praktikum surimi_ignatius alfredo ap_13.70.0191_kloterc_unika soegijapranata

Upload: praktikumhasillaut

Post on 03-Mar-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pada praktikum tentang surimi ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai alternatif produk "perantara" dalam industri pengolahan ikan.

TRANSCRIPT

  • SURIMI

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun Oleh:

    Nama : Ignatius Alfredo Ade Prasetyo

    NIM : 13.70.0191

    Kelompok : C4

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. MATERI METODE

    1.1. Alat dan Bahan

    1.1.1. Alat

    Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,

    timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser,

    plastik bening, dan milimeter blok.

    1.1.2. Bahan

    Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,

    polifosfat, dan es batu.

    1.2. Metode

    Ikan dicuci bersih dengan air mengalir.

    Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian

    kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.

    Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram.

  • 2

    Daging ikan dimasukkan ke dalam alat penggiling dengan

    ditambahkan es batu, kemudian digiling hingga halus.

    Daging ikan dicuci dengan air es sambil disaring menggunakan kain

    saring sebanyak 3 kali hingga didapatkan tekstur yang gempal.

    Daging ikan halus dimasukkan ke dalam wadah plastik, kemudian

    ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5%

    (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan

    polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5%

    (kelompok 4, 5).

    Plastik diikat dan diletakkan di dalam loyang untuk

    kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.

  • 3

    Setelah dithawing, surimi diuji kualitas sensorisnya

    yang meliputi kekenyalan dan aroma.

    Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan

    menggunakan texture analyzer.

    Surimi dipress dengan

    menggunakan presser.

  • 4

    Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok

    untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:

    Luas atas =1

    3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)

    Luas bawah =1

    3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)

    Luas area basah = Luas atas Luas bawah

    mg H2O =Luas area basah 8,0

    0,0948

  • 5

    2. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

    Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi

    Kel. Perlakuan Hardness WHC Sensoris

    Kekenyalan Aroma

    C1 sukrosa 2,5% + garam

    2,5% + polifosfat 0,1% 137,22 gf 293598,53 +++ +++

    C2 sukrosa 2,5% + garam

    2,5% + polifosfat 0,3% 132,55 gf 267004,22 + +

    C3 sukrosa 5% + garam

    2,5% + polifosfat 0,3% 214,65 gf 311814,35 ++ +

    C4 sukrosa 5% + garam

    2,5% + polifosfat 0,5% 126,59 gf 277084,60 ++ ++

    C5 sukrosa 2,5% + garam

    2,5% + polifosfat 0,5% 159,03 gf 254345,99 + +++

    Keterangan:

    Kekenyalan Aroma

    + : tidak kenyal + : tidak amis

    ++ : kenyal ++ : amis

    +++ : sangat kenyal +++ : sangat amis

    Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat dilihat bahwa nilai hardness terbesar surimi diperoleh oleh

    kelompok C3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% dan polifosfat

    0,3% yaitu sebesar 214,65 gf. Sedangkan pada kelompok C2dengan perlakuanpenambahan

    sukrosa 5% + garam+ 2,5% dan polifosfat 0,3% diperoleh nilai hardness terendah yaitu

    sebesar 132,55 gf. Nilai WHC terbesar didapatkan oleh kelompok C3 dengan perlakuan

    penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% yaitu2,5% + garam 2,5% dan

    polifosfat 0,3% yaitu sebesar311814,35 mg, sedangkan WHC terkecil didapatkan oleh

    kelompok C5 yaitu sebesar 254345,99 mg dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5% +

    garam 2,5% + polifosfat 0,5%. Surimi yang diamati sensorisnya memiliki tingkat kekenyalan

    yang berbeda-beda. Kelompok C1 dihasilkan surimi yang sangat kenyal, kelompok C3 dan

    C4 kenyal, sedangkan kelompok C2 dan C5 tidak kenyal. Aroma surimi masing-masing

    kelompok juga berbeda-beda, pada kelompok C2 dan C3 tidak amis, kelompok C4 tergolong

    amis, sedangkan pada kelompok C1 dan C5 diperoleh surimi yang sangat amis.

  • 6

    3. PEMBAHASAN

    Pada praktikum ini, praktikan melakukan percobaan yaitu membuat surimi. Tujuan dari

    praktikum ini yaitu untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai salah satu alternatif

    produk perantara dalam industri pengolahan ikan. Menurut SEAFDEC (2009) dalam

    kutipan Nopianti et al., (2011), surimi adalah pasta daging ikan yang diolah secara tradisional

    oleh rakyat Jepang menjadi produk yang disebut kamaboko. Surimi merupakan daging

    lumat yang telah melalui proses pembersihan dan pencucian sehingga bau, darah, pigmen,

    dan lemak akan hilang. Surimi berupa hancuran daging ikan yang mengalami pencucian

    dengan larutan garam dingin, pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengemasan, dan

    pembekuan (Peranginangin et al, 1999). Menurut P. Santana et al., (2012), surimi adalah

    produk setengah jadi atau disebut intermediate product karena dapat diolah kembali menjadi

    macam-macam produk makanan dan juga dapat digunakan sebagai bahan campuran olahan

    seperti bakso, sosis, scallops, abon, dan berbagai produk olahan lainnya. Surimi memiliki 2

    tipe yang biasa diproduksi, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi.Mu-en surimi sendiri

    merupakan produk surimi yang dibuat tanpa menggunakan penambahan garam, sedangkan

    untuk ka-en surimi dibuat dengan menggunakan garam pada konsentrasi tertentu (Agustiani

    et al., 2006).

    Dalam pembuatan surimi, terdapat beberapa persyaratan bahan baku yang digunakan yaitu

    bahan baku harus bersih, bebas bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda

    dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu,

    dan tidak membahayakan bagi kesehatan (SNI 01-3229 - 1992). Selain itu secara

    organoleptik, bahan baku yang akan digunakan harus memiliki karakteristik kesegaran

    seperti:

    a. Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan

    b. Bau : segar

    c. Daging : elastis dan kompak

    d. Rasa : netral agak manis

    (Peranginangin et al.,1999).

    Menurut (Koswara et al., 2001), surimi dapat dikatakan bermutu baik apabila memiliki ciri-

    ciri seperti warna yang putih, flavor yang baik, dan elastisitasnya tinggi. Kesegaran ikan

    yang digunakan dalam pembuatan surimi akan mempengaruhi elastisitas dari surimi yang

  • 7

    dihasilkan. Semakin segar ikan yang digunakan maka elastisitas surimi yang dihasilkan akan

    semakin tinggi pula. Apabila ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi ini memiliki

    elastisitas rendah biasanya elastisitas surimi ditingkatkan dengan cara menambahkan daging

    ikan jenis yang lain, diberikan penambahan gula, pati, atau protein nabati. Tingkat keasaman

    ikan yang paling ideal untuk pembuatan surimi adalah 6,5 hingga 7 (pH netral). Ikan yang

    digunakan sebagai bahan membuat surimi disarankan rendah lemak, karena lemak akan

    mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat mengalami

    ketengikan. Apabila ikan yang digunakan mempunyai kandungan lemak tinggi, ikan tersebut

    harus melalui proses pengekstrakan lemak terlebih dahulu. Ikan yang digunakan untuk

    pembuatan surimi juga sebisa mungkin memiliki daging yang berwarna putih, tidak berbau

    lumpur, tidak terlalu amis, dan memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik.

    Berdasarkan syarat-syarat diatas, maka bahan utama yang digunakan dalam pembuatan

    surimi ini adalah ikan bawal yang masih segar. Ikan ini dipilih sebagai bahan utama karena

    dagingnya yang berwarna putih. Sebelum digunakan ikan tersebut disimpan di dalam

    refrigerator untuk menjaga kesegarannya. Jay (1986) mengatakan bahwa suhu refrigerator

    yang berkisar antara 0-2oC dan 5-7oC akan dapat mempertahankan kesegaran ikan karena

    suhunya yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Sebelum ikan

    digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan surimi, ikan terlebih dahulu di-thawing.

    Proses thawing ini harus dilakukan secara cepat, hal ini disebabkan karena apabila thawing

    dilakukan dalam waktu lama dapat menyebabkan mutu bahan baku ikan segar menurun

    (Potter, 1978).

    Ikan bawal air tawar dengan nama ilmiah Colossoma macropomum memiliki badan agak

    bulat, bentuk tubuh pipih, sisik kecil, kepala hampir bulat, lubang hidung agak besar, sirip

    dada di bawah tutup insang, sirip perut dan sirip dubur terpisah, punggung berwarna abu-abu

    tua, serta perut putih abu-abu dan merah (Saint-paul dalam Supriatna 1998). Ikan bawal yang

    digunakan dalam praktikum ini memiliki daging putih, tidak berbau lumpur, tidak terlalu

    amis, dan memiliki kemampuan dalam membentuk gel dengan baik sehingga cocok

    digunakan sebagai bahan baku pembuatan surimi sesuai dengan kriteria ikan sebagai bahan

    baku dalam pembuatan surimi (Ninan et al., 2004).

    Menurut Dahar (2003), proses pembuatan surimi pada umumnya meliputi penerimaan bahan

    baku, penyiangan dan pencucian, pemisahan daging terhadap tulang dan kulit, leaching,

  • 8

    straining, pengepresan, penambahan gula dan sodium polyphosphate, pencetakan dan

    pembekuan, dan pengemasan. Proses pembuatan surimi yang dilakukan pada praktikum kali

    ini sudah sesuai dengan teori Dahar (2003), namun prosedur yang digunakan disederhanakan

    yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan dan pembekuan. Dalam praktikum

    ini mula-mula proses pembuatan surimi dilakukan dengan cara pencucian ikan sampai bersih.

    Kemudian disiangi dengan cara membuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan

    kulit, sedangkan bagian daging putihnya diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram, lalu

    digiling hingga halus. Penyiangan ikan ini bertujuan untuk mencegah perkembangbiakan

    mikroorganisme alami pada ikan (Vatria, 2010). Pemisahan daging dengan kulit dan tulang

    perlu dilakukan pada proses pembuatan surimi, karena dalam pembuatan surimi bahan yang

    digunakan hanya bagian daging ikan (Anonim_2, 1992).

    Setelah proses pemisahan daging ikan dari kulit dan tulangnya, maka proses selanjutnya yang

    dilakukan adalah proses leaching. Proses ini merupakan proses yang meliputi proses

    pencucian daging dalam air es sebanyak 3 kali yang bertujuan untuk menghilangkan bau,

    lemak, darah, dan kotoran lainnya yang tidak diinginkan, lalu disaring dengan menggunakan

    kertas saring. Pencucian daging sebanyak 3 kali tersebut sesuai dalam jurnal, bahwa daging

    ikan fillet yang sudah dicincang dicuci sebanyak 3 kali dengan perbandingan 1:4 (daging ikan

    : air) (Jafarpour & Gorczyca, 2009). Selanjutnya, daging ikan lumat diberikan perlakuan

    dengan penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1% untuk kelompok C1;

    kelompok C2 dengan penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%; kelompok

    C3 dengan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%; kelompok C4 dengan

    penambahansukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%; kelompok C5 dengan penambahan

    sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%. Surimi yang dihasilkan pada praktikum surimi

    ini adalah surimi dengan jenis ka-en surimi, karena dalam prosesnya surimi tersebut

    ditambahkan garam dengan kosentrasi tertentu (Suzuki, 1981).

    Bahan-bahan tambahan yang digunakan bertujuan untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi,

    cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa surimi

    (Winarno et al. 1980). Penambahan garam bertujuan untuk mempercepat proses penurunan

    jumlah air yang terdapat pada fillet daging ikan yang akan dibuat surimi nantinya. Garam

    juga berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan sehingga dapat dibentuk gel

    yang kuat, fleksibel dan elastis pada surimi yang dihasilkan. Faktor-faktor lain yang

    mempengaruhi pembentukan gel surimi adalah bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju

  • 9

    pemanasan, serta jenis ikan yang digunakan (Lan et al., 1995). Selain itu, garam dalam

    takaran yang tepat ditambahkan dengan tujuan sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah

    aroma (Winarno et al., 1980). Konsentrasi garam yang biasanya digunakan untuk membuat

    surimi adalah 2 hingga 3%, karena apabila digunakan garam dengan konsentrasi yang lebih

    tinggi maka akan memberikan rasa yang terlalu asin (Shimizu et al., 1994).

    Polifosfat yang digunakan dalam praktikum ini adalah natrium tripolifosfat (STTP).

    Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Kemudian miosin dan

    poliposfat akan berikatan dengan air lalu menahan mineral dan vitamin. Ketika pemasakan,

    miosin akan membentuk gel, sedangkan polifosfat akan membantu menahan air dengan

    menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler (Haryati, 2001). Dalam praktikum ini,

    penambahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat

    surimi, khususnya sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat juga berfungsi untuk

    memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memberikan sifat lebih lembut pada produk-produk

    olahan surimi. Kadar polifosfat yang biasanya ditambahkan adalah sebanyak 0,2 %-0,3 %

    dalam bentuk garam natrium tripolifosfat, namun pada praktikum ini, jumlah polifosfat yang

    ditambahkan yaitu 0,1%, 0,3%, dan 0,5% (Peranginangin et al. 1999).

    Setelah penambahan sukrosa, garam, dan polifosfat, surimi kemudian dimasukkan ke dalam

    wadah yaitu kantong plastik polietilen dan dibekukan di dalam freezer selama 1 malam.

    Penyimpanan surimi dalam keadaan beku di dalam freezer tersebut sebelumnya telah

    diberikan krioprotektan (Peranginangin et al, 1999). Krioprotektan merupakan bahan

    tambahan pada pembuatan surimi yang ditambahkan sebelum proses penyimpanan beku.

    Menurut MacDonald et al., (1997) dalam jurnal Suitability of chitosan as cryoprotectant on

    croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage, bahwa krioprotektan

    berfungsi untuk memperpanjang umur simpan beku makanan dengan mencegah terjadinya

    kerusakan pada myofibrillar protein yang disebabkan oleh pembekuan, penyimpanan beku

    dan pencairan. Zhou et al., (2006) mengatakan bahwa krioprotektan dapat meningkatkan

    kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari

    protein, dan menstabilkan protein. Krioprotektan yang ditambahkan pada surimi berperan

    untuk menghambat dan meminimalkan denaturasi protein selama proses pembekuan dan

    penyimpanan di dalam freezer. Krioprotektan yang digunakan dalam praktikum ini adalah

    sukrosa. Sukrosa merupakan gula pereduksi yang akan bereaksi dengan gugus amino dari

    protein kemudian membentuk senyawa melanoidin yang warnanya coklat (Wiguna, 2005).

  • 10

    Meskipun krioprotektan yang digunakan seperti sukrosa, sorbitol dan fosfat dalam produk

    surimi, tetapi kandungan kalori yang tinggi dan kemanisannya tidak luput dari kekhawatiran

    (Park&Morrissey, 2000). Kitosan dapat efektif digunakan sebagai krioprotektan alternative

    sukrosa dan sorbitol untuk stabilisasi otot croaker struktur asli protein selama proses

    penyimpanan beku. (Sadhan S et al., 2011)

    Setelah penyimpanan selama 1 malam, selanjutnya surimi di-thawing selama 15 menit dalam

    suhu ruangan lalu dilakukan pengamatan sensoris yang meliputi kekenyalan dan aroma.

    Kemudian hardness surimi diukur dengan menggunakan texture analyzer. Sedangkan nilai

    WHC dapat dihitung dengan proses pengepresan yang dilakukan dengan menggunakan alat

    pengepres (screw press). Proses ini dapat mengurangi kadar air surimi hingga sekitar 85%

    (Anonim_2, 1992). Setelah itu, surimi yang telah dilakukan pengepresan digambar diatas

    millimeter blok dan dihitung nilai WHC dengan rumus yang ada. Pengujian tersebut

    dilakukan karena kualitas surimi pada umumnya dapat dilihat dari kekenyalan, aroma,

    hardness, dan WHC (Water Holding Capacity) (Sanchez-Gonzales et al, 2006).

    3.1. Karakteristik Surimi

    3.1.1 Hardness

    Berdasarkan data hasil pengamatan, didapatkan nilai hardness surimi terbesar diperoleh oleh

    kelompok C3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%

    yaitu sebesar 214,65 gf. Sedangkan pada kelompok C4 dengan perlakuan penambahan

    sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5% diperoleh hardness terendah yaitu 126,59 gf.

    Maka hasil yang diperoleh tersebut sesuai dengan teori, yang mengatakan bahwa

    penambahan konsentrasi polifosfat bertujuan untuk menambah kelembutan dan keelastisan

    surimi, sehingga dengan semakin banyaknya polifosfat yang ditambahkan akan diperoleh

    hardness yang semakin kecil (Peranginangin et al. 1999). Proses pencucian daging tidak

    hanya menghilangkan zat lemak yang tidak diinginkan seperti darah, pigmen dan bau dari

    daging, tapi juga meningkatkan konsentrasi protein myofibrilar. Carvajal et al., (2005)

    menyatakan bahwa proses pencucian akan meningkatkan kualitas surimi dengan peningkatan

    konsentrasi protein myofibrilarnya, tetapi banyaknya pencucian tergantung spesies ikan,

    kondisi, dan berapa kali pencucian. Karthikeyan et al., (2004) menyatakan bahwa setelah

    dilakukan pencucian beberapa kali, kekuatan ion akan menurun sedangkan dengan

    penambahan garam selama pengolahan melarutkan miofibril dan meningkatkan pembentukan

    gel. Hamzah N et al., (2014) dalam jurnal Physical properties of cobia (Rachycentron

  • 11

    canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations menyimpulkan

    bahwa untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik, maka daging ikan dilakukan lima siklus

    pencucian dan penambahan polifosfat dibandingkan dengan kombinasi konsentrasi garam.

    3.1.2. WHC

    Dalam percobaan ini dilakukan uji daya ikat air (WHC). Tujuannya adalah untuk mengetahui

    besarnya kemampuan bahan untuk mengikat molekul air. Interaksi antara protein dengan air,

    terutama daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel. Selama penyimpanan, surimi

    rentan terhadap proses denaturasi protein. Denaturasi protein pada surimi dapat disebabkan

    oleh adanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada fase

    sebelum pembekuan di dalam sel. Ketika sel membeku, konsentrasi garam mineral menjadi

    sangat tinggi sehingga menyebabkan denaturasi protein (Djazuli, N et al, 2009). Menurut

    teori Whistler et al. (1985), proses denaturasi protein dapat dihambat oleh sukrosa. Sukrosa

    memiliki grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen.

    Peristiwa tersebut akan meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul

    air dari protein, sehingga stabilitas protein tetap terjaga.

    Berdasarkan hasil pengamatan WHC surimi yang terbesar didapatkan oleh kelompok C3

    dengan perlakuan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3% yaitu 311814,35

    mg, dan WHC terkecil didapatkan oleh kelompok C5 yaitu 254345,99 mg dengan perlakuan

    penambahan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%. Hasil ini kurang sesuai dengan

    teori Peranginangin et al., (1999) yang mengatakan bahwa polifosfat juga berfungsi dalam

    memperbaiki daya ikat air (WHC) pada surimi, sehingga semakin tinggi konsentrasi

    polifosfat, kemampuan surimi dalam mengikat air semakin besar. Selain itu, garam (NaCl)

    dapat berperan dalam pembentukan gel surimi. Menurut teori Winarno et al., (1980), bahwa

    NaCl berfungsi melepaskan miosin dari serat-serat ikan sehingga dapat dibentuk gel yang

    kuat. Gel yang kuat akan membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap air

    dalam jumlah besar sehingga meningkatkan nilai WHC surimi. Akan tetapi, dengan adanya

    perlakuan penambahan sukrosa yang tinggi, menurut Zhou et al. (2006) sukrosa yang

    ditambahkan dalam praktikum ini dapat meningkatkan kemampuan surimi mengikat air

    (WHC). Maka, hasil yang diperoleh sesuai dengan teori tersebut yaitu terdapat pada

    kelompok C3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%

    yaitu 311814,35 mg, dengan konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi dapat meningkatkan

    nilai WHC.

  • 12

    3.1.3. Kekenyalan

    Tingkat kekenyalan surimi dipengaruhi oleh faktor kesegaran ikan, hal ini berhubungan

    dalam kemampuan surimi untuk membentuk gel. Kesegaran ikan dalam hal ini adalah waktu

    dan suhu penyimpanan ikan. Apabila ikan yang disimpan semakin lama, maka

    kemampuannya untuk membentuk gel akan menurun. Phatcharat et al, (2012) mengatakan

    bahwa gel surimi dapat dibentuk dengan penambahan protein, penggunaan mikroba

    transglutaminase, maupun proses pencucian. Pada praktikum ini, semua kelompok (C1

    hingga C5) digunakan konsentrasi garam yang sama yaitu 2,5%. Dari data pengamatan

    didapatkan bahwa tingkat kekenyalan surimi pada masing-masing kelompok berbeda-beda.

    Kelompok C1 dihasilkan surimi yang sangat kenyal, kelompok C3 dan C4 kenyal, sedangkan

    kelompok C2 dan C5 tidak kenyal. Dapat dikatakan bahwa kelompok C1 dengan surimi yang

    sangat kenyal, kelompok C3 dan C4 kenyal, karena ikan bawal yang digunakan masih dalam

    kondisi segar. Menurut pendapat Hossain et al., (2004), bahwa tingkat kekenyalan juga

    dipengaruhi oleh konsentrasi garam yang diberikan. Konsentrasi garam yang terbaik untuk

    membentuk kekuatan gel yang optimal yaitu antara 1,7-3,5%. Akan tetapi, kelompok C2 dan

    C5 dihasilkan surimi yang tidak kenyal, seharusnya kekenyalan gel surimi yang dihasilkan

    oleh masing-masing kelompok sudah maksimum. Namun terdapat faktor lain yang

    berpengaruh terhadap kekenyalan gel tersebut.

    Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan gel adalah penambahan

    polifosfat. Penambahan polifosfat memberikan pengaruh terhadap tingkat kekenyalan surimi,

    karena polifosfat berperan untuk menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan

    kapiler sehingga dengan semakin banyaknya polifosfat yang ditambahkan, kekenyalan surimi

    akan lebih maksimal karena semakin banyak air yang dapat ditahan. Seharusnya kekenyalan

    yang paling maksimal diperoleh dari kelompok C4 dan C5 yang menggunakan konsentrasi

    polifosfat tertinggi yaitu 0,5% (Peranginangin et al. 1999).

    Menurut Djazuli, N et al, (2009), bahwa tingkat kekenyalan surimi juga dipengaruhi oleh

    nilai WHC. Apabila daya serap air semakin baik (nilai WHC tinggi) akan membentuk tekstur

    gel yang semakin baik. Dari hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa pada kelompok C2 dan

    C5 memiliki tingkat kekenyalan paling rendah (tidak kenyal) dibandingkan dengan surimi

    kelompok lain. Demikian juga dengan nilai WHC pada kelompok C2 dan C5 juga paling

    rendah dibandingkan surimi lainnya yaitu 267004,22 mg untuk kelompok C2 dan 254345,99

    mg untuk kelompok C5. Jadi dapat dikatakan hal ini sesuai dengan teori Djazuli, N et al.,

  • 13

    (2009), yang mengatakan bahwa nilai WHC berhubungan dengan kekenyalan. Selain itu,

    proses gelasi pada surimi dapat terjadi karena protein miofibril yang membentuk jaringan tiga

    dimensi, dimana di dalam jaringan ini terperangkap air. Apabila semakin banyak air yang

    terperangkap, maka kekuatan gel yang dihasilkan akan semakin maksimal dan dapat

    diperoleh kekenyalan yang maksimal (Sanchez-Gonzales et al., 2006).

    Menurut Luo YK et al., (2008) dalam jurnal The Influence of Chitosan on Textural

    Properties of Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi, mengatakan bahwa gelasi protein

    ikan merupakan langkah yang paling penting dalam pembentukan tekstur yang diinginkan

    dalam banyak produk makanan laut seperti surimi. Gelasi protein daging pada pembuatan

    surimi ini berperan untuk meningkatkan sifat tekstur yang seperti warna, menahan air

    kapasitas (WHC), kelembaban dinyatakan dan kekuatan gel untuk meningkatkan penerimaan

    produk surimi. Maka, hal ini dapat dikaitkan dengan hasil pengamatan yang diperoleh dari

    segi hardness, WHC, dan kekenyalan.

    3.1.4. Aroma

    Aroma merupakan faktor yang sangat penting bagi produk surimi. Oleh karena itu, perlu

    dilakukan upaya untuk membuat aroma surimi tidak amis, yaitu pencucian dengan air es.

    Reinheimer et al, (2010) berpendapat bahwa pencucian dilakukan untuk menghilangkan bau

    amis, bahan yang tidak diinginkan, komponen lain yang larut air serta meningkatkan

    konsentrasi dari protein miofibril. Berdasarkan data hasil pengamatan yang diperoleh, surimi

    pada kelompok C2 dan C3 tergolong tidak amis, pada kelompok C4 amis, namun pada

    kelompok C1 dan C5 diperoleh surimi yang sangat amis. Perbedaan tingkat keamisan pada

    masing-masing surimi tersebut dapat disebabkan karena perbedaan perlakuan proses

    pencucian. Pada dasarnya, apabila surimi masih berbau amis, dapat dikatakan bahwa

    pencucian surimi yang telah dilakukan kurang maksimal.

    Menurut Andini (2006), salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan surimi

    adalah suhu air yang digunakan pada proses pencucian dan penggilingan daging ikan, karena

    jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencucian.

    Jumlah protein larut air yang hilang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel karena protein

    larut air akan mengikat protein miofibril sehingga menghambat pembentukan gel. Suhu

    pencucian di atas 15oC akan banyak protein larut air yang hilang. Oleh sebab itu suhu yang

  • 14

    baik untuk pencucian daging ikan adalah 5oC-10oC, karena akan dihasilkan kekuatan gel

    yang terbaik.

  • 15

    4. KESIMPULAN

    Surimi adalah salah satu produk olahan setengah jadi atau intermediate product.

    Mutu surimi yang baik memiliki ciri-ciri seperti warna yang putih, flavor yang baik,

    dan elastisitasnya tinggi.

    Ikan yang digunakan sebagai bahan membuat surimi disarankan rendah lemak, karena

    akan mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat

    mengalami ketengikan.

    Polifosfat berfungsi menambah nilai kelembutan, elastisitas surimi, dan memperbaiki

    daya ikat air.

    Krioprotektan adalah senyawa yang berperan sebagai anti denaturasi protein pada

    proses pembekuan dan penyimpanan beku yang salah satu contohnya adalah sukrosa.

    Sukrosa berperan untuk meminimalkan denaturasi protein selama pembekuan.

    Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang ditambahkan akan menurunkan hardness,

    meningkatkan kekenyalan dan meningkatkan WHC.

    Semakin banyak sukrosa yang ditambahkan, nilai WHC akan semakin besar.

    Konsentrasi garam 1,7%-3,5% akan menghasilkan nilai WHC dan kekenyalan terbaik.

    Kekenyalan surimi dipengaruhi oleh tingkat kesegaran ikan, konsentrasi garam, suhu air

    pencucian, konsentrasi polifosfat, dan kemampuan ikat air.

    Apabila daya serap air semakin baik (nilai WHC tinggi) akan membentuk tekstur gel

    yang semakin baik.

    Jumlah protein larut air yang hilang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel karena

    protein larut air akan mengikat protein miofibril sehingga menghambat pembentukan

    gel.

    Semarang, 19 Oktober 2015 Asisten Dosen,

    - Yusdhika Bayu S

    Ignatius Alfredo Ade P

    13.70.0191

  • 16

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan

    Universitas Diponegoro Press. Semarang.

    Andini YS.(2006). Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol

    (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan

    Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Anonim_2. (1992). Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan.Pusat Penelitian

    dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.

    Carvajal PA, Lanier TC,Mac Donald GA (2005) Stabilization of proteins in surimi. In: Park

    JW (ed) Surimi and surimi seafood, 2nd edn. Taylor and Francis Group, Boca Raton,

    Fla., pp 163225.

    Dahar, D. (2003). Pengembangan Produksi Hasil Perikanan. Sidoarjo.

    Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang di Laut Arafura.Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia.Institut Pertanian Bogor. Food Biophysics 4: 172-179.

    Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp)

    terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi

    Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Hossain, Mohammed Ismail; Muhammad Mostafa Kamal; Fatema Hoque Shikha; dan Md.

    Shahidul Haque.(2004). Effect of Washing and Salt Concentration on the Gel Forming

    Ability of Two Tropical Fish Species.International Journal of Agriculture & Biology

    15608530/2004/065762766.

    Jafarpour A, Gorczyca EM (2009) Rheological Characteristics and Microstructure of

    Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. Food Biophysics (2009)

    4:172-179.

    Jay, J. M. (1986). Modern Food Microbiology 3rd Edition. Van Nastrand Reinhold Company.

    New York.

    Karthikeyan M, Shamasundar BA, Mathew S, Kumar PR, Prakash V (2004) Physico-

    chemical and functional properties of proteins from pelagic fatty fish (Sardinella

    longiceps) as a function of water washing. Int J Food Prop 7:353365.

    Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta:

    UI Press.

  • 17

    Lan, H. Y., Mu W., Nikolic-Paterson D.J., and Atkins R.C. (1995). A Novel, Simple,

    Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of

    Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens. J

    Histochem Cytochem 43:9710.

    Luo YK, Shen H, Pan D, Bu GH (2008) Gel properties of surimi from silver carp

    (Hypophthalmichthys molitrix) as affected by heat treatment and soy protein isolate.

    Food Hydrocolloid 22: 1513-1519.

    MacDonald GA, Lanier TC, Swaisgood HE, Hamman DD. (1997). Mechanism for

    stabilization of fish actomyosin by sodium lactate. J Agric Food Chem 44:106112.

    N. Hamzah & N. M. Sarbon & A. M. Amin. (2014). Physical properties of cobia

    (Rachycentron canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations.

    J Food Sci Technol (August 2015) 52(8):47734784.

    Ninan, George; Bindu J, Jose Joseph.(2004). Properties of Washed Mince (Surimi) from

    Fresh and Chill Stored Black Tilapia, Oreochromis mossambicus.

    Nopianti. R, N. Huda & N. Ismail. (2011). A Review on the Loss of the Functional Properties

    of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming Properies of

    Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-30, 2011.

    P, Santana; Huda, N; dan Yang T.A. (2012).Technology for production of surimi powder and

    potential of applications.International Food Research Journal 19(4): 1313-1323 (2012).

    Park JW, Morrissey MT. (2000). Manufacturing of surimi from light muscle fish. In: Park JW

    (ed) Surimi and surimi technology. Marcel Dekker Inc, New York, pp 2843.

    Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta:

    Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

    Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. (2004).Effect of Washing with Oxidising Agents

    on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From

    Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of

    Songkla University Thailand.

    Potter, N.N. (1978). Food Science 3rd edition. AVI Publishing Company, Inc. USA.

    Reinheimer et al. (2010).Quality Characteristics of Surimi Made From Sabalo (Prochilodus

    platensis) as Affected by Water Washing Composition. World Congress and Exhibiton

    Engineering. Argentina.

    Sanchez-Gonzales, Ignacio; Pedro Carmona; Pilar Moreno; Javier Border as; Isabel Sanchez-Alonso; Arantxa RodriGuez-Casado; Mercedes Careche. (2006). Protein

  • 18

    and Water Structural Changes in Fish Surimi During Gelation as Recealed by Isotopic

    H/D Exchange and Raman Spectroscopy. Madrid, Spain.

    Satya Sadhan Dey & Krushna Chandra Dora. (2010). Suitability of chitosan as cryoprotectant

    on croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. J Food Sci Technol

    (NovemberDecember 2011) 48(6):699705.

    Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed

    Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York:

    Marcel dekker. Page.425-442.

    SNI 01-3229 1992. Persyaratan Bahan Baku Sirip Cucut Segar Beku. http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipm/en/sni/PRODUK%20PERIKANAN.

    Supriatna. 1998. Pengaruh Kadar Asam Lemak Omega 3 yang Berbeda pada Kadar Asam

    Lemak Omega 6 Tetap dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Ikan Bawal Air Tawar

    Colossoma macropomum Cuvier. [Tesis]. Program Paska Sarjana IPB. Bogor.

    Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science

    Publ Ltd.

    Vatria, Belvi. (2010). Pengolahan Ikan Bandeng (Chanos-Chanos) Tanpa Duri.Jurnal Ilmu

    Pengetahuan dan Rekayasa.

    Wiguna, A. N. (2005). Skripsi: Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging

    Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon

    sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan.Institut Pertanian Bogor.

    Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.

    Gramedia.

    Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006).Cryoprotective effect of trehalose and

    sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal

    of Food Chemistry 96(2):96-103.

  • 19

    6. LAMPIRAN

    6.1. Perhitungan

    Rumus:

    Luas atas =1

    3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)

    Luas bawah =1

    3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + + hn)

    Luas area basah = Luas atas Luas bawah

    mg H2O =Luas area basah 8,0

    0,0948

    Kelompok C1

    Luas atas =1

    3 37 (82 + 4 181 + 2 201 + 4 194 + 143) = 35350,11

    Luas bawah =1

    3 37 (82 + 4 37 + 2 30 + 4 44 + 143) = 7508,97

    Luas area basah = 35350,11 7508,97 = 27841,14

    mg H2O =27841,14 8,0

    0,0948= 293598,53

    Kelompok C2

    Luas atas =1

    3 45 (119 + 4 200 + 2 208 + 4 201 + 95) = 33510

    Luas bawah =1

    3 45 (119 + 4 33 + 2 26 + 4 37 + 95) = 8190

    Luas area basah = 33510 8190 = 25320

    mg H2O =25320 8,0

    0,0948= 267004,22

    Kelompok C3

    Luas atas =1

    3 48 (122 + 4 218 + 2 230 + 4 207 + 120) = 38432

    Luas bawah =1

    3 48 (122 + 4 34 + 2 20 + 4 34 + 120) = 8864

  • 20

    Luas area basah = 38432 8864 = 29568

    mg H2O =29568 8,0

    0,0948= 311814,35

    Kelompok C4

    Luas atas =1

    3 46 (90 + 4 184 + 2 201 + 4 190 + 120) = 32315,64

    Luas bawah =1

    3 46 (90 + 4 19 + 2 8 + 4 23 + 120) = 6040,02

    Luas area basah = 32315,64 6040,02 = 26275,62

    mg H2O =26275,62 8,0

    0,0948= 277084,60

    Kelompok C5

    Luas atas =1

    3 45 (120 + 4 198 + 2 222 + 4 217 + 112) = 35040,00

    Luas bawah =1

    3 45(120 + 4 50 + 2 44 + 4 52 + 112) = 10920,00

    Luas area basah = 35040,00 10920,00 = 24120,00

    mg H2O =24120,00 8,0

    0,0948= 254345,99

    6.2. Laporan Sementara

    6.3. Diagram Alir

    6.4. Abstrak Jurnal