spss tinjauan pustaka blok 26

20
Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kadar Gula Darah Sewaktu dan Berbagai Faktor Risiko lainnya pada Kejadian Diabetes Melitus Theofilio Leunufna 102012065 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta – 11510 [email protected] Abstrak Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia dan intoleransi glukosa. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis yang prevalensinya tinggi. Untuk mencegah timbulnya kasus DM tipe 2, masyarakat perlu mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan antar faktor-faktor risiko pada kejadian DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah responden sebanyak 110 orang yang dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Alat pengumpulan data berupa kuesioner tentang karakteristik responden dan observasi untuk mengetahui kadar gula darah sewaktu. Hasil penelitian menunjukkan umur (p=0.039) dan aktivitas fisik (p=0,00) mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar gula darah sewaktu yang juga merupakan faktor risiko untuk penyakit DM tipe 2.. Diuji menggunakan Chi Square test dengan α=0.05. Kata Kunci: Aktifitas fisik, kadar gula darah sewaktu, faktor risiko, DM tipe 2 Abstract Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease characterized by hyperglycemia and glucose intolerance. Diabetes mellitus is classified into type 1 diabetes and type 2 diabetes mellitus. Type 2 diabetes mellitus is a chronic disease whose prevalence is high. To prevent

Upload: theofilio

Post on 05-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia dan intoleransi glukosa. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2.

TRANSCRIPT

Page 1: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kadar Gula Darah Sewaktu dan Berbagai Faktor

Risiko lainnya pada Kejadian Diabetes Melitus

Theofilio Leunufna102012065

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta – 11510

[email protected]

Abstrak

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan

hiperglikemia dan intoleransi glukosa. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1

dan DM tipe 2. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis yang prevalensinya tinggi. Untuk

mencegah timbulnya kasus DM tipe 2, masyarakat perlu mengetahui faktor-faktor risiko

yang berhubungan dengan kejadian penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk

membuktikan hubungan antar faktor-faktor risiko pada kejadian DM tipe 2. Penelitian ini

menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah responden sebanyak 110 orang yang

dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Alat pengumpulan data berupa

kuesioner tentang karakteristik responden dan observasi untuk mengetahui kadar gula

darah sewaktu. Hasil penelitian menunjukkan umur (p=0.039) dan aktivitas fisik (p=0,00)

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar gula darah sewaktu yang juga

merupakan faktor risiko untuk penyakit DM tipe 2.. Diuji menggunakan Chi Square test

dengan α=0.05.

Kata Kunci: Aktifitas fisik, kadar gula darah sewaktu, faktor risiko, DM tipe 2

Abstract

Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease characterized by hyperglycemia and

glucose intolerance. Diabetes mellitus is classified into type 1 diabetes and type 2 diabetes

mellitus. Type 2 diabetes mellitus is a chronic disease whose prevalence is high. To prevent

the onset of type 2 diabetes cases, people need to know the risk factors associated with the

incidence of this disease. This study used a cross-sectional design with a number of

respondents as many as 110 people were selected using simple random sampling

technique. Data collection tools in the form of a questionnaire about the characteristics of

respondents and observation to determine blood sugar levels while. The results showed age

(p = 0.039) and physical activity (p = 0.00) had a significant association with blood sugar

levels as that is also a risk factor for type 2 diabetes disease.Tested using Chi Square test

with α = 0:05.

Keywords: physical activity, blood sugar levels when, risk factors, type 2 diabetes mellitus

Page 2: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Pendahuluan

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan

hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat

memproduksi insulin secara adekuat yang atau karena tubuh tidak dapat menggunakan

insulin yang diproduksi secara efektif atau kedua-duanya. Diabetes Melitus diklasifikasikan

menjadi DM tipe 1, yang dikenal sebagai insulin-dependent atau childhood onset diabetes,

ditandai dengan kurangnya produksi insulin dan DM tipe 2, yang dikenal dengan non-insulin-

dependent atau adult-onset diabetes, disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan

insulin secara efektif yang kemudian mengakibatkan kelebihan berat badan dan kurang

aktifitas fisik. Sedangkan diabetes gestasional adalah hiperglikemia yang diketahui pertama

kali saat kehamilan.1

World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien DM di

Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2003. Hasil

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa proporsi penyebab

kematian akibat DM pada kelompok umur 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki

peringkat ke-2 yaitu 14,7%, sedangkan di daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6

yaitu 5,8%.2

Tingginya prevalensi DM yang sebagian besar tergolong dalam DM tipe 2

disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan dan paparan terhadap lingkungan.

Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan resiko DM tipe 2 adalah

perpindahan dari pedesaan ke perkotaan atau urbanisasi yang kemudian menyebabkan

perubahan gaya hidup seseorang. Diantaranya adalah kebiasaan makan yang tidak

seimbang akan menyebabkan obesitas. Kondisi obesitas tersebut akan memicu timbulnya

DM tipe 2. Pada orang dewasa, obesitas akan memiliki risiko timbulnya DM tipe 2, 4 kali

lebih besar dibandingkan dengan orang status gizi normal.3

Selain pola makan yang tidak seimbang dan gizi lebih, aktivitas fisik juga merupakan

faktor risiko mayor dalam memicu terjadinya DM. Latihan fisik yang teratur dapat

meningkatkan kualitas pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek metabolik, termasuk

meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki toleransi glukosa. Hasil penelitian di

Indian Pima, orang yang aktifitas fisiknya rendah 2,5 kali lebih berisiko mengalami DM

dibandingkan dengan orang-orang yang 3 kali lebih aktif.2

Latihan fisik pada penderita DM memiliki peranan yang sangat penting dalam

mengendalikan kadar gula dalam darah, dimana saat melakukan latihan fisik terjadi

peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat

menyebabkan penurunan glukosa darah. Selain itu dengan latihan fisik dapat menurunkan

Page 3: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

berat badan, meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan respirasi, menurunkan LDL dan

meningkatkan HDL sehingga mencegah penyakit jantung koroner apabila latihan fisik ini

dilakukan secara benar dan teratur. Anjuran olahraga atau latihan fisik sebetulnya bukan

merupakan hal yang baru sebelum ditemukannya insulin pada tahun 1921, namun pada

waktu itu belum jelas batasan latihan fisik yang harus dilakukan seperti jenis latihan, dosis,

frekuensi maupun intensitas dari latihan.1

Mengingat tingginya prevalensi dan tingginya biaya perawatan untuk penderita DM

diperkirakan biaya perawatan minimal untuk rawat jalan di Indonesia sebesar Rp 1,5 milyar

per hari atau Rp 500 milyar per tahun, maka perlu adanya upaya untuk pencegahan dan

penanggulangan penyakit tersebut.3,4 Dengan mengetahui faktor-faktor risiko yang

berhubungan dengan DM tipe 2 berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang meliputi

etnik, sosial-ekonomi, dan gaya hidup di samping faktor genetik dapat dilakukan upaya

pencegahan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko

yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2.

Tinjauan Pustaka

Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya

yang berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa

organ tubuh.5,6

Patofisiologi

Etiologi Diabetes Melitus tipe 1 hingga kini masih belum dapat disepakati oleh para

ahli.5,7 Namun hampir semua berpendapat adanya destruksi sel β pulau Langerhans, yang

diakibatkan oleh proses autoimun. Secara patologi terlihat adanya peradangan pankreas

(insulitis) yang ditandai dengan adanya infiltrasi makrofag dan limfosit T teraktivasi di sekitar

dan di dalam sel islet, kadang dijumpai virus yang merusak sitoplasma sel. Sehingga

kerusakan ini akan menyebabkan terbentuknya antibodi ICA (Islet Cell Antibody) yang

menggangu produksi insulin. Insulitis bisa disebabkan oleh bermacam-macam hal

diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, herpes dan lain-lain. Insulitis hanya

menyerang sel β, biasanya sel α dan sel δ tetap utuh.8

Sedangkan Diabetes Melitus tipe 2 pada umumnya lebih bersifat genetik. Tipe ini

mencakup lebih dari 90% semua populasi diabetes. Pada diabetes jenis ini dijumpai kadar

insulin normal atau meningkat yang disebabkan oleh sekresi insulin abnormal dan resistensi

terhadap kerja insulin karena kurangnya reseptor insulin pada organ target sehingga terjadi

defek relatif pankreas untuk mensekresi insulin.5,8 Pada penderita yang obesitas, kelainan

Page 4: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

primernya adalah resistensi insulin di jaringan perifer seperti otot dan lemak sehingga terjadi

peningkatan kebutuhan insulin. Sedangkan pada penderita yang non obesitas, kelainan

primernya berupa kerusakan sel β dan kelainan sekundernya di jaringan perifer.5

Faktor Risiko6

Para ahli mengklasifikasikan faktor risiko pemicu timbulnya diabetes melitus menjadi

faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang tidak dapat

dikontrol diantaranya faktor keturunan. Seseorang memiliki risiko berat untuk terserang

diabetes melitus jika salah satu atau kedua orang tuanya menderita penyakit tersebut.

Faktor usia juga merupakan pemicu yang tidak dikontrol. Orang yang berusia di atas 40

tahun rentan terserang diabetes melitus meskipun tidak menutup kemungkinan orang yang

berusia di bawah 40 tahun bebas dari diabetes melitus.

Adapun faktor yang dapat dikontrol diantaranya;

1. Obesitas atau kegemukan

2. Kurang berolahraga

3. Asupan makanan berenergi tinggi dan rendah serat

4. Asupan asam lemak trans yang tinggi dan asupan lemak dengan rasio lemak tak

jenuh/lemak jenuh rendah

5. Merokok dan konsumsi alkohol berlebihan

Manifestasi Klinis

Gejala khas pada penderita DM berupa meningkatnya rasa lapar (polifagia),

meningkatnya pengeluaran kemih (poliuria), timbul rasa haus (polidipsia), lemas dan berat

badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan adalah kesemutan; kelainan kulit seperti

gatal, bisul yang sulit sembuh; kelainan mata seperti mata kabur, gangguan refraksi mata,

diplopia; mulut kering; impotensi pada pria; dan pruritus vulva pada wanita.9

Diagnosis

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila ditemukan gejala khas berupa

poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan. Keluhan dan gejala yang khas

disertai hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau glukosa darah puasa

>126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus.9

Uji toleransi glukosa oral merupakan salah satu cara efektif untuk mendiagnosis

Diabetes Melitus. Penderita dipuasakan paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum

pemeriksaan, kemudian diperiksa kadar glukosa darah puasa. Setelah itu penderita

diberikan beban glukosa 75 gr (dewasa) atau 1,75 gr/kg BB (anak) yang dilarutkan dalam

250 ml air. Pemberian beban glukosa dilakukan selama 5 menit kemudian diperiksa kadar

glukosa darah 2 jam setelah pembebanan. Pada orang dewasa normal maupun anak

Page 5: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

normal, kadar glukosa darah setelah pemberian beban post prandial akan meningkat

menjadi 120-140 mg/dL. Setelah 2 jam kadar ini akan turun kembali dan kembali ke nilai

normal. Pada penderita Diabetes Melitus, konsentrasi glukosa darah pasca pembebanan

≥200 mg/dL sedangkan kadar glukosa darah puasa hampir selalu diatas 140 mg/dL.6

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan studi epidemiologi observasional analitik yang bertujuan

untuk menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes Melitus,

dengan desain yang digunakan adalah penelitian deskriptif cross sectional yaitu data

dikumpulkan dalam suatu waktu untuk dianalisis tanpa mengikuti perjalanan pajanan dan

outcome pada subjek penelitian. Subjek penelitian berjumlah 110 orang yang diperoleh

dengan teknik simple random sampling. Sumber data yang digunakan adalah sumber data

primer dari pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk variable IMT (Indeks Masa

Tubuh); kuisioner untuk variabel umur, jenis kelamin dan aktivitas fisik; serta pemeriksaan

darah untuk variabel glukosa darah sewaktu.

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan

program SPSS for Windows versi 19. Data dianalisis secara deskripitif dan analitik dan

disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat

diuji dengan chi square.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Penulis menggunakan metode kuantitatif dengan cara menyebarkan kuisioner ke

110 responden untuk melihat hubungan umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh, aktifitas

sehari-hari dan kadar gula darah sewaktu sebagai faktor risiko kejadian diabetes mellitus

tipe 2. Hasil penyebaran kuisioner yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Indeks Masa Tubuh

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Umur (tahun)

Dewasa; ≤45

Lansia; 46-65

Manula; ≥66

59

44

7

53.6

40.0

6.4

Jenis KelaminPerempuan

Laki-laki

65

45

59.1

40.9

Indeks Masa Tubuh Kurus; ≤18.5

Normal; 18.6-24.9

Pre-Obesitas; 25-29.9

Obesitas derajat 1; 30-34.9

10

52

26

15

9.1

47.3

23.6

13.6

Page 6: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Obesitas derajat 2; 35-39.9

Obesitas derajat 3; ≥40

4

3

3.6

2.7

Melihat data pada tabel 1 dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak pada usia

<45 tahun yang berjumlah 59 orang (53.6%) diikuti responden pada usia 46-65 tahun

sebanyak 44 orang (40%) dan responden diatas >65 tahun memiliki jumlah yang paling

sedikit yaitu 7 orang (6.4%). Sedangkan jumlah responden perempuan lebih banyak yaitu 65

orang (59.1%) dibandingkan responden laki-laki yang berjumlah 45 orang (40.1%).

Responden pada penelitian ini juga mempunyai indeks masa tubuh yang beragam

dan yang memiliki jumlah terbanyak adalah responden dengan indeks masa tubuh yang

normal 52 orang (47.3%)

Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Aktifitas Fisik dan Kadar Gula Darah Sewaktu

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Aktifitas Fisik

Rendah

Sedang

Tinggi

12

43

55

10.9

39.1

50

Gula Darah SewaktuNormal; ≤200 mg/dL

Tinggi; >201 mg/dL

95

15

86.4

13.6

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 110 responden terdapat 12 orang

(10.9%) yang aktifitas fisiknya rendah, 43 orang (39.1%) yang beraktivitas sedang dan 55

orang (50%) yang aktifitas fisiknya tinggi. Sedangkan dilihat dari kadar gula darah sewaktu,

responden yang memiliki kadar gula sewaktu yang normal sebanyak 95 orang (86.4%), dan

tinggi sebanyak 15 orang (13.6%).

Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Umur

Gula Darah

Sewaktu

Kategori UmurTotal p-value α Keterangan

Dewasa Lansia Manula

Normal 57 33 5 95

0.003 0.05 p-value < αTinggi 2 11 2 15

Total 59 44 7 110

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa dari 110 responden yang memiliki gula darah

sewaktu normal pada kategori dewasa 57 orang, lansia 33 orang dan manula 5 orang.

Sedangkan responden yang memiliki gula darah tinggi pada kategori dewasa 2 orang, lansia

11 orang dan manula 2 orang. Berdasarkan hasil dari analisis Chi-Square test didapatkan

nilai p-value sebesar 0.003. Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara kadar gula darah sewaktu dengan usia.

Page 7: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Tabel 4. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Jenis Kelamin

Gula Darah

Sewaktu

Jenis KelaminTotal p-value α Keterangan

Perempuan Laki-laki

Normal 56 39 950.939 0.05 p-value > α

Tinggi 9 6 15

Total 65 45 110

Pada tabel 4, berdasarkan hasil analisis Chi-Square test untuk menilai hubungan

antara kadar gula darah sewaktu dengan jenis kelamin didapatkan nilai p-value sebesar

0.939. Hal ini menunjukkan bahwa kadar gula darah sewaktu memiliki hubungan yang tidak

bermakna dengan jenis kelamin.

Tabel 5. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Indeks Masa Tubuh

Gula Darah

Sewaktu

IMT

Total p-value α Ket.Kurus Normal

Pre-

ObesitasObesitas 1 Obesitas 2 Obesitas 3

Normal 10 45 23 12 4 1 95

0.076 0.05 p-value > αTinggi 0 7 3 3 0 2 15

Total 10 52 26 15 4 3 110

Berdasarkan hasil analisis antara kadar gula darah sewaktu dan indeks masa tubuh,

didapatkan nilai p-value sebesar 0.076. Hal ini menunjukkan bahwa antara kadar gula

sewaktu dengan indeks masa tubuh memiliki hubungan yang tidak bermakna.

Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Aktivitas Fisik

Gula Darah

Sewaktu

Aktifitas Fisik Total p-value α Keterangan

Ringan Sedang Tinggi

Normal 2 39 54 95 0.00 0.05 p-value < α

Tinggi 10 4 1 15

Total 12 43 55 110

Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa dari 110 responden terdapat 54 orang yang

memiliki aktivitas fisik tinggi, 39 orang yang beraktivitas sedang, dan 2 beraktivitas ringan

memiliki kadar gula darah sewaktu yang normal. Sedangkan gula darah sewaktu yang tinggi

ditemukan pada orang yang beraktivitas rendah sebanyak 10 orang, beraktivitas sedang 4

orang dan beraktivitas tinggi 1 orang. Berdasarkan hasil analisis Chi-Square test untuk

menilai hubungan antara kadar gula darah sewaktu dengan aktivitas fisik didapatkan nilai p-

value sebesar 0.00. Hal ini menunjukkan bahwa antara kadar gula sewaktu dengan aktivitas

fisik memiliki hubungan yang bermakna.

Page 8: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Pembahasan

Hasil analisis analitik menunjukkan beberapa variabel yang telah diteliti ada yang

menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik yaitu usia dan aktivitas fisik

sedangkan jenis kelamin dan indeks masa tubuh tidak memiliki kemaknaan hubungan

secara statistik.

Teori mengatakan bahwa seseorang yang berusia ≥45 tahun memiliki peningkatan

risiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi glukosa oleh karena faktor degeneratif yaitu

menurunnya fungsi tubuh untuk memetabolisme glukosa. Namun kondisi ini ternyata tidak

hanya disebabkan oleh faktor umur saja, tetapi tergantung juga pada lamanya penderita

pada kondisi tersebut. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kasus

hingga mencapai usia 60 tahun.Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur,

khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai

terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan

berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. Selain itu pada

individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot

sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30%

dan memicu terjadinya resistensi insulin.10 Sehingga menurut PERKENI, orang pada usia

diatas 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.6 Pada penulisan ini, orang yang berusia

≥45 tahun lebih berisiko terkena DM dibandingkan dengan orang berusia <45 tahun. Hal ini

sesuai dengan beberapa studi epidemiologi yang mengatakan bahwa tingkat kerentanan

terjangkitnya penyakit DM tipe 2 sejalan dengan bertambahnya umur.

Telah diperlihatkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menambah sensitivitas insulin

dan menambah toleransi glukosa. Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan

diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin

semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang

jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam

tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa

menjadi energi maka akan timbul DM.11 Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki aktivitas fisik sedang dan berat. Hasil analisis hubungan

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kadar gula

darah sewaktu yang merupakan faktor risiko kejadian DM tipe 2. Baru-baru ini penelitian

prospektif juga memperlihatkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan berkurangnya

risiko terhadap DM tipe 2. Penelitian ini lebih lanjut mengusulkan ada gradien risiko dengan

bertambahnya aktivitas fisik. Lebih lanjut aktivitas fisik seperti olahraga yang cukup

mempunyai efek menguntungkan pada lemak tubuh, tekanan darah dan distribusi lemak

tubuh/berat badan, yaitu pada aspek ganda sindroma metabolik kronik, sehingga juga

mencegah penyakit kardiovaskular. Hubungan antara inaktivasi fisik dengan DM masih

Page 9: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

terlihat, bahkan setelah di-adjusted dengan obesitas. Dengan demikian olahraga memiliki

efek protektif yang dapat dicapai dengan pengurangan berat badan melalui bertambahnya

aktivitas fisik.3

Selain umur dan aktivitas fisik yang berpengaruh, ada juga variabel jenis kelamin dan

indeks masa tubuh. Berdasarkan analisis antara jenis kelamin dengan kadar gula darah

sewaktu, wanita lebih mempunyai prevalensi yang tinggi dengan jumlah responden

sebanyak 9 orang dibanding laki-laki yang hanya 6 orang. Namun pada penelitian ini,

keduanya tidak memiliki hubungan yang signifikan. Beberapa penelitian lain mengatakan

bahwa jika terdapat hubungan yang signifikan maka hal tersebut membuat wanita lebih

berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks

masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstural syndrome), pasca-

menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat

proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe 2.10

Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa indeks masa tubuh tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan kadar gula darah sewaktu. Namun beberapa penelitian

dapat membuktikan bahwa indeks masa tubuh menjadi salah satu faktor risiko untuk

kejadian diabetes melitus. Adanya pengaruh indeks masa tubuh terhadap diabetes melitus

ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein

dan lemak yang merupakan faktor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan

meningkatnya asam lemak atau free fatty acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan

menurunkan translokasi glukosa ke membran plasma, dan menyebabkan terjadinya

resistensi insulin pada jaringan otot dan adiposa.11

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan umur, jenis kelamin,

indeks masa tubuh dan aktivitas fisik terhadap kadar gula sewaktu, maka dapat disimpulkan

bahwa yang mempunyai hubungan bermakna adalah aktivitas fisik (p=0.00) dan umur

(p=0.003). Hasil ini didapat dengan menggunakan chi square test dengan α=0,05.

Page 10: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Daftar Pustaka

1. Indriyani P, Supriyatno H, Santoso A. 2007. Pengaruh latihan fisik; senam aerobik

terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 di wilayah puskesmas

bukateja purbalingga. Media Ners. 1(2). 90.

2. Ramadhanisa A, Larasati TA, Mayasari D. 2013. Hubungan aktivitas fisik dengan kadar

hbaic pasien diabetes mellitus tipe 2 di laboratorium patologi klinik rsud dr. h. abdul

moeloek bandar lampung. Medical Journey of Lampung University. 2(4). 45.

3. Trisnawati SK, Setyorogo S. 2013. Faktor risiko kejadian diabetes mellitus tipe 2 di

puskesmas kecamatan cengkareng jakarta barat tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan.

5(1). 6-7.

4. Depkes RI. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia Mencapai 21,3 Juta

Orang. Jakarta: Balitbang [online] 2007 [cited 2015 Juli 31]. Available from:

http://www.depkes.go.id/

5. Tjokroprawiro A. Diabetes mellitus klasifikasi, diagnosis dan terapi. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama; 2001. h. 5.

6. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI; 2007. h. 1857-9.

7. Abbas AK, Maitra A. The endocrine system. In: Kumar V, Abbas AK, Nelson F. Robbins

and Cotran. Pathologics basis of disease. 7th ed. Philadelphia, USA: Elsevier Saunders;

2005: p. 1155-224.

8. Foster DW. Diabetes mellitus. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB,

Fauci AS, Kasper DL. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. Volume 5.

Alih bahasa: Asdie AH. Jakarta: EGC; 2000. p. 2196-217.

9. Waspandji S. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis, dan strategi

pengelolaan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku

ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 2006. h. 1906-10.

10. The Healthy Study Group. 2009. Healthy study rationale, desing and methods:

moderating risk of type 2 diabetes in multi-ethnic middle school students. International

Journal of Obesity. 33(1). 17-8.

11. Kavouras SA. 2006. Physical activity, obesity status, and glycemic control: the attica

study. American College of Sports Medicine Journal. 39(4). 610.

Page 11: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26

Lampiran Analisis Data SPSS 19 for Windows

Page 12: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26
Page 13: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26
Page 14: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26
Page 15: SPSS Tinjauan Pustaka Blok 26