step 7 sken 5 dewandaru oke

54
BAB VII BERBAGI INFORMASI 1. ALL ABOUT TUBERKULOSIS a. Definisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (PDPI, 2006; Depkes RI, 2006; Price & Standridge, 2014). b. Etiologi Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang organ paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain (Depkes RI, 2005).

Upload: dewandaru-i-a-b

Post on 02-Feb-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fk

TRANSCRIPT

Page 1: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

BAB VII

BERBAGI INFORMASI

1. ALL ABOUT TUBERKULOSIS

a. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (PDPI, 2006; Depkes RI, 2006; Price &

Standridge, 2014).

b. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian

besar (80%) menyerang organ paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk

basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-

glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Umumnya

Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain

(Depkes RI, 2005).

Gambar 1. Bakteri gram positif Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang

c. Jenis TB

Berdasarkan PDPI (2006) terdapat 2 jenis TB yaitu :

1) TB paru merupakan tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura.

Page 2: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

2) TB ekstraparu merupakan tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,

saluran kencing dan lain-lain.

d. Klasifikasi

Depkes RI (2005) dan PDPI (2006) menyatakan bahwa :

Berdasar hasil pemeriksaan dahak  (BTA) TB paru dibagi atas :

1) Tuberkulosis paru BTA (+) :

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak  menunjukkan hasil BTA

positif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

2) Tuberkulosis paru BTA (-) :

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.

tuberculosis

Gambar 2. Klasifikasi TB paru berdasar BTA

Berdasarkan tipe pasien TB paru dibagi atas :

1) Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2) Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

Page 3: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

pengobatan lengkap, kemudian kembali  lagi berobat dengan hasil pemeriksaan

dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif

tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif/perburukan dan terdapat gejala

klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll.)

- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten

menangani kasus tuberkulosis

3) Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang telah menjalani

pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau

lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

4) Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

atau akhir pengobatan

5) Kasus kronik, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan

pengawasan yang baik

Gambar 3. Klasifikasi TB paru berdasar tipe penerita

6) Kasus Bekas TB:

- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan

gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto

serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT

adekuat akan lebih mendukung.

Page 4: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan

gambaran radiologi

e. Patogenesis

PDPI (2006) dan Amin & Bahar (2014) menyatakan bahwa patogenesis

TB ternagi menjadi 2 bagian yaitu :

1) Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana

saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan

kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah

satu nasib sebagai berikut :

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis

fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara :

Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah

epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya

bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat

atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan

pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai

epituberkulosis.

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya atau tertelan

Page 5: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan

dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak

terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan

keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,

genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin

berakhir dengan :

- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan

terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma) atau

- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis

primer

2) Tuberkulosis Postprimer/Sekunder

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah

tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis

postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis

bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan

sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah

kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.

Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya

terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini

ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini

akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi

pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang

tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju

dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

Page 6: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

c. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju

keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan

menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi :

- Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang

disebutkan di atas

- Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,

tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi

kaviti lagi

- Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau

kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya

mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus

dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 4. Patogenesis tuberkulosis

f. Patofisiologi

Menurut Werdhani (2009) patofisiologi TB adalah : Penularan TB Paru

terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis. dibatukkan atau dibersinkan

keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat hidup dalam

udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung pada tidaknya sinar

Page 7: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana lembab dan gelap

kuman dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila partikel ini terhisap

oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau paru–paru.

Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5

mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru

oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar

dari cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman

menetap di jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam

sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk  ke organ tubuh lainnya.

Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang

tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau

sarang ghon (fokus). Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru,

bila menjalar sampai ke pleura  maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga

masuk ke dalam saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit.

Kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti

paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi

penjalaran keseluruh bagian paru dan menjadi TB milier.

Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran getah bening hilus (limfangitis

regional). Sarang primer limfangitis lokal serta regional menghasilkan komplek

primer (range).  Proses sarang paru ini memakan waktu 3–8 minggu.

g. Manifestasi Klinis

Menurut Depkes RI (2005) dan PDPI (2006) manifestasi klinis

tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala

sistemik, bila organ yang terkena adalah  paru maka gejala lokal ialah gejala

respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1) Gejala respiratorik

Batuk > 2  minggu

Batuk darah

Sesak napas

Nyeri dada

Page 8: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala

yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat

medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka

pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2) Gejala sistemik

Demam

Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat

badan menurun

3) Gejala TB ekstra paru :

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya

pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak

nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat

gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak

napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Menurut Depkes RI (2005) pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala

umum dan gejala khusus.

Gejala umum, meliputi :

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan

tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.

Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau

infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di

daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah

disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.

Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan

pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan

dalam abdomen.

Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya :

TB kulit atau skrofuloderma

Page 9: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

TB tulang dan sendi, meliputi :

- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus

- Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul

- Tulang lutut: pincang dan atau bengkak

TB otak dan saraf

- Meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran

menurun.

Gejala mata

- Conjunctivitis phlyctenularis

- Tuburkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

Seorang anak juga patut dicurigai menderita TB apabila :

Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif.

Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam 3-7 hari).

h. Komplikasi

Menurut Depkes RI (2005) pada penderita TB sering terjadi komplikasi dan

resistensi. Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya

jalan nafas.

2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial

3) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

4) Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps

spontan karena kerusakan jaringan paru.

5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal

dan sebagainya.

6) Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

Page 10: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

i. Faktor Resiko

Menurut WHO (2008) faktor resiko TB paru adalah :

1) Umur, TB paru dapat terjadi pada semua golongan umur, baik pada bayi atau

anak-anak, orang dewasa maupun manula. Kecenderungan penderita TB

terdapat pada kelompok umur produktif yaitu 15-55 tahun.

2) Jenis kelamin, Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih serig

terkena TB paru dibandingka perempuan. Hal ini terjadi karena aktivitas laki-

laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan terpapar

lebih besar pada laki-laki.

3) Pekerjaan, lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terserang suatu

penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja yang buruk

seperti supir, tukang becak, orang yang sering terpapar debu, polusi asap, dan

lain-lain lebih gampang untuk terkena TB paru dibandingkan dengan orang

yang sehari-hari beerja di kantor.

4) Sosial Ekonomi, Masyarakat dari golongan sosial ekonomi lemah lebih sering

terinfeksi TB paru. Keadaan kemiskinan mengarah kepada perumahan yang

terlampau padat dan kondisi kerja yang buruk serta terjadinya malnutrisi dapat

menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah tertular oleh penyakit.

5) Status Gizi, Keadaan malnutrisi dapat mempengaruhi daya tahan tubuh

sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk

TB paru.

6) Faktor toksik, merokok dan banyak minum alkohol dapat menurunkan daya

tahan tubuh. Selain itu, obat-obatan kortikosteroid dan imunosupresan juga

dapat menurunkan kekebalan tubuh.

7) Penyakit lain, seperti adanya kuman TB yang dormant, AIDS.

j. Diagnosis

1) Anamnesis

Keluhan pasien dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu. Batuk disertai dahak,

dapat bercampur darah atau batuk darah. Keluhan dapat disertai sesak napas,

nyeri dada atau pleuritic chest pain (bila disertai radang pleura), badan lemah,

Page 11: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam tanpa

kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari 1 bulan (Permenkes RI No.5, 2014).

2) Pemeriksaan Fisik

Amin & Bahar (2014) menyatakan bahwa pemeriksaan pertama terhadap

keadaan umum pasien mungkin ditemukan :

Konjungtiva mata

Kulit yang pucat karena anemia

Suhu demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali)

Badan kurus atau berat badan menurun (BMI pada umumnya <18,5).

Respirasi meningkat

Menurut PDPI (2006) dan Permenkes RI No.5. (2014) pada pemeriksaan

fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan

struktur paru.  Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya

tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.  Kelainan paru pada umumnya

terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior

(S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).  Pada pemeriksaan

auskultasi terdengar suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah di

apex paru, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan

mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada

auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,

tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-

kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold

abscess”

3) Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologik

Bahan pemeriksasan

Page 12: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.  Bahan

untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,

liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) :

- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

- Pagi ( keesokan harinya)

- Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar/BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat

dilakukan dengan cara : (1) mikroskopik; dan (2) biakan

a. Pemeriksaan Mikroskopik

- Mikroskopik biasa :  pewarnaan Ziehl-Nielsen

- Mikroskopik fluoresens :     pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya

untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah :

- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif

- 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian

- bila 1 kali positif, 2 kali negatif ®  BTA positif

- bila 3 kali negatif ® BTA negatif

Gambar 5. Mycobacterium tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen pembesaran 1.000 kali

Page 13: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

b. Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah

dengan cara:  (1) Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan),

Ogawa, Kudoh; (2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan

dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium

other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat

digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,

menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan

cyanogen bromide  serta melihat pigmen yang timbul

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto

lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,

tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). 

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior  lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan

atau nodular

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :

Page 14: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru  (destroyed Lung ) :

Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang

berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh

paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru.

Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran

radiologi tersebut.

Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti

proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru

dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di

atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus

dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak

dijumpai kaviti

Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

c. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara

konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru

yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

Pemeriksaan  BACTEC, Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan

BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme

asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi

growth indexnya  oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu

alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan

diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah

dengan menggunakan  Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).

Page 15: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Polymerase chain reaction (PCR), Pemeriksaan PCR adalah teknologi

canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.

Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan

kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati

masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan

PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang

pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai

standar  internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan

data lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil

tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB Pada

pemeriksaan deteksi M.tuberculosis tersebut diatas, bahan/spesimen

pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan 

organ yang terlibat.

Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain :

- Enzym linked immunosorbent assay (ELISA), Teknik ini merupakan

salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa

proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini

antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang

cukup lama.

- Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji

serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji

ICT  merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen

spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,

diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan

dalam bentuk 4 garis melintang pada membran munokromatografik (2

antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol.

Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan

warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.

Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis,

maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis

warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit

Page 16: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada

membran.

- Mycodot, Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh

manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang

direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini

kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum

tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang

memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan

warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.

- Uji peroksidase anti peroksidase (PAP), Uji ini merupakan salah satu

jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam

menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi

harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar

antibodi yang terdeteksi.

- Uji serologi yang baru/IgG TB,    Uji IgG adalah salah satu

pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG dengan

antigen spesifik  untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG

berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16

kDa  dan kombinasi lainnya akan menberikan tingkat  sensitiviti dan

spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode

imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB

ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis TB pada anak.   Saat

ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk

diagnosis.

d. Pemeriksaan Peninjang lain

Analisis Cairan Pleura, Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta

cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu

menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung

diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,

serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa

rendah.

Page 17: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Pemeriksaan histopatologi jaringan, Pemeriksaan histopatologi dilakukan

untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan

ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui

biopsi atau otopsi, yaitu :

- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan

Veen Silverman)

- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan

bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru

terbuka).

- Otopsi, Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu

sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium

mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk

pemeriksaan histologi.

Pemeriksaan darah, Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan

indikator yang spesifik untuk tuberkulosis.  Laju endap darah ( LED) jam

pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien.

LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang

normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

Uji tuberkulin, Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi

tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji

tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang

dewasa.  Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau

apabila kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan

infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Page 18: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Gambar 6.  Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa

k. Penatalaksanaan

Menurut PDPI (2006) Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase

intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.  Paduan obat yang digunakan

terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

OAT harus diberikan dalam bentuk

kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai

dengn kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan

dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan

obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment)

oleh seorang pengawas menelan obat (PMO).

Page 19: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,

yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pengobatan tuberculosis bertujuan untuk

menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan

menurunkan tingkat penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2

fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan

obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

1) Tahap awal (intensif)

Pada tahapintensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat

Bila pengobatan tahap intensif tersebutdiberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu

2 minggu

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan

2) Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

WHO dan IUATLD (Internacional UnionAgaints Tuberculosis and

LungDiseases) merekomendasikanpaduan OAT standar, yaitu :

1) Kategori−1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H),Rifampicin (R), Pirazinamid (Z)

dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2

bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri

Isoniazid (H) dan Rifampicin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu

selama 4 bulan ( 4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

i. Penderita baru TB Paru BTA positif

ii. Penderita TB Paru BTA negatif Rontagen positif yang “Sakit Berat”

Page 20: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

iii. Penderita TB Ekstra Paru Berat

2) Kategori−2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan

suntikan streptomicin setiap hari, lanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H),

Rifampicin (R), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk :

i. Penderita kambuh (relaps)

ii. Penderita Gagal (failure)

iii. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

3) Kategori−3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap 2 bulan (2HRZ)

diteruskan dengan tahap terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3x

seminggu (4H3R3)

Obat ini diberikan untuk :

i. Penderita baru BTA negatif dan rontagen positif sakit ringan

ii. Penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis),

pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang

belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

4) OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan kategori 1 atau kategori 2,

hasil pemeriksaan dahak masih tetep BTA positif, diberikan obat sisipan

(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Terdapat juga obat TB untuk kategori anak : 2HRZ/4HR. Paduan OAT

kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi

dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam

bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis

obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan

ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket kombipak adalah paket obat

Page 21: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

lepas yang terdiri dari Isoniazid,Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang

dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Obat Dosis

(Mg/Kg

BB/Hari)

Dosis yg dianjurkan Dosis

Maks (mg)

Dosis (mg) / berat badan (kg)

Harian (mg/ kgBB / hari)

Intermitten (mg/Kg/BB/kali)

< 40 40-60

>60

R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35   7501000

1500

E 15-20 15 30   7501000

1500

S 15-18 15 15 1000Sesuai BB

7501000

Tabel 2. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

  Fase intensif Fase lanjutan    2 bulan   4 bulanBB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu  RHZE

150/75/400/275

RHZ

150/75/400

RHZ

150/150/500

RH

150/75

RH

150/15030-37

38-54

55-70

>71

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

Tabel 3. Ringkasan Panduan Obat

Kategori

Kasus Paduan obat yang diajurkan

Keterangan

I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau  

Page 22: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

  BTA - , lesi luas       

 

2 RHZE / 6 HE

*2RHZE / 4R3H3 II - Kambuh

- Gagal pengobatan

-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE

-3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE

Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin

II - TB paru putus berobat

Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

 

III -TB paru BTA neg. lesi minimal

 

2 RHZE / 4 RH atau

6 RHE atau

*2RHZE /4 R3H3

 

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)

 

IV - MDR TB

 

Sesuai uji resistensi + OAT   lini 2 atau H seumur hidup

 

l. Prognosis

Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi

disebabkan oleh strain resisten obat atau pasien berusia lanjut dengan debilitas

atau mengalami gangguan kekebalan yang beresiko tinggi menderita tuberkulosis

milier (Permenkes RI No.5, 2014).

Page 23: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

2. ALL ABOUT BRONKIEKTASIS

a. Definisi

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi

(ektasis) dan distorsi bromkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik,

persisten atau irreversible. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-

perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-

otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang

terkena umumnya adalah bronkus kecil sedangkan bronkus besar umumnya jarang

(Rahmatullah, 2014).

b. Etiologi

Menurut Rahmatullah (2014) penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih

belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat

timbul secara kongenital maupun didapat.

Kelainan kongenital, Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih

dalam kandungan. Faktor genetic atau faktor pertumbuhan dan perkembangan

fetus memegang peran penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai

ciri sebagai berikut. Pertama, bronkiektasis mengenai hamper seluruh cabang

bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital sering

menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya: Mucoviscidosis

(Cystic pulmonary fibrosis), sindrom Kartagener (bronkiektasi kongenital,

sinusitis, paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobulinemia,

bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis,

ternyata saudara kembarnya juga bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan

dengan kongenital berikut : tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung

bawaan, kifoskoliosis bawaan.

Kelainan didapat, Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan

kebanyakan merupakan akibat proses berikut : (1) Infeksi, bronkiektasis sering

terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan

berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertussis

maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru, dan sebagainya.

Page 24: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

(2) Obstruksi bronkus, Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat

disebabkan oleh berbagai macam sebab : korpus alienum, karsinoma bronkus atau

tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus.

Menurut peneitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun obstruksi

bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan bronkiektasis. Oleh

karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsic (yang sampai sekarang

belum diketahui) ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis.

c. Patogenesis

Pathogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila

bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat

hubungannya dengan faktor genetic serta faktor pertumbuhan dan perkembangan

fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga

melalui beberapa mekanisme.

Ada beberapa faktor yang di duga ikut berperan antara lain :

Faktor obstruksi bronkus

Faktor infeksi pada bronkus atau paru

Faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic

pulmonary eosinophilia dan

Faktor intrinsic dalam bronkus atau paru Permulaannya didahului adanya

faktor infeksi bacterial

Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul

bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat

dikatakan pada infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi

dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis. Permulaannya

didahului adanya obstruksi bronkus Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa

penyebab (misalnya tuberculosis kelenjar limfe pada anak; karsinoma bronkus,

korpus alienum dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya

bronkiektsis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan

destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.

Pada bronkiektasis didapat, pada keadaaan yang amat jarang, dapat terjadi

atau timbul sesudah masuknya bahan kimia kororsif (biasanya bahan hidrokarbon)

ke dalam saluran napas, dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan

Page 25: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

lambung kedalam paru. Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru

yang mengenai bronkus dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul juga

berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat

dengan :

Luas atau banyaknya bronkus yang terkena

Tingkat beratnya penyakit

Adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya.

Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus,

kerusakan elemen elastis, tulang rawan otot-otot polos, mukosa dan silia,

kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan epkspektorasi,

gangguan reflek batuk dan sesak napas.

Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogeneisis bronkiektasis,

dapat dijelaskan sebagai berikut : Infeksi pertama (primer) Kecuali pada bentuk

bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya didahului oleh infeksi

bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia), masih menjadi

pertanyaan apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut

disebabkan oleh bakteri atau virus.

Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang

mendahului bronkiektasis adalah infeksi bacterial yaitu mikroorganisme penyebab

pneumonia atau bronchitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi

bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga

terjadi bronkiektasis sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa

pneumonia atau brobkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh

infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan

sebagainya). Infeksi sekunder Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai

infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara bronkiektasis bersifat

mukoid dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder.

Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian

berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah

terjadi infeksi sekunder.

Untuk menentukan jenis kumannya bias dilakukan pemeriksaan

mikrobiologis. Sputum, berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh

Page 26: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini misalnya: Fusifornis fusiformis,

Treponema vincenti, anaerobic streptococci dan sebagainya. Kuman-kuman aerob

yang sering ditemukan dan menginfeksibronkiektasis misalnya : Streptococcus

pneumonia, Haemophilus influenza, Klebsiella ozaena dan sebagainya.

d. Gejala klinis

Rahmatullah (2014) menyatakan bahwa gejala dan tanda klinis yang

timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit,

lokasi kelainannya da nada atau tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini

adalah batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptysis dan pneumonia

berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit

yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.

Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan menimbulkan

gejala.

1) Batuk, Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif

berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti bronchitis kronik, jumlah

sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak teruama pada pagi hari

sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada

infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder

sputumnya purulent, dan dapat memebrikan bau mulut yang tidak sedap.

Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan

sputum sangat berbau bususk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanoa

batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang

sudah berat, misalnya pada saccular type bronkhlectesis, sputum jumlahnya

banyak sekali, purulent, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak

terpisah menjadi tiga bagian : a). lapisan teratas agak keruh terdiri atas

mucus; b). lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan c). lapisan terbawah

keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkusyang rusak.

2) Hemoptysis, Hemoptisis terjadi kira-kira pada50% kasus bronkiektasis.

Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai

pembuluh darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi,

mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang cukup

banyak yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi

Page 27: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis. Pada dry bronchiectasis,

hemoptysis justru merupakan gejala satu-satunya karena bronkiektasis jenis

ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah

menumpuk dan kurang menimblukan refleks batuk. Pasien tanpa batuk atau

batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran bahwa apabila ditemukan kasus

hemoptysis hebat tanpa adanya gejala gejala-gejala batuk sebelumnya atau

tanpa kelaian fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronchiectasis ini.

Hemoptysis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal.

Pada tuberculosis paru, bronkiektasis ini merupakan penyebab utama

komplikasi hemoptysis.

3) Sesak napas (dyspnea), Pada sebagian besar pasien ditemukan keluha sesak

napas. Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya

bronchitis kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan

destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA),

yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan

sesak napas tadi. Kadang-kadang ditemukan pula suara mengi (wheezing)

akbit adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat local atau tersebut pada

distribusi kelainnya.

4) Demam berulang, Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik,

sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru sehingga

sering timbul demam (demam berulang).

e. Kelainan fisis

Tanda fisis umum yang dapat ditemukan pada penderita bronkiektasis

meliputi sianosis, jari tabuh. Pada kasus yang berat dan lanjut dapat ditemukan

tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Pada pemeriksaan

fisik paru, kelainannya harus dicari ditempat-tempat predisposisi. Pada

bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang jelas pada lobus bawah paru

yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu kewaktu, atau ronki basah ini

hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi diwaktu yang

lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat

Page 28: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

menimbulkan terjadinya retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan pada

daerah yang terkena.

1) Bronkolitiasis, Kelainan ini merupakan kalsifikasi kelenjar limfe yang

biasanya merupakan gejala sisa kompleks primer tuberkulosis paru primer.

Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronkiektasis. Kelainan ini sering

mengakibatkan erosi bronkus di dekatnya dan dapat masuk ke dalam bronkus

menimbulkan sumbatan dan infeksi, selanjutnya terjadilah bronkiektasis.

Erosi dinding bronkus oleh bronkolit tadi dapat mengenai pembuluh darah

disitu dan dapat merupakan penyebab timbulnya hemoptisis berat.

2) Sindrom Kartagener, sindrom ini terdiri dari gejala-gejala berikut : (1)

bronkiektasis kongenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil; (2) situs

inversus atau pembalikan organ-organ dalam; (3) sinusitis paranasal atau

tidak terdapatnya sinus frontalis.

f. Komplikasi

Menurut Rahmatullah (2014) ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai

yaitu :

Bronkitis kronik

Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis

Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersamaan dengan timbulnya

pneumonia.

Efusi pleura atau empisema (jarang)

Abses metastasis di otak

Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena, cabang

arteri atau anastomosis pembuluh darah.

Sinusitis

Kor pulmonal kronik

Kegagalan pernapasan

Amiloidosis, keadaan ini merupakan perubahan degeneratif sebagai

komplikasi klasik yang jarang terjadi.

Page 29: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

g. Pengobatan

Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri dari 2 kelompok yaitu pengobatan

konservatif dan pengobatan pembedahan (Rahmatullah, 2014).

Gambar 7. Skema pengobatan bronkiektasis

1) Pengobatan konservatif

Pengelolaan umum, Ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis dengan

cara menciptakan lingkungan yang baik dan tepat dan dengan memperbaiki

drainase sekret bronkus.

Pengelolaan khusus, yaitu : (1) Dilakukan kemoterapi pada pasien

bronkiektasis yang dapat dilakukan secara kontinyu untuk mengontrol

infeksi bronkus (ISPA), untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada

bronkus atau paru atau bahkan keduanya. Kemoterapi disini menggunakan

antibiotik tertentu; (2) Drainase sekret dengan bronkoskop dan dengan

pengobatan simtomatik.

Pengobatan simtomatik, Bisa dengan memberikan pengobatan obstruksi

bronkus, pengobatan hipoksia, pengobatan hemoptisis, dan pengobatan

demam.

2) Pengobatan pembedahan

Page 30: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Tujuan pembedahan yakni untuk mengangkat (reseksi) segmen atau lobus paru

yang terkena (terdapat bronkiektasis).

Indikasi pembedahan :

Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon

terhadap tindakan-tindakan konserfativ yang adekuat. Pasien perlu

dipertimbangkan untuk operasi.

Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang

atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis

masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.

Kontraindikasi :

Pasien bronkiektasis dengan PPOK

Pasien bronkiektasis berat

Pasien bronkiektasis dengan komplikasi korpulmonal kronik dekompensata.

3. BIOPSI JARUM HALUS

a. Definisi

Menurut Firat & Guney (2002) biopsi aspirasi jarum halus atau Fine

Needle Aspiration Biopsy (FNAB) merupakan suatu metode atau tindakan

pengambilan sebagian jaringan tubuh manusia atau cairan dengan suatu alat

aspirator berupa jarum suntik yang bertujuan untuk membantu diagnosis pasti

suatu lesi khususnya yang dicurigai sebagai suatu keganasan Biasanya cara ini

dilakukan dengan bius lokal (hanya area sekitar jarum). Bisa dilakukan secara

langsung atau dibantu dengan radiologi seperti CT scan atau USG sebagai

panduan untuk membuat jarum mencapai massa atau lokasi yang diinginkan, jika

tidak dapat dengan mudah dirasakan.

Page 31: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Gambar 8. Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)

b. Tujuan

1) Preoperatif biopsi aspirasi pada tumor sangkaan maligna operable. Tujuannya

adalah untuk diagnosis dan menentukan pola tindakan bedah selanjutnya.

2) Maligna inoperable. Biopsi aspirasi merupakan diagnosis konfirmatif.

3) Diagnosis konfirmatif tumor "rekuren" dan metastasis.

4) Membedakan tumor kistik, solid dan peradangan.

5) Mengambil spesimen untuk kultur dan penelitian

c. Indikasi

Pada hampir semua tumor dapat dilakukan biopsi aspirasi, baik yang letaknya

superfisial palpable ataupun tumor yang terletak di dalam rongga tubuh

unpalpable dengan indikasi :

1) Lesi yang menetap lebih dari 2 minggu tanpa diketahui penyebabnya

2) Ulserasi yang menetap tidak menunjukkan tanda tanda kesembuhan sampai 3

minggu

3) Setiap penonjolan yang dicurigai sebagai suatu neoplasma

4) Lesi tulang yang tidak diidentifikasi setelah pemeriksaan klinis dan radiologis

5) Lesi hiperkeratotik yang menetap

Page 32: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Gambar 9. Benjolan pada KGB

d) Kontra Indikasi

1) Infeksi pada lokasi yang akan dibiopsi (relatif)

2) Gangguan faal hemostasis berat (relatif)

3) Biopsi diluar daerah yang direncanakan akan dieksisi saat operasi

d) Diagnosis sitologik

Astowo (2012) menyatakan bahwa penggunaan biopsi aspirasi dalam diagnosis

tumor mempunyai dampak yang menguntungkan baik ditinjau dari segi

menejemen tumor, pelayanan onkologik rumah sakit maupun bagi pasien.Namun

harus disadari bahwa jangkauan sitologi biopsi aspirasi sangat terbatas yang dapat

terjadi pada keadaan dimana luasnya invasi tumor tidak dapat ditentukan, subtipe

kanker tidak selalu dapat diidentifikasi, dan dapat terjadi negatif palsu. Diagnosis

sitologik dengan menggunakan FNAB mempunyai nilai klinik antara lain :

1) Sitologi positif/Positif Maligna : Merupakan petunjuk untuk melakukan

tindakan lebih lanjut antara lain survei metastasis, menentukan stadium,

memilih alat diagnostik lain bila diperlukan dan mendiskusikan pola

pengobatan.

2) Sitologi negatif atau kelainan jinak : Belum dapat menyingkirkan adanya

kanker; perlu dipikirkan kemungkinan negative palsu. Negatif palsu dapat

terjadi karena kesalahan teknis, sehingga sejumlah sel tumor tidak terdapat

pada sediaan. Bila terdapat perbedaan sitologi dan data klinik, alternatif

tindakan terbaik adalah biopsi bedah; akan tetapi, pada kasus sitologi negatif

Page 33: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

dengan spesifikasi kelainan dan cocok dengan gambaran klinik, maka pola

pengobatan dapat ditentukan.

3) Sitologi suspek/mencurigakan maligna : Mungkin memerlukan pemeriksaan

lain sebelum pengobatan antara lain pemeriksaan potongan bekuataupun

sitologi imprint atau kerokan durante operasionam.

4) Inkonklusif (tidak dapat diinterpretasikan) : Dapat terjadi karena kesalahan

teknik atau karena situasi tumor, misalnya mudah berdarah, reaksi jaringan

ikat banyak atau tumor terlalu kecil, sehingga sulit memperoleh sel tumor.

Dalam praktek, sitologi inkonklusif meningkatkan negatif palsu.

e) Prosedur Biopsi Aspirasi Jarum halus

1) Penderita :

Jelaskan tindakan yang akan dilakukan

Inform consent

2) Alat :

Jarum 25g

Betadine sol

Semprit 20 ml; 2,5 ml

Kaca obyek secukupnya

Alkohol

Pot besar berisi alkohol 96%

Kasa, kapas

3) Cara Kerja

antisepsis lokasi lesi dengan betadine sol, kemudian dengan kapas alkohol

Lesi/KGB dipegang dengan 2 jari tangan kiri (agar terfiksasi)

Jarum ditusukkan dalam lesi/KGB dengan tangan kanan

Page 34: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Gambar 10. Prosedur biopsi aspirasi jarum halus

f) Keuntungan dan kerugian menggunakan biposi jarum halus

Tabel 4. Keuntungan dan kerugian biopsi aspirasi jarum halus

Keuntungan

Penderita Klinikus Ahli patologi

Murah Peralatan sederhana Dapat pantau

Luka bekas tusukan jarum diberiAntiseptik (betadin) selanjutnyadibungkus kasa steril

Page 35: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

perjalanan

penyakit tanpa

biopsy terbuka

Tidak timbulkan bekas Hemat waktu

Tidak nyeri Kemungkinan penyebaran tumor

akibat jarum aspirasi jarang

Cepat pemeriksaanya

Kerugian

Hasil yang didapat sangat sedikit

g) Keakuratan biopsi jarum halus

Menurut Rasi, Susilo & Reksoprawiro (2014) sebanyak 32 pasien yang

dilibatkan dalam penelitian, tingkat akurasi diagnostic keseluruhan diagnostik

sitology biopsy jarum halus pada tumor sebesar 85,7% terbukti akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z. & Bahar, A. (2014). Tuberkulosis Paru In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.863-872). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Astowo, P. (2012). Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB). Jakarta : Division of Interventional Pulmonology & Respiratory Critical Care Department of Pulmonology & Respiratory Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia/Persahabatan Hospital.

Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Page 36: Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke

Depkes RI. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Firat, M. & Guney, E (2002). The value of fine needle aspiration biopsy in the management of thyroid nodules. Turkish Journal of Endocrinology and Metabolism, 6, 345-350.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Permenkes RI No.5. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 5 Tahun 2014, Tentang Panduan Praktik Klinia Bagi Dokter Di Fasiiltas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Price, S.A. & Standridge, M.P. (2014). Tuberkulosis Paru. In. S.A. Price and L.M.

Wilson (Eds.). Patofisologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. (pp. 832-864). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rahmatullah, P. (2014). Bronkiektasis. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.1682-1689). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Rasi, A. P., Susilo, D.H. & Reksoprawiro, S. (2014). Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Surabaya : Divisi Bedah Kepala dan Leher, Departemen Bedah Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/ Rumah Sakit dr. Soetomo.

Werdhani, R.A. (2009). Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran, Komunitas, Okupasi dan Keluarga FK Universitas Indonesia