teguh perdana putra-skripsi-ft-naskahringkas-2014.pdf

20
1 Pemodelan dan Simulasi Reservoir Geotermal Lapangan X untuk Penempatan Sumur Produksi dengan Metode Optimasi Numerik Teguh Perdana Putra 1 , Widodo Wahyu Purwanto 1 dan Yunus Daud 2 1 Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia 2 Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia E-mail : [email protected] Abstrak Potensi energi geotermal Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, namun kini baru diutilisasi sekitar 4% dari potensi tersebut. Penelitian ini bertujuan mengoptimalkan penempatan sumur produksi geotermal di lapangan X agar risiko aktivitas pengembangan skema produksi dapat diminimalisasi. Pada penelitian ini dilakukan pemodelan dan simulasi reservoir dengan menggunakan data 3G (Geologi, Geofisika dan Geokimia) dari lapangan X dan data dari sumur yang telah ada. Dengan menggunakan TOUGH2, PETRASIM dan GeoSlicer-X, pemodelan forward yang mencakup adjustment dari litologi dan posisi sources dilakukan hingga model reservoir mencapai kondisi natural state. Data hasil simulasi reservoir kemudian diregresi menggunakan MATLAB serta dilakukan optimasi numerik guna mendapatkan titik-titik penempatan sumur produksi yang diajukan untuk penambahan kapasitas terpasang di lapangan X. Didapatkan hasil penelitian titik optimum penempatan sumur produksi pada koordinat x 3276 m dan y 4262 m dengan nilai entalpi spesifik maksimum 1529,9 kJ/kg; serta 6 titik penempatan sumur produksi dengan nilai entalpi spesifik 1500, 1450 dan 1400 kJ/kg. Dengan demikian, penambahan kapasitas terpasang dari skema produksi tambahan ini diestimasi dapat mencapai 43,5 MWe. Geothermal Reservoir Modelling and Simulation of X Field for Production Well Placement with Numerical Optimization Method Abstract Indonesia has the biggest estimated geothermal energy reserve in the world, but only 4% of that reserve currently utilized to generate electricity. The purpose of this research is to optimize the production well placements at X field to minimize the failure risk of production scheme development. In the research, reservoir modelling and simulation is conducted based on 3G (Geological, Geophysical and Geochemical) data and existing wells data. Forward modelling process, which covers the lithology and sources position adjustment, is executed with TOUGH2, PETRASIM and GeoSlicer-X to validate the reservoir model towards natural state condition. Using MATLAB, the resulting data is regressed and used to numerically optimize the production well placement decision based on the fluid specific enthalpy. The new production scheme is proposed to further increase the installed capacity in X field. The final result is the optimal point of well placement; which is 3276 m in x coordinate and 4262 m in y coordinate with the maximum specific enthalpy value of 1529,9 kJ/kg and 6 (six) other points with specific enthalpy of 1500, 1450 or 1400 kJ/kg. Thus, the improvement of the installed capacity with the proposed production scheme is estimated to reach 43,5 MWe. Keywords: modelling; geothermal reservoir; numerical optimization; production well placement Pendahuluan Menurut International Energy Agency, pembangkitan energi listrik menggunakan tenaga geotermal pada tahun 2050 akan meningkat hingga 21 kali lipat lebih banyak daripada tahun 2011 secara global. Indonesia merupakan negara di dunia dengan potensi geotermal terbesar

Upload: iam-chairat

Post on 13-Sep-2015

21 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Pemodelan dan Simulasi Reservoir Geotermal Lapangan X untuk

    Penempatan Sumur Produksi dengan Metode Optimasi Numerik

    Teguh Perdana Putra1, Widodo Wahyu Purwanto1 dan Yunus Daud2

    1 Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia 2Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI,

    Depok, 16424, Indonesia

    E-mail : [email protected]

    Abstrak

    Potensi energi geotermal Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, namun kini baru diutilisasi sekitar 4% dari

    potensi tersebut. Penelitian ini bertujuan mengoptimalkan penempatan sumur produksi geotermal di lapangan X

    agar risiko aktivitas pengembangan skema produksi dapat diminimalisasi. Pada penelitian ini dilakukan pemodelan

    dan simulasi reservoir dengan menggunakan data 3G (Geologi, Geofisika dan Geokimia) dari lapangan X dan data

    dari sumur yang telah ada. Dengan menggunakan TOUGH2, PETRASIM dan GeoSlicer-X, pemodelan forward

    yang mencakup adjustment dari litologi dan posisi sources dilakukan hingga model reservoir mencapai kondisi

    natural state. Data hasil simulasi reservoir kemudian diregresi menggunakan MATLAB serta dilakukan optimasi

    numerik guna mendapatkan titik-titik penempatan sumur produksi yang diajukan untuk penambahan kapasitas

    terpasang di lapangan X. Didapatkan hasil penelitian titik optimum penempatan sumur produksi pada koordinat x

    3276 m dan y 4262 m dengan nilai entalpi spesifik maksimum 1529,9 kJ/kg; serta 6 titik penempatan sumur

    produksi dengan nilai entalpi spesifik 1500, 1450 dan 1400 kJ/kg. Dengan demikian, penambahan kapasitas

    terpasang dari skema produksi tambahan ini diestimasi dapat mencapai 43,5 MWe.

    Geothermal Reservoir Modelling and Simulation of X Field for Production Well

    Placement with Numerical Optimization Method

    Abstract

    Indonesia has the biggest estimated geothermal energy reserve in the world, but only 4% of that reserve currently

    utilized to generate electricity. The purpose of this research is to optimize the production well placements at X

    field to minimize the failure risk of production scheme development. In the research, reservoir modelling and

    simulation is conducted based on 3G (Geological, Geophysical and Geochemical) data and existing wells data.

    Forward modelling process, which covers the lithology and sources position adjustment, is executed with

    TOUGH2, PETRASIM and GeoSlicer-X to validate the reservoir model towards natural state condition. Using

    MATLAB, the resulting data is regressed and used to numerically optimize the production well placement decision

    based on the fluid specific enthalpy. The new production scheme is proposed to further increase the installed

    capacity in X field. The final result is the optimal point of well placement; which is 3276 m in x coordinate and

    4262 m in y coordinate with the maximum specific enthalpy value of 1529,9 kJ/kg and 6 (six) other points with

    specific enthalpy of 1500, 1450 or 1400 kJ/kg. Thus, the improvement of the installed capacity with the proposed

    production scheme is estimated to reach 43,5 MWe.

    Keywords: modelling; geothermal reservoir; numerical optimization; production well placement

    Pendahuluan

    Menurut International Energy Agency, pembangkitan energi listrik menggunakan tenaga

    geotermal pada tahun 2050 akan meningkat hingga 21 kali lipat lebih banyak daripada tahun

    2011 secara global. Indonesia merupakan negara di dunia dengan potensi geotermal terbesar

  • 2

    yang mencapai 29 GWe (Badan Geologi Indonesia, 2010). Pemerintah Republik Indonesia

    memproyeksikan pada tahun 2030 utilisasi geotermal dapat mencapai 9,8% dari 4% (KESDM,

    2010). Karenanya, lapangan-lapangan yang ada di Indonesia perlu dikembangkan secepatnya

    agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi target tersebut.

    Adapun lapangan X adalah salah satu lapangan geotermal di Indonesia dengan tiga gunung

    vulkanik aktif dan manifestasi permukaan berupa mata air panas, steaming grounds dan fumarol

    dengan tipe reservoir dominasi air panas (Atmojo, 2001). Menggunakan data-data geokimia,

    geofisika dan geologi serta sumur-sumur yang telah ada dari lapangan X, pada penelitian ini

    akan dibuat model natural state (kondisi awal reservoir sebelum berproduksi) yang

    merepresentasikan lapangan X dan kinerja reservoirnya menggunakan TOUGH2.

    Setelahnya menggunakan data profil suhu dan tekanan dari model yang dihasilkan pada elevasi

    500 m.b.s.l. (meters below sea level) akan didapatkan profil entalpi spesifik fluida pada elevasi

    yang sama. Profil entalpi spesifik ini akan diregresi menggunakan POLYFIT dan digunakan

    untuk melakukan optimasi numerik guna mencari titik x dan y pada kedalaman produksi yang

    mengandung entalpi fluida tertinggi dan titik-titik kontur entalpi spesifik yang relatif tinggi

    disekitar titik optimum. Dengan menggunakan hasil penelitian tersebut dapat dilakukan

    rekomendasi skema produksi baru dan estimasi kapasitas terpasang yang dihasilkan sumur-

    sumur produksi yang direkomendasikan.

    Tinjauan Teoritis

    Pemodelan reservoir dilakukan dengan lebih dahulu memahami sistem geotermalnya. Suatu

    sistem geotermal harus memiliki (1) batuan reservoir yang permeable; (2) aliran air untuk

    transfer panas dari reservoir ke permukaan dan (3) sumber panas (heat source) (Sigurdsson,

    et.al., 1999). Lapangan X merupakan sistem geotermal tipe vulkanik kuaterner (umur 300

    hingga 500 ribu tahun), yang merupakan sistem dengan sumber panas utama merupakan intrusi

    magma pada rentang kedalaman 2 hingga 10 km dan kedalaman reservoir kurang dari 1,5 km

    dengan suhu diatas 200oC. Jika diklasifikan berdasarkan kualitas fluida reservoir, reservoir

    lapangan X merupakan tipe dominasi air panas (liquid-dominated).

    Pemodelan reservoir selalu didasarkan oleh data-data lapangan yang mendukung. Secara

    umum, data-data ini adalah data geologi, geofisika (meliputi MAM, resistivitas, gravitasi dan

  • 3

    MT) serta geokimia. Survey geologi secara umum dilakukan secara aerial untuk melihat

    struktur-struktur geologis (seperti patahan atau lipatan) yang penting untuk diketahui

    pemanjangannya serta mempelajari paleontologi (ilmu sejarah batuan). Survey ini juga meliputi

    tes coring untuk mengetahui dengan lebih seksama struktur batuan di lapangan X. Survey

    geofisika memperkuat hasil survey geologi karena mampu memetakan struktur formasi

    dibawah tanah dan persebaran batuan berdasarkan sifat fisisnya. Survey MT dan resistivitas

    mengakuisisi data resistivitas batuan menggunakan kuat medan magnet dan perbedaan

    potensial listrik berturut-turut. Survey gravitasi mengakuisis data anomali gravitasi

    dibandingkan dengan gravitasi acuan untuk memperkirakan densitas batuan dibawah

    permukaan tanah. Survey MAM memiliki konsep yang sama dengan survey resistivitas namun

    lebih memfokuskan pada resistivitas sebaran fluida (untuk mengetahui jalan alirnya fluida) di

    bawah permukaan tanah. Survey geokimia lalu memperkuat pemahaman mengenai suatu sistem

    geotermal dengan memperkirakan hidrogeologi fluida geotermal (menggunakan sampling pada

    manifestasi permukaan seperti solfatara/fumarol dan hotspring) dan suhu reservoir

    (menggunakan geotermetri berdasarkan hasil sampling manifestasi permukaan).

    Gambar 1. Kontrol volume pada pemodelan reservoir (Pruess, 2002)

    Dalam memulai suatu pemodelan reservoir dengan TOUGH2, parameter komputasi diperlukan

    untuk diskritisasi volume dan waktu. Terminologi akumulasi, fluks dan pengaruh sumur

    injeksi/produksi dari setiap kontrol volume (lihat Gambar 1) dalam model akan diintegrasikan

    terhadap ruang dan waktu seperti terlihat pada persamaan 1. Ketiga terminologi ini berlaku

    untuk neraca massa dan energi, yang keduanya dipengaruhi oleh penurunan neraca momentum

    (kecepatan alir Darcy). Selain itu, kondisi awal dan kondisi batas yang sesuai dengan model

    (model open atau closed box) juga perlu diperhatikan dalam pemodelan reservoir.

    =

    +

    V (1)

  • 4

    dimana adalah akumulasi, adalah vektor fluks pada 6 bagian luasan penampang ,

    adalah masukan atau keluaran sumur injeksi atau produksi, adalah kontrol volum dan

    adalah waktu. Pada saat profil suhu dan tekanan yang dihasilkan dari persamaan 1 sudah

    memiliki perubahan yang relatif kecil maka model dikatakan mencapai kondisi natural state.

    Regresi linear merupakan proses mendapatkan suatu fungsi sebagai model empiris yang

    merepresentasikan perilaku persebaran data-data yang diregresi (dalam hal ini data model).

    Regresi polinomial merupakan jenis regresi yang menggunakan aproksimasi regresi linear

    dalam meregresi data-data nonlinear. Contoh model empiris polinomial derajat dua dengan

    terminologi interaksi antar dua variabel dapat dilihat pada persamaan 2. Persamaan tersebut

    akan digunakan untuk meminimasi (penurunan orde satu sama dengan nol) perbedaan antara

    nilai fungsi model dengan data-data yang diregresi sehingga model empiris yang dihasilkan

    dari regresi dapat merepresentasikan data model secara optimum.

    = 0 + 1 + 2 + 3.2+ 4.

    2+ 5. + (2)

    dimana 0, 1, . . . , 5 adalah parameter-parameter model empiris yang dihasilkan dari proses

    regresi, dan adalah vektor variabel, adalah nilai fungsi model empiris dan adalah selisih

    nilai yang dihasilkan oleh model empiris dengan nilai data regresi pada variabel penentu yang

    sama.

    Optimasi numerik menggunakan prinsip yang sama dengan regresi, yaitu penurunan fungsi

    Lagrangian orde satu dan dua. Adapun fungsi Lagrangian adalah fungsi yang dihasilkan dari

    kombinasi fungsi objektif (fungsi tujuan yang dioptimasi) dan fungsi kendala (fungsi yang

    membatasi proses optimasi) dimana keduanya mengandung variabel penentu. Adapun bentuk

    fungsi Lagrangian dengan dua variabel penentu dapat dilihat pada persamaan 3. Pada Gambar

    2 dapat diilustrasikan bahwa arah optimasi fungsi objektif (gradien ) merupakan hasil

    penambahan vektor gradien fungsi kendala yang membatasinya sehingga berhenti pada

    koordinat (1,1) sebagai titik minimum optimal. Suatu titik dikatakan memberikan nilai fungsi

    objektif (jika tanpa kendala) atau nilai fungsi Lagrangian (jika berkendala) optimum jika

    penurunan orde satu dan orde duanya mendekati atau sama dengan nol.

    (, , ) = (, ) + [(, ) ]3=1 (3)

  • 5

    dimana adalah fungsi Lagrangian yang diturunkan parsial untuk optimasi, adalah fungsi

    objektif, adalah fungsi kendala, adalah sisi kanan persamaan/pertidaksamaan fungsi

    kendala dan adalah pengali Lagrange.

    Gambar 2. Visualisasi fungsi objektif, kendala serta titik optimum (Edgar et.al., 2001)

    Optimasi numerik pada MATLAB menggunakan kode pemrograman FMINCON (Function

    Minimization with Constraints) yang merupakan pemrograman numerik yang berdasarkan

    metode Newton. Metode ini merupakan metode iteratif untuk mencari titik (pasangan variabel

    penentu) yang memberikan nilai fungsi optimum berdasarkan nilai gradien orde satu dan

    gradien orde dua dari fungsi objektif.

    +1 = [(())]1

    (), 0 (3)

    dimana +1 adalah vektor variabel penentu baru, adalah vektor variabel penentu iterasi

    sebelumnya, [(())]1

    adalah determinan invers matriks Hessian yang merupakan nilai

    diferensial parsial orde dua dari fungsi objektif dengan vektor variabel lama dan () adalah

    nilai diferensial parsial orde satu dengan vektor variabel lama.

    Metode Penelitian

    Penelitian diaksanakan pada bulan Februari hingga Juni tahun 2014 di Laboratorium Energi

    Berkelanjutan Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia dan Laboratorium Geotermal

    Departemen Fisika Universitas Indonesia. Data yang digunakan adalah data-data survey

    geologi, geofisika (magnetotelluric, misse-a-la-mase, gravitasi dan resistivitas), survey

  • 6

    geokimia serta model konseptual yang dibangun berdasarkan data-data tersebut dan data 10

    sumur yang telah dibor pada lapangan X. Langkah pertama adalah interpretasi semua data ini

    sehingga model reservoir natural state yang dihasilkan akan berdasarkan persebaran batuan

    (litologi), referensi posisi sources dan hidrogeologi (aliran upflow dan outflow) dari data aktual

    lapangan X. Digunakan paket persamaan keadaan EOS1 pada TOUGH2 untuk asumsi fluida

    geotermal berupa air murni untuk melakukan pemodelan reservoir.

    Penentuan parameter komputasi. Langkah berikutnya adalah melakukan diskritisasi volume

    untuk pemodelan dan pengaturan dimensi waktu untuk simulasi model reservoir lapangan X.

    Pada penelitian ini, model dibagi menjadi 3388 bagian/kontrol volum berbentuk balok dimana

    pada koordinat kedalaman dibagi menjadi total 7 layer dengan kedalaman mulai dari 2000

    m.b.s.l. pada layer 1 (layer input 4, cell 1) hingga 2000 m.a.s.l. pada layer 7 (layer input 1, cell

    1). Pembagian kedalaman ini dilakukan berdasarkan data litologi berupa coring dari lapangan

    X serta data-data profil suhu vs elevasi untuk sumur-sumur lapangan X agar dapat

    merepresentasikan tebal tiap formasi batuan dengan optimum.

    Pada penampang x-y, model dibagi menjadi 484 grid dengan luas 1000x1000 m2, 500x500 m2

    dan 250x250 m2 dengan koordinat x (easting) mulai dari 0 m hingga 8000 m dan koordinat y

    (northing) mulai dari 0 m hingga 8000 m. Adapun peletakan ketiga jenis grid ini adalah

    250x250 m2 tersebar di bagian menengah dari model dan grid berukuran lebih besar tersebar di

    sekitar penampang x-y. Hal ini karena daerah tersebut merepresentasikan daerah dalam kaldera

    dan validasi model natural state serta profil suhu dan tekanan reservoir akan berada pada area

    tersebut sehingga diperlukan gridding yang lebih baik untuk hasil yang lebih teliti.

    Tabel 1. Spesifikasi layering untuk kedalaman (elevasi) model reservoir

    Direction (z) Layer

    Input Cells Size (m)

    Base

    (m)

    Top

    (m)

    z

    4 2 1000,0 -2000 0

    3 2 400 0 800

    2 2 300 800 1400

    1 1 600 1400 2000

    Adapun simulasi terhadap waktu digunakan opsi waktu akhir simulasi infinite (tak terbatas)

    dengan tujuan model yang didapatkan memang merupakan model natural state dimana tidak

    terjadi lagi perubahan profil suhu dan tekanan pada waktu tercapainya natural state (kondisi

  • 7

    quasi-steady). Step waktu (dt) diset otomatis menyesuaikan terhadap kebutuhan iterasi waktu

    sehingga proses simulasi dapat berlangsung efisien dan lebih cepat.

    Pemasukan kondisi awal dan kondisi batas. Model reservoir lapangan X yang telah

    terdiskritisasi volume sekarang memerlukan kondisi awal untuk memulai simulasi terhadap

    waktu dan kondisi batas untuk melimitasi batas sistem yang ditinjau. Kondisi awal yang

    digunakan untuk model adalah suhu 25oC dan tekanan 1 atm di seluruh bagian model dan

    kondisi batas yang digunakan untuk model adalah tak adanya fluks massa ataupun energi yang

    melewati sisi manapun dari model (closed box) kecuali pada grid-grid sources di layer 1 dan

    layer 7 yang merepresentasikan atmosfer/lapisan udara dengan kondisi fixed state (suhu dan

    tekanan tetap).

    Pemasukan spesifikasi material/batuan. Data-data karakteristik fisik batuan yang

    diperkirakan ada pada sistem (berdasarkan model konseptual dan kajian survey data 3G) diinput

    ke dalam TOUGH2. Data karakteristik fisik yang diinputkan disini antara lain densitas,

    porositas, permeabilitas pada tiap arah koordinat, konduktivitas termal dan kapasitas panas

    spesifik. Secara umum, jenis batuan dummy yang diinput adalah batuan ATMOS dan TOP

    dimana ATMOS merepresentasikan lapisan udara diatas litosfer (permukaan tanah) dan litosfer

    direpresentasikan oleh TOP. Adapun batuan utama terdiri dari HIGH, MED, BOTT (batuan

    sedimen); SIDE1, SIDE2 dan LOW (batuan beku); VLOW (clay cap); DENS (batuan

    terdensifikasi) dan BARR (representasi caldera rim). Semua data-data karakteristik fisik yang

    diinput disadur dari Engineering Toolbox dan paper-paper atau jurnal-jurnal untuk digunakan

    dalam penelitian ini terutama oleh Atmojo et.al. (2001).

    Simulasi Model Natural State. Setelah menginput data properti fisik batuan maka

    dilakukanlah proses forward modelling untuk validasi kondisi natural state dengan data profil

    T vs elevasi 10 sumur di lapangan X dengan dua variabel variasi/eksogenous, yaitu: (1) posisi

    dan rate serta intensitas (entalpi spesifik) heat and mass source serta (2) distribusi penempatan

    material (litologi) pada grid-grid tiap layer disesuaikan dengan model konseptual dan data 3G.

    Proses adjustment litologi dan posisi sources serta intensitasnya dilakukan sebanyak 31 kali

    untuk mendapatkan profil T versus elevasi yang semirip mungkin dengan data sumur. Dalam

    melakukan adjustment; kapasitas panas spesifik, permeabilitas dan konduktivitas dari batuan

    yang diassign pada grid-grid yang ada terutama di sekitar sumur perlu diperhatikan karena

    paling memberi perubahan signifikan pada profil suhu di sekitar sumur.

  • 8

    Pada penelitian ini, variasi penempatan grid-grid source yang ada sangat krusial. Terdapat dua

    jenis penempatan source pada penelitian ini, yakni (1) source untuk pasokan panas dan massa

    fluida yang terpanaskan oleh batuan beku dengan gradien suhu abnormal akibat aktivitas

    magmatik/vulkanik dibawah formasi reservoir dan (2) source untuk pasokan massa fluida dari

    presipitasi (air hujan) yang menyusup melalui sisi barat daya kaldera kedalam formasi reservoir.

    Adapun penempatan sources didasarkan oleh model konseptual, manifestasi permukaan dan

    analisa spesi kimia dari survey geokimia.

    Setiap proses adjustment dilakukan, running dieksekusi sehingga kondisi awal menjadi input

    awal dan model disimulasikan terhadap waktu. Setelah mencapai konvergensi, maka TOUGH2

    akan menghasilkan output. Output ini dapat diinterpretasi secara interaktif oleh PETRASIM

    sehingga penulis dapat meninjau model tiga dimensi secara langsung dan melihat kontur

    tekanan dan suhu menggunakan isosurfaces. Pada jendela output simulasi ini, penulis

    menggunakan opsi line plot untuk membangun kurva antara satu titik dengan titik lain yang

    bertujuan untuk mendapatkan profil suhu versus elevasi pada 10 sumur dari model yang

    dihasilkan. Waktu yang dipilih adalah waktu dimana setelahnya tidak ada lagi perubahan

    signifikan terhadap profil suhu dan tekanan dari model natural state. Hasil validasi model pada

    adjustment ke-31 memberikan hasil yang sudah fit secara relatif dan dapat dilihat pada bagian

    analisis hasil penelitian.

    Regresi data entalpi untuk perumusan fungsi objektif. Profil suhu dan tekanan sebagai

    fungsi posisi dapat diperoleh dari model natural state yang dihasilkan. Dengan menggunakan

    hubungan IAPWS-IF97 Steam Table Equations, bisa didapatkan nilai-nilai entalpi spesifik

    (energi yang dikandung) fluida geotermal. Data-data entalpi spesifik ini kemudian diregresi

    secara polinomial menggunakan MATLAB (kode POLYFIT) untuk mendapatkan model

    empiris berpangkat lima dengan interaksi antar dua variabel (x dan y). Karena kedalaman sumur

    produksi secara umum berada pada layer 2 (rentang elevasi 1000 m.b.s.l. hingga 0 m) maka

    digunakan data-data entalpi spesifik pada 500 m.b.s.l. untuk diregresi. Data-data outliers

    dibuang terlebih dahulu dari proses regresi sehingga dari total 484 data menjadi hanya 102 data

    dengan nilai lebih besar dari 1300 kJ/kg dan 70 data dengan nilai lebih besar dari 1350 kJ/kg.

    Hal ini dilakukan agar model empiris yang dihasilkan lebih representatif pada area dengan nilai-

    nilai entalpi spesifik yang relatif tinggi (tujuan dari penelitian ini). Karena adanya dua paket

    data (102 data dan 70 data) yang digunakan maka dihasilkan dua model empiris dari tahap

    penelitian ini yang dikarenakan fungsi yang didapatkan dengan regresi 70 data tidak mampu

  • 9

    merepresentasikan dengan optimal kontur 1450 dan 1400 kJ/kg yang akan dengan optimasi

    numerik. Parameter yang didapatkan (lihat lampiran Tabel A.1) dapat dilihat pada hasil

    penelitian beserta analisisnya. Fungsi dengan 102 data regresi seterusnya dalam naskah ringkas

    ini akan disebut fungsi B dan fungsi dengan 70 data regresi akan disebut fungsi A.

    Perumusan kendala dan deklarasi batas domain optimasi. Setelah mendapatkan dua fungsi

    objektif (dua model empiris) dari tahap regresi maka kini limitasi fungsi tersebut (fungsi

    kendala) harus dianalisa dan dirumuskan. Pada penelitian ini digunakan persamaan garis

    sederhana yang mengandung variabel penentu x dan y yang akan menjadi permukaan planar

    pada plot 3 dimensi yang akan membatasi domain optimasi numerik dari daerah infeasible.

    Suatu daerah dikatakan infeasible jika (1) memiliki nilai fungsi yang berada dibawah nilai data

    minimum yang digunakan untuk regresi model empiris dan (2) memiliki local optima. Dengan

    menggunakan fungsi kendala sedemikian maka hasil optimasi dapat dijamin merupakan titik

    global optima dan berada pada area of interest serta mempercepat proses iterasi.

    Gambar 3. Perumusan kendala linear yang membatasi optimasi fungsi A (kiri) dan fungsi B (kanan)

    Adapun batas domain juga dideklarasikan berdasarkan domain data-data yang digunakan untuk

    regresi dimana untuk fungsi A, koordinat easting (x) berada pada rentang 2625 m hingga

    4625 m dan koordinat northing (y) berada pada rentang 3875 m hingga 6625 m. Fungsi B

    dengan data regresi yang lebih banyak memiliki domain untuk koordinat easting (x) berada

    pada rentang 2375 m hingga 5125 m dan koordinat northing (y) berada pada rentang 3625 m

    hingga 6625 m. Penggunaan domain variabel penentu ini akan lebih mempercepat tiap proses

    optimasi numerik dalam pemetaan kontur entalpi spesifik.

    Optimasi numerik dan pembentukan kontur entalpi. Komponen yang digunakan dalam

    tahap penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana @Enthalpy3 merepresentasikan fungsi

    A dan @Enthalpy4 merepresentasikan fungsi B. Nilai-nilai kendala yang dimasukkan

    Feasible

    Infeasible Infeasible Infeasible

    Feasible

  • 10

    pada FMINCON dalam OPTIMTOOL (MATLAB) merupakan hasil perumusan kendala

    persamaan garis lurus pada tahap penelitian sebelumnya. Untuk kendala non-linear didapatkan

    dengan membatasi nilai fungsi A dan B dibawah nilai kontur entalpi yang ingin dipetakan.

    Tabel 2. Spesifikasi input untuk tahap penelitian optimasi numerik

    Input

    Operasi Optimasi

    Titik

    Optimum

    Titik-Titik

    =

    Titik-Titik

    =

    Titik-Titik

    =

    Fungsi Objektif @Enthalpy3 @Enthalpy3 @Enthalpy4 @Enthalpy4

    Titik Awal Titik di daerah

    feasible Trial & Error dari 8 arah mata angin

    Kendala

    Pertidaksamaan

    Linear

    [1,227577 1;

    1,3095051 1]

    [11385,5436;

    1048,549]

    [1,227577 1;

    1,3095051 1]

    [11385,5436;

    1048,549]

    [0,4602273 1]

    [1590,42045]

    [0,4602273 1]

    [1590,42045]

    K. Pers. Linear [] [] [] []

    Batas Domain

    Bawah

    [2625 3875]

    Atas

    [4625 6625]

    Bawah

    [2625 3875]

    Atas

    [4625 6625]

    Bawah

    [2625 3875]

    Atas

    [4625 6625]

    Bawah

    [2375 3625]

    Atas

    [5125 6625]

    Fungsi Kendala

    Non-Linear

    [] @constradv2

    ( = 1500)

    @constradv2

    ( = 1450)

    @constradv2

    ( = 1400)

    Pada tahap penelitian ini, setelah mendapatkan titik optimum global, dilakukan trial & error

    untuk titik awal yang dimasukkan dalam memetakan kontur entalpi dengan nilai 1500, 1450

    dan 1400 kJ/kg. Dapat dilihat pula pada Tabel 2 dimana parameter kendala dan fungsi objektif

    yang digunakan berpasangan satu sama lain.

    Hasil Penelitian dan Pembahasan

    Analisa curve fitting untuk validasi model natural state. Validasi dilakukan dengan

    mencocokkan tren profil suhu vs elevasi dari model reservoir yang didapatkan dengan data

    sumur aktual yang telah ada di lapangan X. Telah dilakukan validasi menggunakan data 10

    sumur yang telah ada di lapangan X. Pembahasan ini akan dilakukan berdasarkan cluster kepala

    sumur A, B dan C. Cluster A digunakan untuk pengeboran sumur X-1, X-2, X-6, X-7 dan X-8.

  • 11

    profil data simulasi suhu vs elevasi X-6, X-7, dan X-8 dapat dikatakan secara relatif memiliki

    matching yang sangat baik sehingga dalam analisis ini tidak ditinjau lebih lanjut (lihat Gambar

    4). Adapun sumur X-1 dan X-2 memiliki sedikit penyimpangan antara data model dan data

    sumur di lapangan.

    Gambar 4. Curve fitting profil suhu vs elevasi sumur-sumur pada cluster A

    Dapat dilihat pada Gambar 4, kurva X-1 memiliki penyimpangan lebih rendah kira-kira 10-

    20oC pada elevasi 0 m.a.s.l hingga 400 m.a.s.l. Rentang elevasi ini berada pada layer 3 dimana

    diperkirakan terjadi penyusupan aliran air dingin dan menurunkan suhu fluida panas dari source

    layer 1. Jika diperhatikan Gambar 4, pada layer 2 dan 3 sumur X-1 ini dikungkung oleh batuan

    BARR namun di bagian bawah terbuka kepada batuan sedimen (BOTT dan MED) yang

    permeabel dan kontak langsung dengan batuan beku yang mengalirkan air dingin dengan sangat

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300

    Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-1

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200Ele

    vasi

    (m

    )Suhu (oC)

    X-2

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300

    Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-6

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-7

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-8

  • 12

    lambat. Pada kurva sumur X-1 juga terdapat penyimpangan lonjakan kenaikan suhu pada

    rentang elevasi kira-kira 800 hingga 1100 m.a.s.l, yang diperkirakan merupakan akibat dari

    indikasi adanya steam cap yang menaikkan suhu di sekitar sumur.

    Gambar 5. Curve fitting profil suhu vs elevasi sumur-sumur pada cluster B dan C

    Tren kurva X-2 sudah baik secara relatif karena mengikuti penurunan suhu pada elevasi 0

    m.a.s.l lebih dalam. Pada rentang 400 m.a.s.l. hingga 800 m.a.s.l, walaupun begitu, terdapat

    penyimpangan tren dimana suhu terlalu cepat mendingin (suhu turun pada layer 3 terlalu cepat);

    dimana seharusnya penurunan ini terjadi perlahan. Pada sumur X-2 ini, diyakini bahwa terjadi

    efek mixing antara air dingin dari meteoric recharge dengan air panas dari heat source; dimana

    karakteristik khusus terlihat dari kurva penurunan suhu yang sangat perlahan mulai dari 800

    m.a.s.l hingga 0 m.a.s.l. Terlihat juga penyimpangan tren pada elevasi dibawah 0 m.a.s.l yang

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-3

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-4

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300 350Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-5

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 50 100 150 200 250 300

    Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-9

    -1000

    0

    1000

    2000

    0 25 50 75 100 125 150Ele

    vasi

    (m

    )

    Suhu (oC)

    X-10

  • 13

    diduga disebabkan oleh pengaruh penempatan batuan MED pada layer 1 pada arah selatan yang

    menyebabkan fluida panas dapat mengganggu pendinginan suhu pada tren X-2 di rentang

    elevasi tersebut. Diduga terdapat kesamaan penyebab terekamnya data sumur dengan suhu

    sedemikian relatif rendah pada X-2 dan X-10, yaitu interaksi pencampuran air panas dan dingin.

    Pada cluster B, secara umum sumur X-3 memiliki fitting yang cukup baik terhadap tren data

    sumur (lihat Gambar 5). Sumur X-4 pada pada rentang elevasi 800 hingga 1000 m.a.s.l

    memilliki penyimpangan tren yang diakibatkan oleh steam cap dan hipotesis ini diperkuat oleh

    rentang elevasinya yang sama dengan pada sumur X-1; yang mungkin mengindikasikan adanya

    uap panas terjebak dalam badan batuan yang melingkupi sumur di rentang elevasi tersebut.

    Sumur X-5 pun demikian, namun terdapat perbedaan nilai suhu pada elevasi relatif dangkal

    (400 m.a.s.l ke atas) yang cukup signifikan terlihat pada Gambar 5. Hal ini dikarenakan gradien

    suhu yang umum pada layer 5 dan layer 6 (dapat dilihat dari kurva X-1 hingga X-10, memiliki

    bentuk kurva data simulasi yang sama pada rentang elevasi ini).

    Cluster C pada arah tenggara dalam kaldera lapangan X yang hanya digunakan untuk

    pengeboran X-9. Dapat dilihat pada Gambar 5, kurva X-9 ini secara relatif kurang cocok dengan

    tren data sumur. Namun, berdasarkan informasi dari PT. NewQuest Geotechnology ini dapat

    dijelaskan dimana pada rentang elevasi 800 hingga 1100 m.a.s.l terdapat akumulasi non-

    condensible gas (NCG) bersuhu tinggi disekitar sumur X-9. Hal ini mengakibatkan lonjakan

    suhu pada rentang tersebut dan tren seperti yang ditunjukkan pada data sumur tak dapat

    dimodelkan dengan menggunakan TOUGH2 EOS1. Pada rentang elevasi yang penting (suhu

    pada kedalaman 0 m.a.s.l.), kurva data simulasi memiliki kecocokan yang baik dengan data

    sumur X-9. Kesimpulannya, penyimpangan yang terjadi dijelaskan dengan alasan yang

    berdasarkan kenyataan pada lapangan X sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah

    mencapai kondisi natural state.

    Analisa penempatan batuan dan sources model natural state. Layer 6 (elevasi 1100 m.a.s.l

    hingga 1400 m.a.s.l) dan 7 (1400 m.a.s.l hingga 2000 m.a.s.l.) merupakan layer teratas dari

    model natural state yang telah didapatkan dimana semua grid pada kedua layer tersebut secara

    homogen diberikan batuan ATMOS dan TOP untuk merepresentasikan lapisan atmosfer dan

    litosfer. Distribusi batuan utama dimulai dari layer 5 (800 m.a.s.l hingga 1100 m.a.s.l) dengan

    formasi yang teralterasi karena aktivitas hidrotermal dan menjadi clay cap (VLOW) akibat

    reaksi pembentukan mineral smectite/montmorillonite (lihat Gambar 6a dan 6b). Formasi

  • 14

    VLOW ini memiliki permeabilitas yang rendah sehingga secara keseluruhan mengungkung

    fluida panas pada reservoir lapangan X. Pada gambar yang sama dapat dilihat formasi batuan

    BARR mulai ditempatkan pada sisi barat daya layer 5 dan layer 4. Hal ini penting karena

    terdapat caldera rim sebagai struktur geologi di lapangan X yang menjadi jalan recharge air

    hujan ke dalam reservoir. Batuan BARR juga memiliki kapasitas panas spesifik yang relatif

    lebih tinggi daripada jenis material lainnya sehingga letaknya pada model menjadi penting.

    Pada penempatan material memasuki elevasi 400 m.a.s.l hingga 0 m.a.s.l (layer 3) dan 1000

    m.b.s.l (layer 2). Pada bagian ini, terdapat reservoir yang menjadi fokus utama (area of interest)

    pada penelitian ini (lihat Gambar 6c dan 6d). Dapat dilihat di daerah dalam kaldera bahwa

    batuan-batuan dengan permeabilitas relatif sedang ke tinggi (MED dan HIGH) mendominasi.

    Terlihat transisi batuan permeabilitas tinggi pada bagian tengah layer 3 menjadi meluas dengan

    bentuk seperti pada layer 2. Bentuk tersebut menghubungkan antara aliran upflow dari posisi

    source di layer 1 dengan perkiraan aliran outflow ke aliran timur laut dan tenggara. Seperti pada

    layer 4 dan 5, kedua layer ini dikelilingi oleh batuan beku yang terbentuk dari aktivitas vulkanik

    di daerah tersebut pada masa lampau (SIDE1 dan SIDE2). Adjustment penempeatan batuan

    paling banyak dilakukan di layer 2 pada bagian BARR dan HIGH untuk mengendalikan laju

    fluida panas.

    Gambar 6. Litologi model natural state layer 1-5 (e-a)

    (a) (b) (c)

    (d) (e)

  • 15

    Layer 4 dan 5 ini memiliki catatan penting tentang formasi batuan terdensifikasi (DENS) dan

    sedikit batuan permeable (MED). Hal ini ditempatkan oleh penulis atas dasar analisis data

    survey dan model konseptual yang mengindikasikan adanya aliran outflow melalui patahan-

    patahan F1 hingga F4 di lapangan X ke arah tenggara, namun aliran tak dapat diteruskan keluar

    kaldera karena terjadi densifikasi batuan (pembentukan mineral). Formasi yang mengelilingi di

    kedua layer adalah batuan beku LOW yang berasal dari aktivitas vulkanik dalam kaldera V.

    Pada layer 1 yang paling bawah ini, formasi batuan sedimen telah berkurang secara luasan

    karena telah mencapai elevasi yang relatif dalam. Seperti layer-layer diatasnya, batuan sedimen

    sesuai dengan model konseptual dikelilingi oleh batuan beku. Disini terdapat formasi batuan

    sedimen baru, yaitu BOTT dengan permeabilitas yang lebih rendah daripada batuan MED untuk

    merepresentasikan batuan reservoir di elevasi lebih dalam (lihat Gambar 6e).

    Analisa profil suhu dan tekanan model natural state. Pada naskah ringkas ini, hanya profil

    suhu yang dianalisis karena penggunaan data tekanan model tidak signifikan. Penampang X-Y

    dari profil suhu pada elevasi 500 m.b.s.l. (lihat Gambar 7) merupakan hasil keluaran

    PETRASIM yang menjadi salah satu data untuk memproses profil entalpi spesifik di kedalaman

    yang sama. Disini akan dianalisis mengenai kecocokan hasil profil suhu dan tekanan dengan

    data 3G dan model konseptual yang telah diinterpretasi sebelumnya.

    Gambar 7. Kontur suhu reservoir pada elevasi 500 m.b.s.l.

  • 16

    Pada Gambar 7, terlihat bahwa profil suhu sangat panas (lebih dari 300oC) berada pada

    area heat sources di layer 1. Hal ini mengindikasikan fluida panas yang mengalir dengan baik

    melalui media permeabel batuan reservoir dan dapat mencapai elevasi 500 m.b.s.l dengan suhu

    yang masih relatif cukup tinggi (disebut juga aliran upflow). Kemudian terlihat persebaran

    fluida (aliran outflow) dengan suhu sekitar 300oC hingga 275oC menuju arah utara dan timur

    laut. Hal ini sejalan dengan adanya patahan F5 dan delineasi F6 yang memberikan permeabilitas

    sekunder terhadap formasi yang dilaluinya ke arah timur laut. Distribusi fluida dengan suhu

    275oC tidak mengarah ke tenggara sesuai orientasi patahan-patahan F1 hingga F5 karena

    terdapatnya formasi batuan terdensifikasi (DENS) dengan permeabilitas rendah yang

    menghalangi jalur outflow fluida panas ke arah tenggara. Distribusi fluida panas dengan aliran

    outflow didominasi ke arah utara, timur laut dan timur.

    Analisa pemilihan titik produksi dan estimasi kapasitas terpasang. Tujuan penelitian utama

    yaitu titik entalpi optimum dicapai dengan optimasi numerik menggunakan fungsi A tanpa

    kendala nonlinear. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil optimasi numerik pada penelitian

    ini memberikan koordinat = 3276,226 m dan = 4261,511 m dengan nilai entalpi spesifik

    optimum () dua fasa di lapangan ini sebesar 1529,9 kJ/kg. Titik optimum dan kontur-kontur

    entalpi 1400, 1450 dan 1500 kJ/kg serta posisinya pada permeability map (Daud et. al., 2001)

    dapat dilihat pada Gambar 8.

    Gambar 8. (a) Titik dan kontur entalpi spesifik optimum dan (b) Hasil optimasi numerik pada permeability map

    (modifikasi Daud et. al., 2001)

    Dalam analisis ini akan digunakan tiga parameter utama dalam menentukan titik mana yang

    ingin dipilih. Pertama, nilai entalpi spesifik fluida yang potensial ketika titik tersebut dibor,

    yang tidak lain merupakan hasil dari tahap penelitian optimasi numerik berupa titik optimum

    (a) (b)

  • 17

    dan kontur entalpi spesifik. Kedua, konsiderasi permeabilitas batuan sebagai indikasi laju alir

    fluida terproduksi ketika titik tersebut dibor. Dan ketiga, jarak antara sumur produksi yang

    direkomendasikan dan juga terhadap sumur-sumur yang telah ada harus tunduk pada rule of

    thumb yang berlaku (dibawah 368,5 m). Kontur entalpi di bagian bawah gunung X masih berada

    pada daerah high permeability. Sesuai dengan informasi pada Gambar 8a, maka laju alir fluida

    terproduksi memiliki rentang 30 hingga lebih dari 50 kg/s (X-5 memiliki laju alir sebesar 57

    kg/s) (Daud, et al., 2001). Untuk penelitian ini agar sesuai dengan metode pendekatan ilmiah

    maka akan digunakan laju alir 57 kg/s untuk semua titik sumur yang direkomendasikan.

    Tabel 3. Perhitungan kontribusi kapasitas terpasang X-11 hingga X-17

    Sumur

    Koordinat Komplesi

    (kJ/kg)

    Laju Alir Steam (kg/s)

    Total (MWe)

    (m) (m)

    X-11 3276 4262 2646,9

    15,38

    6,6

    X-12 2954 4019 2515,8 12,6

    X-16 3751 4412

    X-15 3739 3964 2465,8 6,2

    X-13 2642 3776

    2415,8 18,1 X-14 3370 3684

    X-17 4179 4234

    Penambahan Kapasitas Terpasang (MWe) 43,5

    Pada Gambar 8b, terlihat dipilih 6 titik produksi baru selain titik optimum (X-12 hingga X-17).

    Pemilihan ini berdasarkan juga posisi setiap titik relatif terhadap struktur geologis yang dapat

    memberikan permeabilitas sekunder disamping permeabilitas matriks batuan. Sebagai contoh,

    posisi X-12 dan X-13 yang dekat dengan struktur patahan atau X-14 dan X-15 yang berada

    sangat dekat dengan interseksi patahan orientasi tenggara dan orientasi timur laut. Sumur X-17

    direkomendasikan juga karena letaknya yang tepat pada lintasan patahan orientasi timur laut

    (F6). Sumur X-16 dipilih karena masih berada pada daerah high permeability.

    Aproksimasi penambahan kapasitas terpasang dapat dilakukan dengan melihat kontribusi

    masing-masing sumur tambahan dari X-11 hingga X-17. Pada Tabel 3 dapat dilihat entalpi

    spesifik fluida yang berpotensi pada setiap sumur untuk dialirkan dengan laju alir 15,83 kg/s

    sesuai Gambar 7b. Dengan perkalian sederhana bisa didapatkan daya termal yang bisa

    dikontribusikan setiap sumur dan menggunakan efisiensi 15,8% yang didapatkan dari

    perhitungan efisiensi konversi energi berdasarkan data-data pada karya Siregar, 2004 dan karya

    Daud et.al., 1999 maka akan didapatkan kontribusi kapasitas terpasang untuk setiap sumur.

    Jika ditotal keseluruhannya bersama dengan kontribusi X-11 maka rekomendasi titik-titik

  • 18

    (skema) produksi tambahan ini mampu mengkontribusikan kira-kira 43,5 MWe terhadap

    kapasitas terpasang di lapangan X. Namun, penempatan sumur pada kondisi aktual di lapangan

    X harus mempertimbangkan aspek drilling cost dan juga indeks korosivitas fluida geotermal

    pada titik-titik produksi. Hasil penelitian dan estimasi ini hanya berdasarkan pendekatan secara

    keteknikan di sektor energi termal.

    Kesimpulan

    1. Reservoir lapangan X pada kondisi natural state merupakan sistem geotermal yang

    termasuk dalam kategori high-temperature, liquid-dominated dengan aproksimasi rentang

    elevasi antara 400 m.a.s.l hingga 2000 m.b.s.l.

    2. Suhu fluida reservoir kondisi natural state pada kedalaman komplesi (400 hingga 700

    m.b.s.l.) berkisar antara 250 hingga 320oC.

    3. Tekanan fluida reservoir kondisi natural state pada kedalaman komplesi (400 hingga 700

    m.b.s.l.) dapat mencapai 350 bar.

    4. Total laju alir dari mass & heat recharge untuk reservoir lapangan X adalah 52,5 kg/s

    dengan entalpi maksimum sebesar 2000 kJ/kg dengan posisi mayoritas dibawah area

    gunung X hingga area antara gunung X dan gunung Z dengan entalpi minimum 1500 kJ/kg.

    5. Reservoir lapangan X merupakan formasi batuan sedimen dengan permeabilitas relatif baik

    yang berada pada cekungan kaldera dan dikelilingi oleh batuan beku dengan permeabilitas

    sedang-rendah. Pada arah barat hingga selatan, reservoir dilingkupi oleh kaldera dengan

    permeabilitas rendah. Formasi clay cap berada di rentang elevasi antara 400 m.a.s.l. hingga

    1100 m.a.s.l.

    6. Kondisi natural state untuk sistem geotermal di lapangan X tercapai setelah iterasi dengan

    waktu kurang-lebih 760,000 tahun.

    7. Titik entalpi spesifik optimal pada elevasi 500 m.b.s.l adalah pada arah koordinat 3276

    m dan arah koordinat 4262 m.

    8. Nilai entalpi fluida optimum yang ditemukan pada elevasi 500 m.b.s.l. adalah 1529,9 kJ/kg.

    Nilai entalpi fluida uap yang diproduksi adalah 2646,9 kJ/kg.

    9. Daerah dengan entalpi spesifik fluida merentang antara 1400 kJ/kg (entalpi fluida uap

    2415,8 kJ/kg) hingga 1500 kJ/kg (entalpi fluida uap 2515,8 kJ/kg) berada mulai dari area

    antara gunung X dan Gunung Z, lalu meluas ke utara hingga area gunung U dan ke arah

    timur laut.

  • 19

    10. Tujuh titik sumur produksi direkomendasikan pada daerah high permeability di reservoir

    lapangan X dengan laju alir produksi uap diestimasi 15,83 kg/s untuk masing-masing

    sumur.

    11. Skema produksi dengan tujuh sumur produksi baru dapat mengkontribusikan 43,5 MWe

    pada kapasitas terpasang lapangan X.

    Saran

    1. Melakukan meshing dan layering yang lebih terperinci agar menghasilkan model reservoir

    yang lebih detail ke depannya.

    2. Melakukan validasi dengan data sumur pada daerah utara dan timur kaldera (jika ada)

    sehingga model natural state lebih representatif.

    3. Melakukan pemodelan reservoir dengan menggunakan set persamaan keadaan EOS8 atau

    EWASG dari TOUGH2.

    4. Menggunakan data history matching (jika ada) agar pemodelan reservoir bisa mencapai

    tahap validasi model konservatif dan dapat dilakukan forecasting.

    5. Melaksanakan pengeboran sumur-sumur baru (X-11 hingga X-17) menggunakan

    pengeboran multilateral direksional.

    6. Melakukan optimasi numerik multiobjektif dengan parameter optimasi entalpi spesifik,

    permeabilitas dan pH (ukuran keasaman).

    Daftar Referensi

    Atmojo, J. P., Ryuichi, I., Fukuda, M., Daud Y., Sudarman, S. (2001). Numerical Modeling

    Study of Sibayak Geothermal Reservoir North Sumatra, Indonesia. 26th Workshop on

    Geothermal Reservoir Engineering, pp. 1-2.

    Atmojo, J. P., Ryuichi, I., Fukuda, M. & Sudarman, S., (2000). Evaluation of Reservoir

    Characteristic Using Well Data of Sibayak Geothermal Field, North Sumatra, Indonesia.

    Memories of the Faculty of Engineering, Kyushu University, 60(3), pp. 130-142.

    Constantinides, A. & Mostoufi, N. (1999). Numerical Methods for Chemical Engineers with

    MATLAB Applications. New Jersey, Prentice Hall PTR.

    Daud, Y., Atmojo J. P., Sudarman, S. & Ushijima, K., (1999). Reservoir Imaging of the Sibayak

    Geothermal Field, Indonesia using Borehole-to-Surface Resistivity Measurements. s.l.,

    21st New Zealand Geothermal Workshop.

  • 20

    Daud, Y., Sudarman, S. & Ushijima, K. (2001). Imaging Reservoir Permeability of The Sibayak

    Geothermal Field, Indonesia using Geophysical Measurements. California, Stanford

    University Press.

    Edgar, T. F., Himmelblau, D. M. & Lasdon, L. S. (2001). Optimization of Chemical Processes.

    2nd penyunt. Singapore: McGraw-Hill Book Co.

    Grant, M. A. & Bixley, P. F. (2011). Geothermal Reservoir Engineering. Oxford: Elsevier.

    International Energy Agency. (2011). Technology Roadmap: Geothermal Heat and Power -

    Foldout, Paris: International Energy Agency

    KESDM, 2010. Indonesia Energy Outlook 2010, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Energi dan

    Sumber Daya Mineral.

    Pruess, K. (2002). Mathematical Modeling of Fluid Flow and Heat Transfer in Geothermal

    Systems-An Introduction in Five lectures, Earth Sciences Division, Lawrance Berkeley

    National Laboratory, University of California.

    Sigurdsson, H., Houghton, Bruce F., McNutt, Stephen R., Rymer, H., Stix, J. (1999).

    Encyclopedia of Volcanoes. New York: Academic Press.

    Lampiran

    Tabel A.1 Parameter fungsi A dan fungsi B hasil regresi data entalpi spesifik

    Parameter Nilai

    (Fungsi B) Nilai

    (Fungsi A)

    a -66265 -182750

    b -4,472 16,25

    c 66,23 169,9

    d 0,003697 -0,00255

    e -0,001041 -0,00912

    f -0,02454 -0,06348

    g 4,755e-007 2,627e-006

    h -3,651e-006 -4,780e-006

    i 3,128e-006 6,642e-006

    j 3,795e-006 1,070e-005

    k -7,541e-011 -2,830e-010

    l 7,345e-011 -1,436e-010

    m 6,374e-010 1,091e-009

    n -7,297e-010 -1,443e-009

    o -2,137e-010 -7,634e-010

    p 3,992e-015 9,109e-015

    q 1,088e-015 2,144e-014

    r -1,264e-014 -2,036e-014

    s -2,912e-014 -5,340e-014

    t 4,511e-014 9,046e-014

    u 1,128e-015 1,586e-014