kitin kitosan_arlan_13.70.0197_kloter a_unika soegijapranata

33
CITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusunoleh: KelompokA4 Nama : Raditya Arlan Iswara NIM : 13.70.0197 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN 1

Upload: praktikumhasillaut

Post on 10-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

kitosan adalah hasil deasetilasi dari kitin

TRANSCRIPT

Page 1: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

CITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusunoleh:

KelompokA4

Nama : Raditya Arlan Iswara

NIM : 13.70.0197

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

2015

1

Page 2: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. MATERI

1.1.1. ALAT

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini antara lain oven, blender, ayakan,

perlatan gelas.

1.1.2. BAHAN

Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah limbah udang,

HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

Demineralisasi

2

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudiandikeringkanpadasuhu 80oC selama 24 jam

Page 3: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Deproteinasi

3

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 4: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Deasetilasi

4

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, danNaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu70oC selama 24 jam

Page 5: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. TABEL PENGAMATAN

Hasil pengamatan Kitin dan Kitosan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rendemen Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemenKitinI

(%)

RendemenKitin

II (%)

RendemenKitosan

(%)

A1

HCl 0,75N +

NaOH 40% +

NaOH 3,5%

30,00 20,00 10,40

A2

HCl 0,75N +

NaOH 40% +

NaOH 3,5%

45,00 26,67 13,07

A3

HCl 1N + NaOH

50% + NaOH

3,5%

35,00 22,22 12,32

A4

HCl 1N + NaOH

50% + NaOH

3,5%

20,00 28,57 14,95

A5

HCl 1,25N +

NaOH 60% +

NaOH 3,5%

30,00 25,00 12,40

Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok dengan nilai rendemen kitin I yang paling tinggi adalah kelompok A2 sebesar 45,00%, dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%. Untuk kelompok dengan nilai rendemen kitin II paling tinggi adalah kelompok A4 sebesar 28,57%, dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%. Sedangkan untuk kelompok yang memiliki nilai rendemen kitin III paling tinggi adalah kelompok A4 sebesar 14,95%, dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%.

5

Page 6: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum Citin & Chitosan kali ini dilakukan percobaan pembuatan kitin dan

kitosan dari limbah kulit udang. Menurut Trang T.S & Bao, H.N.D (2015), Chitin dan

chitosan merupakan biopolimer laut, diapatkan dari limbah udang, dari pabrik industri

pengolahan udang di Vietnam, dengan perkiraan 200.000 metrik ton per tahun. Menurut

Muzzarelli (1985), kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-

glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β (1,4). Limbah udang mengandung

protein dan mineral yang cukup tinggi, serta astaxantin yang merupakan pro-vitamin A

untuk pembentukan warna. Dalam industri pengolahan crustaceae ada dua jenis limbah

yang dihasilkan.Pertama adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran serta

yang kedua limbah padat yang berupa kulit, kepala, dan juga kaki (Yen, 2009). Kedua

limbah ini tentunya menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan

penanganan limbah cair yang terbaik, yaitu dengan menggunakan waste water

treatment. Lain halnya dengan limbah padat, limbah ini masih dapat dimanfaatkan

menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya kitin. Kitin

memiliki warna yang putih, keras, inelastis, dan merupakan polisakarida yang

mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton sama seperti pada

struktur internal invertebrate (Dutta et al, 2004).

Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit atau eksoskeleton hewan crustacea

seperti kulit udang, kulit kerang, tulang rawan cumi-cumi, dan paruh burung

(Marganov, 2003). Selain itu,menurut Peter (1995), kitin juga dapat ditemukan dalam

komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan crustacea serta terdapat di dalam

dinding sel ragi dan jamur (30-60%). Misalnya saja, kitin yang terkandung dalam kulit

udang adalah sebesar 15-20%, sedangkan sisanya pada kulit udang juga terkandung

protein sebesar 25-40% dan kalsium karbonat sebesar 45-50%. Namun, besarnya

kandungan komponen tersebut tergantung dari jenis udang dan tempat hidupnya

(Marganov, 2003). Menurut Shoer, M.A. (2010), Chitosan merupakan polimer

biokompatibel alami yang berasal dengan cara alamiah berbasis polisakarida polimer

bio, kitin, oleh deasetilasi dengan alkali meninggalkan kelompok amino bebas (-NH2).

6

Page 7: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Karakteristik kitosan tersebut berbeda dengan karakteristik polisakarida lainnya yang

memiliki muatan netral. Kitosan dapat diperoleh dari kitin yang mengalami deasetilasi

dengan larutan basa 40-50% pada suhu 120-160oC. (Radhakumary et al., 2005).

Menurut Prabu dan Natarajan (2012), kitosan memiliki beberapa manfaat lainnya

misalnya adalah memiliki aktivitas antimikrobia, antioksidan, antikoagula, antitumor

dan hepatoprotektif, antidiabetes, penyembuh luka, dan penyerapan ion logam berat

dalam suatu larutan. Sifat dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam

asam encer seperti misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan tetapi bila

kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut dengan air.

Kitosan dapat mudah larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki gugus

karboksil yang akanmempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya

interaksi hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan (Dunn et al.,

1997).

Namun, penggunaan kitin dapat menjadi terbatas karena salah satu sifat dari kitin yang

menyulitkan untuk dilakukannya pengolahan yakni sulit larut dalam air. Oleh karena

itu, kitin biasanya dimodifikasi secara kimiawi sehingga diperoleh turunan kitin yang

memiliki sifat kimia yang lebih baik. Viarsagh et al. (2010)) mengatakan chitin

merupakan polimer alami yang ditemukan pada hewan exoskeleton seperti udang.

Setelah proses ekstraksi di industri makanan, kerang ini biasanya tidak berguna. Ada

beberapa metode yang disarankan untuk ekstraksi dari polimer alami. Menurut Wang et

al. (2010), kitin merupakan suatu polimer alam yang berasal dari sumber laut yang

dapat ditemukan pada kulit atau cangkang crustaceans seperti kepiting dan udang,

serangga, dan dinding sel dari fungi. Kulit tersebut mengandung 15-40% kitin. Proses

pembuatan kitin dilakukan melalui 2 tahap yakni tahap demineralisasi yang

menggunakan larutan HCl dan deproteinasi yang menggunakan larutan NaOH.

Sedangkan kitosan sendiri merupakan produk turunan dari kitin yang mengalami proses

deasetilasi dengan menggunakan larutan alkali 40-45%, pada temperatur yang tinggi

dan waktu yang lama. Sedangkan menurut Robert (1992), kitosan dapat digunakan

sebagai bahan pengawet karena kitosan mengandung gugus amino yang memiliki

7

Page 8: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Menurut Dunn et

al. (1997), kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam format,

asam sitrat.

Produksi kitosan dari cangkang krustasea umumnya terdiri dari empat langkah dasar,

yaitu demineralisasi, deproteinisasi, penghilangan warna dan deasetilasi (Islam et al.,

2011).Pada praktikum ini, proses ekstraksi kitin menggunakan bahan baku limbah kulit

udang yang telah dipisahkan dari kepalanya.Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit

udang harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk

mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus diproses lebih lanjut,

yaitu proses desasetilasi.

Pada praktikum kali ini terdapat 3 metode, yaitu :

Demineralisasi

Dimana pada metode ini, yang dilakukan pertama adalah mencuci limbah udang

menggunakan air yang mengalir dan dikeringan, lalu dicuci dengan air panas

sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian tersebut bertujuan untuk

menghilangkan kotoran yang ada pada kulit udang yang akan digunakan dimana

kotoran tersebut dapat mencemari ekstrak kitin yang dihasilkan. Sedangkan proses

pengeringan bertujuan untuk membuat air panas yang masih berada pada kulit

udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang tersebut

dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang yang kering (Robert,

1992). Setelah itu, dihancurkan hingga menjadi serbuk dimana serbuk tersebut

kemudian diayak dengan ayakn 40-60 mesh dan diambil sebanyak 10 gram pada

masing-masing kelompok.Menurut Prasetyo (2006), proses penghancuran bertujuan

untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut yang nantinya

digunakan dapat dengan maksimal melarutkan komponen-komponen dengan

maksimal.

Lalu dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40 – 60 mesh,

dan dicampur dengan HCl (10:1) untuk HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N, diaduk selama

1 jam dan kemudian dipanaskan pada suhu 90⁰C selama 1 jam. Menurut Puspawati

8

Page 9: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

et al. (2010), pemanasan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat

jalannya proses perusakan mineral. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan

untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan karena

proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Pada saat proses pemisahan

mineral berlangsung akan terbentuk gelembung udara yang merupakan gas CO2.

Langkah terakhir adalah dicuci sampai pH netral, lalu dikeringkan pada suhu 80⁰C

selama 24 jam. Menurut Bastaman (1989), proses demineralisasi tersebut akan

menyebabkan kalsium karbonat beraksi dengan asam klorida dan membentuk

kalsium klorida, asam karbonat, dan asam fosfat yang larut dalam air. Sehingga

mineral-mineral yang terdapat pada kitin akan ikut larut dengan air, sedangkan

residu yang tidak larut air merupakan senyawa kitin.

Pada percobaan ini didapatkan rendemen dari demineralisasi yang disebut dengan

kitin I. Kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

menghasilkan rendemen sebesar 30,00%. Kelompok A2 dengan perlakuan HCl

0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar 45,00%.

Kelompok A3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%

menghasilkan rendemen sebesar 35,00%. Kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1N

+ NaOH 50% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar 20,00%. Dan untuk

kelompok A5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%

manghasilkan rendemen sebesar 30,00%. %. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori

dari Johnson dan Peterson (1974) yang mengatakan bahwa apabila semakin tinggi

konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang dihasilkan juga akan

semakin banyak pula. Hal tersebut dikarenakan adanya senyawa-senyawa mineral

pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepaskan.Penambahan asam atau

basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan disertai proses atau waktu yang

lebih panjangakan mengakibatkan lepasnya ikatan protein dan mineral dengan kitin

serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang.

Deproteinasi

9

Page 10: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Tahap selanjutnya adalah deproteinasi, dimana menurut Alamsyah et al. (2007),

proses deproteinasi merupakan salah satu proses yang perlu dilakukan pada proses

pembuatan kitin dengan tujuan untuk menghilangkan protein yang masih melekat

pada kitin, sehingga dapat diperoleh kitin yang bebas dari protein. Proses

deproteinasi sebaiknya dilakukan setelah proses deminerlasasi, hal ini dikarenakan

proses pengisolasian kitin melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan

memberikan hasil rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan tahap isolasi

kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Penyebabnya adalah apabila mineral

tidak dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi tidak dapat berlangsung

optimal karena mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan dengan

protein, sehingga mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang.

AKibatnya, apabila proses deproteinasi dilakukan terlebih dahulu maka protein tidak

dapat hilang dengan optimal karena proses penghilangan protein menjadi terhambat

oleh mineral yang membentuk pelindung yang keras. Oleh karena itulah pada

percobaan pembuatan kitin ini tahap deproteinasi dilakukan setelah tahap

demineralisasi.

Dalam metode ini, hasil dari proses demineralisasi yang berupa tepung dicapur

NaOH dengan perbandingan 6:1, Menurut Puspawati et al. (2010), larutan NaOH

ditambahkan dengan tujuan untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada

kitin. Kemudian diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90⁰C selama 1 jam.

Tujuan dilakukannya proses pemanasan menurut Puspawati et al. (2010) adalah

untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang

dihasilkan akan lebih maksimal. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan

untuk membantu pelarutan NaOH sehingga proses deproteinasi dapat berjalan

dengan baik. Inti dari dilakukannya proses netralisasi menggunakan air kuranglebih

sama dengan proses netralisasi pada tahap demineralisasi. Setelah itu disaring dan

didinginkan. Residu dicuci sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80⁰C

selama 24 jam dan akan dihasilkan Chitin. Menurut Rogers (1986), proses

netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin dengan alkali

sehingga proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin akan

semakin baik. Larutan NaOH akan terionisasi dalam air dan membentuk ion natrium

10

Page 11: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

dan ion hidroksida dan jika larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan ke

dalam larutan asam, maka setiap ion hidroksida akan bereaksi dengan ion hidrogen

membentuk molekul air.

Pada esok harinya percobaan dilakukan penimbangan berat kering untuk dapat

mengetahui besar rendemen kitin II yang diperoleh. Kelompok A1 dengan

perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar

20,00%. Kelompok A2 dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

menghasilkan rendemen sebesar 26,67%. Kelompok A3 dengan perlakuan HCl 1N

+ NaOH 50% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar 22,22%. Kelompok

A4 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen

sebesar 28,57%. Dan untuk kelompok A5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH

60% + NaOH 3,5% manghasilkan rendemen sebesar 25,00%. Dari data tersebut

dapat dilihat bahwa seluruh kelompok mengalami penurunan rendemen, kecuali

untuk kelompok A4 yang mengalami kenaikan rendemen. Hasil yang menunjukkan

peningkatan rendemen tidak sesuai dengan teori Fennema (1985) bahwa proses

penghilangan protein dan mineral akan lebih efektif menggunakan larutan basa

dibandingkan asam. Hal ini dikarenakan kelarutan protein dan mineral lebih tinggi

pada kondisi basa dibandingkan pada kondisi asam, selain itu larutan basa seperti

NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan jika proses deproteinasi menggunakan larutan alkali seperti NaOH akan

menyebabkan protein dan mineral yang hilang akan lebih banyak, sehingga

rendemen kitin yang diperoleh pun akan semakin rendah.

Ketidaksesuaian hasil percobaan dengan teori dapat disebabkan karena beberapa hal.

Menurut Hartati et al. (2002), hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan

kitin antara lain jenis bahan baku, proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan

demineralisasi). Laila & Hendri (2008) menambahkan jika proses ekstraksi kitin

dipengaruh oleh beberapa hal misalnya adalah lama proses pengolahan, suhu yang

digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH. Semakin lama proses pemanasan yang

dilakukan akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang terlarut

dapat berkurang. Namun, jika pemanasan dilakukan dalam waktu yang singkat maka

11

Page 12: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

kandungan protein yang terlarut menjadi rendah karena protein tersebut belum larut

seluruhnya. Selain itu, penyebab lainnya yang dapat terjadi adalah karena proses

demineralisasi yang tidak optimal sehingga masih terdapat mineral yang dapat

mengambat jalannya proses deproteinasi.

Deasetilasi

Setelah dilakukan proses demineralisasi dan proses deproteinasi diperolehlah kitin.

Namun, untuk dapat memproduksi kitosan perlu dilanjutkan ke tahapan berikutnya

yaitu tahap deasetilasi. Menurut Robert (1992), untuk mendapatkan kitosan perlu

dilakukan tiga tahapan proses yakni tahap demineralisasi dan deproteinasi sehingga

diperoleh kitin, dan kemudian dilanjutkan dengan tahap deasetilasi untuk mengubah

senyawa kitin menjadi kitosan. Menurut Ramadhan et al. (2010), proses deasetilasi

merupakan suatu proses penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi amina pada

kitosan. Azhar et al. (2010) menambahkan jika kitin dapat diubah menjadi kitosan

dengan cara mengbah gugus asetamida (–NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus

amina (–NH2). Sehingga dengan kata lain, proses deasetilasi mampu memutuskan

ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin

sehingga berubah menjadi gugus amina (–NH2) yang terdapat pada kitosan.

Langkah pertama pada metode ini adalah Chitin ditambahkan NaOH 40%, 50%,

60% dengan perbandingan (20:1) sambil diaduk 1 jam dan didiamkan selama 30

menit. Kemudian dipanaskan pada suhu 90⁰C selama 60 menit. Tujuan dari

pemanasan ini sendiri adalah untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan

yang terbentuk. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan dengan

proses pemanasan ini bertujuan untuk meratakan kitin yang digunakan sebagai

bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses deasetilasi berjalan

lebih optimal(Puspawati et al., 2010). Proses pendinginan pada tahap ini bertujuan

untuk membuat bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap dengan sempurna di

bagian bawah dan tidak ikut terbuang selama proses pencucian.Dengan waktu reaksi

yang lama, nitrogen, karbon dan hidrogen yang ada pada kitosan disusun secara

konsisten dengan rasio N / C tetap sama. Untuk kemurnian produk kitosan

12

Page 13: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

berdasarkan kandungan nitrogen, waktu reaksi 60 menit sudah dapat menghilangkan

senyawa nitrogen dalam kitosan (Yen, 2009).

Lalu disaring dan residu dicuci sampai pH netral. Kemudian dioven pada suhu 70⁰

selama 24 jam dan dihasilkan Chitosan. (Ramadhan et al., 2010) mengungkapkan,

bahwa setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan yang dihasilkan

akanberbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan.

Keesokan harinya, serbuk kitosan yang diperoleh ditimbang berat keringnya dan

digunakan untuk menghitung besar rendemen kitosan. Hasilnya untuk kelompok A1

sebesar 10,40%, kelompok A2 sebesar 13,07%, kelompok A3 sebesar 12,32%,

kelompok A4 sebesar 14,95%, dan kelompok A5 sebesar 12,40%. Seharusnya,

menurut Hirano (1989) struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat

antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga di proses deasetilasi ini digunakan

larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 40-50% dan suhu yang

tinggi untuk mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan. Semakin tinggi

konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi, hal ini akan

menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal tersebut

dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin

dalam larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang

dilakukan akan lebih optimal.

Rata-rata rendemen kitosan yg dihasilkan dengan penggunaan NaOH sebesar 40%,

50%, dan 60% kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) dan Naznin (2005)

yang mengatakan bahwa penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan

menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan

penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan

sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang

dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada

proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang

digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan

waktu)(Suhardi, 1992).

13

Page 14: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Chitin dan chitosan mempunyai beberapa kegunaan dalam industry, hal ini dapat

dubuktikan oleh Cheba B.A. (2011), yang mengatakan bahwa Senyawa kitin / chitosan

memiliki kegunaan potensial dan serbaguna di bidang biomedis, pertanian, lingkungan

dan Industri seperti pengawet makanan, antioksidan, pengemulsi, pengental, penstabil,

krioprotektan, clarifier, viscosifier, pembentuk gel, rasa extender, ternak. Hal ini

diperkuat oleh Aranaz I (2009), yang menyatakan kitin dan kitosan memiliki

karakteristik efek pada property. Bahkan, tidak setiap kitin atau sampel kitosan dapat

digunakan untuk aplikasi yang sama.

14

Page 15: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kulit udang merupakan limbah dari pengolahan udang yang dapat berfungsi

sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan.

Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit crustaceans dan arthoproda.

Proses demineralisasi dilakukan menggunakan larutan HCl dan deproteinasi

dilakukan menggunakan larutan NaOH.

Kitosan merupakan produk turunan dari kitin.

Kitosan dapat diperoleh melalui proses deasetliasi kitin yang telah diperoleh

pada tahap demineralisasi dan deproteinasi.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka semakin banyak gugus

asetilyang hilang sehingga kitosan mengalami penurunan berat molekul dan

rendemen kitosan yang diperoleh pun semakin rendah.

Proses penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan

komponen mineral yang dikandung oleh kulit udang.

Untuk mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus melalui

proses desasetilasi.

Semarang, 25 September 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Raditya Arlan Iswara Tjan, Ivana Chandra

15

Page 16: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13.70.0197

16

Page 17: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri.

Aranaz, I., Mengibar. M., Harris. R., Panos, I., Miralles, B., Acosta, N., Galed, G., & Heras. A. (2009). Functionall Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology 3, 203-230. Spanyol

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cheba, B.A. (2010). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Proprties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry6 (3): 149-153. University of Science and Technology, Algeria.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen.(1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

17

Page 18: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Islam Md. Monarul, Shah Md. Masum, M. Mahbubur Rahman, Md. Ashraful Islam Molla, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol. 11 No. 01: page 77-80. Bangladesh.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

Marganov.(2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan.http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3.Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prabu, K. and Natarajan, E. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 4, Suppl 4, 2012. India.

Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan

18

Page 19: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90. Ramadhan, L.O.A.N., C.L.

Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications.Trends Biomater.Artif.Organs. Vol 18(2) : 117-124.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Shoer, M.A. (2010). A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry. Vol 2: 91-94. Universitas Alexandria, Mesir.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto.(1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM.Yogyakarta.

Trung, T.S. & Bao, N.D. (2015). Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry. Vietnam.

Viarsagh, M.S., Janmaleki, M., Falahatpisheh, H.R., Masoumi, J. (2010). Chitosan Preparation from Persian GULF Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journl of Paramedical Sciences. Vol. 1, No. 2. Univesitas of Medical Sciences, Iran.

Wang, Zhengke; Qiaoling H.; and Lei, C. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010. China.

Yen Ming-Tsung, Joan-Hwa Yang, Jeng-Leun Mau, (2009).Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells.Carbohydrate Polymers 75: page 15—21. Taiwan, ROC.

19

Page 20: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Page 21: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. PERHITUNGAN

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

KelompokA1

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

Rendemen Chitin II =

= 20,00 %

Rendemen Chitosan =

= 10,40 %

KelompokA2

21

Page 22: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Chitin I =

= 45,00 %

Rendemen Chitin II =

= 26,67 %

Rendemen Chitosan =

= 13,07 %

KelompokA3

Rendemen Chitin I =

= 35,00 %

Rendemen Chitin II =

= 22,22 %

Rendemen Chitosan =

= 12,32 %

KelompokA4

Rendemen Chitin I =

=20,00 %

22

Page 23: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Chitin II =

= 28,57 %

Rendemen Chitosan =

= 14,95 %

KelompokA5

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

Rendemen Chitin II =

= 25,00 %

Rendemen Chitosan =

= 12,40 %

23

Page 24: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6.2. LAPORAN SEMENTARA

6.3. DIAGRAM ALIR

6.4. ABSTRAK JURNAL

24

Page 25: Kitin Kitosan_Arlan_13.70.0197_KLoter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

25