spss tinjauan pustaka blok 26
DESCRIPTION
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia dan intoleransi glukosa. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2.TRANSCRIPT
Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kadar Gula Darah Sewaktu dan Berbagai Faktor
Risiko lainnya pada Kejadian Diabetes Melitus
Theofilio Leunufna102012065
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta – 11510
Abstrak
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia dan intoleransi glukosa. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1
dan DM tipe 2. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis yang prevalensinya tinggi. Untuk
mencegah timbulnya kasus DM tipe 2, masyarakat perlu mengetahui faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan hubungan antar faktor-faktor risiko pada kejadian DM tipe 2. Penelitian ini
menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah responden sebanyak 110 orang yang
dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Alat pengumpulan data berupa
kuesioner tentang karakteristik responden dan observasi untuk mengetahui kadar gula
darah sewaktu. Hasil penelitian menunjukkan umur (p=0.039) dan aktivitas fisik (p=0,00)
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar gula darah sewaktu yang juga
merupakan faktor risiko untuk penyakit DM tipe 2.. Diuji menggunakan Chi Square test
dengan α=0.05.
Kata Kunci: Aktifitas fisik, kadar gula darah sewaktu, faktor risiko, DM tipe 2
Abstract
Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease characterized by hyperglycemia and
glucose intolerance. Diabetes mellitus is classified into type 1 diabetes and type 2 diabetes
mellitus. Type 2 diabetes mellitus is a chronic disease whose prevalence is high. To prevent
the onset of type 2 diabetes cases, people need to know the risk factors associated with the
incidence of this disease. This study used a cross-sectional design with a number of
respondents as many as 110 people were selected using simple random sampling
technique. Data collection tools in the form of a questionnaire about the characteristics of
respondents and observation to determine blood sugar levels while. The results showed age
(p = 0.039) and physical activity (p = 0.00) had a significant association with blood sugar
levels as that is also a risk factor for type 2 diabetes disease.Tested using Chi Square test
with α = 0:05.
Keywords: physical activity, blood sugar levels when, risk factors, type 2 diabetes mellitus
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi insulin secara adekuat yang atau karena tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif atau kedua-duanya. Diabetes Melitus diklasifikasikan
menjadi DM tipe 1, yang dikenal sebagai insulin-dependent atau childhood onset diabetes,
ditandai dengan kurangnya produksi insulin dan DM tipe 2, yang dikenal dengan non-insulin-
dependent atau adult-onset diabetes, disebabkan ketidakmampuan tubuh menggunakan
insulin secara efektif yang kemudian mengakibatkan kelebihan berat badan dan kurang
aktifitas fisik. Sedangkan diabetes gestasional adalah hiperglikemia yang diketahui pertama
kali saat kehamilan.1
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah pasien DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2003. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa proporsi penyebab
kematian akibat DM pada kelompok umur 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki
peringkat ke-2 yaitu 14,7%, sedangkan di daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6
yaitu 5,8%.2
Tingginya prevalensi DM yang sebagian besar tergolong dalam DM tipe 2
disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan dan paparan terhadap lingkungan.
Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan resiko DM tipe 2 adalah
perpindahan dari pedesaan ke perkotaan atau urbanisasi yang kemudian menyebabkan
perubahan gaya hidup seseorang. Diantaranya adalah kebiasaan makan yang tidak
seimbang akan menyebabkan obesitas. Kondisi obesitas tersebut akan memicu timbulnya
DM tipe 2. Pada orang dewasa, obesitas akan memiliki risiko timbulnya DM tipe 2, 4 kali
lebih besar dibandingkan dengan orang status gizi normal.3
Selain pola makan yang tidak seimbang dan gizi lebih, aktivitas fisik juga merupakan
faktor risiko mayor dalam memicu terjadinya DM. Latihan fisik yang teratur dapat
meningkatkan kualitas pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek metabolik, termasuk
meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki toleransi glukosa. Hasil penelitian di
Indian Pima, orang yang aktifitas fisiknya rendah 2,5 kali lebih berisiko mengalami DM
dibandingkan dengan orang-orang yang 3 kali lebih aktif.2
Latihan fisik pada penderita DM memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengendalikan kadar gula dalam darah, dimana saat melakukan latihan fisik terjadi
peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat
menyebabkan penurunan glukosa darah. Selain itu dengan latihan fisik dapat menurunkan
berat badan, meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan respirasi, menurunkan LDL dan
meningkatkan HDL sehingga mencegah penyakit jantung koroner apabila latihan fisik ini
dilakukan secara benar dan teratur. Anjuran olahraga atau latihan fisik sebetulnya bukan
merupakan hal yang baru sebelum ditemukannya insulin pada tahun 1921, namun pada
waktu itu belum jelas batasan latihan fisik yang harus dilakukan seperti jenis latihan, dosis,
frekuensi maupun intensitas dari latihan.1
Mengingat tingginya prevalensi dan tingginya biaya perawatan untuk penderita DM
diperkirakan biaya perawatan minimal untuk rawat jalan di Indonesia sebesar Rp 1,5 milyar
per hari atau Rp 500 milyar per tahun, maka perlu adanya upaya untuk pencegahan dan
penanggulangan penyakit tersebut.3,4 Dengan mengetahui faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan DM tipe 2 berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang meliputi
etnik, sosial-ekonomi, dan gaya hidup di samping faktor genetik dapat dilakukan upaya
pencegahan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2.
Tinjauan Pustaka
Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya
yang berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa
organ tubuh.5,6
Patofisiologi
Etiologi Diabetes Melitus tipe 1 hingga kini masih belum dapat disepakati oleh para
ahli.5,7 Namun hampir semua berpendapat adanya destruksi sel β pulau Langerhans, yang
diakibatkan oleh proses autoimun. Secara patologi terlihat adanya peradangan pankreas
(insulitis) yang ditandai dengan adanya infiltrasi makrofag dan limfosit T teraktivasi di sekitar
dan di dalam sel islet, kadang dijumpai virus yang merusak sitoplasma sel. Sehingga
kerusakan ini akan menyebabkan terbentuknya antibodi ICA (Islet Cell Antibody) yang
menggangu produksi insulin. Insulitis bisa disebabkan oleh bermacam-macam hal
diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, herpes dan lain-lain. Insulitis hanya
menyerang sel β, biasanya sel α dan sel δ tetap utuh.8
Sedangkan Diabetes Melitus tipe 2 pada umumnya lebih bersifat genetik. Tipe ini
mencakup lebih dari 90% semua populasi diabetes. Pada diabetes jenis ini dijumpai kadar
insulin normal atau meningkat yang disebabkan oleh sekresi insulin abnormal dan resistensi
terhadap kerja insulin karena kurangnya reseptor insulin pada organ target sehingga terjadi
defek relatif pankreas untuk mensekresi insulin.5,8 Pada penderita yang obesitas, kelainan
primernya adalah resistensi insulin di jaringan perifer seperti otot dan lemak sehingga terjadi
peningkatan kebutuhan insulin. Sedangkan pada penderita yang non obesitas, kelainan
primernya berupa kerusakan sel β dan kelainan sekundernya di jaringan perifer.5
Faktor Risiko6
Para ahli mengklasifikasikan faktor risiko pemicu timbulnya diabetes melitus menjadi
faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang tidak dapat
dikontrol diantaranya faktor keturunan. Seseorang memiliki risiko berat untuk terserang
diabetes melitus jika salah satu atau kedua orang tuanya menderita penyakit tersebut.
Faktor usia juga merupakan pemicu yang tidak dikontrol. Orang yang berusia di atas 40
tahun rentan terserang diabetes melitus meskipun tidak menutup kemungkinan orang yang
berusia di bawah 40 tahun bebas dari diabetes melitus.
Adapun faktor yang dapat dikontrol diantaranya;
1. Obesitas atau kegemukan
2. Kurang berolahraga
3. Asupan makanan berenergi tinggi dan rendah serat
4. Asupan asam lemak trans yang tinggi dan asupan lemak dengan rasio lemak tak
jenuh/lemak jenuh rendah
5. Merokok dan konsumsi alkohol berlebihan
Manifestasi Klinis
Gejala khas pada penderita DM berupa meningkatnya rasa lapar (polifagia),
meningkatnya pengeluaran kemih (poliuria), timbul rasa haus (polidipsia), lemas dan berat
badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan adalah kesemutan; kelainan kulit seperti
gatal, bisul yang sulit sembuh; kelainan mata seperti mata kabur, gangguan refraksi mata,
diplopia; mulut kering; impotensi pada pria; dan pruritus vulva pada wanita.9
Diagnosis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila ditemukan gejala khas berupa
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan. Keluhan dan gejala yang khas
disertai hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau glukosa darah puasa
>126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus.9
Uji toleransi glukosa oral merupakan salah satu cara efektif untuk mendiagnosis
Diabetes Melitus. Penderita dipuasakan paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum
pemeriksaan, kemudian diperiksa kadar glukosa darah puasa. Setelah itu penderita
diberikan beban glukosa 75 gr (dewasa) atau 1,75 gr/kg BB (anak) yang dilarutkan dalam
250 ml air. Pemberian beban glukosa dilakukan selama 5 menit kemudian diperiksa kadar
glukosa darah 2 jam setelah pembebanan. Pada orang dewasa normal maupun anak
normal, kadar glukosa darah setelah pemberian beban post prandial akan meningkat
menjadi 120-140 mg/dL. Setelah 2 jam kadar ini akan turun kembali dan kembali ke nilai
normal. Pada penderita Diabetes Melitus, konsentrasi glukosa darah pasca pembebanan
≥200 mg/dL sedangkan kadar glukosa darah puasa hampir selalu diatas 140 mg/dL.6
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi epidemiologi observasional analitik yang bertujuan
untuk menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes Melitus,
dengan desain yang digunakan adalah penelitian deskriptif cross sectional yaitu data
dikumpulkan dalam suatu waktu untuk dianalisis tanpa mengikuti perjalanan pajanan dan
outcome pada subjek penelitian. Subjek penelitian berjumlah 110 orang yang diperoleh
dengan teknik simple random sampling. Sumber data yang digunakan adalah sumber data
primer dari pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk variable IMT (Indeks Masa
Tubuh); kuisioner untuk variabel umur, jenis kelamin dan aktivitas fisik; serta pemeriksaan
darah untuk variabel glukosa darah sewaktu.
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan
program SPSS for Windows versi 19. Data dianalisis secara deskripitif dan analitik dan
disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat
diuji dengan chi square.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Penulis menggunakan metode kuantitatif dengan cara menyebarkan kuisioner ke
110 responden untuk melihat hubungan umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh, aktifitas
sehari-hari dan kadar gula darah sewaktu sebagai faktor risiko kejadian diabetes mellitus
tipe 2. Hasil penyebaran kuisioner yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Indeks Masa Tubuh
Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)
Umur (tahun)
Dewasa; ≤45
Lansia; 46-65
Manula; ≥66
59
44
7
53.6
40.0
6.4
Jenis KelaminPerempuan
Laki-laki
65
45
59.1
40.9
Indeks Masa Tubuh Kurus; ≤18.5
Normal; 18.6-24.9
Pre-Obesitas; 25-29.9
Obesitas derajat 1; 30-34.9
10
52
26
15
9.1
47.3
23.6
13.6
Obesitas derajat 2; 35-39.9
Obesitas derajat 3; ≥40
4
3
3.6
2.7
Melihat data pada tabel 1 dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak pada usia
<45 tahun yang berjumlah 59 orang (53.6%) diikuti responden pada usia 46-65 tahun
sebanyak 44 orang (40%) dan responden diatas >65 tahun memiliki jumlah yang paling
sedikit yaitu 7 orang (6.4%). Sedangkan jumlah responden perempuan lebih banyak yaitu 65
orang (59.1%) dibandingkan responden laki-laki yang berjumlah 45 orang (40.1%).
Responden pada penelitian ini juga mempunyai indeks masa tubuh yang beragam
dan yang memiliki jumlah terbanyak adalah responden dengan indeks masa tubuh yang
normal 52 orang (47.3%)
Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Aktifitas Fisik dan Kadar Gula Darah Sewaktu
Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)
Aktifitas Fisik
Rendah
Sedang
Tinggi
12
43
55
10.9
39.1
50
Gula Darah SewaktuNormal; ≤200 mg/dL
Tinggi; >201 mg/dL
95
15
86.4
13.6
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 110 responden terdapat 12 orang
(10.9%) yang aktifitas fisiknya rendah, 43 orang (39.1%) yang beraktivitas sedang dan 55
orang (50%) yang aktifitas fisiknya tinggi. Sedangkan dilihat dari kadar gula darah sewaktu,
responden yang memiliki kadar gula sewaktu yang normal sebanyak 95 orang (86.4%), dan
tinggi sebanyak 15 orang (13.6%).
Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Umur
Gula Darah
Sewaktu
Kategori UmurTotal p-value α Keterangan
Dewasa Lansia Manula
Normal 57 33 5 95
0.003 0.05 p-value < αTinggi 2 11 2 15
Total 59 44 7 110
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa dari 110 responden yang memiliki gula darah
sewaktu normal pada kategori dewasa 57 orang, lansia 33 orang dan manula 5 orang.
Sedangkan responden yang memiliki gula darah tinggi pada kategori dewasa 2 orang, lansia
11 orang dan manula 2 orang. Berdasarkan hasil dari analisis Chi-Square test didapatkan
nilai p-value sebesar 0.003. Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara kadar gula darah sewaktu dengan usia.
Tabel 4. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Jenis Kelamin
Gula Darah
Sewaktu
Jenis KelaminTotal p-value α Keterangan
Perempuan Laki-laki
Normal 56 39 950.939 0.05 p-value > α
Tinggi 9 6 15
Total 65 45 110
Pada tabel 4, berdasarkan hasil analisis Chi-Square test untuk menilai hubungan
antara kadar gula darah sewaktu dengan jenis kelamin didapatkan nilai p-value sebesar
0.939. Hal ini menunjukkan bahwa kadar gula darah sewaktu memiliki hubungan yang tidak
bermakna dengan jenis kelamin.
Tabel 5. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Indeks Masa Tubuh
Gula Darah
Sewaktu
IMT
Total p-value α Ket.Kurus Normal
Pre-
ObesitasObesitas 1 Obesitas 2 Obesitas 3
Normal 10 45 23 12 4 1 95
0.076 0.05 p-value > αTinggi 0 7 3 3 0 2 15
Total 10 52 26 15 4 3 110
Berdasarkan hasil analisis antara kadar gula darah sewaktu dan indeks masa tubuh,
didapatkan nilai p-value sebesar 0.076. Hal ini menunjukkan bahwa antara kadar gula
sewaktu dengan indeks masa tubuh memiliki hubungan yang tidak bermakna.
Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Gula Darah Sewaktu terhadap Aktivitas Fisik
Gula Darah
Sewaktu
Aktifitas Fisik Total p-value α Keterangan
Ringan Sedang Tinggi
Normal 2 39 54 95 0.00 0.05 p-value < α
Tinggi 10 4 1 15
Total 12 43 55 110
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa dari 110 responden terdapat 54 orang yang
memiliki aktivitas fisik tinggi, 39 orang yang beraktivitas sedang, dan 2 beraktivitas ringan
memiliki kadar gula darah sewaktu yang normal. Sedangkan gula darah sewaktu yang tinggi
ditemukan pada orang yang beraktivitas rendah sebanyak 10 orang, beraktivitas sedang 4
orang dan beraktivitas tinggi 1 orang. Berdasarkan hasil analisis Chi-Square test untuk
menilai hubungan antara kadar gula darah sewaktu dengan aktivitas fisik didapatkan nilai p-
value sebesar 0.00. Hal ini menunjukkan bahwa antara kadar gula sewaktu dengan aktivitas
fisik memiliki hubungan yang bermakna.
Pembahasan
Hasil analisis analitik menunjukkan beberapa variabel yang telah diteliti ada yang
menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik yaitu usia dan aktivitas fisik
sedangkan jenis kelamin dan indeks masa tubuh tidak memiliki kemaknaan hubungan
secara statistik.
Teori mengatakan bahwa seseorang yang berusia ≥45 tahun memiliki peningkatan
risiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi glukosa oleh karena faktor degeneratif yaitu
menurunnya fungsi tubuh untuk memetabolisme glukosa. Namun kondisi ini ternyata tidak
hanya disebabkan oleh faktor umur saja, tetapi tergantung juga pada lamanya penderita
pada kondisi tersebut. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kasus
hingga mencapai usia 60 tahun.Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur,
khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai
terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan
berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. Selain itu pada
individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot
sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30%
dan memicu terjadinya resistensi insulin.10 Sehingga menurut PERKENI, orang pada usia
diatas 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.6 Pada penulisan ini, orang yang berusia
≥45 tahun lebih berisiko terkena DM dibandingkan dengan orang berusia <45 tahun. Hal ini
sesuai dengan beberapa studi epidemiologi yang mengatakan bahwa tingkat kerentanan
terjangkitnya penyakit DM tipe 2 sejalan dengan bertambahnya umur.
Telah diperlihatkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menambah sensitivitas insulin
dan menambah toleransi glukosa. Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan
diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin
semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang
jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam
tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa
menjadi energi maka akan timbul DM.11 Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki aktivitas fisik sedang dan berat. Hasil analisis hubungan
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kadar gula
darah sewaktu yang merupakan faktor risiko kejadian DM tipe 2. Baru-baru ini penelitian
prospektif juga memperlihatkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan berkurangnya
risiko terhadap DM tipe 2. Penelitian ini lebih lanjut mengusulkan ada gradien risiko dengan
bertambahnya aktivitas fisik. Lebih lanjut aktivitas fisik seperti olahraga yang cukup
mempunyai efek menguntungkan pada lemak tubuh, tekanan darah dan distribusi lemak
tubuh/berat badan, yaitu pada aspek ganda sindroma metabolik kronik, sehingga juga
mencegah penyakit kardiovaskular. Hubungan antara inaktivasi fisik dengan DM masih
terlihat, bahkan setelah di-adjusted dengan obesitas. Dengan demikian olahraga memiliki
efek protektif yang dapat dicapai dengan pengurangan berat badan melalui bertambahnya
aktivitas fisik.3
Selain umur dan aktivitas fisik yang berpengaruh, ada juga variabel jenis kelamin dan
indeks masa tubuh. Berdasarkan analisis antara jenis kelamin dengan kadar gula darah
sewaktu, wanita lebih mempunyai prevalensi yang tinggi dengan jumlah responden
sebanyak 9 orang dibanding laki-laki yang hanya 6 orang. Namun pada penelitian ini,
keduanya tidak memiliki hubungan yang signifikan. Beberapa penelitian lain mengatakan
bahwa jika terdapat hubungan yang signifikan maka hal tersebut membuat wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstural syndrome), pasca-
menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat
proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe 2.10
Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa indeks masa tubuh tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan kadar gula darah sewaktu. Namun beberapa penelitian
dapat membuktikan bahwa indeks masa tubuh menjadi salah satu faktor risiko untuk
kejadian diabetes melitus. Adanya pengaruh indeks masa tubuh terhadap diabetes melitus
ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein
dan lemak yang merupakan faktor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan
meningkatnya asam lemak atau free fatty acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan
menurunkan translokasi glukosa ke membran plasma, dan menyebabkan terjadinya
resistensi insulin pada jaringan otot dan adiposa.11
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan umur, jenis kelamin,
indeks masa tubuh dan aktivitas fisik terhadap kadar gula sewaktu, maka dapat disimpulkan
bahwa yang mempunyai hubungan bermakna adalah aktivitas fisik (p=0.00) dan umur
(p=0.003). Hasil ini didapat dengan menggunakan chi square test dengan α=0,05.
Daftar Pustaka
1. Indriyani P, Supriyatno H, Santoso A. 2007. Pengaruh latihan fisik; senam aerobik
terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 di wilayah puskesmas
bukateja purbalingga. Media Ners. 1(2). 90.
2. Ramadhanisa A, Larasati TA, Mayasari D. 2013. Hubungan aktivitas fisik dengan kadar
hbaic pasien diabetes mellitus tipe 2 di laboratorium patologi klinik rsud dr. h. abdul
moeloek bandar lampung. Medical Journey of Lampung University. 2(4). 45.
3. Trisnawati SK, Setyorogo S. 2013. Faktor risiko kejadian diabetes mellitus tipe 2 di
puskesmas kecamatan cengkareng jakarta barat tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan.
5(1). 6-7.
4. Depkes RI. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia Mencapai 21,3 Juta
Orang. Jakarta: Balitbang [online] 2007 [cited 2015 Juli 31]. Available from:
http://www.depkes.go.id/
5. Tjokroprawiro A. Diabetes mellitus klasifikasi, diagnosis dan terapi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama; 2001. h. 5.
6. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2007. h. 1857-9.
7. Abbas AK, Maitra A. The endocrine system. In: Kumar V, Abbas AK, Nelson F. Robbins
and Cotran. Pathologics basis of disease. 7th ed. Philadelphia, USA: Elsevier Saunders;
2005: p. 1155-224.
8. Foster DW. Diabetes mellitus. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB,
Fauci AS, Kasper DL. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. Volume 5.
Alih bahasa: Asdie AH. Jakarta: EGC; 2000. p. 2196-217.
9. Waspandji S. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis, dan strategi
pengelolaan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. h. 1906-10.
10. The Healthy Study Group. 2009. Healthy study rationale, desing and methods:
moderating risk of type 2 diabetes in multi-ethnic middle school students. International
Journal of Obesity. 33(1). 17-8.
11. Kavouras SA. 2006. Physical activity, obesity status, and glycemic control: the attica
study. American College of Sports Medicine Journal. 39(4). 610.
Lampiran Analisis Data SPSS 19 for Windows