laporan praktikum limbah a3_teknologi pangan_unika soegijapranata

Upload: praktikumlimbah2014

Post on 10-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

limbah yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah cair hasil pencucian sayuran.

TRANSCRIPT

1. DESKRIPSI LIMBAH

1.1. Data Sampel Limbah1.1.1. Jenis LimbahJenis limbah yang digunakan dalam praktikum kelompok A3 ini adalah limbah cair dari pencucian sayur. Limbah ini diambil langsung dari air pencucian beberapa sayur, seperti kangkung, kaylan, wortel, dan sebagainya, sehingga tidak menggunakan sabun ataupun deterjen.

1.1.2. Waktu PengambilanPengambilan limbah ini dilakukan pada hari Selasa, 26 Agustus 2014 (limbah untuk uji pendahuluan) dan pada hari Selasa, 2 September 2014 (limbah untuk uji utama) sekitar pukul 09.00 WIB dengan memasukkannya ke dalam botol minum 1,5 L dan menyimpannya selama 1 malam pada suhu ruang untuk dilakukan pengujian pada keesokan harinya. Jumlah limbah yang diambil adalah sebanyak 6 liter untuk kelompok A1, A2, dan A3.

1.1.3. Tempat Pengambilan LimbahLimbah cair ini diambil dari rumah makan Tio Ciu yang terletak di Jalan Gajahmada 73, Semarang dengan nomor telepon (024) 3521286.

1.1.4. Debit Limbah per HariDalam satu hari, rumah makan ini menghasilkan limbah sebanyak 25 L. Namun belum ada prosedur penanganan limbah cair yang diterapkan oleh rumah makan ini terhadap limbah cair yang dihasilkan sebelum dibuang. Limbah ini tidak ditampung terlebih dahulu, tetapi setiap mencuci bahan-bahan, limbah langsung dibuang ke saluran air.

1.2. Karakteristik Limbah1.2.1. Karakteristik UmumDalam praktikum kali ini, limbah yang digunakan adalah limbah pencucian sayur. Pencucian sayur dilakukan untuk menghilangkan kotoran, residu pestisida dan mikroorganisme yang menyebabkan kehilangan kualitas akibat pertumbuhan mikroba (Zagory, 1999). Limbah air yang dihasilkan dari pencucian sayur cukup banyak dan mengandung bahan-bahan organik maupun senyawa-senyawa yang dapat mencemari lingkungan. Maka itu perlu dilakukan pengolahan limbah cair agar aman jika dibuang ke badan air / lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiharto (1987) bahwa air limbah (wastewater) merupakan kotoran dari masyarakat yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan maupun buangan lainnya yang harus diolah terlebih dahulu agar tidak mencemari lingkungan sekitar dan tidak membahayakan kesehatan.

Menurut Mahida (1992), limbah cair memiliki kandungan yang bervariasi dan sangat tergantung dari asal limbah tersebut. Namun secara garis besar limbah cair mengandung air (99,9%) dan padatan (0,1%). Padatan dalam limbah cair terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik (butiran, garam, dan logam). Zat organik yang ada dalam limbah tersebut banyak mengandung nitrogen, karbohidrat, dan lemak. Zat ini bersifat mudah busuk, sehingga dapat mengeluarkan bau yang tidak sedap, sedangkan bahan anorganik pada umumnya tidak merugikan. Air limbah juga relatif bersifat tidak tetap. Berdasarkan sumber penghasil dan penyebabnya, air limbah dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu air limbah domestik, air limbah industri, serta air limbah limpasan dan rembesan air hujan (Ibnu, 1997). Suryo (2009) menambahkan bahwa tidak hanya limbah industri yang dapat menyebabkan pencemaran, namun limbah domestik juga dapat menyebabkan pencemaran. Air limbah domestik biasanya berasal dari kegiatan penghunian, seperti rumah tinggal, hotel, perkantoran, pertokoan, pasar, dan fasilitas pelayanan umum lainnya, sedangkan air limbah industri biasanya berasal dari kegiatan industri, seperti industri pengolahan pangan, logam, kimia, tekstil, dan sebagainya. Air limbah limpasan dan rembesan air hujan adalah air limbah yang jatuh diatas permukaan tanah dan meresap ke dalam tanah (Ibnu, 1997). Limbah cair pengolahan pangan biasanya mempunyai kandungan nitrogen yang rendah, BOD dan padatan tersuspensi tinggi, serta berlangsungnya proses dekomposisi yang cepat. Limbah cair yang segar mempunyai pH mendekati netral dan selama proses penyimpanan akan terjadi penurunan pada pH tersebut. Limbah cair pengolahan makanan dihasilkan dari proses pemotongan, pencucian, blanching, pasteurisasi, pembersihan peralatan pengolahan, dan pendinginan produk akhir (Jenie & Rahayu, 1993). Kristanto (2002) mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas limbah, yaitu volume limbah, kandungan bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah.

Limbah yang digunakan pada praktikum kali ini berasal dari limbah pencucian sayur di salah satu rumah makan di Semarang. Limbah yang dihasilkan dari rumah makan secara garis besar dapat digolongkan menjadi 4 kategori. Kategori yang pertama adalah limbah organik yang cepat mengalami pembusukan, dimana limbah tersebut bersifat padat dan mudah busuk atau terurai oleh mikroorganisme seperti sisa makanan, sampah sayuran, kulit buah-buahan, daun-daunan, dan lainnya. Pembusukan pada limbah organik ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan dibentuknya gas metana (CH4) yang menimbulkan masalah lingkungan. Kategori yang kedua yaitu limbah anorganik yang berasal dari makhluk tidak hidup dan bersifat tidak mudah busuk seperti kertas, plastik, dan bahan-bahan sintetis / buatan. Kategori limbah yang ketiga merupakan limbah cair berupa hasil buangan cucian piring (air deterjen) dan hasil pencucian bahan-bahan baku, seperti sayur serta buah-buahan. Kategori limbah yang dihasilkan di rumah makan selanjutnya adalah limbah minyak sisa penggorengan yang tidak dapat larut air (Anonim, 2008).

Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah pencucian sayur dapat dijadikan sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Hal tersebut dikarenakan adanya pasokan makanan yang sangat berlimpah. Dengan demikian, mikroorganisme akan berkembang biak dengan cepat dan mereduksi oksigen terlarut yang terdapat di dalam air (Jenie & Rahayu, 1993). Air limbah yang tercemar mempunyai ciri-ciri dan dapat diketahui dari kekeruhan, rasa, warna, dan bau yang ditimbulkan. Bau tersebut muncul karena mikroorganik menguraikan zat-zat organik yang menghasilkan gas tertentu serta adanya reaksi kimia yang menimbulkan gas (Gintings, 1992).

Penanganan limbah sebelum dilepaskan / dibuang ke lingkungan ataupun badan air harus sangat diperhatikan, sebab dalam limbah dimungkinkan masih mengandung senyawasenyawa racun dan zat-zat hidup, khususnya bakteri, virus dan protozoa. Hal tersebut merupakan wadah yang baik untuk pembiakan jasad-jasad renik. Limbah industri pangan juga dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, lemak, protein, garam-garam mineral serta sisa-sisa bahan kimia (Otto, 1986). Oleh karena itu perlu adanya pengolahan air limbah, dimana dilakukannya proses untuk mengolah limbah cair tersebut dengan berbagai tahapan seperti misalnya secara fisik, kimia, maupun biologi. Beberapa syarat limbah yang dapat dibuang ke saluran umum diantaranya adalah bertemperatur 100-110F, karena limbah yang panas akan cepat merusak beton dan logam yang ada di dalam saluran kotoran; memiliki pH limbah berkisar antara 5,5 dan 9; konsentrasi zat yang berlemak pada air limbah tidak melebihi 100 mg/L; tidak mengandung gas-gas yang beracun, berbau tengik, dan mengandung gas yang dapat terbakar atau meledak; tidak mengandung zat-zat padat yang dapat mengendap; serta memiliki ukuran yang seragam (Mahida, 1992).

Secara umum, menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), terdapat 6 tahapan dalam proses pengolahan air limbah, yaitu : Penanganan pendahuluan (pre-treatment)Dalam tahap ini dilakukan penyaringan dengan saringan kasar terhadap limbah cair yang akan diolah. Penyaringan ini bertujuan untuk menghilangkan bahan yang berukuran besar, seperti kerikil, lumpur, pasir, sisa sayur, dan sebagainya yang mudah teridentifikasi karena langsung terlihat oleh mata. Pemilihan saringan yang digunakan adalah yang tidak mudah berkarat sehingga tidak menimbulkan kontaminan tambahan berupa logam. Saringan yang digunakan juga harus dikontrol secara berkala agar tidak terjadi ketersumbatan karena pada umumnya limbah mengandung banyak sekali padatan yang terapung atau melayang. Jadi dapat diketahui bahwa tujuan dari proses penyaringan ini adalah untuk menghilangkan benda-benda yang terapung dan tampak oleh mata (Mahida, 1992). Hal ini didukung pula oleh pernyataan dari Gintings (1992) bahwa penyaringan pada tahap pre-treatment bertujuan untuk memisahkan padatan tidak terlarut dan bahan kasar lain yang bentuknya cukup besar, sehingga padatan ini tertahan dan filtratnya turun. Kemudian untuk benda-benda padat yang dapat melalui saringan akan dipisahkan melalui tahap selanjutnya. Penanganan primer (primary treatment)Tahap primary treatment ini dilakukan melalui 2 metode, yaitu metode fisik dan metode kimia. Pengolahan fisik dengan pengendapan yang menggunakan gaya gravitasi bumi diperlukan karena masih terdapat padatan yang terlarut atau terbawa oleh air, seperti zat warna yang larut maupun padatan tersuspensi lainnya. Padatan-padatan tersebut perlu dihilangkan untuk mempermudah pengolahan tahap selanjutnya. Metode kimia juga dapat dilakukan untuk mengendapkan bahan padatan dengan penambahan bahan kimia. Reaksi yang terjadi antara senyawa kimia dengan bahan pengendap yang digunakan akan mengakibatkan bahan butiran padatan menjadi bertambah besar sehingga memiliki berat jenis yang lebih besar dari berat jenis dari air. Hanya saja tidak semua reaksi dapat bereaksi dengan senyawa kimia tertentu. Selain bertujuan untuk mengendapkan, bahan pengendap yang diberikan juga akan mengubah alkalinitas dari air limbah sehingga buangan air limbah akan lebih netral dengan adanya metode netralisasi. Dalam pengolahan di industri, keberhasilan pengendapan dipengaruhi oleh ukuran partikel, konsentrasi padatan, berat jenis partikel, suhu air limbah, retention time, banyaknya udara yang kontak dengan air limbah, dan pilihan koagulan yang digunakan, karena koagulan yang digunakan mempengaruhi keasaman dari air limbah.

Proses penghilangan padatanpadatan yang dapat mengendap dengan bantuan gaya gravitasi disebut dengan proses sedimentasi, dimana proses ini tidak dibantu oleh gaya pengental. Proses sedimentasi ini dapat menghilangkan bendabenda padat sebanyak 80% dan 35-40% senyawasenyawa organik (Mahida, 1992). Adapula proses pengendapan dengan penambahan bahan kimia kepada dispersi koloid yang mengakibatkan ketidakstabilan partikel oleh pengurangan gaya-gaya yang cenderung membuat partikel terpisah dan disebut dengan proses koagulasi. Salah satu sifat penting dari keadaan koloid adalah partikel koloid masing-masing mempunyai muatan listrik yang menyebabkan koloid saling tolak-menolak, sehingga tidak terjadi penggabungan menjadi partikel yang lebih besar (Birdi, 1979).

Proses koagulasi ini berhubungan dengan proses sedimentasi, dimana proses koagulasi dapat mempercepat proses sedimentasi. Bahan koagulan utama yang sering digunakan dalam proses pemurnian air adalah aluminium sulfat atau yang disebut juga filter aluminium, copperas, ferro sulfat, kapur, ferri klorida, chlorinated copperas, boothal (campuran aluminium sulfat dengan soda abu), dan silikat aktif (Winarno, 1986). Dari hasil reaksi koagulan tersebut, selanjutnya endapan dipisahkan melalui filtrasi maupun sedimentasi. Jumlah koagulan yang digunakan dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi ion-ion yang larut dalam air limbah. Proses koagulasi ini biasanya dipercepat dengan dilakukannya pengadukan dengan mixer statis maupun rapid mixer dalam air limbah. Pengadukan cepat bertujuan untuk menghomogenkan suasana di dalam kompartemen pada saat koagulasi, sedangkan pengadukan lambat bertujuan agar polimer dapat menangkap dan berikatan dengan partikel yang terkoagulasi. Selain pengadukan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses koagulasi, yaitu efek pH dan garam (Kusnaedi, 1998). Penanganan sekunder (secondary treatment)Pada tahapan ini terjadi proses biologis untuk menghilangkan bahan-bahan organik melalui oksidasi oleh mikroba yang dapat terjadi bila terdapat oksigen. Pada tahap secondary treatment terdapat dua cara untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah, yaitu dengan memasukkan oksigen ke dalam air limbah dengan sistem aerasi dan dengan memaksa air ke permukaan agar mengalami kontak dengan oksigen. Pemasukan oksigen melalui sistem aerasi bertujuan agar oksigen yang berada di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air olahan. Reaksi kation dan oksigen ini akan menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga dapat mengendap. Sistem aerasi sesuai dan cocok untuk menurunkan kadar besi (Fe) dan magnesium (Mg) (Kusnaedi, 1998). Cara kedua adalah dengan mengontakkan air limbah dengan oksigen melalui pemutaran baling-baling yang diletakkan pada permukaan air limbah. Jasad renik yang ada di dalam air limbah pun akan menggunakan oksigen tersebut untuk mengoksidasi benda organik menjadi energi, bahan buangan lainnya serta gas (Sugiharto, 1987). Penanganan tertier (tertiary treatment)Tahapan ini digunakan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik, seperti kalium, fosfor yang masih terdapat dalam limbah cair. Namun tidak hanya senyawa kimia anorganik saja yang dihilangkan, terkadang senyawa organik yang masih terkandung dalam limbah dapat dihilangkan pula. Tertiary treatment ini dilakukan dengan proses kimia (adsorbsi karbon aktif, pengendapan kimia, pertukaran ion, elektro kimia, dan oksidasi-reduksi), fisika (filtrasi, destilasi, pengapungan, pembekuan), dan biologis (penelitian bakteri dan alga nitrifikasi). DesinfeksiTahapan desinfeksi diperlukan untuk menurunkan atau menghilangkan mikroba yang bersifat patogen pada limbah cair pangan karena besar kemungkinan adanya mikroorganisme patogen yang berbahaya pada manusia. Tahapan ini sangat penting karena semua virus dan bakteri penyebab penyakit akan dikendalikan. Mekanisme pembunuhan yang dilakukan oleh desinfektan ini sangat bergantung pada kondisi dari zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri. Salah satu desinfektan yang sering digunakan yaitu klorin yang dapat mematikan bakteri dengan cara merusak atau menginaktifkan enzim utama, sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Penanganan lanjutan (ultimate disposal)Pada penanganan lanjutan ini, lumpur yang merupakan hasil akhir dari pengolahan limbah pada tiap penanganan dilakukan pemanfaatan kembali untuk keperluan yang bermanfaat, seperti pupuk, kolam penimbunan dan pengisian tanah yang cekung (land filling) (Jenie & Rahayu, 1993).

1.2.2. Karakteristik FisikawiLimbah mempunyai karakteristik fisikawi yang dapat ditentukan berdasarkan jumlah padatan (padatan terlarut, padatan tersuspensi, total padatan), kekeruhan, warna, bau, dan temperatur. Beberapa karakteristik fisikawi tersebut dapat dikenali secara visual melalui indera manusia, sehingga bersifat subjektif (Gintings, 2008). Karakteristik fisikawi yang dimaksud meliputi: Bau Bau dari limbah dapat menunjukkan apakah limbah tersebut masih baru atau sudah mengalami pembusukan. Bau busuk yang muncul pada limbah cair dapat terjadi dikarenakan adanya gas terlarut, hasil pembusukan bahan organik, ataupun aktivitas dari mikroorganisme yang menghasilkan gas tertentu. Limbah industri pangan pada umumnya berupa limbah organik yang bersifat biodegradable yang mengandung karbohidrat dan protein tinggi, seperti pada sampel yang digunakan pada praktikum ini, yaitu limbah pencucian sayur, sehingga dapat diuraikan oleh alam dengan bantuan mikroorganisme (Sugiharto, 1987). Menurut Suhardi (1991), melalui penciuman, kita dapat mengetahui kualitas dari limbah cair tersebut. Limbah yang berbau terlalu menyengat mengindikasikan bahwa limbah tersebut mengandung kandungan organik yang cukup tinggi karena adanya proses pembusukan bahan organik oleh mikroorganisme. Senyawa-senyawa penyebab bau ini dapat dianalisa melalui evaluasi sensori indera pembau dan GC (Gas Chromatography) (Suhardi, 1991). Warna dan KekeruhanKekeruhan merupakan sifat optik yang menyebabkan sinar tersebar dan atau diserap. Tingkat kekeruhan pada limbah cair dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Kekeruhan air limbah ini dapat disebabkan karena adanya bahan tersuspensi (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Gintings (1992), kekeruhan disebabkan karena adanya bahan yang terapung dan terurainya zat tertentu seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah liat, dan benda lain yang sangat halus. Dengan melihat tingkat kekeruhan limbah cair, maka dapat diketahui banyak atau tidaknya padatan organik atau anorganik dalam limbah cair. Selain menggunakan spektrofotometer, kekeruhan juga dapat diukur dengan menggunakan turbidimeter. Sebelum kekeruhan diukur menggunakan turbidimeter, dilakukan jar test terlebih dahulu terhadap limbah cair yang telah ditambahkan koagulan pada konsentrasi tertentu. Tujuan dari jar test ini adalah untuk menentukan konsentrasi optimal dari koagulan yang digunakan pada proses pengolahan jenis limbah yang akan dilakukan treatment (Hanum, 2002). Prinsip kerja dari jar test adalah zat yang terlarut dalam air akan menempel pada permukaan koloid dan mengubah muatan elektrisnya, sedangkan zat yang tidak terlarut akan mengendap, menangkap koloid, dan membawanya ke dasar wadah (Efriandi, 2009).

Kekeruhan ini dapat dihilangkan melalui proses penyerapan (adsorbsi) yang dipergunakan untuk penjernihan air limbah dan mengurangi pengotoran bahan organik, partikel, maupun benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable), serta gabungan antara bau, warna dan rasa. Proses penyerapan ini terjadi pada seluruh permukaan benda, sehingga partikel yang terdapat dalam air limbah dapat diserap oleh bahan-bahan padat (bahan penyerap) yang sering disebut dengan adsorbent, sedangkan bahan yang diserap disebut sebagai adsorbate / solute. Luas permukaan dari adsorbent akan mempengaruhi harga dari adsorbent itu sendiri. Jika adsorbent memiliki luas permukaan yang lebih luas tiap unitnya, maka harga dari adsorbent pada umunya lebih mahal. Luas permukaan dari adsorbent ini dapat ditingkatkan dengan melakukan pembelahan bahan adsorbent tersebut.

Karbon aktif merupakan salah satu bahan adsorbent alamiah berupa butiran karbon dan bubuk karbon yang dipergunakan dalam pengolahan air limbah dan setelah dipergunakan dapat diaktifkan kembali. Karbon awal disiapkan dengan membuat arang dari bahan kayu atau batubara yang dibakar sampai mengalami perubahan warna menjadi merah, kemudian partikel batubara diaktifkan dengan cara menambah gas O2 pada tekanan tinggi, sehingga gas tersebut mengambangkan struktur rongga yang ada pada batu bara dan luas permukaannya pun menjadi luas. Karbon aktif yang mempunyai luas permukaan yang besar ini memiliki daya serap yang baik dan dapat mengikat benda-benda organik dan partikelpartikel lain dengan baik (Sugiharto, 1987)

Kualitas limbah juga dapat dilihat dari segi warna. Jika warna air limbah semakin pekat, maka limbah tersebut semakin kotor. Air limbah yang masih baru berwarna abu-abu dan air limbah yang sudah lama akan berwarna gelap (Mahida, 1992). Ibnu (1997) menambahkan bahwa warna limbah yang berumur 6 jam adalah coklat muda, air limbah yang sedang mengalami pembusukan menjadi abu-abu tua, sedangkan air limbah yang sudah busuk oleh bakteri anaerob adalah berwarna hitam. Bahaya pada limbah juga dapat dilihat dari warnanya. Jika warna limbah hitam, maka terdapat kandungan Pb dalam jumlah yang tinggi. Jika warna limbah kuning, maka terdapat kandungan Fe yang tinggi dan jika warna limbah biru, maka kandungan Cu tinggi (Suhardi, 1991). Suhu / temperatur Setiap jenis air limbah mempunyai temperatur yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena kondisi udara sekitar ataupun air panas yang dibuang ke saluran dari rumah / industri (Sugiharto, 1987). Temperatur dapat digunakan untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan, dan nilai-nilai penjenuhan dari benda padat, dan gas. Suhu yang tinggi juga dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme pengurai, sehingga aktivitas biologis menurun (Mahida, 1992). Suhu di dalam air limbah dapat berubah karena adanya aktivitas kimiawi biologis pada benda padat dan gas dalam air. Pembusukan cepat terjadi pada suhu yang tinggi dan tingkatan oksidasi zat organik lebih besar (Gintings, 1992).

Proses pengolahan biasanya menggunakan suhu yang tinggi dan hal ini akan mengakibatkan suhu limbah menjadi lebih tinggi daripada suhu normal. Pada limbah sisa pencucian, pada umumnya memiliki suhu yang tinggi. Hal itu disebabkan karena adanya reaksi eksotermis akibat penggunaan deterjen, sabun, dan bahan kimia lain. Suhu yang tinggi pada buangan atau limbah ini harus diwaspadai karena dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air dan juga dapat memicu perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan (Sastrawijaya, 1991). Mahida (1992) menjelaskan bahwa pada suhu tinggi ( 60oC), maka akan menunjukkan bahwa adanya aktivitas biologis yang semakin meningkat pada air limbah , sedangkan pada suhu ruang ( 27oC) maka akan menunjukkan adanya proses pembusukan limbah tersebut. Kandungan PadatanPadatan terdiri dari bahan padat organik maupun anorganik yang larut, mengendap maupun tersuspensi (Gintings, 1992). Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid / TDS) merupakan jumlah kepekatan di dalam air atau residu yang dapat melewati filter 2,0 m atau lebih kecil dan dapat dinyatakan dalam mg per liter atau ppm. Selain itu, padatan terlarut total dapat dengan cepat menentukan kualitas air limbah. TDS tidak ditentukan secara langsung, tetapi dihitung dengan mengurangi konsentrasi total padatan dengan konsentrasi padatan tersuspensi total. Fraksi padatan yang dapat melewati saringan terdiri atas padatan koloid dan padatan terlarut. Fraksi padatan koloid merupakan padatan yang mempunyai diameter 10-3 hingga 1 mikron, sedangkan padatan terlarut tersusun atas ion-ion dan molekul organik maupun anorganik yang larut dalam air. Fraksi padatan koloid tidak dapat dipisahkan dengan pengendapan, namun dibutuhkan perlakuan khusus. Umumnya, oksidasi biologi atau koagulasi yang diikuti dengan pengendapan, diperlukan untuk memisahkan partikel tersebut (Tchobanoglous, 1981).

Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid / TSS) merupakan jumlah bobot bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu atau residu yang tidak dapat lolos pada saringan dan biasanya diukur dalam satuan miligram per liter atau ppm (Sastrawijaya, 1991). TSS ini dapat diukur dengan cara menyaring sejumlah air limbah melalui filter membran. Lalu diperoleh berat kering setelah dilakukan pengeringan satu jam pada suhu 103-105 oC (Sugiharto, 1987 dan Jenie & Rahayu, 1993). Air limbah industri pada umumnya mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah yang berbeda-beda, tergantung dari jenis industrinya, misalnya limbah dari industri makanan, seperti industri fermentasi biasanya mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah tinggi. TSS yang sangat tinggi akan mengurangi penetrasi sinar / cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis. Total padatan (Total Solid / TS) adalah jumlah bahan yang tertinggal di dalam cawan setelah evaporasi sampel air / air limbah yang kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 103-105C selama 1 jam. Lalu didinginkan dalam desikator, dan kemudian ditimbang hingga berat menjadi konstan. Miligram total padatan sebanding antara berat cawan setelah didinginkan dan berat cawan yang kosong. Rumus konsentrasi total padatan adalah:

(Hammer & Hammer, 1996)

1.2.3. Karakteristik KimiawiAnalisa kimiawi limbah cair bertujuan untuk menentukan konsentrasi zatzat kimia, mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan yang membahayakan di dalam limbah dan untuk menentukan tingkat kebusukan limbah. Analisa kimiawi limbah cair menacakup tentang analisa nitrogen, klorida, sulfat, dan sulfida, kebutuhan oksigen biokimiawi, stabilitas methylene blue atau stabilitas relatif, oksigen yang dipakai, kebutuhan oksigen kimiawi, oksigen yang larut, potensi oksidasireduksi, dan pH atau konsentrasi ion hidrogen (Utomo, 1998). Menurut Ryadi (1984), karakteristik kimia limbah cair meliputi pH, COD, dan BOD. Pengukuran kadar organik dari limbah meliputi pengukuran COD dan BOD. Pada umumnya, nilai BOD lebih rendah daripada nilai COD karena adanya bahan organik yang tidak dapat dipecah secara biologis (Jenie & Rahayu, 1993).

Karakteristik kimiawi limbah cair, meliputi : CODChemical Oxyggen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi yaitu banyaknya oksigen dalam satuan ppm atau mg/L yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa-senyawa organik secara kimiawi. Cara menguraikan benda organik tersebut adalah dengan oksidasi menggunakan reagen oksidasi kuat dalam suasana yang asam. Pada umumnya COD digunakan untuk menggolongkan kekuatan organik dari air limbah (domestik / industri) dan polusi air bersih (Suhardi, 1991).

Pengukuran COD dilakukan untuk mengukur jumlah oksigen yang diperlukan dalam oksidasi kimia bahan-bahan organik dalam sampel menjadi karbondioksida dan air. Prosedur analisa COD adalah dengan menambahkan larutan K2Cr2O7 standard, reagen H2SO4 yang mengandung perak sulfat, dan sampel limbah ke dalam suatu wadah. Sampel blanko yang berisi air destilasi diperlakukan sama seperti dengan prosedur analisa COD pada air limbah namun tidak dipanaskan. Blanko ini berfungsi untuk mengkoreksi kesalahan yang dapat muncul karena bahan-bahan organik dalam reagen. Perhitungan nilai COD didasarkan pada perkalian antara normalitas titran dengan perbedaan jumlah titran yang digunakan untuk blanko dan sampel, lalu dibagi dengan volume sampel. Apabila nilai COD yang didapatkan tinggi, maka dapat mengindikasikan bahwa terdapat pencemaran air oleh zat-zat organik yang berasal dari berbagai sumber, seperti limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan sebagainya (Suhardi, 1991).

Rumus perhitungan COD :

(Hammer & Hammer, 1996).

Zat pengoksidasi yang sering digunakan adalah KMnO4 atau K2Cr2O7. Banyaknya KMnO4 atau K2Cr2O7 yang digunakan untuk oksidasi menunjukkan jumlah total zat organik yang dioksidasi secara kimiawi. Bahan oksidator K2Cr2O7 merupakan suatu campuran yang relatif mudah yang dapat diperoleh dalam keadaan yang sangat murni. Walaupun ion dikromat merupakan zat oksidasi yang sangat kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap, namun campuran tersebut harus berkadar asam sangat kuat dan dipertahankan pada suhu tinggi. Dalam kondisi demikian kalium dikromat dapat mengoksidasi banyak macam bahan organik hampir secara lengkap hingga menjadi karbon dioksida dan air (Mahida,1992). Dalam percobaan ini, terdapat pemanasan. Proses pemanasan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia karena suhu tinggi dapat menyebabkan energi kinetik masing-masing molekul dari kedua senyawa meningkat dan bereaksi, sehingga tumbukan dari kedua molekul tersebut semakin besar, dan akhirnya senyawa akhir reaksi akan semakin cepat terbentuk (Suhardi, 1991).

Pada analisa COD terdapat penambahan larutan KI. Penambahan larutan tersebut akan menyebabkan terjadinya reaksi antara ion K dengan oksigen yang dibebaskan dari reaksi oksidasi di atas (On), sehingga menghasilkan ion iodida bebas. Jumlah ion iodida bebas yang dihasilkan ekuivalen dengan On yang membebaskannya. Banyaknya ion iodida yang bebas tersebut dapat ditentukan melalui proses titrasi dengan Na-tiosulfat dengan indikator amilum (Day & Underwood, 1992). Indikator amilum dan ion iodida bebas yang bereaksi akan menimbulkan warna biru tua karena adanya reaksi antara molekul-molekul pati berbentuk helix dengan iodin. Penambahan larutan KI dan indikator amilum ini harus dilakukan ketika larutan sampel dan blanko dalam keadaan yang sudah dingin agar amilum yang ditambahkan tidak rusak akibat adanya panas, karena amilum mudah rusak pada suhu tinggi (Graham, 1956). Nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu terdapat bahan kimia yang tahan pada oksidasi biokimia tetapi tidak pada oksidasi kimia, seperti lignin; terdapat bahan kimia yang dioksidasi secara kimia dan biokimia, namun tidak dalam uji BOD5, seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel-sel mikroba; serta adanya bahan toksik pada limbah yang mengganggu uji BOD, namun tidak pada uji COD (Jenie & Rahayu, 1993). BODBOD (Biological Oxygen Demand) biasanya digunakan sebagai parameter dari kandungan bahan organik yang ada dalam suatu limbah. BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen dalam air yang digunakan oleh bakteri untuk menguraikan benda organik melalui proses oksidasi biologis. BOD hanya mengindikasikan secara kasar jumlah kandungan bahan organik karena yang dihitung hanya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi bahan organik secara biologis. Jika dibandingkan dengan analisa COD, waktu yang dibutuhkan dalam analisa BOD lebih lama (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Mahida (1992), BOD dapat didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri dalam menyeimbangkan zatzat organik yang dapat dibusukkan di bawah keadaan-keadaan aerobik. Besarnya kebutuhan oksigen ini tergantung dari jumlah bahan organik yang ada, sedangkan kecepatan terpenuhinya kebutuhan oksigen tergantung dari suhu dan sisa oksigen (Laws, 1993).

Limbah cair dengan BOD tinggi yang langsung dibuang ke perairan atau badan air dapat mengganggu keseimbangan ekologik, bahkan menyebabkan kematian biota perairan. Pada umumnya BOD5 bernilai sekitar 400-1000 mg/L pada inlet dan dibawah 50 mg/L pada oulet tangki aerasi (Tchobanoglous, 1981). Uji BOD ini merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam penanganan limbah dan pengendalian polusi (Jenie & Rahayu, 1993). Nilai BOD 5 hari (BOD5) merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang akan dihabiskan dalam waktu 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik dalam suatu volume limbah yang bersuhu 20oC. Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam ppm. Pengujian ini dilakukan dengan cara mengencerkan suatu contoh yang mengandung oksigen banyak, kemudian segera ditentukan oksigen terlarutnya. Sebagian larutan ditentukan dengan menyimpan sampel di dalam ruangan gelap kedap udara pada suhu 20oC untuk lima hari dan kemudian ditentukan lagi oksigen terlarutnya (Sastrawijaya, 1991). Tchobanoglous (1981) menambahkan bahwa pada umumnya inkubasi berlangsung selama 5 hari pada suhu 20C, dimana selama 5 hari tersebut, oksidasi akan berlangsung secara sempurna sebesar 60-70%, sedangkan jika digunakan waktu 20 hari, oksidasi akan berlangsung sempurna sebesar 95-99%. Penggunaan temperatur yang berbeda juga akan mempengaruhi hasil BOD karena reaksi biokimia dipengaruhi oleh temperatur. Rumus yang digunakan untuk menentukan nilai BOD, yaitu :

Keterangan: 1 ml Na2S2O3 = 1 mg/L BOD

Penentuan BOD ini dibutuhkan karena hampir di setiap air limbah akan terjadi penguraian zat organik oleh bakteri. Penguraian zat organik ini merupakan peristiwa alamiah, yakni apabila badan air dicemari oleh zat organik dan zat ini terkontaminasi oleh bakteri, maka dalam air akan terjadi proses oksidasi yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan-ikan dalam air dan jika suasananya bersifat anaerob, maka dapat menyebabkan bau busuk pada air (Alaerts & Santika, 1984). Keberadaan oksigen terlarut dalam air limbah sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya bau yang tidak diinginkan (Tchobanoglous, 1981). Uji BOD berfungsi untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluen yang telah diolah dan air yang terpolusi, tetapi menurut Hammer & Hammer (1996), uji BOD memiliki nilai yang terbatas dalam mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air dan perhitungan tes yang menunjukkan aliran kebutuhan oksigen yang sesungguhnya sangat dipertanyakan karena lingkungan laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia dan biologis yang sama seperti di alam.

Terdapat 2 cara dalam analisa BOD, yaitu: Analisa dengan titrasi Winkler Di dalam analisa dengan titrasi Winkler akan didapatkan endapan MnO2 akibat adanya oksigen sehingga akan mengoksidasi MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan alkalis. Penambahan asam sulfat dan kalium iodida membuat iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarut akan dibebaskan. Setelah didapat iodin bebas, dilakukan analisa dengan titrasi menggunakan larutan standar thiosulfat dan indikator amilum. Analisa dengan DO-meter Dasar analisa DO-meter adalah penggunaan elektroda (katoda Ag dan anoda Pb/ Cu) yang direndam dalam larutan elektrolit (larutan garam). Sistem elektroda itu dilindungi oleh membran plastik yang bersifat semi permeabel terhadap oksigen (Alaerts & Santika, 1984).

Dalam analisa BOD, terdapat beberapa persoalan yang dapat muncul selama melakukan analisa. Persoalan itu antara lain proses nitrifikasi, keluarnya oksigen dari dalam botol, adanya zat beracun, nutrien, serta cara menumbuhkan bakteri dalam yang cocok dalam air limbah. Selama analisa BOD, proses nitrifikasi dapat terjadi di dalam botol mulai hari ke-2 sampai hari ke-10 dimana proses itu membutuhkan oksigen. Pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus dihambat menggunakan inhibitor, supaya reaksi nitrifikasi dapat diminimalkan sehingga dapat diperoleh hasil analisa BOD yang semakin teliti. Persoalan keluarnya oksigen dari dalam botol harus dicegah pula dengan cara menutup botol rapat-rapat sehingga kedap udara dan mencegah penggunaan oksigen oleh kontaminan seperti ganggang dan lumut. Penyimpanan botol pun harus dilakukan di ruang yang gelap. Selain itu, untuk memperoleh hasil analisa yang teliti harus dihindarkan dari zat beracun yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Di sisi lain, pemilihan nutrien juga menjadi salah satu faktor penting untuk memperoleh hasil analisa yang teliti karena nutrien adalah syarat kehidupan bakteri. Termasuk juga cara pembenihan bakteri yang cocok dalam air limbah juga menentukan hasil analisa BOD (Alaerts & Santika, 1984). pHTingkat keasaman suatu larutan dapat diukur dengan pH meter berdasarkan tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Penggunaan pH-meter untuk menguji tingkat keasaman / pH sesuai dengan teori Alfonso & Edward (1992) bahwa pH-meter merupakan suatu alat yang biasa digunakan untuk mengukur dan mengetahui kadar keasaman dalam suatu bahan pangan, dimana pH yang dicatat adalah pH pada saat pH meter menunjukkan keadaan yang stabil. pH yang rendah atau asam dalam air akan bersifat korosif pada bahan konstruksi seperti besi (Gintings, 1992), sedangkan limbah domestik biasanya bersifat alkali. Rentang nilai pH adalah 1-14, dimana air normal memiliki pH antara 6,5-8,5. pH yang normal ini tidak akan mengganggu kehidupan populasi ikan dalam kolam, pertumbuhan, dan pembiakan ikan, maupun biota perairan lainnya. Namun kandungan asam yang tinggi dalam air, seperti asam sulfat atau asam klorida dapat mengancam kehidupan makhluk air. Demikian pula sifat basa dalam air yang dapat berasal dari buangan bahan organik seperti senyawa karbonat, hidroksida, kalsium, magnesium, natrium, dan bikarbonat akan mengakibatkan kesadahan dalam air, sehingga dapat mengganggu kehidupan dalam perairan (Hammer & Hammer, 1996). Semakin rendah nilai pH akan membuat air bersifat asam, sehingga menyulitkan proses biologis dan mengganggu proses penjernihan. Maka itu perlu dilakukan proses netralisasi pH terlebih dahulu pada air limbah yang bersifat asam ataupun basa sebelum di buang ke lingkungan / badan air (Volk & Wheeler, 1993).

Proses netralisasi dilakukan supaya limbah yang dilepas atau dibuang sudah sesuai dengan baku mutu limbah di Indonesia. Dalam penetralan air yang bersifat asam dapat ditambahkan Ca(OH)2 atau NaOH, sedangkan penetralan air yang bersifat basa dapat ditambahkan larutan FeCl3 atau HCl yang bersifat asam. Ca(OH)2 atau kapur memiliki sifat basa sehingga bila ditambahkan ke dalam asam akan meningkatkan nilai pHnya sehingga dapat mendekati 7 (pH normal) (Gintings, 1992), namun penggunaan kapur dalam proses netralisasi memiliki kelemahan yaitu menimbulkan masalah pembuangan endapan yang sulit (Mahida, 1992). Selama penyimpanan, pH air akan semakin asam karena pertambahan bahan organik yang melepaskan CO2 (Sastrawijaya, 1991).

1.2.4. Karakteristik BiologisSelain karakteristik fisikawi dan kimiawi, karakteristik biologis dari limbah sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan karena air limbah mengandung golongan mikroorganisme, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan manusia. Maka itu dalam beberapa pengolahan air limbah, mikroorganisme merupakan hal yang penting. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam penanganan air limbah adalah pengembangan dan pemeliharaan dari kultur mikroba yang cocok. Pemeriksaan biologis di dalam limbah cair sangat diperlukan untuk mengetahui adanya mikroorganisme patogen dalam limbah cair tersebut. Pemeriksaan biologis ini meliputi pemeriksaan beberapa mikroorganisme, organism, serta virus pada air limbah. Keterangan biologis tersebut dibutuhkan untuk memprediksi tingkat ketercemaran limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan / badan air. (Sugiharto, 1987). Utomo (1998) menambahkan pula bahwa tujuan pemeriksaan biologis di dalam air dan limbah cair adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri patogen.

Kapang dan bakteri merupakan kelompok mikroba yang banyak tumbuh di lingkungan pada kondisi yang cukup ekstrim. Kapang atau fungi bersifat heterotrof sehingga tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri karena tidak dapat melakukan fotosintesis. Selain itu kapang memiliki tipe sel eukariotik yang belum terdeferensi menjadi jaringan, berhifa, berfilamen, dan menyerap zat organik dari lingkungannya. Sebagian besar kapang dapat hidup pada limbah yang memiliki pH 4-5, berkadar air rendah, dan mengandung nitrogen rendah. Bakteri merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang paling penting pula dalam sistem penanganan air limbah. Keberadaan bakteri dalam air limbah harus diperhatikan karena ada bakteri yang memiliki sifat patogenik dan beberapa kultur bakteri tersebut dapat digunakan untuk menghilangkan bahan organik serta mineral-mineral yang tidak diinginkan pada air limbah. Adanya kelompok bakteri patogen dalam suatu limbah air menunjukkan air limbah tersebut telah tercemar. Bakteri juga tidak memiliki klorofil, namun bakteri hidup secara bebas sebagai jasad yang saprofitik ataupun parasitik dan memetabolisme bahan organik dari jenis yang sama dengan bahan organik yang dimetabolisme oleh kapang. Maka itu sebagian besar bakteri bersifat kemoheterotrof sumber energi dan karbon berasal dari bahan organik. Sifat bakteri ini sangat penting dalam penanganan limbah karena dapat memecah bahan organik. Selain itu ada pula bakteri nitrifikasi yang mengoksidasi amonia nitrogen menjadi amonia nitrat dan bakteri yang bersifat fotosintetik yang menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi dan sumber karbon berupa CO2 (Jenie & Rahayu, 1993).

Karena adanya bakteri patogen yang kemungkinan terdapat dalam limbah cair, maka pembunuhan bakteri tersebut perlu dilakukan untuk mengurangi atau membunuh mikroorganisme patogen yang berbahaya. Metode itu disebut dengan metode desinfeksi, dimana prinsip dari metode tersebut adalah dengan membunuh jasad renik yang bersifat patogen secara kimia maupun fisik. Bahan kimia yang digunakan dalam metode ini adalah desinfektan. Pada umumnya, semua desinfektan efektif terhadap sel vegetatif dari mkroba, tetapi tidak selalu efektif pada sporanya (Fardiaz, 1992). Desinfektan yang sering digunakan adalah klorin dan komponennya yang dapat mematikan bakteri dengan cara merusak atau menginaktifkan enzim utama, sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Maka itu sebelum memilih bahan kimia yang digunakan sebagai bahan desinfeksi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: waktu kontak, daya racun dan efektivitasnya, dosis yang rendah, tidak toksik, tahan terhadap air, serta biaya murah untuk pemakaian dalam jumlah banyak. Metode lain dari desinfeksi adalah dengan merusak langsung dinding sel dengan menggunakan panas (Sugiharto, 1987). Bakteri kolifom sebagai indikator spesifikasi merupakan mikroba yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi desinfeksi. Penggunaan kolifom tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa bakteri patogen lebih rentan untuk proses desinfektsi daripada bakteri kolifom. Klorin merupakan desinfektan yang memiliki sifat oksidator dan akan bereaksi dengan senyawa-senyawa organik pada limbah cair. Selain untuk mengurangi konsentrasi bakteri yang timbul pada limbah cair, klorin juga dapat digunakan untuk mengatasi bau yang timbul dari limbah. Proses penggunaan klorin ini disebut dengan klorinasi. Efisiensi penggunaan klorin dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jumlah, jenis, dan bentuk klorin yang digunakan, waktu kontak, suhu, dan jenis serta jumlah mikroba. Selain klorin, bahan kimia yang dapat berperan sebagai desinfektan adalah iodium ozon, senyawa amonium kwatener, dan lampu ultra violet (Jenie & Rahayu, 1993).

Limbah pencucian sayur dari industri pengolahan makanan merupakan salah satu contoh limbah cair industri (industrial wastewater). Limbah yang dihasilkan dari pengolahan pangan banyak mengandung bahan-bahan organik yang terdiri dari berbagai macam senyawa. Senyawa-senyawa tersebut, terutama protein dan karbohidrat, merupakan suatu makanan yang baik bagi bakteri. Protein adalah salah satu senyawa kimia organik yang membentuk rantai kompleks, mudah terurai menjadi senyawa-senyawa lain seperti asam amino. Protein tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan fosfor. Penyebab bau busuk pada suatu limbah adalah dekomposisi dari zat-zat tersebut dalam jumlah besar. Karbohidrat yang memiliki rumus kimia (CH2O)n mempunyai komposisi karbon, hidrogen dan oksigen dan merupakan suatu polimer yang tersusun dari senyawa monomer-monomer. Beberapa karbohidrat yang dapat terurai melalui bantuan enzim maupun mikroba yaitu gula, pati, selulosa, dan serat kayu (Gintings, 2008). Penghilangan bahan organik yang terkandung dalam limbah tersebut dapat dilakukan dengan bantuan mikoba yang terdapat dalam limbah itu sendiri. Selain itu proses aerasi juga diperlukan untuk memperbanyak mikroba yang bersifat aerobik yang akan digunakan untuk mencerna limbah tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup dapat terjadi jika limbah tidak diolah / dilakukan treatment dahulu. Berdasarkan senyawa-senyawa yang terkandung dalam air limbah, berapa gangguan tersebut antara lain:- menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai penyakit- menjadi media tempat berkembang biaknya mikroorganisme patogen- menimbulkan bau yang busuk serta pandangan yang tidak sedap(Santoso, 1999).

2. PEMBAHASAN

Menurut Mahida (1992), secara garis besar limbah cair merupakan sampah cair dari masyarakat yang mengandung air (99,9%) dan padatan (0,1%) yang terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik (butiran, garam, dan logam). Zat organik dalam limbah tersebut banyak mengandung senyawa nitrogen, karbohidrat, dan lemak. Zat ini bersifat mudah busuk, sehingga dapat mengeluarkan bau yang tidak sedap, sedangkan bahan anorganik pada umumnya tidak merugikan. Air limbah juga relatif bersifat tidak tetap.

Limbah cair dari pencucian sayur yang digunakan dalam percobaan merupakan limbah yang berasal dari sisa pencucian sayuran seperti kangkung, kaylan, wortel, dan beberapa sayur lain. Zagory (1999) menyatakan bahwa pencucian sayur dilakukan untuk menghilangkan kotoran, residu pestisida dan mikroorganisme yang menyebabkan kehilangan kualitas akibat pertumbuhan mikroba, maka itu limbah air pencucian sayur banyak mengandung bahan-bahan organik yang bersifat biodegradable (mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi), maupun senyawa-senyawa yang dapat mencemari lingkungan. Menurut Sugiharto (1987), sebelum dibuang ke badan air, pengolahan limbah cair perlu dilakukan agar tidak mencemari lingkungan sekitar dan tidak membahayakan kesehatan.

Menurut Jenie & Rahayu (1993), limbah cair pengolahan pangan pada umumnya mempunyai kandungan nitrogen yang rendah, BOD, dan padatan tersuspensi tinggi, serta berlangsung dengan proses dekomposisi cepat. Limbah cair segar biasnya mempunyai pH mendekati netral dan selama penyimpanan akan menurun. Limbah cair pengolahan makanan dapat dihasilkan dari proses pencucian, pemotongan, blanching, pasteurisasi, pembersihan peralatan pengolahan, dan pendinginan produk akhir. Kristanto (2002) mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas limbah, yaitu volume limbah, kandungan bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah.

Pada praktikum kali ini, air limbah berasal dari limbah pencucian sayur dari salah satu rumah makan di Semarang. Anonim (2008) menyatakan bahwa limbah yang dihasilkan dari rumah makan secara garis besar dapat digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu limbah organik yang cepat mengalami pembusukan (bersifat padat dan mudah busuk); limbah anorganik dari makhluk tidak hidup dan bersifat tidak mudah busuk; limbah cair (hasil buangan cucian piring dan hasil pencucian bahan-bahan baku); serta limbah minyak sisa penggorengan yang tidak dapat larut air. Berdasarkan kategori tersebut, limbah cair pencucian sayur yang digunakan sebagai sampel pada praktikum ini termasuk dalam kategori ketiga. Limbah yang akan dibuang ke saluran umum harus memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah bertemperatur 100-110F, karena limbah yang panas akan cepat merusak beton dan logam yang ada di dalam saluran kotoran; memiliki pH limbah berkisar antara 5,5 dan 9; konsentrasi zat yang berlemak pada air limbah tidak melebihi 100 mg/L; tidak mengandung gas-gas yang beracun, berbau tengik, dan mengandung gas yang dapat terbakar atau meledak; tidak mengandung zat-zat padat yang dapat mengendap; serta memiliki ukuran yang seragam.

Mahida (1992) menambahkan, limbah harus dianalisa terlebih dahulu untuk memastikan komposisi, konsentrasi dan keadaan subyek dengan suatu pandangan untuk menentukan unsur-unsur pokok yang menimbulkan bahaya atau hambatan dalam memilih jenis dan tingkat pengolahan. Analisa limbah yang dilakukan meliputi analisa secara fisikawi, kimiawi, dan biologik. Tujuan dari analisa kimiawi limbah cair adalah untuk menentukan konsentrasi zat-zat kimia di dalamnya, mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan beracun dalam limbah, dan untuk menentukan tingkat kebusukan limbah tersebut. Penentuan analisa ini didasarkan pada unsur yang mempunyai nilai perubah terhadap kesehatan, contohnya bahaya yang ditimbulkan oleh zat beracun yang ada di dalam limbah, serta upaya pembenahan limbah (Utomo, 1998). Secara fisikawi, air limbah yang telah tercemar mempunyai ciri khas yang dapat diketahui dari kekeruhan, warna, air, rasa, dan bau. Bau dapat muncul karena adanya kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu. Selain itu, bau juga dapat muncul karena terjadinya reaksi kimia yang menimbulkan gas. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan oleh limbah tergantung pada jenis dan banyaknya gas yang ditimbulkan oleh limbah tersebut (Gintings, 1992). Jenie & Rahayu (1993) menjelaskan bahwa sebagian besar bau yang tidak sedap disebabkan oleh adanya campuran dari nitrogen, sulfur, dan fosfor, serta berasal dari pembusukan protein. Bau tidak sedap tersebut sebenarnya tidak mengganggu kesehatan masyarakat, namun apabila mengeluarkan gas-gas dan uap yang beracun maka dapat mengganggu kelangsungan hidup organisme.

2.1. Pengolahan Limbah2.1.1. Pengolahan Pendahuluan (pre-treatment)Pengolahan pendahuluan (pre-treatment) yang dilakukan pada praktikum ini adalah penyaringan. Menurut Luluk & Suprihatin (2009), penyaringan merupakan suatu proses penjernihan air limbah. Penyaringan tersebut diperlukan untuk menghilangkan atau mengurangi sebagian besar kotoran yang ada di dalam limbah tersebut. Menurut pendapat Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), di dalam air limbah terdapat banyak padatan (berupa lumpur, sisa kain, potongan kayu, pasir, dan sisa pembersihan daging) yang terapung atau melayang yang ikut bersama dengan air. Apabila air limbah masih terlihat keruh, maka harus dijernihkan dengan cara diendapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahida (1992) yang menyatakan bahwa proses pendahuluan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu proses penyaringan dan proses pengendapan. Sugiharto (1987) mengungkapkan bahwa kekeruhan merupakan ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur bahan yang disebabkan oleh benda tercampur atau benda koloid di dalam air. Kekeruhan pada limbah pencucian sayur dapat diukur melalui dua cara, yaitu dengan menggunakan alat spektrofotometer dan dapat secara langsung menggunakan indera penglihatan Pada praktikum ini, kekeruhan air limbah diukur melalui indera penglihatan. Limbah cair pencucian sayur yang merupakan sampel pada praktikum kali ini menunjukan air yang agak keruh, maka dapat dijelaskan bahwa di dalam limbah pencucian sayur terdapat komponen organik. Hal ini sesuai dengan teori Jenie & Rahayu (1993) yang berpendapat bahwa dengan melihat tingkat kekeruhan limbah cair, maka akan dapat diketahui ada atau tidaknya padatan organik atau anorganik dalam air limbah. Pada pengolahan pre-treatment, biasanya digunakan saringan agak kasar tetapi dipilih yang tidak mudah berkarat. Saringan ini harus selalu diperiksa agar bahan yang terjaring tidak membuat kemacetan pada aliran air. Hal ini sesuai dengan alat yang digunakan dalam penyaringan praktikum kali ini, yaitu kain saring dan kertas saring yang tidak mudah berkarat.

2.1.2. Pengolahan Pertama (Primary treatment)Treatment yang dilakukan selanjutnya adalah primary treatment. Pada primary treatment ini tahapannya adalah koagulasi. Mahida (1992) menjelaskan bahwa tahap primary treatment dapat dilakukan melalui 2 metode, yaitu metode fisik dan metode kimia. Pengolahan fisik dilakukan dengan pengendapan yang menggunakan gaya gravitasi bumi, yang disebut dengan proses sedimentasi, dimana proses ini tidak dibantu oleh gaya pengental, sedangkan metode kimia dilakukan dengan mengendapkan bahan padatan dengan penambahan bahan kimia. Reaksi yang terjadi antara senyawa kimia dengan bahan pengendap yang digunakan akan mengakibatkan bahan butiran padatan menjadi bertambah besar sehingga memiliki berat jenis yang lebih besar dari berat jenis dari air. Hanya saja tidak semua reaksi dapat bereaksi dengan senyawa kimia tertentu. Menurut Birdi (1979), proses pengendapan dengan penambahan bahan kimia kepada dispersi koloid yang mengakibatkan ketidakstabilan partikel oleh pengurangan gaya-gaya yang cenderung membuat partikel terpisah ini disebut dengan proses koagulasi. Selain bertujuan untuk mengendapkan, koagulasi juga bertujuan untuk mengubah alkalinitas dari air limbah sehingga buangan air limbah akan lebih netral.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses koagulasi adalah dengan menambahkan koagulan Ca(OH)2 karena sampel limbah bersifat asam. Jika diketahui basa maka ditambahkan koagulan FeCl3. Ca(OH)2 yang ditambahkan yaitu sebesar 4 gram @200 ml (20.000 ppm), karena limbah yang digunakan 1000 ml, maka Ca(OH)2 yang ditambahkan adalah sebanyak 20 gram. Setelah itu, dilakukan jar testing dengan jar tester selama 1 menit pada kecepatan 100 rpm dan dilanjutkan dengan kecepatan 25 rpm selama 15 menit. Kemudian sampel limbah didiamkan selama 30 menit. Perlakuan dengan jar testing sesuai dengan pendapat Kusnaedi (1998) yang menyatakan bahwa proses koagulasi dapat dipercepat dengan dilakukannya pengadukan dalam air limbah. Pengadukan cepat bertujuan untuk menghomogenkan suasana di dalam kompartemen pada saat koagulasi, sedangkan pengadukan lambat bertujuan agar polimer dapat menangkap dan berikatan dengan partikel yang terkoagulasi. Selanjutnya sampel limbah tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring sampai semua padatan tersaring. Kusnaedi (1998) menambahkan bahwa proses penyaringan ini bertujuan agar dapat memisahkan endapan dan cairan limbah yang akan dipakai pada perlakuan selanjutnya. Bahan koagulan yang digunakan pada praktikum ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1986) bahwa kapur sering digunakan sebagai koagulan dalam proses pemurnian air. Jumlah koagulan yang digunakan ini dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi ion-ion yang larut dalam air olahan, serta konsentrasi yang diharapkan sesuai dengan standar baku mutu. Proses koagulasi ini cukup efektif untuk pemisahan. Hal ini terlihat pada warna sampel limbah yang lebih bening daripada sebelum dilakukan koagulasi.

2.1.3. Pengolahan Kedua (Secondary treatment)Setelah dilakukan primary treatment, proses pengolahan limbah cair pencucian sayur dilanjutkan dengan pengolahan kedua (secondary treatment) yang bertujuan untuk menurunkan atau menghilangkan bahan-bahan organik dengan bantuan mikroorganisme yang ada di dalamnya (Sugiharto, 1987). Langkah yang dilakukan pada secondary treatment, yaitu limbah cair pencucian sayur yang telah mengalami primary treatment dilakukan aerasi dengan menggunakan aerator selama 30 menit. Proses aerasi ini sesuai dengan teori Kusnaedi (1998) yang menyatakan bahwa pada tahap secondary treatment terdapat dua cara untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah, yaitu dengan memasukkan oksigen ke dalam air limbah dengan sistem aerasi atau dengan memaksa air ke permukaan agar mengalami kontak dengan oksigen. Kusnaedi (1998) menambahkan bahwa prinsip dari proses aerasi adalah dengan sistem oksigenasi dengan menangkap oksigen dari udara ke dalam sampel air limbah. Penambahan oksigen bertujuan supaya oksigen di udara dapat bereaksi dengan kation yang ber ada didalam air olahan yang akan mengakibatkan adanya reaksi oksidasi logam yang sukar larut, sehingga dapat mengendap. Penggunaan proses aerasi yang utama adalah untuk menurunkan kadar logam besi (Fe) dan magnesium (Mg), dimana proses aerasi ini harus diikuti proses penyaringan ataupun pengendapan. Teori tersebut didukung oleh Mahida (1992) bahwa proses aerasi merupakan suatu usaha penambahan konsentrasi oksigen yang terkandung dalam air limbah.

Menurut Sugiharto (1987), proses aerasi juga dapat menghilangkan atau meminimalkan aroma busuk pada air limbah dan membantu mikroorganisme untuk tumbuh serta menggunakan limbah untuk proses metabolismenya, sehingga limbah menjadi terdegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana serta mengurangi senyawa organik yang ada di dalam limbah. Hal tersebut didukung pula dengan pernyataan Gintings (1992) bahwa secondary treatment biasanya melibatkan proses biologis yang bertujuan untuk menghilangkan bahan organik melalui biokimia oksidasi. Kelompok mikroorganisme terpenting dalam sistem penanganan air limbah dengan proses aerasi ini adalah bakteri. Bakteri di dalam air limbah perlu ditangani lebih lanjut karena beberapa bakteri bersifat patogenik. Selain itu, kultur bakteri dapat digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan mineral yang tidak diinginkan. Jenie & Rahayu (1993) menambahkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengolahan biologis ini, yaitu jumlah air limbah; tingkat kekotoran; dan jenis kotoran yang ada.

2.1.4. Pengolahan Ketiga (Tertiary treatment)Proses pengolahan limbah selanjutnya disebut tertiary treatment yang dilakukan dengan 2 tahap, yaitu adsorbsi dan filtrasi. Menurut Sugiharto (1987), proses penyerapan (adsorbsi) adalah proses mengumpulkan benda-benda terlarut yang terdapat di dalam larutan antara dua permukaan. Proses penyerapan (adsorbsi) tersebut terjadi pada seluruh permukaan benda, sehingga mengakibatkan bahan padat menyerap partikel yang terdapat di dalam air limbah. Bahan yang diserap disebut adsorbate atau solute, sedangkan bahan penyerapannya disebut adsorbent. Proses adsorbsi dan filtrasi pada praktikum ini sesuai dengan pendapat Gintings (1992) dan Sugiharto (1987) bahwa tingkat lanjutan (tertiary treatment) ditujukan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik seperti kalium, kalsium, sulfat nitrat, fosfor dan senyawa organik melalui proses kimiawi, fisikawi, maupun biologik. Proses fisikawi pada pengolahan tingkat lanjut dapat dilakukan melalui filtrasi, destilasi, pengapungan, pembekuan, maupun striping. Proses kimiawi dapat dilakukan adsorbsi karbon aktif, elektro kimia, pengendapan kimia, pertukaran ion, oksidasi dan reduksi, sedangkan proses biologik, meliputi proses penelitian bakteri dan alga nitrifikasi. Fungsi dari proses penyerapan (adsorbsi) adalah sebagai proses penjernihan pada limbah cair. Penjernihan air limbah tersebut digunakan untuk mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan maupun gabungan antara rasa, warna dan bau.

Tahap tertiary treatment ini dilakukan dengan menambahkan karbon aktif ke dalam sampel limbah yang ditelah melalui tahap secondary treatment sebanyak 3 gram @ 200 ml. Kemudian dilakukan proses pengadukan. Proses pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan (Silveira, et al., 2007). Karbon aktif yang disediakan ada 2 jenis, yaitu karbon aktif dalam bentuk serbuk untuk kelompok A2 dan granula untuk kelompok A1 dan A3. Penggunaan karbon aktif berbentuk serbuk dan granula sesuai dengan teori Sugiharto (1987) bahwa karbon aktif alamiah dapat berupa butiran karbon dan bubuk karbon yang digunakan untuk pengolahan air limbah yang diketahui dapat didaur ulang setelah dipergunakan. Menurut Susilowaty, et al. (2007), penggunaan karbon aktif pada limbah industri rumah tangga dapat mengurangi jumlah TSS, COD dan fosfat. Setelah diaduk hingga homogen, langkah selanjutnya yaitu dengan penyaringan menggunakan kain saring dan kertas saring. Pada kelompok A1 dan A3 dilakukan penyaringan dengan kain saring saja sebanyak 2 kali karena dengan kain saring, maka granula karbon aktif dapat tertinggal, sedangkan penyaringan kelompok A2 menggunakan kain saring dan kertas saring karena karbon aktif yang digunakan berupa serbuk, sehingga dibutuhkan filter yang berpori lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kimball (1992) bahwa tujuan dari penyaringan ini adalah menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan, seperti karbon aktif yang telah menyerap senyawa-senyawa yang tidak diinginkan.

2.1.5. Perlakuan Tambahan2.1.5.1. DesinfeksiTahapan berikutnya dari proses penanganan limbah cair pencucian sayur yaitu perlakuan tambahan dengan proses desinfeksi. Hal ini sesuai dengan teori Volk & Wheeler (1993) bahwa pengolahan tambahan dapat dilakukan melalui proses desinfeksi. Desinfeksi merupakan tahap yang penting karena pada tahap ini bakteri atau mikroorganisme di kurangi sampai batas yang seminimal mungkin. Pembunuhan bakteri ini bertujuan untuk mengurangi atau membunuh mikroorganisme patogen yang terdapat dalam air limbah.

Zat pembunuh kimia atau desinfektan digunakan untuk mematikan bakteri dengan cara menginaktivasi enzim utama bakteri tersebut, sehingga terjadi kerusakan utama dinding sel atau dengan merusak langsung dinding sel. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan kimia sebagai desinfektan, yaitu dosis desinfektan yang digunakan, tidak toksik terhadap manusia dan hewan, tahan terhadap air, dan biaya murah untuk pemakaian yang bersifat massal (Sugiharto, 1987). Gil, et al. (2009) mengungkapkan bahwa selain menggunakan bahan kimia, seperti klorin, desinfeksi dapat dilakukan dengan menggunakan panas, dan sinar UV. Jenie & Rahayu (1993) menambahkan bahwa proses desinfeksi dapat mengatasi mikroba patogen secara spesifik. Efisiensi desinfeksi dapat di ukur dengan bakteri koliform sebagai indikator spesifikasi. Penggunaan koliform ini berdasarkan pada kenyataan bahwa bakteri patogen lebih rentan untuk proses desinfeksi daripada bakteri koliform. Mekanisme pembunuhan mikroorganisme ini sangat dipengaruhi kondisi dari zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri (Gintings, 1992).

Metode yang dilakukan adalah sampel limbah yang telah melalui tertiary treatment ditambahkan klorin sebanyak 10% dari volume limbah. Menurut Jenie & Rahayu (1993), klorin merupakan bahan oksidator atau desinfektan yang akan bereaksi dengan beberapa komponen organik pada limbah cair. Proses pengolahan ini disebut juga dengan proses klorinasi yang cukup efektif untuk mengatasi limbah cair karena banyak digunakan untuk mengatasi bau yang timbul dari limbah dengan mereduksi konsentrasi bakteri dan menurunkan kadar BOD. Selanjutnya air limbah tersebut diaduk selama 10 menit. Kusnaedi (1998) menjelaskan bahwa pengadukan dilakukan untuk menghasilkan kesatuan dari koloid-koloid yang tidak stabil. Perlakuan tambahan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa limbah cair yang akan dibuang aman bagi lingkungan dan tidak mengandung senyawa-senyawa dan mikroorganisme pencemar.

2.1.5.2. NetralisasiSetelah dilakukan proses desinfeksi, langkah selanjutnya yaitu proses netralisasi dengan pengaturan pH menggunakan pH-meter. pH menunjukan keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. Nilai keasaman limbah cair ditentukan oleh banyaknya ion hidrogen yang larut dalam air. Tingkat keasaman mempunyai nilai antara 1-14. Sedangkan pH pada air normal berkisar antara 6,5-8,5 (Sugiharto, 1987). Hammer & Hammer (1996) mengungkapkan bahwa air limbah yang mempunyai pH sangat tinggi atau rendah jika langsung dibuang di lingkungan / badan air akan mengganggu kehidupan biota perairan dan mengakibatkan kematian, maka perlu dilakukan netralisasi pH. Jika diketahui larutan bersifat basa, maka perlu dinetralkan dengan HCl, sedangkan jika bersifat asam, maka perlu dinetralkan dengan NaOH. Air limbah ini harus diukur hingga pH-nya mendekati netral yaitu sekitar 7.

2.2. Pengukuran Karakteristik Fisikawi Limbah2.2.1. BauSuhardi (1991) menyatakan bahwa analisa sensori untuk menganalisa senyawa penyebab bau limbah dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui evaluasi sensori menggunakan metode Gas Chromatography (GC) dan menggunakan indera penciuman. Pada praktikum pengolahan limbah sayur kloter A yang dilakukan oleh kelompok A1, A2, dan A3, analisa sensori bau yang digunakan adalah dengan menggunakan indera penciuman secara langsung pada limbah tersebut.

Pada perlakuan sebelum treatment, bau pada limbah ketiga kelompok adalah sama yaitu sangat berbau busuk karena berasal dari sumber yang sama. Berdasarkan teori Mahida (1992), karakteristik limbah yang masih baru atau sudah busuk dapat ditentukan dari bau limbah tersebut. Bau yang tidak sedap pada limbah biasanya disebabkan oleh campuran dari nitrogen, sulfur, fosfor, dan dari pembusukan protein. Biasanya bau air limbah yang busuk dan menyengat berasal dari zat hidrogen sulfida. Selain itu, menurut pendapat Suhardi (1991), bau pada limbah mengindikasi adanya zat-zat anorganik maupun organik yang tersuspensi atau terlarut di dalamnya. Bau busuk pada limbah sayur ini disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu, terutama limbah yang digunakan ini bukan limbah segar, namun limbah yang sudah didiamkan beberapa jam. Mahida (1992) menambahkan bahwa contoh gas yang dihasilkan dari penguraian zat organik ini adalah hidrogen sulfida, karbon disulfida, dan amoniak. Sugiharto (1987) berpendapat bahwa penjernihan yang dilakukan pada air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, seperti bahan yang tidak dapat diuraikan (nondegradable) serta gabungan antara bau, warna, dan rasa.

Pada limbah sayur yang telah diberi perlakuan treatment, bau limbah pada kelompok A1 adalah tidak bau / netral, sedangkan limbah pada kelompok A2 dan A3 adalah berbau klorin yang disebabkan adanya penambahan klorin sebagai desinfektan untuk membunuh mikroorganisme patogen pada saat perlakuan treatment limbah. Konsentrasi klorin yang ditambahkan pun cukup banyak, yaitu 10% dari total volume limbah, maka itu dominansi bau dalam hasil limbah yaitu klorin. Hasil ini sesuai dengan teori Jenie & Rahayu (1993) yang menyatakan bahwa fungsi klorin selain membunuh mikroba, juga dapat mereduksi senyawa-senyawa dalam air limbah, sehingga bau pada air limbah yang telah mengalami treatment memiliki bau yang lebih baik dibandingkan limbah yang belum diberi perlakuan treatment. Oleh karena itu, walaupun limbah sayur tersebut berbau klorin, namun bau busuk pada limbah sebelum treatment semula berhasil dihilangkan dengan perlakuan treatment. Kekurangan dari praktikum limbah ini adalah bau klorin yang tercium mengindikasikan tingginya senyawa klorin pada limbah. Hal ini berbahaya bagi lingkungan karena dapat membunuh makhluk hiduo di perairan.

Perbedaan bau klorin pada kelompok A1 dengan A2 dan A3 kemungkinan disebabkan karena kelompok A1 menyelesaikan treatment paling cepat daripada kelompok A2 dan A3, sehingga limbah yang telah diberi klorin didiamkan dalam keadaan terbuka lebih lama, yang menyebabkan bau klorin menjadi hilang. Selain itu juga disebabkan karena perbedaan jumlah limbah yang diperoleh setelah pemberian karbon aktif dan penyaringan. Klorin yang ditambahkan berjumlah 10% dari perkiraan volume limbah yang terukur, sehingga konsentrasi klorin sebenarnya pada limbah tiap-tiap kelompok adalah berbeda-beda karena didasarkan pada perkiraan volume masing-masing limbah tersebut. Terlebih lagi pengukuran volume masing-masing kelompok dilakukan oleh praktikan yang berbeda sehingga berbeda pula persepsi pengukuran mereka terhadap volume limbah. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan bau pada limbah yang telah di-treatment.

2.2.2. Warna dan KekeruhanMenurut Ibnu (1997), air limbah yang masih baru memiliki warna abu-abu dan yang sudah lama akan berwarna gelap. Jenie & Rahayu (1993) menerangkan bahwa limbah yang memiliki warna gelap menunjukkan bahwa limbah tersebut mengandung banyak padatan tersuspensi dan terlarut. Suhardi (1991) menambahkan jika warna pada limbah dapat menunjukkan bahaya atau tidaknya limbah tersebut, di mana warna hitam pada limbah menunjukkan tingginya kandungan timbal (Pb), warna kuning pada limbah menunjukkan tingginya kandungan besi (Fe), sedangkan warna biru pada limbah menunjukkan tingginya kandungan tembaga (Cu) pada limbah.

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa warna pada limbah sayur kelompok A1, A2, dan A3 sebelum dilakukan treatment adalah sama yaitu berwarna bening. Warna bening pada limbah ini dikarenakan limbah tersebut merupakan bekas pencucian sayur yang rata-rata memiliki kandungan logam yang sedikit dan pengotor yang ada pada sayur rata-rata hanya pestisida, debu dan sedikit tanah sehingga tidak terlalu mengubah warna pada air limbah. Warna limbah sayur yang telah diberi perlakuan treatment pada kelompok A1, A2, dan A3 adalah kuning. Hal ini dikarenakan adanya senyawa klorin yang ditambahkan pada limbah sebagai desinfektan sehingga menghasilkan warna kuning pada limbah tersebut. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa penjernihan dilakukan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, yang salah satunya menyebabkan warna pada limbah, sedangkan limbah yang sebelum di-treatment berwarna bening, tetapi setelah di-treatment justru berwarna kuning. Hal ini bisa disebabkan karena klorin yang ditambahkan ke dalam limbah terlalu banyak, sehingga sisa klorin yang tidak terpakai justru mencemari limbah tersebut. Terlebih lagi jika limbah tersebut dibuang ke perairan, dapat membunuh makhluk hidup di perairan, sehingga bisa disimpulkan bahwa limbah tersebut belum boleh langsung dibuang ke perairan agar tidak menganggu biota perairan.

Karakteristik fisik limbah lain yang diukur yaitu kekeruhan. Sugiharto (1987) mengungkapkan bahwa ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar pengukuran keadaan air seperti pada sungai disebut dengan kekeruhan. Menurut Mahida (1992), kekeruhan yang terjadi pada limbah ini dapat disebabkan oleh adanya zat-zat koloid yang terapung dan terurai secara halus pada limbah, seperti limbah padat, mikroorganisme aerobik, mikroorganisme anaerobik, garam, lumpur, dan tanah liat. Jenie & Rahayu (1993) menjelaskan bahwa dari kekeruhan limbah, maka dapat diketahui banyak atau tidaknya padatan organik atau anorganik dalam limbah cair tersebut. Sugiharto (1987) menambahkan jika pada umumnya zat-zat organik tidak berbahaya bagi masyarakat, namun dapat digunakan sebagai sumber nutrien oleh mikroorganisme untuk proses pembusukan sehingga mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Menurut Mahida (1992), semakin keruh suatu limbah, maka semakin kuat limbah tersebut (memiliki beban yang lebih berat). Sugiharto (1987) mengungkapkan bahwa tingkat kekeruhan limbah dapat diukur dengan metode spektrofotometri dan melalui evaluasi indera penglihatan. Selain itu, pengukuran kekeruhan air juga dapat menggunakan metode turbidimetri, yaitu menggunakan alat turbidimeter, namun dalam praktikum ini, turbidimeter hanya digunakan untuk menentukan konsentrasi koagulan Ca(OH)2 yang paling optimal digunakan untuk mengendapkan senyawa padatan pada limbah sayur, sedangkan pengukuran kekeruhan baik sebelum maupun sesudah treatment dilakukan menggunakan indera penglihatan secara langsung.

Kekeruhan pada limbah sayur sebelum diberi perlakuan treatment pada kelompok A1, A2, dan A3 adalah sama yaitu agak keruh. Hal ini disebabkan karena pengotor atau padatan yang ada pada limbah pencucian sayur biasanya hanya berupa sisa pestisida, tanah dan debu sehingga tidak menyebabkan kekeruhan yang ekstrim. Jika dibandingkan dengan limbah sayur yang telah diberi perlakuan treatment, nilai kekeruhannya sama dengan sebelum dilakukan treatment, bahkan pada kelompok A2, kekeruhannya justru lebih tinggi dibandingkan sebelum dilakukan treatment. Hasil pengolahan ini tidak sesuai dengan harapan Sugiharto (1987) yang mengatakan bahwa penjernihan atau treatment yang dilakukan pada air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, sehingga dengan berkurangnya pengotor, kondisi air seharusnya lebih jernih. Kekeruhan pada limbah yang dibuang ke perairan dapat mengganggu proses fotosintesis oleh biota perairan sehingga mengurangi pasokan oksigen di perairan yang dapat menyebabkan kematian makhluk hidup di perairan. Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan karena perbedaan sumber limbah cair yang diperoleh pada praktikum sebelum treatment berbeda dengan limbah cair yang diberi perlakuan treatment dan proses pengolahan limbah yang dilakukan kurang sempurna, sehingga masih mengandung kandungan-kandungan organik yang belum bisa direduksi, seperti masih adanya sisa senyawa koagulan (Ca(OH)2) yang kemungkinan lolos dari penyaringan.

2.2.3. SuhuSastrawijaya (1991) menjelaskan bahwa suhu yang tinggi pada limbah harus diwaspadai karena dapat mengganggu kelangsungan hidup biota di badan air jika dibuang langsung ke perairan, selain itu juga dapat memicu pertumbuhan mikroba yang tidak menguntungkan, maka pada praktikum ini dilakukan pengukuran suhu limbah dengan menggunakan termometer, dimana sebisa mungkin suhu limbah yang dibuang ke perairan memiliki suhu yang normal. Suhu sebenarnya sangat berpengaruh terhadap aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, tegangan permukaan, tekanan uap, pengentalan, serta nilai-nilai penjenuhan dari benda padat dan gas. Berdasarkan hasil pengamatan, suhu limbah sayur pada kelompok A1, A2, dan A3 sebelum dilakukan treatment adalah 29,5oC. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991) yang menyatakan bahwa pada umumnya, limbah sisa pencucian memiliki suhu yang tinggi karena adanya reaksi eksotermis akibat penggunaan deterjen, sabun, dan bahan kimia lain. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan sampel tidak mengandung sabun ataupun deterjen yang menyebabkan reaksi eksotermis. Suhu yang terukur mendekati suhu ruang, sehingga menurut Mahida (1992), limbah menunjukkan adanya proses pembusukan akibat bakteri yang mudah tumbuh pada suhu ruang. Menurut Sastrawijaya (1991), tingginya suhu limbah harus diwaspadai karena dapat megganggu kelangsungan hidup biota di badan air selain itu juga dapat memicu pertumbuhan mikroba yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan treatment terhadap limbah agar suhu limbah yang dibuang ke perairan menjadi senormal mungkin seperti air pada umumnya karena Sastrawijaya (1991) mengatakan bahwa selama terjadi pengolahan ada beberapa treatment antara lain filtrasi, adsorbsi, dan koagulasi yang memiliki tujuan untuk membebaskan panas pada air limbah sehingga suhu limbah dapat turun.

Pada limbah sayur yang telah dilakukan treatment, suhu yang terukur justru meningkat, yaitu sebesar 31oC pada limbah sayur kelompok A2 dan A3, sedangkan pada limbah sayur kelompok A1 adalah 34oC. Menurut Mahida (1992), suhu yang diperbolehkan agar limbah dapat dibuang tidak boleh melebihi 37oC, sehingga sebenarnya dengan suhu tersebut limbah telah aman untuk dibuang ke perairan, namun hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991) bahwa pengolahan pada beberapa treatment dapat menurunkan suhu limbah. Ketidaksesuaian suhu limbah setelah dilakukan treatment dapat disebabkan karena adanya reaksi eksotermik (reaksi yang menghasilkan panas) pada saat perlakuan treatment seperti saat penambahan koagulan Ca(OH)2 dan desinfektan klorin. Selain itu juga dapat disebabkan karena suhu ruangan saat pengukuran limbah sayur setelah treatment lebih tinggi dibandingkan suhu ruangan saat pengukuran limbah sayur sebelum treatment karena pengukuran tersebut dilakukan pada hari yang berbeda.

2.2.4. Analisa PadatanDalam limbah cair, tingkat kekeruhan yang terjadi dapat menentukan banyak atau tidaknya padatan organik ataupun anorganik yang adalah di dalamnya (Jenie & Rahayu, 1993). Karena itulah penjernihan yang dilakukan pada air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, seperti bahan yang tidak dapat diuraikan (nondegradable) serta gabungan antara bau, warna, dan rasa (Sugiharto, 1987). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa padatan untuk membandingkan jumlah padatan pada limbah yang telah di-treatment dengan limbah yang belum di-treatment dan baku mutu limbah yang ada.

2.2.4.1. Total Padatan / Total Solid (TS)Hammer & Hammer (1996) menjelaskan bahwa limbah cair memiliki kadar air yang sangat tinggi, yaitu 99,9%, selebihnya berupa benda-benda padat yang berbentuk organik maupun anorganik. Total padatan atau total solid merupakan jumlah bahan yang tertinggal dalam cawan setelah dilakukan pengeringan pada sampel limbah menggunakan oven dengan suhu dan waktu tertentu. Pada praktikum ini, langkah kerja yang dilakukan untuk pengukuran analisa padatan adalah dengan memasukkan 2 ml limbah cair (baik pada saar limbah belum di-treatment maupun limbah setelah dilakukan treatment) ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui beratnya, lalu cawan berisi limbah tersebut dioven selama semalam dengan suhu berkisar 103oC-105oC. Setelah semalam, cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator 15 menit. Sudarmadji, et al. (1989) menjelaskan bahwa penyimpanan dalam desikator setelah sampel dioven ini bertujuan untuk menghindari kelembaban yang ada pada lingkungan sekitarnya karena bahan yang sudah dikeringkan bersifat lebih higroskopis dari bahan aslinya. Menurut Winarno (1993) bila kadar air bahan rendah sedangkan kelembaban disekitarnya tinggi maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau kadar airnya naik. Pendinginan yang baik adalah diletakkan dalam desikator, karena dalam desikator telah diberi zat penyerap air seperti kapur aktif, asam sulfat dan silika gel. Silika gel yang terdapat didalam desikator akan menyerap uap air yang keluar dari bahan (Arpah, 1993). Setelah 15 menit, cawan tersebut ditimbang. Berat total solid pada limbah tersebut dapat diketahui dengan mengurangkan berat cawan berisi limbah yang telah kering dengan cawan kosong. Lalu berat solid tersebut dihitung menggunakan rumus untuk mengetahui kadar berat solid dalam milligram per liter.

Hasil yang diperoleh pada kelompok A1, A2, dan A3 adalah total padatan yang terhitung setelah treatment lebih banyak dibandingkan total padatan sebelum treatment. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa treatment-treatment yang dilakukan untuk penjernihan air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, di mana menurut Jenie & Rahayu (1993) kekeruhan pada limbah disebabkan karena banyaknya padatan organik dan anorganik pada pengotor tersebut, sehingga praktikum ini bertujuan untuk mengurangi padatan pada limbah tersebut untuk menghasilkan limbah yang lebih jernih. Ketidaksesuaikan hasil pengamatan ini dapat disebabkan karena sumber limbah yang digunakan sebelum treatment berbeda dengan limbah yang di-treatment, sehingga kemungkinan limbah yang diambil dan digunakan pada saat treatment memiliki padatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan limbah yang digunakan pada pengukuran sebelum treatment. Selain itu, selama perlakuan treatment dilakukan penambahan Ca(OH)2 sebagai koagulan, sehingga kemungkinan terdapat sisa koagulan yang berhasil lolos dari penyaringan sehingga menambah total solid pada limbah yang telah diberi perlakuan treatment. Pemindahan cawan porselin yang tidak sesuai juga dapat mempengaruhi berat dari sampel karena setelah dilakukan pengeringan, sampel lebih bersifat higroskopis. Selain total solid, padatan tersuspensi dan padatan terlarut pada sampel limbah juga diukur karena total solid terdiri dari padatan tersuspensi dan padatan terlarut (Sugiharto, 1987).

2.2.4.2. Total Padatan Tersuspensi / Total Suspended Solid (TSS)Sugiharto (1987) menjelaskan bahwa total padatan tersuspensi pada limbah cair merupakan jumlah berat bahan yang tersuspensi dalam volume air tertentu yang biasanya berupa residu yang tidak lolos penyaringan melalui filter membran, yang terukur dalam milligram per liter atau bagian per juta (bpj). Cara kerja yang digunakan untuk pengukuran nilai TSS ini adalah dengan mengambil 50 ml limbah (baik pada saat limbah belum di-treatment maupun limbah setelah dilakukan treatment), lalu disaring menggunakan kertas saring yang telah dioven semalam dan diketahui beratnya. Residu yang tertinggal pada kertas saring lalu dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven selama semalam pada suhu berkisar 103oC-105oC. Setelah semalam, cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit. Lalu kertas saring berisi residu di dalam cawan tersebut ditimbang. Berat padatan tersuspensi dapat diketahui dengan mengurangkan berat kertas saring berisi residu tersebut dengan berat kertas saring kosong. Lalu berat nilai TS tersebut dihitung menggunakan rumus untuk mengetahui kadar berat solid dalam milligram per liter. Sudarmadji, et al. (1989) menjelaskan bahwa penyimpanan dalam desikator setelah sampel dioven ini bertujuan untuk menghindari kelembaban yang ada pada lingkungan sekitarnya karena bahan yang sudah dikeringkan bersifat lebih higroskopis dari bahan aslinya.

Hasil yang diperoleh pada kelompok A1, A2, dan A3 adalah nilai TSS yang terhitung setelah treatment lebih banyak dibandingkan nilai TSS sebelum treatment. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa penjernihan yang dilakukan pada air limbah bertujuan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, di mana menurut Jenie & Rahayu (1993) kekeruhan pada limbah disebabkan karena banyaknya padatan organik dan anorganik pada pengotor tersebut, sehingga praktikum ini bertujuan untuk mengurangi padatan, termasuk padatan tersuspensi pada limbah tersebut guna menghasilkan limbah yang lebih jernih. Seperti halnya pada analisa TS, hasil ini bisa disebabkan karena sumber limbah yang digunakan sebelum treatment berbeda dengan limbah yang di-treatment, sehingga kemungkinan limbah yang diambil dan digunakan pada saat treatment memiliki padatan yang jauh lebih tinggi dibandinngkan limbah yang digunakna pada pengukuran sebelum treatment. Selain itu, selama perlakuan treatment dilakukan penambahan Ca(OH)2 sebagai koagulan, sehingga kemungkinan terdapat sisa koagulan yang berhasil lolos dari penyaringan sehingga menambah total solid pada limbah yang telah diberi perlakuan treatment. Pada proses koagulasi, padatan tersuspensi dalam sampel yang sebagian besar berupa senyawa organik juga akan mengendap, sehingga yang tertinggal pada kertas saring menjadi lebih banyak karena adanya endapan yang terikut dalam proses penyaringan tersebut. Sedangkan pada sampel tanpa koagulasi seluruh partikel tersuspensi akan tersaring karena tidak ada pengendapan. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Birdi (1979), dimana proses koagulasi dapat menyebabkan pengendapan karena terjadi reaksi antara koagulan dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam limbah sehingga terjadi ketidakstabilan partikel akibat pengurangan gaya-gaya yang cenderung membuat partikel terpisah. Dengan adanya pengurangan gaya-gaya tersebut, partikel-partikel tersuspensi akan bergabung membentuk partikel-partikel yang berukuran lebih besar yang dapat mengendap dan dapat dipisahkan secara sedimentasi. Mahida (1992) menambahkan bahwa keberhasilan pengendapan dipengaruhi oleh ukuran partikel, konsentrasi padatan, berat jenis partikel, suhu air limbah, retention time, banyaknya udara yang kontak dengan air limbah, dan pilihan koagulan yang digunakan, karena koagulan yang digunakan mempengaruhi keasaman dari air limbah.

Jika dibandingkan dengan Baku Mutu Limbah (BML), kadar TSS maksimum adalah sebesar 100 mg/L, sedangkan nilai TSS limbah sayur yang telah dilakukan treatment pada praktikum ini jauh lebih tinggi, sehingga limbah tersebut belum sesuai dengan standard yang ada. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa limbah yang telah di-treatment ini belum layak untuk dibuang ke perairan karena dengan banyaknya padatan tersuspensi, cahaya tidak dapat menembus ke dalam air limbah, sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup biota perairan. Faktor lain yang mempengaruhi hasil TSS setelah treatment yang tidak sesuai dengan BML adalah masih adanya zat beracun yang terkandung dalam air limbah dan dapat memperlambat pertumbuhan bakteri.

2.2.4.3. Total Padatan Terlarut / Total Dissolved Solid (TDS)Menurut Sastrawijaya (1991), total Padatan terlarut / TDS dapat digunakan untuk menentukan tingkat kepekatan dalam suatu contoh air. TDS merupakan residu yang dapat disaring dan ditetapkan sebagai perbedaan antara berat residu setelah evaporasi dengan berat padatan tersuspensi total (Jenie & Rahayu, 1993), sehingga dalam praktikum ini, cara perhitungan nilai TDS adalah dengan mengurangkan nilai TS dengan TSS. Seperti halnya pada perhitungan nilai TS dan TSS, hasil perhitungan nilai TDS pada limbah setelah diberi perlakuan treatment adalah jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum diberi perlakuan treatment. Hasil tersebut tidak sesuai pula dengan teori Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa treatment-treatment yang dilakukan seharusnya bertujuan untuk mengurangi pengotor berupa bahan organik dan partikel, di mana menurut Jenie & Rahayu (1993) kekeruhan pada limbah disebabkan karena banyaknya padatan organik dan anorganik pada pengotor tersebut, sehingga praktikum ini bertujuan untuk mengurangi padatan, termasuk padatan terlarut pada limbah tersebut untuk menghasilkan limbah yang lebih jernih dan tidak pekat. Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan tujuan ini juga kemungkinan terjadi karena alasan yang sama yaitu perbedaan sumber limbah yang digunakan dan adanya penambahan senyawa Ca(OH)2 yang lolos penyaringan pada saat treatment. Selain itu juga dapat terjadi dikarenakan kurang sempurnanya perlakuan yang diberikan dalam pengolahan limbah tersebut untuk memperoleh limbah yang mengandung sedikit padatan bila dibuang ke badan air karena dengan treatment seharusnya senyawa organik yang ada di dalam limbah dapat berkurang.

2.3. Pengukuran Karakteristik Kimiawi Limbah2.3.1. pHMenurut Mahida (1992), pH menunjukkan tingkat keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. Volk & Wheeler (1993) menjelaskan bahwa dalam pengelolaan limbah, tingkat keasaman larutan menjadi suatu hal yang penting karena berkaitan langsung dengan lingkungan hidup. Bila tidak ditangani dengan tepat maka dapat menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran sungai sehingga kehidupan makhluk perairan terganggu. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, limbah cair pencucian sayuran yang digunakan oleh kelompok A1-A3 sebelum dilakukan treatment memiliki nilai pH rata-rata sebesar 6,145. Menurut Hammer & Hammer (1996), pH yang normal memiliki rentang nilai antara 6,5-8,5. Berdasarkan teori itu, dapat disimpulkan bahwa pH pada limbah cair pencucian sayuran harus diolah / dilakukan treatment dahulu supaya menjadi netral sehingga tidak mengganggu lingkungan karena semakin kecil nilai pH limbah, berarti limbah tersebut bersifat semakin asam. Limbah yang asam akan membuat proses biologis terhambat sehingga mengganggu proses penjernihan limbah.

Pada praktikum ini, pH air limbah diukur dengan menggunakan alat pH-meter. Penggunaan pH-meter ini sesuai dengan teori Alfonso & Edward (1992) yang menyatakan bahwa pH-meter merupakan suatu alat yang biasa digunakan untuk mengukur dan mengetahui kadar keasaman dalam suatu bahan pangan, dimana pH yang dicatat adalah pH pada saat pH meter menunjukkan keadaan yang stabil. pH-meter ini terdiri atas alat penera (potensiometer) dan dua buah elektroda. Menurut Suhardi (1991), prinsip kerja pH-meter adalah menghubungkan alat tersebut dengan sumber tenaga, maka terdapat rantai tertutup, sehingga ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besarnya kadar ion hidrogen.

Setelah dilakukan treatment dengan penambahan bahan yang bersifat basa, yaitu Ca(OH)2 pada proses koagulasi dan NaOH pada proses netralisasi, pada limbah kelompok A1 hingga A3 didapatkan nilai pH berkisar antara 7-7,01. Hal ini menunjukkan bahwa proses penetralan limbah sudah sesuai dengan nilai pH netral, sehingga apabila limbah yang telah mengalami pengolahan / treatment ini dibuang ke perairan, maka tidak akan mengganggu kehidupan makhluk perairan (Volk & Wheeler, 1993). Penggunaan larutan basa untuk menetralkan limbah yang bersifat asam sesuai dengan teori Gintings (1992) yang menyatakan bahwa proses penetralan limbah yang bersifat asam dapat dilakukan dengan penambahan basa sehingga diperoleh nilai pH yang netral ( 7). Berdasarkan Baku Mutu Limbah (BML) untuk pengolahan sayuran, nilai pH yang dianjurkan apabila dibuang ke perairan berkisar 6-9. Oleh karena itu limbah sayuran yang telah di-treatment oleh kelompok A1-A3 sudah memenuhi standar BML pengolahan sayuran.

2.3.2. Chemical Oxygen Demand (COD)Menurut Suhardi (1991), analisa COD (Chemical Oxygen Demand) dilakukan untuk mengetahui banyaknya oksigen yang digunakan utuk menguraikan bahan organik secara kimia dalam batasan ppm atau mg/L. Sastrawijaya (1991) menambahkan bahwa senyawa-senyawa organik akan menurunkan kualitas air, sehingga konsentrasi senyawa tersebut perlu diketahui, baik ketika berada di dalam limbah maupun setelah masuk ke dalam perairan. Oleh karena itu, pada praktikum ini dilakukan pengujian COD. Nilai COD diuji pada larutan sampel dan larutan blanko baik sebelum treatment maupun setelah dilakukan treatment. Larutan sampel limbah diuji COD-nya dengan cara mengambil 10 ml air limbah kedalam labu takar 100 ml, kemudian dilakukan pengenceran dengan aquades hingga tanda tera. Sebanyak 10 ml dari hasil pengenceran tersebut lalu diambil dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer. Kedalam larutan tersebut kemudian ditambahkan 1 ml HgSO4 yang diambil di ruang asam dan 20 ml K2Cr2O7. Berdasarkan teori Mahida (1992), larutan K2Cr2O7 digunakan sebagai agen pengoksidasi, dimana jumlah yang digunakan ekuivalen dengan banyaknya total bahan organik yang dioksidasi secara kimia. Larutan K2Cr2O7 ini termasuk efektif dalam penggunaannya karena mudah didapat dan relatif stabil pada suhu tinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Hammer & Hammer (1996) yang menyatakan bahwa pada pengujian COD dilakukan penambahan larutan kalium bikromat (K2Cr2O7) standar yang telah diketahui jumlahnya, sedangkan menurut Suhardi (1991), penambahan larutan kalium bikromat dan merkuri sulfat (HgSO4) bertujuan untuk menciptakan reaksi reduksioksidasi yang akan menghasilkan On bebas. On bebas inilah yang dihasilkan inilah nantinya akan diukur dengan titrasi iod. Hal ini didukung pula oleh pendapat dari Jenie & Rahayu (1993) bahwa merkuri sulfat (HgSO4) berfungsi sebagai katalis yang dapat mengatasi gangguan klorida serta menjamin terjadinya oksidasi senyawa-senyawa benzene.

Selanjutnya campuran larutan tersebut dipanaskan hingga suhunya mencapai 100oC. Pemanasan dilakukan selama 10 menit lalu didinginkan. Suhardi (1991) menjelaskan bahwa pemanasan dalam analisa COD ini dilakukan untuk meningkatkan kecepatan reaksi, sehingga energi kinetik dari masing-masing molekul meningkat, tumbukan semakin besar, dan senyawa akhir reaksi menjadi cepat terbentuk. Setelah larutan dingin, larutan campuran tersebut ditambahkan larutan KI 10% sebanyak 1,5 ml dan 2 ml indikator amilum. Day & Underwood (1992) menjelaskan bahwa penambahan larutan KI ini digunakan untuk menghasilkan ion iodida bebas akibat reaksi antara ion K dengan O2. Banyaknya ion iodida bebas ini ditentukan dengan proses titrasi menggunakan Na2S2O3 dan penambahan indikator amilum. Adanya reaksi antara amilum dan ion iodida bebas akan menimbulkan warna biru tua. Graham (1956) menambahkan bahwa penambahan larutan KI dan amilum harus dilakukan saat cairan sudah didinginkan untuk meminimalkan kerusakan amilum akibat panas karena amilum sensitif pada suhu yang tinggi. Selanjutnya larutan sampel limbah dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N untuk menentukan jumlah ion iodida yang dibebaskan pada tahap penambahan KI 10 %. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa volume