kitin_ratna rahayuningtyas_13.70.0138_d5_unika soegijapranata
DESCRIPTION
tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah kulit udangTRANSCRIPT
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRATIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Ratna Rahayuningtyas
13.70.0138
Kelompok : D5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu oven, blender, ayakan, peralatan gelas.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu limbah udang, HCl 0,75 N, 1 N, 1,75 N;
NaOH 3,5%, NaOH 50%, NaOH 60%.
1.2. Metode
DEMINERALISASI
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24
jam
DEPROTEINASI
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada
suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin
DEASETILASI
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada
suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
D1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 32,14 25 48,25
D2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 32,14 31,38 39,43
D3 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 36,84 45,71 46,80
D4 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 34,78 37,78 39,20
D5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 29,17 32,73 39,14
Berdasarkan hasil praktikum dapat dilihat bahwa rendemen kitin I terbesar diperoleh dari
kelompok D3 dengan penambahan Kulit udang, HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, NaOH 50%
yaitu 36,84%. Sedangkan rendemen kitin I yang terendah didapatkan pada kelompok D5
dengan penambahan kulit udang, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 60% yaitu 29,17%.
Rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok D3 yaitu 45,71% dengan
penambahan kulit udang, HCl 1 N, NaOH 3,5%, NaOH 50%, dan yang terkecil diperoleh
dari kelompok D1 yaitu 25%. Sedangkan rendemen kitosan tertinggi pada kelompok D3
dan terkecil pada kelompok D5 39,14%.
3. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini akan membahas mengenai kitin dan kitosan. Pada praktikum ini bahan
utama yang digunakan adalah limbah kulit udang. Limbah dari bagian-bagian udang
banyak mengandung mineral, protein, dan provitamin A. Menurut Rismana (2001),
limbah udang ada 2 jenis, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah cair berupa
suspensi air dan kotoran yang dapat diatasi dengan cara waste water treatment sedangkan
limbah padat berupa kulit, kepala, juga kaki untuk mengatasi limbah tersebut dapat
dimanfaat menjadi suatu produk yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Salah satu
pengaplikasian untuk pengolahan limbah padat dapat dijadikan sebagai kitin dan kitosan.
Sebagai bahan baku dalam pembuatan kitin, Crustacea yang ada udang mengandung kitin
sekitar 20-60%. Kitin dapat juga didapatkan dari udang, kepiting crayfish dan bagian
tubuh dari kelelawar (Kaya,2004).
Kitin dan kitosan yaitu merupakan kelompok dari polisakarida linier yang tersusun β
(14), memiliki ikatan N-asetil-2 amino-2-deoksi D glukosa dan 2-amino-2deoksi-D
glukosa(Aranaz, 2009). Kitin juga termasuk dalam polisakarida yang dapat ditemukan
pada bagian eksoskeleton crustacea (Peter, 1995). Karakteristik dari kitin adalah tidak
beracun; tidak dapat larut air, anorganik encer dan asam organik; bentuk kristal; berwarna
putih; bertekstur keras (Ormun, 1992). Berdasarkan dari Suhardi (1992) bahwa kitin
bergabung dengan protein, pigmen serta garam organik, karena kitin tidak bisa nerdiri
sendiri di alam dan harus bergabung dengan senyawa lain.
Kitosan merupakan senyawa turunan dari kitin yang berupa karbohidrat alami dapat
ditemui pada eksokeleton dari Crustacea seperti yang terdapat pada udang, kepiting serta
eksoskeleton dari zooplankton spp termasuk ubur-ubur (Islam et al, 2011). Kulit udang
banyak mengandung sekitar 25-40%, kandungan kitin sebanyak 15-20% dan kalsium
karbonat sebanyak 45-50% serta pada dilakukan pemprosesan menjadi kitosan dapat
mencapai 15-20%. Karakteristik kimia dari kitosan yaitu mempunyai poliamin linear,
reaktif gugus amino, gugus hidroksil yang reaktif, dan clelating agent. Sedangkan
karakteristik secara biologis kitosan tidak beracun, aman untuk manusia dan
mikroorganisme, memiliki efek regeneratif, meningkatan pembentukan tulang,
hemeostatik, spermicidal, anti tumor, fungistatik, dan menghilangkan stres (Dutta, 2004).
Seperti juga yang dikatakan dalam jurnal “Extraction and characterization of chitin : a
function biopolymer obtained from scales of common carp fis (Cyprinus carpio I.)
menerangkan bahwa kitin mempunyai polimer yang tidak beracun, tidak berbau,
biokompatibel pada jaringan hewan dan enzimatis biodegradable.
Kitosan merupakan salah satu yang bernilai ekonomis tinggi, karena pemanfaatannya
sebagai pengawet alami yang memiliki polikation bermuatan positif yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Pengaplikasian kitin dan kitosan tidak
hanya sebagai pengawet alami dapat juga diaplikasikan bidang farmasi, biokimia,
bioteknologi, industri kertas, tekstil, kosmetika, dan kesehatan (Marganov, 2003).
Kitosan juga bisa sebagai antimikroba, adanya kandungan enzim lysozim dan
aminopolisakarida pada kitosan. Dengan kemampuan molekul kitosan yang berinteraksi
dengan senyawa di permukaan sel bakteri, sehingga teradsorbsi untuk membentuk lapisan
yang menghambat saluran transportaso sel dan substansi sel akan mengalami
perkembangan sehingga akhirnya sel akan mati. Penggunaan kitosan sebagai antimikroba
yaitu dengan cara melarutkan dengan asam asetat encer 1% sehingga membentuk larutan
kitosan yang homogen (Ratna dan Sugiyani, 2006).
Pada jurnal “Extraction and Characterissation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell”
bahwa Chitosan telah banyak digunakan di bidang yang beraneka ragam, mulai dari
pengelolaan limbah makanan pengolahan, obat-obatan dan bioteknologi. Di bidang
pertanian, penggunaan chitosan telah dibentuk untuk meningkatkan hasil padi dan
anggrek produksi.
Pada proses pembuatan kitin ada tiga tahap yang dilalui yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi. Sedangkan menurut Islam (2011), dalam pembuatan kitin
kitosan ada 4 tahapan yaitu demineralisasi, deproteinasi, decolorisasi, dan diasetilasi.
Tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan kitin kitosan adalah demineralisasi yang
bertujuan untuk penghilangan mineral yang ada pada limbah kulit udang, yaitu CaCO3
yang dapat berkurang dengan menggunakan asam yang berkonsentrasi rendah (Rahayu,
2007).
Demineralisasi
Cara untuk melakukan demineralisasi yaitu dengan pencucian limbah kulit udang dengan
air mengalir dan keringkan, kemudian dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak
2 kali pencucian. Tujuan dari pencucian ini yaitu untuk menghilangkan kotoran yang
menempel sehingga dapat mencemari ekstrak dari kitin serta pencucian dengan air panas
yang dapat sebagai proses sterilisasi berguna untuk menghilangkan mikroorganisme
berbahaya dari kulit udang (Bastaman, 1989). Dari proses pencucian dengan air panas,
maka dikeringkan kembali dan dihancurkan hingga menjadi serbuk. Pengeringan
bertujuan agar air panas dapat teruapkan, menghasilkan produk kering.
Selanjutnya dari proses pengeringan, ayak hasil menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
diambil 10 gram untuk setiap kelompok. Lalu tambahkan dengan HCl perbandingan 10:1,
untuk kelompok D1, D2 HCl 0,75 N, untuk kelompok D3, D4 HCl 1 N, untuk kelompok
D5 HCl 1,25 N. Penambahan HCl (asam encer) ini berperan untuk melarutkan senyawa-
senyawa mineral yang ada serbuk kulit udang, terutama kalsium karbonat (Burrows,
2007). Dari hasil pencampuran tersebut diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu
800 C. Lalu dicuci dengan pH netral dan dikeringkan pada suhu 800 C selama 24 jam.
Proses pencucian hingga pH netral untuk membantu penghilangan mineral pada kulit
udang serta dapat mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat
kandungan gugus amino bebas (Suptijah,2004).
Dapat diketahui bahwa dari hasil pengamatan yang diperoleh, didapatkan bahwa hasil
rendemen kitin I terbesar diperoleh kelompok D3 dengan perlakuan kulit udang + HCl 1
N + NaOH 3,5% + NaOH 50% sebesar 36,84%. Sedangkan rendemen yang terkecil
diperoleh kelompok D5 dengan perlakukan kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60% sebesar 29,17%. Menurut pendapat Suptijah (2004), bahwa semakin tinggi
konsentrasi HCl yang digunakan, maka semakin besar rendemen kitin I yang dihasilkan.
Namun hal ini tidak sesuai dengan toeri Suptijah (2004), karena pada proses pencampuran
dilakukan secara tidak konstan ketika pemanasan berjalan, dengan demikian pengadukan
yang konstan akan membuat larutan HCl bereaksi sempurna dengan kulit udang (Kaunas,
1984). Bisa juga ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan toeri disebabkan karena
adanya rendemen kitin yang ikut terbuang pada saat pencucian dan penyaringan. Proses
demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah proses deproteinasi karena jika sebelumnya
dilakukan proses demineralisasi akan terjadi kontaminasi pada protein terhadap cairan
ekstrak mineral.
Deproteinasi
Selanjutnya tahapan deproteinasi yang berguna untuk mengurangi kadar protein dengan
menggunakan larutan alkali encer serta pemanasan yang cukup (Rahayu, 2007).
Deproteinasi dilakukan dengan pencampuran hasil dari demineralisasi dengan NaOH
3,5% perbandingan 6:1 kemudian dilakukan pengadukan selama 1 jam dengan
pemanasan pada suhu 800 C. Adanya penambahan NaOH pada tahapan ini untuk
melarutkan protein yang terdapat pada kitin hasil dari demineralisasi (Rogers, 1986).
Selanjutnya dilakukan pendinginan dan penyaringan hingga pH netral. Tujuan dilakukan
pendinginan agar bubuk kitin yang dihasilkakn mengendap dibawah sehingga tidak
terbuang ketika dicuci berulang kali. Setelah dilakukan pencucian berulang kali hingga
didapatkan pH netral, dilakukan pengeringan pada suhu 800 C selama 24 jam dan
dihasilkan kitin dalam bentuk kering.
Dari hasil pengamatan setelah dilakukan tahapan deproteinasi diperoleh rendemen kitin
II terbesar pada kelompok D3 sebesar 45,71% sedangkan hasil rendemen kitin II yang
terkecil pada kelompok D1 sebesar 25%. Data yang diperoleh praktikan ini dirasa kurang
valid, karena jika dibandingkan dengan hasil rendemen kitin I terdapat peningkatan hasil
rendemen seperti pada kelompok D3 yaitu dari 36,84% menjadi 45,71% dan pada
kelompok D4, D5. Seharusnya dengan adanya proses deproteinasi dan pencucian akan
diperoleh rendemen kitin yang semakin rendah. Hal ini disebabkan diperngaruhi oleh
agak berbedanya dengan toeri dari Angka & Suhartono (2000) yaitu demineralisasi
sebaiknya dilakuan setelah tahap deproteinasi, jika demineralisasi dilakukan sebelum
proses deproteinasi akan terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral.
Deasetilasi
Selanjutnya tahapan deasetilasi yang bertujuan untuk mendapatkan kitosan dari kitin
dengan pelepasan gugus asetil pada kitin. Caranya kitin dari hasil deproteinasi
ditambahkan NaOH (20:1) dengan konsentrasi 40% untuk kelompok 1 dan 2, NaOH 50%
untuk kelompok 3 dan 4, NaOH 60% untuk kelompok 5. Selanjutnya dilakukan
pengadukan selama 1 jam pada suhu 800 C. Tujuan penambahan NaOH dan pemanasan
pada suhu 800 C akan menyebabkan gugus asetil terlepat dari molekul kitin (Reece, 2003).
Lalu, dilakukan penyaringan dan pencucian sampai pH netral. Selanjutnya adalah
pengovenan pada suhu 700 C selama 24 jam. Hasil akhir dari tahap deasetilasi ini yaitu
kitosan.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh setelah proses diasetilasi rendemen kitosan yang
maksimal diperoleh kelompok D1 sebesar 45,25%. Sedangkan hasil rendemen kitosan
yang terkecil pada kelompok D5 sebesar 39,14% yang menggunakan NaOH 50%. Dari
toeri Suptijah (2004) dan Prasetyo (2006) menyatakan, bahwa semakin besar konsentrasi
NaOH yang ditambahkan maka akan menghasilkan rendemen kitosan yang semakin besar
karena proses ekstrak kitosan semakin sempurna.
Dari jurnal berjudul “Development of Chotisan Based Active Film to Extend the Shelf
Life of Minimally Processed Fish” menerangkan bahwa bahwa kitin dan kitosa
merupakan polimer alami yang melimpah dan terbaru dengan memiliki sifat
biodegradasi, biokompatibilitas, non toksisitas dan absorbi. Karena sifat-safat tersebut
kitin dan kitosan bisa digunakan sebagai pembungkus makanan. Alasan kenapa bisa
digunakan untuk pembungkus makanan karena kemampuannya untuk membentuk film
semi permeabel.
Pada jurnal “Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of
Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities” kitin dapat digunakan
sebagai antimikroba dengan pengaplikasian pembalut luka. Namun pengaplikasian ini
memiliki kelemahan dari bahan-bahan yang digunakan misalnya rendah antimikroba,
alergenisitas, efek toksik dan kelengketan yang rendah. Dengan demikian para peneliti
lebih mengembangkan potensial pembalut luka ini dengan menambahkan Ag Np yang
dapat bertindak sebagai penghalang mikroba sehingga membatasi adanya kontaminasi.
Pada jurnal berjudul “Extraction of chitin and chitossan from mangrove crab Sesarma
plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Coast of India” menjelaskan bahwa
kitin biopolimer alami dan tidak beracun yang didapatkan dari limbah kepiting dan kulit
udang. Serta juga bisa diterapkan pada bidang farmasi sebagai dalam penyembuhan luka.
4. KESIMPULAN
Bahan utama dari kitin dan kitosan adalah limbah kulit udang.
Limbah kulit udang ada 2 jenis yaitu limbah cair dan limbah padat.
Kitin dan kitosan yaitu merupakan kelompok dari polisakarida linier yang tersusun β
(14), memiliki ikatan N-asetil-2 amino-2-deoksi D glukosa dan 2-amino-2deoksi-D
glukosa.
Pencucian dengan air panas yang dapat sebagai proses sterilisasi berguna untuk
menghilangkan mikroorganisme berbahaya dari kulit udang.
Pada proses pembuatan kitin praktikum kali ini menggunakan tiga tahap yang dilalui
yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Pengaplikasian kitin dan kitosan tidak hanya sebagai pengawet alami dapat juga
diaplikasikan bidang farmasi, biokimia, bioteknologi, industri kertas, tekstil,
kosmetika, dan kesehatan.
Proses pencucian hingga pH netral untuk membantu penghilangan mineral pada kulit
udang serta dapat mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat
kandungan gugus amino bebas.
Demineralisasi yang bertujuan untuk penghilangan mineral yang ada pada limbah kulit
udang, yaitu CaCO3 yang dapat berkurang dengan menggunakan asam yang
berkonsentrasi rendah.
Deproteinasi yang berguna untuk mengurangi kadar protein dengan menggunakan
larutan alkali encer serta pemanasan yang cukup.
Deasetilasi yang bertujuan untuk mendapatkan kitosan dari kitin dengan pelepasan
gugus asetil pada kitin.
Semarang, 28 Oktober 2015
Praktikan , Asisten Dosen
Tjan, Ivana Chandra
Ratna Rahayuningtyas
13.70.0138
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdulwadud Abdulkarim, Muhammed Tijani Isa, Surajudeen Abdulsalam, Abubakar
Jaju Muhammad, Alewo Opuada Ameh. 2013. Extraction and Characterisation of
chitin and chitosan from Mussel Shell.
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan
from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing
Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise.
(2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed
Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ.
Sci., 2 (2): 103-111, 2007.
D. Sakthivel, N. Vijayakumar and V. Anandan. 2015. Extraction of chitin and chitossan
from mangrove crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry
Coast of India. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Research.
Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Kitin and Kitosan :
Chemistry, Properties, and Applications. Journal of Scientific & Industrial
Research. Vol.63, January 2004, pp 20-31.
Jiffy Paul P, Sharmila Jesline J. W & K. Mohan. 2013. DEVELOPMENT OF CHITOSAN
BASED ACTIVE FILM TO EXTEND THE SHELF LIFE OF MINIMALLY
PROCESSED FISH. International Journal of Research in Engineering & Technology
(IMPACT: IJRET) ISSN 2321-8843 Vol. 1, Issue 5, Oct 2013, 15-22.
Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation,
USA.
Kaya, M., Seyyar, O., Baran, T., Tuncay. T. (2014). Bat guano as new and attractive
chitin and chitosan source. 11 :59.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702),
Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
Masayuki Ishihara , Vinh Quang Nguyen , Yasutaka Mori , Shingo Nakamura and
Hidemi Hattori. 2015. Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface
Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. Int.
J. Mol. Sci. 2015,-13988; doi:10.3390/ijms160613973.
Md. Monarul, Islam; Shah Md. Masum, M. Mahbubur Rahman, Md. Ashraful Islam
Molla, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell
and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied
Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01.
Ornum, J. V. (1992). Shrimp Waste Must it be Wasted? Info Fish (6) : 92.
Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.
Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., p. 629-639. Germany.
Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Rahayu, L. H. & Purnavita, S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah
Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri.
Reaktor, Vol. 11, No.1, Hal. 45-49. Semarang.
Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan
Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.
Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.Science Published Ltd., England.
S. G. Zaku, S. A. Emmanuel O. C. Aguzue and S. A. Thomas. 2011. Extraction and
characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common
carp fish (Cyprinus carpio l.). African Journal of Food Science Vol. 5(8), pp. 478 -
483, August, 2011 Available online http://www.academicjournals.org/ajfs ISSN
1996-0794 ©2011 Academic Journals
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU
UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi.
Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ𝐼× 100%
Rendemen Chitin II = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑖𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼× 100%
Rendemen Chitosan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼𝐼× 100%
Kelompok D1
Rendemen Chitin I = 4,5
14`× 100%
= 32,14 %
Rendemen Chitin II = 2
8× 100%
= 25 %
Rendemen Chitosan = 1,52
3,15× 100%
= 48,25 %
Kelompok D2
Rendemen Chitin I = 4,5
14× 100%
= 32,14%
Rendemen Chitin II = 2,04
6,5× 100%
= 31,38 %
Rendemen Chitosan = 1,38
3,5× 100%
= 39,43 %
Kelompok D3
Rendemen Chitin I = 3,5
9,5× 100%
= 36,84 %
Rendemen Chitin II = 1,6
3,5× 100%
= 45,71 %
Rendemen Chitosan = 1,17
2,5× 100%
= 46,80 %
Kelompok D4
Rendemen Chitin I = 4
11,5× 100%
= 34,78 %
Rendemen Chitin II = 1,7
4,5× 100%
= 37,78 %
Rendemen Chitosan = 0,98
2,5× 100%
= 39,20 %
Kelompok D5
Rendemen Chitin I = 3,5
12× 100%
= 29,17 %
Rendemen Chitin II = 1,8
5,5× 100%
= 32,73 %
Rendemen Chitosan = 1,37
3,5× 100%
= 39,14 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal