step 7 sken 2 dewandaru oke

28
BAB VII BERBAGI INFORMASI 1. ALL ABOUT GASTRITIS a. Definisi Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan sub mukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain (Hirlan, 2015). Adapun menurut Smeltzer, Bare, Brunner & Sudarth (2001) serta Kumar, Abbas, Fausto & Aster (2014) gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi. b. Klasifikasi 1) Monotropik : setempat/seluruh 2) Atropik : mengecil/menipis 3) Bentuk khusus 4) Gastropati : histopatologi tidak menggambarkan radang, hanya bintik-bintik merah Menurut Hirlan (2015) didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi : (1) akut; dan

Upload: dewandaru-i-a-b

Post on 10-Apr-2016

37 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

fk

TRANSCRIPT

Page 1: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

BAB VII

BERBAGI INFORMASI

1. ALL ABOUT GASTRITIS

a. Definisi

Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan sub mukosa lambung,

yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau

bahan iritan lain (Hirlan, 2015). Adapun menurut Smeltzer, Bare, Brunner &

Sudarth (2001) serta Kumar, Abbas, Fausto & Aster (2014) gastritis adalah suatu

peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh ketidakteraturan diet,

misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu

berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks

empedu atau terapi radiasi.

b. Klasifikasi

1) Monotropik : setempat/seluruh

2) Atropik : mengecil/menipis

3) Bentuk khusus

4) Gastropati : histopatologi tidak menggambarkan radang, hanya bintik-bintik

merah

Menurut Hirlan (2015) didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat

dibagi menjadi : (1) akut; dan (2) kronik. Walaupun demikian, keduanya tidak

saling berhubungan, mengingat gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan dari

gastritis akut. Smeltzer et al. (2001) menyatakan bahwa gastritis kronis adalah

suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang berkepanjangan yang

disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau oleh bakteri

Helicobacter pylori. Gastritis kronis dibagi dalam tipe A dan B. Gastritis tipe A

mampu menghasilkan imun sendiri, tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar

lambung dan penurunan mucosa. Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi

produksi antibodi. Anemia Pernisiosa berkembang dengan proses ini. Sedangkan

Gastritis tipe B lebih lazim, tipe ini dikaitkan dengan infeksi bakteri Helicobacter

pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.

Page 2: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

c. Etiologi

Menurut Hirlan (2015) penyebab gastritis adalah :

Infeksikuman Helicobacter pylori (HP)

Autoimun

Virus : enteric rotavirus &calicirus

Jamur : Candida sp

OAINS

Alkohol

Adapun menurutMansjoer (2001) penyebab gastritis adalah :

1) Gastritis Akut

Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan obat anti inflamasi non steroid

dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung.

Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan

membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun

pada kondisi normal.

Gangguan mikro sirkulasi mukosa lambung : trauma, lukabakar

Stress, fisik akibat pembedahan besar, luka trauma luka bakar atau infeksi

berat dapat menyebabkan gastritis dan perdarahan pada lambung.

2. Gastritis Kronik

Pada gastritis kronik penyebab tidak jelas, tetapi berhubungan dengan

Helicobacter pylori, apalagi ditemukan ulkus pada pemeriksaan penunjang.

c. Patofisiologi

Menurut Priyanto (2008) proses terjadinya gastritis yaitu awalanya

karena obat-obatan, alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas dapat merusak

mukosa lambung (gastritis erosi), mengganggu pertahanan mukosa lambung dan

meningkatkan difusi kembali asam dan pepsin kedalam jaringan lambung. Hal ini

menimbulkan peradangan respon mukosa lambung terhadap kebanyakan

penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-

gangguan tersebut sering kali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang

terus-menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan.

Page 3: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif dapat

mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung (gastritiskorosif).

Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat

berikutnya perdarahan dan peritonitis.

d. Manifestasi klinis

Menurut Hirlan (2015) manifestasi klinis gastritis adalah :

Nyeri epigastrium

Mual, muntah

Membaik setelah makan

Kriteria roma 3

Adapun menurut Mansjoer (2001) tanda dan gejala gastritis adalah :

1) Gastritis akut

Nyeri epigasthum, hal ini terjadi karena adanya peradangan pada mukosa

lambung.

Mual, kembung. muntah merupakansalahsatukeluhan yang sering muncul.

Hal ini dikarenakan adanya regenerasi mukosa lambung sehingga terjadi

peningkatan asamlambung yang mengakibatkan mual hingga muntah

Ditemukan pula perdarahan saluran cena berupa hematemesis dan melena,

kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan.

2) Gastritis kronis

Pada pasien gastritis kronis umumnya tidak mempunyai keluhan. Hanya

sebagian kecil mengeluh nyeri uluhati, anoreksia, nausea dan pada

pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.

e) Penegakan diagnosis

1) Ax

2) Pf

3) PP : a. Endoskopi

- Inflamasi : - eritema

- eksudatif

- pendarahan

Page 4: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

- ederna

- Histopatologi : - degredasiepital

- atropi

- hypulasiafoueolar

- folmel lymphoid

- kerusakan parictal cell

f. Tatalaksana

Menurut Doengoes (2006) dan Hirlan (2015) tatalaksana gastritis dapat

dilakukan dengan :

1) Non medikamentosa

Edukasi

Makan dengan porsi kecil, tapi lebih sering. Langkah ini berguna untuk

menurunkan penumpukan asam lambung

Menurunkan penggunaan OAINS

Managemen stress

Membatasi konsumsi minuman keras. Kandungan alkoholnya dapat

menyebabkan iritasi pada bagian lambung yang mengalami peradangan.

Berhenti merokok. Rokok dapat menghambat penyembuhan sekaligus

meningkatkan risiko tukak lambung.

Mengurangi konsumsi teh dan kopi karena keduanya dapat meningkatkan

kadar asam lambung.

Mengonsumsi produk berbahan dasar susu, seperti keju. Para pakar

menduga bahwa susu dapat melindungi lambung dan menetralisasi dampak

asam lambung.

Menghindari konsumsi makanan pedas atau berlemak.

Miliki berat badan yang sehat dan ideal.

2) Medikamentosa

Melakukan eradikasi

- Indikasi : infeksikuman HP yang ada hubungan dengan tukak peptikum

dan low grade B cell lymphoma

- Tujuan : menekan atrofi dan metaplasia

Page 5: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

- Regimen untuk eradikasi infeksi

Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4

PPI dosis ganda Klaritromisina(2 x 500 mg)

Amoksilin(2 x 100 mg)

PPI dosis ganda Klaritromisina(2 x 500 mg)

Metronidazol(2 x 500 mg)

PPI dosis ganda Tetrasiklin(4 x 500 mg)

Metronidazol(2 x 500 mg)

Sub salisilat/sub sitrat

Sumber : Hirlan (2015)

Antibiotik. Tukak lambung yang disebabkan oleh bakteri H. pylori akan

ditangani dengan kombinasi dari beberapa antibiotik. 

Amoxicillin, metronidazole dan clarithromycina adalah contoh antibiotik

yang biasanya diresepkan oleh dokter.

Penghambat pompa proton. Jika Anda mengidap tukak lambung yang

disebabkan oleh obat anti inflamasi non-steroid, dokter akan menyarankan

penggunaan penghambat pompa proton. Obat ini akan mengurangi kadar

asam lambung dengan menghalangi kinerja sel-sel yang memproduksi

asam lambung. Lansoprazole adalah jenis penghambat pompa proton yang

sering digunakan.

Obat penghambat reseptor H2. Fungsi obat ini sama dengan penghambat

pompa proton, yaitu menurunkan kadar asam lambung.

Antasida dan alginat. Antasida akan menetralisasi asam lambung untuk

waktu singkat, sedangkan alginat akan melindungi dinding lambung.

Karena itu, kedua obat ini diberikan untuk mengurangi rasa nyeri secara

cepat sebelum obat-obatan lainnya mulai bekerja. Tetapi jika Anda

menggunakan penghambat pompa proton atau ranitidin, Anda sebaiknya

menunggu 1-2 jam sebelum mengonsumsi antasida dan alginat. Buah

pisang juga dapat dikonsumsi sebagai alternatif jika Anda enggan

menggunakan kedua obat ini.

g. Prognosis

Gastritis akut umumnya sembuh dalam waktu beberapa hari.

Insidensi ulkus lambung dan kanker lambung meningkat pada gastritis kronis

tipe A.

Page 6: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

Gastritis dapat menimbulkan komplikasi pedarahan saluran cerna dan gejala

klinis yang berulang.

2. ALL ABOUT ULKUS GASTER

a. Definisi

Ulkus gaster adalah suatu gambaran bulat/semibulat/oval ukuran> 5 mm ke

dalam submukosa pada mukosa lambung akibat terputusnya kontinuitas/integritas

mukosa lambung (Tarigan, 2015).

b. Klasifikasi

1) Erosi : di epital

2) Ulkusakut : di mukosa - submukosa

3) Ulkuskronis : di mukosa– muscularisextopa + jaringanparut

(Price & Wilson, 2014)

c. Etiologi

- Bakteri H. pylori 90%

- Stress

- Genetik

- OAINS menghambat Cox2 menurunnya PG

- Alkohol

- Empedu

- Penyakit : 1) SindromZollinger – Ellison tumor pancreas non insula

2) SirosisHati

3) Panereatitiskronis sekresigasteria

(Price & Wilson, 2014)

d. Patogenesis – Patofisiologi

Page 7: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

Gambar 1. Patofisiologi ulkus gaster (Price & Wilson, 2014)

e. Manifestasi klinis

- Nyeri Hg porondriaca - BAB menurun

- Mual muntah - Anoreksia

- Kembung - Pendarahan

- Nyeri setelah makan (pain – food – pain) - Nyeri teriris, terbakar, dan

rasa tidak enak

- Dispepsia

(Tarigan, 2015)

f. Penegakan Diagnosis

Page 8: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

1) Ax

2) Fx : - Inspetasi : -

- Auskultasi : Jika peritonetis peristaltis (-)

- Pakusi : Timpani – redup + nyeri

- Palpasi : Nyeri tekan perut kiri ulkusgaster

Nyeri tekan perut kanan ulkus duodenum

3) PP : a) Radiologi : barium kontras

b) Endoskopi

(Tarigan, 2015 ; Price & Wilson, 2014)

g. Faktor resiko

- Laki-laki > wanita

- Umur

- Penggunaan obat nyeri yang reguler

- Status – sosio ekonomi rendah

- Alkohol dan rokok

(Nccoy, 2010)

h. Penatalaksanaan

1) Non medikamentosa

2) Medikamentosa

- Antioksida : menetralkan asam lambung dengan

mempertahankan ph cukup tinggi

pepsin tidak aktif

+

Alumuniumhidroksida

+

Magnesium hidroksida

- Obat anti kulinergik : - menghambat efek n. vagus

- menghambat motilitas dan waktu

pengosongan gaster

- PPI

- Penghambat H2 : mengurangi sekresi asam 70 %

(Simetidia, ranitia, famotidin)

Page 9: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

- Antibiotik

(Price & Wilson, 2014; Tarigan, 2015)

i. Pembedahan

1. Vagotomi : pemotongan cabang n. vagus

2. Antraktomi : pembuangan seluruh antrum lambung

3. Vagotum & Antrektomi

4. Gastrektomiparsial : menghilangkan 50-75% mukola lambung distal

3. ALL ABOUT GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)

a. Definisi

GERD adalah keadaan patologis akibat reflux kandungan gaster kedalam esofagus (Makmun, 2015). Adapun menurut Vakil et al. (2006) GERD didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasinya

b. Etiologi – Patogenesis

Makmun (2015) menyatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang

menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks

esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan

refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan

mukosa esofagus. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi

(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter

(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat

sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya

terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) .

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd

yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya

tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis

terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus

(pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel

esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut

Page 10: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang

meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau

obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying (Makmun, 2015).

Gambar 2. Etiologi-Patofisiologi GERD (Makmun, 2015)

c. Manifestasi klinis

Menurut Jung (2009) dan Makmun (2015) gejala klinis yang khas dari

GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah.

Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang

bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau

regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya

keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik.

Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina

Page 11: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi

karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus.

Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat. Walaupun

gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas

ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non

kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, sendawa,

asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain

Adapun menurut Doengoes (2006) gejala klinis GERD digolongkan

menjadi 3 macam yaitu gejala tipikal, gejala atipikal, dan gejala alarm.

Gejala tipikal (typical symptom), adalah gejala yang umum diderita oleh

pasien GERD yaitu : heartburn, belching (sendawa), dan regurgitasi

(muntah).

Gejala atipikal (atypical symptom), adalah gejala yang terjadi di luar

esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya

separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram

normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma ternyata

mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul sehingga sulit untuk

mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala atipikal: asma non alergi,

batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.

Gejala alarm (alarm symptom),  adalah gejala yang menunjukkan GERD

yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien

yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini

disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm:

sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan, tersedak. Penting untuk diperhatikan

bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan dengan keparahan esofagitis,

tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan penyakit yang nonerosif

dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang secara endoskopi

menunjukkan adanya erosi esophagus.

d. Penegakan Diagnosis

1) Ax

Page 12: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

2) Fx

3) PP : a) Endoskopi sel cerna bagian atas

b) Esofagografi dengan barium

c) Pemantauan PH 24 jam

d) Tes bernstein

e) Tes penghambat pompa proton

(Makmun, 2015)

e. Komplikasi

Menurut Makmun (2015) komplikasi yang dapat terjadi pada GERD adalah

sebagai berikut :

Striktur oesophagus

Bartsoesophagus

Adeno carcinoma cardiac & esophagus

f. Penatalaksanaan

Makmun (2015) menyatakan bahwa penatalaksanaan GERD dapat

dilakukan secara non medikamentosa dan medikamentosa :

1) Non medikamentosa

Meningkatkan posisi kepala saat tidur

Tidak makan sebelum tidur

Berhenti merokok & alkohol

Menurunkan berat badan

Menurunkan obat yang dapat menyebabkan menurunkan LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis β adrenergik, progesteron

Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, papermint, bersoda

Menurunkan konsumsi lemak dan menurunkan makanan yang menyebabkan distensi lambung

2) Medikamentosa

a. Pendekatan step up

Page 13: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

Obat-obat tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis

H2) atau golongan prokinetik, bila gagal dibuat obat yang lebih kuat + PPI

lebih lama

b. Pendekatan step down

PPI

Setelah berhasil lanjut obat yang lebih rendah

- Antasid 4x1 sendok makan

- Antagonis reseptor H2 simetidin 2 x 300 mg

- PPI omeprazole 2 x 20 mg

- Obat-obat prokinetik 3 x 10 mg metolopamid

- Sukralfat 4 x 1 g

3) Bedah : Fundoplikasi

4) Terapi endoskopi : - penggunaan energi radiopakuasi

- aplikasi gastrik endoluminal

- implantasi endoskopi

4. ALL ABOUT ULKUS DUODENUM

a. Definisi

Ulkus duodenum adalah suatu defek pada mukosa/submukosa lebih yang

dapat menembus tunica muscularis dan serosa pada organ duodenum (Akil, 2015)

b. Manifestasi klinis

Menurut Akil (2015) manifestasi klinis ulkus duodenum adalah :

Nyeri Hypocondriacadevtra

Enak setelah makan sementara

Jika nyeri menjalar ke punggung penetrasi ke pankreas

Jika ke seluruh lapisan perut perforasi

Melena/Hematemesis - Anemia

Rasa cepat kenyang - Muntah persisten

Adapun menurut Sudoyo et al. (2014) gambaran klinis ulkus duodenum

dapat terjadi sebagai berikut :

Dispepsia

Page 14: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

Nyeri seperti terbakar, terjadi saat lapar. Kemuadian sesaat setelah makan, nyeri akan reda sementara, kemudian dalam waktu kurang lebih 3 jam (saat makanan mulai memasuki duodenum) maka akan terjadi nyerikembali. Lain halnya dengan ulkus gaster yang terjadi kurang lebih 30 menit sesudah makan.

Nyeri spesifik pada 75% pasien, timbul di malam hari yang dapat menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya.

Nyeri tiba-tiba, dan jika menjalar ke punggung dicurigai penetrasi tukak ke pankreas.

10% kasus tukak duodenum yang terjadi komplikasi perdarahan atau perforasi dikarenakan konsumsi OAINS.

Tinja seperti ter (melena)

c. Penegakan diagnosis

Akil (2015) menyatakan bahwa penegakkan diagnosis dilakukan dengan

1) Anamnesis

2) Pemeriksaan fisik

3) PP : - Radiologi

- Biopsi

- Endoskopi

d. Diagnosis banding

Menurut Akil (2015) diagnosis banding dari ulkus duodenum adalah :

Dispepsia non ulkus

Ulkus gaster

Penyakit pankrotobilica

Penyakit chorn’s

Tumor sel cerna bagian atas

e. Komplikasi

Akil (2015) menyatkan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada ulkus

duodenum adalah :

Hematemesis/melena

Perforasi

Penetrasi ke pankreas

Gastric outlet obstruction

Page 15: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

Keganasan duodenum

f. Penatalaksanaan

Menurut Akil (2015) penatalaksanaan ulkus duodenum dapat dilakukan

dengan :

1) Non medikamentosa

2) Medikamentosa

a) Untuk H. pylori gastritis

b) H. pylori + OAINS : - eradikasi H. pylori

- OAINS dihentikan

c) OAINS :berikanobat H2 bloker/PPI/suntik sintetik prostaglandin

d) non HP non OAINS

1. Antasida

2. H2 bloker dosis sama

3. PPI

5. Perbedaan Aspirin dan Asetaminofen

Menurut FK UI (2012) perbedaan aspirin dan asetaminofen (parasetamol)

terletak pada efek sampingnya terhadap terjadinya ulkus lambung. Dimana aspirin

mempunyai efek samping yang lebih buruk terhadap kejadian ulkus lambung,

dibandingkan asetaminofen yang lebih aman untuk lambung.

Obat-obat AINS seperti aspirin bekerja dengan cara menghambat sintesis

prostaglandin. Prostaglandin sendiri adalah suatu senyawa dalam tubuh yang

merupakan mediator nyeri dan radang/inflamasi. Prostaglandin terbentuk dari

asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX).

Dengan penghambatan pada enzim COX, maka prostaglandin tidak terbentuk,

dan nyeri atau radang pun reda. COX ini ada dua jenis, yaitu disebut COX-1 dan

COX-2. COX-1 selalu ada dalam tubuh secara normal, untuk membentuk

prostaglandin yang dibutuhkan untuk proses-proses normal tubuh, antara lain

memberikan efek perlindungan terhadap mukosa lambung. Sedangkan COX-2,

adalah enzim yang terbentuk hanya pada saat terjadi peradangan/cedera, yang

menghasilkan prostaglandin yang menjadi mediator nyeri/radang. Jadi,

Page 16: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

sebenarnya yang perlu dihambat hanyalah COX-2 saja yang berperan dalam

peradangan, sedangkan COX-1 mestinya tetap dipertahankan. Tetapi dikarenakan

aspirin bekerja secara tidak selektif, maka obat tersebut bisa menghambat COX-1

dan COX-2 sekaligus. Jadi ia bisa menghambat pembentukan prostaglandin pada

peradangan, tetapi juga menghambat prostaglandin yang dibutuhkan untuk

melindungi mukosa lambung, sehingga lambung menjadi terganggu (FK UI,

2012; Mendes et al., 2012).

Walaupun asetaminofen juga termasuk obat AINS, tetapi asetaminofen

memiliki sedikit perbedaan dalam target aksi obatnya. Asetaminofen berefek

lemah sebagai anti radang, tetapi lebih sebagai analgesik dan anti piretik (obat

turun panas). Ternyata, selain COX-1 dan COX-2, ada pula COX-3. Ada peneliti

yang menyatakan bahwa COX-3 adalah varian dari COX-1, yang terdistribusi di

sistem saraf pusat. Asetaminofen menghambat lemah baik COX-1 maupun COX-

2, tetapi kuat terhadap penghambatan COX-3 di otak/sistem saraf pusat, maka

efeknya lebih terpusat dan tidak menyebabkan gangguan pada lambung (Tjay &

Rahardja, 2010; Botting, 2010; FK UI, 2012).

Lebih lanjut Botting (2006) menjelaskan bahwa masing-masing NSAID

menunjukkan potensi yang berbeda-beda dalam menghambat COX-1

dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan adanya variasi dalam

timbulnya efek samping NSAID pada dosis sebagai anti inflamasi. Obat yang

potensinya rendah dalam menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio

aktivitas COX-2/ COX-1 lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai anti

inflamasi dengan efek samping lebih rendah pada lambung dan ginjal.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa tolmetin dan aspirin memiliki toksisitas

tertinggi terhadap saluran gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi

hambat COX-1 yang jauh lebih tinggi dibandingkan menghambat COX-2. Dari

penelitian epidemiologi yang membandingkan rasio COX-2/ COX-1, terdapat

korelasi positif antara efek samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/ COX-1.

Semakin besar rasio COX-2/COX-1, maka semakin besar pula efek samping

gastrointestinalnya. Dibandingkan asetaminofen, aspirin memiliki rasio COX-2/

COX-1 yang jauh lebih tinggi, dimana COX-2/COX-1 asetaminofen hanya 15

Page 17: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

dan COX-2/COX-1 aspirin adalah 166, sehingga efek samping aspirin terhadap

gastrointestinal jauh lebih lebih tinggi dibanding asetaminofen (Botting, 2006).

Tabel 1. Rasio COX-2/COX-1 pada NSAIDNSAID COX-2 COX-1 COX-2/COX-1

Tolmetin 7 0.04 175Aspirin 50 0.3 166Ibuprofen 15 1 15Asetaminofen 20 2.7 7.4Diklofenak 0.35 0.5 0.7Naproksen 1.3 2.2 0.6Celecoxib 0.34 1.2 0.3Refecoxib 0.84 63 0.013

Sumber : Botting (2006)

6. Zat iritasi yang menimbulkan ulkus

Menurut Keshav (2004), Johns Hopkins School of Medicine (2013) dan Price

% Wilson (2014) zat iritasi yang dapat menimbulkan ulkus adalah :

1) Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid

(NSAID), juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya

ulkus. Aspirin menyebabkan iritasi dinding mukosa, demikian juga dengan

NSAID lain dan glukokortikosteroid. Obat-obat ini menyebabkan ulkus

dengan menghambat perlindungan prostaglandin secara sistemik, sehingga

mukosa lambung tidak terlindungi.

2) Asam lambung yaitu asam chlorida (HCl) yang berlebihan dalam lambung

dapat menimbulkan ulkus.

3) Begitupun pepsin, enzim pankreas dan garam empedu dapat menimbulkan

iritasi dan ulkus.

4) Zat kafein dari kopi dapat menstimulasi sel-sel parietal untuk menghasilkan

asam yang dapat menimbulkan ulkus

5) Alkohol konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan pembatas mukosa lambung

terhadap ion hidrogen dan berhubungan dengan lesi mukosa lambung akut yang

disebabkan pendarahan mukosa. Disamping itu alkohol juga dapat menstimulasi

sel-sel parietal untuk menghasilkan asam yang dapat menimbulkan ulkus

Page 18: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

6) Mengkonsumsi makanan pedas dapat merangsang lambung dan usus untuk kontraksi

7) Teh mengandung antioksidan yang dapat membunuh bakteri dan memiliki efek menetralisasi radikal bebas yang merusak. Antioksidan yang berperan yaitu tanin. Tanin memiliki afinitas yang tinggi terhadap protein di mucosa. Tanin memiliki efek proteksi yang tinggi namun jika kadar tanin yang terlalu tinggi dapat mengiritasi lambung. Jika tanin dan udara bergabung maka akan menghasilkan asam tanat yang akan mengiritasi lambung

8) Rokok juga berperan menyebabkan iritasi yaitu melalui proses (1) menurunnya sekresi bikarbonat dan aliran darah di mucosa; (2) memperburuk peradangan; (3) meningkatkan sekresi asam lambung; (4) melemahkan katup oesophagus dan pylorus serta meningkatkan refluks pengosongan dan menurunkan pH lambung.

DAFTAR PUSTAKA

Akil, H.A.M. (2015). Tukak Duodenum. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Botting, R.M. (2006). Inhibitors of cyclooxygenases : Mechanisms, selectivity and uses. Journal of Physiology and Pharmacology, 57, Supp. 5, 113-124.

Botting, R.M. (2010). Vane’s discovery of the mechanism of action of aspirin changed our understanding of its clinical pharmacology. Pharmacological Reports, 62, 618-625.

Doengoes, M.E. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Page 19: Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke

FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian farmakologi FK Universitas Indonesia.

Hirlan. (2015). Gastritis. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Johns Hopkins School of Medicine. (2013). Peptic Ulcer Disease : Introduction Baltimore, Maryland USA : Johns Hopkins School of Medicine.

Keshav, S. (2004). The Gastroinstestinal System at a Glance. Oxford, UK : Blackwell Publishing Ltd.

Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N. & Aster, J. (2014). Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th Edition. New York : Elsevier Inc.

Makmun, D. (2015). Penyakit Refluks Gastroesofageal. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius

Mendes, R.T., Stanczyk, C.P., Sordi, R., Otuki, M.F., dos Santos, F.A. & Fernandes, D. (2012). Selective inhibition of cyclooxygenase-2 : risks and benefits. Revista Brasileira de Reumatologia, 52(5), 767-782

Price, S.A.. & Wilson, L.M. (2014). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Volume 1. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Brunner, L.S. & Suddarth, D.S. (2001). Brunner & Suddarth : Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Tarigan, P. (2015). Tukak Gaster. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Tjay, T.H. & Rahardja, K. (2010). Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo