bab 2 dan 3

35
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Demam Dengue (Dengue Fever/DF) dan Deman Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever/DHF) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang disertai dengan hemokonsentrasi (Dengue Shok Sindrom) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /syok. 5 2.2 Etiologi Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arvoviruses ) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den -1, den-2, den -3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype yang bersangkutan tetapi gidak ada perlindungan terhadap serotype yang lain. Seseorang yang tinggal didaerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 bahkan 4 serotipe selama hidupnya.

Upload: amandasurbakti

Post on 14-Jul-2016

230 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

case dhf

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 DAN 3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam Dengue (Dengue Fever/DF) dan Deman Berdarah Dengue (Dengue

Hemorrhagic Fever/DHF) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang disertai dengan hemokonsentrasi (Dengue Shok Sindrom)

adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /syok.5

2.2 Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arvoviruses ) dan

sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family flaviviradae, yang mempunyai 4

jenis serotipe yaitu den -1, den-2, den -3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu

serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype yang

bersangkutan tetapi gidak ada perlindungan terhadap serotype yang lain. Seseorang

yang tinggal didaerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 bahkan 4 serotipe

selama hidupnya. Keempat jenis serotipe tersebut dapat ditemukan diberbagai daerah

di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahuN

1975 dibeberapa rumah sakit menunjukkan kempat jenis serotipe ditemukan dan

bersirkulasi sepanjamg tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan

banyak berhubungan dengan kasus berat. 3

2.3 Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar diseluruh wilayah Asia Tenggara, Pasifik

Barat dan Karibia. Indonesia merupakan daerah endemis dengan sebarah diseluruh

Page 2: BAB 2 DAN 3

tanah air. Insiden DBD diwilayah Indonesia 6 antara sampai 15 per 100.000

penduduk (1989 sampai 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa

hingga 35 per 100.000 pada tahun 1998. Di Indonesia pertama kali DBD ditemukan

di Surabaya pada tahun 1998, kemudian DBD berturut turut dilaporkan dibandung

(1972), Yogyakarta(1972). Dan tahun 1993 DBD telah menyebar keseluruh provinsi

Indonesia.3

2.4 Manifestasi Klinik

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suau spectrum manifestasi

klinik yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undeferentiated

febrile illness), dengue fever, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF/DBD) dan Dengue

Shock Syndrome (DSS/SSD).4

Panas

Biasanya langsung tinggi dan terus menerus, berlangsung selama 2-7 hari.

Disamping panas, penderita juga mengeluh malaise, mual, muntah, sakit

kepala, anoreksia, dan kadang-kadang batuk.

Tanda-tanda perdarahan

Karena manipulasi

- Uji tourniquet/Rumpel Leed test positif, yaitu dengan

mempertahankan manset tensimeter pada tekanan antara sistol dan

diastole selama 5 menit apakah timbul petekie atau tidak di daerah

volar lengan bawah.

- Kriteria:

(+) bila jumlah petekie > 20

(+/-) bila jumlah petekie 10-20

(-) bila jumlah petekie <10

Perdarahan spontan : petekie, ekimosis, gusi berdarah, hematemesis,

dan melena.

Page 3: BAB 2 DAN 3

Laboratorium

Hematokrit meningkat lebih dari 20%

Trombositopenia, <100.000/mm3

Leukopenia, kadang-kadang lekositosis ingan

Waktu perdarahan memanjang

Waktu protrombin memanjang

2.5 Klasifikasi

Sesuai dengan patokan yang tersebut terdahulu, WHO (1975) membagi derajat

penyakit DHF dalam 4 derajat, yaitu sebbagai berikut:

- Derajat I : Demam disertai gejala yang tidak khas dan satu-satunya

manifestasi perdarahan ialah uji tornikuet positif

- Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain

- Derajat III : Ditemukannya kegagalan sikulasi, yaitu nadi cepat dan

lembut, tekanan nadi menurun (kurang dari 20mmHg) atau hipotensi disertai

kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.

- Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan

tekanan darah yang tidak dapat diukur.1

2.6 Patofisiologi

Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan

membedakan antara Dengue Fever dan Dengue Haemorrhagic Fever ialah

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,

terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diastesis hemoragik. Penyelidikan volume

plasma pada kasus DHF dengan menggunakan 131 Iodine labeled human albumin

Page 4: BAB 2 DAN 3

sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit

mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada

kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan

menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai

hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat

kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga serosa)

melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya

berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga

peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang

diberikan melalui infus, dan terdapatnya edem.3

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara

efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat

diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan

klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan

kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang,

sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah

agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.

Gambaran mikroskop elektron biopsy kulit pasien DHF pada masa akut

memperlihatkan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka anoksia atau luka

bakar.3

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada

sebagian besar kasus DHF. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan

mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat

pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan

sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda

dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat

Page 5: BAB 2 DAN 3

meningkatnya destruksi trombosit. Dengan mekanisme lain trombositopenia ialah

depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa

penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.

Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor

dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,

kerusaka sel sendotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau

secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DHF terbukti menurun mungkin

disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran

darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab

utama terjadinya perdarahan pada DHF. 3

Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DHF. Masa

perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang

teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V,

VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DHF berat terjadi peningkatan fibrinogen

degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan

adanyan penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa

menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti

fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar

fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,

tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DHF

dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas

plasminogen. 3

Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DHF stadium akut

telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular

coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada

masa dini DHF, peran DIC tidak menonjol dibanding dengan perubahan plasma tetapi

Page 6: BAB 2 DAN 3

apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan

memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling

mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai

perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan

kematian. (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,

gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah

akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan

faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus

dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4)

Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan

antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang. 3

Sistem komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DHF memperlihatkan penurunan kadar

C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak.

Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.

Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen

terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian

radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen

disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan olehkarena produksi yang

menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a

dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan

histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan

permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.

Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit

dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran

plasma, syok dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit

untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma,

interleukin (IL-2 dan IL-1). Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen

Page 7: BAB 2 DAN 3

pada penderita DBD adalah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam

urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune

complex) , baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara

kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.3

Respons Leukosit

Pada perjalanan penyakit DHF, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan

limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman

menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan

hapus buffy coat kasus DHF dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase

yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DHF oleh karena proporsinya sangat

berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam dilakukan

oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan

LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada

infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan

pula diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna

proporsi LPB pada DHF dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai

hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB syok dan

tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB

4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnostik dini infeksi

dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi

dengue dan non dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB

merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB ialah limfosit

dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama

dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata,

dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk

bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam

inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang

berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.3

Page 8: BAB 2 DAN 3

Pada infeksi virus dengue yang pertama terbentuk antibodi yang menetralkan

virus dengue yang serotipenya sama (homolog). Infeksi berikutnya dengan serotipe

yang berbeda akan berikatan dengan antibodi yang sudah ada sebelumnya tapi tidak

menetralisasi. Virus dengue dan antibodi non netralisasi akan berikatan dengan

receptor fc pada permukaan monosit/ makrofag kemudian virus dengue masuk

kedalam magrofag dan terjadi replikasi virus dan mengaktivasi makrofag yang akan

melepaskan sitokin yaitu Tumor Necrosis Factor Alpha(TNF-∝),Interleukin -1 (IL-1)

dan Interleukin -12(IL-12). Tumor Nekrosisi Alpha yang diproduksi oleh makrofag

teraktivasi merupakan sitokin utama pada respon inflamasi akut terhadap mikroba.

Efek biologi TNF-∝ adalah meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada permukaan

endotel pembuluh darahyaitu intercelluler adhesion molecule-1, vascular cell

adhesion molecule-1 ,selectin dan integrin ligand ,juga pada permukaan lekosit yaitu

selectin ligand dan integrin.Ekspresi molekul adhesi tersebut akan menyebabkan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan migrasi leukosit ketempat infeksi

untuk menyingkirkan mikroba.6

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah akan menyebabkan perembesan

plasma (plasma leakage) dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial sehingga terjadi

peningkatan hematokrit, hipoproteinemia, hiponatremia, hipovolemia

(renjatan) ,adanya cairan dalam rongga pleura dan peritoneum.6

2.7 Patogenesa

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus

dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,

nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan,

sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan

menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan

membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen

Page 9: BAB 2 DAN 3

struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi

imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective

terhadap serotipe virus lainnya.3

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi

DHF belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang

yang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DHF

seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar ilmuwan masih menganut the

secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis

yang menyatakan bahwa DHF dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus

dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotype lain

dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.3

The Immunological Enhancement Hypothesis

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi

menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit., yaitu enhancing-antibody

dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1)

Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi

memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik

tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion

determinant specificity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer

akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat

memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi

sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan

manifestasi berat. 3

Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the

immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut : 3

Page 10: BAB 2 DAN 3

a. Sel fagosit mononuclear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kupffer

merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.

b. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang

melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk

melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuclear.

Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.

c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuclear yang

telah terinfeksi.

d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke

usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme

eferen. Parameter perbedaan terjadinya DHF dengan dan tanpa renjatan

adalah jumlah sel yang terkena infeksi.

e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem

humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang

mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.

Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Aktivasi Limfosit T

Limfosit T juga memegang peran penting dalam pathogenesis DHF. Akibat

rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit

dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh virus

dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan

menghasilkan IFN-α. IFN-α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue

dan mengakibatkna monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8

+

spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator

yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.3

Page 11: BAB 2 DAN 3

Hipotesis kedua petogenesis DHF mempunyai konsep dasar bahwa keempat

serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi

sebagai akibat serotipe / galur serotipe virus dengue yang paling virulen.3

2.8 Diagnosis

Diagnosa DHF ditegakkan melalui anamnesis/alloanamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang.3

Anamnesis

Kriteria klinis

1. Demam

Demam tinggi mendadak dan terus- menerus selama 2-7 hari disertai

gejala klinik yang tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung,

tulang, sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada

semua kasus. Alasan mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh

karena khawatir akan keadaan anak yang demam, menjadi gelisah dan

teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya

mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi

perdarahan di kulit menjadi nyata.

2. Manifestasi perdarahan

Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat

dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari

pertama demam. Di daerah endemis DHF, uji tourniquet, merupakan

pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DHF apabila yang

dilakukan pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang

jelas. Uji tourniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan kriteria WHO.

Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah

anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik pada alat

Page 12: BAB 2 DAN 3

pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku.; tekanan ini diusahakan

menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,

perhatikan timbulnya petekie di bagian volar lengan bawah. Uji

dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi (2,8x2,8 cm) didapat

lebih dari 20 petekie (WHO,1975). Pada DHF uji tourniquet pada

umumnya memberikan hasil positif. Pemeriksaan ini dapat memberikan

hasil negatif atau positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan

diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umumnya akan didapat hasil

positif, bahkan positif kuat.

3. Pembesaran Hati

4. Syok

Ditandai oleh nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi menurun (menjadi

20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun

sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan

lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki, pasien menjadi

gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.3

Pemeriksaan fisik

Selain didapatkan gejala yang dirasakan pasien sesuai anamnesa dan temuan

ruam pada pasien saat pemeriksaan, juga dilakukan pemeriksaan fisik pada DHF ini

ialah pemeriksaan hati. Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada

permulaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit, nyeri

tekan sering kali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berumur 4 tahun

dan atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.3

Pemeriksaan penunjang

Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari

peningkatan nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa

sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis

Page 13: BAB 2 DAN 3

pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis

membuat diagnosis DHF. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DHF dapat

didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis, dan dapat

dihindari diagnosis berlebihan.3

Kelainan hematologis yang paling sering adalah kenaikan hematokrit 20%

lebih besar melebihi nilai hematokrit penyembuhan, trombositopenia, leukositosis

ringan (jarang melebihi 10000, waktu perdarahan memanjang,dan kadar protrombin

menurun sedang (jarang kurang dari 40% kontrol). Kadar fibrinogen mungkin

subnormal dan produk-produk pecahan fibrin naik.2

Kelainan lain adalah kenaikan sedang kadar transaminase ,asidosis metabolik

ringan dengan hiponatremia,dan kadang kadang hipokloremia,sedikit kenaikan urea

nitrogen serum,dan hipoalbumineamia. Rontgen dada menunjukkaan efusi pleura

pada hampir semua penderita.2

Pada infeksi dengue primer, ada kemunculan antibody IgM antidengue yang

relative sementara. Antibodi ini menghilang 6-12 minggu dan dapat digunakan untuk

menentukan saat infeksi dengue. Pada infeksi dengue sekunder, kebanyakan antibody

adalah dari kelas IgG. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI) menunjukkan kenaikan titer

cepat atau tetap tinggi (1:640 atau lebih besar) pada sepasang serum.2

2.9 Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan

cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat

perdarahan. Pasien DHF dirawat diruangan perawatan biasa, tetapi pada kasus DHF

dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk merawat pasien DHF

dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang

memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila

diperlukan.Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila didapat tanda syok,

merupakan hal yang paling penting untuk mengurangi angka kematian. Pasien yang

pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat

Page 14: BAB 2 DAN 3

memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DHF terletak pada

keterampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke

fase penurunan suhu ( fase kritis, fase syok) dengan baik.3

Fase demam

Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umunnya hari

ke 3-5 fase demam. Pada fase demam bersifat simtomatik dan suportif yaitu

pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak bisa

diberikan oleh karena itu tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,

maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.3

Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa

antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DHF. Paracetamol

direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39℃ dengan dosis 10-15

mg/ kgBB. Pasien perlu diberikan minum 50 ml / kg berat badan dalam 4-6 jam

pertama. Setelah keadaan dehidrasi diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml /

kg berat badan dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI , tetap harus

diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik

diberikan antikonvulsif selama masih demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap

kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi yaitu saat

suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit

berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk monitor hasil

pengobatan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan

cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai

perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu

kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan

hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai

alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.3

Pengganti volume plasma

Page 15: BAB 2 DAN 3

Dasar patogenesis DHF adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase

penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya

adalah penggantian volume plasma yang hilang. Penggantian cairan harus diberikan

dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam

pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).

Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu disesuikan dengan tanda vital, kadar

hematokrit dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah

jumlah cairan rumatan ditambah 5-8 %.3

Cairan intravena diperlukan apabila :

Anak terus-menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi hingga tidak

mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga

mempercepat terjadinya syok.

Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.jumlah

cairan yang diperlukan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan

elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%.

Apabila terdapat kenaikan hematokrit 20% atau lebih, maka komposisi jenis

cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.

Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg berat badan per hari

<7 220

7-11 165

12-18 132

>18 88

Tabel 2.Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan 5-8%).1

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan

berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat

Page 16: BAB 2 DAN 3

hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan

dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama.3

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)

10 100 per kg BB

10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)

>20 1500 + 50 x kg (diatas 20 kg)

Tabel 3.Kebutuhan cairan rumatan.1

Jenis cairan

Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer

laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5 /RL), ringer asetat (RA)

atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5 / RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa

5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan

plasma darah.3

DHF derajat I atau derajat II tanpa peningkatan hematokrit

Gejala Klinis demam 2-7 hari

Uji tourniquet positif atau perdarahan

spontan.

Lab : Hematokrit tidak meningkat,

trombositopeni (ringan)

Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minum

Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sd Pasien muntah terus-menerus

Page 17: BAB 2 DAN 3

makan tiap 5 menit.

Jenis minuman : air putih, teh manis, sirup,

jus buah, susu, oralit.

Bila suhu >38,5oC beri paracetamol Pasang infus NaCl 0,9% :

Bila kejang beri anti konvulsif Dextrose 5% (1:3), tetesan rumatan

sesuai berat badan.

Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 6-12

jam.

Monitor gejala klinis dan laboratorium

Perhatikan tanda syok

Palpasi hati setiap hari Ht naik dan atau trombosit turun

Ukur diuresis setiap hari

Awasi perdarahan

Periksa Hb, Ht, trimbosit tiap 6-12 jam

Infus ganti ringer laktat (tetesan

disesuaikan)

Perbaikan klinis dan laboratoris

Pulang

Bagan 1 : (Tatalaksana kasus DHF derajat I dan II) 1

Keterangan bagan 1:

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DHF

derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DHF

derajat II) dapat dikelola seperti tertera pada bagan 1. Apabila pasien masih dapat

minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit.

Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu

atau oralit. Obat antipiretik (paracetamol) diberikan bila suhu >38,5oC. Pada anak

dengan riwayat kejang dapat diberikan obat antio konvulsif. Apabila pasien tidak

Page 18: BAB 2 DAN 3

dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl 0,9% :

Dextrosa 5% (1:3) dipasang dnegan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping

itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap 6-12 jam. Pada tindak

lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pembesarannya

oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan

perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahn yang

terjadi. Jadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak

lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak dapat dipulangkan; tetapi

bila kadar Hb, Ht cenderung naik danbtrombosit menurun, maka infus cairan ditukar

dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan pada bagan 2.

DHF derajat II dengan peningkatan Hemokonsentrasi ≥ 20%Cairan awal

RL/Nacl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5, 6-7

ml/kgBB/jam*

Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Tidak gelisah Gelisah

Page 19: BAB 2 DAN 3

Nadi kuat Distres pernafasan

Tekanan darah stabil Frekuensi nadi naik

Diuresis cukup (1 ml/kgBB/jam Diuresis kurang/ tidak ada

Ht turun (2 kali pemeriksaan)

Tanda vital memburuk

Ht meningkat

Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan

10-15 ml/kgBB/jam

Perbaikan Tetesan dinaikkan bertahap

5ml/kgBB/jam Evaluasi 15 menit

Perbaikan Tanda vital tidak stabil

Sesuaikan tetesan

Distres pernafasan Hb/Ht turun

Ht naik *

IVFD stop pada 24-48 jam Tek. Nadi ≤ 20 mmHg

Bila tanda vital/Ht stabil Tranfusi darah segar Diuresis cukup 20-30

ml/kgBB Koloid 10 ml/kgBB

Perbaikan

*BB≤ 20 kg

Bagan 2 : (Tatalaksana kasus DHF derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi ≥ 20%) 1

Keterangan bagan 2 :

Pasien DHF derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama ≤ 7 hari

tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (paling tersering perdarahan

kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan), disertai penurunan jumlah trombosit ≤

100.000/ul dan penigkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan

kristaloid ringer lactat/NaCl 0,9% atau dextrosa 5% dalam ringer lactat/NaCl 0,9% 6-

Page 20: BAB 2 DAN 3

7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam.

Selanjutnya evaluasi tiap 12-24 jam. 3

1. Apabila selama observasi keadaan umum mebaik, yaitu anak tampak tenang,

tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup dan kadar Ht

cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka

tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi

selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetsan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam

dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.

2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh dalam syok. Maka apabila

keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat

(distres pernafasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi

20 mmHg memburuk, serta peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan lagi

menjadi 15 ml/kgBb/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak

distres pernafasan menjadi lebih beratdan Ht naik maka berikan cairan

kristaloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Namun

bila Ht turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan

klinis membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad.1. 3

Kriteria memulangkan pasien :

a. Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi

antidemam(antipiretik)

b. Kembalinya nafsu makan

c. Perbaikan klinis yang dapat terlihat

d. Pengeluaran urine baik

e. Hematokrit stabil

f. Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok.

g. Tidak ada distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)

h. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ mm3

Page 21: BAB 2 DAN 3

2.10 Pencegahan

Pemberantasan DHF seperti juga penyakit menular lain, didasarkan atas

memutusan rantai penularan. Dalam hal DHF, komponen penularan terdiri dari virus

aegypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif

terhadap virus itu, maka pemberantasan ditujukan pada manusia dan terutama pada

vektornya.5

Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut:5

1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh ilmiah dengan

melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus

DHF/DSS

2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat

sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara

spontan.

3. Mengusahaakan pemberantasan vektor dipusat daerah penyebaran, yaitu disekolah

dan rumah sakit termasuk pula daerah penyenggara disekitarnya.

4. Mengusahakan pemberantasan vektor disemua daerah berpotensi penularan tinggi.

2.11 Prognosis

Kematian telah terjadi pada 40-50 % penderita dengan shock, tetapi dengan

perawatan intensif yang cukup kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup

secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif.1

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit demam berat yang sering

mematikan, disebabkan oleh virus dengue, ditandai oleh permeabilitas kapiler,

kelainan hemostasis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan protein. Virus

dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi,

Page 22: BAB 2 DAN 3

terutama Aedes aegypti, dan karenanya dianggap sebagai arbovirus (virus yang

ditularkan melalui artropoda).Empat manifestasi klinisutama yang

munculakibatinfeksi virus dengue yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama

perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory

failure).Adanya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan

hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF.Pengobatan

DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat

peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat

perdarahansertaterapisimptomatis.Perawatan yang intensifdanpemberianterapi yang

adekuatakanmengurangiangkakematian.

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat dijadikan pembelajaran terhadap mahasiswa atau

tenaga kesehatan lain mengenai kasusterbanyakdanterseringdijumpaibaik di

Puskesmasmaupun di RumahSakityaituDengue Haemorrhagic Fever (DHF). Semoga

dapat menjadi referensi dalam penulisan makalah mengenai DHF grade II khususnya,

serta dapat digunakan semaksimal mungkin sesuai dengan kebutuhan mahasiswa

kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

1. Halstead S.Arbovirus in Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin

AM.Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta.2000: EGC hal 1132 – 1136.

Page 23: BAB 2 DAN 3

2. Hassan Rusepno, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta. 1985 :FKUI. hal

607 – 621.

3. Poorwo, sumarmo ,dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi 2.Jakarta.

2010 : FKUI hal 155 – 181.

4. Rampengan,TH. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak ed.2.Jakarta.2007:EGC

5. Sudoyo, Aruw dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

ed.V.Jakarta.2009:Interna Publishing.