praktikum thl_13.70.0053_kloter a_unika soegijapranata
DESCRIPTION
laporan mengenai kitin dan kitosanTRANSCRIPT
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah antara lain oven, blender, ayakan,
peralatan gelas. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbang
udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 2,5 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengn air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
2
1.2.2. Deproteinasi
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan.
3
1.2.3. Deasetilasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, danNaOH 60% untuk kelompok A5.
4
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudiandikeringkanpadasuhu70oC selama 24 jam
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemenKitinI
(%)RendemenKitin
II (%)RendemenKitosan
(%)
A1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%
30,00 20,00 10,40
A2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%
45,00 26,67 13,07
A3HCl 1N + NaOH
50% + NaOH 3,5%
35,00 22,22 12,32
A4HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%
20,00 28,57 14,95
A5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%
30,00 25,00 12,40
Dari Tabel 1, dapat diketahui setiap kelompok menggunakan limbah udang yang
ditambahkan dengan HCl 0,75 N, NaOH 40%, dan NaOH 3,5% (kelompok A1 dan A2),
untuk kelopok A3 dan A4 menggunakan tambahan HCl 1N, NaOH 50%, dan NaOH
3,5%, serta kelompok A5 menggunakan tambahan HCl 1,25 N, NaOH 60%, dan NaOH
3,5%. Nilai rendemen kitin I tertinggi terdapat pada sampel A2 sebesar 45,00%, nilai
rendemen kitin II tertinggi terdapat pada sampel A4 sebesar 28,57%, serta nilai
rendemen kitosan tertinggi terdapat pada sampel A4 sebesar 14,95%. Sedangkan nilai
rendemen terendah terdapat pada sampel A4 sebesar 20,00% untuk rendemen kitin I,
sampel A1 sebesar 20,00% untuk rendemen kitin II, serta sampel A1 sebesar 10,40%
untuk rendemen kitosan.
5
3. PEMBAHASAN
Dutta et al (2004) menyatakan bahwa didalam limbah udang terkandung protein dan
mineral yang cukup tinggi, serta astaxantin yang merupakan pro-vitamin A untuk
pembentukan warna. Limbah udang dapat digunakan sebagai sumber potensial dalam
pembuatan kitin dan kitosan, yaitu biopolimer yang secara komersil berpotensi untuk
berbagai industri, seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, pangan, gizi, serta
pertanian (Marganov, 2003). Terdapat dua jenis limbah yang dihasilkan dalam industri
pengolahan crustaceae. Yang pertama adalah limbah cair yang berbentuk suspensi air
dan kotoran. Sedangkan yang kedua merupakan limbah padat, seperti kulit, kaki serta
kepala. Kedua limbah ini dapat mencemari lingkungan, oleh karena itu diperlukan
pengolahan limbah cair dengan cara yang paling baik dan tepat. Salah satu caranya
adalah dengan menggunakan waste water treatment. Tetapi pada limbah padat terdapat
perbedaan dalam mengelola limbah yang dihasilkan karena limbah padat masih dapat
dimanfaatkan menjadi produk olahan lanjut yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain
kitin.
Kitin dan kitosan adalah polisakarida yang berasal dari hasil laut, terutama dari limbah
produk laut seperti kerang, kepiting, dan udang. Kitin merupakan komponen utama dari
eksoskeleton invertebrata dan memiliki struktur kimia yang mirip dengan selulosa.
Limbah udang dan sisik ikan adalah sumber yang dapat menghasilkan kitin. Proses
ekstraksi dari kitin akan menghasilkan produk turunan kitin yang salah satunya
merupakan kitosan (Zaku et al., 2011). Perbedaan dari kedua bahan tersebut terletak
pada struktur D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin. Kitin berwarna putih, keras,
inelastis, dan merupakan polisakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan
dalam eksoskleton sama seperti pada struktur internal invertebrata. Kitosan merupakan
bahan kimia multiguna yang disiapkan secara komersial dengan diasetilasi basa kitin
yang didapatkan dari eksoskeleton crustaceae laut. Kitosan memiliki kelarutan,
biodegradasi, serta kemampuan penyerapan berbeda-beda tergantung dari asam amino
yang menyusun rantai polimernya. Limbah udang yang terdiri atas kulit dan kepala
merupakan limbah industri dari pabrik pembekuan udang, limbah ini dapat mencapai 60
6
7
-70 % dari berat utuh. Bagian kulit dan kepala udang mengandung kitin yang lebih
besar dibandingkan dengan cangkang atau kulit crustaceae lainnya (Rismana, 2001).
Dalam praktikum kitin dan kitosan kali ini, bahan yang digunakan adalah limbah udang
(crustacea) yang merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan
kitin dan kitosan. Kulit udang mengandung kalsium karbonat 45-50%, protein 25-40%,
dan kitin 15-20%, akan tetapi jenis dan lingkungan hidup dari udang menjadi hal yang
akan mempengaruhi besarnya kandungan komponen-komponen tersebut. Kulit udang
menjadi sumber potensial untuk menghasilkan kitin dan kitosan melalui pengolahan
limbahnya. Kitin berikatan dengan protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen di
dalam crustacea (Prasetiyo, 2006).
Menurut Wang et al (2010), kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa
enzim seperti papain, lactase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase.
Pemanfaatan kitin umumnya paling besar digunakan pada industri pangan dan industri
kosmetik (Peter, 1995). Salah satu dari turunan kitin adalah kitosan yang mempunyai
sifat larut dalam asam dan viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan
derajat degradasi dari polimer kitin. Sifat lain dari kitosan adalah kitosan hanya dapat
larut dalam asam encer seperti misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan
tetapi bila kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut
dengan air. Sifat kitosan yang mudah larut dalam asam asetat disebabkan oleh asam
asetat memiliki gugus karboksil yang dapat mempermudah proses larutnya kitosan yang
terjadi karena interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari
kitosan (Dunn et al., 1997). Berikut merupakan struktur kitin dan kitosan:
Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)
8
Pada praktikum ini, proses ekstraksi kitin menggunakan bahan baku limbah kulit udang
yang telah dipisahkan dari kepalanya. Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang
harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Proses demineralisasi bertujuan
untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan bantuan asam pada konsentrasi
rendah untuk mendapatkan kitin. Kemudian, tujuan dari proses deproteinasi adalah
untuk mengurangi kadar protein dengan bantuan larutan alkali encer dan pemanasan.
Setelah kitin dihasilkan dilakukan proses lanjutan, yaitu deasetilasi untuk mendapatkan
kitosan. Tujuan dari proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil dari
kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Rahayu &
Purnavita, 2007).
3.1. Pembuatan Kitin
3.1.1. Demineralisasi
Tahap pertama yang dilakukan adalah limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir,
dan dikeringkan. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang
terdapat pada kulit udang. Sedangkan pengeringan bertujuan untuk membunuh mikroba
yang ada pada kulit udang (Hargono & Haryani, 2004). Setelah itu, dihancurkan hingga
menjadi serbuk, diayak dengan ayakan 40-60 mesh, dan diambil sebanyak 10 gram.
Prasetyo (2006) menyatakan bahwa tujuan dari proses penghancuran adalah untuk
memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut yang nantinya digunakan dapat
melarutkan komponen-komponen dengan maksimal.
Kemudian, sampel dicampur HCl dengan perbandingan serbuk kitin dan HCl yaitu 1:10.
Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75 N, kelompok A3 dan A4 menggunakan
HCl 1 N, dan kelompok A5 menggunakan HCl 1,25 N. HCl yang ditambahkan dalam
proses demineralisasi ini bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang
terkandung pada kulit udang. Karena menurut Bastaman (1989), mineral yang
terkandung dalam kulit udang sebesar 30-50% dari berat keringnya. Mineral utama yang
ada pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Komponen mineral
tersebut harus dipisahkan terlebih dahulu dengan cara dilarutkan dengan asam cair,
misalnya HCl, H2SO4, atau asam laktat. Ca3(PO4)2 dan CaCO3 merupakan mineral yang
paling banyak ditemukan dalam kitin yang masih kasar (impurities chitin) ketika
9
ditambahkan dengan HCl akan merusak permukaan biopolimer kitin. Reaksi kerusakan
kitin akibat penambahan HCl adalah sebagai berikut:
HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)
H+(aq) + H2O H3O+(aq)
Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)
CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)
(Robert, 1992).
Setelah itu, dipanaskan sampai suhu 90oC dan diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan
ini berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral. Pengadukan dilakukan
dengan tujuan agar gelembung-gelembung udara yang berasal dari proses
demineralisasi dapat dicegah (Puspawati et al., 2010). Gelembung-gelembung udara ini
mucul karena gas CO2 terbentuk saat larutan HCl ditambahkan pada proses
demineralisasi (Robert, 1992).
Tahap selanjutnya, sampel dicuci sampai pH netral. Lalu dikeringkan pada suhu 80oC
selama 24 jam. Dalam tahap pencucian, komponen yang ingin dihilangkan adalah HCl.
Dengan mencuci sampel menggunakan air akan mencegah degradasi produk (apabila
HCl tidak dihilangkan) selama pengeringan kitin, hal ini akan memutuskan rantai kitin
selama proses pemanasan. Proses pencucian juga menjadi salah satu cara yang dapat
meningkatkan efektifitas dari proses deamineralisasi (Austin, 1998).
Berdasarkan hasil pengamatan, berat rendemen kitin I pada kelompok A1-A5
menghasilkan berat rendemen yang berbeda-beda. Puspawati & Simpen (2010)
menyatakan hal ini disebabkan oleh penambahan HCl yang berbeda-beda antar
kelompok. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi berat rendemen kitin I adalah
urutan dari tahap-tahap pembuatan kitin dan proses isolasi kitin yang dilakukan melalui
proses demineralisasi dan deproteinasi.
Hasil rendemen kitin I terendah diperoleh kelompok A4 dengan sampel yang
ditambahkan HCl 1 N, yaitu sebesar 20,00%. Hasil rendemen kitin I pada kelompok A4
sudah sesuai dengan teori yang ada, karena semakin tinggi konsentrasi HCl, maka akan
10
semakin banyak mineral yang teruraikan. Penurunan kandungan mineral akan
mempengaruhi jumlah massa pada hasil akhir (massa akan berkurang) (Austin, 1988).
Rendemen kitin I terbesar diperoleh kelompok A2 dengan sampel yang ditambahkan
HCl 0,75N, yaitu sebesar 45,00%. Menurut Johnson & Peterson (1974), perlakuan
kimia seperti asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi disertai dengan waktu
yang lebih lama dapat melepaskan atau meregangkan ikatan protein dan mineral dengan
kitin serta bahan organik lainnya pada kulit udang. Semakin tinggi konsentrasi HCl,
semakin tinggi berat rendemen yang dihasilkan. Kesalahan pada hasil pengamatan
dengan teori yang ada dapat disebabkan oleh proses pemanasan. Pada proses
pemanasan, kitin tidak banyak yang ikut menguap bersama protein dan mineral tersebut
atau dengan kata lain berat rendemen kitin makin besar (Bastaman, 1989).
3.1.2. Deproteinasi
Tahap deproteinasi dilakukan dengan mencampur kitin yang telah melewati proses
demineralisasi dengan larutan NaOH 3,5% (1:6). Penambahan basa NaOH bertujuan
untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada kitin (Rogers, 1986). Keudian
dipanaskan hingga suhu 90oC dan diaduk selama satu jam. Ramadhan et al. (2010)
menyatakan bahwa proses pemanasan dan pengadukan dalam tahap deproteinasi
bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga hasil kitin yang didapatkan lebih
optimal. Tahapan selanjutnya, dicuci hingga pH netral. Proses penetralan ini akan
berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin dengan alkali. Hal tersebut akan
mempengaruhi keefektivitasan proses hidrolisis basa dari gugus asetamida pada rantai
kitin (Rogers, 1986). Lalu, dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.
Tujuan dari proses deproteinasi adalah untuk memisahkan kandungan protein yang ada
pada kitin. Menurut Alamsyah et al. (2007), proses isolasi kitin dengan tahap
demineralisasi-deproteinasi akan menjadikan rendemen kitin lebih banyak dibandingkan
dengan tahap deproteinasi-demineralisasi, sehingga proses deproteinasi dilakukan
setelah proses demineralisasi. Hal ini dipengaruhi oleh mineral akan membentuk
pelindung yang keras pada kitin yang terdapat di kulit udang.
11
Larutan NaOH pada proses deproteinasi akan terionisasi di dalam air, sehingga ion
natrium dan ion hidroksida terbentuk. NaOH yang ditambahkan secara perlahan ke
dalam larutan asam akan menyebabkan ion-ion hidroksida bereaksi dengan ion hidrogen
untuk membentuk molekul air. Pada saat ion hidrogen ada didalam larutan tersebut,
maka sifat larutannya akan menjadi asam. Sedangkan, ketika ion hidroksida dengan ion
hidrogen yang ditambahkan memiliki jumlah yang sama, hal ini akan membuat larutan
bersifat netral (Rogers, 1986).
Penambahan NaOH memiliki fungsi yang terkait dengan sifat larutan ini sebagai alkali
yang paling efektif untuk menghidrolisa gugus asetil pada kitin. Protein yang terikat
pada kitin cenderung lebih sulit dipisahkan dibandingkan dengan mineral pada tahap
sebelumnya. Sehingga, dibutuhkan penambahan larutan NaOH yang efektif untuk
menghidrolisa gugus asetil tersebut. Pada tahap deproteinasi ini, konsentrasi NaOH
pada setiap kelompok sama, yaitu 3,5%. Oeleh sebab itu, faktor perbedaan konsentrasi
tidak dapat dibandingkan secara pasti. Tetapi, jika berdasarkan teori, dimana semakin
tinggi konsentrasi NaOH dan suhu, kemampuan kitin berpisah dari gugus protein
menjadi lebih efektif dengan kata lain rendemen akan semakin sedikit. Hal ini
disebabkan oleh terlepas dan terbawanya protein keluar dari kitin (Supitjah, 2004). Hal
ini sudah sesuai dengan hasil pengamatan pada setiap kelompok yang mernghasilkan
rendemen kitin II lebih kecil dibandingkan dengan rendemen kitin I.
3.2. Deasetilasi (Pembuatan Kitosan)
Tahap terakhir merupakan proses merubah kirtin menjadi kitosan dengan penambahan
lartuan sodium hidroksida atau kalium hidroksida pada suhu tinggi (deasetilasi) (Robert,
1992). Bahan yang digunakan adalah kitin yang telah dikeringkan pada tahap
deproteinasi. Kitin yag telah dikeringkan ditambahkan dengan NaOH 40% (untuk
kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (untuk kelompok A3 dan A4), dan NaOH 60%
(untuk kelompok A5) dengan perbandingan NaOH: kitin = 20:1. NaOH berfungsi
sebagai pemutus ikatan gugus asetil dengan atom nitrogen sehingga berubah menjadi
gugus amina (-NH2). Sifat kitin yang relatif tahan terhadap proses deasetilasi sehingga
NaOH yang digunakan dalam bentuk larutan basa dengan konsentrasi tinggi, karena
12
unit sel kitin memiliki struktur kristalin dan ikatan hidrogen yang luas antara atom
nitrogen dengan gugus karboksil (Karmas, 1982).
Definisi dari kitosan adalah senyawa yang mempunyai kegunaan sebagai bahan
antimikroba dalam bidang pangan. Karena di dalam kitosan terkandung enzim lysosim
dan gugus aminopolisakarida yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba tertentu,
maka kitosan mampu berperan sebagai bahan antimikroba (Cahyaningrum, 2007).
Konsentrasi pelarut akan mempengaruhi keefektifan antimikroba dari kitosan. Kitosan
memiliki karakteristik sebagai penghambat aktivitas bakteri dan fungi yang baik
(Limam et al., 2011).
Setelah itu, dilakukan pengadukan selama 1 jam dan didiamkan 30 menit. Lalu
dipanaskan sampai suhu mencapai 90oC selama 60 menit. Tujuan dari proses
pemanasan adalah untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk.
Pada proses pemanasan, suhu yang digunakan akan mempengaruhi derajat deasetilasi
kitosan yang terbentuk, dimana semakin tinggi suhu, derajat deasetilasi dari kitosan
yang terbentuk akan semakin meningkat. Sedangkan pada proses pengadukan yang
dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk meratakan kitin
yang digunakan sebagai bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga
proses deasetilasi berjalan lebih optimal (Puspawati et al., 2010). Selanjutnya, dicuci
dengan air dan disaring sampai pH netral. Penyaringan dilakukan dengan tujuan untuk
memisahkan rendemen kitosan yang terbentuk dari komponen-komponen lain yang
tidak diinginkan. Kemudian, dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC dan dihasilkan
kitosan. Hal ini sesuai dengan teori Ramadhan et al. (2010) yang menyatakan bahwa
setelah proses pengeringan, kitosan akan dihasilkan dan berbentuk serbuk dengan warna
putih kekuningan.
Hasil rendemen kitosan yang diperoleh dari kelompok A1 sebesar 10,40%, kelompok
A2 sebesar 13,07%, kelompok A3 sebesar 12,32%, kelompok A5 sebesar 12,40%, dan
kelompok A4 menghasilkan rendemen kitosan paling tinggi sebesar 14,95% dengan
penambahan NaOH 50%. Hal ini sudah sesuai dengan teori Hirano (1989) yang
mengatakan bahwa struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat antara ion
13
nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses deasetilasi ini konsentrasi NaOH
yang digunakan sebesar 40-60% dan penggunaan suhu tinggi agar mampu mengubah
struktur kitin menjadi struktur kitosan. Penggunaan NaOH bertujuan untuk merubah
konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim yang akan
menguraikan lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin. Alkali
(NaOH) dengan konsetrasi yang tinggi ini akan memutuskan ikatan antara gugus
karboksil dengan gugus nitrogen pada kitin (Martinou, 1995).
Pada kelompok yang ditambahkan NaOH 40% menghasilkan rata-rata yang lebih kecil
dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%
dan 60%. Hal ini kurang sesuai dengan teor Hong et al. (1989) yang mengatakan bahwa
penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan kitosan
dengan rendemen yang lebih rendah, karena penambahan NaOH akan menyebabkan
proses depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan akan
turun. Kualitas dari produk kitosan yang dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat
deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi
oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang digunakan dan kondisi proses yang dilakukan
(konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu) (Suhardi, 1992).
3.3. Jurnal
Dari jurnal “Phsycochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosa
Prepared from Pacific White Shrimp Waste” dapat diketahui bahwa sumber utama
untuk produksi skala besar dari kitin dan kitosan adalah dengan mengolah limbah
crustacean (udang, krill, dan cangkang kepiting). Sturuktur dan sifat fisikokimia kitin
dan kitosan tergantung pada kedua sumber tersebut dan kodisi produksi. Limbah udang
putih dikumpulkan dari pabrik pengolahan hasil laut di Provinsi Khanh Hoa, Vietnam
Tengah. Limbah udang yang dibekukan diangkut ke laboratorium. Limbah tersebut
dicuci dengan air mengalir dan diletakkan pada mesin pemotong yang berjalan untuk
mendapatkan potongan 0,3-0,5 cm. Sebanyak 1000 g dikemas dalam kantong plastik
dan dibekukan pada -20oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitin dan kitosan dapat
diproduksi dari limbah udang putih yang komoditasnya berlimpah di Vietnam. Kitin
14
dan kitosan yang berkualitas baik dan memiliki aktivitas antioksidan yang dapat
berguna untuk berbagai aplikasi (J. F. Vliegenthart, 2015).
Jurnal “A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Chitosan” melakukan
penelitian mengenai derajat deasitilasi dari tingkatan kitosan yang berubah dari 56%
menjadi 99%, bergantung dari spesies crustacean dan metode yang digunakan dalam
proses tersebut. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menguji derajat
deasitilasi kitosan adalah Ninhdrin tes, infrared spektofotometri, serta hidrolisis asam
dan masih banyak lagi (M. Abou-Shoer, 2010).
Dalam jurnal yang berjudul “Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique
Properties and Versatile Applications” mengatakan bahwa kitin dan kitosan adalah
polisakarida laut unik dan khas yang menanti pengembangan di masa depan dan telah
menarik minat banyak peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Kitin dan turunannya
menunjukkan berbagai sifat fisikokimia dan biologi yang menghasilkan beberapa
aplikasi di area mulai dari pengolahan air limbah untuk agrokimia, lingkungan dan
kegunaan industri. Selain karena kurangnya toksisitas dan alergenisitas,
biokompatibilitas, biodegradasi dan bioaktivitas membuat kitin dan kitosan menjadi
substansi yang sangat menarik untuk aplikasi yang beragam sebagai biomaterial di
farmasi dan bidang medis. Penelitian dalam jurnal ini meninjau properti kitin dan
kitosan serta membahas potensinya sebagai biomaterial yang menjanjikan (Ben Amar
C., 2011).
Berdasarkan jurnal “Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and
Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation”, kitosan didefinisikan
sebagai amino polisakarida yang dapat dibuat dari kulit udang dengan beberapa aplikasi
dalam pengobatan dan rekayasa jaringan. Parameter yang paling penting yang
mencirikan kitosan dan aplikasinya adalah derajat deasetilasi. Dalam penelitian ini
pengaruh waktu deasetilasi pada kualitas kitosan yang dihasilkan, diselidiki dengan
mengukur jumlah glukosamin dan asetil glukosamin. Jumlah glukosamin dalam sampel
diukur dengan menggunakan analisis HPLC berdasarkan metode derivasi. Oleh
deasetilasi dari kitin diekstrak di 90 dan 180 menit, kitosan dengan derajat deasetilasi
15
dari 69,75% dan 77,63% yang diperoleh, masing-masing. Oleh karena itu, dengan
meningkatkan periode deasetilasi dalam kondisi suhu konstan dan konsentrasi NaOH,
tingkat deasetilasi meningkat.
Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium hidroksida, 37% asam
klorida, asam borat, asetonitril (untuk tingkat HPLC), 9-fluorenylmethoxycarbonyl
klorida dari Merck Company dan glukosamin dari Sigma-Aldrich Company. Sedangkan
metode yang digunakan adalah sistem HPLC untuk menentukan derajat deasetilasi (M.
S. Viarsagh et al., 2010).
Jurnal yang berjudul “Functional Characterization of Chitin and Chitosan” membahas
mengenai kitin dan kitosan yang digambarkan sebagai suatu keluarga linear polisakarida
yang terdiri dari berbagai jumlah β (1-4) residu terkait dari N-asetil-2 amino-2-deoksi-
D-glukosa (dilambangkan dalam tinjauan ini sebagai residu A) dan 2-amino-2-deoksi
Dglucose residu (dilambangkan dalam ulasan ini sebagai residu D). Kitin dan kitosan
digunakan dalam bidang yang berbeda seperti makanan, biomedis serta pertanian, dan
sebagainya. Tujuan dari review ini adalah untuk menyoroti hubungan antara sifat-sifat
fisikokimia polimer dan perilaku kitin dan kitosan. Menyajikan sebuah karakterisasi
fungsional dari kitin dan kitosan mengenai beberapa sifat biologis dan beberapa aplikasi
khusus (pemberian obat, teknik jaringan, makanan fungsional, pengawet makanan,
imobilisasi biokatalis, pengolahan air limbah, pencetakan molekul dan nanocomposites
logam). Mekanisme molekuler dari sifat biologis seperti sebagai biokompatibilitas,
mucoadhesion, perembesan meningkatkan efek, anticholesterolemic, dan antimikroba
yang telah diperbarui.
Hasil dari ulasan ini ulasan ini menunjukkan bahwa kitin dan kitosan menyajikan
berbagai macam sifat yang memungkinkan mereka untuk memiliki sejumlah besar
aplikasi, tetapi, pada saat yang sama, perilaku polimernya yang sangat kompleks sulit
untuk dikontrol. Polimer ini memiliki variabilitas intrinsik karena sumber sifat mereka.
Selain itu, tergantung pada proses manufaktur, mengubah sifat sampel dari sumber yang
sama. Secara umum, karakterisasi buruk dari polimer adalah bawaan yang membuatnya
sangat sulit untuk membandingkan hasil dan untuk membangun hubungan antara
perilaku fisiologis kitin dan kitosan dan sifat mereka (I. Aranaz et al., 2009).
4. KESIMPULAN
Kulit udang merupakan limbah dari pengolahan udang yang dapat berfungsi
sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan.
Kulit udang mengandung mineral sebanyak 30-50% dari berat keringnya.
Mineral utama pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.
Limbah kulit udang yang mengalami proses demineralisasi dan deproteinasi
akan menghasilkan kitin.
Kitin yang telah didapat dari demineralisasi dan deproteinasi, setelah melalui
proses desasetilasi akan menghasilkan kitosan.
Pemanasan akan mempermudah pelepasan mineral dari kulit udang.
Pengadukan akan membantu larutan menjadi homogen, sehingga akan
mempermudah proses demineralisi.
Penambahan HCl bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang terdapat
pada kulit udang.
Tujuan dari demineralisasi adalah untuk menghilangkan garam-garam anorganik
dan kandungan mineral yang ada pada kitin, terutama kandungan kalsium
karbonat (CaCO3).
Semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen kitin yang dihasilkan akan
semakin banyak.
Penambahan basa NaOH pada proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan
kandungan protein yang ada pada kitin.
Deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil
dengan gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah
menjadi gugus amina (–NH2) yang merupakan bagian dari senyawa kitosan
yang akan dihasilkan.
Penambahan NaOH pada deasetilasi bertujuan untuk merubah konformasi kitin
yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim yang akan menguraikan
lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin.
Konsentrasi NaOH yang tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang
rendah.
16
17
Semarang, 21 September 2015 Asisten Dosen:
Margaretha Erica Tjan Ivana Chandra13.70.0053
5. DAFTAR PUSTAKA
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf.
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.
18
19
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf
Limam, Zouhour., Salah Selmi., Saloua Sadok., & Amor El Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products : Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki1, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi1. (2009).Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation.
20
Mukku Shrinivas Rao and Willem F Stevens.(2005).Chitin production by Lactobacillus fermentation of shrimp biowaste in a drum reactorand its chemical conversion to chitosan.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
21
Rochima, Emma; Maggy T.Suhartono; Dahrul Syah; dan Sugiyono. (2007). Viskositas dan Berat Molekul Kitosan Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilase Isolat Bacillus Papandayan K29-14. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Makalah-6.Viskositas......pdf.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Wang, Zhengke., Qiaoling Hu., & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science.
Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
KelompokA1
Rendemen Chitin I =
= 30,00 %
Rendemen Chitin II =
= 20,00 %
Rendemen Chitosan =
= 10,40 %
KelompokA2
Rendemen Chitin I =
= 45,00 %
22
Rendemen Chitin II =
= 26,67 %
Rendemen Chitosan =
= 13,07 %
23
KelompokA3
Rendemen Chitin I =
= 35,00 %
Rendemen Chitin II =
= 22,22 %
Rendemen Chitosan =
= 12,32 %
KelompokA4
Rendemen Chitin I =
=20,00 %
Rendemen Chitin II =
= 28,57 %
Rendemen Chitosan =
= 14,95 %
KelompokA5
Rendemen Chitin I =
= 30,00 %
24
Rendemen Chitin II =
= 25,00 %
Rendemen Chitosan =
= 12,40 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
25