bab 2 dan 3
DESCRIPTION
case dhfTRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Dengue (Dengue Fever/DF) dan Deman Berdarah Dengue (Dengue
Hemorrhagic Fever/DHF) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang disertai dengan hemokonsentrasi (Dengue Shok Sindrom)
adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /syok.5
2.2 Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arvoviruses ) dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family flaviviradae, yang mempunyai 4
jenis serotipe yaitu den -1, den-2, den -3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu
serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype yang
bersangkutan tetapi gidak ada perlindungan terhadap serotype yang lain. Seseorang
yang tinggal didaerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 bahkan 4 serotipe
selama hidupnya. Keempat jenis serotipe tersebut dapat ditemukan diberbagai daerah
di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahuN
1975 dibeberapa rumah sakit menunjukkan kempat jenis serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjamg tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat. 3
2.3 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar diseluruh wilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat dan Karibia. Indonesia merupakan daerah endemis dengan sebarah diseluruh
tanah air. Insiden DBD diwilayah Indonesia 6 antara sampai 15 per 100.000
penduduk (1989 sampai 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa
hingga 35 per 100.000 pada tahun 1998. Di Indonesia pertama kali DBD ditemukan
di Surabaya pada tahun 1998, kemudian DBD berturut turut dilaporkan dibandung
(1972), Yogyakarta(1972). Dan tahun 1993 DBD telah menyebar keseluruh provinsi
Indonesia.3
2.4 Manifestasi Klinik
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suau spectrum manifestasi
klinik yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undeferentiated
febrile illness), dengue fever, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF/DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS/SSD).4
Panas
Biasanya langsung tinggi dan terus menerus, berlangsung selama 2-7 hari.
Disamping panas, penderita juga mengeluh malaise, mual, muntah, sakit
kepala, anoreksia, dan kadang-kadang batuk.
Tanda-tanda perdarahan
Karena manipulasi
- Uji tourniquet/Rumpel Leed test positif, yaitu dengan
mempertahankan manset tensimeter pada tekanan antara sistol dan
diastole selama 5 menit apakah timbul petekie atau tidak di daerah
volar lengan bawah.
- Kriteria:
(+) bila jumlah petekie > 20
(+/-) bila jumlah petekie 10-20
(-) bila jumlah petekie <10
Perdarahan spontan : petekie, ekimosis, gusi berdarah, hematemesis,
dan melena.
Laboratorium
Hematokrit meningkat lebih dari 20%
Trombositopenia, <100.000/mm3
Leukopenia, kadang-kadang lekositosis ingan
Waktu perdarahan memanjang
Waktu protrombin memanjang
2.5 Klasifikasi
Sesuai dengan patokan yang tersebut terdahulu, WHO (1975) membagi derajat
penyakit DHF dalam 4 derajat, yaitu sebbagai berikut:
- Derajat I : Demam disertai gejala yang tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji tornikuet positif
- Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain
- Derajat III : Ditemukannya kegagalan sikulasi, yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan nadi menurun (kurang dari 20mmHg) atau hipotensi disertai
kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
- Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan
tekanan darah yang tidak dapat diukur.1
2.6 Patofisiologi
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara Dengue Fever dan Dengue Haemorrhagic Fever ialah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,
terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diastesis hemoragik. Penyelidikan volume
plasma pada kasus DHF dengan menggunakan 131 Iodine labeled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada
kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai
hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga serosa)
melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya
berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus, dan terdapatnya edem.3
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat
diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan
klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan
kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang,
sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah
agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsy kulit pasien DHF pada masa akut
memperlihatkan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka anoksia atau luka
bakar.3
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DHF. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat
pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan
sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat
meningkatnya destruksi trombosit. Dengan mekanisme lain trombositopenia ialah
depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa
penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.
Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor
dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,
kerusaka sel sendotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau
secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DHF terbukti menurun mungkin
disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran
darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab
utama terjadinya perdarahan pada DHF. 3
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DHF. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V,
VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DHF berat terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanyan penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa
menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,
tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DHF
dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas
plasminogen. 3
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DHF stadium akut
telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular
coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada
masa dini DHF, peran DIC tidak menonjol dibanding dengan perubahan plasma tetapi
apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan
memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling
mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai
perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan
kematian. (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan
faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus
dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4)
Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan
antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang. 3
Sistem komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DHF memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak.
Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.
Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen
terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian
radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen
disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan olehkarena produksi yang
menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a
dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan
histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.
Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit
dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran
plasma, syok dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit
untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma,
interleukin (IL-2 dan IL-1). Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen
pada penderita DBD adalah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam
urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune
complex) , baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara
kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.3
Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DHF, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman
menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan
hapus buffy coat kasus DHF dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase
yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DHF oleh karena proporsinya sangat
berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam dilakukan
oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan
LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada
infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan
pula diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DHF dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai
hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB syok dan
tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB
4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnostik dini infeksi
dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
dengue dan non dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB
merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB ialah limfosit
dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama
dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata,
dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk
bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam
inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang
berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.3
Pada infeksi virus dengue yang pertama terbentuk antibodi yang menetralkan
virus dengue yang serotipenya sama (homolog). Infeksi berikutnya dengan serotipe
yang berbeda akan berikatan dengan antibodi yang sudah ada sebelumnya tapi tidak
menetralisasi. Virus dengue dan antibodi non netralisasi akan berikatan dengan
receptor fc pada permukaan monosit/ makrofag kemudian virus dengue masuk
kedalam magrofag dan terjadi replikasi virus dan mengaktivasi makrofag yang akan
melepaskan sitokin yaitu Tumor Necrosis Factor Alpha(TNF-∝),Interleukin -1 (IL-1)
dan Interleukin -12(IL-12). Tumor Nekrosisi Alpha yang diproduksi oleh makrofag
teraktivasi merupakan sitokin utama pada respon inflamasi akut terhadap mikroba.
Efek biologi TNF-∝ adalah meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada permukaan
endotel pembuluh darahyaitu intercelluler adhesion molecule-1, vascular cell
adhesion molecule-1 ,selectin dan integrin ligand ,juga pada permukaan lekosit yaitu
selectin ligand dan integrin.Ekspresi molekul adhesi tersebut akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan migrasi leukosit ketempat infeksi
untuk menyingkirkan mikroba.6
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah akan menyebabkan perembesan
plasma (plasma leakage) dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial sehingga terjadi
peningkatan hematokrit, hipoproteinemia, hiponatremia, hipovolemia
(renjatan) ,adanya cairan dalam rongga pleura dan peritoneum.6
2.7 Patogenesa
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan,
sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan
menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan
membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen
struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi
imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective
terhadap serotipe virus lainnya.3
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi
DHF belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang
yang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DHF
seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar ilmuwan masih menganut the
secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis
yang menyatakan bahwa DHF dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus
dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotype lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.3
The Immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit., yaitu enhancing-antibody
dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1)
Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik
tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion
determinant specificity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer
akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi
sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan
manifestasi berat. 3
Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the
immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut : 3
a. Sel fagosit mononuclear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuclear.
Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuclear yang
telah terinfeksi.
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme
eferen. Parameter perbedaan terjadinya DHF dengan dan tanpa renjatan
adalah jumlah sel yang terkena infeksi.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Aktivasi Limfosit T
Limfosit T juga memegang peran penting dalam pathogenesis DHF. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh virus
dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan
menghasilkan IFN-α. IFN-α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue
dan mengakibatkna monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8
+
spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator
yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.3
Hipotesis kedua petogenesis DHF mempunyai konsep dasar bahwa keempat
serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi
sebagai akibat serotipe / galur serotipe virus dengue yang paling virulen.3
2.8 Diagnosis
Diagnosa DHF ditegakkan melalui anamnesis/alloanamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.3
Anamnesis
Kriteria klinis
1. Demam
Demam tinggi mendadak dan terus- menerus selama 2-7 hari disertai
gejala klinik yang tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung,
tulang, sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada
semua kasus. Alasan mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh
karena khawatir akan keadaan anak yang demam, menjadi gelisah dan
teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya
mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi
perdarahan di kulit menjadi nyata.
2. Manifestasi perdarahan
Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari
pertama demam. Di daerah endemis DHF, uji tourniquet, merupakan
pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DHF apabila yang
dilakukan pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang
jelas. Uji tourniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan kriteria WHO.
Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah
anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik pada alat
pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku.; tekanan ini diusahakan
menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,
perhatikan timbulnya petekie di bagian volar lengan bawah. Uji
dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi (2,8x2,8 cm) didapat
lebih dari 20 petekie (WHO,1975). Pada DHF uji tourniquet pada
umumnya memberikan hasil positif. Pemeriksaan ini dapat memberikan
hasil negatif atau positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan
diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umumnya akan didapat hasil
positif, bahkan positif kuat.
3. Pembesaran Hati
4. Syok
Ditandai oleh nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi menurun (menjadi
20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun
sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki, pasien menjadi
gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.3
Pemeriksaan fisik
Selain didapatkan gejala yang dirasakan pasien sesuai anamnesa dan temuan
ruam pada pasien saat pemeriksaan, juga dilakukan pemeriksaan fisik pada DHF ini
ialah pemeriksaan hati. Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada
permulaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit, nyeri
tekan sering kali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berumur 4 tahun
dan atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.3
Pemeriksaan penunjang
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatan nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis
pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis
membuat diagnosis DHF. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DHF dapat
didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis, dan dapat
dihindari diagnosis berlebihan.3
Kelainan hematologis yang paling sering adalah kenaikan hematokrit 20%
lebih besar melebihi nilai hematokrit penyembuhan, trombositopenia, leukositosis
ringan (jarang melebihi 10000, waktu perdarahan memanjang,dan kadar protrombin
menurun sedang (jarang kurang dari 40% kontrol). Kadar fibrinogen mungkin
subnormal dan produk-produk pecahan fibrin naik.2
Kelainan lain adalah kenaikan sedang kadar transaminase ,asidosis metabolik
ringan dengan hiponatremia,dan kadang kadang hipokloremia,sedikit kenaikan urea
nitrogen serum,dan hipoalbumineamia. Rontgen dada menunjukkaan efusi pleura
pada hampir semua penderita.2
Pada infeksi dengue primer, ada kemunculan antibody IgM antidengue yang
relative sementara. Antibodi ini menghilang 6-12 minggu dan dapat digunakan untuk
menentukan saat infeksi dengue. Pada infeksi dengue sekunder, kebanyakan antibody
adalah dari kelas IgG. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI) menunjukkan kenaikan titer
cepat atau tetap tinggi (1:640 atau lebih besar) pada sepasang serum.2
2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DHF dirawat diruangan perawatan biasa, tetapi pada kasus DHF
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk merawat pasien DHF
dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila
diperlukan.Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila didapat tanda syok,
merupakan hal yang paling penting untuk mengurangi angka kematian. Pasien yang
pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat
memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DHF terletak pada
keterampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke
fase penurunan suhu ( fase kritis, fase syok) dengan baik.3
Fase demam
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umunnya hari
ke 3-5 fase demam. Pada fase demam bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak bisa
diberikan oleh karena itu tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.3
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DHF. Paracetamol
direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39℃ dengan dosis 10-15
mg/ kgBB. Pasien perlu diberikan minum 50 ml / kg berat badan dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml /
kg berat badan dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI , tetap harus
diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik
diberikan antikonvulsif selama masih demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap
kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi yaitu saat
suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit
berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk monitor hasil
pengobatan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan
cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai
perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu
kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.3
Pengganti volume plasma
Dasar patogenesis DHF adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Penggantian cairan harus diberikan
dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam
pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu disesuikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah
jumlah cairan rumatan ditambah 5-8 %.3
Cairan intravena diperlukan apabila :
Anak terus-menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi hingga tidak
mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok.
Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.jumlah
cairan yang diperlukan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%.
Apabila terdapat kenaikan hematokrit 20% atau lebih, maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg berat badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
Tabel 2.Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan 5-8%).1
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama.3
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 50 x kg (diatas 20 kg)
Tabel 3.Kebutuhan cairan rumatan.1
Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer
laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5 /RL), ringer asetat (RA)
atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5 / RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa
5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan
plasma darah.3
DHF derajat I atau derajat II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala Klinis demam 2-7 hari
Uji tourniquet positif atau perdarahan
spontan.
Lab : Hematokrit tidak meningkat,
trombositopeni (ringan)
Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minum
Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sd Pasien muntah terus-menerus
makan tiap 5 menit.
Jenis minuman : air putih, teh manis, sirup,
jus buah, susu, oralit.
Bila suhu >38,5oC beri paracetamol Pasang infus NaCl 0,9% :
Bila kejang beri anti konvulsif Dextrose 5% (1:3), tetesan rumatan
sesuai berat badan.
Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 6-12
jam.
Monitor gejala klinis dan laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari Ht naik dan atau trombosit turun
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trimbosit tiap 6-12 jam
Infus ganti ringer laktat (tetesan
disesuaikan)
Perbaikan klinis dan laboratoris
Pulang
Bagan 1 : (Tatalaksana kasus DHF derajat I dan II) 1
Keterangan bagan 1:
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DHF
derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DHF
derajat II) dapat dikelola seperti tertera pada bagan 1. Apabila pasien masih dapat
minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit.
Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu
atau oralit. Obat antipiretik (paracetamol) diberikan bila suhu >38,5oC. Pada anak
dengan riwayat kejang dapat diberikan obat antio konvulsif. Apabila pasien tidak
dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl 0,9% :
Dextrosa 5% (1:3) dipasang dnegan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping
itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap 6-12 jam. Pada tindak
lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pembesarannya
oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan
perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahn yang
terjadi. Jadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak
lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak dapat dipulangkan; tetapi
bila kadar Hb, Ht cenderung naik danbtrombosit menurun, maka infus cairan ditukar
dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan pada bagan 2.
DHF derajat II dengan peningkatan Hemokonsentrasi ≥ 20%Cairan awal
RL/Nacl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5, 6-7
ml/kgBB/jam*
Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam
Perbaikan Tidak ada perbaikan
Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distres pernafasan
Tekanan darah stabil Frekuensi nadi naik
Diuresis cukup (1 ml/kgBB/jam Diuresis kurang/ tidak ada
Ht turun (2 kali pemeriksaan)
Tanda vital memburuk
Ht meningkat
Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan Tetesan dinaikkan bertahap
5ml/kgBB/jam Evaluasi 15 menit
Perbaikan Tanda vital tidak stabil
Sesuaikan tetesan
Distres pernafasan Hb/Ht turun
Ht naik *
IVFD stop pada 24-48 jam Tek. Nadi ≤ 20 mmHg
Bila tanda vital/Ht stabil Tranfusi darah segar Diuresis cukup 20-30
ml/kgBB Koloid 10 ml/kgBB
Perbaikan
*BB≤ 20 kg
Bagan 2 : (Tatalaksana kasus DHF derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi ≥ 20%) 1
Keterangan bagan 2 :
Pasien DHF derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama ≤ 7 hari
tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (paling tersering perdarahan
kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan), disertai penurunan jumlah trombosit ≤
100.000/ul dan penigkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan
kristaloid ringer lactat/NaCl 0,9% atau dextrosa 5% dalam ringer lactat/NaCl 0,9% 6-
7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam.
Selanjutnya evaluasi tiap 12-24 jam. 3
1. Apabila selama observasi keadaan umum mebaik, yaitu anak tampak tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetsan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam
dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh dalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat
(distres pernafasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi
20 mmHg memburuk, serta peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan lagi
menjadi 15 ml/kgBb/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak
distres pernafasan menjadi lebih beratdan Ht naik maka berikan cairan
kristaloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Namun
bila Ht turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan
klinis membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad.1. 3
Kriteria memulangkan pasien :
a. Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi
antidemam(antipiretik)
b. Kembalinya nafsu makan
c. Perbaikan klinis yang dapat terlihat
d. Pengeluaran urine baik
e. Hematokrit stabil
f. Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok.
g. Tidak ada distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)
h. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ mm3
2.10 Pencegahan
Pemberantasan DHF seperti juga penyakit menular lain, didasarkan atas
memutusan rantai penularan. Dalam hal DHF, komponen penularan terdiri dari virus
aegypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif
terhadap virus itu, maka pemberantasan ditujukan pada manusia dan terutama pada
vektornya.5
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut:5
1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh ilmiah dengan
melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus
DHF/DSS
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat
sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara
spontan.
3. Mengusahaakan pemberantasan vektor dipusat daerah penyebaran, yaitu disekolah
dan rumah sakit termasuk pula daerah penyenggara disekitarnya.
4. Mengusahakan pemberantasan vektor disemua daerah berpotensi penularan tinggi.
2.11 Prognosis
Kematian telah terjadi pada 40-50 % penderita dengan shock, tetapi dengan
perawatan intensif yang cukup kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup
secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif.1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit demam berat yang sering
mematikan, disebabkan oleh virus dengue, ditandai oleh permeabilitas kapiler,
kelainan hemostasis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan protein. Virus
dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi,
terutama Aedes aegypti, dan karenanya dianggap sebagai arbovirus (virus yang
ditularkan melalui artropoda).Empat manifestasi klinisutama yang
munculakibatinfeksi virus dengue yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama
perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory
failure).Adanya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF.Pengobatan
DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahansertaterapisimptomatis.Perawatan yang intensifdanpemberianterapi yang
adekuatakanmengurangiangkakematian.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat dijadikan pembelajaran terhadap mahasiswa atau
tenaga kesehatan lain mengenai kasusterbanyakdanterseringdijumpaibaik di
Puskesmasmaupun di RumahSakityaituDengue Haemorrhagic Fever (DHF). Semoga
dapat menjadi referensi dalam penulisan makalah mengenai DHF grade II khususnya,
serta dapat digunakan semaksimal mungkin sesuai dengan kebutuhan mahasiswa
kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Halstead S.Arbovirus in Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin
AM.Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta.2000: EGC hal 1132 – 1136.
2. Hassan Rusepno, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta. 1985 :FKUI. hal
607 – 621.
3. Poorwo, sumarmo ,dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi 2.Jakarta.
2010 : FKUI hal 155 – 181.
4. Rampengan,TH. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak ed.2.Jakarta.2007:EGC
5. Sudoyo, Aruw dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
ed.V.Jakarta.2009:Interna Publishing.