seri buku brr - buku 7 - perumahan

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

335 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

PERUMAHANMembentang Atap Berpilar Asa

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Bambang Sudiatmo Kasru Susilo Wisnubroto Sarosa : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Margaret Agusta (Kepala) : Ihsan Abdul Salam : Bodie Wibowo Erwin Fahmi Douglas Y. Batubara Juniawan Lukman Age Mirisa Hasfaria S. T. Nirarta Samadhi Widosari Jamil

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Priscilla Astrini Surya Mediana

Editor

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Heru Prasetyo Intan Kencana Dewi Ratna Pawitra Trihadji Ricky Sugiarto (Kepala) Rudiyanto

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Margaret Agusta : Linda Hollands : Narottama Notosusanto Ratna Pawitra Trihadji Tjandra Kerton Thilma Komaling

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199384

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Tampak udara Kota Baru Beuramoe, Kabupaten Aceh Besar, 3 April 2009, yang dibangun sebagai kompleks relokasi bagi para penerima manfaat rumah pascatsunami. Dengan tersedianya prasaranasarana dasar yang lengkap dan terintegrasi, kota satelit baru yang dibangun oleh sejumlah Mitra Pemulihan ini menjadi monumen nyata kerja sama kemanusiaan antarbangsa. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar IsiPendahuluan Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan DatangBencana Tiada Bandingannya Merumuskan Arah dan Langkah

viii 11 8

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih BaikMenetapkan Pedoman Menyusun Kebijakan yang Bijak Membangun Kembali dengan Strategi

1717 21 21

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Perencanaan Desa Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan Proyek Rekonstruksi Tanah dan Sistem Administrasi di Aceh ReKompak: Partisipasi Masyarakat dalam Rekonstruksi Perumahan Kota Baru, Harapan Baru Memberikan Tempat Berlindung bagi Penyewa Penyediaan Infrastruktur Kawasan dan Permukiman Membangun Perumahan dan Permukiman Bersama Kawan Menguak Fakta Lewat Sistem Informasi Geospasial Ketika Rumah Harus Sekejap Dibangun Dilema di Persimpangan Jalan Ribuan Rumah, Ribuan Kontraktor Menghadapi Hambatan Beradaptasi terhadap Kebutuhan Capaian Empat Tahun Hikmah Ajar dari Lapangan Renungan Penutup

29

29 36 41 49 54 56 62 63 68 75 78 79 81 83

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

75

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

93 101 113

93

Daftar Singkatan

114

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

viii

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku berjudul Membentang Atap Berpilar Asa ini mengulas bagaimana rumah beserta kelengkapan prasaranasarana dasarnya dibangun dan ditata agar tercipta lingkungan yang ramahhuni. Tanpa itu, sulit bagi masyarakat penyintas untuk bangun, beraktivitas, merencanakan masa depan, serta merealisasikan harapanharapannya secara nyaman dan damai. Pada titik inilah arti penting sektor ini diketengahkan. Prioritas pembangunan perumahan adalah, jelas, untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi para penyintas. Sekalipun sempat tertatihtatih dan terganjal seabrek tantangan, namun kini, rumahrumah terlihat berjajaran. Baru, indah, segar, menjulurmengelompok sebagai kluster permukiman baru. Pelibatan masyarakat beserta pewadahan aspirasi harapanharapannya, kendatipun terkadang susah diterapkan secara utuh, telah menjadi tiang utama bagi diimplementasikannya sebagian besar proses merumahkan kembali.

x

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan DatangBencana Tiada Bandingannya

TERSENTAK. Terhenyak. Tercekat. Itulah yang dirasakan ratusan ribu orang ketika

bagian barat daya Pulau Sumatera diguncang gempa dahsyat berkekuatan 9,1 Skala Richter disusul gelombang tsunami setinggi pohon kelapa. Bukan mainmain, gempa 26 Desember 2004 adalah gempa dunia terbesar selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, inilah peristiwa alam terburuk setelah Krakatau meletus pada 1883. Minggu pukul 8 pagi, yang tak pernah terbayangkan datang. Dalam sekejap gelombang tsunami menyapu 800 kilometer wilayah pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)kirakira setara jarak JakartaSurabaya. Gempa disusul tsunami menelan begitu banyak korban. Di Aceh, 126.741 orang dipastikan tewas dan 93.285 orang dilaporkan hilang. Dalam sektor perumahan dan permukiman, dampak bencana sangat luar biasadiperkirakan lebih dari setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Ibu kota provinsi, Banda Aceh, termasuk kota yang paling parah terkena dampak tsunami. Pada 28 Maret 2005 pukul 23.09 WIB, gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter selama sekitar lima menit mengguncang Pulau Sumatera. Gempa ini merupakan gempa bumi terbesar kedua di dunia sejak 1964. Getarannya terasa hingga radius 1.000 kilometer sampai Bangkok, Simeulue, Singkil, dan Nias pun terguncang kembali.Tsunami telah menyulap panorama makmur desadesa pesisir di Pantai Barat Aceh, seperti di Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, 22 April 2005 ini, menjadi hamparan reruntuhan dan puingpuing. Foto: Arif Ariadi

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

1

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

2

Rumahrumah yang tidak hancur total oleh tsunami, misalnya di Kampung Mulia, Banda Aceh, 26 Mei 2005 ini, temboknya banyak yang dicoretcoreti grafiti terutama untuk menandai kepemilikan si empunya rumah yang telah meninggal atau mengungsi. Foto: BRR/Arif Ariadi

Secara singkat, dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, sektor perumahan dan permukiman menghadapi serangkaian pekerjaan mahaberat. Mencari dan mempersiapkan tanah, mendata calon penerima manfaat, membangun rumah dan segala prasarana, termasuk tata ruang yang dibutuhkan untuk membangun permukiman dan menempatkan para korban bencana ke rumahrumah tersebut, sungguh sangat jauh dari kata mudah. Tanah sendiri merupakan persoalan besar yang membutuhkan penanganan tersendiri. Tercatat daerah yang terkena tsunami 13.610 hektare dari luas wilayah 5.736.577 hektare sebelumnya. Sebagian wilayah di Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Kuta Raja, dan Jaya Baru tenggelam. Selain itu, sebagian besar catatan terkait pertanahan di wilayah yang tersapu gelombang tsunami hilang atau rusak. Tak hanya itu, tsunami juga melenyapkan titiktitik batas tanah. Banyak pemilik tanah hilang tanpa dapat diketahui kabarnya. Badan Pertanahan Nasional, lembaga negara yang berkewenangan di bidang pertanahan lumpuh karena sebagian besar kantornya hancur dan 30 persen pegawainya hilang atau meninggal dunia. Belakangan juga diketahui ternyata hanya 10 persen dari warga yang mengaku memiliki rumah sebelum tsunami yang dapat menunjukkan sertifikat tanah seperti diatur dalam hukum pemerintah Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh perorangan dan diatur melalui adat.

Di wilayah pascabencana seperti Aceh ini, kesenjangan, ketidakadilan dan ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini rawan memicu konflik. Sedangkan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi setelah tsunami membuat keluargakeluarga korban sulit ditemui. Beberapa meninggal dunia, sebagian tidak lagi tinggal di wilayah tersebut, sebagian lagi mengungsi ke wilayah lain, ke kota lain sampai ke negara lain. Metode seperti sensus maupun survei menjadi sulit untuk dilakukan. Dalam mengatasi hal ini disusunlah strategi unik dalam penghitungan penerima manfaat. Perumahan ini menjadi salah satu isu yang paling penting dalam penanganan pascabencana. Hal ini karena rumah termasuk kebutuhan dasar manusia. Karena itu, merumahkan kembali korban menjadi salah satu pekerjaan besar yang perlu segera dikerjakan. Memenuhi kebutuhan dasar akan rumah menjadi jauh lebih penting lagi mengingat wilayah pascabencana ini juga mengalami konflik selama berpuluh tahun. Kesenjangan atau kegagalan memenuhi kebutuhan yang satu ini punya potensi besar untuk memicu konflik yang jauh lebih parah lagi di wilayah ini. Akan tetapi rumah yang dibangun tak bisa sekadar asal jadi. Datadata lapangan menyimpulkan bahwa kondisi perumahan dan permukiman adalah salah satu penyebab tingginya jumlah korban meninggal dan cedera, antara lain 1. Tidak ada tempat tinggi sebagai ruang untuk menyelamatkan diri; 2. Tidak ada akses yang cepat dan lancar menuju ke tempat yang tinggi; 3. Terjebak bottleneck karena pola dan lebar jaringan jalan tidak dirancang untuk fungsi evakuasi; 4. Terbentur bongkahan bangunan, kendaraan, pohon dan sebagainya yang dibawa tsunami; dan 5. Bangunan runtuh karena tidak tahan gempa dan gelombang tsunami. Oleh karena itu, rumah yang dibangun mutlak harus memenuhi syarat paling penting, yaitu tahan gempa. Selain itu, wilayah permukiman harus memiliki prasarana dan sarana dasar yang dibutuhkan untuk evakuasi dan mitigasi bencana. Baik rumah maupun perencanaan tata ruang ini pun perlu melibatkan peran serta masyarakat guna memastikan agar masyarakat nantinya menghuni rumah yang dibangun, punya rasa memiliki sehingga terus merawat, memelihara serta menyempurnakan rumah dan wilayah tempat mereka bermukim.

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Persoalan berikut yang cukup pelik adalah menghitung para calon penerima rumah, yaitu keluargakeluarga yang terdata sebagai penerima manfaat. Maka pendataan menjadi langkah awal yang penting. Jika pendataan ini tidak akurat, mereka yang berhak bisabisa tidak menerima rumah sedangkan mereka yang tidak berhak justru mendapat rumah bahkan lebih dari satu.

3

Ketika Tanah Tak BertuanPERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

simbol asal usul juga sebagai aset ekonomi. Berbagai kasus terkait hak waris juga perwalian adalah halhal yang perlu dipertimbangkan dalam urusan soal tanah. UndangUndang no. 48/2007 tentang Penanganan Permasalahan hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi naD dan Kepuluan nias, Provinsi Sumatera Utara, dikeluarkan sebagai payung hukum untuk mengurus halhal ini. Undangundang ini mengatur soal tanah yang masih ada dan tanah musnah dan penggantiannya serta soal relokasi juga pembebasan tanah termasuk untuk pembangunan infrastruktur seperti fasilitas umum, fasilitas sosial dan jalan, juga pembangunan tanggul penahan air asin maupun tanggul laut. adapun harga terkait pembebasan tanah tergantung pada proses negosiasi yang disepakati dengan mengacu pada referensi harga yang berlaku dengan bantuan tim penilai independen dari masyarakat. Panitia pengadaan tanah (PPT) kabupaten/ kota yang dibentuk oleh bupati/wali kota untuk mengatur penyediaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota, keanggotaannya terdiri atas unsur perangkat daerah. adapun tugas panitia ini adalah Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan bendabenda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan

Tanah punya nilai penting, baik sebagai

pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan atau pemegang hak atas tanah Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda benda lain yang ada di atas tanah Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah, dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten

4

Jika ada tanah yang tidak dapat diidentifikasi pemiliknya, status kepemilikan dianggap sebagai Mr X. Prosedur penetapan kepemilikan Mr X dimulai dengan pengajuan namanama pemilik tanah oleh tim yang diketuai wali kota. Kemudian Mahkamah Syariah menetapkan bahwa tanah yang telah diukur itu tidak diketahui pemiliknya. Jika di kemudian hari pemilik tanah yang sah kembali dan mengklaim tanah miliknya, pemilik tersebut berhak mengajukan penarikan dana dari baitulmal (tempat pengumpulan zakat) dengan menunjukkan bukti sah bahwa dia adalah sang ahli waris. Pengelolaan tanah akan diserahkan kepada baitulmal setempat. Karena belum banyak baitulmal berdiri, maka tanah tersebut diawasi oleh kantor gampong (desa). Pengelolaan tanah ini dialihkan kepada kepala gampong yang biasa disebut geuchik, atau tuha peut (pemuka komunitas) dan semua manfaat dari tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan meunasah (sarana keagamaan di dan komunitas setempat.

Serangkaian tugas berat ini perlu mempertimbangkan satu tugas lagi, yaitu mengelola bantuan yang datang dari berbagai belahan dunia yang disalurkan melalui 900 lembaga yang mengambil peran dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Kata orang, koordinasi adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam situasi seperti ini, koordinasi sangat penting karena jika tidak, beberapa daerah akan dibanjiri bantuan dan yang lain tidak. Beberapa kawasan tuntas dalam periode waktu tertentu, yang lain belum. Beberapa wilayah ditangani dengan pendekatan dan metode tertentu, yang lain dengan cara dan langkah yang berbeda. Perbedaanperbedaan tersebut mungkin tidak dipandang sebagai keberagaman, tetapi justru sebagai upaya sengaja melakukan diskriminasi. Di wilayah pascakonflik seperti Aceh, persepsi seperti ini sangat rawan memicu konflik sosial. Maka, tak berlebihan menyebut bahwa sektor perumahan dan permukiman menghadapi pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sukar dicari bandingannya mulai dari kesukaran di tingkat perencanaan sampai pelaksanaan, risiko aspek teknis sampai dampak sosial yang luar biasa besar. Oleh karena itu, sektor perumahan dan permukiman tidaklah sekadar membangun rumah atau jalan, tetapi juga memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam proses tersebut. Satu lagi. Semua rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman ini harus selesai dalam waktu empat tahun.

Idul Fitri pertama pascatsunami bagi para penghuni barak Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 3 November 2005, tidak bisa tidak, dilalui dengan keprihatinan akibat duka mendalam bencana tsunami. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

5

Tak Semudah Menghitung HidungPERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

6

kebutuhan, perlu ada data yang akurat dan terkini yang menghitung para calon penerima manfaat. Penetapan penerima bantuan perumahan menjadi awal dari semua kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman. Di tahap awal rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2005, data calon penerima manfaat diperoleh dari survei yang dilakukan oleh LSM garansi yang bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi naD, United nations Development Programme (UnDP), United nations Information Management Service (UnIMS), United nations humanitarian Information Centre (UnhIC), dan Badan Pengelola Data Elektronik (BPDE) Dinas Informasi dan Komunikasi Provinsi naD. Survei dilakukan dengan metode sensus yang melibatkan struktur formal pemerintahan khususnya di tingkat desa dan kecamatan, tanpa melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Data yang disampaikan ke Kedeputian Perumahan dan Permukiman BRR menunjukkan jumlah kebutuhan rumah yang perlu dibangun dan yang perlu diperbaiki per desa berdasarkan jumlah kepala keluargatanpa mencantumkan nama korban. Data yang dapat digunakan sebagai bahan perencanaan dalam penentuan jumlah kebutuhan pembangunan atau perbaikan rumah ini tidak memadai untuk pelaksanaan pemberian bantuan bidang perumahan. Oleh karena itu, perlu ada unit yang mengumpulkan data namanama calon penerima bantuan sekaligus melakukan verifikasi. Maka pada 2006, dibentuk Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif (P3). Direktorat P3 dilengkapi dengan suatu struktur yang terdiri atas petugaspetugas yang ditempatkan di daerah yaitu asisten Manajer Perumahan dan Permukiman di tingkat kabupaten/kota dan fasilitator kecamatan yang berhubungan langsung dengan Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Desa (KP4D) dan masyarakat korban di tingkat desa. KP4D adalah kelompok masyarakat korban di tingkat desa dengan anggota dari unsurunsur perangkat desa dan tokoh masyarakat desa.

agaR rumah yang dibangun sesuai dengan

Secara umum pendekatan penetapan penerima bantuan dilakukan dengan cara menjadikan korban (dalam hal ini kepala keluarga) sebagai subjek yang layak menerima bantuan perumahan. Pendataan calon penerima bantuan perumahan dilaksanakan melalui pendekatan berbasis masyarakat desa karena merekalah pihak yang paling memahami korban yang berhak menerima bantuan serta tempat tinggalnya sebelum terjadi bencana. Setiap anggota masyarakat yang merasa sebagai korban bencana aktif mendaftarkan diri ke KP4D untuk didata dan diverifikasi serta divalidasi. KP4D sendiri melakukan pendataan secara aktif terhadap korban dan kelayakannya untuk mendapatkan bantuan. hasil akhir proses ini adalah berupa daftar korban yang berhak menerima bantuan perumahan. Daftar tersebut kemudian diumumkan di tempattempat tertentu sebagai bentuk awal uji publik dan selanjutnya dilakukan rembuk warga dengan melibatkan sebanyakbanyaknya warga masyarakat. Dengan cara demikian diharapkan bahwa calon penerima bantuan adalah benarbenar penyintas dari warga setempat yang dikenal oleh masyarakat luas di desa yang bersangkutan. Pendekatan partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam pendataan dan verifikasi diakhiri dengan pembuatan suatu berita acara finalisasi data yang disahkan oleh geuchik, tuha peut, KP4D, kepala desa atau lurah, dan camat masingmasing wilayah. Prosedur pendaftaran, pendataan, dan verifikasi calon penerima bantuan pada 20062007 adalah seperti ditunjukkan dalam gambar berikut di bawah ini. Finalisasi pendataan dilakukan sejak akhir 2006 sampai akhir Mei 2007. Melalui media massa, diumumkan bahwa pada 20 Mei 2007 adalah hari terakhir penerimaan data dari desa. Pada Oktober 2006 dibentuk Komite Verifikasi dan Penertiban Penerima Manfaat Bantuan Perumahan (Komvertib). Komite ini bertugas untuk melakukan verifikasi ulang dan penertiban terhadap dugaandugaan adanya penyimpangan penerimaan bantuan perumahan.

Masyarakat Pemohon Bantuan rumah

Gampong/ Kelurahan

KP4D

Uji Publik Penerima Manfaat Rembuk Warga

FascamPengumuman Valid

Kompilasi

Berita Acara Verifikasi

Asperkim

Direktur PPP Berita Acara Serah Terima

LSM

Direktorat Perencanaan dan Pemrograman

Direktorat MK1, MK2, Kantor Perwakilan

Satker

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Gambar 1.1. Proses Pendataan dan Verifikasi Calon Penerima Bantuan Perumahan dan Kaitannya dengan Pelaksana Pembangunan

7

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

8

Perawatan seharihari barak seperti membersihkan saluran pembuangan di Barak Sigli, Kabupaten Pidie, 13 Mei 2005, ini dilakukan para penghuninya demi menciptakan hunian yang sehat dan nyaman. Foto: BRR/Arif Ariadi

Merumuskan Arah dan LangkahTempat berlindung merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Tempat berlindung melindungi manusia dari panas dan hujan, memberikan rasa aman, dan tempat menyusun kembali semangat untuk bertahan melampaui beragam kesukaran serta memperkuat rasa saling membutuhkan antarmanusia. Tsunami dan gempa bumi yang menghancurkan Aceh di pengujung 2004 semakin menegaskan kebutuhan korban akan tempat berlindung yang aman. Mereka yang selamat dapat bertemu dengan sesama penyintas, berbagi kesedihan dan bersamasama berusaha menyembuhkan lukaluka batin. Di awal 2005, barak bermunculan di Aceh, berkat kerja sama antara Departemen Pekerjaan Umum yang mendukung dari sisi penyediaan dana serta pembangunannya dan pemerintah daerah (pemda) yang mencarikan lokasi. Sebagian barak berdiri di atas tanah milik pemerintah, baik pemda, Tentara Nasional Indonesia atau pemerintah pusat, dan sebagian lagi di atas tanah milik warga atau yayasan pesantren. Beberapa LSM ikut berpartisipasi dalam mendirikan sejumlah barak. Barak tidak hanya dilengkapi dengan fasilitas fisik seperti sanitasi, tetapi juga fasilitas sosial dan kemanusiaan. Pada Desember 2006, jumlah titik barak menjadi 190 titik.

Pengelolaan barak berada di bawah manajemen pemerintah daerah. Tanggung jawab operasional barak secara khusus berada di bawah muspika masingmasing kecamatan, yang terdiri atas camat, danramil, dan kapolsek. Camat melaporkan kepada bupati/ wali kota untuk halhal yang tidak mampu diatasi. Gubernur sebagai kepala daerah bertanggung jawab kepada Menteri Sosial terkait dengan penanganan barak secara keseluruhan. Sering kali penghuni barak tidak sepenuhnya adalah warga yang sebelumnya tinggal di desa tempat barak tersebut berada. Lokasi barak tidak selalu mencerminkan lokasi asal penghuninya. Selain itu, terdapat barakbarak yang tidak terletak di daerah tsunami, jauh dari daerah bencana, seperti di Jantho, Samahani, dan Sibreh di Aceh Besar yang dihuni sebagian besar oleh pengungsi dari Aceh Jaya. Secara umum, pada masa tanggap darurat pengorganisasian pengungsi lebih banyak ditangani atau dikoordinasikan satuan koordinasi dan pelaksanaan (Satkorlak), yang fokus pada pemenuhan kebutuhan individual seharihari seperti makanan, obatobatan, air bersih, dan sanitasi. Satkorlak juga mengumpulkan data tetapi lebih pada jumlah jiwa, bukan kepala keluarga, dan sering kali tidak memperhatikan asal usul daerah serta status tempat tinggal sebelum bencana.

Mengangkat rangka bongkarpasang hunian sementara (huntara) secara bersamasama seusai dirakit, di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 9 Juni 2006, menunjukkan betapa tradisi meuseuraya (gotongroyong) pada masyarakat Aceh masih belum luntur. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

9

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Selain itu, terhitung sejak Januari 2005, para pengungsi di barak mendapatkan bantuan kehidupan dari Departemen Sosial. Bantuan yang dikenal dengan istilah jatah hidup (jadup) ini mencakup biaya beras, laukpauk, dan makanan tambahan. Luasnya wilayah bencana, besarnya kerusakan infrastruktur, dan lumpuhnya aparat pemerintahan setempat, membuat penanganan barak pun berbedabeda antara satu kecamatan dan kecamatan lain, masingmasing melakukan improvisasi. Sejumlah barak menerima banyak bantuan, sebagian lagi justru kekurangan. Kualitas kehidupan di barak menjadi sangat tergantung pada kemampuan ketua barak dalam berkoordinasi dengan camat dan berbagai upayanya dalam mencari bantuan dari berbagai pihak. Di sisi lain, sebagian barak menyuburkan sikap bergantung pada bantuan. Belakangan seiring berjalannya waktu, sanitasi, privasi, dan fasilitas anak di beberapa tenda maupun barak pun dinilai kurang layak huni. Kebijakan barak dan jadup ini berlaku sejak masa tanggap darurat sampai April 2005, yaitu di saat BRR berdiri. Pada awalnya, penanganan barak ditangani satuan koordinasi dan pelaksanaan di bawah pemerintah daerah, kemudian penanganan pelayanan terhadap penghuni barak secara gradual sepanjang 2005 beralih pada Direktorat Sosial yang berada di bawah Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya BRR bekerja sama dengan dinas sosial dan lembagalembaga seperti World Food Programme (WFP). Dalam skema pembagian tugas dalam BRR, Direktorat Sosial berkonsentrasi pada keberlangsungan hidup pengungsi yang tinggal di barak tanpa memperhatikan tempat mereka tinggal nantinya. Barakbarak ini banyak yang berlokasi di luar daerah bencana. Sedangkan Kedeputian Perumahan dan Permukiman BRR menitikberatkan pada rekonstruksi rumahrumah yang hancur di wilayah yang terkena tsunami. Pendataannya pun difokuskan pada daerahdaerah bencana di sepanjang pantai. Kurangnya koordinasi antarkedeputian di masa awal pembentukan BRR memang sempat menyebabkan tersisanya kantongkantong penyintas yang terabaikan penyediaan bantuan perumahannya. Bagi organisasi yang baru dibangun, dengan SDM dari berbagai asal dan latar belakang, maka kebijakan pembagian tugas untuk mempercepat rekonstruksi dengan mempertajam fokus masingmasing bidang ternyata menyisakan masalah. Fokus, kebutuhan membangun interaksi dengan pihak ketiga yang berbeda, serta keyakinan bahwa anggota pimpinan organisasi memiliki kepakaran yang cukup, agaknya membuat koordinasi rinci antarunit organisasi dianggap terjadi dengan sendirinya. Persoalan koordinasi ini perlahanlahan dapat diselesaikan dengan baik, meski setelah melampaui masa satu tahun rekonstruksi. Di lapangan, beberapa saat setelah terjadinya bencana, sebagai tempat berlindung darurat, tendatenda menjadi suatu penanganan yang cepat untuk segera memenuhi kebutuhan para penyintas. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, bahan tenda tidak berumur panjang dan cepat lapuk akibat hujan dan panas. Oleh karena itu, penting untuk mencarikan alternatif tempat tinggal lain.

10

Setahun pascatsunami di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 13 Juli 2006, satu per satu rumah baru dibangun meski belum marakdemi mempercepat pulihnya kehidupan masyarakat. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

11

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Sebuah desain rumah sementara yang diperkenalkan oleh International Federation of RedCross (IFRC) dipandang sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan tenda karena konstruksi fisiknya yang terdiri atas kerangka baja ringan dengan dinding kayu sehingga lebih kuat dan permanen. Rumah sementara ini pun dapat dirakit dengan mudah dan cepat serta hanya membutuhkan sedikit orang. Dibandingkan dengan barak yang bersifat komunal, rumah sementara ini juga lebih baik karena merupakan unit individual untuk satu keluarga sehingga privasi lebih terjamin. Di akhir 2005, ditempuh kebijakan untuk memindahkan para pengungsi dari tenda ke rumah sementara yang didukung oleh IFRC dan dilaksanakan oleh beberapa organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Indonesia (PMI) dan organisasiorganisasi nonpemerintah misalnya Catholic Relief Service (CRS), International Organization for Migration (IOM), dan United Nations Human Settlements Programme (UNHABITAT). Rumah sementara tersebut pada umumnya didirikan di lokasi yang sama dengan tenda atau di atas bekas pertapakan rumah mereka di atas tanah mereka sendiri. Namun, di beberapa tempat rumah sementara juga didirikan di atas tanah negara atau tanah publik untuk menampung mereka yang tidak mendapatkan tempat di barak penampungan. BRR dan United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) terlibat dalam koordinasi pendistribusian dan pelaksanaan pembangunan rumah sementara tersebut. Pj. Gubernur Musthafa Abubakar saat itu sangat mendukung pengadaan rumah sementara, yang mencanangkan bahwa per 1 Juni 2006 Aceh harus bersih dari tenda. Setelah melalui proses realisasi bantuan, ribuan rumah sementara pun berdiri di Aceh sejak April 2006. Di pertengahan September 2006, terjadi demonstrasi di Kantor BRR Aceh yang melibatkan sekitar 200an pengungsi yang dikoordinasikan oleh LSM Forum Komunikasi Antarbarak (Forak). Salah satu aspirasi yang dikemukakan para demonstran mengindikasikan perlunya diberikan perhatian lebih besar terhadap masalah perumahan untuk para penghuni barak. Percepatan pengadaan rumah, khususnya bagi mereka yang masih tinggal di barak, segera diprogramkan. Secara khusus, hal ini seakan menyadarkan BRR bahwa strategi melibatkan bidang sosial budaya dalam program perumahan ternyata kurang efektif pada tingkat implementasi. Integrasi unsur Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya dalam penyelesaian masalah transisi dari barak ke rumah perlu dan segera ditingkatkan secara signifikan dengan dibentuknya tim penyelesaian masalah barak. Kesadaran ini mempertajam fokus dan memperkuat komitmen BRR. Pertimbanganpertimbangan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi Aceh, yaitu pascakonflik puluhan tahun dan pascabencana dahsyat yang tak ada bandingnya. Dapat dibayangkan bahwa situasi batin dan luka menahun yang dirasakan masyarakat Aceh sulit dipulihkan dengan cepat. Intervensi yang dilakukan BRR, terutama lewat rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman ini, diharapkan bisa memberikan

12

atau masih sekadar memimpikannya, tentunya mengerti bahwa perdebatan soal rumah dimulai jauh sebelum fondasi diletakkan. Desain atau rancangan rumah, inilah yang sebenarbenarnya jadi dasar semua langkah. hal serupa terjadi di aceh, karena desain ini menentukan kualitas, harga, tenaga kerja yang dibutuhkan, dan waktu pengerjaan. Sedapat mungkin desain rumah ini memanfaatkan materi yang mudah diperoleh tanpa merusak lingkungan sekaligus menyesuaikan dengan persil lahan yang ada. Tak boleh ketinggalan, rumah haruslah tahan gempa bumi dan bencana dan memperhatikan building code yang berlaku. Satu syarat lagi yang juga penting, perencanaan ini harus dibicarakan dengan warga penerima manfaat secara bersamasama alias partisipatif. adapun standar minimum rumah bantuan yang akan dibangun adalah tipe36 plus, yaitu rumah yang dibangun dengan konsep rumah

BagI yang pernah membangun rumah,

tumbuh berukuran 36 m2 dengan dua kamar tidur dan satu ruang tamu/makan, ditambah dapur dan kamar mandi serta teras di luar besaran 36 m2 tersebut. Standar minimum ini disusun dengan asumsi bahwa sebagian besar keluarga terdiri atas suamiistri dan dua orang anak, serta kebutuhan ruang minimal setiap individu adalah 9 m2. BRR memberi ruang untuk mempertimbangkan keragaman aspirasi, suara, keinginan serta ungkapan hati masyarakat. hal ini penting bagi BRR karena di rumah inilah, harapan akan masa depan yang lebih baik dirajut. Maka secara sadar, rumahrumah ini pun dibuat dalam berbagai desain supaya tidak serba seragam. Keberagaman ini, selain dipicu oleh alasan praktis banyak dan berbagainya pihak yang berniat luhur untuk membantu membangun, diharapkan menjadi satu simbol perjalanan masyarakat dalam mewujudkan jati dirinya menjadi masyarakat yang plural dan kosmopolit.

Memperhatikan tampilan arsitektural

Gambar 1.2. Membangun Rumah Baru: Prinsip Rumah Inti

Rumah inti tipe 36 dengan konsep rumah tumbuh

Aman terutama terhadap gempa Dapat dilaksanakan dengan cepat

Dikonsultasikan dengan warga

Logistik mudah ditangani

Bukan rumah semi permanen

Hemat tenaga kerja

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Membangun Rumah Baru, Membangun Masa Depan

13

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

14

Tak sedikit rumah bantuan telah dibangun di Desa Deah Geulumpang, Banda Aceh, 1 November 2008, belum kunjung dihuni. Kendala seperti ini telah dipetik hikmah ajarnya bagi pekerjaanpekerjaan serupa pada masa mendatang. Foto: BRR/Arif Ariadi

kepada masyarakat Aceh pengalamanpengalaman menerima manfaat dan merasakan keberhasilan pembangunan. Semua ini diharapkan menjadi batubatu fondasi yang kuat dan kokoh bagi masyarakat Aceh. Di atas fondasi inilah nantinya masa depan Aceh dibangun. Oleh karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman tidak terpaku pada penggunaan kacamata yang sempit. Walau ketegasan mandat untuk merekonstruksi wilayah yang terkena bencana tetap dipegang sebagai pedoman utama, fleksibilitas untuk menjangkau wilayah terkait juga dipertimbangkan. Pendekatan yang lebih meluas dan lebih menyeluruh ini digunakan demi mengurangi kemungkinan terjadinya kesenjangan antara wilayahwilayah terkena bencana dan yang tidak terkena bencana, terutama yang berisiko tinggi menimbulkan konflik baru. Pendekatan yang lebih meluas dan menyeluruh tersebut juga menjadi alasan mengapa rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman menjangkau kantongkantong kemiskinan. Jangan sampai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini justru menanam benihbenih yang nantinya akan tumbuh sebagai kesenjangan sosial, sehingga berpotensi merusak apa yang sudah terbangun kembalibaik secara fisik maupun nonfisik. Para pegiat lembaga nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat mengambil keputusan secara arif bersama masyarakat untuk mencegahnya.

Kesulitan demi kesulitan dalam kegiatan ini terus dihadapi karena sumber informasi, masyarakat itu sendiri, ternyata memiliki interpretasi berbeda mengenai apa yang hak dan apa yang tidak. Ini misalnya terjadi dalam kasuskasus yang disebut sebagai pecah kartu keluarga. Satu rumah yang sebelumnya ditinggali oleh beberapa kepala keluarga diharapkan dapat diganti dengan jumlah rumah bantuan yang lebih banyak untuk menampung semua kepala keluarga, dengan alasan antara lain karena ukuran satu rumah hibah tipe36 yang jauh lebih kecil dari rumah asal. Ada ketentuan yang mengatur hal tersebut, tetapi hasrat masyarakat yang didorong kebutuhan nyata pun bukan tidak berdasar. Kebijakan yang hatihati diterapkan karena potensi manipulasi tak dapat diingkari ada. Keakuratan hasil terus diusahakan sampai batas kemampuan yang ada, agar rasa keadilan, baik antarwarga serta antara warga dan pemerintah yang selama ini terpuruk, kembali bangkit mengisi lahan bagi pembangunan masyarakat yang sebenarnya. Kesulitan lain yang dihadapi terjadi sebagai dampak perubahan organisasi BRR sendiri. Semua kegiatan rekonstruksi perumahan dan permukiman yang tadinya terpusat di Kantor Kedeputian Perumahan di Banda Aceh didelegasikan ke masing masing kantor wilayah. Manfaat nyata kebijakan ini adalah kebijakan yang diambil BRR (dan masalah yang dihadapi) makin didekatkan dengan situasi lapangan yang mungkin saling berbeda. Akan tetapi, waktu transisi yang sangat singkat, karena ketatnya jadwal dan banyaknya sektor, maka serah terima masalah ke kepala wilayah yang baru ditunjuk tak jarang membuahkan reaksi. Akibatnya berbagai kerancuan dihadapi, misalnya dalam determinasi jumlah rumah yang harus dibangun. Dalam kondisi ini kebijakan yang diambil didasarkan pada prinsip lebih baik membangun lebih daripada kurang sambil tetap memperhatikan kehatihatian. Diharapkan kalau memang terjadi kelebihan pembangunan rumah di suatu lokasi tertentu, kelebihannya dapat digunakan Pemda sebagai sarana untuk memfasilitasi kebutuhan yang timbul dari program reintegrasi pascakonflik yang juga dicanangkan pemerintah.

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Pendekatan seperti ini tidak berarti semuanya tidak terencana atau serba asal. Perencanaan dan segala perhitungan tetap dibuat, tetapi ruangruang untuk bersikap fleksibel, responsif, dan berorientasi pada kebutuhan tetap dipertahankan. Di sisi lain, segala perangkat pengawasan terkait terus ditingkatkan. Contohnya, proses pengumpulan data, verifikasi sampai reverifikasi penerima manfaat di bidang perumahan dan permukiman dilakukan berkalikali oleh berbagai pihak dalam waktu cukup lama. Ini semua untuk memastikan agar pihak penerima manfaat adalah benarbenar mereka yang berhak.

15

Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih BaikMenetapkan PedomanPascabencana, Aceh rusak berat. Rumah, sekolah, gedunggedung, berbagai fasilitas umum, jalan, jembatan, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya remuk redam. Dari semua ini, bagian paling mendesak dan vital adalah perumahan atau lebih tepatnya permukiman. Secara konkret, dalam pengertian kasat mata, halhal di atas yang perlu direhabilitasi dan direkonstruksi. Upaya membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan permukiman yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami ini diarahkan sehingga masyarakat dapat segera melakukan aktivitasnya dalam kondisi lebih baik dan aman dari bencana. Ini yang ingin dicapai dalam pemulihan tata ruang pascabencana. Akan tetapi, aman dari bencana bukanlah tujuan satusatunya. Aceh ingin dibangun sedemikian rupa sehingga kondisi lingkungan kehidupannya menjadi lebih baik. Lebih baik di sini bukanlah diukur dari indikator fisik atau rekayasa teknik belaka. Lebih jauh dari itu, pembangunan demi mencapai yang lebih baik ini berpegang pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan ini mengutamakan keseimbangan antarsejumlah aspek, antara lain keseimbangan antara pertimbangan ekonomi, sosial serta lingkungan dan pembangunan antar dan intragenerasi.Bak penampungan limbah rumah tangga di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, 4 November 2006, salah satu unsur prasana dan sarana dasar (PSD) untuk menciptakan hunian lebih sehat. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

17

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Dua Saku dalam Membangun Perumahan dan Permukimansecara umum sumber pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman dapat dikelompokkan menjadi dua mekanisme. ada dua bentuk mekanisme bantuan, yaitu dana bantuan dari pemerintah dan donor yang dikelola dan dimasukkan ke dalam mekanisme anggaran Pendapatan dan Belanja negara (aPBn) atau dikenal dengan onbudget; dan dana bantuan dikelola oleh donor/LSM yang bersangkutan dan tidak melalui aPBn, atau dikenal dengan offbudget. Dalam skema onbudget, dikenal istilah ontreasury dan off treasury. Intinya dengan skema onbudget, baik maupun off treasury, BRR dapat berperan langsung sebagai pelaksana pembangunan atau menjalin kerja sama secara kelembagaan dengan pemberi dana atau donor, baik yang bersifat bilateral (seperti Jerman melalui KfWBank Pembangunan Jerman) maupun multilateral seperti Multi Donor Fund (MDF) yang dikelola oleh Bank Dunia atau Bank Pembangunan asia lewat mekanismeperjanjian hibah (grant agreement) ataupun tidak, yaitu yang datang dari jalur donor nontradisional, seperti LSM internasional. Ontreasury merupakan suatu mekanisme atau skema pengelolaan anggaran yang tercatat dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPa) aPBn dan dana yang ada disimpan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan negara Khusus (KPPnK) sebagai bendahara negara, sehingga penarikan anggaran tersebut juga sepenuhnya mengikuti mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Skema onbudget ontreasury terbagi dalam dua jenis sumber pembiayaan, yaitu yang pertama sering disebut sebagai rupiah murni (RM) dan yang kedua,

SEPERTI bidangbidang lain,

18

pinjaman atau hibah luar negeri (PhLn). Untuk bidang perumahan dan permukiman sebagian besar bersumber dari dana RM dikelola langsung oleh sekitar 20 satuan kerja dalam BRR, baik di tingkat kedeputian atau pusat maupun di kantor perwakilan. Sedangkan beberapa program yang didanai melalui PhLn adalah pogram ReKompak (MDF/Bank Dunia), program perumahan dan permukiman Bank Pembangunan asia (aDB) Earthquake and Tsunamy Emergency Sector Project (ETESP), Japan Fund for Poverty ReductionSeismically Upgraded housing in aceh Darussalam and north Sumatera, dan non Project Type grant aid Jepang (keempatempatnya mencakup pembangunan rumah dan infrastruktur permukiman), serta Reconstruction of aceh Land administration System (RaLaS) MDF untuk sertifikasi tanah. Sedangkan off treasury merupakan suatu mekanisme atau skema pengelolaan anggaran PhLn sesuai dengan grant agreement antara kedua pemerintah, dana dicatatkan dalam DIPa tetapi dana tersebut tidak disimpan dalam KPPnK, melainkan dikelola dan disalurkan langsung oleh pihak pemberi bantuan. Skema onbudget off treasury ini tidak terlalu lazim. Dalam rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman, hanya ada satu program yang menggunakan skema ini, yaitu program Rehabilitation and Reconstruction of housing and Settlements (RRhS) yang didanai KfW Jerman dan dikelola konsultan Jerman gITEC Consult gmbh bekerja sama dengan PT Darena dan Yayasan Mamamia Indonesia. Contoh lainnya merupakan program di bidang infrastruktur yang dikelola Japan International Coorporate System (JICS) yang tidak dibahas di sini.

Treasury ON OFF

On-budget & On-treasury

On-budget & Off-treasuryTercantum dalam DIPA, dibayarkan langsung dari donor kepada pelaksana Program RRHS/KfW-Gitec: 46 juta euro

ON

Tercantum dalam DIPA, dibayarkan melaui KPPN Satker Pusat/Regional, Hibah Luar Negeri (MDF, ADB, JFPR-SUHA): Rp 7,5 triliun

Budget

Off-budget & Off-treasury

OFF

Off-budget & On-treasuryTidak dapat diterapkan

Tidak melalui skema APBN, dikelola sendiri secara langsung oleh lembaga Lembaga PBB, Palang Merah, LSM: US$ 700 juta

Sedangkan dalam skema offbudget BRR berperan sebagai koordinator dan fasilitator. Pelaksanaan termasuk pengelolaan dananya sepenuhnya ditangani masingmasing lembaga atau LSM yang bersangkutan. Sementara itu untuk skema offbudget, donor/ LSM mengorganisasikan pelaksanaan kegiatannya oleh mereka sendiri, termasuk

pencarian sumber dana dan pengelolaan pendanaannya. Bidang Perumahan dan Permukiman BRR memberikan dukungan, pendampingan, fasilitasi serta melakukan koordinasi agar kegiatan mereka dapat berjalan dengan sebaikbaiknya. Bentuk dan tingkat hubungan kerja sama dalam skema ini antara BRR dan LSM sangat bervariasi.

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

Gambar 2.1 Skema Pendanaan dalam Penyediaan Rumah

19

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

20

Deretan rumah di Kabupaten Simeulue, 2 April 2009, kini telah dilengkapi sarana bak penampungan air bersih. Foto: BRR/Arif Ariadi

Tidak hanya itu, pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga perlu mempertimbangkan aspek pendukung lainnya, antara lain penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah lingkungan. Keseimbangan ini acapkali tak mudah diterapkan di lapangan, tetapi inilah yang terusmenerus diupayakan. Langkahlangkah tersebut diarahkan untuk mencapai visi rehabilitasi dan rekonstruksi, khususnya bidang perumahan dan permukiman, yakni mewujudkan kawasan permukiman di daerah yang terkena bencana sebagai tempat tinggal yang lebih baik bagi keluarga korban bencana gempa bumi dan tsunami. Sedangkan di tingkat lebih konkret dan operasional, misi yang ingin dicapai adalah melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman secara efektif dan efisien, baik melalui pelaksanaan langsung pembangunan yang didanai secara onbudget, yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra kerja nonpemerintah Indonesia yang dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri (nonAPBN atau offbudget). Semua ini ibarat bintang penunjuk arah yang dijadikan pegangan BRR dalam menggerakkan roda proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Inilah yang dijadikan pedoman demi membangun yang lebih baik.

Untuk bidang perumahan dan permukiman, kebijakan yang diambil sebagai berikut. Pertama, memprioritaskan penyediaan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar serta prasarana untuk memperlancar logistik. Hal ini dilakukan dengan secara bersamaan memberikan prioritas utama pada pembangunan kembali perumahan, air minum, sanitasi, dan drainase serta sekaligus pelaksanaan rehabilitasi prasarana akses masuk, antara lain pelabuhan laut dan bandara udara strategis beserta jaringan jalan pendukungnya. Kedua, membantu dan melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan beserta prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi para korban bencana. Hal ini dilakukan dengan membantu korban yang ingin kembali ke tempat tinggal semula dalam bentuk tunai (incash) atau barang (inkind), juga dengan membantu penyediaan perumahan dan prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi korban bencana yang berkeinginan pindah ke tempat baru (resettlement). Selain itu, hal ini juga dilakukan dengan mendorong dan memfasilitasi penyelesaian bantuan dan penyediaan perumahan bagi korban bencana yang dilakukan pihak donor dan pemangku kepentingan lain.

Membangun Kembali dengan StrategiRehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias berjalan dengan berpegang pada serangkaian strategi yang dijabarkan berikut ini. Pertama, memantapkan proses pengambilan keputusan partisipatif dan berkeadilan. Agar proses ini bisa tercapai, dilakukanlah pemberdayaan dan partisipasi aktif masyarakat dengan seluasluasnya. Agar kelompokkelompok masyarakat yang rentan dan kaum cacat tidak dimarginalkan dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi serta harus mendapatkan manfaat seluasluasnya. Selain itu, agar seluruh proses berlangsung transparan, maka masyarakat terlibat dalam keseluruhan proses, antara lain melalui community self assessment. Kedua, rencana tata ruang disusun bersamasama dengan masyarakat. Penyusunan rencana tata ruang ini dilakukan lewat empat langkah. Keempat langkah itu meliputi pelibatan masyarakat mulai dari mengidentifikasi daerah dan kawasan yang dapat ditempati kembali dan yang tidak dapat ditempati kembali sampai pembersihan puingpuing.

Tak Ada Kayu, Baja pun JadiRehabilitasi dan rekonstruksi besarbesaran akan berakibat pada meroketnya kebutuhan bahan dan materi bangunan, salah satunya kayu. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, selain harga meningkat pesat, muncullah praktikpraktik tercela seperti penyelundupan atau pembalakan liar. Oleh karena itu, BRR pun perlu memutar otak agar rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman tidak merugikan lingkungan hidup. Solusi yang muncul ke permukaan, selain menetapkan syarat ketat untuk kayu yang digunakan, adalah menggunakan rangka baja prafabrikasi. Selain tahan gempa, baja juga tahan api dan tahan cuaca (tidak keropos). Kelemahan potensialnya, yaitu korosi jika kena air dan udara lembab bisa diatasi dengan mudah dengan melapisinya dengan bahan antikarat di pabrik (galvanished). Solusi rekayasa teknik ini tak hanya menyelesaikan masalah rehabilitasi dan rekonstruksi secara teknis, tetapi juga masalah lingkungan hidup serta masalah sosial.

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

Menyusun Kebijakan yang Bijak

21

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

22

Baharuddin, Geuchik Lamtutui, Kabupaten Aceh Besar, bersama para fasilitator desa mendata warganya yang selamat dari prahara tsunami terkait bantuan rumah, 7 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Selain itu, dilakukan juga fasilitasi penentuan kembali kebutuhan dan perencanaan prasarana dan sarana dasar pada kawasan yang terkena bencana. Bagi mereka yang kehilangan lahan akibat tsunami, dilakukan pengalokasian lahan dengan mempertimbangkan tata letak permukiman sementara serta preferensi mereka. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan informasi, identifikasi, dan penyusunan kembali rencana tata ruang kawasan permukiman melalui partisipasi masyarakat dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat pada proses rekonstruksi. Strategi ketiga adalah menetapkan status kepemilikan lahan dan peruntukannya. Strategi ini juga melalui peningkatan peran masyarakat. Masyarakat terlibat dalam penelusuran status dan pemetaan kepemilikan lahan bersama Badan Pertanahan Nasional berdasarkan pemilik lama. Selain itu, difasilitasi juga berbagai solusi inovatif untuk pensertifikatan, penerbitan sertifikat tanah sementara, dan penerbitan sertifikat tanah secara kolektif, land readjustment dan konsolidasi tanah. Selain itu, strategi keempat adalah melakukan penataan ruang kawasan permukiman dalam rehabilitasi dan rekonstruksi dalam batas suatu ruang kawasan permukiman, yang diharapkan bisa lebih cepat, murah, mudah, dan sederhana dalam implementasinya. Pendekatan yang digunakan adalah perencanaan partisipatif dimulai dari penataan

dan rehabilitasi membutuhkan pengerahan sumber daya secara besarbesaran. Salah satu yang perlu digerakkan adalah penyediaan bahan baku serta sumber daya manusia misalnya kontraktor, tenaga tukang, dan tenaga terampil lainnya. Di masamasa awal, terdapat dua pemikiran. Pertama adalah memasok segala bahan baku yang diperlukan serta memobilisasi sumber daya dari kantongkantong yang selama ini diketahui mampu memasok tenagatenaga terampil tersebut. Kedua adalah membuka partisipasi masyarakat setempat seluasluasnya dengan cara melibatkan tenaga dan sumber material yang ada di tingkat lokal. Pertimbangan pertama memungkinkan kontrol sangat ketat pada ongkosongkos dan biaya terkait dengan pengadaan material serta sumber daya manusia. Semua bahan ada dengan kualitas yang serba terstandar dan relatif terkontrol, tenaga sudah tersedia dengan tingkat keterampilan yang relatif seragam dan kemampuan kerja yang umumnya sama. Masyarakat tinggal menerima manfaat dari proses rehabilitasi serta rekonstruksi. Pertimbangan kedua adalah membuka ruang pada mekanisme pasar untuk bekerja. Keran partisipasi masyarakat lokal dibuka selebarlebarnya sehingga mereka bisa mengajukan diri menjadi pemasok bahan material, kontraktor, tenaga tukang, tukang batu, tukang kayu, dan lain sebagainya. Melalui proses seleksi, dipilih mereka yang terbaik. Penting dalam mekanisme seleksi ini adalah memastikan agar prosesnya transparan, akuntabel, dan berlangsung adil. Intinya, yang terpilih adalah yang terbaik. hal ini membuka kemungkinankemungkinan lain. Selama ini pembangunan berlangsung tidak stabil karena konflik berkepanjangan, maka kualitas tenaga kerja di tingkat lokal ikut terpengaruh. Tingkat kemampuan dan keterampilan pada sebagian tingkat masyarakat setempat boleh jadi berada relatif di bawah kualitas tenagatenaga terampil dari tempat lain, misalnya dari Pulau Jawa yang selama ini menjadi konsentrasi upayaupaya pembangunan. hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pascabencanapascakonflik ini berskala raksasa. Pasokan material yang tersendatsendat serta kemampuan sumber daya manusia yang tidak terstandar dapat berdampak pada terlambatnya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Dilema ini harus dipecahkan di awal masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Pilihan yang diambil akan mewarnai seluruh strategi, kebijakan, dan program di semua bidang

REKOnSTRUKSI

rehabilitasi dan rekonstruksi yang digerakkan BRR. Kedua pilihan memiliki dampak jangka panjang yang perlu dipertimbangkan dengan teliti. Setelah menimbangnimbang berbagai pemikiran, pilihan yang diambil adalah yang kedua, yaitu berpihak pada masyarakat setempat. BRR menyadari bahwa pilihan tersebut bukan tak punya risiko. Selain potensi keterlambatan dan kemungkinan kenaikan biaya lantaran mekanisme pasar, yang masih terbelakang dan infrastruktur jalur pasokannya rusak oleh bencana tidak memungkinkan adanya kontrol ketat terhadap ketersediaan dan keragaman material, juga tingkat dan keterampilan sumber daya manusianya. Kemungkinan seperti eskalasi dan fluktuasi biaya menjadi sangat mungkin terjadi. BRR mengambil opsi tersebut karena ada harapan yang besar di ujung pilihan ini, yaitu masyarakat yang berdaya. Pelibatan masyarakat ini akan memberikan pengalaman untuk berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi, juga keberlanjutan industri konstruksi di masa datang, yang diharapkan diwarnai perdamaian. akumulasi pengalaman ini bisa mengarah pada dua kemungkinan, keberhasilan sekaligus kegagalan. akan tetapi keduanya, baik keberhasilan maupun kegagalan, merupakan bekal yang berharga bagi masyarakat aceh yang selama ini terpinggirkan dari proses pembangunan akibat konflik bersenjata bertahuntahun dan berada di bawah garis kemiskinan. Pengalamanpengalaman tersebut diharapkan menjadi batu fondasi yang kokoh sehingga pada saat BRR mengakhiri masa tugasnya. Laju, arah, serta strategi pembangunan pun bisa dikendalikan sendiri oleh masyarakat setempat. Selain itu, manfaat baik pengalaman maupun keuntungan dari segi finansial dirasakan langsung oleh masyarakat. Dunia usaha di aceh diharapkan tumbuh dan pulih kembali. Selain itu perputaran dana yang lebih besar juga segera terjadi di masyarakat, meningkatkan daya tahan terhadap riak dan gejolak persoalan sosial ekonomi yang umum. Dari proses ini, diharapkan masyarakat yang merasa disertakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana ini akan merawat dan memelihara hasilhasil yang diperoleh. Disadari sepenuhnya ada risiko yang muncul akibat mengambil pilihan itu. Tetapi BRR memilih bersakitsakit dahulu, bersenangsenang kemudian. Pada akhirnya akan ada buah manis yang manfaatnya akan dinikmati masyarakat aceh.

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

Bersakitsakit Dahulu, Bersenangsenang Kemudian

23

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Tenda Pengungsi

24

Fasiltas Sosial Budaya Balai Pertemuan Desa Tempat Ibadah

Hunian Sementara/Barak

Konsep Merumahkan Penyintas BencanaDari tenda darurat ke hunian sementara Kemudian permukiman dengan Kelengkapan Prasarana dan Sarana Dasar (PSD).

Infrastruktur

Lahan dan Lingkungan Pembersihan Lahan Rehabilitasi Lingkungan

Air Bersih Jalan dan Jembatan Drainase Sanitasi Listrik

Fasilitas Umum Sekolah Puskesmas

Pengembangan Ekonomi Pasar Lapangan Kerja

Permukiman Baru

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

25

Kelima, strategi yang digunakan adalah membantu korban bencana dalam perbaikan dan pembangunan rumah. Hal ini direncanakan melalui enam cara. Cara pertama dengan pemberian keahlian teknis, material, serta pilihanpilihan arsitektur tradisional dalam desain rumah sebagai pertimbangan awal untuk merancang dan membangun. Cara kedua pemberian bantuan teknis untuk memfasilitasi dalam rehabilitasi dan pembangunan rumah. Cara ketiga, peningkatan kapasitas terhadap kelompok masyarakat melalui antara lain pelatihan tukang batu dan tukang kayu. Cara keempat, perkuatan swadaya masyarakat dalam pembangunan dan rehabilitasi rumah. Cara kelima, pemanfaatan teknologi baru untuk mengatasi gempa bumi dan tsunami. Cara keenam, penetapan building code dalam pembangunan perumahan. Strategi enam, yaitu meningkatkan integrasi multisektoral dalam perbaikan dan pembangunan dan perbaikan rumah. Peningkatan tersebut untuk mencapai dua tujuan. Tujuan pertama, terciptanya keterkaitan perbaikan dan pembangunan dan rehabilitasi perumahan dengan sektor ekonomi lain, seperti tenaga kerja, pasar material, usaha dan industri kecilmenengah. Tujuan kedua, terciptanya integrasi dan koordinasi antara perumahan dan prasarana serta sarana dasar pendukungnya (air minum, air limbah, persampahan, dan drainase). Sedangkan strategi ketujuh adalah meningkatkan kapasitas, penyederhanaan dan desentralisasi pengelolaan program melalui tiga cara, yaitu peningkatan peran aparat tingkat provinsi dan tingkat kabupaten dalam pengawasan dan pemantauan program rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan prasarana dan sarana dasar; peningkatan pelatihan dan bantuan teknis bagi aparat daerah; peningkatan peran kontraktor setempat dan lembaga swadaya masyarakat dalam perbaikan dan pembangunan dan rehabilitasi perumahan swadaya. Terakhir, strategi kedelapan adalah melakukan pemantauan dan evaluasi yang konsisten dengan cara memantapkan mekanisme pemantauan dan evaluasi pada setiap tingkat pemerintahan dan mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi secara independen untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program.

Pendataan rumah bantuan di Alue Naga, Aceh Besar, 9 Januari 2008, dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan GPS. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

skala lingkungan yang mengacu pada rencana tata ruang sebelum bencana, rencana rekonstruksi struktur kota, dan upayaupaya peningkatan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman melalui penataan kembali (revitalisasi).

27

Membangun Harapan dan Masyarakatkembali menjadi lebih baik, inilah intisari semangat yang dipegang teguh bidang perumahan dan permukiman. Dalam merehabilitasi dan merekonstruksi wilayah pascabencana, diluncurkan sederetan program dan proyek di bidang perumahan dan permukiman. Sederetan program dan proyek tersebut tak hanya membangun rumah maupun infrastruktur, tetapi juga membangun kembali harapan dan mimpi akan masa depan yang jauh lebih baik dibandingkan tahuntahun lalu.

MEMBANGUN

Perencanaan DesaSalah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka korban meninggal atau cedera akibat tsunami adalah karena desa tempat mereka tinggal tidak memiliki akses yang cepat dan lancar menuju tempat menyelamatkan diri. Oleh karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman perlu memastikan agar desadesa tersebut ditata dengan baik sehingga proses evakuasi bencana bisa berjalan lancar dengan jumlah korban seminimal mungkin. Inilah pentingnya perencanaan desa. Lalu siapakah yang mesti merencanakan desa? Tak lain dan tak bukan adalah masyarakat setempat sendiri. Merekalah yang mengetahui situasi sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi. Mereka adalah aktor utama dalam mitigasi bencana.Peta perencanaan desa yang disusun warga Kampung Jawa, Banda Aceh, 28 Agustus 2005, salah satu upaya menumbuhkan keterlibatan proaktif masyarakat. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

29

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Perencanaan desa ini tak hanya penting untuk memastikan desa mereka tahan gempa. Perencanaan desa ini juga merupakan proses tempat warga merencanakan masa depan mereka. Desa bukanlah sekadar tempat mereka meluruskan badan dan beristirahat setelah mencari nafkah, tetapi di sinilah mereka berinteraksi dengan sesama warga, merembukkan masa depan mereka, serta membangun mimpi dan harapan mereka. Bagaimana dan seperti apa permukiman berkembang menjadi dasar merealisasikan anganangan mereka akan masa depan yang lebih baik. Penyusunan perencanaan desa di awal masa rehabilitasi dan rekonstruksi juga diyakini sebagai salah satu cara mengatasi trauma bagi para penyintas yang tertekan secara psikologis karena harta hancur atau hilang, juga karena keluarga dan kerabat lenyap atau meninggal dunia. Melibatkan mereka dalam proses perencanaan diharapkan bisa menghindarkan perasaan meratapi secara berkepanjangan situasi akibat bencana. Selain itu, perkembangan desa semestinya berkembang berbeda antara satu desa dan desa lainnya. Perencanaan desa yang baik tentunya mempertimbangkan aspekaspek kehidupan sosial dan lingkungan. Permukiman nelayan misalnya, tentu berbeda dengan permukiman petani. Bahkan sesama permukiman nelayan pun semestinya tak sama dengan permukiman nelayan lainnya, karena masingmasing punya sejarah lokal yang berbeda. Kebutuhan masingmasing kawasan berbeda, rancangan arah perkembangannya pun wajar berbeda. Tak hanya itu, perencanaan desa yang dilakukan sendiri oleh warganya diyakini mampu menghindarkan konflik antarwarga. Setiap batas, setiap patok, setiap pagar yang didirikan direncanakan dan disepakati oleh warga sendiri. Karena ada konsensus bersama, diharapkan proses penentuan lahan juga mengantongi legitimasi sosial yang kuat. Hal ini menjadi bekal yang kokoh demi memastikan hubungan kohesif antarwarga. Tambahan lagi, bersamasama merancang desa menjadi modal sosial. Warga yang terbiasa untuk berembuk, bersikap terbuka satu dengan lainnya, bersedia mendengarkan pendapat dan masukan warga lain, berupaya secara bersamasama mencari jalan keluar, saling bernegosiasi dengan rasional, berkompromi demi kemaslahatan bersama, dan mencapai konsensus yang diterima dengan lapang dada diharapkan akan mampu mengatasi masalah bersamasama pula. Jika ada halhal yang mempengaruhi perkembangan desa mereka, warga akan terbiasa untuk mencari jalan keluar bersamasama demi kebaikan bersama juga. Menggunakan pendekatan berbasis pada masyarakat setempat berarti menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Dengan pendekatan seperti ini, masyarakat memegang peranan penting untuk membangun kembali desanya yang rusak bahkan hancur. Pendekatan seperti ini juga diyakini bisa memastikan agar warga punya rasa memiliki pada desanya dan merawat hasilhasil pembangunan yang dihasilkan oleh desanya sendiri.

30

Khusus untuk konteks Aceh, pendekatan ini merupakan refleksi penghormataan terhadap ureueng po rumoh (arti harfiah: pemilik rumah, arti kiasan: warga setempat) selalu yang empunya kawasan. Ureueng lingka (arti harfiah: tetangga, arti kiasan: pihak luar) yang datang bisa memberi bantuan atau fasilitas, akan tetapi wewenang tertinggi tetap ada di tangan ureueng po rumoh, yang memegang otoritas etik untuk menentukan seperti apa rumah yang dibangun dan seperti apa kawasan permukimannya berkembang. Imbauan moral tentang pentingnya penghormatan terhadap ureueng po rumoh ini disampaikan dalam Taushiyah Silaturahmi Ulamaulama Dayah seNAD pada 89 April 2005. Selain itu, perencanaan desa tersirat pula dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 2/ 2005, yang kemudian dikokohkan menjadi UndangUndang No. 10/ 2005, yang menekankan hal ini dalam klausul menimbang butir c: Bahwa penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi ... harus dilaksanakan secara khusus, sistematis, terarah, dan terpadu serta menyeluruh dengan melibatkan partisipasi dan memperhatikan aspirasi serta kebutuhan masyarakat... Pada intinya, perencanaan desa mengidentifikasi lokasi pembangunan rumah, titiktitik jaringan jalan, selokan saluran air, jaringan listrik, lapangan olahraga, sekolah serta pasar diletakkan dan hingga kejelasan batasbatas desanya. Perencanaan ini yang dijadikan

Seorang warga Kahju, Kabupaten Aceh Besar, bersama fasilitatornya mendiskusikan pengimplementasian peta perencanaan desa di atas tapak bekas bangunan rumahnya, 26 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

31

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

32

Sebagai bagian pembangunan berbasis masyarakat, fasilitator desa turun ke lapangan mengajak warga Desa Deah Glumpang, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, 9 September 2005, untuk membuat peta perencanaan desa mereka. Foto: BRR/Arif Ariadi

panduan merehabilitasi dan mengonstruksi desa yang rusak bahkan hancur. Idealnya, perencanaan desa ini memiliki visi yang jauh ke depan, yakni sampai 1020 tahun ke depan. Secara umum, proses perencanaan desa bermula dari pemetaaan tanah. Pada proses pemetaan tanah inilah, batasbatas kaveling individu, batas tanah milik bersama, batas kawasan lindung sampai batas desa diukur dan digambar di atas peta. Proses ini sepenuhnya bersifat partisipatifdilakukan oleh warga. Pelibatan warga ini tidak hanya secara normatif tetapi betulbetul dilakukan secara teknis oleh warga yang turun langsung ke lapangan. Sebetulnya ada dua metode yang bisa digunakan, yakni pemetaan konvensional (dengan standar pemetaan geodetik) dan pemetaan nonkonvensional (dengan alat sederhana: kompas dan pita meter). Persoalannya, pemetaan konvensional memerlukan waktu yang relatif lama dan tenaga ahli. Pemetaan nonkonvensional justru sebaliknya: hasil cepat, namun untuk kepentingan sertifikasi memerlukan pemetaan ulang. Setelah menimbang sejumlah kelemahan dan keunggulan di atas, diputuskan untuk menggunakan metode pemetaan inkonvensional secara luas. Pertimbangannya, metode ini dapat secepatnya menjangkau wilayah bencana yang luas, penyediaan tenaga pelaksana yang relatif mudah. Persoalan sertifikasi diserahkan pada proses selanjutnya di kemudian hari.

Awalnya, perencanaan desa merupakan prakarsa lembaga nonpemerintah maupun lokal di wilayahwilayah yang rusak parah. Artinya, perencanaan desa masuk dalam mekanisme offbudget, sehingga peran BRR hanya sebagai koordinator. Pada 2005, koordinasi tersebut dilakukan oleh Kedeputian Perencanaan dan Pemrograman BRR. Sekalipun samasama menggunakan pendekatan partisipatif, masingmasing lembaga punya metode dan teknik yang berbeda. UNHABITAT misalnya menggunakan metode community action planning (CAP) sejak Maret 2005. Metode ini digunakan untuk menyiapkan masyarakat dampingan dan menyusun perencanaan desa. Rencana desa umumnya terbatas pada rencana tata letak rumah dan belum menjangkau halhal yang terkait dengan pengembangan permukiman dan mitigasi bencana. Seiring perjalanan waktu, dirasa perlu adanya pedoman untuk mengatur spesifikasi minimal proses dan produk perencanaan desa ini. Menanggapi kebutuhan tersebut, maka BRR pada Juni 2005 mengeluarkan pedoman menata dan membangun desa. Pedoman ini memberikan panduan awal tentang halhal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan desa. Pedoman ini kemudian disempurnakan lebih jauh lagi oleh BRR pada April 2006 menjadi pedoman perencanaan desa yang sifatnya lebih teknis melalui kerja sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga internasional utama yang bergerak dalam perencanaan desa seperti Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (Logica), Mercy Corps, UNHABITAT, dan dimotori proses penyusunannya oleh United States Agency for International Development (USAID). Pedoman kali ini mengandung beberapa elemen, yakni tingkatan rencana yang dapat dihasilkan, yang terbagi atas tiga kategori: rencana perletakan rumah, rencana permukiman minimum, dan rencana permukiman yang lebih baik; proses perencanaan partisipatif, bertumpu pada komunitas; pemetaan partisipatif; diskusi pemanfaatan (termasuk pemanfaatan kembali) lahan; rencana prasarana dan sarana dasar komunitas; rencana mitigasi bencana; dan rencana lingkungan, dengan perhatian utama pada identifikasi kawasankawasan yang rentan secara ekologis. Dalam perkembangan selanjutnya, ditambahkan kandungan tentang pengembangan desa, seperti rencana pengembangan ekonomi (mata pencarian, pemanfaatan sumber daya setempat) dan sosial. Berdasarkan panduan ini, maka diperoleh kualifikasi proses dan produk yang relatif baku. Panduan lebih teknis ini diikuti dengan pembentukan Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman pada 2006, yang juga menerapkan perencanaan desa. Kali ini, BRR tidak hanya menjadi koordinator tetapi menjadi pelaksana dari perencanaan yang berada di

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Nantinya, keluaran dari perencanaan desa ini adalah tersedianya dokumen perencanaan yang bersifat spasial atau tata ruang khususnya di wilayah perumahan atau permukiman yang terkena bencana.

33

Gambar 3.1. Korelasi Perencanaan Desa dengan Pelaksanaan Rehabilitasi Rekonstruksi BRRPendataan (verifikasi) penerima bantuan

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pengorganisasian masyarakat, pemetaan tanah dan village planning

1

2

34

Dari Masyarakat Kembali Ke MasyarakatSerah terima rumah ke masyarakat, dan PSD ke Pemda

3 4

Pengadaan jasa konstruksi dan jasa konsultan perencanaan/ pengawasan

6

Penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman

5

Pelaksanaan pembangunan/ konstruksi dan pengawasan rumah

bawah Direktorat Penataan Ruang dengan menggunakan mekanisme onbudget. Peran sebagai pelaksana pembangunan tersebut dijalankan dengan bantuan konsultan. Di sini, BRR masuk ke desadesa yang belum terjangkau oleh berbagai lembaga lokal maupun internasional. Dari gambar di bawah, tampak dari seluruh enam tahap pembangunan perumahan dan permukiman, pemetaan dan perencanaan desa berada pada tahap I bersama dengan pengorganisasian masyarakat. Tahap pemetaan dan perencanaan desa menjadi tahap visualisasi awal, sekaligus pemberian visi pada calon kawasan perumahan dan permukiman itu. Visualisasi awal dibentuk antara lain melalui sejumlah peta dasar: peta bentang alam (topografi/ morfologi), peta kawasan budi daya dan kawasan lindung, peta batas kawasan dan batas kaveling; peta rencana: peta rencana tata letak, peta rencana jaringan infrastruktur, peta rencana mitigasi, dan sebagainya. Visualisasi akan semakin jelas jika perencana dapat menampilkan atau menambahkan, bentuk tiga dimensi petapeta di atas. Melalui visualisasi awal yang baik, warga terfasilitasi menjadi perencana bagi kawasan permukimannya sendiri.

Meskipun memberikan banyak manfaat, kenyataan menunjukkan bahwa perencanaan desa belum menjadi pendekatan yang dominan. Hal ini karena kelemahan dasar hukum dan aturan terkait. Perencanaan desa belum mendapatkan dukungan kebijakan pertanahan yang sesuai. Sedangkan secara teknis, di hampir semua desa yang direncanakan bersama, batasbatas tanah tidak jelas. Hal ini bisa disebabkan bencana seperti tanah tergerus dan tergenang permanen, atau bisa juga karena memang batasbatas tersebut tidak diketahui secara tertulis oleh warga setempat. Faktor lain, perencanaan desa ini belum cukup dikenal dalam khazanah perencanaan tata ruang di Indonesia, karena ahli yang tersedia tak cukup banyak. Proses perencanaan yang partisipatif itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga membuat warga tidak sabar mengikuti proses. Selain itu, sering kali kesepakatan yang dibuat di desa tidak melibatkan seluruh warga, karena sebagian mengungsi atau pindah sementara. Akibatnya, ketika mereka yang dulu pergi kemudian kembali, mereka tidak selalu bisa menerima hasil konsensus yang dicapai oleh sebagian yang tinggal di desa. Konsensus juga berubah bukan saja karena keluar masuknya warga, tetapi karena masuknya informasi baru. Ada sebagian desa yang awalnya telah mencapai kata sepakat soal lahan yang dikontribusikan untuk kepentingan umum seperti jalan, sekolah, dan sebagainya ketika ada informasi bahwa pembebasan lahan tersebut mendapatkan biaya dengan jumlah tertentu, maka komitmen warga pun berubah. Sementara itu, sejumlah desa mengalami perpecahan antarkelompok atau antarkomunitas. Konflik antarkelompok kadangkadang terjadi sehingga konsensus sulit dicapai di desadesa semacam ini. Tambahan lagi, perencanaan dan pembangunan sering kali tidak berjalan berurutan. Di beberapa tempat, proses perencanaan desa berlangsung pada saat pembangunan rumah sudah berjalan. Ada juga sejumlah kontraktor yang mengabaikan perencanaan desa. Akibatnya karena pembangunan sudah berlangsung, maka aspirasi warga sulit untuk diakomodasi. Akan tetapi, lepas dari tantangan di atas, hasil pelaksanaan pemetaan dan perencanaan desa ini cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang diadakan di BRR, 346 desa di seluruh Aceh menggunakan pendekatan perencanaan desa.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Sebagai perwujudan dari terlibatnya mereka dalam proses penyusunan perencanaan desa, maka dalam beberapa kasus perencanaan desa, masyarakat terutama tokohtokoh atau wakilwakil yang terlibat, mencantumkan tanda tangan mereka pada rancangan awal dokumen perencanaan desa. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan yang diperoleh, perencanaan desa tersebut dapat disempurnakan lebih lanjut, khususnya untuk tematema rencana yang lain seperti rencana mitigasi, rencana penghijauan atau rencana infrastruktur, dengan menggunakan kaidahkaidah perencanaan yang berlaku.

35

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Buah manis dari jerih payah mengupayakan perencanaan desa berbasis komunitas ini memang baru akan dirasakan jelas beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, buah jerih payah tersebut niscaya sungguhlah terasa manis. Angka tersebut menunjukkan hampir 350 desa di Aceh menjalani eksperimen berharga, yaitu berlatih membangun komitmen dan menentukan nasib sendiri. Hasil dari perencanaan desa ini dimanfaatkan pula oleh unitunit lain seperti Direktorat Manajemen Konstruksi/Rancang Bangun dan Direktorat Infrastruktur Permukiman sebagai dasar untuk penempatan rumah maupun merancang detailed engineering design (DED) prasarana atau infrastruktur di kawasan perumahan yang akan dibangun. Hal ini sangat menggembirakan mengingat perencanaan desa menggunakan pendekatan partisipatif seperti ini belum menjadi arus utama. Di berbagai desa di seluruh Indonesia saja, pendekatan ini belum banyak dilakukan, apalagi di daerah pascakonflik dan pascabencana seperti Aceh. Keberhasilan Aceh menerapkan perencanaan desa, sekalipun punya sederetan pengalaman masa lalu yang pahit, patut mendapat acungan jempol. Perencanaan desa mensyaratkan satu modal utama yang luar biasa besar, yakni rasa percaya. Orang mudah melontarkan kata ini, tetapi sangat sukar dipegang. Lewat rasa percaya yang terbangun, masyarakat Aceh berhasil melepaskan beban masa lalu demi masa depan yang lebih baik.

36

Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang KecamatanJika kita telah memiliki rencana tingkat desa, bagaimana dengan rencana tingkat antardesa, atau tingkat kecamatan? Apa panduan untuk mendukung percepatan rehabilitasirekonstruksi di tingkat ini? Secara teknis, di titik lokasi mana jalan dan jembatan akan dibangun kembali? Di mana lokasi infrastruktur penopang mata pencaharian, seperti tempat pelelangan ikan dan pasar ditempatkan sehingga mendukung percepatan normalisasi kehidupan ekonomi dan sosial warga? Pertanyaanpertanyaan itulah yang pada awal 2006 mendorong munculnya terobosan perencanaan tata ruang kedua, yaitu kecamatan action plan (KAP), yang kemudian berkembang menjadi Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan (kecamatan spatial framework and action plan, KSFAP). KSFAP merupakan dokumen usulan proyek atau program dalam ruang lingkup kerangka kerja penataan ruang kecamatan. Dokumen ini diperlukan untuk mendukung kegiatan pembangunan kecamatan pascarekonstruksi. Dokumen ini disusun dengan mengaitkan substansi usulan proyek atau programnya dengan rencana dan proses pembangunan kabupaten, kecamatan, dan desa yang ada. Adapun format sajian proyek atau program KSFAP adalah project sheet yang memuat secara cukup lengkap spesifikasi proyek atau program tersebut termasuk indikasi biaya,

kegiatan yang perlu dilaksanakan, manfaat pelaksanaan kegiatan, urutan prioritas pelaksanaannya dan sebagainya. KSFAP ini fokus pada kebutuhan infrastruktur, lingkungan dan ekonomi pedesaan, serta keterkaitan antarpermukiman dan pedesaan. KSFAP memungkinkan agar proyek dan program yang sudah diidentifikasi dipertajam menjadi desain yang lebih detail. Detaildetail ini penting sebagai dasar pelaksanaan fisik nantinya. Mengapa kecamatan? Dalam rencana tata ruang, kecamatan menjadi satuan wilayah administratif yang penting. Ini karena kecamatan merupakan pemersatu unit pembangunan wilayahwilayah pedesaan. Dengan demikian, perencanaan desa yang dilakukan di desa satu dengan desa lainnya bisa diintegrasikan dalam satu wadah di tingkat kecamatan. Ini yang membuat kecamatan menjadi ujung tombak pelaksanaan rekonstruksi. Selain itu, kecamatan juga merupakan bagian dari skenario pengembangan wilayah kabupaten. Oleh karena itu, perlu ada panduan pelaksanaan rekonstruksi yang akurat di tingkat kecamatan yang mengacu pada rencana tata ruang di hierarki yang lebih tinggi. Selanjutnya, proyek dan program ini perlu dimutakhirkan untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi dan kebijakan perencanaan kabupaten yang senantiasa berkembang.

Dari udara, 23 Juni 2007, terlihat kawasan Desa Lambung, Meuraxa, Banda Aceh, kini tertata dengan baik. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

37

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

38

Rumahrumah baru di Alue Naga, Banda Aceh, 3 April 2009, kini dikelilingi tanggul untuk melindungi abrasi sungai. Foto: BRR/Arif Ariadi

Serupa dengan perencanaan desa, KSFAP dipersiapkan melalui partisipasi dari masyarakat dan pihak terkait lainnya di tingkatan kecamatan dan dinas atau instansi lainnya di tingkat kabupaten dan provinsi termasuk BRR. KSFAP ini sendiri terusmenerus mengalami penyempurnaan khususnya dari aspek cakupan, bentuk, dan kedalaman. Sebelumnya pada 2006, inisiatif ini dikenal dengan nama kecamatan action plan (KAP). KAP ini hanya mencakup wilayah kecamatan yang terkena bencana parah. Titik berat rencana aksi ini pun sebatas mengidentiikasi proyek rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang infrastruktur dan mata pencaharian. Ini semua agar kehidupan warga cepat kembali normal. Setelah KAP ini tuntas, BRR mengalami sederetan proses pembelajaran yang memberi kontribusi penting pada penyempurnaan rencana aksi ini. Sebagian kalangan berpandangan bahwa perlu ada analisis yang lebih mendalam. Artinya, rencana teknis ini tidak lagi sebatas merekomendasikan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang rusak dalam jangka panjang. Rekomendasi sebaiknya diberikan pada rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang bernilai strategis untuk mengembangkan wilayah dalam jangka menengah dan panjang. Karena itu, perlu analisis yang lebih mendalam dan menyeluruh sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam perjalanannya, penyempurnaan ini diintegrasikan dalam KAP tahap II, yang kemudian disebut sebagai KSFAP.

(a) Kondisi sumber daya alam dan lingkungan (lingkungan fisik, pantai/laut dan vegetasi, dan potensi bencana); (b) Arah perencanaan dan Tabel 3.1. Perkembangan KAP menjadi KSFAP pembangunan ekonomi Kecamatan Spatial Framework and (rencana pengembangan Kecamatan Action Plan Action Plan wilayah dan tata (KAP) (KSFAP) ruang yang relevan, hanya bagian wilayah kecamatan Cakupan Seluruh wilayah kecamatan kependudukan, keuangan yang rusak terkena bencana pemerintah daerah, tata Dilakukan analisis mendalam di guna lahan dan tutupan tingkat kabupaten dan kecamatan, Penekanan pada identifikasi dan pembacaan arah pengembangan lahan, perekonomian struktur dan pola ruang kecamatan Kedalaman proyek strategis rehabilitasi/ wilayah); menurut Rencana Tata Ruang Wilayah rekonstruksi (c) Gambaran kondisi Kabupaten (RTRWK), sebagai dasar infrastruktur (jalan, penentuan proyek strategis kecamatan jembatan, layanan air acuan ke rencana tata Tidak ada Ditekankan bersih, listrik, infrastruktur ruang yang ada sosial dan kesehatan, irigasi, dan drainase); dan (d) Gambaran prospek kabupaten/kecamatan itu untuk berkembang. Hasil identifikasi proyekproyek strategis ini pun dilengkapi dengan project sheets, yang berfungsi sebagai prastudi kelayakan. Jadi, KSFAP ini pada dasarnya merupakan program yang memadukan perencanaan bottom up yang melibatkan masyarakat melalui konsultasi publik yang ekstensif, seperti yang diperoleh lewat perencanaan desa yang partisipatif dan berbasis komunitas. Perencanaan dari masyarakat ini bertemu dengan pendekatan elemen top down dari rencana pembangunan yang ada untuk mengidentifikasikan kebutuhan utama dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam pembangunan wilayah kecamatan. Proses penyusunan KSFAP pun mebuahkan hasil yang menggembirakan. Gelombang I berhasil menjangkau 19 kecamatan, gelombang II ada 28 kecamatan yang dijangkau, sedangkan gelombang III dari program ini berhasil menyentuh 16 kecamatan. Total ada 63 kecamatan yang masuk dalam cakupan program ini. Kecamatankecamatan ini kebanyakan tersebar di wilayah yang memiliki tingkat kerusakan dahsyat terkena bencana atau memerlukan rencana teknis untuk mengganti keberadaan rencana umum atau rencana detail tata ruang.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

KSFAP menghasilkan keluaran utama berupa identifikasi proyek strategis dalam bidang infrastruktur dan mata pencaharian pada satu kecamatan. Hal ini ditopang dengan analisis tingkat kabupaten dengan penajaman di tingkat kecamatan, mengenai

39

Prosesnya yang dibuat secara partisipatif ini juga memberikan nilai tambah karena menempatkan masyarakat menjadi aktor utama dalam perencanaan pembangunan di daerahnya. Pendekatan partisipatif ini pun sesuai dengan amanat UU No. 10/ 2005. Selain itu, yang terlibat pun tak hanya warga pemuka warga dan pejabat kecamatan/ kabupaten, namun juga dengan berbagai LSM dan lembaga internasional yang bekerja di wilayah dimaksud. Melalui proses ini, maka tumpangtindih kegiatan antarpihakpihak terkait pun bisa dihindari. Dengan begitu, keseluruhan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bisa berjalan dengan lebih efektif, lebih cepat, dan menjangkau penerima manfaat secara lebih luas. Nilai tambah lain dari tersedianya dokumen KSFAP ini adalah setiap rencana aksi ini dapat diusulkan oleh kecamatan untuk dibiayai oleh pemerintah kabupaten melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda). Berkat dokumen ini, pihak kecamatan akan memiliki dokumen perencanaan pemb