surimi_kevin cahyadi_13.70.0096_b4_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Laporan Resmi Surimi Kevin Cahyadi 13.70.0096TRANSCRIPT
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusunoleh:
Kelompok B4
Nama : Kevin Cahyadi
NIM : 13.70.0096
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kainsaring, pisau, penggiling daging,
danfreezer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah dagingikan, garam, gulapasir, polifosfat,
esbatu.
1.2. Metode
1
Ikan dicuci dengan air bersih yang mengalir
Daging ikan difillet dengan membuang bagian kepala, sirip, ekor, sirik, isi perut dan kulit
Bagian daging putih diambil 100 gram
Daging ikan digiling halus dengan penambahan es batu
Cuci daging ikan dengan air es sebanyak 3 kali
Saring dengan kain saring
Tambahkan sukrosa 2,5% (kelompok 1,2),sukrosa 5% (kelompok 3,4,5)
Tambahkan garam 2,5%
2
RUMUS :
LuasAtas = LA= 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + … hn )
LuasBawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + … hn )
Luas Area Basah = LA - LB
Mg H2O = luas areabasa h−8,0
0,0948
Tambahkan polifosfat 0,1% (kelompok 1), polifosfat 0,3% (kelompok 2,3), polifosfat 0,5%
Masukkan dalam wadah
Bekukan dalam freezer semalam
Surimi dithawing
Pengukuran hardness, WHC, kualitas sensori (kekenyalan, aroma)
1. HASIL PENGAMATAN
Pada Tabel 1. Dapat dilihat hasil dari uji percobaan tingkat hardness, WHC, dan uji sensori dari
hasil pembuatan surimi.
Tabel 1. Hasil uji hardness, WHC, dan sensori dari surimi
Kel. PerlakuanHardness
(gf)
WHC
(mgH20)
Sensori
Kekenyalan Aroma
B1
Daging ikan giling + sukrosa 2,5% +garam
5% + polifosfat 0,1%.
129,74 280917,72 ++ ++
B2
Daging ikan giling + sukrosa 2,5% +garam
5% + polifosfat 0,3%.
292,02 218185,65 +++ +++
B3
Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,3%.
112,7 318565,40 ++ +
B4
Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,5%.
151,29 303858,12 +++ +
B5
Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,5%.
134,31 301219,49 + +
Keterangan:
Kekenyalan Aroma+ = tidak kenyal + = tidak amis++ = kenyal ++ = amis+++ = sangat kenyal +++ = sangat amis
3
4
Dari hasil data tabel 1. dapat dilihat hasil percobaan terhadapa surimi yang telah dibuat masing –
masing kelompok dengan perlakuan yang berbeda-beda. Pada uji hardness diketahui surimi hasil
kelompok B2 dengan pemberian sukrosa 2,5% +garam 5% + polifosfat 0,3% mendapat hasil
tertinggi dengan 292,02 gf dan hasil terkecil didapat pada laporan B1 dengan pemberian sukrosa
2,5% +garam 5% + polifosfat 0,1% yang hasilnya 129,74 gf. Pada uji WHC diketahui kelompok
B3 dengan pemberian sukrosa 5% +garam 5% + polifosfat 0,3% mendapatkan hasil tertinggi
dengan 318565,40 sedangkan kelompok B2 mendapat hasil terendah dengan 218185,65.
Sementara untuk hasil uji sensori tingkat kekenyalan dan aroma surimi didapat hasil yang
beragam. Untuk tingkat kekenyalan hasil tertinggi didapat kelompok B3 dan B4, sedangkan
kelompok B5 mendapatkan hasil terendah. Pada hasil uji aroma kelompok B2 mendapatkan hasil
tertinggi yaitu bau sangat amis, sementara kelompok B3; B4; dan B5; mendapatkan hasil
terendah yaitu bau tidak amis.
2. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan uji pembuatan surimi dengan menggunakan daging ikan.
Menurut Liptan (2000), dipilihanya ikan sebagai bahan baku dari pembuatan surimi karena ikan
mengandung banyak protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia, selain itu ikan memiliki
kandungan air yang cukup tinggi sehingga menyebabkan mudah busuk atau rusak (high
perishable food) dan juga menurut Moeljanto (1994), pada umumnya ikan mengandung protein
hewani yang tinggi, sehingga banyak dikonsumsi masyarakat karena harganya pun murah dan
dapat dengan mudah didapatkan. Maka dari itu pengolahan menjadi surimi merupakan salah satu
langkah untuk mengurangi pembuangan limbah ikan. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan
bahwa semua jenis ikan dapat dijadikan sebagai bahan olahan surimi, akan tetapi lebih
diutamakan ikan yang memiliki daging putih, tidak berbau lumpur, dan tidak terlalu amis, serta
mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik.
Menurut Sonu (1986), surimi merupakan bentuk olahan daging lumat yang terbuat dari daging
ikan yang telah dipisahkan dari bagian ikan lainnya. Ramirez et al (2002), berpendapat bahwa
surimi merupakan konsentrat dari protein miofibril yang memilki kemampuan dalam
pembentukan gel, pengikatan air, pengikatan lemak dan juga memiliki sifat-sifat fungsional yang
baik. Surimi sendiri menurut Irianto & Giyatmi (2009) merupakan salah satu produk olahan
daging ikan dalam bentuk setengha jadi yang terdiri dari protein miofibril diakarenakan sebagian
besar daging ikan adalah protein miofibril yang memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan
produk olahan ikan yang larut dalam larutan garam. Protein miofribil menurut Suzuki (1981),
berfungsi sebagai konstraksi otot ikan dan dapat diesktrak dengan memakai garam netral dengan
kekuatan ion sedang. Protein miofribil akan tampak seperti otot hewan mamalia dimana protein
miofrbil lebih mudah kehilangan aktivitas ATP-ase dan memiliki laju agregasi yang lebih cepat.
Protein dari ikan sendiri teridiri atas miosin, aktin, tropomiosin, dan juga aktomiosin yang
merupakan campuran antar aktin dan miosin. Protein miofribil ini akan sangat berpengaruh pada
daya ikat air dan plastisitas daging, tekstur produk-produk perikanan dan juga sifat fungsional
daging lumat. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan bahwa sebaiknya dalam menyimpan
5
6
surimi dalam keadaan beku dengan adanya penambahan bahan anti denaturasi atau
cryoprotectant.
Jenis dari surimi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu mu-en surimi (surimi yang dibuat
tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam). Untuk kandungan
surimi secara komersial terdapat 75 persen air, 18 persen protein, lemak kurang dari 0,5 persen,
serta bahan-bahan lainnya 6,5 persen (Park et al. 1996). Proses pembuatan surimi diantaranya
terdiri dari proses pencucian (leaching) secara berulang-ulang, pengepresan, penambahan bahan
tambahan (food additive), pengepakan, dan pembekuan (Agustiani,et.al, 2008). Tambahan dari
Sonu (1986), menyebutkan bahwa bahan pangan olahan surimi sudah di buat sejak tahun 1980
oleh masyarakat jepang. Produk surumi termasuk dalam produk antara sehingga dapat digunakan
kembali dalam pembuatan produk pangan lainnya atau sebagai campuran sosis ikan, baso ikan,
tempura dan kamaboko.
2.1. Cara Kerja
Dalam proses pembuatan surimi pertama dilakukan dulu pencucian ikan hingga bersih dengan air
mengalir dan dilanjutkan dengan pemisahan bagian daging ikan dengan bagian yang tidak
terpakai seperti bagian isi perut, kepala, insang, sisik, sirip, ekor, dan kulit ikan sehingga
didpatkan daging ikan fillet (Peranginangin, et al. 1999). Pemisahan dilakukan menurut Fortina
(1996), berguna untuk mencegah reaksi hidrolisis pada hasil olahan surimi karena pada bagian
kepada dan isi perut dari ikan mengandung banyak lemak dan minyak. Hal serupa juga
dinyatakan oleh Miyake, et al. (1985), bahwa isi perut ikan terkandung banyak enzim protease
yang akan menyebabkan penurunan kemampuan surimi dalam membentuk gel. Pernyataan
tersebut juga sesuai dengan pendapata Amalia (2002), yang mengungkapkan bahwa pencucian
ikan berguna untuk menghilangkan bagian larut air, bagian lemak, dan darah ikan yang dapat
mengganggu kekuatan gel produk surimi serta membuat produk olahan surimi lebih baik. Selain
itu proses pencucia juga menentukan dalam mecegah terjadinya denaturasi protein miofribil
selama penyimpanan pada suhu beku. Efektifitas dalam pencucian dapat ditentukan pada
kandungan ion garam organik, komponen non protein, dan komponen protein larut air yang
hilang dari jaringan otot daging pembuatan surimi (Matsumoto, 1992).
7
Setelah dilakukan pencucian dan pemisahan selanjutnya daging ikan ditimbang hingga 100 gram
dan digiling menggunakan foodblender yang diikuti dengan penambahan sedikit es batu.
Berdasarkan pernyataan Buckle et al. (1978), dilakukannya penggilingan bertujuan untuk
memudahkan proses pengolahan kedepannya serta meningkatnya luas permukaan daging akan
memudahkan kontak antara bahan tambahan lain yang ditambahkan selama proses menjadi
optimal. Untuk penambahan es batu sendiri bertujuan menjaga kesegaran daging ikan dan
mempercepat pengurangan pengurangan air dari daging lumat. Gaman & Sherrington (1994),
menambahkan bahwa penggunaan es batu juga bertujua untuk meminimalkan atau bahkan
mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk karena pada suhu rendah enzim-enzim
penyebab kerusakan akan terinaktivasi. Setelah itu daging di saring menggunakan kain saring
untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diharapkan selama proses pembuatan surimi
(Kimball, 1992).
Proses selanjutnya adalah pemberian sukrosa sebesar 2,5% untuk kelompok B1 dan B2; pada
kelompok B3, B4, dan B5 diberi penambahan sukrosa sebanyak 5%. Ditambahkan pula garam
sebesar 2,5% untuk semua kelompok. Terakhir ditambahkan polifosfat 0,1% pada kelompok B1;
0,3% pada kelompok B2 dan B3; 0,5% pada kelompok B4 dan B5. Berdasarkan pernyataan
Suzuki (1981), tujuan dari penambahan sukrosa diantaranya adalah sebagai bahan anti denaturasi
protein (cryoproctetant) pada daging surimi. Shimizu & Toyohara (1992), menambahkan bahwa
cryoprotectant berguna untuk meningkatkan tegangan permukaan air maupun pengikatan energi
sehingga protein pada surim dapat stabil dan terlindungi dari denaturasi protein selama
penyimpanan. Sementara menurut Winarno (2004), penambahan sukrosa berperan sebagai gula
pereduksi yang nantinya akan bereaksi dengan gugus amino dari protein dan nantinya akan
membentuk senyawa melanoidin yang memiliki warna coklat. Untuk penambahan garam sendiri
menurut Suzuki (1981), bertujuan untuk melarutkan protein miofribil yang terkandung pada
surimi. Dengan terlarutnya protein miofribil akan menyebabkan miosin mudah berikatan dengan
aktin sehingga membentuk aktomiosin yang berandil besar dalam pembentukan gel. Tan et al.
(1988), menambahkan bahwa kandungan garam pada kisaran 2-3% paling umum digunakan
pada pembuatan surimi sehingga percobaan kali ini sudah tepat karena kandungan garam yang
digunakan adalah 2,5%. Sementara penambahan polifosfat pada surimi bertujuan untuk
8
memperbaiki sifat elastis dan kelembutan surimi (Shimizu & Toyohara, 1992). Penambahan
polifosfat juga berguna untuk meningkatkan WHC (water holding capacity) dari surimi serta
menjadikan surimi memiliki bentuk yang lembut (Suzuki ,1981). Shaviklo et al. (2010),
menambahkan efek lain pemberian polifosfat pada produk surimi adalah meningkatkan kerja
cryoprotectant karen polifosfat memberikan efek buffer terhadap keasaman daging ikan juga
berguna sebagai agen pengkelat ion logam. Tan et al. (1988), menyatakan bahwa jumlah
penggunaan polifosfat dalam proses surimi pada kisaran 0,2-0,3% dalam bentuk rupa garam
natrium tripolifosfat maupun natrium pirofosfat.
Setelah diberi penambahan polifosfat dan diaduk hingga homogen, bahan daging lumat surimi
diletakan pada wadah plastik tertutup dan dibekukan pada suhu -10oC dan -20oC selama 24 jam.
Proses pembekuan menurut Murniyati (2005), berfungsi untuk mempertahankan sifat-sifat dan
kualitas mutu daging lumat dengan metode penarikan panas secara efektif sehingga suhu daging
ikan menurun dan stabil selama proses pembekuan, penyimpanan, dan distribusi agar tetap
terjaga hingga ke tangan konsumen. Jika suhu yang digunakan pada pembekuan tidak tepat dapat
menyebabkan cairan pada dagin keluar dari sel akibat pecahnya sel-sel pada daging ikan. Hal
tersebut nantinya akan menyebabkan daging surimi menjadi berwarna gelap, membusuk, dan
melunak selama proses pembekuan. Suhu -20oC merupakan suhu yang tepat untuk pembekuan
surimi sehingga dapat bertahan setidaknya selama 1 tahun tanpa banyak mengalami perubahan
sifat fungsional. Selama proses pembekuan sebisa mungkin dihindari terjadinya fluktuasi suhu
karena dapat menyababkan penurunan kemampuan pembetukan gel pada surimi (Matsumoto &
Noguchi, 1992). Setelah proses pembekuan selanjutnya daging surimi di thawing selama 15
menit dengan cara megalirkan air ke daging lumat yang terbungkus plastik (Lee, 1984).
1.1. Hasil Pengamatan
Pada percobaan kali ini yang diamati dari hasil pembuatan surimi adalah WHC (water holding
capacity) pada surimi, uji hardness, dan uji sensoris yang meliput kekenyalan serta aroma. Pada
hasil uji hardness dan WHC diketahui hasil yang didapat adalah saling kebalikannya. Kelompok
B2 mendapatkan hasil hardness tertinggi dengan 292,02 gf tetapi mendapat nilai WHC terendah
dengan 218185,65. Hal serupa juga didapat B3 dimana hasil hardness yang didapatkan adalah
112,70 gf dan hasil WHC yang didapat 318565,40. Hasil terbalik yang didapatkan jika dikaitkan
9
dengan teori Suzuki (1981), benar adanya karena penambahan polifosfat berguna untuk
meningkatkan WHC (water holding capacity) dari surimi serta menjadikan surimi memiliki
bentuk yang lembut. Hal tersebut menyebabkan kandungan air yang terdapat pada daging surimi
tetap bertahan sehingga semakin tinggi nilai WHC semakin tinggi kandungan air pada surimi
yang menyebabkan tingkat hardness dari surimi berkurang. Berdasarkan hasil pengamatan yang
didapat jika dibandingkan teori Lilis & Rudy (2011), masih belum tepat karena seharusnya nilai
WHC yang tertinggi didapat kelompok B4 dan B5 dengan pemberian sukrosa 5% dan polfosfat
0,3%. Menurut Winarno et al. (1980), semakin banyak sukrosa yang diberikan pada daging
surimi makan daya WHC pada daging ikan akan semakin tinggi karena peran sukrosa sebagai
penghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengikat air. Hal serupa juga dinyatakan
oleh Shaviko et al. (2010) yang mengungkapkan bahwa pemberian sukrosa dan polifosfat akan
meningkatkan daya WHC daging surimi karena pemberian polifosfat akan meningkatkan pH dari
surimi, dimana semakin tinggi pH daging maka daya WHC akan semakin besar pula.
Pada hasil pengamatan uji sensoris diketahui hasil uji tingkat kekenyalan dan aroma dari surimi
masing – masing kelompok. Faktor – faktor yang diamati telah sesuai prosedur yang
diungkapkan oleh Heruwati, et al. (1995), dimana tingkat kekenyalan surimi merupakan salah
satu faktor penentuan kualitas surimi, dimana semakain kenyal dan elastis surimi makan produk
surimi memiliki kualitas yang baik. Berdasarkan teori Nopianti et al, (2011), surimi dengan
kandungan fosfat 0,3% akan memiliki tingkat kekenyalan yang tinggi karena fosfat pada takaran
tersebut dapat meningkatkan pH yang berdampak membaiknya pembentukan gel, sementara
penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel
yang tinggi sehingga kekenyalan dari surimi akan berkurang. Jika dilihat dari hasil pengamatan
Tabel 1. Menunjukan bahwa kelompok B2 dan B3 mendapatkan tingkat kekenyalan yang tinggi
dan susah sesuai dengan teori yang ada. Ketidaksesuaian terjadi pada kelompok B2 dimana
kekenyalan yang didapat tidak maksimal. Menurut Chen, et al. (1997), hal tersebut dapat terjadi
karena oksidasi yang terjadi selama proses sensori berlangsung sehingga oksigen disekitar
ruangan mempercepat perubahan ikatan kimia, termasuk diantaranya ikatan sulfida dan
menyebabkan denaturasi protein sehingga tingkat kekenyalan surimi mengalami perubahan.
10
Pada uji sensori aroma menurut data pada tabel 1. Menunjukan bahwa kelompok B2 menadapat
hasil bau yang sangat tidak amis, sementara kelompok lainnya sebagian besar mendapat bau
tidak amis. Berdasarkan teori dari Peranginangin, et al, (1999), bau amis yang muncul dari
surimi dapat disebabkan karena terjadi reaksi oksidasi pada daging surimi sehingga asam lemak
yang terdapat pada daging menjadi off-flavor. Munculnya bau amis pada kelompok B2 juga
dapat disebabkan proses pencucian awal yang tidak tepat sehingga senyawa trimetilamin masih
terkandung didalam surimi. Menurut teori Irianto & Giyatmi (2009), proses pencucian daging
ikan di awal proses pembuatan seharusnya dapat menghilangkan aroma bau amis pada daging.
Menurut jurnal yang ditulis oleh Fabiola et al. (2013) yang berjudul “Optimization of The Surimi
Production From Mechanicallu Recovered Fish Meat (MRFM) Using Response Surface
Methodology” hal yang dapat mempengaruhi hilangnya bau pada olahan surimi adalah rasio
penggunaan air, jumlah pencucian, jenis ikan, dan terutama waktu pencucian.
1.2. Hal yang Mempengaruhi Produk Surimi
Kualitas dari produk olahan surimi berdasarkan teori dari Suzuki (1981), dapat dilihat dari
kekuatan gel serta elasitasnya. Kekuatan gel dari surimi sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti jenis ikan; kematangan; umur; tingkat kesegaran ikan; kadari air; pH; volume,
konsentrasi, dan jenis penambahan cryoprotectant (anti denaturan); dan juga frekuensi
pencucian. Hal tersebut juga sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Arfat & Benjakul
(2012), dimana hanya beberapa jenis ikan tertentu sajah yang dapat dijadikan bahan pembuatan
surimi. Ikan dengan kandungan enzim proteolitik dalam jumlah yang tinggi merupakan jenis
ikan yang tidak bagus untuk digunakan sebagai pembuatan surimi karena pertumbuhan gelnya
tidak sempurna akibat terhambat enzim proteolitik. Hal yang tidak kalah penting dalam
mempengaruhi produk surimi menurut Schwarz & Lee (1988), adalah pencucian dimana air yang
digunakan untuk mencuci harus diperhatikan suhunya. Jika suhu air yang digunakan untuk
mencuci lebih dari 15oC akan menyebabkan protein begitu pula dengan proses penggilingan
harus dijaga suhunya agar tidak terjadi denaturasi protein, maka dari itu pemberian batu es pada
proses penggilingan pada percobaan sudah tepat. Nopianti et al, (2011), menambahkan bahwa
pada proses pembekuan juga harus diperhatikan agar tidak terjadi penurunan kekuatan gel surimi
akibat denauturasi protein yang disebabkan munculnya kristal es. Maka dari itu dalam proses
pembekuan dapat dilakukan dengan cara pembekuan cepat agar kristal es yang terbentuk tidak
11
terlalu besar, selain itu juga dapat digunakan cryoprotectan dalam bentuk gula alkohol maupun
gula biasa agar dapat mencegah terjadinya proses denaturasi pada surimi. Hal serupa juga
diungkapkan Agustini et al. (2008), dimana cryoproctectan merupakan salah satu aspek yang
menentukan kualitas surimi karena fungsinya sebagai anti-denaturing selama proses pembekuan.
Diamana senyawa cryoproctetant dapat diperoleh dari gula dan dapat meminimalkan kehilangan
air dari sel.
Jika melihat proses lanjutannya, salah satu faktor yang penting dalam pengolahan surimi adalah
suhu pemanasan. Menurut Ali Shabani et al. (2013), dalam jurnal “Effect of Medium
Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi form Farmed Common Carp”
menyatakan bahwa pemberian panas pada tiga tahap yaitu suhu 4oC, suhu 25oC, dan suhu 40oC
dapat membuat struktur ketiga pada protein terbuka dan membentuk rantai panjang tanpa
memecaha ikatan kovalennya. Hal tersebut nantinya akan berkontribusi pada pembentukan gel
pada surimi dengan elasitisitas dan WHC yang lebih baik. Hal tersebut juga diungkapkan pada
jurnal “Effect of Heat Treatment on The Properties of Surimi Gel from Black Mouth Croaker”
bahwa protein miofibrilar pada surimi merupakan komponen terbesar dalam pembentukan gel,
dimana pada pemberian panas tertentu akan menghasilkan berbagai macam karakteristik gel.
3. KESIMPULAN
Ikan sebagai bahan baku dari pembuatan surimi karena ikan mengandung banyak protein
yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Surimi merupakan bentuk olahan daging lumat yang terbuat dari daging ikan yang telah
dipisahkan dari bagian ikan lainnya.
Jenis dari surimi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu mu-en surimi (surimi yang
dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam).
Isi perut ikan terkandung banyak enzim protease yang akan menyebabkan penurunan
kemampuan surimi dalam membentuk gel.
Pencucian ikan berguna untuk menghilangkan bagian larut air, bagian lemak, dan darah ikan
bertujuan untuk memudahkan proses pengolahan kedepannya serta meningkatnya luas
permukaan daging akan memudahkan kontak antara bahan tambahan lain.
Cryoprotectant berguna untuk meningkatkan tegangan permukaan air maupun pengikatan
energi sehingga protein pada surim dapat stabil dan terlindungi dari denaturasi protein selama
penyimpanan.
Penambahan polifosfat pada surimi bertujuan untuk memperbaiki sifat elastis dan
kelembutan surimi.
Suhu -20oC merupakan suhu yang tepat untuk pembekuan surimi sehingga dapat bertahan
setidaknya selama 1 tahun tanpa banyak mengalami perubahan .
Bau amis yang muncul dari surimi dapat disebabkan karena terjadi reaksi oksidasi pada
daging surimi sehingga asam lemak yang terdapat pada daging menjadi off-flavor.
Semarang, 29 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
Kevin Cahyadi Yusdhika Bayu S.
13.70.0096
12
4. DAFTAR PUSTAKA
Afrat Yasir, A. & Benjakul, S. (2012). Gelling Characteristics of Surimi from Yellow Stripe
Trevally (Selaroides leptolepis).
Agustini, T. W.; Y. S. Darmanto & Danar P. K. P. (2008). Evaluation on Utilization of Small
Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase the
Quality of Surimi. Journal of Coastal Development Vol. 11, Number 3: 131-140.
Agustini, T., W. et al,. (2008). Evaluation of Utilization Of Small Marine Fish To Produce
Surimi Using Different Cryoprotective Agents To Increase The Quality Of Surimi. Universitas
Dipenogor. Semarang.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan
Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Buckle KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. (1978). Ilmu Pangan. Purnomo Hdan adiono,
penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse
Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food
Science. Vol. 62 (5): 985 –991.
Fabiola et al,. 2013. OPTIMIZATION OF THE SURIMI PRODUCTION FROM
MECHANICALLY RECOVERED FISH MEAT (MRFM) USING RESPONSE
SURFACE METHODOLOGY. Sao Paulo. Brazil.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
13
14
Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan Zat
Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan Inonesia
1: 12-17.
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Terbuka.
Jakarta.
Jafarpour A. et al,. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate
and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel.
Tarbiat Modares University. Iran.
Kamali A. et al,. 2014. Effect of heat treatment on the properties of surimi gel from black mouth
croaker (Atrobucca nibe). University of Tehran. Iran.
Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan Penambahan
Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1, p.6-12.
Matsumoto J.J. & Noguchi S. F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. In: Lanier T.C.
and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe.(1985). Technology of Surimi Manufacturing. Info
fish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Moeljanto. (1994). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Murniyati, A. S. (2005). Pembekuan Ikan. SUPM Tegal. Tegal.
Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi.
Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Shabani Ali, et al,. 2013. Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of
Surimi from Farmed Common Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758). Gorgan University.
Iran
15
Shaviklo, G. R., Gudjon T., and Sigurjon Arason.(2010). The Influence of Additives and Frozen
Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from
Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic
Sciences 10: 333-340
Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish
Species. In: Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. Page.425-
442. New York.
Sonu S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island. California.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.
Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries.
Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.
Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus perhitungan WHC (mg H2O):
Luas atas ( LA )=13
a (h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah ( LB )=13
a (h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas area basah (LAB)=LA−LB
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
Perhitungan WHC Kelompok B1
Luas atas ( LA )=13
.47(110+4 ×187+2 ×222+4×188+110)
Luas atas ( LA )=33909,88
Luas bawah ( LB )=13
47(110+4 × 28+2 ×16+4 ×25+110)
Luas bawah ( LB )=7270,88
Luas area basah (LAB)=33909,88−7270,88
Luas area basah (LAB)=26639
mg H 2O=26639−8,00,0948
mg H 2O=280917,72mg
Perhitungan WHC Kelompok B2
Luas atas ( LA )=13
42(93+4 ×169+2 ×180+4×169+114)
Luas atas ( LA )=26866
16
17
Luas bawah ( LB )=13
42(93+4 ×25+2×17+4 × 25+114 )
Luas bawah ( LB )=6174
Luas area basah (LAB)=26866−6174
Luas area basah (LAB)=20692
mg H 2O=20692−8,00,0948
mg H 2O=218185,65 mg
Perhitungan WHC Kelompok B3
Luas atas ( LA )=13
48 (91+4 ×203+2 ×209+4× 204+107)
Luas atas ( LA )=35904
Luas bawah ( LB )=13
48(91+4 ×15+2 ×11+4 × 19+107)
Luas bawah ( LB )=5696
Luas area basah (LAB)=35904−5696
Luas area basah (LAB)=30208
mg H 2O=30208−8,00,0948
mg H 2O=318565,40 mg
Perhitungan WHC Kelompok B4
Luas atas ( LA )=13
49 (125+4 ×208+2×216+4 × 196+117)
Luas atas ( LA )=37403,33
Luas bawah ( LB )=13
45(125+4 ×26+2× 20+4 ×35+117 )
Luas bawah ( LB )=8589,58
Luas area basah (LAB)=37403,33−8589,58
18
Luas area basah (LAB)=28813,75
mg H 2O=28813,75−8,00,0948
mg H 2O=303858,12mg
Perhitungan WHC Kelompok B5
Luas atas ( LA )=13
47,5 (160+4 ×220+2 ×237+4 × 225+125)
Luas atas ( LA )=40200,83
Luas bawah ( L B )=13
47,5(160+4× 47+2×31+4×50+125)
Luas bawah ( LB )=11637,26
Luas area basah (LAB)=40200,83−11637,26
Luas area basah (LAB)=28563,57
mg H 2O=28563,57−8,00,0948
mg H 2O=301219,49 mg
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara