bab i pendahuluan a. latar belakang masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/yogi fix.pdf · bab...

90
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia kehutanan Indonesia menghadapi permasalahan yang sangat berat akhir-akhir ini. Selama beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan kejahatan kehutanan yang berupa pencurian maupun perdagangan satwa dan tanaman langka yang dilindungi, pelanggaran prinsip-prinsip konservasi dan kelestarian dalam penetapan kebijakan kehutanan, perambahan dan okupasi kawasan hutan oleh masyarakat, pncurian kayu dan perdagangan tidak sah, pemberian maupun penyalahgunaan ijin-ijin kehutanan, dan lain-lain. Masalah yang paling krusial dari kehutanan adalah mengenai tindak pidana penebangan liar atau sering pula disebut sebagai illegal logging. Tindakan penebangan liar itu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang hidup berdekatan dengan kawasan hutan. Kejahatan penebangan liar perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik dari warga masyarakat itu sendiri maupun penegak hukum, khususnya aparat kepolisian, karena itu perlu ada langkah-langkah yang dilakukan oleh kepolisian untuk mencegah serta memberantas tindak pidana illegal logging tersebut. Permasalahan illegal logging masih menjadi topik hangat sampai saat ini seiring dengan gencarnya opesi pengamanan terpadu dalam memberantas illegal logging yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, Polri dan aparat terkait. Beberapa orang yang meliputi cukong dan pekerja kayunya berhasil

Upload: dangphuc

Post on 10-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia kehutanan Indonesia menghadapi permasalahan yang sangat berat

akhir-akhir ini. Selama beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan

kejahatan kehutanan yang berupa pencurian maupun perdagangan satwa dan

tanaman langka yang dilindungi, pelanggaran prinsip-prinsip konservasi dan

kelestarian dalam penetapan kebijakan kehutanan, perambahan dan okupasi

kawasan hutan oleh masyarakat, pncurian kayu dan perdagangan tidak sah,

pemberian maupun penyalahgunaan ijin-ijin kehutanan, dan lain-lain.

Masalah yang paling krusial dari kehutanan adalah mengenai tindak

pidana penebangan liar atau sering pula disebut sebagai illegal logging.

Tindakan penebangan liar itu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang hidup

berdekatan dengan kawasan hutan. Kejahatan penebangan liar perlu mendapat

perhatian serius dari semua pihak, baik dari warga masyarakat itu sendiri

maupun penegak hukum, khususnya aparat kepolisian, karena itu perlu ada

langkah-langkah yang dilakukan oleh kepolisian untuk mencegah serta

memberantas tindak pidana illegal logging tersebut.

Permasalahan illegal logging masih menjadi topik hangat sampai saat

ini seiring dengan gencarnya opesi pengamanan terpadu dalam memberantas

illegal logging yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, Polri dan aparat

terkait. Beberapa orang yang meliputi cukong dan pekerja kayunya berhasil

2

ditangkap dan dijadikan tersangka. Walaupun demikian, sampai saat ini usaha

penanganan illegal logging masih dianggap tidak memberikan hasil yang

signifikan. Ketidakefektifan ini salah satunya disebabkan oleh tidak adanya

sistem monitoring serta penanganan data dan informasi kasus illegal logging

secara efektif dan efisien. Ketidakefektifan penanganan masalah ini

menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap beratnya dampai yang

diakibatkan dan kostelasi permasalahan yang dihadapi.

Illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan

pengangkutan kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang

sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh

karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan. Unsur-

unsur yang terdapat dalam kejahatan illegal logging tersebut antara lain : adanya

suatu kegiatan menebang kayu, mengangkut kayu, pengolahan kayu, dan

merusak hutan, ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan

aturan hukum yang terlaku.

Berdasakan uraian di atas, jelas bahwa illegal logging merupakan suatu

kejahatan karena dapat yang ditimbulkan sangat luas mencakup aspek ekonomi,

sosial budaya dan lingkungan. Kejahatan ini merupakan ancaman yang potensial

bagi ketertiban sosial dan dapat menimbulkan ketegangan serta konflik-konflik

dalam berbagai dimensi, sehingga perbuatan itu secara faktual menyimpang dari

norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial. Bahkan dampak

kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kajahatan illegal logging itu tidak hanya

3

dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan saja,, namun juga oleh

masyarakat pada tingkat nasional, regional bahkan internasional.

Penanganan terhadap tindak pidana illegal logging menghadapi kendala

yang sangat berat karena kompleksitas permasalahan dan adanya keterlibatan

berbagai pihak. Kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dan melibatkan para

penebang liar, tetapi j uga para penj ual kayunya, pemilik sawmill illegal,

permodal serta oknum pejabat. Oleh karena itu menjadi sangat penting pada

setiap proses pembuktian di persidangan, dan dalam hal ini hakim dituntut

secermat mungkin dalam melihat alat-alat bukti yang diajukan.

Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses

untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh

melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakt-fakta pada

masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya

dengan perkara pidana. Oleh karena itu pekerjaan membuktikan dakwan dalam

perkara pidana adalah “penelitian” dan “dekorasi” dalam menghadapi masalah

dari berbagai faktu untuk mendapatkan suatu konklusi dengan metode ilmu

logika. Pekerjaan yang amat besar inilah seringkali dijumpai “kesesatan hakim”

yang disadari atau tidak disadari memberikan warna dari seni peradilan.

Selanjutnya pengertian pembuktian menurut M. Yahya Harahap1

adalah :

Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa,

1M. Yahya Harahap, 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP. Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua. Sinar Grafika, Jakarta.

4

atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.

Berkaitan dengan persoalan illegal loging tersebut, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai proses pembuktian tindak pidana illegal

logging (Studi Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Kebumen No.

48/Pid.B/2007/PN.Kbm)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana telah diuraikan dalam latar

belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara illegal logging pada

Putusan Perkara Pengadilan Negeri Kebumen No.

48/Pid.B/2007/PN.Kbm/PN.Kbm.

2. Apakah pidana selama 6 bulan sudah sesuai keadilan pada Putusan Perkara

Pengadilan Negeri Kebumen No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui petimbangan hakim dalam memutus perkara illegal loging

pada Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm

2. Untuk mengetahui pidana selama 5 bulan sudah sesuai dengan keadilan pada Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

5

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan disiplin

hukum acara pidana..

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai upaya

hakim dalam menangani kasus illegal logging.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembuktian

1. Bentuk-bentuk Alat Bukti

Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksan dengan cara biasa, acara

singkat maupun acara tepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim

untuk pengambilan keputusannya. Adapun alat bukti yang sah menurut Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 diatur di dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari

:

(1) Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran

atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut.

ad. a. Keterangan saksi

Pengertian umum dari saksi dicantukan di dalam Pasal 1 butir 26

KUHAP yang berbunyi.

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Selanjutnya yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu

7

peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Dengan

demikian pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukanlah

keterangan saksi. Keterangan saksi baru dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila

si saksi yang memberikan keterangan itu mendengar sendiri, mengalami sendiri

dan melihat sendiri.

Berdasarkan Pasal 160 KUHAP, setelah mendengar pendapat penuntut

umum, terdakwa atau penasihat hukum mengenai dakwaan tersebut maka yang

pertama kali diperiksa dan didengar keterangannya adalah korban yang menjadi

saksi, baru saksi-saksi lain. Sebelum memberikan keterangannya saksi harus

disumpah atau mengucapakan janji menurut agamanya masing-masing, dan

apabila pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah

atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan keterangan.

Terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji

tanpa alasan yang sah, maka hakim dapat memberikan sanksi penyanderaan

terhadapnya (Pasal 161 KUHAP). Akan tetapi, terdapat golongan yang boleh

diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah, ialah terhadap :

a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.

b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 KUHAP).

Mengingat bahwa anak yang berumur lima belas tahun, demikian juga

orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang

saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak

8

dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu

keterangan mereka hanya di pakai sebagai petunj uk saj a.

Terdapat juga golongan saksi yang diizinkan oleh undang-undang untuk

mengundurkan diri dan tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi, ialah

terhadap :

1) keterangan sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa (Pasal 168 KUHAP).

Walaupun Pasal 168 KUHAP menentukan bahwa tidak didengar dan

dapat mengundurkan diri sebagai saksi, namun apabila mereka mengehendakinya

dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetuj uinya dapat memberikan

keterangan di bawah sumpah dan andaikata penuntut umum serta terdakwa tidak

setuju, para saksi tersebut tetap dapat memberikan keterangan tanpa sumpah (pasal

169 KUHAP). Di dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Mei 1973 No

28/K/Kr/1972 juga diatur bahwa: “isteri yang sah dari tertuduh tidak dapat

dijadikan saksi yang disumpah”.

Orang-orang yang karena pekerjaan, harkat mertabat atau jabatannya

dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan kesaksian, adalah :

1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaah tersebut (Pasal 170 KUHAP).

9

Oleh karena itu, terhadap penilaian seorang saksi hakim harus sungguh-

sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain.

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti.

c. alasan yang mungkin dipergunakanoleh saksi untuk memberikan keterangan

tertentu.

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi dapat tidaknya ke terangan itu dipercaya.

Oleh karena dalam persidangan harus diterangkan asas praduga tak

bersalah” maka sehubungan dengan itu, tersangka atau terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian. Jaksa penuntut umumlah yang harus membuktikan apa

yang didakwakan kepada tersangka atau terdakwa untuk mengsahakan dan

mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna

memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Saksi yang diajukan

oleh tersangka atau terdakwa dalam rangka menguntungkan dirinya dalam hukum

acara pidana disebut saksi a debitor charge. Sedangkan apabila j aksa penuntut

umum mengajukan saksi a-charge dan saksi yang memberikan keterangan yang

didasarkan kepada orang lain (testimonium debitor auditu) tidak dapat dipakai

sebagai alat bukti.2

Satu hal yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi tidak

cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang

didakwakan, apalagi jika terdakwa mungkir atas dakwaan itu. Ini berarti bahwa

2 Dj isman Samosir, 1985. Hukum Acara Pidana Indonesia. Liberty, Yogyakarta, hal.

10

hakim tidak boleh memberikan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan kepada

keterangan seorang saksi.

Keterangan satu saksi harus dikuatkan dengan satu alat bukti yang lain,

misalnya dengan keterangan terdakwa atau dengan keterangan ahli. Tidak setiap

kejadian atau keadaan dapat disaksikan oleh seorang saksi secara lengkap, akan

tetapi keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri dapat digunakan

sebagai alat bukti yang sah, jika keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan

yang lain sedemikian rupa, hingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian.

ad b. Keterangan ahli

Sebagai alat bukti yang kedua yang diatur didalam KUHAP adalah

keterangan ahli. Yang dimaksud dengan keterangan ahli itu adalah keterangan

yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang

rumusannya sebagai berikut.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Apa yang dicantumkan di dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP tersebut barulah

penjelasan tentang keterangan ahli, belum menjelaskan tentang siapa-siapa yang

dimaksudkan dengan para ahli. Penyebutan para ahli secara tegas adalah sangat

perlu untuk menghindarkan perbedaan pendapat.

11

Berkaitan dengan keterangan ahli, M. Yahya Harahap3 berpendapat

bahwa.

Pada masa HIR, keterangan ahli tidak termasuk alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. HIR tidak memandang keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, tetapi menganggapnya sebagai keterangan keahlian yang dapat dijadikan hakim menjadi pendapatnya sendiri, jika hakim menilai keterangan ahli tersebut dapat diterima

Selanjutnya menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan :

(1) Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa

Hal ini menurut M. Yahya Harahap, keterangan ahli adalah sah karena di

samping keterangan ahli menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah.

Hal ini dapat dilihat dari tata urutan keterangan ahli yang ditempatkan dalam

urutan kedua sesudah alat bukti keterangan saksi. Melihat letak urutannya,

pembuat undang-undang menilainya sebagai salah satu alat bukti yang penting

artinya dalam pemeriksaan perkara pidana. Menempatkan keterangan ahli sebagai

alat bukti yang sah, dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaharuan

hukum. Oleh pembentuk undang-undang hal ini untuk disesuaikan dengan

perkembangan ilmu dan teknologi, dimana keterangan ahli memegang peranan

dalam penyelesaian kasus pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi sedikti

banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita

3 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal.274.

12

untuk mengimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan

pengetahuan, dan keahlian.4

2. Macam-macam Sistem Pembuktian

Berkaitan dengan teori pembuktian, Wirjono Prodjodikoro (dalam

bukunya Djoko Prakoso)5 mengatakan bahwa dalam hukum acara pidana dikenal

tiga teori pembuktian ialah:

a. sistem keyakinan belaka;

b. sistem melulu menurut undang-undang (positief wettelijk);

c. sistem menurut undang-undang sampai suatu batas (negatief wettelijk

ad. a. Sistem keyakinan belaka

Ada aliran, sanggat sederhana, yang sama sekali tidak membutuhkan suatu

peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatu kepada

kebijaksanaan dan kesan hakim yang bersifat perseorangan (subyektif).

Menurut aliran ini dianggap cukuplah, bahwa hakim mendasarkan

terbuktinya suatu keadaan atas keyakianan belaka, dengan tidak terikat oleh

suatu peraturan (blootgemoerdelijke overtuiging, conviction in time). Dalam

sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan, apa

suatu keadaan harus dianggap telah terbukti.

Tentunya selalu ada alasan berdasar atas pikiran secara ligika, yang

mengakibatkan seorang hakim mempunyai pendapat tentang terbukti atau

tidak dari suatu keadaan. Soal ialah, bahwa dalam sistem ini hakim tidak

4 Ibid, hal. 275. 5 Joko Prakoso, 1988. Alat Bukti dam Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses

Pidana. Liberty, Yagyakarta, hal. 39.

13

diwajibkan menyebutkan alasan-alasan itu. Dan kalau hakim menyebutkan

alat bukti ,yang ia pakai, maka hakim dapat memakai alat bukti apa saja.

Teori pembuktian ini yang menyerahkan kebebasan hakim untuk

mempergunakan keyakinan belaka akan dapat menyulitkan terdakwa atau

pembela untuk melakukan pembelan diri, dan apapun putusannya kadang-

kadang terasa aneh karena masyarakat atau sukar dipernilai oleh pihak liar

karena “bloot gemoedelijk overtuiging”.

ad. b. Sistem melulu menurut undang-undang (positief wettelijk)

Dalam sistem ini undang-undang menetapkan alat-alat bukti yang mana

dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya

dan kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti itu, sedemikian rupa, bahwa

kalau alat-alat bukti itu sudah dipakai secara yang ditentukan oleh undang-

undang, walaupun barangkali itu, tidak benar adanya.

Sebaiknya kalau tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat-alat bukti

itu, yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim mesti menetapkan

keadaan tidak terbukti, meskipun barangkali hakim berkeyakinan, bahwa

keadaan itu benar-benar terjadi, maka disampingkanlah sama sekali

keyakinan hakim tentang terbukti atau tidak dari sesuatu.

Teori pembuktian yang didasarkan undang-undang melulu ini

mempunyai alasan

untuk berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang bersifat

subyektif, oleh karena itu mengikat secara dengan tegas supaya hakim hanya

tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formil

tercantum dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan.

14

Sekalipun putusan yang telah dijatuhkan itu menurut perasaan dan

keyakinan belum mantap bagi hakim sendiri, tetap harus dibuat keputusan

untuk mengadili perkara yang bersangkutan.

Pembuktian berdasarkan undang-undang yang secara positif ini mempunyai

keuntungan untuk mempercepat penyelesaian perkara dan bagi perkara

pidana yang ringan dapat memudahkan hakim mengambil keputusan karena

resiko kekeliruan kemungkinan kecil sekali. Dalam peradilan pidana

terutama pada waktu mengadili perkara yang tidak ringan sudah banyak

keberatannya untuk mempergunakan teori pembuktian menurut undang-

undang secara positif karena cenderung dengan mutlak memperlakukan

pemeriksaan perkara secara inquisitoir, dan apabila sudah terdapat

pengakuan terdakwa dan atau keterangan saksi-saksi wajib diputus terbukti

dan pidana oleh hakim sekalipun dapat dirasakan pengakuan atau

keterangan itu bohong sebagai perkara versi bikinan.

ad.c. Sistem menurut undang-undang sampai suatu batas (negatief

wettelijk)

Di luar sistem yang telah diuraikan di atas dan yang masing-masing bersifat

extreem atau keterlaluan, ada dua sistem lain-lain lagi yang berada di

tengah-tengah, yaitu:

Ke- 1. Sistem menurut undang-undang sampai suatu batas (negatief

wettelijk)

Ke-2. Sistem keyakinan berdasar atas alasan yang dipikirkan (berdenerrde

overtuiging atau conviction raisonne).

15

Persamaan antara dua sistem ini ialah, bahwa hakim baru diwajibkan

menghukum orang apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana

yang bersangkutan adalah terbukti kebenarannya, dan lagi bahwa keyakinan

ini harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasar atas suatu

rangkaian buah pikiran (logika).

Perbedaan antara dua sistem ini, ialah bahwa sistem ke-1 menghendaki

alasan-alasan sebagai alat-alat bukti (wettelijk). Tidak diperbolehkan hakim

memakai alat-alat bukti lain yang tidak disebutkan dalam undang-undang

itu, dan tentang cara mempergunakannya (bewijsvoering) hakim juga terikat

kepada penentuan-penentuan dalam undang-undang. Perkataan “negatief”

dipakai, oleh karena adanya alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-

undang dan dengan cara mempergunakannya yang disebutkan j uga dalam

undang-undang, belum berarti, bahwa hakim mesti menjatuhkan suatu

hukuman. Ini masing tergantung dari keyakinan hakim atas adanya

kebenaran. Maka ada terselip istilah “negatief” (keadaan).

Pembentu undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 nampaknya masih

mempertahankan sistem Negatief Wettelijk oleh karena pertama-tama

memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan

terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, agar supaya

janganlah hakim terpaksa menghukum,sedangkan hakim tidak berkeyakinan

atas kesalahan terdakwa.

Kedua : berfaedah sekali, apabila ada peraturan yang sedikit banyak

mengikat hakim dalam menyusun keyakinan, agar supaya ada patokan-

patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

16

Dengan adanya patokan-patokan tersebut hakim dalam putusannya terpaka

mengutarakan alasan-alasan yang dapat ditinjau secara teratur. Hal ini

memudahkan adanya kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam

masyarakat.

Sesuai dengan perkembangan tingkat kejahatan pada masa sekarang dan

kebutuhan hukum yang harus sesuai dengan komplek perobahan masyarakat

pada zaman modern ini, kiranya akan lebih baik di Indonesia menganut teori

pembuktian negatief wetelijk bewijstheori dengan tidak menutup pintu untuk

perkara tertentu dimungkinkan mengikuti teori pembuktian conviction

raisonnee. Pendapat ini cukup beralasan karena kedua teori itu mempunyai

persamaan yaitu berpokok pangkal pada keyakinan hakim sampai batas

tertentu. Hanya terdapat berbedaan, pada prinsip pertama keyakinan itu

(negatief wettelijk), namun pada prinsip kedua untuk perkara tertentu

(misalnya kejahatan politik) demi kepentingan hukum dipergunakan

konklusi yang menjadi alasan-alasan menurut logika untuk mendapatkan

keyhakinan hakim conviction raisonnee).

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan

definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah

untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana.

17

Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah

yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda

"straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Pembentuk undang-undang

telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk mengganti istilah tindak

pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KU HP) tanpa

memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perkataan

strafbaarfeit, sehingga timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa

sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut, seperti yang

dikemukakan oleh Hamel dan Pompe yang mengatakan bahwa :

Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana

(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.6

Sedangkan Pompe7 mengemukakan bahwa :

Strafbaar feit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku

Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman

yang berasal dari kata "straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari

perkataan "wordt gestraft", adalah merupakan istilah-istilah konvensional.

Moeljatno8 tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan

istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata

"straf" dan diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt gestraft".

Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya diartikan dengan

6 Moeljatno, 1982. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. PT. Bina Aksara. Hal. 38. 7 Lamintang, P.A.F. 1984. Delik-Delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta

Kekayaan. Sinar Baru. Bandung, hal.173. 8 Muladi, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung,. hal. 1.

18

hukuman-hukuman. Selanjutnya dikatakan oleh Moeljatno bahwa "dihukum"

berarti "diterapi hukum" baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman

adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari

pada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum

perdata.

Berkenaan dengan pendapat Muladi di atas Sudarto9 mengatakan :

bahwa "penghukuman" berasal dari kata dasar "hukum", sehingga dapat diartikan sebagai "menetapkan hukum" atau "memutuskan tentang hukuman" (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

Membicarakan masalah pidana khususnya dalam perkara pidana, oleh

hakim disinonimkan perkataan "penghukuman" dengan "pemidanaan" atau

"pemberian/penjatuhan pidana". Dalam hal ini menurut Sudarto, "penghukuman"

mempunyai makna yang sama dengan "sentence" atau "veroordeling" misalnya

dalam pengertian "sentenced conditionally atau voorwardelyk veroordeeled" yang

sama artinya dengan "dihukum pidana bersyarat".10

Dari pendapat kedua sarjana tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa

perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada

pembahasan pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang

khas. Guna memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu dikemukakan

beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana.

Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

9 Sudarto, 1990. Hukum Pidana Jilid 1A dan B. Semarang, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Diponegoro. halaman 3.

10 Sudarto, op. cit. hal. 72.

19

syarat-syarat tertentu. Selanjutnya Roeslan Saleh11 mengatakan bahwa pidana

adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja

ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.

Sir Rupert Cross (dalam bukunya Muladi) mengatakan bahwa pidana

berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana

karena suatu kejahatan.

Dengan menyebut cara yang lain Hart mengatakan bahwa pidana harus : a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lailn yang

tidak menyenangkan; b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka

benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan

hukum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan

suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.12

Perumusan seperti dikemukakan tersebut di atas sejalan dengan pendapat

Alf. Ross yang mengatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang :

a. Terjadi berhubung dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum;

b. Dijatuhkan dan dilaksanakan olehorang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi- konsekuensi lain

yang tidak menyenangkan, dan menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.13

Definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan

bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan;

11 Barda Nawawi Arief, 1983. Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. tt. Hal. 2.

12 Ibid 13 Muladi, loc. cit. hal. 23.

20

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.14

Selanjutnya Lamintang15 mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya hanya

merupakan suatu penderitaaan atau suatu alat belaka. Hal itu berarti pidana itu

bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.16

Pendapat yang dikemukakan Lamintang tersebut di atas, adalah untuk

mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang

sering diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan

"tujuan pidana".

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana.

Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan

memenuhi unusr-unsur tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Sudarto,

pengertian unsur tidak pidana hendakya dibedakan dari pengertian unsur-unsur

tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian

yang pertama (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya

unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang

tercantum dalam Pasal 362 KUHP.17

Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada

umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-

14 Barda Nawawi Arief, 1992. op. cit. hal. 4. 15 Lamintang, Op. Cit. hal. 175. 16 Lamintang, op. cit. hal. 36. 17 Sudarto, op. cit. hal. 43.

21

unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud unsur-unsur “subyektif” adalah

unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri

si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur “obyektif” itu adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana

tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.18

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa) 2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUHP. 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KU H P.

5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah : 1. sifat melanggar hukum 2. kualitas dari si pelaku 3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.19

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) ada

beberapa pendapat para sarjana yaitu pengertian unsur-unsur tindak pidana

menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis.

Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :

a. D. Simons

Simons yang menganut pandangan monistis menyatakan bahwa pengertian

ti ndak pidana (strafbaar feit) adalah :

18 Lamintang, op. cit. hal. 183. 19 Lamintang, Loc. cit.

22

Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling

van een toerekeningsvatbaar persoon. Jadi unsur-unsur tindak pidana

menurut Simons adalah :

Unsur-unsur Strafbaar feit adalah : 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan. 2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld). 3. Melawan hukum (onrechtmatig). 4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand) 5. oleh orang yang mempu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar

persoon).20

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya

unsur obyektif dan unsur subyektif dari stafbaar feit adalah :

1. Yang dimaksud dengan unsur obyektif ialah : perbuatan orang 2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu 3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar´atau “dimuka umum” Selanj utnya unsur subyektif dari strafbaar feit adalah :

1. Orangnya mampu bertanggung jawab; 2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan

dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.21

b. Van Hamel :

Strafbaar feit adalah Een wettelijk omschre ven menschelijke gedraging,

onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten.

Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang 2. Bersifat melawan hukum 3. Dilakukan dengan kesalahan dan, 4. Patut dipidana. 22

c. E. Mezger 20 Sudarto, 1975. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung, Alumni, halaman 32. 21 Sudarto, loc. cit. halaman 32 22 Ibid, halaman 33.

23

Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan

demikian unsur-unsurnya adalah :

1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2. Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat

subyektif) 3. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang 4. Diancam dengan pidana.23

d. J. Baumman

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut : a. Perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik; b. Bersifat melawan hukum dan c. Dilakukan dengan kesalahan.24

Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat

disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal

responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana menurut

pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut :

a. H.B. Vos Strafbaar feit hanya berunsurkan : 1. Kelakuan manusia dan 2. Diancam pidana dalam undang-undang

b. W.P.J. Pompe Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

c. Moeljatno Pada pidato Dies Natalis tersebut beliau mememberikan arti tentang strafbaar feit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 1. Perbuatan (manusia);

23 Ibid. 24 Sudarto, op. cit. halaman 25.

24

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil dan

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimbul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, olehkarena bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.25

Pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara

criminal act dan criminal responsibility. Menurut Sudarto, kedua pendirian itu,

baik aliran monistis maupun dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang

prinsipiil dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian

yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak

terjadai kekacauan pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis,

seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi

yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk

dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang

harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan

dualistis, semua syarat

syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.26

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membagi tindak pidana

menjadi dua golongan besar. Penggolongan jenis-jenis tindak pidana di dalam

KUHP terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).

Penggolongan untuk kejahatan terdapat di dalam Buku II KUHP (31 Bab, Pasal

25 Sudarto, loc. cit. hal. 27. 26 Sudarto, op. cit. hal. 28.

25

104-488), sedangkan pelanggaran disusun di dalam Buku III KUHP (9 Bab, Pasal

489-569). Akan tetapi di dalamnya tidak merinci secara tegas tentang arti yang

menjelaskan pembagian dua golongan tersebut.

Penggolongan tersebut pada kenyataannya dirasakan kurang memuaskan

karena timbulnya berbagai perbuatan yang tidak disebut dalam KUHP sebagai

tindak pidana, namun dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang

merugikan dan dianggap melawan hukum. Oleh karena itu, pemerintah telah

banyak mengeluarkan peraturan atau undang-undang yang menyatakan suatu

perbuatan menjadi tindak pidana.

Menurut Bassar, apabila suatu perbuatan tidak termasuk dalam

penggolongan menurut KUHP, berarti perbuatan tersebut bukan merupakan

ti ndak pidana, kecuali ada peraturan atau undang-undang yang dengan tegas

menyatakan perbuatan tersebut adalah merupakan tindak pidana. Oleh karena

KUHP itu telah dikodifisir, dan tidak mungkin peraturan-peraturan atau undang-

undang tindak pidana yang baru dimasukkan ke dalam KUHP, maka peraturan

atau undang-undang yang dibuat kemudian tersebut tidak dapat dimasukkan ke

dalam KUHPk, dan berada di luar KUHP, sehingga hal ini biasa disebut sebagai

“tindak pidana khusus”.27

Pembagian jenis tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku di negara Indonesia yaitu di dalam KUHP adalah sebagai berikut:

a. Kejahatan dan pelanggaran

27 M. Sudradjat Bassar, 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu. Bandung, Ghalia Indonesia. hal 16.

26

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem peraturan perundang-undangan

sebagaimana tercantum dalam KUHP terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan

pelanggaran (onvertredingen). Menurut M.v.T. pembagian menjadi dua hal

tersebut, didasarkan atas perbedaan prinsip. Kejahatan adalah

“rechtsdelicten ”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan

dalam undang-undang, namun dikategorikan sebagai perbuatan pidana, dan

telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang sifatnya melawan

hukum. Sedangkan, pelanggaran aadalah “wetsdelicten ”, yaitu perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan tata/aturan hukum dan dapat diketahui

setelah ada wet yang menentukan demikian.

Pandangan mengenai jenis-jenis tindak pidana di atas, dalam kepustakaan

hukum dikenal dengan adanya perbedaan kualitatif antara kejahatan dan

pelanggaran. Pada masa sekarang perbedaan itu sudah ditinggalkan dan

diganti dengan pandangan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (mengenai

berat atau ringannya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.28

Dengan kata lain, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Pidana penjara hanya diancamkan terhadap kejahatan saja. 2) Jika menghadapi kejahatan, maka memerlukan kesalahan

(kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan dan harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran, hal ini tidak perlu. Berkaitan dengan tindak kejahatanitu dapat dibedakan pola kejahatan yang dolus dan culpa.

3) Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana. Juga membantu terhadap pelanggaran itu tidak dipidana.

4) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak perjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan, yaitu masing-masing satu tahun dan dua tahun.

28 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Idalam Hukum Pidana. Yogyakarta, Seksi Kepidanaan. Fakultas Hukum UGM. hal. 72

27

5) Dalam hal perbarengan (concursus) para pemidanaan berbeda bagi pelanggaran dankejahatan. Kumulasi pidana yang ringan lebih mudah daripada pidana berat.29

b. Tindak pidana formil dan tindak pidana materiil

Tindak pidana formil, adalah tindak pidana yang perumusannya

dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Tindak pidana tersebut telah

selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan

tindak pidana.

Sedangkan tindak pidana materiil, adalah tindak pidana yang permusannya

dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Tindak

pidana ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.

Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan, misal Pasal 338

KUHP.30

c. Delict Dolus dan Delik Culpa 1) Delict Dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : Pasal 187,

197, 245, 263, 310, 338 KUHP. 2) Delik Culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur,

misalnya : Pasal 195, 197, 201, 231 ayat (4) dan Pasal 359, 360 KUHP.31

d. Delict Commissionis, delict Ommissionis dan delict Commissionis

perommisionis commissa.

1) Delict Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.

2) Delict Ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 552 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531).

3) Delict Commissionis per ommissionis commissa: delik yang berupa pelangaran larangan (dua delik commisionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga

29 Sudarto, op. cit. hal. 46. 30 Sudarto, op. cit. hal. 51. 31 Ibid

28

wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).32

Menurut M.v.T, pembagian atas dua jenis tindak pidana ke dalam

kejahatan dan pelanggaran tadi didasarkan atas perbedaan prinsipil bahwa

kejahatan adalah “rechtsdelicten ”, , yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun

tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, akan tetapi

telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata

hukum. Sebaliknya pelanggaran adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang

menentukan demikian.33

Berkaitan dengan pembagian atas dua jenis tindak pidana tersebut

Apeldoorn dalam bukunya Sudarto, dikatakan :

Kejahatan adalah delik hukum, peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan masyarakat, terlepas dari undang-undang. Sebaliknya, pelanggaran adalah delik undang-undang, peristiwa-peristiwa yang dilarang oleh undang-undang demi kesejahteraan umum, tetapi tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat (masyarakat).34

Ilmu pengetahuan hukum dalam perkembangannya mencoba mencari

sasaran intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik tersebut

(kejahatan dan pelanggaran). Menurut Sudarto, mengenai hal ini ada dua

pendapat atau pendirian, yaitu sebagai berikut :

1. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Dengan ini diperoleh dua jenis delik, yaitu : a. Rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan

32 Sudarto, op. cit. hal. 52. 33 Moeljatno, op. cit. hal. 48. 34 Sudarto, op. cit. hal. 342.

29

oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Delik semacam ini disebut kejahatan (mala perse).

b. Wetsdelicten ialah perbuatanyang oleh umum baru disadari sebagai suatu ti ndak pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita).

2. Ada yang mengatakan Perbedaan yang bersifat kuantitatif (soal berat ringannya ancaman pidana). Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran”35

C. Tindak Pidana Illegal Logging

Pengertian Illegal Logging pada dasarnya secara esklisit tidak

didefinisikan dalam perundang-undangan. Namun ellegal Logging dapat dilihat

dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Menurut Gamer dalam

dalam Black’s Law Dictionary, illegal artinya forbidden by law, unlawful, artinya

yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log dalam bahasa Inggris artinya

batang kayu atau kayu gelondong, dan logging artinya menebang kayu dan

membaywa ke tempat gergajian.

Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut bahwa illegal logging

menurut bahasa berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian

yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut perspektif hukum..

Dalam Inpres No. 55 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu

Illegal di Kawsan Ekosistem Luser dan Taman Nasional Tanj ang Putting, istilah

illegal logging disamakan dengan penebangan kayu illegal.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu

perbuatan yang termaksud dalam tindak pidana kehutanan yang dapat dikenai

35 Sudarto, loc. cit. hal. 35.

30

pidana adalah melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h yang rumusannya adalah

sebagai berikut :

Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang

No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

Yang dimaksud dengan “delengkapi bersama-sama” adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi dengan surat-surat yang sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mampunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

Dari rumusan Pasal 50 ayat (3) huruf h beserta Penjelasannya

mengandung arti bahwa pada setiap menebang pohon, memanen, serta memungut

hasil hutan pada waktu dan tempat yang sama harus disertai dan dilengkapi surat-

surat yang sah sebagai bukti. Apabila perbuatan tersebut tidak disertai dan

dilengkapi dengan surat-surat yang sah sebagai bukti maka perbuatan itu

dinyatakan sebagai perbuatan illegal atau tidak sah menurut ketentuan undang-

undang.

Mengingat rumusan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka unsur-unsur yang terkandung dalam pasal

tersebut adalah :

1. Setiap orang dilarang Unsur setiap orang dalam hal ini menunjuk pada subyek hukum, yaitu baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha yang telah melakukan perbuatan pidana dan mampu mempertanggung jawabkan atas segala perbuatan pidana dan akibatnya.

2. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan.

31

Pada unsur ini adalah pada saat pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan tidak disertai dan dilengkapi surat yang sah sebagai bukti.

Mendasarkan pada rumusan Pasal 50 ayat (1) huruf h Undang-Undang

No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah mengangkut, menguasai, atau

memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

keterangan sahnya hasil hutan, maka unsur-unsurnya yaitu :

1) Setiap orang dilarang :

Bahwa unsur setiap orang dalam hal ini menunjuk pada subyek hukum pidana,

yang berarti siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali, sehat

jasmani dan rokhani dapat bertindak sebagai pelaku tindak pidana serta

mampu mempertanggung jawabkan atas perbuatan beserta akibatnya. Hal ini

sesuati dengan pendapat Sudarto36 yang mengatakan bahwa :

Bahwa pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia

(natuuurlijke personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal

sebagai berikut :

a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-

kata “barang siapa”, ini tidak dapat diartikan lain daripada “orang”.

b. Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang

dikenakan kepada tindak pidana, sehingga pada dasarnya hanya

dapat dikenakan pada manusia.

c. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan

itu merupakan sikap dalam batin manusia.

hal. 12.

3236 Sudarto, op. cit. hal .37.

33

2) Unsur mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan.

Pemenuhan unsur tersebut yaitu apabila pada setiap pengangkutan, penguasaan,

atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai

dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.

Berkaitan dengan “dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti”,

dalam Penjelasan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dijelaskan :

Yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama” adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

Tindak pidana terhadap kehutanan adalah merupakan tindak pidana

khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum secra tersendiri.

Menurut Pompe dalam Andi Hamzah37, dikatakan :

Kejahatan illegal logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.

Hubungannya dengan ketentuan di luar perundang-undangan yang

secara khusus mengatur tentang kehutanan sebagaimana telah diuraikan di atas

dan ada kaitannya dengan kejahatan illegal logging nampaknya Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak bisa dikesampingkan mengingat sebagai

hal. 12.

37 Andi Hamzah, 1991. Hukum Acara Pidana Indonesia. CV. Artha Jaya, Jakarta,

35

acuan pengaturan perbuatan kejahatan yang sifatnya umum. Apalagi unsur-unsur

tindak pidana dalam KUHP, dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kejahatan

secara umum.

D. Putusan Pengadilan

Fungsi utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara di sidang

pengadilan, menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara. Pemeriksaan

perkara di sidang pengadilan, mesti didasarkan dari isi surat dakwaan. Atas

landasan surat dakwaan inilah ketua sidang memimpin dan mengarahkan

jalannya seluruh pemeriksaan baik yang menyangkut pemeriksaan alat bukti

maupun yang berkenaan dengan barang bukti. Jika penuntut umum, terdakwa,

atau penasihat hukum menyimpang dari surat dakwaan, ketua sidang

berkewajiban dan berwenang untuk meluruskan kembali ke arah yang sesuai

dengan surat dakwaan. Akan tetapi, supaya ketua sendiri dapat menguasai jalan

pemeriksaan yang sesuai dengan surat dakwaan, harus lebih dulu memahami

secara tepat segala sesuatu unsur-unsur konstitutif yang terkandung dalam pasal

tindak pidana yang didakwakan, serta terampil mengartikan dan menafsirkan

pasal tindak pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu sebelum hakim memulai

pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, lebih dulu memahami secara mantap

semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Atas landasan inilah ketua sidang

mengarahkanjalannya pemeriksaan, sehingga terhindar memerika hal-hal yang

berada di luar jangkauan surat dakwaan.

Menurut Andi Hamzah dikatakan :

36

Dalam menjatuhkan putusan hakim harus mendasarkan pada dakwaan sebab dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan. Dengan demikian, Terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana. Oleh karena itu, keputusan hakim haruslah berdasarkan surat pelimpahan perkara yanga memuat dakwaan atas kesalahan terdakwa, serta keputusannya itu haruslah berasarkan hasil pemeriksaan persidangan dalam ruang lingkup surat dakwaan tersebut 38

Sebelum hakim menjatuhkan putusannya pada perkara pidana yang

masuk ke persidangan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan alat-alat

bukti, mendengarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, mendengarkan pembelaan

terdakwa atau pensihat hukum, serta mendengarkan replik dan duplik. Dan

setelah selesai semua maka hakim menyatakan sidang ditutup dan megnadakan

musyawarah.

Menurut Pasal 183 KUHAP dalam suatu dakwaan perkara pidana harus

dipenuhi adanya :

1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, seperti dicantumkan dalam Pasal 184 KUHAP;

2. Ada dua alat bukti yang sah, akan tetapi tidak mempunyai keyakinan akan kesalahan terdakwa;

3. Jika salah satu atau lebih tidak terbukti.

Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung

hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari

surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan.

37

hal. 133.

38 Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 9.

38

Kemungkinan putusan yang dapat dijatuhkan setelah adanya

musyawarah majelis hakim adalah sebagai berikut :

1. Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum Jika ternyata kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan

hakim cukup terbukti, akan tetapi ternyata apa yang telah dilakukan

terdakwa bukan merupakan tindak pidana.

2. Suatu pemidanaan terdakwa Apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah ia lakukan

maupun perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana, menurut

hukum dan keyakinan hakim cukup terbukti.

3. Pembebasan terdakwa Apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut

hukum dan keyakinan hakim tidak terbukti.39

Tidak terbukti kesalahan terdakwa karena :

a. Tidak terpenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana yang didakwakan;

b. Tidak terpenuhinya syarat minimal pembuktian atau syarat bukti minimal.

c. Serta tidak adanya keyakinan hakim.

Menurut Wirjono Prodjodikoro40, dikatakan bahwa :

Putusan hakim yang mengandung suatu pembebasan terdakwa terjadi,

bila ada sebagian atau seluruhnya dari peristiwa-peristiwa yang tersebut

dalam surat tuduhan dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.

39 R. Soesilo, 1982. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Serta Komentar-komentarnya Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor, hal. 12 1-122.

40 Wirjono Pradjodikoro, 1981. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumir, Bandung,

39

Putusan ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang ditinjau oleh

majelis hakim yang bersangkuan mengenai :

1. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Dari hasil pembuktian yang diperoleh dipersidangan, tidak cukup terbukti dan

tidak diyakini oleh hakim.

2. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat

bukti saja.

Putusan pengadilan pada hakikatnya dalam praktik mempunyai dua

kemungkinan yaitu terbuktinya perbuatan menurut dakwaan dan tidak

terbuktinya perbuatan menurut dakwaan. Jika perbuatan menurut dakwaan tidak

terbukti, terdakwa akan dibebaskan. Ada kalanya perbuatan menurut dakwaan

terbukti, akan tetapi bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa akan

dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Keputusan hakim pada dasarnya haruslah berdasarkan surat pelimpahan

perkara yang menurut dakwaan atas kesalahan tedakwa serta keputusn itu

haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan persidangan dalam ruang lingkup surat

dakwaan tersebut. Di dalam masyarakat pengambilan keputusan tersebut

haruslah diperhatikan bahwa hakim tidak melampaui batas yang telah ditetapkan

dalam surat penyerahan perkara yang menjadi dasar pemeriksaan di sidang

pengadilan.41

40

41 Andi Hamzah, Loc. Cit. hal. 12.

41

Dalam masalah pengertian “mengadili”, Soesilo mengemukakan bahwa

: Pengertian kata “mengadili” adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa danmemutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana.42 Di dalam Pasal 1 butir 1 KU HAP merumuskan :

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dari ketentuan pasal tersebut, terlihat adanya 3 macam bentuk putusan

pengadilan yaitu :

1. Putusan bebas.

Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang

pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang yang menjelaskan bahwa :

Apabila pengadilan berpendapat :

- dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan; - kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan.

Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan

bebas dari tuntutan hukum atau (acquittal). Inilah pengertian terdakwa diputus

42 R. Soesilo, Op. Cit. hal.75.

42

bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari

pemidanaan.

Menurut M. Yahya Harahap43, putusan bebas apabila ditinjau dari segi

yuridis ialah putusan yang dinilai majelis hakim yang bersangkutan :

a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan

kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup

terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.

b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan hanya didukung oleh satu alat bukti saja,

sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan

kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-

kurangnya dua asas :

Pertama : asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yang

mengajarkan prinsip hukum pembuktian, di samping kesalahan terdakwa

cukup terbukti, harus pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan

kebenaran kesalahan terdakwa. Kedua, Pasal 183 KUHAP juga

mengandung asas batas minimum pembuktian, yang dianggap cukup

untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah. Maka bertitik tolak dari kedua asas

yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191

ayat (1) KUHAP, putusan bebas pada umumnya di dasarkan pada

penilaian dan pendapat hakim, yaitu :

43

pelepasan, terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah

43 M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 326-327.

44

1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak bertukti;

2) Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Dalam hal yang seperti ini, di samping tidak memenuhi asa batas minimum pembuktian juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan unus testis nullus testis atau seoran gsaksi bukan saksi, atau

3) Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang demikian sesuati dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yang mengajarkan pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan yang seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum

2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191

ayat (2) KUHAP).

Pasal 191 ayat (2) KUHAP merumuskan :

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria :

1) apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan,

2) tetapi sekalipun terbukti hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Dari rumusan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang melandasari putusan

45

t

erbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana, tetapi termasuk ruang

lingkup hukum perdata atau hukum adat.

Berkaitan dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, M.

Yahya Harahap44 berpendapat bahwa ada baiknya bentuk putusan ini

diperbandingkan dengan putusan pembebasan. Perbandingan tersebut dapat

ditinjau dari beberapa segi, antara lain :

a. Ditinjau dari segi pembuktian Pada putusan pembebasan, perbuatan tindak pidana yang didakwakan

kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Jadi, tidak

memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta

tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam

Pasal 183 KUHAP.

b. Ditinjau dari segi penuntutan Pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan dan didakwakan

kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidan ayang harus

dituntut dan diperiksa di sidang pengadilan pidana. Cuma dari segi

penilaian pembuktian, pembuktian yang ada tidak cukup mendukung

keterbukaan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, kesalahan terdakwa

tidak terbukti, terdakwa diputus bebas, dan membebaskan dirinya dari

ancaman pidana yang dianamkan pada pasal tidak pidana yang

didakwakan kepadanya. Sedang pada putusan pelepasan dri segala

tuntutan hukum, pada hakikatnya apa yang didakwakan kepadanya

46 b

ukan merupakan perbuatan tindak pidana. Barangkali hanya berupa

44 M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 331.

47

quasi tindak pidana, seolah-olah penyidik dan penuntut uum melihatnya

sebagai perbuatan tindak pidana.

3. Putusan pemidanaan

Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang

terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum

terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana

yang didakwakan. Memang benar, hakim dalam menjatuhkan berat

ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah

bebas. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk

menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang

diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang

diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim

menjatuhkan putusan pemidanaan, harus didasarkan pada ancaman yang

disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Terserah pada

penilainnya seberapa beratkan hukuman pidana yang pantas dijatuhkan

kepaa terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam

perbuatan tindak pidan ayang dilakukannya.

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana

(Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

Sedangkan di dalam Pasal 241 ayat (1) KUHAP merumuskan :

Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal

48

membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri.

Dari ketentuan pasal tersebut bentuk putusan yang dapat dij atuhkan

pengadilan tinggi terhadap perkara yang diperiksanya dalam tingkat banding

adalah sebagai berikut :

1) Menguatkan putusan pengadilan negeri

Terdapat beberapa variasi dalam cara mempergunakan wewenang tersebut, antara

lain :

a. Menguatkan putusan pengadilan negeri “secara murni”;

b. Menguatkan putusan “dengan tambahan pertimbangan;

c. Menguatkan putusan dengan alasan pertimbangan lain.

2). Mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri

Mengenai bentuk putusan berupa perubahan atau perbaikan amar putusan

pengadilan negeri, bisa terjadi :

- Sepanjang mengenai pertimbangan dan alasan yang dimuat dalam

putusan dapat disetuj ui dan dianggap tepat oleh pengadilan tinggi.

Terhadap pertimbangan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi

menganggapnya tepat, namun mengenai amar putusan, pengadilan

tinggi tidak sependapat, sehingga amar tersebut perlu diperbaiki atau

diubah.

- Atau baik pertimbangan putusan perlu ditambah, juga amar putusan

50

ini, disamping pertimbangan putusan ditambah oleh pengadilan tinggi,

juga sekaligus mengubah atau memperbaiki amar putusan.

- Atau bisa juga, disamping pengadilan tinggi mengubah pertimbangan

putusan pengadilan negeri dengan pertimbangan lain, sekaligus

perubahan pertimbangan itu diikuti perubahan atau perbaikan amar

putusan. Dalam hal ini baik pertimbangannya maupun amarnya sama-

sama diperbaiki oleh pengadilan tinggi.

- Atau sekaligus disamping mengubah atau memperbaiki amar putusan

juga memutus perkara yang bersangkutan atas pertimbangan dan

alasan lain.

3) Membatalkan putusan pengadilan negeri

Pengadilan tinggi berwenang membatalkan dan juga berhak mengoreksi

putusan pengadilan negeri, bukan hanya menguatkan atau mengubah putusan

tapi berwenang untuk membatalkannya.

Mengenai kewenangan dari pengadilan tingkat banding untuk memeriksa

dan memutus putusan pengadilan tingkat pertama yang terhadapnya diajukan

banding, ini dapat meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Meliputi keseluruhan pemeriksaan dan putusan pengadilan tingkat pertama.

Pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dalam

melaksanakan fungsinya sebagai pengadilan tingkat banding, tidak

terbatas wewenangnya, hanya terhadap hal -hal tertentu saja.

Wewenangnya dalam melaksanakan fungsi peradilan tingkat banding,

51

meliputi seluruh pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan pengadilan

tingkat pertama. Wewenang demikian juga telah diterapkan dalam

yurisprudensi.

b. Wewenang meninjau segala segi pemeriksaan dan putusan. Oleh karena pemeriksaan tingkat banding yang merupakan wewenang

pengadilan tinggi bersifat memeriksa ulang perkara secara keselurahan,

dia berwenang meninjau dan memeriksa segala sesuatu yang

berhubungan dengan pemeriksaan dan putusan. Tidak terbatas hanya

memeriksa terhadap benar atau tidaknya penerapan hukum, tidak

dilaksanakannya peradilan menurut ketentuan undang-undang dan

adanya tindakan pengadilan yang melampaui batas wewenang. Tetapi

meliputi peninjauan dan pemeriksaan perkara dari segala segi, termasuk

pula tidak dilakukannya pemeriksaan saksi atau ahli serta dapat menilai

keadaan dan pembuktian yang berhubungan dengan perkara tersebut.

c. Memeriksa ulang perkara secara keseluruhan seandainya pengajuan banding terhadap hal-hal yang tertentu saja, misalnya permintaan banding hanya ditujukan terhadap hukuman atau barang bukti saja, sama sekali tidak dapat menyampingkan wewenang pengadilan tingkat banding untuk memeriksa perkara secara keseluruhan. Keberatan yang ditujukan pemohon banding terhadap hal tertentu saja, bukan merupakan halangan bagi pengadilan tingkat banding untuk memeriksa ulang perkara secara keseluruhan.45.

E. Teori Rasa Keadilan

Berkaitan dengan putusan pemidanaan yang dijalankan hakim akan

merupakan nilai keadilan dapat diuraikan sebagai berikut : Konsekuensi logis

dengan diterapkannya filsafat pemidanaan yang bersifat integratif, maka

5245 M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 999.

53

diharapkan pidana yang dijatuhkan hakim pemidanaannya mengandung unsur-

unsur yang bersifat :

a. Kemanusiaan dalam artian bahwa pemidanan yang dijatuhkan hakim tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat pada pelakunya;

b. Edukatif dalam artian bahwa pemidanaan tersebut mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang telah dilakukannya dan menyebabkan pelaku mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi ussaha penanggulangan kejahatan; dan

c. Keadilan dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.46

Keyakinan hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat yang

harus ada bagi proses putusan pidana. Hakim tidak boleh memutus suatu perkara

dengan semata-mata menyadarkan diri pada fakta atau keadaan yang terjadi pada

suatu kasus, tapi harus betul-betul menyusun keyakinannya bahwa terdakwa

memang betul-betul bersalah. Oleh karena itu, hakim harus yakin ketika akan

memutus suatu perkara, adanya unsur keyakinan pada hakim, maka kasus atau

tindak pidana tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut sesuai dengan

ketentuan Pasal 183 KUHAP dimana salah satu unsurnya adalah keyakinan hakim.

Secara konsepsional, suatu pemidanaan akan dijatuhkan kepada terpidana

dengan selalu mengingat bahwa hukuman itu nantinya akan membawa akibat yang

cukup kompleks, tidak saja terhadap terpidana, akan tetapi juga pihak yang secara

tidak langsung terkait dengan peristiwa tersebut. Pada dimensi lain, pemidanaan

itu sebenarnya merupakan perwujudan interaksi terhadap perbuatan yang

dilakukan orang tersebut dengan banyak pihak. Oleh sebab itu, akan selalu

dipertimbangkan dalam putusan hakim yang baik, tidak hanya akibat hukuman

yang dijatuhkan itu dari kacamata terpidana, tetapi juga masyarakat..

54

Pada kondisi demikian, putusan hakim akan mempunyai pengaruh positif

dan negatif terhadap persepsi masyarakat terhadap hukum. Dengan demikian,

kepekaan hakim memegang peranan amat penting dalam pertimbangannya

sebelum putusan dijatuhkan. Bagaimana cermin keadilan suatu masyarakat, secara

formal dapat dilihat pada putusan yang dijatuhkan hakim tersebut. Hakim,

demikian menurut ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.

Kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat.

Upaya untuk mewujudkan makna keadilan sebagai bagian tak terpidahkan

dari penegak hukum merupakan ujian bagi hakim. Dalam menjatuhkan pidana

hakim dihadapkan pada beberapa aspek pemidanaan yang sering kontrafersial.

Sebab sebuah putusan hakim disamping harus adil, harus juga mencerminkan

fungsi mendidik dan mengayomi. Bahkan, harus pula mampu menanggulangi

kejahatan dalam masayarakat. Namun, sebagai manusia biasa hakim pun tidak

jarang berbicara menurut perasaan dan memperhatikan fakta-fakta atas dasar

interpretasi subjektif yang walau dapat dipertanggungjawbkan, tetapi jarang

dimengerti orang lain. Pada hal, persoalan yang dihadapi oleh hakim bukanlah

persoalah matematif yang selalu terkait dengan rumus-rumusan tertentu.

Memang harus diakui, apa yang dianggap adil oleh sementara orang belum tentu dianggap adil oleh orang lain. Apalagi keadilan yang dikaitkan dengan putusan pengadilan. Makin bertambah sulit lagi menentukan adilnya suatu putusan hakim, jikwa dihubungkan dengan prasarana hukum pada satu segi dengan perkembangan perubahan kesadaran nilai masyarakat pada segi lain. Lebih-lebih jik ahakim yang menerapkan hukum itu tidak profesional atau bersikap formalistic legal

55

thingking, maka yang bersangkutan akan kaku menentpkan hukuman yang tersurat dalam rumusan undang-undang sebagaimana adanya.47

Dari uraian di atas, dapat dirasakan betapa beratnya tugas seorang hakim

termasuk para hakim di Indonesia, apalagi banyak tuntutan dan persyaratan yang

diajukan masyarakat terhadapnya sebagai penegak hukum, Hakim harus bermental

dan berperilaku gabungan antara Nabi dan Malaikat, dengan minimal cacat dan

kesalahan yang dimilikinya.

Berkenaan dengan teori keadilan John Rawls48, berpendapat

1. Memasimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.

2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods) Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan ila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.

3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.

Selanjutnya terhadap aspek di atas maka Muladi49 lebih detail

mengemukakan pendapatnya bahwa :

Konsekuensi logis dengan diterapkanya filsafat pemidanaan yang bersifat integratif maka diharapkan pidana yang dijatuhkan hakim pemidanaannya mengandung unsur-unsur yang bersifat : 1. Kemanusiaan dalam artian bahwa pemidanaan yang dijatuhkan hakim

tetap menjungjung tinggi harkat dan martabat para pelakunya; 2. Edukatif dalam artian ahwa pemidanaan tersebut mampu membuat

orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang telah dilakukannya dan menyebabkan pelaku mempunyai sikap jiwa yang poositif dan konstruktif bahwa usaha penanggulangan kejahatan; dan

3. Keadilan dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarkat.

47Admin, 2011. Makalah Vonis Hakim dan Rasa Keadilan. Palembang, Sumatera Ekspres. Jakarta, hal. 1-2..

48Ilham, 2010. Makalah : Teori Keadilan Johhn Rawls Pemehaman Sedermana Buku A Trory of Justice, Jakarta. hal. 1.

49 Lilik Mulyadi, 2009. Artikel : Polarisasi Filsafat Pemidanaan (Bagian II). Program Pascasarjana Universitas Merdeka. Malang.

56

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif atau legal research yaitu pendekatan yang menggunakan

konsepsi legistis positivis. Konsepsi ini memandang bahwa hukum identik

dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi ini juga memandang

hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom; terhadap dan

terlepas dari kehidupan masyarakat.50

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis yaitu. penelitian yang menggambarkan keadaan dari obyek atau

masalahnya yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu,

mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dari bahan-bahan mengenai obyek

masalahnya.51

Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan atau menguraikan data-

data yang diperoleh di lapangan serta memaparkan keadaan dari objek yang

menjadi pokok permasalahan.

54 Ronny Hanitijo Soemitro, 1983. Metodologi Penelitian dan Jurimetri, Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal. 11.

55 Loc. cit.

57

Penelitian tentang proses pembuktian dalam tindak pidana illegal logging

merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian

disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapan dan

pelaksanaannya di lapangan. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis ingin

mengetahui lebih mendalam tentang proses pembuktian pada kasus tindak

pidana illegal logging pada Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm.

C. Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi objek penelitian di

Pengadilan Negeri Kebumen

D. Sumber Data

Sumber data yang digunakan adalam data sekunder, yaitu sekunder yaitu

diambil dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur, dokumen

dan arsip serta hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau

materi penelitian. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundang-

undangan, buku-buku literatur, dokumen dan arsip atau hasil penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian dan Putusan

Perkara Pengadilan Negeri Kebumen No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm

E. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis

58

F. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa secara normatif kualitatif, yaitu dengan

menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan norma-norma, teori dan

doktrin hukum acara pidana.

59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelititan

Penel it ian ini dilakukan terhadap putusan perkara Nomor :

48/Pid.B/2007/PN.Kbm yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkacht van

gewijsde verklaring), yaitu tentang tindak pidana mengangkut hasil hutan yang

tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan,

khususnya mengenai penerapan unsur-unsur Pasal 78 ayat (7) dan Pasal 50 ayat (3)

huruf h Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999. maka diperoleh data sebagai

berikut :

1. Duduk Perkara

Hari Rabu tanggal 26 Desember 2006 sekitar pukul 06.30 WIB di pinggir

Jalan Raya termasuk desa Penerusan Kecamatan Wadaslintang Kabupaten

Wonosobo, terdakwa telah membeli kayu pinus bakar dalam bentuk gelondongan

berbagai ikuran dengan panjang rata-rata 60 cm sampai dengan 80 cm yang

keseluruhannya sekitar 3 stampel dari sisa penebangan di kawasan hutan negara di

wilayah Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dari para petani yang

tinggal di sekitar kawasan hutan tersebut seharga Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu

rupiah/stampel meter, selanjutnya dengan menggunakan kendaraan truk colt diesel

warna kuning tahun 1991 No. Pol. R-9043-AA No. Ke.FE11405 7573 Mesin

4031011903, terdakwa mengangkut kayu pinus tesebut bersama j enis kayu lainnya

antara lain sengon, albasia dan waru tanpa dilengkapi dengan SKSHH dengan

60

maksud untuk dijual di wilayah Kabupaten Kebumen, namun sesampai di Desa

Wonosari Kecamatan Kebumen, terdakwa ditangkap oleh Petugas.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 78

ayat (1) jo Pasal 50 ayat (3) huruf h UU RI No. 41 Tahun 1999. Akibat perbuatan

terdakwa dipidana selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 200.000,- (dua

ratus ribu rupiah).

2. Dakwan Jaksa

Perbuatan mereka para terdakwa merupakan tindak pidana, oleh Jaksa

Penuntut Umum didakwa melanggar Pasal 78 ayat (7) jo Pasal 50 ayat (3) huruf h

Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999.

3. Pembuktian Di persidangan Hakim memeriksa beberapa alat

bukti yakni :

a. Keterangan Saksi

Para saksi yang keterangannya didengarkan di persidangan atas persetujuan

Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa yang sebelumnya telah diambil

sumpahnya oleh penyidik.

Saksi ke – 1 : EDY WIBOWO bin KARSIYO

- Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dalam perkara ini dan keterangan saksi

yang tercantum dalam berita acara penyidikan sudah benar;

- Penangkapan terhadap saksi berhasil mengamankan barang bukti berupa 3

(tiga) stample meter kayu pinus dan satu unit truk colt diesel Mitshubhisi,

warna kuning, berikut STNK atas nama Asharul Fahman yang digunakan

mengangkut kayu pinus tersebut, serta 1 (satu) buah buku Kir Kendaraan

61

truk No. Pol.R-9043-AA yang dikeluarkan oleh Dishub Kabupaten

Banyumas atas nama Pemilik Azharul Fahman dengan No. Uji berkala WT-

10696;

- Kayu pinus tersebut berasal dari Kawasan Hutan termasuk Desa Penerusan

Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo;

- Saksi membenarkan barang bukti yang diajukan di persidangan.

Saksi - 2 : PURWIYANTO Bin. SYAMSIYAR

- Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dalam perkara ini dan keterangan saksi

yang tercantum dalam berita acara penyidikan sudah benar;

- Sudah sekitar 2- (dua puluh) hari kendaraan truk milik saksi jenis Mitshubisi

colt diesel tahun 1991 warna kuning, Po.Pol. R-9043-AA No. Ke-

PE11405753, bensin 4D31C119306, yang disewakan kepada terdakwa

dengan sistem setoran harian belum kembali ke rumah saksi;

- Menurut keterangan dari Sdr. Turman Kencaraan truk milik saksi digunakan

untuk mengangkut kayu pinus dari Wonosobo dengan tujuan Sruweng

Kabupaten Kebumen.

- Pada hari rabu tanggal 20 Desember 2006 sekitar pukul 11.30 WIB

bertempat di Jalan Raya Wonosari Kebumen kendaraan truk milik saksi

disita oleh petugas kepolisian karena telah digunakan untuk mengangkut

kayu pinus hasil hutan negara tanpa dilemngkapi dokumen yang sah.

- Saksi membenarkan barang bukti sebuah truk warna kuning yang diakui

adalah miliknya.

62

Saksi - 3. SUYARNO

- Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dalam perkara ini dan keterangan saksi

yang tercantum dalam berita acara menyidikan sudah benar;

- Saksi bekerja di Sumbereja sejak tanggal 2 Oktober 2006;

- Setiap pengangkutan kayu atau hasil hutan lainnya dari 1 (satu) wilayah

Kebupaten ke wilayah kabupaten lain, sesuai dengan ketentuan dan Undang-

Undang No. 41 Tahun 1999 harus dilengkapi dengan SKHU;

- Saksi mengetahui dan meneliti barang bukti berupa kayu pinus sebanyak 3

(tiga) stample meter yang dimuat dengan kendaraan truk No.Pol.R-9043-AA

adalah benar kayu pinus hutan dari wilayah RPH Sumbereja BKPS

Ngadisono Wonosobo;

- Kayu pinus tersebut milik Perhutani yang merupakan sisa penebangan

penjarahan bulan Oktober 2006 di Kawasan Hutan wilayah RPH Sumbereja

dengan ciri-ciri pada botangnya terdapat koare/bekas selapor;

- Benar kayu pinus tersebut sisa penjarahan yang tidak diambil atau

diamankan oleh Dinas Perhutani, karena menurut perhitungan Perhutani,

kayu tersebut kalau diambil biayanya tidak seimbang dengan harga jualnya

dan blandong tidak mau mengambil dengan yang ada sehingga dari pada

Perhutani rugi akhirnya dibiarkan tetap berada di hutan.

Saksi – 4. SUKARSO Bin R. NOEL

- Saksi diajukan di persidangan ini untuk memberikan keterangan sehubungan

dengan penebangan kayu milik Perhutani;

- Saksi bekerja di Perum Perhutani di Wilayah Kedu;

63

- Saksi menerangkan apabila seseorang membawa atau mengangkut kayu

harus ada Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan atau SKSHH namun

dalam tahun 2007 dapat diganti dengan faktur;

- Saksi bekerja di Kantor Perhutani bertugas untuk menguji kayu hutan;

Saksi 5. WARKUM

- Pada hari dan tanggal lupa sekira bulan Desember tahun 2006 saksi sebagai

petugas polisi kehutanan sedang oprasi dan kebetulan lewat kebumen dan

di Kebumen ada operasi gabungan mengenai pengangkutan kayu,

kemudian saksi disuruh untuk mengecek kayu yang diangkut oleh

terdakwa.

- Kemudian saksi langsung mengecek kayu yang diangkut tersebut adalah

benar kayu hutan namun dicampur dengan kayu kabani.

- Dalam mengangkut kayu hutan tersebsut terdakwa menggunakan kendaraan

truk warna kuning.

Atas keterangan para saksi tersebut terdakwa tidak keberatan.

b. Keterangan Terdakwa

Di persidangan telah didengar keterangan terdakwa yang pada pokoknya

mengatakan sebagai berikut :

- Terdakwa pernah diperiksa oleh penyidik dan keterangan terdakwa dalam berita

acara penyidikan sudah benar;

- Pada hari Rabu tanggal 20 Desember 2006 kira-kira pukul 11.00 WIB ketika

terdakwa mengemudikan truk NO.Pol. R-9043AA bermuatan kayu bakar

campuran melintas di Jalan Umum Desa Wonosari Kecamatan Kebumen, Kab.

Kebumen telah ditangkap oleh Petugas Kepolisian;

64

- Jenis kayu yang terdkwa angkut ialah jenis kayu pinus dan campuran dengan

kayu sengon dan kayu albasia serta kayu waru;

- Kayu-kayu tersebut diangkut dengan menggunakan truk milik Sdr. Purdiyanto;

- Terdakwa membawa kayu-kayu tersebut sebanyak kurang lebih 3 (tiga) kubik

untuk kayu pinus sedangkan yang lain terdakwa lupa;

- Terdakwa dalam melakukan pengangkutan kayu-kayu tersebut tanpa

dilengkapi dengan surat-surat keterangan yang sah;

- Kayu-kayu yang terdakwa angkut adalah kayu milik perum perhutani dari hasil

penjarahan pada bulan Oktober 2006;

- Terdakwa mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi;

- Terdakwa mengaku belum pernah dihukum;

c. Barang Bukti

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kebumen dalam menilai kekuatan alat

bukti keterangan terdakwa telah memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang

satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 189 KUHAP.

Berkaitan dalam menilai kekuatan dan kebenaran alat bukti keterangan

terdakwa yaitu :

a. Apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan,

b. Dan apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan

yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang

berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa

pidana yang sedang diperiksa.52

65

4. Tuntutan Pidana

a. Menyatakan terdakwa Sugito alis. Gito bin Hadi Sukarso terbukti bersalah

melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana di maksud dalam Pasal 78

ayat (7) jo Pasal 58 ayat (3) huruf h Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999.

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sugito Als. Gito bin Hadi Sukarso

dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan dikarangi selama terdakwa

berada dalam tahanan dan densa sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah)

subusidair 1 (satu) bulan kurungan.

c. Menyatakan barang bukti berupa :

1) 3 (tiga) stample weter kayu pinus, dikembalikan ke Perhutani;

2) 1 (satu) unit kendaraan truk Mitsubhisi warna kuning No.Pol. R-9043-AA

Tahun 1991, No.Ka. SE1 1405753 No. Sin. 4D 31c119306, berikut STNK

nya atas nama Azharul Fahman;

3) 1 (satu) buah buku kir kendaraan truk Mitshubisi warna kuning No.Pol.R-

9043-AA yang dikeluarkan oleh Dishub Kab. Banyumas an. Asharul

Rahman dengan No. Uji berkala : WT-10696, dirampas untuk negara.

4) Menyatakan supaya terdakwa dibebani untuk membayar biaya berkara

sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus ribu rupiah).

5. Putusan

a. Pertimbangan Hukum Hakim

Mendasarkan pada keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan

keterangan para terdakwa serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka

diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut. Terdakwa diajukan ke persidangan

66

oleh jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yang diatur dan diancam

dalam Pasal 78 ayat (7) dan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang RI No. 41

Tahun 1999 yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur barang siapa

Unsur barang siapa dalam pasal ini menunjukkan orang atau subyek hukum

yang jadi pertanggung jawaban atas perbuatan pidana yang dilakukannya,

dimana dalam perkara ini Jaksa penuntut Umum telah mengajukan seorang

terdakwa dan setelah diperiksa yang besangkutan membenarkan identitas yang

tercantum dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dengan demikian yang

dimaksud barang siapa disini adalah terdakwa Sugito al. Gito. Dengan

demikian unsur barang siap telah terbukti dan terpenuhi.

b. Unsur dengan sengaja

Ilmu hukum pidana diantaranya memberikan pengertian atau pemahaman

dengan sengaja adalah si pelaku tindak pidana mengetahui atau menghendaki

perbuatannya atau tindakan dan menginsafi perbuatannya.

Terdakwa Sugito als. Gito telah mengangkut kayu pada hari Rabu tanggal 20

Desember 2007 sekira pukul 11.30 WIB dengan menggunakan truk No.Pol.R-

9643 AA dari Desa Penerusan Wadaslintang Wonosobo dengan tujuan

Surweng Kebumen tanpa dilengkapi dengan surat-surat yang sah, yang

terdakwa lakukan dengan cara awalnya hari Rabu tanggal 20 Desember 2006

kurang lebih pukul 06.30 WIB terdakwa membeli kayu pinus bakar dari petani

di kawasan pinggiran hutan negara yang termasuk Desa Penerusah Kecamatan

Wadaslintang Kab. Wonosobo, kemudian terdakwa angkut bersama-sama

67

kayu lain yaitu kayu sengon, kayu albasian dan kayu waru, namun

sesampainya di Jalan Raya Desa Wonosobo Kebumen terdakwa diberhentikan

oleh Petugas Polres Kebumen dan tedakwa tidak bisa menunjukan dokumen

sahnya hasil hutan (SKSHH) sehingga terdakwa ditangkap berikut kendaraan

truk beserta kayu pinusnya.

Dari uraian tersebut di atas, maka terdakwa memang mengetahui dan

menghendaki untuk mengangkut kayu pinus tersebut walaupun tanpa

dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, dengan demikian

unsur dengan sengaja telah terbukti dan terpenuhi.

c. Unsur mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yagn tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.

Berdasarkan keterangan para saksi serta keterangan terdakwa sendiri, kayu pinus

sebanyak 3 (tiga) stample meter yang dicampur dengan kayu sengon, kayu

albasia dan kayu waru dalam truk No Pol. R-9043-AA telah dingkut oleh

terdakwa dari Penerusan Wonosobo menuju Sruweng Kebumen.

Kayu pinus yang dicampur dengan kayu lain yang diangkut oleh tedakwa

tersebut tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan yang

menyertai kayu pinus tersebut, sedangkan kayu pinus yang diangkut terdakwa

adalah termasuk hasil hutan.

Atas pertimbangan di atas, maka unsur mengangkut, menguasai atau memiliki

hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya

hasil hutan telah terbukti dan terpenuhi. Oleh karena semua unsur dari dakwaan

tunggal Jaksa penuntut Umum telah dapat dibuktikan, maka terdakwa harus

68

dinyatakan telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.

Oleh karena sepanjang pemeriksaan di persidangan termasuk terdakwa tidak

diketemukan hal-hal yang dapat menghilangkan pertanggung jawaban pidana

baik berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf sehingga terdakwa dinilai

mampu bertanggung jawab, maka keadaan diri terdakwa harus dijatuhi pidana.

Oleh karena terdakwa telah ditahan dalam Rumah Tahanan Negara maka masa

penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangi seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan. Oleh karena tidak ada alasan-alasan hukum untuk

mengeluarkan terdakwa dari tahanan, maka terhadap terdakwa harus dinyatakan

tetap berada dalam tahanan. Bahwa barang bukti sebagaimana di ajukan olah

Jaksa Penuntut Umum yaitu berupa kayu pinus dikembalikan kepada Perum

Perhutani. Sedangkan truk Mitshubisi warna kuning No. Pol. R-9643-AA, oleh

karena merupakan alat angkut yang digunakan dalam tindak pidana kehutanan

maka berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-undang No. 41 Tahun

1999, teruk tersebut harus dirampas untuk Negara. Oleh karena terdakwa telah

dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi pidana, maka harus pula dibebani untuk

membayar biaya perkara.

Pertimbangan selanjutnya adalah bahwa tujuan pemidanaan bukanlah semata-

mata untuk memerikan derita atau balas dendam kepada seseorang namun

sedapat mungkin pemidanaan haruslah bersifat represif edukatif, sehingga

terdakwa dapat merenungkan perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi, karena

itu diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat dirasakan seadil-adilnya.

69

Sebelum mejelis hakim menjatuhkan pidana terlebih dahulu akan

dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang

melekat pada diri terdakwa. Hal-hal yang memberatkan : perbuatan terdakwa

telah merugikan negara sedangkan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa

adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa menyatakan menyesal atau

perbuatannya dan terdakwa berterus terang memberikan keterangannya di

persidangan.

b. Amar Putusan

a. Menyatakan terdakwa Sugito als. Gito terbukti secara sah dan menyakinkan

bersalah melakukan tinak pidana mengangkut hasil hutan yang tidak

dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 6 (enam) bulan dan denda sebear Rp 200.000,- (dua ratus ribu

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti

dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

c. Menatapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangi seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan.

d. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

e. Menetapkan barang bukti berupa :

- 3 (tiga) staple meter kayu pinus;

- 1 (unit) unit kendaraan truk mitshubisi warna kuning Ho.Pol R-9043-AA

tahun 1991 atas nama Fahlan dan 1 (satu) buah buku kir kendaraan truk

Mitshubisi warna kuning No.Pol. R-9043-AA yang dikeluarkan oleh

Dishub Kabupaten Banyumas an. Saipul dirampas untuk negara;

70

- Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

B. Pembahasan

Berdasarkan hasi l penel i t ian pada Putusan Perkara No.

48/Pid.B/2007/PN.Kbm dan studi pustaka yang berhubungan dengan obyek

penelitian, berikut ini akan dianalisis secara normative kualitatif, yaitu dengan

menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan norma-norma, doktrin dan teori-

teori ilmu hukum sehingga dapat disusun suatu pembahasan sebagai berikut :

Jaksa Penuntut Umum pada perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm

menuntut terdakwa dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 78 ayat (7)

dan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

1. Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara illegal logging pada Putusan

No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm.

Berkaitan dengan kewajiban hakim dalam memutus perkara pidana,

menurut Martiman Prodjohamidjojo53 adalah :

a. perbuatan-perbuatan yang manakah yang dapat dianggap terbukti menurut pemeriksaan pengadilan;

b. apabila telah terbukti bahwa terdakwa telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan itu;

c. tindak pidana yang telah dilakukan sehubungan dengan perbuatan itu; d. hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa

Agar dapat menetapkan hal atau keadaan seperti tersebut di atas, yang

sesuai dengan kebenaran materiil dalam perkara pidana, dijalankan oleh hakim

53Martiman Prodjohamidjojo,

71

dengan melalui proses pembuktian. Dengan pembuktian hakim diharapkan dapat

menentukan kebenaran mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau.

Walaupun sulit bagi seorang hakim untuk menemukan kebenaran atau keadaan

yang sudah lampau. Oleh karena itu hakim dalam mengambil suatu keputusan

harus obyektif dan jujur yang tentunya akan mencerminkan unsur keadilan dan

menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Berkaitan dengan system pembuktian yang dipakai di Indonesia, menurut Riduan Syahrani :

Pembuktian tersebut mengandung maksud untuk mencari dan menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif (Pasal 183 KUHAP). Dalam sistem negatif hakim hanyalah boleh menghukum terdakwa, kalau berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum ia mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.54

Sistem pembuktian yang dianut Indonesia diatur dalam Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana selenjutnya disebut KUHAP Pasal 183, berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian yang dianut di

Indonesia adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief

Wettelijk Stelsel), yaitu keseimbangan anatara pembuktian menurut undang-

undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau Conviction-in

time. Rumusnya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh

keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

54Riduan Syahrani, 1983. Beberapa Hal Penting Tentang Hukum Acara Pidana,

55 Ibid. hal. 290.

72Alumni, Bandung. hal. 129.

73

menurut undang-undang. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, wettelijk artinya

sesuai dgn alat-alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang, sedangkan

negatief adalah oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-

undang saja belum cukup untuk membuat hakim pidana menganggap bukti sudah

diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.

Asas keyakinan hakim seperti yang terdapat dalam jiwa ketentuan Pasal

183 KUHAP, berhubungan erat dengan ajaran system pembuktian yang dianut

KUHAP. Berkenaan dengan asas keyakinan hakim dalam menilai alat bukti

keterangan terdakwa tersebut, M. Yahya Harahap berpendapat :

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP menganut system pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya du aalat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim yakin, terdakwalah yang bersalah melakukannya. Bertitik tolak dari system pembuktian menurut undang-undang secara negatif, dalam mewujudkan keyakinan hakim menilai salah atau tidaknya seorang terdakwa, memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim untuk menilai setiap kekuatan pembuktian yang diperolehnya dalam persidangan. Bahkan asas keyakinan hakim itu sendiri dapat melumpuhkan semua kekuatan pembuktian yang diperoleh di sidang pengadilan. Walaupun telah terkumpul bukti sebesar gunung, hakim harus lagi menanya dan mengajuki kekuatan pembuktian itu dengan hati nuraninya. Kalau hatinya tidak yakin akan kesalahan terdakwa, hakim bebas dan berwenang melumpuhkan kekuatan pembuktian tersebut dengan keyakinannya. Akan tetapi, seperti yang telah diperingatkan berulang-ulang, dalam mempergunakan kebebasan dan asas keyakinan, hakim harus benar-benar bertanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati.55

Dari rumusan ajaran atau teori sistem pembuktian secara negatif dan

pendapat M. Yahya Harahap tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan

putusan perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm nampak bahwa hakim dapat

membuktikan bahwa keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti

74

yang diajukan ke persidangan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah

menurut undang-undang sebagaimana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum

ke persidangan.

Uraian di atas membuat hakim berkeyakinan bahwa terdakwa bersalah

telah melakukan tindak pidana illegal logging, Oleh karena itu apa yang telah

hakim putuskan dalam menilai kekuatan keterangan para saksi, alat bukti

keterangan terdakwa adalah tepat dan sesuai dengan prosedur hukum acara pidana

yang berlaku (dalam hal ini Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP).

Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti adalah berbeda

tergantung kepada kebijaksanaan hakim. Kekuatan pembuktian alat bukti surat dan

keterangan terdakwa menurut M. Yahya Harahap tidak mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk

menilainya.56

Selanjutnya M. Yahya Harahap57 mengatakan :

Nilai kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti keterangan terdakwa yang disebut pada Pasal 189 KUHAP. Sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya.

Pada Putusan Perkara Nomor:48/Pid.B/2007/PN.Kbm mengenai tindak

pidana illegal logging, dalam hal ini hakim Pengadilan Negeri Kebumen

menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa yang didakwa telah melakukan

tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Hal

56 M. Yahya Harahap, op. cit. hal. 268.

7557 M. Yahya Harahap, Loc.cit. hal. 289.

76

tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Kebumen yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana adalah didasarkan pada pembuktian yang diperoleh

dalam pemeriksaan persidangan serta menurut keyakinan hakim.

Untuk menjawab permasalahan yang pertama yaitu pertimbangan hakim

dalam memutus perkara i l legal logging pada Putusan Nomor :

48/Pid.B/1 997/PN.Kbm dapat dianalisis sebagai berikut.

Berdasarkan keterangan para saksi dan terdakwa di persidangan, telah

nyata dan meyakinkan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak

pidana illegal logging.

Berkaitan dengan pengertian keterangan terdakwa, M. Yahya Harahap

mengatakan :

Ditinjau dari keluasan pengertian, pada istilah keterangan terdakwa, sekaligus meliputi pengakuan dan pengingkaran. Sedang dalam istilah pengakuan tertuduh, hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. Oleh karena itu keterangan terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi pernyataan pengakuan dan pengingkaran, dan menyerahkan penilaiannya kepada hakim, yang mana dari keterangan terdakwa sebagai ungkapan pengakuan dan yang mana pula dari keterangan itu bagian yang berisi pengingkaran.58

Sedangkan dalam hal kekuatan alat bukti keterangan terdakwa pada Pasal

189 KUHAP, secara lengkap merumuskan sebagai berikut :

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

58 M. Yahya Harahap, op.cit. hal. 297.

77

3. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Dari rumusan Pasal 189 KUHAP dapat disimpulkan bahwa agar

keterangan terdakwa dapat dijadikan alat bukti terdakwa, harus terpenuhi syarat-

syarat sebagai berikut :

a. Keterangan itu harus diberikan terdakwa di depan sidang pengadilan.

b. Hal yang dinyatakan di depan sidang pengadilan adalah tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri.

c. Keterangan terdakwa merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri.

Berkaitan dengan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, Andi Hamzah

mengatakan bahwa :

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa handaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan.59

Pada Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa baru dapat dijadikan alat

bukti apabila terdakwa yang memberikan keterangan itu mendengar sendiri,

mengalami sendiri dan melihat sendiri. Menurut data yang ada, peneliti

berpendapat keterangan terdakwa yang disampaikan di muka sidang pengadilan

sudah sesuai dengan Pasal 189 KUHAP.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kebumen dalam menilai kekuatan alat

bukti keterangan terdakwa telah memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang

satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 189 KUHAP.

60 Ibid. hal. 289.

7859 Andi Hamzah, op. cit. hal. 287.

79

Berkaitan dalam menilai kekuatan dan kebenaran alat bukti keterangan

terdakwa yaitu :

a. Apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan, b. Dan apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan

yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.60

Pada putusan perkara Nomor : 48/Pid.B/2007/PN.Kbm, majelis hakim

mengenai bahwa keterangan terdakwa yang telah diberikan hakim dapat menilai

sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 189 KUHAP.

Terhadap kekuatan pembuktian keterangan terdakwa dalam pada Putusan

perkara Nomor : 147/Pid.B/2005/PN.Pwt, hakim menilai sehingga dapat

membuktikan bahwa apa yang telah dilakukan para terdakwa itu bukan merupakan

tindak pidana.. Hal ini sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang

menentukan :

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Pada Putusan perkara Nomor : 48/Pid.B/2007/PN.Kbm mengenai tindak

pidana illegal logging, terdakwa yang dihadirkan di persidangan tidak dapat

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana, maka menurut keyakinan

hakim dengan mendasarkan pada alat bukti keterangan para saksi serta keterangan

terdakwa dan barang bukti yanga diajukan ke persidangan, berkaitan dengan

pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP maka hakim berkesimpulan bahwa

80

terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa

Penuntut Umum.

Ditinjau dari asas penilaian keterangan terdakwa, sudah barang tentu

tidak semua keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk

menentukan sejauhmana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang

sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak,

antara lain : keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, keterangan

tersebut berupa penjelasan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri serta keterangan terdakwa tersebut merupakan alat bukti

terhadap dirinya sendiri.

Pasal tersebut berbanding lurus dengan Pasal 6 ayat 2Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan bahwa :

Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Persidangan alat bukti keterangan terdakwa tidak akan bernilai sebagai

alat bukti yang sah menurut undang-undang apabila tidak didukung oleh alat bukti

yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alat bukti keterangan atau

pengakuan terdakwa, bukan alat bukti yang memiliki sifat mengikat dan

menentukan. Seribu kali pun terdakwa mengaku sebagai pelaku tindak pidana

yang didakwakan, pengakuan itu belum cukup membuktikan kesalahannya, mesti

lagi didukung dengan alat bukti yang lain. Apa sebabnya alat bukti keterangan

81

terd

akwa tidak dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Hal ini untuk

menghindari penyelundupan orang yang benar-benar bersalah.61

Pendapat M. Yahya Harahap tersebut di atas apabila dihubungkan

dengan Putusan perkara No.48/Pid.B/2007/PN.Kbm dalam hal pertimbangan

hakim dalam menilai kekuatan alat bukti keterangan terdakwa sebagai alat bukti,

hakim telah mempertimbangkan beberapa alat bukti yakni beberapa keterangan

saksi-saksi, barang bukti berupa 3 (tiga) stample meter kayu pinus, 1 (satu) unit

kendaraan truk mitsubhisi warna kuning No.Pol. R-3043-AA, 1 (satu) buah buku

kir kendaraan truk Mitshubisi warna kuning berikut STNK. Alat bukti dan barang

bukti yang diajukan ke persidangan tersebut semuanya saling berhubungan. Oleh

karena itu dengan mendasarkan pada hal tersebut, maka hakim telah memperoleh

fakta hukum bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana

disebutkan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 78 ayat

(7) dan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Tentang nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa M.

Yahya Harahap mengatakan :

Untuk menentukan sejauhmana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, yaitu : 1) Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan, artinya supaya

keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa maupun pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh hakim.

2) Tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sebagai asas kedua supaya keterangan terdakwa

61 M. Yahya Harahap, Op. Cit. Hal. 301.

82

dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan : a. tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa; b. tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa; c. apa yang dialami sendiri oleh terdakwa dan d. keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya

sendiri.62

Dari rumusan tersebut, apabila dihubungkan dengan hasil penelitian

terhadap Putusan perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm. dalam hal keterangan

terdakwa adalah telah mempunyai kekuatan untuk pembuktian di sidang

pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari fakta hukum yang terungkap di persidangan,

bahwa para terdakwa dalam memberikan keterangannya di depan persidangan

tentang perbuatan apa yang ia alami dan ketahui sendiri dan menurut pertimbangan

hakim para terdakwa tersebut dalam memberikan keterangannya adalah untuk dan

atas nama dirinya sendiri, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal

189 KUHAP

Pasal 189 KUHAP merumuskan :

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar siding dapat digunakan untuk membantu menentukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Berkaitan dengan rumusan tersebut M. Karjadi dan R. Soesilo

berpendapat :

62 Ibid.hal. 299-300.

83

Agar supaya cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka keterangan terdakwa itu harus ditambah lagi dengan satu alat bukti yang lain, misalnya satu keterangan saksi, satu keterangan ahli, satu surat atau satu petunjuk.63

Pertimbangan hakim selanjutnya dalam menilai kekuatan pembuktian alat

bukti keterangan terdakwa dalam Putusan perkara No.48/Pid.B/2007/PN.Kbm

adalah selain telah terpenuhinya unsur-unsur Pasal 78 ayat (7) dan Pasal 50 ayat

(3) huruf h Undang-Undang No.41 Tahun 1999, juga telah terpenuhinya nilai

kekuatan masing-masing alat bukti yang diajukan. Dengan demikian hakim dalam

menilai kekuatan alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum telah sesuai

dengan ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 184 KUHAP.

Berdasarkan fakta-fakta yuridis yang ada dalam data tersebut, maka sudah

tepat apabila hakim Pengadilan Negeri Kebumen telah memutus bersalah kepada

terdakwa. Hal ini karena didukung oleh alat bukti keterangan saksi-saksi,

keterangan terdakwa serta barang bukti yang diajukan ke persidangan. Hal ini

dapat dilihat dari kesimpulan akhir Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kebumen

yang dalam amar putusannya menghukum para terdakwa sebagaimana yang

didakwakan Jaksa Penuntut Umum.

2. Pidana selama 6 (Bulan) bulan apa sudah sesuai dengan rasa keadilan pada Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm.

Tugas Hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan

kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga

mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian

63 M. Karjadi dan R. Soesilo, op.cit. hal.168.

84

hukum. Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil,

namun sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin

memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan

menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam

persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan

disertai dengan hati nurani hakim. Bahkan hakim juga disebut sebagai wakil

Tuhan di dunia dalam arti harus tercermin dalam putusan perkara yang sedang

ditanganinya, maka sebagai seorang hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap tegak

dalam garis kebenaran dan tidak berpihak (imparsial), namun putusan hakim juga

paling tidak dapat dilaksanakan oleh pencari keadilan atau tidak hanya sekedar

putusan yang tidak bisa dilaksanakan.

Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan

mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan

fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan

dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan pidana

penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai azas hukum pidana yaitu

azas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus

bersumberpada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan

Undang-Undang.

Upaya untuk mewujukan makna keadilan sebagai bagian tak terpidahkan

dari penegakan hukum merupakan ujian bagi hakim. Guna menjatuhkan pidana

hakim dihadapkan pada beberapa aspek pemidanaan yang sering kontroversial.

Sebab sebuah putusan hakim disamping harus adil, harus juga mencerminkan

fungsi mendidik dan mengayomi, bahkan, harus pula mampu menanggulangi

85

kejahatan dalam masyarakat. Namun, sebagai manusia biasa hakim pun tidak

jarang berbicara menurut perasaan dan memperhatikan fakta-fakta atas dasar

interpretasi subjektif yang walau dapat dipertanggungjawabkan, tetapi jarang

dimengerti orang lain.

Pada Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm berkaitan dengan

apakah pidana yang dijatuhkan yaitu selama 6 (enam) bulan penjara tersebut sudah

sesuai dengan keadilan, yaitu jika merujuk pada tujuan pemidanaan, maka

hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah sesuai dengan tujuan

pemidanaan yaitu bagi pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi lagi dan

kepada masyarakat pada umumnya agar tidak mencontoh atau meniru apa yang

dilakukan terdakwa.

Tujuan pemidaan dalam hukum pidana positif menjadi dasar penentuan

dipidana atau tidak dipidananya pelaku kejahatan. Tujuan pemidaan ini umumnya

dihubungkan dengan dua pandangan dasar, yaitu :

1. Retributivism dan

2. Utilitarianism

Menurut Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai

ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga

masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai

pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab

moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang

(backward-looking).

86

Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau

kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin

dihasilkan dengan dij atuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak

lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan

berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat

pencegahan (detterence).64

Selain menurut kedua pandangan dasar tersebut, penjatuhan pidana juga

bertujuan sebagai :

1. Tujuan Pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat

Tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social

defence). Dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan

konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penerapan tentang bagaimana

kebutuhan perlindungan masyarakat ini, KUHP mengatur tentang adanya

penentuan pidana minimum dan maksimum dalam delik-delik tertentu, seperti

yang diatur dalam pasal 57 KUHP. Ketentuan mengenai perumusan pidana

maksimum dan minimum dalam penjelasan KUHP dikenal dengan pola

pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari

64 Zainal Abidin, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, cet. ke-1, Jakarta, ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, hal 10

87

65 Ibid, hal, 17

a

danya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang

secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh

prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang

membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana

penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada

prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu

hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan,

membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang

dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana

minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-

kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara

khusus.65

2. Pembinaan Individu Pelaku Tindak Pidana

Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk

melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku

yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat

dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan

narapidana dan tujuan pemidanaan. Perubahan atau penyesuaian tidak boleh

lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan

perubahan atau penyesuaian dapat berupa :

a) Pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau

b) Penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.

88

66 Ibid, hal, 18

Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan pemidanaan

adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan

bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan

dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan

dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam

pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau

pengurangan atas pidana hanyalah :

a) Kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana

b) Perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar

lagi.66

89

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

` Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara illegal logging pada Putusan No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm.

Pada putusan perkara Nomor : 48/Pid.B/2007/PN.Kbm mengenai tindak

pidana illegal logging, terdakwa yang dihadirkan di persidangan tidak dapat

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana, maka menurut keyakinan

hakim dengan mendasarkan pada alat bukti keterangan para saksi serta keterangan

terdakwa dan barang bukti yanga diajukan ke persidangan, maka hakim

berkesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian keterangan terdakwa

dalam Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm telah memenuhi minimum

pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, berbunyi :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

2. Pidana selama 6 (Enam) bulan sudah sesuai dengan rasa keadilan pada Putusan Perkara No. 48/Pid.B/2007/PN.Kbm.

Secara konsepsional, suatu pemidanaan akan dijatuhkan kepada terpidana

dengan selalu mengingat bahwa hukuman itu nantinya akan membawa akibat yang

90

cukup kompleks, tidak saja terhadap terpidana, akan tetapi juga pihak yang secara

tidak langsung terkait dengan peristiwa tersebut. Pada dimensi lain, pemidanaan itu

sebenarnya merupakan perwujudan interaksi terhadap perbuatan yang dilakukan

orang tersebut dengan banyak pihak. Oleh sebab itu, akan selalu dipertimbangkan

dalam putusan hakim yang baik, tidak hanya akibat hukuman yang dijatuhkan itu dari

ka cam ata t e rp id a na , t e t ap i j ug a m a s ya ra kat . P a da P er ka r a N o.

48/Pid.B/2007/PN.Kbm berkaitan apakah pidana yang dijatuhkan yaitu selama 6

(enam) bulan penjara tersebut sudah sesuai dengan keadilan, maka hukuman penjara

yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu bagi

pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi lagi dan kepada masyarakat pada

umumnya dengan mempertimbangkan tidak mencontoh atau meniru apa yang

dilakukan terdakwa.