seri buku brr - buku 10 - agama sosial budaya

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

159 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

0

AGAMA SOSIAL BUDAYAMenggugah Marwah Penggalang Daya

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Fuad Mardhatillah T. Safir Iskandar Wijaya : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Margaret Agusta (Kepala) : Suhardi Soedjono : Delsy Ronnie Hasan Basri Ihsanuddin M.Z Iskandar Zulkarnain M Agus Susanto M.Nur Rahmad Fadhli Rosman Husein Tgk. Muntasir T. M. Zulfikar

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Yulian Ardi

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Heru Prasetyo Ricky Sugiarto (Kepala) Rudiyanto

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Melinda Hewitt : Margaret Agusta : Oei Eng Goan T. Ferdiansyah Thajib

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199414

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Pinto Khop, nama pintu gerbang berbentuk kubah ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (wafat 27 Desember 1636) sebagai tempat rehat bagi permaisurinya, Putre Phang (Putri Pahang), setelah lelah berenang di Sungai Dar ulIsyki (sekarang Krueng Daroy). Ikon Kota Banda Aceh yang merupakan penghubung antara dalam (keraton) dan Gunngan (Taman Putre Phang) itu kini menjadi model bagi motif khas Aceh pinto Aceh. Gambar diambil pada 12 Juli 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar IsiPendahuluan Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong TransformasiMasyarakat di Tengah Konflik Tsunami Pembuka Aceh Bantuan Datang, Gejolak Sosial Berkembang Ruang Lingkup Nyaris Tak Berbatas

viii 11 4 6 9

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

Satu Kedeputian Sebagai Garda Terdepan Bergerak di Sekitar Sensitivitas Budaya Masyarakat Tiga Kategori Melalui Pendekatan Partisipatif

17

19 22 25

Bagian 3. Dari Gagasan ke Implementasi Bagian 4. Program Unggulan Pewujud Visi

Tim Rehab Mental Pengaman Wilayah Tsunami Bantuan Sosial Pengangkat Harkat Kelompok Usaha Pemuda Produktif Program Studi Purna Ulama Penerbitan Buku Ulama dan Santri Kepemudaan dan Keolahragaan Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial Masyarakat International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies Pameran Buku Perdana Pembangunan Kembali Sarana dan Prasarana Hisab dan Rukyat Pembangunan Kembali Kehidupan Masyarakat Terjemahan AlQuran Berbahasa Aceh Memahami Jejaring Sosial, Mengidentifikasi Mitra Potensial, dan Membangun Kemitraan Berkelanjutan Melibatkan Mitra untuk Berpartisipasi, Membangun Konsensus dan Komitmen Bersama Berupaya Supaya Mitra Berdaya Mengonfirmasi Aspirasi Secara Partisipatif

31 37

39 40 41 43 46 49 51 51 53 54 56 56 59 63 68 73

Bagian 5. Mengatasi Tantangan Masyarakat Kompleks

59

Bagian 6. Hikmah Ajar Daftar Singkatan

79 84

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

viii

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan sarana-prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600-an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000-an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecil-menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangan-tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai-taulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh-Nias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun Aceh-Nias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan Aceh-Nias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porak-poranda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan Aceh-Nias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku Menggugah Marwah Penggalang Daya ini mengangkat pembangunan di bidang agama, sosial, dan budaya yang merupakan tiga sektor kunci bagi masyarakat penyintas. Terkhusus di Aceh, prasarana-sarana pendukung kegiatan serupa, pengadaan maupun pembangunannya telah dimulai sejak awal Pemulihan. Perannya penting dalam rangka menormalisasi integrasi nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan pada kehidupan seharihari, serta menumbuhkan kemandirian masyarakat berazaskan kearifan lokal.

x

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Menafsir Kompleksitas, Mendorong TransformasiMasyarakat di Tengah Konflik

SELAMA lebih dari tiga dasawarsa, Aceh mengalami sistem pemerintahan yang

dirasakan oleh masyarakat sebagai otoritarian, birokratis, sentralistis, dan tidak menjawab rasa keadilan masyarakat. Hal ini diyakini sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik kekerasan bersenjata berkepanjangan di Aceh (1976-2005). Rekayasa sistemik dan konflik kekerasan ini menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik pada level mikro maupun makro. Pada level mikro, dampak negatif ini tampil dalam persoalan psikososiologis pada pribadi-pribadi yang ada di masyarakat, dalam bentuk rasa curiga, ketidakpercayaan sosial (social distrust), ketidaksenangan sosial (social discontent), serta dendam sosial tanpa sasaran jelas. Dampak negatif ini tampil juga dalam pola pikir tunggal yang tidak terbuka pada alternatif, cenderung pada keseragaman, menolak perbedaan, berwawasan sempit, tertutup, dan bersikap hitam-putih atau dikotomis (binary opposition). Selain itu, dimensi kreativitas dan produktivitas masyarakat ikut hilang. Akhirnya, terbentuklah kultur perilaku sosiopolitis masyarakat yang kontraproduktif dan lebih mementingkan diri sendiri. Sikap altruistik hilang oleh dominasi sikap-sikap yang cenderung koruptif, manipulatif, dan defensif. Berbagai modalitas dan solidaritas sosial juga ikut rusak.

Operasi militer di permukiman warga, Langsa, Aceh Timur. Foto: Dokumentasi Puspen TNI

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

1

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Masyarakat yang berpegang pada agama sebagai acuan sosial ini kemudian membangun benteng pertahanan zona nyaman (comfort zone)-nya dari infiltrasi ketegangan dalam bentuk pengerasan syariat. Hal ini terjadi saat argumentasi aqliyah (rasional) dan nilai-nilai akidah diterjang oleh kekerasan fisik dan senjata. Akhirnya, masyarakat tidak lagi memiliki respek yang tinggi terhadap argumentasi yang membangun. Kekerasan yang ditimpakan kepada masyarakat telah dijawab dengan kekerasan yang menutup diri, yang pada gilirannya cenderung melahirkan kekerasan ofensif berikutnya. Sedangkan pada level makro, kondisi sosial perekonomian masyarakat Aceh telah lama ikut porak-poranda. Konflik bersenjata berkepanjangan menyebabkan hancurnya berbagai sumber daya ekonomi penduduk. Pembakaran, perusakan, dan hancurnya lahan bercocok tanam ataupun gagalnya panen karena para petani harus mengungsi, tak pelak, menyebabkan daya hasil dan daya beli masyarakat turun drastis. Perdagangan di masa konflik memiliki karakteristik yang khas. Pasar sering sepi tanpa transaksi. Bahan kebutuhan pokok menjadi langka. Banyak pedagang tidak berani mendatangkan barang karena tidak mau berspekulasi dengan situasi keamanan yang tidak stabil. Akibatnya, perputaran barang dan uang di Aceh berjalan tersendat dalam volume yang rendah. Kelangkaan barang yang diikuti dengan meningkatnya harga membuat daya beli masyarakat terkikis. Kondisi semakin buruk dengan ditutupnya berbagai sarana produksi vital di Aceh Utara, yang walau selalu dianggap sebagai simbol ketidakadilan pembagian hasil antara pusat dan daerahpada dasarnya merupakan sumber mata pencarian yang penting bagi masyarakat. Sarana pengolah hasil sumber daya alam itu, seperti ExxonMobil, PT Pupuk Iskandar Muda, dan kilang LNG Arun, yang selama ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pada umumnya berhenti berproduksi karena pasokan bahan dinilai tidak lagi ekonomis untuk menjalankan produksi. Dampak konflik terhadap biaya produksi dan ketenangan usaha tidaklah kecil. Pada kondisi terburuknya, skala produksi yang menyurut dan kemudian berhenti menyebabkan sebagian besar karyawan proyek vital tersebut kehilangan lapangan kerja dan/atau mencari penghasilan dengan pindah ke luar Aceh. Selain itu, hukum dan pemerintahan terancam lumpuh. Dua fungsi institusional ini, yang seharusnya menjadi pengayom, pembimbing kehidupan, dan pembina harapan masa depan rakyat, tidak bisa berfungsi seperti yang diharapkan. Kantor-kantor pengadilan, terutama di daerah sarat konflik, tutup. Beberapa di antaranya dibakar dan dijarah. Banyak hakim dan jaksa terpaksa meninggalkan Aceh demi keamanan. Kondisi ekonomi yang memburuk, hukum dan tata negara yang kehilangan wibawa, serta nuansa kekerasan yang mewarnai kehidupan meningkatkan derajat kejahatan. Tidak jarang praktik main hakim sendiri terjadi sehingga memperburuk kondisi kehidupan masyarakat.

2

Teror yang mengikuti konflik juga secara langsung menebar ketidakberdayaan yang menciptakan perilaku apatis dan mempertebal praktik-praktik korup pada aparat pemerintahan. Tuntutan akuntabilitas yang menurun demi mengatasi situasi kritis yang tercipta, sengaja atau tidak, telah memberikan pembenaran yang menghancurkan sendi-sendi martabat hubungan masyarakat dengan pemerintah. Sungguh kondisi yang sangat menyulitkan saat kerja sama pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam konteks mengatasi masalah pascabencana. Kondisi kejiwaan masyarakat, dan dalam bentuk yang berbeda aparat pemerintahan, yang tercekam oleh suasana traumatis serta penuh kecemasan dan ketakutan ini sungguh tidak memudahkan untuk dilakukannya sebuah operasi besar. Kehancuran sosiologis masyarakat akibat bencana kemanusiaan tersebut makin terentak berat saat bencana alam dahsyat gempa dan tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. Bencana ini tidak saja menghancurkan jiwa raga, harta benda, dan kolektivitas sosial secara sangat masif, tetapi juga meremukkan berbagai struktur dan pranata sosial kelembagaan masyarakat dan rukun kekerabatan yang tersisa setelah digerus konflik. Bencana mahadahsyat ini menyebabkan kehancuran kantor, tempat tinggal, dan fasilitas umum serta hilangnya mata pencarian. Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi ke sejumlah daerah aman di barak dan tempat pengungsian. Pelayanan masyarakat oleh pranata pemerintahan, apa pun bentuknya yang masih dianggap normal dalam situasi konflik, terhenti sedemikian rupa karena runtuhnya kapasitas yang tersisa.

Barisan penduduk mengungsi ke tempat lebih aman saat terjadi operasi militer sebelum Aceh dilanda tsunami. Foto: Dokumentasi Puspen TNI

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

3

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

4

Seorang warga Aceh terpana menyaksikan reruntuhan akibat sapuan tsunami, 8 Januari 2005. Foto: Donang Wahyu

Tsunami Pembuka AcehDi satu sisi, secara dramatis, bencana ini menjadi momentum yang mendorong terkuaknya berbagai kerusakan kehidupan sosial ke permukaan. Pada hari-hari awal terjadinya bencana, tampak betapa masyarakat menjadi galau dalam apatisme yang mendalam. Seolah-olah masa depan mereka hampa tanpa harapan. Mereka yang berada di luar wilayah bencana tsunami pun seakan tersihir oleh ketidakberdayaan. Sejenak mereka tampak kehilangan harapan dalam membantu saudara-saudaranya yang menderita karena skala kerusakan yang begitu besar ini. Besarnya kerusakan seakan menelan semua bantuan yang dapat mereka berikan, bagai sumur tanpa dasar. Kondisi yang sangat buruk dan mencekam di lapangan sungguh telah mengecilkan hati siapa pun yang menghadapinya, terutama saat rasa kebersamaan telah lama tereduksi oleh pertentangan.

Di pihak lain, skala kehancuran yang begitu masif dan mendadak sampai-sampai melumpuhkan masyarakat dan pemerintahan Aceh itu ternyata cukup berdampak dalam memicu simpati masyarakat dunia. Komunitas internasional kemudian menggerakkan tanggung jawab moral kemanusiaan mereka untuk membantu korban bencana dalam skala yang mencengangkan pula. Mereka datang dari mana-mana dengan membawa apa pun untuk meringankan beban dan penderitaan korban tsunami. Ratusan lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional dan internasional, ditambah dengan badan-badan multilateral dan puluhan pemerintah negara sahabat, hadir di Aceh dan Nias dengan membawa program bantuan yang seakan membanjir tak terkendali. Masyarakat yang masih terenyak oleh gelombang tsunami mendadak tersibukkan dengan bah gelombang bantuan. Sebagian menyikapinya dengan positif realistis sebagai tibanya harapan baru, sebagian lagi menyikapinya dengan ragu-ragu seakan belum percaya akan kebenaran dan ketulusannya, bahkan sebagian yang lain berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya karena khawatir akan kontinuitasnya. Gempa dan tsunami ini membuka masyarakat Aceh yang tertutup dan terisolasi dari dunia luar selama konflik kekerasan. Aceh seakan terhumbalang kembali menjadi wilayah kosmopolit tempat bertemunya berbagai bangsa, kali ini dalam modus melaksanakan misi dan tugas kemanusiaan. Dipandang dari kacamata pembawa dan pengelola bantuan, situasi bencana raksasa dan bantuan raksasa ini sungguh tak terbandingkan. Secara tidak langsung, Aceh dan Nias yang hancur lebur akibat gempa dan tsunami menjadi laboratorium terbesar tempat sejumlah disiplin ilmu serta keahlian bertemu dan bermitra dengan keharusan mengesampingkan egoisme sektoral, organisasi, lembaga, dan aliran pemikiran. Semua itu harus ditanggalkan demi kebaikan masyarakat dan daerah bencana agar dapat bangkit dan membangun Aceh dan Nias lebih baik daripada sebelumnya. Situasi dan kondisi yang seakan selalu berada di ambang chaos pascabencana memicu perasaan realistis bahwa tanpa koordinasi dengan pihak lain, efek maksimal dari kontribusi organisasi tidak akan tercapai. Kebutuhan akan pelayanan logistik menjadi pemersatu utama di tahap awal. Kesempatan pembelajaran kembali ini juga dialami masyarakat Aceh lewat kehadiran warga dunia dengan berbagai bantuan kemanusiaannya. Mereka yang datang ini sekaligus menjadi wahana pembanding untuk masyarakat Aceh, dari segi aturan, sistem, metodologi, sampai mekanisme pelaksanaan pembangunan. Masyarakat terpapar pada kesempatan untuk memperluas wawasan serta meningkatkan kualitas rasa kemanusiaan dan hubungan antarmanusia. Juga mengemuka keberadaan berbagai tuntutan dan kesempatan baru akan kemampuan dan keterampilan yang tiba-tiba mendesak. Dalam kegiatan yang seakan menyinggung pemberdayaan masyarakat ini, sedikitnya tiga isu pokok ikut mewarnai perkembangannya dalam masyarakat, yaitu isu hak asasi, pluralisme, dan gender. Ketiga isu ini, yang memang sedang berkembang pesat di dunia

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

5

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

internasional dibahas, diperbincangkan, dan diperdebatkan di kalangan akademisi dan praktisi pun terbawa hidup di Aceh. Pembangunan yang peka-manusia (Human sensitive development) kemudian ikut mewarnai pemahaman akan pengertian build back better yang dianut dalam program pembangunan masyarakat Aceh. Melalui usaha untuk memanfaatkan proses dan dinamika keterlibatan masyarakat Aceh, diharapkan terjadi penggugahan dan perubahan paradigma dalam pola pikir dan perilaku masyarakat. Perubahan-perubahan ini diharapkan berguna dalam menata pembangunan, baik dalam masa rekonstruksi maupun, dan terutama, dalam pembangunan berkelanjutan demi masa depan Aceh yang lebih baik.

Bantuan Datang, Gejolak Sosial BerkembangPotensi dampak positif di atas bukanlah pengaruh tunggal dalam mengkaji pengaruh banyaknya bantuan yang dipicu oleh keterbukaan yang diberikan pemerintah. Residu trauma konflik tidak mudah dihapus. Rasa keadilan yang diterjemahkan dengan kalau ada yang dapat, aku pun harus dapat ternyata masih sangat kental pengaruhnya. Bantuan, baik berupa uang, barang, maupun jasa, yang datang berlimpah-ruah ke Serambi Mekkah ini sayangnya tidak selalu terdistribusi dengan baik. Akibatnya, sebagian masyarakat korban bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan dasar lainnya sampai berlebihan, sementara sebagian lainnya masih mengalami kekurangan. Sedangkan nilai-nilai sosial dan kebersamaan yang telah begitu lama terkikis oleh konflik, gempa, dan tsunami memunculkan perasaan-perasaan serba kekurangan dan ketakutan tidak mendapatkan kebutuhan dasar demi memastikan kelangsungan hidup diri sendiri dan keluarga. Kondisi dan keadaan semacam ini menjelaskan munculnya sikap putus asa, seakan menghalalkan segala cara dan menghadirkan keserakahan. Munculnya kebersamaan dan solidaritas serta bangkitnya moralitas diri di masyarakat dalam menyikapi kondisi kehidupan yang dibayangkan ternyata belum sepenuhnya terwujud. Rasa saling cemburu di tingkat komunitas masyarakat masih menunjukkan wajah buruknya dari waktu ke waktu. Yang juga ikut muncul ke permukaan adalah persepsi masyarakat Aceh tentang jangka waktu tersedianya bantuan itu sendiri. Konflik telah menyebabkan masyarakat cenderung berpikir tentang hari ini saja. Kebutuhan akan perumahan dan alat transportasi bagi tenaga bantuan yang melonjak luar biasa dalam waktu yang sangat singkat memicu kecenderungan lonjakan harga. Penetapan harga secara sewenang-wenang seakan menjadi hal yang wajar dan perlu. Pengaruh uang dalam mengatur kehidupan manusia menjadi sangat besar, melampaui keseimbangan yang wajar. Peran uang sebagai penggerak kegiatan menguat drastis. Contohnya program padat karya (cash for work), yang merupakan salah satu program populer sejak awal pascatsunami yang dilakukan lembaga-lembaga bantuan besar,

6

termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk memobilisasi masyarakat. Di satu sisi, program ini memungkinkan masyarakat memiliki daya beli sehingga ekonomi di tingkat akar rumput dapat mulai bergerak kembali. Di pihak lain, kebiasaan masyarakat untuk melakukan kegiatan gotong-royong mendapat tantangan baru. Seorang anggota masyarakat yang membersihkan sampah akibat tsunami di sekitar (bekas) permukimannya sendiri bisa menerima uang puluhan ribu rupiah per hari. Hal ini tampak berdampak pada masyarakat terutama pada rasa tanggung jawab dalam kehidupan sosial dan sikap gotong-royong. Sikap positif yang tengah tergelincir karena dampak konflik itu sempat makin tergerus karena keterkejutan terhadap uang. Penawaran bantuan dalam jumlah begitu besar, dan dari begitu banyak pihak, membuat sebagian besar korban tsunami, terutama para wakil-nya, merasa wajar untuk termanjakan. Masyarakat seakan tiba-tiba dihadapkan pada kesempatan untuk bisa memilih: mana bantuan yang mau mereka terima dan mana yang tidak mau mereka terima. Tidak hanya sekali terjadi kasus LSM ditolak komunitas korban karena bantuannya dipandang tidak sesuai dengan keinginan mereka dan/atau nilainya lebih rendah dibandingkan dengan bantuan yang datang dari LSM lain. Tercatat ada rumah-rumah

Masyarakat melakukan pembersihan lahan secara bersama dalam program cash for work di Lampaya, Aceh, Besar, 15 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

7

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

8

Masyarakat Aceh dengan aman menikmati hiburan penyanyi di panggung terbuka.. Telepon genggam berkamera telah menjadi bagian gaya hidup kawula muda setempat. Banda Aceh, 12 April 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

baru yang konstruksinya dirancang untuk memicu gelombang penyempurnaan oleh masyarakat sendiri yang dalam kondisi normal mungkin disebut sebagai konstruksi rumah tumbuh yang tidak juga ditempati oleh para korban. Hal ini terjadi karena mereka menilai rumah itu kalah menarik dibandingkan dengan bantuan berupa rumah permanen dan berlantai keramik yang dibangun lembaga-lembaga yang memiliki kemampuan pendanaan yang lebih kuat atau memiliki filosofi penyediaan bantuan yang berbeda. Bervariasinya konsep, desain, dan materi rumah masing-masing lembaga pemberi bantuan, walaupun koridor standar telah ditetapkan, menjadi alasan munculnya gejala ini. Banyaknya uang yang beredar juga memengaruhi efektivitas pertukaran informasi di kalangan masyarakat. Salah satu contohnya adalah para warga komunitas korban tsunami yang jenuh dengan pertanyaan yang berulang kali dilontarkan surveyor dari berbagai lembaga yang ingin mengidentifikasi kebutuhan mereka untuk kemudian memberikan bantuan. Akibatnya, warga merasa seharusnya dibayar apabila memberikan informasi, sekalipun keterangan itu digunakan untuk membangun kembali dirinya, komunitas, dan kampungnya sendiri. Mereka tidak tertarik ikut kegiatan yang tidak ada uangnya. Gejala penting lain yang muncul dari kondisi mendadak terbuka ini adalah kegamangan akan nilai moral. Hal itu dimulai dari munculnya kelompok tenaga kerja, termasuk para tenaga kerja lokal, yang mendapatkan imbalan yang wajar dalam

komunitas profesional internasional dan relatif sangat tinggi di kalangan masyarakat umum yang jauh dari sejahtera. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya sekelompok masyarakat yang dapat disebut sebagai komunitas new middle class yang kaget. Keberadaan kelompok masyarakat yang mendadak sejahtera ini memicu lahirnya subkultur dan gaya hidup yang berbeda dengan apa yang berkembang sebelum tsunami. Perubahan itu memunculkan potensi kesenjangan sosial ekonomi baru di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat pada masa rekonstruksi besar-besaran ini. Kesenjangan itu melahirkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat. Kecemburuan ini pada suatu saat memicu persepsi bahwa ada upaya penetrasi budaya internasional yang oleh kalangan tertentu dipandang tidak sejalan dengan kondisi keberadaan Aceh sebagai daerah syariat dan berbudaya Islam. Pengaruh dari kalangan ini memunculkan usaha dan gerakan penolakan oleh masyarakat lokal. Salah satu bentuk yang muncul ke permukaan adalah isu krisis identitas dan pemurtadan atau pendangkalan akidah. Isu ini kritis dan memiliki potensi besar untuk menyulitkan performansi rekonstruksi dan, karena itu, perlu disikapi secara sungguh-sungguh.

Ruang Lingkup Nyaris Tak BerbatasSeluruh gambaran yang dipaparkan di atas adalah konteks yang dihadapi BRR dalam pekerjaannya sehari-hari. Tampak jelas bahwa ruang lingkup tugas dan kerja BRR begitu luas. Ia bersifat multisektoral karena mencakup pembangunan fisik dan nonfisik serta menyangkut jiwa dan kapasitas kemanusiaan korban bencana. Ia juga sekaligus harus menanganinya dari sisi kebijakan dan strategi sampai tingkat pelaksanaan dan koordinasi berbagai pemangku kepentingan di lapangan. Melihat ruang lingkup tugas dan pekerjaan pascabencana yang seperti ini, setiap pelaku yang terlibat dalam BRR perlu memiliki kesadaran awal bahwa bergabung dalam BRR berarti siap dan rela bekerja keras, serius, fokus, penuh perencanaan, sekaligus fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan di lapangan. Kerja keras ini dibutuhkan karena apa yang hendak dilakukan BRR bersifat transformasional. BRR mengemban tugas sejarah merehabilitasi dan merekonstruksi fisik-infrastruktur dan mental-suprastruktur Aceh-Nias agar menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. BRR tidak sekadar melayani tuntutan dan kebutuhan fisik-material masyarakat korban, tetapi melakukannya untuk sekaligus membangun landasan bagi terjadinya perubahan sosial dan secara transformasional mengubah realitas sosial yang ada demi menuju masyarakat Aceh yang diharapkan. Visi-misi pencerahan dan transformasi inilah yang diemban BRR. Dalam setiap ikhtiarnya, BRR mencoba menjalin kembali hubungan simbiosis antara pemerintah dan rakyat. Dalam jalinan kerja sama inilah pihak-pihak tersebut perlu sama-sama memegang teguh prinsip-prinsip transformasi demi cita-cita ideal bersama. BRR diharapkan menjadi semacam lembaga role model yang memiliki semangat dan prinsip kerja membangun

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

9

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

perangkat-perangkat infrastruktur dan suprastruktur dalam dimensi reformasi dan transformasi. Semua ini untuk menuju pencapaian cita-cita ideal yang menjadi visi-misi BRR: mengantar terwujudnya masyarakat yang bermartabat, amanah, demokratis, dan sejahtera. Dalam bekerja, BRR berpegang pada sejumlah prinsip yang menjadi etika dasar organisasi dalam melaksanakan tugas-tugas rehabilitasi dan rekonstruksi, antara lain: 1. Prinsip Partisipasi Wilayah Aceh yang hancur hendak dibangun kembali dengan moto build back better, dengan perencanaan yang partisipatif dan berbasis gampong, yang dipahami dan diyakini sebagai metode yang lebih bisa menjamin realisasi pembangunan yang lebih baik daripada sebelumnya dan dapat memenuhi tuntutan rasional aspirasi masyarakat. 2. Prinsip CommunityDriven Segala kerja membangun kembali selalu dilandasi harapan bahwa masyarakat selaku penerima manfaat harus merumuskan kebutuhannya secara jelas. Untuk itu, mereka berpartisipasi dan ikut terlibat langsung atau tidak langsung dalam pelaksanaan rangkaian pembangunan. Pembangunan ini pun direncanakan sendiri dengan berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan yang dirasakan sebagai kebutuhan nyata maupun kebutuhan yang tidak dirasakan yang berbentuk pembangunan nonfisik, yang sulit diukur secara matematis dan bersifat tidak kasat mata. Program nonfisik ini mencakup pembinaan, pengayaan, pemberdayaan, dan peningkatan kapasitas intelektual dan motorik warga. 3. Prinsip Antikorupsi Segala pengelolaan dan pelaksanaan program BRR dibangun di atas prinsip antikorupsi tanpa toleransi. Artinya, dalam pelaksanaan program dan kegiatannya, BRR tidak memberikan toleransi pada siapa pun dan pada bentuk korupsi apa pun. Setiap karyawan BRR menandatangani Pakta Integritas yang berisi kesepakatan tidak melakukan korupsi dalam segala jenis dan bentuk. BRR juga membentuk Satuan Anti Korupsi (SAK), yaitu satuan khusus yang sejak awal bertugas menangkal kemungkinan terjadinya korupsi dan melakukan investigasi terhadap laporan masyarakat. 4. Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Seluruh pekerjaan yang dilaksanakan BRR harus memiliki sifat keterbukaan yang memadai agar pemangku kepentingan dapat mengakses informasi di BRR sekaligus agar mereka terlibat memantau dan mengawasi jalannya program dan kegiatan. Sistem manajemen perlu dibangun untuk meyakinkan bahwa kegiatan yang dilakukan selalu dapat dipertanggungjawabkan, pertama secara substantif dan selanjutnya secara kepatuhan terhadap aturan. Mekanisme ini secara tidak langsung, di samping peran utamanya untuk menjaga keefektifan proses kerja, juga meminimalkan potensi korupsi.

10

Kompleksitas masyarakat yang digambarkan sebelumnya merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Kedalaman dan kerumitannya, yang dicoba disikapi dengan berbagai cara, memengaruhi tingkat capaian dan keberhasilan program, khususnya dalam bidang agama, sosial, dan budaya. Prinsip-prinsip dasar inilah yang sejak awal dicoba untuk ditegakkan oleh BRR, baik secara konseptual sejak perencanaan kegiatan maupun pada tingkat implementasi di lapangan. Ini semua demi memastikan agar Aceh bisa dibangun kembali dengan cepat dan tepat. Tepat dalam arti bangkit kembalinya rasa sosial dan kewarganegaraan masyarakat: bahwa keadilan dan kesejahteraan bukanlah mimpi hampa, dan bahwa kerja keras dan sungguh-sungguh mempunyai peran besar untuk mencapainya.

Menjaring masukan dari warga dalam pertemuan dengan korban bencana, Genting Timu, Pidie, 28 Sepetember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

11

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Konflik Aceh dalam LajurWaktu

Kisah pembunuhan Jenderal Kohler di depan Masjid Baiturrahman, tanggal 26 Januari 1874, merupakan salah satu gejolak awal yang dialami Aceh di masa lalu.

12

22 Agustus 1945 Sejumlah tokoh dan pejuang Aceh berkumpul di rumah Teuku Abdullah Jeunib di Banda Aceh. Tergalang pemikiran, agar rakyat Aceh, tokoh, dan pejuang di Aceh mendukung SoekarnoHatta. 23 Agustus 1945 Sebanyak 56 tokoh hadir dalam pertemuan lanjutan di Shu Chokan (Kantor Residen Aceh, kini kantor Gubernur Aceh). Tengku Muhammad Daud Beureueh absen. Teuku Nyak Arief mengambil Alquran, berdiri, lalu berucap, Wallah, Billah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah terakhir. 15 September 1945 Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra hulubalang Desa Cumbok menentang kemerdekaan RI di Aceh. Pejuang kemerdekaan RI di Aceh pimpinan Sjamaun Gahara menyerbu Markas Daud Cumbok. Daud Cumbok disebutsebut meninggal. Peristiwa Cumbok ini merupakan konflik pertama antara kelompok proRI dengan penentangnya. 15 Juni 1948 Soekarno secara khusus datang ke Aceh menemui Gubernur Militer Aceh, Daud Beureuh. Soekarno meminta Beureuh membantu Republik Indonesia yang secara de facto praktis Jogjakarta saja dan ikut mendesak Belanda agar mengakui kemerdekaan RI. Bila menang, Aceh akan diberi kesempatan mengatur pemerintahan tersendiri. Daud Beureuh bersedia. Dia minta para saudagar Aceh mengumpulkan emas untuk membantu Soekarno membeli dua pesawat Dakota.

19 Desember 1948 Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. SoekarnoHatta menunjuk Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatera Utara. Tengku Daud Beureueh membantu pemerintah darurat tersebut. 17 Desember 1949 Penampilan Daud Beureueh untuk membantu Syafruddin disambut tokoh ulama lain, di antaranya Hasan Ali, Ayah Gani, H.M. Nur E.L. Ibrahimy, dan Teuku Amin. Mereka melobi Syafruddin untuk mendirikan Provinsi Aceh. Syafruddin setuju dan mengeluarkan Ketetapan PDRI Nomor 8/Des/WKPH tertanggal Kutaraja, 17 Desember 1949. Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh. Akhir 1949 Daud Beureueh bersikukuh mendukung kemerdekaan RI. Bahkan, ia mengalang pengumpulan dana dari rakyat Aceh untuk membeayai perjuangan RI. 8 Agustus 1950 Di Jakarta, Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat memutuskan, wilayah Indonesia dibagi 10 provinsi. Provinsi Aceh, telah berdiri pada 17 Desember 1949, dilebur dengan Provinsi Sumatera Utara. 23 Januari 1951 Perdana Menteri M. Natsir membacakan surat peleburan provinsi Aceh di RRI Banda Aceh. 21 April 1953 Daud Beureueh terpilih sebagai Ketua Umum Kongres Alim Ulama seIndonesia di Medan. Ia minta segenap ulama mendukung pemilu 1955 supaya RI menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Gagasan senada dicetuskan lebih dulu oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, pasukannya dikenal DI/TII.

22 Desember 1962 Diadakan rekonsiliasi dalam momen Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) dan lahir Ikrar Blang Padang. Beureueh menerima perdamaian dan mengakhiri (1964) pemberontakan gagasan NII atau Republik Islam Aceh. Rakyat Aceh sementara menikmati damai dengan ongkos 4.0005.000 nyawa saudara mereka. 1972 Daud Beureueh kembali mengumpulkan kekuatan DI/TII untuk menggalang perlawanan pemerintah pusat dan mengutus Zainal Abidin (Menteri Dalam Negeri Pemerintah Islam Negara Aceh) menjemput kakaknya, Hasan Tiro di Kolumbia AS. Hasan Tiro menyambut hangat. 20 September 1953 Daud Beureueh memutuskan melawan Jakarta dan bekerjasama dengan NII Kartosuwiryo. Jakarta menyebutnya pemberontakan dan mengirim pasukan dari Jawa ke Aceh. 23 September 1955 Tokoh Aceh menggelar Kongres Batee Krueng (Kongres Rakyat Aceh). Beureueh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Nanggroe Aceh. Aceh menjadi Negara Bagian Aceh dari konfederasi NII pimpinan Kartosoewirjo. 27 September 1955 Pemerintah RI mengirimkan pasukan tentara dengan sandi Operasi 19 Agustus. 27 Januari 1957 Menteri Dalam Negeri RI Sunaryo melantik Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Pangdam Aceh. Pelantikan ini menandai pembatalan likuidasi Provinsi Aceh. Juli 1957 Gubernur Ali Hasjmy dan Pangdam Aceh mengikat perjanjian dengan DI/TII di Aceh dalam Ikrar Lam The. Gejolak di Aceh mereda. 15 Februari 1958 Beureueh bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Permesta, serta memutus hubungan dengan DI/TII Kartosoewirjo. PRRIPermesta dengan DI/TII, melalui Operasi SabangMerauke mengadakan operasi bersama menumpas orangorang Soekarno. Desember 1958 DI/TII di Aceh mengirim Perdana Menteri Negara Aceh, Hasan Ali ke pertemuan di Genewa. Hasan Tiro yang sedang kuliah di AS menghadiri pertemuan dalam kapasitas sebagai pemuda Aceh yang peduli DI/TII. 16 Mei 1959 Provinsi DI Aceh berdiri, Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959, isinya memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat. 25 Mei 1959 Kedua belah pihak sepakat berdamai dan menetapkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dimana Aceh boleh mendapatkan otonomi, termasuk memakai syariat Islam. Ibrahim Hasan dan Syamsuddin Mahmud mengatakan Aceh setia terhadap proyek kebangsaan Indonesia. Daud Beureuh membuktikannya dengan bersedia mendukung proklamasi SoekarnoMoh. Hatta pada 17 Agustus 1945. 8 Februari 1960 Republik Persatuan Indonesia didirikan dengan Presiden Syafruddin Prawiranegara dan Wakil Tengku Daud Beureueh. Ikut bergabung mantan Perdana Menteri RI M. Natsir dan Burhanuddin Harahap. Bahkan Sumitro Djojohadikusumo bergabung, hanya di dalam tubuh PRRI. Soekarno membalas dan mengadakan Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka. 4 Desember 1976 Hasan Tiro mendeklarasikan kemerdekaan bangsa Acheh di bukit Tiro. 20 Mei 1977 GAM diproklamasikan sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Presiden Soeharto yang mendirikan projekprojek multinasional di Aceh sejak 1970. 24 Mei 1977 Para tokoh GAM membentuk kabinet dan Daud Beureueh mengusulkan Hasan Tiro sebagai Ketua GAM dan Wali Nanggroe Aceh. Awal 1978 TNI mengadakan penyergapan, Abdullah Syafei dkk. lari ke Malaysia, Thailand sampai akhirnya terdampar di Libia. Awal 1989 Sebanyak 11 pejuang eksLibia mendirikan Majelis Pemerintahan (MP) GAM di Kualalumpur dipimpin Husaini dan Sekretaris Tengku Don Zulfadli, menyatakan Aceh merdeka pada 2004. Hasan Tiro marah dan mengeluarkan mereka dari keanggotaan GAM. Zulfadli tewas ditembak lawannya 1 Juni 2000.

19891998 Soeharto menerapkan kebijakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah atas permintaan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Korban tewas diperkirakan 4.0005.000 jiwa (sumber lain menyebut 8.344). 7 Agustus 1998 Presiden Habibie secara resmi mencabut status DOM pada Aceh.

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

25 Agustus 1961 Presiden Republik Persatuan Indonesia, Syafruddin Prawiranegara menyerah kepada RI di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Diikuti oleh M. Natsir, Beureueh menolak jejak presidennya. Bahkan, ia memproklamasikan Republik Islam Aceh.

13

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Desember 2000 Ahmad Kandang muncul sebagai Panglima GAM lainnya. Ia tewas oleh TNI. 16 Januari 2000 Abdullah Syafei dikabarkan tertembak. MPR GAM di Kualalumpur membantah, bahwa Abdullah Syafei benar masih hidup. 29 Nov 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mengundang tokoh intelektual, ulama, dan santri Aceh ke Istana Merdeka. Disepakati, penyelesaian Aceh melalui dialog TNI dan GAM dengan menunjuk Henry Dunant Centre (HDC) sebagai mediatornya. 34 Januari 1999 Peristiwa Pusong, Aceh Utara. Tercatat tak kurang 17 tewas, 14 lukaluka. Penembakan membabibuta dilakukan pada massa yang berdemo di depan rumah Bupati Aceh Utara. 49 Januari 1999 Perburuan Ahmad Kandang di Aceh Utara. 5 Januari 5 Maret 1999 TNI melakukan Operasi Wibawa; sebanyak 730 jiwa rakyat Aceh dan 170 aparat tewas. 24 Maret 1999 Mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk menggalang Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) di Mesjid Baiturrahman, Banda Aceh. 26 Maret 1999 Presiden Habibie berkunjung ke Banda Aceh. Kehadirannya disambut demonstran. 3 Mei 1999 Tragedi Simpang KKA, Kreung Geukuh, Aceh Utara. Tak kurang 46 orang tewas, 156 lukaluka. Peristiwa ini diabadikan RCTI yang meliput langsung dan disiarkan pada 4 Mei 1999 Mei 1999 Januari 2000 TNI melakukan operasi Sadar RencongI 23 Juli 1999 Tragedi Bantaqiah di Beutong Ateuh, Aceh Barat. Tak kurang 57 orang tewas. Peristiwa terjadi di pesantren yang juga merupakan tempat tinggal Tengku Bantaqiah dan para santrinya. 8 Nov 1999 Referendum meledak di Banda Aceh 4 Desember 1999 GAM merayakan hari ulang tahun secara terbuka; dipimpin Abdullah Syafei. Februari Mei 2000 TNI menggelar operasi bernama sandi Sadar RencongII 2 Juni 2 Sep 2000 Jeda Kemanusiaan tahapI, ditandai dengan digelarnya operasi Cinta MeunasahI. 1 September 2000 Rektor Unsyiah, Dayan Dawood, mati ditembak ketika sedang dalam perjalanannya dari kampus ke rumahnya di Lampriet, Banda Aceh. 6 September 2000 Rektor IAIN ArRaniry meninggal ditembak di rumahnya 15 Sep 2000 15 Jan 2001 Jeda Kemanusiaan tahapII, ditandai dengan digelarnya Operasi Cinta MeunasahII hingga Februari 2001 15 Januari 15 Feb 2001 Terjadi kesepakatan penghentian kekerasan yang disebut masa Moratorium. Awal 2001 Gus Dur kian melancarkan inisiatif untuk menyelesaikan masalah Aceh bukan sekadar melalui pendekatan keamanan, hingga memberlakukan Inpres 4/2001. Februari Agustus 2001 TNI menggelar operasi bernama sandi Operasi Pemulihan Ketertiban dan HukumI September 2001 Februari 2002 TNI menggelar operasi bernama sandi Operasi Pemulihan Ketertiban dan HukumII Maret 2002 TNI menggelar operasi bernama sandi Operasi Pemulihan Ketertiban dan HukumIII 9 Desember 2002 Cessation of Hostilities Agreement (Perjanjian Penghentian Permusuhan, COHA). Ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. 18 Mei 2003 Presiden Megawati memaklumatkan Aceh sebagai Daerah Militer melalui Keppres 28/2003. Sebelumnya, Megawati telah mengeluarkan Inpres 7/2001 dan Inpres 1/2002. 18 November 2003 Presiden Megawati memperpanjang status Darurat Militer untuk Aceh melalui Keppres 97/2003 18 Mei 2004 Presiden Megawati memaklumatkan status Darurat Sipil bagi Aceh melalui Keppres 43/2004 November 2004 Presiden Megawati memperpanjang status Darurat Sipil untuk Aceh 22 Desember 2004 Wakil Presiden Jusuf Kalla megundang Martti Ahtisaari yang merupakan Kepala Crisis Management Initiative (CMI) untuk memfasilitasi negosiasi damai RI dan GAM 18 Mei 2005 Status Aceh sebagai Darurat Sipil berakhir 9 Agustus 2005 Awal tahap penarikan pasukan TNI nonorganik. Proses yang dilaksanakan dalam empat tahap ini berakhir pada 31 Desember 2005. 10 Agustus 2005 Presiden SBY menerbitkan Keppres 21/2005 tentang pemberian remisi kepada Napi 15 Agustus 2005 Pukul 12.00 waktu setempat (16.00 WIB) MoU Damai diteken Hamid Awaluddin (Menkumham, sebagai wakil Pemerintah RI) dan GAM (Perdana Menteri Malik Mamud), dengan fasilitasi Martii Ahtisaari. Perundingan yang memakan lima kali putaran dialog itu berlangsung di Smolna Etalaesplanadi 6, The Government Banquet Hall, Helsinki, Finlandia.

14

30 Agustus 2005 Presiden SBY menerbitkan Keppres 22/2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada Setiap Orang yang Terlibat GAM. 31 Agustus 2005 Presiden SBY mengamnesti 1.421 napi eksGAM: 958 orang di Aceh dan 463 orang di luar Aceh (3 diantaranya menolak kembali ke Aceh). 15 September 2005 Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission, AMM) berpersonel 223 orang di bawah pimpinan Pieter Cornelis Feith, dibentuk. Tujuan utama AMM adalah untuk memantau pelaksanaan MoU Helsinki. Tanggal ini juga ditetapkan sebagai awal pengumpulan senjata (decommissioning) untuk kemudian dilakukan pemusnahan, di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Proses yang dilaksanakan dalam empat tahap ini berakhir pada 19 Desember 2005 28 November 2005 Gubernur Aceh membentuk Tim Sosialisasi MoU Helsinki, berdasarkan SK Gubernur Aceh No. 330/255/2005. 19 Desember 2005 Akhir decommissioning semua senjata, amunisi, dan alat peledak milik GAM. 21 Desember 2005 Masa akhir tugas pelucutan senjata dilaksanakan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Misi berhasil mengumpulkan dan memusnahkan 840 senjata. Upacara ini dihadiri dan dihantarkan dengan pidato oleh Pieter Feith (Ketua AMM), Mayor Jenderal Bambang Dharmono (Perwakilan Khusus Pemerintah Indonesia), serta Irwandi Yusuf (Perwakilan Senior GAM). 24 Desember 2005 Terbentuk Forum Bersama Pendukung Perdamaian Aceh (SK Gubernur NAD No. 330/406/2005) 29 Desember 2005 Pasukan nonorganik terakhir TNI, berjumlah 3.300 personel, meninggalkan Aceh melalui Pelabuhan Lhokseumawe. Dengan ini, berarti TNI telah secara total mematuhi MoU Helsinki. 31 Desember 2005 Upacara penarikan terakhir pasukan polisi nonorganik di Pelabuhan Lhokseumawe, dihadiri Inspektur Jendral Pol. Bahrumsah Kasman (Kapolda Aceh) dan Letnan Jenderal Nipat Thonglek (Wakil Ketua Utama AMM). 4 Januari 2006 Sebanyak 2.150 personel polisi nonorganik yang direlokasi, meninggalkan Aceh. Dengan demikian, ini merampungkan tahap penarikan secara keseluruhan. Penundaan, sesuai yang telah dilaporkan kepada AMM, disebabkan masalah teknis terkait transportasi kapal laut. 11 Februari 2006 Badan Reintegrasi Mantan Anggota GAM dibentuk berdasarkan SK Gubernur Aceh No. 330/032/2006 22 Februari 2006 Proses verifikasi usai: AMM, setelah memeriksa lokasi dan kekuatan satuan organik TNI/Polri di Aceh, menyatakan bahwa Pemerintah RI telah memenuhi MoU Helsinki.

27 Februari 2006 Misi AMM hingga periode 3 bulan berikutnya, 15 Juni 2006, diilajutkan. Pada saat bersamaan, lebih dari seratus pemantau AMM asal Eropa dan ASEAN meninggalkan Aceh setelah sukses menyelesaikan tugasnya. Sementara sekitar 85 pemantau masih tinggal hingga masa perpanjangan misi AMM berakhir. 28 Februari 2006 Sesuai MoU Helsinki, inilah batas waktu terakhir bagi orangorang yang selama konflik Aceh telah menanggalkan kewarganegaraan RI untuk mendapatkan haknya kembali. 13 April 2006 Terbentuk Badan ReintegrasiDamai Aceh (SK Gubernur Aceh No. 330/106/2006). SK ini merupakan perubahan dari SK Gubernur Aceh No. 330/032/2006 (11 Februari 2006). 22 April 2006 Javier Solana (Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Biasa) mengunjungi Aceh. Solana hadir untuk langsung memimpin rapat tingkat tinggi Komisi Pengaturan Keamanan (Commision on Security Arrangement, CoSA) yang berlangsung di Pendopo Gubernur, Banda Aceh. Rapat CoSA didesain rutin dwimingguan. 15 juni 2006 Misi AMM diperpanjang untuk kedua kalinya hingga 15 September 2006 3 Juli 2006 Insiden Paya Bakong, Lhokseumawe. Seorang meninggal dan melukai dua lainnya . Segenap pihak akhirnya sepakat bahwa inseden ini akan diselesaikan sebagai kasus kriminal normal dengan prosedur judisial yang merupakan tanggung jawab Pemerintah RI. 2 Agustus 2006 UU 11/2006 atau UUPA ditandatangi Presiden SBY di Jakarta. 3 Agustus 2006 Muhammad Maaruf (Menteri Dalam Negeri RI) secara simbolis menyerahterimakan UUPA kepada Mustafa Abubakar (Pj. Gubernur Aceh) di Kantor DPRA Banda Aceh. 15 September 2006 Perpanjangan ketiga (terakhir) misi AMM hingga 15 Desember 2006. 11 Oktober 2006 Ketua AMM, Pieter Feith, didampingi Kepala Staf AMM, Justin Davies, melakukan kunjungan kehormatan ke Tengku Hasan di Tiro di Stockholm, Swedia, untuk membahas perkembangan terakhir perdamaian di Aceh. Pertemuan ini merupakan bagian dari mandat AMM yang lebih luas dalam rangka mendukung pengimplementasian MoU Helsinki dan memfasilitasi dialog RIGAM. 11 Desember 2006 Aceh melangsungkan pilkada secara langsung dan demokratis. 15 Desember 2006 Setelah mengalami tiga kali masa perpanjangan, akhirnya, semua tugas yang dibebankan pada AMM menurut amanah MoU Helsinki berakhir secara resmi. Perdamaian semakin kokoh.

Bagian 1. Menafsir Kompleksitas, Mendorong Transformasi

15 Agustus 2005 14 September 2005 Sebanyak 80 personel Tim Pemantau Awal (Initial Monitoring Presence, IMP) datang dan disebar ke 5 tempat, yakni 1 Kantor Pusat di Banda Aceh, serta 4 pos di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, dan Meulaboh.

23 Februari 2006 Menhukham, Hamid Awaluddin, menerbitkan surat bernomor M.PW.07.0343 tentang pemberian amnesti kepada 13 napi eksGAM di Lapas Medan serta pembebasan mereka pada 20 April 2006.

15

Berpegang pada Konteks LokalBRR berdiri pada April 2005, tantangan yang dihadapi lembaga ini terbilang berskala raksasa. Gempa di Aceh pada 2004 dan di Nias pada 2005 adalah dua dari sepuluh gempa bumi terbesar di dunia. Tsunami pada 2004 adalah satu dari sepuluh tsunami terdahsyat di dunia. Bencana dahsyat akibat gempa dan tsunami sekaliber ini menghasilkan keruntuhan dan kehancuran yang luar biasa. Semua itu merupakan tantangan besar yang harus dijawab oleh lembaga ad hoc ini. Tak hanya itu, konteks sosial budaya masyarakat Aceh pun berubah total. Dari sebelumnya tertutup, Serambi Mekkah jadi berinteraksi dengan warga dunia lewat masuknya gelombang bantuan di wilayah bencana tersebut. Kegamangan akibat gelombang perubahan yang begitu masif ini menyebabkan warga masyarakat setempat tergagap-gagap menghadapi situasi yang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan masa-masa sebelum tsunami. Konteks inilah yang menjadi wilayah kerja BRR sejak awal berdiri sampai akhir mandat empat tahunnya. Selain itu, perlu dicatat bahwa setelah gempa dan tsunami, Aceh praktis mengalami kekosongan kewenangan pemerintahan karena sarana dan prasarana pemerintahan ikut hancur dilanda bencana. Sisa-sisa karakter tata pemerintahan di bawah kondisi konflik yang sempat mengeras dalam bentuk perilaku koruptif pun perlu disikapi secara khusus.Berkunjung ke puingpuing rumah kini yang hancur, Lhok Nga, Aceh Besar, 22 April 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

SAAT

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

17

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Sekalipun demikian, itu tidak berarti BRR menghadapi kondisi yang serba gelap-gulita. Muncul percikan demi percikan harapan di sana-sini. Di tengah kerusakan yang tak ada bandingannya ini, ada begitu banyak pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional, yang datang membantu. Tetapi alasan terbesar untuk optimistis datang dari masyarakat sendiri. Di balik sikap yang pada saat tertentu tampak masih menyisakan pahitnya rasa sebagai korban baik bencana maupun konflik masyarakat pada umumnya menunjukkan antusiasme tinggi untuk mendukung suksesnya proses pemulihan. Kondisi mentalitas sebagai korban seperti ini sangat rentan bagi terjadinya kerusuhan, penjarahan, pembakaran, ataupun konflik antarkelompok. Namun semua itu tidak terjadi di Aceh. Jumlah dana dan barang yang umumnya lebih dari memadai, kesempatan mendapatkan manfaat ekonomi yang besar, dan banyaknya pihak yang menebarkan aura kasih agaknya telah meredam kecenderungan negatif tersebut. Setelah melalui hari-hari pertama gempa dan tsunami, di mana masyarakat Aceh tercekat akibat skala kehancuran yang melanda wilayah mereka, masyarakat korban segera menyingsingkan lengan baju untuk kembali membangun daerahnya: sebagian dengan kerja, sebagian dengan wacana dan dukungan tidak langsung di banyak matra. Selain itu, harapan semakin meningkat karena gelombang kematian susulan pascabencana sama sekali tidak terjadi. Semua percikan harapan ini semakin menguat dengan ditandatanganinya nota kesepahaman (memorandum of understanding) di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Angin segar perdamaian semakin menguatkan percikan-percikan harapan yang tumbuh di hati masyarakat Aceh. Setelah lama pergi, optimisme akhirnya kembali ke Serambi Mekkah. Sebuah hal yang tak terbantahkan bahwa rakyat sangat mengharapkan perdamaian. Situasi konflik yang berkepanjangan telah mengaburkan benar-salahnya masing-masing pihak. Yang dirasakan adalah ketidakbebasan melakukan hal-hal yang penting dalam kehidupan. Karena itu, ada ketakutan dan juga kekhawatiran bahwa apa yang diperoleh dengan susah payah akan hancur dalam letupan konflik berikutnya. Perilaku pemegang kekuasaan dalam situasi konflik yang penuh ketegangan juga dirasakan menjijikkan oleh masyarakat. Sebagian bahkan beranggapan bahwa tsunami dikirim Tuhan untuk menghukum sebagian warga yang moralnya rusak terkait dengan adanya konflik. Karena itu, sambutan masyarakat umum saat penandatanganan nota kesepahaman Helsinki ditayangkan di layar lebar Masjid Baiturrahman merupakan bukti positif dari hasrat damai masyarakat. Konteks inilah yang dihadapi BRR sejak berdiri pada April 2005. BRR berupaya sebaik mungkin untuk menjaga bahkan meningkatkan gelombang-gelombang optimisme yang ada di masyarakat. Sebab, kerja BRR adalah membangun kembali kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sehingga jauh lebih baik daripada sebelumnya.

18

Satu Kedeputian Sebagai Garda TerdepanMengingat Aceh punya konteks sosial budaya yang sangat khas akibat pengalaman konflik bersenjata berkepanjangan, BRR memandang perlu adanya kedeputian khusus untuk menangani hal ini. Dengan adanya kedeputian khusus, diharapkan prinsip-prinsip BRR, seperti prinsip partisipatif dan communitydriven, bisa diimplementasikan dengan baik oleh setiap program dan kegiatan BRR. Adapun kedeputian yang dibentuk khusus untuk hal-hal ini adalah Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya. Kedeputian inilah yang berada di garis depan untuk menangani bidang yang pelik serta memerlukan perhatian dan perlakuan khusus itu. Pembentukan kedeputian khusus untuk urusan agama, sosial, dan budaya ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005. Di awal pembentukannya, kedeputian ini juga mencakup masalah pemberdayaan perempuan dan anak. Pada pertengahan 2006, terjadi perubahan struktur organisasi BRR. Sektor pemberdayaan perempuan dan anak berpindah kendali dari Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya ke Kedeputian Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Perempuan. Pengalihan sektor ini dimaksudkan agar upaya pemberdayaan perempuan dan anak dapat maksimal.

Masyarakat Aceh berkumpul di depan layar TV di halaman Masjid Baiturahman menyaksikan detikdetik penandatanganan MoU damai antara Pemerintah RI dan GAM, Banda Aceh 15 Agustus 2005, Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

19

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Kebutuhan akan perhatian khusus pada masalah perempuan dan anak ini tumbuh bersama berlangsungnya interaksi intensif dengan masyarakat. Hipotesis awal BRR bahwa salah satu kaidah pokok untuk menjalankan perubahan adalah melalui keterlibatan perempuan mendapat penguatan terus-menerus. Keraguan karena persepsi bahwa perempuan adalah pihak yang paling terpukul (sehingga memerlukan usaha lebih besar untuk bangkit) terhapus oleh semangat yang tampak. Area intervensi pun makin nyata tampak pendidikan dan kesehatan. Maka struktur organisasi yang lebih tepat guna pun disusunlah. Bisa dikatakan bahwa sektor agama, sosial, dan budaya adalah roh dari keseluruhan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias. Tanpa memperhatikan aspek agama, sosial, dan budaya dalam seluruh proses rehabilitasi dan rekonstruksi, masyarakat Aceh dan Nias yang menjadi korban bencana akan terbawa ke dalam risiko sosial budaya yang serius. Risiko ini terlalu besar untuk membangun kembali Aceh menjadi lebih baik apabila BRR hanya berfokus pada pembangunan fisik seperti rumah dan infrastruktur. Yang diupayakan BRR adalah proses yang sekaligus memfasilitasi transformasi sosial, sehingga segala upaya yang dilakukan BRR lewat program dan kegiatannya adalah sarana demi mencapai perubahan dan rekonstruksi sosial masyarakat Aceh. Dalam menghidupkan roh yang menjadi sumber semangat seluruh proses rekonstruksi dan rehabilitasi pascatsunami di Aceh dan Nias ini, Bidang Agama, Sosial, dan Budaya berpegang pada arah kebijakan BRR, yaitu membangun tumbuhnya kepemimpinan dalam pengembangan kebijakan publik, program, serta aktivitas demi meningkatkan kualitas kehidupan beragama, sosial, dan budaya di lingkungan masyarakat Aceh dan Nias. Sedangkan strategi utama yang diadopsi kedeputian ini adalah membangun masyarakat Aceh dan Nias melalui peningkatan kesadaran masyarakat serta pemeliharaan dan peningkatan akses dan mutu pelayanan keagamaan, sosial, budaya, pemuda, dan olahraga yang hidup di masyarakat. Dari strategi di atas, disusunlah skenario besar yang menjabarkan strategi tersebut dalam lima hal, yaitu (1) rehabilitasi mental spiritual, (2) pelatihan tenaga pelayanan keagamaan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan budaya, (3) rehabilitasi simbol-simbol keagamaan dan budaya, (4) pengembangan nilai-nilai sosial dan budaya lokal yang luhur menjadi tata nilai baru yang dapat memajukan peradaban, serta (5) pelestarian dan pengembangan tata nilai sosial dan budaya, terutama kearifan lokal, kesenian, tradisi, dan keolahragaan masyarakat. Agar dapat melakukan hal-hal tersebut di atas, BRR khususnya Bidang Agama, Sosial, dan Budaya mengoordinasi, mengembangkan, dan mendorong aktivitas lintas sektoral yang fleksibel untuk penguatan, pembaruan, serta pendayagunaan kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Aceh. BRR juga memfasilitasi proses identifikasi aspek-aspek kehidupan keagamaan, sosial, dan budaya masyarakat Aceh yang memerlukan penguatan sekaligus koordinasi dukungan dari lembaga donor, juga LSM, untuk mendorong proses

20

percepatan normalisasi kehidupan yang lebih baik. BRR, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan institusi lokal lainnya, juga mendorong pengembangan dasar hukum untuk kebijakan pendukung yang relevan dengan kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu, BRR mendorong lahirnya kerangka berpikir untuk membangun Masyarakat Belajar dalam konteks global di lingkungan Aceh dan Nias. Hal-hal tersebut dilakukan melalui penyediaan kebutuhan dasar masyarakat, yang meliputi sandang, pangan, dan papan, serta penyediaan pelayanan sosial dasar, terutama untuk menangani persoalan keagamaan, sosial, budaya, pemuda, dan olahraga. Tak lupa, hal-hal di atas dilakukan melalui penguatan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat, yang telah melemah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh bencana, terlebih lagi oleh pertikaian politik dan senjata yang cukup lama di Aceh, yang memakan waktu lebih dari 32 tahun. Selain untuk efektivitas program, strategi ini disusun dengan memperhatikan kebutuhan untuk keberlanjutannya. Dipahami penuh bahwa program sosial budaya akan berlangsung melampaui masa rekonstruksi dan, karena itu, dirasakan perlu juga mengintegrasikan program bidang ini dengan program serupa dari Dinas Sosial di tingkat Provinsi Aceh. Memang harus diakui bahwa sektor agama, sosial, dan budaya yang boleh dibilang menjadi semangat dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami ini adalah sektor yang penuh dengan tantangan. Bidang-bidang ini memiliki cakupan yang luar

Gotong royong mendirikan rumah sementara (temporary shelter) pengganti barak dan tenda, Neuhuen, Aceh Besar, 9 Juni 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

21

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

biasa luasnya. Isu agama, sosial, dan budaya sendiri adalah isu yang terbilang cair karena bisa dilihat dari sudut pandang yang sangat beragam. Selain itu, sifat isu-isu ini relatif tidak kasat mata. Akibatnya, sangat sulit mengukur hasil atau capaian dalam bidang-bidang tersebut. Apalagi BRR sendiri adalah lembaga ad hoc dengan mandat yang hanya empat tahun. Namun the show must go on. Dalam waktu yang sangat terbatas itulah BRR harus menjalankan proses transformasi masyarakat di Aceh dan Nias melalui upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksinya. Berkaca pada hal-hal di atas, BRR kemudian menyimpulkan sejumlah pendekatan yang diharapkan mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut. Strategi BRR untuk bidang-bidang ini adalah meletakkan fondasi-fondasi dasar bagi persoalan agama, sosial, dan budaya di Aceh. Setelah fondasi-fondasi itu kokoh, diharapkan masyarakat sendiri bisa mengembangkannya di kemudian hari, bahkan setelah BRR habis masa kerjanya. Karena itu, BRR pun berupaya sebaik-baiknya untuk melibatkan pemangku kepentingan sebanyak-banyaknya, agar mereka berpartisipasi secara aktif dalam program-program BRR. BRR berharap partisipasi masyarakat ini ikut memperkuat peletakan fondasi-fondasi dasar tersebut. Selama bekerja sama inilah BRR dan masyarakat menjalani berbagai pengalaman, baik yang dipersiapkan dengan matang maupun yang sifatnya coba-coba (trial and error) lewat kegiatan perintis. Dari serangkaian pengalaman tersebut, ada yang berhasil dan ada juga yang gagal. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh lewat pengalaman yang berhasil ataupun gagal inilah yang akan menjadi bekal bagi masyarakat Aceh dan Nias. Nantinya BRR akan menyerahkan tongkat estafet pembangunan Aceh dan Nias ke tangan masyarakat yang selama ini ikut ambil bagian dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Di masa depan, masyarakat sendirilah yang menentukan arah pembangunan daerahnya secara mandiri. Untuk mencapai hal-hal tersebut, BRR berupaya mengimplementasikan pendekatan partisipatif dan prinsip communitydriven ini dalam kegiatan-kegiatannya, antara lain dalam berinteraksi dengan masyarakat korban di barak selama proses memindahkan mereka ke rumah, membangun kembali meunasah atau masjid, dan menghidupkan kembali kesenian Aceh.

22

Bergerak di Sekitar Sensitivitas Budaya MasyarakatPembentukan Tim Terpadu merupakan langkah terobosan BRR secara institusional. Tim ini sengaja dibuat untuk mempermudah arus keluar-masuk barang dan orang ke daerah bencana, dengan memangkas dan menyederhanakan jalur birokrasi. Dibentuk pada akhir 2006, Tim Terpadu secara signifikan memberikan kontribusi mempercepat sampainya bantuan ke tangan mereka yang membutuhkan.

Dalam operasinya sehari-hari, Tim Terpadu banyak bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat asing. LSM asing ini merupakan representasi dari dunia internasional atas bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias. Namun, di sisi lain, ini berarti sejumlah budaya yang serba berbeda berhadap-hadapan dalam satu kesempatan. Dalam kondisi normal, perbedaan budaya bisa berujung pada kesalahpahaman. Dalam kondisi penanganan bencana, ketika semuanya serba darurat dan membutuhkan gerak cepat, perbedaan budaya bahkan bisa membuat masyarakat resah dan mengarah pada konflik. Hal itu menjadi sangat sensitif di Aceh, mengingat selama bertahun-tahun akses ke wilayah ini begitu sulit, masyarakatnya mengalami konflik bersenjata berkepanjangan, dan ada sentimen Aceh versus non-Aceh. Hal itu menjadi salah satu tantangan yang harus dijawab oleh Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya. Kepada para aktivis dari LSM asing tersebut, kedeputian ini melalui Tim Terpadu ikut terlibat dalam mengomunikasikan adat-istiadat yang berlaku di Aceh, nilai-nilai agama Islam yang dianut mayoritas warga Aceh, dan norma sosial budaya yang secara umum dipegang masyarakat. Dengan menjaring masukan dari masyarakat Aceh, kedeputian ini menghasilkan sebuah rumusan penting tentang apa-apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan di Aceh berdasarkan pertimbangan norma-norma serta nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang

Diskusi warga untuk membangun kembali desa mereka, Leupung, Aceh Besar, 29 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

23

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

24

Membersihkan halaman rumah yang berdiri di bekas tapak rumah yang hancur, Kampung Jawa, Banda Aceh, 4 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

berlaku dalam masyarakat Aceh. Rumusan ini kemudian disusun dalam Dos and Donts yang dicetak dan diterbitkan dalam bentuk leaflet sebanyak 30.000 eksemplar dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia) bekerja sama dengan UN Office of the Recovery Coordinator for Aceh and Nias (UNORC). Leaflet ini disebarkan ke berbagai organisasi asing dan sebagian ditempatkan di Bandara Sultan Iskandar Muda. Kontribusi dari kedeputian ini ikut membantu kerja Tim Terpadu dalam memberikan arah tentang kondisi agama, sosial, dan budaya di Aceh secara umum. Leaflet tersebut dinilai cukup memadai untuk menjadi panduan awal bagi orang-orang asing yang datang dan bekerja membantu Aceh pascatsunami. Dengan demikian, niat baik yang dibawa LSM asing tersebut tidak berbalik menjadi hal-hal negatif yang membuat masyarakat resah. Seperti tergambar di atas, selain menggunakan pendekatan sensitif budaya, Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya juga menggunakan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif ini menjadi sangat penting mengingat yang dilakukan BRR, khususnya Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya, bukan sekadar membangun rumah dan sarana fisik. Dengan pendekatan seperti ini, BRR merealisasi semangat membangun kembali menjadi lebih baik (build back better) melalui program pembangunan yang inovatif dalam konteks lokal.

Tiga Kategori Melalui Pendekatan PartisipatifBagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

Tugas membangun daerah bencana bukan hal yang mudah. Dalam melaksanakan tanggung jawab besar ini, Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya mengklasifikasikan tugas ke dalam tiga kategori, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kategori tanggap darurat merupakan masa tanggap darurat dengan prioritas diberikan pada penyaluran bantuan yang menyentuh masyarakat secara langsung. Bantuan tersebut antara lain pasokan pangan, pakaian, dan konseling psikososial. Hal ini juga mencakup intervensi di bidang higienitas lingkungan demi mencegah munculnya penyakit menular dan sebagainya yang bisa memperburuk kondisi para korban. Yang menjadi fokus di tahap ini adalah memasok dan menyalurkan bantuan serta pelayanan kebutuhan dasar kepada para korban. Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya secara khusus melaksanakan program-program berupa pemulihan berbagai fasilitas dan revitalisasi pelayanan dasar. Dalam hal psikososial, kedeputian ini memberikan kontribusi dengan menjalankan intervensi psikososial di tempat-tempat pengungsian, mendistribusikan buku-buku keagamaan, alat-alat ibadah, dan sebagainya. Setelah selama satu tahun kondisi masyarakat secara berangsur-angsur mengalami perbaikan, BRR masuk ke tahap berikutnya. Kategori kedua adalah rehabilitasi, yang berlangsung di pertengahan masa tugas BRR, yaitu tahun 2006 sampai 2007. Pada tahap ini, berlangsung berbagai pembangunan sarana dan prasarana pendukung untuk memulihkan kehidupan masyarakat dalam aspek agama, sosial, dan budaya. Kegiatan di tahap rehabilitasi ini difokuskan pada pembangunan masyarakat secara menyeluruh, agar dapat menjangkau penerima manfaat (beneficiaries) seluas-luasnya. Pada tahap ini, Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya berkonsentrasi pada masalah pemberdayaan dan pengembangan kapasitas (capacity building) masyarakat. Salah satunya lewat pemberian biaya sekolah atau beasiswa untuk korban gempa dan tsunami sehingga mereka bisa melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti selama berbulan-bulan. Tahap itu kemudian diikuti kategori berikutnya, yaitu rekonstruksi. Pada tahap rekonstruksi, kebutuhan akan sarana dan prasarana fisik adalah sebuah keniscayaan. Kegiatan pada tahap ini lebih diarahkan pada target dan penerima manfaat yang spesifik. Secara praktis, hal ini berimplikasi pada nilai program yang lebih besar, juga indikator pencapaian kegiatan yang lebih terinci. Tahap yang dihitung menjelang akhir masa tugas BRR, yaitu tahun 2008, ini diwarnai pembangunan sarana dan prasarana fisik yang hancur akibat gempa dan tsunami. Perlu diperhatikan bahwa ketiga tahap ini tidak berjalan satu per satu secara terpisah. Ketiga kategori ini, dari tanggap darurat, rehabilitasi, sampai rekonstruksi, berjalan secara simultan walaupun titik berat fokusnya bergerak bersama waktu.

25

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Mengingat kompleksnya amanah yang dipanggul Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya, kedeputian ini sebelumnya melakukan identifikasi atas pihak-pihak pemangku kepentingan. Salah satu pemangku kepentingan paling utama adalah masyarakat korban itu sendiri. Agar kebutuhannya dapat terjawab, mereka perlu dilibatkan dalam proses pembangunan sejak awal. Pendekatan partisipatif seperti ini menggarisbawahi tanggung jawab bersama dalam membangun Aceh kembali. Pendekatan tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan ini milik semua orang dan dilakukan bersama-sama dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Menggunakan pendekatan partisipasi, pada tahap rescue, Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya sempat membentuk tim khusus untuk menangani kebutuhan masyarakat yang tinggal sementara di barak. Masyarakat di tingkat barak sendiri membentuk Forum Komunikasi Antar Barak (Forak), yang sempat menjadi mitra kedeputian ini. Pendekatan partisipatif ini juga menelurkan serangkaian program. Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya membagi program ke dalam dua kategori, yaitu program yang bersifat kontraktual dan program yang bersifat swadaya. Kategorisasi semacam ini mengacu pada keputusan presiden tahun 2003 tentang pelaksanaan kegiatan yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Karena dana yang dikelola bersumber dari perbendaharaan negara, pengelolaannya tunduk pada aturan-aturan negara. Program yang bersifat kontraktual ditandai dengan proses pelelangan, di mana ada pihak yang keluar menjadi pemenang tender sebagai pelaksana kegiatan. Contoh program Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya yang bersifat kontraktual adalah pembangunan gedung kantor Departemen Agama Pidie yang dilaksanakan pihak kontraktor.

26

Pendekatan partisipatif bidang Agama, Sosial dan Budatya1. 2. Berdialog dengan pemangku kepentingan seperti masyarakat korban, kaum ulama, budayawan, dan kelompok perempuan, Melakukan kunjungan lapangan ke wilayah yang terkena gempa dan tsunami, yakni Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Meulaboh, dan daerahdaerah lain, termasuk wilayah yang bersinggungan dengan daerah yang terkena gempa dan tsunami, yang juga perlu mendapat perhatian, dan Menjaring masukan dari masyarakat, seperti para ulama dan tokoh masyarakat, juga Pemerintah Daerah.

3.

Sedangkan program yang bersifat swadaya dilaksanakan dengan cara sebagai berikut. Pihak yang memiliki kemampuan menyelenggarakan program mengajukan proposal ke BRR. Proposal ini disusun sendiri oleh kelompok masyarakat tersebut, dari perencanaan, pelaksanaan, sampai proses monitoring. Setelah BRR memberikan persetujuan, dana dari BRR diberikan secara bertahap kepada pihak pelaksana. BRR mengontrol dan mengawasi pelaksanaan di lapangan. Tindakan koreksi dilakukan apabila pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya dalam bentuk intervensi pada pencairan dana tahap berikutnya.

Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan partisipatif menjadi prinsip yang diadopsi BRR, khususnya Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya. Program yang dilaksanakan secara swadaya di kedeputian ini antara lain pembangunan beberapa dayah (pesantren), seperti dayah Nurul Jadid di Aceh Barat Daya. Contoh konkret ini bisa menjadi ilustrasi bahwa pendekatan partisipatif dan communitydriven terbukti membawa hasil yang baik. Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya memiliki program untuk membangun berbagai sarana ibadah, yang mencakup masjid, musala, dan dayah. Kedeputian ini menyadari bahwa pembangunan fisik harus juga dilakukan secara integral dengan pembangunan nonfisik. Maka pembangunan sarana ibadah itu dilanjutkan dengan program pemberdayaan dan pembinaan yang diikuti pengurus masjid, musala, dan dayah. Hal ini bisa terjadi karena dalam membangun sebagian dari total 1.057 masjid dan musala serta 746 meunasah, BRR melaksanakan program bantuan langsung untuk pembangunan fasilitas ibadah dan sistem pendanaan mikro (microfinancing) untuk pembangunan meunasah. Pada banyak situasi, jumlah dana tersebut tidak cukup untuk melakukan rekonstruksi besar. Justru lewat cara inilah BRR menstimulasi partisipasi masyarakat. Masyarakat diajak turut berpartisipasi membangun sarana yang akan menjadi milik mereka.

Fasilitas pendidikan bahasa di Dayah Malikussaleh, Jambo Aye, Aceh Utara, 26 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

27

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

28

Dapat dilihat bahwa dengan pendekatan partisipatif, BRR melalui Bidang Agama, Sosial, dan Budaya tidak hanya sekadar berhasil mendirikan sarana ibadah, tetapi juga membawa perubahan dalam praktik manajemen keuangan dan administrasi pada para pengelola sarana ibadah tersebut. Dengan demikian, terjadi transformasi masyarakat, khususnya dalam manajemen sarana ibadah, yang mengedepankan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Prinsip dari pendekatan seperti ini adalah bahwa BRR, khususnya Bidang Agama, Sosial, dan Budaya, secara sadar menempatkan diri bukan sebagai aktor tunggal dalam pembangunan kembali Aceh. Aceh dibangun atas kerja sama seluruh pemangku kepentingan, yaitu semua pihak yang peduli dan memiliki kepentingan pada rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Karena itu, penting untuk disadari bahwa Bidang Agama, Sosial, dan Budaya berperan sebagai fasilitator yang mengakomodasi inisiatif-inisiatif dari masyarakat. Dengan peran seperti ini, masyarakat bisa punya rasa memiliki atas segala sesuatu yang mereka bangun bersama. Sebagai fasilitator, BRR memegang peran kunci untuk memastikan semua proses berlangsung sesuai dengan prosedur yang berlaku demi menjaga transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, BRR memastikan semua inisiatif ini memberikan manfaat yang besar kepada pihak-pihak penerima manfaat untuk jangka waktu yang panjang. Karena itulah Bidang Agama, Sosial, dan Budaya merancang komposisi yang khusus. Komposisi ini terdiri atas program yang bersifat keras dan program lunak. Yang dimaksud dengan program keras adalah kegiatan yang menekankan pembangunan fisik, seperti rehabilitasi prasarana dan sarana. Sedangkan yang disebut sebagai program lunak adalah kegiatan yang berorientasi pada transformasi sosial budaya masyarakat Aceh, misalnya program peningkatan kesadaran dan pembangunan kapasitas. Melalui komposisi unik inilah BRR merealisasi semangat membangun kembali menjadi lebih baik (build back better) secara inovatif dengan mempertimbangkan konteks lokal.Bangunan masjid di Dayah Malikussaleh yang telah direhabilitasi, Jambo Aye, Aceh Utara, 26 Desember 2008. Foto: BRR/ Arif Ariadi

Bagian 2. Berpegang pada Konteks Lokal

Hasilnya ternyata cukup membanggakan. Mereka secara gotong-royong terlibat memperbaiki masjid atau meunasah. Pendeknya, melalui program pemberdayaan dan pembinaan ini, para pengurus masjid, musala, dan dayah terlibat dalam pembangunan sarana ibadah. Dengan begitu, mereka berperan aktif sebagai pengelola keuangan, pengatur pelaksanaan pekerjaan, dan pemantau kualitas pengerjaan bangunan. Semuanya dilakukan dengan disertai pendampingan dari pihak BRR.

29

Dari Gagasan ke ImplementasiTerwujudnya masyarakat yang bermartabat, demokratis, amanah, dan sejahtera di Aceh dan Nias.Visi BRR NAD-Nias, ditetapkan 7 Agustus 2005 di Sabang, Pulau Weh itu, visi itu, ditulis melalui sebuah renungan panjang di depan laut Pulau Weh oleh sekelompok orang yang hatinya berdegup dengan semangat melakukan pemulihan pascabencana. Inti yang diperhatikan di sini sungguh gagasan yang nisbi. Masyarakat: sebuah ide yang nyata tetapi mustahil untuk diraba dalam definisi yang berwujud. Masyarakat: siapakah dia? Si Abdurrahman atau si Mariani? Mereka yang tersisa dari penduduk Lampuuk dan Meuraxa, atau termasuk sanak kerabat yang berduka sejak layar TV mereka di Asrama Setiabudi di Jakarta berkejap dengan berita duka bencana? Mereka yang meninggalkan kerabatnya di Aceh untuk mencari keselamatan dari konflik dan kini menghadapi kenyataan musnahnya kerabat karena bencana? Apakah masyarakat juga termasuk mereka yang terlibat dalam menciptakan konflik yang memisahkan keluarga yang kini berduka itu? Sungguh, perlu disadari bahwa semua ini adalah ide yang nisbi. Pemulihan bukan hanya permainan batu dan semen. Keberpihakan pada sebuah definisi yang sempit justru akan menggendong risiko ketidakadilan yang lebih tinggi, yang selama ini ditengarai sebagai induk dari konflik yang hendak diakhiri.Jamaah melakukan salat Ied Fitri 1406 Hijriah di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 3 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

NIAT

Bagian 3. Dari Gagasan ke Implementasi

31

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Terwujudnya. Bukan terciptanya. Mungkin tercipta lebih mudah dicapai karena cipta ada di dalam batin dan bisa berbentuk citra virtual yang terbaca dalam tanda-tanda. Tetapi terwujud seakan membayangkan keseharian yang hidup, yang bertegur sapa dalam karakter yang dicitakan terjadi. Dan yang lebih penting lagi, terwujud menyiratkan terbentuknya sesuatu dari dalam diri sendiri. Terwujud itu bagaikan letupan-letupan lava yang meleleh dari dalam perut bumi, panas bertenaga dan kaya hara, untuk kemudian mendingin, mewujudkan sebuah bukit yang hidup untuk menjadi gunung yang menghidupi. Terwujud bukan sekadar tanah liat yang terbentuk oleh kekuatan luar untuk menjadi boneka yang cantik di mata dunia. Ide yang luar biasa sulit, karena apa yang bisa dilakukan hanyalah usaha untuk menggugah. Upaya menggugah ini dicoba dilakukan dalam arah yang hendak dicapai. Memaksakannya dalam waktu yang singkat justru akan mematikan sumber inspirasi yang diharapkan menjaga dan menumbuhkan terus wujud yang diharapkan. Bermartabat, demokratis, amanah, dan sejahtera. Dalam konteks masyarakat yang terlanda konflik dan tersia-siakan dalam pertumbuhan kesejahteraan yang masih amat jauh dari harapan, mewujudkan sekumpulan karakteristik tersebut bak menggapai bintang di langit. Karakteristik tersebut tidak hanya diuji dalam sebuah jendela kejap seakan tertangkap dalam foto, tetapi juga dalam proses yang berjalan guna mewujudkannya. Bagaimanakah seharusnya masyarakat bermartabat memperebutkan sumber penghidupannya? Seperti apakah masyarakat yang amanah? Dan bagaimana proses pembelajaran untuk menjadi bermartabat tersebut dilakukan? Sungguh visi tersebut sangat luhur. Namun visi tersebut berada di tubir kemustahilan untuk dicapai dalam satu generasi yang tumbuh wajar dan sehat dalam rawatan tata pemerintahan yang baik. Kemustahilan tersebut semakin jelas dalam ketergesaan kerja yang dipagari hanya dalam kurun waktu empat tahun. Dalam bayangan realitas itulah program-program bidang agama, sosial, dan budaya ini sewajarnya ditera. Program agama, sosial, dan budaya BRR pada dasarnya berada pada rentangan rawan yang ditarik pada banyak sisinya oleh kepentingan yang berbeda-beda. Semua kepentingan tersebut sah tetapi berbeda. Di satu sisi, misalnya, ada kepentingan untuk memberikan sarana bagi masyarakat buat bertahan hidup. Tetapi menganalisis kebutuhan individu 500.000 penyintas adalah sebuah kemustahilan atau kesia-siaan. Akibatnya, perlu dilakukan agregasi. Agregasi meniadakan ketajaman. Konsekuensinya, supaya tidak dikatakan bahwa BRR tidak memberikan secara cukup, dan juga karena sumber daya yang ada sangat memadai, muncul risiko berlebihnya suplai. Keberlebihan ini berakibat buruk bagi usaha menjaga semangat kemandirian, yang merupakan salah satu elemen pokok masyarakat yang bermartabat. Dalam upaya pemenuhan kepentingan, terkandung kegamangan dilematis. Hal ini kemudian ditumburkan pada kepentingan melakukan pembenaran pengeluaran agar dapat menjawab pertanyaan normatif pertanggungjawaban anggaran.

32

Dalam debat yang berpotensi seru, lebih sering terjadi bahwa argumentasi normatif pemenuhan tanggung jawab anggaran mendapat pembenaran yang lebih kuat daripada usaha melayani kebutuhan masyarakat, yang ditulis dalam tanda petik karena sifatnya yang sulit terdefinisikan dengan tegas. Hal serupa terjadi dalam pengulangan yang tidak sedikit. Inisiatif kegiatan sosial yang diniatkan untuk menjadi pemicu kegiatan masyarakat buat membangun diri sendiri sering sulit disusun alasan pembenarannya. Hal ini karena output yang dihasilkan tidak saja memerlukan waktu, tetapi juga mempunyai ketergantungan besar pada kejadian dan inisiatif lain. Sebuah contoh yang nyata untuk hal ini adalah inisiatif untuk memberikan kredit mikro bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ide untuk dapat menjadikannya suatu pilar bagi sebuah masyarakat yang secara ekonomis mandiri mungkin dengan mudah diterima oleh pemikir manajemen pemulihan. Ide tersebut berlandaskan pada pengelolaan dana bergulir. Artinya, masyarakat diharapkan akan membangun ekonominya sendiri, dengan program kredit mikro sebagai pemicunya.

Bantuan pinjaman modal usaha bagi masyarakat hunian sementara (huntara), Seulimeum, Aceh Besar, 24 September 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Dari Gagasan ke Implementasi

33

AGAMA, SOSIAL, BUDAYA: Menggugah Marwah Penggalang Daya

Namun, apabila karena suatu hal, misalnya provokasi pihak-pihak yang berwawasan sempit atau memiliki dendam pada ketidakadilan yang pernah terjadi, masyarakat kemudian menuntut agar dana tidak bergulir tetapi dihibahkan, argumen dasar membangun kemandirian pun runtuh dan argumen tanggung jawab anggaran pun mengambil alih inisiatif. Sebenarnya, program-program Dinas Sosial setempat dapat dilihat pula sebagai usaha untuk mengarusutamakan pendekatan agama, sosial, dan budaya dalam program pemulihan. Pengarusutamaan pendekatan ini bukan pada tataran ide dan konsep karena adanya perbedaan yang tajam dalam pemikiran para petinggi sektor dan BRR secara keseluruhan, melainkan lebih pada penjabarannya ke dalam program yang menggunakan dana pemulihan. Di sini pembenaran terhadap pengeluaran masih terkendala oleh aturan baku yang mungkin perlu pula direformasi. Jelas mengopi program dinas itu bukan saluran yang ideal bagi pemulihan yang luar biasa berat. Namun sekali lagi perlu diingat bahwa BRR beroperasi dalam keadaan di mana pembenaran normatif diperlukan. Pemisahan kegiatan perempuan dan anak dari Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya, dan penggabungan kegiatan-kegiatan tersebut dengan kegiatan kesehatan dan pendidikan, secara tidak langsung memberikannya leverage yang lebih kuat. Sebab, program pendidikan dan kesehatan memiliki sosok yang lebih kokoh dan pengarusutamaan pun menjadi relatif lebih mudah saat program acuannya kokoh. Salah satu keluaran dari sisi ini adalah sertifikat tanah bersama, yang merupakan capaian perubahan sosial yang menarik dan penting. Kesulitan dalam menarik hubungan langsung antara rencana dan kebijakan di satu sisi dan pelaksanaan program di sisi yang lain juga disebabkan oleh adanya kelemahan yang terkandung dalam perubahan organisasi yang berlangsung cepat. Ini adalah biaya yang harus dibayar kecuali apabila pemimpin unit kerja yang bersangkutan memiliki kemampuan berubah yang luar biasa. Ini bisa diperoleh bila yang bersangkutan berada di pusat perubahan sekaligus mampu dan merasa nyaman dengan apa yang dari kacamata negatif mungkin dilihat sebagai inkonsistensi atau kompromistis. Berpegang pada prinsip secara teguh dan melakukan implementasi secara fleksibel seakan merupakan pernyataan yang bertolak belakang. Tetapi, dalam kondisi tidak normal seperti pemulihan pascabencana ini, keduanya harus berada mantap di tangan pemimpin. Mengubah individu dan titik berat gaya kepemimpinan memang perlu. Tetapi risiko konsistensi program dan argumentasinya perlu dikaji lebih jauh. Pada kenyataannya, dinamika tantangan organisasi dan penyikapan untuk menjawabnya telah menunjukkan hasil yang baik. Walaupun demikian, harus diakui bahwa ada hal-hal yang terkorbankan dari tujuan pencapaian yang dipatok sangat tinggi. Upaya transformatif dari pemulihan yang dilakukan secara paralel dan mencakup spektrum yang menyeluruh ini baru sampai pada tahap meletakkan landasan-landasan dan awal pembangunan kapasitas masyarakat.

34

Sementara itu, program yang berkaitan dengan fasilitasi dan pembangunan masyarakat juga dilakukan dalam sektor-sektor yang lebih keras seperti pemulihan infrastruktur dan perumahan. Secara umum, kebijakan dan strategi yang digunakan telah diwarnai secara cukup dalam persiapan awal, termasuk pada saat visi BRR ditetapkan bersama. Kesenjangan programatis antara program sosial dari kedeputian sektor lain dan Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya mungkin sekali terjadi karena acuan kepada ketaatan peranggaran. Tetapi, pada saat yang kritis, seperti saat munculnya masalah inti program pemindahan pengungsi di barak ke rumah permanen, penyelesaian akhir kembali ke wilayah pengetahuan yang dikuasai terutama oleh mereka yang bergerak di bidang agama, sosial, dan budaya. Secara konkret, program-program Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya diuraikan di bagian berikut ini. Melalui program-program tersebutlah kedeputian ini mengupayakan terjadinya proses transformasi sosial dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kapasitas yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi.

Diskusi publik untuk percepatan pembangunan pascabencana di Pidie, 29 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Dari Gagasan ke Implementasi

35

Program Unggulan Pewujud VisiDalam menjalankan tugas berat ini, Sektor Agama, Sosial, dan Budaya membutuhkan pemimpin yang memiliki kapabilitas dalam ketiga hal yang menjadi tugas pokok. Ia juga harus mampu merajut kerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki perhatian untuk membangun Aceh dan Nias. Sebagaimana sektor lain, nama pemimpin sektor ini diajukan Kepala Badan Pelaksana BRR untuk mendapatkan pengesahan Presiden Republik Indonesia. Dalam kurun waktu empat tahun, Sektor Agama, Sosial, dan Budaya telah dipimpin dua deputi, yang kebetulan berasal dari akademisi. Deputi pertama ada