step 7 sken 2 dewandaru
DESCRIPTION
fkTRANSCRIPT
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
7.1. All About PPOK
a. Definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,
dimana hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya
(GOLD, 2006; Kepmenkes No. 1022, 2008). Bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis,
sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi (Kepmenkes No. 1022, 2008;
PDPI, 2010).
b. Etiologi
Menurut GOLD (2006) faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK
adalah :
Kebiasaan merokok
Polusi udara
Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
Riwayat infeksi saluran nafas
Bersifat genetik yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi
untuk berkembangnya PPOK dini.
c. Patogenesis
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan
inflamasi pada saluran nafas dan paru. Respon inflamasi abnormal ini
menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema dan
menganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran nafas
kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan
aliran udara yang bersifat progresif.
Inflamasi saluran nafas pada pasien PPOK merupkan amplikasi dari
respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplikasi ini belum diketahui, kemungkinan disebabkan karena faktor genetik.
Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat meokok, penyebab respon
inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stress
oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologis PPOK seperti pada Figure 4.2 (Gold, 2006).
d. Patofisiologi
Menurut GOLD (2006) patofisiologi PPOK adalah :
1) Keterbatasan aliran udara dan air trappingPeradangan, fibrosis dan luminal eksudat di saluran pernapasan kecil berkorelasi dengan pengurangan di FEP1 dan rasio FEP1/FVC dan kemungkinan dipercepat oleh penurunan FEP1 yang merupakan karakteristik PPOK. Udara semakin terperangkap pada saluran pernapasan perifer yang menyebabkan obstruksi selama ekspresi. Meskipun emfisema berhubungan dengan pertukaran gas yang abnormal dibandingkan dengan FEP1 yang berkurang, hal ini berkontribusi pada udara yang terperangkap pada saat ekspresi. Selanjutnya akan menyebabkan alveolar menjadi rusak ketika penyakit menjadi semakin parah. Hiperinflasi menurunkan kapasitas inspirasi yang meningkatkan kapasitas residu fungsional, khususnya selama hiperinflasi dinamis yang menyebabkan dispnea. Hiperinflasi lebih awal pada penyakit diketahui sebagai mekanisme utama penyebab dispnea (GOLD, 2006)
2) Kelainan pertukaran gasPertukaran gas yang tidak normal menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara umum pertukaran gas (O2 dan CO2) menjadi memburuk ketika penyakit berlangsung. Emfisema yang berat berhubungan dengan ketidakseimbangan O2 arteri dan tanda perfusi ventilasi lainnya (VA/Q). Obstruksi pada jalan nafas perifer juga menyebabkan ketidakseimbangan VA/Q, diperkuat dengan gangguan fungsi pada otot-otot pernapasan akan menurunkan ventilasi dan menyebabkan retensi CO2. Kelainan pada ventilasi alveolar dan penurunan sirkulasi pada pembuluh darah paru semakin memperburuk VA/Q (GOLD, 2006)
3) Hipersekresi mukusHipersekresi lendir ditemukan pada batuk kronis produktif yang merupakan karakteristik dari bronkitis kronis dan tidak terkait dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya tidak semua pasien PPOK mempunyai gejala hipersekresi
mukus, hal ini karena metaplasia mukosa meningkatkan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa sebagai respon dari iritasi saluran napas oleh asap rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus dan mengaktifkan Epidermal Growth Factor Receptor (GOLD, 2006)
e. Manifestasi klinis
Menurut GOLD (2006) Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) adalah :
Batuk kronik
Sputum (dahak) putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
Sesak napas, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas
f. Faktor Risiko PPOK
Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah hal-hal yang
berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada
seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi: (1) Faktor
pejamu (host); (2). Faktor perilaku (kebiasaan) merokok; dan (3) Faktor
lingkungan (polusi udara) (Kepmenkes No. 1022, 2008).
1) Faktor pejamu (host)
Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsif jalan napas dan
pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru
dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.
Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan dengan penurunan faal
paru dan meningkatkan gangguan pernapasan saat dewasa.
2) Perilaku (Kebiasaan) Merokok
Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalens
tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK,
hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik. Perokok pasif dan
merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
Diagram 1. Efek kesehatan perokok pasifSumber : Mackay & Eriksen (2002)
3) Faktor Lingkungan (Polusi Udara)
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,
asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan
lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas
buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus,
dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan
gas beracun).
g. Penegakan Diagnosis
Menurut Kepmenkes No. 1022 (2008) dalam mendiagnosis PPOK dimulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks,
spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan
pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat
(PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat)
Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila :
1) Anamnesis :
a. Ada faktor risiko
Usia (pertengahan)
Riwayat pajanan
Asap rokok
Polusi udara
Polusi tempat kerja
b. Gejala, Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik, Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan
yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan
Berdahak kronik, Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk
Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan
dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak (Tabel 1).
2) Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas
terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi
alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali
terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara
umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
Inspeksi
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )
Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup )
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Pelebaran sela iga
Perkusi
Hipersonor
Auskultasi
Fremitus melemah,
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
Ronki
3) Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain
Radiologi (foto toraks), meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan
radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis
ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya
atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
Spirometri
Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah
terjadi hipoksia kronik)
Analisa gas darah
Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi)
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik
dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan
adanya asmabronkial bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru, dan sindrome
obtruktif pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilakasanakan
di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakkan
diagnosis danpenentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dilaksanakan di rumah sakit/fasilitas
kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.
h. Klasifikasi (Derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (2003) sebagai berikut:
(1) PPOK Ringan
Gejala klinis:
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
VEP1 ≥80% prediksi ( normal spirometri ) atau
VEP1/KVP<70%
(2) PPOK Sedang
Gejala klinis:
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas : derajat sesak 2 ( sesak timbul pada saat aktivitas ).
Spirometri:
VEP1/KVP <70% atau
50%< VEP1 <80% prediksi.
(3) PPOK Berat
Gejala klinis:
Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
Eksaserbasi lebih sering terjadi
Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
VEP1/KVP <70%,
VEP1 <30% prediksi atau
VEP1 > 30 % dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa
gas darah, dengan kriteria :
Hipoksemia dengan normokapnia, atau
Hipoksemia dengan hiperkapnia
i. Diagnosis Banding PPOK
Menurut Kepmenkes No. 1022 (2008) PPOK lebih mudah dibedakan
dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun seringkali sulit
dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis
PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2 di
bawah ini.
j. Komplikasi PPOK
Menurut PDPI (2003) komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1) Gagal napas
Gagal napas kronik, Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 >
60 mmHg, dan pH normal
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai sesak napas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam dan kesadaran
menurun
2) Infeksi berulang, pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limposit darah.
3) Kor pulmonal, ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan
k. Tatalaksana PPOK
Menurut Kepmenkes No. 1022 (2008) tatalaksana PPOK dibedakan atas
tatalaksana kronik dan tatalaksana eksaserbasi, masing masing sesuai dengan
klasifikasi (derajat) beratnya. Adapun secara umum tata laksana PPOK adalah
sebagai berikut:
a. Pemberian obat obatan
1) Bronkodilator, dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik
2) Anti inflamasi, pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison.
Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid
positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik
3) Antibiotik, tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat.
4) Mukolitik, Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simptomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental.
5) Antitusif, diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
Adapun pengobatan secara lebih rinci dijelaskan oleh PDPI (2003) yaitu
sebagai berikut :
1) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik, Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
(maksimal 4 kali perhari).
Golongan agonis beta – 2, Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk
tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2, Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
Golongan xantin, Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.
Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.
2) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
3) Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih :
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi
4) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
5) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
6) Antitusif
Diberikan dengan hati hati, yaitu seperti pada Tabel berikut :
b. Pengobatan penunjang
1) Rehabilitasi, yang terdiri dari :
Edukasi
Berhenti merokok
Latihan fisik dan respirasi
Nutrisi
2) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat
menyebabkanhiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualiti hidup
3) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat
4) Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju)
5) Vaksinasi influensa
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinas influensa
diberikan pada : (1) Usia diatas 60 tahun; (2) PPOK sedang dan berat
7.2. All About Bronchitis kronis
a. Definisi
Secara klinis, Bronkitis kronis merupakan penyakit saluran pernapasan
yang ditandai dengan batuk berdahak sedikitnya 3 bulan dalam setahun selama 2
tahun berturut-turut. Berdasarkan waktu berlangsungnya penyakit, Bronkitis akut
berlangsung kurang dari 6 mingu dengan rata-rata 10-14 hari, sedangkan
Bronkitis kronis berlangsung lebih dari 6 minggu. Secara umum keluhan pada
Bronkitis kronis dan Bronkitis akut hampir sama. Hanya saja keluhan pada
Bronkitis kronis cenderung lebih berat dan lebih lama. Hal ini dikarenakan pada
Bronkitis kronis terjadi penebalan (hipertrofi) otot-otot polos dan kelenjar serta
berbagai perubahan pada saluran pernapasa (Fayyaz, 2009)
b. Epidemiologi
Di Indonesia, belum ada angka kesakitan Bronkitis kronis, kecuali di RS
sentra-sentra pendidikan. Sebagai perbandingan, di AS (National Center for
Health Statistics) diperkirakan sekitar 4% dari populasi didiagnosa sebagai
Bronkitis kronis. Angka inipun diduga masih di bawah angka kesakitan yang
sebenarnya (underestimate) dikarenakan tidak terdiagnosanya Bronkitis kronis.
Di sisi lain dapat terjadi pula overdiagnosis Bronkitis kronis pada pasien-pasien
dengan batuk non spesifik yang self-limited (sembuh sendiri). Bronkitis kronis
dapat dialami oleh semua ras tanpa ada perbedaan. Frekuensi angka kesakitan
Bronkitis kronis lebih kerap terjadi pada pria dibanding wanita. Hanya saja hingga
kini belum ada angka perbandingan yang pasti. Usia penderita Bronkitis kronis
lebih sering dijumpai di atas 50 tahun.
c. Etiologi
Polusi udara
Radang akut saluran pernapasan yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan
karena pengobatan infeksi saluran pernapasan yang tidak sempurna.
Radang kronis saluran pernapasan
Gangguan sistem imunitas paru. Biasanya disebabkan karena defisiensi Ig A,
defisiensi C3 dan C4 yang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan
makrofag, dan immotile silia.
Sekret mukus yang berlebihan, contohnya pada penderita mukovisidosis.
d. Patofisiologi
Pada saat terjadi penyempitan intrinsik saluran pernapasan kecil dan
mundurnya elastisitas paru. Maka pada saat itu juga alveolus mengalami distensi
dan konglomerisasi. Jaringan inter-alveolar, yang merupakan sebagian dari
jaringan intersisial paru, pada hakekatnya penuh dengan serat-serat elastis dan
kolagen. Deengan semakin hilangnya jaringan ini, serat-serat elastis turut
menghilang. Dengan demikian jaringan paru secara perlahan-lahan semakin
kehilangan elastisitasnya sehingga ekspirasi akan semakin dangkal, dengan kata
lain air trapping akan semakin progressive.
Dahak yang berlebihan juga akan memudahkan terjadinya infeksi
sekunder. Dengan demikian, akan semakin sering terjadi infeksi sekunder serta
semakin banyak fibrin yang terbentuk, maka elastisitas paru akan semakin
menurun dengan segala konsekuensinya. Setiap kali terjadi infeksi sekunder, akan
timbul juga edema mukosa sehingga lumen saluran pernapasan akan menjadi
semakn sempit.
Bila sel-sel goblet dan kelenjar mukus submukosa terus menerus bekerja
keras,lama kelamaan akan terjadi hipertrofi dan hiperplasi sehingga memerlukan
penambahan suplai darah. Ini semua akhirnya akan menyebabkan mukosa akan
menjadi semakin tebal. Dengan demikian, lumen saluran napas akan menjadi
semakin kecil (Tieney, 2002).
e. Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis kronis adalah sebagai berikut:
Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang banyak. Dahak
makin banyak dan berwarna kekuningan (purulen) pada serangan akut
(eksaserbasi). Kadang dapat dijumpai batuk darah.
Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas.
Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
Pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara krok-krok
terutama saat inspirasi (menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak
di saluran napas
f. Tatalaksana
Menurut PDT Ilmu Penyakit Paru (2005) penatalaksanaan bronkitis kronis
dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah timbulnya penyulit, yaitu
meliputi :
Edukasi, yakni memberikan pemahaman kepada penderita untuk mengenali
gejala dan faktor-faktor pencetus kekambuhan Bronkitis kronis.
Sedapat mungkin menghindari paparan faktor-faktor pencetus.
Rehabilitasi medik untuk mengoptimalkan fungsi pernapasan dan mencegah
kekambuhan, diantaranya dengan olah raga sesyuai usia dan kemampuan,
istirahat dalam jumlah yang cukup, makan makanan bergizi.
Oksigenasi (terapi oksigen)
Obat-obat bronkodilator dan mukolitik agar dahak mudah dikeluarkan.
Antibiotika, digunakan manakala penderita Bronkitis kronis mengalami
eksaserbasi oleh infeksi kuman (H. influenzae, S. pneumoniae, M.
catarrhalis). Pemilihan jenis antibiotika (pilihan pertama, kedua dan
seterusnya) dilakukan oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan.
7.3. All About Emfisema Paru
a. Definisi
Menurut The American Thorack Society Emfisema adalah suatu
perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding
alveolus. Empisema disebut juga dalam penyakit paru obstruktif kronis (paru
mengacu pada paru-paru), karena kerusakan jaringan paru sekitar kantung kecil
yang disebut alveoli, membuat udara kantung ini tidak dapat menahan bentuk
fungsional mereka pada pernafasan. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen
yang diperlukan. Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus.
Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru.
Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan
orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-
paru terperangkap didalamnya.
b. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
1) Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan
nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus. merokok merupakan penyebab utama
emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat
predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha1 yang merupakan suatu enzim
inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan
paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan
(merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan
mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.
2) Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
3) Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit
infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale,
dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emfisema.
4) Genetik
Defisiensi Alfa-1 antitripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin
dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.
5) Obstruksi SaluranNapas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga
terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu
inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah
benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di
mediastinum, kongenital. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan
oleh defek tulang rawan bronkus.( Mills,John& Luce,John M , 2008 )
c. Patofisiologi
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan
alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau
terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan
dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruks sebagian yang mengenai suatu
bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi
lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena
adalah belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup
penghentian. Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di
dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian
diri yang berlebihan.
Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari
luar akibat pembuluh darah yang menyimpang. Mekanisme katup penghentian:
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian
yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari
dalam alveolus menjadi lebih penimbunan udara di alveolus menjadi
bertambah®sukar dari pemasukannya di sebelah distal dari paru.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan
elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan
antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan
intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan
paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian
besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel
ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh
oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi
dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia.
Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel
epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.
Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di
saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta
pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan
pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi
saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang
permanen disertai kerusakan dinding alveoli.
d. Manifestasi Klinik
Batuk
Sputum putih, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen
Sesak sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan
Nafas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, membungkuk
Bibir tampak kebiruan
Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
Batuk menahun
f. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko emfisema meliputi :
Merokok, Emfisema paling mungkin berkembang pada perokok, dimana
risiko meningkat sesuai dengan jumlah usia dan jumlah tembakau yang
dihisap
Usia, Meskipun kerusakan paru-paru pada emfisema terjadi secara bertahap,
sebagian besar orang yang terkena emfisema akibat tembakau mulai
mengalami gejala pada usia antara 40 dan 60.
Paparan terhadap asap rokok. Perokok pasif adalah orang yang tidak sengaja
menghisap asap dari rokok orang lain. Menjadi perokok pasif dapat
meningkatkan risiko emfisema.
Pekerjaan yang menimbulkan paparan terhadap debu atau asap.
Paparan polusi dalam/luar ruangan.
e. Komplikasi
Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
Daya tahan tubuh kurang sempurna
Tingkat kerusakan paru semakin parah
Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
Atelaktasis
Pneumothoraks
Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien
g. Penegakan Diagnosis
1) Anamnesa
Riwayat menghirup rokok.
Riwayat terpajan zat kimia.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi
saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk
dalam beberapa tahun
Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak
terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya
2) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).
Dada berbentuk barrel-chest.
Sela iga melebar.
Sternum menonjol.
Retraksi intercostal saat inspirasi.
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Palpasi :
Vokal fremitus melemah.
Perkusi :
hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah.
Auskultasi :
Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
Terdapat ronki samar-samar.
Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.
Ekspirasi memanjang.
Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan
terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III
3) Pemeriksan Penunjang
Faal Paru
Spinometri (VEP, KVP), Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV
menurun, KRF dan VR meningkat. VEP, merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.
Uji bronkodilator, setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1
Darah Rutin
Meliputi Hb, Ht, Leukosit
Gambaran Radiologis
Pada emfisema terlihat gambaran : (1) Diafragma letak rendah dan datar; (2)
Ruang retrosternal melebar, (3) Gambaran vaskuler berkurang; (4) Jantung
tampak sempit memanjang; (5) Pembuluh darah perifer mengecil.
Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli
Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
Pemeriksaan Enzimatik
Kadar alfa-1-antitripsin rendah.
f. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk
memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan
nafas untuk menghilangkan hipoksia.
1) Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jaln nafas karena preparat ini melawan baik edema
mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi
obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.medikasi ini
mencakup agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin
(teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme
yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena,
per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol
bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis
terukur, atau IPPB.
2) Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari
bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme,
menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini
memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses
inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.
3) Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati
pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan
Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi
tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin,
atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen
antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan
dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang
sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada
dosis yang terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal
dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus
peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan
katarak.
5) Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah
untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat
oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.
g. Pencegahan
Penatalaksanaan utama pada pasien dengan emfisema adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan
mengobati obstruksi saluran napas yang berguna untuk mengatasi hipoksia.
Pendekatan terapi mencakup :
Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas
Mencegah dan mengobati infeksi
Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru-paru
Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernapasan
Dukungan psikologis
Pendidikan kesehatan pasien dan rehabilitasi
h. Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan
gejala klinis waktu berobat. Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan
Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal.
7.4. Al About Asma
a. Definisi
Asma adalah inflamasi tractus respiratorius kronik dengan serangan berulang
karena kontraksi spasmodic bronkus.
b. Etiologi
Yang dapat menyebabkan asma adalah:
Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma dapat mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernapasan (bronkokonstriksi). Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang
diakibatkan oleh pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu
pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Umumnya pemicu
mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus seharihari, seperti
perubahan cuaca dan suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran
pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan.
Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung
lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah
allergen, yang tampil dalam bentuk ingestan yaitu alergen yang masuk tubuh
melalui mulut, inhalan yaitu alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung
atau mulut, dan alergen yang didapat melalui kontak dengan kulit.
c. Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
Atopi/alergi, Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus.
Hipereaktivitas bronkus, Saluran napas sensitif terhadap berbagai
rangsangan alergen maupun iritan.
Jenis kelamin, Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia
14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding
anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
Ras/etnik
Obesitas, Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan
faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi
fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita
obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas
dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
Alergen makanan, contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna
makanan.
Alergen obat-obatan tertentu, contoh: penisilin, sefalosporin, golongan
beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain
lain.
Bahan yang mengiritasi, contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
Ekspresi emosi berlebih, stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang
sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum
diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah
kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
Exercise-induced asthma, Pada penderita yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang
berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan
asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas
tersebut.
Perubahan cuaca, Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga
(serbuk sari beterbangan).
Status ekonomi
d. Manifestasi Klinis
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
e. Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat (GINA, 2005).
KLASIFIKASI TINGKAT KEPARAHAN ASMA
KATEGORI GEJALA/HARI GEJAL
A/MA
LAM
FUNGSI
PARU
PEF atau
PEV1
Variabel
PEF
Step 1 ≤ 2X dalam seminggu ≤ 2X ≥ 80%
Intermitten Nilai PEF normal dalam kondisi serangan
asma. Exacerbasi:
Bisa berjalan ketika bernapas, bisa
mengucapkan kalimat penuh. Respiratory
Rate (RR) meningkat. Biasanya tidak ada
gejala retraksi iga ketika bernapas.
dalam
sebulan
< 20%
Step 2
Mild
intermitten
≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari.
Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exaserbasi:
Membaik ketika duduk, bisa mengucapkan
kalimat frase, RR meningkat, kadangkadang
menggunakan retraksi iga ketika bernapas
≥ 2X
dalam
sebulan
≥ 80%
20% –
30%
Step 3
Moderate
persistent
Setiap hari
Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exaserbasi:
Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat
mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit,
Biasanya menggunakan retraksi iga ketika
bernapas,.
≥ 1X
dalam
seming
gu
60% -
80%
> 30%
Step 4
Severe
persistent
Sering
Aktivitas fisik terbatas.
Eksacerbasi:
Abnormal pergerakan thoracoabdominal.
Sering ≤ 60%
> 30%
f. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting
untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor
seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam
hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan
sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara
asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat
ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.
Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma
yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.
g. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru
normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan
menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk
membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang
kontrol.
Penegakan diagnosis asma adalah:
Anamnesis
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat sosial
Riwayat eksaserbasi
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Durasi ekspirasi memanjang
napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di
leher, perut dan dada.
Auskultasi
Bunyi wheezing atau mengi positif
Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan spirometri
Alat pengukur fungsi paru dengan mengukur volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver
ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung
kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas
diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
2) Peak Flow Meter/PFM.
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan
dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3) X-ray dada/thorax.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4) Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus.
Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan
darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil
uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5) Pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil
dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma.
Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi,
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6) Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet
ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi
pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang
terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari
2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi
nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
h. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol
manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006)
menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol.
Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat
dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
1) Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai
cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah
melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang
minimal ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui
inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler
(DPI), breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol
(controllers) dan pelega (reliever).
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma
persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol.
Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri
dari:
Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
Leukotriene modifiers
Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)
Metilsantin (teofilin)
Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja
obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat
ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas
jalan napas.
Pelega terdiri dari:
Agonis β-2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik
Antikolinergik (Ipratropium bromide)
Metilsantin
2) Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi
menjadi :
Asma Intermiten
Umumnya tidak diperlukan pengontrol
Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan.
Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja
singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
Asma Persisten Ringan
Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan : (1) Glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja
lama inhalasi, yaitu Budenoside : 200–400 μg/hari dan Fluticasone propionate
100–250 μg/hari; (2) Teofilin lepas lambat; (3) Kromolin; (4) Leukotriene
modifiers
Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila
perlu
Asma Persisten Sedang
Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan :
- Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2
kerja lama inhalasi
- Budenoside: 400–800 μg/hari
- Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
- Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas
lambat
- Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2
kerja lama oral
- Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
- Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene
modifiers
Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
- Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau
- Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
- Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
- Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi
Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau
kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan
mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai
nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat
seminimal mungkin. Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat
mengontrol asma, dengan pilihan :
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis
β-2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi
Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar
efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena
iritasi saluran napas atas
Gambar 2.5 Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma.Sumber : GINA (2009)
7.5. All About Asma Bronkial
a. Definisi
Asma adalah obstruksi saluran napas yang reversibel, inflamasi saluran napas,
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan
(hiperaktivitas).obstruksi saluran napas memberikan gejala seperti batuk, mengi,
dan sesak napas. Derajat obstruksi dipengaruhi oleh diameter lumen saluran napas,
edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos
bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respon terhadap berbagai
rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.
b. Faktor Prevalensi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain :
1) Jenis kelamin
Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak
perempuan 1,5:1 menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih sama dan
pada menopouse perempuan lebih banyak dari laki-laki.
2) Usia
Umumnya pertama kali timbul pada usia muda, 25% dengan asma persisten
mendapat serangan mengi pada usia < 6 bulan, 75% mendapat serangan mengi
pertama sebelum usia 3 tahun.
3) Riwayat atopi
Adanya atopi akan meningkatkan risiko asma persisten dan beratnya asma akan
jika anak pernah mengalami rinitis alergi, eksema, riwayat asma dan mengi maka
akan terjadi serangan dua kali lipat lebih banyak.eksema persisten berhubungan
dengan gejala asma persisten, menurut buffum dan settipane anak dengan eksema
dan uji kulit positif menderita asma berat.anak dengan mengi persisten dalam
kurun waktu 6 tahun pertama mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak
yang tidak pernah mengalami pada usia 9 bulan.
4) Lingkungan
Adanya alergen dilingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit asma.
Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain , serpihan kulit,
binatang peliharaan, tungau, debu rumah, dan jamur.
5) Ras
Ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
6) Infeksi respiratorik
Infeksi respiratory syncytial virus (RSV) diusia dini yang mengakibatkan infeksi
saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan faktor resiko untuk
terjadinnya mengi diusia 6 tahun
c. Patogenesis
Dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang
berlebihan. Asma sebagai penyakit inflamasi ditandai dengan kalor (panas), rubor
(kemerahan), tumor (edema), dolor (rasa sakit), functio laesa, infiltrasi sel
radang.m Semua ini dijumpai pada asma. Mediator inflamasi akan mempengaruhi
organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,
edema sal.napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus, sehingga menimbulkan
hiperaktivitas sal.napas.( HSN )Hiperaktivitas saluran napas Sifat saluran napas
pasien asma sangat peka trhdp berbagai rangsangan seperti iritan (debu),zat kimia
dan kegiatan jasmani
Konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Kerusakan bervariasi,
perubahan struktur akan meningkatkan penetrasi alergen, iritasi ujung saraf
autonom sering mudah terangsang, bronkostriksi lebih mudah terjadi.
Mekanisme neurologi, terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis,
gangguan intrinsik otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran
napas.
d. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pd asma merupakan kombinasi :
Spasme otot bronkus
Sumbatan mukus
Edema
Inflamasi dinding bronkus
Bertambah berat saat ekspirasi (fisiologis), adanya mengi (penyempitan saluran
napas besar), dimana penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan
hal-hal sebagai berikut :
Gangguan ventilasi
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak
setara dengan sirkulasi darah paru
Gangguan difusi gas ditingkat alveoli
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnia, serta
asidosis respiratorik pada tahap lanjut.
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang muncul adalah batuk, mengi dan sesak napas. Pada awal
serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada , dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek/bersin. Pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tapi pada
perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid,
putih, atau purulen. Sebagian kecil pasien batuk tanpa mengi disebut “cough
variant asthma “.
f. Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan fisik
Batuk malam hari tapi ada pula yang sembarang waktu, ekspirasi memanjang,
mengi, hiperventilasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis.
Pemeriksaan penunjang
1) Spirometri
Cara yang paling tepat untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respons
pengobatan dengan bronkodilator ,diperlukan kombinasi obat gol. Adrenergik
beta,teofilin dan bahan kortikosteroid.untuk jangka waktu pengobatan 2-3
minggu, dengan demikian spirometri jg penting untuk menilai beratnya obstruksi
dan efek pengobatan.Peningkatan VEP 1 sebanyak > 200 ml menunjukkan
diagnosis asma.
2) Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma.
3) Uji kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi igE spesifik dalam tubuh
4) Foto rontgen dada
Untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya
kecurigaan terhadap proses patologis diparu atau komplikasi asma.
g. Pengobatan
1) Mencegah ikatan alergen igE
Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin
ditingkatkan, diharapkan tubuh akan membentuk igG (blocking antibody) yang
akan mencegah ikatan alergen dengan igE pd sel mast.
2) Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator
Agonis beta 2 (salbutamol,ter-butalin,fenoterol,prokaterol) merupakan
obat-obatan terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan
secara inhalasi melalui MDI (metered dosed inhaler) atau nebulizer.
Epinefrin, diberikan sub-kutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada
serangan asma berat.
Aminofilin, dipakai sewaktu serangan asma akut.
Kortikosteroid sistemik, (tidak termasuk obat gololongan bronkodilator)
tetapi secara tidak langsung dapat melebarkan saluran napas.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, D.C. & Hackley, J.C. .(2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2006). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease. Portland, Oregon USA : MCR VISION Inc.
Kepmenkes No. 1022. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1022/Menkes/SK/XI/2008. Tentang Pedoman Pengendaliaan Penyakit PPOK. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Mills, J. & Luce, J. M. (2008). Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Rahajoe, N. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2006)
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sundaru, H.S. (2006). Asma Bronkial. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia