bab i pendahuluan latar belakang...

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang terbentuk melalui sebuah lembaga perkawinan. Menurut Soerjono Soekanto, perkawinan adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi, antara lain: sebagai pengatur perilaku seksual suami-istri; sebagai wadah bagi penanaman hak dan kewajiban anggota keluarga; untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kawan hidup, benda materiil, dan prestise; serta untuk memelihara interaksi antar kelompok sosial. 1 Berdasarkan bentuknya, perkawinan dapat dibedakan menjadi beberapa macam. 2 Salah satu diantaranya adalah poligami. 3 Poligami merupakan sebuah bentuk perkawinan yang telah ada, dan dipraktikkan oleh sebagian kaum laki-laki di dunia dari sejak dulu hingga sekarang. 4 Poligami adalah sebuah isu sosial, atau lebih tepatnya, sebuah fenomena sosial keagamaan yang hingga kini keberadaannya terus menjadi bahan perdebatan pada banyak kalangan, termasuk 1 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 232-233. 2 Bentuk perkawinan dapat dibedakan menjadi beberapa macam; Pertama, bentuk perkawinan berdasarkan jumlah istri/suami (monogami, poligami). Kedua, bentuk perkawinan berdasarkan asal istri/suami (Endogami, eksogami), dan Ketiga, bentuk perkawinan berdasarkan hubungan kekerabatan persepupuan (Cross Cousin, Paralel Cousin). Pengertian mengenai monogami, poligami, endogami dan eksogami, dapat dilihat pada Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). 3 Mengenai konsep poligami dapat dilihat pada bagian penjelasan konsep. 4 Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara teks, konteks dan praktek, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008), 16-18.

Upload: duongkhue

Post on 10-Jun-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

yang terbentuk melalui sebuah lembaga perkawinan. Menurut Soerjono Soekanto,

perkawinan adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi, antara lain:

sebagai pengatur perilaku seksual suami-istri; sebagai wadah bagi penanaman hak

dan kewajiban anggota keluarga; untuk memenuhi kebutuhan manusia akan

kawan hidup, benda materiil, dan prestise; serta untuk memelihara interaksi antar

kelompok sosial.1

Berdasarkan bentuknya, perkawinan dapat dibedakan menjadi beberapa

macam.2 Salah satu diantaranya adalah poligami.

3 Poligami merupakan sebuah

bentuk perkawinan yang telah ada, dan dipraktikkan oleh sebagian kaum laki-laki

di dunia dari sejak dulu hingga sekarang.4 Poligami adalah sebuah isu sosial, atau

lebih tepatnya, sebuah fenomena sosial keagamaan yang hingga kini

keberadaannya terus menjadi bahan perdebatan pada banyak kalangan, termasuk

1 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995), 232-233. 2 Bentuk perkawinan dapat dibedakan menjadi beberapa macam; Pertama, bentuk

perkawinan berdasarkan jumlah istri/suami (monogami, poligami). Kedua, bentuk perkawinan

berdasarkan asal istri/suami (Endogami, eksogami), dan Ketiga, bentuk perkawinan berdasarkan

hubungan kekerabatan persepupuan (Cross Cousin, Paralel Cousin). Pengertian mengenai

monogami, poligami, endogami dan eksogami, dapat dilihat pada Tim Penyusun Kamus Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). 3 Mengenai konsep poligami dapat dilihat pada bagian penjelasan konsep.

4 Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara teks, konteks dan praktek, (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008), 16-18.

2

didalamnya adalah para feminis Muslim.5 Budaya patriarki dan ajaran agama

merupakan dua hal yang disinyalir ikut berperan cukup besar dalam melegitimasi

terjadinya perkawinan poligami tersebut.6

Permulaan munculnya poligami tidak diketahui secara pasti, namun

diduga muncul bersamaan dengan keberadaan umat manusia di dunia.7 Farida,

dalam hal ini menyitir Sayid Amir Ali, menyatakan bahwa sebelum kedatangan

Islam, poligami telah menjadi sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh semua

bangsa di dunia. Kebiasaan raja-raja pada masa lalu yang melembagakan

perkawinan dengan jumlah istri lebih dari satu, telah menjadi dukungan legitimasi

bagi keberadaan poligami kala itu.8

5 Mengenai pernyataan poligami sebagai isu sosial, Lihat, Umul Baroroh, “Poligami

dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed.), Bias Jender dalam

Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 68. 6 Patriarki merupakan sistem dominasi yang menempatkan keberadaan kaum perempuan

di bawah kepemilikan, kontrol dan kuasa kaum laki-laki. Dalam patriarki melekat ideologi, seperti;

superioritas laki-laki, kepemilikan dan sekaligus kontrol laki-laki atas perempuan. Konstruksi

sosial yang ada di dalam masyarakat patriarki dibangun di atas kontrol laki-laki terhadap

perempuan, dan laki-laki memiliki kuasa penuh untuk mengendalikan hal tersebut. Lihat,

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),

93-94. Disini, penulis menyimpulkan bahwa budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan

posisi dan kedudukan kaum laki-laki diatas kaum perempuan. Perempuan menjadi makhluk nomor

dua dibawah kekuasaan laki-laki. Pada budaya patriarki ini, seorang perempuan harus tunduk pada

kemauan laki-laki, termasuk ketika hendak dipoligami. Sementara itu, yang dimaksud dengan

ajaran agama pada tesis ini adalah hasil ijtihad manusia yang berupa penafsiran para ulama baik

fukaha maupun mufasir terhadap Q.S. an-Nisa’/4:3 tentang poligami. Fukaha adalah sebutan

untuk ahli hukum Islam (ahli fikih). http://kbbi.web.id/fukaha, diakses pada Kamis tanggal 4

Pebruari 2016 pukul 11.55 WIB. Adapun, mufassir/mufasir diartikan sebagai penafsir, atau ahli

tafsir Alquran. Tim Penyusun Pustaka-Azet Jakarta, Leksikon Islam, (Jakarta: PT. Penerbit

Pustazet Perkasa, tt), 488. 7 Lihat, Nasaruddin Umar dalam prawacana buku karangan Farida, Menimbang Dalil

Poligami, xi. 8 Farida, Menimbang Dalil Poligami, 17. Seorang raja Cina, disebut ada yang memiliki

istri sebanyak 30.000 orang. Selanjutnya Raja Sulaiman, atau yang lebih dikenal dengan Nabi

Sulaiman a.s. disebut memiliki 700 orang istri merdeka dan 300 orang istri berasal dari budak.

Lihat, Leli Nurohmah, “Poligami Saatnya Melihat Realitas” dalam Menimbang Poligami, Jurnal

Perempuan, No. 31/2003, h. 34.

3

Begitu pun yang terjadi pada Bangsa Arab pra-Islam.9 Pernikahan

poligami juga telah menjadi sebuah tradisi yang mengakar pada kehidupan

masyarakatnya. Bahkan, seorang perempuan yang memiliki suami lebih dari satu

(poliandri), juga merupakan hal yang wajar kala itu.10

Selain poligami (Ar:

ta’addud al-zawjat), dalam masyarakat Arab pra Islam juga dikenal bentuk-

bentuk perkawinan asli lainnya, seperti: zawaj al-mut’ah dan zawaj al-hibah.11

Menurut Farida, praktik poligami, dengan demikian, telah menjadi bagian

dari tradisi masyarakat luas di seluruh dunia. Kemudian Islam datang dengan

membawa batasan mengenai dibolehkannya poligami, yakni: pertama, jumlah

maksimal adalah 4 orang istri; kedua, mampu berlaku adil diantara istri-istrinya

(Q.S. An-Nisa/4:3). Bagi Farida, batasan tentang dibolehankannya poligami

tersebut merupakan sebuah revolusi dahsyat di dalam menegakkan hak dan

meningkatkan derajat kaum perempuan kala itu.12

Sementara itu, bagi Engineer,

9 Disini penulis memilih konteks Arab karena sebagaimana yang peneliti pahami, Jazirah

Arab adalah tempat dimana Nabi Muhammad saw dilahirkan, menerima wahyu, dan menyebarkan

agama Islam. 10

Farida, Menimbang Dalil Poligami, 15. Dalam Hukum Islam, poliandri merupakan

perihal yang dilarang. Pelarangan poliandri ini terdapat pada Q.S. 4:24, yang artinya: “Janganlah

kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.” Mengenai hal ini, lihat Mohd.

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 43. 11

Zawaj al-muth’ah adalah pernikahan sementara yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan dengan tujuan untuk keabsahan menikmati seks semata. Pernikahan model ini biasanya

hanya berlaku dalam hitungan hari, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan zawaj al-

hibah adalah pernikahan pengorbanan seorang perempuan terhadap laki-laki. Di sini, pihak

perempuan akan berkata: “Aku menyerahkan diriku untukmu”. Seorang perempuan yang

melakukan pernikahan model ini tidak mempunyai hak apapun dari pihak laki-laki. Termasuk bila

sampai melahirkan anak, maka ayah tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap anaknya.

Lihat, Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, (terj. Zulhilmiyasri),

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 259. 12

Farida, Menimbang Dalil Poligami, 27. Menurut peneliti, pendapat Farida tentang

revolusi dahsyat tersebut, baru dapat dipahami dengan melihat konteks sejarah yang ada pada

masa itu. HAMKA, dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad lahir,

masyarakat Arab adalah sebuah masyarakat berbentuk kabilah dengan sistem “perbapakan”

(patriarkat). Bapak menjadi pusat segala-galanya, dan anak laki-laki menjadi kebanggaan setiap

orang tua kala itu. Dalam kehidupan perkawinan, yang menjadi bahan pembicaraan adalah berapa

4

Q.S.4:3 merupakan bentuk peringatan keras terhadap laki-laki yang hendak

melakukan poligami untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya.13

Seiring dengan perkembangan Islam, perihal mengenai diperbolehkannya

poligami di dalam Q.S. An-Nisa’/4:3 tersebut, kemudian mendapat penafsiran

yang beragam dari para mufasir, fukaha dan feminis Muslim.14

Terkait hal ini,

Baroroh, menyatakan bahwa, meski pada umumnya para mufasir dan fukaha

dalam membicarakan perihal poligami selalu mengacu pada Q.S. 4:3, tetapi

pemahaman mereka sangat beragam dan terus berkembang seiring dengan

perkembangan zaman dan konteks kehidupan. Sementara itu, dengan

memperhitungkan konteks, para feminis Muslim telah melarang poligami dengan

sebuah alasan bahwa persyaratan keadilan yang ditetapkan di dalam Alquran

mustahil dapat dipenuhi.15

Terkait adanya kontroversi poligami dalam Islam, Nasaruddin Umar

menyatakan bahwa poligami telah menjadi bahan kontroversi, baik dalam tataran

jumlah anak dan cucu (laki-laki) yang dimilikinya, bukan berapa jumlah istri atau gundik yang

dimilikinya. Baca, Haji AbdulMalik AbdulKarim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juzu’ IV,

(Yayasan Nurul Islam, 1981), 270. Adapun menurut Engineer, disebutkan bahwa, dalam

kehidupan masyarakat Arab pra Islam (jahiliyah) belum dikenal adanya norma dan hukum yang

pasti. Posisi perempuan begitu rendah. Anak lelaki bahkan dapat mewarisi janda dari bapaknya

(berarti: mengawini ibu kandungnya sendiri). Seorang laki-laki juga dapat mengawini sebanyak

mungkin perempuan yang ia sukai dan dapat menceraikannya kapan saja tanpa ada kewajiban

memberi nafkah. Selain itu, kaum lelaki juga dapat melakukan kawin kontrak secara temporer

(kawin mut’ah). Baca, Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (terj. Agus Nuryatno),

(Yogyakarta: Lkis, 2007), 39-40. Dari konteks sejarah tersebut dapat dipahami bahwa perempuan

Arab pra Islam berada dalam posisi yang begitu rendah dibawah kekuasaan laki-laki. Selain itu,

perempuan juga mengalami kerentanan di dalam kehidupan pernikahannya, karena perempuan

dapat saja dimadu dengan jumlah yang tak terhingga, dan dapat dicerai kapan saja tanpa diberi

nafkah, serta dapat diwariskan kepada anak lelakinya. Dengan adanya Q.S. 4:3, berarti kedudukan

perempuan mengalami sebuah revolusi dahsyat sebagaimana dinyatakan oleh Farida. 13

Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, 51-52. 14

Dalam penulisan tesis ini, Q.S. An-Nisa’/4:3 selanjutnya akan sering ditulis dengan

Q.S. 4:3. 15

Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Sri Suhandjati

Sukri (ed.), Bias Jender dalam Pemahaman Islam, 78.

5

konsep maupun tataran penerapan. Pada tataran konsep, bahwa ambiguitas dari

ayat Alquran mengenai perihal poligami, telah menyebabkan terjadinya perbedaan

penafsiran dan juga pemahaman diantara umat Islam mengenai perihal

diperbolehankannya poligami. Sementara itu, dalam tataran penerapan, disebutkan

bahwa tidak semua negara Muslim memperkenankan praktik poligami di dalam

perundangan yang berlaku di negaranya. Ada negara yang secara tegas

memperkenankannya di dalam undang-undang, ada negara yang membatasinya

melalui syarat yang berat dan ketat, serta ada pula negara yang melarangnya

dengan tegas, bahkan disertai adanya ancaman sanksi yang berat.16

Dalam konteks Indonesia, poligami merupakan perihal yang

diperkenankan oleh negara. Dalam hal ini, poligami diatur pelaksanaanya di

dalam hukum positif tentang perkawinan, diantaranya adalah: Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (terdapat dalam pasal 3, 4 dan 5) dan

Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI, yang mengatur

perkawinan di kalangan umat Islam (terdapat dalam pasal 55 s/d 59).17

16

Nasaruddin Umar, Prawacana “Konsep Poligami: Tinjauan Sejarah Agama-agama”

dalam Farida, Menimbang Dalil Poligami, ix-x. Menurut penulis, yang dimaksud Umar dengan

ambiguitas dari ayat Alquran tentang perihal poligami adalah menunjuk kepada Q.S. 4:3 dan Q.S.

4:129. Dalam Q.S. 4:3 dinyatakan bahwa poligami diperbolehkan dengan maksimal empat orang

istri, dengan syarat suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun pada Q.S. 4:129,

disebutkan bahwa seorang suami tidak mungkin dapat berlaku adil diantara istri-istrinya, meski ia

sangat menginginkan hal tersebut. Selanjutnya, terkait dengan adanya penyebutan “negara

Muslim” oleh Umar, di sini penulis berpendapat bahwa, negara Muslim disebut Umar, karena

secara logika, semua Negara Muslim seharusnya mengizinkan praktik poligami di dalam

perundangan negaranya. Tapi pada kenyataannya, tidak demikian. Musdah Mulia dalam hal ini

mencontohkan Turki sebagai negara Muslim pertama yang melarang poligami secara mutlak

melalui Civil Turki (1926). Lihat, Siti Musdah Mulia, “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di

Indonesia” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara & Civil Society:

Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), 308. 17

Hukum positif dalam KBBI diartikan sebagai hukum yang sedang berlaku.

http://kbbi.web.id/hukum, diakses pada Selasa Tanggal 19 Januari 2016 Pukul 14.23 WIB.

6

Beralih kepada penelitian terdahulu yang membahas perihal poligami,

sejauh ini, peneliti telah menemukan sejumlah penelitian yang mengkaji tentang

poligami, baik menyangkut tentang praktik poligami, pemikiran para tokoh

mengenai konsep keadilan dalam poligami, maupun poligami relevansinya

terhadap keadilan jender. Penelitian tersebut adalah:

a. Penelitian Musdah Mulia dan Anik Farida, memperlihatkan bahwa dalam

praktik poligami, telah dilakukan beberapa model perkawinan, diantaranya:

perkawinan sirri (di bawah tangan) dan pernikahan secara resmi dan tercatat di

KUA, tetapi tanpa sepengetahuan atau izin istri pertama. Hal ini terjadi karena

adanya pemalsuan identitas KTP yang dilakukan oleh suami.18

b. Penelitian Ninik Lailiyah dalam skripsinya yang berjudul Studi Pemikiran

Asghar Ali Engineer tentang Poligami Relevansinya dengan Keadilan Jender.

Kesimpulanya menyatakan bahwa, dengan melihat syarat keadilan sebagaimana

yang dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer, yakni: Menjamin penggunaan harta

anak yatim dan janda secara benar; Jaminan untuk memberikan keadilan secara

materi kepada semua isteri; dan memberikan keadilan dalam hal cinta dan kasih

sayang kepada semua isteri, maka poligami menjadi hal yang mustahil untuk

dapat dilakukan. Bagi Engineer, esensi yang benar dari Alquran adalah

monogami. Hanya dengan perkawinan monogami, keluarga sakinah dengan kasih

sayang yang sempurna akan dapat terwujud.19

c. Penelitian Attan Navaron dalam skripsinya yang berjudul Konsep Adil

dalam Poligami (Studi Analisis Pemikiran M. Quraish Shihab). Kesimpulannya,

18

Farida, Menimbang Dalil Poligami, 3-4. 19

Ninik Lailiyah, “Studi Pemikiran Asghar Ali Engineer tentang Poligami Relevansinya

dengan Keadilan Jender.”, Skripsi, 2003, IAIN Walisongo Semarang.

7

bahwa dengan didasarkan pada Q.S. An-Nisa/4:129, maka makna keadilan dalam

poligami menurut Muhammad Quraish Shihab, lebih mengarah kepada keadilan

yang sifatnya material dan terukur, bukan pada keadilan yang sifatnya immaterial,

seperti halnya cinta dan kasih sayang.20

d. Penelitian Bani Aziz Utomo dalam skripsinya yang berjudul Konsep Adil

dalam Poligami Perspektif KH. Husein Muhammad, yang dalam kesimpulannya

menyatakan bahwa, dengan menggunakan pendekatan metode sosio-historis, KH.

Husein Muhammad menafsirkan Q.S. An-Nisa/4:3, lebih kepada penjagaan

terhadap anak-anak yatim, bukan sebagai seruan untuk melakukan poligami.

Adapun terkait dengan konsep keadilan pada poligami, KH. Husein Muhammad

berpendapat bahwa sifat adil dalam poligami terbagi menjadi dua, yakni keadilan

materi dan immateri. Keadilan yang tercipta dalam keluarga poligami harus

merupakan hasil negosiasi antara suami dan istri dengan landasan kebaikan

sehingga tidak memiliki peluang terjadinya kezaliman.21

e. Penelitian Zulaecha Nursalasah dalam skripsinya yang berjudul Analisis

Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Keharaman Poligami pada Masa Sekarang.

Dalam kesimpulannya, Nursalasah mendukung pendapat Siti Musdah Mulia yang

menyatakan bahwa poligami pada hakekatnya merupakan selingkuh yang

dilegalkan. Ada tiga alasan utama mengapa Siti Musdah Mulia mengharamkan

poligami pada masa sekarang, yakni; Pertama, bahwa pada saat sekarang, praktik

poligami telah banyak disalahgunakan. Poligami dilakukan hanya untuk mengejar

20

Attan Navaron, “Konsep Adil Dalam Poligami (Studi Analisis Pemikiran M. Quraish

Shihab)”, Skripsi, 2010, IAIN Walisongo Semarang. 21

Bani Aziz Utomo, “Konsep Adil Dalam Poligami Perspektif KH. Husein Muhammad”,

Skripsi, 2010, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

8

nafsu belaka; Kedua, bahwa saat ini kondisi masyarakat tidak dalam keadaan

darurat maupun perang; Ketiga, banyak praktik poligami yang dijalankan pada

saat sekarang tidak berlatar belakang pengembangan syi’ar Islam, tetapi lebih

karena akibat perselingkuhan terselubung.22

Dari lima penelitian tersebut, menunjukkan bahwa, secara spesifik belum

ada yang mengkaji poligami di dalam Islam ditinjau dari perspektif studi jender

dan teori keadilan jender. Padahal, menurut penulis, poligami sebagai sebuah

isu/fenomena sosial keagamaan, harus diungkap secara holistik dengan

menggunakan berbagai pendekatan, termasuk didalamnya adalah melalui

pendekatan studi jender dan teori keadilan jender.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka pada tesis ini

dirumuskan dua pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa hakikat poligami di dalam pemahaman Islam?

2. Bagaimana tinjauan kritis perspektif keadilan jender terhadap poligami di

dalam Islam?

1.3. Pembatasan Masalah

Mengingat begitu luasnya cakupan tentang poligami dalam Islam, dan juga

adanya faktor keterbatasan dari peneliti, maka disini ada beberapa point penting

yang perlu untuk digarisbawahi sehubungan dengan penulisan tesis ini, yaitu:

1. Terkait dengan judul tesis. Bahwa, yang dimaksud dengan “poligami

dalam Islam” pada tesis ini adalah poligami dalam kajian Islam secara

22

Zulaecha Nursalasah, “Analisis Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Keharaman

Poligami pada Masa Sekarang”, Skripsi, 2011, IAIN Walisongo Semarang.

9

umum (seperti: sejarah poligami dalam Islam, landasan teologis poligami,

syarat keadilan dalam poligami, poligami dalam pandangan mufasir,

fukaha dan feminis Muslim serta tafsir jender tentang poligami), dan juga

penerapannya (disini penulis memilih konteks Indonesia). Alasan peneliti

memilih konteks Indonesia adalah karena Indonesia merupakan salah satu

negara yang dalam Undang-undang Perkawinan-nya, memperkenankan

terjadinya praktik poligami. Dalam hal penerapan, penulis mengkaji

tentang peraturan pelaksanaan poligami di dalam hukum positif Indonesia

beserta data tentang poligami hasil penelitian pada LBH_APIK Jakarta.

2. Dalam tesis ini digunakan istilah “jender” bukan “gender”. Terkait hal ini,

penulis memiliki sebuah alasan, bahwa kata “jender” saat ini telah banyak

digunakan di dalam sejumlah judul buku di Indonesia.23

3. Berkaitan dengan dua butir pertanyaan penelitian, yakni tentang hakikat

poligami dalam pemahaman Islam dan tinjauan kritis perspektif keadilan

jender. Bahwa, untuk memperoleh hakikat poligami dalam pemahaman

Islam, disini penulis melakukan analisis deskriptif terhadap keragaman

berbagai penafsiran tentang poligami di dalam Islam oleh para mufasir,

fukaha dan feminis Muslim. Selain itu, penulis juga berupaya memetakan

keragaman penafsiran poligami tersebut kedalam sebuah tipologi

pemikiran Islam, yakni melalui kategori: fundamental, moderat dan liberal.

23 Judul buku yang dimaksud penulis, antara lain: Nasaruddin Umar, Argumen

Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran (2010); Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi

Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir (2009); Sri Suhandjati Sukri, (ed.), Bias Jender

dalam Pemahaman Islam (2002) dan Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar (ed.), Keadilan dan

Kesetaraan Jender: Perspektif Islam (2001).

10

Selanjutnya, terkait dengan tinjauan kritis perspektif keadilan jender

terhadap poligami di dalam Islam, disini penulis menggunakan perspektif

studi jender dan teori keadilan jender Susan Moller Okin. Keduanya

sengaja dipilih karena keduanya memuat kajian tentang keberadaan

keluarga patriarkis dan juga tentang kesetaraan/keadilan jender. Poligami

dalam Islam merupakan salah satu isu/fenomena sosial keagamaan yang

secara langsung bersinggungan dengan perihal kesetaraan/keadilan jender

di sebuah keluarga/pernikahan.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melakukan analisis deskriptif mengenai apa hakikat poligami di

dalam pemahaman Islam.

2. Untuk melakukan tinjauan kritis perspektif keadilan jender terhadap

poligami di dalam Islam.

1.5. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana

baru pada kajian teologi agama, khususnya terkait poligami dalam Islam.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahuan mengenai hakikat poligami di dalam pemahaman Islam

beserta tipologi pemikiran Islam tentang keragaman penafsiran terhadap

poligami dalam Islam oleh para mufasir, fukaha dan feminis Muslim.

Selain itu juga dapat diperoleh tinjauan kritis perspektif keadilan jender

terhadap poligami di dalam Islam.

11

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Sesuai obyek dan tujuan penelitian, maka dalam penulisan ini digunakan

metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskriptif analitis dan tinjauan

kritis. Menurut Ali, dalam paradigma alamiah penelitian kualitatif, setiap

fenomena sosial harus diungkap secara holistik. Hal ini didasarkan pada sebuah

asumsi bahwa kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi dalam suatu konteks

sosio-kultural saling terhubung satu dengan lainnya.24

Fenomena sosial

keagamaan dalam penelitian kualitatif, dapat didekati melalui berbagai

pendekatan,25

termasuk didalamnya adalah pendekatan studi jender. Selanjutnya,

menurut Ali, bahwa penggunaan pendekatan deskriptif bertujuan untuk

menguraikan sifat atau karakteristik atas suatu fenomena tertentu. Di sini peneliti

tidak dituntut untuk membuat kesimpulan yang mendalam, jadi hanya bertugas

mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara menyeluruh dan teliti, sesuai

dengan persoalan yang akan dipecahkan.26

Sementara itu, menurut Sugiyono, salah satu alasan digunakannya metode

kualitatif adalah untuk memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan

pola, hipotesis, dan teori.27

Adapun, Basrowi dan Suwandi, dalam hal ini merujuk

pada Miles dan Huberman menyatakan bahwa, metode kualitatif bertujuan untuk

mengungkap berbagai keunikan pada individu, kelompok, masyarakat atau

24

Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori & Praktek, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002), 59. 25

Ali, Metodologi Penelitian Agama, 65. 26

Ali, Metodologi Penelitian Agama, 169. 27

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabet,

2011), 292.

12

organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dan dalam, serta

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.28

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kepustakaan (library

research). Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan memiliki kedudukan

yang sangat penting karena menjadi dasar teori dan merupakan data utama.

Melalui studi kepustakaan, peneliti mengkaji dan mempelajari bahan-bahan

tertulis yang relevan dengan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

Menurut Ali, pada prinsipnya teknik pengumpulan data, seperti halnya

studi pustaka, digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan

secara alamiah.29

Studi kepustakaan bersumber dari bacaan umum dan bacaan

khusus. Teori dan konsep dapat diperoleh dari sumber bacaan umum, seperti;

buku-buku teks, ensiklopedi, monograf dan lain-lain. Adapun generalisasi dapat

ditarik dari sumber bacaan khusus, seperti; hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal,

skripsi, tesis, disertasi dan lain-lain. Prinsip dasar dalam studi kepustakaan adalah

selektif, mutakhir dan relevan.30

1.6.3. Teknik Analisis Data.

Analisis data merupakan sebuah proses pengorganisasian dan pengurutan

data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar untuk menemukan sebuah

tema tertentu yang kemudian dapat menjadi rumusan hipotesis sebagaimana pesan

28

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),

22. 29

Ali, Metodologi Penelitian Agama, 63. 30

Ali, Metodologi Penelitian Agama, 157-158.

13

dari data tersebut.31

Analisis data dalam penelitian ini, didasarkan pada model

interaktif Sugiyono, yang dalam hal ini mengambil pemikiran dari Miles dan

Huberman. Dalam model interaktif ini, analisis data kualitatif berupa serangkaian

aktivitas yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai

tuntas, hingga datanya jenuh. Aktivitas tersebut berupa: reduksi data (data

reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan dan verifikasi

(Conclusion Drawing/ verification).32

Reduksi merupakan bagian dari analisis yang berfungsi untuk

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasikan, sehingga sampai kepada penarikan interpretasi baru. Dalam

proses reduksi ini, data yang ada harus benar-benar valid. Penyajian data juga

merupakan bagian dari analisis, dan sekaligus reduksi data. Dalam proses ini,

peneliti mengelompokkan hal-hal yang serupa ke dalam sebuah kategori. Masing-

masing kelompok menunjukkan tipologi sebagaimana yang terdapat dalam

rumusan masalah. Dalam penarikan kesimpulan, peneliti membuat rumusan

proposisi dengan prinsip logika, kemudian mengangkatnya sebagai sebuah

temuan baru penelitian.33

31

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1990), 103. 32

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 246. Langkah-langkah

analisa interaktif adalah sebagai berikut; Pertama adalah reduksi data. Reduksi data berarti

memilih hal-hal pokok, fokus pada hal-hal penting, merangkum, dan mencari tema dan pola.

Kedua, penyajian data. Penyajian data pada umumnya dilakukan dengan menggunakan teks yang

bersifat naratif, selain itu juga dapat berupa matrik, grafik (chart), dan jejaring kerja (network).

Ketiga, menarik kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif biasanya berupa temuan baru

yang sebelumnya belum pernah ada. Baca, Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif

dan R&D, 247-253. 33

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, 209-210.

14

Menurut Kaelan, setelah melakukan reduksi data, tahap berikutnya yang

tak kalah penting untuk dilakukan adalah klasifikasi data. Klasifikasi data adalah

mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek

formal dalam penelitian. Langkah dalam sebuah klasifikasi data adalah data

diklasifikasi ke dalam kategori tertentu yang telah dirancang peneliti sesuai objek

formal penelitian. Dalam membuat sebuah klasifikasi data, klasifikasi yang

dirancang harus diarahkan sesuai dengan tujuan penelitian.34

1.7. Penjelasan Konsep

1.7.1. Perkawinan

Dalam Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974

disebutkankan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Adapun dalam Bab II pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang

Dasar-dasar Perkawinan disebutkan bahwa “perkawinan menurut hukum Islam

adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan

untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”

1.7.2. Poligami

Dalam Merriam_Webster Dictionary, poligami diartikan sebagai suatu

keadaan atau praktik pernikahan seseorang terhadap lebih dari satu orang pada

saat yang sama (polygamy is the state or practice of being married to more than

one person at the same time), atau sebuah pernikahan di mana salah satu pihak

34

Kaelan, Metode Penelitian Agama: Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: Paradigma,

2010), 163.

15

memiliki lebih dari satu pasangan pada saat yang sama (Polygamy is marriage in

which a spouse of either sex may have more than one mate at the same time).35

Adapun dalam Kamus Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sebuah

sistem perkawinan di mana salah satu pihak menikahi beberapa lawan jenisnya

dalam waktu bersamaan.36

1.7.3. Perspektif Keadilan Jender.

Perspektif diartikan sebagai pandangan atau sudut pandang.37

Adapun

mengenai konsep keadilan jender, hingga saat ini masih mendapat pengertian

yang cukup beragam. Dari sejumlah literatur yang ada, peneliti menemukan

bahwa konsep keadilan jender terkait erat dengan konsep kesetaraan jender.

Kedua konsep tersebut terkadang didefinisikan secara bersamaan, dan terkadang

didefinisikan secara terpisah.

Dalam buku Keadilan dan Kesetaraan Jender: Perspektif Islam,

kesetaraan dan keadilan jender didefinisikan secara bersamaan sebagai terciptanya

suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang

sama untuk dapat berperan aktif di dalam pembangunan, serta menikmati hasil

pembangunan.38

Sementara itu, dalam buku Jender dan Strategi Pengarus-

utamaannya di Indonesia, kesetaraan dan keadilan jender didefinisikan secara

terpisah. Kesetaraan jender didefinisikan sebagai suatu kesamaan kondisi bagi

35

Lihat, http://www.merriam-webster.com/dictionary, diakses pada tanggal 14 Mei 2014. 36

Lihat, http://kamusbahasaindonesia.org/poligami#ixzz31fFI9MWL, diakses pada

tanggal 14 Mei 2014. 37

Lihat, http://kbbi.web.id/perspektif, diakses pada Rabu tanggal 30 Maret 2016 pukul

14.45 WIB. 38

Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar (ed.), Keadilan dan Kesetaraan Jender:

Perspektif Islam, (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI,

2001), 126.

16

laki-laki dan perempuan di dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya untuk

berpartisipasi di dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Adapun keadilan jender didefinisikan sebagai suatu proses dan perlakuan adil

terhadap laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan.39

Hal tersebut senada dengan pengertian mengenai kesetaraan dan keadilan

jender pada lampiran Inpres No. 9 Tahun 2000, sebagai berikut;

“Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk

memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan

berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan

Nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.” “Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan

perempuan.” 40

Dari beberapa pengertian mengenai kesetaraan/keadilan jender tersebut,

maka peneliti menyimpulkan bahwa kesetaraan/keadilan jender adalah terciptanya

suatu kondisi yang berimbang dimana laki-laki dan perempuan sama-sama

mendapatkan hak dan kewajiban yang setara di dalam pembangunan. Dengan

demikian, maka yang dimaksud dengan perspektif keadilan jender adalah suatu

pandangan yang menitikberatkan pada pentingnya persamaan kedudukan hak dan

kewajiban antara laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan, serta di dalam

menikmati hasil pembangunan.

1.8. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, tesis ini disusun ke dalam lima bab. Bab I berupa

pendahuluan, berisi tentang: latar belakang masalah, perumusan masalah,

39

Riant Nugroho, Jender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), 29. 40

Lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pedoman Pengarusutamaan Gender

dalam Pembangunan Nasional yang terdapat dalam Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas

Indonesia, Hak Azasi Perempuan Instumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Edisi III,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 313.

17

pembatasan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian,

penjelasan konsep dan sistematika penulisan. Bab II memuat tentang teori

keadilan jender. Disini, konsep keadilan dibahas melalui perspektif studi jender

dan perspektif Alquran. Adapun teori keadilan jender yang digunakan adalah teori

keadilan humanis berbasis jender Susan Moller Okin. Secara keseluruhan, bab II

berisi tentang: Studi Jender; Keadilan dalam Studi Jender; Konsep Keadilan

dalam Alquran; Jender dalam Perspektif Alquran, Pentingnya Analisis Jender

dalam Pembahasan Tafsir Keadilan, Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat; dan

Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin.

Bab III membahas tentang poligami dalam Islam. Bab ini berisi tentang:

Pengertian/Hakikat, Rukun, Hikmah, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan dalam

Islam; Landasan Teologis Poligami dalam Islam; Sejarah Poligami ditinjau dari

Konteks Turunnya Ayat tentang Poligami dalam Alquran; Keadilan sebagai

Syarat Mutlak pada Poligami dalam Islam; Poligami dalam Pandangan Fukaha,

Mufasir, dan Feminis Muslim; Tafsir Jender tentang Poligami: Metode dan

Analisis Tafsir yang digunakan; Poligami dalam Hukum Positif di Indonesia;

Poligami di Indonesia: antara Ajaran Agama dan Budaya Patriarki; Poligami

dalam Data Penelitian LBH-APIK Jakarta; Tipologi Pemikiran Islam dalam

Penafsiran Poligami. Bab IV berisi tentang Analisis Deskriptif dan Tinjauan

Kritis Perspektif Keadilan Jender terhadap Poligami dalam Islam, adapun Bab V

yaitu Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi.