tutorial c blok 27

18
1. Apa etiologi kesulitan bernafas pada kasus? - Menelan benda asing - Asma akut - Reaksi alergi pada sesuatu - Reaksi anafilaksis - Infeksi saluran pernafasan atas: croup, epiglottitis, abses retrofaringeal - Penyakit saluran pernafasan bawah: bronkiolitis, pneumonia, acute respiratory distress syndrome - Laringomalasia 2. Bagaimana etiologi panas tidak tinggi dan batuk pilek? Etiologi : panas tidak tinggi dan batuk pilek: infeksi virus, inflamasi lokal akibat iritan Mekanisme: Demam : Mikroorganisme masuk kedalam tubuh mengeluarkan pirogen eksogen, tubuh juga memiliki pirogen endogen yang dihasilkan dari makrofag seperti limfosit, basofil dan neutrofil. Tujuannya adalah untuk memfagosit dan melisis mikroorganisme dan toksin yang masuk kedalam tubuh.Saat fagositosis ada reaksi kimia yang terjadi, yang akan memicu Interleukin (IL), dan interferon. Yang paling banyak adalah IL-1.IL-1 memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu dan memicu keluarnya fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid menjadi

Upload: meirisa-rahma-pratiwi

Post on 06-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

z

TRANSCRIPT

Page 1: Tutorial c Blok 27

1. Apa etiologi kesulitan bernafas pada kasus?- Menelan benda asing

- Asma akut

- Reaksi alergi pada sesuatu

- Reaksi anafilaksis

- Infeksi saluran pernafasan atas: croup, epiglottitis, abses retrofaringeal

- Penyakit saluran pernafasan bawah: bronkiolitis, pneumonia, acute respiratory

distress syndrome

- Laringomalasia

2. Bagaimana etiologi panas tidak tinggi dan batuk pilek? Etiologi :

panas tidak tinggi dan batuk pilek: infeksi virus, inflamasi lokal akibat iritan

Mekanisme:

Demam :

Mikroorganisme masuk kedalam tubuh mengeluarkan pirogen eksogen, tubuh juga

memiliki pirogen endogen yang dihasilkan dari makrofag seperti limfosit, basofil dan

neutrofil. Tujuannya adalah untuk memfagosit dan melisis mikroorganisme dan toksin

yang masuk kedalam tubuh.Saat fagositosis ada reaksi kimia yang terjadi, yang akan

memicu Interleukin (IL), dan interferon. Yang paling banyak adalah IL-1.IL-1 memicu

hipotalamus untuk meningkatkan suhu dan memicu keluarnya fosfolipase yang akan

mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat yang akan memicu keluarnya Prostaglandin

(PG). Efek keluarnya prostaglandin akan mempengaruhi kerja thermostat di hipotalamus.

Hal ini akan menyebabkan kerja thermostat naik yang menyebabkan kenaikan suhu.

Disinilah terjadinya demam. Apabila reaksi ini tidak begitu berlebih maka suhu yang

dihasilkan akan lebih rendah. Biasanya terjadi akibat infeksi virus.

Batuk :

Saluran pernafasan terdiri atas laring, trakea, dan bronkus dimana terdapat jaringan epitel

yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet. Di jaringan epitel tersebut terdapat reseptor

batuk yang peka terhadap rangsangan. Saat benda asing masuk ke saluran pernafasan,

Page 2: Tutorial c Blok 27

akan menempel di mucus saluran pernafasan. Selanjutnya akan terjadi iritasi pada reseptor

batuk, sehingga terjadi aktifasi pusat batuk. Fase ini disebut fase iritasi.Reseptor batuk dan

medulla spinalis dihubungkan oleh serat aferen non myelin. Medula Spinalis akan

memberikan perintah balik berupa kontraksi otot abductor, kontraksi pada kartilago di

laring seperti kartilago aritenoidea yang akan menyebabkan kontraksi diafragma sehingga

terjadi kontraksi dan relaksasi intercosta pada abdominal.Hal ini akan menyebabkan

glottis terbuka karena medulla spinalis juga merespon terjadinya inspirasi sehingga akan

terjadi inspirasi yang cepat dan dalam. Fase ini disebut fase Inspirasi.Saat bernafas paru

memiliki daya kembang paru yang akan menyebabkan glottis menutup selama 0,2 detik.

Saat glottis menutup tekanan intratorak naik sampai 300cmH20.Fase ini disebut fase

kompresi.

Pilek :

Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-

lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC).

Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen

dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan

sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B

diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.IgE yang

terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada

dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya

memiliki reseptor untuk IgE.Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor

untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar

kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat

oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan

menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan

kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam

proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah

terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat

biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil

Page 3: Tutorial c Blok 27

Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator

tersebut ialah obstruksi oleh

histamin.Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas,

sekresi mukus.Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek

3. Bagaimana hubungan panas tidak tinggi dan batuk pilek dengan kesulitan bernafas?

Panas tidak tinggi dan batuk pilek 2 hari sebelumnya dengan kesulitan bernapas

merupakan suatu yang berkesinambungan. Infeksi virus diawali pada rongga hidung

merangsang makrofag (APC: antigen precenting cell)yang kemudian dipresentasikan ke

sell T-helper. T-helper 2 akan melepas IL-2,4,5,6,10. IL-2 merangsang sel B berproliferasi

menjadi sel plasma sehingga terbentuk Ig E. Ig E akan merangsang mediator inflamasi

lain seperti histamine, eosinofil kemotactic factor A, tripase dan kinin, kemudian mediator

tsb merangsang sel mukosa untuk menghasilkan mucus yang bertujuan untuk

mengahambat invasi (masuknya virus lebih dalam ke sal.pernafasan bagian bawah) dan

mengeluarkan virus dari tubuh. Hal iniah yang menyebabkan terjadinya pilek pada kasus.

Apabila virus tidak bisa dikeluarkan, virus lolos masuk ke dalam laring.Didalam laring

terdapat jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet, tempat reseptor batuk

berada. Virus yang menempel di jaringan epitel tersebut akan merangsang reseptor batuk

kemudian reseptor batuk yang akan merangsang serabut saraf afferent selanjutnya

dikirimkan stimulus ke pusat batuk di dorsal medulla oblongata dan kemudian

merangsang serabut saraf motorik dan menghasilkan reflek batuk .

Beririangan dengan itu, infeksi virus akanmerangsang makrofag untuk menghasilkan

pirogen endogen dengan tujuan untuk memfagosit dan melisis mikroorganisme dan

eksogen yang masuk kedalam tubuh. Pada saat fagositosis IL–1 dihasilkan kemudian

memicu hypothalamus untuk mengeluarkan fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid

menjadi as.arakidonat yang memicu keluarnya prostaglandin, prostaglandin akan memicu

kenaikan suhu (demam tidak tinggi). Demam bertujuan agar mikroorgsanisme yang

masuk tidak beriplikasi.

Kesulitan bernapas terjdi apabila reaksi inflamasi mencapai laring dan trakea yang

merupakan salah satu saluran napas tersempit terutama di bagain subglotis. Reaksi

Page 4: Tutorial c Blok 27

inflamasi tersebut akan menyebabkan edem di dinding laring dan trakea sehingga terjadi

penyempitan saluran napas, hal ini akan menyebabkan Alwi kesulitan bernapas seperti

pada kasus.

4. Mengapa bibir dan sekitarnya tampak biru sedangkan kulit tampak merah muda dan hangat?

Sianosis di bibir dan sekitarnya menunjukkan berkurangnya O2 yang masuk ke

tubuh akibat obstruksi sehingga Awi mengalami hypoxia, tetapi kulit berwarna merah

muda dan hangat menunjukkan aliran darah di tubuh Awi tetap baik.

Mekanisme :

infeksi virus di nasofaring secret mukusdan reaksi inflamasi yang bersifat diffuse

(menyebar ke epitellaring dan trakea) inflamasi, eritema, edem di dinding laring dan

trakeapenyempitan saluran nafas atas obstruksi parsial jalan napas saturasi oksigen

menurun penurunan perfusion oksigen ke selaput lendir (penerima darah dalam

jumlah besar) sianosis bibir

5. WDDiagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi

napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres

pernapasan yang diderita.

Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan.

Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/ respiratory

distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.

Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya adalah

Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang digunakan

dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk lima faktor: tingkat

kesadaran, cyanosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-hal yang diberikan untuk

setiap faktor terdaftar dalam tabel ke kanan, dan skor akhir berkisar dari 0 sampai 17.

Skor total ≤ 2 menunjukkan batuk ringan. Batuk menggonggong karakteristik dan

suara serak yang mungkin ada, tetapi tidak ada stridor saat istirahat.

Page 5: Tutorial c Blok 27

Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croupmoderat. Hal ini menyajikan dengan

mendengar stridor mudah, tetapi dengan beberapa tanda-tanda lain. Hal ini juga

menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga fitur ditandai dinding dada indrawing.

Sebuah nilai total ≥ 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan pernapasan. Batuk

menggonggong dan stridor mungkin tidak lagi menonjol pada tahap ini.

85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat memiliki penyakit ringan, batuk parah

sangat jarang (<1%).

Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk

Ciri Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini

0 1 2 3 4 5

Retraksi Dinding

dadaTidak ada Ringan Moderat Parah

Stridor Tidak adaDengan

agitasiDiam

Sianosis Tidak adaDengan

agitasiDiam

Tingkat kesadaran Normal Bingung

Udara masuk Normal Penurunan Menurun

tajam

Pediatric Assessment Triangle

PAT (Pediatric Assessment Triangle) merupakan alat penilaian objektif yang dapat

digunakan untuk menentukan beratnya penyakit anak serta merupakan cara cepat untuk

menentukan stabilitas fisiologis.Komponen yang dinilai pada PAT : Appereance, Work of

Breathing, Circulation.

1. Appearance

Element Yang dinilai

Page 6: Tutorial c Blok 27

Tonus Otot Gerakan ekstremitasà bergerak spontan atau tidak,

lemah atau tidak

Interaktivitas Alertness: apakah anak waspada dan penuh perhatian

untuk sekitarnya

Consolability Gelisah/agitasi. Apakah pengasuh mengurangi agitasi

dan menangis

Look/gaze Apakah mata anak mengikuti gerakan Anda dan

menjaga kontak mata dengan benda-benda atau orang,

atau apakah tatapan matanya kosong

Speech/cry Apakah vokalisasinya kuat atau lemah, sayu atau serak?

2. Work of breathing

Element Yang dinilai

Suara jalan napas abnormal Altered speech, stridor, wheezing atau grunting

Abnormal positioning Head bobbing, tripoding, sniffing

Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,

intercostals atau substernal

Flaring Nasal flaring (nafas cuping hidung)

3. Circulation

Element Yang dinilai

Pallor White skin coloration from lack of peripheral blood

Mottling Patchy skin discoloration, with patches of cyanosis,

due to vascular instability

Cyanosis Bluish discoloration of skin and mucus

Page 7: Tutorial c Blok 27

General Impression Appearance Work ofBreathing

Circulation to the skin

Stable Normal Normal Normal

Respiratory Distress Normal AbnormalNasal flaringGruntingStridorWheezingRetractions

Normal

Respiratory Failure abnormal abnormal Normal/ abnormal

Pada kasus terdapat priority sign berupa distress napas dan emergency sign berupa

central sianosis dan obstructed breathing.

Awi 2 th mengalami distress pernafasan disebabkan obstruksi akut ec severe croup

Page 8: Tutorial c Blok 27

6. Croup

CROUP (Viral Laryngotracheobronchitis)

Definisi

Croup (laryngotracheobronchitis) adalah penyakit peradangan akut di daerah subglotis laring,

trakea,dan bronkus.Biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering seperti menggonggong,

dan stridor inspirasi

Etiologi

Penyakit ini biasanya menyebar melalui pernafasan dari percikan yang mengandung virus di

udara atau berhubungan langsung dengan penderita yang terjangkit melalui percikan dahak.

A. Virus

 Parainfluenza virus tipe I,II,III (50-75% kasus), Virus influenza tipe A dan B,  Adenovirus,

Enterovirus, Respiratory syncytial virus (RSV), Measles, Coxsackievirus, Rhinovirus,

Echovirus, Reovirus, Metapneumovirus.

B. Bakteri (jika terjadi infeksi sekunder)

Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus

influenzae,, Moraxella catarrhalis, Mycoplasma pneumoniae. 

Epidemiologi

Croup umumnya terjadi pada anak yang berusia diantara 6 bulan sampai 3 tahun, tetapi dapat

juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan sampai 15 tahun. Dilaporkan, sindrom ini jarang

terjadi pada orang dewasa.Insidensinya lebih tinggi 1,5 kali pada anak laki-laki daripada anak

perempuan Dalam penelitian Alberta Medical Association, lebih dari 60% anak yang didiagnosis

menderita croup dengan gejala ringan, sekitar 4% dirawat di rumah sakit, dan kira-kira 1 dari

4.500 anak yang diintubasi (sekitar 1 dari 170 anak yang dirawat di rumah sakit).

Klasifikasi

Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Gejala:

Page 9: Tutorial c Blok 27

Anak-anak yang menderita sindrom croup, secara luas dapat dikategorikan berdasarkan 4 derajat

beratnya gejala:

1) Ringan

Gejala batuk menggonggong yang kadang-kadang, tidak terdengar suara stridor saat istirahat,

dan tidak adanya retraksi sampai adanya retraksi ringan suprastrenal dan/atau interkostal.

2) Sedang

Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, suara stidor saat istirahat yang dapat dengan

mudah didengar, dan retraksi suprasternal dan dinding sternal saat istirahat, tetapi tidak ada atau

sedikit gejala distres pernapasan atau agitasi.

3) Berat

Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, stridor inspirasi yang menonjol dan –kadang-

kadang – stidor ekspirasi, retraksi dinding sternal yang jelas, dan adanya gejala distres

pernapasan dan agitasi yang signifikan.

4) Kegagalan pernapasan terjadi segera

Batuk menggonggong (sering tidak menonjol), terdengar stridor saat istirahat (kadang-kadang

sulit di dengar), retraksi dinding sternal (dapat tidak jelas), letargi atau penurunan kesadaran,

dan jika tanpa tambahan oksigen, kulit tampak kegelapan.

Patogenesis / Patofisiologi

Patogenesis

Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,

laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai pada nasofaring dan

menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada

dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami

iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati

saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan

retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak

teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan

ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.

Manifestasi Klinis

Page 10: Tutorial c Blok 27

Biasanya dimulai dengan gejala pernafasan non spesific seperti :

Demam (biasanya 38-390C)

Batuk

Rhinorhea

sore throat

Dalam 1-2 hari gejalanya berkembang menjadi :

Suara serak

Barking cough

Stridor inspiratory

Gejala-gejala ini akan memburuk pada malam hari. Ketika usaha untuk bernafasnya mulai

meningkat maka anak akan mulai stop untuk makan

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien dengan riwayat penyakit yang tipikal

yang berespon terhadap pengobatan, tetapi bagaimanapun juga, foto lateral dan

anteroposterior (AP) dari jaringan lunak leher dapat membantu dalam mengklarifikasi

diagnosis pada anak dengan gejala serupa croup.

Pada foto leher lateral, secara diagnostik dapat membantu, menunjukkan daerah subglotis

yang menyempit serta daerah epiglotis yang normal.

Pemeriksaan saturasi dengan pulse oxymetre diindikasikan untuk anak-anak dengan croup

derajat sedang sampai berat. Terkadang, anak dengan gejala croup bukan derajat beratpun

memiliki saturasi oksigen yang rendah, berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner.

Kultur virus atau pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan rutin, khususnya selama

periode epidemik

Tatalaksana

Terapi suportif

Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang merasa

khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit gawat

darurat.Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit yang

secara alami dapat sembuh sendiri ini.

Page 11: Tutorial c Blok 27

Oksigen

Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.

Gabungan Oksigen-Helium

Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya sebagai gas

dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan turbulensi udara pada

penyempitan saluran pernapasan.

Farmakoterapi

Analgesik/Antipiretik

Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik pada

anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak lebih nyaman

dengan menurunkan demam dan nyeri.

Antitusif dan Dekongestan

Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam menunjukkan

keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan croup.Lagipula, tidak ada

dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena itu tidak diberikan pada anak yang

menderita croup.

Antibiotik

Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan

croup.Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara empiris

terapi antibiotik tidak rasional.Lagipula, jika terjadi super infeksi –paling sering bacterial

tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga

pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional.

Epinephrine

Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup berat,

dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi distres

pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan.

Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi

epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam

setelah terapi.

Page 12: Tutorial c Blok 27

Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin 1:1.000

memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml

epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa

menghiraukan berat badan.

Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara

berulang.Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit

perawatan intensif anak.

Glucocorticoids

Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan

kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian intubasi, reintubasi, angka dan

durasi dirawat di rumah sakit, dan angka kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta

menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat.

Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral. Dexamethasone

dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang

dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis

rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan

kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis yang

baik pada sebagian besar pasien.

Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan dexamethasone

oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga tidak secara rutin

digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas yang berat, pemberian budesonide dan

epinephrine secara bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv daripada pemberian

epinephrine saja.Pada pasien dengan gejala muntah-muntah juga merupakan alasan untuk

memberikan inhalasi steroid.