bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan di Indonesia dinaungi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan. Bank
sebagai inti dari perbankan mempunyai peranan penting dalam sistem keuangan
dan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang
Perbankan, disebutkan dalam Pasal 5 bahwa jenis bank ada dua macam, yaitu
Bank Umum dan BPR (BPR). Pengertian Bank Umum dan BPR masing-masing
dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perbankan adalah
sebagai berikut:
“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
Dalam rangka beradaptasi menghadapi era globalisasi, membawa dampak
secara menyeluruh dalam kehidupan Indonesia. Salah satu yang sangat terasa
yaitu perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Hal ini dapat
dilihat dengan penggunaan sistem komputerisasi dalam segala bidang. Tidak
terkecuali dalam bidang ekonomi, di mana lembaga perbankan menjadi intinya,
2
dituntut untuk menerapkan teknologi sistem informasi yang diwujudkan dengan
penggunaan sistem komputerisasi dalam operasionalnya. Termasuk pemberian
jasa lalu lintas pembayaran oleh Bank Umum. Dalam melayani dan memberikan
jasa tersebut, bank menyediakan fasilitas berbasis komputer yang menjadi
indikator, tidak hanya kemajuan dalam perbankan itu sendiri tetapi juga
persaingan usaha antar bank yang turut memberikan kontribusi dalam peningkatan
ekonomi negara.
Terkait dengan pelayanan berbasis komputer, salah satu yang menjadi
obyeknya adalah fasilitas ATM. ATM singkatan dari Automatic Teller Machine
atau Automated Teller Machine yang di Indonesia juga dapat diartikan menjadi
Anjungan Tunai Mandiri, merupakan salah satu perwujudan dari sistem
komputerisasi yang merupakan bagian dari teknologi sistem informasi perbankan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan mengenai pengertian sistem dan
komputerisasi sebagai berikut:
“sistem: 1 perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas; 2 susunan yang teratur dari pandangan, teori,
asas, dan sebagainya; 3 metode;”1
“komputer: alat elektronik otomatis yang dapat menghitung atau mengolah
data secara cermat menurut yang diinstruksikan, dan memberikan hasil
pengolahan, serta dapat menjalankan sistem multimedia (film, musik,
televisi, faksimile, dan sebagainya), biasanya terdiri atas unit pemasukan,
unit pengeluaran, unit penyimpanan, serta unit pengontrolan;
komputerisasi: penggunaan komputer (dalam menghitung, mengolah data,
dan sebagainya) secara besar-besaran;”2
Pengertian ATM menurut Wasita Nugraha dalam makalahnya adalah :
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
2 Ibid.
3
“ATM merupakan alat elektronik yang mengijinkan nasabah bank
mengambil uang dan mengecek rekening tabungan mereka tanpa perlu
dilayani oleh “teller” manusia.”3
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian sistem
komputerisasi yaitu penggunaan alat elektronik otomatis dalam penghitungan atau
pengolahan data secara cermat menurut yang diinstruksikan, dan memberikan
hasil dari pengolahan tersebut dimana perangkat unsur di dalamnya teratur dan
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Jika dihubungkan dengan
ATM, maka sistem komputerisasi ATM yaitu suatu sistem pengolahan data dalam
kartu ATM yang dapat memberikan pelayanan mandiri bagi nasabah pemegang
untuk melakukan transaksi tanpa dilayani oleh “teller” manusia.
Wasita Nugraha dalam makalahnya menjelaskan sebagai berikut:
“Adapun komponen dari ATM yaitu mesin ATM dan kartu ATM. Bagian-
bagian mesin ATM tampak dari luar terdiri dari kotak ATM, tombol
angka, layer monitor, kamera (pilihan). Sedangkan di dalam mesin ATM
terdiri dari satu unit komputer, keyboard, modem, kotak uang, printer kecil
dan card reader untuk membaca data pada kartu ATM. Tentang kartu
ATM juga terdapat bagian-bagian yang penting berkaitan langsung dengan
kartu, yaitu magnetic card reader, data yang diacak, dan PIN (Personal
Identification Number). Untuk magnetic card reader, sesuai dengan
namanya berfungsi untuk membaca dan menerima data. Dengan fungsi
tersebut magnetic card reader tidak memiliki kapasitas atau memori untuk
menyimpan data, karena data yang telah diterima diteruskan ke pusat
sistem komputerisasi bank. Saat mesin berhasil membaca data dalam kartu
ATM tersebut, maka mesin akan meminta PIN (Personal Identification
Number). PIN ini tidak terdapat di dalam kartu ATM melainkan harus di-
input oleh nasabah. Kemudian setelah PIN dimasukkan, maka data PIN
tersebut akan diacak (di-encrypt) dengan rumus tertentu dan dikirim ke
sistem komputerisasi bank yang bersangkutan. Pengacakan data PIN ini
dimaksudkan agar data yang dikirim tidak bisa terbaca oleh pihak lain.
PIN yang sudah diacak berikut isi data dari kartu akan dikirim langsung ke
3 Wasita Nugraha, 2009, Makalah: Autentivikasi dan Validasi PIN Pada ATM, Jogjakarta,
Universitas Teknik Jogjakarta.
4
sistem komputerisasi bank untuk diverifikasi. Setelah data selesai diproses
dalam sistem komputerisasi bank, maka data akan dikirim kembali ke
ATM. Nasabah akan dapatkan apa yang dimintanya di ATM.”4
Sistem kerja mesin ATM yang pada umumnya terpisah dari bank yang
bersangkutan dihubungkan melalui sarana telekomunikasi. Setiap transaksi pada
mesin ATM akan diterima komputer dalam mesin kemudian data tersebut
dikirimkan ke pusat data melalui sarana telekomunikasi tadi, seperti line telepon,
Vsat atau radio. Dengan sarana telekomunikasi tersebut memungkinkan bank
untuk mengawasi dan memonitor status mesin ATM ketika mesin mati atau uang
di dalamnya habis.
Adanya fasilitas ATM dimaksudkan untuk mempermudah pelayanan bagi
para nasabah juga memberikan efisiensi transaksi. Secara umum, pelayanan yang
dapat dinikmati nasabah dengan menggunakan ATM antara lain penarikan tunai,
transfer atau pemindahbukuan, pembayaran tagihan, pembelian pulsa ponsel dan
isi ulang kartu debit.
Namun meskipun ATM dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di sisi lain ATM sering menimbulkan
masalah dan kerugian. Salah satu masalah yang terjadi di masyarakat berkaitan
dengan ATM ini yaitu akibat kesalahan dalam sistem komputerisasi bank, dalam
hal ini issuing bank. Sebagaimana kasus yang menjadi penelitian pendahuluan
penulis yaitu tentang kesalahan sistem komputerisasi database pada kartu ATM
Bank Mandiri. Kasus ini berkaitan langsung dengan penulis selaku pemilik
rekening di Bank Mandiri. Secara singkat mengenai kasus ini adalah ATM yang
4 Ibid.
5
dibuat secara instan sebagaimana penawaran dari pihak Bank Mandiri. Pihak bank
menawarkan dua kategori kartu ATM berdasarkan pembuatannya yaitu kartu
ATM instan dan kartu ATM sesuai pesanan nasabah. Yang dimaksud dengan
kartu ATM instan yaitu jenis kartu ATM yang ditawarkan dapat diperoleh
nasabah pada saat pembukaan rekening namun pada kartu tersebut tidak
tercantum nama pemilik sesuai kehendak nasabah. Kartu ini dapat digunakan
dengan jeda waktu kurang lebih 1 (satu) jam setelah pembuatan PIN atas kartu
ATM tersebut. Kemudian kartu yang sesuai pesanan nasabah maksudnya adalah
kartu ATM yang ditawarkan untuk pencantuman nama nasabah sesuai dengan
kehendaknya namun memerlukan waktu setidaknya 6 (enam) hari kerja. Selain
dari proses pembuatan kartu tadi, tidak ada perbedaan fitur dan pelayanan dari
kedua kartu.
Kartu ATM yang dibuat secara instan kemudian diberikan input data
rekening lalu dibuat PIN untuk kartu ATM tersebut. Berkaitan dengan kasus,
dilakukan transaksi penarikan menggunakan kartu ATM setelah pembuatan kartu,
namun saldo rekening dinyatakan tidak mencukupi untuk dilakukan penarikan.
Dari transaksi cek saldo, jumlah saldo rekening tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam buku tabungan. Setelah dikonfirmasikan, pihak bank
menyatakan adanya kemungkinan error system pada mesin ATM dan disarankan
untuk mencoba melakukan transaksi kembali dengan mesin ATM yang berbeda.
Beberapa hari kemudian, dapat dilakukan transaksi penarikan di luar kota
dan berhasil. Tetapi dari transkrip transaksi yang tercetak, ada penambahan saldo
yang signifikan dari saldo sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut tidak dapat
6
langsung dikonfirmasi, karena hanya dapat dilakukan kepada pihak issuing bank
kartu ATM. Dilakukan beberapa kali transaksi hingga kartu ATM tidak dapat
digunakan karena telah diblokir.
Konfirmasi yang diberikan pihak issuing bank berkaitan dengan kartu
ATM yang diblokir adalah bahwa data yang diterima kartu ATM tersebut bukan
merupakan data rekening yang seharusnya, melainkan data rekening nasabah lain.
Pihak bank menyatakan telah terjadi kesalahan dalam sistem komputerisasi bank.
Dari data yang ada, kesalahan sistem komputerisasi terjadi karena adanya
kemiripan data rekening yaitu nama nasabah. Dengan demikian, pihak bank
meminta kesediaan nasabah pengguna kartu ATM tadi untuk mengganti sejumlah
uang sesuai dengan transaksi yang telah dilakukan, sebagai ganti rugi kepada
pihak yang telah dirugikan, yaitu nasabah pemilik rekening yang terdapat dalam
data pada kartu ATM.
Akibat kesalahan sistem komputerisasi tersebut, pihak nasabah telah
dirugikan. Meskipun kerugian ini tidak timbul karena tindakan kriminal seperti
pembobolan rekening melalui ATM, hal ini tetap bertentangan dengan ketentuan
dalam perbankan mengenai prinsip kehati-hatian bank dan perlindungan bagi
nasabah atas simpanannya. Berdasarkan kasus di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah perbankan ini guna
menyusun skripsi dengan judul:
“TANGGUNG JAWAB PIHAK BANK ATAS KESALAHAN SISTEM
KOMPUTERISASI KARTU ATM PADA BANK MANDIRI DITINJAU
DARI KETENTUAN PERLINDUNGAN NASABAH”.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas mengenai masalah ATM yang menyebabkan
kerugian bagi nasabahnya, maka permasalahan yang timbul yaitu:
Bagaimana tanggung jawab pihak bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu
ATM ditinjau dari ketentuan perlindungan nasabah bank?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab pihak
bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM yang ditinjau dari ketentuan
perlindungan nasabah bank.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini akan berguna untuk memberikan wacana dalam
perbankan bahwa masih banyak celah yang belum diakomodasi dalam
regulasi mengenai perlindungan nasabah dan sangat mungkin menimbulkan
kerugian. Di sisi lain menjadi wacana juga bagi pihak bank berkaitan dengan
sistem komputerisasi yang harus selalu dipantau untuk meminimalisir
kesalahan yang kemudian menimbulkan kerugian bagi nasabah sehingga
mengakibatkan pengikisan kepercayaan nasabah terhadap bank.
8
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis, penelitian ini akan berguna bagi nasabah bank khususnya agar
mengerti akan haknya atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
sistem komputerisasi dan agar lebih berhati-hati dan cermat dalam
menggunakan dan menikmati fasilitas serta pelayanan yang diberikan oleh
bank. Dengan demikian menjadi jelas pula perlindungan bagi nasabah dari
sisi hukum berkaitan dengan kasus-kasus yang terjadi akibat kesalahan sistem
komputerisasi bank.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perbankan Secara Umum
1. Pengertian Bank dan Perbankan
Pengertian perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Perbankan, yaitu:
“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.”
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan disebutkan:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Pengertian bank dan perbankan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yaitu sebagai berikut:
“bank: badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan
mengeluarkan uang dalam masyarakat, terutama memberikan kredit
dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang;
perbankan: segala sesuatu mengenai bank;”5
5 Kamus Besar Bahasa Indonesia
10
Pengertian bank menurut Prof. G.M. Verryn Stuart yaitu:
“Bank is a company who satisfied other people by giving a credit with
the money they accept as gamble to the other, eventhough they should
supply the new money. (Bank adalah badan usaha yang wujudnya
memuaskan keperluan orang lain, dengan memberikan kredit berupa
uang yang diterimanya dari orang lain, sekalipun dengan jalan
mengeluarkan uang baru kertas atau logam).6
Dr. B.N. Ajuha memberikan pengertian mengenai bank sebagai
berikut:
“Bank provided means by which capital is transferred from those who
cannot use it profitable to those who can use it productively for the
society as whole. Bank provided which channel to invest without any
risk and at a good rate of interest. (Bank menyalurkan modal dari
mereka yang tidak dapat menggunakan secara menguntungkan kepada
mereka yang dapat membuatnya lebih produktif untuk keuntungan
masyarakat. Bank juga berarti saluran untuk menginvestasikan
tabungan secara aman dan dengan tingkat bunga yang menarik).7
Hermansyah menyebutkan pengertian bank sebagai berikut:
“Pengertian bank sebagai pokok dari perbankan adalah lembaga
keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan
usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-
lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.
Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank
melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem
pembayaran bagi semua sektor perekonomian.”8
2. Asas Perbankan
Mengenai asas perbankan tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perbankan, yang berbunyi:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan asas
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
6 Malayu S.P. Hasibuan, 2005, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, Bumi Aksara. Hal. 2.
7 Ibid.
8 Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group.
Hal. 7.
11
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
berkaitan dengan asas demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mubyarto, ahli
ekonomi Universitas Gadjah Mada, memberikan penjelasan mengenai asas
demokrasi ekonomi dalam ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional
tanggal 16 Mei 1981 sebagaimana dikutip oleh Hermansyah dalam bukunya
yaitu sebagai berikut:
“...bahwa demokrasi ekonomi Indonesia sebagai Demokrasi Ekonomi
Pancasila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dalam sistem
ekonomi Pancasila koperasi ialah soko guru perekonomian; kedua,
perekonomian Pancasila digerakkan oleh rangsangan-rangsangan
ekonomi, sosial, dan yang paling penting ialah moral; ketiga,
perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga dalam Pancasila terdapat solidaritas sosial; keempat,
perekonomian Pancasila berkaitan dengan persatuan Indonesia, yang
berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi. Sedangkan
sistem perekonomian kapitalis pada dasarnya kosmopolitanisme,
sehingga dalam mengejar keuntungan tidak mengenal batas-batas
negara; kelima, sistem perekonomian Pancasila tegas dan jelas adanya
keseimbangan antara perencanaan sentral (nasional) dengan tekanan
pada desentralisasi di dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi.9
Asas demokrasi ekonomi menitikberatkan pada kepentingan
masyarakat di bidang ekonomi, terutama dalam perbankan, harus menjadi
prioritas utama, karena perbankan sebagai inti dari ekonomi suatu negara
bertumpu pada keadaan ekonomi masyarakatnya. Dalam menyelenggarakan
kegiatan perbankan juga harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
rangka menjaga kepercayaan dari masyarakat. Dengan kata lain, kegiatan
perbankan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk memperoleh
kepercayaan dari masyarakat karena kepentingan ekonomi masyarakat
9Ibid. Hal. 19.
12
merupakan prioritas utama sebagai tumpuan dari ekonomi suatu negara
dengan berlandaskan asas demokrasi ekonomi.
3. Fungsi dan Tujuan Perbankan
Fungsi perbankan diakomodasi dalam Pasal 3 Undang-Undang
Perbankan, yang berbunyi:
“Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat”.
Dilihat dari fungsi tersebut, sangat jelas bahwa orientasi pokok dari
kegiatan perbankan adalah kepentingan masyarakat dalam hal keuangan.
Kepentingan tersebut harus diakomodasi dalam perbankan dan harus
dilindungi. Hal ini berkaitan dengan prinsip kehati-hatian perbankan dalam
mengakomodasi dan melindungi kepentingan masyarakat.
Tidak terlepas dari asas dan fungsinya, perbankan juga mempunyai
tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 yang berbunyi:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.”
Kesimpulan dari Hermansyah dalam bukunya sebagaimana disebutkan
sebagai berikut:
“Dari asas dan fungsi perbankan sebelumnya dimaksudkan untuk
mewujudkan tujuan perbankan itu sendiri, yaitu pembangunan
nasional yang meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Dari
ketentuan tersebut juga dapat diketahui dengan jelas bahwa lembaga
perbankan mempunyai peranan penting dan strategis tidak saja dalam
13
menggerakkan roda perekonomian nasional, tetapi juga diarahkan agar
mampu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.”10
Fungsi dari bank seperti disebutkan dalam fungsi perbankan di atas, tetapi
secara lebih rinci, fungsi dan tujuan bank adalah sebagai agent of
development dan sebagai financial intermediary.
“Bank memiliki fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan
(agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan untuk
mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan
taraf hidup rakyat banyak. Fungsi bank sebagai financial intermediary
adalah sebagai perantara penghimpunan dan penyaluran dana
masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran. Dua fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Bank juga bertindak sebagai perantara atau
penghubung antara nasabah yang satu dan yang lainnya jika keduanya
melakukan transaksi”.11
4. Jenis-jenis Bank
Menurut Undang-Undang Perbankan telah disebutkan sebelumnya
mengenai jenis bank, yaitu Bank Umum dan BPR. Sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 angka 3 mengenai pengertian Bank Umum dan Pasal 1 angka 4
mengenai pengertian BPR sebagai berikut:
“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
10
Ibid. Hal. 41. 11
Lukman Santoso AZ, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Yogyakarta,
Penerbit Pustaka Yustisia. Hal. 40.
14
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.”
Secara teoretis, jenis-jenis bank dapat digolongkan menurut: (1) segi
fungsi; (2) segi kepemilikan; dan (3) segi penciptaan uang giral.
1. Dari segi fungsinya bank dibedakan menjadi:
a. Bank Sentral (Central Bank), yaitu bank yang dapat bertindak
sebagai bankers, bank pimpinan, penguasa moneter, mendorong dan
mengarahkan semua jenis bank yang ada.
b. Bank Umum (Commercial Bank), yaitu bank milik negara, swasta
maupun koperasi, baik pusat maupun daerah yang dalam
pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk
giro, deposito serta tabungan dan dalam usahanya terutama
memberikan kredit jangka pendek. Dikatakan sebagai bank umum
karena bank tersebut mendapatkan keuntungan dari selisih bunga
yang diterima dari peminjam dengan yang dibayarkan oleh bank
pada deposito.
c. Bank Tabungan (Saving Bank), yaitu bank milik negara, swasta
maupun koperasi yang dalam pengumpulan dananya terutama
menerima simpanan dalam bentuk tabungan sedangkan usahanya
terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga.
d. Bank Pembangunan (Development Bank), yaitu bank baik milik
negara, swasta maupun koperasi, baik pusat maupun daerah, yang
dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam
15
bentuk deposito, dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka
menengah dan panjang di bidang pembangunan.
2. Dari segi kepemilikannya bank dibedakan menjadi:
a. Bank milik negara
b. Bank milik pemerintah daerah
c. Bank milik swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri
d. Bank koperasi
3. Dari segi penciptaan uang giral, bank dibedakan menjadi:
a. Bank Primer, yaitu bank yang dapat menciptakan uang giral, yang
dapat bertindak sebagai bank primer adalah bank umum.
b. Bank Sekunder, yaitu bank-bank yang tidak dapat menciptakan uang
melalui simpanan masyarakat yang ada padanya, bank ini hanya
bertugas sebagai perantara dalam menyalurkan kredit. Pada
umumnya bank yang bergerak pada bank sekunder adalah bank
tabungan dan bank pembangunan.
5. Kegiatan Usaha Bank
Mengenai usaha bank, secara umum meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
16
4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dana atas perintah nasabahnya.
5. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah.
6. Menempatkan dana pada, meminjam dari, atau meminjam dana dari bank
lain, baik yang menggunakan surat, telekomunikasi dengan wesel unjuk,
cek atau sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atau surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antarpihak ketiga.
8. Menyediakan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan
ketentuan agunan dibeli wajib dicairkan secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit (credit
card) dan kewajiban wali amanat, anjak piutang adalah suatu usaha untuk
melakukan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan
serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan
dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
17
13. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan
prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Usaha pokok bank dalam lalu lintas pembayaran terdiri dari lalu lintas
pembayaran dalam negeri dan luar negeri, antara lain:
1. Pengiriman uang
Pengiriman uang adalah salah satu pelayanan bank kepada masyarakat
dengan wujud kebersediaan melaksanakan amanat nasabah untuk
mengirimkan sejumlah uang, baik dalam rupiah maupun dalam valuta
asing yang ditujukan kepada pihak lain (perusahaan, lembaga atau
perorangan) di tempat lain (dalam negeri atau luar negeri).
2. Inkaso (Collection)
Inkaso pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan/perorangan untuk
menyajikan, atau memintakan persetujuan pembayaran (akseptasi) atau
penyerahan begitu saja kepada pihak yang bersangkutan (tertarik) di
tempat lain (dalam atau luar negeri) atas surat-surat berharga dalam
rupiah atau valuta asing, seperti wesel (draft), cek, kuitansi, surat aksep
(promissory notes), dan lain-lain.
3. Pembukaan Letter of Credit (L/C)
Salah satu cara pembayaran yang dipergunakan dalam perdagangan
adalah secara kredit dokumenter, yaitu dengan mempergunakan warkat
18
berharga yang disebut dengan Letter of Credit (L/C). Sehingga secara
sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa L/C adalah suatu perintah
(order) yang biasanya dilakukan oleh pembeli atau importir yang
ditujukan kepada bank untuk membuka L/C agar membayar sejumlah
uang kepada penjual atau eksportir.
6. Perizinan Pendirian, Bentuk Hukum dan Kepemilikan Bank
6.1. Perizinan Pendirian Bank
Ketentuan perizinan pendirian bank diatur dalam Pasal 16 sampai
Pasal 20 Undang-Undang Perbankan. Dalam memberikan izin usaha sebagai
Bank Umum atau BPR, Bank Indonesia wajib memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pemenuhan persyaratan pendirian, meliputi:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Keahlian di bidang perbankan;
d. Kelayakan rencana kerja.
2. Tingkat persaingan usaha yang sehat antar bank
Tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu dan
pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Khusus bagi BPR, untuk mendapatkan izin usahanya, di samping
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud di atas, wajib pula memenuhi
persyaratan tempat kedudukan kantor pusat BPR di kecamatan, yakni
kecamatan di luar ibu kota kabupaten/kota, ibukota provinsi, atau ibukota
19
negara. Persyaratan ini dimaksudkan agar BPR tetap dapat berfungsi sebagai
penunjang pembangunan dan modernisasi di daerah pedesaan. Walaupun
demikian, untuk menunjang peningkatan pembangunan yang lebih merata,
khusus di ibukota kabupaten/kota, pemerintah daerah setempat dapat
mendirikan BPR, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
koperasi, bank milik negara dan/atau bank milik pemerintah daerah, asalkan
di ibukota kabupaten/kota belum terdapat BPR.
6.1.1. Pendirian Bank Umum
Bank Umum hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan
izin Gubernur Bank Indonesia. Modal disetor untuk mendirikan Bank Umum
ditetapkan minimal sebesar Rp 3 triliun. Bank Umum hanya dapat didirikan
oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, dengan
ketentuan maksimal sebesar 99% dari modal disetornya.
6.1.2. Pendirian BPR
BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank
Indonesia seperti halnya Bank Umum. BPR hanya dapat didirikan dan
dimiliki oleh:
a. Warga negara Indonesia;
b. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia;
20
c. Pemerintah Daerah;
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud di atas.
Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit:
a. Rp 5 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta;
b. Rp 2 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah ibukota Provinsi di pulau
Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kota Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi;
c. Rp 1 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah ibukota Provinsi di luar
pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Pulau Jawa dan Bali di luar wilayah
sebagaimana disebutkan di atas;
d. Rp 500 juta bagi BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah
sebagaimana dimaksud di atas.
6.2. Bentuk Hukum Bank
Terdapat beberapa bentuk hukum suatu bank, yang disesuaikan
dengan jenis kelembagaan perbankan yang akan didirikan. Ketentuan dalam
Pasal 21 Undang-Undang Perbankan menetapkan bentuk hukum suatu bank,
yaitu:
1. Bank Umum dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
2. BPR dapat berupa:
a. Perusahaan Daerah;
21
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
6.3. Kepemilikan Bank
Ketentuan mengenai kepemilikan bank diatur dalam Pasal 22
sampai Pasal 28 Undang-Undang Perbankan. Disebutkan dalam Pasal 22
Undang-Undang Perbankan bahwa Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Badan hukum
Indonesia tersebut antara lain negara Republik Indonesia, badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik
swasta; atau
2. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara dan/atau badan hukum asing secara kemitraan. Jika salah satu
pihak yang mendirikan Bank Umum tersebut adalah badan hukum asing,
maka yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi
dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud minimal
memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan
mempunyai reputasi baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela
di bidang perbankan.
Adapun untuk BPR disebutkan dalam ketentuan Pasal 23 Undang-
Undang Perbankan, hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
1. Warga negara Indonesia;
22
2. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia;
3. Pemerintah Daerah; atau
4. Dapat dimiliki bersama di antara warga negara Indonesia, badan hukum
Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
Selanjutnya seperti yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan
Peraturan Bank Indonesia, bahwa pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik
bank adalah:
1. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan/atau pengurus Bank Umum dan/atau BPR sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
2. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik, yang ditandai antara lain bahwa pihak-pihak yang
bersangkutan memiliki akhlak dan moral yang baik, mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan memiliki komitmen yang tinggi
terhadap pembangunan operasional bank yang sehat dan dinilai layak dan
wajar untuk menjadi pemegang saham bank.
Bagi pemegang saham pengendali, wajib memenuhi persyaratan bahwa
yang bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-
Undang Perbankan hanya berlaku untuk Bank Umum dan BPR yang
berbentuk di luar bentuk hukum koperasi. Berdasarkan Pasal 24 Undang-
23
Undang Perbankan, bahwa Bank Umum dan BPR yang berbentuk hukum
koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang
tentang perkoperasian yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian. Pada ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-
Undang Perkoperasian tadi disebutkan bahwa keanggotaan koperasi adalah
setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau
koperasi yang memenuhi persyaratan. Anggota koperasi adalah pemilik
sekaligus pengguna jasa koperasi. Hal ini berarti kepemilikan bank yang
berbentuk hukum koperasi adalah seluruh anggota koperasi yang
bersangkutan atau badan-badan hukum koperasi.
Kemudian ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Perbankan
menetapkan bahwa Bank Umum dan BPR yang berbentuk hukum perseroan
terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
Saham bank dalam bentuk saham atas nama ini dimaksudkan untuk
mengetahui perubahan kepemilikan saham bank. Ini berarti, saham dalam
bentuk saham atas tunjuk tidak diperbolehkan, sebab dalam saham atas tunjuk
tidak dicantumkan nama pemegang atau pemiliknya, sehingga menimbulkan
kesulitan untuk mengetahui perubahan kepemilikan saham yang
bersangkutan.
B. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Uraian tentang jenis bank ditinjau dari segi fungsi yang telah
dipaparkan sebelumnya, salah satunya yaitu Bank Sentral (Central Bank).
24
Muhammad Djumhana menjelaskan pengertian bank sentral dalam bukunya
sebagai berikut:
“Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara,
merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi
perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last
resort.”12
Bank Sentral di tiap negara hanya ada satu dan mempunyai cabang
hampir di tiap provinsi. Fungsi utama Bank Sentral adalah mengatur masalah-
masalah yang berhubungan dengan keuangan di suatu negara secara luas, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Indonesia yang berkedudukan
sebagai Bank Sentral adalah Bank Indonesia (BI). BI dinaungi dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan diubah
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang BI).
1. Sejarah Singkat Bank Indonesia
Bank Indonesia berasal dari De Javasche Bank N.V yang
merupakan salah satu bank milik pemerintah Belanda. De Javasche Bank
N.V didirikan pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 10
Oktober 1827 dalam rangka membantu pemerintah Belanda, untuk
mengurus keuangannya di Hindia Belanda pada waktu itu. Kemudian De
Javasche Bank N.V dinasionalisasi pemerintah Republik Indonesia
12
Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti. Hal. 93.
25
tanggal 6 Desember 1951 dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1951 menjadi bank milik pemerintah Republik Indonesia. Setelah
nasionalisasi De Javasche Bank N.V kemudian pemerintah mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia
sebagai undang-undang organik bagi bank sentral yang disetujui pada
tanggal 10 April 1953 lalu disahkan pada tanggal 29 Mei 1953 dan
dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Juli 1953 yang dijadikan hari
terbentuknya Bank Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia.13
Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 17 Tahun 1965, Bank
Indonesia bersama bank-bank lainnya seperti Bank Koperasi Tani dan
Nelayan, Bank Negara Indonesia dan Bank Tabungan Negara dilebur ke
dalam Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). BNI
ini terdiri dari BNI Unit I, BNI Unit II, BNI Unit III, BNI Unit IV, dan
BNI Unit V. Kemudian BNI Unit I berfungsi sebagai Bank Sirkulasi,
Bank Sentral dan Bank Umum.
Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 mengamanatkan
pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang. Berkaitan
dengan dunia perbankan pemerintah menyusun Rancangan Undang-
Undang Pokok-Pokok Perbankan, Rancangan Undang-Undang Bank
Sentral dan Rancangan Undang-Undang Pendirian Enam Bank
Pemerintah. Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang
13
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika.
Ringkasan hal. 86-90.
26
Bank Sentral, ditata dan dibangun kembali bank sentral dalam kerangka
penataan sistem perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Dengan adanya Undang-
Undang tersebut, mengenai pengintegrasian bank-bank milik negara ke
dalam BNI berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 17 Tahun 1965,
dilakukan peninjauan kembali dan disesuaikan kembali seiring
dibentuknya kembali Bank Indonesia sebagai bank sentral. Di dalam
peninjauan kembali tadi, termasuk di dalamnya mengenai tugas Bank
Indonesia yang meliputi menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang,
dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih melaksanakan
beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Di sisi lain,
keberadaan Bank Indonesia belum independen dengan adanya campur
tangan pemerintah dalam membentuk Dewan Moneter yang bertugas
menentukan kebijakan moneter yang harus dilaksanakan Bank
Indonesia.14
Mengingat peran ganda dari Bank Indonesia sebagai bank sentral
dan sekaligus bank komersial mengakibatkan kurang sehatnya
perkembangan moneter perekonomian, maka dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-
undang tersebut Bank Indonesia tidak lagi berperan ganda dengan
dihapusnya peranan sebagai bank komersial. Misi Bank Indonesia
sebagai agen pembangunan masih melekat, demikian pula tugas-tugas
14
Op Cit. Munir Fuady. Ringkasan hal. 114-116.
27
sebagai kasir pemerintah dan banker’s bank. Selain itu Dewan Moneter
keberadaannya masih dipertahankan sebagai lembaga pembuat kebijakan
yang merumuskan kebijakan moneter. 15
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1968 tidak lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan dan dinamika
perekonomian nasional dan internasional. Bank Indonesia sebagai bank
sentral dikehendaki hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, yang merupakan sebagian dari
prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan. Reorientasi sasaran Bank Indonesia ini merupakan
bagian dari kebijakan pemulihan dan reformasi perekonomian dimana
kegagalan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah seperti tercermin
pada kenaikan harga-harga dapat merugikan karena berakibat
menurunkan pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing
perekonomian nasional dalam kancah perekonomian dunia.
Berdasarkan keadaan tadi, dan dengan mengacu kepada
Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, Ketetapan MPR Nomor
XI/MPR/1998 dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998, pada tanggal
17 Mei 1999 ditetapkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 memberikan status dan kedudukan kepada Bank Indonesia
15
Op Cit. Djoni S. Gazali. Hal. 92
28
sebagai suatu bank sentral yang independen, bebas dari campur tangan
pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya.
Dalam rangka penyesuaian terhadap keadaan ekonomi yang
dinamis, Undang-Undang tentang Bank Indonesia mengalami perubahan
dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan diubah lagi
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.16
2. Tujuan Bank Indonesia
Dalam Pasal 7 Undang-Undang BI diatur mengenai tujuan BI,
yaitu:
“(1) Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud ayat (1), Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan
umum pemerintah di bidang perekonomian.”
Kasmir dalam bukunya menjelaskan sebagai berikut:
“Mata uang Rupiah perlu dijaga dan dipelihara mengingat
dampak yang ditimbulkan apabila suatu mata uang tidak stabil
sangatlah luas seperti salah satunya terjadinya inflasi yang sangat
memberatkan masyarakat luas. Oleh karena itu tugas Bank
Indonesia untuk mencapai dn memelihara kestabilan nilai rupiah
sangatlah penting.”17
Adapun maksud dari kestabilan rupiah yang diinginkan oleh Bank
Indonesia adalah:
1. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang dapat diukur
dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi.
16
Op Cit. Munir Fuady. 17
Kasmir, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
Hal. 169-170.
29
2. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Hal ini dapat
diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar Rupiah
terhadap mata uang negara lain.
Dengan kestabilan nilai mata uang Rupiah, maka akan sangat
banyak manfaat yang akan diperoleh terutama untuk mendukung
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan perbankan itu
sendiri.
3. Tugas Bank Indonesia
Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan sebelumnya, BI
mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-
Undang BI, yaitu:
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
c. mengatur dan mengawasi Bank.”
3.1 Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter
Dalam tugasnya menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 sampai Pasal 14 Undang-
Undang BI, BI mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan
sasaran laju inflasi.
b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-
cara yang termasuk tidak terbatas pada:
30
- Operasi pasar terbuka di pasar uang, baik mata uang rupiah
maupun valuta asing
- Penetapan tingkat diskonto
- Penetapan cadangan wajib minimum
- Pengaturan kredit atau pembiayaan
c. Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang
bersangkutan.
d. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai
tukar yang telah ditetapkan, antara lain dengan melakukan
devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing.
e. Mengelola cadangan devisa.
f. Menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktu
diperlukan yang dapat bersifat makro dan mikro.
3.2 Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, lancar dan
aman merupakan salah satu prasyarat dalam keberhasilan pencapaian
tujuan kebijakan moneter, sebagaimana menjadi tugas BI
sebelumnya. Sehubungan dengan itu, BI diberi wewenang untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Tugas BI
yang mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
31
dijabarkan dalam Pasal 15 sampai Pasal 23 Undang-Undang BI.
Dalam tugas ini BI mempunyai kewenangan meliputi:
a. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
b. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk
menyampaikan laporan kegiatannya.
c. Menetapkan penggunaan alat pembayaran, dalam hal ini secara
umum meliputi alat pembayaran tunai dan alat pembayaran
nontunai.
d. Mengatur sistem kliring antar bank baik dalam mata uang
Rupiah maupun valuta asing.
e. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran
antar bank.
f. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan,
bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai
alat pembayaran yang sah.
g. Mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut,
menarik dan memusnahkan uang dari peredaran, termasuk
memberikan penggantian dengan nilai yang sama.
Berkaitan dengan tugas BI mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, pengertian mengenai sistem pembayaran sendiri
dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang BI yaitu:
32
“Sistem pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup
seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan
untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.”
Dalam rangka untuk mendukung sistem pembayaran tersebut
diadakan alat pembayaran seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
yang meliputi alat pembayaran tunai dan alat pembayaran nontunai.
Alat pembayaran tunai adalah uang kartal yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia. Sedangkan alat pembayaran nontunai salah satunya
adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) yang
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu yang diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012, selanjutnya disebut Peraturan Bank
Indonesia tentang APMK.
Dalam Peraturan Bank Indonesia tentang APMK disebutkan
pengertian mengenai alat pembayaran menggunakan kartu yaitu:
“Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang
selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran yang
berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM)
dan/atau kartu debet.”
Pengertian ATM yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan
Bank Indonesia tentang APMK yaitu:
33
“Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di
mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan
mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada
Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk
menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan.”
Dalam PBI tersebut juga ditentukan mengenai manajemen
risiko yang harus dilaksanakan oleh bank-bank yang telah
memperoleh ijin menyelenggarakan alat pembayaran menggunakan
kartu. Dengan adanya ketentuan manajemen risiko, bank diharuskan
menggunakan prinsip kehati-hatian dalam menyelenggarakan
fasilitas pendukung dari APMK tadi. Hal ini dilakukan untuk
melindungi nasabah dari bank-bank tersebut.
3.3 Mengatur dan Mengawasi Bank
Tugas pengaturan dan pengawasan bank merupakan salah
satu tugas yang penting khususnya dalam rangka menciptakan sistem
perbankan yang sehat yang pada akhirnya akan dapat mendorong
efektivitas kebijakan moneter. Tugas BI yang mengatur dan
mengawasi bank diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 sampai Pasal 35
Undang-Undang BI, yang kewenangannya meliputi:
a. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip-prinsip kehati-hatian.
b. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank.
c. Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan
kantor bank.
34
d. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan
bank.
e. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan
usaha tertentu.
f. Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan
penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan Bank
Indonesia.
g. Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala
maupun setiap waktu apabila diperlukan.
h. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian
atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut
penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga
merupakan tindakan pidana dibidang perbankan.
i. Mengatur dan mengembangkan informasi antar bank.
j. Mengambil tindakan terhadap suatu bank sebagaimana diatur
dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku apabila
menurut penilaian Bank Indonesia dapat membahayakan
kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau
membahayakan perekonomian nasional.
35
C. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah
1. Perlindungan Hukum
Konsep perlindungan hukum menurut Sulistyandari dalam
bukunya yaitu sebagai berikut:
“Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum
memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan
kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan
bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum
yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya
tersebut.”18
Konsep tersebut ditarik dari teori keadilan menurut Aristoteles dan John
Rawls yang kemudian dihubungkan dengan hukum sesuai dengan
pendapat Sudikno Mertokusumo sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
“Dari uraian mengenai teori keadilan baik menurut Aristoteles
dan John Rawls ada benang merah yang bisa ditarik sebagai suatu
kesimpulan dari teori-teori keadilan itu, yaitu kesemuanya
berbicara sesuatu hal yang sama bahwa pada hakekatnya
memberikan keadilan berhubungan dengan memberikan hak dan
kewajiban kepada subyek hukum apakah itu masyarakat/institusi
atau individu yang diatur dalam hukum positif. Jika dikaitkan
dengan perlindungan hukum, maka pada intinya hukum itu
memberikan perlindungan yang berarti memberikan keadilan
yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap
subyek hukum yaitu institusi maupun individu, dan menurut
Aristoteles keadilan diberikan oleh hukum tergantung hubungan
mana yang diatur oleh hukum tersebut. Pengaturan hubungan
adalah pengaturan kepentingan-kepentingan dari yang
bersangkutan, karena hubungan-hubungan hukum adalah
kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan hukum.
tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, pada satu pihak
ia mempunyai hak dan pada pihak lainnya ia mempunyai
kewajiban. Jika pihak yang mempunyai kewajiban tidak
melaksanakan kewajiban, maka terjadilah pelanggaran hak-hak
pada pihak lainnya, yang demikian disebut dengan pelanggaran
18
Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah
Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo, Laros. Hal 283.
36
hukum. Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus
mendapat perlindungan hukum.”19
Berkaitan dengan hak dan kewajiban, pendapat Nicolai
sebagaimana dikutip Sulistyandari dalam bukunya adalah sebagai
berikut:
“Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een
bepalde feitelijke handeling te verichten of na te laten, of de
(rechtens gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling
door een ander. Een plicht implieert een verplichting om een
bepaalde handeling te verrichten of na laten.
(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).”20
Pendapat Philipus M. Hadjon mengenai perlindungan hukum
dalam bukunya yaitu sebagai berikut:
“Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu
perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan
hukum bagi rakyat ini minimal ada dua pihak, dimana
perlindungan hukum difokuskan pada salah satu pihak,
pemerintah di satu pihak dengan tindakan-tindakannya,
berhadapan dengan rakyat yang dikenai tindakan-tindakan
pemerintah tersebut. Segala sarana, diantaranya peraturan
perundang-undangan yang memfasilitasi pengajuan keberatan-
keberatan oleh rakyat sebelum keputusan pemerintah mendapat
bentuk definitif, merupakan perlindungan yang preventif.
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan
merupakan perlindungan hukum yang represif.”21
Sudikno Mertokusumo menjelaskan mengenai perlindungan
hukum dalam bukunya sebagai berikut:
19
Ibid. Hal 282-283. 20
Ibid. 21
Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Jakarta, Peradaban.
Hal 2.
37
“Perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk
melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada
yang wan prestasi.”22
Menurut Fathor Rahman yang mengutip pendapat dari Soerjono
Soekanto dalam bukunya menjelaskan sebagai berikut:
“Maksud perlindungan hukum adalah untuk menjamin
keberadaan sesuatu hal tertentu, dimana selaras dengan fungsi
hukum, yakni sebagai: (1) alat ketertiban dan keteraturan
masyarakat dengan memberikan pedoman tentang bagaimana
berperilaku dalam masyarakat melalui norma-norma dan perintah-
perintah; (2) sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial
dengan sifat dan wataknya yang memiliki daya mengikat baik
fisik maupun psikologis; dan (3) sebagai sarana penggerak
pembangunan melalui daya mengikat dan memaksa dari hukum
tersebut.”23
Dalam makalah yang ditulis oleh Salam Nasution dengan
mengutip pendapat Muchsin yang menyebutkan sebagai berikut:
“Perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu
dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah
yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan
adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama
manusia.”24
Hermansyah menyatakan pemikirannya mengenai perlindungan
hukum bagi nasabah dalam bukunya yaitu:
“Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat
tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu,
22
Soedikno Mertokususmo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty.
Hal. 9. 23
Fathor Rahman, 2011, Menghakimi TKI Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI, Jakarta,
Pensil-324. Hal.78. 24
Agus Salam Nasution, 2012, Makalah: Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, Medan, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
38
sewajarnya bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga
kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan
hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan
nasabah. Dengan kata lain, dalam rangka untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap
dunia perbankan, maka perlindungan hukum bagi nasabah
terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan.”25
Hermansyah menjelaskan lebih lanjut mengenai bentuk
perlindungan yang dibagi menjadi perlindungan langsung dan
perlindungan tidak langsung.
Yang termasuk dalam perlindungan langsung antara lain:
1) Hak Preferen nasabah Penyimpan Dana
Hak preferen adalah suatu hak yang diberikan kepada seorang
kreditur untuk didahulukan dari kreditur-kreditur yang lain. Dalam
sistem perbankan, nasabah penyimpan merupakan kreditur yang
mempunyai hak preferen, dalam arti bahwa nasabah penyimpan yang
harus didahulukan dalam menerima pembayaran dari bank yang
sedang mengalami kegagalan atau kesulitan dalam memenuhi
kewajibannya. Dasar hukumnya adalah Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Perbankan.
2) Lembaga Asuransi Deposito
Sistem asuransi deposito diciptakan dalam rangka memberikan
perlindungan di kemudian hari bagi kepentingan nasabah-nasabah
penyimpan dari bank-bank yang mengalami kegagalan, terutama
deposan yang dananya relatif kecil. Misi dari lembaga asuransi
25
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group. Hal. 132
39
deposito ini adalah memelihara stabilitas dari sistem keuangan
negara dengan cara mengasuransikan para deposan bank dan
mengurangi gangguan-gangguan terhadap perekonomian nasional
yang disebabkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh perbankan.
Saat ini, sistem asuransi deposito di Indonesia telah diakomodasi
dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
Yang termasuk dalam perlindungan tidak langsung di antaranya yaitu
sebagai berikut:
1) Prinsip kehati-hatian (prudential principal), dasarnya adalah
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perbankan.
2) Batas maksimum pemberian kredit (BMPK), dasarnya adalah
ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Perbankan dan SK BI No.
31/177/KEP/DIR.
3) Kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, diatur
dalam Pasal 35 Undang-Undang Perbankan.
4) Merger, konsolidasi dan akuisisi bank.
2. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah
Konsep hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya
sebagaimana dijelaskan Munir Fuady dalam bukunya adalah:
40
“Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dan bank
terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu hubungan kontraktual dan
hubungan non-kontraktual.”26
2.1 Hubungan Kontraktual
Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan
nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir
terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan
ataupun nasabah nondebitur-nondeposan. Terhadap nasabah debitur,
hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang
dibuat antara bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai pihak
debitur. Hubungan kontrak ini bersumber dan mendasarkan
hukumnya pada ketentuan-ketentuan tentang kontrak, yaitu Buku III
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan hukum sama dengan
undang-undang bagi kedua belah pihak.
Dengan redaksional yang berbeda Sulistyandari menyatakan
sebagai berikut:
“Hubungan kontraktual merupakan hubungan bank dengan
nasabah penyimpan didasarkan kepada kontrak/perjanjian
dalam hal ini perjanjian penyimpanan. Dalam kontrak
penyimpanan ini menimbulkan hubungan hukum antara bank
dan nasabah penyimpan yaitu nasabah penyimpan berhak atas
pengembalian dana simpanan dan bunganya, sedangkan bank
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan dana simpanan
dan bunganya.”27
26
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal. 100 27
Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah
Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo, Laros. Hal. 335.
41
2.1.1. Perjanjian Pada Umumnya
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 buku ketiga KUH
Perdata tentang perikatan. Perjanjian diartikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.”
Pengertian perjanjian tersebut menurut para sarjana mengandung
kelemahan, yaitu:
- Pada kata “perbuatan”, lebih tepat jika diganti dengan kata
“perbuatan hukum”, yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan
akibat hukum. Jadi akibat hukum dikehendaki atau dianggap
dikehendaki.
- Pada pengertian tersebut seharusnya ditambah dengan perkataan
“atau saling mengikatkan dirinya”, sebab jika tidak ditambahkan
perkataan tersebut, perumusan pengertian tadi terkesan hanya
berlaku untuk perjanjian sepihak, sedangkan maksudnya juga
berlaku untuk semua perjanjian, termasuk perjanjian timbal balik.
Sehingga pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
atau saling mengikatkan dirinya.
Unsur-unsur Perjanjian
Perjanjian mengandung unsur-unsur di dalamnya yang dapat
dikelompokkan menjadi unsur essensialia, unsur naturalia dan unsur
42
accidentalia. Untuk pengertian masing-masing menurut J. Satrio dalam
bukunya adalah sebagai berikut:
“Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada
di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, di mana tanpa adanya
unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada.”
“Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-
undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau
diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan
hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht).”
“Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan
oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur tentang
hal tersebut.”28
Unsur essensialia berkaitan dengan syarat-syarat pokok yang
harus dipenuhi agar perjanjian sah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Adapun syarat sah perjanjian adalah:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Mengenai sepakat dijabarkan dalama Pasal 1321-1328 KUH Perdata.
Sepakat itu tidak sah jika sepakat diberikan karena kekhilafan atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Terkait dengan
ketentuan ini, Pasal 1449 KUH Perdata menetapkan bahwa
perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau
penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dalam
28
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti. Hal. 67-68.
43
hal ini undang-undang memberikan suatu hak kepada pihak yang
dipaksa, yang merasa khilaf dan yang ditipu untuk menuntut
pembatalan perjanjian melalui pengadilan, yang berarti perjanjian
yang bersangkutan tidak menjadi batal sejak semula melainkan batal
oleh putusan hakim yang bersifat konstitutif atas dasar tuntutan salah
satu pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian
yang dibuat atas dasar kekhilafan, paksaan atau penipuan maka
sepakatnya tidak sah sehingga perjanjian pun tidak sah, akan tetapi
lahir perjanjian (ada perjanjian) meskipun sewaktu-waktu dapat
dibatalkan dengan mengingat Pasal 1449 KUH Perdata.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan diatur dalam Pasal 1329-1331 KUH Perdata. Dinyatakan
bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-
perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.
Tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah anak yang
belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu di sini merupakan obyek prestasi perjanjian harus
tertentu. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, pokok perjanjian atau
obyek prestasi perjanjian harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat
44
ditentukan. Hal ini terkait dengan pelaksanaan perjanjian. Suatu
perjanjian yang obyek prestasinya tidak tertentu atau tidak dapat
ditentukan maka perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Menurut para sarjana, suatu perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan
sama halnya dengan tidak ada perjanjian. Dengan kata lain
perjanjian seperti itu sebagai perjanjian yang tidak sah dalam arti
batal demi hukum karena sejak semula dipandang tidak pernah lahir
perjanjian jika tidak ada obyek prestasinya.
d. Suatu sebab yang halal
Tentang sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335-1337 KUH
Perdata. Disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang
telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan. Oleh para sarjana, kata “tidaklah
mempunyai kekuatan” ditafsirkan sebagai batal demi hukum.
Unsur naturalia dapat dilihat dengan contoh ketentuan dalam
Pasal 1476 KUH Perdata yaitu mengenai kewajiban penjual untuk
menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin/vrijwaren yang
diatur dalam Pasal 1491 KUH Perdata, keduanya dapat disimpangi atas
kesepakatan kedua belah pihak. Unsur accidentalia dapat dicontohkan
dengan pengecualian terhadap benda-benda pelengkap dalam jual beli,
seperti dalam jual beli rumah, dikecualikan dalam jual beli pintu gerbang
rumah tersebut. Hal tadi tidak diatur dalam undang-undang tetapi dapat
disepakati para pihak.
45
Asas-asas Perjanjian
Dalam perjanjian terdapat asas-asas yang melandasinya, yaitu
sebagai berikut:
1) Asas konsensuil
2) Asas pacta sunt servanda
3) Asas kebebasan berkontrak
Ad. 1) Asas konsensuil, bahwa pada dasarnya perjanjian timbul
atau lahir sejak tercapainya sepakat. Dengan kata lain perjanjian sudah
lahir apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam
perjanjian dan tidaklah diperlukan formalitas. Pada umumnya perjanjian
dalam KUH Perdata adalah konsensuil. Asas konsensuil terdapat dalam
Pasa 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 KUH Perdata.
Ad. 2) Asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah oleh para pihak mengikat bagi mereka yang membuatnya
seperti undang-undang. Mengikat berarti para pihak yang membuat
perjanjian berkewajiban untuk menaati dan melaksanakan perjanjian.
Asas pacta sunt servanda terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata.
Ad. 3) Asas kebebasan berkontrak, bahwa orang bebas untuk
tidak membuat atau membuat perjanjian diluar yang disebutkan dalam
undang-undang, bebas untuk menentukan siapa pihaknya, isinya maupun
bentuk perjanjian yang dibuatnya, asalkan tidak bertentangan dengan
46
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan
berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Jadi pentingnya ketiga asas hukum perjanjian tersebut yaitu: asas
konsensuil berkaitan dengan terjadinya/lahirnya perjanjian, asas pacta
sunt servanda berkaitan dengan akibat hukum perjanjian, asas kebebasan
berkontrak berkaitan dengan isi perjanjian.
Wanprestasi dalam Perjanjian
Subekti menjelaskan bahwa apabila debitur tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memenuhi prestasi yang ditentukan dalam
perjanjian karena salahnya, maka ia dinyatakan wanprestasi. Wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi, sebagaimana yang
dijanjikan;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana
yang dijanjikan;
3. Melakukan yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.29
Akibat atau hukuman bagi debitur yang wanprestasi, yaitu:
1. Membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditur
2. Pembatalan perjanjian
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di pengadilan
29
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cetakan kesembilanbelas, Jakarta, PT. Intermasa. Hal.
45.
47
Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi, maka kreditur dapat
memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana yang
disebut Pasal 1267 KUH Perdata, yaitu:
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pemenuhan perjanjian dengan ganti rugi
3. Ganti kerugian
4. Pembatalan perjanjian
5. Pembatalan dengan ganti rugi
2.1.2. Perjanjian Penyimpanan
Untuk melihat lebih jelas hubungan hukum antara bank dengan
nasabah berkaitan dengan perjanjian penyimpanan yang mendasarinya,
dapat disimak pasal-pasal dalam Undang-Undang Perbankan berikut ini:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
“Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan
dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan.”
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat
kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam
bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.”
48
“Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah
pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.”
“Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah
penyimpan dengan bank.”
“Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk Deposito
yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.”
“Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.”
Sulistyandari menyimpulkan bahwa:
“Dari pasal-pasal tersebut dapat terlihat bahwa hubungan bank
dengan nasabah penyimpan berdasarkan perjanjian/kontrak yang
disebut perjanjian penyimpanan dana. Dalam praktik perbankan
bentuk dan format dari perjanjian penyimpanan dana diserahkan
sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Tidak ada ketentuan
di dalam Undang-Undang Perbankan bahwa perjanjian
penyimpanan dana harus dibuat secara tertulis seperti dalam
perjanjian kredit.”30
Dari pengertian sebelumnya, simpanan Giro mempunyai ciri-ciri
dapat dilakukan penarikan setiap saat, menggunakan sarana perintah
pembayaran giral seperti cek, bilyet giro atau dengan pemindahbukuan.
Sedangkan simpanan Deposito mempunyai ciri-ciri yang membedakan
dengan simpanan lainnya yaitu penarikan hanya dapat dilakukan pada
30
Op cit. hal. 295.
49
jangka waktu tertentu sesuai yang telah diperjanjikan sebelumnya antara
bank dengan nasabah. Dengan adanya ketentuan tersebut, nasabah
penyimpan berhak atas bunga dari simpanannya sesuai dengan
perjanjian.
Sertifikat Deposito berbeda dengan Deposito, namun pada
dasarnya ketentuannya sama, yaitu hanya dapat dilakukan penarikan pada
waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan. Perbedaannya yaitu, sertifikat
bukti simpanan tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.
Untuk simpanan Tabungan, ciri-cirinya hampir sama dengan Giro, hanya
dalam penarikannya tidak menggunakan sarana perintah pembayaran
giral seperti cek atau bilyet giro. Nasabah penyimpan Tabungan berhak
menarik simpanannya setiap saat dan memperoleh bunga simpanan
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dari perbedaan masing-masing bentuk simpanan tadi, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian penyimpanan antara bank dengan nasabah
penyimpan untuk masing-masing bentuk simpanan berbeda
ketentuannya. Sehingga bentuk perjanjiannya juga berbeda. Hal ini
berkaitan dengan hak dan kewajiban pihak bank dan nasabah penyimpan.
Perjanjian penyimpanan termasuk dalam perjanjian tak bernama.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyebutkan
dua kelompok perjanjian yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tak
bernama. Dalam bukunya, J. Satrio menjelaskan pengertian masing-
masing, yaitu:
50
“Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang dikenal
dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturannya secara
khusus dalam undang-undang.”
“Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum
mendapat pengaturannya secara khusus dalam undang-undang”31
Sulistyandari mengutip pendapat J. Satrio mengenai perjanjian
bernama dan perjanjian tak bernama sebagai berikut:
“Mengenai perjanjian diatur dalam KUH Perdata,dimana dalam
Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua kelompok perjanjian
yaitu perjanjian bernama (benoemde atau nominaat contracten)
dan perjanjian tak bernama. Perbedaan perjanjian bernama dan
perjanjian tak bernama terletak bahwa pada perjanjian bernama
adalah perjanjian yang diberi nama oleh undang-undang dan
mendapat pengaturan secara khusus dalam titel V sampai titel
XIX Buku III KUH Perdata, KUHD, dan perundang-undangan
yang lain, sehingga untuk perjanjian bernama selain tunduk
kepada pengaturan secara khusus tersebut yang menyimpang dari
ketentuan umum juga dapat tunduk pada ketentuan umum titel I,
II, IV Buku III KUH Perdata, karena ketentuan umum tersebut
berlaku bagi semua perjanjian.”32
Sulistyandari menyimpulkan dan mengaitkan dengan perjanjian
penyimpanan sebagai berikut:
“Dengan demikian perjanjian tak bernama tunduk pada ketentuan
umum titel I, II, IV KUH Perdata. Perjanjian penyimpanan dana
merupakan perjanjian yang tidak mendapat pengaturan secara
khusus dalam KUH Perdata, KUHD maupun Undang-Undang
Perbankan. Oleh karena ketentuan umum perjanjian dalam KUH
Perdata tersebut berlaku bagi semua perjanjian, maka termasuk
berlaku pula bagi perjanjian penyimpanan dana.”33
31
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Bandung, Citra Aditya
Bakti. Hal. 149. 32
Op Cit, Sulistyandari. Hal. 296. 33
Ibid. Hal.
51
Daniel Djoko Tarliman menyatakan pendapat yang sama dengan
Sulistyandari bahwa Perjanjian Penyimpanan termasuk dalam perjanjian
tak bernama dalam disertasinya yang berjudul “Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia” sebagai berikut:
“Perjanjian Penyimpanan dana termasuk jenis tidak bernama yang
sifatnya sui generis dalam arti tunduk pada ketentuan umum dari
suatu perjanjian sedangkan ketentuan perjanjian bernama dipakai
secara analogi.”34
2.1.3. Transaksi Elektronik
Pengertian transaksi elektronik diatur dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, selanjutnya disebut Undang-Undang ITE, sebagaimana
disebutkan sebagai berikut:
“Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan
dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau
media lainnya.”
Pengaturan lebih lanjut mengenai transaksi elektronik dijabarkan dalam
Pasal 15 sampai Pasal 22 Undang-Undang ITE.
Pasal 15 menjelaskan mengenai penyelenggaraan sistem
elektronik secara umum berkaitan tanggung jawab penyelenggara sistem
elektronik. Pasal 16 menjelaskan mengenai syarat-syarat minimum yang
harus dipenuhi dalam menyelenggarakan sistem elektronik. Pasal 17
34
Daniel Djoko Tarliman, 2008, Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank
Gagal di Indonesia, Ringkasan Disertasi yang tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga Surabaya
52
menjelaskan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik yang dapat
dilakukan dalam lingkup publik maupun privat. Pasal 18 menjelaskan
bahwa transaksi elektronik harus dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik yang mengikat para pihak serta pilihan penyelesaian sengketa
jika terjadi sengketa antara para pihak.
Pasal 19 menentukan bahwa dalam melakukan transaksi
elektronik para pihak harus menggunakan Sistem Elektronik yang
disepakati. Adapun pengertian Sistem Elektronik diatur dalam Pasal 1
angka 5 Undang-Undang ITE, sebagai berikut:
“Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.”
Pasal 20 mengatur mengenai terjadinya transaksi elektronik
berkaitan dengan penawaran dan penerimaan dalam transaksi elektronik.
Pasal 21 mengatur mengenai pihak yang melakukan transaksi elektronik,
pihak yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dan akibat
hukumnya. Kemudian Pasal 22 mengatur tentang penyelenggara transaksi
elektronik.
Berkaitan dengan perbankan, transaksi elektronik dapat dilakukan
dengan media APMK, salah satunya Kartu ATM. Masing-masing
pengertian APMK dan Kartu ATM diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang APMK sebagai berikut:
53
“Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya
disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit,
kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet.”
“Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di mana
kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi
secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau
Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana
sesuai ketentuan perundang-undangan.”
Penggunaan Kartu ATM ini melalui sistem switching yang
merupakan jasa Perusahaan Switching, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK
sebagai berikut:
“Perusahaan Switching adalah perusahaan yang menyediakan jasa
switching atau routing atas transaksi elektronik yang
menggunakan APMK melalui terminal seperti ATM atau
Electronic Data Captured (EDC) dalam rangka memperoleh
otorisasi dari Penerbit.”
2.2 Hubungan Non-kontraktual
Dalam bukunya Munir menjelaskan berkaitan dengan
hubungan non-kontraktual sebagai berikut:
“Hubungan non kontraktual antara bank dan nasabah, dibagi
menjadi 6 (enam) jenis hubungan hukum, yaitu:
1) Hubungan Fidusia (Fiduciary Relation)
2) Hubungan Konfidensial
3) Hubungan Bailor-Bailee
4) Hubungan Pricipal-Agent
5) Hubungan Mortgagor-Mortgagee, dan
6) Hubungan Trustee-Beneficiary 35
35
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal. 104
54
Di Indonesia, hubungan-hubungan sebagaimana yang
disebutkan dalam nomor 3 sampai nomor 6 tidak secara tegas diakui
dalam hukum, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat
dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak. Hubungan
kontraktual lainnya dapat dilihat dari adanya kewajiban bagi para
pihak bank untuk menyimpan rahasia bank yang tidak diperjanjikan
sama sekali.
Sulistyandari berpendapat mengenai hubungan non-
kontraktual di dalam bukunya sebagai berikut:
“Hubungan non kontraktual adalah hubungan nasabah
penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya
kontrak melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya
hukum tertulis/peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya atau hukum tidak tertulis seperti hukum
kebiasaan dalam perbankan. Dalam peraturan perundang-
undangan perbankan di Indonesia, hubungan non kontraktual
ini bisa dilihat antara lain dalam Undang-Undang Perbankan
dan Undang-Undang BI beserta peraturan pelaksananya
antara lain: hubungan kepercayaan (fiduciary relation) yaitu
hubungan antara nasabah penyimpan dengan bank dan
hubungan bank dengan nasabah debitur dimana nasabah
penyimpan mempercayakan dananya kepada bank untuk
dikelola dan bank kemudian mempercayakan dana yang
dihimpunnya untuk disalurkan kepada nasabah debitur untuk
dikelola pula, hubungan kepercayaan ini merupakan prinsip
yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan sehingga
menimbulkan hubungan hukum antara nasabah penyimpan
dengan bank, dan bank dengan nasabah debitur; hubungan
kehati-hatian (prudential relation) yaitu hubungan antara
bank dengan pemerintah (BI sebagai pengatur dan pengawas
perbankan) diman bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya wajib mentaati peraturan yang telah ditentukan oleh
pemerintah/BI seperti peraturan tentang perizinan, peraturan
tentang kesehatan bank, hubungan kehati-hatian ini
merupakan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang BI dan
Undang-Undang Perbankan sehingga menimbulkan
hubungan hukum antara bank dan dengan pemerintah/BI;
55
hubungan kerahasiaan (confidential relation) merupakan
hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana
dimana bank wajib merahasiakan nasabah penyimpan dan
simpanannya, hubungan kerahasiaan ini merupakan prinsip
yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan sehingga
menimbulkan hubungan hukum bank dengan nasabah
penyimpan.”36
Dalam hubungan non kontraktual yang telah disebutkan
sebelumnya, dinyatakan bahwa hubungan antara nasabah dan bank
bisa muncul karena adanya hukum tertulis/peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya atau hukum tidak tertulis seperti hukum
kebiasaan dalam perbankan.
2.2.1. Hubungan Nasabah dengan Bank Berdasarkan Undang-
Undang Perbankan
Dalam Undang-Undang Perbankan disebutkan bahwa
kegiatan usaha bank yang utama adalah menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari
ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan maka hubungan hukum
antara bank dengan nasabah penyimpan dilahirkan/didasarkan dari
perjanjian penyimpanan dana seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa bank berkedudukan sebagai pihak debitur,
karena bank adalah sebagai pihak yang berkewajiban
mengembalikan simpanan nasabah penyimpan sesuai yang
36
Ibid. Hal. 335-336.
56
diperjanjikan dan nasabah penyimpan berkedudukan sebagai pihak
kreditur, karena nasabah penyimpan adalah sebagai pihak yang
berhak atas pengembalian simpanannya dari bank sesuai dengan
yang diperjanjikan.
Hubungan antara bank dengan nasabah tidak hanya hubungan
antara orang perseorangan dalam lingkup perdata saja, tetapi juga
terdapat hubungan non kontraktual yang sering disebut asas-asas
khusus dari hubungan bank dengan nasabah, meliputi:
a. Hubungan kepercayaan yang dapat disimpulkan dari Pasal 1
angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 Undang-Undang
Perbankan.
b. Hubungan kerahasiaan yang diatur dalam Pasal 40, Pasal 41,
Pasal 41A,Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 47, Pasal 47A dan Pasal 51 Undang-Undang Perbankan.
c. Hubungan kehati-hatian yang disimpulkan dari Pasal 2, Pasal 8,
Pasal 11, Pasal 29 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Perbankan.
d. Hubungan menjamin dana simpanan yang diatur dalam Pasal
37B Undang-Undang Perbankan
2.2.2. Hubungan Nasabah dengan Bank Berdasarkan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen
Dilihat dari sisi berbeda dari dunia perbankan, hubungan
antara nasabah dan bank juga merupakan hubungan antara konsumen
dengan pelaku usaha. Nasabah sebagai pengguna jasa dari bank
57
selaku pelaku usaha yang menyediakan jasa. Adapun pengertian dari
perlindungan konsumen itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, selanjutnya disebut Undang-Undang PK, yaitu:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.”
Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan pengertian konsumen
sebagai berikut:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.”
Celina Tri Siwi Kristiyanti menjabarkan unsur “setiap orang”
dari pengertian konsumen dalam bukunya, yaitu:
“a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang
yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah
“orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya
orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau
termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Hal ini berbeda
dengan pengertian yang diberikan untuk pelaku usaha yang
secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di
atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan
atau badan usaha”. Tentu paling tepat tidak membatasi
pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan.
Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan
makna lebih luas daripada badan hukum.”37
37
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Sinar Grafika.
Hal. 27.
58
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-
Undang PK adalah sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur dan
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Adapun mengenai kewajiban konsumen yang dijelaskan
dalam Pasal 5 Undang-Undang PK, yakni:
59
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Pengertian pelaku usaha diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang PK, yaitu:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang.”
Hak dari pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang PK yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
60
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Adapun kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal
7 Undang-Undang PK, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
61
g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
hukum normatif atau yuridis normatif. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
menjelaskan sebagai berikut:
“Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka.”38
B. Spesifikasi Penelitian
Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan sebagai berikut:
“Terdapat tiga tipe penelitian hukum yang dapat dikategorikan sebagai
penelitian hukum yang normatif yang di dalam kepustakaan Anglo-
American disebut sebagai legal-research, yaitu:
(1) Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif;
(2) Penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan
dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif;
(3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang
sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum
tertentu.”39
Berdasarkan pendapat Ronny Hanitijo Soemitro tersebut, spesifikasi
penelitian ini adalah penelitian penemuan hukum in concreto, dari kasus yang
diteliti kemudian dicari mengenai ketentuan-ketentuan hukumnya
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, CV. Rajawali. Hal.15. 39
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia. Hal.
10.
63
berdasarkan norma-norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin
hukum.
C. Sumber Bahan Hukum
Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
8) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
9) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah
64
10) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah
11) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu
12) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder meliputi:
1) Literatur atau buku pustaka yang berkaitan dengan hukum dan topik
penelitian, di antaranya tentang hukum perbankan, hukum perlindungan
konsumen, hukum perikatan, perlindungan hukum.
2) Jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian, seperti hasil
penelitian di bidang perbankan, tesis tentang perlindungan nasabah bank.
3) Makalah yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu makalah berkaitan
dengan teknologi sistem komputer, fasilitas ATM.
4) Bahan hukum dari internet yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu
mengenai kasus-kasus berkaitan dengan ATM, dunia perbankan.
65
5) Dokumen dari bank yang berkaitan dengan kasus yang diteliti, yaitu slip
tanda bukti transaksi dan rekening koran serta form pembukaan rekening
dan pembuatan kartu ATM.
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam
penelitian ini bahan hukum tertier meliputi:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia
2) Kamus Perbankan
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini digunakan metode
kepustakaan dan metode dokumenter.
Metode kepustakaan yaitu suatu cara pengumpulan data dengan
melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka seperti literatur, perundang-
undangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dan
sebagainya. Dari metode ini diperoleh peraturan perundang-undangan tentang
perbankan, hasil penelitian juga jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
Metode dokumenter yaitu suatu cara pengumpulan data dengan
menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah
seperti putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato,
buku harian, foto, risalah rapat, laporan-laporan, mass media, internet,
pengumuman, instruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah,
dan sebagainya. Dengan metode ini diperoleh data dari internet berupa
66
pernyataan dalam blog, artikel-artikel terkait baik dengan kasus maupun
penjabaran materi tentang perbankan dan fasilitasnya.
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum
Metode pengolahan data dalam penelitian ini adalah metode reduksi
data, yaitu suatu kegiatan memilih, merangkum, dan memfokuskan hal-hal
yang pokok dan penting dari sekumpulan bahan hukum, sehingga menjadi
ringkas yang disusun secara sistematis dan mudah dipahami.
F. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif kualitatif.
Metode analisis normatif kualitatif adalah menganalisis data dengan cara
mendiskusikan atau mendialogkan data dengan norma-norma dan teori-teori
hukum serta doktrin-doktrin hukum, kemudian dari dialog tersebut diperoleh
suatu kesimpulan.
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Sejarah Bank Mandiri
Bank Mandiri didirikan pada 2 Oktober 1998, sebagai bagian dari
program restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia. Pada bulan Juli 1999, empat bank pemerintah, yaitu Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia dan Bank
Pembangunan Indonesia, digabung atau dilakukan merger menjadi Bank
Mandiri, dimana masing-masing bank tersebut memiliki peran yang tak
terpisahkan dalam pembangunan perekonomian Indonesia.
Bentuk badan hukum Bank Mandiri adalah Perseroan Terbatas
sehingga bernama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kantor pusatnya
berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 36-38 Jakarta. Sampai
dengan hari ini, Bank Mandiri meneruskan tradisi selama lebih dari 140 tahun
memberikan kontribusi dalam dunia perbankan dan perekonomian Indonesia.
Hingga Desember 2011, total aset Bank Mandiri telah mencapai Rp
551,9 Triliun, dimana jumlah ini berlipat ganda dari total aset di tahun 2006
(sebesar Rp 267 Triliun), atau tumbuh 15,6% (CAGR). Ini mengukuhkan
posisi Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia. Kredit Bank Mandiri
juga tumbuh menjadi Rp 314,4 Triliun, meningkat 22% (CAGR) dari kredit
tahun 2006 yang sebesar Rp 118 Triliun. Sedangkan net profit tumbuh
68
menjadi Rp 12,2 Triliun, meningkat 28,3% (CAGR) dari tahun 2006 yang
sebesar Rp 2,4 Triliun. Selain menjadi bank pemberi pinjaman terbesar di
Indonesia (secara konsolidasi), Bank Mandiri juga merupakan bank
penyimpanan terbesar di Indonesia dengan dana pihak ke tiga sebesar Rp
422,3 Triliun. Bank Mandiri juga telah berhasil mempertahankan kualitas aset
yang kuat, dibuktikan dengan nilai Gross dan Net NPL Ratio yang masing-
masing sebesar 2,21% dan 0,52%. Salah satu momen penting dalam proses
transformasi tahap ini adalah suksesnya rights issue pada Februari 2011
untuk memperkuat permodalan bank. Dengan ini, modal Bank Mandiri telah
mencapai Rp 62,7 Triliun, meningkat dari 48,9% tahun ke tahun dan menjadi
bank pertama di Indonesia yang meraih gelar Bank Internasional, sesuai
dengan Banking Architecture atau Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
2. Kegiatan Usaha Bank Mandiri
Bank Mandiri memberikan penawaran dalam pelayanan yang
diwujudkan dalam fitur-fitur yang ada. Berkaitan dengan kasus penelitian ini,
fitur yang berhubungan adalah sebagai berikut:
2.1. Mandiri ATM
Kartu Mandiri adalah kartu ATM dan Debit yang merupakan
akses dari rekening Tabungan Mandiri dan atau Giro Mandiri rupiah
perorangan menggunakan jaringan Visa/ Visa Electron dan PLUS dari
Visa international. Nasabah dapat melakukan berbagai transaksi di
tempat-tempat yang bertanda Visa/Visa electron atau PLUS tanpa perlu
69
membawa uang tunai. Nasabah juga dapat mengambil uang tunai melalui
ATM.
Mandiri ATM memberikan layanan transaksi sebagai berikut:
Tarik tunai, informasi saldo dan transfer.
Pembayaran / payment meliputi tagihan kartu kredit, listrik, gas,
internet, pendidikan, PAM, pajak, angsuran, pinjaman bank,
asuransi, tiket pesawat, tiket kereta api, zakat, dan sebagainya.
Pembayaran tagihan telepon atau telepon seluler.
Isi ulang pulsa handphone.
Penggantian PIN, registrasi dan cetak bukti transaksi.
Kartu mandiri prabayar meliputi informasi saldo, top up mandiri
prabayar, histori transaksi dan update saldo.
Nasabah cukup mengajukan permohonan kartu Mandiri dengan
membuka rekening Mandiri Tabungan Rupiah Perorangan di cabang-
cabang Bank Mandiri. Untuk Nasabah yang belum memiliki Kartu
Mandiri, nasabah dapat melakukan permohonan aplikasi Kartu Mandiri
ATM di cabang Bank Mandiri tempat Nasabah membuka rekening.
Dari aspek hukum, ketentuan yang mengatur tentang kartu ATM
antara lain sebagai berikut:
2.1.1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu yang telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012
70
Pasal 1 angka 5
Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan
penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di mana kewajiban
pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara
langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga
Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 22 ayat (1)
(1) Dalam pemberian Kartu ATM dan/atau Kartu Debit, Penerbit
Kartu ATM dan/atau Kartu Debit wajib menerapkan
manajemen risiko sesuai dengan ketentuan yang mengatur
mengenai manajemen risiko.
Pasal 23
Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debit wajib memberikan
informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, paling kurang
meliputi:
a. Prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu
Debit, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM dan/atau Kartu
Debit, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu
ATM dan/atau Kartu Debit;
b. Hak dan kewajiban Pemegang Kartu ATM dan/atau Kartu
Debit; dan
71
c. Tata cara pengajuan pengaduan permasalahan yang berkaitan
dengan penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debit
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan lamanya waktu
penanganan pengaduan tersebut.
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. Menggunakan sistem yang aman dan andal;
b. Memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi
APMK;
c. Memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard
operating procedure) penyelenggaraan kegiatan APMK;
dan
d. Menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib
melaksanakan audit teknologi informasi secara berkala dan
melaporkan hasil audit teknologi informasi tersebut kepada
Bank Indonesia.
72
2.1.2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus
menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman
serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem
Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri,
setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan
Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum
sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa
retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-
undangan;
73
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk
dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang
dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur
atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan
terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat
74
merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
2.2. Mandiri Tabungan
Pelayanan yang memberikan kenyamanan bagi nasabah menjadi
penawaran fitur oleh Bank Mandiri dalam salah satu produknya, yaitu
Mandiri Tabungan. Dengan Mandiri Tabungan, Bank Mandiri
memberikan penawaran keragaman, kemudahan dan kenyamanan
bertransaksi. Keragaman transaksi keuangan yang dapat dilakukan
dengan layanan e-banking kapan saja dan dimana saja. Pelayanan
tersebut dapat dinikmati dengan kemudahan pembuatan rekening dengan
syarat dan ketentuan sebagai berikut:
1. Kartu identitas yang meliputi:
WNI : KTP
WNA : Paspor dan KIMS/KITAS/KITAP
2. Setoran awal minimal Rp 500.000,-
3. Saldo minimal Rp 50.000,-
4. Dikenakan biaya administrasi bulanan
75
5. Dikenakan biaya saldo dibawah minimum 40
Dasar hukum tabungan diatur dalam Undang-Undang Perbankan
yaitu:
Pasal 1 angka 5
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito,
Sertifikat Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
Pasal 1 angka 9
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
3. Kasus Kesalahan Sistem Komputerisasi Kartu ATM pada Bank Mandiri
Pada tanggal 17 Januari 2012 dibuat rekening Mandiri Tabungan atas
nama PUTRY JULIANNIS dengan nomor rekening 139-00 ********,
selanjutnya disebut sebagai nasabah 1. Sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan pihak bank, pembukaan rekening dilakukan dengan setoran awal
Rp 500.000,- oleh nasabah 1. Nasabah 1 memperoleh buku tabungan setelah
melakukan prosedur untuk pembukaan rekening, yaitu penyerahan kartu
identitas dan pengisian formulir pembukaan rekening.
40
www.bankmandiri.co.id
76
Pihak bank menawarkan fasilitas kartu ATM untuk melengkapi
layanan dan nasabah 1 memilih kartu ATM silver secara instan. Kartu yang
telah tersedia untuk kartu ATM diberi input data sesuai dengan rekening
nasabah pemesan, yaitu nasabah 1, oleh pegawai bank. Setelah proses input
data, dibuat PIN (Personal Identification Number) sebanyak 4 (empat) digit
angka. Kartu ATM silver yang dibuat secara instan siap dipakai setelah
kurang lebih 1 (satu) jam sejak dibuat PIN untuk kartu tersebut.
Setelah pembuatan kartu ATM, kemudian kartu ATM digunakan
untuk melakukan transaksi. Transaksi pertama nasabah 1 bermaksud untuk
menarik dana dari saldo tabungannya, namun tidak bisa dipenuhi dikarenakan
jumlah saldo tidak mencukupi. Kemudian dilakukan cek saldo melalui ATM
dan ternyata ada perbedaan data, yaitu antara saldo yang tertera pada mesin
ATM dengan data saldo dalam buku tabungan. Ketika dilakukan konfirmasi
kepada pihak bank, pihak bank menyatakan adanya error system mesin ATM.
Kemudian dilakukan beberapa transaksi penarikan melalui ATM dan berhasil,
namun masih ada perbedaan data berkaitan dengan saldo tadi.
Dari data yang diperoleh penulis, perbedaan data saldo terjadi karena
adanya kesalahan data pada kartu ATM, sehingga selama melakukan
transaksi penarikan menggunakan kartu ATM terjadi debet rekening terhadap
saldo rekening milik nasabah lain. Hal ini diketahui setelah kartu ATM
tersebut tidak dapat digunakan untuk transaksi dan dilakukan pengaduan
kepada pihak bank. Pihak bank menyatakan bahwa kartu ATM telah diblokir
atau dibekukan oleh bank atas permintaan nasabah pemegang pada kantor
77
cabang lain. Kemudian dilakukan penelusuran data dan didapati adanya
kesalahan data pada kartu ATM.
Data dalam kartu ATM merupakan data atas nama PUTRI
RHEINANDA dengan nomor rekening 900-00 ********, selanjutnya disebut
sebagai nasabah 2. Selama menggunakan kartu ATM, transaksi penarikan
yang dilakukan menyebabkan debet terhadap rekening tersebut. Kesamaan
atau kemiripan data nama pemilik rekening dinyatakan oleh pihak bank
sebagai penyebab tertukarnya data pada kartu ATM.
Pihak bank meminta kesediaan nasabah 1 untuk mengganti dana yang
telah ditarik dari rekening nasabah 2 atas transaksi penarikan yang telah
dilakukan dengan cara memblokir atau membekukan saldo rekening nasabah
1. Pemblokiran dilakukan terhadap saldo sesuai dengan jumlah saldo
transaksi penarikan setelah pihak bank mengkonfirmasi transaksi yang sudah
dilakukan nasabah 1 berdasarkan cetakan rekening koran. Setelah
pemblokiran, kemudian dana tersebut ditransfer ke rekening nasabah 2.
Dari uraian kasus di atas dapat dilihat bahwa dalam kasus ini
melibatkan tiga pihak, yaitu pihak bank, pihak nasabah 1 dan pihak nasabah
2. Dengan demikian, dalam kasus ini ada dua perjanjian penyimpanan, yaitu
perjanjian penyimpanan antara pihak bank dengan nasabah 1 dan perjanjian
penyimpanan antara pihak bank dengan nasabah 2. Dalam kasus ini, nasabah
1 merasa dirugikan karena tidak dapat menggunakan kartu ATM sebagai
fasilitas atau layanan yang diberikan pihak bank untuk kemudahan dan
efisiensi transaksi sebagaimana telah diperjanjikan. Sedangkan nasabah 2
78
merasa dirugikan dengan adanya dana simpanan yang hilang akibat terdebet
oleh pihak lain karena tertukarnya data pada kartu ATM tersebut sebagai
akibat kesalahan bank dalam hal sistem komputerisasi kartu ATM.
4. Tanggung Jawab Pihak Bank Mandiri atas Kesalahan Sistem
Komputerisasi Kartu ATM
Bank Mandiri memberi pelayanan pengaduan nasabah, yang didasari
dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab
bank ketika terjadi masalah yang diadukan oleh pihak nasabah. Termasuk
dalam kasus pada penelitian ini, yaitu terjadi kesalahan sistem komputerisasi
pada kartu ATM yang menimbulkan kerugian bagi nasabah.
Dari pengaduan nasabah yang diterima, pihak Bank Mandiri akan
menindaklanjuti dengan memeriksa data-data yang berhubungan dengan
nasabah dan masalah yang dialami, dalam hal ini adalah kesalahan sistem
komputerisasi pada Kartu ATM. Kemudian pihak Bank Mandiri akan
menginvestigasi dan menelusuri masalah tersebut. Setelah ditemukan sumber
dari masalahnya, pihak Bank Mandiri akan menyelesaikannya berdasarkan
ketentuan dan peraturan yang berlaku. Jika masalah tersebut merupakan
kesalahan pihak nasabah, maka Bank Mandiri tidak akan bertanggung jawab.
Tetapi jika masalah tersebut terbukti merupakan kesalahan pihak bank, maka
pihak Bank Mandiri akan bertanggung jawab dan menyelesaikannya.
79
Tanggung jawab bank berkaitan dengan kesalahan sistem
komputerisasi diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
4.1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012
Pasal 38
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, Pasal, 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 15A, Pasal 16, Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 17, Pasal
17A, Pasal 17B, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 29A, Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 58B dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. Teguran;
b. Denda;
c. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK;
dan/atau
d. Pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK.
(2) ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
80
4.2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Tanggung jawab bank sebagai pelaku usaha dilandasi dengan adanya hak
dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang diatur sebagai berikut:
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau
jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
81
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
82
Pasal 19
a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
b. Ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
c. Tenggat waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam waktu
7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e. Ketentuan di atas tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pada kasus dalam penelitian ini, upaya Bank Mandiri dalam
mempertanggungjawabkan kesalahannya dalam sistem komputerisasi kartu
ATM dilakukan dengan menyelesaikan kasus tersebut secara administrasi dan
mengganti kerugian. Adapun rincian proses penyelesaian kasus pada
penelitian ini yang dilakukan oleh Bank Mandiri adalah sebagai berikut:
- Pada bulan Maret nasabah 1 mengadukan perihal kartu ATM yang tidak
bisa digunakan untuk transaksi karena dinyatakan telah diblokir.
83
- Pihak bank menyatakan adanya kesalahan data pada sistem
komputerisasi kartu ATM, yaitu data yang tertukar dengan data nasabah
lain, dalam hal ini nasabah 2, dengan faktor kemiripan nama dalam data
rekening.
- Pihak bank menarik kartu ATM nasabah 1 dan menggantinya dengan
kartu ATM yang baru.
- Pihak bank meminta kesediaan nasabah 1 untuk mengganti uang
sejumlah saldo yang terdebet dari rekening nasabah 2 atas transaksi yang
dilakukan nasabah 1 dengan memblokir saldo rekening yang
bersangkutan.
- Pihak bank meminta waktu untuk proses penyelesaian secara
administratif.
- Nasabah 1 menanyakan beberapa kali mengenai penyelesaian masalah
tersebut selama kurun waktu 6 bulan.
- Pihak bank menyelesaikan kasus tersebut pada tanggal 9 Oktober 2012
berdasarkan tanda bukti dari bank berupa slip advis debet atau debit
advice form tertanggal 9 Oktober 2012 yang menyatakan berdasarkan
kesalahan prosedur link ATM instan melakukan debet terhadap rekening
nasabah 1 dan kredit dengan jumlah yang sama terhadap rekening
nasabah 2.
84
B. PEMBAHASAN
1. Tanggung Jawab Pihak Bank atas Kesalahan Sistem Komputerisasi
Kartu ATM ditinjau dari Ketentuan Perlindungan Nasabah
Roscoe Pound berpendapat mengenai pengertian tanggung jawab
yang dikutip oleh Deasy Risma Rotua Siahaan dalam tesisnya yang berjudul
Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank
Pengguna ATM (Automated Teller Machines) Dalam Sistim Perbankan
Indonesia, sebagai berikut:
“Tanggung jawab adalah mengenai kewajiban untuk menebus
(mengganti) terhadap apa yang telah dilakukannya yang menimbulkan
kerugian. Dasar pertanggungjawaban adalah kewajiban membayar
ganti rugi atas tindakan yang menimbulkan kerugian, dan kewajiban
untuk melaksanakan janji yang telah dibuat. Pertanggungjawaban
harus didasarkan atas satu perbuatan, dan perbuatan itu haruslah
perbuatan alpa. Perbuatan kealpaan dan penyebab kerugian adalah
unsurnya.”41
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
merupakan kewajiban untuk mengganti atau menebus atas kerugian yang
ditimbulkan atas suatu tindakan yang telah dilakukan, baik kerugian tersebut
timbul dari tidak dipenuhinya perjanjian maupun karena pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengingat dalam penelitian ini akan dibahas mengenai tanggung
jawab pihak bank atas kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM ditinjau
dari ketentuan perlindungan nasabah, maka berikut ini akan dijelaskan
tentang konsep perlindungan hukum.
41
Deasy Risma Rotua Siahaan, 2008, Tesis: Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum
Bagi Nasabah Bank Pengguna ATM (Automated Teller Machines) Dalam Sistim Perbankan
Indonesia, Medan, Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
85
Philipus M. Hadjon berpendapat sebagai berikut:
“Perlindungan hukum dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan hukum
preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan
perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa.”42
Menurut Sudikno:
“Perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk
melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku disertai sanksi-sanksi bila ada yang wan
prestasi.”43
Menurut Fathor Rahman yang mengutip pendapat dari Soerjono
Soekanto:
“Maksud perlindungan hukum adalah untuk menjamin keberadaan
sesuatu hal tertentu, dimana selaras dengan fungsi hukum, yaitu
sebagai alat ketertiban dan keteraturan, sebagai sarana mewujudkan
keadilan sosial dan sebagai sarana penggerak pembangunan.”44
Menurut pendapat Salam Nasution yang mengutip dari pendapat
Muchsin:
“Perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu
dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.”45
42
Op Cit. M. Philipus Hadjon. 43
Op Cit. Sudikno Mertokusumo. 44
Op Cit. Fathor Rahman. 45
Op Cit. Agus Salam Nasution.
86
Hermansyah membagi perlindungan hukum bagi nasabah bank
menjadi dua, yaitu perlindungan langsung dan perlindungan tidak langsung.
Yang termasuk dalam perlindungan langsung yaitu hak preferen nasabah
bank dan lembaga penjamin simpanan. Perlindungan tidak langsung meliputi
prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan bank, batas maksimum pemberian
kredit, kewajiban bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba
rugi, serta adanya merger, konsolidasi dan akuisisi bank.46
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep Sulistyandari
mengenai perlindungan hukum yaitu:
“Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan
keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap
subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum
memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya
untuk mempertahankan haknya tersebut.”47
Mengenai hak dan kewajiban, Sulistyandari menguraikan berdasarkan
pendapat Nicolai:
“Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu.”48
Perlindungan hukum timbul karena adanya hubungan hukum.
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya menurut Sulistyandari ada 2, yaitu hubungan kontraktual dan
hubungan non-kontraktual. Secara singkat, hubungan kontraktual merupakan
46
Op Cit. Hermansyah. 47
Op Cit. Sulistyandari. Hal 283. 48
Ibid.
87
hubungan yang mendasarkan pada perjanjian antara bank dengan nasabah.
Sedangkan hubungan non-kontraktual adalah hubungan antara bank dan
nasabah yang timbul karena undang-undang atau kebiasan yang berlaku
dalam perbankan.
Hubungan kontraktual dalam hal ini adalah hubungan yang timbul
dari perjanjian penyimpanan dana antara bank dengan nasabah, kemudian
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya. Adapun hak dari
nasabah adalah mendapat pengembalian dana simpanan beserta bunga yang
telah disepakati dan kewajiban pihak bank adalah mengembalikan dana
simpanan nasabah tersebut.49
Pada kasus dalam penelitian ini, hubungan hukum yang ada adalah
perjanjian penyimpanan dana antara bank dengan nasabah 1 dan perjanjian
pernyimpanan dana antara bank dengan nasabah 2. Masing-masing
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana tersebut, dimana simpanan dana
disini adalah dalam bentuk tabungan, antara bank dengan nasabah 1 timbul
hak dan kewajiban. Hal tersebut berlaku pula antara bank dengan nasabah 2.
Hak dari masing-masing nasabah dalam perjanjian penyimpanan dana ini
adalah pengembalian dana simpanan beserta bunga yang telah disepakati.
Hak nasabah tersebut menjadi kewajiban bagi pihak bank untuk
mengembalikan dana simpanan beserta bunga yang telah disepakati.
Menurut data nomor 2.2 yaitu Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Perbankan pengertian Simpanan adalah sebagai berikut:
49
Ibid. Hal. 299.
88
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada
bank berdasarlan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro,
Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu.”
Adapun pengertian Tabungan diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang Perbankan, yaitu sebagai berikut:
“Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.”
Dari pengertian tersebut dapat dilihat karakteristik tabungan yaitu
penarikan dana yang dapat dilakukan setiap saat tanpa menggunakan sarana
perintah pembayaran seperti yang disebutkan. Penarikan dana simpanan
tabungan dapat ditarik melalui teller pada kantor bank, atau juga dapat
melalui ATM dengan menggunakan kartu ATM.
Terkait dengan kasus sebagaimana data nomor 3 dalam hasil
penelitian, kesalahan data pada kartu ATM telah menimbulkan kerugian, baik
bagi pihak nasabah 1 maupun bagi pihak nasabah 2. Dalam membahas kasus
ini, pertama-tama akan dianalisis dari hubungan kontraktual terlebih dahulu.
Hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah dituangkan dalam
perjanjian penyimpanan dana. Berdasarkan hak dan kewajiban yang timbul
dari perjanjian penyimpanan dana antara bank dengan nasabah, nasabah 1
berhak untuk mengambil uang simpanan dan bunga yang telah disepakati
89
sebelumnya, melalui ATM. Tetapi nasabah 1 tidak dapat mengambil
simpanannya melalui ATM sebagai akibat dari kesalahan sistem
komputerisasi oleh bank. Namun demikian, nasabah 1 masih dapat
menggunakan haknya tadi melalui teller. Sehingga dari perjanjian
penyimpanan tidak ada pelanggaran atau wanprestasi. Hanya saja disini
nasabah 1 merasa dirugikan tidak dapat menggunakan kartu ATM sebagai
fasilitas dari bank sebagaimana yang sudah diperjanjikan.
Ditinjau dari perjanjian penyimpanan mengenai hak dan kewajiban
masing-masing pihak, telah disebutkan di atas bahwa hak nasabah adalah
pengembalian dana simpanan yang disimpan di bank beserta bunganya, dan
kewajiban pihak bank adalah mengembalikan dana simpanan tersebut beserta
bunganya. Kesalahan sistem komputerisasi oleh bank menyebabkan dana
simpanan nasabah 2 hilang akibat terdebet oleh pihak lain, dalam hal ini oleh
nasabah 1. Kemudian nasabah 2 mengadukan hal tersebut kepada bank. Pihak
bank mengembalikan dana simpanan nasabah 2 tadi, dengan cara memblokir
saldo rekening nasabah 1 dan memindahkan dana tersebut ke rekening
nasabah 2, sehingga dana simpanan nasabah 2 telah dikembalikan oleh pihak
bank. Dari uraian tersebut, bank telah memenuhi kewajiban berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana terhadap nasabah 2, maka bank tidak melanggar
atau melakukan wan prestasi.
Dari data nomor 3 yaitu kasus kesalahan sistem komputerisasi oleh
bank dikaitkan dengan pendapat Sulistyandari tentang perlindungan hukum
berdasarkan hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah serta hak dan
90
kewajiban yang timbul dari perjanjian penyimpanan, maka dapat
dideskripsikan bahwa bank tidak melanggar kewajibannya, karena bank telah
memenuhi prestasi, yaitu mengembalikan dana simpanan serta bunga yang
telah disepakati kepada nasabah.
Kesalahan data sistem komputerisasi kartu ATM yang menimbulkan
kerugian bagi nasabah sebagaimana data nomor 3, hal ini bukan merupakan
pelanggaran terhadap hak nasabah berdasarkan perjanjian penyimpanan yang
merupakan hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah, melainkan
berkaitan dengan hubungan non-kontraktual antara bank dengan nasabah.
Hubungan non-kontraktual antara bank dengan nasabah timbul dari peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan yang berlaku di bidang perbankan.
Adapun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian
di sini antara lain Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang BI beserta
peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang PK.
Dalam Undang-Undang Perbankan dikenal asas perbankan yaitu asas
demokrasi ekonomi dengan penerapan prinsip kehati-hatian. Asas perbankan
ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan. Prinsip kehati-hatian
erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat dan tingkat kesehatan
bank. Hal ini berkaitan dengan dana yang dipercayakan masyarakat kepada
pihak bank yang juga menjadi indikasi tingkat kesehatan bank. Ronny
Sautma Hotma menyatakan pendapat yang dikutip oleh Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman mengenai prinsip kehati-hatian sebagai berikut:
91
“Adanya prinsip kehati-hatian bertujuan agar bank yang menggunakan
dana nasabah akan mampu membayar kembali dana tersebut yang
disimpan kepadanya apabila ditagih oleh para nasabah penyimpan
dana.”50
Dengan prinsip kehati-hatian, bank diwajibkan untuk bertindak secara
hati-hati, cermat, teliti, dan bijaksana atau tidak ceroboh dengan
meminimalisir kemungkinan risiko yang akan terjadi dalam rangka
menjalankan kegiatan usahanya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Berlandaskan prinsip kehati-
hatian ini, bank juga harus memperhatikan dan melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan dalam
melaksanakan kegiatan usahanya sehingga setiap tindakannya harus
berdasarkan peraturan dan memperoleh kepastian hukum, yang kesemuanya
merupakan tindakan dalam rangka memberikan perlindungan bagi
kepentingan nasabah dan dana simpanannya.
Selain adanya prinsip kehati-hatian, pengawasan terhadap bank juga
diperlukan untuk menjaga kestabilan dan kesehatan bank. Sebagaimana
tujuan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, yaitu mencapai dan menjaga
kestabilan nilai rupiah. Tujuan BI ini diwujudkan melalui tugas-tugasnya
yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.
Dari tugas-tugas tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan pelaksana
50
Op Cit. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman. Hal. 27.
92
yang memuat ketentuan-ketentuan berkaitan dengan perbankan. Mengingat
pada prinsip kehati-hatian, peraturan pelaksana tersebut wajib dilaksanakan
oleh bank dalam melakukan kegiatan usahanya, karena berpengaruh pada
kepercayaan masyarakat dan tingkat kesehatan bank itu sendiri.
Tugas BI yang kedua adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Berdasarkan tugas tersebut BI mengeluarkan peraturan untuk
mengatur sistem pembayaran. Hal ini berhubungan dengan kartu ATM
merupakan salah satu jenis Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
(APMK) sebagaimana yang diatur dalam data nomor 2.1.1 pada hasil
penelitian ini, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012. Dalam
Pasal 1 angka 3 disebut pengertian APMK, yaitu sebagai berikut:
“Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya
disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit,
kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debit.”
Berdasarkan konsiderans dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
APMK bahwa aspek kehati-hatian dan aspek perlindungan konsumen perlu
lebih diperhatikan, maka dalam peraturan ini terdapat ketentuan pada Pasal 23
sebagaimana data nomor 2.1.1, mengenai kewajiban pihak bank sebagai
penerbit Kartu ATM dan/atau Katu Debit dalam memberikan informasi
kepada nasabah pemegang kartu. Di samping itu, dalam Pasal 27 Peraturan
Bank Indonesia tentang APMK, sebagaimana data nomor 2.1.1, yang
93
merupakan ketentuan Pengawasan oleh BI, diatur mengenai kewajiban pihak
bank yang berperan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Selain ketentuan di atas, data nomor 2.1.1 dalam hasil penelitian ini
juga memuat ketentuan Pasal 29 mengenai Peningkatan Keamanan
Teknologi, yang mewajibkan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir berkaitan dengan
peningkatan keamanan teknologi, yaitu:
a. menggunakan sistem yang aman dan andal;
b. memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi APMK;
c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure)
penyelenggaraan kegiatan APMK; dan
d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
Adapun yang dimaksud dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang
diatur dalam Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK adalah sebagai
berikut:
“Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung
jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya,
baik yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam
transaksi APMK yang kerja sama antar anggotanya didasarkan atas
suatu perjanjian tertulis.”
“Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan
APMK.”
“Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang:
94
a. melakukan kerja sama dengan pedagang sehingga pedagang
mampu memproses transaksi dari APMK yang diterbitkan oleh
pihak selain Acquirer yang bersangkutan; dan
b. bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran kepada
pedagang.”
“Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing
Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK.”
“Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain
Bank yang melakukan dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian
akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit
dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK berdasarkan hasil
perhitungan dari Penyelenggara Kliring.”
Dalam penjelasan Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK,
yang dimaksud dengan “aman” adalah sistem elektronik yang digunakan
terlindungi secara fisik dan nonfisik. Sedangkan yang dimaksud dengan
“andal” adalah sistem elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan
kebutuhan penggunanya.
Berkaitan dengan teknologi informasi, dalam penjelasan umum
Peraturan Bank Indonesia tentang APMK disebutkan bahwa dari sisi aspek
perlindungan kepada para pemegang APMK, beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh Penerbit, dalam hal ini bank, untuk menyesuaikan dengan
perkembangan peraturan perundang-undangan yang baru di bidang informasi
dan transaksi elektronik dalam data nomor 2.1.2 dalam hasil penelitian ini,
yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE).
95
Berdasarkan uraian ketentuan dalam data nomor 2.1.1 yaitu Pasal 29
Peraturan Bank Indonesia tentang APMK dan data nomor 2.1.2 yaitu Pasal 15
Undang-Undang ITE, dapat disimpulkan bahwa bank wajib menggunakan
sistem teknologi dan elektronik yang aman dan andal dalam rangka
melindungi nasabah pada umumnya, khususnya nasabah pemegang kartu
ATM. Untuk memenuhi kriteria sistem teknologi dan elektronik yang aman
dan andal, maka bank harus memenuhi syarat-syarat minimum dalam
mengoperasikan sistem teknologi dan elektronik tersebut sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang ITE.
Dalam buku karangan Munir Fuady yang berjudul Hukum Perbankan
Modern Buku Kedua (Tingkat Advance), disebutkan mengenai teori hukum
yang menentukan siapa yang bertanggung jawab secara hukum terhadap
kekeliruan/penipuan dalam hal transfer dana lewat bank, yaitu sebagai
berikut:
1. Dalam melaksanakan transaksi transfer uang, termasuk dalam
memilih alat kirim yang cocok, selaku lembaga bisnis, bank
memiliki kewajiban untuk berhati-hati (reasonable care). Jika
bank secara hukum dianggap lengah, maka bank tersebut harus
bertanggung jawab.
2. Dimungkinkan diberikan pembebasan tanggung jawab
(disclaimer) kepada bank jika terjadi penipuan/kekeliruan dan hal
mana harus ditentukan dengan tegas dalam kontrak yang
tertulis.51
Teori tersebut dapat dianalogikan terhadap kasus pada penelitian ini
yaitu kesalahan bank dalam sistem komputerisasi. Bank telah dinyatakan lalai
51
Munir Fuady, 2001, Hukum Perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat Advance), Bandung,
PT Citra Aditya Bakti. Hal. 126.
96
atau lengah sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah, maka bank harus
bertanggung jawab.
Dari data nomor 2.1.1 yaitu Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia
tentang APMK dan data nomor 2.1.2 yaitu Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-
Undang ITE, serta analogi dari teori yang dikemukakan oleh Munir Fuady,
maka dapat dideskripsikan bahwa dikarenakan bank wajib menerapkan sistem
teknologi dan elektronik yang aman dan andal dalam menyelenggarakan
kegiatan APMK, dengan demikian kesalahan data sistem komputerisasi pada
kartu ATM merupakan kesalahan akibat kelalaian pihak bank dalam hal
sistem komputerisasi. Kesalahan tersebut telah melanggar ketentuan yang
disebutkan di atas sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah.
Berdasarkan uraian berkaitan dengan kerugian di atas, dapat
disimpulkan menurut teori tanggung jawab Roscoe Pound yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa tanggung jawab merupakan kewajiban untuk
mengganti atau menebus atas tindakan yang telah dilakukan dan
menimbulkan kerugian, baik kerugian tersebut timbul karena tidak
dipenuhinya perjanjian atau karena melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bank lalai dan telah melanggar ketentuan peraturan-
perundang-undangan, maka bank harus bertanggung jawab atas kerugian
yang dialami oleh nasabah akibat kelalaian tersebut. Adapun kerugian yang
dialami nasabah 1 dan nasabah 2 berbeda sebagaimana data nomor 3 pada
hasil penelitian ini, maka tanggung jawab dalam mengganti kerugian tersebut
juga berbeda. Terhadap nasabah 1 yang mengalami kerugian tidak dapat
97
menggunakan kartu ATM yang dipegang sebagaimana mestinya, maka bank
harus menyelesaikan secara administratif dan mengganti kartu ATM tersebut
dengan kartu ATM yang baru. Terhadap nasabah 2 yang mengalami kerugian
hilangnya dana simpanan dalam rekening tabungannya, maka bank wajib
menyelesaikan masalah tersebut, baik secara administratif maupun mengganti
kerugian yang dialami oleh nasabah 2.
Selain tanggung jawab terhadap nasabah, bank juga harus
bertanggung jawab kepada BI sebagai bank pengawas. Dari data nomor 4.1
yaitu Pasal 38 Peraturan Bank Indonesia tentang APMK, dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap ketentuan data nomor 2.1.1 yaitu Pasal 29 Peraturan
bank Indonesia tentang APMK, dapat disimpulkan bank akan diberi sanksi
oleh BI yaitu sanksi administratif berupa teguran, denda, penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK, dan/atau pencabutan ijin
penyelenggaraan kegiatan APMK.
Ditinjau dari Undang-Undang PK sebagaimana data nomor 4.2 yaitu
Pasal 4 Undang-Undang PK mengenai hak konsumen dan Pasal 7 Undang-
Undang PK mengenai kewajiban pelaku usaha, dikaitkan dengan data nomor
3 pada penelitian ini, yaitu kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM oleh
bank, maka dapat dideskripsikan bahwa bank telah melanggar hak nasabah
sebagai konsumen sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 huruf a, yaitu
hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi jasa
kartu ATM, khususnya terhadap hak nasabah 1. Selain itu bank sebagai
pelaku usaha juga melanggar ketentuan Pasal 7 huruf d Undang-Undang PK
98
yaitu kewajiban untuk menjamin mutu jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku, hal ini dikaitkan kesalahan dengan sistem komputerisasi oleh
bank menunjukkan bahwa bank tidak bisa menjamin mutu dari jasa yang
diberikannya, yaitu kartu ATM.
Dari uraian di atas dikaitkan dengan data nomor 4.2 yaitu ketentuan
Pasal 19 Undang-Undang PK mengenai tanggung jawab pelaku usaha,
menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian
kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen karena barang atau jasa yang dihasilkan. Adapun ketentuan ganti
rugi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
b. Tenggat waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
c. Pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
d. Ketentuan di atas tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Dalam hal konsumen tidak memperoleh kompensasi ganti rugi dari
pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 19 tadi, konsumen
99
dapat melakukan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-
Undang PK. Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan
mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau
kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan jalur litigasi
dan non-litigasi. Jalur non-litigasi dilakukan dengan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan kesepakatan para pihak.
Ketika telah disepakati menggunakan upaya non-litigasi untuk menyelesaikan
sengketa, upaya litigasi atau melalui pengadilan dapat dilakukan setelah
upaya non-litigasi dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau semua pihak.
Hasil keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib
dilaksanakan oleh para pihak. Namun ketika ada pihak yang merasa keberatan
atas penyelesaian tersebut dapat mengajukan keberatan sebagai upaya
banding ke pengadilan negeri di tempat konsumen berada. Berkaitan dengan
gugatan, pihak yang mengajukan gugatan juga dapat melakukan melalui
gugatan biasa, legal standing atau juga class action. Keberatan atas putusan
pengadilan umum tersebut juga dapat dilakukan upaya hukum kasasi yang
diajukan kepada Mahkamah Agung.
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori tanggung jawab, yang menyatakan bahwa tanggung jawab
merupakan kewajiban mengganti kerugian akibat tindakan yang telah
dilakukan, dalam penelitian ini yaitu melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pelanggaran yang dilakukan bank terhadap beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan akibat kelalaian, menjadikan bank
harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat
kesalahannya.
2. Bentuk pertanggungjawaban bank sendiri diwujudkan dengan penyelesaian
kasus secara adminstratif dan juga mengganti kerugian yang dialami nasabah.
Terhadap nasabah 1 bank wajib mengganti kartu ATM dengan yang baru
sehingga dapat digunakan oleh yang bersangkutan. Terhadap nasabah 2 bank
wajib mengganti kerugian sesuai dengan kerugian yang dialami nasabah 2.
3. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar pihak bank atas
kesalahan sistem komputerisasi kartu ATM pada Bank Mandiri yaitu sebagai
berikut:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
101
Kartu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/2/PBI/2012, yang menyatakan bahwa bank wajib menerapkan
manajemen risiko dalam menyelenggarakan kegiatan APMK untuk
melindungi kepentingan nasabah, juga wajib untuk menjamin keamanan
dan keandalan sistem teknologi yang digunakan. Kesalahan sistem
komputerisasi pada kartu ATM yang merupakan kesalahan pihak bank
akibat kelalaian telah melanggar ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas.
b. Undang-Undang ITE yang mewajibkan untuk penggunaan sistem
elektronik yang andal dan aman dalam rangka Penyelenggaraan Sistem
Elektronik. Berdasarkan penjelasan dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang APMK, bank harus menyesuaikan ketentuan dari perkembangan
peraturan perundang-undangan di bidang teknologi dan informasi yang
baru, yaitu Undang-Undang ITE, sehingga bank wajib melaksanakan
ketentuan Undang-Undang tersebut.
c. Ditinjau dari Undang-Undang PK, bank telah melanggar ketentuan Pasal
4 huruf a dan Pasal 7 huruf d, yaitu hak nasabah atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan mengkonsumsi jasa kartu ATM dari bank,
dan kewajiban bank untuk menjamin mutu jasa kartu ATM berdasarkan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Kesalahan sistem
komputerisasi kartu ATM sebagai produk atau jasa bank tersebut telah
menyebabkan kerugian bagi nasabah.
102
B. SARAN
Dari pembahasan kasus dalam penelitian yang ada, maka penulis
memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi nasabah, sebaiknya lebih memperhatikan berkaitan reputasi bank yang
dapat menjamin simpanan dengan fasilitas keamanan dan keandalan
teknologi yang memadai sehingga meminimalisir terjadinya kasus seperti
dalam penelitian ini.
2. Bagi bank, sudah seharusnya selalu memantau sistem teknologi
komputerisasi yang digunakan untuk menjamin keamanan bagi nasabah demi
reputasi bank yang bersangkutan sehingga dapat menjaga kepercayaan
nasabah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
3. Dalam hal ada pengaduan nasabah berkaitan dengan kartu ATM, seharusnya
bank menyelidiki terlebih dahulu sebelum menyatakan langsung bahwa hal
tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah karena hal itu dapat
mengikis kepercayaan nasabah terhadap bank itu sendiri.
4. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, Bank Indonesia sebaiknya untuk
lebih mensosialisasikan tentang mediasi perbankan kepada masyarakat agar
masyarakat mengetahui dan dapat mengajukan upaya penyelesaian jika
merasa dirugikan oleh bank.
5. Dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tanggung jawab atas
kartu ATM dalam pengaturan regulasi intern bank.
6. Bagi pemerintah sebagai penegak hukum dan pembuat undang-undang,
sebaiknya membuat regulasi khusus yang mengatur mengenai perlindungan
103
nasabah bank dan mengenai kartu ATM, sehingga hak nasabah lebih terjamin
secara hukum dan tingkat pelanggaran terhadap hak nasabah dapat ditekan.