fikosianin_ivannacarissa_12.70.0050_b2_unika soegijapranata

Upload: reed-jones

Post on 09-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Laporan praktikum mengenai fikosianin. fikosianin merupakan pigmen alami berwarna biru yang berasal dari ganggang hijau-biru spirulina. dalam laporan ini juga dibahas mengenai metode yang dilakukan dan hasil pengamatan. pengamatan fikosianin terdiri dari absorbansi, konsentrasi fikosianin, yield, dan warna sebelum-sesudah pengeringan.

TRANSCRIPT

FIKOSIANIN:PEWARNA ALAMI DARI BLUE GREEN MICROALGA SPIRULINA

LAPORAN PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Ivanna Carissa12.70.0050Kelompok : B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG2014Acara IV19

1. 1

2. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan mengenai fikosianin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.FikosianinKelBerat biomassa kering (g)Jumlah aquades yang ditambah (ml)Total filtrat yang diperoleh (ml)OD 615OD 652KF (mg/ml)Yield (mg/g)Warna

SebelumSesudah

B18100500.07200.02580.0110.069++

B28100500.07260.02560.0110.069+++

B38100500.07260.02550.0110.069++++

B48100500.07260.02550.0110.069++++

B58100500.07260.02550.0110.069+++

B68100500.07260.02530.0110.069++

Keterangan:Warna:+ :Biru muda++ :Biru tua+++ :Biru sangat tua

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa perlakuan tiap kelompok sama, yaitu sebanyak 8 gram biomassa kering ditambah dengan 100 ml aquades, sehingga diperoleh total filtrat sebanyak 50 ml. Kemudian, fikosianin diukur OD615, OD652, KF, Yield, dan warnanya. Pada pengukuran OD615, nilai terbesar adalah 0.0726 pada kelompok B2, B3, B4, B5, serta B6 dan nilai terkecil adalah 0,0720 pada kelompok B1. Pada pengukuran OD652, nilai terbesar adalah 0.0258 pada kelompok B1 dan nilai terkecil adalah 0.0253 pada kelompok B6. Pada pengukuran KF, nilai tiap kelompok sama, yaitu 0.011 mg/ml. Sama halnya dengan pengukuran yield, nilai tiap kelompok sama, yaitu 0.069 mg/g. Warna fikosianin sebelum pengeringan berbeda-beda, antara lain biru muda pada kelompok B1 dan B6, biru tua pada kelompok B2 dan B5, dan biru sangat tua pada kelompok B3 dan B4. Dan warna setelah pengeringan berubah menjadi biru muda untuk semua kelompok.

3. 4. PEMBAHASAN

Menurut Candra (2011), pigmen atau bahan pewarna dibutuhkan oleh industri pangan dalam memberikan warna pada produk makanan agar lebih menarik. Pemberian warna pada makanan bertujuan untuk menarik selera konsumennya, karena penampakan produk termasuk warnanya sangat mempengaruhi penerimaan konsumen. Menurut Mohammad (2007), pigmen digolongkan menjadi dua macam, yaitu pigmen buatan/sintetis dan pigmen alami/biopigmen. Industri pangan di Indonesia berkembang dengan sangat cepat, sama halnya denan tuntutan penggunaan pigmen yang meingkat pesat. Pada umumnya menurut Tim IPPOM MUI (2005), pigmen sintetis lebih banyak digunakan karena mudah didapat,mudah digunakan, serta memiliki stabilitas yang tinggi. Namun, pemakaian pigmen sintetis yang berlebihan dan kurang terkontrol dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Hal ini dikarenakan pigmen sintetis, misalnya tartrazin, alluora red, dan rodhamin B berisfat karsinogenik, serta dapat menyebabkan alergi. Hal tersebut dapat diatasi dengan penggunaan pewarna alami. Selain itu, saat ini masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan keamanan pangan, maka penggunaak bahan baku atau produk yang bersifat alami termasuk biopigmen terus bertambah.

Menurut Arylza (2005), Borowitzka dan Borowitzka (1988), pigmen alami (biopigmen) adalah pigmen yang tidak bersifat karsinogenik, tidak memiliki efek samping negatif jika dikonsumsi, dan dapat diuraikan. Pewarna alami yang sering digunakan umumnya berasal dari pigmen daun, buah, batang, atau umbi-umbian. Namun, perwarna alami dari bahan-bahan tersebut memiliki beberapa kelemahan, antara lain ketidakstabilan terhadap panas, pH, dan cahaya, ketersediaannya yang terbatas, serta lebih mahal, sehingga kurang cocok untuk produksi dalam skala besar. Oleh sebab itu, dicarilah sumber pewarna alami lain yang tersedia melimpah di alam. Salah satunya adalah mikroalga. Biopigmen yang berasal dari mikroalga memiliki beberapa kelebihan, yaitu tidak membutuhkan waktu yang lama, dapat diproduksi terus-menerus, tidak berdampak buruk bagi lingkungan, produksinya dikendalikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan, serta berfungsi sebagai antikanker, anti hiperkolesterol, dan mampu meningkatkan daya tahan tubuh.

Salah satu spesies mikroalga yang dapat menghasilkan pigmen adalah Spirulina. Spirulina ini mampu menghasilkan pigmen yang disebut fikosianin, dimana pigmen ini berwarna biru. Menurut Richmond (1988), spirulina ini adalah organisme kelompok alga hijau biru (blue-green algae), termasuk dalam organisme multiseluler. Spirulina memiliki bentuk silinder dan tidak bercabang. Spirulina berukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina ini berwarna hijau tua di dalam koloni yang besar. Warna hijau tua tersebut berasal dari klorofil dalam jumlah yang banyak. Menurut Tietze (2004), spirulina dapat tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan bersuhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis secara alami.

Menurut Desmorieux (2006), spirulina termasuk ke dalam kelompok blue-green algae atau biasa disebut dengan Cyanophyta. mikroorganisme ini telah ada di bumi sejak 3500 juta tahun yang lalu. Spirulina berukuran antara 3,5 sampai 10 mikron dan memiliki filamen berbentuk spiral berdiameter 20 sampai 100 mikron. Spirulina mengandung 60% protein dengan asam amino esensial, sepuluh vitamin, dan berkhasiat sebagai obat (therapeutic). Selain itu, spirulina memiliki pigmen yang bernama fikosianin. Fikosianin ini merupakan pigmen antioksidan dan antiinflamantori, polisakarida yang memiliki efek anti tumor dan antiviral, -asam linoleat (GLA) dari spirulina yang dapat berfungsi sebagai penurun kolesterol.

Menurut Diharmi (2001), spirulina memiliki membran tilakoid. Pada membran tersebut, terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi terhadap cahaya berintensitas tinggi. Cahaya yang diserap oleh fikosianin akan ditransfer ke allofikosianin, kemudian menuju pusat reaksi, yaitu klorofil a di dalam membran tilakoid. Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis mikroalga. Pigmen spirulina terletak pada membran tilakoid yang tersebar di dalam kromoplasma.

Menurut Pandey dan Amit (2010) dalam jurnal yang berjudul Optimization of Biomass Production of Spirulina maxima, Spirulina maxima yang telah dimanfaatkan untuk bermacam-macam produk, misalnya obat, makanan, dan kosmetik, dianalisa dengan beberapa parameter. Parameter yang digunakan adalah suhu, intensitas cahaya, pH, produksi biomassa, klorofil a, dan protein. Dan hasilnya menunjukkan bahwa spirulina jenis ini dapat digunakan untuk memproduksi biomassa. Dalam 0,73 gram/ 500 ml biomassa Spirulina maxima mengandung protein 63,8% dan klorofil a 13.1 mg/gm. Dalam pembuatannya, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah aerasi, dimana aerasi akan mempengaruhi hasil yang diperoleh.

Spirulina fusiformis adalah salah satu spesies Spirulina yang banyak ditemukan di perairan tawar dan berasal dari Madurai. Menurut Richmond (1988), ada tiga varian dari Spirulina fusiformis, antara lain varian tipe S, varian tipe C, dan varian tipe H. Berdasarkan taksonomi menurut Pamungkas (2005), Spirulina fusiformis diklasifikasikan sebagai berikut.Kingdom: ProtistaFilum: CyanobacteriaDivisi: CyanophytaKelas: CyanophyceaeOrdo: NostocalesFamili: OscillatoriaceaeGenus: SpirulinaSpesies: Spirulina sp.Gambar 1. Spirulina sp (Mussagy et al., 2006)

Menurut Tri-Panji et al. (1996), spirulina merupakan salah satu mikroalga penghasil fikosianin yang relatif dapat bereproduksi dengan cepat dan mudah dipanen. Spirulina jenis ini hidup pada lingkungan yang sangat basa, yakni pH 8 sampai 11 dengan kandungan senyawa karbonat-bikarbonat yang tinggi. Dalam hidupnya, spirulina memerlukan cahaya dan CO2 untuk melakukan fotosintesis. Oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis dapat meningkatkan kandungan O2 dalam medium pertumbuhannya. Unsur nitrogen juga ditambahkan ke dalam medium, karena mikroalga tidak dapat mengambilnya dari udara. Jika kondisi pertumbuhannya sesuai, biomassa kering spirulina yang diperoleh dapat mencapai 60 sampai 70 ton/hektar kolam.

Menurut Belay (2008), Spirulina sp merupakan salah satu jenis mikroalga yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri. Hal ini dikarenakan spirulina mengandung nutrisi, seperti protein, asam lemak, vitamin, dan antioksidan yang tinggi. Kandungan nutrisi tersebut lengkap dan berimbang, sehingga spirulina sering dimanfaatkan untuk mengatasi kasus gizi buruk dan kekurangan gizi. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di daerah lintang tropis dengan suhu yang relatif tinggi pada kisaran 27-340C dan intensitas cahaya matahari yang relatif merata sepanjang tahun. Kondisi tersebut memungkinkan spirulina untuk tumbuh dan dikembangkan.

Menurut Mishra et al. (2007), spirulina mengandung vitamin A, vitamin C, vitamin E, -karoten, xanthofil, klorofil a, asam lemak omega-3, mineral, serta fikobiliprotein. Fikobiliprotein terdiri dari Cyano-fikosianin (CPC), Allo-fikosianin (APC), dan Cyano-fikoeritrin (CPE). Cyano-fikosianin (CPC) merupakan fikobiliprotein yang relatif terbesar dalam spirulina. Menurut Mathew et al. (1995); Kuhad et al. (2006); Minkova et al. (2003), spirulina juga diketahui dapat dijadikan sebagai makanan suplemen dan mengandung biopigmen fikosianin yang berpotensi sebagai sumber bahan nutraceutical dan phrmaceutical. Menurut Belay (2002), fikosianin adalah senyawa kompleks protein pigmen biru yang terkandung pada beberapa spesies mikroalga, seperti Spirulina platensis dan Spirulina fusiformis (20-28% dari bobot keringnya). Dan fikosianin ini memiliki karakteristik tidak beracun dan mampu larut dalam air, sehingga dapat digunakan dalam produk pangan maupun pharmaceuticals. Menurut Sulisetiono (2009), filamen yang terdapat pada spirulina tidak terlihat bersekat. Filamen menggulung secara teratur membentuk struktur spiral. Reproduksi secara seksual tidak ditemukan pada Cyanophyta, dimana ganggang ini berkembangbiak secara vegetatif, yaitu dengan pembelahan sel dan fragmentasi, serta sprorik (akinet, endospora, ekstospora, dan nanospora).

Menurut Carra & hEocha (1976), fikosianin memiliki absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (c-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (26 kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies. Menurut Richmond (1988), fikosianin merupakan pigmen yang paling banyak terdapat pada alga hijau biru, dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga, sehingga dapat disimpulkan bahwa fikosianin adalah pigmen yang paling dominan pada spirulina. Menurut Tietze (2004), kandungan fikosianin dalam 500 mg tablet spirulina adalah sebanyak 333 mg. Menurut Hall dan Rao (1999), fikosianin adalah salah satu pigmen dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi sinar matahari paling efisien. Fikosianin merupakan kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan terlibat dalam pemanenan cahaya dan energi transduksi. Menurut Boussiba dan Richmond (198), fikosianin dapat bertindak sebagai bahan penyimpanan nitrogen karena konsentrasi fikosianin yang tinggi, jika spirulina ditumbuhkan pada kondisi nitrogen yang optimal.

Metode yang dilakukan dalam mengekstraksi fikosianin adalah menimbang biomassa spirulina terlebih dahulu sebanyak 8 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Biomassa tersebut ditambah dengan aquades dengan perbandingan 2:25. Ekstraksi fikosianin dilakukan dengan menambahkan air, karena fikosianin dapat larut dalam pelarut polar. Lalu, campuran air dan biomassa diaduk dengan menggunakan stirrer selama 2 jam. Dari larutan tersebut diambil dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi plastik, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Tujuan dari sentrifugasi secara umum adalah untuk memisahkan padatan dan cairan, sehingga tidak mengganggu proses pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer. Prinsip utama dari sentrifugasi menurut Kimball (2005) adalah memisahkan substansi berdasarkan berat jenis molekul dengan cara memberikan gaya sentrifugal, sehingga substansi yang leih berat akan berada di dasar, sedangkan substansi yang lebih ringan akan terletak di atas. Setelah itu, diperoleh endapan dan supernatan (cairan fikosianin), supernatan tersebut diambil dan diukur kadar fikosianinnya dengan spektrofotometer. Setelah diukur kadarnya, supernatan tadi diambil dan ditambah dekstrin dengan perbandingan 1:1,25, diaduk hingga rata. Penambahan dekstrin berfungsi sebagai pembawa bahan pangan yang aktif, sepert bahan flavor dan pewarna yang membutuhkan sifat mudah larut dalam air dan bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk. Selain itu, jika struktur molekul desktrin adalah spiral, molekul-molekul flavor akan terperangkap di dalam struktur tersebut. Menurut Ribuat dan Kumalaningsih (2004), fungsi lain dari penambahan dekstrin adalah mengurangi jumlah komponen volatil yang hilang selama proses pengolahan dan juga mampu melindungi stabilitas flavor pada proses pengeringan dengan spray dryer yang menggunakan suhu tinggi.

Setelah dicampur hingga rata, dituang ke dalam wadah atau loyang yang berukuran sama tiap kelompoknya. Lalu, dikeringkan dengan oven pada suhu 450C sampai kadar air mencapai 7% dan tidak gempal. Menurut Desmorieux dan Dacaen (2006), penggunaan suhu 450C dalam pengeringan bertujuan untuk mencegah degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi pencoklatan (reaksi Maillard). Oleh sebab itu, suhu yang digunakan kurang dari 600C. Adonan yang sudah kering ditumbuk hingga halus, kemudian difoto.

Analisa fikosianin dilakukan dengan mengukur supernatan atau filtrat hasil ekstraksi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm (Silveira et al., 2007). Tujuan dari pengukuran absorbansi ini adalah untuk mengetahui kelarutan fikosianin pada larutan (Achmadi et al., 1992). Richmond (1988) mengatakan, fikosianin terdapat dalam divisi Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga hijau biru), dan Cryophyta (alga kriptomonad) yang dapat menyerap warna jingga, merah terang, dan memancarkan warna biru terang. Pada panjang gelombang 620 nm, pigmen biru fikosianin dapat terserap secara maksimal. Menurut Boussiba dan Richmond (1980), biomassa sel spirulina akan lebih mudah larut dalam pelarut polar, seperti air dan buffer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Jumlah fikosianin yang terkandung dalam biomassa sel tergantung pada banyaknya suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh spirulina.

Adapun teknik dalam penuangan supernatan dan dekstrin yang perlu diperhatikan, yaitu dengan menuangkan dekstrin ke dalam alas/loyang pengering terlebih dahulu baru menuangkan sedikit demi sedikit supernatan di atasnya. Hal ini bertujuan agar pencampuran supernatan dengan dekstrin dapat tercampur secara sempurna. Setelah tercampur rata, campuran supernatan dengan dekstrin dioven pada suhu 450C hingga kadar air mencapai 7% dan tidak menggumpal. Setelah dikeringkan, akan terbentuk adonan kering yang menggumpal, maka perlu dihancurkan dengan menggunakan alat penumbuk hingga berbentuk bubuk. Metode pengeringan fikosianin sebaiknya dilakukan dengan aliran udara dan pemanasan yang dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-600C dan dengan kecepatan udara 1,9-3,8 m/s. Hal ini dikarenakan pengeringan yang dilakukan pada praktikum ini menggunakan suhu 450C. Hal ini sesuai dengan teori Desmorieux dan Decaen (2006). Dalam jurnal yang berjudul Production of biomass and nutraceutical compounds by Spirulina platensis under different temperarutr and nitrogen regimes oleh Colla et al.(2006), suhu pengeringan 350C menghasilkan biomassa yang sedikit, namun kandungan protein, lipid, dan senyawa fenolik maksimum. Produksi biomassa yang lebih tinggi diperoleh pada suhu 300C. Menurut Angka dan Suhartono (2000), pengeringan menggunakan cahaya matahari langsung juga dapat dilakukan, tetapi tidak dianjurkan untuk produksi bagi konsumsi manusia. Hal ini dikarenakan dapat menimbulkan aroma yang tidak diinginkan juga dapat meningkatkan jumlah kontaminasi bakteri. Pengeringan spray akan memberikan hasil yang cukup memuaskan dan secara umum tidak berakibat buruk terhadap kandungan gizi spirulina. Penyimpanan spirulina dilakukan dalam kondisi kering karena spirulina kering tidak mudah terfermentasi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi fikosianin (KF), yield, serta warna yang dihasilkan dari fikosianin sama pada tiap kelompoknya. Nilai KF dan yield dipengaruhi oleh nilai optical density (OD). Sedangkan, nilai OD dipengaruhi oleh konsentrasi dan kejernihan larutan, yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Semakin pekat dan keruh suatu larutan, nilai absorbansinya akan semakin tinggi. Menurut Fox (1991), jika larutan semakin keruh, maka nilai Odnya akan semakin tinggi. Nilai KF mempengaruhi nilai yield fikosianin, dimana nilai KF dan nilai yield fikosianin dihitung dengan rumus sebagai berikut.Konsentrasi fikosianin (KF) = Yield =

Pada pengukuran OD615, nilai terbesar adalah 0.0726 pada kelompok B2, B3, B4, B5, serta B6 dan nilai terkecil adalah 0,0720 pada kelompok B1. Pada pengukuran OD652, nilai terbesar adalah 0.0258 pada kelompok B1 dan nilai terkecil adalah 0.0253 pada kelompok B6. Pada pengukuran KF, nilai tiap kelompok sama, yaitu 0.011 mg/ml. Sama halnya dengan pengukuran yield, nilai tiap kelompok sama, yaitu 0.069 mg/g. Warna fikosianin sebelum pengeringan berbeda-beda, antara lain biru muda pada kelompok B1 dan B6, biru tua pada kelompok B2 dan B5, dan biru sangat tua pada kelompok B3 dan B4. Dan warna setelah pengeringan berubah menjadi biru muda untuk semua kelompok. Nilai OD yang tinggi akan menghasilkan nilai KF yang tinggi pula. Nilai yield diperoleh dari penghitungan KF (konsentrasi fikosianin) dikalikan dengan volume filtrat dan dibagi dengan berat biomassa. Dengan demikian, besarnya nilai OD615dan OD652 akan berbanding lurus dengan perolehan KF dan yield fikosianin. Metode absorbansi menurut Fox (1991) dipengaruhi oleh konsentrasi dan kejernihan larutan. Jadi, apabila semakin tinggi nilai OD, maka konsentrasi dan yield fikosianin juga semakin tinggi. Hal ini dikarenakan nilai OD yang berbanding lurus dengan KF dan yield fikosianin.

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh warna fikosianin sebelum pengeringan berbeda-beda, antara lain biru muda pada kelompok B1 dan B6, biru tua pada kelompok B2 dan B5, dan biru sangat tua pada kelompok B3 dan B4. Dan warna setelah pengeringan berubah menjadi biru muda untuk semua kelompok. Perbedaan warna fikosianin dapat disebabkan karena adanya kesalahan dalam metode isolasi fikosianin, salah satunya kesalahan dalam penambahan dekstrin. Penambahan konsentrasi dekstrin yang semakin tinggi dapat menyebabkan bubuk fikosianin menjadi pudar atau cenderung pucat. Hal ini disebabkan karena warna dari dekstrin sendiri adalah putih, sehingga dapat memudarkan warna fikosianin. Pencampuran desktrin dan fikosianin yang tidak rata pada loyang dapat mengakibatkan dekstrin kurang memerangkap fikosianin dengan sempurna dan berakibat pada dekstrin yang kurang melindungi pigmen secara sempurna saat pengeringan berlangsung. Hal ini menyebabkan warna akhir bubuk fikosianin yang didapat menjadi semakin pudar atau bahkan dapat hilang. Menurut Wiyono (2007), dekstrin memiliki viskositas yang relatif rendah, sehingga pemakaian dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini justru akan menguntungkan jika pemakaian dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi atau sebagai agen entrapment karena dapat meningkatkan berat produk, serta memerangkap senyawa penting untuk mempertahankan stabilitasnya. Menurt Suparti (2000), dekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi untuk melindungi senyawa volatil, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas. Hal ini dikarenakan molekul desktrin yang stabil terhadap panas dan oksidasi. Dekstrin juga dapat melindungi stabilitas flavor selama proses pengeringan dengan menggunakan spray dryer.

Menurut Chauhan dan Pathak (2010) dalam jurnal yang berjudul Effect of different conditions on the production of cholorphyll by Spirulina platensis, suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui efek dari perbedaan kondisi terhadap pembentuk klorofil pada Spirulina platensis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan intensitas cahaya dan suhu menentukan hasil yang berbeda. Hasilnya, produksi biomassa dan klorofil yang terbaik adalah dengan media Zarrouk pada suhu 280C dan 3.50.5 klux intensitas cahaya, dibanding dengan media RM-6. Dalam jurnal Chojnacka (2007) yang berjudul Bioaccumulation of Cr(III) ions by Blue-green alga Spirulina sp, menyajikan hasil penelitian tentang kinetika dan kesetimbangan proses bioakumulasi ion Cr(III) pada ganggang hijau-biru. Bioakumulasi digambarkan sebagai proses yang terdiri dari dua tahapan, yaitu pasif (identik dengan biosorpsi) dan aktif (akumulasi dalam sel). Tahap pasif yang mirip dengan biosorpsi diketahui menjadi proses yang cepat dibanding dengan tahap akfif yang jauh lebih lambat. Keseluruhan proses bioakumulasi membutuhkan waktu sekitar 30 jam. Menurut Masthan et al. (2011) dalam jurnal yang berjudul Beneficial effects of blue-green algae Spirulina and yeast Saccharomyces cerevisiae on cocoon quantitative paramteres of silkworm Bombyx mori L., penelitian dilakukan untuk mengetahui dampak dari penerapan probiotik pada daun murbei sebagai makanan ulat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan dan produksi sutra lebih baik saat menggunakan probiotik. Dan probiotik yang berasal dari ganggang hijau-biru yang dianggap lebih baik daripada Saccharomyces cerevisiae.

5. 6. KESIMPULAN

Spirulina termasuk ke dalam kelompok blue-green algae atau biasa disebut dengan Cyanophyta. Spirulina mengandung vitamin A, vitamin C, vitamin E, -karoten, xanthofil, klorofil a, asam lemak omega-3, mineral, serta fikobiliprotein. Fikobiliprotein terdiri dari Cyano-fikosianin (CPC), Allo-fikosianin (APC), dan Cyano-fikoeritrin (CPE). Spirulina merupakan salah satu mikroalga penghasil fikosianin yang relatif dapat bereproduksi dengan cepat dan mudah dipanen. Fikosianin adalah senyawa kompleks protein pigmen biru yang terkandung pada beberapa spesies mikroalga, seperti Spirulina platensis dan Spirulina fusiformis (20-28% dari bobot keringnya). Ekstraksi fikosianin dilakukan dengan menambahkan air, karena fikosianin dapat larut dalam pelarut polar. Tujuan dari sentrifugasi secara umum adalah untuk memisahkan padatan dan cairan, sehingga tidak mengganggu proses pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer. Penambahan dekstrin berfungsi sebagai pembawa bahan pangan yang aktif, sepert bahan flavor dan pewarna yang membutuhkan sifat mudah larut dalam air dan bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk. Fungsi lain dari penambahan dekstrin adalah mengurangi jumlah komponen volatil yang hilang selama proses pengolahan dan juga mampu melindungi stabilitas flavor pada proses pengeringan dengan spray dryer yang menggunakan suhu tinggi. Penggunaan suhu 450C dalam pengeringan bertujuan untuk mencegah degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi pencoklatan (reaksi Maillard). Semakin pekat dan keruh suatu larutan, nilai absorbansinya akan semakin tinggi. Semakin tinggi nilai OD, konsentrasi dan yield fikosianin juga semakin tinggi. Penambahan konsentrasi dekstrin yang semakin tinggi dapat menyebabkan bubuk fikosianin menjadi pudar atau cenderung pucat.

Semarang, 2 Oktober 2014Asisten dosen:-Agita Mustikahandini

Ivanna Carissa12.70.0050

7. 8. DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Tri Panji S.; Tjahjadarmawan E. (1996). Produksi asam gammalinolenat dari ganggang mikro Spirulina platensis menggunakan limbah lateks pekat.Menara Perkebunan 64 (1): 34-44.

Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Arylza, IS. (2003). Isolasi pigmen bru fikosianin dari mikroalga Spirulina plantesis. Journal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38:79-92.

Belay, A. 2002. Mass Culture of Spirulina Outdoors The Earthrise Farm Experience. Di dalam Vonshak, A. (ed.), Spirulina pletensis (Arthrospira): Physiology, Cell-biology and Biotechnology. Bristol: Taylor and Francis Ltd.

Belay, A. 2008. Spirulina (Spirulina sp.): Production and Quality Assurance. Dalam Gershwin, M. E dan A. Belay. (ed.), Spirulina in Human Nutrition and Health. California: CRC Press.

Bennett, A.; Bogorad, L.; J. Cell.Biol. 1973, 58, 419.

Borowitzaka MA dan Borowitzka LJ. (1988). Dunaliella dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds). Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge.

Boussiba S, Richmond AE. 1980. C-phycocyanin as a storage protein in blue green algae Spirulina platensis. Archive of Microbiology 125:143147.

Chandra, Budi Atrika. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Chauhan, U.K.; Neeraj Pathak. 2010. Effect of different conditions on teh production od chlorophyll by Spirulina platensis. J. Algal Biomass Utln. 2010, 1 (4) : 89-99.

Chojnacka, Katarzyna. 2007. Bioaccumulation of Cr(III) ions by Blue-green Alga Spirulina sp. Part I.A Comparison with Biosorption. American Journal of Agricultural and Biological Sciences 2 (4): 218-223. ISSN 1557-4989.

Colla, Luciane Maria; Christian Oliveira Reinehr, Carolina Reischert, Jorge Alberto Vieira Costa. 2006. Production of biomass and nutraceutical compounds by Spirulina paltensis under different temperature and nitrogen regimes. Bioresource Technology 98 (2007) 1489-1493.

Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70.

Diharmi, A. 2001. Pengaruh Pencahayaan terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikroalga Spirulina platensis Strain Lokal (INK). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.

Hall DO, Rao KK. 1999. Photosynthesis Six edition. Cambridge: ,Cambridge university press.

Kimball, J.W. (1992). Biologi. Terjemahan oleh: Siti Soetarmi Tjitrosomo & Nawangsari Sugiri. Jakarta: Erlangga.

Masthan, K.; T. Raj Kumar; C.V. narasimha Murthy. 2011. Beneficial effects of blue green algae Spirulina and yeast Saccharomyces cerevisiae on cocoon quantitative parameters of silkworm Bombyx Mori L. Asian Jr. of Mocribiolo. Technol. Env. Sc. Vol. 13, No. (1) : 2011 : 205-208

Mohammad, Johan. (2007). Produksi dan Karakteristik Biopigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis serta Aplikasinya Sebagai Pewarna Minuman. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Carra P, hEocha C 1976. Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press inc. Hal 328-371.

Pamungkas Estiamboro. 2005. Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Kujang dengan Spirulina sp. pada Reaktor Curah (Batch). [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Pandey, Jai Prakash; Amit Tiwari. Optimization of Biomass Production of Spirulina maxima. J. Algal Biomass Utln 2010, 1 (2) : 20-32

Ribuat, S. dan S. Kumalaningsih, (2004). Pembuatan bubuk sari buah sirsak dari bahan baku pasta dengan metode foam-mat drying. Kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi Dekstrin dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. http://www.pustaka-deptan.go.id.

Richmond, A. 1988. Spirulina. In: Microalgal Biotechnology. MA Borowitzka and LJ Borowitza (Eds). Cambridge University Press. Cambridge.

Rouhier, B. 2009. Spirulina and Malnutrition. Institut Polytechnique Lasalle. Beauvais.

Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.; (2007). Bioresour. Technol. 2007, 98, 1629.

Sulisetijono, 2009. Bahan Serahan Alga. Malang: UIN Press.

Suparti, W. (2000). Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: pengaruh Suhu, Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaaya. Malang.

Tietze HW. 2004. Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Harald W. Tietze Publishing. Hal 8-10

Tim IPPOM MUI. (2005). Dilema Pewarna Makanan. www.republika-online.com. Diakses tanggal 29 September 2014.

Tri Panji S, Achmadi, Tjahjadarmawan E. 1996. Produksi asam gammalinolenat dari ganggang mikro Spirulina platensis menggunakan limbah lateks pekat.Menara Perkebunan 64 (1): 34-44.

Wiyono, R. (2007). Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat.

9. 10. LAMPIRAN10.1. FotoKelompok B5, B3, dan B1Kelompok B4, B2, dan B6.

Bubuk Fikosianin

10.2. PerhitunganPerhitungan Fikosianin

Kelompok B1

= 0,011 mg/ml

= 0,069 mg/g

Kelompok B2

= 0,011 mg/ml

= 0,069 mg/g

Kelompok B3

= 0,011 mg/ml

= 0,069 mg/g

Kelompok B4

= 0,011 mg/ml

= 0,069 mg/g

Kelompok B5

= 0,011 mg/ml

= 0,069 mg/g

Kelompok B6

= 0,011 mg/ml

= 0,069 mg/g

10.3. Laporan Sementara10.4. Diagram Alir