tinjauan hukum islam terhadap upah buruh tani...
TRANSCRIPT
i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH BURUH
TANI DENGAN SISTEM BAWON
(Studi Kasus di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Hukum Islam
Oleh
SITI MARDIYAH
NIM 33020 15 0029
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
ii
iii
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH BURUH
TANI DENGAN SISTEM BAWON
(Studi Kasus di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Hukum Islam
Oleh
SITI MARDIYAH
NIM 33020 15 0029
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
iv
v
vi
vii
MOTTO
“Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa
bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis, dan pada kematianmu
semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum”
-Mahatma Gandhi
“Teruslah berbuat baik, walaupun banyak orang yang menilaimu tidak
baik”
-Diyah
viii
PERSEMBAHAN
Dengan menyebut nama Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, penuh cinta kasihnya
yang telah memberikan saya kekuatan dan telah menuntun dalam menyelesaikan
skripsi ini. Skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Sukamto dan Ibu Muslimah karena
berkat kesabaran beliau, cinta dan kasih saying beliau, dukungan moral,
spiritual dan materi, serta senandung doa yang tiada henti sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Kakakku Mar‟atus Sholikah dan Adikku Nashruddin Fauzi yang selalu
memberikan dukungan moral maupun materi, serta Muhammad Imam
Hanafi yang membantu dalam selesainnya skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.
4. Muhammad Soim S.Pd. yang selalu memberikan semangat untuk penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
atas rahmat, dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai strata satu Hukum Ekonomi Syariah. Penulis menyadari tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai dalam
penyusunannya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
3. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
4. Ibu Luthfiana Zahriani, S.H. M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta dukungan untuk
mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Semua keluarga tercinta yang tiada henti mendoakan dan selalu memberikan
motivasi kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah yang telah mengajar dan membimbing
serta memberikan berbagai ilmunya dengan penuh keikhlasan.
7. Staff dan karyawan yang telah memberikan pelayanan dengan baik dalam hal
administrasi.
x
xi
ABSTRAK
Mardiyah, Siti. 2020. Tinjauan Hukum Islam terhadap Upah Buruh Tani dengan
Sistem Bawon (Studi Kasus di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali). Skripsi. Fakultas Syari‟ah.
Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Pembimbing: Luthfiana Zahriani,SH. MH.
Kata Kunci: Hukum Islam, Upah Buruh Tani, Sistem Bawon
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling bergantung antara satu
dengan yang lainnya dalam pemenuhan kebutuhan, seperti halnya dalam ijarah
upah mengupah di mana pemberi kerja membutuhkan pekerja atau buruh untuk
melakukan pekerjaannya dengan upah sebagai pengganti atas jasa yang telah
mereka berikan. Sebagaimana yang terjadi di Dusun sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali dalam pengupahan buruh tani dengan
sistem bawon (pengupahan dengan gabah), dalam praktik pengupahan ini terdapat
adanya perbedaan dalam pemberian upah terhadap buruh tani. Penelitian ini fokus
pada praktik pengupahan buruh tani dengan sistem bawon di Dusun Sambirejo
Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan Hukum
Islam terhadap praktik tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif dengan cara
mencari data langsung ke lapangan untuk mengetahui lebih jelas tentang pokok –
pokok permasalahan. Pendekatan yang digunakan yuridis sosiologis yang bersifat
deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara, dan dokumentasi.
Teknik analisis yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan teknik
pengecekan keabsahannya menggunakan triangulasi.
Hasil penelitian penulis menemukan bahwa praktik pengupahan buruh tani
dengan sistem bawon yang dilakukan di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan
Simo Kabupaten Boyolali terdapat ketidakjelasan pada awal akad pemilik sawah
tidak memberitahukan besarnya upah yang diberikan, yang menyebabkan
terjadinya perbedaan upah antar buruh tani dengan didasarkan atas unsur
kekeluargaan. Hal itu yang menimbulkan ketidakridhoan dan kecemburuan sosial
antar buruh tani atas upah yang diberikan oleh pemilik sawah. Akan tetapi hal
tersebut sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Maka
pengupahan buruh tani dengan sistem bawon tersebut menurut Hukum Islam
boleh dilakukan karena termasuk dalam urf shahih yang tidak bertentangan
dengan nash dan prinsip-prinsip syariat.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ iv
MOTTO .............................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ............................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
ABSTRAK .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................ 5
E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 5
F. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 7
G. Metode Penelitian .................................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14
BAB II IJARAH Upah Mengupah .................................................................... 16
A. Pengertian Pengupahan Secara Umum .................................................... 16
B. Pengupahan Menurut Islam ..................................................................... 20
1. Pengertian Pengupahan/Ijarah ............................................................ 20
2. Dasar Hukum Ijarah ............................................................................ 23
3. Hukum Ijarah ..................................................................................... 30
4. Rukun dan Syarat Ijarah .................................................................... 31
5. Macam- macam Ijarah ....................................................................... 36
6. Pembayaran Upah ............................................................................. 37
7. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah................................................ .... 38
xiii
BAB III PRAKTIK PENGUPAHAN BURUH TANI DENGAN SISTEM
BAWON DI DUSUN SAMBIREJO DESA TETER KECAMATAN SIMO
KABUPATEN BOYOLALI ............................................................................... 41
A. Gambaran Umum Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten
Boyolali ................................................................................................... 41
1. Monografi Desa Teter ......................................................................... 41
2. Demografi Desa Teter ......................................................................... 43
B. Praktik Pengupahan Buruh Tani dengan Sistem Bawon di Dusun
Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali .................. 48
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH BURUH
TANI DENGAN SISTEM BAWON DI DUSUN SAMBIREJO DESA
TETER KECAMATAN SIMO KABUPATENBOYOLALI .......................... 60
A. Sistem Pengupahan di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali ..................................................... 60
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upah Buruh Tani
dengan Sistem Bawon .............................................................................. 62
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 69
A. Kesimpulan ............................................................................................. 69
B. Saran ........................................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
LAMPIRAN- LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sehingga antara
satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.Salah satu bentuk interaksi antar manusia adalah kerjasama.
Dalam kehidupan kita sehari-hari bentuk dari kerjasama antara lain dalam
hal bermuamalah seperti, jual beli, gadai, sewa menyewa, dan lain
sebagaianya.
Seorang pekerja atau yang biasa disebut dengan buruh adalah
mereka yang tidak mempunyai alat produksi untuk menghasilkan barang,
akan tetapi mereka mempunyai tenaga yang bisa digunakan untuk bekerja
dan menjalankan alat produksi tersebut sehingga menghasilkan barang
yang diinginkan. Bentuk kerjasama seperti itu dalam Islam disebut dengan
ijarah.
Sewa menyewa atau ijarah adalah pemanfaatan barang atau jasa
dalam waktu yang ditentukan melalui pembayaran berupa upah tanpa
adanya perpindahan kepemilikan atas suatu pemanfaatan barang tersebut.
Menurut jumhur ulama hal itu diperbolehkan apabila dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara‟ berdasarkan ayat Al-Qur‟an
2
dan hadis- hadis Nabi dan ketetapan Ijma Ulama.1 Dalam hal sewa
menyewa jasa, upah atau yang biasa disebut dengan ujrah adalah imbalan
atas pekerjaan yang telah dikerjakan. Upah menjadi sangat penting dalam
hal sewa menyewa jasa, karena dengan upah seorang pekerja atau buruh
merasa lebih dihargai dengan besaran upah yang diberikan atas jasa yang
telah mereka keluarkan. Besaran upah juga sebagai sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan buruh. Sehingga dalam hal pemberian upah,
seorang penyewa jasa harus memperhatikan hak-hak yang diterima oleh
seorang buruh.
Di dalam Al-Qur‟an surat An- Nahl ayat 90 di jelaskan bahwa:
بشؤ٠الله ا غحاليذؼا بشمارآاخ٠اا آءشحفاػ٠
(٠)شو زحى ؼىظؼ٠غباشىا
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang
(melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (Q.S. An-Nahl (16): 90)2
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh kita untuk
berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sehingga dalam
pemberian upah, seorang penyewa jasa harus berlaku adil dalam hal
pemberian upah terhadap buruh. Upah yang diberikan harus sesuai dengan
pekerjaan yang telah dilakukan.
1 Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
278. 2 An-Nahl (16): 90
3
Dusun Sambirejo adalah sebuah dusun di Kabupaten Boyolali yang
rata-rata masyarakatnya bekerja sebagai petani. Akan tetapi tidak semua
penduduk mempunyai lahan persawahan untuk menanam padi, mereka
yang tidak mempunyai sawah biasanya bekerja sebagai buruh panen padi
ataupun menanam padi. Di dalam masyarakat istilah buruh panen padi
biasanya disebut dengan buruh derep. Buruh derep dibutuhkan petani atau
pemilik sawah pada saat padi siap untuk dipanen. Mereka bekerja mulai
dari ngerit (memotong padi), ngerek (memisahkan padi dari batangnya),
ngayak (memisahkan padi dari sisa batang padi atau jerami) dan ngilir
(memisahkan padi yang ada isinya dan tidak ada isinya).
Buruh derep di Dusun Sambirejo, bekerja mulai pagi hari sampai
selesainya panen padi tersebut. Upah yang diterima mereka tergantung
pada pemilik sawah. Biasanya para pemilik sawah di Dusun Sambirejo
memberikan upah dalam bentuk bawon atau gabah hasil panen padi.
Bawon yang diberikan oleh pemilik sawah biasanya tergantung pada
waktu selesainya panen atau banyaknya hasil panen yang didapat. Akan
tetapi itu tidak bersifat tetap, hal itu dikarenakan adanya unsur
kekeluargaan yang berlaku di masyarakat Dusun Sambirejo ini.
Maka dari itu banyak buruh tani yang merasa tidak adil atau
dirugikan dalam hal upah ini, ditambah lagi jika panen padi dilakukan
pada musim penghujan dan gagal panen, gabah yang didapat biasanya
lebih sedikit serta kualitasnya tidak bagus.
4
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik meneliti tentang
sistem pengupahan bawon di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan
Simo Kabupaten Boyolali, dengan judul penelitian: “TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH BURUH TANI DENGAN
SISTEM BAWON (Studi Kasus di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik pengupahan buruh tani dengan sistem bawon di
Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pengupahan buruh
tani dengan sistem bawon di Dusun Sambirejo DesaTeter Kecamatan
Simo Kabupaten Boyolali?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui praktik pengupahan buruh tani dengan sistem
bawon di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten
Boyolali
2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pengupahan
buruh tani dengan sistem bawon di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali
5
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis yang
akan mengkaji masalah ini.
b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu
di Fakultas Syari‟ah, khususnya untuk jurusan Hukum Ekonomi
Syari‟ah sebagai tambahan wawasan keilmuan dalam masalah yang
berhubungan dengan pengupahan dengan sistem bawon.
2. Secara Praktis
a. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan
masyarakat dalam melaksanakan pengupahan dengan sistem
Bawon terhadap buruh tani supaya tetap sesuai dengan Hukum
Islam yang berlaku.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan referensi dan koleksi bacaan untuk
penelitian selanjutnya.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahfahaman dan kekeliruan terhadap judul
di atas, maka penulis perlu memberikan penegasan terhadap istilah-istilah
yang ada. Istilah- istilah tersebut adalah:
6
1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.3
Buruh tani adalah buruh yang menerima upah dengan bekerja di kebun
atau di sawah orang lain.4 Dalam skripsi ini upah buruh tani adalah
imbalan yang diberikan kepada seseorang yang telah bekerja memanen
padi milik pemilik sawah.
2. Bawon adalah pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak
sedikitnya padi yang dipotong.5 Pada skripsi ini yang dimaksud dengan
bawon adalah upah dengan menggunakan padi yang dipotong.
3. Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu
agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum
biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dan
kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan
hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut
3Undang-Undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bab X, pasal 1 ayat 30.
4Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016. 5Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016.
7
keduniaan semata.6 Pada skripsi ini Hukum Islam yang dimaksud
adalah Fiqh Muamalah.
F. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian terdahulu terdapat skripsi yang berkaitan dengan
penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis diantaranya:
Pertama, skripsi yang dibuat oleh Nurmaulidina Isnaningsih,
Fakultas Syari‟ah, IAIN Purwokerto, yang berjudul “Praktek Akad
Pengupahan Buruh Tani (Bawon) Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di
Desa Kedungbanteng kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas)”,
2018. Hasil penelitian ini adalah bawon yang dilakukan oleh para petani
sudah memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam, yaitu dilihat dari
para pihak yang berakad, akadnya, dan upah yang diberikan. Dalam hal ini
adat kebiasaan petani di Desa Kedungbanteng yang memberikan tambahan
upah (ujrah) dan diniatkan petani sebagai zakat tidak bisa dikatakan
sebagai zakat, karena dalam hal ini zakat pertanian dikeluarkan apabila
sudah mencapai nishab yaitu 5 wasaq, sedangkan hasil panen petani tidak
pasti jumlahnya. Mengenai adat kebiasaan yang dilakukan tersebut
menurut hukum Islam termasuk bagian dari „urf, yang mana „urf yang
dilakukan oleh petani tersebut dikategorikan sebagai „urf shahih karena di
dalamnya tidak ada unsur yang melanggar syariat Islam. Karena itu,
tambahan upah yang diniatkan sebagai zakat tidak termasuk dalam zakat
6Muhammad Kamal Hasan, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P3M,1979),
hal. 136
8
pertanian, melainkan sebagai shadaqah atas tenaga yang telah diberikan
oleh buruh tani untuk memanen sawah.7
Penelitian skripsi ini berbeda dengan yang penulis teliti, pada
penelitian ini fokus penelitiannya terhadap tambahan upah bawon yang
diberikan kepada buruh tani sebagai bentuk zakat. Sedangkan skripsi ini
meneliti tentang perbedaan pemberian upah dikarenakan kekeluargaan.
Kedua, skripsi yang dibuat oleh Aziz Muslim, Fakultas Syari‟ah
Dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang berjudul “Tinjauan
Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pengupahan Buruh Tani Di Desa
Ciakar Kecamatan Cijulang Kabupaten Pangandaran”, 2019. Hasil
penelitian ini bahwa: 1). Pengupahan buruh tani di Desa Ciakar
dilaksanakan dengan adanya perintah atau permintaan dari pemilik sawah
atau pengelola kepada buruh tani; pembayaran upahnya tidak diberikan
langsung setelah buruh tani selesai bekerja melainkan ditangguhkan
hingga waktu panen selesai, dengan bergantung pada hasil padi, dengan
prosentase upah 10:2 kulak dan 100:5 kg yang masih berupa bawon. 2).
Manfaat bagi pemilik sawah merasa terbantu dalam proses panennya serta
mengurangi pengangguran yang ada di Desa dan buruh tani mendapatkan
beras tanpa harus memiliki sawah. Madharatnya lebih besar dirasakan para
buruh tani terutama dalam segi pembagian upahnya. 3). Relevansinya
disini termasuk kedalam akad yang fasid dan tidak dibolehkan dalam
Islam, karena ada salah satu syarat dari rukun ijarah yang tidak terpenuhi
7Nurmaulidina Isnaningsih, “Praktek Akad Pengupahan Buruh Tani (Bawon) Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus didesa Kedungbanteng Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten
Banyumas)”, Skripsi (Purwokerto: Fak. Syari‟ah, IAIN Purwokerto, 2018).
9
yaitu pada ujrah (upah), karena mengandung unsur gharar dan adanya
ketidakadilan dalam pembagian upahnya, selain itu aspek madharatnya
lebih besar dirasakan oleh para buruh tani dari pada kemaslahatannya.8
Pada skripsi ini sistem pengupahannya menggunakan akad gadeng yang
pengupahannya dengan kulakan 10:2 dan dalam pemberian upahnya tidak
langsung diberikan melainkan ditangguhkan sampai waktu panen selesai,
sedangkan pada penelitian yang penulis teliti menggunakan sistem bawon
yang terdapat unsur kekeluargaan dalam pemberian upah.
Ketiga, skripsi yang dibuat oleh Ika Nur handayani, Fakultas
Syaria‟ah, IAIN Walisongo Semarang, yang berjudul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Praktek Akad Bawon (Studi Kasus di Desa Gemulung
Kelurahan Kwangen Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen)”, 2012.
Hasil skripsi ini adalah bahwa praktik pengupahan buruh tani dengan akad
bawonyang dilakukan diDesa Gemulung Kelurahan Kwangen Kecamatan
Gemolong Kabupaten Sragen ini sudah menjadi tradisi. Dari pembayaran
upah, diawal akad tidak diketahui nominal upahnya berapa. Walaupun
nampaknya pembayaran upahnya mengandung unsur ketidakjelasan
karena belum diketahui berapa jumlah keseluruhan hasil panennya. Namun
pemilik sawah sudah dapat memperkirakan hasil panen yang akan
diperoleh dan berapa banyak upah harus diberikan dan buruhpun telah rela
atas upah yang diberikan. Mereka tidak terpaksa dan bukan karena
8Aziz Muslim, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pengupahan Buruh Tani Di
Desa Ciakar Kecamatan Cijulang Kabupaten Pangandaran”,Skripsi (Bandung: Fak.Syari‟ah Dan
Hukum, UIN Sunan Gunung Djati, 2019).
10
keterpaksaan. Maka upah buruh tani dengan hasil panen ini dibolehkan
dalam hukum Islam.9
Pada skripsi tersebut menjelaskan pemberian upah kepada buruh
tani diperoleh dari hasil padi yang telah dipanen kemudian ditimbang dan
dibagi delapan, seperdelapan tersebut adalah upah yang diberikan kepada
buruh tani. Sedangkan pada penelitian yang penulis teliti hasil panen padi
tidak ditimbang sehingga pemilik sawah tidak bisa memperkirakan berapa
hasil panen padi yang akan di dapat, serta terdapat perbedaan dalam
pemberian upah berdasarkan kekeluargaan.
G. Metode penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis
yang bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap
keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud
dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian
menuju pada identifikasi (problem- identification) dan pada akhirnya
menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).10
Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan cara
mencari data langsung kelapangan untuk mengetahui lebih jelas
tentang pokok –pokok permasalahan dari judul skripsi.
9Ika Nur Handayani, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Akad Bawon (Studi
Kasus di Desa Gemulung Kelurahan Kwagen Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen)”, Skripsi
(Semarang: Fak. Syariah, IAIN Walisongo, 2012). 10
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1982), hal.10
11
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti disini statusnya diketahui oleh narasumber
dan guna mendapatkan data, penulis sebagai pengumpul data
melakukan wawancara terhadap narasumber.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali. Alasan penulis memilih tempat
ini dikarenakan masyarakat dalam pemberian upah kepada buruh tani
terdapat perbedaan.
4. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data yang meliputi:
a. Data Primer
Yaitu data yang berasal dari sumber data utama,
berupa tindakan-tindakan sosial dan kata-kata dari pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti.11
Data ini
diperoleh dari masyarakat Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali melalui wawancara
dengan enam pemilik sawah yaitu Bapak Sukamto,
Romeni, Tiran dan Ibu Muslimah, Sopiyah, Rahayu dan
sepuluh buruh tani yaitu Bapak Tardi dan Ibu Nur, Saniyah,
Sumirah, Murti, Ismiyati, Sri, Sugiyem, Sukini, Sri W.
Alasan penulis memilih mewawancarai mereka karena
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2008), hal.
133.
12
pemilik sawah menerapkan pemberian upah dengan bawon
yang dalam pemberiannya terdapat perbedaan, sedangkan
buruh tani yang penulis wawancarai tersebut masih bekerja
menjadi buruh tani panen padi sampai sekarang.
b. Data Sekunder
Yaitu data-data yang berasal dari bahan kepustakaan
berupa Al-qur‟an, al-Hadist, buku fiqh atau buku-buku lain
yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. Seperti
buku fiqh muamalah dan buku yang berhubungan dengan
pengupahan.
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Wawancara
Metode ini digunakan untuk mendapatkan data
secara langung dari petani dan buruh tani padi. Penulis
menggunakan rekaman audio dan alat tulis sebagai alat
yang peneliti gunakan untuk wawancara. Peneliti
mendapatkan data dari wawancara petani dan buruh tani
di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali.
b. Dokumentasi
Metode ini digunakan peneliti untuk
memperoleh data menggunakan rekaman dan foto pada
saat penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini
13
dokumentasi menggunakan gambar yang terdapat pada
lampiran.
6. Analisis Data
Cara yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data
adalah dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan
menggambarkan penelitian yang dilakukan sehingga dapat memberi
gambaran antara yang seharusnya dan kenyataan yang terjadi di
masyarakat.
7. Pengecekan Keabsahan Temuan
Menurut Moleong, untuk menghindari kesalahan atau
kekeliruan data yang telah didapatkan, perlu dilakukan pengecekan
keabsahan data. Pengecekan keabsahan data didasarkan pada kriteria
derajat kepercayaan (credibility) dengan teknik triangulasi, ketekunan
pengamatan, pengecekan teman sejawat. Triangulasi merupakan teknik
pengecekan keabsahan data yang didasarkan pada sesuatu diluar data
untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding terhadap data
yang telah ada.12
Dalam hal ini penulis membandingkan hasil
temuannya dengan data-data lain dari hasil pengamatan.
8. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan
tahapan sebagai berikut:
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2003),
hal. 330
14
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melaksanakan penelitian, seperti membuat proposal penelitian,
menetapkan fokus penelitian dan hal lainnya yang harus dipenuhi
sebelum melakukan penelitian.
b. Tahap lapangan, yaitu mengumpulkan data melalui observasi dan
wawancara petani dan buruh tani di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali mengenai praktik
pengupahan sistem bawon.
c. Tahap analisis data, yaitu jika semua data sudah terkumpul maka
selanjutnya peneliti akan menganilisis data-data tersebut dan
menggambarkan hasil penelitian yang di dapat.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian adalah langkah terakhir dari kegiatan
penelitian ini, yang nanti dapat diketahui apakah penelitian ini berlangsung
sesuai prosedur dan metode-metode serta tekhnik yang digunakan berjalan
dengan baik, jika hasil penelitin secara lengkap dan sistematis.13
Supaya pembahasan skripsi ini mudah dipahami dan sistematis,
penyusun membagi skripsi ini ke dalam bab-bab dan sub bab. Secara garis
besar sistematika pembahasan terdiri dari lima bab:
13
Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kurnia Alam
Semesta,2003), hal.69
15
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan masalah, penegasan istilah,
tinjauan pustaka, metode penelitian,dan sistematika penulisan.
Bab II Ijarah tentang sistem pengupahan dalam hukum Islam yang
berisi tentang pengertian pengupahan secara umum dan hukum Islam,
dasar hukum ijarah, hukum ijarah, rukun dan syarat ijarah, macam-
macam ijarah, pembayaran upah dan sewa, pembatalan dan berakhirnya
ijarah.
Bab III Pelaksanaan pengupahan buruh tani dengan sistem bawon
di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali.
Bab ini akan menggambarkan keadaan monografi dan demografi Dusun
Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali dan
menggambarkan praktik pengupahan buruh tani dengan sistem bawon di
dusun tersebut.
Bab IV Tinjauan Hukum Islam terhadap upah buruh tani dengan
sistem bawon di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten
Boyolali.
Bab V Penutup berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II
IJARAH UPAH MENGUPAH
A. Pengertian Pengupahan Secara Umum
Upah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah uang
dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai
pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.14
Upah juga dapat diartikan sebagai imbalan yang dibayarkan kepada orang-
orang yang bekerja dengan melakukan pekerjaan kasar dan lebih banyak
mengandalkan kekuatan otot dan sifatnya tidak tetap.15
Upah dapat digunakan dalam pengertian sempit maupun luas.
Dalam arti luas, istilah itu berarti pembayaran yang diberikan sebagai
imbalan untuk jasa tenaga kerja. Dalam artian sempit, upah dapat
didefinisikan sebagai sejumlah uang yang dibayarkan oleh majikan kepada
pekerjanya untuk jasa yang diaberikan. Pada umumnya, di dalam ilmu
ekonomi istilah upah digunakan dalam arti luas dan berarti bagian dari
dividen nasional yang diterima oleh orang yang bekerja dengan tangan
atau otaknya, baik secara independen maupun untuk seorang majikan.16
Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau
14
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016. 15
Akifa P. Nayla, Panduan Lengkap Sistem Administrasi Gaji Dan Upah, (Jogjakarta:
Laksana,2014), hal.18-19 16
Muhammad Sharif Chaudy, Sistem Ekonomi Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana,2012),
hal. 197
17
jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk
uang yang ditetapkan menurut persetujuan atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan, baik untuk buruh itu
sendiri maupun keluarganya.17
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.18
Secara umum pengertian upah sama dengan gaji, yaitu sama-sama
dapat disebut penghasilan. Namun jika dilihat konteksnya upah dan gaji
ini berbeda. Menurut KBBI, gaji adalah dibayar dalam waktu yang tetap,
atau balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan
waktu tertentu.19
17
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, ed. Revisi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), hal.144 18
Undang-Undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bab X, pasal 1 ayat 30. 19
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016.
18
Para ahli juga mengemukakan definisi dari gaji antara lain:
1. Menurut Mulyadi, gaji merupakan pembayaran atas penyerahan jasa
yang dilakukan oleh karyawan yang mempunyai jenjang jabatan
manajer.20
2. Soemarso mengemukakan gaji adalah imbalan kepada pegawai yang
diberikan atas tugas-tugas administrasi dan pimpinan yang jumlahnya
biasanya tetap secara bulanan.21
Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa gaji
adalah sejumlah uang yang diberikan atas jasa yang diberikan yang
bersifat tetap setiap bulannya. Jadi perbedaan antara upah dan gaji terletak
pada waktu dan bentuk imbalan yang diberikan. Jika gaji diberikan setiap
bulan sesuai dengan perjanjian awal atau tidak diberikan langsung setelah
pekerjaan selesai dan dalam bentuk uang sedangkan upah diberikan setelah
pekerjaan itu selesai, bisa dalam bentuk uang atau yang lainnya.
Persoalan upah ini amat penting karena mempengaruhi masyarakat
secara keseluruhan. Jika para pekerja tidak mendapat upah yang memadai,
hal itu tidak hanya mempengaruhi nafkahnya saja, melainkan juga daya
belinya. Jika sebagian besar pekerja tidak memliki daya beli yang cukup,
maka hal itu akan mempengaruhi seluruh industri yang memasok barang-
barang konsumsi bagi kelas pekerja. Lagi pula, perlakuan tidak adil
kepada kelas pekerja ini akan menimbulkan ketidakpuasaan, frustasi,
20
Mulyadi, Sistem Akuntansi, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal.373. 21
Soemarso,S.R, Akuntansi:Suatu Pengantar, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal.307
19
agitasi dan pemogokan.22
Seorang pekerja atau buruh berhak atas
penghasilan yang layak sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan
hidup. Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau
pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu
memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.23
Dalam penetapan upah tersebut tidak boleh ada diskriminasi antara
pekerja/buruh laki-laki dan perempuan, untuk pekerjaan yang sama
nilainya sebagaimana dimaksud dalam konvensi 100 yang diratifikasi
berdasarkan Undang-Undang No.80 Tahun 1957 (Lembaran Negara
No.171 Tahun 1957). Dengan pengupahan yang sama bagi pekerja/buruh
laki-laki dan perempuan untuk pekerja/buruh yang sama nilainya
dimaksudkan nilai pengupahan tidak dibedakan berdasarkan jenis
kelamin.24
Hak untuk menerima upah bagi pekerja/buruh timbul pada saat
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, dan berakhir
pada saat hubungan kerja tersebut terputus. Pengusaha dalam menetapkan
upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara pekerja/buruh laki-laki
dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah, juga dianut asas no work no pay, yakni upah tidak
22
Muhammad Sharif Chaudy, Sistem Ekonomi Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana,
2012), hal. 197. 23
Dalinama Telaumbanua, Hukum Ketenagakerjaan, (Yogyakarta: Deepublish, 2019),
hal.26 24
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.143
20
dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.25
Jadi jika
pekerja atau buruh sudah melaksanakan pekerjaannya pengusaha wajib
memberikan upah kepada pekerjanya, maka dalam pembahasan skripsi ini
pemilik sawah berkewajiban memberikan upah kepada buruh tani apabila
panen padi miliknya telah selesai dikerjakan.
B. Pengupahan Menurut Islam
1. Pengertian Pengupahan (Ujrah)
Upah merupakan suatu bentuk apresiasi yang diberikan seseorang
terhadap pekerjaan yang telah dilakukan oleh orang lain. Sebagaimana
Allah SWT memberikan apresiasi atau balasan atas apa yang kita
kerjakan di dunia ini. Pengupahan dalam Islam disebut juga dengan
Ujrah. Ujrah termasuk kedalam ijarah upah mengupah karena
pengambilan manfaat atas jasa seseorang yang kemudian diberikan
imbalan, imbalan inilah yang dimaksud dengan upah atau ujrah.
Menurut A. W. Al-Munawwir dalam kamus al-Munawwir,
sebagaimana dikutip oleh Qamarul Huda, kata ijarah diderivasi dari
bentuk fi‟il “ajara-ya‟juru-ajran”. Ajran semakna dengan kata al-
„iwadh yang mempunyai arti ganti dan upah.26
25
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.145 26
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal.77.
21
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru, yang arti menurut bahasanya
ialah al-iwadh, arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti atau upah.
Menurut MA. Tihami, al-ijarah (sewa-menyewa) ialah akad
(perjanjian) yang berkenaan dengan kemanfaatan (mengambil manfaat
sesuatu) tertentu, sehingga sesuatu itu legal untuk diambil manfaatnya,
dengan memberikan pembayaran (sewa) tertentu.27
Pendapat lain
dikemukakan oleh Zuhaily, ia mengemukakan bahwa sewa (ijarah)
adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam
batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti
dengan pemindahan hak pemilikan atas barang.28
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan ijarah, antara lain adalah:
a. Menurut ulama Hanafi ijarah adalah transaksi terhadap suatu
manfaat dengan imbalan.29
b. Menurut ulama Syafi‟i ijarah adalah akad atas suatu
kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti
tertentu.30
27
Sohari Sahrani & Ru‟fah Abdullah, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hal.167. 28
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontenporer Hukum Perjanjian,
Ekonomi,Bisnis, dan Sosial, (Bogor: Ghalia, 2012), hal.185. 29
Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2005),
hal.115. 30
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal.121-122
22
c. Menurut ulama Maliki dan Hanabilah ijarah adalah
menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu
tertentu dengan pengganti.31
d. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian32
.
e. Menurut Idris Ahmad bahwa ijarah artinya mengambil manfaat
tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-
syarat tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa
ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya,diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah,
sewa-menyewa adalah:
“Menjual manfaat” غ١ب افغا
Dan upah mengupah adalah:
“Menjual tenaga atau kekuatan” ة م ب١غا33
Secara garis besar dapat disimpulkan ijarah upah mengupah adalah
pengambilan manfaat tenaga ataupun kekuatan seseorang dengan
31
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). hal.122. 32
Sohari Sahrani & Ru‟fah Abdullah, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011).
hal.168. 33
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hal.115.
23
memberikan imbalan sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati
kedua belah pihak.
2. Dasar Hukum Ijarah Upah Mengupah
Dasar hukum ijarah terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Hadis yaitu:
a) Al-Qur‟an
Pertama Q.S At-Thalaq:6
ا خض١م لحضآس جذو خ ح١ذعى اعى
ػ١حخ اػ١ فم فا الثح و ا ح ٠ضؼ
فا ى اسضؼ فا س اج شح أح ف ؼش ب اب١ى
فغخشضغ حؼاعشح ا اخش (٦)
Artinya:“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (Istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka
berikanlah imbalannya kepada mereka dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu)
dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
(Q.S At-Thalaq (65): 6).
Ayat di atas menjelaskan bahwa jika mereka istri-istri yang
sudah dicerai sedang hamil, baik perceraian yang masih
memungkinkan rujuk msupun ba‟in (perceraian abadi), maka
berikanlah mereka nafkah sepanjang masa kehamilan itu hingga
mereka bersalin. Jika mereka menyusukan untuk kamu, yakni
24
menyusukan anak kamu yang dilahirkannya itu dan yang membawa
nama kamu sebagai bapaknya, maka berikanlah kepada mereka
imbalan tersebut dalam melaksanakan tugas menyusukan itu dan
musyawarahkanlah diantara kamu dengan mereka segala sesuatu
termasuk soal imbalan tersebut dengan musyawarah yang baik
sehingga hendaknya masing-masing mengalah dan menoleransi.
Jika kamu saling menemui kesulitan dalam hal penyusuan itu,
misalnya ayah enggan membayar dan ibu enggan menyusukan,
maka perempuan lain pasti akan dan boleh menyusukan anak itu
untuk ayahnya baik melalui air susunya maupun susu buatan.
Karena itu, jangan memaksa ibunya untuk menyusukan anak,
kecuali jika bayi itu enggan menyusu selain susu ibunya.34
Kedua Q.S. Al-baqarah ayat 233
۞ أسادأ ١ وا ١ ح لد أ اذاث٠شضؼ ا ٠خ
لحى ف ؼشف با ح وغ دسصل ػا ضاػت اش
ػ ذ دب ل ذا اذةب لحضاس عؼا فظإل
أساداف فئ ه ر ز اسد سفلا حشا ا حشاض ػ صالا
إرا فلجاحػ١ى لدو حغخشضؼاأ أ أسدح إ ا جاحػ١
احؼ ب الله اأ اػ اح ماالله ؼشف با اآح١خ خ بص١شع
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah:Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: LenteraHati, 2002), hal.143.
25
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusui oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah (2): 233).
Dari ayat ini, dipahami adanya tingkat penyusuan:pertama,
tingkat sempurna yaitu dua tahun atau tiga bulan kurang masa
kandungan. Kedua, masa cukup yaitu kurang dari masa tingkat
sempurna dan tingkat ketiga, masa yang tidak cukup kalau enggan
berkata “kurang” dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu enggan
menyusui anaknya. Karena itu, bagi yang tidak mencapai tingkat
cukup, baik dengan alasan yang dapat dibenarkan misalnya karena
sakit maupun alasan yang dapat menimbulkan kecaman misalnya
karena ibu meminta bayaran tidak wajar maka ayah harus mencari
seseorang yang dapat menyusui anaknya. Inilah yang dipesankan oleh
lanjutan ayat diatas dengan pesannya, “ jika kamu wahai para ayah.
Ingin anak kamu disusukan oleh wanita lain, dan ibunya tidak
bersedia menyusuinya, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu
26
memberikan pembayaran kepada wanita lain itu berupa upah atau
hadiah menurut yang patut.”35
Ketiga Q.S. Al-Qashash ayat 26
ا٠اأبجاعخؤجش لاجإحذا ١ ال م اعخؤجشثا خ١ش (٦٦)إ
حجج ر حؤجش ا ػ خ١ ىحهاحذابخ ا اس٠ذا لايا
عخ ػ١ه اشك اس٠ذا ا ذن ػ اف جػششا اح شاءفا ا جذ
الله ح١ اص (٦٢)
ا اللهػ ػ ا لض١جفلػذ االج١ ا٠ ب١ه هب١لاير
و١ ي (٦٢)م
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya (26). Dia (Syekh Madyan) berkata,
“Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau
dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini,
dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama
delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun
maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak
bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang yang baik” (27). Dia (Musa)
berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang
mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku
sempurnakan, maka tidak ada tuntutan (tambahan) atas
diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita
ucapkan”(28). (Q.S. Al-Qashash (28):26-28).
Salah seorang dari kedua wanita itu, yakni yang datang
mengundangnya, berkata:”wahai ayahku pekerjakanlah dia agar dia
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah:Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: LenteraHati, 2002), hal:611.
27
dapat menangani pekerjaan kita selama ini, antara lain menggembala
ternak kita karena sesungguhnya dia adalah orang yang kuat dan
terpercaya dan sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau
pekerjakan untuk tugas apapun adalah orang yang kuat fisik dan
mentalnya lagi terpercaya.
Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan dalam berbagai
bidang. Karena itu, terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan
ditugaskan kepada yang dipilih. Selanjutnya, kepercayaan dimaksud
adalah integritas pribadi yang menuntut adanya sifat amanah sehingga
tidak merasa bahwa apa yang ada dalam genggaman tangannya
merupakan milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat yang harus
dipelihara dan bila diminta kembali harus dengan rela
mengembalikannya.36
Keempat Q.S. An- Nahl ayat 90
اللهإ حغا ال ؼذي شبا فحشآء٠ؤ ا ػ ٠ مشب إ٠خآءرا
( ش حزو ؼ ى ٠ؼظى بغ ا ىش ا ٠)
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pengajaran”. (Q.S. An-Nahl (16): 90).
36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah:Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal.580.
28
Allah Ta‟ala menerangkan bahwa, dia menyuruh hamba-
hambanya berlaku adil, yaitu bersikap tengah-tengah dan seimbang,
serta dianjurkan berbuat ihsan.
b) Hadis
Pertama Hadis yang diriwayatkan Abdul ar-Razzaq dari Abu
Hurairah dan Abu Sa‟id al-Khudry:
ػ١ الله ص ا ب سضاللهػأ خذس أبعؼ١ذا ػ ا لاي:) ع أجشح(عخؤجشأج١شاا ١غ اػبذف س
طش٠كأبح١فت ب١م صا مطاع, ا ف١ اق ص اش
Artinya: Dari Abu Sa‟id Al-Khudry Radliyallaahu'anhu bahwa
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja tentukanlah
upahnya." Riwayat Abdul Razzaq dalam hadits munqathi'.
Hadits maushul menurut Baihaqi dari jalan Abu Hanifah.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa penentuan upah untuk si
pekerja dan keridhaannya dengan upah itu termasuk perkara yang
telah ditetapkan di dalam Syariat Islam. Dan Al-Qur‟an telah
menyinggung masalah pengupahan, upah dan pekerja dalam
FirmanNya tentang hak Nabi Musa dengan orang shalih yang
berkeinginan untuk menikahkannya dengan salah seorang dari dua
29
putrinya yang terdapat didalam Al-Qur‟an surat Al-Qashash ayat
26-28.37
Kedua Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
:أػطا ع ػ١ الله ش,لاي:لايسعلللهص ػ ػبذاللهب ػ
ػشل) ٠جف أ اج(الج١شأجشلب ااب س
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda: Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum
keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).38
Dengan dibayarnya upah sesegera mungkin dapat
meminimalisir faktor lupa dari pemberi kerja dan dapat
mengeratkan silaturahmi atau kerjasama dilain waktu jika
dibutuhkan kembali.
Ketiga dalam Hadis tentang sewa menyawa dengan emas dan
perak:
راإعحكأخبشا حذ سب١ؼتب ػ صاػ راال ٠ظحذ ػ١غب
لاي صاس ل١ظال ظتب رح حذ ح أبػبذاش
سقفمايلبؤط ا وشاءالسضباز ب خذ٠جػ جسافغب عؤ
إ ػب ع ػ١ الله ص ذا ب ػػ ا اط٠ؤاجش اوا
زا ٠غ هزا سعف١ اض أش١اء ي جذا ألبايا ار٠ااث ا
اطو ٠ى هزاف ٠ زا ٠غ ا فؤ زافزهصجشػ شاءإل
فلبؤطب ض ؼ ء ش
37
Abdul Qadir Syaibah al-Hamd, Syarah Bulughul Maram (6), alih bahasa Izzudin
Karimi dkk, cet. Ke-1 (Jakarta: Darul Haq, 2012), hal.71-72. 38
Al-Hafizh, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, alih bahasa Fahmi Aziz dan
Rohidin Wahid, ed. Achmad Zirzis, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal.545
30
Artinya: Telah menceritakan kepadaku (Ishaq) telah menceritakan
kepada kami (Isa bin Yunus) telah menceritakan kepada
kami (Al Auza‟i) dari (Rabi‟ah bin Abu Abdurrahman) telah
menceritakan kepadaku (Handlalah bin Qais Al Anshar) dia
berkata; “Saya bertanya kepada (Rafi‟ bin Khadi)
mengenai menyewakan tanah perkebunan dengan bayaran
emas dan perak.” Maka dia menjawab; “Hal itu tidak
mengapa. Dulu pada masa Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam, banyak para sahabat yang menyewakan
tanahnya dengan imbalan memperoleh hasil panen dari
tanaman yang tumbuh di sekitar parit atau saluran air atau
sejumlah tanaman itu sendiri, apabila suatu ketika pemilik
tanah itu rugi, justru pemilik tanah itu merasa diuntungkan,
atau pemilik tanah mendapatkan keuntungan dan penyewa
yang merasa dirugikan, tetapi anehnya banyak dari orang-
orang yang melakukan penyewaan seperti itu. Oleh karena
itu, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam melarang
penyewaan tanah seperti di atas. Sedangkan penyewaan
tanah dengan pembayaran yang telah diketahui dan dapat
dipertanggungjawabkan, maka hal itu tidaklah dilarang.”39
Berdasarkan dalil Al-Qur‟an dan hadis diatas ijarah upah
mengupah diperbolehkan, apabila tidak ada pihak yang merasa
dirugikan.
3. Hukum Ijarah
Hukum ijarah ada dua yaitu sahih dan fasid. Ijarah dapat
dikatakan sahih apabila tetapnya kemanfaatan upah bagi pekerja,
karena ijarah termasuk jual beli pertukaran dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika
pemberi kerja telah mendapatkan manfaat dari pekerjanya kemudian
orang yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu
39
Al-Hafizh, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, alih bahasa Fahmi Aziz dan
Rohidin Wahid, ed. Achmad Zirzis, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal.543
31
akad, ini bila kerusakaan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika
kerusakaan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya. Jafar dan Ulama
Syafi‟iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid,
yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai.40
4. Rukun Dan Syarat Ijarah Upah Mengupah
a. Rukun ijarah adalah sebagai berikut:
1) Mu‟jir dan musta‟jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-
menyewa atau upah–mengupah. Mu‟jir adalah orang yang
memberikan upah dan yang menyewakan, musta‟jir adalah orang
yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa
sesuatu, disyaratkan pada mu‟jir dan musta‟jir adalah baligh,
berakal, cakap melakukan tasharuf (mengendalikan harta), dan
saling meridhai. Allah berfirman:
حجاسةا حى أ إل ط ب١ىبٱب اى أ الحؤو آ اٱ ز٠ اأ٠ ٠
ى حشاض ػ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka (Q.S. An-Nisa: 29)"
40
Rachmat Syafe‟i. Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal.131.
32
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan
mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna
sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2) Shighat ijab kabul antara mu‟jir dan musta‟jir.
3) Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak,
baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah. Karena
ijarah tidak sah apabila upah belum diketahui. Di dalam pemberian
upah terdapat prinsip- prinsip berdasarkan ekonomi syariah yaitu
prinsip keadilan (ditetapkan berdasarkan negosiasi kedua belah
pihak), prinsip kebebasan, prinsip pemerataan (mempunyai
kesempatan yang sama yang bertujuan tidak adanya ketimpangan
upah pada pekerja yang dapat menimbulkan keserakahan dan
kecemburuan sosial).41
4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-
mengupah, disyaratkan barang yang disewakan dengan beberapa
syarat berikut ini:
a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa
dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
b.) Hendaklah benda-benda yang objek sewa-menyewa dan upah-
mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja
berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).42
41
M. Mabruri Faozi dan Putri Inggi Rahmiyanti, Sistem Pengupahan Tenaga Kerja Home
Industri Perspektif Ekonomi Islam, Al Mustashfa Vol.4, No:1 (2016), hal.18-19 42
Sohari Sahrani & Ru‟fah Abdullah, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hal.170.
33
b. Syarat Ijarah antara lain
1) Syarat Terjadinya Akad
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam jual beli, menurut
Ulama Hanafiyah,‟aqid (orang yang berakad) disyaratkan harus
berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan
baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah
anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa baligh adalah syarat
penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah,
tetapi bergantung atas kridhaan walinya. Ulama Hanabilah dan
Syafiiyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu
baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat
dikategorikan ahli akad.43
2) Syarat Pelaksanaan
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh „aqid atau
ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan
demikian, ijarah al-frudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang
tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya)
tidak dapat menjadikan adanya ijarah.44
43
Sohari Sahrani & Ru‟fah Abdullah, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hal.170. 44
Sohari Sahrani & Ru‟fah Abdullah, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hal.126.
34
3) Syarat Sah Akad Ijarah
a.) Adanya keridhaan dari kedua belah pihak, apabila salah satu
pihak terpaksa melakukan akad itu maka akadnya tidak sah.
b.) Ma‟qud „Alaih bermanfaat dengan jelas, seperti penjelasan
jenis pekerjaan perlu dijelaskan ketika menyewa orang untuk
bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan dan pertentangan dan
penjelasan waktu kerja yaitu tentang batasan waktu kerja
sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
c.) ma‟qud „Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara‟
d.) kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara‟
e.) tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
f.) tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
g.) manfaat ma‟qud „Alaih sesuai dengan keadaan yang umum45
4) Syarat Ujrah (upah)
Para ulama membolehkan ijarah upah mengupah dengan
menetapkan syarat upah yaitu berupa harta tetap yang dapat
diketahui dan tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari
ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan
menempati rumah tersebut.46
Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan,
maka akadnya tidak sah karena ketidakjelasaan menghalangi
penyerahan dan penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad
45
Ibid., hal.127-128 46
Ibid., hal.129
35
tersebut. Kejelasan objek akad (manfaat) terwujud dengan
penjelasan tempat, waktu, dan penjelasan objek kerja dalam
penyewaan para pekerja.47
DSN MUI juga mengeluarkan fatwa yang membahas
tentang pembiayaan ijarah yaitu antara lain tentang rukun dan
syarat ijarah serta obyek ijarah. Menurut DSN MUI rukun dan
syarat ijarah terdapat tiga hal yaitu: shigat ijarah (ijab dan qabul),
pihak yang berakad terdiri dari pemberi jasa dan pengguna jasa,
obyek akad ijarah ada dua yaitu dapat berupa manfaat barang dan
sewa serta manfaat jasa dan upah. Sedangkan obyek ijarah adalah
manfaat dari pengguna jasa, manfaat jasa harus bisa dinilai dan
dilaksanakan dalam kontrak, manfaat jasa harus bersifat
dibolehkan( tidak diharamkan).48
5. Macam-macam Ijarah Upah Mengupah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka
ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian.
a. Ijarah „ala al-manafi‟,yaitu ijarah yang objek akadnya adalah
manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini tidak
47
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung: Alma‟arif, 1987), hal.19. 48
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000. Pembiayaan Ijarah.
36
dibolehkan menjadikan objeknya sebagai tempat yang
dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara‟. 49
Ada akad Ijarah „ala al-manafi‟ yang perlu mendapatkan
perincian lebih lanjut, yaitu:
1) Ijarah al-„ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau
didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika
dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami,
harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik
tanah (mu‟jir) memberi izin untuk ditanami tanaman apa
saja.
2) Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk
angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya.
Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan,
jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari, harus
disertai rincian pada saat akad.50
b. Ijarah „ala al-„amaal ijarah, yaitu ijarah yang objek akadnya jasa
atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian.
Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah.
Karena itu, pembahasannya lebih dititik beratkan kepada pekerjaan
atau buruh (ajir).
Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir
musytarak. Pengertian ajir khass adalah pekerja atau buruh yang
49
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal.14 50
Ibid., hal.85-86
37
melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah
ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir. Menurut
Wahbah az-Zuhaili, pekerjaan menyusukan anak kepada orang lain
dapat digolongkan dalam akad ijarah khass.
Ajir Musytarak adalah seseorang yang bekerja dengan profesinya
dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena
profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain,
misalnya pengacara dan konsultan.51
6. Pembayaran Upah (Ujrah)
Jika ijarah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban
pembayaran upahnya adalah pada waktu berakhirnya pekerjaan.
Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan
tidak disyaratkan mengenai pembayaran serta tidak ada ketentuan
penangguhannya, maka menurut Abu Hanifah, wajib diserahkan
upahnya secara berangsur-angsur sesuai dengan manfaat yang
diterimanya. Menurut Imam Syafi‟i dan Ahmad, sesungguhnya ia
berhak dengan akad itu sendiri, jika mu‟jir menyerahkan zat benda
yang disewa kepada musta‟jir, ia berhak menerima bayarannya,
karena penyewa (musta‟jir) sudah menerima kegunaan. Hak
menerima upah bagi musta‟jir adalah ketika pekerjaan selesai
51
Ibid., hal.86-87
38
dikerjakan, beralasan kepada hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah,
Rasulullah SAW, bersabda:
ش, ػ ػبذاللهب :أػطاػ ع ػ١ الله لاي:لايسعلللهص
ػشل) ٠جف أ اج(الج١شأجشلب ااب س
Artinya: “Dari Ibnu Umar RA, berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: Berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum
keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah). 52
7. Pembatalan Ijarah Dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak
membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah
merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang
mewajibkan fasakh. Ijarah akan menjadi batal fasakh bila ada hal- hal
sebagai berikut :
a. Rusaknya barang yang diupahkan (ma‟jur „alaih), seperti baju
yang diupahkan untuk dijahitkan.
b. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang
telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.53
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ijarah upah
mengupah adalah pembayaran upah dari pemilik sawah (Mu‟jir)
kepada buruh tani (Musta‟jir) atas dasar buruh tani sudah melakukan
52
Al-Hafizh, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, alih bahasa Fahmi Aziz dan
Rohidin Wahid, ed. Achmad Zirzis, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal.545. 53
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah:Membalas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta,Hak
Milik,JualBeli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah,Ijarah,Koperasi,Asuransi,Etika Bisnis dan
lain-lain, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), hal.173.
39
pekerjaannya. Dan pemilik sawah berkewajiban memberikan upah
kepada buruh tersebut. Pada saat akad antara pemilik sawah dan buruh
tani harus sesuai dengan rukun dan syarat dari akad ijarah upah
mengupah tersebut, yang salah satunya adalah hendaknya
memberitahukan besarnya upah yang akan diterima oleh buruh tani
setelah mereka selesai bekerja dan memberikannya sesegera mungkin
sebelum keringatnya kering. Supaya pemilik sawah tidak melakukan
hal-hal yang dapat merugikan buruh tani nantinya dan akad ijarah
yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan fatwa DSN MUI
tentang pembiayaan ijarah. Serta sesuai dengan konsep upah dalam
Islam harus adil dan layak. Dimana adil dalam konsep upah memiliki
dua makna, pertama: adil bermakna jelas dan transparan. Adil dengan
arti ini bermaksud waktu pembayaran upah jelas dan transparan.
Kedua: adil bermakna proporsional maksudnya, pekerjaan seseorang
akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu. Konteks ini yang oleh
ahli ekonomi barat disebut dengan konsep equal pay for equal work
yaitu hak yang sama atas pekerjaan yang sama.
Sedangkan konsep layak adalah kelayakan upah yang diterima oleh
pekerja dilihat dari tiga aspek yaitu papan, pangan, sandang. Artinya
hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas
hubungan formal, tetapi pekerja sudah dianggap sebagai keluarga
40
majikan. Konsep inilah yang membedakan antara konsep upah
menurut ekonomi barat dan upah menurut ekonomi Islam.54
54
Murtadho Ridwan, Standar Upah Pekerja Menurut Sistem Ekonomi Islam, Equilibrium,
No. 2, Vol.1 (Desember 2013), hal.255-256
41
BAB III
PRAKTIK PENGUPAHAN BURUH TANI DENGAN SISTEM BAWON DI
DUSUN SAMBIREJO DESA TETER KECAMATAN SIMO KABUPATEN
BOYOLALI
A. Gambaran Umum Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali
1. Monografi Desa Teter
Kabupaten Boyolali adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa
Tengah yang terletak pada posisi geografis antara 110° 22‟- 110° 50‟
Bujur Timur dan antara 7°36‟ Lintang Selatan, dengan ketinggian
antara 75-1500 meter diatas permukaan laut. Kabupaten ini berbatasan
dengan Kabupaten Semarang dan Grobogan disebelah utara, di sebelah
timur Kabupaten Sragen, Karanganyar dan Sukoharjo, di sebelah
selatan Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta
Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang disebelah barat.
Terdiri dari 19 kecamatan dan 297 desa/kelurahan. Desa Teter adalah
salah satu desa yang berada di Kabupaten Boyolali yang berkecamatan
di Simo. Desa Teter mempunyai luas wilayah 3,804,900 Ha, dengan
penggunaan lahan tanah sawah sebesar 2,797,385 Ha dan tanah kering
1,007,505 Ha. Kas Desa Teter berupa sawah seluas 216,781 Ha.
Sedangkan luas sawah menurut sistem pengairan adalah:
42
Tabel 3.1 Luas Sawah Menurut Sistem Pengairan
Irigasi teknis 979,722
Irigasi setengah teknis 920,117
Irigasi sederhana -
Tadah hujan 897,546
Jumlah 2,797,385
Tabel 3.2 Luas Tanah Kering Menurut Penggunaannya
Pekarangan/Bangunan 721,950
Tegal/Kebun 215,720
Lainnya 69,835
Jumlah 1,007,505
Luas wilayah tersebut terbagi menjadi 3 Dusun. Desa Teter
berbatasan dengan beberapa desa yaitu:
a. Sisi Utara : Desa Blagung dan Desa Kedunglengkong
b. Sisi Timur :Desa Temon
c. Sisi Selatan :Desa Bendungan
d. Sisi Barat :Desa Simo
43
Iklim di Desa Teter, sebagaimana desa-desa wilayah lain di
Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan sehingga
mempengaruhi terhadap pola tanah di desa Teter. Pola penggunaan
tanah di Desa Teter sebagian diperuntukan untuk tanah pertanian dan
sisanya yaitu tanah kering berupa bangunan dan fasilitas-fasilitas
lainnya. Dengan iklim tersebut mayoritas masyarakat bekerja sebagai
petani.
2. Demografi Desa Teter
Desa Teter berpenduduk sekitar 3283 jiwa yang terdiri dari 1643
laki-laki dan 1640 perempuan, kepadatan penduduk 863 jiwa/km² serta
terdapat 966 Kepala Keluarga (KK) yang terbagi menjadi 3 kadus 13
dukuh 8 RW dan 23 RT, di Desa Teter terdapat sekitar 203 KK miskin
atau 628 jiwa. Penyandang disabilitas 6 jiwa, yang terdiri dari tuna
tubuh 4 jiwa, tuna mental 2 jiwa dan tuna rungu 1 jiwa.
Di Desa Teter mayoritas beragama Islam, terdapat 11 Masjid dan
13 Mushola yang tersebar di 3 kadus. Bagi penduduk yang beragama
selain Islam tempat beribadahnya menjadi satu di Desa Simo.
Penduduk Desa Teter semua mempunyai agama atau menganut
kepercayaan diantaranya:
44
Tabel 3.3 Agama Penduduk Desa Teter
AGAMA JUMLAH
ISLAM 3087
KATHOLIK 161
KRISTEN -
HINDU 15
BUDHA 20
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia
USIA LAKI-LAKI PEREMPUAN
0-4 123 99
5-9 125 124
10-14 124 108
15-19 97 100
20-24 118 108
25-29 122 134
30-34 149 156
45
35-39 152 145
40-44 121 92
45-49 116 119
50-54 88 103
55-59 75 99
60-64 66 59
>64 167 194
JUMLAH 1643 1640
Penduduk di Desa Teter sangat mementingkan pendidikan, bisa
dilihat dari banyaknya masyarakat yang sudah bersekolah sampai
keperguruan tinggi. Hal itu membuktikan bahwa masyarakat mulai
merasa pendidikan itu sangat penting untuk bekal dalam kehidupan
sehari-hari. Berikut ini data pendidikan penduduk di Desa Teter:
Tabel 3.5 Tingkat Pendidikan Penduduk
PENDIDIKAN JUMLAH
Tidak Tamat SD 323
SD 790
46
SMP 853
SMA 846
AKADEMIK 106
PERGURUAN TINGGI 143
Tabel 3.6 Fasilitas sekolah yang berada di beberapa Dusun di Desa
Teter
SEKOLAH
JUMLAH
JUMLAH
MURID GURU
TK SWASTA 2 31 3
SD NEGERI 2 121 15
RA 1 31 3
MI 1 95 9
MTS 1 166 12
47
Tabel 3.7 Produk Bidang Pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat di
Desa Teter
Jenis Tanaman Luas Panen
(Ha)
Rata-rata
produksi
(Kw/Ha)
Produksi (Ton)
PadiSawah 697 62 4321
Jagung 3 57 15
Ubi Kayu 9 185 167
Ubi Jalar 1 178 18
Kacang Tanah 3 16 5
Kedelai 40 12 48
Selain di bidang pertanian masyarakat di Desa Teter mulai
mengembangkan perekonomian dengan berternak. Dengan beternak
mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, hewan ternak yang
dijadikan usaha mereka antara lain:
48
Tabel 3.8 Jenis Hewan Ternak Di Desa Teter
Jenis Hewan Ternak
Pemilik
Banyaknya ternak
(ekor)
Sapi Potong 237 481
Kambing 35 251
Domba 63 256
Kelinci 5 45
Ayam Petelor 1 1700
Ayam Pedaging 7 92.000
Ayam Buras 335 1567
Itik 9 213
Burung Puyuh 4 5600
B. Praktik Pengupahan Buruh Tani dengan sistem Bawon di Dusun
Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali
Pada awalnya pengupahan buruh tani di Dusun Sambirejo
menggunakan uang, kemudian dengan berjalannya waktu upah tersebut
diganti dengan Bawon atau gabah, akan tetapi tidak semua masyarakat
49
membayar dengan bawon karena masih ada beberapa warga yang
membayar dengan uang. Alasan mereka membayar dengan sistem bawon
adalah dikarenakan pada saat panen padi berlangsung mereka tidak
mempunyai uang untuk membayar buruh tani tersebut sehingga muncul
sistem pengupahan dengan bawon.
Bekerja sebagai buruh tani dilakukan oleh beberapa masyarakat di
Dusun Sambirejo dikarenakan sulitnya mencari pekerjaan diusia mereka
yang rata-rata 30 tahun keatas seperti yang diungkapkan Ibu Sri, Sumirah,
Ismiyati, Sugiyem, Sukini dan Bapak Tardi.55
Selain itu juga adanya PHK
besar-besaran yang menyebabkan banyak warga Dusun Sambirejo yang
sebelumnya bekerja di pabrik harus diberhentikan di usia mereka yang
sudah tidak lagi muda, sehingga sangat menyulitkan untuk mencari
pekerjaan lain, alasan itu di sampaikan oleh Ibu Nur, Murti, Sri W dan
Saniyah56
. Di samping itu kebutuhan hidup terus bertambah sehingga
mereka memilih untuk menjadi buruh tani dari pada menganggur dirumah
tidak ada pemasukan. mereka menjadi buruh tani untuk menambah
pendapatan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemberian upah kepada buruh tani di Dusun Sambirejo Desa Teter jika
dilihat dari murahnya lebih murah menggunakan upah uang dari pada
bawon apabila panen berhasil, karena jika panen berhasil padi yang
55
Wawancara dengan Ibu Sri, Sumirah, Ismiyati, Sugiyem ,Sukini, dan Bapak Tardi
tanggal 22 Desember 2019.
56
Wawancara dengan Ibu Nur, Murti, Sri W dan Saniyah , tanggal 10 Januari 2020.
50
dihasilkan berkualitas bagus dan akan mempengaruhi harga apabila dijual.
Akad yang di gunakan antara pemilik sawah dan buruh tani adalah secara
lisan yaitu dengan cara pemilik sawah mendatangi buruh tani dan
menyuruh untuk memanen padi. Untuk hari panen biasanya kesepakatan
kedua belah pihak dikarenakan pada saat panen tiba jasa buruh tani banyak
yang menggunakan sehingga pemilik sawah harus mengantri. Untuk
besarnya upah pada saat akad pemilik sawah hanya berkata dibayar dengan
bawon tidak disertai dengan besarnya atau banyaknya bawon yang akan
didapat dan potongan bawon jika gagal panen. Pemberian upah
menggunakan sistem moro atau banding 1 : 8 atau 1 : 9 jika buruh tani
diambil dari luar Dusun Sambirejo. Sedangkan buruh tani yang dari Dusun
Sambirejo menggunakan sistem kekerabatan. Kalimat akad atau perjanjian
yang diucapkan pemilik sawah dengan buruh tani seperti:
“mbokde sesuk isoh ngopekne pari gonaku opo ora, tak upahi
gabah?”57
Dengan adanya akad atau perjanjian yang dilakukan antara pemilik
sawah dengan buruh tani tersebut, muncullah hak dan kewajiban antara
keduanya yaitu pemilik sawah berhak mendapatkan hasil panen padi dan
berkewajiban memberikan upah serta memberikan makanan untuk sarapan
dan makan siang kepada buruh tani panen tersebut sesuai dengan tenaga
yang mereka keluarkan. Sedangkan buruh tani berhak mendapatkan upah
panen padi dan berkewajiban memanen padi sampai selesai.
57
Wawancara dengan Bapak Romeni, Pemilik Sawah, pada tanggal 24 Desember 2019.
51
Buruh tani di Dusun Sambirejo lebih memilih upah dengan bawon
dibandingkan dengan uang. Di karenakan bawon yang didapatkan dapat
sedikit mengurangi pengeluaran sehari-hari dengan tidak membeli beras.
Jika diberi upah dengan uang, mereka merasa uang yang didapatkan akan
segera habis untuk keperluan sehari-hari.
Upah yang didapat buruh tani yang menggunakan sistem bawon dalam
sekali panen ditentukan oleh banyaknya hasil panen yang di peroleh
pemilik sawah dan banyaknya orang yang ikut dalam panen tersebut
dengan menggunakan sistem perbandingan, biasanya dalam panen padi,
sawah seluas ± 1000 m² buruh tani yang dibutuhkan untuk memanen
sekitar 8 orang ataupun lebih tergantung dari pemilik sawah membutuhkan
berapa. Semakin banyak buruh tani maka panen akan cepat selesai, karena
hal itu juga dapat mempengaruhi banyak sedikitnya upah buruh yang
diberikan oleh pemilik sawah.
Upah yang diberikan untuk sawah seluas ±1000 m², sekitar 3 tenggok
tapi tidak penuh apabila hasil panen bagus. Jika gagal panen sekitar 2
tenggok yang diberikan kepada buruh tani. Terkadang pemilik sawah juga
ada yang memberikan tambahan untuk buruh tani, hal itu diperuntukkan
sebagai ucapan terimakasih karena sudah mau membantu panen padi
disawah tersebut. Sedangkan bapak Sukamto untuk tanah seluas ± 500 m²
akan memberikan 2 tenggok penuh .58
58
Wawancara dengan Bapak Tiran, Pemilik Sawah, pada tanggal 13 Oktober 2019 dan
Bapak Sukamto, Pemilik Sawah, pada tanggal 4 Januari 2020.
52
Dengan upah sistem bawon tersebut pendapatan yang diperoleh oleh
buruh tani panen padi atau biasa yang disebut dengan istilah Derep belum
jelas, jika hasil panen padi banyak dan bagus mereka untung tapi jika
gagal panen mereka rugi seperti yang disampaikan oleh Ibu Sri, Murti,
Sugiyem dan Ismiyati. Bahwa upah panen padi berbeda dengan upah
buruh tani lainnya seperti upah buruh matun dan buruh tandur. Upah
buruh tandur itu sudah jelas berapa yang akan mereka dapatkan karena
menggunakan sistem tebasan dan mereka biasanya sudah membuat
kelompok sendiri untuk melaksanakan tandur atau menanam padi. Pada
saat musim tandur, buruh tandur bisa mengerjakan 2 sampai 3 sawah
dalam sehari tergantung luas sawah yang mereka kerjakan. Berbeda
dengan buruh derep atau panen padi mereka hanya bisa mengerjakannya
sekali dalam sehari. Karena panen padi banyak tahap yang harus
dikerjakan, seperti:
1. Ngerit
Adalah istilah yang digunakan masyarakat dalam memotong batang
padi bagian bawah untuk nantinya mempermudah dalam pemisahan
padi dengan batangnya. Setelah padi selesai di rit semua kemudian
dikumpulkan dan siap untuk ke tahap berikutnya.
2. Ngerek
Memisahkan padi dari batangnya atau masyarakat biasanya
menyebut batang padi dengan istilah damen.
53
3. Ngayak
Tahap ini adalah memisahkan padi yang masih tercampur dengan
damen yang ikut ke erek.
4. Ngilir
Memisahkan padi yang ada isinya dan tidak ada isinya. Tetapi tidak
sepenuhnya padi dapat terpisah.
5. Memasukkan padi kedalam karung atau bagor
6. Ngusungi
Padi yang sudah dimasukkan kedalam karung kemudian dibawa
kepinggir jalan untuk nantinya diangkut menggunakan motor atau
mobil bak dan dibawa pulang kerumah pemilik sawah.59
Beberapa pemilik sawah juga ada yang memberikan upah bawon tidak
berdasarkan perbandingan atau banyaknya hasil panen yang di dapat,
melainkan menggunakan waktu selesainya panen tersebut. Jika panen
selesai sekitar jam 12 atau setengah hari buruh tani mendapatkan upah
bawon sebesar 2 wadah atau masyarakat menyebut wadahnya tenggok.
Apabila panen selesai 1 hari atau sampai sore, mereka mendapatkan 3
tenggok penuh. Hasil yang didapat itu berupa gabah yang masih kotor.60
Pemberian upah di atas digunakan apabila hasil panen berhasil atau
bagus, berbeda jika pemilik sawah mengalami gagal panen. Pemberian
upah juga akan berbeda karena akan ada potongan besarnya upah yang
59
Wawancara dengan Ibu Sri, Sugiyem dan Ismiyati, tanggal 22 Desember 2019 dan Ibu
Murti, tanggal 10 Januari 2020. 60
Wawancara dengan Ibu Muslimah dan Bapak Sukamto, Pemilik Sawah, pada tanggal 4
Januari 2020.
54
didapatkan. Besarnya potongan gabah yang dilakukan tergantung dari si
pemilik sawah. Apabila padi roboh akan menyulitkan bagi buruh tani
untuk memotong batang padi serta resiko keamanan pada saat panen juga
bertambah. Dikarenakan pada sawah yang padinya roboh memungkinkan
adanya ular yang bersarang di tempat itu. Selain itu juga banyak waktu
yang digunakan untuk memanen padi tersebut. Padi yang dihasilkan
apabila tanaman padi roboh juga tidak sebagus apabila tanaman padi masih
berdiri.61
Ibu Sukini, Sumirah dan Sri W menyampaikan bahwa panen padi pada
saat roboh disertai dengan hujan, jika pada saat musim penghujan tiba
mereka bekerja 2 kali lipat lebih keras. Tidak semua tahapan dalam
memanen padi dilakukan apabila hujan turun, seperti ngayak dan ngilir,
karena padi akan semakin berat jika terkena air. Sehingga setelah di erek
padi akan langsung dimasukkan kedalam karung. Oleh karena itu, bawon
yang didapat akan tambah berkurang setelah adanya proses ngilir.62
Pemberian upah bawon antar buruh di Dusun Sambirejo Desa Teter
terdapat perbedaan, hal itu dikarenakan adanya faktor hubungan
kekeluargaan atau kekerabatan antara buruh tani dengan pemilik sawah.
Upah yang didapat antara saudara, tetangga, dan buruh tani dari luar itu
berbeda. Jika saudara biasanya dikasih 1 (satu) karung, jika buruh dari luar
menggunakan sistem moro, dan jika tetangga diberikan lebih dari hasil
61
Wawancara dengan Ibu Saniyah, Buruh Tani, tanggal 10 Januari 2020 dan Ibu
Sumirah, Buruh Tani, tanggal 22 Desember 2019. 62
Wawancara dengan Ibu Sukini, Sumirah, Buruh tani, tanggal 22 Desember 2019 dan
Ibu Sri W, Buruh Tani, tanggal 10 Januari 2020.
55
moro tersebut tetapi tidak melebihi upah untuk saudara. Jadi yang
menggunakan perbandingan hanya untuk buruh yang diambil dari luar. 63
Jika buruh yang diambil dari tetangga diberikan upah sama dengan
buruh yang dari luar, pemilik sawah merasa sungkan karena mereka sudah
membantu dari awal, mulai dari tandur, matun sampai panen. Masyarakat
Dusun Sambirejo akhir-akhir ini lebih memilih buruh tani dari luar
dikarenakan mulai berkurangnya buruh tani yang mau bekerja pada saat
panen padi diusia mereka saat ini, dan pemilik sawah juga tidak perlu ikut
turun dalam panen padi, serta tidak perlu membawa alat-alat yang
digunakan untuk memanen. Semua alat sudah dibawa oleh buruh tani yang
berasal dari luar tersebut. untuk alat yang dibawa oleh buruh tani dari luar
biasanya mereka meminta tambahan upah bawon untuk alat yang mereka
bawa, biasanya diberikan 1 (satu) tenggok gabah. Akan tetapi, tidak semua
buruh tani diambil dari luar, apabila dalam panen dibutuhkan 8 orang
maka 2 atau 3 diambil dari tetangga ataupun saudara yang ikut menjadi
buruh tani sisanya mengambil buruh tani dari luar. Jadi pemilik sawah
tinggal memberikan makan untuk mereka saja.64
Bawon yang didapatkan oleh buruh tani biasanya mereka gunakan
sendiri untuk makan sehari-hari walaupun upah bawon tidak semua bagus,
setidaknya bisa buat makan dan persedian sampai panen selanjutnya tanpa
63
Wawancara dengan Ibu Sopiyah, Rahayu dan Bapak Tiran, Pemilik Sawah, tanggal 13
Oktober 2019. 64
Wawancara dengan Bapak Romeni, Pemilik Sawah, tanggal 24 Desember 2019.
56
harus membeli.65
Akan tetapi ada yang dijual seperti yang disampaikan ibu
Sukini, bawon yang didapatkan sebagian dijual. Bawon yang dijual
berkualitas kurang bagus yaitu yang didapatkan pada saat panen roboh.
Alasannya karena untuk memenuhi kebutuhan yang lain jadi harus
menjual gabah tersebut. Sedangkan gabah yang bagus digunakan sendiri
untuk makan sehari-hari.66
Jika dilihat dengan banyaknya perbedaan upah yang diberikan pemilik
sawah kepada buruh tani ada yang merasa ikhlas dan adil tetapi ada juga
yang sebaliknya. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Sumirah, Nur, Murti
dan Saniyah, mereka ikhlas dan adil dengan upah yang diberikan
kepadanya walaupun ada perbedaan upah yang diberikan pemilik sawah
dikarenakan adanya unsur kekeluargaan atau kerabat, tetangga dan buruh
dari luar. Karena menurut mereka hal itu sudah biasa terjadi, jadi mau
tidak mau harus diterima dan ikhlas, mereka merasa adil dengan hasil yang
didapat karena pemilik sawah sudah banyak mengeluarkan biaya dari awal
menanam padi sampai proses memanen. Jadi apabila gagal panen upah
yang diberikan dipotong mereka tidak mempermasalahkan, karena tidak
hanya buruh tani saja yang dirugikan pemilik sawahpun juga dirugikan
dengan adanya gagal panen tersebut. Pada saat panen pun mereka juga
diberikan makan sehingga hak mereka terpenuhi.67
65
Wawancara dengan Ibu Ismiyati, Buruh Tani, tanggal 22 Desember 2019 dan Ibu
Saniyah, Nur, Buruh Tani, tanggal 10 Januari 2020. 66
Wawancara dengan Ibu Sukini, Buruh Tani, tanggal 22 Desember 2019. 67
Wawancara dengan Ibu Sumirah, Buruh Tani, tanggal 22 Desember 2019 dan Ibu Nur,
Murti dan Saniyah, Buruh Tani, tanggal 10 Januari 2020.
57
Berbeda dengan Ibu Ismiyati, Sugiyem, Sri, Sukini, Sri W dan bapak
Tardi. Mereka merasa tidak ikhlas dan adil karena mereka merasa dibeda-
bedakan, pekerjaan yang dilakukan sama, satu tempat, bobot pekerjaan
yang dilakukan sama tetapi kenapa upah yang diberikan berbeda.
Walaupun hal itu sudah menjadi kebiasaan para pemilik sawah di Dusun
Sambirejo.68
Jika dilihat adil atau tidak mereka merasa tidak adil karena apabila
gagal panen upah yang diberikan dipotong padahal tenaga yang
dikeluarkan 2 kali lipat lebih besar dari panen biasanya, resikonya yang
diterima juga besar. Walaupun pemilik sawah juga mengalami kerugian
akibat gagal panen tersebut. Sehingga kejelasan di awal akad yang
dilakukan antara pemilik sawah dan buruh tani terhadap pemberian upah
dan potongan bawon jika gagal panen sangat diperlukan, supaya tidak ada
perbedaan dalam pemberian upah berdasarkan kekerabatan dan juga gagal
panen. Sehingga setelah kerjasama yang dilakukan buruh tani dan pemilik
sawah tersebut tidak terjadi masalah atau saling ridho dan tali silaturahmi
tetap berjalan dengan baik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel hasil wawancara berikut:
68
Wawancara Ibu Ismiyati,Sugiyem,Sukini, Sri dan Bapak Tardi, Buruh Tani, tanggal 22
Desember 2019 dan Ibu Sri W, Buruh Tani, tanggal 10 Januari 2020.
58
a. Tabel 3.9 Pemilik Sawah
Pemilik Sawah Luas Tanah
Bapak Sukamto ± 500 m²
Bapak Romeni ± 1000 m²
Bapak Tiran ± 1000 m²
Ibu Muslimah ± 1000 m²
Ibu Sopiyah ± 1000 m²
Ibu Rahayu ± 1000 m²
b. Tabel 3.10 Pendapatan Upah Buruh Tani
NAMA
BURUH
TANI
RATA-RATA UPAH
BAWON
SEKALI PANEN
IKHLAS
/ RIDHO
ADIL
Ibu Nur 2 tenggok – 1 karung Ya Ya
Ibu Saniyah 2 tenggok – 1 karung Ya Ya
Ibu
Sumirah
2,5 – 3 tenggok Ya Ya
Ibu Murti 2,5- 3 tenggok. Ya Ya
Ibu Ismiyati 2 tenggok - 1 karung Tidak Tidak
59
Ibu Sri 2,5 – 3 tenggok Tidak Tidak
Ibu
Sugiyem
2,5 tenggok – 1
karung
Tidak Tidak
Ibu Sukini 2,5 – 3 tenggok Tidak Tidak
Ibu Sri W 2,5- 3 tenggok Tidak Tidak
Bapak
Tardi
2,5 – 3 tenggok Tidak Tidak
Buruh tani yang merasa adil beralasan karena perbedaan upah yang
berdasarkan kekerabatan sudah terjadi sejak lama dan jika gagal panen
terjadi pemilik sawah memberikan potongan terhadap upah bawon kepada
buruh tani dikarenakan pemilik sawah juga mengalami kerugian. Sehingga
mereka merasa ikhlas dan adil atas upah bawon yang diberikan oleh
pemilik sawah kepadanya. Sedangkan buruh tani yang merasa tidak adil
karena perbedaan upah beralasan mereka melakukan pekerjaan yang sama
dengan bobot pekerjaan yang sama, walaupun perbedaan pemberian upah
berdasarkan kekerabatan sudah berlangsung lama tetapi hal tersebut
menimbulkan kecemburuan sosial antar buruh tani. Serta dengan potongan
bawon yang dilakukan pemilik sawah tanpa diberitahukan besarnya
potongan jika terjadi gagal panen, padahal jika terjadi gagal panen tenaga
yang mereka keluarkan lebih banyak. Hal tersebut yang menyebabkan
buruh tani tersebut merasa tidak ikhlas dan tidak adil.
60
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH BURUH TANI DENGAN
SISTEM BAWON di DUSUN SAMBIREJO DESA TETER KECAMATAN
SIMO KABUPATEN BOYOLALI
A. Sistem Pengupahan di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, sistem
pengupahan buruh tani di Dusun Sambirejo sudah berlangsung lama, dan
tidak ada yang tau pasti sistem itu mulai diberlakukan sejak kapan.
Masyarakat di Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten
Boyolali mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan buruh. Dusun
Sambirejo dikelilingi oleh persawahan, banyak masyarakat yang
mempunyai sawah dan bergantung dengan hasil panen pada sawah
tersebut, sehingga masyarakat yang tidak mempunyai sawah biasanya
mereka bekerja sebagai buruh tani apabila musim cocok tanam padi telah
tiba.
Seiring dengan berjalannya waktu buruh tani di Dusun Sambirejo
mulai berkurang dikarenakan usia yang semkain tua sehingga
mempengaruhi kualitas dalam bekerja. Hal ini yang menyebabkan antrian
pada saat musim panen tiba, banyak pemilik sawah yang membutuhkan
bantuan tetapi buruh tani di Dusun Sambirejo tidak mencukupi, alasan
itulah yang akhirnya diambil oleh pemilik sawah untuk menggunakan jasa
buruh tani dari luar. Karena jika padi bagus dan sudah siap dipanen tidak
61
cepat di panen ditakutkan nanti akan diserang hama yang menyebabkan
gagal panen.
Panen padi biasanya dilakukan setahun dua kali, panen yang
dilakukan terkadang berhasil ataupun terjadi gagal panen. Gagal panen
yang biasanya dialami masyarakat Dusun Sambirejo seperti: padi roboh,
padi banyak yang terkena hama, sehingga kualitas padi yang didapat tidak
bagus.
Pada saat musim panen telah tiba para pemilik sawah mencari
buruh tani untuk meminta memanenkan padinya. Panen padi dilakukan
sehari atau lebih tergantung dari luas sawah yang akan dipanen dan
banyaknya buruh tani yang ikut dalam memanen padi tersebut. Setelah
padi selesai di panen pemilik sawah memberikan upah dalam bentuk
bawon (padi yang sudah dipotong). Di Dusun Sambirejo upah yang
diberikan kepada buruh tani terdapat unsur kekerabatan, apabila buruh tani
dari saudara mendapatkan 1 karung bekas pakan ayam atau bekas pupuk.
Sedangkan untuk buruh tani yang diambil dari luar mendapatkan upah
bawon 2- 3 tenggok, untuk buruh tani yang diambil dari tetangga
diberikan upah bawon lebih dari upah yang diberikan kepada buruh tani
dari luar. Jika diberikan upah sama dengan buruh tani dari luar pemilik
sawah merasa sungkan, karena mereka sudah membantu proses dari awal
menanam padi.
Perbedaan dalam pemberian upah ini menyebabkan para buruh tani
merasa keberatan, karena menurut mereka pekerjaan yang dilakukan itu
62
sama tidak ada perbedaan. Jika terjadi gagal panen mereka juga harus
mengalami potongan upah bawon tersebut. Hal itu disebabkan karena pada
awal akad tidak ada kejelasan upah dan potongan upah yang dilakukan
oleh pemilik sawah kepada buruh tani. Sehingga menyebabkan buruh tani
merasa tidak adil dalam pemberian upah.
B. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH BURUH TANI
DENGAN SISTEM BAWON
Kegiatan yang kita lakukan sehari-hari haruslah sesuai dengan
ajaran Islam seperti dalam jual beli, kerjasama dan yang lainnya. Karena
semua itu sudah diatur dalam Islam dan kita harus mematuhi supaya apa
yang kita kerjakan mendapat pahala dan rahmat dari Allah SWT. Seperti
halnya dalam bentuk kerjasama antar manusia dalam hal pengambilan
manfaat atas jasa atau yang dalam Islam disebut dengan Ijarah.
Dalam ijarah upah mengupah terdapat imbalan atas jasa yang telah
dikeluarkan oleh seorang pekerja yaitu ujrah atau upah. Upah yang
diberikan harus sesuai dengan jasa yang telah dikeluarkan, dalam
kerjasama terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi supaya kerjasama
tersebut sesuai dengan Hukum Islam. Seperti dalam pemberian upah harus
ada keterbukaan antar kedua belah pihak sehingga unsur keadilan dan
keridhoan dalam kerjasama tersebut tercapai. Seperti yang telah dijelaskan
dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat 90:
63
بشؤ٠الله ا غحاليذؼا بشمارآاخ٠اا آءشحفاػ٠
(٠)شو زحى ؼىظؼ٠غباشىا
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang
(melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (Q.S. An-Nahl (16): 90)69
Sebagaimana dalam ayat diatas menjelaskan bahwa Allah
menyuruh kita untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Serta tidak
membeda-bedakan atau diskriminasi terhadap sesama dalam
bermuamalah, karena jika hal itu dilakukan akan menimbulkan perpecahan
dan tidak ridhonya salah satu pihak karena merasa dirugikan.
Dalam hal pemberian upah kepada buruh tani harus terdapat unsur
keadilan sehingga antara buruh tani dan pemilik sawah saling ridho,
sehingga pada awal akad sangat penting pemilik sawah menyampaikan
berapa besar upah yang akan didapat oleh buruh tani jika memanen padi
miliknya. Karena keterbukaan diawal akad terhadap besarnya upah dapat
mengurangi resiko terjadinya ketidakadilan dalam pemberian upah.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah
dan Abu Sa‟id al-Khudri, bahwasanya Nabi Muhammad Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja
69
An-Nahl (16): 90
64
tentukanlah upahnya.”70
Hadis tersebut menjelaskan bahwa dalam
mempekerjakan seorang pekerja harus ditentukan besarnya upah yang
akan diterima.
Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim bahwa, “Telah
menceritakan kepadaku (Ishaq) telah menceritakan kepada kami (Isa bin
Yunus) telah menceritakan kepada kami (Al Auza‟i) dari (Rabi‟ah bin Abu
Abdurrahman) telah menceritakan kepadaku (Handlalah bin Qais Al
Anshar) dia berkata; “Saya bertanya kepada (Rafi‟ bin Khadi) mengenai
menyewakan tanah perkebunan dengan bayaran emas dan perak.” Maka
dia menjawab; “Hal itu tidak mengapa. Dulu pada masa Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam, banyak para sahabat yang menyewakan
tanahnya dengan imbalan memperoleh hasil panen dari tanaman yang
tumbuh di sekitar parit atau saluran air atau sejumlah tanaman itu
sendiri, apabila suatu ketika pemilik tanah itu rugi, justru pemilik tanah
itu merasa diuntungkan, atau pemilik tanah mendapatkan keuntungan dan
penyewa yang merasa dirugikan, tetapi anehnya banyak dari orang-orang
yang melakukan penyewaan seperti itu. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam melarang penyewaan tanah seperti diatas.
Sedangkan penyewaan tanah dengan pembayaran yang telah diketahui
dan dapat dipertanggung jawabkan, maka hal itu tidaklah dilarang.”71
(HR. Muslim).
Hadis tersebut menjelaskan bahwasanya pada masa Nabi
Muhammad melarang sewa menyewa dengan imbalan hasil panen dari
tanaman itu dikarenakan jika terjadi gagal panen salah satu pihak akan
70
Abdul Qadir Syaibah al-Hamd, Syarah Bulughul Maram (6), alih bahasa Izzudin
Karimi dkk, cet. Ke-1 (Jakarta:Darul Haq,2012). hal.71-72. 71
Al-Hafizh, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, alih bahasa Fahmi Aziz dan
Rohidin Wahid, ed. Achmad Zirzis, cet. Ke-1 (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2015). hal.543
65
dirugikan yaitu pihak penyewa. Maka dari itu Rasulullah meyuruh untuk
memberikan bayaran berupa emas atau perak yang sudah jelas besarnya.
Praktik pengupahan kepada buruh tani yang terjadi di Dusun
Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali pada awal
akad terdapat ketidakjelasaan dalam besarnya upah yang akan diterima
oleh buruh tani. Hal tersebut menimbulkan perbedaan besarnya upah yang
didapat oleh buruh tani, karena di Dusun Sambirejo dalam pemberian upah
terdapat unsur kekerabatan atau kekeluargaan yang menyebabkan besarnya
upah yang diterima berbeda antar buruh tani dan adanya potongan upah
apabila gagal panen.
Upah atau ujrah yang berbeda itu menimbulkan buruh tani merasa
tidak ridho dan tidak diperlakukan dengan adil oleh pemilik sawah. Syarat
sahnya ijarah adalah adanya keridhoan antar kedua belah pihak dan upah
diketahui besarnya dan harus harta tetap.
Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Sambirejo Desa
Teter Kecamatan Simo dalam pemberian upah ini dalam Islam termasuk
dalam Urf. Praktik pengupahan kepada buruh tani yang terjadi di Dusun
Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali pada awal
akad terdapat ketidakjelasaan dalam besarnya upah yang akan diterima
oleh buruh tani. Hal tersebut menimbulkan perbedaan besarnya upah yang
didapat oleh buruh tani, karena di Dusun Sambirejo dalam pemberian upah
terdapat unsur kekerabatan atau kekeluargaan yang menyebabkan besarnya
66
upah yang diterima berbeda antar buruh tani dan adanya potongan upah
apabila gagal panen.
Upah atau ujrah yang berbeda itu menimbulkan buruh tani merasa
tidak ridho dan tidak diperlakukan dengan adil oleh pemilik sawah. Syarat
sahnya ijarah adalah adanya keridhoan antar kedua belah pihak dan upah
diketahui besarnya dan harus harta tetap.
Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Sambirejo Desa
Teter Kecamatan Simo dalam pemberian upah ini dalam Islam termasuk
dalam Urf. Urf secara etimologi berarti yang baik, dan juga berarti
pengulangan atau berulang-ulang. sedangkan menurut terminologi urf
yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu. Dalam ushul fiqh
terdapat kaidah tentang urf yaitu ؼاد تةا حى (adat kebiasaan dijadikan
hukum).72
Dalam penggunaan urf terdapat beberapa syarat yang harus
dipenuhi yaitu:
1. Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan
masyarakat. Maksudnya kebiasaan sejumlah orang tertentu
dalam masyarakat tidak dapat dikatakan urf, adanya sejumlah
lain yang tidak melakukan kebiasaan itu menunjukkan adanya
72
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, cet. ke-1 (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), hal. 118-119.
67
pertentangan di dalam masyarakat itu sendiri dalam
memandang kebiasaan tersebut.
2. Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang
didasarkan pada urf tersebut ditetapkan. Jika urf telah berubah,
maka hukum tidak dapat dibangun diatas urf tersebut.
3. Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan urf oleh
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
4. Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-
prinsip umum syariat.73
Adat mendapat tempat sebagai dasar penetapan hukum dengan
syarat-syarat tertentu, yaitu tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syariat yang berlandaskan dalil atau sumber hukum yang sah, baik Al-
Qur‟an maupun Sunnah dan dalil lainnya, juga berlaku dan meluas dalam
masyarakat umumnya. Karena itu adat dibagi dua bagian yaitu:
a. Adat yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan
hukum syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara, terutama
dalam menetapkan terhadap suatu hukum, atau ketika
mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena
adat yang sudah berlaku ditengah-tengah masyarakat,
merupakan tuntutan yang sesuai dengan kemaslahatan mereka.
Misalnya, mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
perkawinan.
73
Kamal Mukhtar dkk., Ushul Fiqh I, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 148.
68
b. Adat fasid, yaitu adat yang berlaku dalam suatu sosial
masyarakat yang senantiasa bertentangan dengan ajaran
syariat, misalnya kebiasaan mengadakan sesajin untuk sebuah
patung atau suatu tempat yang dipandang mulia. Karena
bertentangan dengan aqidah tauhid.74
Berdasarkan analisis yang telah penulis sampaikan di atas praktik
pengupahan buruh tani padi dengan bawon di Dusun Sambirejo Desa Teter
Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali ditinjau dari Hukum Islam boleh
dilakukan, karena kebiasaan tesebut temasuk dalam kategori urf shahih.
Kebiasaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang serta tidak
bertentangan dengan nash dan dapat diterima oleh sebagian besar
masyarakat sehingga praktik pengupahan ini dibolehkan.
74
Kamal Mukhtar dkk., Ushul Fiqh I, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 120.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Upah Buruh Tani Dengan Sistem Bawon (Studi Kasus di
Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali)
penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Praktik pengupahan buruh tani dengan sistem bawon di Dusun
Sambirejo adalah upah yang diberikan kepada buruh tani panen padi
dalam bentuk gabah setelah panen selesai dilakukan. Pada saat panen
padi menggunakan akad secara lisan, yaitu pemilik sawah menyuruh
buruh tani untuk memanen padi yang siap panen.
2. Ditinjau dari Hukum Islam upah buruh tani dengan sistem bawon di
Dusun Sambirejo Desa Teter Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali
boleh dilakukan, karena kebiasaan tersebut termasuk dalam urf shahih
yang dilakukan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan nash
atau prinsip-prinsip umum syariat.
70
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis
memberikan saran diantaranya:
1. Pada saat awal akad yang dilakukan antara pemilik sawah dan buruh
tani diberikan kejelasan terhadap besarnya upah yang akan diberikan,
jika belum bisa dipastikan besarnya bisa diperkirakan berdasarkan
hasil panen sebelumnya. Serta tidak ada perbedaan dalam pemberian
upah antar buruh supaya silaturahmi tetap terjaga.
2. Hendaknya dalam pemberian upah terhadap buruh tani menggunakan
uang, walaupun pengupahan dengan sistem bawon termasuk dalam urf
shahih. Karena untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan salah
satu pihak.
71
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur‟an/Tafsir Al-Qur‟an
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al- Misbah:Pesan, Kesan Dan Keserasian
Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati.
2. Hadis/Syarah Hadis/Ulumul Hadis
Al-Hamd, Abdul Qadir Syaibah. 2012. Syarah Bulughul Maram (6), alih
bahasa Izzudin Karimi dkk. Jakarta: Darul Haq.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Hafizh. 2015. Bulughul Maram, alih bahasa
Fahmi Aziz dan Rohidin Wahid, ed. Achmad Zirzis, cet. Ke-1.
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
3. Fiqh/Ushul Fiqh/Hukum
Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, cet. ke-1
Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat.
Dewi, Gemala dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam, Jakarta: Kencana.
Ghazaly, Abdul Rahman dkk. 2010. Fiqh Muamalat, cet. Ke-1. Jakarta:
Kencana.
Hasan, Muhammad Kamal. 1979. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
Jakarta: P3M.
Huda, Qamarul. 2011. Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Teras.
Husni, Lalu. 2014. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers.
Mukhtar, Kamal dkk.1995. Ushul Fiqh 1, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik Dan Kontenporer Hukum
Perjanjian, Ekonomi,Bisnis, dan Sosial, Bogor: Ghalia.
72
Soekanto, Soejono.1982. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Sabiq, Sayyid.1987. Fikih Sunnah 13, Bandung: Alma‟arif.
Sahrani, Sohari & Ru‟fah Abdullah. 2011. Fiqh Muamalah, Bogor: Ghalia
Indonesia.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah:Membalas Ekonomi Islam,
Kedudukan Harta, Hak Milik, JualBeli, Bunga Bank dan Riba,
Musyarakah, Ijarah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain,
Jakarta: Grafindo Persada.
Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika,2009.
Syafe‟i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Undang-undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bab X, pasal 1
ayat 30.
4. Lain-lain
Abdurahman, Dudung. 2003. Pengantar Metode Penelitian.Yogyakarta:
Kurnia Alam Semesta.
Chaudy, Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana.
Faozi, M. Mabruri & Putri Inggi Rahmiyanti. 2016. Sistem Pengupahan
Tenaga Kerja Home Industri Perspektif Ekonomi Islam, Al Mustashfa
No:1, Vol. 4.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000. Pembiayaan
Ijarah, (online)
Handayani, Ika Nur. 2012. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Akad
Bawon (Studi Kasus di Desa Gemulung Kelurahan Kwagen
Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen), Skripsi tidak
diterbitkan.Semarang: Fak. Syariah, IAIN Walisongo.
73
Isnaningsih, Nurmaulidina. 2018. Praktek Akad Pengupahan Buruh Tani
(Bawon) Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di desa
Kedungbanteng Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas),
Skripsi tidak diterbitkan.Purwokerto: Fak. Syari‟ah, IAIN
Purwokerto.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
-----------------------.2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyadi. 2008. Sistem Akutansi, Jakarta: Salemba Empat.
Muslim, Aziz. 2019. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap
Pengupahan Buruh Tani Di Desa Ciakar Kecamatan Cijulang
Kabupaten Pangandaran, Skripsi tidak diterbitkan. Bandung:
Fak.Syari‟ah Dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati.
Nayla, Akifa P. 2004. Panduan Lengkap Sistem Administrasi Gaji Dan Upah,
Jogjakarta: Laksana.
Ridwan, Murtadho. 2013. Standar Upah Pekerja Menurut Sistem Ekonomi
Islam, Equilibrium, No. 2, Vol.1
Soemarso,S.R. 2009. Akutansi:Suatu Pengantar, Jakarta: Salemba Empat.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2016.
Wawancara dengan para narasumber.
74
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Siti Mardiyah
TTL : Boyolali, 26 Juni 1997
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat Asal : Sambirejo Rt/Rw 001/008, Teter, Simo, Boyolali
Email : [email protected]
LatarBelakang Pendidikan
Formal:
2003-2009 : SD Muhammadiyah Simo
2009-2012 : SMP N 2 Simo
2012-2015 : MAN 2 Boyolali
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya, semoga
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Hormat Saya,
Siti Mardiyah
NIM: 33020150029
75
PERTANYAAN DENGAN PETANI
1. Nama dan umur?
2. Apakah panen padi menggunakan jasa buruh tani?
3. Bagaimana sistem pengupahan buruh tani, menggunakan uang atau
bawon?
4. Alasan menggunakan upah bawon?
5. Bagaimana perjanjian atau akad pada saat menggunakan jasa buruh
tani untuk memanen padi?
6. Berapa upah bawon untuk sekali panen?
7. Besarnya upah bawon didasarkan atas apa?
8. Berapa Luas sawah?
9. Jika gagal panen apakah dibayar dengan takaran bawon seperti
biasanya?
10. Berapa potongan bawon jika gagal panen?
PERTANYAAN DENGAN BURUH TANI
1. Nama dan umur?
2. Sudah berapa lama menjadi buruh tani?
3. Alasannya menjadi buruh tani?
4. Bagaimana perjanjian atau akad dengan petani pada saat akan
memanen padi?
5. Upah yang diterima dalam bentuk uang atau bawon?
6. Besaran upah yang didapatkan?
7. Bagaimana pendapat tentang upah dengan bawon?
8. Apakah sudah adil atau belum?alasan?
9. Jika gagal panen upah bawon dipotong atau tidak?
10. jika dipotong apakah pada saat akad besarnya potongan diberitahu?
11. Bawon yang didapat dipakai sendiri atau dijual?
12. Apakah ada perbedaan besarnya upah bawon antar buruh tani?
76
DOKUMENTASI
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86