pengertian poligami

23
engertian Poligami Dari wikipedia dijelaskan bahwa Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Poligami merupakan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik buruknya moral seseorang yang melakukan poligami. Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang. Sedangkan pengertian nikah siri atau nikah dibawah tangan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu : 1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali. 2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat- syarat lainya tetapi tidak dicatat di KUA setempat.

Upload: faiz-mubarok

Post on 07-Dec-2014

85 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: pengertian Poligami

engertian Poligami

Dari wikipedia dijelaskan bahwa Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).

Poligami merupakan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik buruknya moral seseorang yang melakukan poligami.

Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak.

Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat orang.

Sedangkan pengertian nikah siri atau nikah dibawah tangan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu :

1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali.

2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat-syarat lainya tetapi tidak dicatat di KUA setempat.

Hukum Poligami Menurut Islam

Pada dasarnya hukum poligami dalam Islam adalah sunnah, karena Rasulullah Saw pun berpoligami, sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi janda-janda miskin dan anak yatim. Dengan memberikan izin untuk praktik poligami, Islam berharap agar kehidupan janda-janda miskin dan anak-anak yatim tersebut bisa lebih baik. Selain itu, dengan dinikahi secara sah, keberadaan janda-janda tersebut bisa terhindar dari fitnah.

Page 2: pengertian Poligami

Konsekuensi dari izin ini adalah mendahulukan untuk menikahi janda yang paling lemah, paling miskin, dan yang paling tidak menarik secara fisik. Jangan lupa, masih ada persyaratan lain yang juga penting. Selain harus mampu secara ekonomi, seseorang yang akan melakukan poligami diharuskan bisa bersikap adil kepada istri-istrinya. Firman Allah SWT :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]

Namun hukum poligami dapat menjadi makruh bahkan haram jika poligami dimaksutkan hanya untuk menyakiti seseorang atau hanya untuk melampiaskan hasrat hawa nafsu tanpa mampu berbuat adil kepada istri – istri nya, anak – anaknya, serta tidak dapat adil pada dirinya sendiri, oleh sebab itu orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman :

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]

Page 3: pengertian Poligami

Hukum Poligami Menurut UU Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Beberapa pasal yang menyebutkan tentang UU Poligami :

UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Asas Monogami Relatif

Pasal 9

seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan 4 UU ini.

Pasal 3 ayat (2):

Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Syarat Poligami

A. Syarat Alternatif (Pasal 4 ayat 2)

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

2. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disenbuhkan;

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Page 4: pengertian Poligami

B. Syarat Komulatif (Pasal 5 ayat (1)

1. Persetujuan istri/istri-istri;

2. Mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak

3. Jaminan akan berlaku adil.

Syarat Khusus PNS PP No 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990Tentang Perceraian dan Perkawinan Bagi PNS :

Syarat Poligami harus ada izin atasan. Izin tdk diberikan dalam hal (Ps 10 PP 10/1983):n

1. Bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama

2. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

3. Alasan tidak masuk akal

4. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas

Larangan bagi wanita PNS untuk menjadi istri kedua,ketiga, keempat (Pasal 4 ayat (2) PP 45/1990.

Pengertian Nikah Siri

Banyak sekali perbedaan pendapat mengenai pengertian nikah siri, namun pada dasarnya pengertian nikah siri digolongkan menjadi 2, yaitu :

Page 5: pengertian Poligami

1. Nikah Siri merupkan pernikahan yg dilakukan secara sembunyi–sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yg pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al Umm 5/ 23, dan dalam katagori nikah siri ini semua ulama sepakat bahwa pernikahn itu menjadi batal atau tidak sah dalam hokum islam

2. Nikah Siri merupakan pernikahan yg dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh menyebarkan berita pernikahan kepada masyarakat sekitar atau publik.

Hukum Nikah Siri Menurut Islam

Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :

Adanya calon mempelai pria dan wanita

Adanya wali dari calon mempelai wanita

Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak

Adanya ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi

Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)

Jika dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadits disebutkan :

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”

(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)

Page 6: pengertian Poligami

Hukum Nikah Siri Menurut Negara

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari sini, pencatatan disinggung secara lebih lanjut. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.

Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara yang berwenang. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah sirri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban dan Kementerian Agama mencatat, 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dan proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya. Selain itu, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200 ribu perceraian.

Data ini menunjukkan perkawinan tanpa pencatatan akan menimbulkan masalah panjang, khususnya bagi anak-anaknya. Belum lagi mengenai status istri hasil nikah tanpa pencatatan. Mereka tidak terlindungi secara hukum. Jika perkawinanya bermasalah, maka sang istri tidak akan bisa mendapatkan hak-haknya secara wajar. Hak waris, hak gono-gini, dan hak-hak perlindunga hukum lainnya. Karena nikah siri sering disalah gunakan oleh pelakunya.

Negara tidak mengizinkan nikah siri dengan niat untuk melindungi hak-hak sipil warga yang timbul akibat penyalahgunaan pernikahan. Negara berkewajiban menciptakan harmoni dan keteraturan sosial di tengah masyarakat.

Page 7: pengertian Poligami

Kesimpulan

1. Poligami menurut pandangan Islam pada dasarnya adalah sunnah, karena hal itu dilakukan oleh Rasulullah Saw dan beberapa sahabat, namun dengan syarat-syarat tertentu yang tidak semua manusia awam dapat memenuhinya, dan hukum poligami pun bisa menjadi makruh bahkan haram apabila sang suami tidak dapat berlaku adil ataupun ada niat untuk menyakiti dan menelantarkan, sedangkan menurut UU negara, poligami pun diperbolehkan namun dengan syarat-syarat yang tertera pada UU Indonesia.

2. Pada dasarnya hukum nikah siri menurut Islam adalah syah apabila memenuhi rukun – rukun nikah yang tertera pada ajaran Islam, sedangkan menurut UU Indonesia nikah siri adalah dilarang dikarenakan banyak menimbulkan kerugian pada pihak wanita dan juga banyaknya tindak penyelewengan oleh para pelakunya.

Dikutip dari Berbagai SUMBER

Nikah Siri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu ”sirri” atau ”sir” yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama tapi tidak sah menurut negara karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Nikah siri juga disebut dengan Nikah di Bawah Tangan.

Kata siri yang berarti rahasia, hal tersebut merujuk pada rukun islam tentang perkawinan yaitu sah perkawinan apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri berarti nikah yang tidak dicatat oleh negara.Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusah dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

Page 8: pengertian Poligami

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan? Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Hukum nikah tanpa wali

� �ح� ال �ك �ن �م� ت �ي �أل �ى ا ت م�ر� ح�� �أ ت �س� � ت �ح� و�ال �ك �ن �ر� ت �ك �ب �ى ال ت �ذ�ن� ح� �أ ت �س� ت

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

Page 9: pengertian Poligami

بولي إال نكاح ال

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

باطل فنكاحها , باطل فنكاحها, باطل فنكاحها وليها إذن بغير نكحت امرأة أيما

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

نفسها تزوج التي هي الزانية فإن نفسها تزوج ال المرأة المرأة تزوج ال

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah tanpa dicatatkanp pada catatan sipil?

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda yakni:

1. Hukum pernikahannya2. Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh

Page 10: pengertian Poligami

dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut;

1. Wali2. Dua orang saksi3. Ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.

1. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.

Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat

Page 11: pengertian Poligami

bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

2. Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;

6ه�ا ي� �اأ �ذ�ين� ي �وا ال �ذ�ا ء�ام�ن �م� إ �ت �ن �د�اي �ن; ت �د�ي �ل�ى ب �ج�ل; إ م=ى أ �وه� م�س� �ب �ت �ب� ف�اك �ت �ك �ي �م� و�ل �ك �ن �ي �بA ب �ات �ع�د�ل� ك �ال ب� و�ال� ب

� �أ �بA ي �ات �ن� ك أ�ب� �ت �ك �م�ا ي �م�ه� ك �ه� ع�ل �ب� الل �ت �ك �ي �م�ل�ل� ف�ل �ي �ذ�ي و�ل �ه� ال �ي �ح�ق6 ع�ل �ق� ال �ت �ي �ه� و�ل �ه� الل ب �خ�س� و�ال� ر� �ب �ه� ي Mا م�ن �ئ ي �ن� ش� �ان� ف�إ �ذ�ي ك ال

�ه� �ي �ح�ق6 ع�ل ف�يهMا ال و� س�� و� ض�ع�يفMا أ

� �ط�يع� ال� أ ت �س� �ن� ي �م�ل� أ �م�ل�ل� ه�و� ي �ي 6ه� ف�ل �ي �ع�د�ل� و�ل �ال ه�د�وا ب �ش� ت �ن� و�اس� ه�يد�ي �م� م�ن� ش� �ك ال ر�ج��ن� �م� ف�إ �ا ل �ون �ك �ن� ي �ي ل ج� ج�لA ر� �ان� ف�ر� �ت أ ض�و�ن� م�م�ن� و�ام�ر� �ر� ه�د�اء� م�ن� ت �ن� الش6 �ض�ل� أ �ح�د�اه�م�ا ت �ر� إ �ذ�ك �ح�د�اه�م�ا ف�ت ى إ �خ�ر� و�ال� األ�

ب�� �أ ه�د�اء� ي �ذ�ا الش6 م�وا و�ال� د�ع�وا م�ا إ

� أ �س� �ن� ت �وه� أ �ب �ت �ك ا ت Mو� ص�غ�ير� ا أ Mير� �ب �ل�ى ك �ه� إ ل �ج� �م� أ �ك �ق�س�ط� ذ�ل �د� أ ن �ه� ع� �ق�و�م� الل و�أ

ه�اد�ة� �لش� �ى ل �د�ن �ال� و�أ �وا أ �اب ت �ر� �ال� ت �ن� إ �ون� أ �ك ةM ت ار� �ج� ةM ت �ه�ا ح�اض�ر� ون �د�ير� �م� ت �ك �ن �ي �ه�ا ب ون �د�ير� �م� ت �ك �ن �ي �س� ب �ي �م� ف�ل �ك �ي �احA ع�ل ن �ال� ج� أ�وه�ا �ب �ت �ك ه�د�وا ت �ش� �ذ�ا و�أ �م� إ �ع�ت �اي �ب �ض�ار� و�ال� ت �بA ي �ات ه�يدA و�ال� ك �ن� ش� �وا و�إ �ف�ع�ل �ه� ت �ن �م� ف�س�وقA ف�إ �ك �ق�وا ب �ه� و�ات �م� الل �م�ك �ع�ل �ه� و�ي الل

�ه� �ل� و�الل �ك ء; ب ي� �يمA ش� ع�ل

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki

Page 12: pengertian Poligami

diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):

3. Dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.

Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.

Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat

Page 13: pengertian Poligami

hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.

Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.

Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

�ا �ن د�ث �م� ح� و�ل� �و� أ اة; و�ل �ش� ب

“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

Bahaya Terselubung Dibalik Surat Nikah

Page 14: pengertian Poligami

Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;

1. Ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.

2. Surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.

Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.

Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sumber: Internet dan Media Muslim.

Sumber : http://aspal-putih.blogspot.com/2012/12/mengenal-hukum-nikah-siri-menurut-islam.html#ixzz2PV8Trs2k Under Creative Commons License: Attribution

NIKAH SIRI DALAM PINTU HUKUM

Page 15: pengertian Poligami

Pernihakan dalam kehidupan sangatlah penting guna untuk melegalisasi hubungan biologis antara laki-laki dan pasanganya disamping itu juga untuk membentuk sebuah hubungan keluarga yang harmonis dengan cara yang baik dan benar. Perkawinan atau pernikahan merupakan legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri oleh institusi agama, pemerintah atau kemasyarakatan.

Pernikahan juga mengajarkan konsep tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dimana hak dan kewajiban dilakukan dalam sebuah tindakan praktis di dalam rumah maupun di luar rumah setiap waktu. Sebagai seorang isteri, suami, anak, orang tua, tetangga, dan warga negara terhadap warga negaranya, masing-masing mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tempatnya.

Namun apabila pernikahan dilakukan dengan cara-cara  menabrak hukum agama maupun hukum negara, maka hal tersebut akan memberikan konsekuensi negatif lebih besar, salah satunya adalah tidak adanya jaminan perlindungan kepada sipelaku tersebut. Oleh karena itu negara dan agama memberikan garis-garis hukum mengenai pernikahan dengan sangat tepat dan jelas. Sebelum menentukan hukum pernikahan, terlebih dahulu harus mengetahui kondisi orang yang ingin menikah. Setelah itu, baru bisa menentukan apa hukum menikah bagi orang tersebut.Disamping itu juga pernikahan mempunyai beberapa bentuk seperti: pernihakan bawah tangan yang pada era modern ini dipercantik menjadi pernikahan sirri,a pernikahan kontrak (mut’ah), dan pernikahan sejati.

Menurut pandangan islam pernikahan hukumnya adalah sunah, pendapat ini adalah pendapat umum yang banyak diyakini mayoritas umat islam. Syariat islam sangat menganjurkan umatnya untuk menikah karena di dalam pernikahan itu banyak sekali manfaatnya. Hanya saja, orang yang ingin menikah mengalami kondisi tertentu. Oleh sebab itu pada pandangan islam hukum menikah bisa berubah tergantung kondisi yang sedang dialaminya. Kondisi itu seperti pada ketakutan akan terjadinya perzinaan dan sudah mampu memenuhi kebutuhan dan tuntunan pernihakan, maka hukum nikah menjadi wajib. Kondisi lainya adalah dimana keinginan melakukan pernikahan tersebut hanya untuk menyakiti isterinya ataupun suwaminya, maka hukum pernikahan yang semcam itu menjadi haram karena pernikahan yang semacam itu hanya akan menjadi sarana untuk melakukan perdzoliman diantara keduanya.

Sedangakan menurut pandangan negara adalah apabila pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat pencatat nikah (KUA) sebagai kaki tangan pemerintah, maka pernikahan tersebut tidak mempunyai perlindungan bahkan dianggap tidak sah, hal tersebut akan memberikan dampak negatif yang sangat besar khususnya terhadap isteri dan anaknya. Dimana kedudukan isteri anak hasil perkawinan tersebut hanya mempunyai hubungan perdata terhadap ibu dan keluarga ibu, artinya anak tidak mempunyai hukum dengan ayahnya. Kejadian ini sering disebut nikah sirri. Nikah sirri itu sendiri dalam perspektif islam adalah sah sepanjang telah memenuhi syarat dan rukunnya.

Definisi nikah sirri yang sebenarnya adalah yang mana dilakukan sesuai dengan prosedur keagamaan,artinya nikah yang dilakukan secara rahasia tanpa melaporkannya kekantor catatan sipil,biasanya nikah siri ini sering dilaksanakan akibat kedua belah pihak merasa belum siap

Page 16: pengertian Poligami

untuk meresmikannya,namun disisi lain untuk menjaga agar tidak terjadi pelecehan kepada hal-hal yang dilarang agama.

Perkawinan sirri marak terjadi khususnya pada kalangan menengah-ke atas karena sesuai dengan arti sirri (sembunyi-sembunyi) para pelaku kawin sirri juga menganggap proses dari pernikahan sirri juga sangat mudah, dimana sewaktu-waktu bisa melakukan perceraian tanpa melalui proses hukum. Hal lain yang membuat sebagian kecil orang melakukan pernikah sirri adalah karena ketentuan berpoligami yang diatur dalam PP No.9 dan No.10 tahun 1975 yaitu sulitnya mendapat perstujuan isteri sebelumnya, apabila pegawai negeri sipil harus mendapat izin atasanya. Dan izin itu hampir tidak pernah terjadi, atau bahkan sangat sulit. Munculnya pernikahan sirri adalah sejak berlakunya undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan dengan dikeluarkanyan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai pelaksana undang-undang nomor 1 tahun 1974 . Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa “tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut kentuan agama juga harus dicatatkan”. Dalam pasal 2 undang-undang  perkawinan nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa:

1.      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.

2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Di negara-negara maju seperti Perancis, Amerika, Inggris dan negara maju lainya sudah sejak lama dilakukannya pencatatan sipil yang dimulaih oleh negara Perancis setelah revolusi Perancis tahun 1789.

Sebagai negara yang berkembang dan modern seperti Indonesia maka perlu adanya  birokrasi yang benar dan jelas dimana segala sesuatu yang menyangkut masyarakat dengan pemerintah  harus dicatat secara tertulis. Begitu pula mengenai peraturan pernikahan, inipun kendati tidak termasuk rukun nikah dalam islam, namun demi kemaslahatan dan sebagai negara modern perlu adanya pencatatan dan bukti sah seseorang telah melakukan pernikahan.

Oleh sebab itu maka artikel ini mencoba memahamkan masyarakat tentang pentingnya masalah ini, kita mesti memperhatikan masalah ini dengan relatif  lebih serius. Pemahaman masyarakat tentang hukum ini dan upaya mendorong mereka untuk menikah secara sah baik menurut pandangan agama maupun pandangan negara. Hal ini juga akan meminimalisir kasus kekerasan rumah tangga, sekaligus juga akan mengikis atau menghentikan perceraian yang banyak terjadi dalam masyarakat modern saat ini, yang diakibatkan dari pernikahan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.Betapa banyak pernikahan yang dilangsungkan tanpa memperhatikan standar minimal yang harus ada pada diri suwami atau isteri di dalam masyarakat kita. Agar mempunyai legalitas bukan hanya dari segi agama atau keyakinan namun dari segi hukum negara yang berlaku juga harus benar-benar diperhatikan