chitin_yosia_13.70.0122_kloter a_unika soegijapranata

42
Acara II CHITIN CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Yosia NIM: 13.70.0122 Kelompok: A4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Upload: praktikumhasillaut

Post on 10-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Chitin merupakan produk lanjut yang terbuat dari limbah crustaceans berupa kulit udang

TRANSCRIPT

Page 1: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Yosia

NIM: 13.70.0122

Kelompok: A4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas,

kain saring ukurang 30x30. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah

udang, HCL 0,75N, 1N, 1,25N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air

panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan

HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 3: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Deproteinasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 4: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Deasetilasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Page 5: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Page 6: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan Chitin Chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan Chitin Chitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

A1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%30,00 20,00 10,40

A2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%45,00 26,67 13,07

A3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%35,00 22,22 12,32

A4HCl 0,75N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%20,00 28,57 14,95

A5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%30,00 25,00 12,40

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa perlakuan yang dilakukan oleh kelompok A1 dan A2

sama yaitu dengan penambahan HCl 0,75N, NaOH 40% dan NaOH 3,5% kemudian

pada kelompok A3 ditambahkan dengan HCl 1N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%, pada

kelompok A4 ditambahkan HCl 0,75N, NaOH 50%, dan NaOH 3,5%, dan pada

kelompok A5 ditambahkan dengan HCl 1,25N, NaOH 60%, dan NaOH 3,5%.

Kemudian diukur nilai rendeman kitin I, rendemankitin II, dan rendeman kitosan. Nilai

rendeman kitin I terbesar terdapat pada kelompok A2 sebesar 45,00%, nilai rendeman

kitin II dan rendeman kitosan terbesar terdapat pada kelompok A4 yaitu sebesar 28,57%

dan 14,95%.

5

Page 7: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Menurut .teori dari Dutta et al (2004) kandungan protein dan mineral pada limbah

udang tergolong cukup tinggi, serta terdapat astaxantin yang merupakan pro-vitamin A

yang digunakan untuk pembentukan warna. Menurut Morteza Shahabi et al (2009)

Kitin merupakan polimer alami yang dapat ditemukan pada hewan exoskeleton seperti

udang. Chitin adalah polisakarida dengan struktur molekul “Poly N-Acetyl

Glucosamine”. Chitosan terbuat dari chitin. Polimer kationik pada chitosan dapat dibuat

dengan deasetilasi dari chitin Sebenarnya, perbedaan utama antara kitin dan kitosan

adalah pada persentase dari kelompok asetil yang terdapat pada struktur kimianya. Jika

persentase asetil glukosamin lebih dari 50% maka disebut kitin dan jika persentase

glukosamin kurang dari setengah, maka disebut chitosan. Chitosan larut dalam asam

asetat rendah sedangkan chitin tidak dapat larut. Berikut ini adalah struktur dari chitin

dan chitosan :

Kitin terdapat di berbagai spesies, seperti ciliates, amuba, chrysophytes, beberapa alga,

ragi dan jamur, untuk hewan terdapat pada hewan berukuran kecil seperti krustasea,

cacing, serangga dan moluska. Vertebrata, tanaman dan prokariota tidak mengandung

kitin. Goody (1995) melaporkan bahwa kitin terdapat banyak pada spora Streptomycete

dan batang bakteri protease. Kerang arthropoda mengandung 20-55% kitin dari berat

kering. Dari sudut pandang praktis, kerang dari krustasea seperti kepiting dan udang

adalah limbah yang sangat tersedia dari industri pengolahan makanan laut. Limbah

tersebut dapat digunakan untuk produksi komersial kitin. Udang, gurita, lobster, ikan

cray, ikan jelly, cumi-cumi, tiram, kerang, serangga dan jamur merupakan sumber

potensial untuk produksi chitin. Chitosan ada secara alami hanya dalam beberapa

6

Page 8: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

spesies jamur seperti zygomycetes dan Mucorales seperti Absidia coerulae, tetapi secara

praktis kitosan dapat dibuat dengan deasetilasi kitin.

Dalam industri pengolahan crustaceae ada dua jenis limbah yang dihasilkan. Pertama

adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran serta yang kedua limbah padat

yang berupa kulit, kepala, dan juga kaki. Pada limbah cair dapat diatas dengan

menggunakan waste water treatment, sedangkan untuk penanganan limbah padat

terbaik dengan mengolah menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi,

misalnya kitin, tepung ikan dan flavor udang. Menurut Dutta et al (2004), kitin

memiliki warna yang putih, keras, inelastis, dan merupakan polisakarida yang

mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton sama seperti pada

struktur internal invertebrata. Limbah crustacean merupakan sumber yang kaya akan

chitin yaitu sekitar kurang lebih 25-30% dari berat kering untuk rajungan dan 30-40%

untuk udang (Purwaningsih, 1994).

Pada praktikum kali ini, kulit udang digunakan sebagai sumber kitin dan kitosan. Salah

satu bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan kitin dan kitosan adalah limbah

udang (crustacea). Kulit udang merupakan sumber kitin mengandung protein 25-40%,

kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya kandungan komponen-

komponen tersebut juga dapat dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat hidup dari

udang tersebut. Kulit udang merupakan salah satu limbah dari pengolahan udang yang

dapat berfungsi sebagai sumber potensial untuk pembuatan kitin dan kitosan. Kitin dan

kitosan merupakan biopolimer yang secara komersil berpotensi pada berbagai bidang

industri. Hal tersebut diungkapkan oleh Marganov (2003). Menurut Suhardi (1992),

kitin bukan merupakan senyawa yang berdiri sendiri di alam, namun merupakan

senyawa yang berikatan dengan senyawa lain. Pada crustacea, kitin berikatan dengan

protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen. Kandungan kitin yang paling tinggi

dihasilkan dari kulit udang “windu” yang mengandung kitin sebesar 99,1%. Hal tersebut

diungkapkan oleh Prasetiyo (2006).

Menurut Wang et al (2010), kitin merupakan polisakarida yang sangat melimpah di

alam. Kitin dapat ditemukan dalam komponen struktural eksoskeleton dari insecta dan

Page 9: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

crustacean, dalam dinding sel fungi (30-60%), kulit kerang, paruh burung, serta tulang

rawan (bagian tengah) dari cumi-cumi. Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung

beberapa enzim seperti papain, lactase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa

isomerase. Pemanfaatan kitin umumnya paling besar digunakan pada industri pangan

dan industri kosmetik. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Peter (1995). Akan tetapi,

karena kitin sangat sulit larut dengan air, hal ini membuat pemanfaatan kitin menjadi

sangat terbatas. Untuk mengatasi sifat kitin tersebut, salah satu jalannya adalah dengan

cara memodifikasi struktur kimiawi sehingga akan dihasilkan turunan kitin yang

mempunyai sifat kimia yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kitin. Salah satu

dari turunan kitin tersebut adalah kitosan yang mempunyai sifat larut dalam asam dan

viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari

polimer kitin. Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur dan apabila disimpan dalam

jangka waktu yang lama dengan suhu sekitar 100oF, sifat kelarutan dan viskositas dari

kitosan ini akan berubah. Apabila kitosan disimpan lama dengan keadaan terbuka

(mengalami kontak dengan udara), hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya

dekomposisi, perubahan warna menjadi kekuningan, dan menurunnya viskositas dari

kitosan tersebut. Sifat dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam asam

encer seperti misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan tetapi bila kitosan

telah disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut dengan air. Kitosan dapat

mudah larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang

dapat mempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya interaksi

hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan. Hal tersebut sesuai

dengan teori dari Dunn et al. (1997).

Berdasarkan teori dari T. Si Trung and H. N. D. Bao (2015) kitin memiliki struktur

kimia (C8H13NO5)n dan merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang

berikatan dengan ikatan glikosidik β (1,4). Sedangkan kitosan merupakan produk

turunan dari kitin, dan merupakan senyawa dengan rumus kimia polimer (2-amino-2-

dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan cara menghidrolisis kitin dengan

menggunakan basa kuat. Kitosan memiliki bentuk padatan amorf berwarna putih

dengan struktur kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni. Rantai dari kitosan

tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan rantai kitin yang digunakan untuk

Page 10: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

menghasilkan kitosan tersebut. Menurut Robert (1992) kitosan memiliki bentuk yang

mirip dengan selulosa, yang membedakannya hanya pada gugus hidroksi C-2nya,

dimana gugus tersebut disubtitusi dengan gugus amino (NH2). Kitosan juga dapat

dimanfaatkan sebagai pengawet karena kitosan mengandung gugus amino yang

memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Hal

tersebut menjadikan ciri khas bagi kitosan dimana polisakarida lainnya biasanya

memiliki muatan yang netral.

Kitosan yang dihasilkan dari deasetilasi kitin mempunyai sifat polikationik yang

menyebabkan kitosan dapat berfungsi sebagai agen penggumpal dalam penanganan

limbah, terutama pada limbah yang mengandung protein. hal tersebut diungkapkan oleh

Suhardi dan Sudarmanto. (1992). Menurut Cahyaningrum et al. (2007), kitosan mampu

berikatan secara crosslink apabila ditambahkan dengan crosslinked agent seperti

glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+. Balley et al (1977) menambahkan bahwa

hingga saat ini terdapat lebih dari 200 pemanfaatan dari kitin dan kitosan serta

turunannya yang dapat digunakan terutama pada industri pangan, pemrosesan makanan,

bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, serta lingkungan.

Inmaculada Aranaz (2009) mengatakan bahwa kitin tidak larut dalam media air

sementara kitosan larut dalam kondisi asam karena gugus amino proton bebas berada

pada D-glukosamin unit. Berdasarkan asalnya, baik chitin dan chitosan tidak dapat

didefinisikan sebagai struktur kimia yang unik tapi sebagai keluarga polimer yang

menyajikan variabilitas yang tinggi dalam kimia dan sifat fisik. Variabilitas ini terkait

tidak hanya untuk asal sampel tetapi juga pada metode pengolahan. Chitin dan chitosan

digunakan dalam bidang yang berbeda sebagai sebagai makanan, biomedis dan

pertanian, antara lain. Keberhasilan chitin dan chitosan di masing-masing aplikasi

khusus secara langsung berkaitan dengan penelitian berdasarkan sifat fisikokimianya.

Mohamed Abou-Shoer (2010) Chitosan memiliki sekelompok amino bebas yang

bertindak sebagai reaktif yang dapat mengikat pewarna anionik seperti Bromocresol

ungu untuk menghasilkan kompleks-warna terikat. Meskipun matriks kitosan telah

mengakuisisi warna merah dengan Bromocresol ungu, namun larutan asam yang

Page 11: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

digunakan untuk mengusir pewarna terserap tidak melepaskan intensitas warna yang

terlihat. Maka ketika mencuci, asam diperlakukan dengan natrium hidroksida dan ketika

diukur pada panjang gelombang yang sama, solusi tersebut tidak merekam cukup

pembacaan nilai absorbansi pada chitosan.

Pada praktikum ini, proses ekstraksi kitin menggunakan bahan baku berupa limbah

udang yang telah dipisahkan dari kepalanya. Untuk mengekstraksi kitin, limbah udang

harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk mendapatkan

kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus diproses lebih lanjut, yaitu proses

desasetilasi.

3.1. Pembuatan Kitin

3.1.1. Demineralisasi

Pada tahap ini, mula-mula limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir, dan kemudian

dikeringkan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada kulit

udang yang akan digunakan dimana kotoran tersebut dapat mencemari ekstrak kitin

yang akan dihasilkan. Sedangkan proses pengeringan bertujuan untuk membuat air yang

masih berada pada kulit udang dapat diteruapkan, sehingga kadar air yang terletak pada

kulit udang tersebut dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang yang

kering. Setelah itu, dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-

60 mest dimana serbuk tersebut nantinya akan diambil sebanyak 10 gram pada masing-

masing kelompok. Menurut Prasetyo (2006), proses penghancuran bertujuan untuk

memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut yang nantinya digunakan dapat

dengan maksimal melarutkan komponen-komponen dengan maksimal.

Kemudian, ditambahkan dengan HCl dimana perbandingan serbuk kitin dan HCl adalah

1:10. Pada kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75 N, pada kelompok A3 dan A4

menggunakan HCl 1 N, dan pada kelompok A5 dengan HCl 1,25 N. Proses

penambahan HCl tersebut bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang

dikandung oleh kulit udang. Menurut Bastaman (1989), kulit udang mengandung

mineral sebanyak 30 hingga 50% dari berat keringnya dimana mineral utama yang ada

pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Mineral yang ada pada

Page 12: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya proses ekstraksi

kitin dimana komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam

encer seperti misalnya HCl, H2SO4, atau asam laktat. Senyawa Ca3(PO4)2 dan CaCO3

merupakan mineral yang paling banyak ditemukan dalam kitin yang masih kasar

(impurities chitin) dimana dengan penambahan HCl akan mengakibatkan kerusakan

pada permukaan biopolimer kitin. Reaksi kerusakan kitin akibat penambahan HCl

adalah sebagai berikut:

HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)

H+(aq) + H2O H3O+(aq)

Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)

CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)

(Robert, 1992).

Setelah itu, dipanaskan pada hotplate hingga suhunya mencapai 90oC kemudian diaduk

selama 1 jam. Proses pemanasan selama 1 jam ini berfungsi untuk mempercepat proses

perusakan mineral yang dikandung oleh kulit udang. Sedangkan proses pengadukan

yang dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan bertujuan untuk menghindari

timbulnya gelembung-gelembung udara akibat proses pemisahan mineral selama

terjadinya proses demineralisasi. Hal tersebut diungkapkan oleh Puspawati et al. (2010).

Gelembung-gelembung udara yang terbentuk merupakan dampak dari terbentuknya gas

CO2 pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel pada proses perusakan

mineral (demineralisasi). Reaksi yang terjadi pada proses terbentuknya gelembung dari

gas CO2 ini adalah sebagai berikut:

CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).

(Robert, 1992).

Tahap selanjutnya, dicuci dengan air hingga pHnya mencapai netral. Kemudian,

dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC. Menurut teori dari Hargono & Haryani

(2004) dengan dilakukannya proses demineralisasi ini akan menghilangkan garam-

garam anorganik serta kandungan mineral yang dikandung oleh kitin, terutama

kandungan kalsium karbonat (CaCO3). Proses demineralisasi ini akan mengakibatkan

kalsium karbonat bereaksi dengan asam klorida sehingga membentuk kalsium klorida,

Page 13: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

asam karbonat, dan asam fosfat yang merupakan senyawa yang larut dengan pelarut

polar seperti air sedangkan residu yang tidak larut dengan pelarut polar (air) merupakan

senyawa kitin yang telah terekstrak. Karena mineral yang ada pada kitin terlarut dengan

air, maka diperlukannya proses penyaringan dalam proses penetralan pH ini sehingga

hanya residu kitin saja yang tersisa. Hal tersebut sesuai dengan teori yang diungkapkan

oleh Bastaman (1989).

Pada percobaan ini, kelompok A1, A2, A3, A4, dan A5 menghasilkan nilai rendemen

kitin I secara berturut-turut yaitu 30%, 45%, 35%, 20%, dan 30%. Dimana nilai

rendeman kitin I terbesar terdapat pada kelompok A2 dengan penambahan HCl sebesar

0,75N dan nilai rendeman kitin I terendah pada kelompok A4 dengan penambahan

konsentrasi HCl sebesar 1N. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dari Johnson dan

Peterson (1974) yang mengatakan bahwa apabila semakin tinggi konsentrasi HCl yang

digunakan maka nilai rendemen kitin yang dihasilkan juga akan semakin besar. Hal

tersebut mungkin dapat terjadi karena pada proses pencucian kitin senyawa-senyawa

mineral pada serbuk udang ikut hilang.

3.1.2. Deproteinasi

Pada proses deproteinasi, hasil tepung dari khitin yang telah melewati proses

demineralisasi dicampur dengan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan kitin :

NaOH sebesar 6 : 1. Menurut Rogers (1986), penambahan basa NaOH pada proses

deproteinasi ini bertujuan untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada kitin.

Setelah itu, dipanaskan pada hotplate hingga suhunya mencapai 90oC sambil diaduk,

selama 1 jam, setelah itu disaring dan didinginkan. Proses pemanasan dan proses

pengadukan pada tahap deproteinasi ini memiliki fungsi yang sama dengan pemanasan

dan pengadukan yang ada pada tahap demineralisasi yaitu untuk menguapkan air dan

mengkonsentrasikan NaOH yang ditambahkan sehingga rendemen kitin yang dihasilkan

akan semakin maksimal untuk fungsi dari proses pemanasan dan membantu pelarutan

NaOH yang mengakibatkan proses deproteinasi dapat berjalan dengan lebih baik.

Tahapan selanjutnya, adalah residu dicuci dengan air sampai pHnya netral. Berdasarkan

teori dari Rogers (1986), proses penetralan akan berpengaruh terhadap sifat

penggembungan kitin dengan alkali. Hal tersebut akan mengakibatkan efektivitas proses

Page 14: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

hidrolisis basa pada gugus asetamida pada rantai kitin. Kemudian, dikeringkan selama

24 jam pada suhu 80oC.

Pada proses deproteinasi ini, larutan NaOH akan terionisasi di dalam air dan akan

membentuk ion natrium dan ion hidroksida. Apabila larutan tersebut ditambahkan

secara perlahan-lahan ke larutan asam, maka akan mengakibatkan setiap ion hidroksida

bereaksi dengan ion hidrogen untuk membentuk molekul air. Di saat ion hidrogen

berada di dalam larutan tersebut, hal ini akan mengakibatkan larutan tersebut memiliki

sifat yang asam. Akan tetapi, jika ion hidroksida yang ditambahkan memiliki jumlah

yang sama dengan ion hidrogen maka larutan tersebut akan menjadi larutan yang netral.

Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Rogers (1986).

Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada

kitin. Proses deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisasi karena menurut

Alamsyah et al. (2007), isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi akan

menghasilkan rendemen kitin yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan tahap

isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini dapat terjadi karena

mineral yang ada pada kitin akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang.

Selain itu, secara umum mineral memiliki struktur yang lebih keras jika dibandingkan

dengan protein, maka apabila mineral yang ada pada kitin sudah dihilangkan lebih

dahulu, hal ini akan menyebabkan proses deproteinasi yang dilakukan setelahnya dapat

berlangsung lebih optimal karena pelindung yang berasal dari kandungan mineral yang

ada sudah dihilangkan terlebih dahulu.

Pada tahapan percobaan yang dilakukan, kelompok A1, A2, A3, A4, dan A5

menghasilkan nilai rendemen kitin II secara berturut-turut yaitu 20%, 26,67%, 22,22%,

28,57%, dan 25%. Dimana nilai rendeman kitin II menghasilkan nilai lebih besar dari

20%, hal tersebut sesuai dengan teori dari Puspawati et al. (2010) yang mengatakan

bahwa pada umumnya rendemen kitin yang berasal dari limbah kulit udang akan

menghasilkan rendemen kitin lebih dari 20%. Berdasarkan hasil percobaan, pada

kelompok A4 nilai rendeman kitin II lebih besar yaitu 28,57% dibandingkan rendeman

kitin I dengan nilai 20%, hal tersebut dapat saja terjadi karena proses deproteinasi yang

Page 15: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

kurang sempurna. Proses deproteinasi yang kurang sempurna tersebut umumnya

diakibatkan oleh adanya kitin yang terikut dengan air pada saat proses penetralan dan

penyaringan, pengeringan kitin yang kurang sempurna, atau proses demineralisasi yang

kurang optimal sehingga masih ada pelindung mineral yang terletak pada kulit udang

sehingga menghambat proses deproteinasi. Kelarutan protein dan mineral pada suasana

basa akan lebih besar jika dibandingkan kelarutannya pada suasana asam. Hal ini

dikarenakan larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan larutan asam seperti HCl. Hal tersebut sesuai dengan teori

dari Fennema (1985). Maka dari itu, proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat

basa akan mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan khususnya komponen

protein yang berada pada kitin tersebut, sehingga rendemen kitin yang dihasilkan

mengalami penurunan dari rendemen kitin sebelumnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau tidaknya pembuatan kitin antara lain

jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi dua

metode yaitu proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Kitin dapat diekstrak baik

dengan secara kimiawi maupun secara enzimatis. Faktor lain yang mempengaruhi

kualitas kitin dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses yang di dalamnya termasuk

lamanya proses pengolahan, suhu pengeringan yang digunakan, konsentrasi zat kimia

yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin. Hal tersebut sesuai dengan

yang diungkapkan oleh Laila & Hendri (2008). Dengan semakin lama proses

pemanasan (pengeringan), akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang

terlarut berkurang banyak. Namun, apabila pemanasan dilakukan dalam waktu yang

lebih singkat, hal ini mengakibatkan kandungan protein yang terlarut menjadi lebih

rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut sepenuhnya. Hal

tersebut sesuai dengan teori dari Winarno (1997).

3.2. Deasetilasi (Pembuatan Kitosan)

Setelah kulit udang melalui proses pembuatan kitin (demineralisasi dan deproteinasi),

maka kitin yang telah dihasilkan tersebut diberikan perlakuan lanjutan sehingga

terbentuk senyawa turunannya, yaitu kitosan. Proses ekstraksi kitosan dari kulit udang

sendiri terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap demineralisasi dan deproteinasi yang

Page 16: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

merupakan tahap pembuatan kitin, serta deasetilasi yang akan mengubah senyawa kitin

yang telah terbentuk sebelumnya menjadi senyawa kitosan. Hal tersebut diungkapkan

oleh Robert (1992). Menurut Ramadhan et al. (2010), transformasi senyawa kitin

menjadi senyawa kitosan pada tahap deastilasi ini sendiri dilakukan dengan langkah

penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin menjadi gugus amina yang ada pada

kitosan. Mutu kitosan yang dihasilkan digambarkan dengan persentase gugus asetil

yang bisa dihilangkan dari rendemen kitin sebelumnya maupun kitosan tersebut.

Standar mutu kitosan dinilai berdasarkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan

tersebut yang dinamakan dengan derajat deasetilasi. Dengan semakin tingginya derajat

deasetilasi dari kitosan yang dihasilkan, hal tersebut menandakan bahwa gugus asetil

yang dimiliki kitosan tersebut semakin rendah sehingga mengakibatkan interaksi antar

ion-ion dan ikatan hidrogennya bertambah kuat. Hal tersebut sesuai dengan teori dari

Knoor (1984).

Morteza et al (2009) mengungkapkan derajat deasetilasi dari kitosan dapat diwakilkan

dengan banyaknya glukosamin dan asetil glukosamin yang terkandung pada kitosan

yang dihasilkan. Azhar et al. (2010) menambahkan bahwa, kitin dapat diubah menjadi

kitosan dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH3) yang dimiliki oleh kitin

menjadi gugus amina (–NH2) yang nantinya dimiliki oleh kitosan. Tujuan dari proses

deasetilasi ini adalah untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan

gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah menjadi gugus

amina (–NH2) yang merupakan bagian dari senyawa kitosan yang akan dihasilkan.

Berikut ini merupakan gambar dari proses pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin

menghasilkan gugus amina terdeasetilasi yang dimiliki oleh kitosan.

Gambar 4. Pengubahan gugus asetil pada gugus asetamida kitin

(Azhar et al., 2010).

Page 17: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Berdasarkan teori dari Cahyaningrum (2007), kitosan merupakan senyawa yang

memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan, yang salah satunya dapat digunakan

sebagai bahan antimikroba. Kemampuan antimikroba yang dimiliki oleh kitosan ini

dikarenakan kitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang

mampu menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Kemampuan antimikroba kitosan

dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut kitosan dimana antimikroba yang menggunakan

kitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan dari berbagai macam bakteri dan

kapang. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Limam et al (2011) yang mengatakan

bahwa kitosan memiliki karakteristik sebagai penghambat aktivitas bakteri dan fungi

yang baik.

Pada proses deasetilasi ini, mula-mula kitin ditambahkan dengan NaOH sambal diaduk

selama 1 jam dan didiamkan 30 menit. Perbandingan antara kitin dengan NaOH yang

ditambahkan adalah 20 : 1 di mana untuk kelompok A1 dan A2 digunakan NaOH 40%

kelompok A3 dan A5 NaOH 50%, dan kelompok A5 NaOH 60%. Setelah itu,

dipanaskan pada hotplate hingga suhunya mencapai 90oC kemudian dihitung selama 1

jam sambil diaduk. Suhu yang digunakan pada proses pemanasan dan pengadukan ini

akan berpengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk, dimana semakin

tinggi suhu yang diaplikasikan maka derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan

meningkat. Menurut Puspawati et al. (2010). tujuan dari pemanasan ini sendiri adalah

untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Sedangkan proses

pengadukan yang dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk

meratakan kitin yang digunakan sebagai bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan

sehingga proses deasetilasi berjalan lebih optimal. Proses pendinginan yang dilakukan

pada tahap ini bertujuan untuk membuat bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap

dengan sempurna di bagian bawah dan tidak ikut terbuang selama proses pencucian.

Tahapan selanjutnya, dicuci dengan air hingga pHnya mencapai netral, dimana proses

ini dilakukan bersamaan dengan penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan

rendemen kitosan yang terbentuk dengan komponen-komponen lainnya. Kemudian,

dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC dan dihasilkan kitosan dari percobaan ini.

Ramadhan et al. (2010) mengungkapkan bahwa setelah proses pengeringan tersebut,

Page 18: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan.

Tetapi kitosan yang dihasilkan berwarna kuning, hal tersebut dapat terjadi karena waktu

pemanasan yang terlalu singkat karena pada saat pemanasan terjadi hal yang tidak

diinginkan yaitu panas hotplate yang digunakan tidak stabil sehingga terjadi bau gosong

dan akibatnya waktu pemanasan hanya sebesar sehingga kandungan protein yang

terlarut menjadi lebih rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum

larut sepenuhnya

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, penambahan NaOH yang digunakan

memiliki konsentrasi sebesar 40%, 50%, dan 60%. Penambahan NaOH dengan

konsentrasi sekitar 50% ini sudah sesuai dengan teori dari Hirano (1989) yang

mengatakan bahwa struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat antara ion

nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses deasetilasi ini digunakan larutan

natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 40-60% dan suhu yang tinggi untuk

mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan. Penggunaan NaOH sendiri bertujuan

untuk merubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim

yang akan menguraikan lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin.

Alkali (NaOH) dengan konsetrasi yang tinggi ini akan memutuskan ikatan antara gugus

karboksil dengan gugus nitrogen pada kitin. Hal tersebut sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Martinou (1995). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan

pada proses deasetilasi, hal ini akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi

yang tinggi pula. Hal tersebut dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi

gugus asetil pada kitin dalam larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses

deasetilasi yang dilakukan akan lebih optimal. Penggunaan suhu tinggi pada poses

deasetilasi ini akan mengakibatkan gugus asetil terlepas dari struktur kitin dan gugus

amina pada struktur kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang memiliki muatan

positif sehingga membentuk gugus amina bebas. Hal tersebut sesuai dengan teori dari

Mekawati et al. (2000).

Dari metode praktikum yang dilakukan, penggunaan NaOH yang digunakan berbeda-

beda, pada kelompok A1 dan A2 konsentrasi NaOH yang ditambahkan sebesar 40%,

kelompok A3 dan A5 sebesar 50%, dan A5 sebesar 60% dan nilai yang dihasilkan

Page 19: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

secara berturut-turut adalah 10,40%, 13,07%, 12,32%, 14,95%, dan 12,40%. Hal

tersebut kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) dan Naznin (2005) yang

mengatakan bahwa penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan

menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan

penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan

sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang

dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada

proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang

digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan

waktu). Hal tersebut sesuai dengan teori dari Suhardi (1992).

Page 20: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kulit udang merupakan limbah dari pengolahan udang yang dapat berfungsi

sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan.

Kitin memiliki warna yang putih, keras, inelastis, dan merupakan polisakarida

yang mengandung nitrogen

Kitosan yang mempunyai sifat larut dalam asam dan viskositas larutannya

tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari polimer kitin.

Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang

berikatan dengan ikatan glikosidik β (1,4).

Kitosan merupakan produk turunan dari kitin, dan merupakan senyawa dengan

rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan

dengan cara menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat.

Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang harus mengalami tahap

demineralisasi dan deproteinasi.

Untuk mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus melalui

proses desasetilasi.

Proses penghancuran bertujuan untuk memperbesar luas permukaan bahan.

Proses penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan

komponen mineral yang dikandung oleh kulit udang.

Kulit udang mengandung mineral sebanyak 30 hingga 50% dari berat keringnya

dimana mineral utama yang ada pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan

kalsium fosfat.

Proses demineralisasi akan menghilangkan garam-garam anorganik serta

kandungan mineral yang dikandung oleh kitin, terutama kandungan kalsium

karbonat (CaCO3).

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang

dihasilkan juga akan semakin banyak pula.

Penambahan basa NaOH pada proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan

kandungan protein yang ada pada kitin.

Tujuan dari proses deasetilasi adalah untuk memutuskan ikatan kovalen antara

gugus asetil dengan gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin

19

Page 21: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

untuk diubah menjadi gugus amina (–NH2) yang merupakan bagian dari

senyawa kitosan yang akan dihasilkan.

Penggunaan NaOH pada deasetilasi bertujuan untuk merubah konformasi kitin

yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim yang akan menguraikan

lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin.

Penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan

kitosan dengan rendemen yang lebih rendah.

Semarang, 22 September 2015 Asisten Dosen:

Tjan, Ivana Chandra

Yosia13.70.0122

Page 22: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Gooday, G.W., 1995. Diversity of roles for chitinases in nature in: chitin and chitosan. (MB. Zakaria, WM. Muda and M.P. Abdullah), pp: 191-202. Penerbit University- kebangs Malaysia.

Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

21

Page 23: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

22

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Inmaculada Aranaz, Marian Mengíbar, Ruth Harris, Inés Paños, Beatriz Miralles, Niuris Acosta, Gemma Galed and Ángeles Heras (2009) unctional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology, 3, 203-230

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

Limam, Zouhour., Salah Selmi., Saloua Sadok., & Amor El Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products : Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Mohamed Abou-Shoer (2010) American Journal of Analytical Chemistry, 2, 91-94.

Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki1, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi1. (2009). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation.

Page 24: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.\

Trang Si Trung and Huynh Nguyen Duy Bao (2015) Hindawi Publishing Corporation International Journal of Carbohydrate Chemistry Volume 2015, Article ID 706259,6 pages http://dx.doi.org/10.1155/2015/706259

Wang, Zhengke., Qiaoling Hu., & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 25: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

Kelompok A1

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

Rendemen Chitin II =

= 20,00 %

Rendemen Chitosan =

= 10,40 %

Kelompok A2

Rendemen Chitin I =

24

Page 26: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

25

= 45,00 %

Rendemen Chitin II =

= 26,67 %

Rendemen Chitosan =

= 13,07 %

Kelompok A3

Rendemen Chitin I =

= 35,00 %

Rendemen Chitin II =

= 22,22 %

Rendemen Chitosan =

= 12,32 %

Kelompok A4

Rendemen Chitin I =

=20,00 %

Rendemen Chitin II =

Page 27: CHITIN_Yosia_13.70.0122_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

26

= 28,57 %

Rendemen Chitosan =

= 14,95 %

Kelompok A5

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

Rendemen Chitin II =

= 25,00 %

Rendemen Chitosan =

= 12,40 %

6.2. Lapsem

6.3. Diagram alir

6.4. Abstrak Jurnal