step 7 sken 2 dewandaru

60
BAB VII BERBAGI INFORMASI 7.1. All About PPOK a. Definisi PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, dimana hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (GOLD, 2006; Kepmenkes No. 1022, 2008). Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi (Kepmenkes No. 1022, 2008; PDPI, 2010). b. Etiologi Menurut GOLD (2006) faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK adalah : Kebiasaan merokok Polusi udara Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja Riwayat infeksi saluran nafas

Upload: dewandaru-i-a-b

Post on 07-Dec-2015

255 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fk

TRANSCRIPT

Page 1: Step 7 Sken 2 Dewandaru

BAB VII

BERBAGI INFORMASI

7.1. All About PPOK

a. Definisi

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah penyakit yang ditandai

dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

dimana hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan

respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya

(GOLD, 2006; Kepmenkes No. 1022, 2008). Bronkitis kronik dan emfisema tidak

dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis,

sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi (Kepmenkes No. 1022, 2008;

PDPI, 2010).

b. Etiologi

Menurut GOLD (2006) faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK

adalah :

Kebiasaan merokok

Polusi udara

Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja

Riwayat infeksi saluran nafas

Bersifat genetik yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi

untuk berkembangnya PPOK dini.

c. Patogenesis

            Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan

inflamasi pada saluran nafas dan paru. Respon inflamasi abnormal ini

menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema dan

menganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran nafas

kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan

aliran udara yang bersifat progresif.

Page 2: Step 7 Sken 2 Dewandaru

            Inflamasi saluran nafas pada pasien PPOK merupkan amplikasi dari

respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk

amplikasi ini belum diketahui, kemungkinan disebabkan karena faktor genetik.

Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat meokok, penyebab respon

inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stress

oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada

karakteristik perubahan patologis PPOK seperti pada Figure 4.2 (Gold, 2006).

Page 3: Step 7 Sken 2 Dewandaru

d. Patofisiologi

Menurut GOLD (2006) patofisiologi PPOK adalah :

1) Keterbatasan aliran udara dan air trappingPeradangan, fibrosis dan luminal eksudat di saluran pernapasan kecil berkorelasi dengan pengurangan di FEP1 dan rasio FEP1/FVC dan kemungkinan dipercepat oleh penurunan FEP1 yang merupakan karakteristik PPOK. Udara semakin terperangkap pada saluran pernapasan perifer yang menyebabkan obstruksi selama ekspresi. Meskipun emfisema berhubungan dengan pertukaran gas yang abnormal dibandingkan dengan FEP1 yang berkurang, hal ini berkontribusi pada udara yang terperangkap pada saat ekspresi. Selanjutnya akan menyebabkan alveolar menjadi rusak ketika penyakit menjadi semakin parah. Hiperinflasi menurunkan kapasitas inspirasi yang meningkatkan kapasitas residu fungsional, khususnya selama hiperinflasi dinamis yang menyebabkan dispnea. Hiperinflasi lebih awal pada penyakit diketahui sebagai mekanisme utama penyebab dispnea (GOLD, 2006)

2) Kelainan pertukaran gasPertukaran gas yang tidak normal menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara umum pertukaran gas (O2 dan CO2) menjadi memburuk ketika penyakit berlangsung. Emfisema yang berat berhubungan dengan ketidakseimbangan O2 arteri dan tanda perfusi ventilasi lainnya (VA/Q). Obstruksi pada jalan nafas perifer juga menyebabkan ketidakseimbangan VA/Q, diperkuat dengan gangguan fungsi pada otot-otot pernapasan akan menurunkan ventilasi dan menyebabkan retensi CO2. Kelainan pada ventilasi alveolar dan penurunan sirkulasi pada pembuluh darah paru semakin memperburuk VA/Q (GOLD, 2006)

3) Hipersekresi mukusHipersekresi lendir ditemukan pada batuk kronis produktif yang merupakan karakteristik dari bronkitis kronis dan tidak terkait dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya tidak semua pasien PPOK mempunyai gejala hipersekresi

Page 4: Step 7 Sken 2 Dewandaru

mukus, hal ini karena metaplasia mukosa meningkatkan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa sebagai respon dari iritasi saluran napas oleh asap rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus dan mengaktifkan Epidermal Growth Factor Receptor (GOLD, 2006)

e. Manifestasi klinis

Menurut GOLD (2006) Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik

(PPOK) adalah :

Batuk kronik

Sputum (dahak) putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau

mukopurulen

Sesak napas, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk

bernafas

f. Faktor Risiko PPOK

Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah hal-hal yang

berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada

seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi: (1) Faktor

pejamu (host); (2). Faktor perilaku (kebiasaan) merokok; dan (3) Faktor

lingkungan (polusi udara) (Kepmenkes No. 1022, 2008).

1) Faktor pejamu (host)

Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsif jalan napas dan

pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1

antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas

juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru

dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.

Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan dengan penurunan faal

paru dan meningkatkan gangguan pernapasan saat dewasa.

2) Perilaku (Kebiasaan) Merokok

Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalens

tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada

perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif

berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK,

Page 5: Step 7 Sken 2 Dewandaru

hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik. Perokok pasif dan

merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.

Diagram 1. Efek kesehatan perokok pasifSumber : Mackay & Eriksen (2002)

3) Faktor Lingkungan (Polusi Udara)

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,

asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan

lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas

buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus,

dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan

gas beracun).

g. Penegakan Diagnosis

Menurut Kepmenkes No. 1022 (2008) dalam mendiagnosis PPOK dimulai

dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks,

spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

Page 6: Step 7 Sken 2 Dewandaru

foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan

pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat

(PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat)

Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila :

1) Anamnesis :

a. Ada faktor risiko

Usia (pertengahan)

Riwayat pajanan

Asap rokok

Polusi udara

Polusi tempat kerja

b. Gejala, Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi

ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala

yang biasa terjadi pada proses penuaan.

Batuk kronik, Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan

yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan

Berdahak kronik, Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus

menerus tanpa disertai batuk

Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien

sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif

lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan

dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak (Tabel 1).

Page 7: Step 7 Sken 2 Dewandaru

2) Pemeriksaan fisik:

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas

terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi

alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali

terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara

umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

Inspeksi

Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )

Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup )

Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas

Pelebaran sela iga

Perkusi

Hipersonor

Auskultasi

Fremitus melemah,

Suara nafas vesikuler melemah atau normal

Ekspirasi memanjang

Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

Ronki

Page 8: Step 7 Sken 2 Dewandaru

3) Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain

Radiologi (foto toraks), meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan

radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis

ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya

atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

Spirometri

Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah

terjadi hipoksia kronik)

Analisa gas darah

Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi

eksaserbasi)

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada

anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik

dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada

seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan

adanya asmabronkial bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru, dan sindrome

obtruktif pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilakasanakan

di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakkan

diagnosis danpenentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan

Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dilaksanakan di rumah sakit/fasilitas

kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.

h. Klasifikasi (Derajat) PPOK

Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan

Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2003) sebagai berikut:

(1) PPOK Ringan

Gejala klinis:

Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi sputum.

Page 9: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

Spirometri:

VEP1 ≥80% prediksi ( normal spirometri ) atau

VEP1/KVP<70%

(2) PPOK Sedang

Gejala klinis:

Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi sputum.

Sesak napas : derajat sesak 2 ( sesak timbul pada saat aktivitas ).

Spirometri:

VEP1/KVP <70% atau

50%< VEP1 <80% prediksi.

(3) PPOK Berat

Gejala klinis:

Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.

Eksaserbasi lebih sering terjadi

Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

Spirometri:

VEP1/KVP <70%,

VEP1 <30% prediksi atau

VEP1 > 30 % dengan gagal napas kronik

Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa

gas darah, dengan kriteria :

Hipoksemia dengan normokapnia, atau

Hipoksemia dengan hiperkapnia

i. Diagnosis Banding PPOK

Menurut Kepmenkes No. 1022 (2008) PPOK lebih mudah dibedakan

dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun seringkali sulit

dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis

PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2 di

bawah ini.

Page 10: Step 7 Sken 2 Dewandaru

j. Komplikasi PPOK

Menurut PDPI (2003) komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :

1) Gagal napas

Gagal napas kronik, Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 >

60 mmHg, dan pH normal

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai sesak napas dengan

atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam dan kesadaran

menurun

2) Infeksi berulang, pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan

menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi

berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai

dengan menurunnya kadar limposit darah.

3) Kor pulmonal, ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat

disertai gagal jantung kanan

k. Tatalaksana PPOK

Menurut Kepmenkes No. 1022 (2008) tatalaksana PPOK dibedakan atas

tatalaksana kronik dan tatalaksana eksaserbasi, masing masing sesuai dengan

klasifikasi (derajat) beratnya. Adapun secara umum tata laksana PPOK adalah

sebagai berikut:

Page 11: Step 7 Sken 2 Dewandaru

a. Pemberian obat obatan

1) Bronkodilator, dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada

eksaserbasi digunakan oral atau sistemik

2) Anti inflamasi, pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison.

Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid

positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik

3) Antibiotik, tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan

eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola

kuman setempat.

4) Mukolitik, Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai

pengobatan simptomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental.

5) Antitusif, diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.

Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.

Adapun pengobatan secara lebih rinci dijelaskan oleh PDPI (2003) yaitu

sebagai berikut :

1) Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada

penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (long acting).

Macam - macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik, Digunakan pada derajat ringan sampai berat,

disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir

(maksimal 4 kali perhari).

Golongan agonis beta – 2, Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi

sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya

eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk

tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk

mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka

Page 12: Step 7 Sken 2 Dewandaru

panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi

berat.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2, Kombinasi kedua

golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena

keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah

penderita.

Golongan xantin, Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan

pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),

bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin

darah.

2) Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat

perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

3) Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

Lini I : amoksisilin, makrolid

Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid

baru

Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih :

Amoksilin dan klavulanat

Sefalosporin generasi II & III injeksi

Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas

Aminoglikose per injeksi

Kuinolon per injeksi

Sefalosporin generasi IV per injeksi

Page 13: Step 7 Sken 2 Dewandaru

4) Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,

tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

5) Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang

viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak

dianjurkan sebagai pemberian rutin.

6) Antitusif

Diberikan dengan hati hati, yaitu seperti pada Tabel berikut :

Page 14: Step 7 Sken 2 Dewandaru

b. Pengobatan penunjang

1) Rehabilitasi, yang terdiri dari :

Edukasi

Berhenti merokok

Latihan fisik dan respirasi

Nutrisi

2) Terapi oksigen

Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang

atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat

Page 15: Step 7 Sken 2 Dewandaru

menyebabkanhiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka

panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualiti hidup

3) Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi

mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan

lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat

4) Operasi paru

Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru

(masih dalam proses penelitian di negara maju)

5) Vaksinasi influensa

Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinas influensa

diberikan pada : (1) Usia diatas 60 tahun; (2) PPOK sedang dan berat

7.2. All About Bronchitis kronis

a. Definisi

Secara klinis, Bronkitis kronis merupakan penyakit saluran pernapasan

yang ditandai dengan batuk berdahak sedikitnya 3 bulan dalam setahun selama 2

tahun berturut-turut. Berdasarkan waktu berlangsungnya penyakit, Bronkitis akut

berlangsung kurang dari 6 mingu dengan rata-rata 10-14 hari, sedangkan

Bronkitis kronis berlangsung lebih dari 6 minggu. Secara umum keluhan pada

Bronkitis kronis dan Bronkitis akut hampir sama. Hanya saja keluhan pada

Bronkitis kronis cenderung lebih berat dan lebih lama. Hal ini dikarenakan pada

Bronkitis kronis terjadi penebalan (hipertrofi) otot-otot polos dan kelenjar serta

berbagai perubahan pada saluran pernapasa (Fayyaz, 2009)

b. Epidemiologi

Di Indonesia, belum ada angka kesakitan Bronkitis kronis, kecuali di RS

sentra-sentra pendidikan. Sebagai perbandingan, di AS (National Center for

Health Statistics) diperkirakan sekitar 4% dari populasi didiagnosa sebagai

Bronkitis kronis. Angka inipun diduga masih di bawah angka kesakitan yang

sebenarnya (underestimate) dikarenakan  tidak terdiagnosanya Bronkitis kronis.

Di sisi lain dapat terjadi pula overdiagnosis Bronkitis kronis pada pasien-pasien

Page 16: Step 7 Sken 2 Dewandaru

dengan batuk non spesifik yang self-limited (sembuh sendiri). Bronkitis kronis

dapat dialami oleh semua ras tanpa ada perbedaan. Frekuensi angka kesakitan

Bronkitis kronis lebih kerap terjadi pada pria dibanding wanita. Hanya saja hingga

kini belum ada angka perbandingan yang pasti. Usia penderita Bronkitis kronis

lebih sering dijumpai di atas 50 tahun.

c. Etiologi

Polusi udara

Radang akut saluran pernapasan yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan

karena pengobatan infeksi saluran pernapasan yang tidak sempurna.

Radang kronis saluran pernapasan

Gangguan sistem imunitas paru. Biasanya disebabkan karena defisiensi Ig A,

defisiensi C3 dan C4 yang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan

makrofag, dan immotile silia.

Sekret mukus yang berlebihan, contohnya pada penderita mukovisidosis.

d. Patofisiologi

Pada saat terjadi penyempitan intrinsik saluran pernapasan kecil dan

mundurnya elastisitas paru. Maka pada saat itu juga alveolus mengalami distensi

dan konglomerisasi. Jaringan inter-alveolar, yang merupakan sebagian dari

jaringan intersisial paru, pada hakekatnya penuh dengan serat-serat elastis dan

kolagen. Deengan semakin hilangnya jaringan ini, serat-serat elastis turut

menghilang. Dengan demikian jaringan paru secara perlahan-lahan semakin

kehilangan elastisitasnya sehingga ekspirasi akan semakin dangkal, dengan kata

lain air trapping akan semakin progressive.

Dahak yang berlebihan juga akan memudahkan terjadinya infeksi

sekunder. Dengan demikian, akan semakin sering terjadi infeksi sekunder serta

semakin banyak fibrin yang terbentuk, maka elastisitas paru akan semakin

menurun dengan segala konsekuensinya. Setiap kali terjadi infeksi sekunder, akan

timbul juga edema mukosa sehingga lumen saluran pernapasan akan menjadi

semakn sempit.

Page 17: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Bila sel-sel goblet dan kelenjar mukus submukosa terus menerus bekerja

keras,lama kelamaan akan terjadi hipertrofi dan hiperplasi sehingga memerlukan

penambahan suplai darah. Ini semua akhirnya akan menyebabkan mukosa akan

menjadi semakin tebal. Dengan demikian, lumen saluran napas akan menjadi

semakin kecil (Tieney, 2002).

e. Manifestasi Klinis

Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis kronis adalah sebagai berikut:

Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang banyak. Dahak

makin banyak dan berwarna kekuningan (purulen) pada serangan akut

(eksaserbasi). Kadang dapat dijumpai batuk darah.

Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas.

Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).

Pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara krok-krok

terutama saat inspirasi (menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak

di saluran napas

f. Tatalaksana

Menurut PDT Ilmu Penyakit Paru (2005) penatalaksanaan bronkitis kronis

dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah timbulnya penyulit, yaitu

meliputi :

Edukasi, yakni memberikan pemahaman kepada penderita untuk mengenali

gejala dan faktor-faktor pencetus kekambuhan Bronkitis kronis.

Sedapat mungkin menghindari paparan faktor-faktor pencetus.

Rehabilitasi medik untuk mengoptimalkan fungsi pernapasan dan mencegah

kekambuhan, diantaranya dengan olah raga sesyuai usia dan kemampuan,

istirahat dalam jumlah yang cukup, makan makanan bergizi.

Oksigenasi (terapi oksigen)

Obat-obat bronkodilator dan mukolitik agar dahak mudah dikeluarkan.

Antibiotika, digunakan manakala penderita Bronkitis kronis mengalami

eksaserbasi oleh infeksi kuman (H. influenzae, S. pneumoniae, M.

Page 18: Step 7 Sken 2 Dewandaru

catarrhalis). Pemilihan jenis antibiotika (pilihan pertama, kedua dan

seterusnya) dilakukan oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan.

7.3. All About Emfisema Paru

a. Definisi

Menurut The American Thorack Society Emfisema adalah suatu

perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal

saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding

alveolus. Empisema disebut juga dalam penyakit paru obstruktif kronis (paru

mengacu pada paru-paru), karena kerusakan jaringan paru sekitar kantung kecil

yang disebut alveoli, membuat udara kantung ini tidak dapat menahan bentuk

fungsional mereka pada pernafasan. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen

yang diperlukan. Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus.

Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru.

Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan

orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-

paru terperangkap didalamnya.

b. Etiologi

Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :

1) Rokok

Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan

nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan

hiperplasia kelenjar mukus bronkus. merokok merupakan penyebab utama

emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat

predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas

protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha1 yang merupakan suatu enzim

inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan

paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan

(merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan

mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.

Page 19: Step 7 Sken 2 Dewandaru

2) Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka

kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat

industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan

gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.

3) Infeksi

Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit

infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale,

dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan terjadinya emfisema.

4) Genetik

Defisiensi Alfa-1 antitripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin

dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.

5) Obstruksi SaluranNapas

Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga

terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu

inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah

benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di

mediastinum, kongenital. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan

oleh defek tulang rawan bronkus.( Mills,John& Luce,John M , 2008 )

c. Patofisiologi

Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan

alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau

terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan

dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruks sebagian yang mengenai suatu

bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi

lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi

penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena

adalah belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup

penghentian. Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di

Page 20: Step 7 Sken 2 Dewandaru

dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian

diri yang berlebihan.

Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari

luar akibat pembuluh darah yang menyimpang. Mekanisme katup penghentian:

Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian

yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari

dalam alveolus menjadi lebih penimbunan udara di alveolus menjadi

bertambah®sukar dari pemasukannya di sebelah distal dari paru.

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan

elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan

antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan

intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan

paru ke dalam yaitu elastisitas paru.

Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian

besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel

ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh

oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi

dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan

interstitial alveolus. Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan

mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia.

Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel

epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.

Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di

saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta

pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan

pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi

saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang

permanen disertai kerusakan dinding alveoli.

d. Manifestasi Klinik

Batuk

Sputum putih, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen

Page 21: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Sesak sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan

Nafas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit

dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, membungkuk

Bibir tampak kebiruan

Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun

Batuk menahun

f. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko emfisema meliputi :

Merokok, Emfisema paling mungkin berkembang pada perokok, dimana

risiko meningkat sesuai dengan jumlah usia dan jumlah tembakau yang

dihisap

Usia, Meskipun kerusakan paru-paru pada emfisema terjadi secara bertahap,

sebagian besar orang yang terkena emfisema akibat tembakau mulai

mengalami gejala pada usia antara 40 dan 60.

Paparan terhadap asap rokok. Perokok pasif adalah orang yang tidak sengaja

menghisap asap dari rokok orang lain. Menjadi perokok pasif dapat

meningkatkan risiko emfisema.

Pekerjaan yang menimbulkan paparan terhadap debu atau asap.

Paparan polusi dalam/luar ruangan.

e. Komplikasi

Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan

Daya tahan tubuh kurang sempurna

Tingkat kerusakan paru semakin parah

Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas

Atelaktasis

Pneumothoraks

Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien

Page 22: Step 7 Sken 2 Dewandaru

g. Penegakan Diagnosis

1) Anamnesa

Riwayat menghirup rokok.

Riwayat terpajan zat kimia.

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi

saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk

dalam beberapa tahun

Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak

terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya

2) Pemeriksaan Fisik

Inspeksi :

Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).

Dada berbentuk barrel-chest.

Sela iga melebar.

Sternum menonjol.

Retraksi intercostal saat inspirasi.

Penggunaan otot bantu pernapasan.

Palpasi :

Vokal fremitus melemah.

Perkusi :

hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak

diafragma rendah.

Auskultasi :

Suara nafas vesikuler normal atau melemah.

Terdapat ronki samar-samar.

Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.

Ekspirasi memanjang.

Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan

terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III

Page 23: Step 7 Sken 2 Dewandaru

3) Pemeriksan Penunjang

Faal Paru

Spinometri (VEP, KVP), Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV

menurun, KRF dan VR meningkat. VEP, merupakan parameter yang paling

umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.

Uji bronkodilator, setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan

15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1

Darah Rutin

Meliputi Hb, Ht, Leukosit

Gambaran Radiologis

Pada emfisema terlihat gambaran : (1) Diafragma letak rendah dan datar; (2)

Ruang retrosternal melebar, (3) Gambaran vaskuler berkurang; (4) Jantung

tampak sempit memanjang; (5) Pembuluh darah perifer mengecil.

Pemeriksaan Analisis Gas Darah

Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli

Pemeriksaan EKG

Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal

dan hipertrofi ventrikel kanan.

Pemeriksaan Enzimatik

Kadar alfa-1-antitripsin rendah.

f. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk

memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan

nafas untuk menghilangkan hipoksia.

1) Bronkodilator

Digunakan untuk mendilatasi jaln nafas karena preparat ini melawan baik edema

mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi

obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.medikasi ini

mencakup agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin

(teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme

yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena,

Page 24: Step 7 Sken 2 Dewandaru

per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol

bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis

terukur, atau IPPB.

2) Terapi Aerosol

Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari

bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam

bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk

memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan

trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme,

menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini

memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses

inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.

3) Pengobatan Infeksi

Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati

pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan

Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi

tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin,

atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen

antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan

dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.

4) Kortikosteroid

Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid

digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang

sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada

dosis yang terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal

dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus

peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan

katarak.

5) Oksigenasi

Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan

emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah

Page 25: Step 7 Sken 2 Dewandaru

untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat

oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.

g. Pencegahan

Penatalaksanaan utama pada pasien dengan emfisema adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan

mengobati obstruksi saluran napas yang berguna untuk mengatasi hipoksia.

Pendekatan terapi mencakup :

Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas

Mencegah dan mengobati infeksi

Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru-paru

Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi

pernapasan

Dukungan psikologis

Pendidikan kesehatan pasien dan rehabilitasi

h. Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan

gejala klinis waktu berobat. Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan

Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.

Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan

meninggal.

7.4. Al About Asma

a. Definisi

Asma adalah inflamasi tractus respiratorius kronik dengan serangan berulang

karena kontraksi spasmodic bronkus.

b. Etiologi

Yang dapat menyebabkan asma adalah:

Pemicu Asma (Trigger)

Pemicu asma dapat mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran

pernapasan (bronkokonstriksi). Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang

Page 26: Step 7 Sken 2 Dewandaru

diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu

pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Umumnya pemicu

mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus seharihari, seperti

perubahan cuaca dan suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran

pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.

Penyebab Asma (Inducer)

Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus

hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan.

Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung

lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah

allergen, yang tampil dalam bentuk ingestan yaitu alergen yang masuk tubuh

melalui mulut, inhalan yaitu alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung

atau mulut, dan alergen yang didapat melalui kontak dengan kulit.

c. Faktor Risiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor

lingkungan.

1. Faktor Genetik

Atopi/alergi, Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi

biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya

bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial

jika terpajan dengan faktor pencetus.

Hipereaktivitas bronkus, Saluran napas sensitif terhadap berbagai

rangsangan alergen maupun iritan.

Jenis kelamin, Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia

14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding

anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih

kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

Ras/etnik

Obesitas, Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan

faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi

Page 27: Step 7 Sken 2 Dewandaru

fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.

Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita

obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas

dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan

Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan

kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

Alergen makanan, contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang

tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna

makanan.

Alergen obat-obatan tertentu, contoh: penisilin, sefalosporin, golongan

beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain

lain.

Bahan yang mengiritasi, contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

Ekspresi emosi berlebih, stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus

serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang

sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati,

penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat

untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum

diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan

dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah

kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti

meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

Exercise-induced asthma, Pada penderita yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan

mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang

berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan

Page 28: Step 7 Sken 2 Dewandaru

asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas

tersebut.

Perubahan cuaca, Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor

pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan

dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga

(serbuk sari beterbangan).

Status ekonomi

d. Manifestasi Klinis

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilator

e. Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang

diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma

diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan

persisten berat (GINA, 2005).

KLASIFIKASI TINGKAT KEPARAHAN ASMA

KATEGORI GEJALA/HARI GEJAL

A/MA

LAM

FUNGSI

PARU

PEF atau

PEV1

Variabel

PEF

Step 1 ≤ 2X dalam seminggu ≤ 2X ≥ 80%

Page 29: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Intermitten Nilai PEF normal dalam kondisi serangan

asma. Exacerbasi:

Bisa berjalan ketika bernapas, bisa

mengucapkan kalimat penuh. Respiratory

Rate (RR) meningkat. Biasanya tidak ada

gejala retraksi iga ketika bernapas.

dalam

sebulan

< 20%

Step 2

Mild

intermitten

≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari.

Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.

Exaserbasi:

Membaik ketika duduk, bisa mengucapkan

kalimat frase, RR meningkat, kadangkadang

menggunakan retraksi iga ketika bernapas

≥ 2X

dalam

sebulan

≥ 80%

20% –

30%

Step 3

Moderate

persistent

Setiap hari

Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.

Exaserbasi:

Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat

mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit,

Biasanya menggunakan retraksi iga ketika

bernapas,.

≥ 1X

dalam

seming

gu

60% -

80%

> 30%

Step 4

Severe

persistent

Sering

Aktivitas fisik terbatas.

Eksacerbasi:

Abnormal pergerakan thoracoabdominal.

Sering ≤ 60%

> 30%

f. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.

Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu

penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk

mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting

untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor

seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam

Page 30: Step 7 Sken 2 Dewandaru

hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang

digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi

pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten

ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).

Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang

digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya

serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat

serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan

pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan

diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan

sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara

asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat

ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.

Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma

yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.

g. Diagnosis Asma

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang

merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak

umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi

maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala

berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi

paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas

yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu

identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru

normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan

menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk

membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang

kontrol.

Penegakan diagnosis asma adalah:

Page 31: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Anamnesis

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilator

Riwayat alergi / atopi

Penyakit lain yang memberatkan

Perkembangan penyakit dan pengobatan

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat sosial

Riwayat eksaserbasi

Pemeriksaan fisik

Inspeksi

Durasi ekspirasi memanjang

napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di

leher, perut dan dada.

Auskultasi

Bunyi wheezing atau mengi positif

Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan spirometri

Alat pengukur fungsi paru dengan mengukur volume ekspirasi paksa detik

pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver

ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung

kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas

dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai

tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas

diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

2) Peak Flow Meter/PFM.

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut

digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena

pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan

Page 32: Step 7 Sken 2 Dewandaru

pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan

dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk

diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,

PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan

dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3) X-ray dada/thorax.

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

4) Pemeriksaan IgE.

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik

pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus.

Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan

darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil

uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

5) Pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang

dikeluarkan dengan napas.

Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil

dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma.

Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi,

tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

6) Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan

berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet

ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada

penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi

pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang

terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari

2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya

kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi

nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,

inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

h. Penatalaksanaan

Page 33: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol

manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006)

menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol.

Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat

dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

1. Medikasi

2. Pengobatan berdasarkan derajat

1) Medikasi

Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai

cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah

melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang

minimal ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui

inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler

(DPI), breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol

(controllers) dan pelega (reliever).

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma

persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol.

Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri

dari:

Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik

Leukotriene modifiers

Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)

Metilsantin (teofilin)

Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)

Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat

mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja

obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan

gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat

ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas

Page 34: Step 7 Sken 2 Dewandaru

jalan napas.

Pelega terdiri dari:

Agonis β-2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik

Antikolinergik (Ipratropium bromide)

Metilsantin

2) Pengobatan Berdasarkan Derajat

Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi

menjadi :

Asma Intermiten

Umumnya tidak diperlukan pengontrol

Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan.

Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja

singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi

Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,

maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan

Asma Persisten Ringan

Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah

progresivitas asma, dengan pilihan : (1) Glukokortikosteroid inhalasi dosis

rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja

lama inhalasi, yaitu Budenoside : 200–400 μg/hari dan Fluticasone propionate

100–250 μg/hari; (2) Teofilin lepas lambat; (3) Kromolin; (4) Leukotriene

modifiers

Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila

perlu

Asma Persisten Sedang

Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah

progresivitas asma, dengan pilihan :

- Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2

kerja lama inhalasi

- Budenoside: 400–800 μg/hari

- Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari

Page 35: Step 7 Sken 2 Dewandaru

- Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas

lambat

- Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2

kerja lama oral

- Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)

- Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene

modifiers

Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu

- Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau

- Agonis β-2 kerja singkat oral, atau

- Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat

- Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah

menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah

dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi

Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau

kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah

Asma Persisten Berat

Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan

mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai

nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat

seminimal mungkin. Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat

mengontrol asma, dengan pilihan :

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis

β-2 kerja lama inhalasi

Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari

Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene

modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai

ataupun sebagai tambahan terapi

Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar

efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena

iritasi saluran napas atas

Page 36: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Gambar 2.5 Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma.Sumber : GINA (2009)

7.5. All About Asma Bronkial

a. Definisi

Asma adalah obstruksi saluran napas yang reversibel, inflamasi saluran napas,

peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan

(hiperaktivitas).obstruksi saluran napas memberikan gejala seperti batuk, mengi,

dan sesak napas. Derajat obstruksi dipengaruhi oleh diameter lumen saluran napas,

edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos

bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respon terhadap berbagai

rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.

Page 37: Step 7 Sken 2 Dewandaru

b. Faktor Prevalensi

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain :

1) Jenis kelamin

Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak

perempuan 1,5:1 menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama dan

pada menopouse perempuan lebih banyak dari laki-laki.

2) Usia

Umumnya pertama kali timbul pada usia muda, 25% dengan asma persisten

mendapat serangan mengi pada usia < 6 bulan, 75% mendapat serangan mengi

pertama sebelum usia 3 tahun.

3) Riwayat atopi

Adanya atopi akan meningkatkan risiko asma persisten dan beratnya asma akan

jika anak pernah mengalami rinitis alergi, eksema, riwayat asma dan mengi maka

akan terjadi serangan dua kali lipat lebih banyak.eksema persisten berhubungan

dengan gejala asma persisten, menurut buffum dan settipane anak dengan eksema

dan uji kulit positif menderita asma berat.anak dengan mengi persisten dalam

kurun waktu 6 tahun pertama mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak

yang tidak pernah mengalami pada usia 9 bulan.

4) Lingkungan

Adanya alergen dilingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit asma.

Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain , serpihan kulit,

binatang peliharaan, tungau, debu rumah, dan jamur.

5) Ras

Ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

6) Infeksi respiratorik

Infeksi respiratory syncytial virus (RSV) diusia dini yang mengakibatkan infeksi

saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan faktor resiko untuk

terjadinnya mengi diusia 6 tahun

c. Patogenesis

Page 38: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang

berlebihan. Asma sebagai penyakit inflamasi ditandai dengan kalor (panas), rubor

(kemerahan), tumor (edema), dolor (rasa sakit), functio laesa, infiltrasi sel

radang.m Semua ini dijumpai pada asma. Mediator inflamasi akan mempengaruhi

organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,

edema sal.napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus, sehingga menimbulkan

hiperaktivitas sal.napas.( HSN )Hiperaktivitas saluran napas Sifat saluran napas

pasien asma sangat peka trhdp berbagai rangsangan seperti iritan (debu),zat kimia

dan kegiatan jasmani

Konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Kerusakan bervariasi,

perubahan struktur akan meningkatkan penetrasi alergen, iritasi ujung saraf

autonom sering mudah terangsang, bronkostriksi lebih mudah terjadi.

Mekanisme neurologi, terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis,

gangguan intrinsik otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran

napas.

d. Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pd asma merupakan kombinasi :

Spasme otot bronkus

Sumbatan mukus

Edema

Inflamasi dinding bronkus

Bertambah berat saat ekspirasi (fisiologis), adanya mengi (penyempitan saluran

napas besar), dimana penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan

hal-hal sebagai berikut :

Gangguan ventilasi

Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak

setara dengan sirkulasi darah paru

Gangguan difusi gas ditingkat alveoli

Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnia, serta

asidosis respiratorik pada tahap lanjut.

e. Manifestasi klinis

Page 39: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Manifestasi klinis yang muncul adalah batuk, mengi dan sesak napas. Pada awal

serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada , dan pada asma alergik

mungkin disertai pilek/bersin. Pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tapi pada

perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid,

putih, atau purulen. Sebagian kecil pasien batuk tanpa mengi disebut “cough

variant asthma “.

f. Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan fisik

Batuk malam hari tapi ada pula yang sembarang waktu, ekspirasi memanjang,

mengi, hiperventilasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis.

Pemeriksaan penunjang

1) Spirometri

Cara yang paling tepat untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respons

pengobatan dengan bronkodilator ,diperlukan kombinasi obat gol. Adrenergik

beta,teofilin dan bahan kortikosteroid.untuk jangka waktu pengobatan 2-3

minggu, dengan demikian spirometri jg penting untuk menilai beratnya obstruksi

dan efek pengobatan.Peningkatan VEP 1 sebanyak > 200 ml menunjukkan

diagnosis asma.

2) Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma.

3) Uji kulit

Untuk menunjukkan adanya antibodi igE spesifik dalam tubuh

4) Foto rontgen dada

Untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya

kecurigaan terhadap proses patologis diparu atau komplikasi asma.

g. Pengobatan

1) Mencegah ikatan alergen igE

Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin

ditingkatkan, diharapkan tubuh akan membentuk igG (blocking antibody) yang

akan mencegah ikatan alergen dengan igE pd sel mast.

Page 40: Step 7 Sken 2 Dewandaru

2) Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator

Agonis beta 2 (salbutamol,ter-butalin,fenoterol,prokaterol) merupakan

obat-obatan terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan

secara inhalasi melalui MDI (metered dosed inhaler) atau nebulizer.

Epinefrin, diberikan sub-kutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada

serangan asma berat.

Aminofilin, dipakai sewaktu serangan asma akut.

Kortikosteroid sistemik, (tidak termasuk obat gololongan bronkodilator)

tetapi secara tidak langsung dapat melebarkan saluran napas.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C. & Hackley, J.C. .(2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2006). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease. Portland, Oregon USA : MCR VISION Inc.

Kepmenkes No. 1022. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1022/Menkes/SK/XI/2008. Tentang Pedoman Pengendaliaan Penyakit PPOK. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Mills, J. & Luce, J. M. (2008). Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Rahajoe, N. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2006)

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan

Page 41: Step 7 Sken 2 Dewandaru

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sundaru, H.S. (2006). Asma Bronkial. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia