polisi : H-9530-RS (Plat Hitam). Saksi ke 9
(Drs. A Bambang Lenggono, Msi) Jabatan saksi saat ini sebagai Kepala Bagian
Rumah Tangga dan Santel Sekretariat Daerah Kota Semarang sejak 14 Oktober
2010 Tugas pokok dan tanggung jawab Saksi adalah : Memelihara sarana
transportasi dan penyimpanan dokumen kepemilikan kendaraan dinas (BPKB) ,
baik mobil ataupun motor.
Syarat Formil
Perihal syarat formil ini dalam praktik asasnya bahwa keterangan saksi
harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-
masing. Hal ini sesuai dengan Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :
89
“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucap sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya”.
Apabila keterangan seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu
sama lain bukanlah merupakan alat bukti, akan tetapi, jikalau keterangan tersebut
selaras dengan saksi atas sumpah, keterangannya dapat dipergunakan sebagai alat
bukti sah yang lain (Pasal 185 ayat (7) KUHAP).
Asas “Unus testis nullus testis” yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) yaitu:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Isi
Pasal ini menjelaskan bahwa satu alat bukti tidak dapat membuktikan
bahwa terdakwa bersalah.
Syarat Materiil
Perihal syarat materiil dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27
jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa:
Pasal 1 angka 27 KUHAP merumuskan :
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan
pengetahuannya itu”.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Dengan demikian, jelaslah sudah terhadap pendapat maupun rekaan, yang
diperoleh dan hasil pemikiran saja dan beredar di luar persidangan, bukan
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).
2. Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Perkara Tindak Pidana Korupsi
Putusan Nomor: 01/Pid.Sus./201/PN.TIPIKOR.Smg.
90
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, merumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam Pasal 1 Angka 8 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan penjelasan
tentang hakim, yakni : Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Kata “mengadili” didefinisikan
dalam Pasal 1 Angka 9 KUHAP, adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Hakim adalah profesi yang menentukan seorang pencari keadilan untuk
mendapatkan keadilan terhadap peristiwa yang terjadi padanya. Untuk
memberikan keadilan seorang hakim dalam proses peradilan melakukan tindakan.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh hakim adalah menelaah tentang peristiwa
yang diajukan kepadanya.
Setelah itu memberikan pertimbangan atas peristiwa itu serta
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan
suatu kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa hukum
melalui putusan hakim.38
38
Saleh, K .Wantjik. 1977. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal. 39.
91
Putusan hakim merupakan puncak dari peradilan yang memberikan
dampak kepada pihak yang berperkara ataupun pencari keadilan. Seorang hakim
dalam memutus sebuah perkara mempertimbangkan layak atau tidaknya terdakwa
dijatuhi pidana oleh seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan
sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah, ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam pasal
tersebut tidak hanya hakim dan keyakinannya yang berperan dalam persidangan,
namun juga adanya alat bukti untuk menggali kebenaran materiil.
Kebenaran materiil yang dicari dalam proses peradilan pidana melalui
beberapa tahapan, dalam tahapan tersebut agenda sidang pembuktian
mencerminkan peristiwa yang terjadi berdasarkan alat bukti yang dihadirkan di
sidang peradilan oleh jaksa penuntut umum dan atau penasihat hukum. Pada tahap
pembuktian, hakim dapat melihat dari alat bukti yang dihadapkan pada hakim dan
hakim berhak menilai dari keterangan dan barang bukti. Ketentuan Pasal 180
KUHAP menyatakan bahwa dalam hal jika diperlukan untuk menjernihkan
duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat
meminta bantuan keterangan ahli dan dapat pula meminta agar diajukan bahan
baru oleh yang berkepentingan.
Keyakinan hakim ini dapat mendasari hakim dalam pertimbangan hukum
untuk memutus sebuah perkara pidana khususnya perkara tindak pidana korupsi,
namun dalam hal pertimbangan hukum dalam format putusan pemidanaan yang
tertera dalam Pasal 197 KUHAP tidak memuat adanya keyakinan hakim
dituliskan dalam pertimbangan hukum. Sehingga dikhawatirkan dalam membuat
92
putusan pemidanaan terhadap perkara tindak pidana korupsi hakim hanya
mengikuti kehendak dari hakim ketua atau ada hakim yang hanya ikut
memberikan suara dalam pertimbangan hukum putusan pemidanaan. Hal tersebut
berpotensi menimbulkan putusan yang kurang sesuai dengan rasa keadilan yang
diharapkan oleh masyarakat.
Hakim wajib menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang
negatif (negatief wetterlijk), yaitu menggunakan dua alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang. Hal ini sesuai Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merumuskan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sebagaimana menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah39
mengatakan bahwa :
“Teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada
keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah
melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan
dimungkinkan tanpa didsarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-
Undang”.
Penyelesaian perkara di sidang pengadilan disamping hakim harus tetap
berpedoman pada keadilan, bebas, dan berusaha menghindari faktor-faktor yang
mempengaruhi kebebasan hakim dalam memeriksa perkara dan kemudian
mengambil keputusan. Hakim harus bersifat jujur dan obyektif dengan kata lain
hakim tidak memihak.
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), Hal.
252
93
Menurut Martiman Prodjohamidjojo40
Pasal 183 KUHAP mengandung
unsur:
1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa:
a. Tindak pidana terjadi.
b. Terdakwa telah bersalah.
Keyakinan hakim dalam memeriksa perkara Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian menjatuhkan putusan ini diperoleh dari Keterangan saksi yang saling
bersesuaian satu sama lain serta alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan
terdakwa dan keterangan ahli.
Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan
beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat
mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil
mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat
dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam pemeriksaan
dalam sidang pengadilan.
Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11
KUHAP yang merumuskan :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
40
Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta. Ghalia
Indonesia. 1983.Hal. 20 .
94
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang ini.”
Menurut Soedirjo41
, keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim
untuk menyelesaikan perkara. Keputusan diambil umumnya setelah mengadakan
sidang, sedang penetapan diberikan tanpa melalui sidang pemeriksaan.
Sedangkan menurut Laden Marpaung42
, putusan adalah hasil kesimpulan
dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang
dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan atau
vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang
diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan.
Putusan perkara Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg merupakan
bentuk putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1)
KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan pemidanaan terhadap seorang
terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP
serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam
perkara ini bagi terdakwa AZ dengan hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun 9
(sembilan) bulan karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 perubahan dari Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan melanggar
pasal tersebut terdakwa AZ dapat dijerat pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun.
41
Soedirjo.Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi).Ahliyah. Jakarta.1981.
Hal.29. 42
Laden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Sinar
Grafika. Jakarta. 1994.Hal.36.
95
Putusan perkara pidana No: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg, dengan
penjatuhan pidana 1 (satu) tahun 9 (sembilan) bulan penjara serta menjatuhkan
pidana denda Rp.50.000.000 , - ( lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3
(tiga) bulan dinilai sudah sesuai dengan kealpaan yang dilakukan oleh terdakwa
sebagai Pegawai Negeri Sipil, karena sudah memenuhi rasa keadilan bagi semua
pihak, baik pihak terdakwa maupun pihak korban. Hakimpun dalam menjatuhkan
putusan mempertimbangkan akibat dari putusan tersebut, jangan sampai dengan
putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa menjadikan keluarga terdakwa menjadi
sengsara ataupun terlantar karena terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.
\
96
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil Studi Kasus dan pembahasan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Semarang Nomor: 01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi dalam Perkara Pidana Nomor:
01/Pid. Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg adalah merupakan alat bukti yang sah
dan hakim bebas memakai sebagai alat bukti saksi untuk dasar
pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
terhadap terdakwa AZ. Hampir semua perkara pidana selalu bersandar pada
pemeriksaan saksi, sekurang-kurangnya disamping dengan alat bukti lain
masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti berupa keterangan saksi,
maka dari itu untuk menjadi seorang saksi harus memenuhi syarat formil
dan syarat materiil.
2. Pertimbangan Hakim tersebut didasarkan pada :
Dasar pertimbangan hukum hakim dalam Pengadilan Negeri Semarang
dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan perkara Nomor :
01/Pid.Sus/2011/PN.TIPIKOR.Smg dilihat dari perbuatan terdakwa secara
sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dan di tambah dengan Undang-Undang Nomor 20
97
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang
didakwakan dalam Dakwaan Pertama Subsider.
Batas minimum pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP yaitu berupa
keterangan saksi, keterangan Terdakwa dan keterangan Ahli, selain itu
diperkuat dengan barang bukti berupa 1 (satu) unit Mobil Dhaihatsu Terios
dengan No. Pol. H-9530-RS sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
terdakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan memperkaya
diri sendiri dan berakibat merugikan negara dan oleh karenanya terdakwa
dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun 9 (sembilan) bulan serta menjatuhkan
pidana denda Rp.50.000.000 , - ( lima puluh juta rupiah),dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama
3 (tiga) bulan.
B. Saran
Alangkah lebih baiknya jika Pemerintah membuat pengaturan yang lebih lanjut
dan lebih terperinci mengenai kewenangan pejabat, agar tidak melakukan
penyalahgunaan wewenang jabatannya, sehingga tidak merugikan perekonomian
negara. Hendaknya para hakim untuk bekerja lebih lugas, lebih tegas, dan lebih
cermat dalam memutus segala bentuk tindak pidana yang mengandung unsur
korupsi agar mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Para jaksa boleh saja
menuntut hukuman seberat-beratnya kepada terdakwa. Namun, pada akhirnya
para hakimlah yang menjatuhkan vonis hukuman.
98
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Bambang Poernomo, 1982 , Pandangan Terhadap Asas-asas umum
Hukum Acara Pidana, Liberty : Jakarta.
Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek, Mandiri Maju : Bandung.
Soejono Karni. 17 April 2010, Perkembangan Korupsi Dan
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia.
R.Soesilo, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta
Komentar Lengkap Pasal demi Pasal, Pelita : Bogor.
Andi Hamzah, 2008 , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar
Grafika,Jakarta.
Harahap M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) Edisi Kedua, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2001).
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, Bumi
Aksara Group 2005.
Andi Hamzah, 2002 , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Saleh, K . Wantjik. 1977. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Ronny Hanityo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum
Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.
Amirruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Bambang Sunggono, 2006 , Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta,
Ghalia Indonesia.
99
Laden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana
Ekonomi.Sinar Grafika. Jakarta. 1994.
Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi,
Sinar Grafika: Jakarta.
Harahap M, Yahya. 2001, Pembahasam Permasalahan dan
Penerapan KUHAP (Jilid II), Jakarta : Pustaka Rini.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
,Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
C. Sumber Lain
Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor :01/Pid.Sus/2011/PN.
TIPIKOR.Smg.