laporan praktikum limbah d1_teknologi pangan_unika soegijapranata

31
LIMBAH CAIR SUSU KEDELAI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN Disusun Oleh : Yohana Christin N. 12.70.0051 Myriam Theresa Angen 12.70.0083 M.E. Yuliana Puspa S. 12.70.0128 Yeremia Adi 12.70.0152 Tri Kurnia Utami 12.70.0189 Kelompok D1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Upload: praktikumlimbah2014

Post on 08-Apr-2016

27 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Pada praktikum Pengelolaan Limbah kali ini, limbah yang digunakan adalah limbah cair dari industri susu kedelai.

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

LIMBAH CAIR SUSU KEDELAI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN

Disusun Oleh :

Yohana Christin N. 12.70.0051Myriam Theresa Angen 12.70.0083M.E. Yuliana Puspa S. 12.70.0128Yeremia Adi 12.70.0152Tri Kurnia Utami 12.70.0189

Kelompok D1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014

Page 2: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. DESKRIPSI LIMBAH

1.1.Data Sampel Limbah

1.1.1. Jenis Limbah

Jenis limbah yang digunakan dalam praktikum pengolahan limbah industri pangan ini

adalah limbah cair susu kedelai.

1.1.2. Waktu Pengambilan

Sampel limbah cair susu kedelai ini diambil pada hari rabu,10 September 2014 pada

pukul 14.00.

1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah

Lmbah cair susu kedelai diperoleh dari Restoran Yung Hoo yang berlokasi di Jalan MT.

Haryono 631-633 Semarang.

1.1.4. Debit Limbah per hari

Debit limbah cair susu kedelai yang dihasilkan setiap hari yaitu ± 3 liter per ember.

1.2. Karakteristik Limbah

1.2.1.Karakteristik Umum

Susu adalah cairan berwarna putih yang dihasilkan dari kelenjar susu mamalia.

Komponen kandungan susu bervariasi, tergantung pada spesiesnya, yang secara umum

susu mengandung lemak, protein, kalsium, serta vitamin C. Namun, terdapat juga istilah

susu lain yang berwarna putih seperti susu yang berasal dari non hewan, yang berasal

dari nabati yaitususu kedelai. Susu kedelai merupakan larutan yang terbuat dari bahan

dasar kacang kedelai. Susu kedelai merupakan emulsi stabil dari lemak, air, dan protein,

yang diperoleh dengan cara merendam kacang kedelai kering dan menggilingnya

dengan air. Komposisi nutrisi susu kedelai juga mengandung lesitin, vitamin E, dan

isoflavon yang menguntungkan bagi kesehatan. Kandungan susu kedelai sebagian besar

adalah protein, zat besi, asam lemak tak jenuh, dan niacin, namun rendah akan lemak,

karbohidrat, dan kalsium jika dibandingkan dengan susu dari sapi dan ASI (Liu, 1997).

Page 3: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Limbah merupakan sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat atau industri yang

terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% yang berupa

benda-benda padat yang terdiri dari zat-zat organik dan anorganik. Zat organik dalam

sampah terdiri dari bahan-bahan nitrogen, karbohidrat, lemak, dan protein yang mudah

mengalami pembusukan, serta dapat menimbulkan bau yang tidak sedap (Mahida,

1992). Limbah cair atau air buangan merupakan air yang tidak dapat dimanfaatkan lagi

serta dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap manusiadan lingkungan sekitar .

Keberadaan limbah cair tidak diharapkan di lingkungan karena tidak mempunyai nilai

ekonomi serta meruak lingkungan, Pengolahan yang tepat bagi limbah cair sangat

diutamakan agar tidak mencemari lingkungan (Husni H, 2012).

Menurut teori (Sugiharto,1987) secara garis besar, limbah cair terdiri dari air (99,9%)

dan bahan padat (0,1%). Limbah dalam bentuk cair dan padat terkandung bahan

organik, yaitu protein (65%), karbohidrat (25%), lemak (10%) dan bahan anorganik,

seperti garam dan metal. Menurut teori (Mahida, 1992), Terdapat adanya Syara-syarat

limbah dapat dibuang ke saluran umum adalah sebagai berikut:

1. Temperatur pada umumnya dibatasi 100-110ºF, karena limbah yang bersuhu tinggi

akan cepat merusak beton dan logam di dalam saluran umum.

2. Limbah tidak bersifat asam atau basa yang terlalu tinggi, dimana pH sebaiknya

berkisar antara 5,5 dan 9.

3. Konsentrasi zat yang mengandung lemak pada umumya minimal 100 mg/L.

4.Tidak mengandung gas-gas yang beracun, berbau tengik, menghasilkan bau yang

kuat, mengandung gas yang dapat terbakar atau meledak.

5. Tidak mengandung zat-zat padat yang dapat mengendap dan berdaya berat

spesifik tinggi seperti pasir dan silikon, wol, rambut, kain dan bahan-bahan kasar

lainnya.

6. Memiliki ukuran yang seragam dari kecepatan hidrolisisnya dankomposisi

limbahnya.

1.2.2. Karakteristik Fisikawi

Page 4: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Karakteristik fisikawi dari limbah cair yang perlu diketahui adalah total solid, bau,

temperatur, densitas, warna, konduktivitas dan turbidity (Metcalf and Eddy,2003).

• Total solid

Total solid merupakan materi yang tersisa setelah proses evaporasi pada suhu 103oC-

105oC. Karakteristik yang dapat bersumber dari saluran air domestik, industri, erosi

tanah, dan infiltrasi/inflow ini dapat menyebabkan proses pengolahan penuh dengan

sludge dan kondisi anaerob dapat tercipta sehingga mengganggu proses pengolahan

limbah.

• Bau

Karakteristik ini bersumber dari gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi bahan

organik dalam air limbah atau karena penambahan suatu substrat-substrat lain ke air

limbah.

• Temperatur

Temperatur air limbah dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di dalam

air,Semakin tinggi temperatur air kandungan oksigen dalam air limbah berkurang atau

sebaliknya.

• Density

Density merupakan perbandingan antara massa dengan volume yang dinyatakan sebagai

slug/ft(kg/m3).

• Warna

Warna air limbah, banyak menyerap oksigen dalam air, sehingga dalam waktu lama

akan membuat air berwarna hitam dan berbau serta pada kenyataannya pencemaran oleh

zat warna juga dapat menyebabkan gangguan estetika lingkungan sekitar.

• Kekeruhan (Turbidity)

Page 5: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Turbidity atau kekeruhan dapat diukur dengan perbandingan antara intensitas cahaya

yang dipendarkan oleh sampel air limbah dengan cahaya yang dipendarkan oleh

suspensi standar pada konsentrasi yang sama.

1.2.3. Karakteristik Kimiawi

Terdapat tiga karakteristik kimia pada air limbah yang perlu diidentifikasi yaitu, bahan

organik, anorganik,dan gas (Metcalf and Eddy, 2003).

a. Bahan organik

Pada air limbah bahan organik biasanya bersumber dari tumbuhan, hewan, dan aktivitas

manusia. Bahan organik terdiri dari C, H, O, N dan bahan organik yang menjadi

karakteristik kimia adalah karbohidrat, lemak, protein, minyak, surfaktan,Volatile

Organic Compound (VOC), pestisidadan fenol. Sumber bahan organik dapat ditemukan

di dalam limbah komersil, domestik, dan industri kecuali pada limbah pestisida yang

bersumber dari pertanian serta fenol dari industri.

b. Bahan Anorganik

Menurut Husni, H. (2012) jumlah bahan anorganik dapat meningkat bila sejalan dan

dipengaruhi oleh asal air limbah. Umumnya berupa senyawa-senyawa yang memiliki

kandungan logam berat, senyawa-senyawa anorganik yang bersifat basa kuat dan asam

kuat, senyawa-senyawa belerang(sulfat dan hidrogen sulfida) dan senyawa fosfat atau

senyawa-senyawa nitrogen (amonia, nitrit, dan nitrat)

c. Gas

Gas yang ditemukan dalam limbah cair yang tidak mengalami proses pengolahan adalah

nitrogen (N), oksigen (O2), hidrogen sulfida(H2S), metana (CH), karbon

dioksida(CO)2,dan amonia (NH34).

1.2.4. Karakteristik Biologis

Menurut Metcalf and Eddy (2003) karaktreristik biologis pada air limbah merupakan

dasar untuk mengontrol timbulnya penyakit yang disebabkan oleh organisme patogen.

Karakteristik biologi yaitu bakteri dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di dalam

dekomposisi dan stabilisasi pada senyawa organik.

Page 6: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. PEMBAHASAN

Page 7: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Menurut undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang “Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang diartikan sebagai limbah adalah berbagai macam

sisa dari suatu kegiatan ataupun usaha yang bisa berupa buangan padat maupun cair.

Didalam suatu industri, setiap ada aktivitas produksi tentu selalu menghasilkan

sejumlah air buangan. Limbah buangan terutama limbah indutri pangan dikenal sebagai

limbah yang kaya akan kandungan senyawa organik yang dapat berkonstribusi sebagai

sumber kehidupan bagi sejumlah mikroorganisme (Jenie & Rahayu, 1993; Frazier &

Westhoff, 1988). Semakin tinggi kandungan organik tersebut maka akan semakin tinggi

beban limbah tersebut terhadap lingkungan, oleh karenanya sebelum dibuang ke

lingkungan dibutuhkan sejumlah pengolahan limbah supaya tidak mencemari

lingkungan sekitar dan mengganggu kehidupan biota perairan (Arvanitoyanis, 2008).

Susu kedelai, tahu dan tempe merupakan produk-produk olahan dengan menggunakan

kedelai sebagai bahan baku utama yang dikenal akan tingginya kandungan protein

nabati yang bisa mencapai 35% (Arman & Hardjo, 1973). Limbah buangan industri

kedelai tersebut dilaporkan dalam Bappeda (1993) mempunyai rata-rata kandungan

BOD, COD, TSS dan lemak/minyak berturut-turut adalah 4583 mg/l; 7050 mg/l; 4743

mg/l; 2 mg/l. Sedikit berbeda dengan kebanyakan limbah susu yang dikenal berbeban

berat, susu kedelai merupakan produk yang dikenal memiliki beban lingkungan yang

tergolong menengah mendekati berat yang terlihat dari nilai BOD yang bisa mencapai

10.000 mg/l (Jenie & Rahayu, 1993). Sumber polutan terbesar susu kedelai adalah dari

whey yang dihasilkan yang diketahui dari beberapa penelitian yang menunjukan nilai

rata-rata BOD antara 3000 mg/l – 4000 mg/l (Sutiyani et al, 2011; Hassan et al, 2004;

Jenie & Rahayu, 1993). Selama proses pengolahan susu kedelai, limbah cair (whey)

tersebut dihasilkan selama proses penyaringan berlangsung, namun demikian juga

dihasilkan sebagian kecil limbah padatan yang dihasilkan dari sisa-sisa penggilingan

dan pencucian bahan baku (Sani, 2006).

4.1. Pengolahan Limbah

Page 8: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Proses pengolahan limbah merupakan tahapan guna menurunkan kadar COD, BOD,

TSS, lemak/minyak serta mikroba patogen yang ada, sehingga ketika dibuang ke

lingkungan tidak memberikan efek pencemaran. Tahapan pengolahan limbah yang

digunakan umumnya bervariasi tergantung karakteristik limbah yang dihasilkan serta

beban lingkungan yang diberikan (LPTL, 2013). Limbah susu kedelai merupakan jenis

limbah organik, oleh karenanya dapat dilakukan pengolahan secara organik juga dengan

memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa-senyawa organik yang

terdapat didalam limbah tersebut (Nurhasan & Pramudyanto, 1991).

Proses pengolahan limbah pada dasarnya dibedakan menjadi 6 tahapan utama yang

dibedakan menjadi penanganan pendahuluan, penanganan primer, penanganan

sekunder, penanganan tersier, tahapan desinfeksi serta penanganan lanjutan (LPTL,

2013). Dalam praktikum, tahapan pengolahan limbah dilakukan hingga tahapan

desinfeksi. Tahap pertama yang dilakukan dalam praktikum adalah tahap penanganan

pendahuluan. Pertama – tama limbah cair susu kedelai diambil sebanyak 1 liter

kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Air limbah hasil penyaringan

tersebut ditampung di dalam ember. Kemudian hasil dari penyaringan digunakan untuk

proses pengolahan pertama atau primary treatment. Penanganan pendahuluan pada

dasarnya merupakan tahapan yang dilakukan guna memisahkan padatan yang terdapat

dalam limbah cair tersebut sehingga tidak menggangu dalam proses pengolahan.

Penanganan pendahuluan selalu didominasi oleh penanganan fisik seperti penyaringan

sama seperti yang dilakukan dalam praktikum (LPTL, 2013). Pada proses pengolahan

susu kedelai, memang padatan yang dihasilkan tidak terlalu banyak dimana dilaporkan

dalam Kusnoputranto (1984) bahwa limbah olahan kedelai sedikitnya mengandung

0,1% padatan tidak terlarut, namun demikian pemisahan padatan tetap harus dilakukan

sehingga proses pengolahan dapat berjalan dengan baik. Penyaringan pada tahap

pendahuluan digunakan untuk memisahkan padatan dengan ukuran molekul besar,

namun tidak dengan padatan-padatan yang berukuran molekul sangat kecil seperti

partikel koloid maupun partikel yang tersuspensi yang mempunyai ukuran molekul

antara 1 nm – 0,1 nm (Williams et al, 2007; Arvanitoyanis, 2008).

Langkah selanjutnya adalah penanganan secara primer, Pada pengolahan ini mula-mula

sebanyak 1 liter limbah air susu kedelai yang telah di pre-treatment diambil. Kemudian

Page 9: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

ditambah dengan koagulan Ca(OH)2 dengan konsentrasi 50000 ppm, Ca(OH)2 yang

ditambahkan sebanyak 50 gram dalam 1 liter limbah. Setelah koagulan ditambahkan,

dilakukan pengadukan dengan menggunakan jar testing dengan kecepatan 100 rpm

selama 1 menit, dilanjutkan kecepatan 25 rpm selama 15 menit. Kemudian larutan

diendapkan dengan cara mendiamkannya selama 30 menit agar seluruh flok mengendap

di dasar bekker glass (sedimentation). Setelah mengendap, dilakukan proses

penyaringan kembali dengan kain saring dan kertas saring untuk memisahkan endapan

dan filtrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa

dalam proses pengendapan ditambahkan zat kimia yang berfungsi sebagai koagulan,

yaitu Ca(OH)2. Proses pengendapan memiliki tujuan untuk menghilangkan padatan

halus, zat warna yang larut atau tersuspensi yang tidak dapat tersaring pada penyaringan

pendahuluan sehingga perlu dihilangkan untuk mempermudah pengolahan selanjutnya.

Koagulasi berfungsi agar dapat mengendapkan partikel-partikel yang halus karena

reaksi diantara bahan pengendap dan senyawa kimia dapat mengakibatkan butiran di

dalam bahan menjadi semakin besar sehingga memiliki berat jenis yang lebih besar dari

air (Sugiharto, 1987). Partikel koloid memang secara teori dapat mengalami

pengendapan secara alami dengan memanfaatkan gaya gravitasi, namun hal tersebut

terjadi dalam jangka waktu antara 2 tahun hingga 200 tahun tergantung ukuran dari

partikel koloid tersebut (EPA, 2004; Hammer, 1996). Pengendapan partikel koloid yang

sangat lama tersebut disebabkan karena stabilitas suspensi koloid yang sangat baik yang

dipengaruhi oleh gaya van der Walls; gaya elektrostatik dan gerak brown partikel koloid

(Williams et al, 2007). Oleh karena lamanya pengendapan secara alami, maka didalam

pengolahan limbah dilakukanlah cara kimia untuk mendestabilasi partikel koloid

tersebut supaya dapat membentuk flok yang terpisah dari limbah cairnya. Proses

pengendapan partikel koloid tersebut adalah proses koagulasi-flokulasi yang dilakukan

pada pengolahan primer yang merupakan satu rangkaian proses dimana koagulasi

berperan didalam men-destabilasi partikel koloid sedangkan flokulasi berperan dalam

proses konglomerasi membentuk flok yang lebih besar sehingga mudah diendapkan

(Hammer, 1996; LPTL, 2013; EPA, 2004).

Pada tahap Penanganan Primer terdapat Tahapan koagulasi-flokulasi dalam praktikum

dilakukan dengan memanfaatkan kapur Ca(OH)2 sebagai koagulan yang kemudian

Page 10: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

dilakukan pengadukan cepat dan dilanjutkan dengan pengadukan lambat pada jar

test.Koagulan serta dosis yang digunakan dalam proses koagulasi flokulasi harus

disesuaikan dengan karakteristik limbah yang dihasilkan dimana dalam hal ini terutama

adalah pH karena masing-masing koagulan memiliki kisaran pH optimal yang berbeda-

beda (Hammer, 1996). Proses koagulasi dengan menggunakan kapur Ca(OH)2 dalam

pengolahan limbah susu kedelai akan menghasilkan proses koagulasi yang kurang

optimal, hal ini disebabkan pH optimal Ca(OH)2 sebagai koagulan adalah pada kisaran

pH 9-11 (Qasim, 2000). Ketidak optimalan dari proses inipun dapat dilihat dari nilai

TSS yang menunjukan nilai rata-rata tiap kelompok adalah 2500 mg/l; 3800 mg/l dan

3600 mg/lserta kekeruhan larutan yang memang tampak agak keruh.Dalam proses

koagulasi susu kedelai akan sangat optimal bila dilakukan dengan menggunakan

kombinasi antara aluminium sulfat dengan Ca(OH)2 sebagai penetral keasaman limbah

susu kedelai tersebut, dimana hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti reaksi berikut :

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2Al(OH)3 + 3 CaSO4 + 14 H2O (EPA, 2004; LPTL,

2013)

Proses koagulasi selain memanfaatkan koagulan juga dilakukan pengadukan secara

cepat dimana proses pengadukan yang sangat cepat tersebut mengakibatkan partikel

koloid menjadi tidak stabil karena adanya penguraian menjadi partikel yang bermuatan

positif dan negatif. Ion-ion koloid yang terurai tersebut kemudian mengalami ikatan

ionic dengan senyawa koagulan yang digunakan sehingga akan terjadi ikatan antara

senyawa yang bermuatan positif dari koagulan dengan senyawa yang bermuatan negatif

dari partikel koloid tersebut yang membentuk suatu inti flok. Setelah inti flok terbentuk

maka dilakukan flokulasi dengan pengadukan lambat, dimana pada proses ini akan

terjadi penggabungan inti-inti flok melalui tumbukan antar inti flok dalam pengadukan

lambat membentuk flok yang lebih besar. Flok yang lebih besar tersebut umumnya akan

memudahkan dalam proses pengendapan sehingga partikel koloid tersebut dapat

dipisahkan dari limbah cair yang ada (Williams et al, 2007; Droste, 1997).

Page 11: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Gambar 1. Reaksi Koagulasi dan Flokulasi

Setelah terbentuk flok dalam proses koagulasi-flokulasi maka tahap berikutnya dalam

praktikum adalah melakukan penyaringan secara fisik kembali, penyaringan dilakukan

dengan menggunakan kertas saring. dimana hal ini dilakukan untuk memisahkan

endapan koloid dan partikel tersuspensi yang terbentuk pada saat proses koagulasi-

flokulasi.

Setelah sampel limbah susu kedelai tersebut disaring dipindah didalam ember dan

masuk pada tahapan penanganan sekunder selanjutnya adalah proses aerasi. Langkah-

langkah yang dilakukan yaitu sampel limbah yang sudah mengalami pengolahan

pertama, dimasukkan ke dalam gelas piala. Selanjutnya aerator dimasukkan dalam gelas

piala tersebut dan dilakukan proses aerasi selama 30 menit. Menurut teori Kusnaedi

(1998), proses aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapan O2 dari

udara pada sampel limbah olahan yang akan diproses. Pemasukan oksigen ini bertujuan

agar O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air limbah olahan.

Reaksi kation dan oksigen menghasilkan okasidasi logam yang sukar larut dalam air

sehingga dapat mengendap. Proses aerasi terutama untuk menurunkan kadar besi (Fe)

dan magnesium (Mg). kation Fe2+ tau Mg2+bila disemburkan ke udara akan membentuk

oksida Fe2O3 dan MgO. Proses aerasi harus diikuti proses filtrasi atau pengendapan.

Tujuan dari proses aerasi ini untuk menghilangkan zat–zat organik biodegradable yang

dapat diuraikan secara biologis. Dengan tahap proses aerasi ini, maka oksigen di dalam

air limbah cair akan meningkat dan mikroba–mikroba pengurai zat organik dapat

tumbuh optimal sehingga dapat menghilangkan zat–zat organik yang berada cairan

limbah dengan cara menguraikannya menjadi zat yang lebih sederhana. Selain itu tujuan

Page 12: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

dari proses shaker (aerasi) ini adalah untuk menghomogenkan komponen–komponen

yang berada dalam limbah cair susu sehingga proses penguraian zat organik ini menjadi

optimal, dalam proses aerasi ini menggunakan alat yang disebut aerator dengan cara

selang aerator dimasukkan ke dalam cairan limbah hingga dasar sampai terjadi

gelembung-gelembung udara. Proses aerasi dilakukan selama 30 menit.

Setelah tahap proses aerasi, selanjutnya adalah proses penghilangan senyawa anorganik

dan organik. Proses ini termasuk dalam tahapan penanganan tersier. Menurut teori dari

Sugiharto (1987), pada tingkat lanjutan (tertiary treatment) ini bertujuan untuk

menghilangkan senyawa kimia anorganik seprti kalsium, kalium, sulfat nitrat,

phospordan lainnya serta senyawa organik. Proses fisika, kima dan biologis yang terjadi

pada pengolahan tingkat lanjut ini antara lain : filtrasi, destilasi, pengapungan,

pembekuan. Proses kimia meliputi adsorbsi karbon aktif, pengendapan kimia,

pertukaran ion, elektro kimia, oksidasi dan reduksi.

Percobaan ini dilakukan dengan penambahan karbon aktif kedalam sampel limbah susu,

proses ini disebut dengan absorbsi. Karbon aktif yang ditambahkan adalah 3 gram

karbon aktif setiap 200 ml air limbah.dalam kelompok kami menggunakan karbon aktif

sebanyak 15 gram. Menurut teori Sugiharto (1987), karbon aktif mempunyai luas

permukaan yang besar sehingga dapat mempunyai daya serap yang baik, dan dapat

mengikat benda – benda organik dan partikel – partikel lain dengan baik didalam

sampel limbah. Penambahan karbon aktif ini merupakan proses tertiary treatment

karena bertujuan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik sehingga diharapkan

pada sampel limbah yang dihasilkan menjadi lebih jernih. Penjernihan air limbah

dipergunakan untuk mengurangi pengotoran bahan – bahan organik, partikel – partikel

termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) ataupun gabungan

antara bau, warna dan rasa.

Setelah proses penambahan karbon aktif dilakukan pengadukan selama 10 menit yang

bertujuan agar penyerapan oleh karbon aktif berjalan optimal sehingga limbah cair yang

dihasilkan benar – benar jernih. Setelah pengadukan dilanjutkan dengan penyaringan

dengan menggunakan kertas saring sehingga dihasilkan cairan limbah yang jernih.

Page 13: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Setelah proses absorbsi dan penyaringan,selanjutnya adalah proses desinfeksi. Menurut

teori Volk & Wheeler (1993), desinfeksi merupakan suatu proses penting dalam

pengendalian penyakit, karena tujuannya adalah membasmi bakteri patogen. Sehingga

tujuan utama dari proses ini adalah menurunkan atau menghilangkan mikroba patogen

dalam air limbah. Untuk melakukan proses desinfeksi ini dengan cara penambahan

desinfektan berupa klorin. Menurut teori Jenie & Rahayu (1993), klorin mempunyai

peranan penting dalam mengatasi limbah pertanian. Karena cara kerjanya yang dapat

mereduksi konsentrasi bakteri selain itu juga digunakan untuk mengatasi bau yang

timbul dari limbah.

Setelah proses desinfeksi selanjutnya adalah tahap penetralan. Untuk menetralkan pH

air limbah jika pH asam ditambahkan sedikit demi sedikit larutan NaOH 5% dan apabila

pH basa ditambahkan sedikit demi sedikit larutan HCI 5% hingga pH nya mendekati

netral. Hasil pH kloter kami didapatkan pada kelompok D1 hingga D3 yang

menggunakan sampel limbah susu kedelai diperoleh pH rata-rata sebesar 7,06. Menurut

teori Hammer & Hammer (1996), konsentrasi air limbah normal tingkat keasamannya

berkisar antara 6,5 – 8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang tinggi

mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam. Air menjadi asam

karena adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat dan asam klorida.

Sedangkan buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari buangan yang

mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida.

Setelah proses treatment, selanjutnya dilakukan pengamatan fisik meliputi bau, warna,

kekeruhan, suhu dan analisa padatan. Pada pengamatan fisik terlihat bahwa bau dari

limbah susu kedelai sangat berbau sama seperti sebelum dilakukannya treatment

khusus. Sedangkah untuk warna limbah tetap sama yaitu bening dan kekeruhan sama

dengan sebelum treatment yaitu agak keruh. Hal ini dapat dikatakan bahwa limbah yang

digunakan untuk uji treatment sama karakteristiknya dengan sampel limbah sebelum

dilakukan treatment khusus. Sedangkan untuk suhu, hasil sebelum dan sesudah

treatment yaitu sama dengan rata-rata suhu 61,5○C.

Analisa yang diteliti selanjutnya yaitu analisa padatan yang menghitung TS (total solid)

dengan cara cawan porselin kosong dioven selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam

Page 14: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

desikator selama 10 menit. Kemudian sampel air limbah sebanyak 2 ml dimasukkan ke

dalam cawan porselin. Setelah itu sampel dikeringkan kedalam oven bersuhu 103-105C

selama 24 jam. Untuk analisa TS ini, dilakukan dua kali pengulangan. Setelah

dikeringkan dalam oven, cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam desikator

selama 10 menit,dan ditimbang hingga tercapai berat konstan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Hammer & Hammer (1996) bahwa total solid adalah jumlah bahan yang

tertinggal di dalam cawan setelah evaporasi sampel air limbah setelah mengalami proses

pengeringan di oven dengan suhu 103-105C. Jika dilihat dari data yang didapat dari

kelompok 1 hingga 3 yang diambil nilai rata-ratanya, nilai TS tertinggi pada kelompok

D1 sebesar 11.000 mg/L, sedangkan nilai TS terendah pada kelompok D3 sebesar

10.000 mg/L, lalu untuk kelompok D2 nilai TS sebesar 10.500 mg/L. Data nilai rata-

rata TS setelah treatment yaitu dengan nilai TS terbesar pada kelompok D1 110.500

mg/L dan terendah pada kelompok D2 67.500 mg/L, sedangkan untuk kelompok D3

sebesar 92.00 mg/L. Dalam hasil pengamatan ini maka terjadi peningkatan TS pada

semua kelompok, hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Tchobanoglous (1981) bahwa

setelah dilakukannya treatment pada air limbah maka TS akan berkurang. Hal ini dapat

disebabkan saat proses koagulasi kurang maksimal karena saat pencampuran air limbah

dengan karbon aktif tidak dapat tercampur semua sehingga masih ada sisa karbon aktif

yang menggumpal dan berwarna hitam. Kemudian setelah dilakukan penyaringan

dengan kain saring dan kertas saring sebanyak 2 kali sampel limbah tersebut masih

berwarna keruh dan masih terdapat padatan yang tertinggal dengan warna hitam atau

bawaan dari karbon aktif. Namun menurut Mahida (1981) limbah cair pasti

mengandung benda-benda padat yang mengandung zat organik dan zat anorganik.

Analisa selanjutnya yaitu mengukur total suspended solid (TSS) dengan cara kertas

saring dioven pada suhu 105C selama 1 jam, lalu dimasukkan dalam desikator selama

10 menit, kemudian ditimbang hingga berat konstan. Kemudian sampel air limbah

sebanyak 50 ml disaring dengan menggunakan kertas saring. Lalu kertas saring berisi

residu hasil penyaringan limbah diletakkan pada cawan porselin dan dikeringkan dalam

oven pada suhu 105C selama 24 jam. Untuk analisa TSS ini, dilakukan dua kali

pengulangan. Setelah 24 jam dioven, kertas saring diambil dan dimasukkan ke dalam

desikator selama 10 menit, kemudian dilakukan penimbangan hingga tercapai berat

Page 15: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

konstan. Cara kerja yang dilakukan diatas sesuai dengan pernyataan Jenie & Rahayu

(1993) bahwa padatan tersuspensi total adalah residu yang tidak lolos saringan dan

penetapannya dengan cara menyaring sejumlah limbah melalui filter membran dan

dikeringkan pada oven dengan suhu 103-105C selama 24 jam. Dari hasil pengamatan

sebelum melalui proses treatment maka diperoleh hasil rata-rata nilai TSS tertinggi pada

kelompok D1 sebesar 1.040 mg/L sedangkan nilai TSS terendah pada kelompok D2 570

mg/L dan untuk kelompok D3 sebesar 680 mg/L. Sedangkan untuk nilai rata-rata TSS

sehabis treatment yaitu nilai tertinggi pada kelompok D2 3.800 mg/L dan teredah pada

kelompok D1 2.500 mg/L serta untuk kelompok D3 sebesar 3.600 mg/L. Dapat dilihat

bahwa nilai TSS mengalami peningkatan pada semua kelompok setelah ditreatment, hal

ini tidak sesuai karena seharusnya nilai TSS setelah proses treatment mangalami

penurunan. Hal ini dapat disebabkan proses treatment yang tidak maksimal ketika

dilakukan koagulasi sehingga pada saat penyaringan masih ada sisa padatan yang belum

terkoagulasi dan berhasil lolos dari kertas saring.

Analisa yang dilakukan selanjutnya adalah pengujian TDS (Total Dissolved Solid)

dengan cara mengurangkan nilai TS dengan TSS. Karena bahan yang tidak terlarut atau

residu yang tidak tersaring dapat ditentukan dengan perhitungan yaitu dengan

pengurangan antara konsentrasi padatan tersuspensi dan konsentrasi padatan total

(Hammer & Hammer, 1996). Dari hasil pengamatan sebelum dilakukan treatment maka

nilai rata-rata TDS yang diperoleh yaitu nilai tertinggi pada kelompok D1 sebesar 9.960

mg/L dan terendah pada kelompok D3 9.320 mg/L serta pada kelompok D2 sebesar

9930 mg/L. Data setelah dilakukan treatment diperoleh nilai rata-rata tertinggi pada

kelompok D1 108.000 mg/L dan nilai TDS terendah pada kelompok D2 63.700 mg/L

serta untuk kelompok D3 sebesar 88.900 mg/L. Dari data tersebut dapat dianalisa bahwa

nilai TDS mengalami peningkatan nilai setelah dilakukannya proses treatment. Hal ini

tidak sesuai karena seharusnya nilai TDS mengalami penurunan, hal ini dapat

disebabkan karena nilai TS dan TSS setelah proses treatment uga mengalami

peningkatan yang disebabkan proses treatment yang tidak maksimal ketika proses

koagulasi dan penyaringan.

Page 16: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Setelah pengujian fisik maka dalam air limbah ini juga dilakukan uji kimiawi yang

meliputi pengukuran pH, COD dan BOD. Pada taapan awal dilakukan pengukuran pH,

data yang diperoleh sebelum treatment adalah kelompok D1 sebesar 4,74, kelompok D2

sebesar 4,72 dan kelompok D3 sebesar 4,665. Nilai pH setelah dilakukan treatment

yaitu pada kelompok D1 sebesar 7,08, kelompok D2 sebesar 7,08 dan kelompok D3

sebesar 7,03. Dari data tersebut maka hasil setelah treatment mencapai pH yang sesuai

jika dibuang ke badan air. Karena menurut Sugiharto (1987) bahwa konsentrasi pH

normal diantara pH 6 hingga pH 8 serta air buangan yang memiliki ph yang tinggi atau

rendah maka dapat menyebabkan mikroorganisme yang diperlukan air tidak dapat

hidup, sehingga jika pH netral maka tidak berbahaya bagi kelangsungan kehidupan di

air dan kualitas air yang tidak tercemat oleh limbah.

Selanjutnya akan dilakukan analisa COD, analisa COD (Chemical Oygen Demand)

merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan dalam mg/L atau ppm yang dibutuhkan

dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi (Suhardi,

1991). Analisa COD dilakukan dengan cara limbah air hasil treatment sebanyak 10 ml

diencerkan dengan aquades hingga tanda tera dalam labu takar 100 ml. Hasil

pengenceran air limbah tersebut diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan kedalam

tabung erlenmeyer. Kemudian ditambah dengan 1 ml HgSO4 dan 20 ml K2Cr2O7. Selain

itu dibuat juga blanko dengan cara yang sama, namun sampel yang digunakan adalah

aquades sebanyak 10 ml. Penambahan larutan tersebut sesuai dengan Hammer&

Hammer (1996) bahwa pengujian COD menggunakan larutan HgSO4 dan K2Cr2O7.

Penambahan larutan ini berfungsi untuk mengasamkan larutan sehingga reaksi oksidasi

– reduksi terjadi secara maksimal (Suhardi, 1991). Pembuatan blangko bertujuan untuk

mengoreksi kesalahan yang dapat teradi karena adanya bahan organik dalam reagen.

Selanjutnya campuran larutan tersebut dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100C,

lalu didinginkan. Setelah dingin, larutan tersebut diambil sebanyak 10 ml lalu

ditambahkan 1,5 ml larutan KI 10%. Sesaat sebelum titrasi, larutan ditambah dengan 2

ml amilum. Penambahan KI menyebabkan terjadi reaksi antara ion K dengan oksigen

yang dibebaskan dari reaksi oksidasi diatas. Sedangkan untuk penggunaan amilum akan

menghasilkan warna biru tua hasil dari reaksi antara molekul-molekul pati dengan iodin

(Suhardi, 1991). Kemudian titrasi dengan Na2S2O30,1 N hingga larutan berubah warna

Page 17: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

menjadi biru bening. Untuk uji COD ini, dilakukan pengulangan sampel limbah hasil

treatment sebanyak 2 kali.

Data yang dihasilkan dari data sebelum treatment yaitu diperoleh nilai rata-rata COD

tertinggi pada kelompok D2 sebesar 28.560 mg/L sedangkan nilai COD terendah pada

kelompok D1 3.788 mg/L sedangkan untuk kelompok D3 sebesar 20.200 mg/L. Untuk

data setelah treatment nilai rata-rata COD tertinggi pada kelompok D1 sebesar 14.080

mg/L dan terendah pada kelompok D3 -635,12 mg/L sedangkan D2 sebesar 480 mg/L.

Dari hasil tersebut pada kelompok D1 mengalami kenaikan nilai COD sedangkan untuk

kelompok D2 mengalami penurunan nilai COD. Seharusnya nilai COD mengalami

penurunan seperti kelompok D2 tetapi yang terjadi pada kelompok D1 terjadi

peningkatan nilai COD, hal ini dapat disebabkan karena pada saat titrasi kurang teliti

dalam melakukannya. Sedangkan untuk kelompok D3 nilai COD negatif, hal ini dapat

terjadi karena volume Natrium Tiosulfat pada saat titrasi tinggi dan kemungkinan terjadi

kebocoran saat penyaringan. Nilai COD yang tinggi dapat menyebabkan pencemaran di

dalam air karena terdapat zat-zat organik yang berasal dari berbagai sumber dan limbah

susu kedelai mengandung zat-zat organik yang cukup banyak sehingga dapat

mencemari air (Suhardi, 1991).

Uji yang dilakukan selanjutnya yaitu BOD (Biological Oxygen Demand) pada air

limbah susu kedelai. Uji BOD merupakan jumlah oksigen terlarut yang digunakan oleh

kegiatan kimia atau mikrobiologik. Oksigen digunakan untuk oksidasi bahan organik

sehingga BOD menunjukkan indikasi kasar jumlah kandungan bahan organik dalam

contoh tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Penentuan BOD perlu dilakukan karena di

dalam air limbah akan ada penguraian zat organik oleh bakteri. Penguraian zat organis

terjadi secara alami karena saat badan air tercemar oleh zat organis dan zat ini

terkontaminasi maka akan terjadi proses oksidasi yang dapat menyebabkan kematian

pada ikan (Alaerts & Santika, 1984). Uji BOD dilakukan dengan cara limbah air susu

kedelai sebanyak 100 ml diencerkan hingga 1000 ml dengan air aerasi. Pengenceran

dilakukan untuk mengantisipasi limbah yang memiliki kandungan yang tinggi.

Sebanyak 600 ml yang sudah diencerkan dimasukkan ke dalam botol BOD yang

berwarna coklat. Untuk uji pengamatan dilakukan pengambilan sampel limbah

Page 18: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

sebanyak 400 ml. Sedangkan untuk sisa sampel limbah sebanyak 400 ml yang sudah

diencerkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambah dengan 3 ml KI, 3 ml

MnSO4, lalu didiamkan selama 15 menit. Penambahan MnSO4 akan menyebabkan

oksidasi MnSO4 oleh oksigen sehingga menghasilkan endapan MnSO4 (Alaerts &

Santika, 1984). Kemudian, dilakukan penambahan H2SO4 pekat 98% sebanyak 3 ml.

Dari campuran larutan tersebut, diambil sebanyak 200 ml dan ditambah dengan 2 ml

amilum, lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,01 N hingga warna larutan berubah menjadi

bening, begitu pula dengan 200 ml lainnya. Sedangkan untuk pengukuran nilai BOD5

digunakan untuk mengukur polusi baik pada air limbah maupun air tanah. Nilai yang

menjadi parameter adalah hasil pengukuran dari oksigen terlarut yang digunakan oleh

mikroorganisme dalam oksidasi biokimia. Inkubasi dilakukan selam 5 hari dan

disimpan pada suhu ruang (Tchobanoglous, 1981).

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan analisa BOD dan BOD5 pada limbah cair

susu kedelai dengan sampel sebanyak 100 ml diperoleh nilai volume Na2S2O3 tiap

kelompok nilai voleme BOD5 lebih rendah dibandingkan dengan volume Na2S2O3 pada

analisa BOD0, serta diperoleh nilai rerata BOD tiap kelompok tertinggi pada kelompok

D1 sebesar 110,2 mg/L dan terendah pada kelompok D2 26 mg/L sedangkan untuk

kelompok D3 sebesar 65,5 mg/L. Jika dibandingkan dengan baku mutu limbah maka

nilai BOD pada masing-masing kelompok relatif aman karena dibawah 150 mg/L.

Sehingga jika limbah hasil treatment ini dibuang ke lingkungan aman karena nilai BOD

sesuai dengan syarat yang diberikan oleh pemerintah mengenai baku mutu limbah.

Hasil pengamatan limbah susu kedelai setelah proses treatment pada praktikum ini yaitu

nilai temperatur, BOD, COD, TSS, pH akan dibandingkan dengan baku mutu limbah

keluaran produk olahan kedelai. Temperatur air limbah pada saat praktikum yaitu

61,5○C sedangkan pada baku mutu limbah sebesar 38○C, suhu yang tinggi pada saat

praktikum dikarenakan air limbah yang masih panas sehabis proses pembuatan susu

kedelai. Untuk nilai TSS hasil pengamatan pada saat praktikum yaitu diantara 2500

hingga 3600 mg/L, hal ini tidak sesuai dengan baku mutu limbah yang ditentukan oleh

pemerintah yaitu 275 mg/L. Nilai COD yang dihasilkan setelah proses treatment pada

semua kelompok memiliki nilai diantara -635,12 hingga 14.080 mg/L sehingga tidak

Page 19: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

sesuai dengan baku mutu limbah yaitu sebesar 275 mg/. Sedangkan untuk nilai BOD

yang didapat dari hasil praktikum yaitu diantara 26 hingga 110,2 sehingga sesuai

dengan baku mutu limbah yaitu sebesar 150 mg/L. Untuk nilai pH setelah proses

treatment yaitu pH 7,03 dan 7,08 sehingga sesuai dengan baku mutu limbah yang

menentukan bahwa nilai pH diantara 6-9. Jika dilihat dari perbandingan diatas nilai

COD dan TSS tidak sesuai dengan baku mutu limbah sehingga jika dibuang ke

lingkungan belum memenuhi standar. Untuk nilai BOD dan pH sudah sesuai dengan

baku mutu limbah karena nilai BOD dibawah baku mutu limbah dan nilai pH diantara

nilai yang ditetapkan sebagai baku mutu limbah. Untuk temperatur sendiri suhu saat

praktikum cukup tinggi dikarenakan sampel air limbah masih dalam keadaan panas

sesudah proses pengolahan susu kedelai.

Page 20: LAPORAN PRAKTIKUM LIMBAH D1_TEKNOLOGI PANGAN_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

3. KESIMPULAN

Treatment yang dilakukan pada praktikum ini yaitu perlakuan pendahuluan, primary

treatment, secondary treatment, tertiaryy treatment, desinfeksi dan netralisasi.

Prymary treatment dilakukan dengan cara penyaringan dan koagulasi.

Bahan yang digunakan sebagai koagulan yaitu Ca(OH)2

Secondary Treatment dilakukan dengan cara aerasi.

Proses aerasi bertujuan untuk memproduksi oksigen sehingga mikroba yang

membantu proses aerasi dapat hidup.

Tertiary Treatment dilakukan dengan cara penambahan karbon aktif dalam proses

absorbsi.

Desinfeksi bertujuan untuk menghilangkan mikroba patogen.

Netralisasi bertujuan untuk menetralkan pH, jika pH air limbah asam maka ditambah

NaOH sedangkan jika pH basa ditambahkan HCl.

Analisa padatan yang dihasilkan setelah treatment mengalami peningkatan jumlah

nilainya.

pH yang dihasilkan setelah treatment yaitu netral pada pH 7,03 dan 7,08.

Pada analisa TS, TSS, TDS, dan COD terjadi peningkatan jumlah setelah

dilakukannya treatment.

Nilai TSS dan COD hasilnya diatas baku mutu limbah.

Nilai BOD yang dihasilkan pada praktikum ini dibawah baku mutu limbah.

Semarang, 22 September 2014 Praktikan, Asisten DosenYohana Christin N. 12.70.0051 - Melita Noveliani AtmajaMyriam Theresa Angen 12.70.0083M.E. Yuliana Puspa S. 12.70.0128Yeremia Adi 12.70.0152Tri Kurnia Utami 12.70.0189

20