steven johnson syndrome

36
Laporan Kasus Steven-Johnson Syndrome Oleh : Nama : Muhammad Nauval NIM : H1A 007 042 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

Upload: putra-mahautama

Post on 02-Jan-2016

190 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Steven Johnson Syndrome

TRANSCRIPT

Page 1: Steven Johnson Syndrome

Laporan Kasus

Steven-Johnson Syndrome

Oleh :

Nama : Muhammad Nauval

NIM : H1A 007 042

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2012

Page 2: Steven Johnson Syndrome

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium

serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-

Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-

kutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain.(Adithan,2006).

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) bersama Steven-Johnson Syndrome (SJS)

merupakan reaksi mukokutaneus membahayakan dengan karakteristik nekrosis ekstensif dan

pelepasan epidermis. TEN dan SJS adalah gangguan langka dengan angka insidensi 1 – 6

kasus per 1 juta orang per tahun (Valeyrie-Alanore, 2008). Insidensi TEN dilaporkan adalah

0,4 – 1,2 kejadian tiap 1 juta orang/tahun, dengan kasus tersering terjadi pada usia > 40 tahun

(Wolff, 2008).

Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan mekanisme,

membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit epidermal

necrolysis. Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis keratinosit dan

pengelupasan epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan luar, serupa dengan luka

bakar. TEN dan SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan tubuh yang terlibat. Karakteristik

SJS adalah pengelupasan kulit kurang dari 10% total body surface area (TBSA), sedangkan

lebih dari 30% TBSA terlibat pada TEN (Widgerow, 2011). Nekrolisis yang melibatkan 10%

- 30% TBSA didefinisikan sebagai SJS-TEN overlaping (Harr, 2010). Etiologi dan

patofisiologi EN belum diketahui secara jelas, namun faktor genetik yang berpengaruh

terhadap hipersensitivitas terhadap obat merupakan faktor yang paling banyak diteliti (Harr,

2010).

ETIOLOGI

Golongan obat yang dapat penyebabkan EN, terbagi menurut resikonya dan tersaji

dalam tabel berikut:

Page 3: Steven Johnson Syndrome

Gambar 1. Tabel Resiko Epidermal Necrolysis pada Berbagai ObatSumber: Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. The McGraw-Hill Companies. p. 350.

PATOFISIOLOGI

SJS merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang

disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan

dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SJS. Sampai dengan setengah dari total kasus,

tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi.

SJS sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut

Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell).

Sasaran utama SJS dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat

akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin

lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis

mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF

alfa meningkat di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan

kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan

glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi

4. Kegagalan fungsi imun

5. Infeksi

Page 4: Steven Johnson Syndrome

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat

berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula

di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia se-

hingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesi-

fik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu

tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput

lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang

berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik

(Ilyas, 2004).

Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat,

penelitian terhadap patofisiologi SJS/NET dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk

membantu diagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko.

Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat

dari efek samping obat seperti SJS. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap

antigen leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai

terapi dengan karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang

berhubungan dengan allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.

Manifestasi Klinis

SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari

berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan

atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian

pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali

kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan

meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah

dilepas bila digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran

napas atas.

Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan

bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan

lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari

seluruh kasus.

Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat

makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria.

Riwayat penyakit SJS atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi

Page 5: Steven Johnson Syndrome

apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.

Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang

terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.

Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama

berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah

kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab

kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk

mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang

mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

a) Ruam

b) Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

c) Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh

tubuh.

d) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna

merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada mem-

bran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus

uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

e) Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

f) Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam

kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,

iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat ter-

jadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa

okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial

pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan

kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial

pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Epidermal Necrolysis merupakan suatu kelompok penyakit yang terdiri atas Stevens-

Johnson Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis. Penyakit dalam kelompok EN

dibedakan berdasarkan luas area tubuh yang terlibat. Suatu EN disebut sebagai SJS bila luas

Page 6: Steven Johnson Syndrome

permukaan tubuh yang terkena <10%, disebut sebagai TEN bila luas permukaan tubuh yang

terkena >30%, dan disebut SJS-TEN overlap pada keadaan luas permukaan tubuh yang

terlibat antara 10 – 30%. Perkiraan luas permukaan tubuh yang terlibat diilustrasikan pada

gambar berikut:

Gambar 2. Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat.Sumber: Harr Thomas & French Lars E. 2010. ‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome’ Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.

Luas permukaan tubuh yang terlibat pada pasien dapat dihitung menggunakan rumus

perhitungan luas luka bakar. Pada orang dewasa terdapat beberapa cara untuk menghitung

luas permukaan tubuh yang terlibat dalam luka bakar. Role of 9 merupakan cara yang paling

sering digunakan, dengan tambahan ‘age-adjusted burn chart/diagram’ untuk perhitungan

luas permukaan tubuh dengan lebih detail. Cara-cara menghitung luas permukaan tubuh

dalam penanganan luka bakar tersaji dalam tiga gambar berikut ini:

Page 7: Steven Johnson Syndrome

Gambar 3. Diagram ‘role of 9’

Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).

Gambar 4. Berkow Chart for The Estimation of Burn Size

Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).

Page 8: Steven Johnson Syndrome

Gambar 5. Aged Adjusted Burn Diagram.

Sumber: Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and Treatment Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-Hill Companies. p. – (e-book).

Luas area tubuh yang terlibat pada EN bukan hanya dihitung berdasarkan luas denuded area,

yaitu dermis yang terkelupas, namun juga luas denudable area yang ditandai dengan

Nikolsky sign (+).

TATALAKSANA

Terapi pada pasien TEN/SJS terbagi menjadi terapi simtomatis atau suportif dan terapi

spesifik. Terapi suportif bertujuan menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah

komplikasi berbahaya. Nekrosis dan pengelupasan epidermis menyebabkan hilangnya cairan

tubuh secara signifikan. Wolff et al (2007) menyarankan terapi cairan pada TEN sesuai

dengan terapi cairan pada luka bakar derajat tiga, sedangkan Valeyrie-Allanore et al (2008)

menyebutkan bahwa akibat tidak adanya edema interstisial pada TEN seperti yang terjadi

pada luka bakar, maka terapi cairan yang dibutuhkan biasanya lebih sedikit dari terapi cairan

yang dibutuhkan pasien luka bakar dengan derajat yang sama.

Tujuan untuk mencapai keseimbangan hemodinamik dicapai dengan mengatur jumlah

Page 9: Steven Johnson Syndrome

cairan yang diberikan kepada pasien untuk menghasilkan jumlah urine normal (di atas 1

ml/kgBB/jam pada penderita luka bakar). Perhitungan untuk menentukan jumlah cairan yang

diperlukan pada penderita luka bakar dapat dihitung dengan rumus Evans atau Baxter

Evans : 1. Luas luka (%) x BB (kg) = ml NaCl/24jam

2. Luas luka (%) x BB (kg) = ml plasma/24jam

3. 2000 ml Glukosa 5%/24jam

Separuh jumlah cairan 1+2+3 diberukan dalam 8 jam pertama, sisanya 16 jam

berikutnya. Pada hari kedua diberikan jumlah cairan setengah dari jumlah awal,

dan pada hari ke tiga diberikan setengah dari jumlah hari kedua. Bila pada hari

ketiga pasien sudah bisa minum dengan baik dan diuresis memuaskan, infus dapat

dikurangi bahkan dihentikan.

Baxter : Luas luka (%) x BB (kg) x 4 ml

Separuh jumlah cairan ini diberikan pada 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam

16 jam berikutnya. Pada hari pertama diberikan RL sebagai pengganti cairan

sekaligus elektrolit. Hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari

pertama.

Terapi cairan disebut berhasil bila diuresis pada penderita sekurang-kurangnya 1

ml/kgBB/jam. Bila penderita sudah mampu minum dan peristaltis baik, maka minum dapat

diberikan dengan aturan sebanyak 25 ml/kgBB/hari sampai diuresis sekurang-kurangnya

mencapai 30 ml/jam. Sesuai pernyataan Valeyrie-Allanore et al (2008) bahwa terapi cairan

pada TEN/SJS tidak sebanyak terapi cairan pada luka bakar dengan derajat yang sama akibat

tidak terbentuknya edema interstisial, maka jumlah cairan maintenance yang digunakan

kurang dari angka di atas. Hanya perlu dipertahankan urine output sebesar 1000 sampai 1500

ml/24 jam.

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna jika

diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas dapat

meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah

dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis.

Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi

yang diberikan biasanya adalah :

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi

kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Page 10: Steven Johnson Syndrome

Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian

selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih

kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada

anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang sig-

nifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyela-

matkan nyawa.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen

maleat dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk

usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin da-

pat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6

tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian an-

tibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya

klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2,

3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS

dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik, kortikosteroid maupun yang bersifat

garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan

terjadinya kekeringan pada bola mata.

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah ter-

jadinya perlekatan konjungtiva.

PROGNOSIS

Kematian pasien ini merupakan gabungan dari beberapa faktor. Sejak awal, pasien telah

datang dengan prognosis mortalitas buruk, dengan SCORTEN skor 4 atau mortalitas yang

diperkirakan akan terjadi sebesar 62,2% (tidak termasuk pemeriksaan bikarbonat yang

seharusnya juga digunakan untuk menentukan prognosis). Indikator dan perkiraan mortalitas

disajukan dalam gambar berikut:

Page 11: Steven Johnson Syndrome

Gambar 6. SCORTEN scoring system

Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn Association. p.272.

Gambar 7. Perkiraan mortalitas berdasarkan skor total SCORTENSumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn Association. p.272.KOMPLIKASI

Steven Johnson Syndrome sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

Gastroenterologi - Esophageal strictures

Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis

vagina

Pulmonari – pneumonia

Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit

sekunder

Infeksi sitemik, sepsis

Kehilangan cairan tubuh, shock.

Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan

ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan

di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang

Page 12: Steven Johnson Syndrome

dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menim-

bulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis

dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat

simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal

tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi terse-

but beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan

pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya

berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang

rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat

berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan

adanya kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang

lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak

terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis

yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata.

Page 13: Steven Johnson Syndrome

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : An. A.S.

No. RM : 053773

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 13 tahun

Alamat : Kr. Taliwang, Mataram

Suku : Sasak

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Pelajar

Tgl MRS : 29-08-2012

Tgl Pemeriksaan : 31-08-2012

Ibu Ayah

Nama Ny D Tn A

Umur 28 tahun 29 tahun

Pendidikan / berapa tahun SD SMP

Pekerjaan - Tukang

2. Anamnesis

a) Keluhan Utama: kulit seluruh tubuh menghitam dan terkelupas.

b) Riwayat Penyakit Sekarang: pasien datang ke UGD RSU NTB pada tanggal 29

Agustus 2012 dengan keluhan kulit seluruh tubuh menghitam dan terkelupas sejak 2

hari SMRS. Awalnya timbul bintik-bintik merah berisi cairan pada bibir dan hampir

seluruh wajah. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Ukuran bintik-bintik awalnya

seperti titik kemudian membesar dengan cepat. Tidak disertai rasa gatal, nyeri, dan

rasa terbakar. Selain timbul gelembung-gelembung di kulit, pasien juga merasa

sariawan yang diderita bertambah parah dan tidak sembuh, sangat nyeri dan berdarah

Page 14: Steven Johnson Syndrome

bila mulut diregangkan, sampai pasien mulai sulit membuka mulut atau makan,

namun masih bisa minum dengan bantuan sedotan.

Sebelumnya pasien mengalami demam selama 5 hari SMRS. Demam dirasakan terus

menerus hingga menggigil. dan diberikan obat/jamu Merk “Shoe Shie Tan” yang

dibeli di warung 1 hari sebelum muncul bintik-bintik merah. Keesokan hari timbul

bercak-bercak merah yang tidak meninggi dan tidak gatal pada kulit tubuh. Pasien

menyangkal pernah mengalami kejang, nyeri kepala, maupun batuk pilek saat demam.

Pasien juga mengeluhkan perutnya terasa mual, dan panas. Riwayat muntah disangkal

pasien. Rasa mual dirasakan sejak mengalami sariawan pada bibirnya.

BAK pasien normal berwarna kuning, jernih frekuaensi 3x/hari terakhir BAK 3 jam

SMRS. BAB pasien normal, frekuensi 2x/hari konsistensi lunak, warna kecoklatan,

tidak terdapat darah, tidak terdapat BAB kehitaman.

c) Riwayat Penyakit Dahulu: pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini

sebelumnya. Riwayat sakit Asma (-), Penyakit Jantung (-), darah tinggi (-).

d) Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat keluarga dengan alergi obat/makanan/cuaca (-)

Riwayat keluarga dengan penyakit serupa disangkal.

e) Riwayat Alergi: Riwayat alergi makanan (-), obat (-), debu/cuaca (-)

f) Riwayat Penggunaan Obat: pasien minum jamu/obat merk “Shoe Shie Tan”

sebelumnya. Setelah muncul gejala kulit, pasien di bawa ke PKM kemudian diberikan

obat Amoxicillin, salep Bacitracin-Polymixin B, salep Hydrokortison, CTM dan

Vitamin B kompleks.

g) Riwayat Kehamilan dan Persalinan : Riwayat sakit selama ibu pasien hamil (-)

ANC rutin di posyandu. Pasien anak kedua dari dua bersaudara, lahir spontan ditolong

bidan, lahir langsung menangis, berat badan lahir 3000 gram. Riwayat kuning / biru

setelah lahir (-).

h) Riwayat Nutrisi: Pasien diberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan, setelah itu

diberi bubur serta diselingi dengan ASI sampai umur 2 tahun. Pasien mulai diberikan

nasi sejak umur 7 bulan.

i) Riwayat Imunisasi: pasien telah di Imunisasi sesuai jadwal posyandu.

j) Riwayat Sosial Ekonomi: Pasien tinggal bersama orangtuanya dalam satu rumah.

lantai semen, atap genteng, memiliki jamban, dapur di dalam rumah, memasak den-

gan kompor. Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar rumah saling

berdekatan, namun ventilasi ruangan cukup. Pasien sering makan snack anak-anak

Page 15: Steven Johnson Syndrome

yang dijual diwarung-warung. Pasien tidak pernah mengalami alergi terhadap

makanan ataupun minuman.

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran: Compos Mentis

o Keadaan umum : sedang

o Kesadaran : compos mentis

o Gizi : kurang

o Tekanan Darah : 110/60 mmHg

o Nadi : 80 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup

o Pernafasan : 24 kali per menit,abdominothoracal

o Suhu : 37o C

o Berat Badan : 26 kg

o Tinggi Badan : 141 cm

o Lingkar kepala : 44 cm

Status Gizi

Z Score :

TB/BB: -1 SD (gizi normal)

BB/U : (-1) - (-2) SD

TB/U : -2 SD

Status General

Status Generalis

Kepala:

• Bentuk : bulat lonjong, Ukuran: Normocephali, Kelainan yang ada: (-), Ubun-

ubun besar : tertutup.

• Mata : An -/-, ikt -/-, RP +/+, Isokor, Edema palpebra -/-

• Mulut : Bibir sianosis (-), krusta (+), ulkus (+)

• hidung : Napas cuping hidung (-), rhinorhea (-)

• Leher : Kaku kuduk (-)

Thorax :

• Inspeksi : Retraksi(-), pergerakan dinding dada simetris, deformitas(-).

Page 16: Steven Johnson Syndrome

• Palpasi : Fremitus vokal N (simetris kanan-kiri).

• Perkusi : Pulmo: sonor pada seluruh lapang paru.

• Auskultasi : Pulmo : ves +/+, rh -/-, wh -/-

Cor : S1S2, tunggal, reguler, murmur (-), gal (-)

Abdomen :

Inspeksi :

- Bentuk : distensi (-)

- Umbilicus : masuk merata

- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), vena kolateral (-), caput

meducae (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)

Auskultasi :

- Bising usus (+) normal

- Metallic sound (-)

- Bising aorta (-)

Palpasi :

- Turgor : normal

- Tonus : normal

- Nyeri tekan : (-)

- Hepar/Lien/Ginjal: tidak teraba

Perkusi :

- Timpani (+), Redup beralih (-)

- Nyeri ketok CVA: -/-

Extremitas :

Ekstremitas atas :

- Akral hangat : +/+

- Deformitas : -/-

- Sendi : dalam batas normal

- Edema: -/-

- Sianosis : -/-

- Clubbing finger: -/-

- Infus terpasang

Ekstremitas bawah:

- Akral hangat : +/+

Page 17: Steven Johnson Syndrome

- Deformitas : -/-

- Sendi : dalam batas normal

- Edema : -/-

- Gangren : -/-

- Sianosis : -/-

- Clubbing finger: -/-

Pemeriksaan Genitourinaria :

- Mukosa glans penis: erosi hiperemis membasah di seluruh permukaan glans, nyeri

sentuh (+).

Status lokalis kulit:

o Terdapat denuded area di bagian belakang tubuh, mulai dari daerah cervical

posterior meluas sampai ke punggung bagian atas. Denuded area membasah

dengan dasar hiperemis, mudah berdarah pada penekanan, dan nyeri sentuh (+).

o Terdapat area epidermolysis pada hampir seluruh permukaan tubuh, Nikolsky

Sign (+) pada permukaan kulit wajah, leher, dada, punggung dan kemaluan.

o Bula (+), vesikel (-)

o Mukosa labium oris superior et inferior: krusta tebal kehitaman, menutupi

seluruh permukaan bibir, darah (-), sangat nyeri sampai sulit membuka

mulut.

berdasarkan Berkow chart dan ‘aged adjusted burn diagram’ jumlah persentase luas area

permukaan tubuh yang terlibat adalah:

Wajah (setengah permukaan kepala) : 3

Leher depan & belakang : 1

Tubuh depan-belakang : 8

Bokong kiri & kanan : 3

Genitalia : 1

Ekstremitas atas kanan kec. telapak : 2

Ekstremitas atas kiri kec. telapak : 2

Ekstremitas bawah kanan kec. telapak : 2

Ekstremitas bawah kiri kec. telapak : 2

o Total : 24%

Page 18: Steven Johnson Syndrome

Status Lokalis Mata

OD OSVisus Naturalis(bedside)

> 3/60 > 3/60

Pin-hole - -

Lapang Pandang(Tes Konfrontasi) Normal di segala arah Normal di segala arah

Fotofobia (-) (-)

Kedudukan Bola Mata1. Tes Hirschberg

2. Tes Cover-Uncover

Simetris di kedua mata

Strabismus (-)

Simetris di kedua mata

Strabismus (-)

Gerak Bola Mata Normal ke segala arah Normal ke segala arah

Nyeri Saat Pergerakan Bola Mata

(-) (-)

Palpebra Superior1. Edema2. Hiperemi3. Blepharospasme4. Pseudoptosis

(+)(-)(-)(-)

(+)(-)(-)(-)

Palpebra Inferior1. Edema2. Hiperemi

(-)(-)

(-)(-)

Lebar Fisura Palpebra ± 6 mm ± 6 mm

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :

Parameter 29-08-2012 Normal

HGB 13,9 L : 13,0-18,0 g/dL

RBC 5.17 L : 4,5 – 5,5 [10^6/µL]

WBC 6.8 4,0 – 11,0 [10^3/ µL]

HCT 39.9 L : 40-50 [%]

MCV 77.2 82,0 – 92,0 [fL]

MCH 26.9 27,0-31,0 [pg]

MCHC 34.8 32,0-37,0 [g/dL]

Page 19: Steven Johnson Syndrome

PLT 204 150-400 [10^3/ µL]

b. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik :

Parameter 29-08-2012 Normal

GDS 117 < 160 mg/dl

Creatinin 0,8 L : 0,9-1,3 mg/dl

Ureum 47 6-26 mg/dl

SGOT 32 < 40

SGPT 13 <41

DIAGNOSIS

Steven-Johnson Syndrome (SJS)

RENCANA AWAL

IVFD

o Maintenance 1500 ml/m2 + [(25 + % TBSA burn) x m2 x 24 = 1500 + 1176 = 2676

ml.

Metylprednisolone IV 125mg/8jam

Ceftriaxon 2 gr/hari skin test

Sucralfate Syrup 3x1 sendok makan

Ranitidin 4mg/8 jam IV

Borax gliserin untuk bibir

Tetes mata:

o Levofloxacin 4x/hari ODS

o Lyteers tiap jam ODS

o Xytrol 6x/hari ODS

Analgetik bila perlu

Observasi vital sign, produksi urine dan cek DL, Fl, UL.

PROGNOSIS

Bonam

Page 20: Steven Johnson Syndrome

FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Diagnosis Terapi

29-08-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 24x/menitNadi: 80x/menit kuat, teratur.T ax: 37,0 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+Lab :

HB : 13,9 g/dl

HCT : 39,9 %

WBC : 6,8

RBC : 5,17

PLT : 204

MCV : 77,2

MCH : 36,9

MCHC : 34,8

SJS Infuse RL 20tpm Ranitidin

40mg/8jam Metilprednisolon

125mg/8jam Obs. KU dan VS

30-08-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 30x/menitNadi: 80x/menit kuat, teratur.

SJS Infuse RL 20tpm Inj. Ranitidin

40mg/8jam Plantacid 3 x 1 cth Inj.

Metilprednisolon 125mg/8jam

Cefotaxime 1gr/8jam

Page 21: Steven Johnson Syndrome

T ax: 36,6 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

Eritromicin 3 x 250mg (oral)

C. Xytrol 4 x 1 gtt ODS

Lyteers tiap jam ODS

LFX 6 x 1 gtt ODS Obs. KU dan VS

01-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (-), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 30x/menitNadi: 80x/menit kuat, teratur.T ax: 36,3 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

SJS Terapi lanjut

02-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (-), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 20x/menitNadi: 84x/menit kuat, teratur.T ax: 37,0 oCStatus generalis:

SJS Terapi lanjut

Page 22: Steven Johnson Syndrome

Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

03-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/70 mmHgRR: 20x/menitNadi: 84x/menit kuat, teratur.T ax: 37,0 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

SJS MP tappering 125mg/hari

Terapi lain lanjut

04-05-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 20x/menitNadi: 80x/menit kuat, teratur.T ax: 37,0 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-

SJS MP tappering 125mg/hari

hari ke 2terapi lain lanjut

Page 23: Steven Johnson Syndrome

Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

05-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 18x/menitNadi: 80x/menit kuat, teratur.T ax: 36,7 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

SJS MP tappering 125mg/harihari ke 3

Stop injeksi cefotaxime

Stop tetes mata xytrol, LFX.

Terapi lain lanjut

06-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: baikKes: cmBb: 26 kgTD: 110/70 mmHgRR: 20x/menitNadi: 80x/menit kuat, teratur.T ax: 36,6 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal

SJS Boleh mandi MP tappering hari

ke 4 terapi lain lanjut

Page 24: Steven Johnson Syndrome

reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

07-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/70 mmHgRR: 20x/menitNadi: 88x/menit kuat, teratur.T ax: 37,0 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

SJS MP tappering hari ke 5

Terapi lain lanjut

08-09-2012 S: kulit melepuh (+), mual (+), demam (-)O: KU: sedangKes: cmBb: 26 kgTD: 110/60 mmHgRR: 22x/menitNadi: 88x/menit kuat, teratur.T ax: 37,0 oCStatus generalis:Kepala: normocehalicMata:anem-/-, ikt-/-Thorax : retraksi dinding dada(-) , cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-), gallop(-).Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-,

SJS Aff infus Stop MP BPL:

Azythromicin 3 x 200mgranitidin 2 x 20mgryzo 1x1

Page 25: Steven Johnson Syndrome

whezzing-/-Abdomen: distensi(-) Supel BU (+) NExtrimitas :Akral Hangat :+/+

Page 26: Steven Johnson Syndrome

DAFTAR PUSTAKA

Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in Toxic

Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and

Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn Association.

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of

Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:

www.jipmer.edu

Brunicardi, Charles, et al. 2008. Schuatz’s Principles of Surgery, 6th Edition. Mcgraw-Hill

companies.

Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. The McGraw-

Hill Companies.

Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and Treatment

Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-Hill Companies. p.

– (e-book).

Harr Thomas & French Lars E. 2010. ‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson

Syndrome’ Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.

Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippe’s

Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).

Sjamsuhidrajat, R & de Jong, Wim. 2005. Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s Dermatology in

General Medicine. The McGraw-Hill Companies. p. 350.

Wolff Klause, Johnson Richard Allen, Suurmond Dick. 2007. Fizpatrick’s Color Atlas &

Sinopsis of Clinical Dermatomogy, 5th Edition, e-book. The McGraw-Hill Companies.