bab i, ii, iii, iv, v
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara / aset negara yang
ditandai dengan keluarkannya PP No. 6 /2006 yang merupakan peraturan turunan UU No.
1 /2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best
practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan
transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang professional dan modern dengan
mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan
kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat / stake-holder.
Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1)
dan Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju
berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi,
efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup
pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian;
penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang
didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan
dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara).
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pada bidang pengelolaan barang milik daerah
dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Daerah yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah
Aset atau barang milik daerah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
pengelolaan keuangan daerah dan merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah.
Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh
pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah
sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat.
Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri No.17/2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Lingkup pengelolaan aset dimaksud meliputi
(1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran, (2) pengadaan, (3) penggunaan, (4)
pemanfaatan, (5) pengamanan dan pemeliharaan, (6) penilaian, (7) penghapusan, (8)
pemindahtanganan, (9) penatausahaan, dan (10) pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian.
Sebagaimana diketahui bahwa Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) oleh Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa masih
terdapat banyak Pemerintah daerah yang masih memiliki manajemen aset yang buruk.
LKPD merupakan rapor pemerintah daerah dalam mempertanggungjawabkan amanat
yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan anggaran/dana
publik, juga kepada stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia usaha, dll).
Hasil kajian yang dilakukan oleh Ridwan Harun, mahasiswa pascasarjana pada
Universitas Negeri Yogyakarta dan M. Chaeruddin Sikki, mahasiswa pascasarjana pada
Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kelemahan umum pengelolaan barang milik
daerah adalah tidak berjalannya secara optimal para penanggungjawab atau fungsi-fungsi
organisasi dalam pengelolaan dan penatausahaan barang pada lembaga beserta jajarannya,
ketidaklengkapan dan pelaporan pada setiap bagian-bagian organisasi.
Selain itu, pemanfaatan barang-barang daerah belum dilakukan secara optimal
karena kurangnya ketrampilan kerja pegawai terutama yang berkaitan dengan
pengggunaan teknologi baru dengan komputerisasi. Perilaku aparatur pengelola barang-
barang daerah masih belum memiliki norma dan etika sebagai pengelola barang daerah
sebagai akibat dari pengusaha swasta sebagai mitra kerja yang selalu menghendaki jalan
pintas dalam memperoleh tender pengadaan barang dan penunjukan langsung pengadaan
barang. Budaya kerja pengelola barang-barang daerah belum mampu meningkatkan
efektivitas pengelolaan barang-barang daerah karena penunjukan tender masih bersifat
nepotisme sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan barang-
barang daerah. Hendaknya dalam perencanaan barang daerah melalui tender maupun
penunjukkan langsung dengan pihak ketiga dilakukan secara transparan sehingga bisa
mengurangi penyimpangan dalam pengadaan barang.
Berangkat dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih komprehensif
tentang Pengaruh Penerapan Manajemen Pengelolaan Barang Milik Daerah terhadap
Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. Kajian
ini berguna untuk mengetahui penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17
Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah terhadap
peningkatan kinerja Pemerintah Daerah yang diukur dari hasil pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan BPK yang selama ini
menyoroti tentang buruknya manajemen aset pada pemerintah daerah yang mana pada
akhirnya mempengaruhi pemberian opini pada atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daearah itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua telah melakukan manajemen aset?
2. Apakah manajemen aset telah didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah?
3. Apakah penerapan manajemen aset berpengaruh terhadap kinerja Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Papua?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penulisan adalah :
1. Untuk mengetahui dasar-dasar penerapan manajemen asset.
2. Untuk mengetahui perlakuan manajemen asset pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Papua.
3. Untuk mengetahui pengaruh manajemen asset terhadap kinerja Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Papua.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat Penulisan adalah :
1. Untuk mengembangkan pengetahuan penulis dalam bidang Akuntansi Sektor Publik
terutama di bidang Barang Milik Daerah.
2. Sebagai sumbangan pikiran bagi pihak Pemerintah Daerah dalam rangka sinkronisasi
dan evaluasi.
3. Referensi bagi pihak-pihak lain yang akan melakukan penulisan serupa.
BAB II
LANDASAN TEORI
Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini maka akan dikemukakan beberapa
kerangka pemikiran sebagai landasan untuk menelaah masalah dalam rangka mencari solusi
pemecahannya. Hal ini penting karena landasan teori merupakan unsure ilmu yang dapat
memberikan kontribusi bagi peneliti untuk mencoba menerangkan fenomena yang menjadi
pusat perhatiaanya.
A. PENGERTIAN SISTEM
Menurut Mulyadi ( 2001 : 2 ) pengertian system itu sendiri yaitu sekelompok
unsure yang erat hubunganya satu dengan yang lainnya yang berfungsi bersama-sama
untuk mencapai tujuan tertentu.
Sistem adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan
yang disusun sesuai dgn suatu skema yang menyeluruh untuk melaksanakan sesuatu
kegiatan atau fungsi perusahaan. ( Cole dalam Baridwan,1993;3).
Sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsure yang erat berhubungan satu
dengan yang lainnya yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu.
(Mulyadi 2001:1).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa system adalah bagian-bagian atau
prosedur-prosedur yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya yang
berfungsi bersama-sama dalam mencapai tujuan tertentu.
B. Pengertian Sistem Akuntansi
Akuntansi didefinisikan sebagai proses penggolongan,peringkasan,pelaporan,dan
penganalisian data keuangan suatu organisasi ( Haryono Jusuf ,2003:5).
Akuntansi didefinisikan sebagai seni pencatatan / pembukuan , pengklasifikasian ,
peringkasan dan pelaporan dalam suatu pola dan ukuran uang , transaksi-transaksi dan
kejadian paling tidak bercirikan keuangan dan menginterpretasikan. Adapula definisi-
definisi lain mengenai Akuntansi menurut American Institute of Comfied Public
Accountants (ICPA) mendefinisikan :
“ Akuntansi sebagai suatu kegiatan jasa yang fungsinya adalah untuk menyediakan data
kuantitatif terutama yang memiliki sifat keuangan dari keputusan usaha ekonomi yang
dapat digunakan dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi yang memiliki
alternative dari suatu keadaan tertentu.”
Sedangkan system akuntansi adalah rangkaian metode dan prosedur (kertas ,
buku / catatan laporan) yang digunakan untuk membukukan / mencatat ,
mengklasifikasikan dan meringkas informasi keuangan menjadi laporan untuk
didistribusikan kepada para pemakai .
Namun ada pula definisi lain tentang system akuntansi yang telah diberikan oleh
para ahli akuntansi , misalnya Hadari Yunus . Sistem akuntansi merupakan suatu alat
yang dipakai untuk mengorganisir atau menyusun , mengumpulkan , dan mengikhtisarkan
keterangan-keterangan , seluruh transaksi perusahaan dengan menyatupadukan
pengekuarannya agar dijalankan sebaik-baiknya (Hadari Yunus) .
Mulyadi sendiri menyatakan bahwa system akuntansi adalah organisasi , formulir,
catatan dan laporan yang dikoordinasi sedemikian rupa untuk menyediakan informasi
keuangan yang dibutuhkan oleh manajemen guna memudahkan pengelolaan perusahaan:
unsur pokok sistem akuntansi adalah formulir , catatan teori dari buku besar serta laporan.
C. Pengertian Kinerja Dan Penilaian Kinerja
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode
waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional
perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996).
Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan.
Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi
kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output,
jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja dan sikap koperatif (Robert dan John,
2002).
Menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223) : kinerja seseorang merupakan
kombinasi atau kemampuan , usaha , dan kjesempatan yang dapat dinilai atau hasil-
hasilnya .
Kinerja adalah suatu keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode tertentu,
merupakan hasil atas prestasi ysng dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan
dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert , 1996).
Penilaian kinerja adalah proses evaluasi seberapa baik karyawan mengerjakan
pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standard dan kemudian
mengkomunikasikan dengan para karyawan. Penilaian ini cukup sederhana yaitu
memberikan umpan balik kinerja dan mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan.
Adapun metode-metode untuk penilaian kinerja yaitu :
a. Metode Penilaian Kategori
Metode ini adalah metode yang paling sederhana dalam penilaian kinerja, yang
meminta manajer untuk memberi nilai untuk tingkat-tingkat kinerja karyawan dalam
kategori kinerja.
b. Metode Perbandingan
Metode perbandingan menuntut para manajer untuk secara langsung membandingkan
kinerja karyawan mereka satu sama lain. Teknik perbandingan ini mencakup antara
lain, pemberian peringkat perbandingan berpasangan, atau distribusi yang normal.
c. Metode Naratif
Para manajer dan spesialis Sumber Daya Manusia untuk memberikan informasi
penilaian tertulis. Dokumentasi dan penilaian merupakan inti dari metode kejadian
kritis dan metode tinjauan lapangan. Catatan ini lebih mendeskripsikan tindakan
karyawan daripada mengindikasikan suatu penilaian yang sebenarnya.
d. Metode Tujuan / Perilaku
Dalam usaha untuk mengatasi beberapa kesulitan dari metode-metode yang baru saja
dijelaskan, beberapa pendekatan perilaku juga sudah digunakan. Pendekatan perilaku
ini cukup menjanjikan untuk beberapa situasi dalam usaha mengatasi persoalan
dengan metode lainnya. Pendekatan ini berusaha untuk mengukur perilaku karyawan
dan bukan karakteristik lainnya.
D. Pentingnya Sistem Akuntansi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan
Sistem akuntansi memberikan banyak manfaat dalam memahami dan sebagai
penunjang utama manajemen dalam melaksanakan bisnis perusahaan . Dengan adanya
system akuntansi, perusahaan tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam pembuatan
laporan keuangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan adalah aktivitas /
usaha perusahaan, pencatatan / jurnal, buku besar, buku pembantu dan laporan .
E. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah
a. Latar Belakang
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 ahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Khususnya dibidang pengelolaan
barang milik daerah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, perlu
disempurnakan.Barang milik daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat harus dikelola dengan
baik dan benar, yang pada gilirannya dapat mewujudkan pengelolaan barang milik
daerah dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut:
a. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa
pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai
fungsi, wewenangdan tanggungjawab masing-masing;
b. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus
dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;
c. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus
transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar;
d. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang
milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang
diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pemerintahan secara optimal;
e. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat;
f. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh
adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan
neraca Pemerintah Daerah.
b. Landasan Pengelolaan Barang Milik Daerah
a. Pengertian barang milik daerah.
Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang
berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang
dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-
tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.
b. Landasan pengelolaan barang milik daerah.
Barang milik daerah sebagaimana tersebut di atas, terdiri dari:
1) barang yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang penggunaannya/
pemakaiannya berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD)/Instansi/lembaga Pemerintah Daerah lainnya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2) barang yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah
lainnya yang status barangnya dipisahkan.
Barang milik daerah yang dipisahkan adalah barang daerah yang pengelolaannya
berada pada Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya yang
anggarannya dibebankan pada anggaran Perusahaan Daerah atau Badan Usaha
Milik Daerah lainnya.
Dasar hukum pengelolaan barang milik daerah, antara lain adalah:
1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria;
2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
4) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1971 tentang Penjualan Kendaraan
Perorangan Dinas;
7) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 2005 tentang Penjualan Rumah Negara;
8) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah;
9) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan;
10) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah;
11) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
12) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi
Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah;
13) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005;
14) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 tentang Sistem
Informasi Manajemen Barang Daerah;
15) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2002 tentang Nomor Kode
Lokasi dan Nomor Kode Barang Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota;
16) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penilaian Barang Daerah;
17) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 153 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Daerah Yang Dipisahkan; dan
18) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pegelolaan Keuangan Daerah.
c. Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah
Siklus pengelolaan barang milik daerah merupakan rangkaian kegiatan dan/atau
tindakan yang meliputi:
1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
2) pengadaan;
3) penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;
4) penggunaan;
5) penatausahaan;
6) pemanfaatan;
7) pengamanan dan pemeliharaan;
8) penilaian;
9) penghapusan;
10) pemindahtanganan;
11) pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
12) pembiayaan;
13) tuntutan ganti rugi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Menurut
Maman (2002; 3) penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial.
Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah
berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang mutakhir
sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat
diterapkan pada berbagai masalah (Husein Umar, 1999:81). Sedangkan penelitian ini
lebih memfokuskan pada studi kasus yang merupakan penelitian yang rinci mengenai
suatu obyek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup mendalam dan
menyeluruh. Menurut Vredenbregt (1987: 38) Studi kasus ialah suatu pendekatan yang
bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek, artinya data yang
dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi, di mana tujuannya adalah untuk memperkembangkan pengetahuan yang
mendalam mengenai obyek yang bersangkutan yang berarti bahwa studi kasus harus
disifatkan sebagai penelitian yang eksploratif dan deskriptif.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Data primer dapat dikumpulkan melalui observasi, eksperimen, maupun
kuesioner (daftar pertanyaan). Namun dalam penelitian ini, data primer
dikumpulkan melalui kuesioner. Kuesioner merupakan suatu daftar yang berisi
serangkaian pertanyaan tentang sesuatu hal atau suatu bidang berdasarkan
variabel penelitian. Dengan demikian dalam penelitian ini, kuesioner
dimaksudkan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban responden yang
berguna untuk mengetahui apakah manajemen barang milik daerah telah dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Data Sekunder
Data sekunder dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni data
sekunder internal dan data sekunder eksternal. Data sekunder internal dapat
dikumpulkan melalui dokumen atau catatan perusahaan sendiri, sedangkan data
sekunder eksternal dapat dikumpulkan melalui publikasi pemerintah (misalnya
laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan), buku, majalah, jurnal,
buletin, CD-ROM, Internet, data komersial (data yang dijual oleh agen atau
lembaga penelitian swasta), dll.
Dalam penelitian ini, digunakan data sekunder internal catatan-catatan atau
dokumen yang digunakan oleh instansi terkait terutama yang berhubungan dengan
pengelolaan barang milik daerah. Selain data sekunder internal, digunakan juga data
sekunder eksternal yaitu laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan
C. Teknik Perolehan Data
Data yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan suatu daftar yang berisi serangkaian
pertanyaan tentang sesuatu hal atau suatu bidang berdasarkan variabel penelitian.
Dengan demikian dalam penelitian ini, kuesioner dimaksudkan untuk memperoleh
data berupa jawaban-jawaban responden yang berguna untuk mengetahui apakah
manajemen barang milik daerah telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
D. Definisi Operasional Variabel
Variabel yang diteliti dibedakan kedalam dua kategori, yaitu (1) variabel bebas
atau independent variable (variabel berpengaruh) adalah Penerapan Manajemen Barang
Milik Negara (X) dan (2) variabel tak bebas, yaitu Kinerja Pemerintah Daerah (Y).
Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut :
1. Penerapan Manajemen Barang Milik Negara (X) dikonsepsikan sebagai upaya-upaya
pemerintah daerah untuk meningkatkan manajemen barang milik negara sesuai
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Variabel ini diukur dengan menentukan tingkat kesesuaian manajemen barang milik
negara yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan peraturang yang telah
ditetapkan.
2. Kinerja Pemerintah Daerah sebagai variabel tak bebas (Y) dimaksudkan adalah
pengukuran terhadap tingkat keberhasilan pemerintah dalam satu tahun. Variabel ini
diukur dari pemberian opini atas laporan keuangan pemerintah daerah dan besarnya
temuan atas manajemen barang milik daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan
E. Teknik/Tahapan Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data dan kegiatan penelitian,
selanjutnya dilakukan kegiatan menganalisis data. Kegiatan menganalisis data ini terdiri
dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk
kegiatan penelitian. Persiapan yang dilakukan antara lain peralatan dan perlengkapan
yang diperlukan, objek yang akan dikaji, serta jadwal dan jangka waktu untuk melakukan
penelitian.
2. Tahap Telaah Data
Tahap ini dilakukan dengan menelah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber,
yaitu wawancara dan dokumentasi yang sudah ditulis dalam catatan lapangan,
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya.
3. Penemuan hasil
Pada tahap ini dilakukan pengambilan kesimpulan atas data yang telah diperoleh
setelah melalui proses penelaahan data. Setiap variabel yang ada diuji untuk membuat
suatu kesimpulan akhir yang menjawab tujuan daria diadakannya penelitian ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Dinas Pekerjaan Umum
Istilah "Pekerjaan Umum" adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda "
Openbare Werken" yang pada zaman Hindia Belanda disebut "Waterstaat swerken". Di
lingkungan Pusat Pemerintahan dibina oleh Dep.Van Verkeer & Waterstaat
(Dep.V&W), yang sebelumnya terdiri dari 2 Dept.Van Guovernements Bedri jven dan
Dept.Van Burgewrlijke Openbare Werken.
Dep. V dan W dikepalai oleh seorang Direktur,yang membawahi beberapa
Afdelingen dan Diensten sesuai dengan tugas/wewenang Depertemen ini. Yang meliputi
bidang PU (openbare werken) termasuk afdeling Waterstaat,dengan onder afdelingen. :
1. Lands gebouwen, 2. Wegen, 3. Irrigatie & Assainering, 4. Water Kracht, 5.
Constructie burreau (untuk jembatan).
Disamping yang tersebut di atas, yang meliputi bidang PU (Openbare Werken)
juga afd. Havenwezen (Pelabuhan),afd. Electriciteitswezen (Kelistrikan)dan afd.
Luchtvaart (Penerbangan Sipil). Organisasi P.U (Open-bare werken) di daerah-daerah
adalah sebagai berikut :
1. Di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur urusan Waterstaat/openbare
werken diserahkan pada Pemerintahan Propinsi yang disebut :Provinciale
Waterstaatdienst" dan dikepalai oleh seorang Hoofd Provinciale Waterstaatsdients
(H.P.W)
2. Diwilayah Gouv,Yogyakarta dan Gouv. Surakarta urusan-urusan Pekerjaan
Umum/Waterstaat dijalankan oleh "Sultanas Werken" (yogya) "Rijkswerken"
(Surakarta), Mangkunegaranwerken". Disamping itu diwilayah Vorstenlander
terdapat 3 organisasi "Waterschap", "s" Lands gebouwendienst",Regentschap
Werken" dan "Gremeente werken".
3. Untuk daerah luar jawa Gouv.Sumatera, Borneo (Kalimantan) dan Grote Oost
(Indonesia Timur) terdapat organisasi "Gewestelijke Inspectie v/d Waterstaat"
dikepalai oleh seorang Inspektur.Diwilayah Residentie terdapat "Residentie Water
Staatsdienst" yang dahulu dikenal dengan nama "Dienst der B.O.W". dan kepala
dinas ini biasa disebut "E.A.Q" (Eerst Aanwzend Waterstaatsambtenar). Ketentuan
yang dikeluarkan pada jaman Hindia Belanda untuk pedoman dalam pelaksanaan
tugas dalam lingkungan Pekerjaan Umum dapat dibaca dalam "A.W.R". 1936
B.W.R 1934 dan "W.V.O/W.V.V.".
Setelah Belanda menyerahkan dalam perang pasifik pada tahun 1942, kepada
Jepang, maka daerah Indonesia ini dibagi oleh Jepang dalam 3 wilayah pemerintahan,
yaitu Jawa/Madura, Sumatera dan Indonesia Timur dan tidak ada Pusat Pemerintahan
tertinggi di Indonesia yang menguasai ke 3 wilayah pemerintahan tersebut.
Dibidang Pekerjaan Umum pada tiap-tiap wilayah organisasi Pemerintahan
Militer Jepang tersebut diatas, diperlukan organisasi Jaman Hindia Belanda dan
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dari fihak jepang,kantor pusat "V & W". di
Bandung, dinamakan "Kotubu Bunsitsu", sejak saat itu istilah "Pekerjaan Oemoem"
(P.O), Oeroesan Pekerdjaan Oemoem (O.P.O), "Pekerjaan Umum" (PU), disampinmg
"Doboku" lazim dipergunakan.
Kotubu Bonsitsu di Bandung hanya mempunyai hubungan dengan wilayah
Pemerintahan di Jawa/Madura, hubungan dengan luar Jawa tidak ada. Organisasi
Pekerjaan Umum di daerah-daerah, di Karesidenan-Karesidenan pada umumnya berdiri
sendiri-sendiri.
Sistem pelaksanaan pekerjaan ada yang mempergunakan sistem dan nama jaman Ned.
Indie, disamping menurut sistem Jepang.
Setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan pada tanggal 17-8-1945,
maka semenjak itu Pemuda-pemuda Indonesia mulai berangsur-angsur merebut
kekuasaan Pemerintahan dari tangan Jepang baik di pusat pemerintahan
(Jakarta/Bandung) maupun Pemerintahan Daerah-daerah.
Sesudah Pemerintahan Indonesia membentuk Kabinet yang pertama, maka pada Menteri
mulai menyusun organisasi serta sifatnya. Pekerjaan Umum pada waktu itu (1945)
berpusat di Bandung, dengan mengambil tempat bekas gedung V.&W. (dikenal dengan
nama "Gedung Sate").
Ketika Belanda ingin mengembalikan kekuasaaan pemerintahan di Hindia
Belanda sebelum perang, datang mengikuti Tentara Sekutu masuk ke Indonesia. Akibat
dari keinginan Pemerintahan Belanda ini, terjadilah pertentangan fisik dengan Pemuda
Indonesia yang ingin mempertahankan tanah air berikut gedung-gedung yang telah
didudukinya, antara lain "Gedung Sate" yang telah menjadi Gedung Departemen
Pekerjaan Umum pada waktu itu (peristiwa bersejarah itu dikenal dengan peristiwa "3
Desember 1945").
Pada waktu revolusi fisik dari tahun 1945 s/d 1949, Pemerintah Pusat RI di
Jakarta terpaksa mengungsi ke Purworejo untuk selanjutnya ke Yogyakarta, begitu juga
Kementerian PU.
Sesudah Pemerintahan Belanda tahun 1949 mengakui kemerdekaan Republik
Indonesia maka pusat pemerintahan RI di Yogyakarta, berpindah lagi ke Jakarta.
Sejak tahun 1945 itu, Pekerjaan Umum (PU) telah sering mengalami perobahan
pimpinan dan organisasi,sesuai situasi politik pada waktu itu. Sebagai gambaran garis
besar organisasi PUT diuraikan sebagai berikut:
Sebelum tentara Belanda masuk ke Yogyakarta Susunan Kemerdekaan PU.
Perhubungan dapat dibagi menjadi 8 Jawatan dan 4 Balai.
Khusus pada masa Republik India Serikat Kementerian Perhubungan dan POU
RIS dibagi dalam beberapa Departemen dan beberapa Jawatan dan beberapa
instansi yang hubungan erat dengan tugas dari dep.PU. RIS.
Kementerian Perhubungan PU.RIS tersebut terdiri atas penggabungan 3 Departemen
prae federal yaitu:
Departemen Verkeer, Energie dan Mynbouw dulu (kecuali Mynbouw yang
masuk dalam kementerian Kemakmuran).
Departemen Van Waterstaat di Wederopbouw
Departemen Van Scheepvaart
Penggabungan dari 3 Departemen dari pemerintahan prae federal dalam satu
Kementerian yaitu Kementerian Perhubungan Tenaga dan PU.RIS dianggap perlu,
supaya hubungan 3 Departemen tersebut satu dengan lain menjadi sangat erat, terlebih-
lebih jika diingat, bahwa untuk pembangunan Negara akan diadakan koordinasi dan
rasionalisasi yang baik dan adanya tenaga ahli dan pula untuk melancarkan semua tugas
yang dibebankan pada Kementerian Perhubungan Tenaga dan PU.RIS.
Khusus pada permulaan terbentuknya Negara Kesatuan RI, maka susunan
Kementerian berbeda sebagai berikut:
Dalam masa proloog G 30 S. PKI terjadilah dalam sejarah Pemerintahan RI suatu
Kabinet yang besar disebut dengan nama Kabinet DwiKora atau Kabinet 100 Menteri,
dimana pada masa ini dibentuk Koordinator Kementerian. Tidak luput Departemen PUT.
yang pada masa itu ikut mengalami perubahan organisasi menjadi 5 Dept. dibawah
Kompartemen PUT Kabinet Dwikora, dipimpin Jenderal Suprajogi. Adapun
Kompartemen PUT ketika membawahi, antara lain:
Departemen Listrik dan Ketenagaan
Departemen Bina Marga
Departemen Cipta Karya Konstruksi
Departemen Pengairan Dasar
Departemen Jalan Raya Sumatera
Setelah peristiwa G.30S PKI Pemerintah segera menyempurnakan Kabinet
Dwikora dengan menunjuk Ir.Soetami, sebagai menteri PUT untuk memimpin
Kompartemen PUT. Kabinet yang disempurnakan itu tidak dapat lama dipertahankan.
Kabinet Ampera, sebagai Kabinet pertama dalam masa Orde Baru. Kembali
organisasi PUT dibentuk dengan Ir.Soetami, sebagai Menteri. Dengan Surat Keputusan
Menteri PUT tertanggal 17 Juni 1968 N0.3/PRT/1968 dan dirobah dengan Peraturan
Menteri PUT tertanggal 1 Juni 1970 Nomor 4/PRT/1970. Departemen PUT telah
memiliki suatu susunan struktur Organisasi.
Sebagai gambaran lebih jauh pembagian tugas-tugas dalam lingkungan Dep.
PUT, maka pada waktu itu azas tugas-tugas PU telah diserahkan pada kewenangan
daerah itu sendiri.
B. Visi dan Misi Dinas Pekerjaan Umum
1. Visi :
Tersedianya Infrastruktu Pekerjaan Umum dan Permukiman yang Andal untuk
Mendukung Indonesia Sejahtera 2025.
2. Misi :
a. Mewujudkan penataan ruang sebagai acuan mitra spasial dari pembangunan
nasional dan daerah serta keterpaduan pembangunan infrastruktur pekerjaan
umum dan permukiman berbasis penataan ruang dalam rangka pembangunan
berkelanjutan.
b. Menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air secara efektif dan optiml untuk
meningkatkan kelestarian fungsi dan kebelanjutan pemanfaatan sumber daya air
serta menguangi resiko daya rusak air.
c. Meningkatkan aksesibilaitas dan mobilitas wilayah dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
penyediaan jaringan jalan yang andal, terpadu dan berkelanjutan.
d. Meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang layak huni dan produktif
melalui pembinan dan fasilitasi pengembangan infrastruktur permukiman uag
terpadu, andal dan berkelanjutan.
e. Menyelenggarakan industri konstruksi yang kompetitif dengan menjamin adanya
keterpaduan pengelolaan sektor konstruksi, proses penyelenggaraan konstuksi
yang baik dan menjadikan pelaku sektor konstruksi tumbuh dan berkembang.
f. Menyelenggarakan penelitian dan pengambangan serta penerapn : IPTEK,
norma, standar, pedoman, manual dan/atau kriteria pendukung infrastruktur
pekerjaan umum dan permukiman.
KEPALA DINAS
KEPALA BAGIANTATA USAHA
KASUBAGKEUANGAN
KASUBAGKEPEGAWAIAN
& UMUM
KASUBAGADMIN
& TEKNIK
KABID PERENCANAAN
& PENGAWASAN TEKNIS
KABID PELAKSANAAN
KASEK PERENCANAAN
TEKNIS
KASEK PENGAWASAN
TEKNIS
KASEK PEMBANGUNAN
KASEK PEMELIHARAAN
KABID PENGUJIAN &PERALATAN
KASEKPENGUJIAN
KASEKPERALATAN
JABATAN FUNGSIONAL
g. Menyelenggarakan dukungan manajemen fungsional dan sumber daya yang
akuntabel dan kompeten, terintegrasi serta inovatif dengan menerapkan prinsi-
prinsip good governance.
h. Meminimalkan penyimpangan dan praktik-praktik KKN di lingkungan
Kementerian Pekerjaan Umum dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan dan
pengawasan profesional.
C. Struktur Organisasi
D. Struktur Organisasi
1. Manajemen Aset pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua
Pengelolaan barang milik daerah merupakan komponen penting dalam
penyelenggaraan kegiatan pengelolaan keuangan daerah maka pengelola barang milik
daerah perlu melakukan pengorganisasian dengan baik. Salah satu peraturan yang
menjadi dasar terhadap pengelolaan barang milik daerah adalah PP No. 6/2006 dan
Permendagri 17/2007.
Pada peraturan tersebut dapat diklasifikasikan ada 4 aturan kegiatan utama,
yaitu: 1) Perencanaan yang mencakup : perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penggunaan, 2) Penatausahaan yang
mencakup : inventarisasi, penilaian, pembukuan dan pelaporan, 3) Peningkatan
produktivitas yang mencakup : pengamanan dan pemeliharaan, pemanfaatan,
pemindahtanganan dan penghapusan, 4) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Dinas Pekerjaan Umum sebagai salah satu satuan kerja pada Provinsi Papua
berkewajiban untuk melakukan keempat kegiatan utama tersebut guna mewujudkan
pengelolaan aset yang baik.
Dari sisi perencanaan, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua telah
merencanakan dan menyusun kebutuhan barang dan pemeliharaan yang telah
dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam
proses pengadaan barang dan jasa juga telah dilaksanakan sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Pemeliharaan atas aset yang memerlukan pemeliharaan rutin
agar dapat dimanfaatkan secara optimal telah dianggarkan pula dalam Rencana Kerja
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Dari sisi penatausahaan, Dinas Pekerjaan Umum melakukan inventarisasi aset
secara periodik guna mengetahui keberadaan aset yang dimiliki. Inventarisasi juga
berguna untuk menyusun anggaran pemeliharaan atas aset karena kondisi aset dapat
diketahui secara pasti. Hasil inventarisasi barang dituangkan dalam Kartu Inventaris
Barang (KIB), Kartu Inventaris Ruangan (KIR), dan Buku dan Inventaris Barang.
Salinan atas catatan aset tersebut didistribusikan kepada Dinas Pengelola Keuangan
dan Aset Daerah guna menyusun laporan aset akhir tahun yang tertera dalam Neraca
Pemerintah Daerah.
Dari sisi peningkatan produktivitas, Dinas Pekerjaan Umum memberikan kode
barang dan tanda status kepemilikan atas aset tersebut. Hal ini berguna untuk
mengetahui keberadaan aset dan mengetahui status kepemilikan aset terrsebut. Bukti
kepemilikan atas aset disimpan dalam lemari penyimpanan oleh pihak yang
berwenang dan biasanya dilakukan oleh Kepala Dinas. Atas aset yang tidak dapat
digunakan lagi atau tidak termanfaatkan, Dinas Pekerjaan Umum mengajukan
penghapusan atas aset tersebut. Penghapusan barang milik daerah dengan tindak
lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik daerah dimaksud tidak dapat
digunakan, tidak dapat dimanfaatkan dan tidak dapat dipindahtangankan; atau alasan
lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penghapusan Barang milik
daerah dilaksanakan oleh pengguna dengan keputusan dari pengelola setelah
mendapat persetujuan Gubernur. Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud
dalam Berita Acara Pemusnahan dan dilaporkan kepada Gubernur.
Selain barang milik daerah yang sudah rusak dan tidak dapat dipergunakan,
dihapus dari Daftar Inventaris Barang Milik Daerah. Penghapusan dilaksanakan
sesuai ketentuan perundang-undangan. Barang milik daerah yang dihapus dan masih
mempunyai nilai ekonomis, dapat dilakukan melalui:
a. pelelangan umum/pelelangan terbatas dan hasilnya disetorkan ke Kas Daerah
b. disumbangkan atau dihibahkan kepada pihak lain.
2. Pengaruh Manajemen Aset Terhadap Kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua
Kinerja sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan Pemerintah Daerah dalam
mewujudnya kemakmuran kian di tuntut oleh masyarakat. Transparansi dan
akuntabilitas penngelolaan keuangan dan aset daerah menjadi salah satu tolak
ukurnya. Setiap tahun laporan keuangan pemerintah daerah yang meliputi Neraca,
Laporan Realisasi Anggaran, Catatan atas Laporan Keuangan diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan setiap tahunnya.
Dilihat dari laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua mengalami peningkatan selama 2 tahun
terakhir. Turunnya nilai temuan aset pada tahun 2008 sebesar Rp4.737.777.900,00
turun menjadi Rp4.087.085.700,00 pada tahun 2009. Hal ini menjadi salah satu
terindikator naiknya kinerja Dinas Pekerjaan Umum.
Selain itu masih ada yang menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan yaitu
kurangnya personil yang cakap dalam menangani masalah aset ini. Selain itu nilai aset
yang dicantumkan dalam Neraca belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya
karena belum ada penilaian kembali aset pemerintah daerah sehingga selama 2 tahun
terakhir Badan Pemeriksa Keuangan menjadikan aset sebagai salah satu pengecualian
dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi Papua
karena diyakini mengandung salah saji yang material
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua telah melakukan manajemen aset. Ini terbukti
dengan adanya prosedur dalam pengelolaan aset itu sendiri.
2. Manajemen aset yang dilakukan telah sesuia dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
dimana secara umum proses pengelalaan aset dibagi menjadi empat bagian besar yaitu
1) Perencanaan yang mencakup : perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penggunaan, 2) Penatausahaan yang
mencakup : inventarisasi, penilaian, pembukuan dan pelaporan, 3) Peningkatan
produktivitas yang mencakup : pengamanan dan pemeliharaan, pemanfaatan,
pemindahtanganan dan penghapusan, 4) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
3. Manajemen aset memiliki pengaruh terhadap kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Papua. Peningkatan kinerja ini ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai temuan
oleh BPK atas aset yang dikelola oleh instansi tersebut. Namun demikian harus terus
dilakukan perbaikan dalam manajemen aset karena dari tahun-ketahun hal ini-lah
yang dijadikan dasar oleh BPK untuk tidak memberikan opini wajar tanpa
pengecualian atas laporan keuangan pemerintah daerah karena dipandang masih
buruknya kualitas manajemen aset dan angka yang tercantum dalam laporan keuangan
khususnya neraca tidak dapat diyakini kebenarannya.
B. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang bisa
disampaikan, antara lain :
1. Dinas Pekerjaan Umum perlu lebih meningkatkan pengawasan terhadap pengadaan
aset karena masih tingginya nilai temuan atas kegiatan ini.
2. Agar Dinas Pekerjaan Umum meningkatkan kapasitas personilnya dengan
menggelar seminar dan pelatihan khususnya dalam bidang pengelolaan aset.