laporan praktikum limbah d3_teknologi pangan_unika soegijapranata
DESCRIPTION
limbah yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah cair dari industri susu kedelai dan dilakukan berbagai treatmentTRANSCRIPT
LAPORAN RESMIPRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN
LIMBAH CAIR INDUSTRI SUSU KEDELAI
Disusun oleh:
Melina Kiswandihardjo 12.70.0033
Anastasia Lyra P 12.70.0070
Stefany Gandasubrata 12.70.0125
Rudyanto K 12.70.0168
Kelompok D3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. DESKRIPSI LIMBAH
1.1. Data Sampel Limbah
1.1.1. Jenis Limbah
Jenis limbah yang digunakan dalam praktikum pengolahan limbah untuk kloter D3 ini
adalah limbah cair susu kedelai dari proses produksi susu kedelai di Restoran Yung Ho.
Limbah yang dihasilkan ini merupakan limbah yang berasal dari cairan susu kedelai
yang menempel pada mesin pembuat susu kedelai. Dalam praktikum limbah cair susu
kedelai ini dilakukan penyaringan terlebih dahulu supaya ampas-ampas yang terdapat
pada limbah dapat dipisahkan dan didapatkan limbah cair murninya saja.
1.1.2. Waktu Pengambilan Limbah
Pengambilan limbah ini dilakukan pada hari Jumat tanggal 10 September 2014 pada
pukul 08.00 WIB dengan memasukkannya kedalam plastik hingga didapatkan 6 liter.
Jumlah limbah yang diambil sebanyak 6 liter untuk kelompok D1, D2 dan D3 yang
sama-sama menggunakan limbah cair susu kedelai.
1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah
Limbah cair ini diambil dari Restoran Yung Ho yang lokasinya berada di Jl. MT.
Haryono No. 631-633 Semarang.
1.1.4. Debit Limbah Per-Hari
Dalam sehari Restoran Yung Ho ini menghasilkan limbah sebanyak kurang lebih 3 liter
per ember (ember yang digunakan berukuran ±8 liter).
1.2. Katakteristik Limbah
1.2.1. Karakteristik Umum
Menurut Mahida (1992), limbah cair merupakan sisa buangan hasil suatu proses yang
sudah tidak digunakan lagi dan berasal dari sisa industri rumah tangga, dan sebagainya.
Limbah cair mengandung 0,1% partikel padat yang terdiri dari zat organik maupun zat
non organik. Yang merupakan zat organik yakni nitrogen, karbohidrat, lemak, dan
sabun yang sifatnya tidak tetap sehingga dapat menjadi busuk dan dapat mengeluarkan
bau yang tidak sedap. Sedangkan untuk bahan anorganik tidak merugikan. Menurut
Otto (1986) limbah dapat digolongkan menjadi 3 menurut sifat fisiknya yakni limbah
cair, padat dan gas. Sedangkan menurut teori Sugiharto, limbah cair terdiri dari 99,9%
air dan 0,1% bahan padat, dan limbah cair mengandung bahan organik seperti 65%
protein, 25% karbohidrat dan 10% lemak serta mengandung bahan anorganik seperti
butiran garam dan metal.
Karakteristik umum dari limbah cair susu kedelai adalah cair, berbau, dan memiliki
tingkat kekeruhan yang agak keruh. Umumnya limbah cair pengolahan pangan
kandungan nitrogen-nya rendah, BOD dan padatan tersuspensi tinggi dan dapat
mengalami proses dekomposisi cepat. Selain itu, limbah cair segar punya pH mendekati
netral dan selama penyimpanan pH akan menurun. Bila dalam limbah cair terdapat
nutrisi yang diperlukan ganggang untuk tumbbuh maka akan terjadi kenaikan populasi
ganggang yang akan mengakibatkan kadar oksigen dalam air mengalami perbedaan
yang sangat besar. Apabila oksigen terlarut dalam air ini habis karena kadar organiknya
yang tinggi maka akan menimbulkan bau yang busuk dan warna air menjadi gelap. Dan
apabila protein dalam air mengandung sulfur atau kandungan sulfat maka akan
dihasilkan hidrogen sulfida yang akan menimbulkan bau busuk dan menghitamkan
bangunan yang di cat disekitarnya menurut Jenie & Rahayu (1993).
Air limbah harus mengalami proses pengolahan agar tidak membahayakan lingkungan.
Pengolahan air limbah adalah proses yang dilakukan dalam mengolah limbah hasil
produksi dengan tahapan tertentu baik secara fisika, kimia dan biologo. Menurut teori
dari Sugiharto (1987), pengolahan air limbah harus dilakukan secara bertahap supaya
bahan-bahan yang berbahaya dapat berkurang. Pengolahan air limbah ini bertujuan agar
BOD, partikel terlarut berkurang serta dapat membunuh mikroorganisme pathogen.
Pengolahan selanjutnya berfungsi untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen
beracun serta bahan yang tidak terdegradasi agar konsentrasinya menurun. Dalam usaha
untuk mengendalikan pencemaran dan melestarikan lingkungan dibutuhkan baku mutu
limbah dimana baku mutu limbah ini merupakan spesifikasi dari jumlah bahan
pencermar yang dibolehkan dibuang ke lingkungan.
Menurut Sugiharto (1987), kandungan air limbah yang terdapat dalam bahan susah
untuk dihilangkan dan berbahaya. Bahan kimia tersebut akan memberikan kehidupan
bagi kuman yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti disentri, tipus, kolera
dan sebagainya. Pengolahan air limbah dilakukan agar pencemaran berkurang. Analisa
limbah dilakukan untuk memastikan komposisi konsnetrasi dan keadaan subjek dengan
pandangan dalam menentukan unsur pokok yang menciptakan kesulitan dalam memilih
tingkat pengolahan. Komposisi limbah cair sangat beragam tergantung dari asalnya.
Air tercemar memiliki indikator yakni dari perubahan suhu, pH, warna, bau, rasa dan
adanya endapan menurut Suriawiria (1996). Timbulnya bau menurut Sugiharto (1987)
karena adanya kegiatan mikroorganisme yang menguraikan zat organik dan
menghasilkan gas. Bau juga timbul karena adanya reaksi kimia yang menimbulkan gas.
Unsur N pada limbah dapat mengakibatkan bau busuk, unsur ini dapat berupa asam
amino atau senyawa organik lainnya. Bila senyawa organic ini diuraikan
mikroorganisme secara anaserob akan menghasilkan bau busuk yang mengganggu.
Kekeruhan disebabkan karena adanya zat koloid yakni zat terapung serta terurai secara
halus, jasad renik atau benda lain yang tidak segera mengendap. Warna air berkaitan
dengan zat koloid yang terlarut didalamnya. Warna dan bau dari limbah dapat dilacak
dari berbagai macam zat pencemar, misalnya zat kimia pembersih maupun zat kimia
terlarut mengandung bau. Menurut Kristanto (2002), kualitas limbah dipengaruhi oleh
volume limbah, kandungan bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah.
Menurut teori beliau, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi karena masuknya
limbah dalam lingkungan, yakni: lingkungan tidak mendapatkan pengaruh yang bearti
karenavolume limbah kecil, parameter pencemar yang ada dalam limbah sedikit dengan
konsentrasi yang kecil. Kedua, adanya perubahan tapi tidak mengakibatkan
pencemaran, dan yang ketiga dapat memberikan perubahan dan menimbulkan
pencemaran.
Adapula syarat-syarat limbah yang dibuang ke saluran umum menurut Mahida (1992)
yakni suhu tidak boleh terlalu tinggi karena limbah yang panas dapat merusak logam
dalam saluran dan dapat merusak beton umumnya suhu yang diperbolehkan berkisar
100-110ºF. Kedua limbah tidak boleh bersifat asam atau basa keras. Ketiga, konsentrasi
zat yang berlemak pada umumnya tidak boleh melebihi 100 mg/L. Keempat, limbah
tidak boleh mengandung gas beracun, bau tengik, atau mengandung gas yang dapat
mudah terbakar atau meledak. Kelima, tidak mengandung zat padat yang dapat
mengendap yang berdaya berat tinggi seperti pasir dan silicon, wol, rambut, dan lain-
lain yang bahannya kasar. Keenam, ukuran limbah diusahakan berukuran sama dari sisi
kecepatan hidrolisis dan komposisi limbahnya.
Ada 6 tahapan pengolahan limbah menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987),
yakni:
o Pre-Treatment
Dilakukan untuk menghilangkan partikel padat dengan penyaringan dan sedimentasi
(Mahida, 1992). Penyaringan dapat dilakukan untuk menghilangkan partikel padat
yang berukuran besar, yakni berkisar pada 0,7 mm. Penyaringan dapat lebih efisien
dilakukan bila dilakukan tahap pendahuluan seperti koagulasi karena padatan
terlarut sukar dipisahkan dari bagian cair. Pengolahan pre-treatment biasanya
menggunakan saringan agak kasar tapi tidak mudah mengalami korosi. Menurut
Gintings (1992), pre-treatment akan mempengaruhi tahap selanjutnya.
o Primary Treatment
Padatan yang halus, zat warna yang larut dan tidak terjaring harus dihilangkan untuk
mempermudah proses pengolahan selanjutnya menurut Kusnaedi (1998). Primary
treatment dilakukan dengan dua metode yakni fisik dengan pengendapan secara
gravitasi dan kimia dengan mengendapkan bahan padatan dengan tambahan
senyawa kimia. Penambahan senyawa kimia akan mengendapkan bahan dengan
memperbesar butiran dan penambahan berat jenis yang lebih besar dari air. Semua
reaksi tidak dapat berjalan sempurna karena ada senyawa organic yang tidak akan
mengendap. Pengendapan dapat terjadi bila senyawa pencemar limbah mengandung
bahan organik seperti Al, Fe, Pb, dan lain-lain. Adanya bahan pengendap akan
membuat air menjadi basa. Padahal buangan air seharusnya netral, maka dilakukan
netralisasi. Pengolahan secara fisika dimungkinkan bagai bahan kasar yang telah
diendapkan. Pengendapan tanpa bahan kimia perlu menyediakan kolam dengan luas
tertentu sementara air akan mengalir dan partikel akan mengendap. Pengendapan
akan berhasil bergantung dari ukuran partikel, konsnetrasi padatan, berat jenis
partikel, suhu limbah, banyaknya udara yang kontak dengan air serta retention time.
o Secondary Treatment
Umumnya dengan menggunakan proses biologis agar bahan organik dapat hilang
melalui biokimia oksidasi. Proses biologis umunya dengan menggunakan reaktor
lumpur aktif dan trickling filter. Proses lumpur aktif, air limbah masuk dalam tangki
aerasi di mana mikroorgansime mengkonsumsi buangan organik yang digunakan
untuk membentuk sel baru. Sehingga didapatkan endapan pada dasar bak dan bagian
tebal pada dasar diambil lagi.
o Tertiary Treatment
Dilakukan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik dan organik. Dilakukan
proses secara fisika, kima, dan biologis pada tingkat ini dengan cara pembekuan,
distilasi, filtrasi, pengapungan, dan striping, dan lain-lain. Sedangkan proses kimia
dilakukan dengan cara adsorbsi dengan menggunakan karbon aktif, pengendapan,
elektrokimia, pertukaran ion, oksidasi dan reduksi. Proses biologis yang dilakukan
dengan cara meneliti bakteri dan alga nitrifikasi.
o Desinfeksi
Dilakukan untuk menghilangkan mikrobia patogen pada limbah. Menurut teori Volk
& Wheeler (1993), desinfeksi merupakan proses yang penting dalam mengendalikan
penyakit karena dapat merusak agen pathogen. Mekanismenya dengan merusak
membrane sel sehingga dapat terjadi kematian atau mutasi. Zat pembunuh kimia
seperti klorin dapat mematikan bakteri dengan merusak atau menginaktifkan enzim
sehingga dapat terjadi kerusakan dinding sel seperti yang dilakukan bila
menggunakan bahan radiasi atau panas. Dalam memilih bahan kimia sebagai
desinfeksi dapat dilihat dari segi waktu kontak yang diperlukan, efektifitas, dosis,
ketidak toksikan pada manusia dan hewan, tahan pada iar, murah menurut Sugiharto
(1987).
Dengan berbagai proses pengolahan yang dilakukan seperti penambahan klorin
maka pH akan menjadi asam maka perlu ditambahi Ca(OH)2 agar pH naik karena
sifatnya yang basa. Prinsip netralisasi adalah dengan penambahan asam atau basa
dalam air akan menjadikan pH mendekati 7. Menurut Gintings (1992), netralisasi
dilakukan karena air yang akan dibuang diharapkan memiliki pH netral karena pH
asam ata basa akan mengganggu kehidupan biota air.
o Pengolahan Lanjutan (Ultimate Disposal)
Tahap pengolahan air limbah dapat menghasilkan lumpur sehingga perlu diolah
secara khusus agat lumpur tersebut dapat dimanfaatkan kembali seperti pembuatan
pupuk, pembuatan kolam, penimbuan, dan pengisian tanah. Pengolahan air limbah
dengan cara fisika seperti pengolahan mekanis dengan atau tanpa penambahan
bahan kimia dilakukan proses penyaringan, penghancuran, perataan air,
pencampuran, pengendapan, pengapunga, dan penggumpalan menurut kedua teori
dari Gintings (1992) dan Sugiharto (1987).
Pengolahan limbah dilakukan untuk meningkatkan pencapaian tujuan pengolahan
limbah seperti pemenuhan peraturan pemerintah, serta meningkatkan efisiensi
pemakaian sumber daya. Pengolahan limbah dilakukan mencakup kegiatan reduksi,
pengumpulan, penyimpangan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan
penimbunan menurut Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen
Perindustrian (2007).
1.2.2. Karakteristik Fisikawi
Sesuatu yang dapat diamati secara langsung menggunakan alat indra manusia termasuk
dalam karakteristik fisikawi limbah. Karakteristik ini mempengaruhi penentuan tingkat
kekotoran limbah cair. Sifat-sifat fisik limbah cair di antaranya keberadaan zat padat
(solid), suhu, warna, bau, dan turbidity (Utomo, 1998).
Berikut ini merupakan sifat-sifat fisik air limbah:
Sifat-sifat Penyebab Pengaruh Cara MengukurSuhu Keadaan udara di
lingkungannya, air panas dari kawasan penduduk
atau industri yang dibuang
Kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas
lain, kerapatan air, viskositas dan tekanan
permukaan
Menggunakan alat termometer (skala
Celcius atau Fahrenheit)
Turbidity Limbah padat, garam, tanah liat, dan bahan
organik halus dari buah-buahan yang tercampur
Memantulkan sinar, mengurangi produksi oksigen tumbuhan,
Mengganggu kehidupan
Pembiasan cahaya dan pengubahan
skala standar
dalam air limbahWarna Sisa-sisa bahan organik
dari daun dan tanaman, buangan industri
Biasanya tidak berbahaya dan mempengaruhi
kualitas air
Penyerapan pada pengubahan skala
standar
Bau Hasil pembusukan, bahan organik, minyak oktana
yang dihasilkan mikroorganisme, bahan
volatil, gas larut
Petunjuk adanya air limbah, untuk itu perlu
adanya pengolahan, merusak keindahan
Kepekaan manusia terhadap bau dan
tingkat bau tersebut
Rasa Benda terlarut dari beberapa ion dan bahan
penghasil bau
Mempengaruhi kualitas air Tidak diukur
(Sugiharto, 1987).
o Suhu
Secara umum, suhu dapat dijadikan patokan untuk melihat kecenderungan aktivitas-
aktivitas biologis dan kimiawi, tegangan permukaan, tekanan uap, pengentalan, dan
nilai-nilai penjenuhan dari benda padat, serta gas. Aktivitas kimiawi biologis pada
benda padat dan gas dalam air limbah diindikasikan melalui perubahan suhu (Gintings,
1992). Sedimentasi (pengendapan) dapat digunakan untuk mengatur pengentalan, di
mana pengentalan akan berkurang pada suhu tinggi dan akan menghasilkan peningkatan
sedimentasi. Di samping itu, suhu yang tinggi (60oC) juga dapat mengeliminasi
mikroorganisme pengurai sehingga menurunkan aktivitas biologis. Sebaliknya, pada
suhu rendah atau ruang (27oC), tingkat oksidasi zat organik akan menurun (Mahida,
1992).
Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu air normal. Hal ini
disebabkan karena suhu tinggi biasanya digunakan pada saat limbah cair diolah
(Mahida, 1981). Gintings (1992) menambahkan, suhu limbah cair sangat berpengaruh
terhadap kecepatan reaksi kimia dan kehidupan biota air. Tingkatan proses pembusukan
dan oksidasi zat organik terjadi jauh lebih besar pada suhu tinggi. Namun, apabila suhu
air limbah yang dihasilkan terlalu tinggi, maka patut diwaspadai karena dapat
mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air serta mendukung
pertumbuhan mikroba yang merugikan (Sastrawijaya, 1991).
Alat yang digunakan untuk mengukur suhu limbah cair yaitu termometer. Suhu limbah
domestik umumnya mendekati netral, yaitu sekitar 15o hingga 25oC. Suhu tidak
mendukung pertumbuhan bakteri, namun tetap memungkinkan rancangan unit dan
operasinya. Suhu air limbah sangat menentukan jenis makhluk yang akan hidup di
dalamnya dan tingkat oksigen terlarut, namun tidak menentukan suhu permukaannya.
Pengukuran air limbah yang lebih efektif dari termometer adalah dengan menggunakan
permistor, di mana skalanya dinyatakan dalam derajat Fahrenheit serta Celcius. Suhu air
limbah dengan berbagai kedalaman dapat dengan tepat diukur oleh permistor (Jenie &
Rahayu, 1993).
o Turbidity
Turbidity atau kekeruhan merupakan penggunaan efek cahaya sebagai dasar untuk
mengukur keadaan air limbah. Pada umumnya, kekeruhan diakibatkan oleh keberadaan
benda tercampur dalam air (Sugiharto, 1987). Selain itu, kekeruhan juga disebabkan
oleh adanya zat-zat koloid yang muncul karena kehadiran jasad renik, lumpur, tanah
liat, zat-zat organik yang terurai halus, dan benda terapung yang tidak langsung
mengendap. Apabila suatu limbah semakin keruh, maka limbah tersebut semakin kuat
(Mahida, 1981).
Kekeruhan disebabkan keberadaan bahan tersuspensi seperti bahan organik,
mikroorganisme, dan partikel-partikel lain, dan bukan merupakan polutan. Alat yang
digunakan untuk mengukur kekeruhan ini yaitu turbidimeter lilin. Pengukuran
kekeruhan ini biasanya didasarkan pada sifat-sifat optik limbah cair. Tingkat kekeruhan
limbah cair dapat mengindikasikan banyak atau tidaknya padatan organik atau
anorganik dalam limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993).
Dalam percobaan ini, metode analisa tingkat kekeruhan yang diaplikasikan adalah
dengan menggunakan indra penglihatan manusia secara langsung. Sebenarnya, alat
yang digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan limbah yaitu spektrofotometer.
Namun, apabila limbah yang diukur masih keruh, maka harus dijernihkan dengan
diendapkan kemudian setelah itu diukur kembali dengan menggunakan
spektrofotometer. Di samping spektrofotometer, alat yang juga dapat digunakan untuk
mengukur kekeruhan adalah turbidimeter dan dinyatakan dalam miligram per liter
limbah cair (Suhardi, 1991).
Adsorbsi atau proses penyerapan adalah proses pengumpulan benda-benda terlarut yang
terdapat dalam larutan, khususnya pada seluruh permukaan benda. Umumnya,
digunakan bahan padat untuk menyerap partikel yang berada di dalam air limbah.
Adsorbate atau solute merupakan bahan yang diserap, sedangkan adsorbent merupakan
bahan penyerapnya. Adsorbent yang mahal biasanya mempunyai luas permukaan yang
lebih luas setiap unitnya. Peningkatan luas permukaan ini dilakukan melalui
pembelahan bahan adsorbent. Proses penyerapan merupakan salah satu upaya dalam
menjernihkan limbah cair, di mana tujuannya adalah untuk mengurangi pengotoran
bahan organik, partikel, benda-benda yang tidak dapat diuraikan (non-biodegradable),
serta gabungan antara bau, warna dan rasa (Sugiharto, 1987).
Karbon aktif alami didefinisikan sebagai karbon berupa butiran dan bubuk yang
digunakan dalam pengolahan air limbah, dan diaktifkan kembali setelah digunakan.
Karbon dipreparasi melalui pembuatan arang dari bahan batubara atau kayu. Bahan ini
selanjutnya dibakar hingga berwarna merah. Partikel batubara kemudian diaktifkan
dengan penambahan gas oksigen bertekanan tinggi. Gas ini membuat struktur rongga
yang ada pada batubara atau arang mengembang sehingga menambah luas
permukaannya. Luas permukaan yang besar ini membuat karbon aktif mempunyai daya
serap yang baik dan dapat mengikat benda-benda organik dengan optimal (Sugiharto,
1987).
o Warna
Kandungan zat organik atau anoganik yang terlarut dalam limbah cair dapat diketahui
melalui warna limbah cair (Suhardi, 1991). Warna abu-abu menunjukkan limbah cair
yang masih baru, sedangkan warna gelap menunjukkan limbah yang sudah busuk
(Mahida, 1992). Di samping itu, warna limbah yang hitam menunjukkan kandungan Pb
yang tinggi, warna limbah kuning menunjukkan kandungan Fe tinggi, sedangkan warna
biru menunjukkan kandungan Cu tinggi pada limbah (Suhardi, 1991). Warna lain yang
sudah teridentifikasi di antaranya coklat muda yang menunjukkan limbah tersebut
berumur 6 jam, abu-abu tua yang menunjukkan limbah tersebut sedang dalam proses
pembusukan, hitam yang menunjukkan limbah tersebut membusuk oleh bakteri anaerob
(Hadihardja, 1997). Akan tetapi, warna yang ditunjukkan tidak dapat menentukan
bahaya atau tidaknya suatu limbah cair (Jenie & Rahayu, 1993).
Alat yang dapat digunakan untuk menentukan warna limbah cair adalah dengan
menggunakan skala standar dan komparator warna Secchi. Selain itu, penentuan warna
juga dapat dilakukan dengan memegangi tabung reaksi yang diisi penuh dengan sampel
di depan latar belakang putih, didiamkan terlebih dahulu hingga mengendap dan
dilakukan pengamatan. Hasil warnanya kemudian dinyatakan dalam muda, medium,
atau tua (Sastrawijaya, 1991).
o Bau
Bau limbah cair dapat dijadikan parameter apakah limbah tersebut masih baru atau
sudah busuk akibat penyimpanan. Limbah cair yang busuk dapat diketahui melalui bau
tidak sedap, yang mirip dengan bau hidrogen sulfida. Adanya campuran antara nitrogen,
fosfor, sulfur, pembusukan protein dan bahan-bahan organik lain dapat menyebabkan
bau yang tidak sedap pada limbah cair. Bau paling tajam dihasilkan oleh gas hidrogen
sulfida (Mahida, 1981). Aktivitas mikroorganisme yang menguraikan zat organik
menghasilkan gas tertentu yang berbau tidak sedap. Ketajaman bau tidak sedap ini
dipengaruhi oleh jenis dan banyak gas yang ditimbulkan (Gintings, 1992).
Limbah industri pangan umumnya memiliki karakteristik limbah organik yang bersifat
biodegradable atau dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme karena mengandung
karbohidrat dan protein yang tinggi. Namun, umumnya proses penguraian kembali ini
mengikut-sertakan proses pembusukan yang menimbulkan bau tidak sedap (Sugiharto,
1987). Pengukuran bau dapat dilakukan menggunakan GC (Gas Chromatography) yang
digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau maupun evaluasi sensori
menggunakan indera penciuman (Suhardi, 1991).
Menurut Mahida (1992), konsentrasi amoniak sebesar 0,037 mg/L dapat menimbulkan
bau menyengat; konsentrasi hidrogen sulfida sebesar 0,0011 mg/L menyebabkan bau
menyerupai telur busuk; dan konsentrasi karbon disulfida sebesar 0,0026 mg/L
menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau-bauan ini, selama tidak berasal dari gas-gas
yang beracun, tidak akan mengancam kesehatan.
o Analisa Padatan
Air limbah umumnya mengandung banyak padatan yang terapung atau melayang
bersama air. Lumpur, pasir, potongan kayu, dan sisa kain merupakan padatan yang
umumnya ditemukan pada air limbah. Bahan-bahan ini mudah diidentifikasi karena
tampak oleh penglihatan manusia. Padatan terapung atau melayang ini dapat
mengganggu proses pengolahan limbah selanjutnya. Oleh sebab itu, padatan tersebut
perlu dieliminasi (Gintings, 1992).
Koagulasi didefinisikan sebagai proses penggumpalan menggunakan reaksi kimia.
Proses koagulasi dapat berlangsung melalui penambahan koagulan sesuai dengan
karakteristik zat terlarut. Kapur, kaporit, dan tawas merupakan koagulan yang umum
digunakan. Garam-garam kalsium, besi, dan alumunium memiliki sifat tidak larut air
sehingga mengendap saat berkontak dengan sisa-sisa basa. Endapan yang dihasilkan
dari koagulasi umumnya dipisahkan melalui filtrasi maupun sedimentasi. Jenis,
konsentrasi ion-ion yang larut, serta konsentrasi akhir sesuai standar baku
mempengaruhi jumlah koagulan yang diberikan. Pengadukan dengan alat mixer statis
maupun rapid mixer digunakan untuk mempercepat proses koagulasi dalam air limbah
(Kusnaedi, 1998).
Proses koagulasi dengan kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dapat menggumpalkan dan
mengendapkan padatan-padatan tersuspensi dan terlarut. Padatan-padatan ini akan
bergabung sehingga berat jenisnya bertambah sehingga dapat mengendap. Karbon aktif
memiliki atom-atom yang saling tarik-menarik. Pada saat karbon aktif dimasukkan ke
dalam limbah cair susu kedelai, tidak ada partikel padatan yang menarik atom karbon
aktif tersebut, sehingga justru karbon aktif ini yang menarik padatan-padatan
tersuspensi dan padatan-padatan terlarut (Gintings, 1992).
Proses koagulasi berkaitan dengan pengaruh penambahan bahan kimia pada dispersi
koloid yang mengakibatkan ketidak stabilan partikel. Ketidak stabilan ini disebabkan
oleh pengurangan gaya-gaya yang membuat partikel terpisah. Partikel koloid
mempunyai muatan listrik yang menyebabkan koloid tolak-menolak. Hal ini mencegah
penggabungan partikel yang lebih besar, sehingga tetap dalam bentuk tersuspensi (Birdi,
1979).
Dalam proses pemurnian air limbah, bahan koagulan yang sering digunakan meliputi
aluminium sulfat (Al2(SO4)3.14H2O), ferro sulphate (FeSO4.7H2O), ferri sulphate
(Fe2(SO4)3), feri klorida (FeCl3), chlorinated copperas (campuran feri sulfit dan feri
klorida), serta silikat aktif (Winarno, 1986).
Filtrasi atau proses penyaringan biasanya digunakan untuk memisahkan larutan dan
padatan yang terdapat dalam limbah. Kertas saring yang berukuran 0,7 mm atau lebih
besar umumnya digunakan dalam proses ini. Tahap koagulasi akan baik untuk
dilakukan sebelum dilakukan penyaringan. Hal ini disebabkan karena padatan terlarut
sulit dipisahkan dari bagian cair. Benda-benda padat yang bisa melewati saringan
kemudian diendapkan dalam tanki-tanki sedimentasi (Mahida, 1992).
o Total Padatan atau Total Solid (TS)
Merupakan residu yang tertinggal setelah evaporasi sampel air atau air limbah dan
pengeringan dalam oven. Padatan total terbagi atas padatan tersuspensi total yang
tertahan filter dan padatan terlarut total yang dapat melewati filter dengan ukuran
pori-pori 2,0 μm. Total endapan terdiri dari benda-benda yang mengendap, terlarut,
dan tercampur (Sugiharto, 1987). Padatan tersuspensi total didefinisikan sebagai
residu tidak lolos saringan yang diperoleh dengan cara menyaring sejumlah air
limbah melalui filter membran. Berat keringnya diperoleh setelah satu jam pada
suhu 103o hingga 105oC, kemudian didinginkan dalam desikator. Konsentrasi total
padatan dihitung menggunakan rumus:
Total padatan =
(Sugiharto, 1987 dan Jenie & Rahayu, 1993).
o Total Padatan Tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS)
Terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur,
sisa tanaman dan hewan, dan limbah industri. TSS terdiri dari jumlah bobot bahan
yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu, yang memiliki satuan miligram
per liter atau bagian per juta (bpj). Kejernihan dan warna air sangat dipengaruhi oleh
padatan terlarut dan tersuspensi. Sifat transparan (jernih) berkaitan erat dengan
produktivitas. Tingkat transparansi yang rendah menunjukkan produktivitas tinggi,
begitu pula sebaliknya (Sastrawijaya, 1991). Hammer & Hammer (1996)
mengemukakan pendapat serupa, bahwa total padatan tersuspensi merupakan residu
yang tertahan filter. Pengukurannya dilakukan menggunakan filtrasi, yaitu filter
dikeringkan dan ditimbang untuk menentukan pertambahan berat dari residu yang
tertahan. Residu yang tidak tersaring dihitung dengan mengurangi konsentrasi
padatan total dengan konsentrasi padatan tersuspensi.
o Total Padatan Terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS)
Menunjukkan jumlah kepekatan padatan dalam suatu contoh air. Dinyatakan dalam
mg/l atau bagian/juta (bpj). Penentuan padatan terlarut total dapat menentukan
kualitas air dengan cepat contoh, daya hantar listrik suatu contoh air. Derajat
konduktivitas air adalah sebanding dengan daya total padatan terlarut (Sastrawijaya,
1991). Padatan terlarut total, atau residu yang dapat disaring, ditetapkan dengan
berat contoh yang telah disaring dan dievaporasi atau sebagai perbedaan antara berat
residu setelah evaporasi dan berat padatan tersuspensi total. Oleh karena itu, polutan
ini sulit dihilangkan dari air limbah. Penanganan total padatan terlarut dengan
mikroorganisme umumnya digunakan untuk konversi bahan partikulat (Jenie &
Rahayu, 1993).
Proses koagulasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: efek pH, di mana
untuk setiap jenis air terdapat minimal satu rentang pH yang tepat untuk koagulasi dan
flokulasi dalam waktu singkat sesuai dosis dalam zona optimum; efek garam, di mana
pengaruh garam pada koagulasi berpengaruh rentang pH untuk koagulasi, waktu
flokulasi, dosis koagulan optimum, sisa koagulan dalam air setelah pengolahan; efek
pengadukan, di mana pengadukan yang cepat pada penambahan koagulan dapat
membuat distribusi koagulan merata. Sedangkan pengadukan kedua atau proses
koagulasi dengan kecepatan rendah digunakan untuk menghasilkan koloid-koloid yang
tidak stabil. Proses penyaringan bisa merupakan proses awal (primary treatment) atau
penyaringan dari proses sebelumnya, misalnya penyaringan dari hasil koagulasi
(Kusnaedi, 1998). Penyaringan bertujuan untuk memisahkan padatan tidak terlarut,
bahan kasar lain yang bentuknya cukup besar, sehingga padatan ini tertahan dan
filtratnya turun (Gintings, 1992).
Sedimentasi didefinisikan sebagai proses pemisahan partikel yang mengendap. Ada
beberapa faktor dalam penentuan jumlah bahan kimia yang tepat pada jenis limbah,
diantara lainnya adalah pH, konsentrasi padatan, fosfat dan beberapa faktor yang
mempengaruhi koagulan menurut Jenie & Rahayu (1993). Sedimentasi yang tidak
dibantu gaya pengental merupakan proses yang sejati. Adanya proses sedimentasi akan
menghilangkan partikel padat sebanyak 80% dan 35 hingga 40% komponen organik.
Menurut Mahdia (1992), koagulasi dapat mempercepat proses sedimentasi.
1.2.3. Karakteristik Kimiawi
Analisa kimiawi pada limbah cair terdiri dari analisa nitrogen, klorida, sulfat dan
sulfida, kebutuhan oksigen biokimiawi, stabilitas “methylene blue” atau stabilitas relatif,
oksigen yang dipakai, kebutuhan oksigen kimiawi, oksigen yang larut, potensi oksidasi
– reduksi, pH atau konsentrasi ion hidrogen. Tujuan dilakukannya analisa kimiawi
limbah cair adalah untuk menentukan konsentrasi zat – zat kimia, mengetahui ada atau
tidaknya bahan – bahan beracun di dalam limbah, serta untuk menentukan tingkat
kebusukan yang telah dicapai limbah. Analisa kimiawi limbah cair ditentukan atas dasar
unsur-unsur yang mempunyai nilai peubah terhadap kesehatan manusia seperti bahaya
yang ditimbulkan oleh zat beracun yang mungkin ada di dalam limbah, serta upaya
pembenahan limbah (Utomo, 1998).
Limbah industri pangan khususnya susu kedelai identik dengan kandungan organiknya
yang cukup tinggi. Ryadi (1984) mengatakan bahwa, sifat kimia limbah cair meliputi
pH, COD, dan BOD. Untuk mengukur kadar organik pada limbah, dapat dilakukan
pengukuran BOD5, BOD dan COD. Seringkali limbah cair mempunyai kadar COD yang
tinggi dan BOD yang rendah karena adanya bahan organik yang tidak dapat dipecah
secara biologik atau bahan beracun. Analisa BOD dalam penanganan air limbah akan
memberikan indikasi awal adanya toksik yang terkandung pada limbah. Bila kandungan
COD dalam air limbah tinggi dan BOD-nya rendah, maka studi toksisitas perlu
dilakukan (Jenie & Rahayu, 1993).
o Pengukuran pH
pH adalah nilai keasaman atau alkalinitas suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion
hidrogennya. Keasaman atau alkalinitas suatu bahan dapat diukur dengan pH meter
(Sugiharto, 1987). Nilai keasaman limbah cair dapat ditentukan oleh banyaknya ion
hidrogen yang larut dalam air. Range pH pada air normal berkisar antara 6,5 – 8,5.
Sedangkan pH pad susu kedelai berkisar 3,65. pH limbah cair dapat menurun apabila
ada buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida. Sedangkan
buangan yang bersifat basa (alkalis) adalah buangan yang mengandung bahan organik
seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida (Hammer & Hammer, 1996).
Keberadaan air limbah pada lingkungan akan menyulitkan proses biologis, sehingga
menganggu proses penjernihan (Sugiharto, 1987).
Menurut Suhardi (1991), kadar ion H yang terdapat dalam larutan dapat diukur dengan
beberapa cara antara lain menggunakan pH meter yang terdiri atas alat penera
(potensiometer) dan dua buah elektroda. pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga
maka terdapat rantai tertutup. Oleh karena itu, ada aliran listrik yang dapat diketahui
dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besarnya
kadar ion H. Kadar pH yang baik yaitu kadar dimana masih memungkinkan kehidupan
biologis di dalam air berjalan baik. pH yang baik bagi limbah cair adalah pH netral.
Semakin rendah nilai pH maka limbah cair tersebut makin asam dan akan menyulitkan
proses biologis sehingga mengganggu proses penjernihan (Sugiharto, 1987). Sugiharto
(1987) mengatakan bahwa pengawasan pH penting untuk melindungi sistem saluran
pembuangan dan juga untuk mencegah terganggunya proses-proses penanganan limbah.
Limbah cair segar umumnya mempunyai pH mendekati netral namun akan mengalami
penurunan pH selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh adanya pertambahan
bahan-bahan organik yang kemudian membebaskan CO2 jika mengurai.
o Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak berasa dan hanya sedikit larut
dalam air. Kehidupan mahluk hidup yang tinggal di dalam air tergantung dari oksigen
yang terlarut. Oleh karena itu, penentuan kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan kualitas air. Kehidupan biota perairan dapat bertahan jika ada
oksigen terlarut minimum 5 mg oksigen setiap liter air (5 ppm). Selebihnya, tergantung
dari ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran pencemaran, suhu air dan
sebagainya. Jika tingkat oksigen terlarut selalu rendah, maka organsime anaerob
mungkin mati dan mungkin organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan
menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Zat-zat itulah yang
menyebabkan air berbau busuk (Sastrawijaya, 1991).
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau mg/L
yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara
kimiawi. Oksigen yang terlarut ini digunakan sebagai tanda derajat pengotoran limbah
yang ada. Semakin berat oksigen yang terlarut, maka menunjukkan derajat pengotoran
yang relatif kecil (Sugiharto, 1987). Cara menguraikan benda organik dapat dilakukan
dengan oksidasi menggunakan agen pengoksidasi misalnya KMnO4 atau K2Cr2O7. Agen
pengoksidasi kuat dalam suasana asam. COD juga digunakan sebagai ukuran kekuatan
pencemaran air limbah domestik maupun air limbah industri (Suhardi, 1991). COD
(Chemical Oxygen Demand) juga dapat diartikan sebagai jumlah oksigen (miligram O2)
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter air, dimana
larutan kalium dikromat (K2Cr2O7) digunakan sebagai sumber oksigen (Jenie & Rahayu,
1993). Nilai COD yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran air oleh zat-zat organik
yang dapat berasal dari berbagai sumber, seperti limbah pabrik, limbah rumah tangga,
dll.
Dalam teorinya, Hammer & Hammer (1996) mengatakan bahwa COD (Chemical
Oxygen Demand) dapat digunakan untuk menggolongkan kekuatan organik dari air
limbah dan polusi air bersih. Uji COD dilakukan dengan mengukur jumlah oksigen
yang diperlukan untuk oksidasi kimia bahan-bahan organik dalam sampel menjadi
karbondioksida dan air. Prosedur uji tersebut adalah sebagai berikut : penambahan
sejumlah larutan kalium dikromat standar yang diketahui jumlahnya, reagen asam sulfat
yang mengandung perak sulfat dan sampel dalam jumlah tertentu ke dalam suatu
wadah. Dalam melakukan uji COD, juga dibuat sampel blanko yang berisi air destilasi.
Tujuan sampel blanko adalah untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak yang timbul
karena adanya bahan-bahan organik dalam reagen. Nilai COD dihitung berdasarkan
perbedaan antara jumlah titran yang digunakan untuk blanko dan sampel dibagi dengan
volume sampel dan dikalikan dengan normalitas titran.
Rumus COD dapat dituliskan sebagai berikut:
Berdasarkan teori dari Suhardi (1991), zat kimia yang dapat ditambahkan sebagai
penggumpal untuk menghilangkan zat-zat organik adalah:
Aluminium sulfat (Al2(SO4)3).
Campuran fero-sulfat dengan kapur (FeSO4 + CaO).
Natrium-aluminat.
Aluminium ferric (mengandung Ferri oksida ±1%).
Boothal (campuran aluminium sulfat dengan soda abu (Na2CO3).
Bahan-bahan pengoksidasi yang dapat digunakan untuk uji COD salah satunya adalah
kalium bikromat, yaitu zat campuran yang mudah diperoleh dalam keadaan yang sangat
murni. Penambahan larutan kalium bikromat dan merkuri sulfat berguna untuk
menyebabkan terjadimya reaksi reduksi-oksidasi sehingga menghasilkan Ox yang
merupakan oksigen bebas dan nantinya akan diukur dengan titrasi iod. Reaksi oksidasi-
reduksi dapat terjadi karena kalium bikromat termasuk senyawa yang bersifat oksidator
kuat. Reaksi oksidasi-reduksi juga dapat berlangsung optimal pada kondisi asam
(Suhardi, 1991). Katalis perak sulfat dan merkuri sulfat dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan klorida dan memastikan oksidasi senyawa-senyawa benzene dan
amonia tidak terukur dalam uji ini (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Baku Mutu
Limbah, batas maksimum nilai COD yang diijinkan dalam suatu limbah adalah 100
mg/Liter (Annas, 2007).
COD juga mengukur jumlah senyawa-senyawa organik yang tidak dapat dipecah seperti
pelarut pembersih dan yang dapat dipecah secara biologik seperti dalam uji BOD
(Suhardi, 1991). Jenie & Rahayu (1993) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa
nilai-nilai COD selalu lebih tinggi daripada nilai BOD. Perbedaan antara kedua nilai
tersebut disebabkan oleh:
Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia namun tidak terhadap oksidasi
kimia, misalnya lignin.
Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi
biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari, misalnya selulosa, lemak berantai
panjang atau sel-sel mikroba.
Adanya zat toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD.
Proses pemanasan dapat meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia karena pada suhu
tinggi terjadi pembesaran energi kinetik masing–masing molekul dari kedua senyawa
yang bereaksi sehingga terjadi tumbukan dari kedua molekul tersebut dan akan semakin
besar sehingga senyawa akhir reaksi akan semakin cepat terbentuk (Graham, 1956). Zat
pengoksidasi kuat dapat dianalisis dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan
menitrasi iod yang dibebaskan karena banyak zat pengoksidasi yang membuat larutan
asam untuk bereaksi dengan iodide. Penambahan KI juga akan menyebabkan terjadinya
reaksi antara ion K dengan oksigen yang dibebaskan dari reaksi oksidasi (On) (Petrucci,
1990).
Reaksi yang terjadi akan menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen
dengan jumlah ion yang melepaskannya. Jumlah ion iodida yang bebas dapat ditentukan
melalui titrasi dengan Na2S2O3 dengan indikator amilum (Day & Underwood, 1992).
Adanya reaksi antara ion iodida bebas tersebut dengan indikator amilum yang
digunakan akan menghasilkan warna biru tua. Warna biru timbul dari reaksi antara
molekul-molekul pati dengan iodin. Iodin dapat masuk ke dalam struktur molekul pati
yang berbentuk helix dan membentuk suatu ikatan. Ikatan antara struktur molekul pati
dengan zat iodin akan menghasilkan warna biru tua (Graham, 1956). Apabila warna biru
ini tidak pudar kembali, maka menunjukkan titik akhir titrasi, dan jumlah volume
Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk menangkap semua iod sama dengan dengan jumlah iod
yang bebas dan sebanding dengan jumlah oksigen yang terkandung dalam limbah
(Sudarmadji et al., 1996).
o Analisa Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Kandungan bahan organik dari suatu limbah dapat dinyatakan dengan parameter BOD.
BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk menyeimbangkan zat – zat
organik yang dapat dibusukkan dalam keadaan aerobik (Mahida, 1992). BOD juga
dapat diartikan sebagai jumlah oksigen terlarut yang dikonsumsi atau digunakan oleh
kegiatan kimia atau mikrobiologik. Pada limbah, oksigen dibutuhkan untuk oksidasi
bahan organik, oleh karena itu uji BOD menunjukkan indikasi kasar banyaknya
kandungan bahan organik dalam contoh tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Keberadaan
oksigen terlarut dalam air limbah sangat diperlukan untuk mencegah terbentuknya bau
yang tidak diinginkan. Air buangan dengan BOD tinggi yang langsung dibuang ke
perairan atau badan air dapat mengganggu keseimbangan ekologi, bahkan menyebabkan
kematian biota perairan.
Parameter yang sering digunakan untuk mengukur polusi baik pada air limbah maupun
air tanah adalah nilai BOD 5 hari (BOD5) yang hasilnya dinyatakan dalam bpj (ppm).
Nilai tersebut merupakan hasil dari pengukuran oksigen terlarut yang digunakan oleh
mikroorganisme dalam oksidasi biokimia materi-materi organik. Waktu inkubasi pada
umumnya berlangsung selama 5 hari pada suhu 20ºC. Pengujian dilakukan dengan
mengencerkan suatu contoh dengan beroksigen banyak kemudian segera ditentukan
oksigen terlarutnya. Selama 5 hari tersebut, oksidasi berlangsung secara sempurna
sebesar 60 hingga 70%, sedangkan jika digunakan waktu 20 hari, oksidasi berlangsung
sempurna sebesar 95 hingga 99%. Penggunaan temperatur yang berbeda akan
memberikan hasil yang berbeda pula karena reaksi biokimia sangat tergantung pada
temperatur. Menurut Tchnobanoglous (1981), secara umum nilai BOD5 adalah sekitar
400-1000 mg/L pada inlet dan dibawah 50 mg/L pada outlet tangki aerasi. Namun, nilai
BOD selama 5 hari itu hanya dapat mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara
lengkap, oleh karena itu, menurut Mahida (1992), BOD5 bukan merupakan suatu ukuran
yang lengkap dari kekuatan air limbah, mutu air limbah atau tingkat pencemarannya
Sampel yang disimpan dalam botol yang kedap udara akan membutuhkan waktu lebih
dari 100 hari pada suhu 20C untuk mencapai stabilisasi yang sempurna. Periode
inkubasi yang lama ini tidak praktis untuk penentuan rutin. Oleh karena itu prosedur
yang disarankan oleh AOAC (Association of Official Analytical Chemists) adalah
periode inkubasi 5 hari dan disebut BOD5. Nilai ini hanya merupakan indeks jumlah
bahan organik yang dapat dipecah secara biologik bukan ukuran sebenarnya dari limbah
organik. Kelemahan uji BOD yaitu fase lag yang tidak dapat diduga panjangnya terjadi
sebelum pertumbuhan aktif dimulai. Panjang lag akan mempengaruhi nilai BOD 5 hari
dengan menggeser kurva sepanjang sumbu waktu (Jenie & Rahayu, 1993).
Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB)
merupakan suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikorobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Penguraian zat organik adalah
peristiwa alamiah; kalau sesuatu badan air dicemari oleh zat organis, bakteri dapat
menghabiskan oksigen terlarut, dalam air selama proses oskidasi tersebut yang bisa
mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobic dan dapat
menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Untuk penguraian/oksidasi zat organik yang
khas, terutama di beberapa jenis air buangan industri yang mengandung misalnya fenol,
detergen, minyak, dan sebagainya bakteri harus diberikan “waktu penyesuaian”
(adaptasi) beberapa hari melalui kontak dengan air buangan tersebut, sebelum dapat
digunakan sebagai benih pada analisa BOD air tersebut (Alaerts & Santika, 1984).
Tabel di bawah ini menunjukkan jenis zat organik/inorganik yang tidak atau dapat
dioksidasikan melalui tes COD dan BOD.
Jenis Zat Organik/ Inorganik Melalui Tes COD/ BOD:
Jenis zat organik/ inorganik Dapat dioksidasikan melalui tesCOD BOD
Zat organik yang ‘biodegradable’a (protein, gula, dan sebagainya)Selulosa dan sebagainyaN organik yang ‘biodegradable’a (protein dan sebagainya)N organik yang ‘non-biodegradable’, NO2
-, Fe2+ , S2-, Mn3+ NH4 bebas (nitrifikasi)Hidrokarbon aromatik dan rantai
x
xx
x
-xc
X
-x
-
xb
-
Keterangan:a. Biodegradable = dapat dicerna atau diuraikanb. Mulai setelah 4 hari, dan dapat dicegah dengan pembubuhan inhibitorc. Dapat dioksidasikan karena adanya katalisator Ag2SO4
(Alaerts & Santika, 1984).
Nilai BOD (Biological Oxygen Demand) selalu lebih kecil dari nilai COD (Chemical
Oxygen Demand) diukur pada senyawa organik yang tidak dapat diurai. Prosedur uji
dilakukan dengan menambah sejumlah larutan standar kalium dikromat, reagen asam
sulfat yang mengandung perak sulfat dan mengukur volume sampel dalam gelas ukur.
Campuran ini di-reflux selama 2 jam. Bahan organik ini dihancurkan dalam campuran
kromat dan sulfat mendidih sehingga terjadi reaksi (Hammer & Hammer, 1996).
Tes BOD digunakan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluen yang
telah diolah dan air yang terpolusi, tetapi bagaimanapun juga tes ini nilainya terbatas
dalam mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air, dan
perhitungan tes yang menunjukkan aliran kebutuhan oksigen yang sesungguhnya sangat
dipertanyakan karena lingkungan laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika,
kimia dan biologis yang sama seperti di alam. BOD didefinisikan sebagai jumlah
oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan–bahan
organik dalam sampel air limbah pada temperatur 19 hingga 21 oC dalam inkubator atau
waterbath (Hammer & Hammer, 1996).
Tes standar BOD yang dilaksanakan selama 5 hari adalah metode yang paling sering
digunakan untuk menentukan jumlah total dari senyawa organik yang dapat diuraikan
dalam air limbah. BOD5 juga dapat memperkirakan jumlah oksigen yang akan
dikonsumsi mikroorganisme selama proses penggunaan senyawa organik yang
terkandung dalam air limbah untuk pertumbuhan dan energinya. Sebagian dari senyawa
organik dikonversikan menjadi mikroorganisme tambahan, dan beberapa dikonversikan
menjadi CO2 dan air.
Senyawa organik + mikroorganisme + O2 lebih banyak mikroorganisme +
CO2 + H2O (Woodard & Curran, 2006).
Pada umumnya analisa BOD dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu:
o Analisa dengan titrasi Winkler
Analisa ini pada prinsipnya adalah oksigen akan mengoksidasi MnSO4 yang
ditambahkan ke dalam larutan pada keadaan alkalis, sehingga terjadi endapan Mn02.
dengan penambahan asam sulfat dan kalium iodida makan akan dibebaskan iodin
yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodin yang terbebaskan kemudian dianalisa
dengan metoda titrasi iodimetris yaitu dengan larutan standar thiosulfat dengan
indikator kanji. Reaksi dari metoda titrasi ini dapat dituliskan sebagai berikut :
MnSO4 + 2 KOH Mn(OH)2 + K2SO4
Mn(OH)2 + ½ O2 MnO2 + H2O
MnO2 + KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 S2O3 –2 S4O6- + 2 I -
o Analisa dengan DO – meter
Analisa oksigen terlarut di dalam air dapat juga dilakukan dengan metoda elektrolisa
yang pada prinsipnya menggunakan elektroda yang terdiri atas katoda dan anoda
yang terendam dalam alrutan ektrolit (larutan garam). Pada DO meter, elektroda ini
terdiri atas katoda Ag dan anoda Pb atau Cu. Sistem elektroda ini dilindungi oleh
membran palstik tertentu yang bersifat semi – permeable terhadap oksgen dan hanya
oksigen saja yang dapat menembus membran ini.
(Alaerts & Santika, 1984).
Banyak zat organik yang tidak mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarkan
pengujian BOD 5 hari. Tetapi senyawa – senyawa organik itu tetap menurunkan
kualitas air. Karena itu perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah
masuk dalam perairan sungai atau danau. Untuk tujuan itulah dikembangkan uji COD
(Sastrawijaya, 1991).
Dalam analisa BOD ini terdapat 5 jenis gangguan yang umum terjadi yakni :
o Proses Nitrifikasi
Proses nitrifikasi ini dapat terjadi di dalam botol dari hari ke –2 s/d hari ke 10. Proses
ini juga membutuhkan oksigen. Semakin banyak reaksi nitrifikasi terjadi, maka oksigen
yang akan dianalisa dalam tes BOD akan semakin tidak teliti. Oleh karena itu dalam
analisa BOD, pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus dihalangi dengan
inhibitor, walaupun kemungkinan suhu yang tinggi seperti di daerah tropis juga akan
meningkatkan proses nitrifikasi ini.
o Zat Beracun
Zat beracun dapat memperlambat pertumbuah bakteri sehingga analisa BOD menjadi
tidak teliti.
o Keluarnya Oksigen dari Dalam Botol
Untuk mencegah keluarnya oksigen di dalam botol maka botol harus ditutup rapat –
rapat, gelembung udara tidak boleh berada di dalam botol. Hal ini disebabkan karena
adanya gelembung udara akan menyebabkan kemungkinan terjadinya penggunaan
oksigen oleh kontaminan seperti ganggang dan lumut. Olerh karena itu penyimpanan
botol harus diletakkan di tempat yang gelap.
o Nutrien
Nutrien merupakan salah satu syarat kehidupan bakteri – bakteri yang akan dianalisa
kebutuhan oksigennya.
o Cara Pembenihan Bakteri yang Cocok dalam Air Limbah
(Alaerts & Santika, 1984).
1.2.4. Karakteristik Biologis
Karakteristik biologis pada limbah cair sangat penting untuk mengetahui keberadaan
bakteri-bakteri yang bersifat pathogen di dalam limbah cair serta cara untuk
menanggulangi jumlah mikroorganisme yang terlalu banyak di dalam limbah. Upaya
untuk menanggulangi bakteri-bakteri pathogen adalah dengan melakukan desinfeksi
(Gintings, 1992). Bakteri-bakteri patogen perlu ditangani karena dapat menganggu
bakteri lain yang berguna dalam menghilangkan bahan-bahan organik serta mineral
yang tidak dikehendaki (Jenie & Rahayu, 1993). Pemeriksaan biologis yang perlu
dilakukan adalah pemeriksaan terhadap keberadaan bakteri, jamur, ganggang, protozoa,
porifera, crustaceae, serta virus (Utomo, 1998).
Kapang termasuk salah satu mikroorganisme yang menganggu di dalam limbah.
Kapang bersifat nonfotosintesis, bersel banyak, memiliki filamen, bersel banyal, dan
dapat memetabolisme makanan terlarut. Kapang biasa hidup dalam limbah pada pH
antara 4-5 pada kadar air yang rendah dan bersifat sulit mengendap. Hal tersebut yang
menyebabkan kapang sulit untuk ditangani. Pada umumnya bakteri menggunakan
karbon dan bahan-bahan organik sebagai sumber energi dan makanan. Bakteri
kemoheterotrof merupakan bakteri yang sangat penting dalam menangani limbah karena
dapat memecah bahan-bahan organik dalam limbah. Selain itu bakteri nitrifikasi juga
penting karena dapat mengoksidasi amonia nitrogen menjadi amonia nitrat (Jenie &
Rahayu, 1993).
Menurut Sunu (2001), faktor-faktor yang dapat memepengaruhi jenis, dan banyak
mikroorganisme di dalam air adalah:
o Sumber air
Sumber air merupakan sumber dari mana air itu berasal, contohnya adalah air hujan,
air permukaan, air tanah, air laut.
o Komponen nutrien dalam air
Mineral-mineral maupun nutrisi yang terkandung di dalam air akan mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme karena karena mikroorganisme memerlukan sumber
energi untuk dapat hidup.
o Organisme air
Organisme-organisme air dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme lain
karena terkadang keberadaan organisme tertentu dapat membunuh organisme yang
lain, contohnya adalah protozoa dan plankton dapat membunuh bakteri.
o Komponen beracun
Racun sangat mempengaruhi karena keberadaan racun dapat membunuh
mikroorganisme-mikroorganisme tertentu yang ada di dalam air, contohnya adalah
asam-asam organik dan anorganik, seperti klorin yang dapat membunuh
mikroorganisme dan kehidupan lainnya di dalam air.
o Faktor fisik
Faktor fisik yang berpengaruh contohnya adalah suhu, pH, tekanan osmotik, tekanan
hidrostatik, aerasi, dan sinar matahari
Desinfeksi didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam menanggulangi masalah
keberadaan jasad renik yang bersifat patogen. Metode desinfeksi dapat berjalan secara
kimiawi maupun fisik. Metode kimia akan menimbulkan efek yang lebih selektif
terhadap jasad renik tertentu dibandingkan dengan metode fisik yang menggunakan
suhu tinggi dan radiasi. Namun semua desinfektan hanya efektif terhadap sel
vegetatifnya saja, dan kurang efektif untuk menanggulangi sporanya (Fardiaz, 1992).
Efektivitas penanganan mikroorganisme sangat ditentukan oleh zat yang digunakan dan
mikroorganisme yang akan ditangani. Zat pembunh kimia, contohnya klorin mematikan
bakteri dengan menghambat kerja enzim sehingga menyebabkan kerusakan pada
dinding sel bakteri. Adapun cara lain untuk merusak dinding sel adalah dengan
menggunakan suhu tinggi. Dalam pemilihan zat kimia yang akan digunakan, perlu
diperhatikan daya racun dari zat tersebut, waktu yang diperlukan, efektifitas racun, dosis
yang digunakan, pengaruhnya terhadap manusia dan hewan, ketahanan terhadap air,
serta biaya yang dikeluarkan (Sugiharto, 1987).
Proses desinfeksi pada limbah cair susu kedelai bertujuan untuk mengurangi jumlah
bakteri yang ada serta untuk membunuh bakteri-bakteri patogen untuk mencegah hal
yang tidak diinginkan. Penghilangan bakteri patogen harus dilakukan tehadap air yang
akan diminum untuk mencegah penyakit. Desinfeksi dapat digunakan untuk membunuh
bakteri patogen secara spesifik, karena bakteri patogen bersifat rentan daripada bakteir
kolifom. Bakteri kolifom merupakan bakteri yang digukanan sebagai indikasi untuk
spesifikasi dalam mengukur efektivitas dan efisiensi dari desinfeksi. Metode desinfeksi
dapat menggunakan bahan-bahan tertentu seprti klorin, amonium kuatener, dan iodium
ozon. Klorin dapat digunakan sebagai oksidator yang bereaksi dengan komponen-
komponen organik yang terdapat di dalam limbah cair. Apabila air limbah tidak terlalu
keruh, dan suspensi padatannya sedikit, maka biasanya penggunaan klorin relatif
rendah. Klorin juga dapat digunakan untuk mengatasi bau tidak sedap yang timbul dari
limbah. Klorin dapat mengatasi limbah pertanian dengan mengurangi bakteri yang ada
di dalam limbah. Klorinasi yang disebabkan oleh klorin akan membuat kadar BOD
semakin menurun. Yang mempengaruhi efisiensi dalam penggunaan klorin adalah
jumlah mikroba, jumlah klorin yang digunakan, bentuk klorin, suhu, dan waktu kontak
(Jenie & Rahayu, 1993).
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum pengelolaan limbah industri pangan yang dilaksanakan oleh kloter D,
dilakukan pengelolaan dengan sampel limbah cair susu kedelai. Limbah cair adalah
sampah dalam bentuk cair yang mengandung senyawa organik. Senyawa-senyawa
organik tersebut dapat menjadi media pertumbuhan mikroorganisme yang baik. Limbah
cair dapat menimbulkan bau yang tengik dan warnanya juga tidak enak dipandang dan
dapat menyebabkan eutrofikasi (Mahida, 1992 dan Jenie & Rahayu, 1993). Sebelum
limbah dilepaskan atau dibuang ke alam, harus benar-benar diperhatikan sebab di dalam
limbah, masih banyak terdapat mikroorganisme patogen yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup alam (Otto, 1986). Menurut Mahida (1992) yang dimaksud dengan
limbah adalah sampah cair yang telah digunakan kira-kira sebanyak hampir 0,1% dan di
dalamnya masih terkandung bahan-bahan organik, contohnya adalah karbohidrat,
lemak, sabun, nitrogen, maupun bahan anorganik. Bahan-bahan tersebut dapat
menyebabkan penyakit-penyakit seperti kolera, tipus, disentri dan sebagainya.
Praktikum ini menyelidiki beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi zat-
zat berbahaya yang ada di dalam limbah agar saat dibuang nanti menjadi lebih aman.
Menurut Sugiharto (1987), limbah dapat diolah dengan menggunakan 3 metode, yaitu
metode biologi, kimia dan fisik. Sedangkan menurut Gintings (1992), dalam pengolahan
air limbah, terdapat beberapa tingkatan proses. Proses tersebut yang pertama adalah pre-
treatment, secondary treatment, tertiary treatment, desinfeksi dan pengolahan tingkat
lanjut. Mengacu teori-teori tersebut, pada praktikum ini dilakukan uji pendahuluan yang
dilaksanakan sebelum praktikum dimulai, guna melihat keefektifan setiap perlakuan
yang dilakukan pada limbah yang diuji. Uji yang dilakukan adalah uji secara fisik dan
secara kimiawi. Kemudian limbah tersebut diberikan perlakuan yang ada seperti pada
rancangan percobaan dan dilakukan pengamatan fisik dan kimia pada limbah yang akan
diuji. Pada uji fisik, yang ditinjau adalah warna, bau, kekeruhan, suhu, TS, TSS dan
TDS; pada uji kimia, dilakukan pengujian terhadap ukuran pH, COD dan BOD yang
telah dianalisa.
Gintings (1992) dan Sugiharto (1987) mengemukakan perlakuan-perlakuan yang
dilakukan berdasarkan urutannya secara garis besar, yakni:
o Pre-Treatment
Pada limbah cair, pada umumnya terdapat banyak padatan atau kotoran yang terapung
bersama dengan limbah. Padatan-padatan yang biasa tercampur ke dalam limbah
biasanya dapat dilihat dengan mudah, yakni berupa kayu, pasir, kerikil, sisa olahan
dagaing, lumpur, kain, dan sebagainya. Bahan lain yang dapat tercampur adalah minyak
serta lemak yang ada di atas permukaan air. Pada bagian pre-treatment, dilakukan
penyaringan dengan saringan yang agak kasar untuk memisahkan padatan-padatan
tersebut. Saringan yang digunakan harus tidak mudah berkarat dan harus terus ditinjau
karena akan berpengaruh terhadap pengolahan tingkat primer.
o Primary Treatment
Pada limbah cair, padatan halus maupun zat warna masih dapat lolos dari penyaringan
yang ada di dalam pre-treatment karena memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dari
padatan yang lain. Penanganan ini dilakukan dengan dua metode yaitu dengan cara fisik
dan secara kimia. Pada pengolahan fisik, dilakukan pengendapan yang menggunakan
bantuan gaya gravitasi, sedangkan pada metode kimia, dilakukan dengan
mengendapkan padatan dengan penambahan bahan kimia. Reaksi kimia senyawa yang
diendapkan akan mengakibatkan butiran bertambah besar dan berat jenis padatan
menjadi lebih besar daripada air. Namun ada reaksi tertentu yang tidak dapat berjalan
secara sempurna karena setiap senyawa akan memiliki reaksi yang berbeda satu sama
lain. Pengendapan akan terjadi apabil pencemar yang ada di dalam limbah adalah bahan
– bahan organik, contohnya adalah besi, timbal, alumunium, nikel dan sebagainya.
Penambahan dari zat pengendap akan mengakibatkan perubahan pH air. Pengolahan
dengan cara fisik dilakukan bagi bahan kasar yang sudah diolah dengan pengendapan
atau dengan cara pengapungan. Pengendapan secara fisik, memerlukan kolam pada luas
tertentu sehingga air dapat mengalir dan partikel-partikel akan mengendap.
Keberhasilan pengendapan bergantung pada konsentrasi padatan dan ukuran partikel,
berat jenis, suhu limbah dan sebagainya.
o Secondary Treatment
Pada secondary treatment biasanya dilakukan dengan proses biologis, tujuannya adalah
untuk menghilangkan bahan organik melalui proses biokimia oksidasi. Pada
penanganan ini, biasa digunakan lumpur aktif atau “trickling filter” sebagai reaktor,
dalam proses ini air buangan masuk ke dalam tangki aerasi. Tangki tersebut adalah
tempat mikroorganisme mengonsumsi bahan organik buangan untuk membentuk sel-
sel baru. Endapan pada dasar bak merupakan hasil dari aerasi. Kemudian bagian yang
tebal yang terdapat pada dasar diambil.
o Tertiary Treatment
Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan senyawa – senyawa kimia anorganik. Contoh
dari senyawa anorganik adalah kalsium, kalium, sulfat, fosfot, nitrat, dan lainnya. Selain
itu, digunakan untuk menghilangkan senyawa organik juga. Pada tingkat ini terjadi
proses fisika, kimia, dan biologi. Tahap ini meliputi filtrasi atau penyaringan, destilasi,
pengapungan, pembekuan, stripping, dan sebagainya. Pada metode kimia, dilakukan
proses-proses sebagai berikut; adsorbsi karbon aktif, pengendapan kimia, pertukaran
ion, elektrokimia, oksidasi dan reduksi. Pada metode biologi, dilakukan penelitian
terhadap mikroorganisme seperti bakteri dan alga nitrifikasi. Pengolahan secara tersier
hanya digunakan untuk membersihkan saja. Pengelolaan yang digunakan tergantung
dari kondisi setempat, seperti cahaya matahari dan suhu tinggi (PDII-LIPI, 2007).
o Desinfeksi
Tahap ini bertujuan untuk menurunkan atau menghilangkan mikroorganisme patogen
yang terdapat di dalam limbah susu kedelai. Desinfeksi didefinisikan sebagai proses
yang penting untuk dilakukan karena dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit.
Desinfektan mampu merusak membran sel atau protein sel pada suatu gen yang khas
pada mikroorganisme, yang menyebabkan kematian pada mikroorganisme (Volk &
Wheeler, 1993). Keefektifan kerja dari zat desinfektan dipengaruhi oleh kondisi dari
mikroorganisme yang akan dibunuh dan zat desinfektan yang digunakan. Ada banyak
desinfektan yang dapat digunakan, contohnya adalah klorin yang membunuh dengan
cara menginaktivasi enzim utama pada mikroorganisme, sehingga dapat terjadi
kerusakan pada dinding sel. Efeknya sama seperti dengan penggunaan bahan radiasi
atau panas (Sugiharto, 1987).
o Pengolahan Lanjutan (Ultimate Disposal)
Lumpur merupakan hasil dari pengolahan air limbah yang perlu diolah secara khusus.
Dalam tahap akhir ini, lumpur diolah sedemikian rupa menjadi produk bermanfaat,
misalnya sebagai pupuk, pembuatan kolam, pengisian tanah yang cekung.
4.1. Karakteristik Fisikawi
Karakteristik fisikawi limbah didefinisikan sebagai karakteristik yang dapat diamati
secara langsung dengan alat inda manusia. Sifat-sifat fisik yang mudah terlihat
menentukan derajat kekotoran limbah cair. Sifat-sifat ini meliputi adanya kandungan zat
padat, suhu, kekeruhan, warna, dan bau (Utomo, 1998).
4.1.1. Bau
Dalam percobaan ini, bahan limbah cair yang digunakan adalah limbah dari susu
kedelai (kelompok D1-D3) dan limbah cair tahu (D4-D6). Karakeristik fisik pertama
yang diukur yaitu bau. Dari hasil pengamatan kelompok D1 sampai D3, diketahui bau
sebelum treatment yang dihasilkan sama, yaitu sangat berbau. Hasil ini, menurut
Sugiharto (1987), mengindikasikan bahwa limbah industri pangan yang diamati ini
berupa limbah organik yang bersifat biodegradable (mengandung karbohidrat dan pada
susu kedelai khususnya, mengandung protein yang tinggi) atau dapat diuraikan oleh
mikroorganisme. Proses penguraian ini melibatkan proses pembusukan yang
menimbulkan bau tidak sedap. Gintings (1992) menambahkan bahwa bau muncul dari
aktivitas penguraian zat organik oleh mikroorganisme, di mana aktivitas ini
menghasilkan gas tertentu. Bau juga dapat timbul dari reaksi kimia yang menimbulkan
gas. Jenis dan banyaknya gas yang dihasilkan menentukan kuat (tajam) atau tidaknya
bau. Bau digunakan sebagai indikasi apakah limbah tersebut masih baru atau sudah
busuk, di mana bau busuk umumnya disebabkan karena campuran antara nitrogen,
fosfor, sulfur, maupun pembusukan senyawa organik seperti protein yang terkandung
pada air limbah. Namun, bau yang berasal dari hidrogen sulfida merupakan yang paling
tajam. Bau limbah penting untuk dikendalikan karena dapat mencemari lingkungan dan
mengganggu indra penciuman.
Pasca treatment, bau limbah yang dihasilkan kelompok D1 sampai D3 menjadi sangat
berbau. Bau ini berasal dari penggunaan desinfektan klorin, di mana tujuan
penambahannya adalah untuk mengeleminasi mikroba yang bersifat patogen. Jika
mikroba patogen hilang, maka limbah cair yang dibuang menjadi aman bagi lingkungan
dan kehidupan biota perairan. Warna limbah akan berubah saat dicampur dengan klorin.
Klorin memiliki fungsi sebagai oksidator dan desinfektan. Dalam menjalankan perannya
yaitu oksidator, klorin digunakan untuk menghilangkan rasa dan bau pada pengolahan
air limbah. Klorin juga mampu mengoksidasi Mn(II) dan Fe(II) yang sebagian besar ada
dalam air yang bercampur dengan tanah menjadi Mn(III) dan Fe(III). Penambahan
klorin dalam bentuk natrium hipoklorit akan menaikkan pH limbah sehingga limbah
menjadi basa. Sementara itu, kalsium hipoklorit juga akan menaikkan pH dan
kesadahan total limbah yang diolah dengan cara desinfeksi (Farida, 2002).
4.1.2. Warna
Karakteristik kedua yang diukur adalah warna. Pada percobaan kali ini, warna yang
dihasilkan pada limbah cair susu kedelai sama, yaitu berwarna bening. Warna pada
limbah ini, menurut Jenie & Rahayu (1993), tidak berbahaya namun mempengaruhi
kualitas air. Umumnya, warna air limbah dapat menunjukkan kekuatannya, di mana
apabila warnanya berwarna gelap, maka limbah tersebut sudah busuk, sedangkan
apabila warnanya masih cerah, maka limbah tersebut masih baru. Kandungan limbah
juga dapat dilihat pada warnanya; warna hitam menunjukkan kandungan Pb (plumbum)
yang tinggi pada limbah, warna kuning menunjukkan kandungan Fe (besi) yang tinggi,
dan warna biru menunjukkan kandungan Cu (tembaga) yang tinggi (Suhardi, 1991).
Berdasarkan teori-teori ini, dapat diketahui bahwa karakteristik limbah cair susu kedelai
sebelum treatment, ditinjau dari warnanya, adalah masih baru karena warna yang
ditunjukkan tidak gelap dan tidak mengandung logam berat karena tidak menunjukkan
warna hitam, kuning, maupun biru.
Pasca treatment, warna yang dihasilkan oleh kelompok D1 sampai D3 adalah bening.
Warna ini ditimbulkan dari penggunaan bahan penyerap atau adsorbent. Adsorbent
yang digunakan pada percobaan ini adalah karbon aktif. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sugiharto (1987), yaitu salah satu contoh bahan padat yang menyerap
partikel di dalam air limbah (berperan sebagai adsorbent) adalah karbon aktif. Proses
adsorbsi oleh adsorbent ini bertujuan untuk menjernihan limbah cair. Penjernihan air
limbah dipergunakan untuk mengurangi pengotor, partikel, bahan organik, benda yang
tidak dapat diuraikan (non-biodegradable), serta gabungan antara warna, rasa, dan bau.
Proses adsorbsi ini mengumpulkan partikel-partikel terlarut yang terdapat dalam larutan
pada seluruh permukaan benda.
4.1.3. Kekeruhan
Karakteristik fisik berikutnya yang diamati adalah kekeruhan. Kekeruhan didefinisikan
sebagai penggunaan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur kondisi limbah. Secara
umum, kekeruhan disebabkan oleh keberadaan partikel atau benda koloid di dalam air
(Sugiharto, 1987). Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan adalah
menggunakan spektrofotometer. Larutan yang hendak diteliti harus jernih. Oleh sebab
itu, larutan yang masih keruh harus dijernihkan melalui pengendapan, baru kemudian
diukur kembali menggunakan spektrofotometer. Namun, pada percobaan ini hanya
dilakukan pengamatan indrawi, dan tidak menggunakan alat ini. Menilik hasil sebelum
dilakukan treatment pada kelompok D1 hingga D3, diperoleh hasil agak keruh.
Perbedaan ini disebabkan dari perbedaan persepsi setiap orang terhadap tingkat
kekeruhan.
Pasca dilakukannya treatment, diketahui bahwa dari kelompok D1 sampai D3 tetap
agak keruh. Hasil ini berkaitan erat dengan penanganan tersier yaitu adsorbsi dengan
menggunakan karbon aktif. Proses adsorbsi digunakan untuk mengurangi pengotor,
partikel, bahan organik, benda yang tidak dapat diuraikan (non-biodegradable), serta
gabungan antara warna, rasa, dan bau (Sugiharto, 1987).
.
Bahan karbon aktif yang digunakan dalam percobaan ini memiliki dua bentuk, yaitu
berupa butiran dan bubuk karbon. Manfaat utama penggunaannya adalah untuk
mengolah air limbah dan dapat diaktifkan kembali setelah digunakan. Dalam
preparasinya, dilakukan pembuatan arang dari bahan batubara atau kayu, yang dibakar
hingga warnanya merah. Partikel ini diaktifkan melalui penambahan gas oksigen pada
tekanan tinggi. Hal ini membuat struktur rongga yang ada pada batubara melebar
sehingga memperluas permukaan. Luas permukaan yang lebar ini membuat karbon aktif
mempunyai daya serap yang baik sehingga dapat menjernihkan limbah. Pengadukan
dilakukan pasca dilakukan penambahan karbon aktif. Tujuannya, penyerapan oleh
karbon aktif berlangsung optimal. Langkah berikutnya, dilakukan penyaringan
menggunakan kertas saring sehingga diperoleh limbah cair yang benar-benar jernih
(Sugiharto, 1987).
4.1.4. Suhu
Karakteristik keempat yang diuji adalah suhu. Alat yang digunakan untuk mengukur
suhu limbah cair ini adalah termometer. Biasanya, limbah domestik bersuhu antara 15o
hingga 25oC. Suhu ini tidak mendukung pertumbuhan bakteri. Jenis makhluk hidup
yang ada di dalam air limbah dan tingkat oksigen terlarut sangat bergantung pada
suhunya. Di samping termometer, terdapat pula alat ukur suhu limbah yang disebut
permistor, di mana skalanya dinyatakan dalam derajat Fahrenheit dan Celcius. Salah
satu keunggulan alat ini adalah mampu mengukur suhu limbah pada berbagai tingkat
kedalaman (Jenie & Rahayu, 1993).
Sebelum dilakukan treatment, rata-rata suhu limbah cair susu kedelai kelompok D1
hingga D3 adalah sebesar 61,5oC. Hal-hal yang mempengaruhi perolehan suhu ini,
menurut Sugiharto (1987), meliputi kondisi udara di sekitarnya serta air panas yang
dibuang oleh kawasan penduduk atau industri. Suhu air panas yang tinggi ini dapat
memepengaruhi kehidupan biologis mikroorganisme di air. Di samping itu, suhu juga
mempengaruhi viskositas, kelarutan oksigen, kerapatan, dan tekanan permukaan air.
Mahida (1992) menambahkan, suhu juga berguna untuk melihat kecenderungan
aktivitas-aktivitas biologis, kimiawi, dan fisik seperti tegangan permukaan, tingkat
kejenuhan, tekanan uap, dan pengentalan. Pada suhu tinggi, terjadi penurunan proses
pengentalan, namun sebaliknya, terjadi peningkatan proses sedimentasi. Di samping itu,
pada suhu tinggi, tingkat oksidasi zat organik lebih besar dan dapat membunuh
mikroorganisme pengurai sehingga aktivitas biologis menurun. Sehingga, dapat
diketahui bahwa limbah susu kedelai ini menunjukkan adanya aktivitas biologis yang
semakin meningkat dan tingkat oksidasi zat organik yang meningkat pula karena
suhunya tergolong tinggi (±60oC) (Sugiharto, 1987).
Pasca dilakukannya treatment, rata-rata suhu yang diperoleh kelompok D1 hingga D3
adalah 61,5C. Hasil ini diketahui sama persis dengan sebelum dilakukannya treatment.
Ditinjau dari teori Sugiharto (1987), suhu tinggi (lebih-kurang 60oC) yang dihasilkan
limbah menunjukkan adanya peningkatan aktivitas biologis, di mana penyebabnya
adalah reaksi exotherm melalui penggunaan sabun, deterjen, dan bahan kimia sejenis
yang berasal dari aktvitas produksi dan pengolahan susu kedelai. Selain itu, pada limbah
susu kedelai ini belum teridentifikasi adanya proses pembusukan karena suhunya masih
cukup tinggi dan tidak merosot hingga 27oC, yang merupakan suhu ideal untuk
proses pembusukan limbah.
4.1.5. Analisa Padatan
Padatan terapung atau melayang yang ikut bersama air umumnya sering ditemukan pada
air limbah. Bentuk yang sering dijumpai meliputi lumpur, pasir, potongan kayu, sisa
kain, dan sejenisnya. Padatan terapung atau melayang ini dapat mengganggu proses
pengolahan limbah selanjutnya, sehingga perlu dieliminasi. Metode yang dapat
diterapkan adalah koagulasi dengan bahan kimia tertentu yang disebut dengan koagulan
(Gintings, 1992). Koagulasi ini sendiri didefinisikan sebagai proses penggumpalan
secara kimiawi. Reaksi ini dimulai dengan menambahkan zat koagulan yang jumlahnya
disesuaikan dengan proporsi zat terlarut. Kaporit, kapur, dan tawas umum digunakan
sebagai koagulan. Jenis garam-garam seperti Ca, Fe dan Al memiliki sifat tidak larut
dalam air sehingga mengendap saat berkontak dengan dengan residu alkali. Hasil reaksi
koagulan tersebut dengan endapannya kemudian dipisahkan melalui metode filtrasi atau
metode sedimentasi. Jenis, konsentrasi ion-ion larut air, serta konsentrasi yang
diharapkan mempengaruhi jumlah koagulan yang digunakan (Kusnaedi, 1998). Dengan
kata lain, koagulan didefinisikan sebagai garam logam yang bereaksi dengan basa yang
terkandung dalam limbah, membentuk kumpulan hidrooksida logam yang tidak mampu
dilarutkan (Buckle et al., 1987). Jenis koagulan yang biasa digunakan dalam proses
pengolahan limbah antara lain aluminium sulfat (Al2(SO4)3.14H2O), feri sulfat
(Fe2(SO4)3), fero sulfat (FeSO4.7H2O), feri klorida (FeCl3), campuran dari feri sulfit
dengan feri klorida, serta silikat aktif (Winarno, 1986).
Dalam percobaan ini, metode yang dilakukan sebelum mencapai tahap koagulasi adalah
proses filtrasi. Proses filtrasi atau penyaringan ini dilakukan menggunakan kertas
dengan ukuran pori 0,7 mm atau lebih besar. Penyaringan akan memberikan hasil yang
lebih optimal apabila diaplikasikan sebelum atau sesudah tahap koagulasi, di mana
padatan terlarut akan sulit dipisahkan dari bagian cair. Benda-benda padat yang lolos
dari saringan ini lalu diendapkan pada tanki-tanki sedimentasi (Mahida, 1992).
Jenis koagulan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kalsium hidroksida, di mana
kegunaannya adalah untuk menggumpalkan dan mengendapkan padatan-padatan yang
terdapat dalam limbah susu kedelai. Padatan-padatan terlarut dan tersuspensi yang
tergabung menjadi satu membuat berat jenisnya menjadi besar. Hal ini membuat
padatan dapat diendapakan. Pada saat karbon aktif dimasukkan ke dalam limbah susu
kedelai, padatan-padatan tersuspensi maupun terlarut tidak akan menarik atom karbon
aktif tersebut, sehingga justru karbon aktif yang berperan dalam penarikan padatan-
padatan tersuspensi dan terlarut yang terkandung dalam limbah (Gintings, 1992). Proses
koagulasi dalam limbah cair susu kedelai ini berkaitan dengan pengaruh penambahan
bahan kimia pada dispersi koloid, di mana akibatnya adalah ketidak-stabilan partikel
karena pengurangan gaya-gaya yang membuat partikel terpisah. Partikel koloid ini
memiliki muatan listrik yang menyebabkan timbulnya gaya tolak-menolak, sehingga
proses penggabungan menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap tidak
terjadi, melainkan bentuk tersuspensi tetap terjaga (Birdi, 1979).
Proses koagulasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: efek pH, di mana
untuk setiap jenis air terdapat minimal satu rentang pH yang tepat untuk koagulasi dan
flokulasi dalam waktu singkat sesuai dosis dalam zona optimum; efek garam, di mana
pengaruh garam pada koagulasi berpengaruh rentang pH untuk koagulasi, waktu
flokulasi, dosis koagulan optimum, sisa koagulan dalam air setelah pengolahan; efek
pengadukan, di mana pengadukan yang cepat pada penambahan koagulan dapat
membuat distribusi koagulan merata. Sedangkan pengadukan kedua atau proses
koagulasi dengan kecepatan rendah digunakan untuk menghasilkan koloid-koloid yang
tidak stabil. Proses penyaringan bisa merupakan proses awal (primary treatment) atau
penyaringan dari proses sebelumnya, misalnya penyaringan dari hasil koagulasi
(Kusnaedi, 1998). Penyaringan bertujuan untuk memisahkan padatan tidak terlarut,
bahan kasar lain yang bentuknya cukup besar, sehingga padatan ini tertahan dan
filtratnya turun (Gintings, 1992).
Sedimentasi didefinisikan sebagai proses pemisahan partikel yang mengendap. Ada
beberapa faktor dalam penentuan jumlah bahan kimia yang tepat pada jenis limbah,
diantara lainnya adalah pH, konsentrasi padatan, fosfat dan beberapa faktor yang
mempengaruhi koagulan menurut Jenie & Rahayu (1993). Sedimentasi yang tidak
dibantu gaya pengental merupakan proses yang sejati. Adanya proses sedimentasi akan
menghilangkan partikel padat sebanyak 80% dan 35 hingga 40% komponen organik.
Menurut Mahdia (1992), koagulasi dapat mempercepat proses sedimentasi.
Reaksi kimia yang terjadi apabila FeCl3 berkontak dengan basa adalah:
FeCl3 + 3HCO3– Fe(OH)3 (s) + 3CO2 + 3Cl–
Sedangkan apabila tidak ada basa, reaksi yang terjadi yaitu:
FeCl3 + 3H2O Fe(OH)3 (s) + 3HCl
Asam klorida atau HCl yang terbentuk ini dapat menurunkan pH. Biasanya, kelompok
garam feri mempunyai rentang pH yang lebih luas untuk koagulasi optimal, yaitu dari 4
hingga 9. Secara lebih spesifik, rentang pH yang efektif untuk feri klorida adalah antara
5,5 hingga 7,0 (Davis & Cornwell, 1998).
Kemudian, reaksi feri klorida dapat dituliskan sebagai berikut:
FeCl3 + 3 H2O Fe(OH)3 + 3 H+ 3 Cl
3 H+ + 3 HCO3 3 H2CO3
FeCl3 + 3 Ca(OH)2 3 CaCl2 + 2 Fe(OH)3
(Gintings, 1992).
4.1.5.1. Total Solid (TS)
Dalam percobaan Total Solid (TS) akan dilakukan pengukuran terhadap total padatan
dari sampel limbah yang digunakan. Menurut Sugiharto (1987) dan Jennie & Rahayu
(1993), total padatan tersuspensi adalah padatan yang tidak lolos atau tidak dapat
melewati saringan dalam proses filtrasi. Yang dilakukan pertama adalah dengan
mengeringkan cawan porselen ke dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Setelah
dipanaskan, cawan porselen dikeluarkan dan didinginkan di dalam desikator selama 15
menit. Kemudian cawan porselen ditimbang hingga beratnya konstan. Setelah cawan
porselen dikeluarkan dari desikator, 2 ml sampel limbah dimasukkan ke dalam cawan
porselen. Kemudian cawan porselen berisi cairan limbah di masukkan ke dalam oven
pada suhu 103-105oC selama 24 jam. Kemudian cawan porselen yang telah dikeringkan
dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Miligram total
residu yang didapatkan dari TS adalah perbedaan antara berat cawan yang telah
didinginkan dengan berat cawan kosong. Konsentrasi TS dihitung dengan menggunakan
rumus
Total padatan =
(Sugiharto, 1987).
Dari hasil pengamatan, dapat dilihat nilai dari Total Solid (TS) atau total padatan pada
limbah cair susu kedelai. Hasil analisa TS yang didapatkan pada kelompok D1 sebelum
treatment adalah 11000 mg/L, sedangkan setelah treatment adalah 110500 mg/L, hasil
analisa TS pada kelompok D2 sebelum treatment adalah 10500 mg/L, sedangkan
setelah treatment adalah 67500 mg/L, hasil analisa TS pada kelompok D3 sebelum
treatment adalah 10000 mg/L, sedangkan setelah treatment adalah 92500 mg/L. Semua
TS yang ada di dalam setiap kelompok mengalami kenaikan secara signifikan. Total
Solid adalah bahan yang tertinggal setelah evaporasi pada sampel air limbah yang
terjadi saat proses pengeringan di dalam oven. (Sugiharto, 1987). Setiap TS yang
didapatkan oleh tiap kelompok mendapatkan hasil yang sama, yaitu peningkatan pada
nilai TS setelah di-treatment. Hal tersebut dapat terjadi berdasarkan pernyataan Jennie
& Rahayu (1993), bahwa setelah limbah diberi beberapa langkah penanganan, dapat
mengalami kenaikan pada total padatan yang terkandung, hal tersebut disebabkan
karena pada sampel limbah cair awal sebelum diberi penanganan, residu atau kotoran
yang tertinggal setelah dikeringkan hanya berasal dari partikel – partikel terlarut dan
tersuspensi saja. Namun setelah diberi beberapa penanganan, yang terdapat di dalam
sampel limbah tidak hanya partikel – partikel yang ada pada sampel awal, melainkan
ikut tercampur juga dengan partikel – partikel zat yang berasal dari penambahan bahan
– bahan tertentu, contohnya adalah Ca(OH)2 yang digunakan untuk koagulasi. Maka
dapat disimpulkan, apabila terjadi kenaikan nilai TS, berarti dipengaruhi oleh faktor –
faktor penambahan bahan – bahan tertentu saat limbah cair di-treatment.
4.1.5.2. Total Suspended Solid (TSS)
Dalam percobaan Total Suspended Solid (TSS), pertama dilakukan pengeringan
terhadap kertas saring yang akan digunakan dalam filtrasi larutan selama 1 jam,
kemudian didinginkan di dalam desikator selama 15 menit. Kemudian dilakukan
penimbangan hingga berat kertas saring konstan. Kemudian sebanyak 50 ml sampel
limbah susu kedelai disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan.
Kemudian kertas saring yang telah menampung residu diletakkan di dalam cawan
porselen. Kemudian dilakukan pengeringan di dalam oven terhadap kertas saring selama
24 jam pada suhu 105oC. Kemudian kertas saring beserta cawan porselen yang telah
dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit untuk didinginkan.
Kemudian kertas saring ditimbang hingga didaparkan berat kertas saring yang konstan.
Menurut Hammer & Hammer (1996), TSS atau Total Suspended Solid didefinisikan
sebagai bahan yang tertahan oleh filter pada proses penyaringan. Untuk analisa TSS
dilakukan filtrasi, dengan mengeringkan penyaring yang digunakan kemudian dilakukan
penimbangan untuk melihat peningkatan berat. Sedangkan menurut Sastrawijaya
(1991), TSS adalah jumlah berat dari bahan yang tersuspensi di dalam volume air
tertentu. Padatan terlarut dapat mempengaruhi ketransparanan yang mempengaruhi
produktivitas dan warna air. Apabila konsentrasi bahan yang tersuspensi tinggi, maka
cahaya tidak akan dapat tembus dengan baik. Warna air berhubungan dengan kualitas
air limbah yang diuji.
Dari hasil pengamatan, dapat dilihat hasil Total Suspended Solid (TSS) untuk tiap
kelompok. Dari percobaan yang dilakukan didapatkan data dari tiap kelompok sebagai
berikut, Pada kelompok D1 didapatkan nilai TSS sebelum treatment adalah 1040 mg/L,
sedangkan setelah treatment adalah 2500 mg/L, D2 didapatkan nilai TSS sebelum
treatment adalah 570 mg/L, sedangkan setelah treatment adalah 3800 mg/L, D3
memperoleh nilai TSS sebelum treatment adalah 680 mg/L, sedangkan setelah
treatment adalah 3600 mg/L. Hal tersebut dapat terjadi berdasarkan pernyataan Jennie
& Rahayu (1993), bahwa setelah limbah diberi beberapa langkah penanganan, dapat
mengalami kenaikan pada total padatan yang terkandung. Hal tersebut disebabkan
karena pada sampel limbah cair awal sebelum diberi penanganan, residu atau kotoran
yang tertinggal setelah dikeringkan hanya berasal dari partikel – partikel terlarut dan
tersuspensi saja. Namun setelah diberi beberapa penanganan, yang terdapat di dalam
sampel limbah tidak hanya partikel – partikel yang ada pada sampel awal, melainkan
ikut tercampur juga dengan partikel – partikel zat yang berasal dari penambahan bahan
– bahan tertentu, contohnya adalah Ca(OH)2 yang digunakan untuk koagulasi. Sama
dengan yang terjadi pada nilai TS, bahwa kadar partikel padat limbah yang tersuspensi
semakin tinggi sehingga, banyak yang tidak bisa melewati kertas saring dengan ukuran
pori yang kecil, sehingga banyak yang tertahan di dalam kertas saring dan berat dari
kertas saring meningkat dan menyebabkan peningkatan pada nilai TSS.
4.1.5.3. Total Dissolved Solid (TDS)
Pada TDS atau Total Dissolved Solid, didapatkan dengan mengurangkan nilai TS (Total
Solid) dan nilai TSS (Total Suspended Solid). Menurut Sastrawijaya (1991), TDS atau
Total Dissolved Solid didefinisikan sebagai gambaran tingkat kepekatan padatan di
dalam suatu sampel dalam bentuk cairan. Satuan yang biasa digunakan adalah
miligram/liter atau bagian/juta (bpj). Penentuan TDS dapat menjadi parameter tingkat
kualitas air, salah satunya adalah daya hantar listrik suatu cairan. Derajat konduktivitas
air sebanding dengan daya total padatan yang terlarut di dalam air. Menurut Jennie &
Rahayu (1993), TDS dianalisa dengan menggunakan sampel yang telah melewati proses
penyaringan dan evaporasi. Polutan ini tergolong susah untuk dihilangkan dari air
limbah. Pada umumnya penanganan yang dilakukan adalah dengan menggunakan
mikroorganisme yang terdapat di dalam air limbah yang bertujuan untuk mengkonversi
bahan partikulat.
Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan TDS pada tiap kelompok. Pada kelompok
D1, didapatkan TDS sebelum treatment adalah 9960 mg/L, sedangkan setelah treatment
adalah 108000 mg/L, pada kelompok D2, didapatkan TDS sebelum treatment adalah
9930 mg/L, sedangkan setelah treatment adalah 63700 mg/L, pada kelompok D3,
didapatkan TDS sebelum treatment adalah 9320 mg/L, sedangkan setelah treatment
adalah 88900 mg/L. Nilai TDS dari tiap kelompok mengalami kenaikan, hal tersebut
dapat terjadi karena perhitungan dari nilai TDS adalah berdasarkan nilai TS dan TSS
yang telah dilakukan sebelumnya. Pada nilai TS dan TSS, mengalami kenaikan untuk
setiap kelompok, seperti pernyataan Jennie & Rahayu (1993), bahwa pada proses
sebelumnya, salah satunya adalah koagulasi yang menggunakan Ca(OH)2 yang
menyebabkan zat yang tersuspensi meningkat. Karena nilai dari TS dan TSS meningkat,
maka nilai TS dan TSS sesudah treatment akan didapatkan nilai yang lebih besar.
4.2. Karakteristik Kimiawi
Berdasarkan teori yang disampaikan oleh Ryadi (1984), sifat kimia limbah cair terdiri
dari pH, COD, dan BOD. Limbah industri pangan, termasuk limbah susu kedelai,
identik dengan kandungan organiknya yang cukup tinggi. Untuk mengukur kandungan
bahan organik yang terdapat pada limbah, perlu dilakukan uji BOD5, BOD dan COD.
Kebanyakan limbah cair mengandung COD tinggi dan BOD rendah, hal ini disebabkan
oleh adanya bahan organik yang tidak dapat dipecah secara biologik atau zat beracun
pada limbah tersebut. Analisis BOD dalam penanganan limbah cair akan menunjukkan
adanya bahan toksik. Bila kandungan COD pada limbah cair tinggi, dan BOD-nya
rendah, maka studi toksisitas perlu dilakukan (Jenie & Rahayu, 1993).
4.2.1. pH
Mahida (1992) mengatakan bahwa pH adalah intensitas keasaman atau alkalinitas suatu
cairan dengan viskositas yang rendah, dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya.
Keasaman atau alkalinitas air dapat diukur dengan pH meter. Menurut Hammer &
Hammer (1996) kandungan pH pada limbah cair cenderung rendah karena adanya
campuran bahan pengotor pada limbah tersebut. Pengukuran pH perlu dilakukan karena
jika konsentrasi pH pada limbah cair tidak netral akan menyulitkan proses biologis,
sehingga akan menganggu proses penjernihan. Limbah yang mempunyai pH tinggi atau
rendah akan mengakibatkan air buangan menjadi steril sehingga akan membunuh
mikroorganisme air yang diperlukan (Sugiharto, 1987).
Hasil pengamatan pengukuran pH pada limbah cair susu kedelai kelompok D1 sebelum
di-treatment pada ulangan 1 dan 2 secara berturut-turut adalah 4,75 dan 4,73 sehingga
bila dirata-rata menghasilkan 4,74. Pada kelompok D2, kandungan pH ulangan 1 dan 2
adalah 4,69 dan 4,74 sehingga bila di rata-rata adalah 4,72. Pada kelompok D3
kandungan pH ulangan 1 dan 2 adalah 4,68 dan 4,65 sehingga bila di rata-rata pH-nya
adalah 4,66. Nilai pH limbah cair susu kedelai sebelum treatment ini kurang sesuai
dengan teori yang kami dapatkan, dimana menurut Hammer & Hammer (1996), rata-
rata limbah cair mengandung pH 6,5 hingga 8,5. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan
oleh adanya bahan pengotor yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam
klorida. Selain itu, pH limbah cair juga dapat mengalami penurunan karena efek dari
penyimpanan karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang jika mengurai
akan membebaskan CO2. Setelah diberi perlakuan pengolahan limbah seperti
panambahan koagulan yang bersifat basa, maka sebelum dibuang, limbah cair perlu
dinetralisasi terlebih dahulu. Sehingga, setelah di-treatment, pH kelompok D1 dan D2
ulangan 1 dan 2 berturut-turut adalah 7,06 dan 7,10 sehingga bila di rata-rata aalah
7,08. Kandungan pH pada kelompok D3 ulangan 1 dan 2 secara berturut-turut adalah
7,03 dan 7,04 sehingga bila di rata-rata adalah 7,03.
Kebasaan air adalah kapasitas air untuk menetralkan asam. Kebasaan dapat disebabkan
oleh adanya basa atau garam basa yang terdapat dalam air, misalnya NaOH, Ca(OH)2,
dan sebagainya. Garam basa yang sering dijumpai ialah karbonat logam-logam natrium,
kalsium, magnesium, dan sebagainya. Kebasaan yang tinggi tidak selalu pH-nya juga
tinggi. Begitu pula dengan keasaman. Asam lemah dapat mempunyai keasaman yang
tinggi, artinya mempunyai potensi untuk melepaskan hidrogen. Contohnya asam
karbonat, asam asetat, dan asam organik lainnya (Sastrawijaya, 1991).
4.2.2. Chemical Oxygen Demand (COD)
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut dalam ppm atau mg/L
yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara
kimiawi. Oksigen ini digunakan sebagai indikasi adanya pengotoran limbah. Semakin
banyak oksigen yang terlarut, maka derajat pengotorannya relatif kecil (Sugiharto,
1987). Penguraian bahan organik dilakukan dengan cara oksidasi menggunakan agen
oksidasi kuat dalam suasana asam. COD juga digunakan sebagai penentu kekuatan
pencemaran baik limbah cair domestik maupun limbah cair industri (Suhardi, 1991).
Oksigen didefinisikan sebagai gas yang tak berwarna, tak berbau, tak berasa dan sedikit
larut air. Biota laut menggantungkan hidupnya pada oksigen yang terlarut tersebut Oleh
karena itu, penentuan kadar oksigen terlarut dapat dijadikan sebagai ukuran dalam
menentukan kualitas air. Kehidupan biota perairan dapat bertahan jika terdapat oksigen
terlarut minimal 5 mg oksigen setiap liter air (5 ppm). Selebihnya, tergantung dari
ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran pencemaran, suhu air dan
lainnya. Jika jumlah oksigen terlarut selalu rendah, maka organsime anaerob dapat mati
atau akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan
hidrogen sulfida. Zat-zat tersebut dapat menyebabkan air berbau busuk (Sastrawijaya,
1991).
Uji Chemical Oxygen Demand (COD) dilakukan dengan cara 10 ml air air limbah
diencerkan dengan aquades sampai tanda tera dalam labu takar 100 ml. Kemudian, hasil
pengenceran diambil 10 ml lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer, dan ditambahkan 1
ml HgSO4 dan 20 ml K2Cr2O7. Selanjutnya, dibuat larutan blanko dengan 10 ml
aquades. Lalu larutan dipanaskan selama 10 menit. Setelah dingin, 10 ml larutan
ditambah 1,5 ml larutan KI 10%. Kemudian, tepat sebelum memulai titrasi,
ditambahkan 2 ml indikator amilum lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga larutan
menjadi biru bening. COD pada sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
COD (ppm) =
Serangkaian metode yang dilakukan sudah sesuai dengan teori Hammer & Hammer
(1996), dimana Beliau mengatakan bahwa COD (Chemical Oxygen Demand) digunakan
untuk menggolongkan kekuatan organik dari limbah cair dan polusi air bersih. Tes COD
digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang digunakan dalam oksidasi kimia
bahan-bahan organik dalam sampel menjadi karbondioksida dan air. Uji COD dilakukan
dengan menambahkan larutan kalium dikromat standar yang diketahui jumlahnya,
reagen asam sulfat yang mengandung perak sulfat dan sampel dalam jumlah tertentu ke
dalam suatu wadah. Sampel blanko berisi air destilasi diperlakukan sama seperti metode
uji COD. Tujuan dibuatnya larutan blanko adalah untuk mengkoreksi ada atau tidaknya
kesalahan yang timbul karena bahan-bahan organik dalam reagen. COD dihitung
berdasarkan perbedaan jumlah titran yang digunakan untuk larutan blanko dan sampel
dibagi dengan volume sampel, lalu dikalikan dengan normalitas titran.
Pada metode diatas dilakukan proses pemanasan. Pemanasan dilakukan untuk
meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia sehingga menyebabkan membesarnya
energi kinetik masing–masing molekul dari kedua senyawa yang bereaksi sehingga
tumbukan dari kedua molekul tersebut akan semakin besar. Hal ini akan menyebabkan
semakin cepat terbentuk senyawa akhir reaksi (Graham, 1956). Zat pengoksidasi
dianalisis dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan menitrasi iod yang
dibebaskan karena banyak zat pengoksidasi yang menuntut larutan asam untuk bereaksi
dengan iodide. Dengan penambahan larutan KI, akan menyebabkan terjadinya reaksi
antara ion K dengan oksigen yang dibebaskan dari reaksi oksidasi (Petrucci, 1990).
Reaksi tersebut menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen dengan
jumlah ion yang membebaskannya. Jumlah ion iodida yang bebas dapat ditentukan
banyaknya melalui titrasi dengan Na2S2O3 dengan amilum sebagai indikatornya (Day &
Underwood, 1992). Reaksi antara ion iodida bebas dengan indikator amilum akan
menghasilkan warna biru tua. Warna biru disebabkan oleh adanya reaksi antara
molekul-molekul pati dengan iodin. Iodin akan masuk ke dalam struktur molekul pati
yang berupa helix dan membentuk ikatan. Ikatan inilah yang menghasilkan warna biru
tua (Graham, 1956). Terbentuknya warna biru yang tidak hilang kembali, berarti
menunjukkan titik akhir titrasi. Artinya, jumlah Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk
menangkap semua iod sama dengan dengan jumlah iod yang bebas dan sebanding
dengan jumlah oksigen di dalam limbah (Sudarmadji et al., 1996).
Hasil pengamatan COD limbah cair susu kedelai ulangan 1 dan 2 pada kelompok D1
sebelum treatment adalah 6,376 mg/L, 1.200 mg/L sehingga nilai rata-ratanya adalah
3.788 mg/L. Nilai COD kelompok D2 ulangan 1 dan 2 berturut-turut adalah 28.320
mg/L dan 28.800 mg/L sehingga rata-ratanya adalah 28.560. Nilai COD kelompok D3
sebelum treatment ulangan 1 dan 2 adalah 20.800 mg/L dan 19.600 mg/L sehingga rata-
ratanya adalah 20.200 mg/L. Setelah treatment nilai COD limbah cair susu kedelai
ulangan 1 dan 2 pada kelompok D1 adalah 14.480 mg/L dan 13.680 mg/L sehingga
rata-ratanya adalah 14.080 mg/L. Nilai COD kelompok D2 pada ulangan 1 dan 2 adalah
80 mg/L dan 880 mg/L sehingga rata-ratanya adalah 480 mg/L. Nilai COD kelompok
D3 setelah treatment pada ulangan1 dan 2 adalah -695,20 mg/L dan -595,20 sehingga
rata-ratanya adalah 635,12 mg/L.
Dari data hasil pengamatan diatas, diketahui bahwa pada kelompok D1 nilai COD-nya
mengalami kenaikan. Lalu, pada kelompok D2 nilai COD-nya mengalami penurunan.
Namun, nilai COD kelompok D3 justru minus. Seharusnya, nilai COD setelah diberi
treatment akan mengalami penurunan, namun pada praktikum ini ada beberapa hasil
yang kurang sesuai dengan teori yang ada, misalnya pada kelompok D3 dimana hasil
yang didapat adalah minus, hal ini menunjukan volume Na2S2O3 yang dibutuhkan jauh
melebihi blanko yang ada. Ketidaksesuaian ini mungkin dikarenakan kurang cermatnya
praktikan ketika menambahkan zat-zat yang diperlukan dan ketika melakukan titrasi.
Nilai COD yang tinggi berarti menunjukkan adanya pencemaran air oleh zat-zat organik
(Suhardi, 1991). Zat organik yang teroksidasi dianggap sebanding dengan kalium
dikromat yang digunakan dalam reaksi oksidasi. Pada uji COD ini, sebagian besar
senyawa teroksidasi, termasuk senyawa-senyawa yang tidak dapat mengalami
biodegradasi (Sastrawijaya, 1991). Menurut Baku Mutu Limbah, batas maksimum COD
yang diizinkan ada dalam suatu limbah adalah 100 mg/Liter (Annas, 2007).
Menurut Sugiharto (1987), COD adalah parameter yang menunjukkan tekanan bahan
organik suatu limbah cair dan tingkat polusinya. COD juga mengukur senyawa-senyawa
organik yang tidak dapat dipecah secara biologik seperti pada uji BOD (Suhardi, 1991).
Jenie & Rahayu (1993) menambahkan bahwa nilai COD selalu lebih tinggi daripada
nilai BOD. Perbedaan ini disebabkan oleh:
Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia namun tidak terhadap oksidasi
kimia, misalnya lignin.
Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia namun tidak dalam uji BOD 5,
misalnya selulosa, lemak berantai panjang atau sel-sel mikroba.
Adanya zat toksik dalam limbah yang mengganggu uji BOD namun tidak pada uji
COD.
4.2.3. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biological Oxygen Demand (BOD) dapat disebut juga sebagai Kebutuhan Oksigen
Biologis (KOB) yang merupakan analisa empiris yang mendekati secara global proses
mikrobiologi yang terjadi dalam air. Penguraian zat organik merupakan peristiwa yang
alami terjadi, apabila suatu badan air dicemari oleh zat organis maka bakteri akan
menghabiskan oksigen terlarut, didalam air selama proses oksidasi yang dapat
menyebabkan kematian ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat
menyebabkan bau busuk pada air. Umumnya penguraian atau oksidasi zat organik
terjadi di beberapa jenis air limbah industri misalnya deterjen, minyak, fenol dan
sebagainya dimana bakteri diberi waktu untuk beradaptasi beberapa hari melalui kontak
dengan air limbah tersebut sebelum digunakan untuk analisa BOD menurut teori dari
Alaerts & Santika (1984).
BOD merupakan parameter dari bahan organik dari suatu limbah, biasanya diartikan
sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri dalam menyeimbangkan komponen
organik yang dapat dibusukkan dalam keadaan aerobik menurut Mahida (1992). BOD
juga dapat diartikan sebagai jumlah oksigen terlarut yang dapat dikonsumsi untuk
kegiatan kimia maupun mikrobiologi. Karena oksifen dibutuhkan untuk oksidasi bahan
organik maka BOD digunakan untuk mengidentikasi banyaknya kandungan bahan
organik dalam bahan tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Adanya oksigen terlarut dalam
air limbah diperlukan untuk mencegah munculnya bau yang tidak diharapkan. Air
limbah dengan BOD yang tinggi bila dibuang langsung ke perairan akan mengganggu
keseimbangan ekologi, selain itu juga dapat menyebabkan biota perairan mati.
Dalam mengukur pencemaran dalam air limbah sering digunakan parameter nilai BOD
5 hari (BOD5) yang hasilnya dinyatakan dalam ppm. Nilai ini merupakan hasil
pengukuran oksigen terlarut yang digunakan mikroorganisme dalam oksidasi biokimia
komponen organik. Inkubasi yang dilakukan berlangsung selama 5 hari dengan suhu
20ºC. Uji ini dilakukan dengan pengenceran suatu limbah yang memiliki kandungan
oksigen banyak lalu oksigen terlarutya segera ditentukan. Dalam waktu 5 hari, oksidasi
dapat berlangsung secara sempurna sebesar 60 hingga 70%. Apabila dilakukan selama
20 hari oksidasi benar-benar akan berlangsung sempurna yakni berkisar 95 hingga 99%.
Penggunaan suhu yang berbeda-beda akan memberikan hasil yang beda pula karena
reaksi biokimia ini bergantung dari suhu pula. Menurut teori dari Tchnobanoglous
(1981), nilai BOD5 secara umum berkisar pada angka 400 hingga 1000 mg/L dalam
inlet dan dibawah 50 mg/L dalam outlet tangki aerasi. Akan tetapi nilai BOD selama 5
hari hanya mewakili sebagian kecil dari BOD secara lengkap, jadi menurut Mahida
(1992), BOD5 bukan parameter yang lengkap dari kekuatan, mutu dan tingkat
pencemarannya air limbah.
Sampel yang disimpan dalam botol yang kedap udara akan membutuhkan waktu lebih
dari 100 hari pada suhu 20C untuk mencapai stabilisasi yang sempurna. Periode
inkubasi yang lama ini tidak praktis untuk penentuan rutin. Oleh karena itu prosedur
yang disarankan oleh AOAC (Association of Official Analytical Chemists) adalah
periode inkubasi 5 hari dan disebut BOD5. Nilai ini hanya merupakan indeks jumlah
bahan organik yang dapat dipecah secara biologik bukan ukuran sebenarnya dari limbah
organik. Kelemahan uji BOD yaitu fase lag yang tidak dapat diduga panjangnya terjadi
sebelum pertumbuhan aktif dimulai. Panjang lag akan mempengaruhi nilai BOD 5 hari
dengan menggeser kurva sepanjang sumbu waktu (Jenie & Rahayu, 1993).
Dalam praktikum ini, analisa dilakukan untuk limbah cair yang telah di-treatment.
Mula-mula, 100 ml sampel air limbah diencerkan hingga 1000 ml dengan menggunakan
larutan aerasi. Kemudian diambil sebanyak 600 ml untuk disimpan dalam botol coklat
dan diinkubasi hingga 5 hari dengan suhu penyimpanan 20oC. Kemudian sisanya, yakni
400 ml digunakan untuk BOD0. 400 ml larutan diambil dan ditambahkan dengan 3 ml
KI dan 3 ml MnSO4 kemudian didiamkan selama 15 menit. Setelah itu, ditambahkan
dengan 3 ml larutan H2SO4 pekat dan dikocok perlahan. Dari larutan tersebut diambil 20
ml larutan sebanyak 2 kali untuk dilakukan titrasi dengan Na2S2O3 0,01 N sampai
dicapai warna kuning pucat. Kemudian diberi tambahan amilum sebanyak 8 tetes dan di
titrasi lagi dengan Na2S2O3 0,01 N hingga berwarna bening. Lalu BOD sampel dihitung.
Berdasarkan hasil percobaan yang didapatkan, diperoleh data masing-masing kelompok
dari kelompok D1 hingga D3 yang menggunakan bahan yang sama yakni limbah cair
susu kedelai, yakni kelompok D1 dengan BOD rata-rata 110,2 mg/L, kelompok D2
dengan BOD rata-rata 26 mg/L, dan kelompok D3 dengan BOD rata-rata 65,5 mg/L.
Dari hasil yang didapatkan, diketahui bahwa nilai BOD lebih kecil dibandingkan
dengan nilai COD. Hal ini sesuai dengan teori Hammer & Hammer (1996), yang
mengemukakan bahwa nilai BOD yang selalu lebih kecil dari COD ini diukur dari
komponen organik yang tidak dapat diurai. Pengujiannya sendiri menggunakan kalium
dikromat dan reagen asam sulfat yang mengandung perak sulfat dan pengukuran
volume sampel dalam gelas ukur. Komponen organik ini sendiri dapat dihancurkan
dengan kromat dan sulfat yang mendidih.
Uji BOD digunakan dalam menentukan kebutuhan oksigen dari efluen yang telah diolah
dan air yang terpolusi. Tapi, tes ini memiliki nilai yang terbatas dalam mengukur
kebutuhan oksigen yang sesungguhnya dalam permukaan air, selain itu perhitungan uji
ini menunjukkan kebutuhan oksigen yang sesungguhnya dan sangat dipertanyakan
karena kondisi laboratorium yang digunakan baik dari segi fisika, kimia maupun
biologis tidak sama seperti alam luar. Menurut Hammer & Hammer (1996), BOD
merupakan jumlah oksigen yang digunakan mikroorganisme dalam oksidasi secara
aerob komponen-komponen organik yang ada dalam sampel air limbah dengan suhu
yang berkisar 19 hingga 21oC dalam inkubator atau waterbath. Dapat dilihat beberapa
jenis zat baik organik maupun inorganik pada tabel dibawah ini yang dapat dioksidasi
baik melalui uji COD maupun uji BOD:
Jenis zat organik/ inorganik Dapat dioksidasikan melalui tesCOD BOD
Zat organik yang ‘biodegradable’a (protein, gula, dan sebagainya)
Selulosa dan sebagainya
N organik yang ‘biodegradable’a (protein dan sebagainya)
N organik yang ‘non-biodegradable’, NO2-,
Fe2+ , S2-, Mn3+
NH4 bebas (nitrifikasi)
Hidrokarbon aromatik dan rantai
v
v
v
v
-
xc
v
-
v
-
xb
-
Keterangan:a. Biodegradable = dapat diuraikanb. Mulai setelah 4 hari, dan bisa dicegah dengan penambahan inhibitorc. Dengan penambahan katalisator Ag2SO4 maka dapat dioksidasikan(Alaerts & Santika, 1984).
Uji BOD dilaksanakan selama 5 hari digunakan untuk menentukan jumlah dari senyawa
organik yang mampu diuraikan dalam air limbah. Selain itu BOD5 dapat digunakan juga
untuk memperkirakan jumlah oksigen yang dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme
dalam penggunaan senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair guna untuk
pertumbuhan serta energinya. Senyawa organik beberapa dikoversikan jadi
mikroorganisme tambahan dan ada pula yang dikonversikan menjadi karbon dioksida
dan air. Menurut Woodard & Curran (2006) reaksi yang terjadi dapat dituliskan:
Komponen organik + MO (mikroorganisme) + O2 mikroorganisme dengan
jumlah yang lebih banyak + CO2 + H2O.
Uji BOD berdasarkan reaksi oksidasi komponen organik dengan oksigen dalam air
dengan keadaan bakteri aerob. Hasil dari proses oksidasi ini akan menghasilkan karbon
dioksida, amoniak dan air. Proses reaksinya dapat digambarkan seperti berikut ini:
CnHaObNc + (n+a/2 – b/2 – 3c/4) O2 nCO2 + (a/2 – 3c/2) H2O + cNH3
Reaksi ini dapat dilakukan pada suhu 200C selama 5 hari menurut Alaerts & Santika
(1984).
Umumnya, BOD dilakukan dengan 2 tahap menurut Alaerts & Santika (1984), yaitu
analisa dengan titrasi Winkler dan dengan DO-meter. Yang pertama, analisa dengan
DO-meter, analisa oksigen yang terlarut dalam air dapat dilakukan dengan metode
elektrolisa dengan prinsip menggunakan elektroda yang tersusun atas katoda dan anoda
yang terendam dalam larutan garam. Pada DO-meter ini, elektrodanya terdiri atas
katoda Ag dan anoda Pb/Cu. Sistem dari elektroda ini dilindungi oleh membrane plastic
yang sifatnya semi-permeable terhadap oksigen, dan pada membrane ini hanya oksigen
saja yang dapat menembusnya. Yang kedua adalah analisa dengan titrasi Winkler
dengan prinsip oksigen akan mengoksidasi MnSO4 yang ditambahkan ke larutan dengan
keadaan alkali, sehingga terjadi endapan MnO2 kemudian dengan penambahan asam
sulfat serta kalium iodida maka iodine akan dibebaskan (yang ekuivalen dengan oksigen
yang terlarut). Iodin yang terbebaskan ini kemudian dianalisa dengan metode titrasi
yakni dengan menggunakan larutan standar thiosulfat dengan indikator kanji, dimana
reaksinya sebagai berikut:
MnSO4 + 2 KOH Mn(OH)2 + K2SO4
Mn(OH)2 + ½ O2 MnO2 + H2O
MnO2 + KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 S2O3 –2 S4O6- + 2 I -
Menurut Sastrawijaya (1991), banyaknya zat organik yang tidak mengalami penguraian
biologi secara cepat pada pengujian BOD yang dilaksanakan selama 5 hari, tapi
senyawa organik dapat menurunkan kualitas air, maka konsentrasi organik dalam
limbah dan setelah masuk dalam perairan perlu diketahui, maka dari itu
dikembangkanlah uji COD. Analisa BOD memiliki 5 jenis gangguan yang biasanya
terjadi menurut Alaerts & Santika, (1984), diantara lainnya yakni proses nitrifikasi yang
dapat terjadi dalam botol pada hari ke 2 hingga 10. Dalam proses nitrifikasi
membutuhkan oksigen, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin banyaknya reaksi
nitrifikasi ini maka okigen yang akan dianalisa akan semakin tidak teliti, oleh sebab
itulah dalam analisa BOD pertumbuhan bakteri yang menyebabkan nitrifikasi harus
dihalangi dengan menggunakan inhibitor. Kedua, adanya zat beracun yang akan
memperlambat pertumbuhan bakteri yang akan menyebabkan analisa BOD tidak akurat.
Ketiga keluarnya oksigen dalam botol, dengan adanya gelembung udara akan
menyebabkan penggunaan oksigen oleh mikroorganisme yang tidak diharapkan seperti
ganggang dan lumut, oleh sebab itu botol harus diletakkan di tempat yang gelap.
Keempat, nutrien yang merupakan salah satu syarat kehidupan bakteri yang akan
dianalisa kebutuhannya akan oksigen. Dan kelima adalah cara pembenihan bakteri yang
cocok dalam air limbah.
BOD5 merupakan parameter penting yang digunakan untuk mengetahui bahan organik
pada limbah. Uji BOD5 digunakan untuk mengontrol limbah dari berbagai macam
industri. Pada jurnal BOD5 yang kami temukan dengan judul “Real-time Biological
Oxygen Demand (BOD5) Measurements by correlation with Rapid PeCOD ™
Measurements”, penelitian yang dilakukan adalah uji COD untuk mengamati limbah di
tempat pembuatan bir, pabrik gula dan gula kilang. Uji COD yang dilakukan
menggunakan PreCOD Analyzer. Uji yang dilakukan menggunakan prinsip Aqua
Diagnostik Nanomaterials TiO2 photoactive dikombinasikan dengan teknologi
fotokatalitik (Aqua Diagnostic, 2008).
3. KESIMPULAN
Limbah industri pangan umumnya berupa limbah organik yang bersifat
biodegradable atau dapat diuraikan dengan bantuan mikroorganisme.
Tahap-tahap pengolahan limbah cair susu kedelai meliputi penanganan
pendahuluan, penanganan primer, penanganan sekunder, penanganan tersier,
desinfeksi dan netralisasi.
Pada pre-treatment dilakukan filtrasi yang bertujuan memisahkan benda
terapung dan benda mengendap untuk mengurangi kandungan padatan dan
kekeruhan air limbah.
Pada primary treatment dilakukan koagulasi yang bertujuan menghilangkan zat-
zat organik dan padatan tersuspensi yang ada di dalam limbah.
Proses koagulasi dipengaruhi oleh efek pH, efek garam, dan efek mekanis
berupa pengadukan.
Pada secondary treatment dilakukan aerasi yang bertujuan mengurangi bahan-
bahan organik dengan bantuan mikroorganisme aerobik.
Pada tertiary treatment dilakukan adsorbsi yang bertujuan menghilangkan
senyawa kimia anorganik sehingga limbah menjadi jernih.
Desinfeksi mampu merusak atau menginaktivasi enzim utama bakteri sehingga
terjadi kerusakan dinding sel dan menyebabkan bakterit tersebut mati.
Netralisasi bertujuan menetralkan pH limbah cair sehingga tidak bersifat asam
ataupun basa.
Warna limbah cair yang gelap mengindikasikan limbah tersebut sudah busuk,
sedangkan warna yang cerah mengindikasikan limbah tersebut masih baru.
pH limbah cair susu kedelai adalah asam sehingga ditambahkan reagen penetral
kalsium hidroksida (Ca(OH)2).
Klorin ditambahkan sebagai oksidator yang bereaksi dengan komponen-
komponen organik limbah cair.
Total Solid (TS) didefinisikan sebagai padatan yang tertinggal setelah evaporasi
sampel limbah cair dan pengeringan sampel dalam oven.
Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai padatan yang tertahan filter.
Total Dissolved Solid (TDS) diperoleh dari pengurangan nilai Total Solid (TS)
dengan nilai Total Suspended Solid (TSS).
Biological Oxygen Demand 5 atau BOD5 didefinisikan sebagai parameter yang
digunakan untuk mengukur polusi pada air limbah dalam jangka waktu inkubasi
5 hari.
BOD5 bukan merupakan suatu ukuran lengkap dari kekuatan, mutu, ataupun
tingkat pencemaran limbah cair.
Chemical Oxygen Demand atau COD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen
yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikan benda organik secara kimiawi
dalam ppm atau mg/l.
Nilai COD selalu lebih tinggi dibandingkan nilai BOD.
Semarang, 20 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen,
- Melina Kiswandiharjo 12.70.0033 - Melita Noveliani A
- Anastasia Lyra P 12.70.0070 - Cynthia Christinne
- Stefany Gandasubrata 12.70.0125 - Jong Epha Yosia
- Rudyanto Kurniawan 12.70.0168 - Tesyara Danesh A
- Vania Eka Cahyani
- Yuni Rusiana