surimi_lorentia santoso_12.70.0078_kloter a_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Pembuatan surimi ka-en berbahan dasar ikan tongkol dengan penambahan berbagai konsentrasi sukrosa dan polifosfat.TRANSCRIPT
Acara III
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Lorentia Santoso
NIM : 12.70.0078
Kelompok : A2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pembuatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan Surimi
Kel. PerlakuanWHC
(mg H2O)Sensori
Kekenyalan AromaA1 Daging ikan giling + 2,5% sukrosa +
2,5% garam + 0,1% polifosfat322243,25 + +++
A2 Daging ikan giling + 2,5% sukrosa + 2,5% garam + 0,1% polifosfat
273157,52 ++ +++
A3 Daging ikan giling + 2,5% sukrosa + 2,5% garam + 0,3% polifosfat
250864,98 +++ ++
A4 Daging ikan giling + 5% sukrosa + 2,5% garam + 0,3% polifosfat
256561,18 + ++
A5 Daging ikan giling + 5% sukrosa + 2,5% garam + 0,5% polifosfat
275696,20 ++ +
A6 Daging ikan giling + 5% sukrosa + 2,5% garam + 0,5% polifosfat
266687,76 +++ +
Keterangan:Kekenyalan Aroma+ = tidak kenyal + = tidak amis++ = kenyal ++ = amis+++ = sangat kenyal +++ = sangat amis
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa penambahan sukrosa dan polifosfat dengan
konsentrasi yang berbeda akan mempengaruhi produk surimi yang dihasilkan dari segi
jumlah mgH2O atau WHC (Water Holding Capacity) dan kualitas sensori yang meliputi
kekenyalan dan aroma. Nilai WHC yang terbesar terdapat pada kelompok A1 dengan
penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,1% polifosfat pada daging ikan giling.
Nilai WHC terendah terdapat pada kelompok A3 dengan penambahan 2,5% sukrosa;
2,5% garam dan 0,3% polifosfat pada daging ikan giling. Sedangkan dari segi kualitas
sensori kekenyalan dan aroma, produk surimi yang memiliki kekenyalan yang paling
tinggi adalah daging ikan giling dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan
0,3% polifosfat pada kelompok A3 serta daging ikan giling dengan penambahan 5%
sukrosa; 2,5% garam dan 0,5% polifosfat pada kelompok A6. Produk surimi yang
memiliki aroma paling amis adalah daging ikan giling dengan penambahan 2,5%
sukrosa; 2,5% garam dan 0,1% polifosfat pada kelompok A1 dan kelompok A2.
1
2
Grafik 1. Grafik Hasil Pengamatan Surimi
0
100000
200000
300000
Nilai WHC (Water Holding Capacity) pada produk Surimi dengan berbagai perlakuan
WHC
Dari Grafik 1 di atas, dapat terlihat meskipun perlakuan 1 dan perlakuan 2 sama namun
nilai WHC yang diperoleh berbeda. Begitu juga dengan perlakuan 5 dan 6 yang sama
namun menghasilkan hasil yang berbeda. Perlakuan 3 menghasilkan produk surimi
dengan jumlah MgH2O atau nilai WHC terendah jika dibandingkan dengan perlakuan
lain, sedangkan untuk jumlah MgH2O atau nilai WHC tertinggi didapatkan dari
perlakuan 1.
1
23 4
5 6
2. PEMBAHASAN
Produk surimi merupakan daging lumat/giling yang telah dibersihkan dan dicuci secara
berulang-ulang sehingga hampir seluruh komponen bau, pigmen, darah, dan lemak
dapat hilang/terbuang. Pada penerapannya, surimi disimpan dalam bentuk beku dengan
penambahan bahan antidenaturasi (cryoprotectant) (Peranginangin et al., 1999). Surimi
beku dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan perbedaan kandungan garamnya
yaitu surimi mu-en (surimi tanpa penambahan garam) dan surimi ka-en (surimi dengan
penambahan garam), selain itu dikenal pula surimi na-na (surimi yang masih mentah
dan tidak mengalami tahap pembekuan) (Suzuki, 1981). Pada dasarnya hampir semua
jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi hanya saja ikan berdaging putih, tidak
berbau seperti lumpur dan tidak begitu amis serta mempunyai kemampuan
pembentukan gel yang maksimal yang akan menghasilkan produk surimi dengan
kualitas yang baik (Peranginangin et al., 1999).
Dalam praktikum ini digunakan daging ikan tongkol sebagai bahan baku dalam
pembuatan surimi ka-en karena terdapat penambahan garam selama proses pembuatan
surimi. Ikan tongkol bukan merupakan ikan yang terdiri dari daging putih secara
keseluruhan melainkan terdiri dari daging putih dan daging merah. Daging merah dari
ikan tongkol juga dapat dimanfaatkan menjadi produk surimi (Winarno, 1993). Pada
umumnya, surimi dapat diolah menjadi berbagai macam produk yang sering disebut
dengan fish jelly product seperti bakso, otak-otak, pempek-empek dan lain-lain.
Berkaitan dengan surimi yang pada umumnya menggunakan daging putih sebagai bahan
bakunya, maka pemanfaatan daging merah dari ikan tongkol sebagai bahan baku surimi
memiliki beberapa kelemahan (Flick et al., 1990). Penampakan daging merah ikan
tongkol kurang diminati karena daging dapat mengalami perubahan menjadi lebih gelap
selama penyimpanan dan memiliki bau yang lebih amis. Kandungan asam lemak bebas
yang relatif lebih besar pada daging merah akan memacu reaksi oksidasi (Spinelli dan
Dassow, 1982).
Masalah utama dalam proses pembuatan surimi dengan menggunakan daging merah
sebagai bahan baku adalah pada tahap pencucian. Hal ini dikarenakan kandungan lemak
yang tinggi, protein larut air, pigmen dan trimetilamin oksida pada daging merah (Chen
3
4
et al., 1997). Selama mencuci daging merah dalam pembuatan surimi biasanya
digunakan larutan garam alkali yaitu 0,5 % sodium bikarbonat (Flick et al., 1990).
Hanya saja selama proses pencucian dalam praktikum hanya menggunakan air biasa.
Komponen kimia utama yang terdapat dalam daging ikan tongkol adalah air, protein
kasar dan lemak. Komponen ini berpengaruh besar terhadap sifat, nilai nutrisi, kualitas
sensori dan stabilitas selama penyimpanan daging. Kandungan lainnya seperti
karbohidrat, vitamin dan mineral hanya berjumlah sedikit, bagian ini juga berperan
dalam menentukan nilai nutrisi, sifat sensori, dan penampakan produk secara
keseluruhan (Sikorski, 1990). Secara garis besar, ikan tongkol merupakan jenis ikan
yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dengan nilai protein yang mencapai 26%, 2%
kadar lemak dan kandungan garam mineral yang cukup tinggi. Bagian ikan tongkol
yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50 % (Suzuki, 1981).
Langkah awal yang dilakukan adalah daging ikan tongkol dicuci dan dipisahkan dari
kulit/sisik, sirip, ekor, organ dalam, dan tulang-tulangnya. Kemudian daging ikan
tongkol yang sudah bersih ditimbang sebanyak 100 gram dan dihaluskan menggunakan
blender dengan penambahan es batu untuk menjaga temperatur agar tetap rendah.
Daging ikan yang telah dihaluskan kemudian dicuci dengan air es sebanyak tiga kali
menggunakan kain saring. Daging ikan giling yang telah dicuci kemudian diberi
perlakuan yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok. Perlakuan pertama
adalah daging ikan giling ditambah dengan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,1%
polifosfat (Kelompok A1 dan A2), perlakuan kedua adalah daging ikan giling ditambah
dengan 2,5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3% polifosfat (Kelompok A3), perlakukan
ketiga adalah daging ikan giling ditambah dengan 5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,3%
polifosfat (Kelompok A4), perlakuan keempat adalah daging ikan giling ditambah
dengan 5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,5% polifosfat (Kelompok A5 dan A6). Daging
ikan giling yang diberi penambahan kemudian diaduk hingga rata dan dimasukkan ke
dalam wadah kantong plastik dan dibekukan di dalam freezer selama satu malam.
Keesokan harinya surimi yang telah beku dithawing terlebih dahulu di dalam
refrigerator kemudian diukur nilai WHC dan kualitas sensorinya yang meliputi
kekenyalan dan aroma yang diuji menggunakan panelis. Sedangkan pengukuran WHC
5
dilakukan dengan mengukur jumlah mgH2O menggunakan milimeter block dan rumus
sebagai berikut :
Luas Atas (La)=13
a(h0+4 h1+2h2+4h3+….+hn)
Luas Bawah(Lb)=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+….+hn)
Luas Area Basah=La−Lb
Mg H 2 O= luas areabasah−8,00,0948
Selama produksi surimi faktor yang menjadi penentu utama adalah suhu air yang
digunakan untuk mencuci daging dan proses penggilingan daging ikan itu sendiri. Suhu
air yang digunakan untuk mencuci daging sangat menentukan karena adanya kandungan
protein larut air yang akan hilang selama proses pencucian yang nantinya akan
berpengaruh pada karakteristik kekuatan gel yang terbentuk. Jika suhu air yang
digunakan lebih tinggi dari 15ºC akan menyebabkan semakin banyak protein larut air
yang akan terbuang bersama dengan air. Surimi akan memiliki kekuatan gel terbaik jika
daging ikan yang telah digiling dicuci dengan air yang suhunya berkisar antara 10ºC-
15ºC (Schwarz dan Lee, 1988). Adanya penambahan garam sebanyak 0,2 %-0,3 %
selama proses leaching akan mempercepat penghilangan air dari daging ikan yang telah
digiling/dihaluskan (Ditjen Perikanan Tangkap, 1990). Selain untuk mempercepat
proses penghilangan air, fungsi yang paling utama dari garam adalah untuk melepas
miosin yang ada pada serat ikan, hal ini sangat penting untuk mencapai kekuatan gel
yang maksimal. Selain itu juga digunakan berbagai bumbu atau penyedap rasa untuk
meningkatkan citarasa dari produk surimi.
Selain suhu air yang digunakan selama pencucian, kesegaran ikan juga akan
menentukan kualitas dari produk surimi yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh
Phatcharat et al. (2012), proses pengolahan dan penyimpangan produk surimi dapat
mempengaruhi kualitas dari surimi tersebut. Kualitas gel surimi dapat ditingkatkan
dengan cara menambahkan zat aditif protein, dengan memanfaatkan mikroba
transglutaminase dan juga dapat dilakukan pencucian yang akan meningkatkan
6
kekuatan gel surimi. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan selama praktikum, yaitu
dilakukan pencucian menggunakan suhu dingin secara berulang-ulang.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (1992), ada beberapa syarat bahan baku dalam
pembuatan surimi yaitu bahan baku harus bersih, bebas dari bau yang dapat
mengidentifikasikan adanya pembusukan, tidak adanya tanda-tanda dekomposisi serta
pemalsuan produk, bebas dari faktor-faktor lain yang dapat mengurangi mutu dari
produk, dan yang terpenting adalah tidak membahayakan kesehatan manusia. Secara
organoleptik bahan baku harus memiliki karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya
memiliki rupa dan warna yang bersih dengan warna daging spesifik dengan jenis ikan,
bau yang segar, daging yang elastis dan kompak serta rasa yang netral sampai agak
manis. Jika dibandingkan dengan standar yang ada maka hasil pengamatan yang
diperoleh ada yang telah sesuai dengan standar yang ada karena aroma dari produk
surimi yang dihasilkan tidak amis pada perlakuan daging ikan giling yang ditambah
dengan 5% sukrosa; 2,5% garam dan 0,5% polifosfat dan ada juga hasil pengamatan
yang belum sesuai karena surimi yang dihasilkan memiliki aroma yang sangat amis
yaitu pada perlakuan daging ikan giling ditambah dengan 2,5% sukrosa; 2,5% garam
dan 0,1% polifosfat.
Dari hasil pengamatan yang ada pada Tabel 1 dan Grafik1 maka dapat dilihat adanya
variasi hasil yang diperoleh hal ini dapat dikarenakan adanya perlakuan/penambahan
bahan tambahan dalam konsentrasi yang berbeda. Selama pembuatan surimi ikan
tongkol ini ditambahkan tiga macam bahan tambahan yaitu sukrosa, garam dan
polifosfat. Berdasarkan pendapat dari Winarno et al. (1980), bahan tambahan tersebut
sengaja ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu untuk meningkatkan kualitas
surimi yang dihasilkan. Bahan pertama yang ditambahkan adalah sukrosa, sukrosa
merupakan salah satu jenis bahan cryoprotectant. Cryoprotectant berfungsi untuk
menghambat proses denaturasi protein selama proses pembekuan dan penyimpanan
beku karena dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air oleh
ikatan hidrogen. Sukrosa sebagai cryoprotectant akan meningkatkan kemampuan air
sebagai pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein serta dapat
menstabilkan protein (Zhou et al., 2006). Dalam praktikum kali ini digunakan adalah
7
sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 2,5% (Kelompok A1, A2, dan A3) dan
5% (untuk Kelompok A4, A5, dan A6). Bahan kedua yang ditambahkan pada daging
ikan giling adalah garam. Tujuan utama ditambahkannya garam adalah untuk
melepaskan miosin yang ada pada serat ikan dan hal ini sangat penting dalam
pembentukan gel. Disamping itu garam juga digunakan sebagai bumbu penyedap rasa
atau untuk meningkatkan aroma jika garam digunakan dalam jumlah yang cukup tinggi
akan mengakibatkan perubahan citarasa dari surimi yang dihasilkan sehingga tidak
perlu ditambahkan dalam jumlah yang terlalu banyak. Hal ini sesuai dengan tahapan
penambahan garam yang dilakukan selama praktikum, yaitu sebesar 2,5% dari daging
ikan giling untuk setiap kelompok kecil.
Bahan ketiga yang ditambahkan adalah polifosfat dengan konsentrasi 0,1% (Kelompok
A1 dan A2); 0,3% (Kelompok A3 dan A4) dan 0,5% (Kelompok A5 dan A6). Polifosfat
dalam praktikum ini bertujuan untuk memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan
miosin. Gabungan antara miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air sehingga
dapat menahan mineral dan vitamin. Selain itu dengan ditambahkannya polifosfat akan
meningkatkan nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi terutama dalam sifat
elastisitasnya. Meskipun polifosfat bukan merupakan cryoprotectan tetapi polifosfat
tetap perlu ditambahkan untuk memperbaiki kemampuan daya ikat air/water holding
capacity (WHC). Biasanya polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2 % hingga 0,3 % dalam
bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999). Sedangkan dalam
praktikum ini polifosfat ditambahkan dari range 0,1-0,5%.
2.1. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Garam Terhadap Nilai WHC
Selama praktikum pembuatan surimi menggunakan ikan tomgkol ini dilakukan
pengujian pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap water holding capacity surimi.
Kelompok A1 sampai A3 menggunakan sukrosa dengan konsentrasi 2,5% sedangkan
kelompok A4 sampai A6 menggunakan sukrosa dengan konsentrasi 5%. Sedangkan
untuk garam yang digunakan, semua kelompok menggunakan konsentrasi garam yang
sama (2,5%). Menurut Wiguna (2005), semakin besar konsentrasi cryoprotectant
(sukrosa) yang ditambahkan dalam pembuatan surimi maka kemampuan pengikatan air
(water holding capacity) akan semakin meningkat. Dari hasil pengamatan praktikum
8
ini, pada kelompok A1 dan A2 hasil kemampuan water holding capacity pada surimi
dengan penambahan sukrosa konsentrasi 2,5% justru lebih besar dibandingkan surimi
dengan penambahan sukrosa 5%. Hal ini dapat disebabkan pengadukan yang dilakukan
kurang maksimal sehingaa sukrosa kurang dapat kontak dan diserap oleh adonan daging
ikan giling. Jika dilihat secara keseluruhan pada kelompok A1 justru memiliki
kemampuan water holding capacity yang paling besar meskipun ditambahkan sukrosa
konsentrasi 2,5%, hal ini juga dapat disebabkan karena pengepresan yang dilakukan
tidak seragam kekuatannya untuk masing-masing kelompok dan dapat juga dikarenakan
pengukuran menggunakan milimeter block yang kurang akurat. Selain itu selama
pemisahan daging ikan tongkol sangat dimungkinkan bahwa bagian daging merah dari
ikan tongkol banyak yang tertimbang dan diolah menjadi surimi. Sedangkan menurut
Spinelli dan Dassow (1982) bagian daging merah ikan tongkol memiliki karakteristik
yang lebih berlemak dan amis sehingga pencucian menggunakan air biasa dirasa belum
cukup untuk memaksimalkan kualitas surimi.
Selama proses pembuatan surimi ditambahkan garam, maka surimi yang dihasilkan
merupakan surimi jenis ka-en karena ditambahkan garam dalam konsentrasi tertentu hal
ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Suzuki (1981). Penambahan garam
dapat menurunkan jumlah air dalam adonan daging ikan giling dari surimi dan juga
dapat memacu pembentukan gel yang elastis dan fleksibel. Menurut Shimizu et al.
(1994), biasanya dalam pembuatan surimi, konsentrasi garam yang digunakan adalah 2
hingga 3% karena bila terlalu berlebih akan menimbulkan rasa asin. Hal ini sejalan
dengan yang dilakukan selama praktikum, tidak ada perbedaan konsentrasi garam yang
diberikan pada daging ikan giling, akan tetapi seluruh daging ikan giling ditambahkan
garam sebesar 2,5%. Konsentasi tersebut masih dalam batas yang cukup untuk membuat
protein miofibril larut sehingga memberikan adonan surimi yang elastis dan fleksibel.
Secara sensori rasa memang tidak dilakukan pengamatan dalam praktikum akan tetapi
berdasarkan teori yang ada, penambahan garam dengan konsentrasi tertentu dapat
meningkatkan citarasa pada produk akhir dari surimi ikan tongkol.
9
2.2. Pengaruh Polifosfat Terhadap Kualitas Sensori Surimi
Selain ditambahkan garam dan sukrosa, pada pembuatan surimi juga ditambahkan
polifosfat yang bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan kelembutan surimi.
Menurut Tan et al. (1988), polifosfat tidak tergolong dalam senyawa cryoprotectant,
namun sering ditambahkan dalam proses pembauatn surimi untuk meningkatkan daya
ikat air (water holding capacity) selain itu juga dapat meningkatkan kelembutan pada
adonan surimi. Menurut Toyoda et al.(1992), jumlah polifosfat yang ditambahkan akan
berpengaruh pada tekstur surimi sehingga surimi menjadi lebih lembut dan lebih kenyal.
Berdasarkan teori yang ada maka seharusnya semakin banyak polifosfat yang
ditambahkan maka kekenyalan dari produk surimi juga semakin meningkat. Hal ini
sesuai dengan hasil pengamatan bahwa penambahan polifosfat sebanyak 0,3% dapat
memberikan tingkat kekenyalan yang cukup tinggi. Jika dibandingkan antara nilai WHC
dengan tingkat kekenyalan maka semakin tinggi nilai WHC maka seharusnya semakin
rendah tingkat kekenyalannya yang dikarenakan tingginya jumlah air (mgH2O) yang
ada di dalam surimi.
2.3. Jurnal
Menurut Nopianti et al. (2012) dalam “Effect of different types of low sweetness sugar
on physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) during
frozen storage” dibahas mengenai terdapat beberapa alternatif gula dengan tingkat
kemanisan yang relatif rendah yang dapat digunakan sebagai bahan cryoprotectant
dalam pembuatan surimi. Dalam penelitian digunakan gula pemanis lactitol,
maltodextrin, polydextrose, dan trehalose. Parameter yang diamati meliputi kadar air,
pH, nilai WHC, warna putih pada surimi, kekuatan gel, dan juga analisis tekstur. Dari
keempat jenis pemanis yang digunakan, pemanis polydextrose memberikan
hasil/pengaruh positif yang paling nyata terhadap parameter pengujian surimi sehingga
dapat digunakan sebagai alternatif cryoprotectant dengan tingkat kemanisan yang relatif
lebih rendah.
10
Gambar 1. Perubahan Nilai WHC Selama Penyimpanan
Gambar 1 di atas merupakan salah satu hasil pengamatan yang diperoleh dalam jurnal
mengenai nilai WHC pada produk surimi beku selama proses penyimpanan. Dapat
dilihat bahwa semakin lama waktu penyimpanan maka tingkat efektivitas dari WHC
juga akan menurun.
Sedangkan menurut Agustini et al. (2008) dalam “Evaluation on utilization of small
marine fish to produce surimi using different cryoprotectective agents to increase the
quality of surimi” berpendapat bahwa kualitas surimi pada umumnya akan menurun
dikarenakan terjadinya denaturasi protein. Penggunaan gula sebagai agen
cryoprotectant sangat penting untuk mencegah deaturasi protein yang dapat terjadi
selama penyimpanan beku. Dapat digunakan gula stevia dengan jumlah kalori yang
lebih rendah sebagai alternatif lain selain sorbitol dan sukrosa untuk mencegah proses
denaturasi protein selama penyimpanan beku surimi.
Menurut Mahawanich (2008) dalam “Preparations and Properties of Surimi Gels from
Tilapia and Red Tilapia” dinyatakan bahwa pemanasan akan mempengaruhi proses
pembentukan surimi berbahan dasar ikan tilapia dan ikan tilapia merah. Dalam proses
persiapan surimi dilakukan kombinasi antara suhu pemanasan lima tingkat (40, 45, 50,
60, dan 70°C) dan waktu pemanasan empat tingkat (30, 60, 90, dan 120 menit).
11
Gambar 2. Perbandingan kekuatan gel pada kedua jenis surimi pada kombinasi suhu dan waktu pemanasan
Gel yang terbentuk dengan sifat yang paling kuat adalah gel yang dihasilkan dari proses
pemanasan suhu 45°C selama 60 menit. Sedangkan gel yang dipanaskan pada suhu
70°C menghasilkan surimi dengan kekuatan gel yang paling rendah. Jika dibandingkan
antara surimi ikan tilapia dengan surimi ikan tilapia merah, maka surimi ikan tilapia
memiliki nilai WHC yang lebih baik/tinggi dibandingkan dengan surimi ikan tilapia
merah. Semua perlakuan menghasilkan surimi dengan warna putih yang sama, kecuali
pada perlakuan pemanasan 70°C yang memberikan hasil yang paling berbeda nyata.
Berdasarkan penelitian Phu et al. (2010) dalam “Gel-forming Characteristics of Surimi
from White Croaker under the Inhibition of the Polymerization and Degradation of
Protein” ternyata polimerisasi dan degradasi ikatan miosin dapat dicegah. Kemampuan
surimi dalam membentuk gel juga dapat ditingkatkan melalui pemanasan penduluan
selama 20 menit. Metode Folin dapat dilakukan untuk mengidentifikasi degradasi
protein oleh enzim protease.
Menurut Jafarpour et al. (2012) dalam “A Comparative Study on Effect of Egg White,
Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp
(Cyprinus carpio) Surimi Gel” telah diteliti bahwa adanya penambahan tepung putih
telur (1, 2, dan 3%), pati kentang (3, 6, 12%), dan isolat protein kedelai (10, 20, dan
12
30%) dalam beberapa tingkat konsentrasi dapat mempengaruhi tekstur, warna, evaluasi
sensori dari surimi ikan mujair. Parameter yang diuji meliputi viskositas, kekuatan gel,
tekstur, nilai WHC, warna, dan kualitas sensori lainnya.
Gambar 3. Pengaruh penambahan tepung putih telur, pati kentang, dan isolat protein
kedelai berbagai konsentrasi terhadap kualitas tekstur surimi
Tekstur surimi yang terbaik dapat dicapai dengan penambahan tepung putih telur
konsentrasi 3%, pati kentang sebesar 3%, isolat protein kedelai sebesar 10%. Sedangkan
untuk parameter warna yang terbaik akan dicapai dengan menambahkan tepungputih
telur sebanyak 1%, pati kentang 12%, dan isolat protein kedelai 10%. Secara
keseluruhan kualtias sensori terbaik diperoleh pada surimi dengan penambahan tepung
putih telur sebesar 3%. Dengan demikian, penggunaan tepung putih telur dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas karakteristik dari gel surimi.
3. KESIMPULAN
Kualitas surimi yang baik adalah tidak terlalu amis, memiliki kemampuan gel
yang baik, tingkat kekenyalan/elastisitas yang tinggi.
Faktor yang mempengaruhi kualitas surimi adalah kesegaran ikan, suhu
penyimpanan, suhu pencucian daging ikan.
Surimi ka-en diproduksi dengan penambahan garam pada konsentrasi 2,5%.
Cryoprotectant yang digunakan adalah sukrosa yang dapat menghambat proses
denaturasi protein pada produk surimi.
Semakin besar konsentrasi sukrosa maka kemampuan WHC (water holding
capacity) semakin besar.
Penambahan polifosfat bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan
kelembutan surimi.
Jumlah polifosfat yang digunakan akan mempengaruhi tekstur surimi sehingga
surimi menjadi lebih lembut.
Selama pencucian daging ikan giling sebaiknya menggunakan air dengan suhu
yang relatif rendah untuk menghindari hilangnya protein larut air yang
berlebihan.
Proses pencampuran dan pengadukan antara daging ikan giling dengan bahan
tambahan akan menentukan efektivitas dari bahan tambahan.
Bagian daging merah dari ikan tongkol akan mempengaruhi karakteristik surimi
selama pemrosesan dan tahap akhir/produk akhir surimi.
Semarang,22 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen
Dea Nathania
Lorentia Santoso(12.70.0078)
13
4. DAFTAR PUSTAKA
[DitjenPerikanan] Direktorat Jenderal Perikanan. 1990.Buku PedomanPengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Direktorat JenderalPerikanan, Departemen Pertanian.
Agustini, Tri Winarni; Y.S. Darmanto and Danar Puspita Kurnia Putri. 2008. Evaluation on utilization of small marine fish to produce surimi using different cryoprotectective agents to increase the quality of surimi. Journal of Coastal Development. Vol. 11: 131-140.
Chen HH, Chiu EM, Huang JR. 1997. Color and gel-forming properties of horse mackerel (Trachurus japonicus) as related to washing conditions. Journal of Food Science. Vol. 62(5):985 –991.
Flick GJ, Barna MA, Enriquez LG. 1990. Processing finfish. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, editor. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.
Jafarpour, Ali; Habib Allah Hajiduon and Masoud Rez Aie. 2012. A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. Journal Process Technology 3 : 11.
Mahawanich, Thanachan. 2008. Preparations and Properties of Surimi Gels from
Tilapia and Red Tilapia. Naresuan University Journal. Vol 16 (2): 105-111.
Nopianti, R; Huda N; Fazilah A.; Ismail N. And Easa A.M. 2012. Effect of different types of low sweetness sugar on physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) during frozen storage. International Food Research Journal 19 Vol 3. 1011-1021.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999.Teknologi PengolahanSurimi.Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.
Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. (2004). Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.
Phu, Ngo Van; Katsji Morioka and Yoshiaki Itoh. 2010. Gel-forming Characteristics of Surimi from White Croaker under the Inhibition of the Polymerization and Degradation of Protein. Journal of Biological Sciences 10. ISSN 1727-3048.
Schwarz MD, Lee CM. 1988. Comparison of the thermostability of redhake and alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 –1351.
14
15
Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1994). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.
Sikorski ZE. 1990.Seafood: Resources, Nutritional Composition andPreservation. Florida: CFC Press Inc, Boca Ratan.
Spinelli J, Dassow JA. 1982. Fish proteins: their modification and potential uses in the food industry. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, WardDR, editor.Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products.Connecticut: AVI Publishing Company.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publishers Ltd.
Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.
Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.
Wiguna, A. N. (2005). Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.
Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective Effect of Trehalose and Sodium Lactate on Tilapia (Sarotherodon nilotica) Surimi Durimg Frozen Storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus perhitungan WHC (mg H2O):
Luas atas ( LA )=13
a (h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawa h ( LB )=13
a (h0+4h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas area basah (LAB)=LA−LB
mg H 2O=LAB−8,00,0948
Perhitungan WHC Kelompok A1
Luas atas ( L A )=13
51,5(118+4 ×196+2× 210+4× 188+88)
Luas atas ( LA )=37114,33
Luas bawa h ( LB )=13
51,5(110+4 ×22+2 ×2+4 ×23+88)
Luas bawa h ( LB )=6557,67
Luas area basah (LAB)=37114,33−6557,67
Luas area basah (LAB)=30556,66
mg H 2O=30556,66−8,00,0948
mg H 2O=322243,25 mg
Perhitungan WHC Kelompok A2
Luas atas ( LA )=13
47,5 (105+4 ×185+2 ×195+4 ×183+95)
Luas atas ( LA )=32648,33
Luas bawa h ( LB )=13
47,5(105+4×26+2× 11+4 ×25+95)
Luas bawa h ( LB )=6745
Luasarea basah (LAB)=32648,33−6745
Luas area basah (LAB)=25903,33
mg H 2O=25903,33−8,00,0948
16
17
mg H 2O=273157,52mg
Perhitungan WHC Kelompok A3
Luas atas ( LA )=13
45 (85+4 ×176+2 ×194+4 ×174+97)
Luas atas ( LA )=29550
Luas bawa h ( LB )=13
45(85+4 ×20+2× 11+4 ×25+97)
Luas bawa h ( LB )=5760
Luas area basah (LAB)=29550−5760
Luas area basah (LAB)=23790
mg H 2O=23790−8,00,0948
mg H 2O=250864,98 mg
Perhitungan WHC Kelompok A4
Luas atas ( LA )=13
45 (85+4 ×173+2 ×195+4 × 172+84)
Luas atas ( LA )=29085
Luas bawa h ( LB )=13
45(85+4×17+2× 6+4×17+84)
Luas bawa h ( LB )=4755
Luasarea basah (LAB)=29085−4755
Luas area basah (LAB)=24330
mg H 2O=24330−8,00,0948
mg H 2O=256561,18 mg
Perhitungan WHC Kelompok A5
Luas atas ( LA )=13
48 (95+4 ×178+2 ×185+4× 171+95)
Luas atas ( LA )=31296
18
Luas bawa h ( LB )=13
48(95+4×19+2× 5+4 × 14+95)
Luas bawa h ( LB )=5152
Luas area basah (LAB)=31296−5152
Luas area basah (LAB)=26144
mg H 2O=26144−8,00,0948
mg H 2O=275696,20 mg
Perhitungan WHC Kelompok A6
Luas atas ( LA )=13
45 (110+4 ×180+2× 202+4× 190+60)
Luas atas ( LA )=30810
Luas bawa h ( LB )=13
45(110+4 × 25+2 ×9+4 ×20+60)
Luas bawa h ( LB )=5520
Luas area basah (LAB)=30810−5520
Luas area basah (LAB)=25290
mg H 2O=25290−8,00,0948
mg H 2O=266687,76 mg
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara