laporan praktikum limbah a2_teknologi pangan_unika seogijapranata

49
1. DESKRIPSI LIMBAH 1.1. Data Sampel Limbah 1.1.1. Jenis Limbah Jenis limbah yang digunakan adalah limbah yang tergolong ke dalam limbah cair. Limbah cair yang digunakan dan diteliti oleh kelompok A2 adalah limbah cair hasil dari  proses pencucian sayur, yaitu proses pencucian berbagai aneka sayur (wortel, kangkung, kaylan, caisim, dan lain-lain). 1.1.2. Waktu Pengambilan Limbah cair dari proses pencucian sayur diambil pada hari Selasa, 2 September 2014  pada pukul 09.00 WIB. 1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah cair dari proses pencucian sayur yang digunakan berasal dari pencucian sayur  pada Rumah Makan “Tio Ciu” yang beralamat di Jl.Gajahmada 117, Semarang. 1.1.4. Debit Limbah per Hari Volume limbah cair atau debit limbah cair yang dihasilkan oleh RM. “Tio Ciu” tersebut sebanyak ± 25 liter (25 L) untuk tiap harinya. Limbah cair dari proses pencucian sayur tersebut biasanya langsung dibuang atau dialirkan ke saluran pembuangan air di bagian dapur atau bagian belakang dari rumah makan tersebut. 1.2. Karakteristik Limbah 1.1.1. Karakteristik Umum Limbah merupakan buangan/bekas yang berbentuk padat, cair, dan gas. Dalam air limbah terdapat berbagai bahan kimia yang tidak mudah untuk dihilangkan bahkan dapat berbahaya bagi lingkungan. Bahan kimia tersebut dapat menjadi sumber nutrisi/makanan bagi mikroorganisme yang menjadi penyebab penyakit disentri, tipus, kolera dan sebagainya. Oleh karena itu, air limbah tersebut perlu untuk diolah supaya tidak mencemari dan tidak membahayakan lingkungan (Sugiharto, 1987). Teknik  pengolahan limbah digunakan untuk mengubah sifat fisik, kimia atau biologi dari limbah, untuk mengurangi volume atau toksisitas dari limbah sehingga aman untuk

Upload: praktikumlimbah2014

Post on 10-Oct-2015

104 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

limbah yang digunakan adalah limbah cair hasil pencucian sayuran

TRANSCRIPT

1. DESKRIPSI LIMBAH1.1. Data Sampel Limbah1.1.1. Jenis LimbahJenis limbah yang digunakan adalah limbah yang tergolong ke dalam limbah cair. Limbah cair yang digunakan dan diteliti oleh kelompok A2 adalah limbah cair hasil dari proses pencucian sayur, yaitu proses pencucian berbagai aneka sayur (wortel, kangkung, kaylan, caisim, dan lain-lain).

1.1.2. Waktu PengambilanLimbah cair dari proses pencucian sayur diambil pada hari Selasa, 2 September 2014 pada pukul 09.00 WIB.

1.1.3. Tempat PengambilanLimbah cair dari proses pencucian sayur yang digunakan berasal dari pencucian sayur pada Rumah Makan Tio Ciu yang beralamat di Jl.Gajahmada 117, Semarang.

1.1.4. Debit Limbah per HariVolume limbah cair atau debit limbah cair yang dihasilkan oleh RM. Tio Ciu tersebut sebanyak 25 liter (25 L) untuk tiap harinya. Limbah cair dari proses pencucian sayur tersebut biasanya langsung dibuang atau dialirkan ke saluran pembuangan air di bagian dapur atau bagian belakang dari rumah makan tersebut.

1.2. Karakteristik Limbah1.1.1. Karakteristik UmumLimbah merupakan buangan/bekas yang berbentuk padat, cair, dan gas. Dalam air limbah terdapat berbagai bahan kimia yang tidak mudah untuk dihilangkan bahkan dapat berbahaya bagi lingkungan. Bahan kimia tersebut dapat menjadi sumber nutrisi/makanan bagi mikroorganisme yang menjadi penyebab penyakit disentri, tipus, kolera dan sebagainya. Oleh karena itu, air limbah tersebut perlu untuk diolah supaya tidak mencemari dan tidak membahayakan lingkungan (Sugiharto, 1987). Teknik pengolahan limbah digunakan untuk mengubah sifat fisik, kimia atau biologi dari limbah, untuk mengurangi volume atau toksisitas dari limbah sehingga aman untuk dibuang atau dialirkan ke lingkungan. Banyak metode atau teknik yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi risiko suatu limbah, pemilihan metode atau teknik pengolahan didasarkan pada komposisi, kuantitas dan bentuk dari limbah yang akan diolah (Sugiharto, 1987).

Golongan air limbah berdasarkan sumber air limbah tersebut dapat dibagi menjadi air limbah industri, domestik, dan limpasan serta rembesan air hujan. Limbah cair domestik dapat bersumber dari perumahan, perhotelan, sekolah, kampus, perkantoran, pertokoan, pasar, dan fasilitas atau tempat pelayanan umum. Air limbah yang berasal dari kegiatan industri seperti industri logam, industri tekstil, industri pemanfaatan kulit, pangan, kimia dan lain-lain. Air limbah limpasan dan rembesan air hujan adalah air limbah yang melimpas diatas permukaan tanah dan dapat meresap kedalam tanah sebagai akibat dari hujan (Ibnu, 1997).

Limbah yang banyak mengandung unsur nitrogen (N) bila dibuang ke badan air maupun badan tanah akan bisa mengakibatkan ledakan jumlah mikroorganisme serta akan menimbulkan bau busuk. Unsur N yang berupa nitrat akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme pada badan air maupun badan tanah untuk tumbuh berkembang, sehingga bila unsur N yang terdapat di dalam limbah banyak, maka jika limbah tersebut dibuang ke badan air ataupun badan tanah maka akan menjadi sumber makanan dan energi yang besar bagi mikroorganisme yang terdapat di air maupun tanah. Sumber makanan dan energi yang besar tersebut, maka mikroorganisme yang ada di badan air maupun badan tanah tersebut tumbuh dengan cepat dan pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan ekosistem (Gintings, 1992).

Senyawa organik adalah zat yang merupakan bagian dari binatang atau tanaman dengan komponen utamanya berupa karbohidrat, protein, dan lemak/lipid yang mudah sekali mengalami pembusukan oleh bakteri dengan menggunakan oksigen terlarut yang ada di dalam limbah (Sugiharto, 1987). Dalam hal ini, ikroorganisme dapat mengoksidasi baik senyawa-senyawa yang mengandung karbon dan senyawa-senyawa dimana terdapat kandungan nitrogen. Bakteri yang mengoksidasi nitrogen adalah autotrof, pada umumnya tidak terlalu banyak terdapat dalam air limbah yang segar. BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah sejumlah oksigen dalam sistem air yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk menetralisir atau menstabilkan bahan-bahan sampah (organik) dalam air melalui proses oksidasi biologis (Jenie & Rahayu, 1996).Limbah cair atau air limbah yang telah tercemar akan memberikan ciri yang dapat langsung diidentifikasi secara visual, yaitu dapat diketahui dari kekeruhan, warna, bau yang ditimbulkan maupun indikasi lainnya. Adanya bau timbul karena adanya aktivitas mikroorganisme yang menguraikan zat organik dan mampu menghasilkan gas tertentu. Selain itu, bau juga dapat timbul karena adanya reaksi kimia yang memproduksi gas. Kekuatan bau yang dihasilkan oleh limbah sangat ditentukan oleh jenis dan jumlah gas yang diproduksi. Unsur N pada limbah juga dapat mengakibatkan bau busuk di tempat pembuangan limbah tersebut. Unsur N yang ada di dalam limbah bisa berupa asam amino atau senyawa organik lainnya, apabila senyawa organik tersebut sampai diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, maka akan menghasilkan bau busuk yang mengganggu udara lingkungan (Sugiharto, 1987).

Secara umum limbah yang berasal dari industri pangan tidak berbahaya bagi masyarakat karena tidak menjadi sumber utama dalam peredaran penyakit. Tetapi limbah industri pangan mengandung bahan organik yang cukup tinggi, kandungan bahan organiknya yang tinggi dapat menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Dengan adanya sumber makanan yang melimpah, mikroorganisme mampu berkembang biak dengan sangat cepat dan pada akhirnya akan mampu mereduksi oksigen terlarut yang ada di dalam air (Jenie & Rahayu, 1993).

Menurut Mahida (1992) ada beberapa presyaratan untuk limbah agar dapat dibuang ke lingkungan, antara lain adalah : Temperatur limbah sebaiknya terlalu tinggi, dengan batasan 100-110F Tidak bersifat terlalu asam maupun terlalu basa Konsentrasi zat yang berlemak pada umumya relatif rendah Tidak terdapat kandungan gas beracun, memiliki bau yang tengik dan keras atau gas yang berpotensi terbakar hingga meledak Tidak adanya zat-zat padat yang memiliki berat spesifik dan memiliki kemampuan untuk mengendap Memiliki ukuran yang relatif seragam dalam hal kecepatan dalam menghidrolisis dan relatif seragam dalam hal komposisi limbahnya

Limbah cair pengolahan pangan biasanya memiliki jumlah kandungan nitrogen yang cenderung rendah, BOD dan padatan tersuspensi yang relatif tinggi, dan berlangsung dengan proses dekomposisi yang cepat. Disamping itu, limbah cair yang segar memiliki pH hampir netral dan selama penyimpanan akan terjadi penurunan pH. Limbah cair pengolahan makanan dapat dihasilkan dari proses pencucian, pemotongan, blanching, pasteurisasi, pembersihan peralatan pengolahan, dan pendinginan produk akhir (Jenie & Rahayu, 1993).

Menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), ada beberapa tingkatan dalam proses pengolahan air limbah yaitu :1. Pre-treatmentDalam air limbah banyak padatan yang terapung atau melayang yang terbawa bersama air. Pada umumnya bahan/padatan atau lapisan minyak/lemak di atas permukaan air tersebut mudah diidentifikasi dan mudah dilihat dengan mata. Pada pengolahan pre-treatment biasanya digunakan saringan yang masih kasar (dengan lubang filter yang tidak terlalu kecil) yang terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat. Saringan ini harus diperiksa secara rutin untuk mengambil bahan yang terjaring sehingga tidak akan menimbulkan kemacetan pada aliran air. Pengolahan tingkat pre-treatment akan berpengaruh pada hasil pengolahan tingkat primer.

2. Primary TreatmentPadatan kecil/halus, zat warna yang larut maupun tersuspensi yang tidak terjaring pada penyaringan pendahuluan perlu dihilangkan untuk memudahkan pengolahan selanjutnya. Primary treatment dilakukan dengan dua metode, yaitu pengolahan yang dilakukan secara fisikawi dan pengolahan yang dilakukan secara kimiawi. Pengolahan secara fisikawi adalah pengendapan yang terjadi karena bantuan gravitasi bumi. Pengolahan kimia yaitu pengolahan yang mengendapkan bahan padatan dengan penambahan bahan kimia. Adanya reaksi yang timbul antara senyawa kimiawi dengan bahan pengendap akan mengakibatkan terbentuknya butiran yang lebih besar sehingga memilik berat jenis lebih besar daripada air.

3. Secondary TreatmentSecondary treatment umumnya merupakan proses yang memanfaatkan proses biologis dengan maksud untuk menghilangkan bahan organik melalui oksidasi biokimia. Pada proses biologis ini sering digunakan reaktor berupa lumpur aktif atau trickling filter. Proses lumpur aktif, air buangan akan masuk ke dalam tangki aerasi dimana merupakan tempat mikroorganisme apat mengkonsumsi buangan organik yang berguna dalam pembentukan sel-sel baru. Hasilnya adalah akan terbentuk endapan pada dasar bak. Terbentuknya bagian tebal pada dasar tangki yang kemudian akan diambil kembali.

4. Tertiary TreatmentPada tingkat lanjutan (tertiary treatment) ini bertujuan untuk menurunkan atau menghilangkan senyawa kimia anorganik seperti kalium, nitrat, kalsium, sulfat, fosfor dan senyawa organik. Proses fisikawi, kimiawi, dan biologis yang akan terjadi pada tahap pengolahan tingkat lanjut ini antara lain adalah filtrasi, destilasi, pengapungan, pembekuan, striping, dan lain-lain. Proses kimia meliputi adsorbsi dengan menggunakan karbon aktif, pengendapan secara kimiawi, elektro kimiawi, pertukaran ion, reduksi, dan oksidasi. Proses yang terjadi secara biologis terdiri dari proses pengamatan mikroorganisme terutama bakteri.

Arang tergolong ke dalam padatan berpori dengan kandungan karbon sekitar 85-95%, diperoleh dari dari material-material yang mengandung senyawa karbon yang dipanaskan pada suhu tinggi. Arang yang berguna sebagai bahan bakar pada umumnya, ternyata juga dapat diaplikasikan sebagai adsorben atau penyerap. Daya serapnya ditentukan luas permukaan partikel dan dayanya akan meningkat jika dilakukan aktivasi dengan penambahan bahan kimia atau peningkatan suhu sehingga menjadi lebih aktif atau aktif kembali. Karbon aktif adalah senyawa karbon yang telah diproses dengan diaktivasi sehingga senyawa karbon tersebut memiliki pori dan luas permukaan yang lebih besar dengan tujuan untuk meningkatkan daya adsorbsinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorben, yaitu: Sifat AdsorbenArang aktif adalah suatu padatan berpori, yang pada umumnya terdiri dari unsur karbon bebas dan terikat secara kovalen. Oleh sebab itu permukan arang aktif pada dasarnya akan bersifat non polar. Polaritas, komposisi, dan struktur pori ari arang aktif juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukan, jika semakin kecil pori-pori arang aktif maka luas permukan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorbsi akan meningkat. Peningkatan kecepatan adsorbsi, dapat dilakukan dengan mengunakan arang aktif yang sebelumnya telah dihancurkan. Selain itu, konsentrasi atau banyaknya arang aktif yang digunakan juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Sifat SerapanBanyak senyawa yang dapat diadsorbsi oleh arang aktif, tetapi kemampuanya untuk mengadsorbsi berbeda-beda untuk masing-masing senyawa. Adsorbsi akan semakin besar ukuran molekul serapan juga bertambah besar. Proses adsorbsi juga ditentukan oleh ikatan rangkap, posisi gugus fungsi, dan struktur rantai dari senyawa serapan. Temperatur Selama penggunaan arang aktif sebaiknya mengetahui suhu selama berjalannya proses. Ada faktor yang dapat mempengaruhi temperatur proses adsorbsi yaitu viskositas dan stabiltas termal dari senyawa serapan. Apabila pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, maka perlakuan perlu dilakukan pada titik didihnya. Jika senyawa bersifat volatil, adsorbsi dapat dilakukan pada suhu ruang atau apabila memungkinkan pada suhu yang lebih rendah dari suhu ruang atau suhu kamar. pH (derajat keasaman)Dalam larutan asam organik adsorbsi akan cenderung meningkat apabila pH menurun, hal ini dapat terjadi jika terdapat asam-asam mineral. Perubahan ini dapat disebabkan karena kemampuan asam mineral yang dapat menurunkan kekuatan ionisasi dari asam organik yang ada. Sebaliknya apabila pH dari asam organik dinaikan yaitu dengan menambahkan alkali/basa, adsorbsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam. Waktu KontakBila arang aktif dimasukkan ke dalam suatu cairan, dibutuhkan beberapa waktu untuk mencapai sistem yang setimbang. Waktu yang dibutuhkan akan berbanding terbalik dengan banyak arang yang digunakan. Selain ditentukan oleh dosis arang aktif, pengadukan juga akan mempengaruhi waktu kontak. Pengadukan bertujuan agar partikel arang aktif dapat bersinggungan/kontak dengan senyawa serapan. Bagi larutan yang memiliki tingkat viskositas yang relatif tinggi, akan dibutuhkan waktu kontak yang lebih lama.

Karbon aktif mempunyai dua bentuk berdasarkan besarnya butiran, yaitu karbon aktif berbentuk serbuk dan karbon aktif berbentuk butiran atau granula. Karbon aktif serbuk memiliki ukuran diameter paling besar 325 mesh untuk karbon aktif butiran memiliki diameter yang lebih besar. Salah satu kelemahan penggunaan karbon aktif adalah dibutuhkannya unit tambahan pengolah lagi yaitu filtrasi. Ukuran partikel tidak terlalu mempengaruhi luas permukaan total tetapi pori-pori partikel yang akan mempengaruhi proses adsorbsi. Jadi berat yang sama dari karbon aktif serbuk dengan butiran mempunyai kapasitas yang sama. Struktur pori-pori karbon aktif mempengaruhi perbandingan antara luas pemukaan dan ukuran partikel (Fair et al., 1971).

Gambar 1. Mekanisme kerja karbon aktif sebagai adsorben

Gambar 2. Jenis karbon aktif, karbon aktif bubuk (kiri) dan karbon aktif butiran (kanan)Sumber: www.chemistryland.com

5. DesinfeksiTujuan dilakukannya desinfeksi adalah untuk menurunkan atau menghilangkan mikroba yang bersifat pahtogen pada limbah pangan. Berdasarkan pendapat dari Volk & Wheeler (1993), proses desinfeksi merupakan proses yang penting untuk mengendalikan sumber penyakit, karena tujuannya adalah merusak/menghilangkan mikroba yang bersifat pathogen. Mekanisme kerja dari desinfektan adalah merusak protein sel atau membran sel atau bahkan dapat merusak gen dari sel sehingga berakibat kematian atau mutasi pada mikroorganisme. Sedangkan menurut Sugiharto (1987), mekanisme pembunuhan ini sangat ditentukan oleh kondisi dari zat pembunuh yang digunakan dan kondisi mikroorganisme yang ada. dapat membunuh bakteri dengan cara mengganggu dan menginaktifkan enzim utama, sehingga terjadi kerusakan pada dinding sel mikroorganisme.

Proses klorinasi adalah salah satu tahapan pengolahan air yang digunakan untuk membasmi mikroorganisme yang merugikan dan untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam air. Chlorination dilakukan dengan cara memberikan sejumlah klorin ke dalam air limbah yang telah mengalami proses filtrasi dan sering digunakan dalam tahap proses purifikasi air. Selain itu, klorin banyak digunakan dalam pengolahan limbah dari industri, limbah air kolam renang, dan industri air minum di negara-negara berkembang karena harga yang relatif murah, dianggap lebih efektif. Jenis-jenis klor yang sering digunakan dalam proses klorinasi adalah senyawa hipoklorit, gas klorin, bromine klorida, klor dioksida, dan kloramin (Effendi & Hefni, 2003).

Jika klorin berada dalam air maka akan terjadi perubahan klorin menjadi asam klorida. Asam klorida ini yang kemudian akan dinetralisasi oleh senyawa basa dan air yang pada akhirnya akan terurai menjadi ion hidrogen dan ion hipoklorit. Klorin sebagai desinfektan pada umumnya aktif dalam bentuk asam hipoklorit (HOCl) dan beberapa akan aktif dalam bentuk ion hipoklorit (OCl-). Penggunaan klorin akan lebih efektif jika berada dalam air yang memiliki pH berkisar 7. Jika nilai dari pH air melebihi pH 8,5, maka 90% dari asam hipoklorit itu akan mengalami ionisasi dan akan berubah menjadi ion hipoklorit. Jika hal itu terjadi maka daya desinfektan yang dimiliki oleh klorin menjadi lemah atau berkurang (Effendi & Hefni, 2003).

Cara kerja klorin sebagai desinfentan, klorin akan merusak dan membunuh struktur sel organisme atau mikroorganisme. Namun hal tersebut hanya akan terjadi jika klorin mengalami kontak langsung dengan mikroorganisme tersebut. Apabila di dalam air terdapat lumpur maka jika ada bakteri, bakteri dapat bersembunyi di dalam lumpur dan tidak dapat didesinfeksi oleh klorin. Senyawa klorin membutuhkan waktu untuk membunuh semua mikroorganisme, pada air yang bersuhu lebih tinggi, klorin paling tidak berada dalam air selama 30 menit atau lebih. Jika air memiliki suhu yang lebih rendah atau lebih dingin maka waktu kontak harus ditingkatkan (Effendi & Hefni, 2003).

Proses netralisasi diperlukan agar pH air limbah sebelum dilepas atau dibuang ke perairan telah sesuai dengan BML (Baku Mutu Limbah) yang diterapkan oleh negara Indonesia. pH untuk limbah domestik yang sesuai dengan BML adalah 69, sehingga pH air limbah setelah didesinfeksi harus dikondisikan pada range pH tersebut. Setelah melalui berbagai proses pengolahan dan dilakukan penambahan klorin, pada umumny pH air limbah menjadi sangat asam, sehingga perlu dilakukan penambahan Ca(OH)2 atau NaOH agar pH meningkat dan bisa berada pada range pH yang diperbolehkan. Ca(OH)2 mempunyai sifat yang basa, maka jika ditambahkan dalam air limbah yang bersifat asam, akan dapat meningkatkan nilai pHnya. Prinsip dari proses netralisasi adalah penambahan senyawa asam atau basa ke dalam air limbah sehingga pH air limbah menjadi mendekati 7. Proses netralisasi ini dilakukan dengan tujuan agar air yang akan dibuang ke dalam badan air tetap netral. Sebab jika pH air limbah yang akan dibuang asam atau basa, maka akan menggangu kehidupan biota yang ada di perairan (Gintings, 1992). 6. Pengolahan Lanjutan (Ultimate disposal)Pada setiap tahapan pengolahan limbah cair akan dihasilkan sisa berupa lumpur yang masih memerlukan pengolahan yang lebih khusus dengan tujuan supaya lumpur tersebut dapat digunakan kembali untuk tujuan yang bermanfaat misalnya digunakan sebagai pupuk, pembuatan kolam, penimbunan dan pengisian tanah yang cekung (land filling). Perlakuan terhadap air limbah dengan cara fisik, meliputi tahap pengolahan secara mekanis dengan atau tanpa penggunaan bahan kimia meliputi penyaringan, penghancuran, perataan air, pencampuran, penggumpalan, pengendapan, pengapungan dan pelapisan.

1.1.2. Karakteristik FisikawiLimbah memiliki karakteristik fisikawi yang dapat diamati secara langsung dengan indera (mata) manusia. Penentuan derajat kekotoran limbah cair dipengaruhi oleh sifat fisik yang dapat dilihat dengan miudah. Sifat fisik limbah cair meliputi kandungan zat padat, suhu, kekeruhan, warna dan bau (Utomo, 1998).

1.1.2.1. KekeruhanKekeruhan adalah parameter yang dapat diukur dengan bantuan efek cahaya, tingkat kekeruhan ini disebabkan karena terdapat benda di dalam air limbah atau koloid di dalam air limbah (Sugiharto, 1987). Tingkat kekeruhan limbah cair dapat menentukan banyak tidaknya padatan organik maupun anorganik yang terkandung di dalam air limbah tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Walaupun cara analisa tingkat kekeruhan ini dapat dilakukan dengan menggunakan indera penglihatan manusia (secara langsung), sebenarnya tingkat kekeruhan dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Apabila masih terlalu keruh maka harus dijernihkan dengan diendapkan terlebih dahulu, kemudian setelah itu diukur kembali dengan menggunakan spektrofotometer (Suhardi, 1991).

Proses penjernihan limbah cair juga dapat dilakukan dengan metode adsorbsi. Metode adsorpsi air limbah dipergunakan untuk mengurangi jumlah pengotor organik, partikel maupun benda yang tidak dapat diuraikan (non-biodegradable) ataupun gabungan antara bau, warna, dan rasa. Bahan yang biasa digunakan adalah karbon aktif. Karbon aktif alamiah dapat berupa butiran karbon dan bubuk karbon. Persiapan karbon adalah melalui pembuatan arang yang berasal dari kayu maupun batubara yang dibakar hingga berubah warna menjadi warna merah. Batubara kemudian diaktifkan dengan menambah gas oksigen dengan tekanan yang cukup tinggi. Gas ini akan mengembangkan ukuran rongga dari arang atau batubara sehingga dapat memperluas luas permukaan. Hal ini dikarenakan, dengan luas permukaan yang besar maka karbon aktif akan mempunyai daya serap yang lebih baik, sehingga dapat mengikat benda-benda organik dan partikel- partikel lain dengan baik (Sugiharto, 1987). Bahaya atau tidaknya suatu limbah dapat dilihat pada warnanya. Bila warna limbah hitam maka kandungan timbalnya (Pb) relatif tinggi, apabila warna limbah kuning maka kandungan besinya (Fe) tinggi dan bila warna limbah biru maka kandungan tembaganya (Cu) tinggi (Suhardi, 1991).Tingkat kekeruhan/turbidity dapat ditentukan dengan turbidimeter. Sebelumnya dilakukan jar testing terlebih dahulu (100 rpm selama 1 menit, lalu 25 rpm selama 15 menit). Untuk kontrol, yaitu tanpa koagulan, diperoleh nilai turbidity 24,10 NTU; pada sampel dengan 10.000 ppm koagulan, nilainya 15,56 NTU. Nilai turbidity menurun menjadi 14,12 NTU pada sampel dengan koagulan 20.000 ppm. Nilai turbidity digunakan sebagai acuan untuk treatment. Kemudian kembali meningkat menjadi 19,80 NTU pada sampel dengan koagulan 30.000 ppm. Nilai turbidity paling tinggi, yaitu 27,40 NTU diperoleh pada sampel dengan koagulan 40.000 ppm. Sedangkan pada penggunaan koagulan sebersar 50.000 ppm, nilai turbidity menurun lagi menjadi 17,45 NTU.

Koagulasi adalah proses pembentukan gumpalan melalui reaksi kimia. Koagulasi dapat berlangsung dengan menambahkan zat perekasi (koagulan) sesuai dengan zat terlarut. Jenis koagulan yang sering digunakan adalah tawas, kaporit, dan kapur. Hal ini disebabkan karena garam-garam Al, Fe dan Ca memiliki sifat yang tidak larut dalam air sehingga dapat mengendap jika bereaksi dengan sisa-sisa basa. Endapan dari hasil reaksi koagulan selanjutnya dipisahkan dengan proses filtrasi dan sedimentasi. Jumlah koagulan yang digunakan bergantung pada macam/jenis dan konsentrasi ion-ion yang terlarut dalam air limbah serta konsentrasi yang diharapkan adalah konsentrasi yang telah sesuai dengan standar yang sudah ada. Proses koagulasi dalam air limbah dapat dipercepat dengan cara pengadukan dengan static mixer maupun rapid mixer (Kusnaedi, 1998).

Proses koagulasi berkaitan dengan pengaruh yang dihasilkan dari penambahan bahan kimia kepada dispersi koloid yang mengakibatkan ketidakstabilan partikel oleh pengurangan gaya-gaya yang cenderung membuat partikel terpisah. Salah satu sifat penting dari keadaan koloid adalah bahwa partikel koloid itu sendiri masing-masing mempunyai muatan listrik yang menyebabkan koloid saling tolak-menolak, sehingga tidak terjadi penggabungan menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap melainkan tetap dalam bentuk tersuspensi (Birdi, 1979). Senyawa/zat yang digunakan untuk menggumpalkan disebut koagulan. Koagulan utama yang digunakan dalam proses pemurnian air adalah aluminium sulfat, ferri sulfat (Fe2(SO4)3), ferri klorida (FeCl3), dan activated silica (Winarno, 1986). Bahan penggumpal merupakan garam logam yang dapat bereaksi dengan basa yang ada di dalam air untuk membentuk kumpulan hidrooksida logam yang memiliki sifat tidak dapat larut (Buckle et al., 1987). Karena pH limbah dari pemotongan hewan ayam ini bersifat asam maka koagulan yang digunakan adalah Ca(OH)2. Sedangkan bila sifat dari limbahnya basa, maka menggunakan koagulan FeCl3.Menurut Kusnaedi (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi : Efek pHUntuk setiap jenis air terdapat kisaran pH yang tepat untuk proses koagulasi dan flokulasi dalam waktu singkat dengan dosis yang diberikan. Dengan dilaksanakan dalam zona optimum maka pengolahan limbah dapat berjalan dengan maksimal. Efek garamPengaruh garam pada koagulasi yaitu dapat mengubah kisaran pH untuk koagulasi, waktu flokulasi, dosis koagulan optimum, dan sisa koagulan dalam air setelah pengolahan. Efek pengadukanPengadukan yang cepat dibutuhkan pada penambahan koagulan agar distribusi koagulan dapat lebih merata. Pada tahap kedua pengadukan dimaksudkan untuk proses koagulasi dengan kecepatan yang lebih rendah sehingga dapat menghasilkan kesatuan dari koloid-koloid yang tidak stabil.

Penyaringan bertujuan untuk memisahkan padatan tidak terlarut, bahan kasar lain yang bentuknya relatif besar, sehingga padatan ini tertahan dan filtratnya dapat turun (Gintings, 1992). Proses penyaringan adalah tahapan awal (primary treatment) atau merupakan penyaringan dari proses sebelumnya. Jika air olahan yang akan disaring merupakan cairan yang mengandung butiran halus atau bahan-bahan yang mudah larut maka sebelum proses penyaringan sebaiknya dapat dilakukan proses koagulasi atau proses netralisasi yang dapat menghasilkan endapan. Setelah itu maka bahan-bahan tersebut dapat dipisahkan dari cairannya melalui proses filtrasi. Jika air olahan mempunyai padatan dengan bentuk atau ukuran yang sama/seragam maka saringan yang dapat digunakan adalah saringan dengan tipe single medium. Namun sebaliknya jika ukuran padatan tidak sama/beragam maka dapat digunakan saringandengan tipe dual medium atau three medium (Kusnaedi, 1998).

1.1.2.2. BauBau dapat muncul karena terdapat kegiatan mikroorganisme yang mampu menguraikan zat organik dan mampu menghasilkan gas tertentu. Selain itu bau juga dapat muncul karena adanya reaksi kimia yang juga menimbulkan gas. Kekuatan bau dari limbah sangat tergantung pada jenis dan banyaknya gas yang dihasilkan (Gintings, 1992). Pengukuran bau dapat dilakukan dengan beberapa merode seperti evaluasi sensori (indera pembau) dan GC (Gas Chromatography) yang berguna untuk menganalis senyawa-senyawa yang menjadi sumber bau (Suhardi, 1991). Bau dapat menjadi penentu apakah suatu limbah masih baru atau sudah lama. Bau-bau busuk yang dihasilkan dikarenakan adanya campuran dari nitrogen, sulfur, fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein dan bahan organik yang terdapat di dalam limbah. Bau yang paling menyengat adalah bau yang terbentuk karena adanya hidrogen sulfida. Bau-bauan tersebut, walaupun tidak menyenangkan, tidak mengganggu kesehatan masyarakat kecuali apabila terpancar keluar dari gas-gas dan uap yang beracun (Mahida,1992).

1.1.2.3. SuhuSuhu dapat digunakan dalam melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan, dan nilai-nilai penjenuhan dari benda padat, dan gas (Gintings, 1992). Pengentalan dapat membentuk sedimen, pada suhu tinggi pengentalan berkurang dan menghasilkan peningkatan sedimen. Tingkat oksidasi senyawa organik pada suhu tinggi lebih besar daripada pada suhu rendah. Suhu yang tinggi juga dapat membunuh mikroorganisme pengurai sehingga aktivitas biologis menurun (Mahida, 1992). Menurut Gintings (1992), temperatur limbah cair akan mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam air. Pembusukan akan terjadi pada suhu yang relatif tinggi karena tingkatan oksidasi zat organik jauh lebih besar jika berada pada suhu yang tinggi. Suhu yang terlalu tinggi pada limbah yang dihasilkan harus diwaspadai karena dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di perairan, dan dapat memacu perkembangan mikroba yang tidak menguntungkan (Sastrawijaya, 1991).

1.1.2.4. Analisa PadatanUntuk menyatakan komponen-komponen padatan di dalam air, dikenal adanya istilah padatan total yang terdiri dari padat tersuspensi total dan padatan terlarut total. Padatan total adalah residu yang tertinggal setelah proses evaporasi sampel dan pengeringan dalam oven pada suhu tertentu (Hammer & Hammer, 1996). Padatan total meliputi padatan tersuspensi total yaitu yang tertahan pada filter, dan padatan terlarut total yaitu dapat melewati filter 2,0 m atau lebih kecil dari ukuran pori-pori filter. Total endapan dapat terdiri dari benda/bahan yang mengendap, terlarut dan tercampur (Sugiharto, 1987).

1.1.2.4.1. Total Padatan (Total Solid/TS)Total padatan adalah banyaknya bahan yang tertinggal dalam cawan setelah proses evaporasi sampel air atau air limbah yang telah dioven dengan suhu 103-105C selama kurang lebih 1 jam, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga berat konstan. Miligram (mg) total padatan sebanding dengan perbedaan antara berat cawan setelah didinginkan dan berat cawan kosong (Sugiharto, 1987). Sebanyak 2 ml sampel limbah asli dituang ke dalam cawan porselen yang telah dioven dan ditimbang berat konstannya. Kemudian dikeringkan di dalam oven selama 1 malam. Kemudian dihitung berat cawan beserta padatannya menggunakan timbangan analitik. Konsentrasi total padatan dihitung menggunakan rumus :

Berat residu kering = berat cawan dengan padatan berat cawan kosong

1.1.2.4.2. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS)Total padatan tersuspensi biasanya dinyatakan dalam satuan miligram per liter atau bagian per juta (bpj) atau part per million (ppm). Padatan terlarut total menunjukkan kepekatan sampel air limbah. Penentuan padatan terlarut total dapat menentukan kualitas air limbah (Sastrawijaya, 1991). Padatan tersuspensi total merupakan residu yang tidak dapat lolos saringan, ditetapkan dengan cara menyaring sejumlah air limbah melalui filter membran. Berat keringnya diperoleh setelah dioven satu jam pada suhu 103-1050C (Jenie & Rahayu, 1993). Sebanyak 50 ml sampel limbah asli disaring menggunakan kertas saring yang telah diketahui berat konstannya. Kemudian kertas saring tersebut dikeringkan di dalam oven selama 1 malam. Setelah itu ditimbang berat kertas saring beserta padatan yang tertinggal. Konsentrasi padatan tersuspensi total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Berat residu kering = berat kertas saring dengan padatan berat kertas saring kosong

Padatan tersuspensi yang ada di dalam air pada umumnya terdiri dari zooplankton, fitoplankton, kotoran hewan, kotoran manusia, lumpur, sisa tumbuhan dan hewan, dan limbah industri/pabrik. Total padatan yang tersuspensi merupakan jumlah bobot bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu yang pada umumnya dinyatakan dalam miligram per liter atau bagian per juta (bpj) atau part per million (ppm). Padatan tersuspensi (Total Soluble Solid/TSS) adalah jumlah berat bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air limbah tertentu. Padatan terlarut dan tersuspensi mempengaruhi kejernihan dan warna air. Kejernihan yang rendah menunjukkan produktivitas tinggi. Cahaya tidak dapat tembus banyak jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi. Warna air juga akan berpengaruh pada kualitas air (Sastrawijaya, 1991).

1.1.2.4.3. Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solid/TDS)Padatan terlarut dan padatan yang tidak terlarut mengacu pada materi yang tertahan dan melewati filter. Bahan yang tidak terlarut (residu yang tidak tersaring) tidak ditentukan secara langsung tetapi dihitung dengan mengurangkan konsentrasi padatan tersuspensi dari konsentrasi padatan total (Hammer & Hammer, 1996). Total Dissolved Solid adalah padatan terlarut total. Padatan terlarut total, atau residu yang dapat disaring, dinyatakan dengan berat yang telah disaring dan diuapkan atau sebagai perbedaan antara berat residu setelah penguapan dan berat padatan tersuspensi total (Jenie & Rahayu, 1993).

1.1.3. Karaktersitik KimiawiSifat kimia limbah cair meliputi pH, COD, dan BOD. Limbah industri pangan identik dengan kandungan organik yang cukup besar. Kadar organik dari limbah yang paling penting adalah pengukuran BOD5, BOD dan COD. Banyak air limbah yang memiliki nilai COD yang realtif tinggi dan nilai BOD yang relatif rendah, pada umumnya disebabkan karena adanya senyawa organik yang tidak dapat dipecah secara biologis atau merupakan senyawa tersebut merupakan senyawa yang beracun. Analisia BOD dalam penanganan air limbah akan memberikan indikasi awal adanya bahan toksik. Bila air limbah mempunyai COD yang tinggi, dan BOD yang rendah, maka studi toksisitas mungkin diperlukan (Jenie & Rahayu, 1993).

1.1.3.1. Pengukuran pHKonsentrasi ion hidrogen merupakan nilai kualitas dari air atau air yang merupakan air limbah. Nilai yang baik adalah nilai dimana masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air dapat berjalan dengan baik. Air limbah yang memiliki konsentrasi/pH yang tidak netral akan menghambat proses yang berjalan secara biologis, sehingga pada akhirnya akan menganggu proses penjernihan. Nilai pH yang aman baik untuk air minum maupun air limbah adalah netral (7 atau mendekati 7). Semakin kecil nilai pH-nya, maka akan menyebabkan air tersebut cenderung memiliki sifat yang asam (Sugiharto, 1987).

pH menunjukkan tingkat keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan dengan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Adanya hidrogen bebas dan ion hidroksil dalam pemisahan molekul larutan yang berlebihan akan menyebabkan larutan menjadi asam atau alkali. Pada dasarnya larutan-larutan yang netral akan mempunyai nilai pH 7. Limbah cair domestik yang normal biasanya memiliki pH yang sedikit alkali (Mahida, 1992). Jika nilai pH kurang dari 5 atau lebih dari 10, maka proses aerobik biologis akan mengalami gangguan (Mahida, 1992).

pH limbah dari RM. Tio Ciu yang ada di Jl. Gajahmada 117 diukur menggunakan pH meter dan didapatkan hasil pH rata-rata 6,145. Hasil tersebut sudah sesuai dengan Baku Mutu Limbah yang seharusnya yaitu 6-9. Hanya saja limbah tersebut harus tetap diolah agar limbah berada pada pH yang netral. Air limbah dengan pH yang tidak netral akan mengganggu proses biologis sehingga proses penjernihan juga akan terganggu. 1.1.3.2. Analisa kandungan CODChemical Oxygen Demand (COD) atau sering disebut dengan kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) adalah jumlah oksigen dalam ppm atau mg/L yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik secara kimiawi. Penguraian senyawa organik tersebut dilakukan dengan oksidasi menggunakan agen oksidator yang kuat dalam suasana asam. Selain itu, nilai COD juga digunakan secara luas sebagai tingkat pencemaran air limbah industri atau domestik (Suhardi, 1991).

COD (Chemical Oxygen Demand) juga digunakan untuk mengklasifikasi kekuatan organik dari air limbah atau tingkat polusi pada air bessih. Uji COD mengukur jumlah oksigen yang digunakan untuk oksidasi kimia senyawa-senyawa organik dalam sampel limbah menjadi karbondioksida dan air. Langkah uji ini dengan menggunakan larutan kalium dikromat standar (K2Cr2O7) yang diketahui jumlahnya, reagen asam sulfat yang dan sampel dalam jumlah tertentu. Sampel blanko diberi perlakukan sama halnya seperti prosedur uji COD hanya saja dilakukan tanpa adanya pemanasan. Tujuan dibuatnya sampel blanko tersebut adalah untuk meminimalkan atau mengkoreksi kesalahan yang dapat muncul karena adanya senyawa organik yang terkandung dalam reagen (Hammer & Hammer, 1996).

Sebanyak 10 ml sampel limbah cair diencerkan dalam labu takar hingga 100 ml. Kemudian dari pengenceran tersebut diambil sebanyak 10 ml, ditambah dengan 1 ml H2SO4 dan 20 ml K2Cr2O7. Kemudian dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100C. Dari hasil pemanasan tersebut diambil sebanyak 10 ml, ditambah dengan 1,5 ml KI 10% dan 2 ml amilum. Larutan tersebut dititrasi menggunakan latutan Na2S2O3 0,1 N hingga diperoleh titik akhir titrasi berwarna biru bening. Nilai COD ditentukan dengan menggunakan rumus:

Pengenceran = 10

Secara garis besar nilai COD jarang digunakan jika dibandingkan dengan pengertian BOD. COD merupakan nilai yang menggambarkan kebutuhan oksigen terhadap senyawa organik yang sulit dihancurkan melalui proses oksidasi. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya agen oksidator yang kuat yang bekerja dalam suasana asam. K2Cr2O7 dalam ini beperan sebagai oksidator (Gintings, 1992). Nilai COD yang relatif besar mengartikan bahwa adanya pencemaran air oleh senyawa-senyawa organik yang dapat berasal dari berbagai sumber, seperti limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan sebagainya. Jumlah volume K2Cr2O7 yang digunakan dapat menyatakan jumlah total senyawa organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi (Suhardi, 1991).

Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) akan selalu lebih tinggi jika dibandingkan nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD). Selisih nilai di antara kedua nilai tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :0. Ada beberapa bahan kimia yang tahan terhadap reaksi oksidasi biokimia tetapi tidak tahap terhadap reaksi oksidasi kimia0. Ada beberapa bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi dan sensitif terhadap reaksi oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD50. Ada beberapa zat/bahan toksik dalam limbah yang dapat mengganggu uji BOD tetapi tidak dapat mengganggu dalam uji COD.(Jenie & Rahayu, 1993).

Perlu dilakukan penghilangan zat-zat organik dengan cara menambahkan zat-zat yang dapat berperan sebagai penggumpal atau pembentuk flok-flok. Jenis-jenis zat kimia yang dapat digunakan untuk proses penggumpalan adalah:1. Filter aluminium dengan penggunaan aluminium sulfat Al2(SO4)3 1. Kombinasi ferro-sulfat dengan kapur (FeSO4 + CaO)1. Penggunaan natrium-aluminat1. Aluminium sulfat yang mengandung Ferri oksida + 1% (Aluminium ferric)1. Campuran aluminium sulfat dengan soda abu (Na2CO3) (Boothal) (Suhardi, 1991).

1.1.3.3. Analisa Kandungan BODBahan organik yang terkandung dalam suatu limbah biasanya dapat dinyatakan dengan parameter/pengujian BOD atau Biological Oxygen Demand. Nilai BOD dapat diartikan sebagai jumlah oksigen terlarut yang dimanfaatkan atau digunakan oleh aktivitas kimia atau mikrobiologi. Oksigen dibutuhkan untuk oksidasi bahan organik, oleh karena itu nilai BOD menunjukkan banyaknya kandungan bahan organik yang terkandung dalam limbahcair (Jenie & Rahayu, 1993). Nilai dari BOD maka dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:1 ml Na2S2O3 = 1 mg/L BODFaktor pengenceran = 10

Secara garis besar analisa BOD dapat dilakukan dengan dua metode yaitu : Titrasi WinklerPrinsipnya adalah oksigen yang terkandung dalam air limbah akan mengoksidasi kandungan MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan dalam keadaan alkalis, sehingga akan terbentuk endapan MnO2. Penambahan asam sulfat dan kalium iodida akan membebaskan iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Jumlah iodin yang terbebaskan kemudian dianalisa dengan metode titrasi iodimetri yang menggunakan larutan standar thiosulfat dengan indikator kanji.

DO-meterPengujian oksigen terlarut di dalam air dapat juga dilakukan dengan melakukan metode elektrolisa yang pada prinsipnya menggunakan elektroda yang terdiri atas katode dan anode yang berada dalam larutan ektrolit (larutan garam). Dalam metode DO meter, elektroda ini terdiri atas katode Ag dan anode Pb atau Cu. Sistem elektroda ini dilindungi oleh membran tertentu yang bersifat semi-permeable terhadap oksigen hal ini nerarti bahwa hanya oksigen saja yang dapat melewati membran ini .(Alaerts & Santika, 1984).

Tes BOD digunakan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari efluen yang telah diolah dan air yang terpolusi, tetapi bagaimanapun juga tes ini bersifat terbatas nilainya dalam mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air, dan perhitungan tes yang menunjukkan aliran kebutuhan oksigen yang sesungguhnya sangat dipertanyakan karena lingkungan laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia dan biologis yang sama seperti di alam. BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan-bahan organik dalam sampel air limbah pada temperatur 19-21oC dalam inkubator atau waterbath (Hammer & Hammer, 1996).

Parameter yang biasanya digunakan untuk mengukur polusi pada air limbah atau air tanah adalah nilai BOD 5 hari (BOD5). Hasil/nilai tersebut merupakan hasil dari pengukuran oksigen terlarut yang digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi biokimia senyawa-senyawa organik. Pada umumnya inkubasi akan berlangsung selama 5 hari pada temperatur 20C. Selama 5 hari tersebut, oksidasi berlangsung secara sempurna berkisar 60-70 %, sedangkan jika digunakan penuh dalam waktu 20 hari, oksidasi berlangsung sempurna sebesar 95-99 %. Pemakaian temperatur yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula karena reaksi biokimia sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur (Tchobanoglous, 1981).

Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang akan dihabiskan dalam waktu 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik dalam suatu volume limbah pada suhu 20oC. Hasilnya dinyatakan dalam bpj atau ppm. Pengujian dilakukan dengan mengencerkan suatu sampel limbah yang banyak mengandung oksigen kemudian segera ditentukan oksigen terlarutnya. Sebagian larutan ditentukan di ruangan gelap pada suhu 20oC untuk 5 hari dan kemudian ditentukan lagi oksigen terlarutnya. Kebutuhan oksigen biokimianya (BOD) dihitung dari selisih antara kedua hitungan di atas (Sastrawijaya, 1991).

1.1.4. Karakteristik BiologisKarakteristik biologis, meliputi pemeriksaan akan adanya mikroorganisme seperti jamur, bakteri, alga/ganggang, atau protozoa pada air limbah. Pengujian biologis di dalam air limbah untuk melakukan pemisahan bakteri-bakteri pathogen yang berada di dalam air limbah. Keterangan biologis ini dibutuhkan untuk menunjukkan tingkat kekotoran air limbah sebelum dialirkan ke badan air (Sugiharto, 1987). Jamur/kapang adalah mikroba non-fotosintesis (tidak melakukan fotosintesis), multiseluler, bercabang, berfilamen, dan mampu melakukan metabolisme makanan yang terlarut dalam air limbah. Bakteri dan kapang dapat melakukan metabolisme bahan-bahan organik dari jenis yang sama. Jamur/kapang banyak terdapat pada limbah yang memiliki pH dengan kisaran pH 4 - 5, kadar air yang rendah, nitrogen yang rendah, dan jika ada nutrien tertentu tidak terdapat dalam air limbah. Jamur/kapang juga susah untuk mengendap sehingga sulit ditangani dengan proses sedimentasi/pengendapan (Jenie & Rahayu, 1993).

Pembunuhan/penghilangan bakteri berguna untuk mengurangi atau membasmi mikroorganisme pathogenik yang ada di dalam air limbah. Jumlah zat pembunuh kimia dapat mematikan bakteri dengan cara merusak atau menginaktifkan enzim utama dari sel mikroorganisme, sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Penting untuk memperhatikan pemilihan bahan kimia, ada beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai bahan desinfeksi antara lain waktu kontak yang diperlukan, daya racun zat kimia, efektivitasnya, rendahnya dosis, tidak toksik terhadap manusia dan hewan, biaya murah untuk pemakaian yang bersifat masal atau lebih murah jika digunakan dalam skala yang besar (Sugiharto, 1987 ).

Secara umum, kebanyakan bakteri adalah bersifat kemoheterotrofik, artinya bakteri tersebut menggunakan bahan organik sebagian besar sebagai sumber energi dan karbon. Ada beberapa spesies yang dapat mengoksidasi senyawa-senyawa anorganik tereduksi contohnya NH3 untuk energi dan menggunakan CO2 untuk sumber karbon, dan sering disebut sebagai bakteri kemoautotrof. Selain itu ada juga yang bersifat fotosintetik, yang artinya menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi dan sumber karbon CO2. Bakteri kemoheterotrof merupakan bakteri yang penting dalam penanganan limbah karena memecah bahan organik dan bakteri nitrifikasi yang mengoksidasi amonia nitrogen menjadi amonia nitrat (Jenie & Rahayu, 1993).

Dalam menangani air limbah, mikroorganisme merupakan dasar fungsional untuk sejumlah proses penanganan (Sugiharto, 1987). Maksud pemeriksaan secara biologis di dalam air limbah adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri yang bersifat pathogenik. Pemeriksaan biologis ini termasuk pemeriksaan jamur, bakteri, alga/ganggang, protozoa, rotifera, crustaceae, dan virus (Utomo, 1998). Bakteri termasuk ke dalam kelompok mikroorganisme terpenting dalam sistem penanganan air limbah. Adanya bakteri dalam air limbah perlu ditangani lebih lanjut karena beberapa bakteri memiliki sifat pathogenik dan karena kultur bakteri dapat digunakan untuk mengurangi/menghilangkan bahan organik dan mineral-mineral yang tidak diharapkan di dalam air limbah (Jenie & Rahayu, 1993).

Klorin adalah agen oksidator yang akan bereaksi dengan beberapa komponen organik pada limbah cair. Jumlah klorin yang digunakan untuk air limbah yang relatif jernih (tidak terlalu keruh) dan pada air yang mengandung suspensi padatan sedikit atau tidak terlalu tinggi, biasanya hanya sedikit atau tidak terlalu banyak. Proses klorinasi merupakan salah satu tahapan yang dianggap cukup efektif dalam mengatasi limbah cair. Penggunaan klorin banyak diaplikasikan untuk mengatasi bau yang muncul dari limbah. Peran klorin dalam mengatasi limbah pertanian adalah untuk mereduksi konsentrasi bakteri. Sesuai pendapat dari Jenie & Rahayu (1993), dengan adanya proses klorinasi maka kadar BOD dapat mengalami penurunan. Disamping itu, komponen-komponen yang tereduksi dalam air juga akan menurun karena adanya proses klorinasi. Efektif atau tidaknya pemakaian klorin dipengaruhi oleh jumlah, jenis, dan bentuk klorin yang digunakan, selain itu waktu kontak antara klorin dengan limbah juga menentukan, suhu proses dan jenis serta jumlah konsentrasi mikroba yang ada dalam air limbah.

Pemberian perlakuan anaerobik adalah proses biologi alami yang dilakukan oleh mikroorganisme yang fungsinya adalah untuk membebaskan oksigen ke lingkungan. Mikroorganisme ini memecah material organik kompleks menjadi biogas yang mengandung metana dan karbondioksida. Poses anaerobik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan proses lain yang menggunakan perlakuan aerobik. Dalam perlakuan aerobik aliran limbah dicampur dengan udara atau oksigen murni, dan proses tersebut merupakan proses yang sangat mahal. Organisme aerobik menggunakan material organik sebagai makanan dan memerlukan oksigen dalam jumlah yang besar untuk memecah material menjadi karbondioksida. Organisme tersebut kemudian menggunakan energi dari proses ini untuk reproduksi dan tumbuh dengan cepat. Perlakuan anaerobik tidak memerlukan tambahan oksigen dan menghasilkan gas metan yang dapat ditampung dan digunakan untuk membuat air panas, uap panas, dan elektrisitas (Puterbaugh & Thomas, 2002).

2. PEMBAHASANLimbah cair bekas pencucian sayur apabila langsung dilepaskan atau dibuang ke lingkungan begitu saja dapat memberi efek pencemaran yang dapat membahayakan lingkungan tersebut, karena adanya senyawa organik yang terkandung dalam limbah pencucian sayur. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Sugiharto (1987) bahwa dalam air limbah terdapat bahan kimia yang tidak mudah dihilangkan dan tergolong berbahaya. Jenie & Rahayu (1993) juga menambahkan bahwa limbah industri pangan dapat menjadi masalah pada saat proses penanganan karena adanya kandungan karbohidrat, protein, lemak, garam mineral dan sisa-sisa bahan kimia lainnya yang digunakan selama proses pengolahan dan pembersihan. Jumlah bahan organik yang tinggi ini dapat menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba sehingga mikroba dapat berkembang biak dengan cepat dan mampu mereduksi oksigen terlarut yang terdapat di dalam air limbah. Maka dari itu, penanganan limbah cair sebelum dilepaskan ke lingkungan perlu dilakukan, sehingga karakteristik dari limbah tersebut dapat sesuai dengan baku mutu limbah yang ada. Karakteristik limbah sendiri terdiri dari karakteristik fisikawi, kimiawi, dan biologis. Dalam praktikum ini akan dibahas mengenai pengujian karakteristik limbah secara fisikawi (bau, warna, kekeruhan, tempertur) dan kimiawi (COD, BOD, TS, TSS, dan TDS) dari limbah cair pencucian sayur sebelum dan setelah dilakukan treatment atau pengolahan. Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui cara meminimalkan kandungan cemaran yang ada dalam sampel limbah dengan melakukan beberapa treatment terhadap limbah tersebut. Dalam aplikasinya, pengolahan limbah pangan akan melalui beberapa tahapan yaitu pengolahan pendahuluan (pre-treatment), pengolahan primer (primary treatment), pengolahan sekunder (secondary treatment), pengolahan tersier (tertiary treatment), dan pengolahan tambahan. Pada setiap tahap pengolahan limbah ini memiliki tujuan tersendiri. Sebelum melakukan treatment masing-masing, semua kelompok diwajibkan untuk melakukan uji pendahuluan berupa pengukuran pH, bau, warna, kekeruhan, analisa padatan seperti : Total Solid, Total Suspended Solid, Total Dissolved Solid dan uji Chemical Oxygen Demand (COD). Setelah limbah tersebut diolah, maka dilakukan pula pengujian akhir. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah treatment yang dilakukan pada limbah cair pencucian sayur ini sudah efektif atau belum.

Menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), proses pre-treatment merupakan proses pendahuluan yang berupa awal pembersihan yang bertujuan untuk mempercepat dan memperlancar proses pengolahan selanjutnya. Menurut Mahida (1992), tujuan dilakukannya pengolahan awal ini yaitu untuk menghilangkan zat-zat padat baik yang melayang ataupun mengendap hal ini dapat dilakukan dengan beberapa perlakuan yaitu penyaringan dan sedimentasi. Namun perlakuan yang digunakan oleh kelompok A2 adalah perlakuan berupa penyaringan/filtrasi menggunakan kain saring. Pada limbah cair bekas pencucian sayur warna cairan nampak bening dan agak keruh, dengan bau yang sangat menyengat, dikarenakan keberadaan padatan yang terapung atau melayang yang terbawa bersama air limbah. Maka dengan treatment penyaringan yang ada padatan yang tidak terlarut dapat dihilangkan sehingga warna larutan menjadi lebih jernih. Hal ini sesuai dengan teori oleh Gintings (1992) dan Sugiharto (1987). Umumnya, bahan pengotor tidak terlarut dapat dengan mudah diidentifikasikan dan terlihat jelas oleh mata. Pada percobaan ini, media penyaring yang digunakan berupa kain saring. Menurut Gintings (1992) penyaringan dengan menggunakan kain saring bertujuan untuk memisahkan padatan yang berukuran relatif besar. Namun, lebih spesifiknya penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan padatan tidak larut dengan menggunakan metode filtrasi yang nantinya akan membuat tertahannya padatan yang ada pada limbah cair, sehingga didapatkan filtrat yang lebih jernih, dimana filtrat yang didapat ini kemudian yang akan digunakan untuk proses pengolahan limbah selanjutnya. pengolahan tingkat pretreatment akan berpengaruh pada hasil pengolahan tingkat primer, maka dalam prosesnya harus benar-benar diperhatikan (Gintings, 1992).

Dalam praktikum ini, limbah cair disiapkan sebanyak 2 liter untuk masing-masing kelompok kecil, kemudian air limbah dituangkan sedikit demi sedikit diatas kain saring hingga tersaring semua, dengan menggunakan ember sebagai wadah penampung filtratnya. Filtrat yang telah ditampung akan digunakan untuk pengujian selanjutnya, sedangkan pengotor yang tertinggal pada kain saring disingkirkan. Proses penyaringan pada tahap ini, dilakukan hanya satu kali karena dalam limbah cair pencucian sayur yang digunakan pengotor ukuran besar tidak terlalu banyak.

Pada tahapan primary treatment, pengolahan limbah dikombinasikan secara kimia dan fisik. Gintings (1992) menjelaskan secara kimia, air limbah ditambah dengan bahan kimia yang disebut dengan koagulan yang mampu mengikat partikel-partikel dalam air limbah, sehingga partikel yang terdapat dalam air limbah tersebut dapat bergabung dan mudah dipisahkan. Hal ini dianggap penting karena padatan yang terkandung dalam limbah dapat menghambat proses pengolahan berikutnya. Menurut Kusnaedi (1998), primary treatment bertujuan untuk memisahkan zat warna yang larut maupun tersuspensi yang tidak terjaring pada penyaringan awal. Menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987) reaksi koagulasi secara kimia dapat terjadi akibat adanya reaksi antara senyawa kimia dengan bahan pengendap, yang memungkinkan bahan butiran bertambah besar, sehingga berat jenisnya lebih besar daripada air sehingga pada akhirnya akan mengendap di bagian dasar. Didukung oleh pernyataan Birdi (1979) bahwa penambahan bahan kimia yang berupa koagulan ini dapat menyebabkan ketidakstabilan partikel oleh pengurangan gaya-gaya yang cenderung membuat partikel terpisah. Buckle et al. (1987) menjelaskan bahwa koagulan adalah garam logam yang dapat bereaksi dengan basa yang terkandung di dalam air untuk membentuk kumpulan hidroksida logam yang tidak dapat larut. pH larutan menjadi hal yang penting dalam menambahkan koagulan dalam air limbah. Hal ini terjadi karena koagulan akan bekerja efektif pada pH tertentu. Limbah cair yang bersifat asam akan sesuai apabila ditambahkan koagulan berupa Ca(OH)2, sedangkan limbah yang bersifat basa akan sesuai apabila ditambahkan koagulan berupa FeCl3. Pada praktikum ini, koagulan yang digunakan adalah Ca(OH)2 karena pH limbah cair pencucian sayur bersifat cenderung asam. Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam proses koagulasi ini adalah konsentrasi koagulan yang akan ditambahkan. Pada uji pendahuluan, dilakukan jar testing, dimana dalam proses jar testing dilakukan penambahan koagulan dengan berbagai konsentrasi (0, 10000, 20000, 30000, 40000, dan 50000 ppm). Konsentrasi koagulan yang berbeda dapat menunjukkan tingkat kekeruhan pada limbah cair pencucian yang berbeda-beda. Konsentrasi koagulan yang digunakan adalah koagulan yang dapat memberikan tingkat kekeruhan paling rendah. Pada uji pendahuluan, pengolahan limbah cair pencucian sayur menggunakan konsentrasi koagulan 20.000 ppm. Hal ini dilakukan karena dengan kosentrasi koagulan sebesar 20.000 ppm menghasilkan tingkat kekeruhan yang paling rendah diperoleh dari pengukuran turbidimeteri. Penggunaan konsentrasi koagulan yang menghasilkan kekeruhan paling rendah, maka diharapkan bahwa warna limbah cair pencucian sayur yang diolah ini tidak terlalu gelap dan tidak berbahayakan apabila dibuang ke badan air.Limbah cair pencucian sayur yang telah ditambah dengan koagulan Ca(OH)2 lalu diberi perlakuan pengadukan menggunakan jar test. Pengadukan ini dapat mempercepat terjadinya reaksi antara koagulan dan partikel padatan, sehingga proses koagulasi dapat berjalan lebih cepat dan efektif. Pengadukan yang dilakukan dengan metode jar test terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit dan pada tahap kedua kecepatan diturunkan menjadi 25 rpm namun dengan waktu yang lebih lama yaitu selama 15menit. Pada tahap pertama (koagulasi) dilakukan pengadukan dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan tahap kedua. Hal ini dilakukan karena pada tahap pertama dilakukan proses homogenisasi koagulan, sehingga koagulan dapat terdistribusi secara merata di dalam air limbah pencucian sayur. Pada tahap kedua (flokulasi), dimana kecepatan yang digunakan yaitu lebih rendah daripada tahap pertama. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan partikel-partikel padatan yang telah bergabung sehingga gumpalan partikel yang telah terbentuk tidak rusak atau hancur. Menurut Kusnaedi (1998), apabila pengadukan dilakukan secara cepat secara terus menerus, maka tidak akan terbentuk penyatuan koloid-koloid dalam limbah cair. Hal ini akan menyebabkan proses koagulasi tidak bisa berlangsung secara optimal. Proses koagulasi dan flokulasi terjadi pada unit pengaduk cepat dan pengaduk lambat. Pada bak pengaduk (beaker glass 1000 ml) cepat, dibubuhkan koagulan. Pada bak pengaduk (beaker glass 1000 ml) lambat, terjadi pembentukan flok yang berukuran besar hingga mudah diendapkan pada saat proses sedimentasi. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan selama praktikum, setelah penggunaan jar testing, air limbah didiamkan selama 30 menit dengan tujuan untuk mengendapkan partikel-partikel yang terbentuk karena proses koagulasi dan flokulasi.Pengadukan mekanis oleh jar tester adalah metode pengadukan menggunakan peralatan mekanis yang terdiri atas motor, poros pengaduk (shaft), dan alat pengaduk (impeller). Peralatan tersebut digerakkan dengan motor bertenaga listrik. Alat jar tester dan ilustrasi bagian dari jar tester dapat diamati pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Peralatan jar test (kiri) dan bagian peralatan jar test

Setelah proses koagulasi selesai, maka dilanjutkan dengan pemisahan secara fisik, yaitu antara endapan yang terbentuk dengan filtrat yang ada. Sampel yang telah mengalami koagulasi dengan metode jar test kemudian didiamkan selama 30 menit, agar pengendapan flokulan terjadi sempurna. Menurut Gintings (1992), pengendapan ini terjadi secara gravitasi yaitu dengan kekuatan gravitasi bumi yang ada secara alami. Selanjutnya, air limbah tersebut disaring menggunakan kertas saring. Proses penyaringan inilah yang melibatkan metode fisik dari sampel air limbah. Penyaringan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memastikan filtrat yang akan diolah pada tahap berikutnya benar-benar bebas dari endapan. Namun beberapa kelompok lainnya ada pula yang menyaring sebanyak 2 kali dengan kain saring dan kertas saring. Untuk memisahkan endapan yang ada secara lebih sempurna.

Menurut Mahida (1992), secondary treatment merupakan proses pengelolaan limbah yang berlangsung melalui proses biologis dengan maksud untuk menghilangkan senyawa organik melalui biokimia oksidasi. Pada aplikasi proses secondary treatment diperlukan suplai oksigen bagi pertumbuhan mikroorganisme sehingga dilakukanlah metode aerasi. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Sugiharto (1987), bahwa proses aerasi perlu dilakukan untuk mengambil zat pencemar yang terkandung dalam limbah cair, meningkatkan kandungan oksigen yang terlarut di dalam limbah cair dan juga untuk meningkatkan efektivitas pada tahapan selanjutnya. Sesuai dengan teori yang ada, dilakukan proses aerasi selama 30 menit menggunakan alat aerator. Prinsip dari aerasi ini adalah memberikan oksigen ke dalam limbah sehingga jasad renik yang ada di dalam limbah dapat menggunakan oksigen untuk pertumbuhannya (mikroorganisme aerobik). Mikroorganisme tersebut akan mengoksidasi bahan organik sehingga konsentrasi bahan organik dapat berkurang bahkan dapat dihilangkan. Sesuai dengan teori dari Sugiharto (1987) yang menyebutkan bahwa jasad renik yang ada di dalam air limbah akan menggunakan oksigen untuk mengoksidasi benda organik menjadi energi, bahan buangan lainnya serta gas.

Menurut Sugiharto (1987), penambahan oksigen dalam praktikum ini, dilakukan dengan cara memasukan pipa aerator yang dihubungkan dengan water pump secara langsung ke dalam air limbah, sehingga dapat menghasilkan gelembung-gelembung udara. Ketika nozzle diletakkan di tengah-tengah, maka kecepatan gelembung udara untuk kontak dengan air limbah akan meningkat, sehingga proses pemberian oksigen akan berjalan dengan cepat. Oleh karena itu biasanya nozzle diletakkan pada dasar bak aerasi. Dengan semakin banyaknya oksigen yang dimasukkan ke dalam air limbah maka semakin tinggi penggunaan oksigen oleh mikroorganisme untuk memecah bahan organik yang terdapat didalam limbah. Hal ini akan menyebabkan proses pemecahan bahan organik berjalan menjadi lebih cepat dan efektif.

Pada tahap selanjutnya, merupakan tahap tertiary treatment, proses yang dilakukan adalah proses adsorbsi, yaitu dengan penambahan adsorben pada sampel. Menurut Sugiharto (1987), adsorben merupakan zat yang memiliki kemampuan penyerapan atau pengikatan partikel kimia tertentu dan digunakan untuk mengabsorbsi. Proses adsorbsi sendiri merupakan proses pengumpulan benda-benda terlarut dalam larutan yang ada di antara dua permukaan, pada umumnya digunakan karbon aktif atau arang aktif sebagai adsorben. Dalam aplikasinya, karbon aktif yang digunakan berupa arang akan menarik partikel yang berada di dalam air limbah atau limbah cair. Bahan yang ditarik atau diserap disebut dengan adsorbate atau solute. Penyerapan dengan adsorben ini diharapkan dapat mengurangi bau menyengat serta warna keruh yang terdapat pada sampel berupa limbah cair pencucian sayur. Selain itu, menurut Sugiharto (1987) proses adsorbsi berperan penting sebagai proses penjernihan limbah cair, karena terjadi pengurangan kotoran berupa partikel, bahan organik, maupun benda/senyawa yang tidak dapat diuraikan (non-biodegradable) ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa.

Pada praktikum ini karbon aktif yang digunakan terdiri dari 2 bentuk yaitu bubuk dan butiran/granula. Penggunaan dua bentuk karbon aktif yang berbeda ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keefektifan penyerapan yang dilihat dari luas permukaan adsorben. Menurut teori oleh Sugiharto (1987), bahan penyerap yang berkualitas tinggi biasanya memiliki luas permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan bahan penyerap biasa. Peningkatan luas permukaan ini dilakukan melalui pembelahan bahan adsorben, dengan tujuan untuk memperoleh kemampuan pengikatan yang lebih sempurna. Pada tingkat tertiary treatment ini senyawa kimia anorganik yang akan dihilangkan berupa kalium, kalsium, sulfat fosfor, nitrat, dan senyawa organik. Karbon aktif bubuk memiliki ukuran diameter kurang dari atau sama dengan 325 mesh sedangkan karbon aktif butiran memiliki diameter yang lebih besar. Salah satu kelemahan penggunaan karbon aktif adalah dibutuhkannya unit tambahan pengolah lagi yaitu filtrasi. Ukuran partikel tidak terlalu mempengaruhi luas permukaan total tetapi pori-pori partikel yang akan mempengaruhi proses adsorbsi. Jadi berat yang sama dari karbon aktif serbuk dengan butiran mempunyai kapasitas yang sama. Struktur pori-pori karbon aktif mempengaruhi perbandingan antara luas pemukaan dan ukuran partikel (Fair et al., 1971). Berdasarkan pendapat dari Fair et al. (1971) maka antara karbon aktif bubuk dan butiran tidak akan memberikan perbedaan yang nyata jika digunakan dalam perbandingan jumlah yang sama.

Langkah kerja tahapan ini dimulai dengan menambahkan karbon aktif ke dalam sampel air limbah sebanyak 3 gram setiap 200 ml air limbah kemudian diaduk selama beberapa menit. Pengadukan ini dilakukan untuk meningkatkan proses kontak antara karbon aktif dengan air limbah, sehingga proses penyerapan senyawa organik oleh karbon aktif dapat lebih optimal. Selain itu, limbah cair yang dihasilkan juga dapat jernih dan tidak berbau. Karbon aktif yang telah menyerap partikel terlarut dan senyawa-senyawa lain akan mengendap. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyaringan kembali menggunakan kain saring dan kertas saring. Penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan karbon aktif, sehingga bau limbah benar-benar dapat berkurang dan air limbah yang diperoleh lebih bening.

Selain pengolahan yang telah disebutkan di atas, terdapat pula tahap pengolahan tambahan yaitu desinfeksi dan netralisasi. Menurut Volk & Wheeler (1993), tahap desinfeksi dilakukan dengan tujuan untuk mematikan mikroorganisme pathogen yang terdapat pada limbah cair sebagai pengendalian penyakit. Berbeda dengan proses netralisasi, netralisasi perlu dilakukan untuk memastikan pH sampel ketika dilepaskan ke lingkungan sehingga tidak membahayakan biota perairan tempat limbah tersebut dibuang (Sugiharto, 1987). Menurut Volk & Wheeler (1993), mekanisme kerja dari desinfektan adalah dengan merusak membran sel atau protein sel sehingga berakibat kematian atau mutasi pada sel organisme/mikroorganisme . Secara spesifik, banyak zat pembasmi kimia dapat mematikan bakteri dengan cara merusak atau menginaktifkan enzim utama hingga dinding sel mengalami kerusakan. Desinfektan atau zat kimia pembunuh yang digunakan pada praktikum ini adalah klorin. Klorin merupakan agen oksidator yang akan bereaksi dengan beberapa komponen organik pada air limbah. Penggunaan klorin sering untuk mengatasi bau yang muncul akibat dari limbah. Fungsi klorin dalam mengatasi limbah pertanian adalah untuk mereduksi konsentrasi bakteri. Proses klorinasi dapat menyebabkan kadar BOD menurun. Selain itu, komponen-komponen yang tereduksi dalam air limbah juga akan menurun karena adanya proses klorinasi (desinfeksi). Menurut Jenie & Rahayu (1993) efektivitas dari pemakaian klorin dapat ditentukan oleh jumlah, jenis, bentuk klorin yang digunakan, suhu, waktu kontak, dan jenis serta konsentrasi mikrobia. Setelah didesinfeksi, limbah didiamkan selama 1 malam lalu diambil bagian atasnya dan disaring kembali dengan kertas saring.Limbah cair pencucian sayur yang telah mengalami tertiary treatment ditambah dengan desinfektan berupa klorin sebanyak 10% dari limbah yang diperoleh masing-masing kelompok ( 84 gram untuk 840 ml air limbah). Kemudian setelah proses pengadukan selesai, dilakukan proses penyaringan dengan kain saring dan kertas saring dua kali penyaringan. Menurut Sugiharto (1987) ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam memilih bahan kimia sebagai desinfeksi diantaranya yaitu daya racun dari bahan kimia tersebut, waktu kontak yang diperlukan, efektivitas kerja, tinggi rendahnya dosis, tidak bersifat toksik bagi manusia dan hewan, dan memiliki ketahanan terhadap air, dan biaya murah untuk pemakaian yang bersifat massal. Ia juga menambahkan bahwa pembunuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri. Zat pembunuh kimia yang banyak akan menyebabkan enzim menjadi inaktif sehingga terjadi kerusakan dinding sel.

Proses netralisasi diperlukan agar pH air limbah sebelum dilepas atau dibuang ke badan air telah sesuai dengan BML (Baku Mutu Limbah) yang diterapkan oleh Menteri Lingkungan hidup Negara Indonesia, dimana pH untuk limbah domestik yang sesuai dengan BML adalah 69, sehingga pH air limbah setelah didesinfeksi harus dikondisikan pada range pH tersebut. Setelah melalui berbagai proses penanganan dan dilakukan penambahan klorin, biasanya pH air limbah menjadi sangat asam, sehingga perlu dilakukan penambahan basa atau asam untuk tetap menjada pH limbah berada dalam kondisi netral. Dalam praktikum dikarenakan limbah yang telah mengalami proses klorinasi memiliki pH yang cenderung asam maka ditambahkan basa berupa NaOH 5% hingga diperoleh pH netral atau mendekati netral. Menurut Gintings (1992), prinsip dari proses netralisasi adalah penambahan senyawa asam atau basa ke dalam air limbah sehingga pH air limbah menjadi mendekati 7. Proses netralisasi ini dilakukan karena diharapkan air yang akan dibuang ke dalam badan air selalu netral. Sebab jika pH air limbah yang akan dibuang asam atau basa, maka akan menggangu kehidupan dalam biota air.

Setelah dilakukan proses netralisasi, maka dilanjutkan dengan pengujian limbah hasil pengolahan baik secara fisikawi maupun kimiawi. Parameter yang diuji pada limbah tersebut adalah bau, warna, kekeruhan, suhu, analisa padatan (TS, TSS, dan TDS) yang merupakan parameter fisikawi. Kemudian uji pH, BOD, dan COD yang merupakan parameter kimiawi. Pengujian parameter akhir ini dilakukan untuk mengetahui apakah proses pengolahan limbah yang telah dilakukan tersebut efektif untuk menghasilkan limbah yang aman ketika dialirkan ke badan air yang berarti sesuai dengan Baku Mutu Air Limbah yang telah ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Negara Indonesia.2.1. Karakteristik Fisikawi4.1.1. Bau, Warna, Kekeruhan, SuhuLimbah pencucian sayur yang digunakan kelompok A1, A2 dan A3 memiliki karakteristik fisikawi yang hampir sama. Limbah pencucian sayur yang belum diberi perlakuan pengolahan ketiga kelompok sangat berbau, bening, dan agak keruh namun setelah diberi perlakuan pengolahan limbah masih tetap berbau meskipun sudah berkurang, terjadi perubahan warna menjadi kuning dan kekeruhan yang tetap. Bau yang menyengat dapat disebabkan oleh kegiatan mikroba yang menghasilkan gas tertentu dalam menguraikan zat organik limbah (Sugiharto, 1987). Hasil pengolahan tiap kelompok yang berbeda-beda tetap tidak mengurangi bau limbah mungkin karena aktivitas mikroba tertentu dalam limbah masih terus berjalan atau dikarenakan bau klorin yang terlalu menyengat. Jika dilihat dari segi kekeruhan, limbah cair pencucian sayur memiliki warna yang agak keruh. Tingkat kekeruhan limbah menunjukkan banyaknya padatan tersuspensi yang terdapat dalam limbah tersebut. Penjernihan limbah dilakukan dengan proses adsorbsi menggunakan karbon aktif yang dapat mengurangi bahan organik serta partikel yang mengotori limbah. Jika dilihat dari segi warna, limbah cair pencucian sayur memiliki warna bening. Pengolahan limbah yang telah dilakukan membuat warna limbah menjadi kuning. Perubahan warna dapat dikarenakan penggunaan klorin yang berlebihan.

Rata-rata suhu limbah pencucian sayur tiap kelompok adalah 29,5C dan setelah diberi treatment pengolahan masing-masing kelompok, cairan limbah mengalami peningkatan suhu rata-rata menjadi 34C untuk kelompok A1 serta 31C untuk kelompok A2 dan A3. Menurut Mahida (1992), suhu limbah yang dapat dibuang ke saluran umum seharusnya tidak boleh terlalu tinggi dan dalam hal ini limbah pencucian sayur belum memenuhi persyaratan tersebut dimana perlakuan treatment yang dilakukan belum berhasil menurunkan suhu limbah namun justru meningkatkan suhu limbah.

2.1.1. Analisa Padatan (Total Solid, Total Suspended Solid, Total Dissolved Solid) Analisa padatan dilakukan dengan pengujian terhadap padatan total (total solid/ TS) yang terkandung dalam limbah tersebut dimana analisa padatan total ini meliputi padat tersuspensi total (Total Suspended Solid/ TSS) dan padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/ TDS). Pengujian ini sesuai dengan Hammer & Hammer (1996) dan Sugiharto (1987), dimana dikatakan bahwa untuk menyatakan komponen-komponen padatan di dalam limbah, dapat diketahui adanya padatan total, padat tersuspensi total dan padatan terlarut total. Padatan total (total solid/ TS) merupakan residu yang tertinggal setelah proses evaporasi sampel dan pengeringan dalam oven pada suhu tertentu, dan padatan total ini meliputi padat tersuspensi total (Total Suspended Solid/ TSS) dan padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/ TDS). Analisa padatan terhadap limbah cair pencucian sayur ini perlu dilakukan karena meskipun limbah tersebut mengandung banyak air, tetapi padatan, baik padatan organik maupun anorganik juga banyak terkandung di dalam air limbah. Oleh karena itu padatan ini perlu dikurangi sebelum dibuang ke badan air. Pengukuran kandungan padatan ini dilakukan sebelum dan sesudah air limbah diolah untuk mengetahui efektivitas proses pengolahan yang telah dilakukan untuk pengurangan jumlah padatan tersebut.

Sebelum dilakukan proses analisa padatan ini mula-mula limbah pencucian sayur tersebut disaring menggunakan kain saring dan dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring. Penyaringan yang dilakukan ini sebanyak dua kali dengan menggunakan penyaring berbeda agar sebagian besar padatan dalam limbah pencucian sayur tersebut dapat dihilangkan. Hal ini didukung oleh Sugiharto (1987) bahwa dengan dilakukannya penyaringan menggunakan kain saring maka padatan berukuran besar akan tersaring. Sedangkan penyaringan yang dilakukan menggunakan kertas saring akan menghilangkan partikel yang berukuran kecil. Setelah proses penyaringan tersebut, maka dilanjutkan dengan proses koagulasi yang berfungsi untuk membantu proses penghilangan padatan dalam limbah pencucian sayur tersebut. Koagulan yang digunakan untuk limbah pencucian sayur ini adalah Ca(OH)2. Hal ini didukung dengan pendapat dari Kusnaedi (1998) yang mengatakan bahwa reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut. Adanya penggunaan bahan kimia ini maka dalam limbah tersebut akan terbentuk katalisator. Proses koagulasi sendiri terjadi karena adanya muatan listrik pada tiap partikel atau koloid tersebut. Muatan inilah yang menyebabkan koloid saling tolak menolak sehingga benda tersebut tidak menyatu menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap tetapi tetap dalam bentuk suspensi.2.1.1.1. Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solid/ TSS)Berdasarkan pendapat dari Jenie & Rahayu (1993) dikatakan bahwa padatan tersuspensi total merupakan residu yang tidak lolos saringan, ditetapkan dengan cara menyaring sejumlah air limbah melalui filter membran. Hal ini sesuai dengan percobaan yang telah dilakukan dimana untuk pengujian padatan tersuspensi ini diawali dengan proses penyaringan limbah pencucian sayur yang digunakan dalam praktikum ini. Setelah dilakukan proses penyaringan, kertas saring yang telah berisi padatan yang tidak lolos saringan dikeringkan menggunakan oven selama 24 jam pada suhu 103-105oC. Dengan proses pengeringan tersebut, maka didapatkan padatan tersuspensi total.

Berdasarkan hasil percobaan yang telah didapatkan, maka dapat dilihat bahwa nilai TSS yang didapatkan dari ketiga kelompok berbeda. Hal ini disebabkan karena proses penyaringan yang tidak sempurna. Penyebab lain terjadinya perbedaan nilai TSS ini adalah homogenitas dari sumber limbah yang berbeda. Jika sumber limbah berbeda maka padatan yang dihasilkan juga akan berbeda. Kemudian bahwa nilai padatan tersuspensi total yang dihasilkan juga justru mengalami peningkatan setelah dilakukan treatment terhadap limbah tersebut. Seharusnya limbah yang telah diberi treatment nilai padatan tersuspensi total akan menurun (Jenie & Rahayu, 1993) Penurunan tersebut terjadi karena setelah dilakukan perlakuan, maka kekeruhan akan menurun sehingga endapan pada limbah pencucian sayur tersebut akan semakin terlihat jelas. Kemudian dengan adanya proses koagulasi, adsorbsi, dan netralisasi maka pengendapan juga akan lebih mudah terjadi karena padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut akan bergabung menjadi satu sehingga berat jenisnya menjadi besar. Oleh karena itu hasil pengamatan nilai TSS belum sesuai dengan teori yang ada.

Terjadinya ketidaksesuaian dengan teori ini kemungkinan disebabkan karena kesalahan ketika melakukan penimbangan dan terlalu lamanya membiarkan kertas saring di udara terbuka sehingga uap air yang terdapat di lingkungan menjadi terserap dalam kertas saring tersebut dan menyebabkan peningkatan berat dari kertas saring. Kemudian dengan adanya penambahan berbagai bahan kimia dalam limbah pencucian sayur tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan padatan tersuspensi total karena bahan kimia yang digunakan juga dapat tertahan di kertas saring tersebut. Selain itu dalam percobaan yang telah dilakukan, penyaringannya kurang cermat sehingga ada sebagian padatan yang masih tedapat dalam limbah yang telah diberi treatment tersebut. Kemudian jika dibandingkan dengan Baku Mutu Limbah yang ditetapkan ternyata juga belum memenuhi standar dimana seharusnya adalah 100 mg/L sedangkan dari hasil pengamatan jauh lebih dari 100. Dari perbandingan ini, maka dapat dikatakan bahwa limbah pencucian sayur yang telah diberi treatment tersebut masih belum layak atau semakin tidak layak untuk dilepas ke lingkungan.

2.1.1.2. Total Padatan (Total Solid/ TS)Berdasarkan pendapat dari Hammer & Hammer (1996) dan Sugiharto (1987) dikatakan bahwa padatan total adalah residu yang tertinggal setelah proses evaporasi sampel dan pengeringan dalam oven pada suhu tertentu. Jumlah total endapan terdiri dari benda-benda yang mengendap, terlarut dan tercampur. Total padatan dapat dihitung dengan sejumlah volume tertentu yang diletakkan dalam cawan porselen. Hal ini didukung oleh Jenie & Rahayu (1993) bahwa untuk mendapatkan nilai padatan total tersebut maka dilakukan penyaringan air limbah melalui membran filter (tikar glass fiber) dalam cawan Gouch. Bobot kering dari padatan tersuspensi total dapat diperoleh setelah satu jam pengovenan dengan suhu 103-105C. Hal ini sesuai dengan percobaan yang telah dilakukan oleh praktikan dimana sebanyak 2 ml air limbah yang telah mengalami proses penyaringan diletakkan pada cawan porselen dan dioven selama 24 jam dengan suhu 103-105oC. Setelah dilakukan proses pengovenan, maka dilakukan pendinginan dalam desikator dan ditimbang hingga mendapatkan berat yang konstan. Fungsi desikator adalah wadah sebagai alat untuk mengeringkan suatu spesimen dan menjaganya dari kelembaban udara sekitar (Daintith, 1994).

Dari percobaan yang telah dilakukan oleh praktikan, maka didapatkan hasil dimana terdapat perbedaan nilai total padatan yang dari setiap kelompok meskipun ketiganya menggunakan limbah pencucian sayur. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sumber limbah tersebut berbeda sehingga kandungan padatan yang terdapat dalam limbah tersebut juga berbeda. Selain itu ada kemungkinan juga bahwa penyaringan yang dilakukan kurang sempurna sehingga nilai padatan total yang dihasilkan juga berbeda. Selanjutnya nilai padatan total yang didapat antara sebelum mengalami treatment dan sesudah treatment justru mengalami peningkatan. Dari hasil yang didapat ini tidak sesuai dengan teori dimana seharusnya dengan adanya treatment yang telah dilakukan maka total padatan yang dihasilkan juga akan semakin menurun akibat adanya proses penyaringan (Mahida, 1992). Kesalahan yang terjadi ini kemungkinan disebabkan karena sampel air limbah sebelum treatment, residu yang tertinggal setelah evaporasi hanya berasal dari partikel-partikel yang tersuspensi maupun terlarut dalam sampel sebelum treatment tersebut. Namun setelah dilakukan treatment kemungkinan total padatan yang dihasilkan juga berasal dari partikel-partikel yang berasal dari zat-zat yang ditambahkan dalam proses koagulasi, seperti Ca(OH)2 maupun karbon aktif dalam proses adsorbsi (Jenie & Rahayu, 1993). Selain itu kesalahan ini juga dapat disebabkan karena proses penyaringan yang kurang cermat pada proses treatment awal sehingga menyebabkan ada beberapa padatan yang seharusnya dapat tersaring justru lolos. Adanya penambahan padatan ini, maka padatan total yang dihasilkan juga akan mengalami peningkatan. Kemudian pada pengulangan uji padatan total yang kedua justru tidak dihasilkan padatan total sama sekali. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penimbangan berat dari cawan yang berisi padatan yang digunakan belum konstan.

2.1.1.3. Padatan Terlarut Total (Total Dissolved Solid/ TDS)Selanjutnya untuk analisa padatan ini dilakukan juga pengujian padatan terlarut total. Berdasarkan pendapat dari Jenie & Rahayu (1993) dikatakan bahwa padatan terlarut total, atau residu yang dapat disaring, ditetapkan dengan berat contoh yang telah disaring dan diuapkan atau sebagai perbedaan antara berat residu setelah penguapan dan berat padatan tersuspensi total. Ditambahkan juga oleh Sastrawijaya (1991) padatan terlarut total mencerminkan jumlah kepekatan dalam suatu contoh air, juga dinyatakan dalam mg per liter atau dalam bagian juta. Nilai padatan terlarut total dapat diketahui dari selisih nilai TS dengan TSS.

Berdasarkan data yang telah didapatkan dari percobaan ini maka dapat dilihat bahwa nilai TDS yang didapat antara kelompok A1, A2, dan A3 berbeda. Hal ini disebabkan karena dari awal nilai TSS dan TS yang didapatkan oleh tiap kelompok sudah berbeda. Kemudian jika diperhatikan maka dapat dilihat juga bahwa setelah dilakukan treatment nilai TDS juga mengalami peningkatan. Hal ini juga tidak sesuai dengan teori yang telah didapat dimana seharusnya setelah dilakukan treatment maka nilai TDS juga akan mengalami penurunan. Kesalahan ini kemungkinan disebabkan karena treatment yang dilakukan pada limbah pencucian sayur tersebut belum sempurna sehingga limbah tersebut juga belum aman untuk dilepas ke badan perairan. Peningkatan nilai TDS ini juga disebabkan karena nilai TS dan TSS yang telah didapat sebelumnya juga mengalami peningkatan sehingga berpengaruh pada nilai TDS yang dihasilkan.Menurut Tchobanoglous (1981), terjadinya peningkatan nilai setelah pengolahan/treatment ini disebabkan karena pada saat treatment dilakukan penambahan bahan koagulan Ca(OH)2 yang dapat menyebabkan partikel-partikel yang tersuspensi dalam air limbah menjadi semakin besar ukurannya. Hal ini mempengaruhi konsentrasi padatan dalam limbah sehingga saat proses penyaringan partikel pada uji TSS akan tertinggal di kertas saring atau yang terdapat pada cawan porselen saat uji TS. Umumnya, oksidasi biologi atau koagulasi, yang diikuti dengan pengendapan, diperlukan untuk memisahkan partikel tersebut. Hal tersebut menurut Jenie & Rahayu (1993) juga dapat disebabkan karena pada sampel air limbah awal, residu yang tertinggal setelah penguapan dengan pengovenan hanya berasal dari partikel-partikel yang tersuspensi ataupun yang terlarut dalam sampel awal. Sedangkan setelah koagulasi, total padatan (TS) tidak hanya berasal dari partikel-partikel yang tersuspensi dan terlarut dalam sampel awal melainkan juga partikel-partikel yang berasal dari zat-zat yang ditambahkan dalam proses koagulasi, seperti Ca(OH)2 yang berfungsi sebagai koagulan. Dengan adanya penambahan Ca(OH)2, jumlah padatan dalam sampel limbah meningkat sehingga nilai TS setelah koagulasi lebih besar daripada sebelumnya. Peningkatan nilai TS ini akan menyebabkan peningkatan nilai TSS dan TDS. Teori ini sesuai dengan hasil percobaan yang kami peroleh, yaitu terjadi peningkatan nilai TSS dan TDS. Kandungan TS, TSS, TDS pada tiap kelompok berbeda-beda, hal ini dapat disebabkan karena penggunaan karbon aktif dalam bentuk serbuk yang digunakan oleh beberapa kelompok sehingga dapat meningkatkan luas permukaan. Jadi disimpulkan bahwa semakin luas permukaan karbon aktif atau pori-pori dari karbon aktif, semakin efektif pula daya serapnya.

2.2. Karakteristik Kimiawi4.2.1. pH (Derajat Keasaman)Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mahida (1992), derajat keasaman atau pH dinyatakan sebagai intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Hal tersebut membuat ion hidrogen yang terlarut dalam air dapat menentukan nilai keasaman dari limbah cair. Dalam proses pemisahan molekul-molekul larutan selalu terdapat hidrogen bebas dan ion hidroksil yang mengakibatkan larutan menjadi asam atau basa jika terdapat kelebihan satu molekul tersebut. Teori Mahida (1992) juga menyatakan bahwa keasaman bernilai 1 sampai 14 sedangkan konsentrasi air normal tingkat keasamannya berkisar antara pH 6,5-8,5. Jika pH kurang dari 5 atau lebih dari 10, maka proses aerobik biologis akan mengalami gangguan. Larutan-larutan limbah diatur dalam keadaan netral yaitu berkisar antara pH 6 9.

Suhardi (1991) mengatakan kandungan ion H dalam larutan diukur dengan menggunakan pH meter yang terdiri atas alat penera dan dua buah elektroda. Setelah itu, pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga listrik sehingga terdapat rantai tertutup. Sehingga, ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besarnya kadar ion hidrogen. Hal tersebut membuat ion hidrogen yang terlarut dalam air dapat menentukan nilai keasaman dari limbah cair. Tingkat keasaman yang tinggi pada air karena oleh adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida. Hal tersebut dapat membahayakan kehidupan yang ada dalam biota air. Sedangkan sifat basa pada limbah disebabkan oleh buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida (Hammer & Hammer, 1996).

Pada limbah cair pencucian sayur sebelum dilakukan treatment pada kelompok A1-A3 memiliki nilai rata-rata pH yang mendekati netral yaitu 6,145 dan setelah limbah tersebut ditreatment memiliki pH yang netral yaitu 7,01 (Kelompok A1) dan 7,00 (Kelompok A2 dan A3). Hal ini dapat terjadi karena setelah limbah ditreatment, limbah tersebut telah mengalami proses netralisasi. pH limbah akhir yang dihasilkan telah sesuai dengan baku mutu limbah yaitu masih berada diantara pH 6-9. Walaupun masih masuk dalam range pH akhir baku mutu yang harus dipenuhi, namun pH tidak netral secara mutlak yaitu 7 tetapi angka yang dihasilkan yaitu 7,01 pada kelompok A1 hal ini mungkin dikarenakan penambahan NaOH yang kurang sempurna atau berlebihan dengan kata lain proses netralisasi kurang sempurna. Prinsip dari proses netralisasi yaitu penambahan senyawa asam atau basa ke dalam air limbah sehingga pH air limbah menjadi mendekati 7. Proses netralisasi ini dilakukan karena diharapkan air yang akan dibuang ke dalam badan air selalu netral supaya tidak membuat kehidupan dalam air terancam (Mahida, 1992). Berdasarkan teori yang ada Kelompok A2 dan Kelompok A3 telah melakukan netralisasi secara sempurna sehingga menghasilkan pH akhir yang netral.

2.2.1. Chemical Oxygen Demand (COD)Dalam pengujian limbah cair pencucian sayur ini juga dilakukan uji Chemical Oxygen Demand (COD). COD atau Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) menurut Suhardi (1991) adalah jumlah oksigen dalam ppm atau mg/L yang dibutuhkan untuk menguraikan benda organik secara kimiawi. Sehingga pengukuran dengan COD dipakai untuk mengklasifikasikan kekuatan organik dari air limbah dan tingkat pencemaran pada air bersih dengan cara mengukur jumlah oksigen yang diperlukan untuk oksidasi kimia senyawa-senyawa organik dalam sampel limbah (Hammer & Hammer, 1996). Penguraian benda organik tersebut dilakukan melalui oksidasi dengan memakai agen oksidasi kuat dalam suasana asam. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Suhardi (1991), prosedur uji ini dilakukan dengan menggunakan larutan kalium dikromat standar yang diketahui jumlahnya, reagen asam sulfat yang mengandung senyawa perak sulfat dan sampel limbah dalam volume tertentu ke dalam suatu wadah yang sama.

Dalam pengujian parameter COD ini hal yang pertama dilakukan yaitu mengambil 10 ml sampel air limbah pencucian sayur kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, selanjutnya diencerkan dengan aquades hingga batas tera. Setelah melalui proses pengenceran tersebut, diambil lagi 10 ml dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Setelah itu, ditambah dengan 1 ml HgSO4 pekat dan 20 ml K2Cr2O7. Menurut teori yang dikemukakan oleh Suhardi (1991), kalium dikromat merupakan suatu campuran yang relatif mudah yang dapat diperoleh dalam keadaan yang sangat murni serta merupakan oksidator kuat. Menurut pendapat dari Jenie & Rahayu (1993) penambahannya dapat mengakibatkan terjadinya reaksi reduksi dan oksidasi sehingga menghasilkan oksigen bebas yang nantinya diukur dengan titrasi iod. Reaksi reduksi dan oksidasi dapat berlangsung optimal dalam kondisi asam (Suhardi, 1991). Selain itu, katalis perak sulfat dan merkuri sulfat yang digunakan untuk mengatasi gangguan klorida dan menjamin oksidasi senyawa-senyawa benzena dan ammonia. KMnO4 atau K2Cr2O7 digunakan sebagai zat pengoksidasi. Nilai COD yang tinggi mengartikan bahwa adanya pencemaran air oleh senyawa-senyawa organik yang dapat berasal dari berbagai sumber.

Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu tahap pemanasan. Larutan dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100C. Sementara itu, tujuan pemanasan pada suhu 100oC selama 10 menit adalah untuk mempercepat reaksi kimia. Hal ini dikarekan proses pemanasan dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia, karena pada suhu tinggi energi kinetik masing-masing molekul dari kedua senyawa yang bereaksi akan membesar sehingga mengakibatkan terjadinya tumbukan atau reaksi dari kedua molekul tersebut yang semakin besar, sehingga senyawa akhir reaksi akan semakin cepat terbentuk (Suhardi, 1991). Setelah dipanaskan, selanjutnya larutan diambil 10 ml larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambah dengan kalium iodida (KI) 10 % sebanyak 1,5 ml. Tujuan penambahan KI 10 % menurut Suhardi (1991) adalah agar terjadi reaksi antara ion K dengan oksigen yang dibebaskan dari reaksi oksidasi di atas (On). Reaksi tersebut akan menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen dengan jumlah On yang membebaskannya. Selanjutnya dilakukan penambahan amilum sebanyak 2 ml sebagai indikator yang bertujuan untuk menentukan titik akhir titrasi, di mana titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya warna biru bening. Tujuan titrasi menggunakan Na2S2O3 0,1 N yaitu untuk menentukan banyaknya ion iodida yang dibebaskan pada tahap sebelumnya (pada penambahan KI 10 %). Setelah ion iodida bebas, maka ion iodida tersebut bereaksi dengan amilum. Selanjutnya, ion iodida tersebut ditangkap oleh Na2S2O3 0,1 N. Volume Na2S2O3 0,1 N yang dibutuhkan untuk titrasi akan menunjukkan jumlah iod yang bebas dan nilai tersebut sebanding dengan jumlah oksigen yang ada dalam limbah. Sehingga hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa jumlah volume Na-tiosulfat yang dibutuhkan untuk menangkap semua iod sama dengan dengan jumlah iod yang bebas dan sebanding dengan jumlah On atau oksigen yang terkandung dalam limbah (Suhardi, 1991).

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok A1, A2, dan A3 rata-rata mengalami peningkatan setelah melalui treatment. Pada kelompok A1 sebelum treatment nilai COD limbah cair pencucian sayur yaitu 760 mg/L menjadi 6400 mg/L setelah melalui treatment. Pada kelompok A2 sebelum treatment nilai COD limbah cair pencucian sayur yaitu 520 mg/L menjadi 32480 mg/L setelah melalui treatment. Pada kelompok A3 sebelum treatment nilai COD limbah cair pencucian sayur yaitu 520 mg/L menjadi 920 mg/L setelah melalui treatment. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka dapat dikatakan bahwa treatment yang dilakukan belum dapat mengurangi senyawa pencemar (senyawa organik) hal ini ditunjukkan dengan peningkatan nilai COD. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada (Suhardi, 1991) dimana seharusnya pengolahan limbah sebenarnya bertujuan untuk mengurangi senyawa pencemar yang berada di dalam air limbah. Jika nilai COD tinggi maka semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa-senyawa organik yang ada di dalam limbah dengan kata lain bahwa air limbah setelah treatment justru mengandung senyawa organik yang lebih tinggi.

Pada ketiga kelompok nilai COD mengalami peningkatan, sehingga nilai setelah treatment lebih kbesar daripada sebelum treatment. Sehingga jumlah oksigen yang ada dalam limbah tersebut meningkat. Nilai COD memperlihatkan jumlah oksigen yang digunakan untuk menguraikan bahan organik secara kimia. Peningkatan kandungan COD ini menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen untuk menguraikan bahan organik dalam limbah tinggi. Kebutuhan oksigen yang tinggi ini memperlihatkan bahan organik yang terkandung dalam limbah tinggi. Sehingga dengan adanya peningkatan nilai COD setelah treatment menunjukkan bahwa jumlah bahan organik yang terkandung dalam limbah juga tinggi. Hal ini sesuai dengan