v. hasil dan pembahasan 5.1 survei mengenai penanganan...

34
39 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Survei Mengenai Penanganan Keju Di Pasar Swalayan Jatinangor Survei mengenai penanganan keju di pasar swalayan Jatinangor dilakukan dengan mengisi form survei mengenai kondisi sanitasi di pasar swalayan, kondisi produk yang berada di pasar swalayan, kondisi display, dan kondisi distribusi saat mengirim produk ke pasar swalayan. Kondisi sanitasi, kondisi produk, kondisi distribusi, dan kondisi dislpay di pasar swalayan Jatinangor dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu baik, cukup baik, dan tidak baik berdasarkan masing masing parameter yang diamati. Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 12 sampel yang didapat dari dua pasar swalayan yang terdapat di daerah Jatinangor. Dari satu pasar swalayan masingmasing diambil sebanyak 6 keju yaitu antara lain 2 keju Cheddar, 2 keju Mozarella, dan 2 cream cheese yang diambil berdasarkan teknik purposive sampling. 5.1.1 Kondisi Sanitasi Sanitasi adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007). Praktik sanitasi berhubungan erat dengan potensi timbulnya kontaminasi. Untuk mencegah resiko kontaminasi maka perlu adanya pengawasan terhadap sanitasi tempat umum yang

Upload: lykiet

Post on 24-Aug-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Survei Mengenai Penanganan Keju Di Pasar Swalayan Jatinangor

Survei mengenai penanganan keju di pasar swalayan Jatinangor dilakukan

dengan mengisi form survei mengenai kondisi sanitasi di pasar swalayan, kondisi

produk yang berada di pasar swalayan, kondisi display, dan kondisi distribusi saat

mengirim produk ke pasar swalayan. Kondisi sanitasi, kondisi produk, kondisi

distribusi, dan kondisi dislpay di pasar swalayan Jatinangor dikelompokkan dalam

tiga kategori, yaitu baik, cukup baik, dan tidak baik berdasarkan masing – masing

parameter yang diamati. Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 12 sampel

yang didapat dari dua pasar swalayan yang terdapat di daerah Jatinangor. Dari

satu pasar swalayan masing– masing diambil sebanyak 6 keju yaitu antara lain 2

keju Cheddar, 2 keju Mozarella, dan 2 cream cheese yang diambil berdasarkan

teknik purposive sampling.

5.1.1 Kondisi Sanitasi

Sanitasi adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara

dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan

lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat

mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007). Praktik sanitasi

berhubungan erat dengan potensi timbulnya kontaminasi. Untuk mencegah resiko

kontaminasi maka perlu adanya pengawasan terhadap sanitasi tempat umum yang

40

erat hubungannya dengan timbulnya suatu penyakit atau penyebebaran

keberadaan bakteri patogen.

Survei kondisi sanitasi di pasar swalayan Jatinangor dilakukan dengan

mengamati rentang waktu pembersihan rak display, kebersihan ruangan pasar

swalayan, dan lokasi tempat penjualan. Berdasarkan rentang waktu pembersihan

rak display, yang termasuk kedalam kategori sanitasi baik adalah etalase tempat

penyimpanan di bersihkan setiap hari, yang termasuk kedalam kategori sanitasi

cukup baik adalah etalase tempat penyimpanan di bersihkan seminggu sekali, dan

yang termasuk kedalam kategori sanitasi tidak baik adalah etalase tempat

penyimpanan di bersihkan sebulan sekali. Berdasarkan kebersihan ruangan pasar

swalayan, yang termasuk kedalam kategori sanitasi baik adalah ruangan di

bersihkan 3 kali dalam sehari, yang termasuk kedalam kategori sanitasi cukup

baik adalah ruangan di bersihkan 2 kali dalam sehari, dan yang termasuk kedalam

kategori sanitasi tidak baik adalah ruangan di bersihkan sekali dalam sehari.

Berdasarkan lokasi tempat penjualan, yang termasuk kedalam kategori sanitasi

baik adalah tempat penjualan tertutup dan jauh dari jalan raya, yang termasuk

kedalam kategori sanitasi cukup baik adalah tempat penjualan terbuka dan jauh

dari jalan raya (±600 m), dan yang termasuk kedalam kategori sanitasi tidak baik

adalah tempat penjualan terbuka dan dekat dari jalan raya (±300 m). Adapun hasil

dari survei pengamatan sanitasi di pasar swalayan Jatinangor dapat dilihat pada

Gambar 4.

41

Gambar 1. Kondisi Sanitasi Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari

Tiga Aspek yaitu Rentang Waktu Pembersihan Rak Display, Kebersihan

Ruangan, dan Lokasi Tempat Penjualan

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Tabel 1. Kondisi Sanitasi Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari

Tiga Aspek yaitu Rentang Waktu Pembersihan Rak Display,

Kebersihan Ruangan, dan Lokasi Tempat Penjualan

Parameter Sanitasi Swalayan A Swalayan B

Rentang waktu

pembersihan rak

display

Setiap hari (Baik) Seminggu 1x (Cukup Baik)

Rentang waktu

pembersihan lantai

2x sehari (Cukup Baik) 3x sehari (Baik)

Lokasi Tempat

Penjualan

Terbuka, Terletak jauh

dari jalan raya (Cukup

Baik)

Terbuka, Terletak di

pinggir jalan raya (Tidak

Baik)

Dari hasil yang didapat, diketahui bahwa kondisi sanitasi pada pasar

swalayan A lebih baik dibandingkan kondisi sanitasi pada pasar swalayan B. Hal

tersebut dapat dilihat dari presentase yang menunjukan bahwa kondisi sanitasi

yang termasuk kedalam kategori sanitasi baik pada swalayan A ataupun swalayan

Presentase Kondisi Sanitasi

42

B sebesar 33,33 %, namun presentase yang masuk kedalam kategori sanitasi

cukup baik pada pasar swalayan A lebih tinggi yaitu sebesar 66,67 % dan pasar

swalayan B sebesar 33,33 %, sedangkan hasil yang menyatakan kondisi sanitasi

yang termasuk kedalam kategori sanitasi tidak baik pada pasar swalayan B adalah

33,33 %.

Kondisi sanitasi pasar swalayan A yang menjual keju Mozarella, keju

Cheddar, dan cream cheese lebih baik dibandingkan pasar swalayan B

dikarenakan oleh beberapa faktor. Pada pasar swalayan A etalase tempat

menyimpan produk dibersihkan setiap hari dengan tujuan untuk mengurangi

resiko produk terkontaminasi mikroba yang tidak diinginkan, sedangkan pada

pasar swalayan B etalase tempat menyimpan produk dibersihkan setiap seminggu

sekali. Menurut Rane (2011), tingkat sanitasi higiene lokasi pengolahan, peralatan

pengolahan dan penyajian, bahan baku, proses pengolahan, dan sanitasi higiene

pekerja yang rendah berkontribusi utama terhadap kontaminasi mikroba.

Kebersihan ruangan juga menjadi satu faktor penting, karena apabila

ruangan sering dibersihkan maka akan mengurangi resiko keberadan bakteri dan

kontaminan yang tidak diinginkan yang mungkin tumbuh apabila sanitasi yang

cukup baik. Menurut (Dap dkk., 2008), Escherichia coli termasuk salah satu

bakteri yang paling sering ditemukan di lantai. Peluang keberadaan E. coli perlu

dicegah dengan cara membersihkan lantai secara berkala. Pada pasar swalayan A

ruangan dibersihkan sebanyak dua kali dalam sehari, sedangkan pasar swalayan B

dibersihkan sebanyak tiga kali dalam sehari. Hal ini sudah sesuai anjuran dari

BPOM (2012), yang menyatakan program higiene dan sanitasi seharusnya

43

dilakukan secara berkala serta dipantau ketepatan dan keefektifannya dan jika

perlu dilakukan pencatatan. Penggunaan bahan pembersih juga menjadi salah satu

faktor penting, sehingga pemilihan bahan disinfektan yang tepat juga akan

berpengaruh terhadap peluang munculya kontaminasi. Zat disinfektan dalam

cairan pembersih lantai akan membunuh mikroorganisme yang terdapat di lantai

pasar swalayan. Mikroorganisme tersebut antara lain adalah E. coli, Pseudomonas

aeruginosa, Enterobacter cloacae, Salmonella sp., dan lain-lain (Dap dkk., 2008).

Beberapa disinfektan yang biasa digunakan sebagai pembersih lantai adalah lysol

(klorofenol dan kresol), karbol (fenol) dan kreolin (Dap dkk., 2008).

Selain kebersihan etalase dan ruangan, faktor lain yang perlu diperhatikan

adalah lokasi tempat penjualan. Lokasi pasar swalayan A terletak cukup jauh dari

jalan raya (±600 m), sedangkan pasar swalayan B terletak di pinggiran jalan raya

(±300 m) sehingga memungkinkan lebih besar kontaminasi debu dan kotoran dari

jalan raya masuk ke tempat penjualan dan berpotensi lebih tinggi untuk produk

terkontaminasi E. coli. Namun karena produk sudah dikemas maka kemungkinan

untuk terkontaminasi kecil karena kemasan dinilai tidak dapat dilalui mikroba

tetapi mikroba dapat mengontaminasi produk apabila kemasan yang digunakan

untuk melindungi produk rusak.

5.1.2 Kondisi Display / Penyimpanan

Survei kondisi display pada pasar swalayan di Jatinangor dilakukan

dengan mengamati kondisi display produk, suhu penyimpanan yang digunakan

untuk menyimpan produk, dan keadaan penyimpanan produk sebelum di pajang

44

di display. Berdasarkan kondisi display produk, yang termasuk kedalam kategori

display baik adalah produk disimpan di rak berpendingin dan terpisah dari produk

jenis lainnya, yang termasuk kedalam kategori display cukup baik adalah produk

disimpan di rak berpendingin bersama dengan produk jenis lainnya, dan yang

termasuk kedalam kategori display tidak baik adalah produk disimpan di rak tanpa

pendingin bersama dengan produk jenis lainnya. Berdasarkan suhu penyimpanan

yang digunakan untuk menyimpan produk, yang termasuk kedalam kategori

display baik adalah suhu refrigerasi (4–10 oC), yang termasuk kedalam kategori

display cukup baik adalah suhu ruang (25-30 oC), dan yang termasuk kedalam

kategori display tidak baik adalah suhu tinggi (>30 oC). Berdasarkan keadaan

penyimpanan produk sebelum di pajang di display, yang termasuk kedalam

kategori display baik adalah disimpan pada suhu refrigerasi dengan ditumpuk

rapih, yang termasuk kedalam kategori display cukup baik adalah disimpan pada

suhu refrigerasi tanpa ditumpuk rapih, dan yang termasuk kedalam kategori

display tidak baik adalah disimpan pada suhu ruang dengan ditumpuk rapih.

Adapun hasil dari survei pengamatan display / penyimpanan produk di pasar

swalayan Jatinangor dapat dilihat pada Gambar 5.

45

Gambar 2. Kondisi Display Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari

Tiga Aspek yaitu Kondisi Display Produk, Suhu Penyimpanan, dan Keadaan

Penyimpanan Produk Sebelum di Pajang pada Display

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Tabel 2. Kondisi Display Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari

Tiga Aspek yaitu Kondisi Display Produk, Suhu Penyimpanan, dan

Keadaan Penyimpanan Produk Sebelum di Pajang pada Display

Swalayan A Swalayan B

Kondisi display

produk

Disimpan pada lemari

pendingin dan

diletakkan terpisah

dengan jenis produk

lainnya (Baik)

Disimpan pada lemari pendingin

dan diletakkan terpisah dengan

jenis produk lainnya (Mozarella,

CC) (Baik)

Disimpan pada suhu ruang

bersama jenis produk lainnya

(Cheddar) (Tidak Baik)

Suhu

penyimpanan

keju

4 – 10 oC (Baik) 4 – 10

oC (Mozarella, CC) (Baik)

Suhu ruang (25-30 oC) (Cheddar)

(Cukup Baik)

Keadaan

penyimpanan

produk sebelum

di pajang di

display

Disimpan pada rak

dengan suhu refrigasi

dan ditumpuk dengan

rapih (Baik)

Disimpan pada rak dengan suhu

refrigasi tanpa ditumpuk dengan

rapih (Mozarella, CC) (Cukup

Baik)

Disimpan pada suhu ruang dan

ditumpuk dengan rapih

(Cheddar) (Tidak Baik)

Presentase Kondisi Display

46

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi display pada pasar

swalayan A lebih baik dibandingkan kondisi display pada pasar swalayan B. Hal

tersebut dapat dilihat dari presentase yang menunjukan bahwa hasil yang

termasuk kedalam kategori baik pada swalayan A lebih tinggi yaitu sebesar 100%.

Berbeda dengan pasar swalayan A, presentase kondisi display pada pasar

swalayan B menunjukkan hasil yang berbeda untuk produk keju Mozarella dan

cream cheese dengan keju Cheddar. Keju Cheddar yang diperoleh dari pasar

swalayan B menyatakan bahwa presentase hasil yang termasuk dalam kategori

display cukup baik hanya sebesar 33,33 %, sedangkan 66,67 % sisanya masuk

kedalam kategori display tidak baik. Untuk keju Mozarella dan cream cheese

yang diperoleh dari pasar swalayan B mendapatkan hasil yang sama yaitu hasil

yang termasuk kedalam kategori display baik sebesar 66,67 % dan 33,33 %

sisanya masuk kedalam kategori display cukup baik.

Presentase keju Cheddar yang berasal dari pasar swalayan B menunjukkan

hasil yang paling tidak baik dibandingkan jenis keju lainnya. Pada pasar swalayan

A semua produk keju yang dijual disimpan pada lemari pendingin dengan kisaran

suhu 4 – 10 oC dan diletakkan terpisah dengan jenis produk lainnya, sedangkan

pada pasar swalayan B produk keju Mozarella dan cream cheese ditempatkan

pada lemari pendingin dengan kisaran suhu 4 – 10 oC dan diletakkan terpisah

dengan jenis produk lainnya namun untuk produk keju Cheddar hanya disimpan

pada rak tanpa pendingin dan dicampur dengan produk jenis lainnya. Berdasarkan

rekomendasi penyimpanan yang tertera pada kemasan produk keju Mozarella,

keju Cheddar, dan cream cheese dianjurkan untuk disimpan pada kisaran suhu 2 –

47

4 oC. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan

kerusakan atau penurunan mutu produk. Menurut BPOM (2011), tata letak area

penyimpanan hendaklah sedemikian rupa untuk memungkinkan pemisahan bahan

dari berbagai kategori secara efektif dan teratur serta memungkinkan rotasi stok.

Bahan yang berbeda seharusnya disimpan pada area yang terpisah.

Selain kondisi display, hal penting lain yang harus diperhatikan yaitu

penyimpanan keju sebelum dipajang pada rak display. Sebelum diletakkan pada

display, keju Cheddar, keju Mozarella, dan cream cheese dari pasar swalayan A

disimpan pada rak dengan suhu refrigerasi yaitu kisaran suhu 4 – 10 oC dan

ditumpuk dengan rapih, sedangkan keju Mozarella dan cream cheese dari pasar

swalayan B disimpan pada gudang penyimpanan dengan suhu refrigerasi yaitu

kisaran suhu 4 – 10 oC tanpa ditumpuk dengan rapih. Berbeda dengan keju yang

lainnya, keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B hanya disimpan pada

suhu ruang (25-30 oC) dengan ditumpuk rapih.

5.1.3 Kondisi Produk

Survei kondisi produk pada pasar swalayan di Jatinangor dilakukan

dengan mengamati keadaan fisik kemasan produk, kelengkapan informasi yang

tercantum pada produk, dan lama waktu produk ditarik dari display. Berdasarkan

keadaan fisik kemasan, yang termasuk kedalam kategori produk baik adalah

kemasan tidak mengalami kerusakan, yang termasuk kedalam kategori produk

cukup baik adalah kemasan rusak berupa penyok akibat tekanan atau benturan,

dan yang termasuk kedalam kategori produk tidak baik adalah kemasan rusak

48

berupa sobek atau berlubang. Berdasarkan kelengkapan informasi yang tercantum

pada produk, yang termasuk kedalam kategori produk baik adalah informasi pada

kemasan tercantum lengkap, yang termasuk kedalam kategori produk cukup baik

adalah informasi tercantum lengkap kecuali petunjuk penyimpanan, dan yang

termasuk kedalam kategori produk tidak baik adalah informasi tercantum lengkap

kecuali tanggal kedaluwarsa. Berdasarkan lama waktu produk ditarik dari display,

yang termasuk kedalam kategori produk baik adalah produk ditarik dari display

sebelum mencapai waktu kedaluwarsa, yang termasuk kedalam kategori produk

cukup baik adalah produk ditarik dari display pada saat produk hampir mencapai

waktu kedaluwarsa yaitu satu minggu sebelum waktu kedaluwarsa, dan yang

termasuk kedalam kategori produk tidak baik adalah produk ditarik dari display

saat waktu kedaluwarsa dan saat kemasan produk mengalami kerusakan. Adapun

hasil dari survei pengamatan kondisi produk di pasar swalayan Jatinangor dapat

dilihat pada Gambar 6.

49

Gambar 3. Kondisi Produk Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari

Tiga Aspek yaitu Keadaan Fisik Kemasan, Kelengkapan Informasi, dan

Lama Waktu Produk ditarik dari Display

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Tabel 3. Kondisi Produk Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari

Tiga Aspek yaitu Keadaan Fisik Kemasan, Kelengkapan Informasi,

dan Lama Waktu Produk ditarik dari Display

Swalayan A Swalayan B

Keadaan fisik

kemasan

tidak ada kerusakan (Baik) tidak ada kerusakan (Baik)

Kelengkapan

informasi

tercantum dengan lengkap

(Baik)

tercantum dengan lengkap

(Baik)

Lama waktu

produk ditarik

dari display

sekitar sebulan sebelum

waktu kedaluwarsa yang

tercantum pada kemasan

(Baik)

hampir mencapai tanggal

kedaluwarsa atau saat

kemasan produk

mengalami kerusakan

(Cukup Baik)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi produk pada pasar

swalayan A lebih baik dibandingkan kondisi produk yang berasal dari pasar

swalayan B. Hal tersebut dapat dilihat dari presentase yang menunjukan bahwa

Presentase Kondisi Produk

50

hasil yang menyatakan berada dalam kategori baik pada pasar swalayan A lebih

tinggi yaitu sebesar 100 % dibanding pasar swalayan B yaitu presentase baik yang

didapat hanya sebesar 66,67 % dan presentase yang masuk kedalam kategori yang

cukup baik adalah sebesar 33,33 %.

Kondisi produk yang didapat dari pasar swalayan A dan pasar swalayan B

tidak ditemukan adanya kerusakan pada kemasan produk. Kemasan yang

digunakan untuk melindungi produk keju Cheddar adalah kemasan alumunium

foil yang digunakan sebagai kemasan primer dan karton tipis sebagai kemasan

sekunder. Keju Cheddar dikemas dengan menggunaan kemasan sekunder

dikarenakan kemasan primer untuk membungkus keju ini sangat tipis yaitu

memiliki ketebalan <0,15 mm tetapi sudah mampu melindungi produk dari uap

air. Menurut penelitian Michael dalam Chuansin et al. (2006), alumunium foil

memiliki sifat perlindungan terhadap air (0.0914 cc/m2 /jam) lebih baik dibanding

polyetilen (0.2472 cc/m2 /jam). Kemasan yang digunakan untuk melindungi keju

Mozarella adalah plastik polyetilen (PE) dengan dikemas vakum. Polyetilen

memiliki ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi dan banyak digunakan untuk

mengemas makanan karena sifatnya thermoplastik sehingga polyetilen mudah

dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1980).

Pada produk cream cheese kemasan yang digunakan untuk melindungi produk

yaitu Polystyrene (PS). Produk cream cheese hanya dikemas dengan kemasan

Polystyrene saja dan direkatkan dengan selotip/ plastik perekat sehingga potensi

pencemaran dapat terjadi.

51

Informasi pada kemasan produk yang dijual pada pasar swalayan A

maupun pasar swalayan B tercantum dengan lengkap untuk memudahkan

konsumen mengetahui informasi mengenai produk yang hendak dikonsumsi.

Label merupakan suatu bagian penting dari sebuah produk yang membawa

informasi verbal tentang produk atau penjualnya. Label memiliki kegunaan untuk

memberikan infomasi yang jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi,

kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai barang yang

diperdagangkan.

Selain kemasan dan kelengkapan labeling, hal lain yang harus diperhatikan

pada kondisi display adalah lama waktu produk ditarik dari display. Makanan

seharusnya ditarik dari display sebelum tanggal kedaluwarsa yang telah tercantum

pada kemasan, karena apabila produk yang sudah kedaluwarsa tetap dipajang pada

rak display maka akan memepengaruhi kualitas produk lainnya. Pada pasar

swalayan A produk yang dipajang pada display ditarik sebelum produk mencapai

waktu kedaluwarsa yaitu sekitar sebulan sebelum waktu kedaluwarsa yang

tercantum pada kemasan, sedangkan pada pasar swalayan B produk akan ditarik

apabila hampir mencapai tanggal kedaluwarsa yaitu satu minggu sebelum waktu

kedaluwarsa atau pada saat kemasan produk mengalami kerusakan.

5.1.4 Kondisi Distribusi

Survei distribusi produk pada pasar swalayan di Jatinangor dilakukan

dengan mengamati lama waktu pengiriman produk dari tempat produksi hingga

sampai di pasar swalayan Jatinangor, alat transportasi yang digunakan untuk

52

mengirim produk ke pasar swalayan Jatinangor, dan keadaan produk saat proses

pengiriman. Berdasarkan lama waktu pengiriman produk dari tempat produksi

hingga sampai di pasar swalayan Jatinangor, yang termasuk kedalam kategori

distribusi baik adalah produk sampai kurang dari 1 jam, yang termasuk kedalam

kategori distribusi cukup baik adalah produk sampai antara 1 hingga 3 jam, dan

yang termasuk kedalam kategori distribusi tidak baik adalah produk sampai lebih

dari 3 jam. Berdasarkan alat transportasi yang digunakan, yang termasuk kedalam

kategori distribusi baik adalah alat transportasi yang digunakan merupakan mobil

yang dilengkapi box berpendingin dan yang termasuk kedalam kategori distribusi

tidak baik adalah mobil yang digunakan tanpa dilengkapi box berpendingin.

Berdasarkan keadaan produk saat proses pengiriman, yang termasuk kedalam

kategori distribusi baik adalah produk dikemas dengan kemasan tersier seperti

kardus dan ditumpuk rapih dan yang termasuk kedalam kategori distribusi tidak

baik adalah produk ditumpuk rapih tanpa dikemas dengan kemasan tersier seperti

kardus. Adapun hasil dari survei pengamatan kondisi distribusi di pasar swalayan

Jatinangor dapat dilihat pada Gambar 7.

53

Gambar 4. Kondisi Distribusi Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat

dari Tiga Aspek yaitu Lama Waktu Pengiriman Produk dari Tempat

Produksi Hingga Sampai di Pasar Swalayan Jatinangor, Alat Transportasi

yang Digunakan, dan Keadaan Produk Saat Proses Pengiriman

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Swalayan A Swalayan B

Lama waktu

pengiriman produk

> 3 jam (Mozarella)

(Tidak Baik)

1-3 jam (Cheddar, CC)

(Cukup Baik)

> 3 jam (Mozarella) (Tidak

Baik)

1-3 jam (Cheddar, CC)

(Cukup Baik)

Alat transportasi

yang digunakan

mobil yang dilengkapi

box berpendingin (Baik)

mobil yang dilengkapi box

berpendingin (Baik)

Keadaan produk

saat proses

pengiriman

dikemas dengan kemasan

tersier seperti kardus dan

ditumpuk rapih (Baik)

dikemas dengan kemasan

tersier seperti kardus dan

ditumpuk rapih (Baik)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi distribusi cream cheese

yang diperoleh dari swalayan A, cream cheese dari swalayan B, keju Cheddar

dari swalayan A, dan keju Cheddar dari swalayan B memiliki presentasi nilai

yang sama yaitu menunjukkan 66,67 % kategori baik dan 33,33 % termasuk

kategori cukup baik. Dari presentase yang didapat maka nilai tersebut lebih baik

Presentase Kondisi Distribusi

54

dibandingkan kondisi distribusi keju Mozarella yang berasal dari pasar swalayan

A dan keju Mozarella yang berasal dari pasar swalayan B yaitu menunjukkan

presentase yang termasuk ke dalam kategori baik yang didapat sebesar 66,67 %

dan presentase yang masuk kedalam kategori yang tidak baik adalah sebesar

33,33%.

Rentang waktu pengiriman produk terbagi menjadi tiga kategori yaitu satu

jam (baik), satu hingga tiga jam (cukup baik), dan lebih dari tiga jam (tidak baik).

Rentang waktu yang digunakan ditujukan untuk mengukur seberapa lama waktu

tempuh produk dari produsen hingga sampai ke pasar swalayan. Keju dapat

beresiko mengalami kerusakan apabila alat transportasi yang digunakan untuk

mengirim produk tidak dilengkapi pendingin sehingga produk tidak disimpan

sesuai pada tempat yang disarankan pada saran penyimpanan. Selain itu, apabila

alat transportasi yang digunakan tidak terdapat alat pendingin maka akan

berpengaruh pada lama waktu tempuh perjalanan, apabila semakin lama waktu

pengiriman maka resiko produk mengalami kerusakan juga semakin tinggi.

Keju merupakan makanan ready to eat yang harus disimpan pada suhu

dingin. Menurut Pasalu dkk. (2013), penyimpanan dan penjualan makanan siap

santap seharusnya dilakukan pada suhu dibawah 7oC atau di atas 60

oC. Sehingga

apabila kendaraan yang digunakan untuk mengirim keju tidak dilengkapi

pendingin maka dapat memperbesar resiko kerusakan keju, karena selain

mempertahankan kualitas produk pendinginan juga dapat menghambat kerusakan

makanan karena dengan penyimpanan pada suhu 4 oC pertumbuhan bakteri dan

proses biokimia dapat diperhambat.

55

Lama waktu perjalanan tiap produk berbeda – beda tergantung tempat

produksi dari masing – masing produk. Keju Mozarella yang dibeli dari pasar

swalayan A maupun pasar swalayan B dikirim dari Malang, sehingga untuk

mengirimkan produk dari Malang ke Jatinangor membutuhkan waktu lebih dari 3

jam. Berbeda dengan keju Mozarella, produk keju Cheddar dan cream cheese

masing – masing dikirim dari Bekasi dan Jakarta sehingga waktu tempuh dari

masing – masing perusahaan hanya sekitar satu hingga tiga jam saja. Lama waktu

tempuh untuk mengirim produk tidak berpengaruh pada kualitas produk keju

Mozarella, cream cheese, dan keju Cheddar karena sarana transportasi yang

digunakan sudah dilengkapi dengan pendingin dengan menggunakan suhu sesuai

dengan saran penyimpanan produk, sehingga potensi produk mengalami

kerusakan selama distribusi rendah.

5.2 Analisa Mutu Mikrobiologi Keju di Swalayan Jatinangor

5.2.1 Escherichia coli

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata jumlah E. coli yang terdeteksi

pada masing - masing sampel keju yang diamati berbeda. Rata-rata jumlah E. coli

yang tertinggi terdapat pada sampel cream cheese yang diperoleh dari pasar

swalayan A, cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan B, dan keju

Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B. Adapun hasil perhitungan jumlah

rata – rata E. coli yang terdapat pada sampel keju yang diperoleh dari pasar

swalayan di Jatinangor dapat dilihat pada Tabel 9.

56

Tabel 4. Hasil Pengamatan E. coli pada Keju di Pasar Swalayan Jatinangor

Dibandingkan dengan SNI

Sampel ∑ Koloni rata – rata

SNI TPC (cfu/g)

Cheddar A 1 × 101 1 × 10

1

Cheddar B 2 × 101 1 × 10

1

Mozarella A 1 × 101 1 × 10

1

Mozarella B 1 × 101 1 × 10

1

Cream Cheese A 2 × 101 1 × 10

1

Cream Cheese B 2 × 101 1 × 10

1

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa jumlah E. coli yang terdapat pada

produk cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan A, cream cheese yang

diperoleh dari pasar swalayan B, dan keju Cheddar yang diperoleh dari pasar

swalayan B lebih tinggi dari batas standar yang telah ditetapkan oleh SNI

7388:2009 yaitu maksimal 1 × 101 cfu/gram. Sedangkan pada sampel lainnya juga

ditemukan keberadaan E. coli namun masih memenuhi batas SNI 7388:2009. Hal

ini sesuai dengan penelitian Najand dan Ghanbarpour (2006) yang mengisolasi

E. coli sebanyak 99% dari 77 sampel keju lunak domestik Iran. Adetunji (2010)

melaporkan keju wara (keju lunak Afrika Barat) terkontaminasi E. coli O157:H7.

Pada penelitian Alper dan Nesrin (2013), E. coli ditemukan pada semua spesimen

keju putih segar Turki.

Hasil yang dinyatakan positif terdapat E. coli ditandai dengan adanya

pertumbuhan koloni berwarna hijau metalik pada media EMB agar. Menurut

Atlas (1993), karakteristik koloni E. coli yang tumbuh pada media EMB agar,

biasanya berwarna merah metalik atau hijau metalik, berbeda dengan famili

Enterobactericeae lainnya seperti Salmonella dan Proteus jika tumbuh pada media

57

ini akan menampakan koloni yang berwarna merah muda tanpa disertai

karakteristik metalik pada permukaan koloninya.

Berdasarkan hasil survei dari berbagai aspek kondisi yaitu meliputi

kondisi sanitasi, kondisi display/ penyimpanan, dan kondisi produk dapat dilihat

bahwa kondisi pasar swalayan A lebih baik dibandingkan pasar swalayan B,

sedangkan kondisi distribusi antara pasar swalayan A dengan pasar swalayan B

menunjukan hasil yang sama. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan

bahwa kondisi display/ penyimpanan dan kondisi produk dinilai dapat

memberikan kualitas mutu mikrobiologi produk yang berbeda.

Keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B menunjukan hasil

yang melebihi batas SNI 7388:2009. Hal ini disebabkan karena kondisi display /

penyimpanan keju Cheddar yang disimpan pada rak tidak berpendingin dan

karena pada saat keju Cheddar disimpan di gudang penyimpanan sebelum

dipajang pada rak display, gudang penyimpanan juga tidak dilengkapi pendingin.

Menurut Pasalu dkk. (2013), kebiasaan menyimpan atau menjajakan makanan

selama beberapa jam pada suhu kamar, terutama makanan siap santap berisiko

tinggi (pH > 4,5 dan Aw > 0,85) dapat menimbulkan risiko bahaya bagi

kesehatan. Penyimpanan dan penjualan makanan siap santap seharusnya

dilakukan pada suhu dibawah 7oC atau di atas 60

oC (Pasalu dkk., 2013).

Kesesuaian tempat penyimpanan berpengaruh pada kualitas produk terutama mutu

mikrobiologi produk. Hal tersebut dikarenakan penyimpanan pada suhu selain

suhu yang dianjurkan dapat mempercepat pertumbuhan bakteri patogen yang

terdapat pada pangan. Menurut Garbutt (1997), suhu memiliki pengaruh yang

58

sangat penting terhadap fase adaptasi pertumbuhan mikroorganisme. Ketika suhu

mendekati suhu minimum maka dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan dan

dapat memperpanjang fase adaptasi.

Cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan A maupun pasar

swalayan B juga menunjukan hasil E. coli yang melebihi batas yang ditetapkan

pada SNI 7388:2009. Hal ini disebabkan karena kondisi sanitasi dan kondisi

produk itu sendiri. Keju ini dikemas dengan kemasan polistirena (PS). Menurut

BPOM (2008), polistirena bersifat kaku, transparan, rapuh, inert secara kimiawi,

dan merupakan insulator yang baik. Selain itu, menurut Sulchan dan Endang

(2007) menyatakan bahwa kemasan PS bersifat sangat amorphous dan tembus

cahaya, mempunyai indeks refraksi tinggi, sukar ditembus oleh gas kecuali uap

air. Karena sifatnya tersebut, maka masih memungkinkan adanya resiko cemaran

pada produk yang dikemas. Penggunaan kemasan yang kurang sesuai dapat

mempercepat pertumbuhan bakteri yang sudah terdapat pada cream cheese karena

apabila kemasan tidak mampu melindungi produk dari faktor eksternal seperti uap

air maka selama penyimpanan memungkinkan kondisi produk akan berubah.

Potensi keberadaan E. coli pada keju lunak lebih tinggi dibandingkan keju

semi keras maupun keju keras dikarenakan bahan baku pembuatan keju lunak

biasanya menggunakan susu tanpa melalui proses pasteurisasi. Apabila susu yang

digunakan tidak melalui proses pasteurisasi maka masih memungkinkan terdapat

bakteri patogen. Meskipun saat pengolahan sudah dapat dipastikan bahwa

mikroba yang terdapat pada produk masih sesuai batas standar yang telah

ditetapkan oleh Badan Standar Nasional, namun apabila faktor eksternal

59

mendukung pertumbuhan bakteri tersebut maka bakteri yang terdapat pada produk

dapat menjadi lebih banyak. Keju yang menggunakan susu pasteurisasi beresiko

lebih rendah untuk terkontaminasi karena suhu pasteurisasi mampu menghambat

atau membunuh bakteri patogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarwanto

(2012), yang menyatakan bahwa bakteri patogen akan mati pada proses

pasteurisasi yang sempurna. Menurut Hobbs dan Roberts (1997), tujuan dari

pasteurisasi adalah untuk membunuh bakteri patogen dan bakteri non patogen

(pembusuk atau perusak), sekaligus untuk meningkatkan mutu susu.

Hal lainnya juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik kimia yaitu aw atau

aktivitas air. Nilai aw rata – rata cream cheese adalah 0,9885, sedangkan menurut

Supardi dan Sukamto (1999) aw minimum untuk pertumbuhan bakteri E. coli

adalah 0,96. Menurut Waluyo (2001), pada nilai aktivitas air sama dengan 0

berarti molekul air yang bersangkutan sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas

dalam proses kimia, sedangkan nilai aktivitas air sama dengan 1 berarti potensi air

dalam proses kimia pada kondisi maksimal. Cream cheese yang diteliti juga

memiliki tanggal kedaluwarsa pada 16 Mei 2017, sehingga ada kemungkinan

hasil E. coli pada cream cheese yang diteliti ini melebihi standar SNI 7388:2009

karena sudah hampir mendekati waktu kedaluwarsa.

E. coli merupakan bakteri indikator adanya kontaminasi feses sehingga

memungkinkan adanya patogen yang lain. Menurut Altalhi dan Hassan (2009),

E. coli digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap kontaminasi

feses dan kemungkinan adanya mikroorganisme enteropatogenik dan/atau

toksigenik sehingga E. coli dikenal sebagai agen penyebab diare dan penyakit-

60

penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illness). Hal tersebut tidak

sesuai, karena meskipun pada penelitian ditemukan keberadaan E. coli namun

keberadaan bakteri patogen lainnya tidak dapat ditemukan.

Tidak semua spesies E. coli bersifat patogen, namun keberadaan bakteri

E. coli pada bahan pangan merupakan indikator bahwa pangan tersebut

terkontaminasi feses sehingga memungkinan adanya keberadaan bakteri patogen

lainnya. Keberadaan E.coli pada produk siap santap beresiko menyebabkan

keracunan makanan. Menurut Nurwantoro dan Djarijah (1997) bakteri E. coli

yang terdapat pada makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh manusia

dapat menyebabkan penyakit seperti kolera, disentri, gastroenteritis, diare dan

berbagai penyakit saluran pencernaan lain. Pencemaran oleh E. coli pada produk

keju dapat terjadi selama proses pengolahan keju hingga saat penyimpanan. Pada

saat proses pengolahan, pencemaran oleh E. coli dapat berasal dari air yang

digunakan selama proses pengolahan. Air yang terkontaminasi koliform

merupakan sumber utama pencemaran karena bakteri ini dapat bertahan selama 6

bulan dalam sedimen air dan sepanjang musim dingin (Manning, 2010).

Selain itu, sumber kontaminasi E.coli saat proses pengolahan dapat

ditemukan apabila kondisi sanitasi lingkungan pengolahan dan pekerja cukup

baik. Menurut Depkes (2006), faktor utama yang mempengaruhi kontaminasi

E. coli pada makanan adalah higiene dan sanitasi. Faktor higiene meliputi

beberapa aspek seperti kebersihan tubuh penjamah serta perilaku penjamah

selama mengolah makanan. Sedangkan sanitasi mencakup fasilitas sanitasi,

manajemen limbah, dan sanitasi peralatan. Menurut penelitian Hatta (2014),

61

kontaminasi E. coli sebanyak 40% ditemukan pada tangan pekerja. Hal tersebut

disebabkan karena terjadinya perpindahan feses melalui pekerja lewat kontak

langsung dengan bahan pangan. Sanitasi pekerja perlu diperhatikan karena pekerja

sering bersentuhan langsung dengan produk sehingga berpotensi lebih tinggi

sebagai agen pemindah mikroba patogen. Salah satu cara untuk mencegah resiko

tersebut yaitu dengan menjaga higiene pekerja. Tujuan praktik higiene tangan

adalah mengeliminasi secara cepat flora transien dan memberikan aktivitas

antimikroba terhadap flora residen (Jurnaa 2005). Menurut Cahyaningsih et al.

(2009), mencuci tangan sebelum bekerja dan tidak mencuci tangan dengan sabun

setelah dari toilet memiliki hubungan yang nyata dengan jumlah angka kuman

dalam makanan. Menurut Montville et al. (2002), risiko yang terkait dengan

berbagai teknik pencucian tangan mengindikasikan bahwa mencuci tangan yang

dikerjakan secara benar dapat mengurangi risiko kontaminasi bakteri pada tangan.

Penelitian di India menunjukkan bahwa pencucian tangan dengan air dan sabun

dapat mereduksi 43% bakteri patogen pada tangan pelajar (Tambekar et al.,

2007).

5.2.2 Salmonella sp.

Dari semua sampel keju yang telah diteliti diperoleh hasil bahwa tidak

terdapat keberadaan Salmonella pada keju yang diperoleh dari pasar swalayan A

maupun pasar swalayan B. Adapun hasil pengamatan Salmonella pada keju yang

diperoleh dari pasar swalayan Jatinangor dapat dilihat pada Tabel 10.

62

Tabel 5. Hasil Pengamatan Salmonella sp. pada Keju di Pasar Swalayan

Jatinangor Dibandingkan dengan SNI

Sampel Hasil SNI

Cheddar A negatif negatif

Cheddar B negatif negatif

Mozarella A negatif negatif

Mozarella B negatif negatif

Cream Cheese A negatif negatif

Cream Cheese B negatif negatif

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Hasil yang menunjukkan bahwa tidak ditemukannya keberadaan

Salmonella pada seluruh sampel keju yang diperoleh dari pasar swalayan A dan

pasar swalayan B telah sesuai dengan batas standar yang ditetapkan oleh SNI

7388:2009 yaitu hasil pengujian Salmonella pada semua produk keju harus negatif

per 25 gram. L. monocytogenes dan Salmonella perlu diperhatikan karena

keberadaan bakteri patogen ini memiliki resiko yang lebih berbahaya dari E. coli.

Tidak ditemukannya Salmonella pada keju yang dieliti ditandai dengan tidak

ditemukanya koloni berwarna hitam yang dicirikan sebagai Salmonella, menurut

Nugraha et al. (2012) isolat Salmonella pada media SSA pada suhu 37 oC

memiliki kenampakan yang cembung, transparan, dan bercak hitam dibagian

pusat.

Tidak ditemukannya Salmonella pada keju sejalan dengan penelitian

Carvalho et al. (2009) yang mendeteksi pada keju minas frescal yang diproduksi

oleh usaha rumah tangga di kota Gerais Minas, Brazil, tidak terdapat kontaminasi

Salmonella spp. Namun hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh Alper dan Nesrin (2013) bahwa ditemukannya Salmonella spp. pada dua

spesimen keju putih segar Turki. Hal ini dapat dikaitkan dengan bahan baku yang

63

digunakan untuk membuat keju putih Turki tersebut menggunakan susu mentah

tanpa pasteurisasi. Menurut Garbaj et al. (2007), proses pasteurisasi susu dapat

menekan kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada keju mozarella di Provinsi

Tripoli, Libya. Bakteri Salmonella akan mati pada suhu 60 oC selama 15 – 20

menit melalui pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinasi (Departemen Kesehatan RI,

2006).

Keberadaan Salmonella pada produk siap santap beresiko menyebabkan

penyakit Salmonellosis. Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh

bakteri Salmonella spp. dan dapat menyerang baik pada hewan maupun manusia

atau zoonosis (Office International Des Epizootis, 2000). Berdasarkan SNI

7388:2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan menyatakan

bahwa pangan yang tercemar Salmonella sp. apabila tertelan dapat mengakibatkan

infeksi usus yang diikuti oleh diare, mual, kedinginan, dan sakit kepala. Jumlah

Salmonella sp. yang dapat menyebabkan salmonellosis yaitu antara 107 -10

9 sel/g.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alper dan Nesrin (2013)

dan Carvalho et al. (2009) dapat diketahui bahwa pencemaran oleh Salmonella

dapat ditemukan pada bahan baku pembuatan keju itu sendiri. Kontaminasi pada

susu oleh bakteri patogen dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak

langsung melalui ambing sapi, tubuh sapi, udara/lingkungan di tempat pemerahan,

peralatan yang digunakan, dan pekerja yang melakukan pemerahan susu

(Nurwantoro dan Djarijah, 1997). Menurut Fernandez (2009), susu mentah dapat

mengandung beragam mikroorganisme patogen, termasuk Salmonella spp

(khususnya Salmonella typhimurium dan Salmonella dublin, serotipe yang virulen

64

untuk manusia), Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, dan

Campylobacter spp. yang berasal dari hewan perah, lingkungan, pekerja, dan

peralatan susu. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Akoso (2000) yang

melaporkan bahwa di Indonesia pada tahun 1988 terdapat kasus salmonellosis di

Semarang yang telah menyebabkan kematian sekelompok anak sapi perah. Selain

itu menurut penelitian D’Aoust (2000), kontaminasi Salmonella spp. pada industri

pengolahan susu terjadi terutama akibat sanitasi peralatan yang tidak memadai.

5.2.3 Listeria monocytogenes

Dari semua sampel keju yang telah diteliti diperoleh hasil bahwa tidak

terdapat keberadaan Listeria monocytogenes pada keju yang diperoleh dari pasar

swalayan A maupun pasar swalayan B. Adapun hasil pengamatan

L. monocytogenes pada keju yang diperoleh dari pasar swalayan Jatinangor dapat

dilihat pada Tabel 11.

Tabel 6. Hasil Pengamatan L. monocytogenes pada Keju di Pasar Swalayan

Jatinangor Dibandingkan dengan SNI

Sampel Hasil

SNI 24 jam 48 jam

Cheddar A negatif negatif negatif

Cheddar B negatif negatif negatif

Mozarella A negatif negatif negatif

Mozarella B negatif negatif negatif

Cream Cheese A negatif negatif negatif

Cream Cheese B negatif negatif negatif

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Hasil yang menunjukkan bahwa tidak ditemukannya keberadaan

L. monocytogenes saat pengamatan 24 jam dan 48 jam setelah inkubasi pada

65

seluruh sampel keju yang diperoleh dari pasar swalayan A dan pasar swalayan B

telah sesuai dengan batas standar yang ditetapkan oleh SNI 7388:2009 yaitu hasil

pengujian L. monocytogenes pada semua produk keju harus negatif per 25 gram.

Hal ini ditandai dengan tidak terdapat pertumbuhan koloni yang mencirikan

L. monocytogenes pada media agar selektif (Oxford agar), L. monocytogenes

ditandai dengan koloni berwarna hitam dengan dikelilingi zona sekeliling jernih.

Tidak ditemukannya keberadaan L. monocytogenes pada semua sampel

keju yang diamati sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadhilah dkk.,

(2014), sebanyak 30 sampel keju Gouda yang terdiri atas 15 sampel keju Gouda

produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor tidak ditemukan keberadaan L.

monocytogenes. Namun hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh Nwachukwu et al. (2009), yang telah mendeteksi keberadaan L.

monocytogenes pada keju Gouda yang diproduksi di Nigeria. Sedangkan

penelitian lainnya didapat enam dari 30 sampel keju impor yang masuk ke

Indonesia mengandung Listeria. Dari enam sampel positif mengandung Listeria

tersebut empat sampel terkonfirmasi sebagai L. monocytogenes (Iswan, 2009).

Keberadaan L. monocytogenes pada produk siap santap beresiko

menyebabkan penyakit listeriosis. Listeriosis pada manusia tidak ditandai dengan

serangkaian gejala yang unik karena penyakit yang timbul tergantung status dan

kondisi pertahanan tubuh inangnya. Terdapat dua bentuk gejala klinis yang

diakibatkan oleh infeksi L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis (listeriosis

bentuk saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (listeriosis bentuk invasif).

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh listeriosis bentuk saluran pencernaan di

66

antaranya mual, muntah, kram perut, dan diare. Listeriosis bentuk invasif diakui

sebagai foodborne disease yang serius karena tingkat keparahan gejala dan tingkat

kematian yang tinggi yaitu 20-30% (Garrido et al., 2008). Gejala klinis yang

ditimbulkan oleh listeriosis bentuk invasif yaitu meningitis, meningoensefalitis,

dan septikemia, serta pada wanita hamil dapat mengakibatkan kluron/abortus,

kematian pada bayi yang baru lahir atau persalinan prematur (Delgado, 2008).

L. monocytogenes dapat ditemukan pada berbagai jenis pangan mentah

dan pangan olahan, susu dan produk olahan susu (Kells et al., 2004). Menurut

Doyle et al. (2001), L. monocytogenes dapat bertahan hidup pada proses

pembuatan dan pematangan keju. Sifat L. monocytogenes yang tahan terhadap pH

rendah (sampai pH 4,4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi, dan

kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat

bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju

(Lomonaco et al., 2009). Namun pertumbuhan L. monocytogenes dapat terhambat

oleh pertumbuhan starter laktat. Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada

pembuatan keju akan memfermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat

sehingga dapat menurunkan pH.

Pada saat proses penyimpanan, L. monocytogenes masih dapat tumbuh.

Menurut Fraizer dan Westhoof (1988), pada suhu 4oC dengan kandungan zat besi,

L. monocytogenes masih dapat tumbuh. L. monocytogenes merupakan bakteri

psikrofilik yaitu bakteri yang menyukai suhu dingin untuk pertumbuhannya,

karena memiliki membran sel yang mempunyai kondisi yang baik pada suhu

dingin. Namun apabila ditemukan keberadaan L. monocytogenes pada keju maka

67

menandakan bahwa proses pengolahan keju tersebut terdapat kesalahan. Menurut

Fraizer et al. (1988), bakteri ini mati pada suhu pasteurisasi, sehingga jika masih

bisa didapatkan pada susu yang telah dipasteurisasi menandakan adanya

kesalahan penanganan saat ataupun pasca pasteurisasi. Selain itu, kebersihan dari

peralatan yang tidak terjaga dengan baik akan menjadi salah satu sumber

kontaminasi L. monocytogenes (NSM, 2005).

Susu dapat terkontaminasi L. monocytogenes dari hewan yang terinfeksi

L. monocytogenes. Hewan dapat terinfeksi L. monocytogenes karena memakan

silase atau pakan yang terkontaminasi L. monocytogenes. Menurut Nightingale et

al. (2004), susu dapat terkontaminasi L. monocytogenes melalui kontaminasi

silang dari lingkungan peternakan, peralatan yang digunakan saat pemerahan, dan

melalui pekerja yang terkontaminasi L. monocytogenes.

Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada produk keju yang diteliti

disebabkan oleh kombinasi dari faktor-faktor preservatif (penghambat) pada keju

selama proses pengolahan. Menurut Ryser dan Marth (2007), inaktivasi

L. monocytogenes dapat terjadi akibat dari kombinasi efek antilisteria yang ada

pada keju seperti pH rendah, aktivitas air yang rendah, serta suhu pada

pemrosesan. Penurunan pH disebabkan karena penambahan kultur starter bakteri

asam laktat (BAL) pada saat pengolahan keju. Kombinasi dari faktor-faktor

preservatif selama proses pembuatan keju dikenal dengan multiple hurdle

technology. Menurut Leistner (2000), multiple hurdle technology merupakan

konsep preservasi pada bahan makanan dengan menerapkan kombinasi faktor-

faktor preservatif seperti suhu, aktivitas air, pH, potensial redoks, dan bahan

68

preservasi. Penerapan multiple hurdle technology pada bahan makanan dapat

mengeliminasi, menginaktifkan atau setidaknya dapat menghambat pertumbuhan

mikroba yang tidak diinginkan karena tidak dapat mengatasi hambatan tersebut

(Fadhilah dkk., 2014).

5.3 Analisa Aktivitas Air Produk Keju di Swalayan Jatinangor

Aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

kerusakan pangan. Hal ini disebabkan karena aw menggambarkan ketersediaan air

dalam bahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikrorganisme.

Aktivitas air bahan pangan adalah jumlah air bebas yang terkandung dalam bahan

pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Sakti dkk.,

2016). Menurut Syarief dan Halid (1993), nilai aw merupakan jumlah air bebas di

dalam bahan pangan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba dan

berlangsungnya reaksi kimia dan biokimia.

Menurut Purnomo (1995), aktivitas air (aw) merupakan parameter yang

sangat berguna untuk menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan

mikroorganisme dan aktivitas enzim. Analisis nilai aw bertujuan untuk mengetahui

pengaruh aw produk yang dianalisis terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Hasil

analisa aktivitas air (aw) dapat dilihat pada Tabel 12.

69

Tabel 7. Hasil Pengamatan Nilai aw pada Keju di Pasar Swalayan

Jatinangor

Sampel Nilai Rata – Rata Aw Standar Devisiasi

Cheddar A 0,943 ±0,010

Cheddar B 0,944 ±0,001

Mozarella A 0,965 ±0,006

Mozarella B 0,968 ±0,002

Cream Cheese A 0,989 ±0,001

Cream Cheese B 0,989 ±0,002

Keterangan: A: Pasar Swalayan A

B: Pasar Swalayan B

Berdasarkan hasil pengujian aw dengan menggunakan aw meter, didapat

bahwa sampel keju yang di ukur memiliki nilai aw berkisar antara 0.943 hingga

0.989 dengan nilai aw tertinggi yaitu pada produk cream cheese yang diperoleh

dari pasar swalayan A maupun pasar swalayan B dengan nilai aw rata – rata

sebesar 0,989. Nilai aw yang terendah didapat oleh produk keju Cheddar yang

diperoleh dari pasar swalayan A dengan nilai aw rata – rata sebesar 0,943. Pada

nilai aktivitas air sama dengan 0 berarti molekul air yang bersangkutan sama

sekali tidak dapat melakukan aktivitas dalam proses kimia, sedangkan nilai

aktivitas air sama dengan 1 berarti potensi air dalam proses kimia pada kondisi

maksimal (Waluyo, 2001).

Umumnya keju lunak memiliki nilai aw yang lebih tinggi dibandingkan

keju keras dan keju semi keras. Hal tersebut dikarenakan keju lunak memiliki

nilai kadar air yang paling tinggi dibandingkan keju lainnya, diikuti keju semi

keras, dan kadar air paling tinggi adalah keju keras. Menurut Lisa dkk. (2015),

hubungan kadar air dengan aktivitas air ditunjukkan dengan kecenderungan

bahwa semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi pula nilai aw nya.

70

Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet

bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,

kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan

pada bahan pangan (Winarno, 1997). Dalam bahan pangan air dapat dijumpai

dalam bentuk air bebas dan air terikat dengan derajat keterikatan yang beragam.

Air yang berbentuk bebas sangat mudah menguap karena biasanya terdapat pada

permukaan bahan pangan. Menurut Sudarmadji, et al (2003) Air yang terdapat

dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan pangan

misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan aktivitas serangga

perusak. Sedangkan telah diterima secara umum bahwa air terikat didefinisikan

sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam bahan ini

dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur pengeringan biasa

seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain.

71

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1) Berdasarkan hasil analisis mutu mikrobiologi pada beberapa produk keju

di 2 pasar swalayan Jatinangor, tidak ditemukan adanya bakteri

Salmonella dan L. monocytogenes (negatif), namun ditemukan E. coli

sebesar 2 × 101

cfu/gram pada sampel cream cheese yang diperoleh dari

pasar swalayan A, cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan B,

dan keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B dengan jumlah

melebihi batas standar yang ditetapkan pada SNI 7388:2009.

2) Produk keju yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak sesuai

dengan saran penyimpanan dapat mempercepat pertumbuhan mikroba

patogen yang sudah terdapat pada produk.

3) Rata – rata nilai Aw yang tertinggi yaitu cream cheese yang diperoleh dari

pasar swalayan A dan cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan B

dengan nilai 0,989, sedangkan nilai rata – rata nilai Aw yang terendah yaitu

keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan A dengan nilai 0,943.

6.2 Saran

1) Perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan mutu mikrobiologi pada

keju yang terdapat pada pasar swalayan dengan pasar tradisional atau

warung – warung yang terdapat di Jatinangor.

72

2) Untuk mengetahui tingkat keamanan produk lain terutama untuk makanan

siap santap, maka perlu dilakukan penelitian dengan analisis yang lebih

menyeluruh seperti mendeteksi keberadaan bakeri patogen lainnya dan

analisis kimia seperti kadar air yang bisa mengindikasikan tingkat

cemaran.