surimi_aryacahyaka_13.70.0049_a_unika soegijapranata

35
Acara I SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama : Anselmus Anggi Aryacahyaka NIM : 13.70.0049 Kelompok A1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Upload: praktikumhasillaut

Post on 10-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Mengetahui proses pengolahan produk pangan dari bahan baku hasil laut.

TRANSCRIPT

Acara I

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :

Nama : Anselmus Anggi Aryacahyaka

NIM : 13.70.0049

Kelompok A1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,

polifosfat, es batu, pisau, kain saring, penggiling daging, frezeer.

1.2. Metode

1

Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya

Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.

Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah.

Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kain saring.

Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5% (kelompok A3, A4, dan A5)

2

Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.

Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer

Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan menggunakan alat penekan (presser)

Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).

3

Dilakukan uji sensoris pada surimi yang meliputi kekenyalan dan aroma.

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan mengenai uji WHC dan uji sensoris surimi dengan berbagai

perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Uji WHC serta Uji Sensoris Surimi

Kelompok PerlakuanHardness

(gf)WHC

(mg H2O)Sensoris

Kekenyalan Aroma

A1Sukrosa 2,5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,1%- 337.468,35 +++ +++

A2Sukrosa 2,5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,3%361,64 207.510,55 ++ ++

A3Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,3%271,72 246.118,14 ++ ++

A4Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5%105,85 237.573,84 ++ ++

A5Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5%143,79 210.042,19 ++ ++

Keterangan:Kekenyalan Aroma+ : Tidak kenyal + : Tidak amis++ : Kenyal ++ : Amis+++ : Sangat Kenyal +++ : Sangat amis

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 1, diperoleh bahwa nilai hardness paling

tinggi pada kelompok A2 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%

serta polifenol 0,3% dan paling rendah pada kelompok A4 dengan perlakuan

penambahan sukrosa 5%, garam 2,5% serta polifenol 0,5%. Sedangkan nilai WHC

paling tinggi pada kelompok A1 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam

2,5% serta polifenol 0,1% dan paling rendah pada kelompok A2 dengan perlakuan

penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5% serta polifenol 0,3% dan untuk tingkat

kekenyalan dan aroma, rata-rata dari semua kelompok mendapatkan hasil dengan wujud

yang kenyal dan aroma yang amis, tetapi pada kelompok A1 mendapatkan hasil yang

berbeda dengan wujud yang sangat kenyal dan aroma yang sangat amis.

4

3. PEMBAHASAN

Ikan merupakan salah satu sumber bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi

namun jenis komoditi yang mudah rusak (perishable food). Menurut Moeljanto (1992),

untuk mempertahankan kesegaran dan mutu ikan sebaik dan selama mungkin, maka

dilakukan pengolahan dan pengawetan ikan yang bertujuan untuk menghambat atau

menghentikan kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan

pembusukan. Oleh karena itu maka dalam pengolahannya ikan dibuat menjadi produk

setengah jadi atau yang disebut surimi. Menurut Tanaka (2001), surimi merupakan

olahan dari daging ikan yang telah dihaluskan dan mengalami proses pencucian,

pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengemasan dan berakhir dengan

pembekuan. Surimi merupakan produk yang elastis serta kenyal karena mengandung

konsentrasi protein miofibril yang sangat tinggi (Agustiani,et.al, 2006). Menurut Sonu

(1986), surimi merupakan olahan dari daging ikan lumat yang telah dipisahkan dari

bagian ikan lainnya. Sedangkan menurut Afrianto & Liviawaty (1989), surimi

merupakan olahan hasil laut setengah jadi berupa gilingan daging ikan. Dalam proses

pembuatan surimi, daging ikan dicuci menggunakan larutan garam kemudian ditambah

bahan tambahan pangan lalu dikemas serta dibekukan (Zamry & Etty, 2012). Surimi

dibedakan menjadi dua jenis yaitu mu-en dan ka-en. Jenis mu-en merupakan surimi

tanpa adanya penambahan garam sedangkan ka-en merupakan surimi dengan adanya

penambahan garam, selain itu surimi yang tidak mengalami proses pembekuan disebut

dengan Na-ma (Park et al. 1996).

Pada praktikum ini bahan utama yang digunakan adalah ikan patin. Hal yang pertama

dilakukan yaitu ikan dicuci dengan air mengalir dan ditimbang beratnya. Kemudian

daging ikan difillet dengan cara membuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut

dan kulit, lalu bagian daging putihnya diambil sebanyak 100 gram. Menurut Bourtoom,

T., et al., (2009) dalam jurnal berjudul “Recovery and Characterization of Protein

Precipitated from Surimi Wash-Water” membahas bahwa protein yang terkandung

dalam limbah cair yang berasal dari porses pencucian surimi dapat digunakan kembali

menjadi pengemulsi, penstabil, dan edible film pada industri pangan. Pemilihan bahan

baku untuk pengolahan surimi perlu diperhatikan sebab bahan baku yang digunakan

5

6

harus memenuhi syarat mutu seperti bahan baku dalam keadaan bersih, tidak

menimbulkan bau busuk, serta tidak berbahaya bila dikonsumsi (Suzuki, 1981). Dalam

proses pengolahan surimi, ikan dipisahkan dari bagian lainnya seperti kepala, sirip,

sisik, serta isi perut ikan harus dihilangkan dan dicuci hingga bersih (Peranginangin,

1999). Proses pencucian merupakan tahapan yang perlu dilakukan karena dalam

pengolahan surimi karena untuk mencegah protein miofibril terdenaturasi selama

pembekuan (Matsumoto, 1992). Menurut Lanier & Lee (1992), proses pencucian daging

ikan umumnya dilakukan dengan menggunakan air dingin dengan suhu ± 5oC – 10oC.

Menurut Nopianti (2011), proses pencucian ikan bertujuan untuk menghilangkan bau

amis dan dapat menentukan kualitas akhir produk surimi karena meningkatkan

konsentrasi protein miofibril serta memperbaiki kemampuan pembentukan gel. Menurut

Miyake et al., (1985), isi perut ikan dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel

karena mengandung protease. Kandungan protein miofibril pada ikan dapat

mempengaruhi kemampuan pembentukan gel. Semakin tinggi kandungan protein

miofibril maka kemampuan pembentukan gel akan semakin baik (Maria et al., 2010).

Menurut Kudre, T., Benjakul, S., (2013) dalam jurnal berjudul ”Effect of Legume Seed

Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Serdinella

albella), legume dapat mencegah kerusakan protein pada produk surimi seperti kacang

hijau dan kacang hitam. Hasil protein yang diisolasi dari legume mengandung trypsin

inhibitor yang dapat menghambat aktivitas protease pada jaringan ikan serta dapat

meningkatkan gel pada surimi.

Setelah itu, daging ikan digiling hingga halus dan ditambahkan es batu untuk

mempertahankan suhu tetap rendah selama penggilingan. Menurut Buckle et al. (1978),

proses penggillingan daging ikan bertujuan supaya daging lebih lembut sehingga

memudahkan untuk proses pengolahan selanjutnya dan penambahan es batu bertujuan

untuk untuk menjaga daging ikan tetap segar (Anonim, 1987). Sedangkan menurut

Zamry & Etty, 2012, Koswara et al., (2001), penambahan es pada proses penggilingan

daging ikan supaya surimi yang dihasilkan memiliki kekuatan gel yang baik.

7

Kemudian daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring menggunakan

kain saring. Selanjutnya, ditambahkan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5%

(3,4,5) lalu dtambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok) dan polifosfat

sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2,3); 0,5% (kelompok 4,5). Menurut

Wiguna (2005), tujuan dari penggunaan sukrosa adalah untuk menghambat proses

denaturasi protein pada produk surimi. Sukrosa memiliki peran sebagai anti denaturasi

protein selama proses pembekuan (cryoprotectant) (Zamry & Etty, 2012). Sedangkan

tujuan dari penggunaan garam adalah untuk membentuk gel yang fleksibel dan elastis

pada produk surimi serta dapat mempercepat pengeluaran air sehingga surimi tidak

cepat busuk dan tahan lama (Roussel dan Cheftel, 1988). Sedangkan menurut Suzuki

(1981), dalam pembentukan gel yang kuat penambahan garam sangat penting karena

dapat melepaskan miosin dari serat-serat ikan. Benjakul et al., (2008), menambahkan

bahwa garam memiliki fungsi sebagai pelarut protein miofibril supaya miosin dari serat-

serat ikan dapat terlepas. Protein miofibril yang terlarut dapat mengakibatkan miosin

mudah berikatan dengan aktin sehingga membentuk aktomiosin yang akan berperan

dalam pembentukan gel. Jumlah penggunaan garam perlu diperhatikan, karena jika

terlalu banyak dapat menyebabkan denaturasi protein, tetapi jika terlalu sedikit akan

menyebabkan tekstur yang dihasilkan kurang baik karena ekstraksi protein aktomiosin

kurang sempurna (Wilson, 1981). Umumnya konsentrasi garam digunakan untuk

membuat surimi sekitar 2% hingga 3% (Shimizu et al., 1992). Sedangkan tujuan dari

penggunaan polifosfat adalah untuk meningkatkan daya ikat air (Suzuki, 1981).

Menurut Shaviklo et al. (2010), tujuan penambahan polifosfat adalah untuk

meningkatkan efek cryoprotectant, karena polifosfat dapat memberi efek buffer pada

pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat ion logam.

Kemudian dimasukan kedalam wadah dan dibekukan dalam freezer selama 1 malam.

Proses pembekuan dalam pengolahan surimi sangat penting karena surimi merupakan

produk olahan setengah jadi yang mudah mengalami kerusakan, oleh sebab itu perlu

adanya tahap pembekuan untuk mempertahankan kualitas surimi. Sebelum dibekukan,

surimi harus dikemas dengan sebuah wadah plastik bening. Menurut Anonim (1987),

tujuan dari pengemasan dengan wadah plastik tertutup selama penyimpanan adalah

untuk mencegah terjadinya kontak dengan udara dan jenis kemasan yang sesuai untuk

8

produk surimi adalah plastik jenis PE (Polyethylene). Setelah itu, surimi dithawing serta

diukur hardness, WHC, dan kualitas sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.

Menurut Lee (1984), surimi perlu melalui proses thawing sebelum diolah lebih lanjut

dengan cara membilas plastik bening berisi surimi di bawah air mengalir. Hal – hal

yang diamati meliputi nilai WHC (Water Holding Capacaity), aroma, serta tekstur atau

kekenyalan.

Menurut Ismail, I., et al., (2011) dalam jurnal berjudul ”Surimi-like Material from

Poultry Meat and its Potential as a Surimi Replacer”, bahan baku yang digunakan

penulis dalam pengolahan surimi adalah yang berasal dari produk poultry seperti daging

ayam, daging bebek, dan lainnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh, produk surimi dari

daging ayam memiliki kekuatan gel yang tinggi. Kandungan lemak dan asam lemak

jenuh pada produk surimi yang diolah dari bahan baku poultry lebih rendah dibanding

red meat seperti daging sapi dan daging babi sehingga dapat dikembangkan menjadi

surimi replacer.

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 1, dapat dilihat bahwa pada kelompok A1

dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5% serta polifenol 0,1%

menghasilkan nilai WHC sebesar 337.468,35 mg H2O dengan tingkat kekenyalan yaitu

sangat kenyal serta tingkat aroma yang sangat amis, tetapi untuk nilai hardness tidak

teridentifikasi. Pada kelompok A2 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam

2,5% serta polifenol 0,3% menghasilkan nilai hardness sebesar 361,64 gf, nilai WHC

sebesar 207.510,55 mg H2O dengan tingkat kekenyalan yaitu kenyal serta tingkat aroma

yang amis. Pada kelompok A3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%

serta polifenol 0,3% menghasilkan nilai hardness sebesar 271,72 gf, nilai WHC sebesar

246.118,14 mg H2O dengan tingkat kekenyalan yaitu kenyal serta tingkat aroma yang

amis. Pada kelompok A4 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5% serta

polifenol 0,5% menghasilkan nilai hardness sebesar 105,85 gf, nilai WHC sebesar

237.573,84 mg H2O dengan tingkat kekenyalan yaitu kenyal serta tingkat aroma yang

amis. Pada kelompok A5 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5% serta

polifenol 0,5% menghasilkan nilai hardness sebesar 143,79 gf, nilai WHC sebesar

9

210.042,19 mg H2O dengan tingkat kekenyalan yaitu kenyal serta tingkat aroma yang

amis.

Dari hasil diatas diperoleh bahwa nilai hardness paling tinggi pada kelompok A2

dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5% serta polifenol 0,3% dan

paling rendah pada kelompok A4 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam

2,5% serta polifenol 0,5%. Sedangkan nilai WHC paling tinggi pada kelompok A1

dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5% serta polifenol 0,1% dan

paling rendah pada kelompok A2 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam

2,5% serta polifenol 0,3%. Bila ditinjau dari nilai hardness, peningkatan konsentrasi

sukrosa yang digunakan menunjukkan hardness yang semakin menurun, hal tersebut

sesuai dengan pernyataan dari Fennema (1985), bahwa sukrosa memiliki gugus

polihidroksi yang ikatan hidrogennya dapat bereaksi dengan molekul air sehingga

meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul air dari protein

dan juga menjaga stabilitas protein sehingga tekstur tetap elastis. Tetapi pada kelompok

A1 tidak menunjukan adanya nilai hardness karena tekstur yang dihasilkan agak

lembut, hal ini mungkin disebabkan karena kandungan air pada produk surimi masih

banyak akibat proses penyaringan yang kurang sempurna. Bila dilihat dari nilai WHC,

hasil tersebut tidak sesuai dengan teori Shaviko et al. (2010), yang mengatakan bahwa

penambahan sukrosa dan garam dapat meningkatkan nilai WHC (Water Holding

Capacaity), semakin besar konsentrasi sukrosa dan garam maka nilai WHC akan

semakin meningkat dan Suzuki (1981), menambahakan bahwa penambahan polifosfat

berfungsi untuk meningkatan daya ikat air dan pH yang dapat mempengaruhi nilai

WHC, semakin besar penambahan konsentrasi polifosfat maka WHC juga akan semakin

besar. Seharusnya nilai WHC terendah terdapat pada kelompok A1 dan A2 dengan

perlakuan penambahan konsentrasi sukrosa, garam serta polifosfat paling kecil, namun

kelompok A1 mendapat nilai WHC tertinggi sebesar 337.468,35 mg H2O. Tetapi hasil

dari kelompok A2 sesuai dengan pernyataan dari Shaviko et al. (2010) karena mendapat

nilai WHC terendah dengan perlakuan yang sama dengan kelompok A1. Semakin

rendah nilai WHC, menunjukan bahwa kualitas gel yang dihasilkan rendah sehingga

menurunkan kemampuan dalam mengikat air (Maria et al., 2010). Menurut Fennema

(1985), sukrosa memiliki kemampuan mengikat air sehingga dengan konsentrasi

10

sukrosa yang tinggi maka akan dihasilkan nilai WHC yang tinggi. Perbedaan hasil

percobaan dengan pernyataan diatas disebabkan karena selama melakukan setiap proses

kurang cermat sehingga dapat mempengaruhi hasil akhir dan ketidaktepatan dalam

menambahkan konsentrasi sukrosa dan garam sehingga mendapatkan nilai WHC yang

tidak sesuai.

Menurut Yiin, T.A., et al., (2014) dalam jurnal berjudul “Effect of Fat Extraction

Treatment on The Physicochemical Properties of Duck Feet Collagen and Its

Application in Surimi”, Untuk meningkatkan kekuatan gel pada surimi dapat digunakan

kolagen yang berasal dari kaki bebek. Kolagen berfungsi untuk mereduksi cooking loss

dan mempertahankan hardness dari produk. Selain itu, penambhan kolagen juga dapat

meningkatkan warna dari produk.

Berdasarkan tingkat kekenyalan dan aroma, rata-rata hasil setiap kelompok memiliki

wujud yang kenyal dan aroma yang amis, tetapi pada kelompok A1 diperoleh hasil yang

berbeda dengan wujud yang sangat kenyal dan aroma yang sangat amis. Menurut

Benjakul et al., (2008), kekenyalan pada produk surimi merupakan akibat dari tingginya

konsentrasi protein miofibril yang terkandung didalamnya. Hasil tersebut tidak sesuai

dengan pernyataan dari Nopianti (2011), bahwa penambahan polifosfat sebanyak 0,5%

akan menghasilkan kekuatan gel yang tinggi, sedangkan kekuatan gel optimal diperoleh

dengan penambahan polifosfat sebanyak 0,3%. Seharusnya kelompok A4 dan A5

memiliki tingkat kekenyalan yang paling kenyal sebab konsentrasi polifosfat yang

digunakan paling besar. Ketidaksesuaian ini terjadi karena pengujian sensoris yang

dilakukan oleh manusia cenderung memiliki persepsi yang berbeda (Suzuki, 1981).

Penambahan sukrosa, garam dan polifosfat dapat mempengaruhi aroma produk surimi.

Rata-rata hasil kelompok menunjukkan aroma yang amis bahkan sangat amis, hal

tersebut terjadi mungkin karena perlakuan pencucian sebagai treatment awal

pengolahan surimi kurang maksimal sehingga ikan masih berbau amis. Menurut Irianto

(1990), perlakuan pencucian bertujuan untuk menghilangkan bau atau aroma amis yang

disebabkan oleh senyawa trimetilamin (senyawa utama pembentuk flavor/ aroma pada

ikan).

11

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas dari produk surimi terkait kekuatan

gel seperti jenis ikan, umur, tingkat kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, konsentrasi

dan jenis penambahan antidenaturant (cryoprotectant), serta frekuensi pencucian.

Tingkat keasaman surimi dalam pengolahannya berada pada pH 6,5 hingga 7 (Suzuki,

1981). Dalam pengolahan surimi pH berpengaruh dalam degradasi protein miofibril

serta elastisitas surimi yang dihasilkan. Protein ini berperan dalam pembentukan gel dan

emulsi dimana hal ini penting dalam stabilisasi produk-produk olahan daging. Selain itu

bahan baku ikan yang digunakan dalam pengolahan surimi sebaiknya yang memiliki

kadar lemak yang rendah sebab lemak memiliki pengaruh terhadap ketengikan produk

surimi dan daya gelatinasi surimi (Zamry & Etty, 2012).

Menurut Huda, N., et al., (2012) dalam jurnal berjudul “Effects of Different

Dryoprotectants on Functional Properties of Threadfin Bream Surimi Powder”,

Dryoprotectants memiliki fungsi untuk melindungi bubuk surimi dari denaturasi oleh

panas saat proses pengeringan. Bubuk surimi yang diberi Dryoprotectants memiliki

kualitas yang lebih baik dibandingkan tidak diberi sama sekali. Dryoprotectants yang

paling baik adalah trehalosa karena dapat mempertahankan kestabilan emulsi dan

kemampuan pembentukan foam yang lebih baik.

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan olahan dari daging ikan lumat yang telah dipisahkan dari

bagian ikan lainnya.

Surimi merupakan produk yang elastis serta kenyal karena mengandung

konsentrasi protein miofibril yang sangat tinggi.

Tahapan dalam pengolahan surimi pencucian, pengepresan, penambahan bahan

tambahan, pengemasan dan berakhir dengan pembekuan.

Dua jenis surimi adalah mu-en surimi dan ka-en surimi.

Penambahan es pada proses penggilingan daging ikan supaya surimi yang

dihasilkan memiliki kekuatan gel yang baik.

Penggunaan sukrosa adalah untuk menghambat proses denaturasi protein pada

produk surimi.

Garam memiliki fungsi sebagai pelarut protein miofibril supaya miosin dari serat-

serat ikan dapat terlepas.

Umumnya konsentrasi garam digunakan untuk membuat surimi sekitar 2% hingga

3%.

Tujuan dari penggunaan polifosfat adalah untuk meningkatkan daya ikat air .

Peningkatan konsentrasi sukrosa yang digunakan menunjukkan hardness yang

semakin menurun.

Semakin besar konsentrasi sukrosa dan garam maka nilai WHC akan semakin

meningkat.

Semakin besar penambahan konsentrasi polifosfat maka WHC juga akan semakin

besar.

Semakin rendah nilai WHC, menunjukan bahwa kualitas gel yang dihasilkan

rendah sehingga menurunkan kemampuan dalam mengikat air.

Sukrosa memiliki kemampuan mengikat air sehingga dengan konsentrasi sukrosa

yang tinggi maka akan dihasilkan nilai WHC yang tinggi.

Penambahan polifosfat sebanyak 0,5% akan menghasilkan kekuatan gel yang

tinggi, sedangkan kekuatan gel optimal diperoleh dengan penambahan polifosfat

sebanyak 0,3%.

12

13

Penambahan sukrosa, garam dan polifosfat dapat mempengaruhi aroma produk

surimi.

Tingkat keasaman surimi dalam pengolahannya berada pada pH 6,5 hingga 7.

Dalam pengolahan surimi pH berpengaruh dalam degradasi protein miofibril serta

elastisitas surimi yang dihasilkan.

Semarang, 22 september 2015

Praktikan, Asisten Dosen

Yusdhika Bayu S.

Anselmus Anggi Aryacahyaka

13.70.0049

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Agustiani, T. W., Akhmad, S. F, Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan. Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Anonim. (1987). Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat JenderalPerikanan Departemen Pertanian. Jakarta.

Benjakul, S., Chakkawat C., & Wonnop V. (2008). Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi From Some Tropical Fish. Food Chemistry 82 (2006) 567–574. 308-8146/03/$ - See Front Matter # 2006 Elsevier Ltd. All Rights Reserved. Doi:10.1016/S0308-8146(03)00012-8.

Bourtoom, T., Chinnan, M.S., Jantawat, P., & Sanguandeekul, R. (2009). Recovery and Characterization of Proteins Precipitated from Surimi Wash-Water. Food Science and Technology 42 599–605.

Buckle KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. (1978). Ilmu Pangan. Purnomo H dan adiono, penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc.

Huda, N., Abdullah, R., Santana, P., & Yang, T.A. (2012). Effects of Different Dryoprotectants on Functional Properties of Threadfin Bream Surimi Powder. Journal of Fisheries and Aquatic Science 7 (3) : 215-223. Universitas Sains Malaysia

Irianto B. (1990). Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikan ikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35 – 39.

Ismail, I., Huda, N., & Ariffin, F. (2011). Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as a Surimi Replacer. Journal of Poultry Science. Universitas Sains Malaysia.

Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.

Kudre, T. & Benjakul, S. (2013). Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Sardine albella). International Journal of Chemical, Environmental & Biological Sciences. Vol 1. Prince of Songkla University, Thailand.

14

15

Lanier, T.C. dan C.M. Lee. (1992). Surimi Technology, Marcell Decker, Inc., New York.

Lee CM. (1984). Surimi Process Technology.Journal Food Techonology38(11):69-80.

Maria, A. R., J. R. Medina, Marcelino R. F., & Gustavo A. P. (2010). Quality Characteristics Of Surimi Made From Sabalo (Prochilodus Platensis) As Affected By Water Washing Composition. World Congress & Exhibition Engineering 2010-Argentina . Chapter: Ippia. Buenos Aires, AR.

Matsumoto JJ, Noguchi SF. (1992). Cryostabilization of protein in surimi. In: Lanier T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Moeljanto.(1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar Swadaya Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Bandung.

Nopianti, R., Nurul Huda and Noryanti Ismail. (2011). A review on the Loss of the Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming properties of Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-30. Diakses tanggal 16 September 2013.

Park S, Brewer MS, Novakovski J, Bechtel PJ, McKeith FK. (1996). Process and characteristics for a surimi-like material made from beef or pork. Journal Food Science 61(2):422-427.

Peranginangin, R. Dkk. (1999). Instalasi penelitian Perikanan Laut Sipil. BalaiPerikanan Laut. Jakarta.

Roussel, H and Cheftel J.C. (1988).Characteristics of Surmi and Kamaboko from Sardines. International Journal of Food Science and Technology 23:607-623.

Shaviklo, G. R., Gudjon T., and Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340. Diakses tanggal 16 September 2013.

Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Sonu S . C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island, California.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ. Ltd. London.

16

Tanaka, M. (2001).Surimi and Surimi Products.Department of Food Science and Technology. Jepang.

Wilson, N.R.P., E.J. Dyett, R.W. Hughes dan C.R.V. Jones. (1981). Meat and Meat Products. Aplied Science Publisher, London.

Yiin, T.A., Huda, N., Ariffin, F., & Easa, A.M. (2014). Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi. Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy. Vol. 2 (2) : 9-16. Universitas Sains Malaysia.

Zamry, A.I. & S. I. Etty. (2012). Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from Starry Triggerfish (Abalistes Stellatus) Surimi. UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management. Department of Food Science, Faculty of Agrotechnology and Food Science, Universiti Malaysia Terengganu, 21030 Kuala Terengganu, Terengganu Darul Iman, Malaysia. e-ISBN 978-967-5366-93-2.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus Perhitungan WHC (mg H2O)

Luas atas = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)

Luas bawah = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)

Luas Area Basah = LA - LB

mg H2O =

Kelompok A1

a = 60 mm h1 atas = 185 mm h1 bawah = 35 mm ho = 99 mm h2 atas = 200 mm h2 bawah = 16 mmhn = 120 mm h3 atas = 182 mm h3 bawah = 24 mm

Luas atas = x 60 (99 + 4(185) + 2(200) + 4(182) + 120)

= 20 (99 + 740 + 400 + 728 + 120)= 41.740 mm2

Luas bawah = x 60 (99 + 4(35) + 2(16) + 4(24) + 120)

= 20 (99 + 140 + 32 + 96 +120)= 9.740 mm2

Luas Area Basah = 41.740 – 9,740= 32.000 mm2

mg H2O = = 337.468,35 mg

Kelompok A2

a = 40 mm h1 atas = 172 mm h1 bawah = 19 mm ho = 79 mm h2 atas = 176 mm h2 bawah = 8 mmhn = 107 mm h3 atas = 148 mm h3 bawah = 16 mm

Luas atas = x 40 (79 + 4(172) + 2(176) + 4(148) + 107)

= (79 + 688 + 352 + 592 + 107)

= 24.240 mm2

17

Luas bawah = x 40 (79 + 4(19) + 2(8) + 4(16) + 107)

= (79 + 76 + 16 + 64 +107)

= 4.560 mm2

Luas Area Basah = 24.240 – 4.560= 19.680 mm2

18

19

mg H2O = = 207.510,55 mg

Kelompok A3

a = 45 mm h1 atas = 173 mm h1 bawah = 24 mm ho = 87 mm h2 atas = 192 mm h2 bawah = 10 mmhn = 60 mm h3 atas = 172 mm h3 bawah = 23 mm

Luas atas = x 45 (87 + 4(173) + 2(192) + 4(172) + 60)

= 15 (87 + 692 + 384 + 688 + 60)= 28.665 mm2

Luas bawah = x 45 (87 + 4(24) + 2(10) + 4(23) + 60)

= 15 (87 + 96 + 20 + 92 +60)= 5.325 mm2

Luas Area Basah = 28.665 – 5.325= 23.340 mm2

mg H2O = = 246.118,14 mg

Kelompok A4

a = 45 mm h1 atas = 161 mm h1 bawah = 14 mm ho = 75 mm h2 atas = 178 mm h2 bawah = 7 mmhn = 90 mm h3 atas = 153 mm h3 bawah = 10 mm

Luas atas = x 45 (75 + 4(161) + 2(178) + 4(153) + 90)

= 15 (75 + 644 + 356 + 612 + 90)= 26.655 mm2

Luas bawah = x 45 (75 + 4(14) + 2(7) + 4(10) + 90)

= 15 (75 + 56 + 14 + 40 + 90)= 4.125 mm2

Luas Area Basah = 26.655 – 4.125= 22.530 mm2

mg H2O = = 237.573,84 mg

Kelompok A5

a = 40 mm h1 atas = 154 mm h1 bawah = 33 mm ho = 75 mm h2 atas = 196 mm h2 bawah = 3 mmhn = 99 mm h3 atas = 169 mm h3 bawah = 13 mm

20

Luas atas = x 40 (75 + 4(154) + 2(196) + 4(169) + 99)

= (75 + 616 + 392 + 676 + 99)

= 24.773,33 mm2

Luas bawah = x 40 (75 + 4(33) + 2(3) + 4(13) + 99)

= (75 + 132 + 6 + 52 + 99)

= 4.853,33 mm2

Luas Area Basah = 24.773,33 – 4.853,33= 19.920 mm2

mg H2O = = 210.042,19 mg

21

6.2. Laporan sementara

6.3. Diagram alir

6.4. Abstrak jurnal