transformasi hubungan dinamis antara turki dan uni eropa
TRANSCRIPT
Transformasi Hubungan Dinamis antara Turki dan Uni Eropa : Sebuah Pandangan Teori Neo-Fungsionalisme
Ditulis sebagai tugas akhir kelas Hubungan Internasional di EropaDosen : Rengsina Suryati, M.Si.
Ari Wijanarko Adipratomo, A+, A.A.2004230075 / 2008231002
Member of Phi Theta Kappa Honor Student Society- Chapter Nu Lambda Harry S. Truman College, Chicago.Secretary of Indonesian National Rover Scout Work Council & Executive Secretary of Asia Pacific Association of Top Achiever Scouts (ATAS).
Department of International RelationsFaculty of Social and Political Science
Jakarta’s Institute of Social and Political Science (IISIP JAKARTA)
2009
Pendahuluan
2
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
ropa telah menjadi salah satu wilayah yang mengalami perubahan yang besar dan juga
berbagai macam integrasi dalam berbagai aspek pasca Perang Dunia I. Telah banyak
Integrasi dan perubahan yang terjadi di Eropa, dari integrasi di aspek ekonomi dan
militer hingga integrasi sosial yang pada akhirnya semua jenis integrasi ini menuju ke satu tujuan
utama: penyatuan Eropa secara politik. Neo-Functionalisme, sebuah teori komprehensif yang
secara luas digunakan oleh banyak ahli untuk menjelaskan fenomena integrasi di Uni Eropa akan
dipertanyakan dalam tulisan ini. Apakah teori tersebut masih valid untuk digunakan saat ini ?
Terlebih ketika teori ini berhadapan dengan realitas berkembangnya keanggotaan Uni Eropa dan
juga perjuangan Turki untuk masuk ke Uni Eropa?
E
Untuk menguji model integrasi yang ditawarkan oleh teori Neo Fungsionalis, penulis
mencoba untuk mengaplikasikan hipotesis dari teori tersebut terhadap kasus integrasi Turki-Uni
Eropa. Namun sebelum membahas lebih jauh dan lebih mendetail, ada baiknya untuk penulis
terlebih dahulu memberitahukan bahwa dalam proses studi kasus hubungan dinamis antara
Turki-UE yang diambilnya, penulis mengikuti sebuah metode yang digunakan oleh Dr. Çınar
Özen, dosen Hubungan Internasional pada Gazi University, Ankara, yang membagi studinya
dalam dua fase. Fase yang pertama dari studi kasus tersebut ditandai dengan munculnya
hubungan perdagangan antara Turki dengan Komunitas Ekonomi Eropa atau dikenal dengan
European Economic Community (EEC) dan proses dinamis yang mengikutinya hingga awal
delapan puluhan. Sedangkan fase kedua, mulai sejak tahun delapan puluhan hingga sekarang.
Permasalahan utama yang coba diangkat dalam tugas ini akan memiliki point utama pada
perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan intergrasi dinamis yang menggunakan
hipotesis dari teori Neo Fungsionalis. Dengan menggunakan teori ini, penulis mencoba untuk
memberikan sedikit penjelasan terhadap pertanyaan inti yang dicoba dijawab dalam tugas ini.
Pertanyaan tersebut adalah apakah Teori Neo Fungsionalisme masih dapat digunakan untuk
menelaah fenomena Hubungan Internasional dalam hubungan dinamis Turki – Uni Eropa
Neo Fungsionalisme dan Hipotesis Utamanya dalam Pembentukan Entitas Politik yang Supranasional.
3
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
Neo Fungsionalisme adalah pendekatan baru yang banyak dipakai untuk menjelaskan
fenomena integrasi internasional. Fondasi awal teori ini dapat kita temukan dalam buku Ernest B
Haas : “Uniting of Europe”1. Teori ini pada dasarnya adalah sebuah kritik terhadap teori
fungsionalisme.2 Teori ini memiliki tujuan untuk dapat menjelaskan fenomena integrasi di Eropa.
Neo Fungsionalisme adalah sebuah teori integrasi internasional yang memiliki tujuan untuk
mencapai sebuah entitas komunitas politik yang lebih besar dari nation state. Dengan atribut
semacam ini, sekilas teori ini nampak serupa dengan federalisme. Namun, teori ini juga memiliki
perbedaan dengan federalisme dimana teori ini menggunakan skala yang berbeda dalam
metodenya untuk mencapai tujuan akhir. Metode integrasi yang digunakan oleh Neo
Fungsionalisme serupa dengan metode yang digunakan teori fungsionalisme dimana metode ini
menawarkan metode integrasi bertahap yang dimulai dari sektor ekonomi dan menyebar ke
sektor politik untuk menciptakan entitas komunitas politik.
Para penganut Neo-fungsionalis percaya bahwa sebuah proses integrasi yang dimulai dari
sektor ekonomi akan menyebar ke sektor lainnya dengan jalan menciptakan rasa interdependensi
yang amat kuat dan juga menciptakan kemakmuran. Para Neo-Fungsionalist memberikan
sebuah istilah terhadap proses ini yang disebut dengan “functional spill-over”3. Lindberg
mendefinisikan spill over sebagai:
“situation in which a given action, related to a specific goal, creates a situation in which the
original goal can be assured only by taking further actions, which in turn create a further condition
and a need for more action, and so forth”.4
Konsep tersebut telah digunakan oleh Haas untuk menunjukkan bahwa dengan mengintegrasikan
sektor ekonomi –semisal batubara dan besi baja, seperti apa yang terjadi pada masa awal
integrasi Uni Eropa— akan secara pasti mendorong integrasi dalam berbagai kegiatan ekonomi
lainnya. Sebagai hasil akhir dari proses ini, integrasi ekonomi yang berawal dari integrasi di
sektor yang amat terbatas akan menyebar, terutama ke sektor ekonomi lainnya dan akhirnya akan
merubah perekonomian nasional negara-negara yang ikut didalam integrasi tersebut.
1 Haas, Ernest B. (1968), The Uniting of Europe, Standford.
2 Fungsionalisme sebagaimana yang dikembangkan David Mitrany melalui essaynya ‘A Working Peace System is the Principal Precursor of the Neo-functionalism’
lihat Mitrany, David, A. (1966), Working Peace System, Chicago.
3 Georges, Stephan (1991), Politics and Policy in the European Community, New York, Hal. 21-22
4 Linberg, Leon N. (1963), The Political Dynamics of European Economic Integration, London, Hal. 10.
4
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
Menurut Haas, ketika organisasi supranational tercipta, dimana seluruh anggotanya
mendapatkan keuntungan yang meningkat, mereka dihadapkan oleh kenyataan untuk melakukan
ekspansi keanggotaan demi meningkatkan keuntungan. Dengan makin luasnya keanggotaan ini,
konsep Neo-Fungsionalisme akan “terpaksa” melakukan perluasan dan diharuskan untuk
melakukan definisi ulang terhadap skala eksistensi organisasi supranational. Haas sendiri
melihat bidang politik dalam dua bagian yang berbeda yakni high dan low politics. High politics
adalah bidang dimana didalamnya terdapat kegiatan-kegiatan semisal diplomasi, strategi,
pertahanan, dan ideology nasional. Pada bidang ini, sangat sulit untuk merintis awal integrasi.
Dalam konsep Neo-Fungsionalis, nation states sangat enggan dan bahkan menolak untuk
kehilangan kedaulatan mereka di bidang high politics ini. Maka dari itu Haas telah menawarkan
untuk memulai integrasi dari bidang low politics yang didalamnya merepresentasikan dan
mencakup bidang ekonomi dan teknik.5 Integrasi di bidang high politics akan menjadi sebuah
konsekuensi yang alami dari proses integrasi yang telah merambah semua sektor. Ketika proses
functional spill-over terjadi, organisasi supranasional yang dibentuk atas dasar prinsip
pendelegasian otoritas kedaulatan, akan menemukan sebuah ranah baru dimana mereka dapat
melaksanakan peranan kontrol supranasionalnya. Para Neo-fungsionalists memiliki sebuah
antisipasi dimana mereka telah memperkirakan setelah sebuah integrasi dari pasar ekonomi
nasional negara anggota terjadi dalam sebuah kerangka organisasi supranasional, maka loyalitas
dari rakyat akan bergeser dari loyalitas nasional kearah loyalitas supranasional.
Dalam pandangan neo-fungsionalisme, nation state bukanlah sebuah struktur yang
sifatnya kolosal atau monolitik, namun sebaliknya, pandangan neo fungsionalisme melihat
nation state sebagai kombinasi antara kepentingan dan isu wilayah yang memiliki berbagai
kelompok didalamnya, antara lain : kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda, elit-elit
politik, pemimpin-pemimpin politik dan juga para pejabat-pejabat birokratis. Dalam paradigma
integrasi neo fungsionalisme, kelompok-kelompok yang berbeda ini menciptakan tipe kerjasama
dan koalisi yang sedemikian rupa untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka dapat.
Kelompok-kelompok ini juga berinteraksi dengan kelompok serupa pada tingkatan transnasional. 6. Oleh karena itu, Haas mendeskripsikan konsep integrasi yang berdasar kepada pergeseran
koalisi yang mengutamakan kepentingan bersama, dalam hal ini koalisi ini diwakili oleh pejabat
5 Pentland, Charles, Hal 109.
6 Haas, Ernest B., The Uniting of Europe, hal 4
5
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
pemerintahan, kelompok kepentingan, dan elite.7 Menurut Haas, ketika proses integrasi
kelompok-kelompok dan elit-elit mulai membentuk sebuah komunitas politik pada tingkatan
regional-bukan hanya pada tingkatan nasional- maka titik awal pergeseran dari integrasi ekonomi
ke integrasi politik akan dimulai.8 Haas mendeskripsikan “integrasi politik” sebagai sebuah
“proses dimana aktor-aktor politik di beberapa Negara yang berbeda terpaksa menggeser
kesetiaan, harapan dan kegiatan politik mereka terhadap sebuah pusat kepentingan baru, dimana
institusi didalamnya memiliki atau meminta kekuasaan yang pada awalnya dimiliki oleh nation-
states” 9 hasil akhir yang diharapkan Haas adalah “sebuah komunitas politik baru yang akan
menggantikan atau menutupi kekuasaan komunitas politik yang sudah ada”10 .
DINAMIKA DAN PERUBAHAN FUNDAMENTAL DALAM HUBUNGAN TURKI-UNI
EROPA
etika kita mengamati dinamika Hubungan Internasional yang menentukan posisi
Turki dalam konteks evolusi integrasi Negara Eropa, maka kita dapat membaginya
kedalam dua kategori yang berbeda. Kategori ini adalah dinamika-dinamika politik
dan dinamika-dinamika ekonomi yang memiliki nilai yang amat signifikan dalam pandangan
teori neo fungsionalis. Adalah hal yang sangat penting untuk mempelajari dinamika-dinamika
politik dan ekonomi yang mempengaruhi hubungan Turki-Uni Eropa dalam dua fase. Fase
pertama mulai semenjak akhir 1950 yang ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian Ankara
oleh Turki. Fase ini bertahan hingga akhir 1980-an ketika Turki mengalami transformasi struktur
ekonomi dan dunia pada umumnya telah menyaksikan sebuah perubahan penting dalam bidang
politik (akhir dari balkanisasi dunia). Fase kedua mulai pada akhir 1980-an dan terus berlanjut
sampai hari ini. Dua fase ini merepresentasikan nilai perubahan yang amat substansial dalam
dinamika hubungan politik dan ekonomi Turki-Uni Eropa.
K
DINAMIKA FASE PERTAMA HUBUNGAN TURKI-UNI EROPA
Dinamika di fase pertama di bidang politik adalah faktor ancaman Soviet dan juga faktor
Yunani. Dua faktor inilah yang mendasari keinginan Turki untuk masuk kedalam proses
7 Haas, Ernest B. (1964), Beyond the Nation-State, Stanford, Hal. 35.
8 Haas, Ernest B., The Uniting of Europe, Hal.13.
9 Ibid 10 Ibid
6
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
integrasi Eropa dalam pada masa tersebut. Hal yang paling utama adalah faktor “ancaman
Soviet” yang memaksa Turki bergabung ke berbagai organisasi yang berbau kebarat-baratan atau
yang disponsori blok barat. Faktor kedua adalah Yunani, sebuah Negara yang memiliki banyak
selisih paham dalam bidang politik dengan Turki. Ketakutan akan ancaman Soviet berlangsung
selama periode Perang Dingin. Terdapat sebuah kepentingan bersama antara Turki dan blok
barat yang didominasi Amerika Serikat untuk melawan pengaruh komunis di Negara tersebut.
Turki menganggap bahwa bergabung dengan orgaanisasi-organisasi kebarat-baratan, yang
diawali dengan bergabungnya mereka di NATO adalah hal yang amat krusial dalam kebijakan
keamanan nasional dan juga memberikan andil yang sangat besar dalam menentukan kebijakan
luar negerinya. Didasari oleh hal tersebut, Turki melihat ide integrasi Eropa pada awal tahun
1950an dan juga perkembangan kepolularitasan blok Barat dalam masa perang dingin sebagai
hal yang amat menguntungkan. Dengan telah bergabungnya Turki kedalam OECD ( the
Organization for Economic Cooperation and Development ), NATO, dan Council of Europe,
membuat Turki ingin melanjutkan proses aliansinya ke barat dengan jalan bergabung dalam
European Communities. Hal ini membuat kelompok enam / anggota ECSC (The six yang
beranggotakan: Belgium, France, Italy, Luxembourg, The Netherlands, and West Germany atau
anggota ECSC) memandang Turki dalam konteks perang dingin dan melihat bahwa Turki
memiliki nilai strategis dan amat penting dalam upaya menangkal Soviet. Walaupun dihadapkan
dengan kenyataan bahwa Turki sangat tertinggal di bidang ekonomi, namun ketika anggota the
Six ini dihadapkan dengan permintaan Turki untuk berpartisipasi dalam “Common
Market”,mereka bukannya menolak permohonan Turki, malahan menyiapkan sebuah model
untuk mempersiapkan Turki masuk kedalam integrasi ekonomi 11. Terlihat disini bahwa terdapat
kesiapan dan keihklasan secara politik dan ekonomi untuk menerima Turki sebagai anggota di
masa depan walaupun kondisi ekonominya jauh dari memuaskan. Pendekatan positip dan
berbagai pengecualian ini harus dipandang dalam konteks perang dingin , persepsi umum yang
berkembang pada masa itu dan juga nilai strategis Turki dalam memerangi ancaman Soviet.
Faktor lainnya yang penting dalam fase pertama ini adalah faktor Yunani. Turki yang
dalam fase pertama ini terlihat dengan jelas bahwa mereka tidak ingin terisolasi dari tetangga
Eropanya, cukup terhenyak melihat Yunani memasukkan aplikasi permohonan untuk menjadi
anggota European Community pada 15 Mei 1959. Turki yang ketakutan akan kemungkinan
11 çinar özen, The change in the dynamics of Turkey-EU relations Halaman 5
7
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
Yunani mencari sekutu untuk memenangkan beberapa perselisihan politiknya dengan Turki,
membuat Turki kalut dan dengan segera memasukkan aplikasi untuk menjadi anggota European
Community. Tak lama berselang dari Yunani, Turki memasukkan aplikasi mereka pada tanggal
31 Juli di tahun yang sama. Selain faktor ketakutan di bidang politik dengan aplikasi Yunani ke
European Community, Turki juga memiliki alasan ekonomi dibalik ketakutan mereka ini. Produk
ekspor Yunani dan Turki hampir sama, dan bila Yunani diterima kedalam keanggotaan
European Community, maka berarti barang-barang ekspor Turki akan mengalami penurunan
penjualan yang amat tajam karena pastinya European Community lebih memilih produk Yunani
yang merupakan anggota mereka. Turki tidak mau hal ini terjadi karena pada saat itu penjualan
komoditas ekspor Turki ke Eropa sudah cukup lemah, dan mereka tidak mau nilai ini terjun
bebas ke titik nadir.
Ketika kita mengevaluasi beberapa fakta secara ekonomis, terdapat sebuah kenyataan
bahwa Turki tidak siap untuk memasuki keanggotaan European Community. Perlu dipertayakan
maksud dan niatan sebenarnya dari Turki ketika mengajukan permohonan untuk memasuki
European Community. Sebenarnya bukanlah keinginan sesungguhnya dari Turki untuk
memasuki pasar common market dari European Community karena data ekonomi di lapangan
berkata sebaliknya, bahwa Turki tidak siap untuk memikul tanggung jawab yang muncul dari
integrasi ekonomi. Kelompok enam (the six) amat sadar akan hal ini. Namun karena ketakutan
akan masuknya pengaruh Soviet ke Turki dalam masa perang dingin, kelompok enam terpaksa
mengabulkan permohonan dan aplikasi Turki. Walaupun dengan situasi ekonomi yang sulit di
Turki, ditandatanganilah perjanjian Ankara pada 12 September 1963 yang mulai
diimplementasikan pada 1 Desember 1964 12. Perjanjian Ankara memiliki tujuan untuk
menciptakan custom union antara Turki dan European Community dan mempersiapkan
masuknya Turki sebagai anggota penuh European Community. Berdasarkan perjanjian Ankara,
dibentuknya Custom Union merupakan sebuah proses awal, dimana detail-detail selanjutnya
akan ditetapkan melalui protokol tambahan. Protokol tambahan ini mengatur jadwal
pengurangan tarif dan hal-hal lainnya dan ditandatangani pada tanggal 27 Juli 1971 dan ikatan
efek komersial dari protokol ini mulai diterapkan pada 1 September 1971. 13 Protokol tambahan
ini memprediksikan dan menetapkan sebuah proses yang panjang –setidaknya 22 tahun- untuk
12 çinar özen, The change in the dynamics of Turkey-EU relations Halaman 6
13 Le Protocole Additional Signé le 23 November 1970, Annexé à l’Accord Créant une Association entre la Communautee Economique Européenne et la Turquie,
JOCE, NO. L 293, du 29 Décembre 1972
8
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
menciptakan sebuah custom union antara Turki dan Uni Eropa. Berdasarkan perjanjian resmi ini,
European Community akan menghapuskan semua batasan-batasan dalam perdagangannya
dengan Turki dengan beberapa pengecualian mulai 1 September 1971. Dinamika hubungan
Turki-Uni Eropa dalam fase pertama cukuplah lemah, dimana semuanya bersumber kepada
permasalahan struktural ekonomi dalam negeri Turki. Kedua belah pihak yang menandatangani
perjanjian Ankara melihat bahwa terdapat target-target yang tidak nyata dalam perjanjian
tersebut, namun kedua belah pihak setuju untuk tetap maju dan merealisasikan keanggotaan
penuh Turki dalam European Community.
DINAMIKA FASE KEDUA HUBUNGAN TURKI-UNI EROPA
Awal fase kedua dinamika hubungan Turki-Uni Eropa ditandai dengan berakhirnya
perang dingin14. Dinamika politik dan pembangunan internasional pasca perang dingin telah
menjauhkan Turki dari keanggotaan penuh sebagai entitas politik dalam European
Community.Dinamika politik pada fase kedua ini memojokkan Turki pada sudut yang gelap yang
tersembunyi dalam besarnya Uni Eropa. Dengan berakhirnya perang dingin, nilai strategis dan
politis Turki di mata Eropa berakhir juga. Ditengah kegalauan pada pertengahan 1980-an,
perkembangan politik global telah mengubah alur orientasi banyak pihak. Pertama adalah Eropa,
dan kemudian seluruh dunia. Terlebih dengan inisiasi Gorbachev di Uni Soviet dengan program
Glasnost dan Perestroika-nya telah mentransformasi struktur totalitarian di Negara yang
merupakan pemimpin komunis dunia. Dengan kebijakan Gorbachev yang memberikan
kemerdekaan bagi Negara-negara blok timur, telah membuat Negara-negara di Eropa Timur
mendekat ke Uni Eropa. Konsekwensinya, Negara-negara ex-komunis di Eropa Timur mulai
merubah system politik mereka agar sejalan dengan system di blok barat. Pertumbuhan gerakan
demokrasi dan liberalisasi telah membuat Uni Eropa tertarik pada Negara-negara ex-komunis
tersebut. Uni Eropa melihat sebuah peluang untuk kembali menyatukan Eropa secara
keseluruhan setelah sebelumnya pada perang dingin Eropa terpecah secara militer, ideology, dan
politik. Ditengah kesuka-citaan Eropa ini, Turki seakan-akan terlupakan ditengah atmosfir
semangat menyatukan “Eropa Baru.15”
14 çinar özen, The change in the dynamics of Turkey-EU relations Halaman 7
15 çinar özen, The change in the dynamics of Turkey-EU relations Halaman 10
9
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
European Commission melakukan review ulang terhadap Turki menyangkut aplikasi
keanggotaan mereka pada 1987 pada tahun yang dianggap sebagai “masa puncak” kejatuhan
rezim Komunis di Eropa Timur. Hasil dari review tersebut adalah European Commission tidak
mengkonfirmasi keanggotaan Turki. Namun, bukanlah sebuah penolakan. European Commission
menahan proses penerimaan Turki sebagai anggota penuh. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
European Commission lebih tertarik melihat kebangkitan Eropa Tengah dan Eropa Timur untuk
dimasukkan kedalam agenda European Commission. Beberapa peristiwa di dunia juga
memperburuk posisi Turki di Uni Eropa. Perang Teluk merupakan salah satunya. Dengan
ikutnya Turki dalam konflik perang teluk telah mengubah pandangan masyarakat Uni Eropa
terhadap Turki. Mereka memandang Turki sebagai bagian dari Timur Tengah, terlebih dengan
letak geografis , penempatan posisi strategis dan kondisi politis, Turki lebih dekat dengan
Negara-negara di Timur Tengah. Pasca perang teluk, opini publik di Eropa mulai melihat Turki
sebagai bagian dari Timur Tengah dan bukan Eropa. Sebuah kondisi yang sangat ironis melihat
bagaimana mereka menyanjung dan memandang penting Turki pada masa perang dingin.
Turki yang mulai menyadari ketidak-untungan posisinya saat itu mulai melirik tawaran
tawaran Negara-negara yang baru berdiri di Asia Tengah dan wilayah kaukasus lainnya untuk
bekerjasama dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara-negara baru tersebut
.Negara-negara baru ini memiliki sejarah panjang dan kesamaan dalam bidang budaya dan
bahasa yang membuat kedekatan dengan Turki sangat mudah untuk dijalin. Selain alas an
“menggiurkan” tersebut, Turki juga melihat adanya kesempatan bagi mereka untuk bermain di
pasar Negara-negara tersebut yang baru saja berkembang. Dengan mengambil langkah ini, Turki
tetap menjadi pemain yang diperhitungkan oleh Eropa pada masa dunia baru pasca Perang
Dingin.
Langkah-langkah politis yang diambil Turki dengan jalan merambah pasar baru di Asia
tengah tersebut membuat sikap Uni Eropa makin menjauh dari Turki. Mereka makin mereduksi
nilai signifikan Turki terhadap Eropa. Dari “calon anggota penuh” ke “rekanan strategis”
(Strategic Partner). Puncak sikap Uni Eropa ini dinyatakan pada tahun 1997 pada pertemuan
Luxemburg Summit. Pada pertemuan tersebut, kesimpulan akhir dari presidium menyatakan
bahwa Turki bukanlah salah satu Negara dari 10 negara di Eropa tengah dan timur yang akan
masuk kedalam agenda eskpansi anggota Uni Eropa. Dan sebagai gantinya, terdapat sebuah
10
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
proposal yang dinamakan “A European Strategy for Turkey16” dimana didalamnya terdapat lima
point utama untuk meningkatkan upaya rapproachment tanpa menyebutkan sama sekali isu
keanggotaan penuh Turki.
PERUBAHAN DINAMIKA EKONOMI TURKI-UNI EROPA
Awal 1980an merupakan penanda diadopsinya kebijakan “structural economic
adjustment” oleh pemerintahan Demirel di Turki. Draft program yang disusun pada bulan
Januari tahun 1980 berupaya mencapai realisasi ekonomi pasar bebas yang berorientasi keluar.
Saat itu, posisi nilai tawar Turki berada pada titik terendah, vis-à-vis dengan para kreditor
internasional juga berada pada tingkatan kemampuan investasi terendah mereka. Tujuan dari
kebijakan ini adalah untuk memberikan janji kepada konsorsium OECD dan juga bank dunia
serta IMF agar Turki mendapatkan jaminan pemberian hutang baru dan penjadwalan ulang
pinjaman luar negerinya. Program tanggal 24 Januari 1980 adalah sebuah awal yang amat
penting bagi perubahan ekonomi yang pada awalnya didominasi oleh Negara dan tertutup
terhadap kompetisi internasional dan diatur dalam program indikatif 5 tahunan menjadi sebuah
ekonomi pasar yang lebih terbuka. Draft program ini akhirnya diimplementasikan sebagai sebuah
kebijakan oleh pemerintahan Özal yang terpilih pada pemilu tahun 1983. Pada lima tahun
pertama penerapan program ini, hampir semua control pemerintah atas harga barang dihapuskan,
dan harga produk pertanian dan juga subsidi pemasukan mulai dikurangi secara bertahap. Sektor
financial dan penanaman modal asing langsung juga mengalami reformasi dan juga mendapatkan
insentif pemerintah. Sebuah mekanisme yang diperkenalkan pada tahun 1985 membuka peluang
bagi pasar untuk menetapkan tingkat suku bunga sendiri. Pada tahun 1986, sebuah pasar antar
bank didirikan dan bank semenjak itu mulai bermunculan. Pasar Saham Istanbul Stock Exchange
dibuka kembali pada 1986. Pusat dana investasi langsung asing, pertukaran transaksi valuta asing
dan pendirian pasar modal mendapatkan restu untuk berjalan dari pemerintah pada 1989.
Privatisasi mulai menyebar disehala sektor. Perubahan-perubahan kearah ekonomi liberalism ini
mendapatkan tanggapan positip dari dunia internasional. Terbukti dengan naiknya nilai-nilai
perdagangan internasional dan juga naiknya indicator-indikator perdagangan ekonomi
internasional. Dengan perubahan-perubahan positip di bidang ekonomi dalam fase kedua
16 çinar özen, The change in the dynamics of Turkey-EU relations Halaman 15
11
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
hubungan Turki-Uni Eropa, saat itu Turki memiliki nilai tawar yang lebih dibandingkan Turki
pada masa lalu.
Sebagai dampak langsung dari perubahan kebijakan Turki, Negara ini mulai berani
memikul tanggung jawab yang muncul dari Protokol tambahan Perjanjian Ankara dan juga
berani untuk maju kearah custom union dengan European Community. Inisiasi Turki untuk
kembali mengajukan permohonan menjadi anggota penuh dilaksanakan pada tahun 1987 diiringi
dengan penyelesaian kewajiban mengurangi tariff yang merupakan kesepakatan protocol
tambahan. Akhirnya pada 1 Januari 1996, terealisasikanlah sebuah custom union antara Turki
dan European Community sebagai konsekuensi dari penandatanganan Perjanjian Ankara dan
juga Protokol Tambahan. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa di Fase kedua dari hubungan
antara Turki-Uni Eropa, bidang ekonomi memainkan peranan yang amat vital, cukup bertolak
belakang dengan pandangan Neo Realisme yang memprediksikan bahwa Politik adalah faktor
determinan sebelum memasuki integrasi penuh.
A CRITICISM OF THE NEO-FUNCTIONALIST THEORY IN THE LIGHT OF THETURKEY-EU SAMPLE CASEThe Turkey-EU integration process was not a case justifying the hypothesis of the neo-functionalist integration theory. The neo-functionalist theory claims, as a scientific hypothesis, that economicintegration is an obligatory base of a political supranational integration and that the realisation ofeconomic integration within a supranational organisational framework would lead –almostautomatically– to a supranational political integration. However, the dynamics of Turkey-EUrelations, analysed in two different phases in this work, have shown the existence of a differentrelationship between economic and political integration processes.The analysis of the dynamics determining Turkey-EU relations has been displayed in detail under theprevious sub-heading. To summarise, one can say that Turkey-EU relations have been determinedand shaped, in the first phase, by political dynamics. During this period, it has been observed thateconomic integration was at a very weak and insufficient level. However, it was in this first phasethat Turkey concluded an association agreement bearing detailed and comprehensive stipulations
12
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
including an eventual full membership of Turkey as a political end. The European Community hasshown strong and determined political will to maintain this integration model. The determination ofthe European Community to create an integration relation with Turkey could be explained only bythe existence of political reasons of the Cold War years. European Community’s determination toassign a time-frame for Turkey’s integration could be explained only by the political conditions ofthe Cold War years. Turkey opted for the creation and maintenance of an association relation basedessentially on an economic integration model despite its economic weakness. This was also a resultof political considerations (the Soviet threat and the Greek factor) of the Turkish politicaldecision-makers at the time. In other words, it was the political dynamics whih assured the creationand development of this relationship in the first phase.However, during the second phase, from the onset of the 1980’s to present-day, economic dynamicshave played a major role in determining Turkey-EU relations as the political integration hasdeclined. Economic integration has gained momentum during the second phase of the relations,thanks to the fundamental economic changes that the Turkish economy went through at thebeginning of the 1980’s. The fact of the completion of the customs union, orchestrated through theAnkara Agreement and the Additional Protocol as an economic end at the beginning of the relations,has been realised in this second phase, under the heavy influence of the developing economicdynamics. But political dynamics which played a decisive role during the first phase, completely lostimportance in the second. The disintegration of the Soviet Union, the rapprochement betweenCentral and east European countries and the European Union, and the Middle Eastern crisis have allpaved the way for Turkey’s the political shift toward the European periphery in the eyes of theEuropean Union.Turkey-EU integration was launched at a time when Turkey was not ready economically, yet itnevertheless regained momentum thanks to the international political situation. However, when theeconomic basis of the relations gained ground on an easy-functioning customs union, Turkey-EU
13
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
relations lost political dimension under the heavy influence of diverging political perceptions. Thisobservation of the case study of Turkey-EU relations has demonstrated quite clearly the weakness ofthe neo-functionalist integration model.It is believed by the author of this article that the existing differences between the neo-functionalisttheory and the Turkey-EU integration movement stem from the inadequacy of this theory: It fails totake into consideration two major factors in its theoretical analysis framework. These factors can becategorised namely as “peripheral” factors based on international conditions in which an integrationwould be shaped, and the “cultural” factors based on religion, language and ethnicity issues, ingeneral, identity problems. The analysis of these two factors which are lacking in theneo-functionalist integration theory and an attempt of revision of the neo-functionalist theory wouldbe the subject of another research, therefore, we prefer here not to embark on this problematic issue.
Kesimpulan
eo Fungsionalisme adalah sebuah teori integrasi internasional yang memiliki
landasan pada inisiatif pergerakan integrasi Eropa, khususnya pada fase masa
transisi dari European Coal and Steel Community (ECSC) ke tahapan European
Economic Community (EEC). Gerakan integrasi ini tidaklah secara mudah
dikategorikan sebagai pendekatan integrasi internasional. Gerakan integrasi ini juga gerakan
yang bergerak diluar batasa klasik organisasi internasional, dimana faktor paling penting yang
membedakan pendekatan ini dengan model integrasi lainnya adalah tujuan akhir yang hendak
dicapai. Dalam gerakan integrasi Eropa, prioritas utama diberikan kepada integrasi di bidang
N
14
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
ekonomi dalam kerangka kerjasama supranasional untuk mencapai sebuah struktur politik yang
diinginkan melalui beberapa tahapan. Ernest B Haas telah mengamati proses evolusi bertahap
dari integrasi Uni Eropa ini, dan mencoba mengaplikasikan metoda ini pada sebuah teori
integrasi yang diberi nama neo-fungsionalisme. Teori ini mengatakan bahwa proses integrasi
tidak dapat dimulai pada bidang-bidang high politics dimana kedaulatan suatu Negara masih
menjadi sebuah polemic besar yang tidak mampu dikompromikan, namun bila dimylai dari
bidang ekonomi, maka masyarakat banyak akan merasakan keuntungan dari integrasi ini, akan
tercipta sebuah saling ketergantungan dan pada akhirnya integrasi di bidang ekonomi ini akan
menyebar ke sektor lain. Inilah yang disebut sebagai “Spill-over effect.” Integrasi di bidang
ekonomi tadi akan memberikan jalan bagi bangsa-bangsa untuk mendirikan sebuah ikatan politik
pada tingkatan Supranasional.
Sedangkan, dinamika yang menentukan integrasi Turki-Uni Eropa pada fase pertama
didominasi oleh nuansa politis akibat perang dingin, dan pada fase kedua ekonomi adalah faktor
yang mendominasi dinamika hubungan Turki-Uni Eropa. Studi kasus hubungan Turki-Uni Eropa
telah memberikan kesempatan bagi kita untuk mengkaji dan menguji model integrasi Uni Eropa
dari Neo Fungsionalisme. Dalam konteks ini,gerakan integrasi Turki-Uni Eropa telah
mendemonstrasikan beberapa hal. Pertama, bahwa proses integrasi yang memiliki tujuan akhir
membentuk sebuah entitas politik supranasional mampu dimulai secara mudah dari dinamika
politik. Hal ini adalah point pertama yang menyimpang dari teori Neo-Fungsionalisme. Kedua,
point yang juga menyimpang dari teori neo fungsionalisme adalah integrasi ekonomi yang rumit
yang didasarkan pada prinsip pendelegasian kekuasaan tidak selamanya mampu mendorong
terciptanya sebuah integrasi politik.
Setelah disebutkan dua point yang menyimpang tadi, tulisan ini akan coba menekankan
pentingnya melihat dua faktor kelemahan teori integrasi neo fungsionalisme dalam memandang
hubungan Turki-Uni Eropa. Yang pertama adalah “faktor lingkungan” yang mampu dijabarkan
sebagai kondisi lingkungan internasional dimana hubungan integrasi ini terbentuk. Sedangkan
yang kedua adalah “faktor budaya” yang secara sederhana mampu dijabakan sebagai masalah
identitas. Analisa kedua factor tersebut dalam proses integrasi politik supranasional penulis
harapkan akan membawa sebuah pandangan disiplin ilmu baru yang lebih komprehensif dalam
mengkaji dinamika HI dalam konsep integrasi.
15
Ari Wijanarko Adipratomo,A+, A.A.2004230075 / 2008231002Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Eropa
REFERENSI
Buku :
Haas, Ernest B.
- “Eastern Approaches: the EU Encounters the Former Soviet Union”, in Joan DeBardeleben
(ed) Soft or Hard Borders: Managing the Divide in an Enlarged Europe (Aldershot, UK:
Ashgate, 2005)
- “The Uniting of Europe”. Stanford, UK: Longman 2003
- “Beyond the Nation-State”.
- Fungsionalisme sebagaimana yang dikembangkan David Mitrany melalui essaynya ‘A Working Peace System is the Principal Precursor of the Neo-functionalism’ lihat
Mitrany, David, A. (1966), Working Peace System, Chicago.
Georges, Stephan (1991), Politics and Policy in the European Community, New York, Hal. 21-22
Linberg, Leon N. (1963), The Political Dynamics of European Economic Integration, London, Hal. 10.