step 7 repro 5
TRANSCRIPT
STEP 7
Menyelesaikan LO
1. Asfiksia Neonatorum
Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah
rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan
iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini
yang berperan pada kejadian asfiksia.
Gejala Klinik
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit,
kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
Diagnosis
Anamnesis : Gangguan/kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis.
Pemeriksaan fisik :
Nilai Apgar
Klinis 0 1 2
Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat jalan nafas
dibersihkan
Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
Tonus otot Lunglai Fleksi ekstrimitas
(lemah)
Fleksi kuat
gerak aktif
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah
ekstrimitas biru
Merah seluruh
tubuh
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai
7.Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan
menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30
detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
- Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
- Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru,
edema paru
- Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans
- Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
- Hematologi : DIC
Penatalaksanaan
Resusitasi
Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan pemijatan dada.
- Asistolik.
Dosis :
- 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v
atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada
respon dengan resusitasi.
- Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai
adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan
respon yang adekuat.
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis :
- Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai
menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan
bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus
disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara
intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak
fungsi miokardium dan otak.
Nalokson :
- Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan
depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.
Indikasi :
- Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam
sebelum persalinan.
- Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai
obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c
Suportif
Jaga kehangatan.
Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
Bagan Resusistasi neonatus
Uji kembali efektifitas :
Ventilasi
Kompresi dada
Intubasi Endotrakeal
Resusitasi dinilai tidak berhasil
jika :
apnea dan denyut jantung 0
setelah dilakukan resusitasi
- Pemberian epinefrin
Pertimbangkan kemungkinan :
Hipovolemia
Asidosis metabolik berat
secara efektif selama 15 menit.
2. Ikterus Neonatal
Hiperbilirunemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan kembali dirawat dalam minggu
pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi
terlihat berwarna kuning, keadaan ini disebabkan oleh akumulasi pigmen bilirubin yang
berwarna ikterus pada sklera dan kulit.
1.1 Defenisi
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau
lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90.
Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dl.
Kadar bilirubin tak terkonjugasi bayi baru lahir (BBL) pada minggu pertama
>2mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula, kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL
selama 1 sampai 2 minggu. Sedangkan pada BBL yang mendapat ASI, kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat.
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan
dengan puncak lebih tinggi dan lebih lama, demikian juga penurunannya jika tidak diberikan
fototerapi. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan sampai
15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.
Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut ;
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan
1.2 Patofisiologi
Pembentukan bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang
pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase
yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan organ lain. Pada reaksi
tersebut, terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin. Biliverdin
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat larut. Pada bayi baru lahir, sekitar 75%
produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme hemeglobin dari eritrosit. Satu gram
hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labelled
didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom,
katalase, peroksidase), dan heme bebas.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mgg/kgBB/hari, sedangkan otang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada BBL disebabkan
masa hidup eritrosit lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari),
peningkatan degenerasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi
bilirubin dari usus yang meningkat.
Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di RES, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi akan
berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah
terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang
kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat polar dan tidak larut
dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan
albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Pada bayi kecil
bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi dari
hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan beresiko
terjadinya neurotoksisitas.
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endolaplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate
glucoronosyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi
bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukoronida. Bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Pada bayi
baru lahir didapatkan defisiensi aktifitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktifitas
enzim ini meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin
serum akan menurun.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Setelah berada
di usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak dapat langsung diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase
yang dapat menghidrolisis menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat
diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga
bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi
didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis bilirubin
glukoronida yang berlebih dan konsetrasi bilirubin yang tinggi ditemukan didalam
mekonium. BBL relatif kekurangan flora bakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi
urobilinogen yang akan meningkatkan pool bilirubin usus. Peningkatan hidrolisis bilirubin
konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktifitas β-glukoronidase mukosa yang tinggi
dan ekskresi monoglukorinida terkonjugasi.
Pada ikterus fisiologis, peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance
bilirubin. Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan
early bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif
bilirubin di enterohepatik, yang meningkatkan kadar bilirubin serum, disebabkan oleh
penurunan bakteri flora normal, aktifitas β-glukoronidase yang tinggi dan penurunan
motilitas usus halus.
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3
fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan
penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pentahapan
yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirtibin menjadi 5
fase. yaitu fase 1). Pembentukan bilirubin, 2). Transpor plasma, 3). Liver uptake,4).
Konyugasi, dan 5). Eskresi bilier.
Fase Prahepatik
1. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat
badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled billirubin) datang dari protein heme
lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme
dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim
hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin.
Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklir fagositosis).
Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan
pembentukan bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat pada beberapa
kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang penting.
2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonyugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albuinin dan tidak dapat melalui membran
glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan
seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada
tempat ikatan dengan albumin.
Fase Intrahepatik.
3. Liver uplakc. Proses pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan
bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan
albumin.
4. Konyugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konyugasi
dengan asam glukuronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konyugasi atau
bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukuronil-transferase
yang menghasilkan bilirubin yang larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya
menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik kedua
ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini
tidak dianggap fisiologik. Biliruibin konyugasi lainnya selain diglukuronid juga terbentuk
namun kegunaannya tidak jelas.
Fase Pascahepatik
5. Eskresi Bilii\rubin. Bilirubin konyugasi dikeluarkan ke dalam kanalilculus bersama bahan
lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di
dalam usus flora bakteri men"dekonyugasi" dan mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen.dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi wama
coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil
mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak
bilirubin unkonyugasi. Hal ini menerangkan wama air seni yang gelap yang khas pada
gangguan liepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonyugasi bersifat tidak
larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonyugasi dapat
melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak
terkonyugasi mengalami proses konyugasi dengan gula melaltii enzim glukuroniltransferase
dan larut dalam empedu cair.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
Peningkatan resirkulasi melalui
enterohepatik shunt
Peningkatan aktifitas β-glukoronidase
Kurangnya adanya flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang terlambat
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari
plasma
Defisiensi protein karier
Penurunan metabolisme hepatik Penurunan aktifitas UDPGT
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early dan
late. Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum, sedangkan
bentuk late onset berhubungan dengan kandungan ASI yang mempengaruhi proses konjugasi
dan ekskresi. Pengaruh late onset berhubungan dengan adanya faktor spesifik dari ASI yaitu
2α-20β-pregnandiol yang mempengaruhi aktifitas UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi
dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam
lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjuhagi akibat peningkatan asam lemak
unsaturated, atau β-glukoronidase atau adanya faktor lain yang meningkatkan jalur
enterohepatik.
Faktor etiologi yag berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi yang mendapat
ASI;
1. Asupan cairan
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
2. Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acid
Unidentified inhibitor
3. Intestinal reabsorbtion of bilirubin
Pasase mekonium terlambat
Pembentukan urobilinoid bakteri
Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu
Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek
Dasar Penyebab
Peningkatan produksi bilirubin Incompabilitas darah fetomaternal (Rh,
ABO)
Peningkatan penghancuran hemoglobin Defisiensi enzim kongenital
(G6PD, galaktosemia)
Sepsis
Peningkatan jumlah hemoglobin Polisitemia (twin-to-twin
transfusion, SGA)
Keterlambatan klem tali pusat
Peningkatan sirkulasi enterohepatik Keterlambatan pasase meko-
nium, ileus mekonium,
meconium plug syndrome
Puasa atau keterlambatan
minum
Atresia atau stenosis intestinal
Perubahan clearance bilirubin hati Imaturitas
Perubahan produksi atau aktifitas
uridine diphosphoglucoronyl
transferase
Gangguan metabolik/endokrine
Perubahan fungsi dan perfusi hati Asfiksia, hipoksia, hipotermi,
hipoglikemi
Sepsis
Obat-obatan dan hormon
Obstruksi hepatic Anomali kongenital (atresia
biliaris, fibrosis kistik)
Statis biliaris (hepatits, sepsis)
Bilirubin load berlebihan
1.3 Diagnosis
Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi-
bayi yang pulang lebih awal. Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi
dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat
warna kuning dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar
bilirubin kurang dari 4 mg/dL. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi dari sala
satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, ptekie, ekstravasasi
darah, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti
adanya dehidrasi. Selain itu perlu diketahui kadar bilirubin serum total.
Faktor resiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan ≥ 35 minggu
1. Faktor resiko major
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
terletak pada daerah resiko tinggi
Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobin direk yang positif atau
penyakit hemolitik lainnya
Umur kehamilan 35-36 minggu
Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
Sefalhematom atau memar bermakna
ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan
berlebihan
Ras Asia timur
2. Faktor resiko minor
Sebelum pulang, kadar bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak
pada daerah resiko sedang
Umur kehamilan 37-38 minggu
Sebelum pulang, bayi tampak kuning
Riwayat anak sebelumnya kuning
Bayi makrosomia dari ibu DM
Umur ibu ≥ 25 tahun
Laki-laki
3. Faktor resiko kurang
Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah
resiko rendah
Umur kehamilan ≥ 41 minggu
Bayi mendapat susu formula penuh
Kulit hitam
Bayi dipulangkan setelah 72 jam
1.4 Manajemen
Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi; pencegahan,
penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.
1. Strategi pencegahan hiperbirubinemia
(1) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk
beberapa hari pertama
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
(2) Pencegahan sekunder
- Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa.
o Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan
pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah
tali pusat bayi
o Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes
golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak
diperlukan jikan dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum
keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.
- Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.
(3) Evaluasi laboraturium
- Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami
ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.
- Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan
- Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam
(4) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan
analisis dan kultur urin
- Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis
- Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan evaluasi tambahan mencari
penyebab kolestatis
- Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat
fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau ernis/asal geografis yang menunjukan
kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi buruk.
(5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
- Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat
(6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit
- RS harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua mengenai kuning,
perlunya monitor terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan
Bayi Keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 – 27,9 jam 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 120 jam
(7) Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI
- Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran
jika feses keluar dalam waktu 24 jam
- Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan
waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama
dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama
- Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula pengganti
- Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan dengan pola menyusui
- Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompaa, dan menggunakan
protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP
- Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika
ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu
memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.
2. Penggunaan Farmakologi
(1) Imunoglobulin intravena digunakan pada bayi dengan Rh yang berat dan
inkompabilitas ABO untuk menekan isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
ganti
(2) Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktifitas dan
konsentrasi UPGDT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan
bilirubin
(3) Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporphyrin yang
merupakan analog sintesis heme. Zat ini efektif sebagai inhibitor kompetitif dari
heme oksigenase, yang diperlukan untuk katabolisme heme manjadi biliverdin.
(4) Tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP) dapat menurunkan
kadar bilirubin serum.
(5) Pemberian inhibitor β-glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat
ASI dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi
berkurang.
3. Foto Terapi dan Transfusi tukar
Penatalaksaan fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia
- Lakukan pemeriksaan laboraturium
Bilirubin total dan direk
Golongan darah (ABO Rh)
Tes antibodi direk (Coombs)
Serum albumin
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
Jumlah retikulosit
ETCO (bila tersedia)
G6PD (bila terdapat kecurigaan berdasarkan etnis dan geografis atau
respon terhadap terapi kurang)
Urinalisis
Bila anamnesis dan tampilan klinis menunjukan kemungkinan sepsis
lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, dan liquor untuk protein, glukosa,
hitung jenis dan kultur
- Tindakan
Bila bilirubin total ≥ 25 mg atau ≥20 mg pada bayi sakit atau bayi <38
minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien
yang akan direncakan transfusi ganti.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total
meningkat walau telah dilakukan foto terapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL
kadar transfusi ganti, berikan imunoglobulin intravena 0,5-1 g/kg selama 2
jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih 12% atau secara
klinis atau terbukti secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi,
dianjurkan pemberian susu formula atau ASI tambahan.
- Pada bayi mendapat foto terapi intensif
- Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
- Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
- Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4
jam, bila <20 mg/dL dilang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun,
periksa ulang dalam 8-12 jam
- Bila kadar bilirubin total tidak turun atau mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat
mendekati angkat untuk transfusi tukar maka dilakukan transfusi ganti.
- Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, foto terapi dihentikan.
- Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin
ulangan boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat
kemungkinan terjadinya rebound.
Rasio bilirubin total/albumin sebagai penunjang untuk memutuskan transfusi tukar
Kategori Resiko Rasio B/A saat transfusi tukar
Harus Dipertimbangkan
Bayi ≥ 38 0/7 mgg 8,0 0,94
Bayi 35 0/7 mg – 36 6/7 mgg dan sehat
atau ≥ 38 0/7 mgg jika resiko tinggi
atau isoimmune hemolytic disease atau
defisiensi G6PD
7,2 0,84
Bayi 35 0/7 – 37 6/7 mgg jika resiko
tinggi atau isoimmune hemolytic
disease atau defisiensi G6PD
6,8 0,80
Komplikasi transfusi tukar :
1. Hipokalsemia dan hipomagnesia
2. Hipoglikemia
3. Gangguan keseimbangan asam basa
4. Hiperkalemia
5. Gangguan kardiovaskular
Perforasi pembuluh darah
Emboli
Infark
Aritmia
Volume overload
arrest
6. Perdarahan
Trombositopenia
Defisiensi faktor pembekuan
7. Infeksi
8. Hemolisis
9. Graft-versus host disease
10. Lain-lain : hipoterma, hipertermia, dan kemungkinan terjadinya enterokolitis
nekrotikans.
3. Indeks Krammer
RUMUS KRAMER
Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara labratorium, apabila tidak memungkinkan dapat
dilakukan secara klinis.
1. Memeriksa tanda-tanda ikterus (kuning)
Jika tanda-tanda ikterus (kuning) :
a. tanyakan saat timbulnya kuning
b. Lihat dan raba
2. Pemeriksaan tanda-tanda bahaya umum:
a. Tidak bisa minum atau menetek
b. Memuntahkan semuanya
c. Kejang atau riwayat kejang yang berhubungan dengan sakit ini
d. Sulit dibangunkan atau tidak sadar
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan resiko terjadinya kern
ikterus, misalnya kadar bilirubin bebas, kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis (Kramer).
DAERAH LUAS IKTERUS KADAR BILIRUBIN (mg%)
1 Kepala dan Leher 5
2Daerah 1 + Badan bagian atas sampai
umbilicus9
3 Daerah 1, 2 + Badan bagian bawah dan tungkai 11
4Daerah 1, 2, 3 + Lengan dan kaki di bawah
dengkul12
5 Daerah 1, 2, 3, 4 + Tangan dan kaki 16
4. Bayi Berat Lahir Rendah
Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram
tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1
(satu) jam setelah lahir (3).
Bayi Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ) ialah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya
pada saat kelahiran kurang dari 2500 gr sampai dengan 2499 gr. Bertahun – tahun lamanya
bayi dengan berat badan lahir rendah disebut bayi prematur. Pembagian menurut berat badan
ini sangat mudah tetapi tidak memuaskan.Lama – kelamaan ternyata bahwa morbiditas dan
mortalitas neonatus tidak hanya bergantung pada berat badannya, tetapi juga pada maturitas
bayi tersebut.
Untuk mendapat keseragaman pada kongres European Perinatal Medicine, ke II London
(1970) telah disusulkan definisi sebagai berikut :
1. Bayi kurang bulan ialah bayi yang kelahirannya kurang dari 37 minggu ( 259 hari )
2. Bayi cukup bulan ialah bayi dengan masa kehamilan mulai 37 sampai dengan 42
minggu
3. Bayi lebih bulan ialah bayi dengan masa kehamilan 42 minggu atau lebih ( 294 hari
atau lebih )
Dengan definisi sepert itu BBLR dapat di bagi menjadi 2 golongan, yaitu ;
1. Prematuritas Murni
Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat
badan untuk masa gestasi itu dan biasa disebut neonatus kurang bulan sesua untuk
masa kehamilan
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berarti bayi
mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang kecil untuk
masa kehamilan.
PREMATURITAS MURNI
Faktor Penyebab :
1. Faktor ibu
a) Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung selama masa keamilan misalnya toksemia
gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisis, dan psikologis.
Penyakit lainnya adalah nefritis akut, diabetes melitus, infeksi akut, atau tindakan
operatif dapat merupakan faktor etiologi prematuritas.
b) Usia
Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia dibawah 20 tahun dan pada
multigravida yang jarak antar kelahirannya terlalu dekat. Kejadian terendah ialah
pada ibu usia 26 – 35 tahun
c) Keadaan sosial – ekonomi
Keadaan ini sering terjadi terdapat pada golongan sosial – ekonomi yang rendah.
Hal ini disebabkan karena keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan
antenatal yang kurang.
Demikian pula keadaan prematuritas pada bayi lahir yang lahir dari perkawinan
yang tidak sah ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi yang yang lahir
dengan perkawinan yang sah.
2. Faktor janin
Hidramnion, kehamilan ganda, umumnya akan mengakibatkan lahir bayi BBLR
Karakteristik klinis
Berat badan kurang dari 2500 gr, panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm, lingkaran
dada kurang dari 30 cm lingkaran kepala kurang dari 33 cm. Masa gestasi kurang dari 37
minggu. Tampak luar sangat bergantng pada maturitas atau lamanya masa gestasi itu. Kepala
relatif lebih besar daripada badannya, kulitnya tipis, transparan, lanugo banyak, lemak
subkutan kurang. Osifikasi tengkorak sedikit, ubun – ubn dan sutura lebar, gentialia belum
tertutup labia mayora. Pembuluh darah kulit banyak terlihat dan peristaltis usus pun dapat
terlihat.rambut biasanya tipis, halus dan teranyam sehingga sulit terlihat satu – persatu.
Tulang rawan dan daun telinga, shingga elstisitas daun telinga masih berkurang. Jaringan
mamae belum sempurna, demikian pula puting susu belum terbentuk degan baik. Bayi kecil
posisi bayi masih fetal, yaitu posisi dekubitus lateral, pergerakannya kurang dan masih
lemah. Bayi lebih bayak tertidur daripada bangun. Tangisnya lemah, pernafasan belum teratur
dan sering terjadi serangan apnu. Otot masih hipotonik,sehingga sikap selalu dalam keadaan
kedua tungkai dalam abduksi, sendi lutut dan sendi kaki dalam fleksi dan kepala menghadap
satu jurusan. Tonic neck reflek biasanya lemah, reflek moro dapat positif. Reflek mengisap
dan menelan belum sempurna, demikian pula refleks batuk. Kalau bayi lapar biasanya
menangis, gelisah dan aktifitas bertambah. Bila dalam waktu 3 hari tanda kelaparan ini tidak
terdapat, kemungkinan bayi lebih besar menderita infeksi atau perdarahan intrakranial.
Seringkali terdapat edema pada anggota gerak, yang menjadi lebih nyata sesudah 24 – 48
jam. Kulitnya tampak mengkita dan licin danseperti terdapat pitting edema. Edema ini dapat
berubah sesuai dengan prubahan posisi. Edema ini sering kali berhubungan dengan
perdarahan antepartum, diabetes melitus dan toksemia gravidarum. Frekuensi pernafasan
bervariasi sangat luas terutama hari – hari pertama. Walaupun demikian bila frekuensi
pernafasan terus meningkat diatas 60/ menit, harus waspada akan kemungkinan terjadinya
penyakit membran hialin ( sindrom gangguan pernafasan idiopatik ) atau gangguan penafasan
karena sebab lain. Dalam hal ini penting sekali melakukan pemeriksaan radiologis toraks.
Penyakit bayi Prematur
1. Sindrom Gangguan Pernafasan Idiopatik
Disebut juga penyakit membran hialin karena pada stadium akhir akan terbentuk
membran hialin yang melapisi alveolus paru
2. Pneumonia aspirasi
sering ditemukan pada baik prematur, karena refleks menelan dan batuk belum
sempurna. Penyakit ini dapat dicegah dengan perawatan yang baik.
3. Perdarahan intraventikuler
Perdarahan spontan di ventrikel otak lateral biasanya disebabkan oleh karena anoksia
otak. Biasanya terjadi bersamaan dengan pembentukan membran hialin pada paru.
Sayang sekali sering tidak mungkin membedakan dispnu yang disebabakan oleh
sindrom gangguan pernafasan idiopatik.Kelainan ini biasanya hanya ditemukan pada
saat oyopsi
4. Fibroplasia Retrolental
Penyakit ini terutma ditemukan pada bayi prematur dan disebabkan oleh gangguan
oksigen yang berlebihan. Dengan menggunakan oksigen dalam konsentrasi tinggi,
akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah retina. Kemudian setelah bayi bernafas
dengan udara biasa lagi, pembuluh darah ini akan mengalami vasodilatasi yang
selanjutnya akan disusul dengan proloferasi pembuluh darah secara tidak teratur.
Kelainan ini biasanya terlihat pada bayi yang berat badannya kurang dari 2 kg dan
telah mendapat oksigen dengan konsentrasi tinggi ( lebih dari 40 % ). Stadium akut
penyakit ini apat terlihat pada umur 3 – 6 minggu dalam bentuk dilatasi arteri dan
vena retina. Kemudian diikuti oleh pertumbuhan kapiler baru secara tidak teratur pada
ujung vena. Kumpulan pembuluh darah baru ini tampak sebagai perdarahan.
Akhirnya sebagian kapiler baru ini tumbuh ke arah korpus viterum dan lensa.
Selanjutnya akan terjadi edema pada retina dan retina akan terlepas dari dasarnya dan
keadaan ini merupakan keadaan yang ireversibel. Pada stadium akhir akan terdapat
masa retrolental yang terdiri dari jaringan ikat. Keadaan ini dapat terjadi bilateral
dengan mikroftalmus virus yang menghilang. Selain itu dapat disertai retardasi mental
dan ceebral palsy.
Pengobatan pada stadium dini dapat dicoba dalam memberikan ACTH atau
kortiosteroid. Hal yang penting ialah pencegahannya, yaitu :
a. Pada bayi BBLR penggunaan oksigen tidak melebihi 40 % dan hal ini dapat
dicapai dengan memberikan oksigen melalui corong dengan kecepatan 2 liter /
menit
b. Tidak menggunakan oksigen untuk mencegah timbulnya apnu atau sianosis
c. Pemberian oksigen pada bayi yang berat badannya kurang dari 2 kg harus berhati
– hati dan sebaiknya PaO2 selalu dimonitor.
5. Hiperbilirubinemia
Bayi prematur lebih sering mengalami hiperbilirubinemia dibandigkan bayi cukup
bulan. Hal ini disebabkan karena faktor kematangan hepar sehingga konjugasi
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk sebelum sempurna.
DISMATURITAS
Dismaturitas ialah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya kurangdibandingkan dengan
berat badan kurang dari berat badan lahir yang seharusnya untuk masa gestasi bayi itu ( KM
K )
Pengertian berat badan kurang dari berat badan lahir yang seharusnya untuk masa gestasi
tertentu ialah kalau berat badan lahir lahirmya dibawah persentil ke 10 menurut kurva
pertumbuhan intrauterin Lubecheno atau dibawah 2 SD menurut kurva pertumbuhan
intrauterin Usher dan Mc. Lean . Penyebab dismaturitas ialah setiap keadaan yang
mengganggu pertukaran zat antara ibu dan janin.
Dalam arti luas fetal distress menjadi 3golongan, yaitu :
1. Acute fetal distress, yatu defisitatau fetal deprivation yang hanya mengakibatan
perinatal distress tetappi tidak menngakibatkan retardasi pertumbuhan dan wasting.
2. Sbacute fetal distress yaitu bila fetal deprivation tersebut menunjukan tanda wasting
tetapi tidak retardasi pertumbuhan
3. Chronic fetal distress, yaitu bila bayi jelas menunjukan retardasi pertumbuhan
Bayi dismatur dengan anda wasting atau insufisiensi plasenta dapat dibagi 3 stadium menurut
berat ringannya wasting tersebut
1. Stadium pertama
Bayi tampak kurus dan relatif lebih panjang, kuitnya longgar, kering seperti
perkamen, tetapi belum terdapat noda mekonium
2. Stadium kedua
Didapatkan tanda stadium pertama dengan warna kehijauan pada kulit, plasenta, dan
umbilikus. Hal ini disebabkan oleh mekonium yang tercampur dalam amnion yang
kemudian mengendap ke dalam kulit, umbiikus dan plasenta sebgai anoksia
intrauterin
3. Stadium ketiga
Ditemukan tanda stadium kedua ditambah dengan kulit yang berwarna kuning,
demikian pda kuku dantali pusat. Ditemukan juga anoksia intrauteri yang lama.
Komplikasi dismaturitas
1. Sindrom aspirasi mekonium
Kesulitan pernafasan yang sering dittemukan pada bayi dismatur ialah sindrom
aspirasi mekonium. Keadaan hipoksia intrauterin akan mengakibatkan janin
menadakan gasping dalam uterus. Selain itu mekonium aka dilepaskan ke dalam
likuor amniom seperti yang terjadi pada subacute fetal distress. Akibatnya cairan yang
mengandung mekonium yang lengket itu masuk ke dalam paru janin karena inhalasi.
Pada saat lahir bayi akan menderita gangguan pernafasa sangat menyeruoai sindrom
gangguan pernafasan idiopatik. Pengobatannya sama dengan pengobatan sindrom
gangguan pernafasan idiopatik ditambah dengan pemberian antibiotika.
2. Hipoglikemia simtomatik
3. Asfiksia neonatorum
4. Penyakit membran hialin
5. Hiperbilirubinemi.
Epidemiologi
Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di
dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang
atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR
didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding
pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (4). BBLR termasuk faktor utama dalam
peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta
memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan (1,2). Angka
kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu
berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter diperoleh angka BBLR
dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka
BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada
sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7% (2,3).
Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan
kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (3).
(1) Faktor ibu
a. Penyakit
Seperti malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
b. Komplikasi pada kehamilan.
Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-
eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas
Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu
dengan usia <>
d. Faktor kebiasaan ibu
Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu pecandu alkohol dan
ibu pengguna narkotika.
(2) Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.
(3) Faktor Lingkungan
Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-
ekonomi dan paparan zat-zat racun (4,7).
Komplikasi
Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain (8):
Hipotermia
Hipoglikemia
Gangguan cairan dan elektrolit
Hiperbilirubinemia
Sindroma gawat nafas
Paten duktus arteriosus
Infeksi
Perdarahan intraventrikuler
Apnea of Prematurity
Anemia
Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) antara lain (3,8):
Gangguan perkembangan
Gangguan pertumbuhan
Gangguan penglihatan (Retinopati)
Gangguan pendengaran
Penyakit paru kronis
Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
Kenaikan frekuensi kelainan bawaan
Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka
waktu <> dapat diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (8).
Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari
etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR (3):
Umur ibu
Riwayat hari pertama haid terakir
Riwayat persalinan sebelumnya
Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
Kenaikan berat badan selama hamil
Aktivitas
Penyakit yang diderita selama hamil
Obat-obatan yang diminum selama hamil
Pemeriksaan Fisik
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain (3):
Berat badan <>
Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)
Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain (3):
Pemeriksaan skor ballard
Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar
elektrolit dan analisa gas darah.
Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur
kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan
terjadi sindrom gawat nafas.
USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan <>
Penatalaksanaan/ terapi
Medikamentosa
Pemberian vitamin K1 (3):
Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau
Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari,
dan umur 4-6 minggu)
Diatetik
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks menghisapnya
masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau
diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan memegang
kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara ASI
yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel
pada puting. ASI merupakan pilihan utama (6):
Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara
apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling
kurang sehari sekali.
Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3
hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.
Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan
bayi adalah sebagai berikut (3):
a. Berat lahir 1750 – 2500 gram
- Bayi Sehat
Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih mudah
merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh; setiap 2 jam)
bila perlu.
Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas
menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
- Bayi Sakit
Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan minum
seperti pada bayi sehat.
Apabila bayi memerlukan cairan intravena:
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi stabil. Anjurkan
pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda siap untuk menyusu.
Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh; gangguan nafas,
kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung :
o Berikan cairan IV dan ASI menurut umur
o Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali). Apabila bayi telah
mendapat minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar berikan tambahan ASI
setiap kali minum. Biarkan bayi menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi
menunjukkan keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.
b. Berat lahir 1500-1749 gram
- Bayi Sehat
Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak dapat
diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke dalam paru
(batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan dengan pemberian
menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak (ini
dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya memakan waktu lebih dari 1
minggu)
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI
setiap kali minum.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
- Bayi Sakit
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan IV
secara perlahan.
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI
setiap kali minum.
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi bayi sudah
stabil dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
c. Berat lahir 1250-1499 gram
- Bayi Sehat
Beri ASI peras melalui pipa lambung
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI
setiap kali minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
- Bayi Sakit
Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.
Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan
intravena secara perlahan.
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
d. Berat lahir <>tidak tergantung kondisi)
Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama
Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian cairan
intravena secara perlahan.
Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba
untuk menyusui langsung.
Suportif
Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal (3):
Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti
kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan
hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.
Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin
Ukur suhu tubuh dengan berkala
Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :
Jaga dan pantau patensi jalan nafas
Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit
Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang,
gangguan nafas, hiperbilirubinemia)
Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya
Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu
berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.
Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan saat dirawat
a. Terapi
Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu
b. Tumbuh kembang
Pantau berat badan bayi secara periodik
Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi
dengan berat lair ≥1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir <1500>
Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir) dan
telah berusia lebih dari 7 hari :
- Tingkatkan jumlah ASI denga 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah 180 ml/kg/hari
- Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi agar jumlah
pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari
- Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI hingga
200 ml/kg/hari
- Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap minggu.
Pemantauan setelah pulang
Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan
mencegah/ mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai
berikut (3,4):
Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.
Hitung umur koreksi
Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.
Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST)
Awasi adanya kelainan bawaan
Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang
penting. Hal-hal yang dapat dilakukan (3):
1. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun
kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang diduga berisiko,
terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan,
dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu
2. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim,
tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri selama kehamilan agar mereka
dapat menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik
3. Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat
(20-34 tahun)
4. Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan
pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses
terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama hamil
DAFTAR PUSTAKA
1. United Nations Children’s Fund/World Health Organization. Low Birthweight. UNICEF,
New York, 2004. Avaliable from : http://www.childinfo.org/areas/birthweight.htm. Last
Update : Nov 2007 [diakses tanggal 2 Desember 2007].
2. Setyowati T. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bayi Lahir dengan Berat Badan Rendah
(Analisa data SDKI 1994). Badan Litbang Kesehatan, 1996. Avaliable
from :http://www.digilib.litbang.depkes.go.id. Last Update : 2003 [diakses tanggal 2
Desember 2007].
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Bayi Berat Lahir Rendah. Dalam : Standar
Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta : 2004 ; 307-313.
4. World Health Organization (WHO). Development of a strategy towards promoting optimal
fetal growth. Avaliable from : http://www.who.int/nutrition/topics/feto_maternal/en.html.
Last update : January 2007 [diakses pada tanggal 10 Desember 2007].
5. Mutalazimah. Hunbungan Lingkar Lengan Atas dan Kadar Hb Ibu Hamil dengan Bayi
Berat Lahir Rendah di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam : Jurnal Penelitian Sains &
Teknologi. Vol. 6. 2005; 114-126.
6. Suradi R. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Melihat situasi dan kondisi bayi. Avaliable
from :http://www.IDAI.or.id. Last Update : 2006. [diakses pada tanggal 10 Desember
2007].
7. Sitohang NA. Asuhan keperawatan pada bayi berat lahir rendah. Medan : Universitas
Sumatera Utara. 2004.
8. Subramanian KS. Low Birth Weight Infant. Avaliable
from : http://www.eMedicine.com. Last Update : September 25, 2006. [diakses pada tanggal
11 Desember 2007].
Ditulis dalam Referat. Tag: Bayi Berat Lahir Rendah, BBLR.