laporan praktikum limbah d5_teknologi pangan_unika soegijapranata

Upload: praktikumlimbah2014

Post on 09-Oct-2015

39 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Pada praktikum Pengelolaan Limbah kali ini, limbah yang digunakan adalah limbah cair dari perendaman tahu dan dilakukan beberapa treatment.

TRANSCRIPT

42

1. DESKRIPSI LIMBAH1.1. Data Sampel Limbah

1.1.1. Jenis Limbah

Jenis limbah yang digunakan untuk uji utama sama dengan uji pendahuluan, yaittu limbah cair yang berasal dari air rendaman tahu.

1.1.2. Waktu pengambilan

Pengambilan limbah cair untuk uji utama tersebut dilakukan pada hari Rabu tanggal 10 september 2014 tepatnya pada pukul 11.00 WIB.1.1.3. Tempat pengambilan limbah

Limbah cair ntuk uji utama uyang digunakan diambil dari tempat yang sama seperti uji pendahuluan yaitu tahu pong Pak Wono, Karangrejo Semarang.1.1.4. Debit limbah per hari

Debit limbah yang dibuang adalah sekitar ( 500 1500 liter per hari.

1.1.5. Foto Dokumentasi

(Terlampir)1.2. Karakteristik Limbah

1.2.1. Karakteristik UmumLimbah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alami dan atau belum mempunyai nilai ekonomi. Limbah yang dihasilkan suatu usaha dapat digolongkan menurut sifatnya fisiknya yang meliputi limbah cair, limbah padat, dan limbah gas (Otto, 1986). Limbah industri pangan merupakan limbah yang berbeban rendah dengan volume cairan tinggi. Zat-zat yang terdapat dalam air limbah dapat dikelompokkan menjadi 99,9% air limbah dan 0,1% bahan padat. Bahan padat tersebut dibagi menjadi dua, yaitu organik dan anorganik. Bahan padat organik dibedakan menjadi 65% protein, 25% karbohidrat, dan 10% lemak. Sedangkan bahan padat anorganik terdiri dari butiran, garam, dan metal (Sugiharto, 1987). Selain itu menurut Jenie & Rahayu (1993), limbah cair dari pengolahan pangan pada umumnya mengandung nitrogen yang rendah, BOD dan padatan tersuspensi tinggi, serta berlangsung dengan proses dekomposisi yang cepat. Limbah cair segar mempunyai pH mendekati netral dan selama penyimpanan pH menjadi turun. Komponen limbah cair dari industri pangan sebagian besar adalah bahan organik. Kandungan bahan organiknya yang tinggi dapat berfungsi sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Secara garis besar, limbah cair terdiri dari air (99,9%) dan bahan padat (0,1%). Dalam bentuk cair dan padat ini terdapat bahan organik, yaitu protein (65%), karbohidrat (25%), lemak (10%) dan bahan anorganik, yaitu butiran garam dan metal (Sugiharto, 1987).

Tahu merupakan salah satu jenis makanan yang dibuat dari kedelai yang tersusun dari komponen komponen yang berupa: protein berkisar 40-60%, karbohidrat berkisar 25-50%, lemak berkisar 8-12%, dan sisanya berupa kalsium, besi, fosfor, dan vitamin. Protein merupakan komponen yang dominan di dalam tahu. Protein adalah senyawa organik yang mengandung atom karbon, hidrogen, oksida, dan nitrogen (Ratnani, 2011). Menurut Sugiharto (1987), air limbah yang sudah tercemar dapat diidentifikasi berdasarkan dari kekeruhan, air, warna, bau yang ditimbulkan, rasa dan juga indikasi lainnya. Mahida (1992) mengungkapkan bahwa terdapat syarat limbah yang dapat dibuang ke saluran umum, yaitu : Temperaturnya tidak boleh terlalu tinggi, dimana pada umumnya dibatasi 100-110F, karena limbah yang panas dapat merusak beton dan logam dalam saluran/pipa pembuanngan.

Konsentrasi zat berlemak dalam limbah pada umumya maksimal 100 mg/l atau kurang.

Tidak terdapat kandungan gas-gas beracun, berbau, menghasilkan bau keras, serta tidak mengandung gas yang mudah terbakar/meledak.

Limbah tidak boleh bersifat asam/basa keras, dimana pH yang baik berkisar antara pH 5,5 dan pH 9.

Memiliki ukuran seragam dari kecepatan hidrolisis dan komposisi limbah.

Tidak terdapat kandungan zat padat yang dapat mengendap dan berdaya berat spesifik tinggi (misalnya pasir dan silikon, wol, rambut, kain dan bahan kasar lainnya).

Terdapat beberapa tingkatan dalam proses pengolahan air limbah menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), yaitu :

a. Pre-treatmentPada tingkatan ini padatan dapat berupa lumpur, sisa kain, potongan kayu, pasir, sisa pembersihan daging dan lainnya. Pada umumnya, bahan tersebut dapat dengan mudah diidentifikasikan sebab dengan mata dapat terlihat dengan mudah pada air yang kotor. Sedangkan bahan lain yaitu lapisan minyak atau lemak pada permukaan air. Pada proses pengolahan pre-treatment biasanya digunakan saringan yang agak kasar, akan tetapi dipilih yang tidak mudah berkarat. Saringan ini diperiksa secara berkala untuk mengambil bahan yang tertinggal di saringan (residu) sehingga tidak memperlambat aliran air. Pengolahan tingkat pre-treatment akan berpengaruh pada hasil pengolahan tingkat primer.b. Primary Treatment Padatan yang halus, zat pewarna yang larut maupun tersuspensi dimana zat-zat tersebut tidak terjaring pada penyaringan awal perlu dihilangkan untuk memudahkan proses pengolahan selanjutnya. Biasanya primary treatment dilakukan dengan dua metode, yaitu metode pengolahan secara fisik dan metode pengolahan secara kimia. Pengolahan secara fisik merupakan pengendapan yang terjadi secara gravitasi, sedangkan proses pengolahan secara kimia yaitu dengan cara mengendapkan bahan padatan dengan penambahan bahan kimia. Adanya reaksi antara bahan pengendap dengan senyawa kimia dapat mengakibatkan bahan butiran bertambah besar sehingga berat jenisnya lebih besar dibandingkan air. Akan tetapi tidak semua reaksi dapat berjalan dengan sempurna, maka dari itu untuk bahan tertentu semacam senyawa kimia organik tidak akan dapat mengendap. Proses pengendapan terjadi apabila senyawa pencemar limbah terdiri dari bahan-bahan organik seperti aluminium, besi, timbal, nikel, dan sebagainya. Penambahan bahan pengendap akan mengakibatkan terjadinya perubahan alkalinitas air. Buangan air yang diinginkan dalam badan air selalu netral, maka dari itu perlu dilakukan netralisasi sesuai dengan tingkat keasaman yang diinginkan. Pengolahan secara fisika dimungkinkan bagi bahan kasar yang telah diolah dengan proses pengendapan atau pengapungan. Proses pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia) dengan penyediaan kolam ukuran tertentu sementara air mengalir dan kemudian partikel-partikel akan mengendap. Keberhasilan dari proses pengendapan tergantung dari ukuran partikel, konsentrasi padatan, berat jenis partikel, temperatur air limbah, retention time dan juga banyaknya udara yang kontak dengan air limbah. Primary treatment dapat menghilangkan sekitar 40 % BOD dan 75 % total solid, tergantung dari bahan alami pada limbah (Potter, 1987). c. Secondary TreatmentSecondary treatment dapat dilakukan dengan reduksi bahan organik pada limbah dengan menggunakan mikroorganisme yang terdapat di dalam limbah cair itu sendiri (Jenie & Rahayu, 1993). Pada dasarnya, secondary treatment melibatkan proses biologis, bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan organik melalui proses oksidasi biokimia. Proses biologis ini banyak menggunakan reaktor lumpur aktif dan trickling filter. Sistem lumpur aktif merupakan salah satu jenis pengolahan biologis, di mana mikroorganisme akan berada dalam pertumbuhan tersuspensi. Prosesnya bersifat aerobik, yaitu perlu oksigen untuk reaksi biologinya. Kebutuhan oksigen dapat terpenuhi dengan cara mengalirkan udara/oksigen murni ke dalam reaktor biologi, sehingga cairan di dalam reaktor dapat melarutkan oksigen > 2 mg/L. Jumlah ini merupakan kebutuhan minimum yang diperlukan mikroba di dalam lumpur aktif (Ratnani, 2011). Dalam proses lumpur aktif, air buangan akan masuk ke dalam tangki aerasi, tempat mikroorgansime mengkonsumsi buangan organis dan akan membentuk sel-sel baru. Hasilnya adalah akan muncul endapan pada bagian dasar bak. Bagian yang tebal pada dasar kemudian diambil kembali yang merupakan biomasa mikroorganisme dalam lumpur aktif (Gintings, 1992).

d.Tertiary TreatmentMenurut Arpah (1993), pada tingkat lanjutan (tertiary treatment) ini terutama digunakan untuk menghilangkan senyawa-senyawa kimia anorganik (seperti kalsium, kalium, fosfor, sulfat, nitrat) serta senyawa organik. Terjadinya proses fisika, kima dan biologis pada pengolahan tingkat lanjut ini antara lain filtrasi atau penyaringan, destilasi, pengapungan atau floating, pembekuan, striping, dan sebagainya. Dimana proses kimia meliputi penyerapan atau adsorbsi karbon aktif, pengendapan dengan bahan kimia, pertukaran ion, elektrokimia, oksidasi dan reduksi. Sedangkan proses biologis yaitu dengan proses penelitian bakteri dan nitrifikasi ganggang. d. DesinfeksiTujuan dilakukannya desinfeksi adalah untuk menghilangkan atau minimal menurunkan mikrobia patogen pada limbah pangan. Volk & Wheeler (1993) menyatakan bahwa desinfeksi merupakan proses penting dalam pengendalian penyakit, dikarenakan tujuannya adalah perusakan agen-agen patogen. Mekanisme kerja dari desinfektan dilakukan dengan cara merusak protein sel, membran sel ataupun pada gen yang khas sehingga dapat berakibat kematian atau mutasi. Sedangkan menurut Sugiharto (1987), mekanisme pembunuhan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi zat pembunuh dan mikroorganisme itu sendiri. Banyaknya zat pembunuh kimia termasuk klorin dan komponennya yang mematikan bakteri dapat menginaktifkan enzim utama, sehingga dapat terjadi kerusakan pada dinding sel mikroorganisme seperti yang dilakukan apabila digunakan radiasi atau panas.e. Pengolahan LanjutanDari setiap tahap pada pengolahan air limbah maka hasilnya merupakan lumpur dimana lumpur tersebut perlu diadakan pengolahan khusus. Hal tersebut bertujuan agar lumpur yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali dalam keperluan yang bermanfaat yaitu seperti untuk penimbunan pupuk, membuat kolam, dan pengisian tanah yang cekung (land filling). Perlakuan terhadap air limbah dengan cara fisika, dapat melalui proses pengolahan secara mekanis dengan atau tanpa penambahan bahan kimia yang meliputi penyaringan, penghancuran, perataan air, pencampuran, penggumpalan, pengendapan, pengapungan dan juga penapisan. PenyaringanTujuan dari penyaringan adalah untuk pemisahan padatan tidak larut dan juga bahan kasar lainnya yang biasanya memiliki ukuran yang cukup besar, sehingga padatan tersebut tertahan dan filtratnya turun. Bahan penyaring yang sering digunakan adalah kawat stainless steel berupa anyaman, plat karbon (ukuran kasar, sedang dan halus), kain polyster serta kawat tembaga (Gintings, 1992).

PenggumpalanDalam air terdapat partikelpartikel yang larut dan juga partikel yang tidak larut. Partikel yang tidak larut akan mengambang dalam air ataupun membentuk endapan di dasar wadah. Dengan adanya penambahan zat kimia tertentu maka partikel ini akan bereaksi membentuk partikel yang berukuran besar atau menggumpal dan karena beratnya sendiri akan mengendap. Bahan kimia yang digunakan untuk penggumpalan adalah aluminium sulfat atau ferro sulfat. Sedangkan untuk mempercepat reaksi maka digunakan bantuan pengaduk dengan kecepatan yang diatur (Gintings, 1992).

Menurut Kusnaedi (1998), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi koagulasi, yaitu : Efek pH

Pada setiap jenis air terdapat sedikitnya satu range pH yang tepat untuk koagulasi dan flokulasi dalam waktu singkat dengan dosis yang diberikan, dengan dilaksanakan dalam zona optimum.

Efek garam

Pengaruh garam pada proses koagulasi yaitu dapat merubah rentang pH untuk koagulasi, waktu flokulasi, dosis koagulan optimum, dan juga sisa koagulan dalam air setelah dilakukan pengolahan. Efek pengadukan

Pengadukan yang cepat dibutuhkan pada penambahan koagulan agar distribusi koagulan lebih merata. Pada tahap kedua pengadukan bertujuan untuk proses koagulasi dengan kecepatan rendah sehingga menghasilkan kesatuan dari koloid-koloid yang tidak stabil.

Oksigen terlarut diperlukan dalam respirasi mikroorganisme aerob dan mikroorganisme aerob lainnya. Bagaimanapun juga oksigen hanya dapat sedikit larut di dalam air. Keberadaan oksigen terlarut dalam air limbah sangat diperlukan dalam mencegah terbentuknya bau yang tidak diinginkan (Tchobanoglous, 1981). Tujuan dilakukannya aerasi adalah untuk meningkatkan kandungan O2 yang terlarut, meningkatkan efektivitas proses selanjutnya dan juga memperkecil BOD dan COD, selain itu juga menghilangkan bahan organik. Aerasi juga diperlukan untuk memperbanyak mikroba yang memiliki sifat aerobik yang akan digunakan untuk mencerna air limbah (Sugiharto, 1987).

Suhardi (1991) mengungkapkan bahwa buangan limbah cair yang diinginkan dalam badan air selalu netral, maka dari itu perlu dilakukan netralisasi sesuai dengan tingkat keasaman yang dikehendaki. Volk & Wheeler (1993) menambahkan bahwa konsentrasi air limbah normal memiliki tingkat keasaman yang berkisar antara 6,5 8,5. Maka dari itu, air yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi akan dapat mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam. Oleh karenanya, netralisasi pH juga dilakukan untuk menghindari ancaman pada lingkungan sekitar.

1.2.2. Karakteristik Fisikawi

Menurut Utomo (1998), limbah memiliki karakteristik fisikawi yang dapat diamati secara langsung dengan alat indera manusia, dimana penentuan derajat kekotoran dari limbah cair dipengaruhi oleh adanya sifat fisik yang terlihat. Sifat fisik limbah cair sendiri meliputi adanya kandungan zat padat, suhu, kekeruhan, warna dan bau. Sugiharto (1987) juga menambahkan kandungan zat padat berhubungan dengan jumlah padatan total, karakteristik dari padatan tersuspensi, dan karakteristik pengendapan dari padatan itu sendiri.

Warna

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa limbah yang berasal dari rumah perendaman tahu adalah kuning kecoklatan. Warna limbah tersebut dapat menunjukkan kualitas dari limbah itu sendiri dikarenakan memberikan petunjuk jumlah benda yang tersuspensi dan juga terlarut. Warna yang dihasilkan dari limbah cair ini tidak dapat digunakan untuk penentuan apakah limbah berbahaya atau tidak (Jenie & Rahayu, 1993). Sastrawijaya (1991) menambahkan bahwa warna dari air limbah cair dapat dapat menunjukan rusak tidaknya suatu limbah, dimana apabila air limbah tersebut berwarna gelap berarti limbah tersebut telah membusuk. Penentuan dari limbah cair dapat menggunakan komparator warna dan juga skala standar. Selain itu, Suhardi (1991) juga mengatakan bahwa bahaya atau tidaknya suatu limbah dapat dilihat dari warna limbah, dimana limbah yang berwarna hitam memiliki kandungan Pb yang tinggi, sedangkan limbah yang berwarna kuning memiliki kandungan Fe yang tinggi dan limbah yang berwarna biru memiliki kandungan Cu yang tinggi.

Kekeruhan

Kekeruhan dapat menjadi standar dari karakteristik fisik suatu limbah, dimana suatu tingkat kekeruhan yang sebenarnya dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Limbah yang masih keruh, harus dijernihkan terlebih dahulu dengan cara pengendapan padatan, kemudian diukur kembali dengan spektrofotometer (Suhardi, 1991). Menurut Sugiharto (1987), kekeruhan disebabkan oleh adanya benda-benda yang tercampur atau adanya benda koloid di dalam air. Jenie & Rahayu (1993) mengatakan bahwa dengan mengetahui dan melihat tingkat kekeruhan suatu limbah cair, maka akan dapat mengetahui apakah padatan organik atau anorganik banyak atau tidak dalam limbah cair tersebut. Gintings (1992) menambahkan bahwa kekeruhan limbah cair terjadi dikarenakan adanya penguraian zat tertentu seperti bahan organik, jasad renik, lumpur, tanah liat serta benda-benda lainnya yang melayang atau terapung yang bentuknya sangat halus sekali.

Proses penyerapan (adsorbsi) merupakan proses mengumpulkan benda-benda yang terlarut yang terdapat pada larutan diantara dua permukaan. Banyaknya bahan padat digunakan sebagai bahan penyerap untuk mengurangi tingkat kekeruhan suatu cairan. Bahan penyerap dengan harga yang mahal pada umumnya memiliki luas permukaan yang lebih luas setiap unitnya, dimana peningkatan dari luas permukaan dilakukan melalui pembelahan bahan adsorbent. Proses penyerapan juga berfungsi sebagai penjernihan limbah cair. Penjernihan air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor seperti bahan organik, partikel dan benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) dan juga gabungan antara bau, rasa dan warna. Karbon aktif alamiah merupakan padataan yang biasanya berbentuk butiran karbon maupun bubuk karbon yang digunakan untuk pengolahan air limbah dan setelah dipergunakan dapat diaktifkan kembali. Karbon aktif mempunyai daya serap yang baik karena memiliki luas permukaan yang besar, dan dapat mengikat benda-benda organik dan partikel-partikel lain dengan baik (Sugiharto, 1987). Menurut Melita dan Tuti (2003), karbon aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu:

1. Karbon aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk powder yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000 Armstrong. Karbon aktif berbentuk powder biasanya digunakan dalam fase cair dan berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan serta membebaskan pelarut dari zat-zat penganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia dan industri baru.

2. Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 Armstorng. Karbon aktif berbentuk granular memiliki tipe pori lebih halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas.

Selain itu, karbon aktif bubuk menunjukkan kemampuan lebih tinggi dalam mereduksi logam terlarut. Perbedaan jenis karbon aktif ini berimplikasi pada perbedaan luas pemukaan aktif karbon aktif, yang mana keduanya mempengaruhi laju difusi logam berat terlarut ke dalam pusat karbon aktif (Suprihatin dan Indrasti, 2010). Bau

Gintings (1992) mengungkapkan bahwa bau dari limbah dapat menunjukkan bahwa limbah tersebut masih baru ataukah sudah mengalami proses pembusukkan dikarenakan penyimpanan. Selama penyimpanan, bau busuk dapat saja muncul dikarenakan adanya pembusukan maupun kerusakan protein, campuran nitrogen, sulfur dan fosfor atau bahan organik lainnya pada limbah. Bau tersebut timbul dikarenakan adanya kegiatan mikroorganisme yang menguraikan zat organik sehingga menghasilkan gas tertentu. Selain itu, timbulnya bau juga dapat dikarenakan oleh terjadinya reaksi kimia yang menghasilkan gas. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah tergantung dari banyak dan juga jenis gas yang ditimbulkan. Apabila limbah memiliki bau yang sangat menyengat, maka dipastikan limbah tersebut banyak mengandung bahan organik. Bau pada limbah itu sendiri disebabkan oleh adanya proses degradasi bahan organik oleh suatu mikroorganisme. (Suhardi, 1991). Bau busuk pada air buangan industri tahu disebabkan adanya proses pemecahan protein yang mengandung sulfur atau sulfat tinggi oleh mikroba alam. Padatan yang terlarut dan tersuspensi dalam air limbah pabrik tahu menyebabkan air keruh. Zat yang menyebabkan air keruh adalah zat organik atau zat- zat tersuspensi dari tahu atau kedelai yang tercecer sehingga air limbah berubah menjadi seperti emulsi keruh. (Ratnani, 2011).

Temperatur

Dari hasil pengukuran suhu dengan menggunakan termometer, maka diketahui bahwa suhu limbah dari RPH tahu adalah 49C. Temperatur berperan penting dalam penentuan kehidupan air dan dapat mempengaruhi tingkat oksigen terlarut (Jenie & Rahayu, 1993). Mahida (1992) menambahkan bahwa pada suhu tinggi, yaitu ( 60C maka akan menunjukkan bahwa terdapat aktivitas biologis yang semakin meningkat, dan pada suhu ruang, yaitu ( 27C maka akan menunjukkan adanya proses pembusukan dari limbah tersebut. Suhu juga dapat digunakan untuk melihat kecenderungan dari aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, tekanan uap, pengentalan, tegangan permukaan dan nilai-nilai penjenuhan dari benda padat dan gas. Pengentalan dapat digunakan untuk mengatur sedimentasi. Pada suhu tinggi, pengentalan berkurang dan menghasilkan peningkatan sedimentasi. Tingkat oksidasi zat organik pada suhu tinggi lebih besar dibandingkan pada suhu rendah. Sedangkan suhu yang tinggi dapat membunuh mikroorganisme pengurai yang dapat menyebabkan aktivitas biologis menurun. Menurut Gintings (1992), temperatur air limbah akan dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam air. Sastrawijaya (1991) mengatakan bahwa suhu tinggi pada buangan atau limbah harus diwaspadai dikarenakan dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air dan juga dapat memicu perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan.

1.2.2.1. Kandungan Padatan Terlarut Total, Padatan Tersuspensi dan Total Padatan a. Total Solid (TS)

Menurut Hammer & Hammer (1996) untuk mengukur jumlah padatan yang terdapat dalam limbah cair maka digunakan analisa total padatan, total padatan tersuspensi dan juga total padatan terlarut. Dimana total padatan merupakan bahan yang tertinggal setelah evaporasi sampel atau air limbah dan juga pengeringan dalam oven, dengan sejumlah volume tertentu yang diletakkan dalam cawan porselen. Air diuapkan dari cawan dengan pengeringan dalam oven setidaknya selama 1 jam pada suhu 103-105( C, kemudian didinginkan dalam desikator dalam berat konstan. Miligram total residu sama dengan perbedaan antara berat cawan setelah didinginkan dengan berat cawan kosong. Padatan total termasuk padatan tersuspensi total, yaitu yang tertahan filter, dan padatan terlarut total, yaitu yang dapat melewati filter 2,0 m atau dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pori-pori filter (Sastrawijaya, 1991). b. Total Suspended Solid (TSS)Hammer & Hammer (1996) mengatakan bahwa TSS merupakan parameter yang digunakan dalam mendefinisikan limbah cair dalam industri. Padatan tersuspensi dalam air pada umumnya mengandung fitoplankton, zooplankton, lumpur, sisa tanaman dan hewan, kotoran manusia, kotoran hewan, serta limbah industri. TSS biasanya diberikan dalam mg/lt atau bagian/juta (Bpj). Sebagai contoh, air dengan TSS 200 menunjukkan bahwa dalam 1 liter terdapat 200 mg padatan terlarut. Total padatan tersuspensi mempengaruhi ketransparanan dan juga warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktifitas yang tinggi, dimana cahaya tidak akan dapat menembus dalam jumlah banyak apabila konsentrasi bahan tersuspensi tinggi. Selain itu, warna air juga ada hubungannya dengan kualitas air (Sastrawijaya, 1991).c. Total Dissolved Solid (TDS)

Menurut Sastrawijaya (1991), TDS menggambarkan jumlah kepekatan padatan yang berada pada suatu sampel air, dimana TDS dinyatakan dalam mg/l atau bagian/juta (Bpj). Penentuan padatan terlarut total dapat menentukkan kualitas air dengan cepat. Jenie & Rahayu (1990) mengungkapkan bahwa padatan terlarut total atau residu yang dapat disaring ditetapkan dengan berat yang telah disaring dan dievaporasi atau sebagi perbedaan antara residu setelah evaporasi den berat padatan tersuspensi total. Maka dari itu, polutan sulit dihilangkan dari air limbah. Penanganan total padatan terlarut dengan menggunakan mikroorganisme yang umumnya terdapat dalam air limbah, bertujuan untuk konversi bahan partikulat.

Hammer & Hammer (1996) menambahkan bahwa padatan terlarut dan padatan yang tidak terlarut mengacu pada materi yang tertahan dan melewati filter. Bahan yang tidak terlarut (residu yang tidak tersaring) tidak ditentukan secara langsung tetapi dihitung dengan mengurangkan konsentrasi total padatan tersuspensi dari konsentrasi total padatan. Tchobanoglous (1981) mengatakan bahwa fraksi padatan yang dapat melewati saringan terdiri atas padatan koloid dan padatan terlarut. Fraksi padatan koloid merupakan padatan yang mempunyai diameter sekitar 1 milimikron hingga 1 mikron. Sedangkan untuk padatan terlarut tersusun atas ion-ion dan molekul-molekul organik maupun anorganik yang terlarut dalam air. Fraksi padatan koloid tidak dapat dipisahkan dengan cara pengendapan tanpa perlakuan khusus. Pada umumnya, oksidasi biologi atau koagulasi yang diikuti dengan pengendapan, diperlukan untuk memisahkan partikel tersebut.

1.2.3. Karakteristik Kimiawi

Limbah cair tahu mengandung senyawa organik yang tinggi dan sedikit mengandung senyawa anorganik. Ketika limbah cair tahu dibuang ke sungai, maka akan terjadi peruraian senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses peruraian bahan organik oleh mikroorganisme aerob memerlukan oksigen dalam jumlah besar untuk memperoleh energi. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Penurunan yang melewati ambang batas akan mengakibatkan kematian biota air lain akibat kekurangan oksigen. Ketika oksigen terlarut tidak tersedia lagi, peruraian zat organik dilakukan oleh mikroorganisme anaerob yang mengeluarkan gas asam sulfida (H2S) dan gas metana (CH4) yang berbau seperti telur busuk. Tingginya konsentrasi zat organik dalam limbah cair tahu termasuk kandungan amoniak akan menyebabkan terjadi penurunan kandungan oksigen dalam air sehingga kebutuhan oksigen biologi dan kebutuhan oksigen kimia dalam perairan tinggi (Ratnani, 2011).

Air limbah yang mengandung bahan kimiawi tentunya dapat merugikan lingkungan. Bahan organik terlarut dapat mengurangi oksigen dalam limbah serta dapat menimbulkan rasa serta bau yang kurang sedap. Limbah akan lebih berbahaya lagi apabila di dalam limbah tersebut mengandung suatu zat beracun. Bahan-bahan kima yang terkandung dalam limbah, yaitu bahan organik (protein, karbohidrat, lemak, maupun minyak), deterjen, klorida, sulfur, logam berat, fosfor, maupun gas (Sugiharto, 1987). Secara umum, bahan organik dalam air limbah mengandung sekitar 40-60% protein, 25-50% karbohidrat, serta 10% lemak atau minyak. Apabila semakin banyak kandungan dan jenis bahan organik yang terkandung dalam limbah, maka akan semakin sulit pula pengelolaan air limbah tersebut, dikarenakan beberapa zat tidak dapat diuraikan oleh mikroba (Gintings, 1992). Berdasarkan teori dari Ryadi (1984), sifat kimia limbah cair meliputi pH, Chemical Oxygen Demand (COD), dan Biochemical Oxygen Demand (BOD). Dalam limbah cair terdapat zat-zat organik yang mengandung unsur karbon (C), hydrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), dan sebagainya. Oksigen umumnya dipergunakan untuk penguraian senyawa-senyawa organik. Pengukuran nilai BOD didasarkan pada kebutuhan oksigen yang terlarut dalam limbah cair yang digunakan untuk menguraikan senyawa organik dengan bantuan mikroorganisme pada kondisi tertentu (Gintings, 1992).

Pada limbah cair perendaman tahu, dilakukan analisa terhadap karakteristik kimiawi, yaitu :1.COD (Chemical Oxygen Demand)Menurut Suhardi (1991), prinsip dari Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi yaitu jumlah atau banyaknya oksigen (biasanya dalam ppm atau mg/L) yang diperlukan dalam kondisi khusus dalam proses penguraian bahan organik secara kimiawi. Penguraian benda organik tersebut melalui proses oksidasi dengan menggunakan agen oksidasi kuat dalam suasana asam. Secara luas, COD digunakan sebagai ukuran besarnya pencemaran air limbah domestik dan juga air limbah industri. Untuk uji COD, diperlukan bahan oksidasi seperti potasium dichromate, yang merupakan suatu campuran yang relatif mudah dan dapat diperoleh dalam keadaan yang sangat murni. Pada uji COD, dilakukan penambahan larutan kalium bikromat dan merkuri sulfat yang bertujuan untuk menyebabkan terjadinya reaksi reduksi oksidasi menghasilkan On yang merupakan oksigen bebas yang nantinya akan diukur dengan titrasi iod. Reaksi oksidasi reduksi tersebut dapat terjadi karena kalium bikromat merupakan senyawa yang bersifat oksidator kuat. Reaksi oksidasi reduksi tersebut dapat berlangsung optimal dalam kondisi asam (Suhardi, 1991). Jenie & Rahayu (1993) menambahkan bahwa penggunaan katalis perak sulfat dan merkuri sulfat bertujuan untuk mengatasi gangguan klorida dan menjamin oksidasi senyawa-senyawa benzene dan amonia tidak diukur dalam uji ini.

Berdasarkan teori dari Suhardi (1991), COD dengan nilai yang tinggi mengidentifiksi adanya pencemaran air oleh zat-zat organik yang umumnya dapat berasal dari berbagai sumber seperti limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan sebgainya. Terdapat 2 jenis zat organik dalam air, yaitu zat organik yang mudah dicerna oleh mikroba (seperti gula-gula sederhana) dan zat organik yang sulit dicerna (seperti lignin, selulosa, dan minyak). Dasar penentuan total zat organik adalah dengan mengoksidasi dengan menggunakan oksidator berupa K2Cr2O7. Banyaknya oksidator KMnO4 atau K2Cr2O7 yang digunakan dalam proses oksidasi sebanding dengan banyaknya total zat organik yang teroksidasi. Nilai COD akan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai BOD. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu bahan kimia tersebut tahan oksidasi biokimia tetapi tidak tahan oksidasi kimia (seperti lignin), bahan kimia dapat dioksidasi secara kimia dan peka oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari (seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel sel mikroba), serta terdapat bahan toksik dalam limbah yang dapat mengganggu uji BOD tetapi tidak untuk uji COD (Jenie & Rahayu, 1993).

Meskipun metode COD tidak dapat mengukur limbah yang dioksidasi secara biologi, akan tetapi metode ini lebih praktis. Untuk limbah yang spesifik serta pada fasilitas penanganan limbah yang spesifik sangat dimungkinkan untuk memperoleh hubungan antara nilai-nilai COD dan BOD. Metode COD memiliki keuntungan yaitu cepat, lebih teliti (sekitar 8%) dan memberikan perkiraan kebutuhan oksigen total dari suatu limbah. Perubahan nilai COD dan BOD suatu limbah dapat terjadi selama penanganan. Limbah yang tidak diberi penanganan banyak mengandung bahan yang tidak teroksidasi secara biologis dan akan meningkat karena residu massa sel dari respirasi. COD dan BOD akan meningkat seiring dengan semakin stabilnya bahan yang teroksidasi secara biologi (Jenie & Rahayu, 1993).

2.Biological Oxygen Demand (BOD)Biological Oxygen Demand (BOD) adalah suatu analisa empiris dengan dasar pendekatan secara global proses biologis yang benar-benar terjadi di alam. Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organis dan zat tersuspensi di dalam air limbah disebut dengan angka BOD. Penguraian ini terjadi secara alami, dimana badan air yang tercemari dapat berakibat pada kematian bakteri. Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi yang dapat mengakibatkan kematian ikan-ikan di perairan. Selain itu, suasana yang anaerob dapat menyebabkan bau yang busuk pada air (Alaerts & Kurniaka, 1984). Jenie & Rahayu (1993) menambahkan bahwa oksigen sangat dibutukan dalam proses oksidasi bahan organik. Pengujian BOD umumnya dilakukan untuk mengindikasi kasar jumlah kandungan bahan organik di dalam sampel limbah.

Pengujian BOD selama 5 hari dengan suhu 200C dilakukan dengan menggunakan sampel yang disimpan di dalam botol kedap udara. Stabilisasi yang sempurna dapat membutuhkan waktu lebih dari 100 hari pada suhu 200C. Inkubasi yang terlalu lama tersebut menjadi tidak praktis untuk penentuan yang dilakukan secara rutin. Oleh karena itu, Association of Official Analytical (AOAC) menyarankan periode inkubasi 5 hari dan dikenal dengan sebutan BOD5. Penguraian biologi pada pengujian BOD5 tidak dapat berjalan secara maksimal. Akan tetapi, senyawa-senyawa organik tersebut tetap dapat menurunkan kualitas air. Maka dari itu, perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan sungai atau danau (Sastrawijaya, 1991).

Pada pengujian BOD, temperatur yang digunakan adalah 19-21oC dalam inkubator atau waterbath. Pengujian BOD bertujuan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effuluent yang telah diolah dan air yang terpolusi. Akan tetapi, tes ini juga nilainya terbatas dalam mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air (Hammer & Hammer, 1996). Menurut Jenie & Rahayu (1993), uji BOD memiliki beberapa kelemahan, yaitu fase lag yang tidak dapat diprediksi panjangnya sehingga dapat terjadi sebelum pertumbuhan aktif dimulai. Panjang lag akan berpengaruh pada nilai BOD 5 hari dengan cara menggeser kurva sepanjang sumbu waktu.

Alaerts & Kurniaka (1984) menambahkan bahwa terdapat 5 jenis gangguan yang umumnya terdapat dalam analisa BOD, yaitu :

Proses nitrifikasi

Proses ini dapat terjadi di dalam botol dari hari ke 2 s/d hari ke 10. Proses ini juga membutuhkan oksigen. Semakin banyak reaksi nitrifikasi terjadi, maka oksigen yang akan dianalisa dalam tes BOD akan semakin tidak teliti. Maka dari itu, dalam analisa BOD, pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus dihalangi dengan inhibitor, walaupun kemungkinan suhu yang tinggi seperti di daerah tropis juga akan meningkatkan proses nitrifikasi ini.

Zat beracun yang dapat memperlambat pertumbuah bakteri sehingga analisa BOD menjadi tidak teliti.

Keluarnya oksigen dari dalam botol

Untuk mencegah keluarnya oksigen di dalam botol maka botol harus ditutup rapat rapat, dan gelembung udara tidak boleh berada di dalam botol. Hal tersebut disebabkan karena dengan adanya gelembung udara akan menyebabkan kemungkinan terjadinya penggunaan oksigen oleh kontaminan seperti ganggang dan lumut. Maka dari itu, penyimpanan botol harus diletakkan di tempat yang gelap.

Nutrien

Nutrien merupakan salah satu syarat kehidupan bakteri bakteri yang akan dianalisa kebutuhan oksigennya.

Cara pembenihan bakteri yang cocok dalam air limbah.

Tchobanoglous (1981) mengungkapkan bahwa keberadaan oksigen terlarut dalam air limbah sangat diperlukan untuk mencegah terbentuknya bau yang tidak diinginkan. Air buangan dengan BOD tinggi yang langsung dibuang keperairan atau badan air dapat mengganggu keseimbangan ekologik. Selain itu, dapat pula menyebabkan kematian biota perairan. Secara umum, nilai BOD5 adalah sekitar 400-1000 mg/l pada inlet dan dibawah 50 mg/l pada oulet tangki aerasi.

3.pHMenurut Suhardi (1991), pH meter terdiri dari alat penera (potensiometer) dan dua buah elektroda, dimana saat alat ini dihubungkan dengan sumber tenaga, maka rantainya akan menjadi tertutup. Aliran listrik diketahui dari goyangan jarum pada alat penera yang menggambarkan besarnya kadar ion H. Kadar pH yang baik adalah pH yang masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air tersebut berjalan dengan baik. Air limbah dengan konsentrasi tidak netral akan menyulitkan proses biologis sehingga mengganggu proses penjernihan. Selain itu, air buangan yang mempunyai pH tinggi atau rendah menjadikan air buangan steril dan sebagai akibatnya akan membunuh mikroorganisme air yang diperlukan. Semakin kecil suatu pH, maka akan semakin asam air limbah tersebut (Sugiharto, 1987).

Hidrogen bebas atau ion hidroksil selalu ada dalam pemisahan molekul-molekul larutan cairan, maka dengan kelebihannya tersebut, salah satu molekul dapat menyebabkan larutan menjadi asam atau alkali. Air limbah domestik yang normal biasanya memiliki sifat agak basa. Mahida (1992) mengungkapkan bahwa apabila pH mendekati 5, maka tingkat keasaman pencernaan menjadi tidak normal. Dan apabila pH kurang dari 5 atau lebih dari 10, maka proses aerobik biologis akan menjadi kacau. Hammer & Hammer (1996) mengungkapkan bahwa nilai keasaman limbah cair ditentukan oleh banyaknya ion hidrogen yang larut dalam air. Konsentrasi air normal memiliki tingkat keasaman berkisar antara 6,5 8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang tinggi mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam. Air menjadi asam karena adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida. Sedangkan buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida. Keasaman air yang rendah membuat air sukar berbuih karena mengandung zat seperti kalium dan natrium (Gintings, 1992).1.2.4. Karakteristik Biologis

Mikroba menjadi salah satu dasar fungsional dalam penanganan air limbah. Air limbah perlu diperiksa kualitas biologisnya, dimana hal tersebut bertujuan untuk memisahkan bakteri-bakteri patogen yang berada dalam limbah tersebut (Sugiharto, 1987). Pengolahan air limbah secara biologis memanfaatkan kegiatan mikroorganisme dalam air dalm merubah senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam air menjadi senyawa lain. Mikroorganisme tersebut akan mengkonsumsi bahan-bahan organik dan menghasilkan biomassa sel yang baru. Mikroba juga memanfaatkan energi yang dihasilkan dari reaksi oksidasi untuk metabolismenya (Edahwati & Suprihatin, 2005).

Aerasi merupakan suatu mekanisme untuk mengetahui karakteristik biologi dari suatu limbah. Aerasi adalah suatu sistem oksigenasi melalui penangkapan O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses (Kusnaedi, 1998). Aerasi bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang bersifat aerobik. Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme yang sebagian besar bersifat aerobic dan merupakan parameter terpenting dalam sistem penanganan air limbah. Keberadaan bakteri dalam air limbah perlu ditangani lebih lanjut, dikarenakan beberapa bakteri memiliki sifat patogenik dan kultur bakteri dapat digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan mineral-mineral yang tidak diinginkan di dalam air limbah (Jenie & Rahayu, 1993).

Menurut Sunu (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam air adalah sumber air, komponen nutrien dalam air, komponen beracun, organisme air, serta faktor fisik (seperti suhu, pH, tekanan osmotik, tekanan hidrostatik, aerasi, dan penetrasi sinar matahari). Menurut Jenie & Rahayu (1993), dalam mengatasi mikroorganisme pada sistem pengolahan limbah, dapat dilakukan dengan disinfeksi yang merupakan proses membunuh jasad renik bersifat patogen, baik secara kimia maupun fisik. Seluruh desinfektan efektif terhadap sel vegetatif kecuali pada sporanya. Fungsi dari desinfektan pada limbah cair ataupun pada air adalah untuk mereduksi konsentrasi bakteri termasuk bakteri patogen. Bakteri patogen dapat tahan selama beberapa hari pada permukaan air yang tergantung pada kondisi lingkungan, pH, suhu, nutrisi, kompetisinya dengan mikroba lain, kemampuan membentuk spora dan ketahanannya dengan senyawa penghambat.

Berdasarkan teori dari Sugiharto (1987), desinfeksi dapat merusak langsung dinding sel bakteri dan mekanisme pembunuhan sangat dipengaruhi kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri. Birdi (1979) mengungkapkan bahwa desinfektan tidak berarti dapat membunuh semua mikroba dalam medium yang diperlukan. Menurut Jenie & Rahayu (1993), halhal yang perlu diperhatikan dalam mengunakan desinfekstan adalah toksisitas terhadap mikrooganisme pada konsentrasi rendah, harus larut dalam air agar penggunaannya efektif, stabilitas selama penyimpanan, tidak beracun terhadap manusia dan hewan, homogenitas, toksisitas terhadap mikroorganisme pada suhu kamar, kemampuan penetrasi, tidak korosif atau tidak menimbulkan warna, kemampuan menghilangkan bau, kemampuan sebagai detergen, serta ketersediaan.

Penggunaan klorin sebagai desinfektan merupakan oksidator yang dapat bereaksi dengan beberapa komponen organik pada limbah. Disinfeksi menggunakan klorin biasanya diberikan pada air limbah yang relatif jernih (tidak terlalu keruh) dan pada air yang mengandung suspensi padatan sedikit atau tidak terlalu tinggi (biasanya relatif rendah). Klorinasi merupakan salah satu proses yang cukup efektif apabila digunakan dalam mengatasi limbah cair. Sehingga aplikasi klorin biasanya dilakukan setelah limbah melalui beberapa tahapan penghilangan padatan dan penjernihan. Klorin banyak digunakan dalam mengatasi bau yang timbul dari limbah dan untuk mereduksi jumlah bakteri (Jenie & Rahayu, 1993). Hammer & Hammer (1996) mengatakan bahwa klorin dapat menimbulkan efek samping seperti meninggalkan residu yang mempengaruhi kehidupan air serta bersifat karsinogenik. Cairncross & Feachem (1993) menambahkan bahwa klorin efektif untuk membunuh bakteri dan virus pada pH rendah dan lebih efektif pada suhu yang hangat.

Pemusnahan mikroba oleh senyawa klorin dipengaruhi oleh konsentrasi pH, suhu dan kemurnian air. Apabila konsentrasinya semakin besar, maka semakin besar juga pHnya, dan daya pemusnahannya semakin kecil. Sedangkan apabila suhunya semakin tinggi, maka semakin besar pula daya pemusnahannya. Adanya suatu gugusan organik dalam air dapat mengurangi daya pemusnahan, dikarenakan banyak klorin terikat pada zat-zat tersebut. Proses ini dikenal dengan break point, yaitu suatu keadaan yang menyatakan bahwa sisa klorin yang bebas dalam air mencapai konsentrasi terendah (Suhardi, 1991). Steel (1960) menambahkan bahwa efisiensi desinfektan klorin berhubungan secara langsung dengan pH air. Pada nilai pH yang tinggi efisiensi desinfektan akan semakin kecil. Berikut merupakan mekanisme pemusnahan mikrobia dengan klorin antara lain :

a. Reaksi oksidasi.

Mikrobia (komponen tidak jenuh) + O(n) ( teroksidasi, mikroba mati.

b. Mikroba (enzim) + klorin ( enzim inaktif, mikroba mati.

c. Mikroba (protein) + klorin ( protein menggumpal, permeabilitas membran terganggu ( mikroba mati.

2. PEMBAHASAN

Dalam praktikum ini, dilakukan pengolahan limbah terhadap limbah cair dengan menggunakan beberapa treatment. Dimana limbah cair yang digunakan oleh kelompok D4 dan D5 adalah limbah cair perendaman tahu. Pada praktikum ini, setiap kelompok melakukan treatment yang berbeda-beda. Sebelum dilakukan treatment, uji pendahuluan dilakukan terlebih dahulu yang hasilnya nanti akan dibandingkan dengan hasil limbah yang telah ditreatment. Beberapa parameter yang menjadi pembanding dalam praktikum ini adalah parameter fisik dan kimia, sedangkan parameter biologi tidak diamati lebih lanjut dalam praktikum ini.

2.1. Karakteristik Fisik

Bau

Bau merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menilai suatu limbah yang dihasilkan oleh limbah tersebut. Gintings (1992) menyampaikan bau yang dihasilkan dari limbah dapat menunjukkan apakah limbah tersebut masih baru atau sudah mengalami pembusukkan selama proses penyimpanan. Dimana selama proses penyimpanan, biasanya kemunculan bau busuk dapat dikarenakan adanya proses pembusukan atau kerusakan protein, campuran nitrogen, sulfur dan juga fosfor atau bahan organik lainnya pada limbah. Selain itu, bau juga dapat ditimbulkan karena hasil kegiatan mikroorganisme dalam penguraian zat serta adanya reaksi kimia yang menimbulkan gas. Kekuatan bau limbah dihasilkan tergantung dari jenis dan banyaknya gas yang ditimbulkan.

Menurut Suhardi (1991), bau dapat diukur dengan cara evaluasi sensori yaitu dengan indera pembau yang kita miliki, selai itu kita juga dapat menggunakan alat yang disebut GC (Gas Chromatography) yang berfungsi untuk menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau. Sugiharto (1987) mengatakan hampir sebagian besar limbah industri pangan berupa limbah organik yang bersifat biodegradable (mengandung protein dan karbohidrat yang tinggi), dimana dapat diuraikan oleh alam dengan bantuan mikroorganisme. Mahida (1992) menambahkan bahwa sebagian besar dari bau yang tidak sedap disebabkan oleh karena adanya campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein dan bahan organik lain yang terdapat dalam air limbah, dan biasanya bau yang paling menyengat berasal dari hidrogen sulfida. Konsentrasi amoniak kira-kira 0,037 mg/l dapat menimbulkan bau amoniak yang sedikit menyengat, konsentrasi hidrogen sulfida 0,0011 mg/l dapat menyebabkan bau khas telur busuk, 0,0026 mg/l karbon disulfida dapat menimbulkan bau yang tidak enak dan juga bau yang memuakkan.

Analisa bau yang diperoleh pada kelompok D4 dan D5 pada limbah perendaman tahu sebelum treatment adalah sangat berbau dan setelah treatment adalah berbau. Menurut Mahida (1992) bau pada limbah cair disebabkan karena adanya campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein dan bahan organik lain oleh mikroorganisme. Penurunan bau yang tidak terlalu signifikan dapat dikarenakan pada tahapan disinfeksi, mikroorganisme tidak tereduksi semua sehingga masih terdapat metabolism mikroba. Disinfeksi merupakan tahap yang penting untuk menghilangkan mikroorganisme yang merugikan dengan merusak membran sel atau protein sel atau pada gen yang khas. Mekanisme pembunuhan sangat dipengaruhi kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri (Sugiharto, 1987). Selain itu, dapat terjadi karena spora mikroba masih dapat bertahan setelah dilakukannya tahapan disinfeksi. Semua desinfektan efektif terhadap sel vegetatif tetapi tidak selalu efektif terhadap sporanya. Bahan kimia menimbulkan pengaruh yang lebih selektif terhadap jasad renik dibandingkan dengan perlakuan fisik seperti panas dan radiasi (Fardiaz, 1992). Berdasarkan penjelasan diatas maka setelah dilakukan treatment seharusnya limbah menjadi tidak berbau, dimana hilangnya bau dari limbah cair tersebut dikarenakan limbah telah melalui berbagai tahapan treatment seperti adsorbsi, aerasi dan desinfeksi. Dimana untuk proses adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif dapat menyerap bahan organik dan bau sehingga akan menurunkan bau dari limbah (Gintings, 1992). Proses aerasi dapat mengurangi bahan organik dalam limbah cair dikarenakan dengan adanya aerasi, maka pertumbuhan mikroorganisme aerob yang dapat menguraikan bahan organik dapat dioptimalkan. Dengan adanya pertumbuhan mikroorganisme aerob tersebut, bahan organik dapat dicerna (Jenie &Rahayu, 1993 dan Sugiharto, 1987). Sedangkan desinfeksi dapat membunuh mikroorganisme pembusuk sehingga tidak terjadi proses pembusukan lebih lanjut (Gintings, 1992). Warna

Parameter lainnya yang diamati adalah warna, dimana warna yang dihasilkan oleh limbah tersebut dapat menunjukkan kualitas dari limbah itu sendiri dikarenakan memberikan petunjuk jumlah benda yang tersuspensi dan juga terlarut (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Sastrawijaya (1991) warna dari air limbah dapat menunjukkan kekuatannya, dimana apabila air limbah tersebut berwarna gelap berarti limbah tersebut telah membusuk. Penentuan dari limbah cair dapat menggunakan komparator warna dan juga skala standar. Selain itu, Suhardi (1991) juga mengatakan bahwa bahaya atau tidaknya suatu limbah dapat dilihat dari warna limbah, dimana limbah yang berwarna hitam memiliki kandungan Pb yang tinggi, sedangkan limbah yang berwarna kuning memiliki kandungan Fe yang tinggi dan limbah yang berwarna biru memiliki kandungan Cu yang tinggi.

Untuk analisa warna diperoleh hasil pada kelompok D4 dan D5 sebelumnya adalah berwarna kuning kecoklatan dan sesudahnya adalah kuning. Menurut Jenie dan Rahayu (1993) warna dari limbah selain menunjukkan kualitas dari limbah itu sendiri karena memberikan petunjuk jumlah benda yang tersuspensi dan terlarut. Warna dari limbah cair ini tidak dapat menentukan bahaya atau tidaknya suatu limbah cair, namun warna dari air limbah dapat menunjukkan kekuatannya, di mana bila warnanya berwarna gelap itu berarti limbah tersebut sudah busuk. Air limbah yang sudah basi atau busuk berwarna gelap.Warna air memberi petunjuk akan jumlah benda yang tersuspensi dan terlarut. Proses perubahan dari warna disebabkan karena dilakukannya serangkaian tahapan proses yang bertujuan untuk menjernihkan limbah. Terutama proses adsorbsi (tertiary treatment) dimana proses ini merupakan proses penyerapan (adsorbsi) juga dapat berfungsi sebagai proses penjernihan limbah cair. Penjernihan air limbah dipergunakan untuk mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa. Menurut Sugiharto (1987), proses penyerapan (adsorbsi) adalah proses mengumpulkan benda benda terlarut yang terdapat dalam larutan antara dua permukaan. Proses penyerapan tersebut terjadi pada seluruh permukaan benda, maka yang sering terjadi adalah bahan padat yang menyerap partikel yang berada di dalam air limbah.

Kekeruhan

Kekeruhan dapat menjadi standar dari karakteristik fisik suatu limbah, dimana suatu tingkat kekeruhan yang sebenarnya dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Suhardi, 1991). Menurut Sugiharto (1987), kekeruhan disebabkan oleh adanya benda-benda yang tercampur atau adanya benda koloid di dalam air. Jenie & Rahayu (1993) mengatakan bahwa dengan mengetahui dan melihat tingkat kekeruhan suatu limbah cair, maka akan dapat mengetahui apakah padatan organik atau anorganik banyak atau tidak dalam limbah cair tersebut. Proses penyerapan berfungsi sebagai penjernihan limbah cair. Penjernihan air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor seperti bahan organik, partikel dan benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) dan juga gabungan antara bau, rasa dan warna (Sugiharto, 1987). Hasil analisa kekeruhan yang diperoleh sebelum dan sesudah treatment pada kelompok D4 dan D5 adalah sama yaitu tetap keruh. Seharusnya, dari teori yang ada, proses koagulasi akan menjernikan limbah cair yang keruh. Hal tersebut dapat disebabkan oleh proses penggumpalan yang kurang sempurna karena dilakukan pendiaman dengan waktu yang singkat yaitu hanya 30 menit. Menurut Mahida (1992), proses koagulasi dapat mempercepat proses sedimentasi. Dimana proses sedimentasi dilakukan dengan cara menginkubasi limbah yang telah ditambah koagulan selama 24 jam. Selain itu, kekeruhan yang tidak menurun dapat dikarenakan proses-proses dalam penanganan limbah itu sendiri yang mendukung proses adsorbsi agar dapat menghasilkan limbah yang bening, antara lain pretreatment (filtrasi), primary treatment (koagulasi), dan secondary treatment (aerasi). Sugiharto (1987) menyampaikan untuk dapat memisahkan padatan yang terdapat dalam suatu larutan atau limbah dilakukanlah proses penyaringan. Proses penyaringan dilakukan dengan mempergunakan kain saring dan juga kertas saring yang berukuran 0,7 mm atau lebih besar. Penyaringan dapat dilakukan dengan lebih baik bila ditambah satu tahap pendahuluan yaitu koagulasi agar padatan terlarut yang sulit untuk disaring dapat menggumpal terlebih dahulu sehingga akan lebih mudah dipisahkan dari bagian cair sehingga dapat mengurangi kekeruhan limbah cair tersebut. Suhu

Suhu dapat berperan penting dalam penentuan makhluk apa yang dapat hidup di air yang telah diukur suhunya. Selain itu, suhu juga dapat mempengaruhi tingkat oksigen yang terlarut (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Gintings (1992), temperatur air limbah akan dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia serta tata kehidupan dalam air. Sastrawijaya (1991) mengatakan bahwa suhu tinggi pada buangan atau limbah harus diwaspadai dikarenakan dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air dan juga dapat memicu perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan.

Hasil analisa suhu yang diperoleh pada hasil limbah cair perendaman tahu semua kelompok sama, yaitu 36oC dimana sebelumnya suhu limbah awal sebelum dilakukan treatment adalah 49oC. Hasil yang sama itu dikarenakan pada kelompok D4 dan D5 menggunakan sumber limbah cair perendaman tahu yang sama. Biasanya limbah domestik memiliki suhu yang mendekati netral, yaitu antara 15 25oC. Suhu tersebut berada dibawah suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri, tetapi bukan hambatan utama dalam rancangan unit atau operasinya (Jenie & Rahayu, 1993). Suhu yang dihasilkan kelompok D4 dan D5 berada diatas suhu pertumbuhan optimum bakteri dimana hal tersebut baik untuk perairan tempat pembuangan limbah. Suhu yang dihasilkan juga tidak terlalu tinggi dimana menurut Mahida (1992) pada suhu tinggi, yaitu ( 60C maka akan menunjukkan bahwa terdapat aktivitas biologis yang semakin meningkat, dan pada suhu ruang, yaitu ( 27C maka akan menunjukkan adanya proses pembusukan dari limbah tersebut.

Selain itu, ketidaksesuaian hasil pengamatan karakteristik sensori (berupa warna, kekeruhan dan bau yang meliputi indera pengelihatan dan penciuman praktikan) dari pengamatan tiap kelompok serta dari teori yang ada juga dapat disebabkan karena uji sensori bersifat subjektif. Evaluasi sensori yaitu dimana evaluasi sensori atau sering disebut organoleptik adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan indera manusia untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma dan flavor produk pangan. Evaluasi sensori biasanya dilakukan oleh penguji yang sering disebut sebagai panelis dimana pada dasarnya penilaian yang dilakukan tiap panelis akan berbeda-beda atau bersifat subjektif (Ebook pangan, 2006).

2.1.1. Total Padatan

2.1.1.1. Total Solid

Total padatan adalah residu yang tertinggal setelah air limbah dikeringkan dalam cawan dengan oven pada suhu 103-105( C. Miligram total residu sama dengan perbedaan antara berat cawan sebelum dengan berat cawan kosong (Hammer & Hammer, 1996). Cara yang dapat digunakan adalah dengan cara kimia, yaitu koagulasi dengan bahan kimia tertentu (koagulan). Cara ini dapat mengurangi konsentrasi zat pencemar dalam limbah. Namun cara ini menyebabkan adanya unsur baru dalam air limbah (Sugiharto, 1987). Proses koagulasi adalah pengumpalan melalui reaksi kimia. Partikel atau koloid masing-masing memiliki muatan listrik yang tolak menolak, sehingga tidak dapat menyatu menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap tetapi tetap dalam bentuk suspensi. Bahan penggumpal merupakan garam logam yang bereaksi dengan basa di dalam air untuk menghasilkan kumpulan hidrooksida logam yang tidak dapat larut (Buckle et al., 1987).

Pada praktikum ini, koagulan yanng digunakan adalah Ca(OH)2, ditambahkan sebanyak 50 gram dalam 1 liter air limbah. Setelah itu, di lakukan jar test 100 rpm selama 1 menit dan dilanjutkan 25 rpm selama 15 menit. Cara ini sesuai dengan teori dari Kusnaedi (1998) yang mengatakan bahwa pengadukan yang cepat dibutuhkan pada penambahan koagulan agar distribusi koagulan lebih merata. Sedangkan pengadukan kedua dimaksudkan untuk proses koagulasi dengan kecepatan rendah untuk menghasilkan kesatuan dari koloid-koloid yang tidak stabil.

Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa nilai total solid kelompok D4 dan D5 mengalami kenaikan setelah proses treatment, yaitu dari 12.500 mg/L menjadi 72.500 mg/L untuk D4 dan dari 14.250 mg/L menjadi 47.500 mg/L untuk D5. Hal ini disebabkan karena menurut Jenie & Rahayu (1993), sebelum dilakukan proses pengolahan (treatment), residu yang diperoleh setelah proses pengeringan berasal dari partikel tersuspensi dan terlarut dalam air limbah tahu awal. Sedangkan setelah proses treatment, total solid tidak hanya berasal dari partikel tersuspensi dan terlarut dalam air limbah tahu awal, namun juga berasal dari koagulan yang ditambahakan dalam hal in adalah Ca(OH)2. Selain itu, kenaikan ini juga berasal dari karbon aktif yang ditambahkan ketika dilakukan proses treatment (absorbsi). Jika dibandingkan, dari kelompok D4 dan D5 yang mengalami kenaikan lebih signifikan adalah kelompok D4. Hal ini disebabkan karena ketika proses absorbsi, karbon aktif yang ditambahkan berupa granula, sedangkan untuk D5 karbon aktif yang ditambahkan berupa serbuk. Sehingga jumlah padatan didalam air limbah tahu setelah dilakukan proses treatment meningkat dan nilai total solid pun meningkat pula dari sebelumnya.

Selain itu Gintings (1992) juga menambahkan peningkatan nilai total padatan memungkinkan adanya partikel karbon aktif yang ikut terlarut dan partikel-partikel limbah yang terurai sehingga menyebabkan terlarut. Karbon aktif yang digunakan pada proses adsorpsi memiliki atom-atom yang bersifat saling tarik menarik. Ketika karbon aktif dimasukkan ke dalam limbah cair perendaman tahu, tidak ada partikel padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut yang menarik atom karbon aktif tersebut, sehingga karbon aktiflah yang menarik padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut.

2.1.1.2. Total Suspended Solid

Menurut pendapat dari Jenie & Rahayu (1993) menyatakan bahwa total suspended solid merupakan residu yang tidak dapat disaring dan dapat ditetapkan dengan penyaringan volume air limbah yang digunakan melalui penyaring membrane dalam cawan Gouch. Sugiharto (1987) menambahkan bahwa berat kering didapatkan satu jam pada suhu 103-105oC. Menurut Sastrawijaya (1991) limbah cair yang berwarna semakin keruh memiliki nilai produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan limbah cair yang berwarna lebih bening. Limbah perendaman tahu memiliki warna yang keruh. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sastrawijaya (1991) bahwa warna limbah dapat dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut (total dissolved solid) dan tersuspensi (total suspended solid) dalam limbah cair.

Pada pengujian total suspended solid atau padatan tersuspensi total, berdasarkan dari hasil pengamatan didapatkan nilai TSS dengan sampel limbah tahu pada kelompok D4 dan D5 berbeda. Pada kelompok D4 sebelum sampel ditreatment didapatkan hasil sebesar 950 mg/L dan pada D5 sebesar 900 mg/L. Hasil setelah diberikan perlakuan dengan pemanasan didapatkan hasil yang berbeda, pada kelompok D5 memiliki nilai total suspended solid yang lebih tinggi dibandingkan dengan D4, yaitu sebesar 2300 mg/L. Adanya perbedaan pada hasil pengamatan dapat dikarenakan proses penyaringan yang dilakukan kelompok D4 dan D5 berbeda. Pada kelompok D4 menggunakan granula karbon, sedangkan D5 adalah dengan serbuk karbon. Dari hasil data pengamatan didapatkan bahwa nilai TSS setelah diberikan perlakuan mengalami peningkatan hasil. Menurut Jenie & Rahayu (1993) hasil setelah treatment mengalami penurunan dibandingkan sebelum koagulasi. Koagulasi dengan menggunakan Ca(OH)2 dapat menggumpalkan dan mengendapkan padatan-padatan tersuspensi dan terlarut yang akan bergabung menjadi satu, sehingga berat jenisnya menjadi besar dan dapat diendapakan. Hasil TSS kelompok D5 lebih tinggi dibandingkan D4, sehingga akan menghasilkan hasil penyaringan yang lebih baik dibandingkan D4. Hal tersebut dikarenakan adanya padatan dalam air limbah tahu tersaring.Padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut akan bergabung menjadi satu sehingga berat jenisnya menjadi besar dan dapat diendapkan. Selain itu penggunaan karbon aktif pada proses adsorpsi memiliki atom-atom yang bersifat saling tarik menarik. Sehingga ketika karbon aktif dimasukkan ke dalam limbah cair perendaman tahu, tidak ada partikel padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut yang menarik atom karbon aktif tersebut, sehingga karbon aktiflah yang menarik padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut (Gintings, 1992). Dengan adanya proses di atas, terdapat padatan-padatan dari koagulan dan karbon aktif serta sisa mikroorganisme yang mati, yang berukuran kecil dan tersuspensi dalam cairan sehingga tidak hilang dengan penyaringan hanya dengan menggunakan kertas saring seperti yang dilakukan dalam praktikum. Seharusnya, untuk pengolahan limbah yang benar-benar baik, penyaringan dilakukan dengan menggunakan saringan berlapis. Dengan adanya partikel-partikel tersuspensi yang melewati kertas saring itulah maka TSS dalam limbah cair tersebut mengalami peningkatan.Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah dari penambahan bahan kimia yang dapat menyebabkan padatan total yang tersuspensi lebih banyak dikarenakan bahan kimia tertahan dalam kertas saring. Menurut teori Gintings (1992) nilai TSS limbah yang rendah akan menjadikan limbah aman untuk dibuang diperairan bebas. Senyawa organik yang semakin sedikit dapat dengan mudah dihancurkan oleh mikroorganisme yang berperan. Pada proses pengendapan atau koagulasi dengan menggunakan Ca(OH)2 akan membuat padatan terendapkan, sehingga seharusnya nilai dari padatan tersuspensi total adalah semakin rendah dibandingkan dengan sebelum pemberian treatment atau perlakuan.

2.1.1.3. Total Dissolved Solid

Menurut Sastrawijaya (1991), TDS menggambarkan jumlah kepekatan padatan yang berada pada suatu sampel air. Penentuan padatan terlarut total dapat menentukkan kualitas air dengan cepat. Jenie & Rahayu (1990) mengungkapkan bahwa padatan terlarut total atau residu yang dapat disaring ditetapkan dengan berat yang telah disaring dan dievaporasi atau sebagi perbedaan antara residu setelah evaporasi dan berat padatan tersuspensi total. Maka dari itu, polutan sulit dihilangkan dari air limbah. Penanganan total padatan terlarut dengan menggunakan mikroorganisme yang umumnya terdapat dalam air limbah, bertujuan untuk konversi bahan partikulat. Hammer & Hammer (1996) menambahkan bahwa padatan terlarut dan padatan yang tidak terlarut mengacu pada materi yang tertahan dan melewati filter. Bahan yang tidak terlarut (residu yang tidak tersaring) tidak ditentukan secara langsung tetapi dihitung dengan mengurangkan konsentrasi total padatan tersuspensi dari konsentrasi total padatan.

Dari analisa TS dan TSS, didapatkan nilai pada analisa Total Disolved Solid (TDS), yaitu pada kelompok D4 dan D5 juga mengalami peningkatan, dimana pada kelompok D4 dari 11550 mg/L menjdai 70500 mg/L, sedangkan pada kelompok D5 dari 13350 mg/L menjdai 45200 mg/L. Sehingga, diketahui bahwa nilai TDS yang dihasilkan kelompok D5 lebih rendah dibandingkan nilai TDS yang dihasilkan kelompok D4. Untuk peningkatan yang terjadi, dikarenakan adanya proses koagulasi yang dilakukan pada tahap primary treatment belum cukup efektif. Dimana pada tahap ini, limbah yang sudah ditambahkan dengan koagulan tidak boleh langsung disaring akan tetapi didiamkan dahulu selama 24 jam. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Mahida (1992) yang menyatakan bahwa proses koagulasi dapat mempercepat proses sedimentasi. Dimana proses sedimentasi dilakukan dengan cara menginkubasi limbah yang telah ditambah koagulan selama 24 jam. Kemudian cairan limbah tersebut difiltrasi menggunakan kertas saring. Proses penyaringan ini bertujuan untuk menangkap sedimen-sedimen (padatan) yang telah mengendap sebelumnya. Selain itu peningkatan total padatan terlarut ini juga dapat disebabkan oleh karena adanya penambahan senyawa kimia selama treatment dilakukan, dimana senyawa tersebut terlarut dalam air sedangkan limbah cair sendiri 99% terdiri dari air sehingga nilai TDS relatif tinggi.

Dari hasil analisa padatan, didapatkan bahwa nilai TS, TSS dan TDS kelompok D5 lebih rendah dibandingkan D4. Hal tersebut dapat dikarenakan penggunaan karbon aktif yang berbeda dimana D5 menggunakan karbon aktif berbentuk serbuk, sedangkan pada D4 menggunakan bentuk granula. Menurut Melita dan Tuti (2003), karbon aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu:

3. Karbon aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk powder yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000 Armstrong. Karbon aktif berbentuk powder biasanya digunakan dalam fase cair dan berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan serta membebaskan pelarut dari zat-zat penganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia dan industri baru.

4. Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 Armstorng. Karbon aktif berbentuk granular memiliki tipe pori lebih halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas.

Selain itu, karbon aktif bubuk menunjukkan kemampuan lebih tinggi dalam mereduksi logam terlarut. Perbedaan jenis karbon aktif ini berimplikasi pada perbedaan luas pemukaan aktif karbon aktif, yang mana keduanya mempengaruhi laju difusi logam berat terlarut ke dalam pusat karbon aktif (Suprihatin dan Indrasti, 2010). Sehingga, dari kedua teori diatas, diketahui bahwa karbon aktif berbentuk serbuk lebih tepat digunakan pada limbah cair rendaman tahu yang berada dalam fase cair dan kegunaannya untuk mereduksi padatan terlarut dibandingkan karbon aktif dalam bentuk granular yang biasa digunakan untuk fase gas,2.2. Karakteristik Kimiawi

2.2.1. pH

Satrawijaya (1991) mengungkapkan bahwa air limbah yang terlalu asam atau terlalu basa, jika dibuang secara langsung ke air, maka akan mengganggu kehidupan biota air. Pada percobaan ini, pH limbah cair dari perendaman tahu diukur dengan menggunakan alat pH meter. pH meter terdiri atas alat penera (potensiometer) dan dua buah elektroda. Menurut Suhardi (1991), prinsip kerja alat tersebut adalah pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga maka terdapat rantai tertutup. Oleh karena itu, ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besarnya kadar ion H. Baku Mutu Limbah (BML) bagi usaha dan / atau kegiatan pengolahan daging, termasuk limbah cair dari perendaman tahu memiliki syarat pH dari limbah itu sendiri, yaitu antara 6,0 9,0.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, Pada pengamatan pH limbah, didapatan pada kelompok D4 pH awal limbah adalah 4,1 dan setelah dilakukan netralisasi menjadi 6,8. Sedangkan pada kelompok D5 pH awal adalah 4,725 dan menjadi 7,04 setelah adanya netralisasi. Dari percobaan tersebut, limbah cair dari perendaman tahu sesuai dengan baku mutu limbah yang ditetapkan, sehingga sebenarnya limbah cair tersebut tidak memerlukan treatment tetapi dalam praktikum ini dilakukan proses treatment untuk membuat pH menjadi netral sehingga lebih aman bagi lingkungan. Setelah melalui proses treatment, rata-rata pH pada limbah cair dari perendaman tahu adalah pH netral. Menurut Satrawijaya (1991), apabila air limbah yang terlalu asam atau terlalu basa, jika dibuang secara langsung ke air, maka akan mengganggu kehidupan biota air sehingga air limbah tersebut memerlukan proses netralisasi terlebih dahulu. Pada percobaan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah treatment, limbah cair telah aman bagi lingkungan dikarenakan pH yang dimiliki oleh limbah cair tersebut bersifat netral.2.2.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)

Menurut Suhardi (1991), COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah O2 yang dibutuhkan untuk menguraikan benda organik secara kimiawi, yang dinyatakan dalam ppm atau mg/l. Uji COD bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah oksigen yang diperlukan agar oksidasi kimiawi dalam sampel dapat terjadi. Oksidasi kimiawi yang terjadi pada sampel akan mengubah bahan organik menjadi CO2 dan H2O (Hammer & Hammer, 1996). COD umumnya digunakan untuk mengukur kekuatan pencemaran air limbah. Dari pengamatan limbah sebelum diberi treatment, terlihat jika nilai COD yang didapat oleh kelompok D4 adapau 6800 mg/L, dan kelompok D5 adalah 1600 mg/L. Nilai yang diperoleh ini melebihi nilai COD yang tertera pada BML (Baku Mutu Limbah), dimana batasan COD limbah tahu adalah 275 mg/L (Perda, 2012). Oleh sebab itu perlu dilakukan treatment air limbah tahu agar dapat diperoleh nilai COD yang memenuhi standar yang berlaku.Langkah kerja yang dilakukan dalam uji COD adalah sebagai berikut, mula-mula 10 ml sampel air limbah tahu yang sudah selesai diolah diencerkan hingga 100 ml dengan penambahan akuades. Pengenceran bertujuan untuk mengurangi kepekatan sampel. Hasil pengenceran kemudian diambil sebanyak 10 ml lalu ditambahkan 1 ml HgSO4 pekat dan 20 ml K2Cr2O7 0,05 N. Penambahan K2Cr2O7 bertujuan untuk menjadi agen pengoksidasi karena K2Cr2O7 memiliki sifat sebagai oksidator kuat. Penambahan HgSO4 pekat bertujuan untuk memberikan suasana asam pada sampel. Penambahan kedua larutan ini menyebabkan terjadinya reaksi reduksi-oksidasi yang menghasilkan On (oksigen bebas). Menurut Suhardi (1991), reaksi antara kalium bikromat dan merkuri sulfat dapat terjadi karena kalium bikromat merupakan senyawa yang bersifat oksidator kuat dan reaksi reduksi-oksidasi tersebut berlangsung dengan baik pada suasana asam yang diberi merkuri sulfat. Ditambahkan oleh Jenie & Rahayu (1993), kalium bikromat dan merkuri sulfat dapat mengatasi gangguan klorida dan mencegah kesalahan pengukuran karena senyawa benzene dan amonia. Jumlah K2Cr2O7 yang digunakan ekuivalen dengan jumlah total zat organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi. Menurut Hammer & Hammer (1996), reaksi yang terjadi dalam proses oksidasi-reduksi ini adalah sebagai berikut:

Bahan organik + Cr2O7 -2 + H+

CO2 + H2O + 2 Cr+3

Setelah dilakukan penambahan HgSO4 pekat dan K2Cr2O7, dilakukan pemanasan selama 10 menit. Pemanasan bertujuan untuk meningkatkan kecepatan reaksi reduksi-oksidasi yang terjadi. Hal ini dapat terjadi karena pemanasan menyebabkan molekul kedua senyawa bereaksi dan terjadi tumbukan antar molekul, sehingga energi kinetikpun meningkat dan kecepatan reaksi bertambah (Suhardi, 1991). Setelah pemanasan selesai, larutan didiamkan hingga dingin. Tujuan didiamkannya larutan hingga dingin adalah karena pada uji COD indikator titrasi yang digunakan adalah amilum yang mudah rusak pada suhu tinggi.

Setelah dingin, larutan diambil 10 ml dan ditambahkan dengan 1,5 ml KI 10%. Menurut Suhardi (1991), zat pengoksida kuat seperti kalium bikromat dapat dianalisis dengan penambahan kalium iodida. Penambahan ini akan mengakibatkan adanya iod yang dibebaskan karena reaksi antara larutan asam dengan iodida akibat adanya zat pengoksidasi. Selain itu, penambahan KI juga menimbulkan reaksi antara ion K dengan On, dimana reaksi tersebut juga menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen dengan jumlah On yang membebaskannya. Iod yang dibebaskan ini nantinya dapat diukur dengan metode titrasi.Sesaat sebelum titrasi, dilakukan penambahan amilum sebanyak 2 ml, kemudian larutan dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga mencapai titik akhir titrasi biru tua. Menurut Suhardi (1991), titrasi menggunakan natrium tiosulfat dengan indikator amilum dapat mengetahui banyaknya iod bebas yang dihasilkan pada proses sebelumnya. Reaksi antara ion iod bebas dengan indikator amilum menghasilkan warna biru tua yang timbul karena adanya reaksi antara molekul pati dengan iodin. Warna biru tua yang tidak hilang ini menandakan titik akhir titrasi. Volume natrium tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi sama dengan dengan jumlah iod bebas dan juga sebanding dengan jumlah On yang terkandung dalam limbah. Setelah titik akhir titrasi tercapai, dilakukan perhitungan nilai COD dalam ppm menggunakan rumus. Rumus yang digunakan sudah sesuai teori Hammer & Hammer (1996), dimana menurutnya COD dihitung berdasarkan perbedaan antara jumlah titran yang digunakan untuk blanko dan sampel, lalu dibagi dengan volume sampel kemudian dikalikan dengan normalitas titran. Percobaan dilakukan sebanyak 2 x ulangan dan hasilnya dirata-rata. Pembuatan blanko dilakukan dengan langkah kerja serupa dengan langkah kerja uji COD.

Dari hasil pengamatan terlihat jika nilai COD yang diperoleh kelompok D4 adalah 10.000 mg/L, dan kelompok D5 adalah 2.000 mg/L. Terlihat jika setelah dilakukan treatment, justru terjadi peningkatan nilai COD. Hal ini tidak sesuai dengan teori, dimana pada praktikum ini telah dilakukan tahapan treatment seperti penyaringan dengan kain saring dan kertas saring (pre-treatment), pengendapan (primary treatment), aerasi (secondary treatment), adsorpsi dengan karbon aktif (tertiary treatment), desinfeksi dengan klorin, dan juga netralisasi pH. Masing-masing perlakuan berfungsi untuk membuat air buangan limbah menjadi lebih aman untuk dibuang ke lingkungan, sehingga seharusnya nilai COD mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini didukung teori Mahida (1992) dimana menurutnya perlakuan seperti pengendapan dan pengkoagulasian seharusnya membuat terjadinya pembentukan gumpalan-gumpalan padatan yang lebih besar dari padatan yang berpartikel kecil dan halus, dimana zat padat tersebut juga mengandung zat-zat organik. Oleh sebab itu seharusnya penggumpalan akan menurunkan nilai COD limbah. Ditambahkan oleh Sugiharto (1987), perlakuan seperti aerasi dapat memperbanyak mikroba yang bersifat aerobik yang dapat mencerna bahan organik dalam limbah dan menurunkan nilai COD. Ditambahkan lagi oleh Kasam (2005), proses adsorpsi menurutnya daat menyebabkan molekul masuk ke pori-pori adsorbent (karbon aktif) dan dapat menurunkan COD. Dari hasil pengamatan juga terlihat jika kelompok D5 memiliki nilai COD yang lebih rendah dibandingkan kelompok D4. Hal ini disebabkan karena karbon aktif yang digunakan oleh kelompok D5 berupa serbuk, sedangkan kelompok D4 menggunakan karbon aktif yang berbentuk granula. Menurut Kasam (2005), salah satu karakteristik karbon aktif yang berkontribusi terhadap tingkat adsorpsi merupakan ukuran partikel dan luas permukaan partikel, dimana menurutnya tingkat adsorpsi karbon aktif berbentuk serbuk lebih cepat dibanding bentuk granular. Hasil yang diperoleh sudah sesuai teori, dimana kelompok D5 yang menggunakan karbon aktif serbuk mendapat nilai COD yang lebih rendah. Akan tetapi secara keseluruhan dibanding limbah yang belum diolah, nilai COD yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang didapat.

Kemungkinan terbesar kesalahan disebabkan karena kesalahan saat menentukan titik akhir titrasi. Proses titrasi seharusnya dihentikan ketika warna biru tua sudah mulai nampak, namun pada saat praktikum seringkali titrasi masih dilanjutkan meskipun warna sudah menjadi biru. Hal ini bisa mengakibatkan hasil yang diperoleh melampaui nilai yang seharusnya didapat, karena volume natrium tiosulfat yang digunakan terus bertambah, sehingga hasil yang didapat justru menunjukkan peningkatan setelah dilakukan treatment. Kemungkinan kesalahan lainnya adalah kondisi limbah yang diperoleh saat perancangan percobaan dan uji COD yang terakhir berbeda. Pada tahap perancangan percobaan, bau yang diperoleh adalah sangat berbau, dimana bau yang dimaksud masih dominan bau air rendaman tahu. Namun pada saat pengambilan limbah untuk praktikum selanjutnya, bau limbah yang diperoleh sangat berbau sekali dimana bau limbah sangat asam. Hal ini menunjukkan jika kondisi limbah yang dipakai pada kedua pengukuran COD berbeda, sehingga hasil yang diperoleh juga tidak dapat dibandingkan secara ideal. Perbedaan kondisi limbah dikarenakan pada lokasi pengambilan limbah tahu, limbah umumnya masih digunakan untuk proses pemasakan tahu hari berikutnya. Apabila tidak ada pesanan tahu, maka limbah dibiarkan tanpa diberi pengolahan apapun. Ada kemungkinan limbah yang dipakai pada praktikum uji COD yang kedua berusia lebih lama dibanding limbah yang dipakai pada praktikum perancangan percobaan, sehingga nilai CODnya jauh lebih tinggi.

2.2.3. Analisa Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Angka BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh zat organik terlarut dan bagaimana zat organik tersuspensi dalam air. Pemeriksaan BOD berfungsi untuk mengetahui beban pencemaran sistem pengolahan air. BOD ditentukan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri dalam menyeimbangkan zat organik yang dapat dibusukkan dalam keadaan aerobik. Uji coba BOD tergantung pada penentuan oksigen yang larut (Mahida, 1992). Uji BOD yang dilakukan adalah BOD0 dan BOD5. Uji BOD 5 hari (BOD5) sering digunakan untuk mengukur polusi pada air limbah. Inkubasi berlangsung selama 5 hari pada suhu 20C. Nilai BOD5 hanya dapat mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara lengkap sehingga BOD5 bukan merupakan suatu ukuran yang lengkap dari kekuatan air limbah, mutu dan tingkat pencemaran (Mahida, 1992). Selama 5 hari oksidasi berlangsung secara sempurna sebesar 60-70%. Jika waktu inkubasi 20 hari maka oksidasi berlangsung sempurna sebesar 95-99%. Perbedaan temperatur akan memberikan hasil yang berbeda karena reaksi biokimia dipengaruhi oleh temperatur (Tchobanoglous, 1981).Bahan yang digunakan adalah limbah cair pengolahan tahu. Limbah cair pengolahan tahu mengandung bahan organik, BOD serta COD yang cukup tinggi. Limbah cair ini dihasilkan dari pencucian, perebusan, pengepresan dan pencetakan. Bahan organik yang terkandung adalah protein, karbohidrat, lemak dan protein. Presentase bahan organik yang paling besar adalah protein dan lemak. Sementara komponen terbesar dalam limbah cair tahu adalah nitrogen. Limbah cair tahu memiliki pH yang rendah yaitu 4-5 sehingga apabila dibuang langsung ke perairan dapat menimbulkan pencemaran. Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi dan terlarut. Limbah tersebut akan mengalami perubahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan (Herlambang, 2002).

Pengolahan limbah yang dilakukan adalah air limbah sebanyak 100 ml diencerkan menggunakan air aerasi hingga volumenya mencapai 1000 ml. Air aerasi disiapkan dengan cara 1000 ml aquades dimasukkan ke dalam ember. Kemudian ditambahkan 1 ml buffer phosphate, 1 ml MgSO4, 1 ml CaCl2 dan 1 ml FeCl3. Kemudian dipasang aerator dan proses aerasi dibiarkan berjalan selama 30 menit. Penggunaan air aerasi berfungsi untuk menjamin tersedianya udara sehingga tidak terbentuk endapan di bagian bawah. Adanya endapan menyebabkan pemberian oksigen ke dalam sel bakteri tertahan sehingga tercipta suasana anaerob yang menyebabkan timbulnya bau busuk dalam air limbah (Sugiharto, 1987). Dalam pembuatan air aerasi digunakan bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan adalah 1 ml buffer, 1 ml MgSO4, 1 ml CaCl2, dan 1 ml FeCl3. Penambahan ini sesuai dengan teori dimana dalam proses penyempurnaan aerasi, perlu ditambahkan larutan buffer phosphat pH 7,2 dan 1 ml larutan MgSO4 2,25% untuk setiap 1 liter air suling untuk aerasi. Selain itu perlu memperhatikan suhu aquades yang digunakan yaitu 20 ( 1 (C (Suhardi, 1991).Kemudian, 600 ml sampel air limbah yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam botol coklat sampai penuh hingga tidak terdapat udara dalam botol. Sampel disimpan dalam ruang gelap selama 5 hari dan dinamakan sampel BOD5. Penyimpanan dalam botol coklat berfungsi agar temperature penyimpanan. tetap stabil. Suhu yang disarankan adalah 20 0C. Penyimpanan di ruang gelap berfungsi untuk menghindari paparan sinar matahari yang bisa menyebabkan kenaikan suhu, Kenaikan suhu yang tejadi dapat memicu terjadinya nitrifikasi. Paparan sinar matahari juga dapat menimbulkan gelembung udara dalam botol yang dapat digunakan oleh kontaminan. Selain disimpan di tempat gelap botol harus dipastikan tertutup rapat untuk mencegah keluarnya oksigen dari dalam botol (Alaerts & Santika, 1984).Sampel yang masih tersisa diambil 400 ml dimasukkan dalam erlenmenyer dan ditambah 3 ml KI dan 3 ml MnSO4, diaduk dan didiamkan selama 15 menit. Setelah itu, ditambah dengan 3 ml H2SO4 pekat dan diaduk kembali. Diambil sebanyak 20 ml dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,01 N sampai berwarna kuning pucat. Kemudian ditambahkan 2 ml atau 8 tetes amilum sesaat sebelum titrasi kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,01 N sampai warna larutan menjadi bening. Percobaan ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan dan disebut BOD0. Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk sampel BOD5. Tujuan pengenceran adalah untuk mengantisipasi limbah berkekuatan tinggi seperti limbah pengolahan pangan dan limbah hewan (Jenie & Rahayu, 1993). Sampel yang telah diencerkan disimpan di dalam botol coklat dan diletakkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari.

Penambahan KI berfungsi menghasilkan reaksi antara ion K dengan oksigen bebas, di mana semakin banyak ion K yang bereaksi dengan oksigen bebas, maka semakin banyak iodin yang dibebaskan. Jumlah iodin bebas ini sama dengan jumlah oksigen bebas dalam limbah. Penambahan MnSO4 berfungsi agar dapat dioksidasi oleh oksigen sehingga timbul endapan MnO2. Penambahan asam sulfat berfungsi menghasilkan suasana asam pada larutan sehingga proses oksidasi berjalan lebih baik. Saat titrasi titran yang dipakai adalah Na2S2O3 yang berfungsi menangkap iodin yang dibebaskan. Penggunaan amilum berfungsi sebagai indikator yang membantu menentukan titik akhir titrasi. Amilum memberikan warna biru ketika bereaksi dengan iodin bebas. Ketika seluruh iodin telah ditangkap oleh Na-tiosulfat maka warna biru pada larutan akan hilang (Alaerts & Santika, 1984).

Reaksi dari titrasi tersebut adalah:MnSO4 + 2 KOH Mn(OH)2 + K2SO4Mn(OH)2 + O2 MnO2 + H2O

MnO2 + KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH

I2 + 2 S2O3 2 S4O6- + 2 I

Pada pengujian BOD5 hanya dilakukan pada limbah yang telah mengalami treatment sehingga kami tidak dapat membandingkan hasil uji BOD5 sebelum dan sesudah treatment. Nilai BOD yang dihasilkan oleh kelompok D4 adalah 26 mg/L sementara kelompok D5 adalah sebesar 151,5 mg/L. Sementara baku mutu pada limbah cair pengolahan tahu untuk nilai BOD adalah maksimal 150 mg/L. Berdasarkan baku mutu tersebut berarti nilai BOD yang dihasilkan oleh kelompok D5 melebihi batas. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui juga bahwa jenis limbah yang sama dapat menghasilkan nilai BOD yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena dalam treatment digunakan karbon aktif yang berbeda yaitu granula untuk kelompok D4 dan serbuk untuk kelompok D5. Serbuk memiliki luas permukaan yang lebih besar. Sementara karbon aktif yang berbentuk granula memiliki luas permukaan kontak yang lebih kecil. Seharusnya nilai BOD yang dihasilkan kelompok D5 lebih rendah daripada kelompok D4 karena karbon aktif dalam bentuk serbuk luas permukaannya lebih besar sehingga dapat mengikat benda organic serta partikel lain dengan baik (Sugiharto, 1987).

Seharusnya dengan adanya treatment, nilai BOD limbah akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan selama pengolahan dilakukan koagulasi, aerasi dan desinfeksi. Perlakuan koagulasi menyebabkan terjadinya gumpalan yang lebih besar. Penggumpalan zat padat yang juga mengandung zat organik dapat menurunkan nilai BOD (Mahida, 1992). Aerasi diperlukan untuk memperbanyak mikroba aerobik untuk mencerna bahan organik dalam limbah (Sugiharto, 1987). Hasil BOD yang mengalami penurunan menunjukkan bahwa kandungan nutrient dalam air limbah tidak bisa lagi digunakan oleh bakteri untuk reaksi oksidasi yang membutuhkan oksigen. Hal ini terjadi karena sebagian bakteri pengurai telah ikut mati saat penambahan desinfeksi pada proses treatment. Desinfeksi adalah suatu proses untuk membunuh jasad renik yang bersifat patogenik. Mekanisme pembunuhan sangat dipengaruhi kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri. Banyak zat pembunuh termasuk klorin dan komponennya mematikan bakteri dengan cara menginaktivasi enzim utama sehingga terjadi kerusakan dinding sel (Sugiharto, 1987).

Dalam percobaan ini terdapat faktor yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran BOD adalah suhu penyimpanan. Kondisi suhu yang disarankan ialah 200C. Namun pada prakteknya penyimpanan botol gelap berisi sampel limbah dilakukan di lemari tertutup dengan botol ditata berjajar. Penyimpanan tersebut memang dapat menghindarkan sampel dari cahaya namun juga menimbulkan suhu penyimpanan yang tinggi. Selain itu suhu yang digunakan selama penyimpanan dalam praktikum ini belum tentu seragam antar kelompok. Menurut Tchobanoglous (1981) temperatur dalam sampel harus dijaga dalam keadaan yang konstan agar hasil yang diperoleh akurat. Penggunaan temperatur yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda karena reaksi biokimia tergantung pada temperatur. Saat terjadi proses nitrifikasi selama 5 hari penyimpanan limbah dapat menyebabkan data BOD tidak akurat. Apabila penutupan botol kurang rapat maka udara (oksigen) dari luar dapat masuk. Keberadaan oksigen dapat memicu terjadinya nitrifikasi. Semakin banyak reaksi nitrifikasi maka oksigen yang akan dianalisa dalam tes BOD semakin tidak teliti. Dalam analisa BOD pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus dihalangi dengan inhibitor selain dengan perbaikan teknik penyimpanan sampel (Alaerts & Santika, 1984).

COD juga mengukur senyawa-senyawa organik yang tidak dapat dipecah seperti pelarut pembersih dan bahan yang dapat dipecah secara biologik seperti yang diukur dalam uji BOD (Suhardi, 1991). Nilai BOD selalu lebih kecil daripada nilai COD yang diukur pada senyawa organik yang dapat diuraikan maupun senyawa organik yang tidak dapat terurai (Gintings, 1992). Menurut Jenie & Rahayu (1993), nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD. Hal ini disebabkan karena pada uji COD, bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia, seperti lignin terhitung dalam uji COD kemudian, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari, seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel-sel mikroba juga terhitung dalam uji COD, juga terdapat bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak untuk uji COD. Hal tersebut sesuai dengan hasil percobaan kelompok D4 dan D5 dengan bahan limbah cair perendaman tahu, dimana setelah dilakukan treatment nilai COD yang ada lebih tinggi (ribuan mg/l) dibandingkan nilai BOD yang dihasilkan yaitu pada kelompok D5 dalam ratusan mg/l bahkan pada kelompok D4 hanya dalam puluhan mg/l.3. KESIMPULAN

Treatment yang dilakukan untuk mengolah limbah cair dari perendaman tahu adalah filtrasi, koagulasi, aerasi, adsorbsi, desinfeksi, dan netralisasi. Filtrasi bertujuan untuk memisahkan benda terapung (kotoran) dan yang mengendap (pasir), sehingga dapat mengurangi jumlah padatan dan kekeruhan limbah. Koagulasi bertujuan untuk menghilangkan zat-zat padat organik yang ada di dalam limbah melalui pengendapan menggunakan koagulan. Aerasi berfungsi untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah sehingga dapat digunakan oleh mikroorganisme aerob untuk menguraikan komponen-komponen organik dalam limbah. Adsorbsi berfungsi untuk menjernihkan air limbah karena dapat mengurangi pengotor seperti bahan organik, partikel teruraikan dan yang tidak, serta gabungan antara bau, warna dan rasa. Desinfeksi bertujuan untuk mematikan bakteri patogen dengan cara inaktivasi enzim utama, sehingga akan merusak dinding sel mikroba. Netralisasi bertujuan supaya air limbah yang ada tidak bersifat asam ataupun basa. Padatan total (TS) merupakan residu yang tertinggal setelah proses evaporasi atau pengeringan sampel dalam oven pada temperatur tertentu. Padatan tersuspensi (TSS) merupakan residu yang tidak dapat disaring, penentuannya dengan menyaring sejumlah volume limbah melalui filter membran dalam cawan. Padatan terlarut total (TDS) merupakan residu yang dapat disaring, ditetapkan sebagai selisih antara berat residu setelah penguapan dan berat padatan tersuspensi total. Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan banyaknya oksigen yang dibutuhkan dalam ppm atau mg/l untuk menguraikan benda organik secara kimiawi. Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah atau banyaknya oksigen terlarut yang digunakan dalam reaksi kimia atau kegiatan mikrobiologi. Penurunan hasil BOD menunjukkan bahwa kandungan nutrient dalam air limbah tidak bisa lagi digunakan oleh bakteri untuk reaksi oksidasi yang membutuhkan oksigen. Setelah dilakukan treatment, limbah yang tadinya sangat berbau menjadi berbau dikarenakan limbah telah melalui berbagai tahapan treatment seperti adsorbsi, aerasi dan desinfeksi. Setelah dilakukan treatment, warna limbah cair yang diperoleh menjadi kuning dikarenakan adanya penggunaan karbon aktif. Hasil analisa suhu yang diperoleh pada hasil limbah cair perendaman tahu semua kelompok, yaitu 36oC. Berdasarkan percobaan, umumnya nilai TS, TSS, dan TDS mengalami kenaikan. Karbon aktif berbentuk serbuk lebih efektif menurunkan padatan dibandingkan karbon aktif granular. Setelah melalui proses treatment, pH pada limbah cair dari perendaman tahu menjadi netral, sesuai dengan Baku Mutu Limbah. Penurunan COD pada limbah setelah treatment, disebabkan karena dilakukannya proses koagulasi dan aerasi. Semakin tinggi nilai COD suatu limbah maka menunjukkan semakin tinggi pula tingkat cemaran pada air limbah tersebut.

Kandungan BOD yang tinggi menyebabkan mutu air limbah semakin rendah.

Berdasarkan Baku Mutu Limbah (BML) pada limbah tahu, air limbah yang dibuang ke lingkungan harus memiliki kandungan maksimal BOD5 150 mg/L, COD 275 mg/L, TSS 100 mg/L, dam pH 6,0-9,0.

Semarang, 23 September 2014

Praktikan:

Asisten Dosen:

1. Renata Meilani

12.70.0039

- Melita Noveliani A.2. Veronika Kris Hapsari12.70.0059

3. Selvi Elim S.

12.70.0090

4. Hana Melinda

12.70.0114

5. Anton Septian

12.70.016641