praktikum thl_13.70.0053_kloter a_unika soegijapranata

34
1. MATERI DAN METODE 1.1. Materi Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah antara lain oven, blender, ayakan, peralatan gelas. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbang udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 2,5 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%. 1.2. Metode 1.2.1. Demineralisasi 1 Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengn air panas 2 kali, dan dikeringkan Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl Kemudian dipanaskan pada suhu 90 o C selama 1 jam. Lalu dicuci sampai pH netral.

Upload: praktikumhasillaut

Post on 10-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

laporan mengenai kitin dan kitosan

TRANSCRIPT

Page 1: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah antara lain oven, blender, ayakan,

peralatan gelas. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbang

udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 2,5 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengn air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Page 2: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

1.2.2. Deproteinasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan.

Page 3: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.3. Deasetilasi

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, danNaOH 60% untuk kelompok A5.

Page 4: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudiandikeringkanpadasuhu70oC selama 24 jam

Page 5: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemenKitinI

(%)RendemenKitin

II (%)RendemenKitosan

(%)

A1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

30,00 20,00 10,40

A2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

45,00 26,67 13,07

A3HCl 1N + NaOH

50% + NaOH 3,5%

35,00 22,22 12,32

A4HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%

20,00 28,57 14,95

A5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%

30,00 25,00 12,40

Dari Tabel 1, dapat diketahui setiap kelompok menggunakan limbah udang yang

ditambahkan dengan HCl 0,75 N, NaOH 40%, dan NaOH 3,5% (kelompok A1 dan A2),

untuk kelopok A3 dan A4 menggunakan tambahan HCl 1N, NaOH 50%, dan NaOH

3,5%, serta kelompok A5 menggunakan tambahan HCl 1,25 N, NaOH 60%, dan NaOH

3,5%. Nilai rendemen kitin I tertinggi terdapat pada sampel A2 sebesar 45,00%, nilai

rendemen kitin II tertinggi terdapat pada sampel A4 sebesar 28,57%, serta nilai

rendemen kitosan tertinggi terdapat pada sampel A4 sebesar 14,95%. Sedangkan nilai

rendemen terendah terdapat pada sampel A4 sebesar 20,00% untuk rendemen kitin I,

sampel A1 sebesar 20,00% untuk rendemen kitin II, serta sampel A1 sebesar 10,40%

untuk rendemen kitosan.

5

Page 6: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Dutta et al (2004) menyatakan bahwa didalam limbah udang terkandung protein dan

mineral yang cukup tinggi, serta astaxantin yang merupakan pro-vitamin A untuk

pembentukan warna. Limbah udang dapat digunakan sebagai sumber potensial dalam

pembuatan kitin dan kitosan, yaitu biopolimer yang secara komersil berpotensi untuk

berbagai industri, seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, pangan, gizi, serta

pertanian (Marganov, 2003). Terdapat dua jenis limbah yang dihasilkan dalam industri

pengolahan crustaceae. Yang pertama adalah limbah cair yang berbentuk suspensi air

dan kotoran. Sedangkan yang kedua merupakan limbah padat, seperti kulit, kaki serta

kepala. Kedua limbah ini dapat mencemari lingkungan, oleh karena itu diperlukan

pengolahan limbah cair dengan cara yang paling baik dan tepat. Salah satu caranya

adalah dengan menggunakan waste water treatment. Tetapi pada limbah padat terdapat

perbedaan dalam mengelola limbah yang dihasilkan karena limbah padat masih dapat

dimanfaatkan menjadi produk olahan lanjut yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain

kitin.

Kitin dan kitosan adalah polisakarida yang berasal dari hasil laut, terutama dari limbah

produk laut seperti kerang, kepiting, dan udang. Kitin merupakan komponen utama dari

eksoskeleton invertebrata dan memiliki struktur kimia yang mirip dengan selulosa.

Limbah udang dan sisik ikan adalah sumber yang dapat menghasilkan kitin. Proses

ekstraksi dari kitin akan menghasilkan produk turunan kitin yang salah satunya

merupakan kitosan (Zaku et al., 2011). Perbedaan dari kedua bahan tersebut terletak

pada struktur D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin. Kitin berwarna putih, keras,

inelastis, dan merupakan polisakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan

dalam eksoskleton sama seperti pada struktur internal invertebrata. Kitosan merupakan

bahan kimia multiguna yang disiapkan secara komersial dengan diasetilasi basa kitin

yang didapatkan dari eksoskeleton crustaceae laut. Kitosan memiliki kelarutan,

biodegradasi, serta kemampuan penyerapan berbeda-beda tergantung dari asam amino

yang menyusun rantai polimernya. Limbah udang yang terdiri atas kulit dan kepala

merupakan limbah industri dari pabrik pembekuan udang, limbah ini dapat mencapai 60

6

Page 7: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

-70 % dari berat utuh. Bagian kulit dan kepala udang mengandung kitin yang lebih

besar dibandingkan dengan cangkang atau kulit crustaceae lainnya (Rismana, 2001).

Dalam praktikum kitin dan kitosan kali ini, bahan yang digunakan adalah limbah udang

(crustacea) yang merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan

kitin dan kitosan. Kulit udang mengandung kalsium karbonat 45-50%, protein 25-40%,

dan kitin 15-20%, akan tetapi jenis dan lingkungan hidup dari udang menjadi hal yang

akan mempengaruhi besarnya kandungan komponen-komponen tersebut. Kulit udang

menjadi sumber potensial untuk menghasilkan kitin dan kitosan melalui pengolahan

limbahnya. Kitin berikatan dengan protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen di

dalam crustacea (Prasetiyo, 2006).

Menurut Wang et al (2010), kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa

enzim seperti papain, lactase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase.

Pemanfaatan kitin umumnya paling besar digunakan pada industri pangan dan industri

kosmetik (Peter, 1995). Salah satu dari turunan kitin adalah kitosan yang mempunyai

sifat larut dalam asam dan viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan

derajat degradasi dari polimer kitin. Sifat lain dari kitosan adalah kitosan hanya dapat

larut dalam asam encer seperti misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan

tetapi bila kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut

dengan air. Sifat kitosan yang mudah larut dalam asam asetat disebabkan oleh asam

asetat memiliki gugus karboksil yang dapat mempermudah proses larutnya kitosan yang

terjadi karena interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari

kitosan (Dunn et al., 1997). Berikut merupakan struktur kitin dan kitosan:

Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)

Page 8: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

Pada praktikum ini, proses ekstraksi kitin menggunakan bahan baku limbah kulit udang

yang telah dipisahkan dari kepalanya. Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang

harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Proses demineralisasi bertujuan

untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan bantuan asam pada konsentrasi

rendah untuk mendapatkan kitin. Kemudian, tujuan dari proses deproteinasi adalah

untuk mengurangi kadar protein dengan bantuan larutan alkali encer dan pemanasan.

Setelah kitin dihasilkan dilakukan proses lanjutan, yaitu deasetilasi untuk mendapatkan

kitosan. Tujuan dari proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil dari

kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Rahayu &

Purnavita, 2007).

3.1. Pembuatan Kitin

3.1.1. Demineralisasi

Tahap pertama yang dilakukan adalah limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir,

dan dikeringkan. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang

terdapat pada kulit udang. Sedangkan pengeringan bertujuan untuk membunuh mikroba

yang ada pada kulit udang (Hargono & Haryani, 2004). Setelah itu, dihancurkan hingga

menjadi serbuk, diayak dengan ayakan 40-60 mesh, dan diambil sebanyak 10 gram.

Prasetyo (2006) menyatakan bahwa tujuan dari proses penghancuran adalah untuk

memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut yang nantinya digunakan dapat

melarutkan komponen-komponen dengan maksimal.

Kemudian, sampel dicampur HCl dengan perbandingan serbuk kitin dan HCl yaitu 1:10.

Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75 N, kelompok A3 dan A4 menggunakan

HCl 1 N, dan kelompok A5 menggunakan HCl 1,25 N. HCl yang ditambahkan dalam

proses demineralisasi ini bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang

terkandung pada kulit udang. Karena menurut Bastaman (1989), mineral yang

terkandung dalam kulit udang sebesar 30-50% dari berat keringnya. Mineral utama yang

ada pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Komponen mineral

tersebut harus dipisahkan terlebih dahulu dengan cara dilarutkan dengan asam cair,

misalnya HCl, H2SO4, atau asam laktat. Ca3(PO4)2 dan CaCO3 merupakan mineral yang

paling banyak ditemukan dalam kitin yang masih kasar (impurities chitin) ketika

Page 9: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

ditambahkan dengan HCl akan merusak permukaan biopolimer kitin. Reaksi kerusakan

kitin akibat penambahan HCl adalah sebagai berikut:

HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)

H+(aq) + H2O H3O+(aq)

Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)

CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)

(Robert, 1992).

Setelah itu, dipanaskan sampai suhu 90oC dan diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan

ini berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral. Pengadukan dilakukan

dengan tujuan agar gelembung-gelembung udara yang berasal dari proses

demineralisasi dapat dicegah (Puspawati et al., 2010). Gelembung-gelembung udara ini

mucul karena gas CO2 terbentuk saat larutan HCl ditambahkan pada proses

demineralisasi (Robert, 1992).

Tahap selanjutnya, sampel dicuci sampai pH netral. Lalu dikeringkan pada suhu 80oC

selama 24 jam. Dalam tahap pencucian, komponen yang ingin dihilangkan adalah HCl.

Dengan mencuci sampel menggunakan air akan mencegah degradasi produk (apabila

HCl tidak dihilangkan) selama pengeringan kitin, hal ini akan memutuskan rantai kitin

selama proses pemanasan. Proses pencucian juga menjadi salah satu cara yang dapat

meningkatkan efektifitas dari proses deamineralisasi (Austin, 1998).

Berdasarkan hasil pengamatan, berat rendemen kitin I pada kelompok A1-A5

menghasilkan berat rendemen yang berbeda-beda. Puspawati & Simpen (2010)

menyatakan hal ini disebabkan oleh penambahan HCl yang berbeda-beda antar

kelompok. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi berat rendemen kitin I adalah

urutan dari tahap-tahap pembuatan kitin dan proses isolasi kitin yang dilakukan melalui

proses demineralisasi dan deproteinasi.

Hasil rendemen kitin I terendah diperoleh kelompok A4 dengan sampel yang

ditambahkan HCl 1 N, yaitu sebesar 20,00%. Hasil rendemen kitin I pada kelompok A4

sudah sesuai dengan teori yang ada, karena semakin tinggi konsentrasi HCl, maka akan

Page 10: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

semakin banyak mineral yang teruraikan. Penurunan kandungan mineral akan

mempengaruhi jumlah massa pada hasil akhir (massa akan berkurang) (Austin, 1988).

Rendemen kitin I terbesar diperoleh kelompok A2 dengan sampel yang ditambahkan

HCl 0,75N, yaitu sebesar 45,00%. Menurut Johnson & Peterson (1974), perlakuan

kimia seperti asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi disertai dengan waktu

yang lebih lama dapat melepaskan atau meregangkan ikatan protein dan mineral dengan

kitin serta bahan organik lainnya pada kulit udang. Semakin tinggi konsentrasi HCl,

semakin tinggi berat rendemen yang dihasilkan. Kesalahan pada hasil pengamatan

dengan teori yang ada dapat disebabkan oleh proses pemanasan. Pada proses

pemanasan, kitin tidak banyak yang ikut menguap bersama protein dan mineral tersebut

atau dengan kata lain berat rendemen kitin makin besar (Bastaman, 1989).

3.1.2. Deproteinasi

Tahap deproteinasi dilakukan dengan mencampur kitin yang telah melewati proses

demineralisasi dengan larutan NaOH 3,5% (1:6). Penambahan basa NaOH bertujuan

untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada kitin (Rogers, 1986). Keudian

dipanaskan hingga suhu 90oC dan diaduk selama satu jam. Ramadhan et al. (2010)

menyatakan bahwa proses pemanasan dan pengadukan dalam tahap deproteinasi

bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga hasil kitin yang didapatkan lebih

optimal. Tahapan selanjutnya, dicuci hingga pH netral. Proses penetralan ini akan

berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin dengan alkali. Hal tersebut akan

mempengaruhi keefektivitasan proses hidrolisis basa dari gugus asetamida pada rantai

kitin (Rogers, 1986). Lalu, dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Tujuan dari proses deproteinasi adalah untuk memisahkan kandungan protein yang ada

pada kitin. Menurut Alamsyah et al. (2007), proses isolasi kitin dengan tahap

demineralisasi-deproteinasi akan menjadikan rendemen kitin lebih banyak dibandingkan

dengan tahap deproteinasi-demineralisasi, sehingga proses deproteinasi dilakukan

setelah proses demineralisasi. Hal ini dipengaruhi oleh mineral akan membentuk

pelindung yang keras pada kitin yang terdapat di kulit udang.

Page 11: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Larutan NaOH pada proses deproteinasi akan terionisasi di dalam air, sehingga ion

natrium dan ion hidroksida terbentuk. NaOH yang ditambahkan secara perlahan ke

dalam larutan asam akan menyebabkan ion-ion hidroksida bereaksi dengan ion hidrogen

untuk membentuk molekul air. Pada saat ion hidrogen ada didalam larutan tersebut,

maka sifat larutannya akan menjadi asam. Sedangkan, ketika ion hidroksida dengan ion

hidrogen yang ditambahkan memiliki jumlah yang sama, hal ini akan membuat larutan

bersifat netral (Rogers, 1986).

Penambahan NaOH memiliki fungsi yang terkait dengan sifat larutan ini sebagai alkali

yang paling efektif untuk menghidrolisa gugus asetil pada kitin. Protein yang terikat

pada kitin cenderung lebih sulit dipisahkan dibandingkan dengan mineral pada tahap

sebelumnya. Sehingga, dibutuhkan penambahan larutan NaOH yang efektif untuk

menghidrolisa gugus asetil tersebut. Pada tahap deproteinasi ini, konsentrasi NaOH

pada setiap kelompok sama, yaitu 3,5%. Oeleh sebab itu, faktor perbedaan konsentrasi

tidak dapat dibandingkan secara pasti. Tetapi, jika berdasarkan teori, dimana semakin

tinggi konsentrasi NaOH dan suhu, kemampuan kitin berpisah dari gugus protein

menjadi lebih efektif dengan kata lain rendemen akan semakin sedikit. Hal ini

disebabkan oleh terlepas dan terbawanya protein keluar dari kitin (Supitjah, 2004). Hal

ini sudah sesuai dengan hasil pengamatan pada setiap kelompok yang mernghasilkan

rendemen kitin II lebih kecil dibandingkan dengan rendemen kitin I.

3.2. Deasetilasi (Pembuatan Kitosan)

Tahap terakhir merupakan proses merubah kirtin menjadi kitosan dengan penambahan

lartuan sodium hidroksida atau kalium hidroksida pada suhu tinggi (deasetilasi) (Robert,

1992). Bahan yang digunakan adalah kitin yang telah dikeringkan pada tahap

deproteinasi. Kitin yag telah dikeringkan ditambahkan dengan NaOH 40% (untuk

kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (untuk kelompok A3 dan A4), dan NaOH 60%

(untuk kelompok A5) dengan perbandingan NaOH: kitin = 20:1. NaOH berfungsi

sebagai pemutus ikatan gugus asetil dengan atom nitrogen sehingga berubah menjadi

gugus amina (-NH2). Sifat kitin yang relatif tahan terhadap proses deasetilasi sehingga

NaOH yang digunakan dalam bentuk larutan basa dengan konsentrasi tinggi, karena

Page 12: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

unit sel kitin memiliki struktur kristalin dan ikatan hidrogen yang luas antara atom

nitrogen dengan gugus karboksil (Karmas, 1982).

Definisi dari kitosan adalah senyawa yang mempunyai kegunaan sebagai bahan

antimikroba dalam bidang pangan. Karena di dalam kitosan terkandung enzim lysosim

dan gugus aminopolisakarida yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba tertentu,

maka kitosan mampu berperan sebagai bahan antimikroba (Cahyaningrum, 2007).

Konsentrasi pelarut akan mempengaruhi keefektifan antimikroba dari kitosan. Kitosan

memiliki karakteristik sebagai penghambat aktivitas bakteri dan fungi yang baik

(Limam et al., 2011).

Setelah itu, dilakukan pengadukan selama 1 jam dan didiamkan 30 menit. Lalu

dipanaskan sampai suhu mencapai 90oC selama 60 menit. Tujuan dari proses

pemanasan adalah untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk.

Pada proses pemanasan, suhu yang digunakan akan mempengaruhi derajat deasetilasi

kitosan yang terbentuk, dimana semakin tinggi suhu, derajat deasetilasi dari kitosan

yang terbentuk akan semakin meningkat. Sedangkan pada proses pengadukan yang

dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk meratakan kitin

yang digunakan sebagai bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga

proses deasetilasi berjalan lebih optimal (Puspawati et al., 2010). Selanjutnya, dicuci

dengan air dan disaring sampai pH netral. Penyaringan dilakukan dengan tujuan untuk

memisahkan rendemen kitosan yang terbentuk dari komponen-komponen lain yang

tidak diinginkan. Kemudian, dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC dan dihasilkan

kitosan. Hal ini sesuai dengan teori Ramadhan et al. (2010) yang menyatakan bahwa

setelah proses pengeringan, kitosan akan dihasilkan dan berbentuk serbuk dengan warna

putih kekuningan.

Hasil rendemen kitosan yang diperoleh dari kelompok A1 sebesar 10,40%, kelompok

A2 sebesar 13,07%, kelompok A3 sebesar 12,32%, kelompok A5 sebesar 12,40%, dan

kelompok A4 menghasilkan rendemen kitosan paling tinggi sebesar 14,95% dengan

penambahan NaOH 50%. Hal ini sudah sesuai dengan teori Hirano (1989) yang

mengatakan bahwa struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat antara ion

Page 13: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses deasetilasi ini konsentrasi NaOH

yang digunakan sebesar 40-60% dan penggunaan suhu tinggi agar mampu mengubah

struktur kitin menjadi struktur kitosan. Penggunaan NaOH bertujuan untuk merubah

konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim yang akan

menguraikan lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin. Alkali

(NaOH) dengan konsetrasi yang tinggi ini akan memutuskan ikatan antara gugus

karboksil dengan gugus nitrogen pada kitin (Martinou, 1995).

Pada kelompok yang ditambahkan NaOH 40% menghasilkan rata-rata yang lebih kecil

dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%

dan 60%. Hal ini kurang sesuai dengan teor Hong et al. (1989) yang mengatakan bahwa

penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan kitosan

dengan rendemen yang lebih rendah, karena penambahan NaOH akan menyebabkan

proses depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan akan

turun. Kualitas dari produk kitosan yang dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat

deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi

oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang digunakan dan kondisi proses yang dilakukan

(konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu) (Suhardi, 1992).

3.3. Jurnal

Dari jurnal “Phsycochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosa

Prepared from Pacific White Shrimp Waste” dapat diketahui bahwa sumber utama

untuk produksi skala besar dari kitin dan kitosan adalah dengan mengolah limbah

crustacean (udang, krill, dan cangkang kepiting). Sturuktur dan sifat fisikokimia kitin

dan kitosan tergantung pada kedua sumber tersebut dan kodisi produksi. Limbah udang

putih dikumpulkan dari pabrik pengolahan hasil laut di Provinsi Khanh Hoa, Vietnam

Tengah. Limbah udang yang dibekukan diangkut ke laboratorium. Limbah tersebut

dicuci dengan air mengalir dan diletakkan pada mesin pemotong yang berjalan untuk

mendapatkan potongan 0,3-0,5 cm. Sebanyak 1000 g dikemas dalam kantong plastik

dan dibekukan pada -20oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitin dan kitosan dapat

diproduksi dari limbah udang putih yang komoditasnya berlimpah di Vietnam. Kitin

Page 14: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

dan kitosan yang berkualitas baik dan memiliki aktivitas antioksidan yang dapat

berguna untuk berbagai aplikasi (J. F. Vliegenthart, 2015).

Jurnal “A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Chitosan” melakukan

penelitian mengenai derajat deasitilasi dari tingkatan kitosan yang berubah dari 56%

menjadi 99%, bergantung dari spesies crustacean dan metode yang digunakan dalam

proses tersebut. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menguji derajat

deasitilasi kitosan adalah Ninhdrin tes, infrared spektofotometri, serta hidrolisis asam

dan masih banyak lagi (M. Abou-Shoer, 2010).

Dalam jurnal yang berjudul “Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique

Properties and Versatile Applications” mengatakan bahwa kitin dan kitosan adalah

polisakarida laut unik dan khas yang menanti pengembangan di masa depan dan telah

menarik minat banyak peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Kitin dan turunannya

menunjukkan berbagai sifat fisikokimia dan biologi yang menghasilkan beberapa

aplikasi di area mulai dari pengolahan air limbah untuk agrokimia, lingkungan dan

kegunaan industri. Selain karena kurangnya toksisitas dan alergenisitas,

biokompatibilitas, biodegradasi dan bioaktivitas membuat kitin dan kitosan menjadi

substansi yang sangat menarik untuk aplikasi yang beragam sebagai biomaterial di

farmasi dan bidang medis. Penelitian dalam jurnal ini meninjau properti kitin dan

kitosan serta membahas potensinya sebagai biomaterial yang menjanjikan (Ben Amar

C., 2011).

Berdasarkan jurnal “Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and

Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation”, kitosan didefinisikan

sebagai amino polisakarida yang dapat dibuat dari kulit udang dengan beberapa aplikasi

dalam pengobatan dan rekayasa jaringan. Parameter yang paling penting yang

mencirikan kitosan dan aplikasinya adalah derajat deasetilasi. Dalam penelitian ini

pengaruh waktu deasetilasi pada kualitas kitosan yang dihasilkan, diselidiki dengan

mengukur jumlah glukosamin dan asetil glukosamin. Jumlah glukosamin dalam sampel

diukur dengan menggunakan analisis HPLC berdasarkan metode derivasi. Oleh

deasetilasi dari kitin diekstrak di 90 dan 180 menit, kitosan dengan derajat deasetilasi

Page 15: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

dari 69,75% dan 77,63% yang diperoleh, masing-masing. Oleh karena itu, dengan

meningkatkan periode deasetilasi dalam kondisi suhu konstan dan konsentrasi NaOH,

tingkat deasetilasi meningkat.

Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium hidroksida, 37% asam

klorida, asam borat, asetonitril (untuk tingkat HPLC), 9-fluorenylmethoxycarbonyl

klorida dari Merck Company dan glukosamin dari Sigma-Aldrich Company. Sedangkan

metode yang digunakan adalah sistem HPLC untuk menentukan derajat deasetilasi (M.

S. Viarsagh et al., 2010).

Jurnal yang berjudul “Functional Characterization of Chitin and Chitosan” membahas

mengenai kitin dan kitosan yang digambarkan sebagai suatu keluarga linear polisakarida

yang terdiri dari berbagai jumlah β (1-4) residu terkait dari N-asetil-2 amino-2-deoksi-

D-glukosa (dilambangkan dalam tinjauan ini sebagai residu A) dan 2-amino-2-deoksi

Dglucose residu (dilambangkan dalam ulasan ini sebagai residu D). Kitin dan kitosan

digunakan dalam bidang yang berbeda seperti makanan, biomedis serta pertanian, dan

sebagainya. Tujuan dari review ini adalah untuk menyoroti hubungan antara sifat-sifat

fisikokimia polimer dan perilaku kitin dan kitosan. Menyajikan sebuah karakterisasi

fungsional dari kitin dan kitosan mengenai beberapa sifat biologis dan beberapa aplikasi

khusus (pemberian obat, teknik jaringan, makanan fungsional, pengawet makanan,

imobilisasi biokatalis, pengolahan air limbah, pencetakan molekul dan nanocomposites

logam). Mekanisme molekuler dari sifat biologis seperti sebagai biokompatibilitas,

mucoadhesion, perembesan meningkatkan efek, anticholesterolemic, dan antimikroba

yang telah diperbarui.

Hasil dari ulasan ini ulasan ini menunjukkan bahwa kitin dan kitosan menyajikan

berbagai macam sifat yang memungkinkan mereka untuk memiliki sejumlah besar

aplikasi, tetapi, pada saat yang sama, perilaku polimernya yang sangat kompleks sulit

untuk dikontrol. Polimer ini memiliki variabilitas intrinsik karena sumber sifat mereka.

Selain itu, tergantung pada proses manufaktur, mengubah sifat sampel dari sumber yang

sama. Secara umum, karakterisasi buruk dari polimer adalah bawaan yang membuatnya

sangat sulit untuk membandingkan hasil dan untuk membangun hubungan antara

perilaku fisiologis kitin dan kitosan dan sifat mereka (I. Aranaz et al., 2009).

Page 16: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kulit udang merupakan limbah dari pengolahan udang yang dapat berfungsi

sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan.

Kulit udang mengandung mineral sebanyak 30-50% dari berat keringnya.

Mineral utama pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.

Limbah kulit udang yang mengalami proses demineralisasi dan deproteinasi

akan menghasilkan kitin.

Kitin yang telah didapat dari demineralisasi dan deproteinasi, setelah melalui

proses desasetilasi akan menghasilkan kitosan.

Pemanasan akan mempermudah pelepasan mineral dari kulit udang.

Pengadukan akan membantu larutan menjadi homogen, sehingga akan

mempermudah proses demineralisi.

Penambahan HCl bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang terdapat

pada kulit udang.

Tujuan dari demineralisasi adalah untuk menghilangkan garam-garam anorganik

dan kandungan mineral yang ada pada kitin, terutama kandungan kalsium

karbonat (CaCO3).

Semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen kitin yang dihasilkan akan

semakin banyak.

Penambahan basa NaOH pada proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan

kandungan protein yang ada pada kitin.

Deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil

dengan gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah

menjadi gugus amina (–NH2) yang merupakan bagian dari senyawa kitosan

yang akan dihasilkan.

Penambahan NaOH pada deasetilasi bertujuan untuk merubah konformasi kitin

yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim yang akan menguraikan

lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin.

Konsentrasi NaOH yang tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang

rendah.

16

Page 17: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Semarang, 21 September 2015 Asisten Dosen:

Margaretha Erica Tjan Ivana Chandra13.70.0053

Page 18: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf.

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

18

Page 19: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

Limam, Zouhour., Salah Selmi., Saloua Sadok., & Amor El Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products : Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki1, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi1. (2009).Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation.

Page 20: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Mukku Shrinivas Rao and Willem F Stevens.(2005).Chitin production by Lactobacillus fermentation of shrimp biowaste in a drum reactorand its chemical conversion to chitosan.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Page 21: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21

Rochima, Emma; Maggy T.Suhartono; Dahrul Syah; dan Sugiyono. (2007). Viskositas dan Berat Molekul Kitosan Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilase Isolat Bacillus Papandayan K29-14. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Makalah-6.Viskositas......pdf.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Wang, Zhengke., Qiaoling Hu., & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 22: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

KelompokA1

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

Rendemen Chitin II =

= 20,00 %

Rendemen Chitosan =

= 10,40 %

KelompokA2

Rendemen Chitin I =

= 45,00 %

22

Page 23: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Chitin II =

= 26,67 %

Rendemen Chitosan =

= 13,07 %

23

Page 24: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

KelompokA3

Rendemen Chitin I =

= 35,00 %

Rendemen Chitin II =

= 22,22 %

Rendemen Chitosan =

= 12,32 %

KelompokA4

Rendemen Chitin I =

=20,00 %

Rendemen Chitin II =

= 28,57 %

Rendemen Chitosan =

= 14,95 %

KelompokA5

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

24

Page 25: Praktikum THL_13.70.0053_Kloter A_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Chitin II =

= 25,00 %

Rendemen Chitosan =

= 12,40 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

25