surimi_francisca_12.70.0157_e5_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Surimi adalah olahan daging ikan lumat. ada 2 macam surimi yaitu mu-en surimi dan ka-en surimiTRANSCRIPT
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi pada kloter E dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi.
Kelompok Perlakuan WHC (mg H2O) SensorisKekenyalan Aroma
E1 Sukrosa 2,5% 255.928,27 ++ +Polifosfat 0,1%
E2 Sukrosa 2,5% 252.763,71 +++ +Polifosfat 0,1%
E3 Sukrosa 2,5% 212.191,56 ++ ++Polifosfat 0,3%
E4 Sukrosa 5% 298.670,89 +++ ++Polifosfat 0,3%
E5 Sukrosa 5% 262.890,30 ++ +++Polifosfat 0,5%
E6 Sukrosa 5% 216.125,21 +++ +++Polifosfat 0,5%
Keterangan:
Kekenyalan Aroma+ : Tidak kenyal + : Tidak amis++ : Kenyal ++ : Amis+++ : Sangat kenyal +++ : Sangat amis
Pada data di atas, dapat terlihat bahwa penambahan sukrosa 2,5% tekstur pada
kelompok E1 dan kelompok E3 adalah kenyal, sedangkan untuk kelompok E2
teksturnya sangat kenyal. Kelompok E1, E2 aromanya tidak manis, sedangkan
kelompok E3 aromanya amis. Penambahan sukrosa 5% kelompok E4, E5 memiliki
tekstur yang sangat kenyal, sedangkan untuk kelompok E5 memiliki tesktur kenyal.
Kelompok E4 aromanya amis, pada kelompok E5 dan E6 memiliki aroma yang sangat
amis. Semakin banyak penambahan sukrosa, maka nilai WHC semakin kecil, ini
terdapat pada kelompok E6, yaitu 216.125,21 mg.
1
2. PEMBAHASAN
Berdasarkan jurnal Amiza (2012) surimi merupakan daging ikan cincang yang dicuci
dengan tujuan untuk menghilangkan sebagian besar lemak, darah, enzim, dan protein
sarkoplasma yang disimpan pada tempat beku dengan penambahan krioprotektan.
Menurut jurnal Lou (2000 bahwa surimi termasuk produk olahan dari Jepang yang
menggambarkan lumatan daging yang sudah dibersihkan. Salah satu atribut yang paling
penting dari surimi ini salah satunya kemampuannya dalam pembentuk gel yang mana
dipengaruhi oleh spesies ikan, formulasi, dan prosedur pemasakan. Oleh sebab itu,
dalam praktikum ini terdapat pengujian sensoris yang melihat bagaimana tingkat
kekenyalan, kekerasan, serta WHC. Ikan mengandung protein, sehingga kaitannya
dengan pembentukan gel adalah bahwa protein membentuk jaringan gel melalui transisi
dari denaturasi.
Adapun faktor-faktor yang berpengaruh pada mutu surimi, yaitu jenis ikan yang
digunakan, proses pencucian, penambahan bahan tambahan, dan metode pembekuan.
Sebenarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi surimi, bahan mentah ikan yang
disarankan berupa ikan hidup diperairan dingin, jika ikan air tawar tidak sesuai untuk
pembuatan surimi. Elastisitas tekstur dapat dipengaruhi dengan tingkat kesegaran ikan.
Cara meningkatkan elastisitas adalah dengan menambah daging ikan spesies lain,
ditambah gula atau protein nabati. Pada pH 6.5 – 7.0 dan ikan yang berlemak rendah
dapat mempengaruhi kualitas surimi. Lemak yang tinggi dapat mempengaruhi daya
gelatinisasi dan menyebabkan produk menjadi lebih mudah tengik (Sa’nchez-Gonza’les
et al, 2006). Namun, Didalam jurnal dengan judul ‘Development and Physicochemical
Analysis of Fish Ball from Starry Triggerfish (Abalistes Stellatus) Surimi’ menjelaskan
bahwa starry triggerfish adalah jenis ikan yang memiliki protein rendah dengan lemak
tinggi. Secara umum, otot gelap yang sering disebut lemak ikan ini disebabkan karena
kandungan lemak yang tinggi.
Proses pembuatan surimi pada umumnya meliputi penerimaan bahan baku, penyiangan
dan pencucian, pemisahan daging terhadap tulang dan kulit, leaching, straining,
2
3
pengepresan, penambahan gula dan sodium polyphosphate, pencetakan dan pembekuan,
dan pengemasan. Biasanya, bahan baku yang tepat untuk digunakan sebagai bahan baku
pembuatan surimi adalah ikan yang memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik
(Dahar, 2003). Berdasarkan teori tersebut, cara kerja pada prakrtikum ini adalah ikan di
cuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya. Kemudian daging ikan di fillet
dengan cara membuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut dan kulit. Daging putih
diambil sebanyak 100 gram. Pada praktikum kali ini, ikan yang digunakan sebagai
bahan utama adalah ikan bawal. Ikan bawal dipilih sebagai bahan utama karena
dagingnya yang berwarna putih. Menurut Flick et al. (1990), ikan yang dipilih sebagai
bahan baku surimi bukan yang dagingnya berwarna merah karena memiliki beberapa
kendala. Salah satunya karena penampakan daging merah kurang disukai sebab warna
daging merah akan berubah menjadi lebih gelap selama penyimpanan dan memiliki bau
yang lebih amis (Spinelli dan Dassow, 1982). Adapun pernyataan bahwa kekuatan gel
yang rendah didapatkan pada daging berwarna merah (Amis, 2012).
Kemudian daging ikan digiling hingga halus, selama penggilingan bisa ditambah
dengan es batu agar suhu tetap rendah. Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3
kali. Lalu, disaring dengan menggunakan kain saring. Sesuai dengan jurnal yang
berjudul ‘Technology for production of surimi powder and potential of applications’
bahwa teknik pencucian yang digunakan disini menjadi kunci penting dalam
menentukan kualitas surimi. Daging ikan giling dengan cepat dicuci dengan air dingin
(5˚-10˚C), dimana air suhu rendah membantu mempertahankan kesegaran bahan baku.
Proses ini akan membantu menghilangkan materi yang tidak diinginkan seperti darah,
pigmen, dan kotoran lainnya, sehingga meninggalkan myofibril protein. Jumlah
maksimum myofibril protein ini mempengaruhi kemampuan pembentuk gel surimi.
Pencucian berulang akan akan meningkatkan sifat hidrofilik ikan. Dengan cara ini maka
warna dan bau ikan akan lebih baik, disamping kandungan aktomiosinnya meningkat
sehingga memperbaiki sifat elastisitas produk yang dihasilkan. Menurut Irianto (1990),
fungsi pencucian adalah untuk memperbaiki bau dan warna, memisahkan darah, urea,
protein larut air, bahan organik, enzim. Air yang digunakan untuk mencuci juga harus
diperhatikan, karena juga mencuci dengan air yang mengandung kesadahan tinggi akan
4
dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila
menggunakan air laut atau air garam akan kehilangan proteinnya semakin tinggi.
Faktor yang juga menentukan kualitas surimi adalah kesegaran ikan, dimana
penanganan ikan segar menjadi faktor yang sangat penting sehingga perlu
penyimpannya disuhu rendah untuk produk surimi. Hal ini bertujuan untuk mencegah
penyusutan dan denaturasi myofibrial protein, sehingga penanganan pasca panen yang
tepat sangat diperlukan.
Surimi memiliki 2 tipe yang biasa diproduksi, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi. Mu-
en surimi sendiri merupakan produk surimi yang dibuat tanpa menggunakan
penambahan garam, sedangkan untuk ka-en surimi dibuat dengan menggunakan garam
pada konsentrasi tertentu (Agustiani et al., 2006). Pada praktikum ini yang dilakukan
adalah pembuatan surimi dengan tipe ka-en surimi, karena diberi penambahan garam
pada konsetrasi 2,5%. Bila konsentrasinya lebih dari 12% maka miofibril akan
terhidrasi dan menyebabkan salting out, namun konsentrasi garam yang diberikan
kurang dari 2% maka miofibril tidak dapat larut. Secara umum, konsentrasi garam
untuk pembuatan surimi adalah 2-3% (Tan et al.,1988).
Pada pembuatan surimi dalam praktikum ini, semua kelompok dilakukan penambahan
garam sebesar 2,5% garam dari gram berat bahan. Kelompok E1,2 dan 3 ditambah
sukrosa 2,5% sedangkan kelompok E4,5 dan 6 ditambah sukrosa 5%. Selain juga juga
ditambah polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1,2); sebanyak 0,3% (kelompok 4,5)
sedangkan sebanyak 0,5% (kelompok 5,6). Tujuan dengan diberikannya bahan
tambahan untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan
keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa surimi (Winarno et al. 1980).
Bahan tambahan yang praktikan tambahkan dalam pembuatan surimi yaitu:
(1) Garam
Garam berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan sehingga dapat dibentuk
gel yang kuat. Selain itu, garam dalam takaran yang tepat ditambahkan dengan tujuan
sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah aroma (Winarno et al., 1980).
5
(2) Polifosfat
Polifosfat yang digunakan dalam praktikum ini adalah natrium tripolifosfat (STTP).
Aktomiosin berikatan dengan miosin, yang kemuidan memisahkan polifosfat.
Kemudian miosin dan poliposfat akan berikatan dengan air lalu menahan mineral dan
vitamin. Ketika pemasakan, polifosfat membantu menahan air dengan cara menutup pri-
pori mikroskopis dan kapiler, sedangkan miosin akan membentuk gel (Haryati, 2001).
Pada praktikum ini, penambahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai
kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, khususnya sifat elastisitas dan kelembutan.
Polifosfat juga berfungsi untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memberikan sifat
lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Kadar polifosfat yang biasanya
ditambahkan adalah sebanyak 0,2 %-0,3 % dalam bentuk garam natrium tripolifosfat,
namun pada praktikum ini, jumlah polifosfat yang ditambahkan yaitu 0,1%, 0,3%, dan
0,5% (Peranginangin et al. 1999).
(3) Bahan cryoprotectant
Cryoprotectant merupakan bahan tambahan pada pembuatan surimi dengan tidak
langsung diolah menjadi produk yang lebih lanjut, namun harus disimpan pada
penyimpanan beku dengan waktu yang lama. Cryoprotectant dapat menginaktifkan
kondensasi dengan mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Cryoprotectant pada
surimi berperan dalam menghambat dan meminimalkan denaturasi protein selama
pembekuan dan penyimpanan beku. Cryoprotectant dapat mencegah pertukaran molekul
air dari protein, meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, dan
menstabilkan protein (Zhou et al. 2006).
Menurut jurnal ‘Effect of Washing Cycle and Salt Addition on the Properties of Gel
from Silver Catfish (Pangasius Sp.) Surimi’ bahwa jenis garam dan tingkat konsentrasi
yang berbeda akan mempengaruhi optimalisasi pembentukan gel. Natrium klorida
adalah yang umumnya digunakan untuk mendapatkan pembentukan gel yang optimal
dari produk surimi. Selain itu, adanya senyawa fosfat juga dapat mempengaruhi
pembentukan gel surimi. Natrium klorida, pyrophosphate dan kalsium akan membantu
meningkatkan pembentukan gel yang baik.
6
Tahap selanjutnya adalah dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Dalam pembekuan
ini mutu surimi akan dipengaruhi oleh suhu, bila suhu tidak tepat, maka mutu surimi
tidak dapat dipertahankan. Ini sesuai teori Winarno (2004), bahwa pembekuan suhu
rendah yang tidak tepat dapat menyebabkan sel-sel menjadi pecah, sehingga sel akan
mengeluarkan cairannya. Hal tersebut akan membuat warna bahan menjadi gelap
sehingga yang kemudian terjadi adalah pembusukan dan pelunakan. Hal ini juga sesuai
dengan jurnal ‘Effect of medium temperature setting on gelling characteristics of surimi
from some tropical fish’ bahwa penggontrolan suhu rendah pada produk surimi sangat
diperlukan sebab hal ini nantinya akan dapat berpengaruh pada tekstur dan kemampuan
pengikatan airnya. Suhu disini sangat penting dan diperhatikan karena akan berkaitan
dengan perubahan struktur dan degradasi protein. Sehingga, apabila suhu tidak tepat
maka akan menghasilkan tekstur yang kurang baik pada surimi. Pada penyimpanan
beku terjadi proses denaturasi protein miofibril. Hal ini disebabkan karena kemampuan
mifibril dalam mengikat air dan garam akan berkurang, akibatnya kekuatan gel yang
dihasilkan semakin rendah. Oleh sebab itu, perlu ditambah cryoprotectant untuk tetap
mempertahankan kualitas surimi. Tekstur gel biasanya akan semakin baik apabila daya
serap air semakin baik pula (Chen, 1995).
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa surimi pada kelompok E1 dan
E2 dengan diberi sukrosa sebanyak 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1% memiliki
tekstur kenyal (E1) dan sangat kenyal (E2) dengan aroma tidak amis dengan nilai WHC
pada kelompok E1 sebesar 255.928,27 mg dan kelompok E2 sebesar 252.763,71 mg.
Pada kelompok E3 dengan diberi sukrosa sebanyak 2,5% + garam 2,5% + polifosfat
0,3% memiliki tekstur kenyal dengan aroma amis dengan nilai WHC pada kelompok E3
sebesar 212.191,56 mg. Pada kelompok E4 dengan diberi sukrosa sebanyak 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% memiliki tekstur sangat kenyal dengan aroma amis dengan nilai
WHC pada kelompok E4 sebesar 298.670,89 mg. Pada kelompok E5 dan E6 dengan
diberi sukrosa sebanyak 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5% memiliki tekstur kenyal
(E5) dan sangat kenyal (E6) dengan aroma sangat amis dengan nilai WHC pada
kelompok E5 sebesar 262.890,30 mg dan kelompok E6 sebesar 216.125,21 mg.
7
Tujuan dilakukannya pengujian WHC yaitu untuk mengetahui besarnya kemampuan
bahan untuk mengikat molekul air. Interaksi antara protein dengan air, terutama daya
ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel. Selama penyimpanan, surimi rentan
terhadap proses denaturasi protein. Konsentrasi garam mineral meningkat dan substansi
organik terlarut pada fase sebelum pembekuan di dalam sel menyebabkan denaturasi
protein pada surimi. Ketika sel membeku, konsentrasi garam mineral menjadi sangat
tinggi sehingga menyebabkan terjadinya pemisahan dan denaturasi protein (Djazuli, N
et al, 2009).
Proses denaturasi protein dapat dihambat oleh sukrosa (gula). Kelompok hidroksi yang
dimiliki oleh sukrosa akan berikatan dengan ikatan hidrogen. Peristiwa tersebut akan
tegangan permukaan ajan meningkat dan mencegah molekul air yang keluar dari
protein, sehingga stabilitas protein tetap terjaga (Whistler et al. 1985). Denaturasi
protein akan mengakibatkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat
hidrofobik terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair dan akan menghasilkan
energi bebas positif yang akan meningkatkan permukaan protein dengan sifat kurang
stabil (Wong 1989; Hultin 1985).
Sukrosa berfungsi untuk melindungi protein dari proses denaturasi protein selama
pembekuan. Penambahan sukrosa juga akan membantu meningkatkan elastisitas produk
yang dihasilkan dan memelihara tekstur daging produk selama proses pembekuan
(Schwarz dan Lee, 1988).
Djazuli, N et al. (2009) yang mengatakan bahwa nilai WHC berhubungan erat dengan
kekenyalan. Berdasarkan Sa’nchez-Gonza’les et al (2006), hal ini dikarenakan proses
gelasi pada surimi dapat terjadi karena protein miofibril yang membentuk jaringan tiga
dimensi, dimana di dalam jaringan ini terperangkap air. Semakin banyak air yang
terperangkap, kekuatan gel yang dihasilkan akan semakin maksimal dan dapat diperoleh
kekenyalan maksimal. Menurut Fennema (1985), hal ini disebabkan oleh fungsi sukrosa
sendiri sebagai krioprotektan dan fungsi dari STTP itu sendiri. Peranginangin, et al.
(1999) menyatakan bahwa polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding
capacity) serta memberikan sifat yang lebih lembut pada produk olahan surimi
8
Sehingga, penambahan STTP dengan konsentrasi yang semakin meningkat juga
menyebabkan nilai WHC yang semakin tinggi dan memeberikan tekstur surimi yang
semakin kenyal. Sedangkan, pada penambahan sukrosa yang semakin tinggi juga akan
menyebabkan kenaikan nilai WHC namun menurunkan nilai hardness pada produk
surimi.
Dalam jurnal Chuapoehuk (2009) menyatakan bahwa enzim bromelin merupakan enzim
yang sering digunakan dalam industri pangan. Sesuai dengan praktikum ini, bagian dari
ikan (limbah) bawal akan dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan kecap ikan.
Dengan bantuan enzim bromelin yang dipengaruhi dengan suhu. Bila suhu yang
digunakan tinggi maka dapat menghambat reaksi, namun sebaliknya maka akan
mempercapat reaksi.
Berdasarkan jurnal Reinheimar (2010) bahwa kandungan lemak menjadi salah satu titik
kritis dalam kekuatan gel. Bila kekuatan gel rendah, maka kekuatan gel dapat
meningkat. Sebaliknya, bila kandungan lemak tinggi, maka kekuatam gel akan semakin
menurun.
3. KESIMPULAN
Surimi merupakan protein miofibril ikan yang telah distabilkan dan diproduksi
melalui tahapan proses dimana dilakukan secara kontinyu dan dapat diolah menjadi
berbagai macam produk lanjutan.
Garam berfungsi sebagai penambah aroma dan berperan dalam pembentukan gel.
Pembekuan dengan suhu yang tidak tepat dapat menimbulkan sel-sel menjadi pecah
sehingga sel akana mengeluarkan cairan, warna bahan menjadi gelap, terjadi
pembusukan dan pelunakan
Sukrosa berfungsi untuk melindugi protein dari denaturasi protein selama
pembekuan, dan membantu meningkatkan elastisitas produk yang dihasilkan, dan
memelihara tekstur daging produk selama proses pembekuan.
STPP (Sodium tripolypospat) berguna untuk meningkatkan elastisitas produk
surimi.
Adanya peningkatan jumlah sukrosa yang ditambahkan akan menunjukkan hardness
yang semakin menurun, namun disisi lain akan menunjukkan nilai WHC yang
semakin meningkat.
Penambahan polyphospat dilakukan untuk meningkatkan pH yang akan
meningkatkan pembentukan gel, kekuatan gel, dan kepadatan tekstur.
Penambahan garam bertujuan untuk proses pembentukan gel secara optimal.
Penambahan polifosfat akan menunjukkan peningkatan nilai WHC
Penambahan STTP dengan konsentrasi yang semakin meningkat dapat memberikan
tekstur surimi yang semakin kenyal.
Semarang, 16 September 2014Praktikan, Asisten dosen
Francisca Sari KD Dea Nathania(12.70.0157)
9
4. DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press, Semarang.
Amiza, M.A. & K. Nur Ain. (2012). Effect of Washing Cycle and Salt Addition on the Properties of Gel from Silver Catfish (Pangasius Sp.) Surimi. UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management: e-ISBN 978-967-5366-93-2.
Anonim, 2010b. Sumiri, Suatu Alternatif Pengolahan Ikan. Ebookpangan.com. Diakses tanggal 9 September 2014.
Benjakul, S.; Chakkawat C.; Wonnop V. (2008). Effect of medium temperature setting on gelling characteristics of surimi from some tropical fish. Food Chemistry 82 (2008) 567–574
Chen NH. 1995. Thermal stability and gel-forming ability af shark muscle as related to ionic strength. Journal Food Science 60(6): 1237-1240.
Dahar, D. (2003). Pengembangan Produksi Hasil Perikanan. Sidoarjo.
Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan “By-Catch” Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.
Flic k GJ, Barna MA, Enriquez LG. 1990. Processing finfish. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.
Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
H, Nurul; Aminah A.; & Abdul S. B. (2001). Functional properties of surimi powder from three Malaysian marine fish. International Journal of Food Science and Technology (36):401-406.
Hultin HO. (1985). Characteristic of muscle tissue. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc.
Irianto B. 1990. Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikan ikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35 – 39.
10
11
Izzwan,dkk. 2012. Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from
Starry Triggerfish (Abalistes Stellatus) Surimi. International Annual Symposium on
Sustainability Science and Management.Malaysia
Lou, X.; C. Wang; Y. L. Xiong; B. Wang; & S. D. Mims. (2000). Gelation Characteristics of Paddlefish (Polyodon spathula) Surimi Under Different Heating Conditions. Journal of Food Science 65(3).
P, Santana; Huda, N; & Yang, T. A. (2012). Technology for production of surimi powder and potential of applications. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, dan Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.
Reinheimar, dkk. 2010. Quality Characteristics Of Surimi Made From Sabalo
(Prochilodus Platensis) As Affected By Water Washing Composition. World Congress
& Exhibition ENGINEERING 2010-ARGENTINA
Sa’nchez-Gonza’les, Ignacio; Pedro Carmona; Pilar Moreno; Javier Border as; Isabel Sa’nchez-Alonso; Arantxa Rodri’Guez-Casado; Mercedes Careche. (2006). Protein and Water Structural Changes in Fish Surimi During Gelation as Recealed by Isotopic H/D Exchange and Raman Spectroscopy. Madrid, Spain.
Sangjindavong Mathana, dkk. 2009. Using Pineapple to Produce Fish Sauce from
Surimi Waste. Department of Fishery Products, Faculty of Fisheries, Kasetsart
University, Bangkok 10900, Thailand.
Schwarz MD, Lee CM. 1988. Comparison of the thermostability of red hake and alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 – 1351.
Spinelli J, Dassow JA. 1982. Fish proteins: their modification and potential uses in the food industry. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Connecticut: AVI Publishing Company.
Winarno, F.G., 2004. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5. LAMPIRAN
5.1. Lampiran Perhitungan
LA = 13
a(ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + hn)
LB = 13
a(ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 +hn)
Luas area basah = LA - LB
Kandungan air bebas (mg H2O)
mg H 2O=areabasah0,0948
−8,0
Perhitungan E1
Luas Atas
LA=13
x 45 x(95+(4 x 182)+(2 x 192)+(4 x 182)+95)
¿15 x (95+728+384+728+95)
¿ 30.450 mm2
Luas Bawah
LB=13
x 45 x (95+(4 x26)+(2 x 13)+(4 x23)+95)
¿15 x (95+104+26+92+95)
¿ 6.180 mm2
Luas Area Basah = 30.450 – 6.180
= 24.270 mm2
Mg H2O ¿ 24.270−8,00,0948
¿ 255.928,27
Perhitungan E2
Luas Atas
LA=13
x 45 x(113+(4 x 173)+(2 x184)+(4 x 174)+135)
¿15 x (113+692+368+696+135)
12
13
¿ 30.060 mm2
Luas Bawah
LB=13
x 45 x (113+(4 x15)+(2x 3)+(4 x23)+135)
¿15 x (113+60+6+92+95)
¿ 6.090 mm2
Luas Area Basah = 30.060 – 6.090
= 23.970 mm2
Mg H2O ¿23.970−8,0
0,0948
¿ 252.763,71
Perhitungan E3
Luas Atas
LA=13
x39,5 x (78+(4 x 163)+(2 x178)+(4 x 16)+96)
¿13,17 x (78+652+356+676+96)
¿ 24.469,86 mm2
Luas Bawah
LB=13
x 39,5 x (78+(4 x19)+(2 x 9)+(4 x15,5)+96)
¿13,17 x (78+76+18+62+96)
¿ 4.346,1 mm2
Luas Area Basah 24.469,86 – 4.346,1
= 20.123,76 mm2
Mg H2O ¿ 20.123,76−8,00,0948
¿ 212.191,56
Perhitungan E4
Luas Atas
LA=13
x51 x (105+(4 x 188)+(2 x199)+(4 x183)+97)
¿17 x (105+752+398+732+97)
14
¿ 35.428 mm2
Luas Bawah
LB=13
x 51 x (105+(4 x15)+(2x 12)+(4 x 33)+97)
¿17 x (105+60+24+132+97)
¿ 7.106 mm2
Luas Area Basah = 35.428 – 7.106
= 28.322 mm2
Mg H2O ¿ 28.322−8,00,0948
¿ 298.670,89
Perhitungan E5
Luas Atas
LA=13
x 45 x(97+(4 x 180)+(2 x193)+(4 x185)+104)
¿15 x (97+720+386+740+104)
¿ 30.705 mm2
Luas Bawah
LB=13
x 45 x (97+(4 x21)+(2 x 8)+(4 x21)+104)
¿15 x (97+84+16+84+104)
¿ 5.775 mm2
Luas Area Basah = 30.705 – 5.775
= 24.930 mm2
Mg H2O ¿ 24.930−8,00,0948
¿ 262.890,30
15
Perhitungan E6
Luas Atas
LA=13
x 43 x(85+(4 x162)+(2 x 175)+(4 x157)+85)
¿14,33 x (85+648+350+628+85)
¿ 25.742,67 mm2
Luas Bawah
LB=13
x 43 x (85+(4 x22)+(2 x8)+(4 x 23)+85)
¿17 x (85+88+16+92+85)
¿ 5.246 mm2
Luas Area Basah = 25.742,67 – 5.246
= 20.496,67 mm2
Mg H2O ¿ 20.496,67−8,00,0948
¿ 216.125,21
5.2. Lampiran Viper
5.3. Lampiran Diagram alir
5.4. Laporan Sementara
16
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Francisca Sari Kusuma Dewi
NIM : 12.70.0157
Kelompok : E5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2014