ii. tinjauan pustaka 2.1. teh herbal sebagai minuman...

23
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teh Herbal Sebagai Minuman Fungsional Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa kenampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontradiksi dan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan (BPOM RI, 2016). Produk pangan fungsional yang banyak digemari adalah jenis minuman fungsional karena bersifat praktis. Produk minuman fungsional yang beredar di pasaran tersedia dalam berbagai bentuk, seperti jus (sari buah), serbuk minuman cepat larut (minuman instan), serta dalam bentuk teh herbal/ teh celup. Komponen terbesar dalam minuman fungsional adalah komponen zat non gizi yang terdiri dari senyawa polifenol, alkaloid serta antioksidan (Sunyoto, 2018). Teh (Camellia sinensis .L) merupakan salah satu bahan minuman penyegar yang sudah lama dikenal dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum. Teh berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis .L) melalui proses pengolahan yaitu pemetikan, pelayuan dan pengeringan. Teh dapat dibagi menjadi empat jenis berdasarkan tingkat oksidasinya yakni teh putih, teh hijau, teh oolong dan teh hitam atau teh merah. Teh hijau paling banyak dikenal karena memiliki beragam manfaat

Upload: duongxuyen

Post on 08-Jun-2019

428 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teh Herbal Sebagai Minuman Fungsional

Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih

komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis

tertentu diluar fungsi dasarnya, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi

kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau

minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa kenampakan, warna, tekstur dan

cita rasa yang diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontradiksi dan efek

samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang

dianjurkan (BPOM RI, 2016).

Produk pangan fungsional yang banyak digemari adalah jenis minuman

fungsional karena bersifat praktis. Produk minuman fungsional yang beredar di

pasaran tersedia dalam berbagai bentuk, seperti jus (sari buah), serbuk minuman

cepat larut (minuman instan), serta dalam bentuk teh herbal/ teh celup. Komponen

terbesar dalam minuman fungsional adalah komponen zat non gizi yang terdiri dari

senyawa polifenol, alkaloid serta antioksidan (Sunyoto, 2018).

Teh (Camellia sinensis .L) merupakan salah satu bahan minuman penyegar

yang sudah lama dikenal dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum. Teh

berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis .L) melalui proses pengolahan

yaitu pemetikan, pelayuan dan pengeringan. Teh dapat dibagi menjadi empat jenis

berdasarkan tingkat oksidasinya yakni teh putih, teh hijau, teh oolong dan teh hitam

atau teh merah. Teh hijau paling banyak dikenal karena memiliki beragam manfaat

6

bagi kesehatan. Teh hijau mengandung 0,34 mg/gram senyawa flavonoid (Lutfiah,

2015).

Teh herbal merupakan istilah umum yang digunakan untuk minuman yang

bukan berasal dari tanaman teh (Camellia sinensis). Teh herbal dapat dibuat dari

kombinasi daun kering, biji, kayu, buah, bunga dan tanaman lain yang memiliki

manfaat. Teh herbal memiliki khasiat yang beragam dalam membantu pengobatan

suatu penyakit tergantung jenis herbal yang digunakan. Teh herbal lebih aman

dikonsumsi karena tidak mengandung alkaloid yang dapat mengganggu kesehatan

seperti kafein (Ravikumar, 2014).

Teh herbal merupakan produk minuman teh, baik dalam bentuk tunggal atau

campuran herbal. Selain dikonsumsi sebagai minuman biasa, teh herbal juga

dikonsumsi sebagai minuman yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan.

Khasiat yang dimiliki setiap teh herbal berbeda-beda, tergantung bahan bakunya.

Campuran bahan baku yang digunakan merupakan herbal atau tanaman obat yang

secara alami memiliki khasiat untuk membantu mengobati jenis penyakit tertentu.

Teh herbal dapat dikonsumsi sebagai minuman sehat yang praktis tanpa

mengganggu rutinitas sehari-hari (Sunyoto, 2018).

Teh herbal mengandung zat antioksidan berupa polifenol yang berperan

penting dalam pencegahan berbagai macam penyakit. Polifenol dapat menetralisir

radikal bebas yang merupakan suatu produk sampingan dihasilkan dari proses

kimiawi dalam tubuh yang dapat mengganggu kesehatan (Fitrayana, 2014). Teh

herbal biasanya disajikan dalam bentuk kering seperti penyajian teh yang berasal

dari tanaman teh (Camellia sinensis). Kondisi pengeringan harus diperhatikan

7

untuk menghindari hilangnya zat-zat penting. Sehingga, proses pengeringan

menjadi kunci penting dalam keberhasilan pembuatan teh herbal (Fitrayana, 2014).

Berikut merupakan standar mutu teh kering:

Tabel 1. Standar Mutu Teh Kering

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan air seduhan

1.1. Warna - Hijau kekuningan sampai

merah kecoklatan

1.2. Bau - Khas teh bebas bau asing

1.3. Rasa - Khas teh bebas bau asing

2. Kadar air %, b/b Maks. 8

3. Kadar ekstrak dalam air %, b/b Min. 32

4. Kadar abu total %, b/b Maks. 8

5. Kadar abu larut dalam air dari

abu total

%, b/b Min. 45

6. Kadar abu tak larut dalam

asam

%, b/b Maks. 1

7. Alkalinitas abu larut dalam air

(sebagai KOH)

%, b/b 1-3

8. Serat kasar %, b/b Maks. 16

9. Cemaran logam

9.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 20

9.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 150,0

9.3. Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0

9.4. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0

9.5. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03

10. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 1,0

11. Cemaran mikroba

11.1. Angka lempeng total koloni/g Maks. 3x103

11.2. Bakteri Coliform APM/g < 3

Catatan : Jenis uji 4 sampai dengan 8 : adbk (atas dasar berat kering)

(Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2013)

Tanaman obat dalam bentuk kering yang diformulasikan menjadi teh herbal

dapat dimanfaatkan untuk konsumsi sehari-hari, skala rumah tangga maupun

industri. Berbagai herbal atau tanaman obat sebenarnya dapat diolah menjadi teh

herbal kering. Pengolahan semua jenis tanaman obat biasanya berbeda dalam hal

8

lama dan besarnya suhu saat pengeringan karena disesuaikan dengan karakteristik

bahan segar. Herbal kering tersebut selanjutnya dicampur dengan komposisi

tertentu sesuai dengan jenis teh herbal yang akan disajikan. Lalu diseduh dengan

air panas dan air seduhannya diminum. Pengolahan lanjutan dari teh herbal kering

biasanya dilakukan melalui proses ekstraksi menjadi ekstrak cair atau kental dan

proses enkapsulasi menjadi teh instan (Wahyuningsih, 2011).

2.2. Antioksidan sebagai Komponen Fungsional

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi

dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Antioksidan

berperan sebagai pemberi elektron, memiliki berat molekul yang kecil dan mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya

radikal. Antioksidan juga merupakan suatu sistem imun dalam tubuh yang berperan

dalam menangkal kerusakan sel tubuh yang disebabkan oleh radikal bebas, yaitu

jika jumlah radikal bebas melebihi jumlah antioksidan alami dalam tubuh, maka

saat itulah antioksidan tambahan dari luar tubuh dibutuhkan (Winarsi, 2011).

Menurut Winarsi (2011) berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan

digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu :

1) Antioksidan primer, disebut juga antioksidan enzimatis. Antioksidan yang

tergolong antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD),

katalase, dan glutation peroksidase (GSH-Px). Sebagai antioksidan, enzim-

enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus

9

reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang

lebih stabil.

2) Antioksidan sekunder, disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis.

Antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, karoten, flavonoid, asam

urat, bilirubin, dan albumin. Kerja sistem antioksidan non-enzimatik yaitu

dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan

cara menangkapnya. Akibatnya, radikal bebas tidak akan bereaksi dengan

komponen seluler.

3) Antioksidan tersier, meliputi enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida

reduktase. Enzim-enzim ini berungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak

akibat reaktvitas radikal bebas.

Berikut merupakan reaksi penangkapan radikal DPPH :

Gambar 1. Reaksi penghambatan radikal bebas oleh DPPH

(Winarsi, 2011)

Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan secara in vitro dengan

metode DPPH (2,2 difenil-1-pikrilhidrazil). Metode DPPH memberikan informasi

reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan

serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Proses

10

reduksi ditandai dengan perubahan atau pemudaran warna larutan dari warna ungu

pekat (senyawa radikal bebas) menjadi warna kuning (senyawa radikal bebas yang

tereduksi oleh antioksidan). Semakin kuning perubahan warna larutan, maka

aktivitas antioksidan yang dihasilkan dari suatu senyawa akan semakin kuat

(Lutfiah, 2015).

Pemudaran warna pada larutan akan mengakibatkan peningkatan nilai

absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer, sehingga semakin tinggi nilai

absorbansi maka semakin besar aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Penetapan

aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai IC50 sebagai besarnya konsentrasi

larutan uji yang dapat meredam DPPH (radikal bebas) sebanyak 50%. Semakin

rendah nilai IC50 yang dihasilkan menunjukkan semakin baik aktivitas antioksidan

dari sampel hasil pengujiannya (Damar dkk., 2014).

Metode DPPH menggunakan IC50 sebagai parameter untuk menentukan

konsentrasi senyawa antioksidan yang mampu menghambat 50% oksidasi.

Semakin kecil nilai IC50, maka semakin tinggi aktivitas antioksidan. Semakin kecil

nilai IC50 maka semakin besar potensi aktivitas antioksidan. Nilai IC50 ≤ 50 ppm

memiliki intensitas kekuatan antioksidan yang sangat kuat, > 50–200 ppm kuat, >

200 – 600 ppm lemah dan > 600 ppm sangat lemah (Molyneux, 2004).

Menurut Damar dkk. (2014) antioksidan memiliki sifat terdegradasi dan

teroksidasi dengan adanya faktor lingkungan yang disebabkan oleh suhu tinggi,

paparan cahaya, logam peroksida, teroksidasi oleh oksigen dan tidak mudah

terdispersi dalam bahan kering. Senyawa antioksidan sangat mudah mengalami

perubahan. Berbagai jenis pengolahan mengakibatkan hilangnya senyawa

11

antioksidan yang terdapat pada suatu sampel (Lutfiah, 2015).

2.3. Flavonoid sebagai Antioksidan Alami

Flavonoid merupakan senyawa terbesar dari golongan fenol alam.

Flavonoid dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan hijau dan biasanya terkonsentrasi

pada biji, buah, kulit buah, kulit kayu, daun, dan bunga. Bagi tumbuhan, senyawa

flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama dan penyakit, interaksi

dengan mikrobia, dormansi biji, pelindung dari radiasi sinar UV. Manfaat flavonoid

antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C,

antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Haris, 2011).

Flavonoid berupa zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat warna

kuning pada tumbuhan. Menurut Redha (2010), beberapa bentuk flavonoid adalah

isoflavon, antosianidin, flavan, flavonol, flavon dan flavonon. Flavonoid

mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6)

terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan (C6-C3-C6)

dengan struktur 1,3-diarilpropan.

Struktur kimia flavonoid dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur flavonoid

(Redha, 2010)

12

Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol,

air. Sebaliknya, aglikon flavonoid yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon

dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam

pelarut seperti eter dan kloroform. Flavonoid efektif digunakan sebagai antioksidan

dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya dalam

mengkelat logam. Semakin banyak substitusi gugus hidroksi pada flavonoid, maka

aktivitas antiradikalnya semakin besar (Haris, 2011).

Flavonoid terbukti mempunyai efek biologis antioksidan yang sangat kuat

sebagai antioksidan yang dapat menghambat penggumpalan keping-keping sel

darah, merangsang pembentukan produksi nitrit oksida (NO) yang berperan

melebarkan pembuluh darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker

(Winarsi, 2011). Flavonoid memiliki sifat rentan terhadap proses pemanasan.

Proses pemanasan dapat mengakibatkan penurunan kadar total flavonoid sebesar

15% ̶ 78%. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang memiliki sistem aromatik

yang terkonjugasi. Sistem aromatik terkonjugasi mudah rusak pada suhu tinggi

(Saadah dkk., 2017).

Analisa kandungan total flavonoid dilakukan dengan menambahkan

perekasi AlCl3 yang akan membentuk ikatan kompleks dengan gugus hidroksi dari

senyawa flavonoid. Perubahan ini diketahui melalui nilai absorbansi pada daerah

sinar tampak yang diukur menggunakan spektrofotometer. Perubahan warna secara

visual menjadi kuning pekat menunjukkan banyaknya kandungan senyawa

flavonoid dalam suatu bahan (Lutfiah, 2015).

13

2.4. Triterpenoid sebagai Senyawa Fungsional

Triterpenoid adalah senyawa metabolit sekunder turunan terpenoid yang

kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena (2-metilbuta-1,3-diene)

yaitu kerangka karbon yang dibangun oleh enam satuan C5 dan diturunkan dari

hidrokarbon C asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik atau asiklik dan

sering memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam karboksilat (Widiyati, 2006).

Senyawa golongan triterpenoid menunjukkan aktivitas farmakologi yang

signifikan, seperti antiviral, antibakteri, antiinflamasi, sebagai inhibisi terhadap

sintesis kolesterol dan sebagai antikanker (Nurlaily et al., 2010). Sedangkan bagi

tumbuhan yang mengandung senyawa triterpenoid terdapat nilai ekologi karena

senyawa ini bekerja sebagai antifungus, insektisida, antipemangsa, antibakteri dan

antivirus (Widiyati, 2006).

Uji kualittaif triterpenoid dilakukan menggunakan metode Lieberman–

Burchard (LB) yaitu 2 mg ekstrak kering dilarutkan dalam anhidrida asetat,

dipanaskan sampai mendidih, didinginkan dan kemudian 1 ml H2SO4 pekat

ditambahkan pada tabung reaksi, terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan

kandungan triterpenoid. Secara kuantitatif dapat diketahui menggunakan

kromatografi lapis tipis (Harborne, 1996).

2.5. Pegagan (Centella asiatica L. Urban) sebagai Herbal Potensial

Pegagan termasuk tanaman herba tahunan, tanpa batang dengan rimpang

pendek dan stolon yang melata, panjang 10 cm ̶ 80 cm. Tumbuhan ini berdaun

tunggal, tersusun dalam roset yang terdiri dari 2 ̶ 10 daun, tangkai daun panjang

14

sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar, bundar dan garis tengah 1 cm ̶ 7

cm, pinggir daun bergeringgit terutama ke arah pangkal daun (Seevaratnam et al.,

2012).

Gambar 3. Tanaman pegagan

(Sumber : Yulianti, 2018)

Pegagan mengandung berbagai zat kimia yang bermanfaat bagi manusia.

Menurut Rahman et al. (2013) ekstrak pegagan memiliki aktivitas antioksidan yang

sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 35,56 ppm. Senyawa antioksidan yang

terkandung dalam pegagan terdiri dari antioksidan enzim maupun antioksidan

vitamin. Antioksidan enzim pada pegagan terdiri dari superoksida dismutase,

katalase dan gluthation peroxidase. Sedangkan antioksidan vitamin pada pegagan

berupa vitamin C dan vitamin E. Selain itu, aktivitas antioksidan pada pegagan juga

dihasilkan oleh ß karoten dan flavonoid. Kandungan flavonoid pada ekstrak

pegagan sebesar 14,6 µg/g (Rahman et al., 2013).

Flavonoid merupakan senyawa antioksidan alami. Flavonoid dan fitosterol

merupakan kandungan gizi yang terdapat dalam pegagan. Flavonoid pada pegagan

terdiri dari kuersetin dan kaempferol. Senyawa-senyawa fitosterol yang terdapat

pada tumbuhan antara lain sitosterol, stigmasterol dan kampesterol. Ketiga senyawa

fitosterol tersebut terbukti mampu bekerja baik untuk mengurangi kolesterol total

15

dan LDL kolesterol dalam darah (Seevaratnam et al., 2012).

Disamping senyawa antioksidan, pegagan juga mengandung saponin seperti

asiaticosida, asam asiatat, dan madecassoside, triterpen acid, carotenoid, garam

K, Na, Ca, Fe, fosfor, vallerine, tannin, resin, pektin, gula, minyak lemak, kalsium

oksalat dan amygladin. Bahan-bahan aktif tersebut secara umum terdapat pada

organ daun tepatnya pada jaringan palisade parenkim (Nurlaily et al., 2012).

Kandungan triterpenoid saponin dalam pegagan berkisar 1% ̶ 8%. Unsur

utama dalam triterpenoid saponin adalah asiatikosida dan madekassosida.

Asiatikosida mampu bekerja sebagai detoksifikasi pada hati dan merupakan marker

dalam penentuan standar bahan baku pada pegagan. Madekassosida memiliki peran

penting karena mampu memperbaiki keruskan sel dengan merangsang sintesis

kolagen (Mahendra, 2006). Kandungan triterpenoid dalam ekstrak pegagan sebesar

6,17 mg/mL yang terdiri dari senyawa asam asiatik, asam madekasik, asiatikosida

dan madekasosida (Rahman et al., 2013).

Daun pegagan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat, sayuran segar,

lalapan atau dibuat jus. Penggunaan pegagan dapat meningkatkan fungsi kognitif

dengan cara memperbaiki sistem daya ingat bagi orang-orang yang mengalami

kemunduran fungsi otak dan daya ingat. Masyarakat Sunda biasa mengkonsumsi

antanan (pegagan) sebagai lalapan terutama bagi orang yang menderita kepikunan.

Pegagan bersifat Brain Tonic sehingga sering disebut sebagai makanan otak.

Pegagan mampu meningkatkan kemampuan mental, meningkatkan IQ dan

meningkatkan kemampuan saraf memori (BPOM RI, 2010).

Penelitian ilmiah menunjukkan khasiat pegagan diantaranya merevitalisasi

16

sel tubuh dan kesuburan wanita, revitalisasi pembuluh darah, menurunkan tekanan

darah, mengatasi peradangan, efek anti-inflamasi, anti-neoplastik, efek pelindung

tukak lambung, menurunkan tekanan dinding pembuluh, mempercepat

penyembuhan luka, demam, penambah nafsu makan, menyegarkan badan,

peningkatan kecerdasan, serta mengobati lepra, gangguan perut dan rematik

(BPOM RI, 2010).

2.6. Karakteristik, Kandungan Kimia dan Manfaat Bunga Krisan

Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain

seruni atau bunga emas yang berasal dari dataran Cina. Secara morfologi pada

gambar 4. tanaman krisan berbatang tegak, berstruktur lunak, dan berwarna hijau

dengan 5 macam bentuk bunga, yaitu bungga tunggal, anemone, pompon, dekoratif,

dan besar. Selaput buah krisan ketika masih muda berwarna putih, dan berwarna

hitam setelah tua. Biji yang dihasilkan dari buah krisan berbentuk lonjong,

berukuran kecil dan berwarna hitam (Steenis, 1978 dikutip Martini, 2014).

Gambar 4. Morfologi tanaman krisan

(Sumber: Yulianti, 2018)

Kandungan kimia daun dan bunga krisan adalah saponin, disamping itu

17

daunnya mengandung alkaloida dan tanin, sedang bunganya juga mengandung

karoten dan minyak atsiri. Beberapa kandungan senyawa alaminya yang berpotensi

seperti flavonoid, triterpenoid, dan caffeoylquinic acid derivatives telah diisolasi

pada beberapa penelitian sebelumnya (Prakash et al., 2014).

Menurut Sun et al. (2010) bunga krisan mengandung beberapa senyawa

terpenoid dan flavonoid. Berikut ini kandungan flavonoid pada ekstrak bunga

krisan (C. morifolium Ramat).

Tabel 2. Kandungan flavonoid pada ekstrak bunga krisan

Senyawa Flavonoid Kadar (mg/ g)

Vitexin-2-O- rhamnoside 0.10 ± 0.01

Quercetin-3-galactoside 2.46 ± 0.02

Luteolin-7-glucoside 50.59 ± 0.94

Quercetin-3- glucoside 1.33 ± 0.09

Quercitrin 21.38 ± 0.80

Myricetin 2.13 ± 0.08

Luteolin 5.22 ± 0.48

Apigenin 0.70 ± 0.10

Kaempferol 0.14 ± 0.02

Total 83.95 ± 2.77

(Sumber: Sun et al., 2010)

Kegunaan tanaman krisan yang utama adalah sebagai bunga hias, yaitu

bunga pot dan bunga potong. Selain sebagai bunga hias, krisan merupakan

tumbuhan obat tradisional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta telah

mengembangkan krisan menjadi teh krisan, keripik krisan, permen dan penghasil

racun serangga. Bunga krisan bermanfaat untuk meredakan influenza dan demam

serta mencegah sakit tenggorokan (BPTP Yogyakarta, 2009)

Bunga krisan (Chrysanthemum morifolium Ramat) juga sudah lama

digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti demam, sakit kepala, batuk,

dan gangguan penglihatan secara tradisional. Krisan (Chrysanthemum indicum L.)

18

telah diketahui dan digunakan sebagai teh herbal di Thailand dan Tiongkok. Bahkan

tanaman ini telah terkenal sebagai tanaman yang bermanfaat dalam menjaga

kesehatan, seperti teh bunga krisan (Xie et al., 2009).

Bunga krisan dapat mengobati influenza bahkan membersihkan liver

terutama jika dikonsumsi dalam bentuk teh. Teh bunga krisan dibuat melalui proses

pengeringan sebelum diseduh dengan air panas. Teh bunga krisan juga

dimanfaatkan sebagai bahan relaksasi, menyembuhkan panas dalam, melancarkan

peredaran darah serta menyerap racun dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena

kandungan antioksidan dalam bunga potong krisan. Bunga potong krisan juga

mengandung minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai pengharum ruangan dan

bahan anti serangga (Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2013).

2.7. Teh Herbal Campuran Daun Pegagan dan Bunga Krisan

Pembuatan teh herbal campuran daun pegagan dan bunga krisan dilakukan

melalui tahap pemetikan daun segar, pelayuan, pengeringan dan pencampuran

(Anggraini dkk., 2014).

Berikut adalah tahapan pembuatannya:

1. Pemetikan dan seleksi

Pemetikan daun pegagan dilakukan terhadap daun muda berwarna hijau

sedang hingga hijau tua dengan ukuran diameter daun 3 cm ̶ 5 cm. Pemetikan bunga

krisan dilakukan terhadap bunga kuning berukuran sedang. Tujuan pemetikan ini

adalah sebagai pengadaan bahan baku.

2. Pencucian

19

Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada

permukaan bahan kemudian ditiriskan hingga air yang menempel pada bahan

berkurang.

3. Pelayuan

Proses pelayuan bertujuan untuk menginaktifkan enzim polifenol oksidase

dan menurunkan kandungan air dalam bahan. kondisi pelayuan dilakukan pada

suhu dan waktu tertentu hingga dapat menurunkan kadar air sebanyak 30% ̶ 40%

dari kadar air awal bahan.

4. Pengeringan

Pengeringan adalah cara untuk mengeluarkan sebagian air dari suatu bahan

pangan dengan cara menguapkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan

pangan dengan menggunakan energi panas. Tujuan pengeringan adalah untuk

mendapatkan produk yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam

waktu yang lebih lama. Berkurangnya kadar air dan terhentinya reaksi enzimatik

akan mencegah penurunan mutu atau perusakan simplisia (Prasetio dan Inoriah,

2013).

Setiap komoditas pangan memiliki suhu dan waktu terbaik yang berbeda-

beda untuk dilakukan pengeringan. Menurut Muchtadi dan Sugiono (2013) suhu

pengeringan tergantung pada jenis herbal dan cara pengeringannya. Kemampuan

bahan untuk melepaskan air dari bagian permukaan semakin besar seiring dengan

peningkatan suhu udara pengering yang digunakan. Herbal dapat dikeringkan pada

suhu 300C ̶ 900C, tetapi suhu terbaik adalah tidak melebihi 600C (Kencana, 2015).

Bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih

20

rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat

terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dan karakteristik lainnya. Perubahan-

perubahan tersebut dapat diatasi dengan cara memberikan perlakuan pendahulaun

terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Setelah dikeringkan, warna bahan

pangan biasanya berubah menjadi coklat disebabkan oleh reaksi-reaksi browning,

baik enzimatik maupun non enzimatik (Muchtadi dan Sugiono, 2013).

Reaksi pencoklatan enzimatik dipengaruhi oleh enzim yang terdapat dalam

bahan pangan. Enzim yang bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan enzimatis

adalah oksidase atau fenolase, fenoloksidase, tirosinase, polifenolase, atau

katekolase. Enzim-enzim tersebut dalam tanaman dikenal sebagai polifenol

oksidase yang jika dibiarkan di udara terbuka akan bereaksi dengan oksigen

sehingga menyebabkan reaksi oksidase yang dikatalis oleh enzim polifenol

oksidase (Winarno dan Kristiono, 2016).

Pencoklatan pada bahan pangan dapat juga disebabkan oleh reaksi Maiilard.

Reaksi maiilard terjadi karena reaksi kimia asam amino dengan karbohidrat

khususnya pereduksi gula. Jika gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus

nukleofilik grup amino dari protein, maka akan menghasilkan polimer nitrogen

(melanoidin) yang berwarna coklat (Winarno, 2007).

Zat warna atau pigmen pada tanaman sebagian besar terdiri dari klorofil dan

karotenoid. Pigmen dapat mengalami degradasi terutama karena pemanasan.

Klorofil akan mengalami pembongkaran dan berubah menjadi feofitin karena

kehilangan ion Mg2+ sehingga warna yang tampak bukan kehijauan melainkan hijau

kecoklatan. Menurut Clydedale dan Francis (1976) dikutip Rachmawati (2015),

21

reaksi feofitinasi merupakan reaksi pembentukan feofitin yang menghasilkan warna

hijau kecoklatan.

5. Pencampuran/ formulasi

Proses ini bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis antara daun pegagan

dan bunga krisan sebagai minuman fungsional. Kandungan bioaktif pada setiap

bahan herbal berbeda dengan bahan lainnya, sehingga diharapkan dapat

meningkatkan khasiat dan fungsi secara fisiologis. Daun pegagan dan bunga krisan

mengandung senyawa flavonoid dan triterpenoid. Flavonoid berperan sebagai

antioksidan sedangkan triterpenoid memberikan efek fisiologis dalam

meningkatkan fungsi kognitif.

kelemahan dari daun pegagan adalah adanya kandungan vallerin yang

memberi rasa pahit dan sepat, sehingga penambahan bunga krisan diharapkan dapat

menutupi senyawa vallerin dengan kandungan minyak atsiri dan senyawa volatil

lainnya yang dapat memperkaya cita rasa dan aroma dari teh herbal yang dihasilkan.

2.8. Ekstrak Teh Herbal Campuran Daun Pegagan dan Bunga Krisan

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan

mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani

menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut

diuapkan dan massa serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga

memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Voight, 1994).

Berdasarkan sifat-sifatnya, ekstrak dapat dikelompokkan menjadi:

22

a. Ekstrak cair (extractum fluidum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi cair

dan mudah dituang;

b. Ekstrak encer (extractum tenue) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi

seperti madu dan mudah dituang;

c. Ekstrak kental (extractum spissum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi

liat dalam keadaan dingin, tidak dapat dituang dengan kandungan air mencapai

30%;

d. Ekstrak kering (extractum siccum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi

kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab dan tidak lebih dari

5% (Voight, 1994).

Ekstrak teh herbal campuran daun pegagan dan bunga krisan dibuat dengan

proses maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Proses ekstraksi ini bertujuan

untuk mendapatkan kandungan fitokimia terutama antioksidan dan flavonoid yang

tinggi sehingga memiliki potensi yang baik sebagai suplemen ataupun minuman

fungsional.

2.8.1. Ekstraksi Senyawa Aktif dan Pelarutnya

Ekstraksi (penyarian) adalah proses pemisahan dimana komponen-

komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak

terlarut dengan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975 dikutip Djamil,

2017). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan

senyawa non polar dalam senyawa non polar. Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, jenis pelarut, titik didih, sifat

toksik dan sifat korosif terhadap pelaratan ekstraksi (Khopkar, 2008).

23

Proses ekstraksi dirancang untuk mengurangi konsentrasi komponen di

dalam suatu aliran dan meningkatkan konsentrasi komponen tersebut di dalam

aliran lainnya. Sebelum dilakukan ekstraksi maka tumbuhan dapat dikeringkan

terlebih dahulu. Pengeringan tersebut harus dilakukan dalam keadaan terkontrol

untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak (Harborne, 1996).

Rusdi (1988) menyatakan bahwa simplisia tumbuhan dikeringkan pada

temperatur kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung untuk selanjutnya

dihaluskan sampai derajat kehalusan yang sesuai dan diekstraksi dengan pelarut

organik. Persiapan bahan baku yang mencakup pengeringan bahan sampai kadar air

tertentu dan penggilingan, dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi

yang akan dilakukan. Bahan yang akan diekstraksi sebaiknya berukuran seragam

untuk mempermudah kontak antar bahan dengan pelarut sehingga ekstraksi berjalan

dengan baik.

Simplisia daun pegagan dan bunga krisan mengandung zat aktif yang dapat

larut dan yang tidak dapat larut dalam pelarut. Zat aktif tersebut misalnya alkaloid,

glikosida, terpenoid, flavonoid, dan lain-lain. Selama proses ekstraksi, bahan aktif

dari suatu tumbuhan tergantung pada tekstur, kadar air, bahan dan jenis senyawa

yang diisolasi (Harborne, 1996).

Proses ekstraksi daun pegagan untuk mendapatkan zat antioksidan biasanya

menggunakan proses maserasi. Maserasi merupakan teknik untuk mengekstrak

simplisia yang mengandung senyawa kimia yang mudah larut dalam cairan pelarut.

Prinsip maserasi adalah perendaman serbuk simplisia dalam cairan pelarut yang

sesuai pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya (Khopkar, 2008).

24

Metode maserasi sangat menguntungkan karena mudah dan sederhana

pengerjaannya, pengaruh suhu dapat dihindari, suhu yang tinggi memungkinkan

terdegradasinya senyawa-senyawa metabolit sekunder. Metode ini juga digunakan

untuk mengekstrak sampel yang relatif mudah rusak oleh panas sedangkan

kerugiannya adalah menggunakan pelarut dalam jumlah banyak (Khopkar, 2008).

Tahapan-tahapan pada proses maserasi adalah sebagai berikut:

a. Cairan pelarut akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan dinding sel

membengkak;

b. Senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan larut karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel;

c. Terjadinya proses difusi yaitu senyawa yang konsentrasinya tinggi akan

terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah.

Peristiwa ini berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan di dalam dan di luar sel;

d. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya diuapkan.

Pemilihan pelarut dalam proses maserasi akan memberikan efektivitas yang

tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut

tersebut. Syarat utama pelarut untuk ekstraksi senyawa organik adalah non toksik,

tidak mudah terbakar (nonflammable), mudah untuk diuapkan, dan harga relatif

murah (Khopkar, 2008).

Pelarut untuk ekstraksi senyawa organik terdiri dari beberapa jenis yaitu :

1. Golongan pelarut yang memiliki densitas lebih rendah dari air, seperti dietil

eter, etil asetat, dan hidrokarbon (light petroleum, heksan, dan toluene);

25

2. Golongan pelarut yang mengandung senyawa klorin, seperti diklorometan.

Pelarut ini memiliki toksisitas yang rendah, tetapi mudah membentuk emulsi;

3. Golongan pelarut yang memiliki densitas lebih tinggi dari air, seperti metanol,

etanol, etil asetat, aseton, asetonitril dengan air atau HCl.

Senyawa alkoholik seperti etanol, metanol, dan propanol merupakan pelarut

yang digunakan untuk mengekstraksi semua golongan flavonoid. sedangkan pelarut

yang lebih polar digunakan untuk mengekstraksi glikosida flavonoid (Miryanti,

2011).

2.8.2. Penguapan dan pemekatan

Penguapan adalah proses terbentuknya uap air dari permukaan cairan.

Faktor-faktor yang memepengaruhi penguapan adalah suhu, waktu, kelembaban,

cara penguapan dan konsentrasi. Kecepatan terbentuknya uap tergantunga atas

terjadinya difusi uap melalui lapisan batas di atas cairan yang bersangkutan,

kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas (Depkes,

1986).

Pengentalan dapat dilakukan melalui penguapan dengan alat Vaccum rotary

evaporator dimana ekstrak cair dapat diubah menjadi bentuk esktrak kental yang

konsistensinya liat dan kandungan air menjadi lebih rendah dibandingkan dengan

estrak cair (Voight, 1994). Prinsip alat vaccum rotary evaporator adalah putaran

labu dalam sebuah pemanas pada temperatur dan kecepatan putar tertentu, cairan

yang terkandung dalam ekstrak akan diuapkan. Pengaturan kedalaman celupan ke

dalam penangas air, suhu penangas, hampa udara dan suhu pendingin akan

menentukan tercapainya kondisi optimal sehingga proses pengentalan ekstrak dapat

26

berlangsung cepat dan dalam temperatur yang tidak terlalu tinggi (Voight, 1994).

2.9. Warna sebagai Karakteristik Fisik pada Ekstrak Teh Herbal

Karakteristik fisik dapat diamati dari intensitas warna yang dihasilkan suatu

bahan atau produk. Warna merupakan sifat suatu bahan pangan yang dianggap

berasal dari penyebaran spektrum sinar. Warna bukan merupakan suatu zat atau

benda melainkan suatu pantulan karena adanya rangsangan dari seberkas energi

radiasi yang jatuh ke indera mata. Intensitas warna terbagi menjadi tiga parameter

yaitu L*, a* dan b* (Winarno, 2007).

Parameter nilai L* merupakan atribut yang menunjukkan tingkat kecerahan

suatu bahan atau produk. Nilai L* memiliki kisaran nilai 0 ̶ 100, dimana nilai L*

yang mendekati 0 menunjukkan sampel memiliki kecerahan rendah (gelap),

sedangkan nilai L* yang mendekati 100 menunjukkan sampel memiliki kecerahan

tinggi (terang) (Hutching, 1999).

Nilai a* menunjukkan derajat kemerahan atau kehijauan suatu sampel.

Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai a*

positif dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai a* negatif dari 0 sampai -80

untuk warna hijau (Hutching, 1999).

Nilai b* menunjukkan derajat kekuningan atau kebiruan suatu sampel.

Notasi b* menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai b*

positif dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai b* negatif dari 0 sampai -

70 untuk warna biru (Hutching, 1999).

27

Berdasarkan nilai a* dan nilai b*, dapat diperoleh nilai 0HUE sebagai

atribut yang menunjukkan derajat visual warna yang terlihat. Nilai 0HUE diperoleh

dari hasil perhitungan invers tangen perbandingan antara nilai b* dan nilai a*

(Hutching, 1999). Nilai 0HUE yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan

diagram kisaran daerah warna nilai 0HUE sehingga dapat diketahui warna dari suatu

bahan pangan.