steven johnson syndrome
DESCRIPTION
SJSTRANSCRIPT
1
Sinrom Steven Johnson pada Anak Usia 13 Tahun
Stacia Cicilia
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Kelompok D8/102012132
Pendahuluan
Latar Belakang
Steven Johnson Syndrome(SJS) atau Sindrom Steven Johnson (SSJ) merupakan suatu
penyakit kulit yang cukup parah yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang gawat
terhadap obat. Efek samping obat tersebut mempengaruhi kulit terutama selaput mukosa.
Terdapat beberapa sinonim yang digunakan dengan penyakit ini antara lain Ektoderma
Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra, dan
Eeritema Bulosa Maligna.
Sindrom Steven Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan
dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang
mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom Steven
Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya
sindrom ini seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindroma pada
Sidrom Steven Johnson adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom ini
apabila tidak ditangani dengan baik bahkan dapat menyebabkan kematian.
Tujuan
Tujuan dibuat makalah ini adalah untuk memberitahukan kepada para pembaca
tentang informasi mengenai etiologi, epidemiologi, working diagnosis, differential diagnosis,
diagnosis, manifestasi klinik, patofisiologi, penatalaksanaan, prognosis dan edukasi mengenai
Sindrom Steven Johnson.
2
Skenario 14
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis sangat penting untuk dilakukan dalam menegakkan diagnosis, karena dari
anamnesis kita dapat sekitar 80% dalam diagnosis suatu penyakit. Dalam anamnesis perlu
kita tanyakan hal-hal sebagai berikut:
Identitas pasien : nama, usia, tempat tinggal dan pekerjaan
Keluhan utama : apa yang menyebabkan pasien tersebut datang ke dokter. Biasa pada
penyakit kulit yang biasa menjadi keluhan adalah adanya gatal/bercak/bersisik/baal.
Riwayat penyakit sekarang : tanyakan hal-hal yang mendetail mengenai keluhan
utama, misalnya mengenai onset, durasi, apakah disertai perih/tidak, bercaknya
meluas atau tidak,dll. Selain itu juga ditanyakan mengenai gejala penyerta lainnya
seperti demam/pusing/mual.
Riwayat pengobatan : tanyakan juga apakah sudah pernah minum obat sebelumnya
atau sudah pergi ke dokter lain.
Riwayat penyakit dahulu : seperti dirawat di rumah sakit, atau ada riwayat alergi.
Riwayat keluarga : anggota keluarga lain pernah mengalami hal seperti ini tidak.
Pemeriksaan Fisik1
Pada pemeriksaan fisik SSJ, dapat ditemukan kelainan seperti di bawah ini:
1. Kelainan pada kulit
Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi
papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.
Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan
ekskoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
Anak laki-laki, 13 tahun, dirawat di RS dengan keluhan melepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum obat sejak 2 hari yang lalu.
3
Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.
Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari
tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum.
Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling
umum di batang tubuh.
2. Kelainan pada selaput lendir di orifisium
Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat
genitalia, jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).
Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang
gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman,
terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada
traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus.
Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan
Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi
pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup
untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi
kulit sebagai atipikal atau inkomplit.
3. Kelainan Mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.
4. Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:
Demam
Takikardia
Hipotensi
Konjungtivitis
Ulkus kornea
Kejang,koma
Pemeriksaan Penunjang2
4
Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ.
a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakteri berat.
b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang
serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani
masalah lainnya.
e) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya
infeksi.
Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thoraks dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis.
Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
Pemeriksaan Histopatologi:
Gambaran histopatologinya sesuai dengan Eritema Multiforme, bervariasi dari perubahan
dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :
1. Infiltrat Sel Mononuklear disekitar pembuluh – pembuluh darah Dermis Superfisial.
2. Edema dan Ekstravasasi sel darah merah di Dermis Papular.
3. Degenerasi Hidrofik lapisan Basalis sampai terbentuk Vesikel Subepidermal.
4. Nekrosis sel Epidermal dan kadang –kadang di Adnexa.
5. Spongiosis dan Edema Interasel di Epidermis.
Working Diagnosis dan Differential Diagnosis3,4
5
A. Steven Johnson Syndrome
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) yang
mengenai kulit,selaput lendIr di orificium dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang
berat dapat menyebabkan kenmatian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah
satu kegawat daruratan penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari
Eritema Multiforme.
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan
kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam.
Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi,
serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus
berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau
sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu
diagnosa kasus-kasus atipik.
Gambar 1. Steven Johnson Syndrome
Sumber : diunduh dari http://www.primehealthchannel.com/steven-johnson-
syndrome.html pada tanggal 19 April 2014 pukul 13.30 WIB
6
B. Nekrolisis Epidermal Toksis
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan suatu penyakit kulit yang juga
disebabkan oleh penggunaan obat. Namun NET kasusnya lebih berat dari SSJ. NET
kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Penyebab NET sama dengan SSJ yaitu karena
reaksi hipersensitivitas terhadap obat, akan tetapi bisa juga disebabkan oleh bakteri.
Biasanya SSJ yang berlanjut akan menjadi NET.
Awal gejala prodromal NET sama dengan SSJ yaitu malaise, mual, muntah,
demam, dsb. Beberapa jam hingga beberapa hari kemudian muncul kelainan kulit
berupa makula, papul, eritematosa, morbiliformis disertai dengan bula flaccid yang
cepat menyebar. Lesi tersebut dapat ditemukan di wajah ekstremitas dan badan. Pada
NET akan ditemukan tanda nikolsky. Tanda nikolsky akan positif apabila saat kita
meggesek kulit, maka kulit akan terpisah hanya dengan gesekan ringan. Pada NET
juga diketemukan adanya epidermolisis yang luas.
Gambar 2. Nekrolisis Epidermal Toksik
Sumber: diunduh dari http://www.avimedi.net/en/stevens-johnson-syndrome-
photos.html pada tanggal 19 April pukul 13.45 WIB
C. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
Sindrom kulit bersisik karena staphylococcus adalah reaksi terhadap toksin
yang diproduksi oleh staphylooccus, ditandai dengan eritema generalisata dengan
nyeri tekan dan eksfoliasi epidermis superfisialis pada anak yang sakit atau orang
dewasa dengan sistem imun yang tertekan. Kemudian diikuti denngan bula lunak
yang temporer dan lembab. Organisme ini tidak dapat dikultur dari kulit. Terapi
antistaphylococcus sistemik dan penggantian cairan intravena dapat diberikan.
7
Gambar 3. SSSS
Sumber: diunduh dari http://www.dermnet.com/images/Staphylococcal-Scalded-
Skin-Syndrome/picture/7794 pada tanggal 19 April 2014 pukul 14.00 WIB
D. Eksantema Fikstum Multiple
Eksantema Fikstum Multiple (EFM) merupakan suatu penyakit yang juga
disebabkan oleh obat. Kelainannya berupa eritem atau hiperpigmentasi dengan vesikel
atau bula berbentuk bulat atau lonjong diatasnya, berukuran lentikular, numular,
sampai plakat. Lesi dapat timbul paling sering di sekitar mulut, penis. Bila sembuh
lesi akan meninggalkan warna hiperpigmentasi yang akan menghilang dalam jangka
waktu lama.
Persamaanya dengan SSJ adalah sama-sama terdapat eritem, vesikel, dan bula.
Perbedaannya adalah EFM selalu timbul di tempat yang sama dan tidak mengenai
seluruh tubuh.
Gambar 5. Eksantema Fikstum Multiple
Sumber: diunduh dari http://www.slideshare.net/ajiandi/sl-erupsi-akibat-obat-
3718440 pada tanggal 19 April 2014 pukul 14.30 WIB
8
WD/DD Sindrom Steven
Johnson
Nekrolisis
Epidermal Toksik
Staph. Scald.
Skin. Synd.
Eksantema
Fikstum Multiple
Etiologi Obat Obat Staphylococcus Obat
Usia Anak-Dewasa Dewasa-Tua Bayi-Dewasa -
Keadaan
umum
Lebih baik Buruk Lebih baik Lebih baik
Lesi Eritem,
papul,vesikel,
bula, erosi
(seperti melepuh)
Eritem , vesikel,
erosi (seperti
melepuh)
Eritema Eritem, vesikel,
bula
Tanda
Nikolsky
(-) (+) (+) -
Ciri khas Lesi pada telapak
tangan/dorsal dan
lengan ekstensor
Lesi pada mukosa
pipi, bibir,
ekstremitas dan
badan
Lebih sering
pada anak-anak
walaupun
dewasa juga bisa
Lesi timbul pada
tempat yang sama
dan tidak diseluruh
tubuh
Prognosis Lebih baik Buruk Lebih baik Baik
Tabel 1. Perbedaan antara WD dengan DD
Etiologi2
Sindrom Stevens Johnson dapat disebabkan oleh karena:
Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks,
influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya)
Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin)
Keganasan (karsinoma dan limfoma)
Faktor idiopatik (hingga 50%)
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping
yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven
Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
9
Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi
berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotik
dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui
menyebabkan SSJ, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik
diantaranya sulfonamide (antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative),
lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin – dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
Epidemiologi2
Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi
dan musim dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, NSAID oksikam (piroksikam,
meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab tersering di Amerika
Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan negara-negara Barat,
penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan Tenggara adalah allopurinol.
Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio pria:wanita
adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan terjadi pada anak-anak bahkan balita.
Patofisiologi5
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari
temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi
allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya
3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
10
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe
III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Manifestasi Klinik2
SSJ biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang
tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.
Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada SSJ, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang
sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Sindrom ini jarang
dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada umumnya yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Selain
itu juga akan ditemukannya kelainan kulit pada pemeriksaan fisik.
Komplikasi6
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Bronkopneumonia (16%)
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi - Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
11
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, shock
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam
sampai hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua
mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran
atau konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis.
Pada komplikasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang
mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan
konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan
ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut
sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi
tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan
kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat
dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata,
defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru
(neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila
daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat
komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti
peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan
mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada
akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata.
Penatalaksanaan2
a. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan
life-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5
mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson
berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah
12
masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20
mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut
dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian
kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan
harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan
diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak
tergantung berat badan).
b. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 60 mg/hari.
c. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
d. Topikal
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
Prognosis3
13
Beberapa orang dengan SSJ dapat mengalami kematian, walaupun dapat
dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi
ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa
masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan
berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih
berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
Penutup
Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat. Ciri khas dari Sindrom Steven Johnson selain adanya kelainan pada mata
adalah lesi pada telapak dan dosum tangan serta ekstensor lengan. Hal ini membuktikan
bahwa anak laki-laki pada skenario benar menderita Sindrom Steve Johnson karena
keluhannya berupa lepuhan pada lengan dan dituliskan setelah minum obat 2 hari yang lalu.
Daftar Pustaka
1. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. 2006.
JIPMER: India.
2. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition.
Jakarta : EGC. 2004. hal 141-2.
3. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition.
Jakarta: FKUI. 2007. p:154-8.
4. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Jakarta: FKUI. 2007. p:163-5.
5. Corwin, Elizabeth. J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2004. p. 123-4.
14
6. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Jakarta: FKUI.
2004. Hal 135-6.