tpwk done!

20
AHMAD RAMDHAN MUZAKKKIY 3612100066 UTS TAKE HOME TPWK

Upload: ramdandoel

Post on 29-Sep-2015

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kelar

TRANSCRIPT

  • AHMAD RAMDHAN MUZAKKKIY 3612100066

    UTS TAKE HOME TPWK

  • 1. a. Skema pergeseran paradigma perencanaan di Indonesia

    a.

    Periode 60an

    Periode 70an

    Periode 80an

    Periode 90an

    Periode 2000an

    Wawasan kedepan

    Lebih menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi yang

    tinggi

    Perencanaan diwarnai dengan

    pendekatan sektoral dan

    parsial

    Cara pandang perencanaan

    yang mempertentan

    gkan urban dan rural

    Perencanaan bersifat top

    down

    Pendekatan Sekoral

    Pendekatan Pengembangan

    wilayah

    Pengembangan wilayah melalui pembangunan infrasturktur

    Pengembangan wilayah berbasis system kegiatan

    ekonomi

    Pengembangan melalui koordinasi

    antar daerah administratif

    Pengembangan melalui sinkronisasi

    program pembangunan

    Pengembangan wilayah melalui

    program pembangunan

    perkotaan

    Pengembangan wilayah melalui

    pendekatan lingkungan

    Desentralisasi perencanaan

    Pengembangan berdasarkan pendekatan

    penataan ruang dinamis

    Penataan ruang berdasarkan pendekatan

    wilayah

    Pendekatan stategis management untuk perencanaan berwawasan implementasi

    Pendekatan stategis

    management untuk

    perencanaan berwawasan implementasi

    Mulailah muncul revolusi 3T

    (Telekomunikasi, Transportasi, dan Tourism)

    Mucul paradigma baru dalam

    pengembangan wilayah/kawasan,

    yaitu memasuki era otonomi daerah,

    melalui pergeseran paradigma

    Local based flexible ( conditional )

    Transparency (Politically accepted)

    Probisnis (layak ekonomi)

    Long Term (berkesinambungan)

    Integreted (Holistik)

    Local based flexible ( conditional )

  • Penjelasan:

    Periode 60-an Pada era 60an merupakan awal bagi pembangunan terencana setelahmengalami keterpurukan akibat penjajahan dan perang. Gambarannya adalah sebagai berikut : Kebijakan pembangunan nasional lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perencanaan diwarnai oleh pendekatan sektoral dan parsial; ada pembedaan kota dan desa (dikotomi desa-kota).

    Konsentrasi diarahkanke perkotaan, sementara di perdesaan ditemui stagnasi, kemundurandan kemiskinan. Dikotomi perencanaan kota dan perencanaan desa memberi dampakyang tidak menguntungkan secara regional, karena

    interdependency desa-kota tidak terjadi. Cara pandang perencana yang mempertentangkan urban dan rural, yang menimbulkan friksi karena tidak adanya koordinasi

    lintas sektoral. Muncul disparitas kegiatan ekonomi dan kependudukan antara kota sebagai growth pole dengan desa sebagai hinterlandnya. Mulai terjadi polarisasi kota-kota yang dicirikan oleh tingginya angka indeks primacy (di atas 2,0 untuk kota-kota besar dan di

    atas 3,0 untuk kota-kota metro). Periode 70an Pada era 70-an terdapat enam pendekatan yang digunakan di Indonesia,yaitu : Pendekatan sektoral

    Pada awal 70-an perencanaan kewilayahan sudah mulai dilakukan,walaupun konsepnya baru sebatas kepentingan sektoral dan masihberjalan sendiri-sendiri. Dalam pengembangan pertanian dianutpembagian unit lahan yang menggambarkan kelas kesesuaian lahanpertanian berdasarkan sifat, kondisi tanah, iklim, morfologi. Di sektorpertanahan dilakukan perencanaan tata guna tanah yang didasarkanpada potensi tanah sehingga diperoleh rencana penggunaan tanah( zoning plan ). Di sektor kehutanan diintroduksi cara penetapanstatus/fungsi hutan berupa pembagian unit hutan yang disebut rencanatata guna hutan. Di dalam Rencana Induk Pariwisata dikenal clustering berdasarkan WTW dan DTW. Departemen Perhubungan menyusun sistem transportasi nasional dengan memanfaatkan hasil OD survei,struktur jaringan jalan dan pola sebaran transportasi. Perencanaan sektoral bertujuan meningkatkan optimasi penggunaan ruang dansumberdaya, dengan titik berat kepentingan sektor sehingga terjadi duplikasi pendanaan, konflik kepentingan, sentralistis, normative dan supply-driven oriented.

    Pendekatan pengembangan wilayahPada pertengahan 70-an mulai berkembang penggunaan teori dan modelpembangunan yang terkait dengan aspek pembangunan ekonomi,demografi dan geografi; sebagai reaksi atas kelemahan pendekatansektoral. Pada era ini dikembangkan pendekatan komprehensif dengantujuan agar pembangunan saling sinergi yang secara totalitasmenunjukkan resultante perkembangan optimum ( pareto optima ). Untukmendukung pendekatan tersebut banyak dikembangkan model analisis wilayah seperti backward-forward linkage, urban-rural linkage, shift and share, input-output,

  • economic-treeshold dan lainnya. Kompleksitas permasalahan mendorong para pakar untuk mencari pendekatan yang lebih komprehensif, yang akhirnya melahirkan pendekatanpengembangan wilayah yang menekankan pada keterpaduan analisis wilayah ( Regional Science ). Pendekatan pengembangan wilayah merupakan kajian terhadap hubungan sebab akibat dari faktor-faktor utama pembentuk wilayah yang meliputi aspek fisik, sosial-budaya dan ekonomi.

    Pengembangan wilayah melalui pembangunan infrastruktur. Pendekatan ini didasari oleh kebijakan pembangunan nasional (PelitaI) yang menekankan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian, yang membutuhkan pembangunan sosial ekonomi yang didukung pembangunan fisik infrastruktur sesuai dengan kondisi geografi Indonesia. Soetami (1973) menggagas konsep pengembangan wilayah bersamaan dengan pembangunan infrastruktur. Konsepnya didasarkan pada interaksi antara manusia dengan alam dan lingkungan yangmembentuk keserasian, keselarasan dan keseimbangan (Ilmu Wilayah). Kemudian disusun program pembangunan prasarana dan sarana untukmeningkatkan aksesbilitas kegiatan bermukim dan berproduksi tanpa merusak lingkungan. Dalam implementasinya lebih bersifat mendukung pengembangan sentra-sentra produksi. Sebagai contoh; pada sub sektor pertanian tanaman pangan, pembangunan prasarana dilaksanakan untuk mendukung program intensifikasi dan ekstensifikasi, antara lain pembangunan waduk, jaringan irigasi, pengembangan rawa, lahanpasang surut, pencetakan sawah, dan sebagainya.

    Pengembangan wilayah berbasis sistem kegiatan ekonomi. Konsep ini dikembangkan oleh Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatansatuan-satuan wilayah ekonomi yang bertumpu pada teori Losch. Pendekatan ini juga mengadopsi teori interdependency yang menyatakan bahwa antara wilayah satu dengan lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar (hubungan supply-demand).Konsep ini diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan struktur ekonomi bertumpu pada sektor pertanian secara luas (kebijakan Pelita II). Pembangunan yang menonjol pada saat itu adalah kegiatan produksi, koleksi, distribusi dan transmigrasi. Setiap wilayahyang mempunyai pengaruh ekonomi yang berbeda; masing-masingberbentuk Satuan Wilayah Ekonomi (SWE) dimana luas dan batasnyasangat bergantung pada kemampuan jangkauan pelayanan kotanya (pusat pengembangan) sebagai simpul jasa koleksi dan distribusi barang;sehingga kota-kota mempunyai hirarki dan fungsi dalam sistemperkotaan (system of cities) yang diidentifikasikan sebagai kota ordokesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Jaringan transportasi untukmendukung sistem tersebut mempunyai fungsi dan hirarki yangdiidentifikasi sebagai jalan arteri primer/sekunder, kolektor primer/sekunder dan lokal primer/sekunder. Pendekatan Poernomosidi inisangat mewarnai hirarki jalan (Undang-undang tentang Jalan) dan hirarki permukiman dalam perencaaan lokasi transmigrasi.

    Pengembangan wilayah melalui koordinasi antar daerah administrasi

    Pertengahan tujuh puluhan, Hariri Hady (Beppenas) mengintroduksikansistem perwilayahan nasional, yakni pengelompokan beberapa daerahadministrasi menjadi suatu wilayah/sub wilayah Pembangunanberdasarkan kekuatan perdagangan, keuangan, jasa, kegiatan produksi,sistem prasarana wilayah, dan lainnya. Sistem perwilayahan inimerupakan pendekatan untuk menjamin

  • tercapainya pembangunan yangserasi, selaras dan seimbang, baik antar sektor maupun antar wilayahpembangunan. Walaupun secara konseptual dilaksanakan secararegional, tetapi dalam pelaksanaannya tetap dilakukan menurut proseduradministrasi pembangunan yang ada. Karena itu perlu kerjasama antarPemerintah Daerah, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,dan antar sektor. Pendekatan ini dilakukan melalui forum konsultasiregional dan nasional, dimana perencanaan dan program dirumuskanbersama, dan mencari pemecahan bersama.

    Pengembangan wilayah melalui sinkronisasi program pembangunan Pendekatan ini merupakan penyempurnaan pendekatan sebelumnyadengan memperjelas mekanisme penyusunan program pembangunan.Muncul pendekatan perencanaan yang disebut top-down approach, dan bottom-up approach. Pendekatan dari atas ke bawah dan dari bawah keatas, harus dilihat sebagai satu kesatuan sesuai dengan proses alamiahperkembangan di suatu wilayah. Muncul mekanisme perumusan program pembangunan dengan melibatkan seluruh perangkat pemerintah melalui mekanisme rembug desa temu karya rakorbangII rakorbang I konreg konnas. Sebagai perwujudannya muncul pembangunan yang memusatkan perhatiannya pada persoalan urgen; seperti basic needs, teknologi tepat guna, land consolidation, kampong improvement, posyandu, puskesmas, SD Inpres, dan lainnya.

    Periode 80an Pada era 80-an ada empat pendekatan perencanaan, yaitu : Pendekatan pembangunan perkotaan

    Pada awal delapan puluhan dirumuskan pengembangan kota berdasarkan fungsi dan hirarkinya melalui strategi nasionalpembangunan perkotaan (NUDS). Klasifikasi kota menurut pendekatan pembangunan perkotaan yaitu: a. Berdasarkan besaran penduduk, kota diklasifikasikan menjadi kotametropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil. b. Berdasarkan fungsi pelayanan, kota diklasifikasikan ke dalam National Development Centre (NDC), Interregional

    Development Centre (IRDC), Regional Development Centre (RDC) dan Local Service Centre (LSC). c. Berdasarkan RTRWN (PP. No. 47/1997 dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah

    (PKW), dan PusatKegiatan Lokal (PKL).Untuk mengimplementasikan strategi tersebut disusunlah rencana-rencana tata ruang kota dan program-program P3KT dengan mengembangkan sistem jaringan transportasi melalui pendekatanketerpaduan.

    Pengembangan melalui pendekatan lingkungan

    Kebijakan pembangunan pada awal 80-an (Pelita III) adalah pemerataan pembangunan ekonomi dengan dominasi sektor industri yang saling menguatkan dengan pertanian. Setelah diterimanya konsep sustainable development dan Ramsar Convention tentang pengelolaan lahan basah, pemerintah mempertajam kebijakannya melalui keterpaduan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan manusia. Pada era ini berbagai kegiatan sektor ekonomi digalakkan; seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, industri, pariwisata, transportasi; yang menuai kecaman para ecologist dan environmentalist

  • tentang permasalahan lingkungan ( global issue ). Sebagai implikasinya muncul pendekatan yang mengarah pada upaya pemanfaatan sumberdaya alam sehemat mungkin tanpa merusak lingkungan, dan upaya untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan. Model pengembangan tersebut antara lain adalah : economic treeshold, eco development, carriryng capacity, analisis dampak lingkungan, analisis sumber daya, dan sebagainya. Untuk mengoperasionalkan kebijakan tersebut maka dikeluarkanlah UU No. 4/1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Keppres 32/1990 tentang Kawasan Lindung. Suyono Sosrodarsono kemudian mengembangkan : a. Pendekatan wilayah fungsional yang merupakan satu ekosistem,yaitu Satuan Wilayah Sungai (SWS dan Daerah Pengaliran

    Sungai(DPS). b. Keterpaduan antara pengembangan prasarana (pengairan, transportasi, pengelolaan lingkungan) dengan kesatuan wilayah

    fungsional.

    Desentralisasi perencanaan Menjelang akhir 80-an (akhir Pelita IV) disadari bahwa mekanisme yang terlalu sentralistis telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain : a. Terjadinya kebocoran dan duplikasi pendanaan pembangunan karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih. b. Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan seringkali tidak tepat sasaran (lokasi, waktu, target group, kualitas dan

    kuantitas) karena rendahnya akuntabilitas. c. Kurangnya keterlibatan peran serta daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, yang sebenarnya dapat membantu

    pemerintah dalam pendanaan. d. Keterlambatan dalam mewujudkan hasil pembangunan karena terlalu birokratif. e. Banyak peraturan yang dibuat masing-masing sektor lebih mengutamakan kepentingan sektor. Dalam rangka memperbaiki

    mekanisme pembangunan dari sentralistis ke desentralistis, maka dirumuskan kebijakan desentralisasi, antara lain dengan diterbitkannya PP. No. 14/1987 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang ke-PU-an kepada daerah, termasuk penyerahan urusan rencana tata ruang ke urusan di bidang Cipta Karya.Desentralisasi perencanaan berimplikasi pada pemberdayaan daerah dibidang perencanaan, melalui beberapa kegiatan :

    Pembentukan unit perencanaan di daerah, dan dikembangkannyapusat informasi dan dokumentasi penataan ruang daerah.

    Penyusunan pedoman dan petunjuk teknis penataan ruang. Pembinaan teknis penataan ruang melalui kegiatan desiminasi dansosialisasi produk hukum yang terkait penataan

    ruang; pelatihanperencanaan tata ruang di daerah; sosialisasi pedoman/petunjukteknis penataan ruang.

  • Pendekatan penataan ruang dinamis Di akhir 80-an pendekatan pengembangan wilayah semakin diperjelas,dengan memasukan rencana tata ruang dalam dokumen resmiperencanaan pembangunan (Buku Repelita IV dan Repelita V). Untuk mengantisipasi adanya pengaruh globalisasi ekonomi, dikembangkan pendekatan penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan melalui pendekatan penataan ruang dinamis (Tarudin).Berawal dari pendekatan yang terlalu normatif, legalistik, tertutup, supply oriented, atau hanya menampung visi perencanaan saja, sudah waktunya dirubah. Aternatifnya adalah pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif, tanggap terhadap dinamika pembangunan yangberubah cepat, serta mempertimbangkan kepentingan semua pihak (stakeholders). Dalam upaya menarik investasi, penataan ruang dinamis dikembangkan sebagai instrumen dalam: a. Keterpaduan pelaksanaan pembangunan dan sinkronisasi programpebangunan sektoral dan daerah. b. Acuan dalam alokasi investasi. c. Mendorong dan membuka peluang serta memberi kemudahan dalam kegiatan investasi. d. Kerjasama atau peran serta masyarakat dan swasta dengan pemerintah.

    Pada era ini juga sudah mulai dirintis pengembangan sistem informasipenataan ruang dan sistem informasi geografis.

    Periode 90-an Selama periode 90-an ada dua pendekatan pengembangan wilayah yang diintroduksi di Indonesia, yaitu : Penataan ruang berdasarkan pendekatan wilayah

    Pendekatan ini diwarnai oleh penataan wilayah berdasarkan UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dan termuatnya rencana tata ruang sebagai dasar perencanaan pembangunan dalam GBHN 1993 yang diikuti dengan TAP MPR No. IV/MPR/199 tentang GBHN 1999 dan UU Propenas (2000-2004). Prinsip-prinsipnya adalah : a. Pendekatan wilayah adalah cara pandang untuk memahami kondisi,ciri, fenomena, dan hubungan sebab akibat dari unsur-

    unsurpembentuk wilayah; seperti penduduk, sumberdaya alam,sumberdaya buatan, sosial, ekonomi, budaya, fisik lingkungan.

    b. Rencana tata ruang dikembangkan ke arah wawasan lingkungan dan manusia, yang menserasikan tata guna tanah, tata guna hutan dan tata guna sumberdaya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkunganyang harmonis.

    c. Tata ruang disusun berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat alam dan lingkungan sosial.

    d. Bersifat futuristik melalui langkah-langkah menentukan arah pengembangan; bersifat preskriptif menuju kondisi masa depan yang diharapkan bertitik tolak dari data, informasi, iptek.Hasilnya bukan hanya berupa identifikasi fenomena atau hubungan sebab akibat, tetapi juga pemahaman bagaimana mengembangkankegiatan sektor ekonomi, sumberdaya alam, perlindungan lingkungan,pengembangan infrastruktur, yang dituangkan dalam spatial planning.

  • Pendekatan strategic management untuk perencanaan yangberwawasan implementasia. a. Pertama

    Globalisasi mempercepat gelombang ketiga yakni peralihan dari ekonomi dunia yang bertumpu pada industrialisasi kepada ekonomi informasi (Alvin Tofler. The Third Wave. 1997). Dampak globalisasi yang paling terasa menjelang akhir 90-an adalah munculnya blok ekonomi. Saat itu Asia dalam proses memegang peranan ekonomi dunia (John Naisbitt. Megatrend Asia. 1996) karena revolusi 3 T lebih terkonsentrasi di sini. Di Indonesia, dengan keikutsertaannya dalam revolusi 3 T, berkembanglah tuntutan masyarakat akan transparansi, peran serta masyarakat, desentralisasi, HAM. Menghadapi situasi ini para ahli menyarankan re-orientasi arah pembangunan terutama pemanfaatan ruang perlu diperkaya dengan rencana tindak (action plan). Dalam perkembangannya action plan banyak mengadopsi model manajemen yang disebut strategic plan, dan implementasinya disebut manajemen strategis. Dalam kaitannya dengan perbaikan struktur ekonomi nasional, beberapa pendekatan yang disarankan Toeffler banyak diterapkan. Dalam rangka peningkatan kinerja birokrasi, pemerintah menerimapendekatan dari Osborne, yang menawarkan perubahan paradigmacara kerja birokrat : 1. Lebih bersifat menyetir dari pada mendayung. 2. Lebih bersifat pemberdaya (enabler) dari pada penyedia (provider). 3. Lebih merupakan organisasi yang berperan sebagai penggerak perubahan. 4. Penggunaan dana untuk memperoleh hasil, bukan untuk input. 5. Mempertemukan kebutuhan costumer, bukan birokrasi. 6. Lebih banyak pendapatan dari pada pebelanjaan. 7. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. 8. Mengubah pendekatan dari hirarki menuju partisipatori. 9. Lebih baik mendelegasikan (desentralisasi) dari pada dipusatkan. 10. Lebih berorientasi pada pasar.Dengan kesadaran perlunya melakukan reorientasi arahpembangunan, maka dilakukan

    upaya : Pergeseran tupoksi pemerintah dari provider menjadi enabler. Restrukturisasi organisasi pemerintah. Mempromosikan kawasan-kawasan bernilai strategis. Pengembangan model pembangunan dalam engembangkankawasan strategis dan sektor unggulan. Penyederhanaan mekanisme pembangunan melalui deregulasi, debirokratisasi, pemberian insentif/disinsentif,

    reward dan punishment kepada pelaku pembangunan. Pengembangan model-model kerjasama dalam prosespebangunan. Kebijakan fiskal dan moneter.Dalam tata ruang wilayah mulai diprakarsai pengembangan kawasan andalan

    sebagai sektor unggulan. Model yang pertama kali dikembangkan adalah KAPET (Kawasan Pertumbuhan

  • Ekonomi Terpadu) yang merupakan gabungan strategic planning dan strategic management yang dinamakan IDEP (Integrated Area Developent Plan).

    b. Kedua

    Desakan untuk menerapkan peranserta masyarakat, mendorongdikembangkannya pendekatan penataan ruang yang lebihmemperhatikan hak masyarakat yang dituangkan dalam PP. No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk danTata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Hal inimendorong keterlibatan penyediaan dana pembangunan,menciptakan keragaman alternatif, dalam penyusunan rencanapembangunan yang melibatkan pihak swasta.

    c. Ketiga

    Berkaitan dengan revolusi 3 T, diperlukan dukungan informasi yang handal. Pada akhir 90-an telah dilakukan: Pengembangan SIGNAS (Sistem Infromasi Geografi Nasional). Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen PembangunanPerkotaan. Pengembangan pola-pola kerjasama masyarakat dan duniausaha dengan pemerintah. Pengembangan pendekatan action plan.

    Selain itu mulai muncul Revolusi 3 T (telekomunikasi, transportasi dan tourism) mempercepat arus globalisasi yang menciptakan kebutuhan transformasi di segala aspek kehidupan.Hal ini mewarnai kebijakan pebangunan era 90-an, yakni :

    Pertumbuhan sekaligus pemerataan pembangunan ekonomi dengan dominasi sektor industri dan pemasaran yang saling menguatkan dengan sektor pertanian, pertambangan, pariwisata, transportasi dan telekomunikasi.

    Peningkatan penanaman modal asing dan domestik. Peningkatan desentralisasi dan peranserta masyarakat. Pengembangan kawasan strategis. Pelaksanaan Agenda 21 Rio de Janeiro.Operasionalisasi kebijakan tersebut antara lain dikeluarkannya PP.

    No.45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

    Periode 2000-an Pada era 2000-an muncul paradigma baru dalam pengembangan wilayah/kawasan, yaitu memasuki era otonomi daerah, melalui pergeseran paradigma sebagai berikut : Dari sasaran yang terfokus pada pertumbuhan, sektoral, parsial, makrodan nasional; ke sasaran yang menitikberatkan pada

    kesejahteraan,keterpaduan, mikro, dan local based.

  • Dari pendekatan perencanaan yang terlalu general, model abstrak ideal,sentralistik dan model ekonomi kuantitatif; menuju ke pendekatanperencanaan yang lebih lokal spesifik dengan pandangan holistik, berfikirke depan secara global, kontemporer, lokal dan sosio kualitatif.

    Dari implementasi berdasarkan pembangunan terencana, top-down approach, dan arahan pemerintah yang dominan; menuju kepembangunan yang interaktif, bottom up approach, dan partisipatory.

    Dari kontrol yang menekankan pada auditing pencapaian goal, ke control yang yang menekankan kepada umpan balik dan penyempurnaan proses.

    Sejalan dengan itu maka paradigma baru dalam penataan ruang wilayahadalah sebagai berikut :

    Penataan ruang desentralistik (lebih bottom up approach). Pemerintah tidak lagi sendiri tetapi bersama masyarakat menciptakan rencana, melaksanakan dan melakukan pengendalian. Pemerintah daerah proaktif dan kebijakan tata ruang diketahui semuapihak. Penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan mengikut sertakan masyarakat (public participation). Pemerintah daerah aktif memberikan sosialisasi dan pemberdayaanmasyarakat. Agar pendekatan wilayah lebih realistis,

    Acceptable dan mudah diterapkan, maka pada awal 2000-an lebih disempurnakan lagi dengan mengakomodasi jiwa otonomi : Lebih menitikberatkan pada pendekatan bottom up Melibatkan semua pelaku pembangunan (stakeholders). Transparan dalam perencanaan, implementasi dan pengendalian. Memberi perhatian besar pada tuntutan jangka pendek. Realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat. Berwawasan luas, dengan perhatian pada kawasan yang lebih detail. Rencana dapat dijadikan pedoman investasi. Menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong danmemfasilitasi pembangunan. Mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan.

    Sebagai respons terhadap berbagai pendekatan yang pernah diterapkan sebelumnya, maka pendekatan pada periode 2000-an adalah pendekatan tata ruang wilayah melalui proses perencanaan berwawasan otonomi daerah, yang sudah mempertimbangkan aspek pemanfaatan ruang danaspek pengendaliannya.

  • Wawasan masa depan Dengan mengadopsi nilai-nilai yang berkembang, idealnya pendekatan pengembangan wilayah memiliki wawasan (Deni dan Jumantri, 2002) :

    Local based flexible (conditional) Dapat dimodifikasi, dapat di adjust sesuai kesepakatan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang.

    Tranparency (politically accepted) Terbuka, melibatkan masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya sejak awal. Semua pihak mentaati norma, kriteria, prosedur yang telah disepakati bersama.

    Probisnis (layak ekonomi) Memperhitungkan seluruh korban termasuk lingkungan dan sumberdaya lainnya.

    Pemanfaatan ruang yang menimbulkan kerugian bagi yang lain, wajibmembayar atas kerugian yang ditimbulkannya. Pemanfaatan ruang yang menciptakan keuntungan bagi yang lain, layakmengenakan biaya kepada pemanfaat yang

    mendapat keuntungan. Long term (berkesinambungan)

    Pembangunan diperhitungkan manfaatnya untuk jangka panjang dengantetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Integrated (holistik)

    Program dan kegiatan diselenggarakan oleh pelaku pembangunandengan mengacu pada kesepakatan yang telah dipahami bersama.Selain itu dalam konteks pembangunan dewasa ini perlu dikembangkanpendekatan holistik; yaitu cara pandang yang menyatakan bahwapembangunan fisik bukanlah tujuan tetapi lebih merupakan alat untukmewujudkan tujuan akhir yang telah disepakati bersama. Untuk mewujudkantujuan akhir ini tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bekerjasamadengan pihak lain sejak awal sampai akhir.

  • b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Paradigma Perencanaan di Indonesia Periode 60-an Pendekatan pengembangan wilayah yang memisahkan antara pengembangan perkotaan dan perdesaan terbukti

    kontraproduktif terhadap pembangunan keseluruhan. Memang terjadi peningkatankegiatan ekonomi di perkotaan, tetapi di sisi lain mengakibatkan penurunan mutu lingkungan. Di samping itu, perdesaan yang kurang terperhatikan mengakibatkan produktivitasnya menurun. Hal inimengakibatkan beban perkotaan meningkat akibat migrasi masuk kotameninggi dan supply produksi pertanian dari perdesaan menurun.

    Pada kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajarmembangun, pendekatan pembangunan yang diterapkan masih terbatasdan dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titikberat pelaksanaan pengembangan wilayah terfokus pada kawasanperkotaan, sedangkan perdesaan belum mendapat perhatian serius.

    Dikotomi antara pengembangan perkotaan dan perdesaan mengakibatkan primacy kota (ditandai primacy index di atas 2.0 untuk kota besar dan di atas 3.0 untuk metropolitan). Di samping itu,kesenjangan pembangunan ekonomi dan demografi kian melebar. Hal ini dapat dimengerti, karena kawasan perkotaan menjadi magnet yang menarik untuk kegiatan investasi dan penduduk tertarik ke kawasanperkotaan.

    Periode 70-an Perumusan program pengembangan wilayah masih didominasi oleh program pusat (sentralistis) dan sektoral, karena

    pelaksanaan asas desentralisasi dan integrasi masih dikalahkan asas dekonsenterasi masing-masing sektor. Sementara itu, program daerah belum mencerminkan aspirasi masyarakat karena tindak pelibatan masyarakat masih semu (artificial).

    Dalam prakteknya upaya keterpaduan melalui koordinasi antara daerah administrasi ini belum menunjukkan hasil optimal, karena forum konsultasi lebih banyak dimanfaatkan untuk adu argumentasi dalam mempertahankan program dan proyeknya masing-masing. Hal ini disebabkan karena kurang kuatnya faktor pengikat yang mampu membangkitkan rasa kebersamaan.

    Meski pada akhir periode ini muncul kegiatan untuk melibatkan daerah dan masyarakat, tetapi praktek yang dilaksanakan masih merupakan kegiatan pusat yang dititipkan ke daerah seperti proyek konsolidasi lahan, Kampoong Improvement Project (KIP), UDKP dan lain-lain.

    Periode 80-an Permasalahan dalam implementasi pendekatan lingkungan yaitu:

    Belum terintegrasinya perencanaan berdasarkan wilayah administrasi dengan perencanaan berdasarkan wilayah fungsional SWS dan wilayah fungsional lainnya.

  • Kegiatan amdal masih bersifat parsial dan sektoral. Peraturan perundangan yang berlaku masih bersifat normatif, sehingga masih diperlukan pengaturan yang lebih

    operasional danlebih tegas dalam memberlakukan sangsi terhadap pelanggaran.

    Menjelang akhir 80-an (akhir Pelita IV) disadari bahwa mekanisme yang terlalu sentralistis telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain : Kurangnya keterlibatan peranserta daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, yang sebenarnya dapat membantu

    pemerintahdalam pendanaan. Terjadinya kebocoran dan duplikasi pendanaan pembangunan karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih. Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan seringkali tidak tepat sasaran (lokasi, waktu, target group, kualitas dan

    kuantitas) karenarendahnya akuntabilitas. Keterlambatan dalam mewujudkan hasil pembangunan karenaterlalu birokratif. Banyak peraturan yang dibuat masing-masing sektor lebihmengutamakan kepentingan sektor.

    Dalam evaluasi prakteknya, ada beberapa kelemahan dalam menerapkanpendekatan itu, yaitu:

    Penyusunan P3KT sebagai implemtasi Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS) kerap hanya mencakup prasarana keciptakaryaan dan seolah terlepas dari pembangunan prasarana perkotaan lain, tidak terkait dalam sistem pengembangan wilayah terpadu. Hal ini barangkali menjadi kelemahan konsep P3KT.

    Dalam penerapan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), muncul kesulitan mengintegrasikan pendekatan pembangunan berdasarakan wilayah administrasi danwilayah fungsional.

    Program masih bersifat sektoral dan daerah. Kebijakan untuk melaksanakan pendekatan ini masih bersifat makro dan normatif sehingga sulit dilaksanakan.

    Periode 90-an Terlalu dini menyatakan gagal atau berhasil terhadap pendekatanpenataan ruang yang dilaksanakan pada periode ini.

    Pendekatan pembangunan yang dilaksanakan seperti KAPET dan penyusunanstrategic plan baru saja dilaksanakan. Meski demikian, seiringpemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendekatan tersebut butuh banyak penyesuaian.

    Perkembangan teknologi informasi memicu tuntutan terhadap transparansi, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, desentralisasi dan otonomi daerah serta penghargaan terhadap HAM di Indonesia. Di samping itu, pembangunan yang terlalu sentralistik danbirokratis menimbulkan permasalahan baru, yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan peran mereka dalam pembangunan dan menurunnyaperan swasta dan dunia usaha dalam investasi.

  • Program pengembangan KAPET tidak dapat dipisahkan dari kewenangan daerah dalam mengembangkan wilayahnya. Dalam hal ini, keterlibatanunsur daerah seperti pemerintah daerah, DPRD, masyarakat, LSM,organisasi profesi, organisasi massa dan swasta, tidak dapatdikesampingkan.

    Periode 90-an diakhiri dengan terjadinya turbulensi ekonomi yang dipicuoleh krisis moneter, yang berlanjut pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini menyadarkan masyarakat untuk melakukanreformasi hukum dan perundangan, reformasi ekonomi dan system pemerintahan; yang melahirkan UU No. 22/1999 tentang PemerintahanDaerah; UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan, dan UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

    Periode 2000-an Pendekatan periode 2000-an bukanlah satu-satunya obat mujarab yang dapat memecahkan semua masalah, karena masih memerlukan pengujian-pengujian; dan perlu diintegrasikan dengan pendekatan lain, yang mampu membangkitkan kesadaran masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya untuk berperan serta dalam pembangunan wilayah.

    2. Penerapan Konsep Radiant City, Garden City dan Broadacre City diIndonesia Konsep Radiant City Radiant City, merupakan sebuah rancangan kota dengan model practical dan menggunakan analogi city as machine, yang terdiri dari komponen-komponen dengan fungsi yang jelas dan saling terkait. Rancangan ini diusulkan untuk dibangun di pusat kota Paris, untuk meningkatkan kapasitas perkotaan dalam rangka memperbaikikualitas lingkungan dan efisiensi kota (Kostof, 1991 ; Breheny, 1996). Gagasan ini memang tidak pernah direalisasikan, tetapi konsep ini telah mengilhami pengembangan superblock di berbagai kota.

  • Gambar. Konsep Garden City Konsep Garden City Sebuah konsep perencanaan kota dengan memiliki cakupan wilayah sekitar 1.000 acre dimana setiap fungsi lahan disusun sedemikian rupa sehingga tetap berfungsi tanpa mengganggu satu sama lain terutama tidak membahayakan lingkungan mengingat sebagian besar diselubungi oleh fungsi-fungsi hijau seperti taman,pertanian dan lain-lain (EBENHEZER HOWARD). Kota kebun adalah istilah yang menggambarkan kota yang didominasi oleh pepohonan. Konsep Kota Kebun (garden city), cite jardin (Perancis), tuinstadt (Belanda), gartenstadt (Jerman) dan cuidad jardin (Spanyol) pertama kali dicetuskan oleh Ebenezer Howard tahun 1898. Dia mengingatkan manusia agar hidup di kota pun harus bersahabat dengan tetumbuhan terutama pepohonan. Konsep Broadacre City FRANK LLOYD WRIGHT : penduduk dan aktifitasnya harus menyebar. Model yang banyak dikembangkan Broadacre City (Kota skala besar). Broadacre City alah sebuah konsep lawan yang tepat dari sebuah kota dan merupakan perwujudan konsep baru untuk daerah pinggiran kota.

  • Konsep radiant city di Indonesia Apartemen merupakan sebuah model tempat tinggal yang hanya mengambil sebagian kecil ruang dari suatu bangunan. Suatu gedung apartemen dapat memiliki puluhan bahkan ratusan unit apartemen. Lahan yang dapat dikembangkan di dalamsuatu perkotaan semakin sempit tetapi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggalselalu naik, sehingga solusi terbaik dalam menangani hal ini adalah didirikannyasuatu apartemen. Apartemen juga merupakan bangunan yang didirikan secara vertikal sehingga mengikuti konsep dari radiant city (modern city), dimana sebuahkota diarahkan pembangunan bangunan/gedung ke arah vertikal untuk mengefisienkan lahan yang digunakan. Contoh superblok di Indonesia adalah superblok Podomoro City yang terletak di kawasan Jakarta Barat. superblok tersebutterdiri atas 5 menara, yakni 3 menara Central Park Residences yang masing-masingmenara berjumlah 340 unit apartemen dan 2 menara Royal Mediterania Gardensebanyak 1619 unit apartemen. Dalam superbok tersebut terdapat office tower 46lantai, Central Park Mall seluas 115 m2, 15 menara apartemen sebagai pusat hunian,The Pullman Hotel bintang 5 dan taman hijau Tribeca Park seluas 1,5 hektare sebagaipusat aktivitas sosial bagi masyarakat dengan nuansa alam. keseluruhan superblokseluas 21 hektare, tersisa 2,5 hektare. masyarakat umum dan penghuni yang tinggaldi kawasan tersebut dapat menikmati taman hijau seluas 1,5 hektare yang dilengkapidengan kolam ikan koi, air terjun mini, ruang terbuka untuk duduk santai dan sebuahlokasi dancing fountain yang dapat menjadi pusat hiburan bernuansa alam.2.1.2. Konsep garden city di Indonesia Kota Bandung yang pada awalnya dibangun dengan konsep garden city, terutama dikawasan Cibeunying dan sekitarnya. Namun akibat terjadinya pemusatan atau konsentrasi penduduk di kawasan Bandung Utara. Sebagai daerah wilayahpengembangan yang terletak di kawasan utara Bandung, Cibeunying tentu sajaterkena dampak dari pertumbuhan ini, diantaranya adalah peningkatan fasilitasperumahan dan fasillitas lain yang dibutuhkan warga, serta berkurangnya lahan kosong ataupun lahan hijau.seiring dengan berkembang tingkat kebutuhannya maka pertumbuhan bangunanbangunan (sebagai naunagan bagi manusia untuk berkegiatan) ataupun infrastruktur(sebagai sarana penunjagnya) menjalar di setiap ruas ruas kota, secara amorphsemakin bertolak belakang dengan konsep awalnya.konsep awal sebagai garden city di kota bandung terbukti pada daerah daerah pusat kota yang memiliki banyakpersimpangan jalan, taman taman kota dan pedestrian pedestrian jalan yangsedemikian rupa dibangun dengan maksud mempernyaman jalur sirkulasi pejalankaki.dengan konsep tersebut maka aplikasi bangunan yang skalatis dengan skalamanusia menunjang pengalaman ruang yang manusiawi dengan mudah dapatdinikmati dengan mata telanjang .penataan kota yang semula dibuat memadai dannyaman untuk pejalan kaki tersebut kemudian kian berkembang dengan wajahwajah bebangunan yang terkadang tidak menghiraukan kualitas visual.Pembangunan bangunan bangunan dengan ketinggian ketingian menjulang yangmemiliki jarak minim dari tepian jalan, ketinggian bangunan dan bebangunan yangmemotong jarak pandang dan ruang ruang publik kota yang kurang bersahabatsehingga menimbulkan gradasi fungsi kualitas ruang merupakan beberapa contohdari permasalahan permasalahan yang cenderung memperburuk kualitas visual ruang yang tercipta sebagai lingkungan binaan seharusnya memberikan pengalamanpengalaman ruang yang nyata kemudian terimplementasikan dari berbagai sudutpandang baik dari segi fungsi,estetis dan kualitasnya.

  • Konsep Broadacre city di Indonesia. Konsep daerah pinggiran kota (Broadacre city) sudah mulai menjamur keberadaannya di Indonesia. Sebagai contohnya untuk kota Metropolitan Jakarta, disana terdapat berbagai konsep pemukiman yang berada di pinggiran kota Jakarta. BSD city, merupakan salah satu contoh konkret pemukiman yang merupakan hasil karya dari developer Sinarmas yang letaknya tepat di pinggir dari Jakarta. Mulai dari mall, apaterment dan tentunya perumahan pun pastinya ada di tempat ini dengan konsep newly born suburbia. BSD city menawarkan berbagai fasilitas sarana dan prasana yang lengkap dengan akses langsung menuju kota, baik itu tol dalam kota maupun tol yang dibuat khusus oleh developer untuk menuju ke pusat kota Jakarta. Dapatkah konsep-konsep tersebut bertahan sampai sekarang ? Radiant city Konsep Radiant city di Indonesia, saya pikir akan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Di karenakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menunjukan arus positif sehingga berujung pada kebutuhan akan hunian superblock di Indonesia saat ini sangat dibutuhkan. kawasan superblok mampu menjadi kawasan yang mandiri (independent controlled zone), dimana warga kota bisa tinggal, bekerja dan berekreasi (live, work & play district) dalam satu lokasi. Superblok pun untuk saat ini laris manis diburu dan dikembangkan oleh para developer karena menawarkan efisiensi lahan dan pengurangan beban energi dan pergerakan kendaraan secara signifikan dimana hal tersebut merupakan akar permasalahan yang dihadapi seluruh kota besar di dunia. Para developer pun berlomba-lomba untuk membangun kawasan superblock yang berkonsep semenarik mungkin untuk memikat para pembeli property di Indonesia. Garden city Mungkin untuk saat ini, konsep Garden City di Indonesia sudah jarang sekali di temukan di kota-kota di negeri ini. Kota-kota di Indonesia pun kesulitan untuk mengembangkan konsep penataan kota menjadi kota taman di karenakan terdapatnya berbagai factor penghambat, seperti arus pertambahan penduduk yang memaksa pemerintah untuk membuka lahan yang seharusnya menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi pemukiman maupun tempat bisnis yang diperuntukan bagi penduduk kota. Namun, menurut saya konsep Garden City atau Kota Taman mungkin bisa disematkan pada kota Surabaya. Kota yang dipimpin oleh Ir. Tri Rismaharini, M.T berhasil mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% dari luas total wilayah kota. Itu merupakan prestasi tersendiri bagi kota Metropolitan sebesar Surabaya. Kini, Kota Surabaya menjadi lebih asri dibandingkan sebelumnya, lebih hijau dan lebih segar. Sederet taman kota yang dibangun di era Tri Risma adalah pemugaran taman Bungkul di Jalan Raya Darmo dengan konsep all-in-one entertainment park, taman di Bundaran Dolog, taman Undaan, serta taman di Bawean, dan di beberapa tempat lainnya yang dulunya mati sekarang tiap malam dipenuhi dengan warga Surabaya. Selain itu Risma juga berjasa membangun

  • pedestrian bagi pejalan kaki dengan konsep modern di sepanjang jalan Basuki Rahmat yang kemudian dilanjutkan hingga jalan Tunjungan, Blauran, dan Panglima Sudirman. Broadacre city Konsep Broadacre City sebenarnya sudah ada sejak dulu. Sebagai contoh, di kota metropolitan Surabaya, pusat kota ini pun penuh sesak oleh gedung-gedung perkantoran yang memang daerah ini diperuntukan sebagai pusat bisnis kota. Oleh karena itu, pemukiman-pemukiman pun bergeser tempatnya kewilayah pinggiran-pinggiran kota, seperti daerah Surabaya timur. Daerah ini pun berkembang dengan pesat sebagai daerah pemukiman, hiburan dan juga sebagai tempat bisnis walaupun tidak sebanya yang ada di pusat kota. 3. a. Perbedaan antara comprehensive plan, structure plan, continuous plan, strategic plan, dan concencus

    plan

    INDIKATOR

    JENIS-JENIS TEORI

    COMPREHENSIVE PLAN

    STRUCTURE PLAN

    CONTINOUS PLAN

    STRATEGIC PLAN

    CONCENCUS PLAN

    FORMAT PERENCANAAN

    Format perencanaan yang dalam

    perencanaanya bersifat menyeluruh

    Format perencanaanya

    yang merupakan penyederhanaan

    dari comprehensif planning

    Format perencanaan yang

    berupa perencanaan secara berkesinambungan atau berkelanjutan

    Format perencanaan yang mengadopsi pola

    penyusunan strategi militer

    Format perencanaan yang menitik

    beratkan pada pengambilan

    keputusan secara social atau bersama

  • TUGAS PLANNER

    Merencanakannya bersifat menyeluruh

    Hanya merencanakan pokok-pokok

    permasalahan atau hal-hal yang

    bersifat primer

    Melakukan perencanaan secara

    berkelanjutan

    Merencanakan dengan

    mempertimbangkan kekuatan dan

    kelemahan serta peluang dan

    tantangan yang ada

    Penentu kebijakan perencanaan yang

    dilakukan berdasarkan

    keputusan social yang disepakati

    semua pihak

    FOKUS PERENCANAAN

    Pembangunan fisik yang dibangun spesifik

    Perencanaan yang fleksibel dan

    memperhitungkan perubahan zaman

    Perencanaan yang berdasarkan perencanaan sebelumnya

    Perumusan visi misi kedepan yang berontasi pada

    peluang yang ada

    Perencanaan yang telah disepakati

    bersama

    Ciri-ciri pokok comprehensive plan, structure plan, continuous plan, strategic plan, dan concencus plan.

    Comprehensive plan Perencanaan bersifat menyeluruh. Perencanaan jangka panjang yaitu 20-30 tahun Berkarateristik pada perencanaan fisik Perencanaan spesifik dan kaku Bersifat umum Perencanaan berdasarkan tujuan kommunitas dan kebijakan sosialekonomi.

    Structure plan

    Mengutamakan pokok-pokok permasalahan Fleksibel atau tidak kaku Berisi kerangka pengarahan rencana Unsur kota yang terstruktur mapan seperti jaringan transportasi tidakmengalami perubahan.

    Continuous plan

    Merupakan rencana yang berkesinambungan atau berkelanjutan Rencana yang dibuat berdasrkan rencana sebelumnya Rencana yang dibuat akan digunakan sebagai pedoman dalampenyusunan rencana berikutnya.

  • Strategic plan

    Berorientasi pada strategi militer yang berupa tindakan (action). Menampung seluruh aspirasi masyarakat yang terlibat. Mempertimbangkan peluang-peluang, tantangan serta kelemahan atau hambatan yang ada. Menaruh perhatian pada kompetisi di kalangan masyarakat Melakuakn penilaina terhadap suatu organisasi (SWOT).

    Concencus plan

    Fokus kepada pengambilan keputusan sosial yang untuk mencapai kesepakatan bersama. Planner bertugas sebagai penentu kebijakan perencanaan yang telah disepakati. Pihak yang terlibat ialah lembaga pemerintah, interest group, dan masyarakat. Adanya pertimbangan politis.