seri buku brr - buku 8 - infrastruktur

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

265 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

INFRASTRUKTURMemacu Sektor Pemicu

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 200516 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Bastian S. Sihombing : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) Rayagung Hidayat : Ihsan Abdul Salam : Gunawan Wibisono Langit Wahyu Sulistiani

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Didi Suryawan Edi Wahyono

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Heru Prasetyo Ratna Pawitra Trihadji Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Harumi Supit : Margaret Agusta : Leony Aurora Narottama Notosusanto

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199391

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Sebuah truk pengangkut eskavator melintasi ruas jalan di Lhoong, Aceh Besar, yang mulus dan berkualitas tinggi, 20 Februari 2009. Ruas Lhoong adalah bagian dari jalan Banda AcehCalang berdana total sekitar US$240 juta bantuan USAID yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 25 Agustus 2005. Jalan itu diharapkan mampu menjadi pemicu pembangunan kawasan pantai barat sehingga terpacu mengimbangi laju pembangunan kawasan pantai timur Aceh. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar isiPendahuluan Bagian 1. Membangun Pilar KehidupanBergerak dari Titik Nadir Bergerak Lincah Menembus Tantangan Bekerja Sambil Lesehan Berkembang Sesuai Kebutuhan Rangkap Jabatan, Rangkap Pekerjaan Mengakhiri Masa Kerja

viii 16 8

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

13

16 17 22 27 31 38

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan Bagian 4. Mengelola Dana BantuanMengejar Kepercayaan Kisahkisah Bersama Mitra Utama

Mencerna Buku Panduan Sesuai Kebutuhan Program di Lintasan Pembuka

31 47 5757 71

47 50

Bagian 5. Jalan Berliku Meneguhkan IntegritasSerangan Datang dari Segala Arah Likaliku Proses Pengadaan

Bagian 6. Menaklukkan Masalah Menggapai TujuanJurus Pamungkas Hadapi Tantangan Hasil Apik Garapan Otak dan Otot

77 109

78 91

Bagian 7. Hikmah Ajar dan Kasus Menarik

Budaya Baru dari Penanggulangan Bencana 109 Aksi Afirmasi Membela Pengusaha Lokal 111 Konsisten terhadap Aturan Kontrak 112 Pengutamaan Program Gender 112 Jalan Lintas JanthoKeumala Menerobos Hutan Lindung 113 Rehabilitasi Rekonstruksi Jalan LamnoCalang 114 Lahirnya Water Supply Meeting Group 115 Pembebasan Lahan yang Melelahkan 116 Kontainer Bekas untuk Dermaga 118 Pembangunan Jalan Berbasis Sumber Daya Lokal Menciptakan Lapangan Kerja 118 Pimpinan Daerah yang Mau Turun ke Bawah 121 Komunikasi dan Pendelegasian Wewenang Mempercepat Proses Rekonstruksi 122 Tim Pengawas Konstruksi sebagai Tangan Kanan Manajemen 124 Unit Quality Assurance Memudahkan Pengendalian Teknis 125

Daftar Singkatan

128

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

viii

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat. Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya.

Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan.Pendahuluan

ix

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku berjudul Memacu Sektor Pemicu ini menilik sektor yang memang mendapat prioritas signifikan. Bagi BRR sendiri, infrastruktur ditempatkan sebagai sektor strategis karena pembangunannya bermakna memperlancar akses dari dan ke daerah terpencil. Arti pentingnya sebagai instrumen pemicu tumbuhkembang pembangunan sosialekonomi masyarakat, membuat progres Pemulihan sektor publik ini terus dipacu sejak awal.

x

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Membangun Pilar Kehidupanbegitu terik. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya tapi rona gembira tak menghilang dari wajah Sahrul, seorang penarik becak motor. Energi Sahrul kembali menyala saat teringat rombongan penumpang di Pelabuhan Ulee Lheue. Seketika juga, dia bergegas menghampiri becak motornya. Mesin kendaraan itu meraungraung. Asap knalpot kemudian menutupi pandangan mata. Sahrul pun lenyap. Seperti angin, becak motornya berlari melintasi Ulee Lheue Boulevard, menyeberangi jembatan laguna terus melaju hingga akhirnya sampai di pelabuhan feri. Jarak sepanjang lima kilometer itu dilahapnya dalam 10 menit. Perhitungannya sungguh tepat, sesampainya di sana, puluhan penumpang yang baru turun dari Feri Sabang sudah menunggu untuk diantar Sahrul ke Banda Aceh. Mereka adalah rezeki milik Sahrul. Dari mengantar penumpang dari Pelabuhan Ulee LheueBanda Aceh dia bisa mengantongi Rp50 ribu sehari. Cukup untuk menghidupi istri dan satu orang anaknya. Sangat bersyukur, jalan dan jembatan sudah dibangun dengan baik sehingga bisa lancar mencari nafkah, ujar lelaki 34 tahun asal Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, ini. Kawasan Ulee Lheue kini telah berubah. Sisasisa puing tsunami yang porakporanda menumpuk di sepanjang jalan tinggal cerita. Semua berganti menjadi pokokpokok tanaman bakau yang menyembul di perairan tambak sepanjang Ulee Lheue Boulevard. Jalan mulus selebar empat jalur ini mengganti loronglorong jalan yang dulunya sempit

SIANG

Kota Banda Aceh yang lumpuh pascabencana dilihat dari udara, 3 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

1

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

dan sesak. Dua jembatan baru nan kukuh telah dibangun mengganti jembatan lama yang rapuh karena tsunami. Sebagian daratan Ulee Lheue yang semula musnah ditelan tsunami setelah direklamasi berubah menjadi kawasan pelabuhan yang lapang. Jika malam tiba, lampulampu jalan menaburkan cahaya di sepanjang bulevar. Ulee Lheue telah berubah. Pulihnya Ulee Lheue tentu saja menjadi berkah tersendiri bagi Sahrul. Tak mau tinggal diam melihat kondisi yang menguntungkan ini, dia lalu banting setir dari hanya seorang kuli bangunan yang penghasilannya tidak tetap menjadi seorang pengemudi becak motor di Ulee Lheue. Saat tsunami menyapu, dia kehilangan segalanya. Tak hanya harta bendanya namun juga seluruh keluarganya. Ayah, ibu, dan sanak saudaranya tak kembali setelah digulung gelombang raksasa itu. Sahrul harus melupakan kedukaannya dan memulai lagi kehidupannya dari nol. Kini dia telah menikah dengan wanita sesama penyintas tsunami dan telah dikaruniai seorang anak. Seiring pulihnya infrastruktur di Ulee Lheue, kehidupannya pun telah pulih kembali. Tak ada hambatan lagi, mengantar penumpang jadi nyaman. Rute mencari nafkah menuju Pelabuhan Ulee Lheue kini sudah bagus, ujarnya. Harapan untuk hidup yang lebih baik, kini terbentang luas. Kegembiraan ini tentu saja bukan milik Sahrul semata. Tapi juga terjadi di seluruh penjuru kawasan bencana di NAD dan Nias. Selain Ulee Lheue, hingga berakhirnya masa kerja BRR pada April 2009, infrastruktur seluruh wilayah bencana NAD dan Nias relatif pulih kembali. Jalan lintas barat, yang menghubungkan Banda Aceh dan Meulaboh yang semula hancur lebur akibat tsunami, kini sudah tersambung. Total panjang jalan dan jembatan yang telah terbangun mencapai 2.600 kilometer. Demikian juga dengan fasilitas perhubungan lainnya seperti pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas telekomunikasi, terminal, hingga fasilitas air minum. BRR telah menyelesaikan tugasnya. Tentu saja tidak ada gading yang sempurna, sebab masih pekerjaan yang belum rampung, yang jumlahnya mencapai lima persen dari total keseluruhan pembangunan. Hal ini wajar karena selama perencanaan dan pelaksanaan sempat terjadi beberapa kendala. Kekurangan itu akan dilanjutkan lembaga lain seperti Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, dan pemerintah daerah. Tentu bukan perkara mudah memulihkan infrastruktur di Serambi Mekkah ini. Apalagi BRR hanya punya waktu empat tahun untuk memulihkan seluruh infrastruktur yang lumpuh total akibat gempa dan tsunami. Kerusakan yang terjadi begitu parah. Kawasan yang tersapu langsung ombak besar itu seperti Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Singkil, dan Kepulauan Nias. Kedua wilayah terakhir lebih parah setelah diguncang gempa, Maret 2005. Jalan raya yang menghubungkan kotakota di Pantai Barat Aceh misalnya luluh lantak diterjang ombak raksasa. Bahkan sejumlah ruas jalan di beberapa wilayah di sana hilang

2

tergerus hingga ke fondasinya, seolah terhapus begitu saja dari peta. Sebagian lagi tenggelam di dasar laut, akibat garis pantai yang maju beratus meter ke arah daratan atau juga permukaan tanah yang turun akibat gempa. Ombak tsunami menggerus hampir seluruh Pantai Barat Aceh, yang ratarata tidak memiliki pelindung pantai alami, baik berupa hutan bakau maupun pelindung buatan. Jangankan pantai, pelabuhan laut pun yang rusak atau hancur total akibat air raksasa itu mencapai 24 pelabuhandi antaranya Pelabuhan Meulaboh, Calang, Ulee Lheue, dan Singkil. Ini belum termasuk rusaknya jaringan telekomunikasi, listrik, dan air minum di Banda Aceh dan Calang serta Meulaboh. Stasiun sentral telepon di Meulaboh bahkan hancur sehingga melumpuhkan jaringan di sekitarnya. Yang merepotkan, saat sistem dan jaringan di Meulaboh mulai diperbaiki, kapasitas stasiun sentral otomat di Tapaktuan ikut terimbas kapasitasnya. Mau tak mau, sentral telepon di Tapaktuan harus diperbesar. Sentra ini menjadi penghubung jaringan telepon Meulaboh ke sistem jaringan telepon nasional. Fasilitas air minum juga rusak parah. Di Banda Aceh misalnya, PDAM Tirta Daroy sebagai penyuplai utama air minum lumpuh akibat gempa. Kerusakan terutama terjadi pada jaringan pipa distribusi, instalasi penjernih air, jaringan pipa penyedotan air (intake), dan

Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, yang setiap hari melayani rute Banda AcehPulau Weh, mengalami kehancuran sangat parah, 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

3

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

4

RUMAH SAKIT

KANTOR AGA MA

1.000 Km 21 Kab/kota 8 Unit 24 Unit 3.440 Km 120 Unit 2.495 Km 107.216 Ha 126.146 M2 69.058 M2 1.052 Unit 2.000 Unit

Pantai rusak Sistem jaringan PDAM rusak Bandara rusak Pelabuhan rusak/hancur Jaringan tegangan listrik rusak Jembatan arteri rusak/hancur Jalan utama hancur Jaringan irigasi rusak Sungai rusak Rawa dan pantai rusak Gedung pemerintahan rusak/hancur Sekolah rusak/hancur

TRADISIONAL

PASAR

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

5

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

fasilitas pendukung lainnya. Hal ini membuat fasilitas ini tidak bisa menyuplai air minum ke seluruh kota. Kapasitas suplai air minum yang tersisa tinggal 20 persen saja. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kondisi saat itu. Air merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk menolong para penyintas tsunami. Rusaknya berbagai sarana dan prasarana infrastruktur saat itu membuat pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi semakin sulit dilakukan. Banyak daerah terisolasi dan tidak terjangkau. Jangankan untuk mendistribusikan bahan konstruksi bangunan, untuk menyalurkan bantuan logistik pada masa tanggap darurat pun sangat sulit.

Bergerak dari Titik NadirDi luar kerusakan yang akibat bencana gempa dan tsunami, kondisi wilayah Aceh sendiri memang menyedihkan. Akibat didera konflik berkepanjangan membuat wilayah ini amat tertinggal, termasuk dalam soal pembangunan infrastruktur. Sebelum tercapainya perdamaian, Aceh adalah kawasan konflik bersenjata yang sangat rawan dan berisiko untuk dimasuki kegiatan pembangunan infrastruktur. Akibatnya pembangunan banyak terpusat di kawasan perkotaan, daerah padat penduduk, atau di daerah sepanjang jalan utama saja. Jangankan fasilitas jalan atau perhubungan, prasarana pertanian seperti irigasi saja tidak terpelihara. Demikian halnya dengan bendungan utama irigasi, banyak yang tidak berfungsi. Pertanian pun sunyi senyap. Kondisi ini makin buruk setelah tsunami datang, terutama di kawasan pantai. Akibat tsunami, lebih dari 11 ribu hektare kawasan pertanian, akibat tertimbun pasir dan tanah, tidak produktif lagi. Di beberapa wilayah, pembangunan infrastruktur jalan juga terhambat. Secara kasatmata kondisi infrastruktur strategis di beberapa wilayah berada dalam kondisi baik, seperti kondisi jalan tingkat nasional dan provinsi. Walaupun di beberapa titik masih butuh perawatan, pada masa sebelum tsunami beberapa ruas jalan seperti jalan lintas timur, lintas barat, dan lintas tengah Provinsi NAD sudah berlapis aspal hotmix. Namun di tingkat yang lebih rendah (kabupaten) infrastuktur jalan terbangun seadanya. Selain tingkat pembangunannya masih rendah, pemeliharaannya juga seadanya. Sebagian besar jalan kabupaten bahkan belum beraspal hotmix atau masih berupa jalan batu atau kerikil. Pasokan tenaga listrik? Sama saja. Sebelum tsunami, pasokan utama listrik untuk Provinsi Aceh berasal dari sistem jaringan Sumatera Bagian Utara melalui transmisi tegangan tinggi di sepanjang Pantai Timur Sumatera. Itu pun, jangkauan pelayanannya masih sangat kecil dan umumnya hanya memasok kawasan pantai timur dan perkotaan. Di luar itu, pasokan listrik didapat dari jaringan setempat berupa pembangkit listrik tenaga diesel yang sering mengalami gangguan. Voltasenya naikturun atau minim sehingga sering mengakibatkan pemadaman. Kondisi ini makin buruk dengan munculnya

6

pencuri kabelkabel listrik dan besi menara listrik. Tak heran sering terjadi, beberapa menara tegangan tinggi roboh. Pada akhirnya, pembangunan infrastruktur tidak sampai ke daerah pedalaman. Pasokan listrik sangat terbatas karena bergantung pada generator kecil hasil swadaya masyarakat yang hanya berfungsi pada malam hari. Lebih jauh lagi ke pegunungan tengah dan pantai barat, pelayanan listrik belum ada sama sekali. Kondisi infrastruktur sebelum tsunami ini mau tidak mau menjadi bagian dari program rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur BRR. Terlebih karena dengan mandat build back better dalam membangun kembali Aceh, di luar membangun kawasan tsunami, kawasan lain juga harus dibangun. Hal lainnya juga karena sebagian program itu masuk ke dalam cetak biru yang dibuat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Memang itu tidak semua. Pada beberapa kasus, seperti ruas GeumpangTutut yang merupakan program pemerintah sebelumnya (bagian dari jalan Ladia Galaska) bukanlah ruas yang terkena tsunami. Ruas itu kemudian dibangun dengan alasan dapat menjadi jalur alternatif untuk menembus Meulaboh dan wilayah pantai barat lainnya. Walaupun pada akhirnya pembangunan jalan lintas tengah yang memotong pegunungan Leuser ini harus berbenturan dengan masalah lingkungan. Kerusakan infrastruktur yang menyeluruh ini jelas sangat menghambat distribusi bantuan pada masa tanggap darurat. Beruntung beberapa fasilitas pelabuhan dan bandara masih bisa digunakan. Walaupun kondisinya darurat karena kapasitasnya sangat kecil, arus bantuan baik dari dalam maupun luar negeri masih bisa tertampung.

Jalan di Lhoong, Aceh Besar, dari waktu ke waktu selalu tergenang air pasang laut, 3 Oktober 2006. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pembangunan infrastruktur pantai barat Aceh. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

7

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Pelabuhan Lhokseumawe dan Malahayati, di antaranya, saat itu perannya sangat krusial sebagai pintu masuk logistik, peralatan, dan personel bagi misi kemanusiaan di Aceh. Kedua pelabuhan ini sendiri sejatinya tak luput dari terjangan tsunami. Namun dengan kondisi minimal itu kedua pelabuhan tersebut masih bisa beroperasi. Dari kedua pelabuhan inilah material, peralatan, dan personel kemudian dimobilisasi ke Banda Aceh dan sekitarnya. Selain melalui laut, bantuan juga datang melalui udara. Saat itu Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) yang tidak terimbas tsunami menjadi tumpuan utama. Pada masa tanggap darurat itu, Bandara SIM seketika berubah menjadi bandara internasional karena juga harus melayani padatnya lalu lintas pesawat dari luar negeri. Oleh karena kapasitasnya terbatas, Bandara Maimun Saleh di Sabang akhirnya juga diberdayakan sebagai bandara alternatif bagi pesawatpesawat yang membawa bantuan kemanusiaan. Saat itu Bandara SIM juga menjadi base camp bagi puluhan helikopter internasional yang menyuplai bantuan ke segala penjuru kawasan bencana yang terisolasi akibat putusnya jalur darat dan laut. Pada saat bersamaan, di masa tanggap darurat jalur darat lintas barat, yakni Banda AcehMeulaboh juga mulai dirintis. Pembangunan jalan darurat sepanjang 235 kilometer itu dikerjakan TNI Angkatan Darat. Hingga masa tanggap darurat selesai, jalur darat yang berhasil mereka kerjakan mencapai 35 persen. Ini sudah termasuk diperbaikinya 17 jembatan dari total 53 jembatan yang rusak di jalur tersebut. Sementara itu untuk mengatasi putusnya jaringan komunikasi, pada masa tanggap darurat itu, jaringan telepon seluler mulai diperbaiki. Demikian halnya dengan jaring komunikasi berbasis satelit, terutama sistem very small aperture terminal (VSAT) juga mulai dibangun. Sistem ini boleh dibilang menjadi dewa penolong pulihnya komunikasi darurat. Selain mudah dirakit, sistem ini juga terbukti mampu menembus komunikasi (baik suara maupun data) hingga kawasan paling terpencil dan terisolasi, terutama di sepanjang Pantai Barat Aceh. Terlebih adanya bantuan Yayasan Air Putih, yang menggagas jaringan internet hingga ke pelosokpelosok kawasan bencana. Sarana ini tentu saja mempermudah berbagai lembaga donor dan LSM baik nasional maupun internasional, dalam mengirim data dan informasi ke kantor pusat mereka di belahan bumi mana pun.

8

Bergerak Lincah Menembus TantanganUntuk memulai sebuah proses rehabilitasi dan rekonstruksi, tentu saja semua proses yang terjadi pada masa tanggap darurat itu masih kurang. Satu hal yang menjadi persoalan saat BRR mulai bekerja pada April 2005 adalah pengangkutan peralatan dan material konstruksi ke wilayah bencana. Toh, semua itu tak lantas menjadi hambatan. Badan ini harus segera bergerak. Melihat urgensi ini, salah satu keputusan pertama yang dibuat BRR adalah membangun Pelabuhan Meulaboh secepatnya. Dermaga ini

akan membantu proses mobilisasi peralatan dan material konstruksi untuk menjangkau wilayah pantai barat. Penetapan lokasi pelabuhan dilakukan dengan cepat, yakni beberapa hari setelah BRR resmi bekerja. Lokasi pelabuhan itu terletak tepat di samping Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh yang hancur total. Pembangunan dermaga yang mendapatkan bantuan dari Singapore Red Cross Society ini pun terbilang cepat, yaitu setahun saja. Pada April 2006 dermaga ini sudah dapat digunakan. Hasilnya sangat membantu pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah barat. Berbagai pengalaman dan mengatasi berbagai kendala yang terjadi di lapangan selama melakukan proses rekonstruksi dan rehabilitasi inilah yang dituangkan dalam buku ini. Tujuannya selain menjadi dokumentasi, berbagai pengalaman yang telah dilalui badan ini semoga dapat dijadikan referensi membangun kembali infrastruktur di ranah pascabencana. Dengan begitu, kebingungan yang dialami badan ini pada saat memulai proses rekonstruksi dan rehabilitasi tidak lagi terjadi. Pada saat memulai kerja, lembaga ini tak ubahnya berjalan seperti orang buta. Badan ini tidak memiliki buku panduan resmi dari

Kesibukan di pelabuhan Meulaboh, Aceh Barat, setelah pelabuhan laut itu diresmikan, 7 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

9

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

10

Alat berat menapaki jalan yang dibangun USAID di Lamno, Aceh Jaya, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

lembaga mana pun di dunia yang bisa dijadikan referensi membangun dan menghadapi musibah mahadahsyat seperti ini. Namun lembaga ini tetap berupaya mengembalikan kehidupan masyarakat yang luluh lantak akibat bencana. Pekerjaan yang tidak ringan. Kerja raksasa ini tidak akan mungkin dilakukan sendiri pemerintah daerah yang tak berdaya akibat infrastruktur pemerintahannya juga lumpuh dan personelnya banyak yang hilang serta mengalami trauma yang berat. Di luar itu, kondisi lapangan yang hancur lebur akibat tsunami menjadi tantangan tersendiri. Ketersediaan material dan peralatan konstruksi seperti semen, alatalat berat, dan aspal yang sangat terbatas. Yang tak kalah penting, suasana psikologis yang belum begitu aman dan kondusif memperlambat gerakan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur. Hambatan lainnya adalah tenaga kerja untuk membangun infrastruktur. Soal ini menjadi masalah tersendiri. Pascatsunami, tenaga kerja yang ada di Aceh lebih berhubungan dengan masalah sosial. Selain terbatas, tenaga kerja lokal kebanyakan masih trauma tsunami karena banyak yang kehilangan harta benda dan keluarga. Sedangkan untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar pun tidak mulus karena ada sejumlah penolakan tenaga kerja level bawah. Di saat bersamaan, kebutuhan tenaga kerja besarbesaran di Banda Aceh pun meningkat. Pasalnya, pihak swasta pun saat itu mulai membangun ruko dan bangunan lainnya.

Semua hal itu berjalan simultan. Masalah pendanaan termasuk di dalamnya. Siapa pun memahami, pemulihan pascabencana tentu memerlukan dana sangat besar dan organisasi khusus untuk mengelolanya. Sedangkan dana yang disediakan pemerintah Indonesia sendiri sangat terbatas. Untuk itulah berbagai tawaran bantuan dana dari lembagalembaga internasional yang baru sebatas komitmen harus terus dikejar dan dibuatkan skema pendanaannya, termasuk pula saat mulai bekerja sesuai dengan program kerja yang telah ditentukan dalam cetak biru yang ditetapkan pemerintah. Masalah kemudian timbul karena ternyata di dalam cetak biru itu terdapat banyak program yang tidak sesuai dengan urgensi bencana. Bahkan cenderung tumpangtindih dengan program lembaga pemerintah lainnya selain BRR. Tidak hanya itu, cetak biru tersebut disusun tanpa disertai desain perencanaan yang detail. Karena itulah kebijakankebijakan terobosan akhirnya dibuat untuk mempercepat proses rekonstruksi, termasuk di dalamnya bagaimana menyelenggarakan pelelangan dan konstruksi di lapangan, serta bagaimana menentukan skema pendanaan dan anggaran. Kalau tidak boleh disebut berakrobat, seluruh upaya dilakukan badan ini untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Tentu semua bermuara untuk memulihkan infrastruktur di seluruh kawasan bencana gempa dan tsunami sehingga kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat kembali normal.

Bagian 1. Membangun Pilar Kehidupan

Urusan ke dalam juga bermasalah. Badan ini belum memiliki struktur organisasi yang jelas. Alhasil, menyusun struktur organisasi kerja dan personel Kedeputian Bidang Infrastruktur menjadi hal mutlak, terutama bagaimana menyusun struktur organisasi dan personel Kedeputian Bidang Infrastruktur termasuk dalam soal reorganisasi sesuai dengan perubahan di lapangan. Untuk itu, sesuai dengan kebutuhan, dari tahun pertama hingga berakhirnya masa kerja BRR, sempat terjadi beberapa kali perombakan struktur organisasi Kedeputian Bidang Infrastruktur .

11

Berlayar Sambil Membuat PerahuHARI itu sebuah helikopter terbang rendah mengitari pesisir Meulaboh. Didalamnya, tim relawan Singapore Red Cross Society (SRCS) yang ditemani Djoko Sasono, staf Deputi Bidang Infrastruktur BRR, yang baru saja terbentuk beberapa hari sebelumnya, serius mengamati kota yang luluh lantak akibat tsunami itu. Pada April 2005, mereka melakukan survei udara untuk mencari lokasi yang tepat untuk membangun dermaga baru. Pelabuhan yang lama, selain kecil, garagara tsunami kondisinya sudah tak layak lagi. Pelabuhan baru dengan ukuran yang lebih besar sangat penting dalam proses merehabilitasi dan merekonstruksi tidak saja bagi Meulaboh, tapi juga wilayah lainnya di Aceh. Pelabuhan ini akan menjadi pintu gerbang kapalkapal yang datang membawa bantuan. Meulaboh, kota yang menghadang langsung ombak raksasa di Pantai Barat Aceh itu, memang hancur total. Dari 120 ribu penduduk, tersisa 80 ribu orang. Mereka kehilangan segalanya. Tak ada satu pun bangunan berdiri utuh. Kota itu bagai dimasukkan ke dalam mesin blender lalu ombak raksasa itu menggilingnya tanpa ampun. Akibatnya, puluhan ribu rumah, jembatan, bangunanbangunan umum, dan seluruh jaringan infrastrukturnya hilang tergerus ombak tsunami, termasuk Pelabuhan Laut dan Penyeberangan Kota Meulaboh. Di masa tanggap darurat, kota ini terisolasi. Akses dari Banda Aceh hancur total. Saat itu, bantuan yang datang hanya bisa dilakukan melalui udara dan laut. Itu juga dengan seadanya.Jembatan kokoh tak luput dari amukan tsunami, Lamno, Aceh Besar, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

13

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Dari atas helikopter, lokasi baru akhirnya ditemukan. Tak jauh dari puingpuing pelabuhan lama. Beberapa bulan kemudian, pelabuhan tersebut selesai dibangun dan siap digunakan. Hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi berakhir, pelabuhan itu terbukti tidak hanya menjadi tulang punggung distribusi barang dan logistik bagi Meulaboh tapi juga seluruh wilayah Pantai Barat Aceh. Keputusan blitzkrieg atau gerak kilat ini tentu tidak lazim. Biasanya, untuk menetapkan lokasi suatu pelabuhan dibutuhkan sebuah studi yang mendalam dan membutuhkan waktu yang panjang. Namun waktu tak bisa menunggu. BRR yang baru saja menetas pun tak ingin kehilangan kesempatan. Meski struktur organisasi dan personel Kedeputian Bidang Infrastruktur belum terbentuk, keputusan cepat dan tetap sangat dibutuhkan. Keputusan cepat seperti ini bukanlah sekali ini terjadi dilakukan dalam pelaksanaan pemulihan infrastruktur di AcehNias. Meskipun telah dibekali cetak biru pemulihan bencana, sejatinya tidak ada buku panduan resmi di belahan bumi mana pun yang bisa dijadikan referensi memulai pemulihan infrastruktur di kawasan akibat bencana mahadahsyat seperti yang terjadi di Aceh. Yang pasti, dari semua itu salah satu hal yang harus dilakukan adalah merapatkan barisan dan menyusun personel untuk memulai pekerjaan dan itu tidak mudah. Hal itu sebenarnya sudah disadari seluruh staf BRR. Alkisah, sebelum BRR resmi dibentuk, bersama Junius Hutabarat (Mantan Direktur Jenderal Tata Ruang, Departemen Pekerjaan Umum), Bastian Sihombingyang belakangan menjabat sebagai Kepala Deputi Bidang Infrastruktur Lingkungan dan Pemeliharaan BRRsempat bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto di sebuah kantor LSM di Jakarta. Kuntoro dan Junius sebelumnya sudah sering terlibat dalam forumforum diskusi penanganan bencana dan penataan ruang

14

Infrastruktur dan Lingkungan HidupPerubahan Kedeputian Infrastruktur, Perumahan, dan Koordinasi Penatagunaan Lahan menjadi Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan tidak saja ditujukan untuk memindahkan bidang perumahan dari Kedeputian Infrastruktur tapi juga sebagai apresiasi terhadap bidang lingkungan. Pada awalnya tanggung jawab bidang lingkungan di Kedeputian Infrastruktur hanya menangani koordinasi penyediaan amdal kegiatan yang dibiayai donor yang sebenarnya hal ini sudah melekat sebagai bagian dari suatu perencanaan. Hal ini terjadi karena walaupun penamaan Kedeputian Infrastruktur termasuk menangani lingkungan, pada kenyataannya bidang ini ditaruh di Kedeputian Operasi. Hal ini hanya pertimbangan kepraktisan mengingat lingkungan tidak hanya untuk kegiatan pada Kedeputian Infrastruktur, tapi juga merupakan bagian kegiatan yang ada di Kedeputian Kesehatan untuk pembangunan rumah sakit, Kedeputian Pendidikan untuk kegiatan pembangunan gedung sekolah, dan Kedeputian Ekonomi untuk pembangunan pelabuhan perikanan. Aspek lingkungan diaplikasikan dalam semua sektor sehingga posisinya dilekatkan pada kedeputian yang bisa link dengan seluruh sektor tersebut, yaitu Kedeputian Operasi. Kemudian pada 2008, menjelang berakhirnya tugas BRR, organisasi yang berkaitan dengan lingkungan dipindah ke Kedeputian Infrastruktur bersama dengan masuknya bidang tata ruang.

akibat bencana tsunami, salah satunya di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Diskusidiskusi tersebut membangun sebuah pemahaman yang sama di antara mereka tentang penanganan dan pemulihan daerah bencana. Dalam pertemuan itu, mereka pun langsung sepakat saat membahas rencana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias pascatsunami, termasuk juga dibahas struktur organisasi institusi yang akan segera dibentuk. Kuntoro saat itu tidak menyodorkan organisasi dengan pendekatan sektoral seperti yang jamak digunakan dalam pemerintahan. Dia mengusulkan kegiatan yang tidak menyentuh konstruksi semata tapi juga harus dimasukkan aspek sosial, budaya, agama, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Struktur itu direncanakan dan dilaksanakan saling mendukung dan melengkapi satu sama lain selama 60 hari sebagai masa transisi. Mungkin inilah yang disebut pendekatan holistik, pikir Bastian Sihombing, yang dalam pertemuan itu masih hadir sebagai tamu. Pada awalnya organisasi yang disodorkan itu sulit dipahami karena bertumpu pada penugasan dan target masingmasing sektor. Setiap bidang pelaksana selain menangani kegiatan konseptual juga menangani konstruksi pembangunan fisik sehingga setiap bidang dituntut memahami masalah konstruksi dan administrasi teknis. Sektor infrastruktur misalnya. Selain menangani pembangunan fisik juga mengurusi pertanahan dan lingkungan. Sektor pendidikan tidak hanya menangani sistem pendidikan dan pengajaran, tapi juga konstruksi bangunan sekolah dan fisik laboratoriumnya. Demikian halnya sektor agama dan sosial, yang seharusnya hanya menangani pemulihan kegiatan beribadah dan yang transformasi sosial, disatukan dengan kegiatan pembangunan prasarana sosial dan keagamaan.Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

15

Latar belakang penambahan kata lingkungan ke dalam Kedeputian Infrastruktur sebagai penegasan bahwa pembangunan kembali (rekonstruksi) infrastruktur akan selalu memperhatikan persyaratan lingkungan. Selanjutnya, kata pemeliharaan di belakang kata lingkungan, juga mempunyai makna tertentu. Ada unsur peringatan di balik kata pemeliharaan, yaitu kita sudah pandai membangun, tapi masih belum pandai memelihara. Dengan meningkatkan kepandaian memelihara, berarti pelayanan

infrastruktur yang dibangun semakin panjang karena umur hidupnya semakin panjang. Apa keterkaitan infrastruktur dengan lingkungan hidup? Infrastruktur termasuk kategori lingkungan buatan (manmade environment). Infrastruktur selalu dibangun di suatu lingkungan hidup yang berupa ruang atau wadah yang terletak di atas maupun di dalam bumi. Oleh karena itu, keberadaannya selalu bersentuhan dengan lingkungan hidup, untuk memastikan agar infrastruktur bisa hidup

berdampingan dengan lingkungan di sekitarnya. Tujuannya untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan dan juga untuk memelihara infrastruktur yang telah dibangun kembali. Pemeliharaan dilakukan dengan mencegah atau meminimalkan daya rusak pembangunan infrastruktur terhadap lingkungan. Semakin terpelihara, umur hidup dan umur layanan infrastruktur akan semakin panjang.

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Saat itu, struktur ini sepertinya hanya dipahami Junius Hutabarat. Latar belakangnya sebagai mantan Dirjen Tata Ruang membuatnya berpengalaman dalam bidang perencanaan yang juga mempertimbangkan tidak hanya aspek fisik. Namun bagi mereka yang biasa berkecimpung dalam bidang konstruksi hal ini tentunya butuh waktu. Apalagi melihat kerusakan fisik yang parah, seharusnya hanya menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas lainnya. Secara umum, harusnya, organisasi yang dibentuk lebih berat pada penanganan fisik dibanding sektorsektor nonfisik lainnya. Dari referensi Departemen Pekerjaan Umum soal pembentukan organisasi BRR, organisasi yang diusulkan pun lebih berat di kegiatan konstruksi. Organisasi itu terdiri atas bidangbidang konstruksi sesuai dengan sektornya dan satu bidang yang berurusan dengan kegiatan nonkonstruksi. Semuanya dipimpin langsung Kepala Badan Pelaksana (Kabapel) BRR. Usulan awal Kuntoro yang sejatinya memahami pendekatan sektoral pemerintahan itu pun dianggap tidak lazim, terutama bagi para birokrat pemerintahan yang saat itu telah dilibatkan. Pada akhirnya usulan awal itu hanya dapat diadopsi pada pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Kepulauan Nias yang ditangani oleh satu organisasi khusus yang bersifat multisektor.

16

Bekerja Sambil LesehanSingkat kata, berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005, BRR diresmikan. Lembaga ini dipimpin Kuntoro Mangkusubroto sebagai Kabapel. Sejak itu, dimulailah perekrutan relawan yang mau bergabung dengan BRR. Eddy Purwanto, doktorandus ekonomi dan master kebijakan publik, yang dipilih sebagai Deputi Bidang Infrastruktur adalah pejabat deputi pertama yang ditetapkan BRR (berdasar Keppres Nomor 63/M Tahun 2005). Dia memiliki latar belakang pendidikan di bidang kebijakan publik dan sebelumnya bekerja sebagai asisten deputi di Kementerian Perekonomian. Eddy Purwanto dipilih dari hasil wawancara calon deputi yang ke5. Tugasnya saat itu adalah mengelola kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan, infrastruktur, dan koordinasi penatagunaan lahan. Secara fungsional dia juga bertugas merumuskan kebijakan teknis, menyusun dan pelaksanaan rencana kerja, memantau dan evaluasi serta pengkajian dan pelaporan. Kemudian kedeputian sektor ini dibagi menjadi empat direktorat. Bidang itu adalah perhubungan dan telekomunikasi, yang mengurusi pembangunan jalan dan jembatan serta urusan perhubungan lainnya. Kemudian bidang perumahan dan fasilitas umum, bidang penatagunaan lahan, dan terakhir bidang sumber daya air dan energi. Direktorat Perumahan dan Fasilitas Umum selain menangani masalah perumahan juga menangani masalah air bersih, sanitasi lingkungan, dan penataan bangunan fasilitas umum. Sedangkan direktoratdirektorat lainnya ditugaskan mengelola bidangnya sesuai dengan penamaan direktorat masingmasing. Inilah struktur organisasi pertama Kedeputian Bidang Infrastruktur . Sederhana dan ramping.

Cakupan wilayah kerja Kedeputian Bidang Infrastruktur sendiri meliputi seluruh wilayah bencana di Aceh dan Nias. Awalnya, pada 2005, program pembangunan infrastruktur hanya fokus di 13 kabupaten serta dua kabupaten di Kepulauan Nias. Di antaranya Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat (termasuk Meulaboh), Nagan Raya, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Singkil. Saat itu Nias masih dimasukkan ke dalam wilayah kerja Kedeputian Bidang Infrastruktur karena pada tahun pertama wilayah ini masih belum kuat untuk berdiri sendiri. Jangankan personel khusus untuk Nias, personel deputi bidang ini saja masih kurang. Barulah pada tahun kedua, wilayah Nias dipisah menjadi regional kerja terpisah, kecuali untuk program khusus berupa pengadaan kapal dan teknologi informasi.

Deputi Perencanaan dan Pemrograman Junius Hutabarat beserta staf mendiskusikan pembangunan jaringan infrastruktur pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam, 10 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Berkembang Sesuai KebutuhanSelama pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, Kedeputian Bidang Infrastruktur mengalami perubahan struktur organisasi berkalikali. Ratarata perubahan itu terjadi kurang dari setahun. Dinamika perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan agar organisasi seimbang dan lebih produktif sesuai dengan kondisi lapangan.

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

17

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Satker/PPK sebagai Mitra Kerja dan Ujung Tombakpelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, bisa dikatakan satuan kerja (Satker) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) adalah ujung tombaknya. Dalam struktur organisasi, satuan kerja, atau gugus proyek (kepala Satker biasa dikenal masyarakat dengan istilah pemimpin proyek/pimpro) berada di bawah direktorat per sektor pekerjaan. Dalam satu direktorat, misalnya Direktorat Jalan dan Jembatan, dapat terdiri atas beberapa satuan kerja. Sementara PPK, dalam struktur berada di bawah Satker, yang juga terdiri atas beberapa PPK. PPK inilah yang mengurusi sebuah program/proyek pembangunan, dan juga para panitia lelang. Beban dan tanggung jawab mereka tentunya sangat berat, mulai dari proses pelelangan, kontrak, pelaksanaan pekerjaan, pengendalian hingga pemeliharaan. Keberhasilan pelaksanaan program Deputi Infrastruktur sangat bergantung pada kemampuan dan kompetensi tim ini. Selain itu juga diperlukan kemampuan koordinasi dan komunikasi antara Satker/PPK dan direktorat untuk memastikan bahwa fungsi pengawasan dan pengendalian berjalan dengan baik. Berbekal koordinasi dan komunikasi yang baik di antara mereka, setiap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program kegiatan dapat segera diketahui dan diatasi. Dengan demikian proses rehabilitasi dan rekonstruksi dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

DALAM

Sebelumnya, pada 2005, BRR sempat mendelegasikan pelaksanaan program ini kepada kementerian atau lembaga terkait dan pemerintah daerah. Saat itu, BRR juga menitipkan pemilihan Kepala Satker/ PPKnya. BRR saat itu memang tidak memiliki wawasan yang cukup untuk mengevaluasi setiap calon Kepala Satker/PPK yang diusulkan dan kemampuan yang bersangkutan. Mengingat usulan berasal dari menteri, gubernur atau bupati dan wali kota, BRR menganggap personel yang diangkat tersebut sangat layak dipercaya. Di kemudian hari, kepercayaan ini tenyata tidak cukup. Faktor pengalaman dalam memegang proyek besar merupakan hal penting. Organisasi secara formal tidak berjalan sebagaimana mestinya terutama bagi kepala Satker dari pemerintah kabupaten. Salah satu kewenangan yang berbeda antara Kepala Satker BRR dan Kepala Satker kementerian/lembaga adalah otoritas untuk mengganti PPK/bendahara dan penguji SPM. Penggantian personel ini dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari deputi sebagai atasan Kepala Satker. Hal ini ditujukan untuk mengurangi beban administrasi di tingkat Kepala BRR dan mempercepat proses penggantian, jika muncul kebutuhan tersebut. Walaupun otoritas ini diberikan, Kepala Satker tidak dapat semenamena melakukan penggantian karena memerlukan persetujuan atasan. Loyalitas PPK kepada Kepala Satker bertambah sehingga pelaksanaan koordinasi pengendalian di tingkat bawah dapat berjalan lebih cepat.

18

Perubahan organisasi atau reorganisasi ini sudah pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Positifnya adalah untuk menyesuaikan kebutuhan organisasi dan mengurangi kerancuan tugas. Negatifnya, dinamika ini sedikit banyak justru mengganggu jalannya pekerjaan. Banyak proses serah terima jabatan tidak diikuti dengan mekanisme serah terima tugas dan aset dari pejabat lama ke pejabat baru. Namun itu tidak dilakukan karena pejabat baru harus sudah segera bekerja sesuai dengan tugas barunya. Jika hal ini terjadi di tingkat Satker dan pejabat pelaksana komitmen (PPK) pelelangan, keadaan ini menyulitkan pendataan dan penyimpanan asetaset proyek. Selain itu, para KaSatker dan PPK sangat konservatif dalam menjalankan tugasnya. Mereka umumnya berusaha mencegah limpahan kesalahan Satker sebelumnya berpindah menjadi tanggung jawabnya, walaupun periode masalah ini di luar tanggung jawabnya. Syaratsyarat kepemimpinan di kalangan Satker, yaitu akuntabilitas atau keberanian mengambil risiko atas keputusan yang diambil, juga hampir tidak terwujud. Mereka lebih takut diperiksa daripada membiarkan proyeknya terlambat. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat kompetensi SDM yang direkrut untuk itu harus mempertimbangkan kualitas kepemimpinan, ujar Bastian. Pengurangan kewenangan Deputi Bidang Perencanaan dan Pemrograman misalnya, awalnya mencakup perencanaan program, pengendalian mutu, pengadaan tata ruang dan lingkungan, diumumkan secara tibatiba dalam forum terbuka dan tanpa surat keputusan, menjadi hanya perencanaan strategis, tata ruang, dan lingkungan. Sebelumnya pada Juli 2005, kedeputian ini awalnya bernama Deputi Bidang Pembangunan Infrastruktur, Perumahan, dan Penatagunaan Lahan. Belakangan, dengan beban pekerjaan yang semakin menumpuk, pada 2006, deputi ini dimekarkan menjadi dua deputi, yaitu Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman serta Deputi Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan. Kedua bidang ini memang tidak mungkin disatukan. Pasalnya, karena perumahan adalah tugas besar BRR yang harus ditangani dengan lebih fokus. Sedangkan pembangunan infrastruktur juga merupakan tugas berat yang harus dipikul BRR. Apalagi cakupan wilayah kerjanya tidak hanya di daerah tsunami atau di Aceh, tapi juga meliputi kawasan akibat gempa di Nias. Selain itu, Deputi Bidang Infrastruktur juga mendapat tambahan pekerjaan dengan adanya program donor baik berupa MDF, AFD, dan JBIC. Selanjutnya untuk mengefektifkan kerja di lapangan dibentuklah kantorkantor cabang atau kantor regional. Pada 2006, kegiatan konstruksi berjalan semakin berat. Apalagi muncul bermacam tuntutan program dari seluruh kabupaten di Aceh. Tuntutan ini bukan hanya karena alasan tsunami, tapi juga keseimbangan dan pemerataan pembangunan di seluruh Aceh. Mereka menganggap terkena imbas kegiatan pembangunan kawasan tsunami. Selain menangani infrastruktur tingkat nasional dan tingkat provinsi, kedeputian ini mulai menangani infrastruktur tingkat kabupaten. Tuntutan diakomodasi dengan memberdayakan Pemda melalui kantor regional.Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

19

RegionalisasiINFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

meregionalisasikan organisasi atau membuat kantor. Beberapa kabupaten disatukan pengendalian programnya dan dipimpin seorang kepala regional. Di kabupaten dan kota dibentuk kantor distrik sebagai pasangan bupati atau wali kota dalam berkoordinasi. Tugas awalnya adalah koordinasi dalam perencanaan program, terutama dalam menyerap aspirasi yang berada dalam koridor cetak biru. Pelaksanaan konstruksinya sendiri baru dilaksanakan mulai awal 2007, sesuai dengan anggaran daftar isian proyek anggaran yang diterbitkan. Program regionalisasi ini di beberapa titik cukup menguntungkan dalam mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Bidangbidang kerja yang berada di level kabupaten, seperti jalan kabupaten, diserahkan pengendaliannya kepada kantor regional. Demikian halnya dengan pembangunan tanggul pengaman pantai dan tanggul penahan air pasang. Dari Direktorat Perhubungan, pembangunan gedung pengujian kendaraan dan terminal bus juga diserahkan ke regional. Bahkan ada kantor regional yang cukup berani mengambil program pembangunan landasan udara (airstrip) dan water treatment plant, walaupun tidak memiliki staf memiliki kompetensi di bidang tersebut. Sering kali dalam penetapan program antara kedeputian dan regional terjadi tarikmenarik. Kecuali program yang bersifat strategis, Kepala Badan pelaksana BRR memiliki kebijakan untuk memindahkan program pemulihan sebanyakbanyaknya ke tingkat regional. Berangkat dari kebijakan ini, penentuan program awalnya dilakukan deputi sektor, kemudian diberikan keleluasaan kepada regional memilih dan melaksanakannya. Program yang tersisa kemudian dikerjakan sendiri oleh kedeputian BRR. Kantor regional dengan bupati berkoordinasi membentuk suatu forum bernama sekretariat bersama (sekber). Ide ini pertama sekali diperkenalkan di Nias dan kemudian disebarkan ke Aceh. Sekber juga berfungsi untuk mengoordinasi pertemuan antara pemerintah daerah dan BRR dalam hal penentuan program tahunan.

PADA paruh 2006, BRR membuat kebijakan

Sayangnya, sekber sering kali datang dengan daftar program yang panjang, tanpa mempertimbangkan keterbatasan dana dan skala prioritas. Program yang diusulkan bukan program strategis pemerintah kabupaten dan kota, tetapi program kecil yang bahkan tidak sesuai dengan cetak biru rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa program definitif akhirnya gagal dilaksanakan karena keterbatasan dana. Tidak masuknya beberapa program konstruksi di Acah Barat Daya membuat Bupati meminta agar sekretariat bersama dibubarkan. Banyak pihak tidak memahami bahwa fungsi sekber bukan hanya menampung aspirasi atau usulan, tapi sebagai proses screening dan prioritas program untuk kemudian dimasukkan ke Deputi Perencanaan dan Keuangan untuk disetujui ke dalam daftar isian proyek. Fungsi lain dari sekber adalah memberi persetujuan terhadap program yang dibiayai hibah MDF dan menyetujui komitmen pemeliharaannya. Jika sekber dibubarkan, program MDF di kabupaten tersebut harus dibatalkan karena program ini mensyaratkan harus ada pihak yang akan melanjutkan pemeliharaan. Dalam hal ini forum sekberlah yang dimaksud. Pemindahan program yang berjalan juga diikuti dengan pengalihan dana ke tingkat regional. Akibatnya beberapa kedeputian akhirnya hanya mengelola sedikit dana karena sudah dipindahkan ke regional. Selain dana, mutasi staf deputi juga terjadi karena di tingkat regional personel ahli di bidangnya terbilang kurang. Proses mutasi staf ke regional berakibat berkurangnya staf di tingkat deputi karena tidak ada penggantinya. Belakangan muncul indikasi konflik antara pemerintah daerah dan BRR. Konflik yang sempat terjadi antara Kantor Regional Meulaboh dan Bupati Aceh Barat akhirnya membuat kantor regional harus ditutup dan pengendaliannya dipindahkan kembali ke Banda Aceh. Dengan pembentukan regional, BRR kemudian memiliki organisasi sampai tingkat kabupaten, sebagai mata dan telinga dalam pengendalian proyek. Keberadaan regional kemudian sangat membantu menyelesaikan persoalan di tingkat lapangan dan menjadi ujung tombak dalam menyerap aspirasi dan respons masyarakat.Pembukaan Kantor Perwakilan III BRR NADNias untuk wilayah kerja bagian timur, Takengon, Aceh Tengah, 24 Agustus 2006. Foto : BRR/Arif Ariadi

20

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Melalui kantor regional ini sebagian tugastugas pun didistribusikan ke daerah tingkat kabupaten. Untuk mengendalikan kantorkantor regional ini dibentuklah sebuah deputi bidang baru, yaitu Deputi Bidang Operasi yang dipimpin Eddy Purwanto yang awalnya memimpin Kedeputian Bidang Infrastruktur . Mengganti posisinya, Bastian Sihombing ditunjuk sebagai Deputi Bidang Infrastruktur yang baru, mulai Juni 2006. Selama beberapa bulan deputideputi baru sempat bekerja tanpa landasan hukum yang resmi. Barulah pada September 2006 ketiga deputi bidang yang baru itu dikukuhkan melalui Keppres Nomor 86/M Tahun 2006. Detail tugas Deputi Bidang Infrastruktur ditetapkan dua bulan berikutnya. Kedeputian baru yang dipimpin Bastian Sihombing ini dibantu oleh satu wakil deputi saja. Ada pun fungsi wakil deputi tersebut utamanya adalah melakukan pengendalian internal dan memastikan seluruh prosedur dan aturan dilaksanakan dan ditaati dengan saksama. Sayangnya, efektivitas wakil deputi tersebut terganggu dengan perangkapan jabatan sebagai direktur di bawah Kedeputian Bidang Infrastruktur . Hal ini merupakan ciri BRR mengingat jumlah SDM yang selalu lebih sedikit dibanding jumlah posisi yang ada dalam organisasi.

22

Rangkap Jabatan, Rangkap PekerjaanSetelah dipisahkan, Kedeputian Bidang Infrastruktur , Lingkungan, dan Pemeliharaan memiliki enam direktorat dan satu satuan tugas . Sesuai dengan kebutuhan, di bawah direktorat dibentuk satu atau lebih unit manajer. Tugasnya selain memastikan tersedianya dan terselenggaranya pekerjaan infrastruktur, manajer juga melaksanakan pekerjaan manajerial sesuai dengan bidangnya dan juga atas target pembangunan yang ditetapkan. Kemudian, posisi manajer dipecah menjadi dua subsektor. Direktorat Perhubungan misalnya, terdapat dua subsektor, yaitu transportasi laut dan darat serta transportasi udara serta SAR dan Postel. Demi efisiensi dan kompetensi tugas, struktur ini pun terus berkembang menjadi lebih sederhana dengan munculnya level asisten manajer dan dilanjutkan dengan staf senior/ junior. Saat itu terdapat satu posisi direktur, tiga manajer (yaitu Manajer Transportasi Udara dan Manajer Darat, Laut dan SAR, serta Manajer TI) dan didukung beberapa asisten manajer dan staf. Hingga 2008 jumlah staf di direktroat ini tetap hanya tujuh orang inti plus dua orang technical assistance. Jumlah tersebut tentunya relatif kecil dibandingkan dengan beban mengendalikan anggaran yang tidak kurang dari Rp 400 miliar setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, Dinas Perhubungan Provinsi NAD mengelola anggaran yang jauh lebih kecil, namun memiliki jumlah staf/pegawai lebih dari 100 orang.

Rampingnya struktur organisasi membuat setiap staf memiliki beban pekerjaan yang cukup tinggi. Itu sebabnya rangkap jabatan dan rangkap pekerjaan. Namun, hal ini sudah dianggap sebagai sebuah hal yang wajar. Sering terjadi staf dari Direktorat Perhubungan, misalnya, diminta untuk membantu sektor lain menjadi panitia lelang atau narasumber seperti pada sektor perumahan, ekonomi, dan Project Management Unit (PMU) Infrastructure Reconstruction Enabling Programme (IREP) Infrastructure Reconstruction Finance Facility (IRFF). Pekerjaan tambahan ini sudah pasti di luar job description yang telah ditetapkan. Bahkan pernah terjadi, pada awal 2007, posisi kepala satuan kerja, manajer, dan direktur dirangkap satu orang saja. Demikian pula dengan posisi manajer, sering tidak memiliki staf pendukung. Akibatnya, mulai dari urusan administrasi kantor hingga terjun ke lapangan pun dilakukan sendiri. Bahkan bekerja pada harihari libur atau sampai larut malam pun sudah menjadi hal yang lazim. Hal ini menunjukkan kompetensi dari para staf dalam bekerja keras. Bagi tim Deputi Bidang Infrastruktur dalam sebuah kondisi darurat hal ini bukanlah hambatan, melainkan sebuah tantangan. Walaupun pekerjaan tambahan menumpuk, tugastugas utama tetap harus dijalankan.

Deputi Infrastruktur, Bastian Sihombing, mendampingi Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, saat kunjungan lapangan di Tiro, Pidie, 10 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

23

Project Management UnitINFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

merupakan badan yang mengelola pelaksanaan program bantuan luar negeri seperti grant MultiDonor Fund(MDF) untuk pembiayaan technical assistance Infrastructure Reconstruction Enabling Programme (IREP) dan pembiayaan konstruksi Infrastructure Reconstruction Financing Facilities (IRFF) rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur. Lembaga ini dijabat rangkap oleh Deputi Infrastruktur. Untuk menjalankan kegiatan seharihari, pimpinan lembaga ini dibantu Kepala Sekretariat PMU yang juga ditetapkan sebagai atasan langsung dari satuan kerja/PPK pengelola dana IREP. Apabila biasanya PMU di departemen teknis hanya merupakan suatu unit koordinasi fungsional, dalam konteks ini PMU IREP/IRFF dimasukkan dalam struktur organisasi Kedeputian Infrastruktur dengan kedudukan setingkat direktorat. Kepala sekretariat memiliki lima project officer. Nah, merekalah yang melakukan supervisi dan pengendalian terhadap konsultan manajemen, konsultan supervisi dan desain, serta konsultan manajemen keuangan proyekproyek konstruksi yang didanai bantuan MDF tersebut. Kelima tim konsultan ini terdiri atas konsultan Program Manajemen Infrastruktur (Infrastructure Program Management), konsultan Supervisi dan Desain (Planning, Design and Construction Supervision, PDCS), untuk wilayah Utara dan Barat Aceh, tim konsultan PDCS di Nias, tim konsultan PDCS untuk proyekproyek infrastruktur strategis tingkat provinsi dan tingkat nasional serta tim konsultan Manajemen Keuangan. Keseluruhan konsultan ini aktivitasnya dikendalikan oleh PMU. Dalam kaitan koordinasi dan komunikasi dengan pihak donor (MDF), yang dalam hal ini diwakili oleh pihak Bank Dunia, selaku administrator atau penanggungjawab pengelolaan dana IREP/IRFF, telah disepakati untuk memberlakukan sistem komunikasi satu pintu (one door policy). Semua komunikasi ke Bank Dunia harus dilakukan melalui PMU. Demikian pula halnya dalam konteks koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat, terutama dalam hal koordinasi pelaksanaan program dan atau konsultasi teknis untuk halhal yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab kementerian atau departemen di pusat.

PROJECT Management Unit (PMU)

Terkait dengan implementasi, dalam PMU berkoordinasi dengan Direktur Pertanahan dan Direktur Lingkungan di Kedeputian Perumahan. Hal ini untuk menyelesaikan persoalan pembebasan lahan dan screening lingkungan program infrastruktur. Untuk mengarahkan program pengembangan infrastruktur, dibentuklah Komite Pengembangan Infrastruktur yang terdiri atas seluruh deputi yang terkait dengan infrastruktur. Komite ini dipimpin Deputi Operasi, yang anggotanya terdiri dari Deputi Operasi, Deputi Keuangan dan Perencanaan, Deputi Infrastruktur, Deputi Perumahan, dan Deputi Kelembagaan. Komite ini berjalan fungsinya terutama dalam kaitannya dengan penyelesaian persoalan dengan donor, rencana induk atau cetak biru yang baru. Bank Dunia terutama meminta advis dengan komite, baik sendirisendiri maupun secara bersamaan dalam penyelesaian persoalan hibah, arah pengembangan, dan pencapaian target. Dalam hal organisasi, PMU bertanggung jawab kepada Kepala Badan dan Komite Infrastruktur bukan atasan PMU. Dalam pelaksanaannya, kebijakan strategis pengembangan infrastruktur dari Kepala Badan dilakukan oleh Komite Infrastruktur. Organisasi PMU ini bagi banyak unit lain di BRR terkesan tidak efisien dan tidak membantu. Bagi mereka yang berkecimpung di bidang konstruksi, hanya paham bahwa ada program, dana, lelang, dan konstruksi. Pemahaman soal supervision mission, evaluasi kinerja, evaluasi proses, pelaporan secara periodik, perubahan grant agreement, penyesuaian dengan aturan pemerintah Indonesia dan akuntabilitas tidak terlalu terasa efeknya terhadap konstruksi. Banyak pihak menganggap hal ini tidak pernah ada, tidak muncul ke permukaan, dan tidak memberi banyak bantuan terhadap konstruksi. Tapi bagi donor, penyediaan informasi ini menjadi bagian yang penting harus dipenuhi dan menjadi tugas yang melekat dari suatu PMU. Donor juga tidak mau berhubungan dengan banyak unit di BRR, seperti masingmasing direktorat, SatkerSatker atau PPK. Persyaratan akan komunikasi satu pintu menjadi keharusan untuk dipenuhi dalam rangka menghindarkan kebingungan dan variasi administrasi.

24

Gambar 2.1. Struktur Project Management Unit

Ketua PMU (Project Monitoring Unit)

Kepala Tugas (Chief of Unit)

Direktur/Ketua Sekretariat PMU

Sekretariat & Administrasi

Pelaksana Proyek-1Infrastruktur Project Management

Pelaksana Proyek-2West Coast Infrastructure Planning & Design

Pelaksana Proyek-3Nias Roads, Transports & City Development

Pelaksana Proyek-4Provincial Level Strategic Infrastructure Planning & Design

Pelaksana Proyek-5Financial Management

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Asisten 1 Asisten 2

Tugas ini seluruhnya di luar tugas pokok dan fungsi direktorat teknis atau sektor. Untuk itu fungsi komunikasi dengan donor ini dibebankan ke PMU. Ini pemahaman penting bagi masyarakat konstruksi bahwa ada dapur yang mengolah seluruh proses pembentukan loan dan hibah, yang lebih banyak menyita pemikiran dan kepiawaian dalam bernegosiasi dalam bahasa asing daripada sekadar pemahaman soal pelelangan dan konstruksi. Khusus untuk kegiatan yang berkaitan dengan JBIC dan AFD, juga dibentuk unit PMU yang dipimpin pejabat setingkat direktur yang dalam hal ini dirangkap Wakil Deputi Bidang Infrastruktur. Tugasnya sama dengan PMU IREP/IRFF sebagai fasilitasi hubungan antara BRR dan donor karena prosesnya masih pada tingkat awal dan penyiapan dokumen loan. Tahap ini adalah tahap yang paling sulit dibanding tahap konstruksi. Di sinilah dibicarakan dan disepakati semua persyaratan dan proses. Jika sudah masuk pada tahap implementasi, itu hanya masalah manajemen konstruksi. Tugas berhubungan dengan donor ini, jika di kementerian/lembaga umumnya menjadi tugas Biro

Perencanaan, Biro Hubungan Luar Negeri, atau Bina Program. Di BRR, tugas ini melahirkan personel lokal yang paham akan pembentukan hibah dan pinjaman luar negeri yang kelak dapat menjadi resource pemerintah daerah. Menjelang berakhirnya BRR, tugas fasilitasi manajemen seluruh program hibah serta pinjaman luar negeri ini disatukan dalam PMU yang terintegrasi. Untuk itu dibentuk PMU baru yang dikoordinasikan dengan Departemen PU, sebagai executing agency selanjutnya. Kepala PMU diserahkan kepada Deputi Operasi yang bertanggung jawab kepada Kepala Badan. Organisasi dan personel PMU yang dibentuk dengan surat keputusan Kepala Badan tersebut akan melanjutkan tugas yang sama di Departemen PU setelah masa kerja BRR berakhir pada 16 April 2009 dengan surat keputusan Menteri PU. Kepala PMU setelah di bawah Departemen PU bertanggung jawab kepada Menteri PU. Pola ini berupa exit strategy yang mulus tanpa adanya jeda akibat serah terima dan proses belajar. Hal ini bisa dilakukan mengingat personel PMU BRR adalah juga personel Departemen PU.

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

25

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Yang menarik, komposisi personel dalam deputi ini tergolong cukup beragam latar belakang kultur dan profesinya. Kebijakan rekrutmen untuk mengisi formasi organisasi BRR memang lebih didasarkan pada kemampuan dan profesionalitas, bekerja dengan integritas, serta komitmen. Dalam program infrastruktur tuntutan pemahaman tentang spesifikasi, prosedur, dan standard operating procedure (SOP) merupakan persyaratan utama. Mereka yang terpilih harus mempunyai kemampuan dengan memahami spesifikasi pekerjaan dan dokumendokumen kerja. Untuk itulah, dalam deputi ini, personel dari luar Aceh tidak terelakkan terutama dalam lingkup pengendalian dan manajemen bidang keteknikan. Sedangkan dalam lingkup pelaksanaan di lapangan, hampir seluruh personel berasal dari Aceh. Hal ini sekaligus menjadi proses pembinaan terhadap personel Pemda Aceh, terutama saat masa tugas BRR berakhir, dan program rekonstruksi harus diserahterimakan. Toh begitu, kenyataannya dibandingkan program sosial budaya BRR, jumlah personel lokal dalam kedeputian ini termasuk sedikit. Dalam tingkat pengendalian dan manajemen pun, komposisi personel yang ada cukup beragam. Walaupun BRR NADNias, notabene adalah organisasi pemerintah, jumlah personel BRR yang berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) jumlahnya sangat sedikit, sebaliknya yang berasal dari LSM dan swasta jumlahnya lebih banyak. Kultur pegawai negeri sipil yang berlandaskan birokrasi tentu saja berbeda dengan kultur swasta yang lebih mengandalkan tercapainya tujuan dan efisiensi. Perbedaan tersebut membuat para staf harus selalu membuka wawasan terbuka dalam menerima perbedaan pendapat. Pada akhirnya kombinasi keduanya membentuk sebuah pola kerja yang sangat baik dalam menyelesaikan permasalahan. Yang pasti, untuk mendukung integritas kerja mereka, Ketua BRR bersedia membuat sistem pembayaran yang berbeda dengan sistem penggajian pemerintah (PNS). Dengan sistem ini karyawan BRR menerima pembayaran yang lebih baik dan tidak perlu mencari tambahan lagi sehingga dituntut harus bersedia bekerja keras, cepat, berintegritas, dan profesional. Keunikan lainnya adalah banyak terdapatnya tenaga nonorganik (staf ahli) dari nasional maupun internasional. Mereka dibayar dari uang bantuan atau hibah (nonAPBN). Hampir di setiap unit organisasi BRR, yang dimulai dari kepala badan sampai tingkatan direktorat, dibantu dengan tenaga nonorganik tersebut. Persoalannya apakah tenaga bantuan itu juga memahami tugas pokok dan fungsi organisasi pemerintahan yang dibantunya? Apabila tidak, keberadaan tenaga itu menjadi tidak efektif karena kontribusi ideide mereka bisa tidak sejalan dengan kebutuhan rekonstruksi pada umumnya dan khususnya pada kebutuhan pelayanan publik. Oleh karena itu, tenaga ahli ini dibatasi jumlahnya pada bidang yang spesifik atau bila tidak ditemukan keahlian tertentu dari internal organisasi BRR. Proses pemberhentian tenaga organik maupun tenaga ahli menjadi hal yang biasa. Penghentian tersebut tidak selalu karena berakhirnya masa kontrak tapi juga di tengah perjalanan. Salah satu sebabnya adalah soal kompetensi.

26

Dengan komposisi dan pola rekrutmen demikian, kebijakan internal BRR NADNias terkadang bocor dan diterima oleh mereka yang tidak memahami maknanya. BRR NADNias tidak bermaksud melanggar asas transparansi tapi terkadang intervensi pihak luar atas kebijakan internal malah berpengaruh negatif terhadap pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan publik.

Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum, Bambang Guritno, dan Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menandatangani dokumen serah terima aset infrastruktur milik negara, Jakarta, 8 April 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Mengakhiri Masa KerjaMemasuki 2008, tuntutan perubahan atau revisi struktur organisasi terus terjadi. Penyempurnaan susunan organisasi dan tata kerja tahun ini lebih bertujuan untuk akselerasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi menjelang berakhirnya masa tugas BRR, April 2009. Tentu saja tantangan dan medan kerja berbeda di saat memulai tugas. Kali ini dua jabatan wakil deputi diperluas tanggung jawabnya. Wakil deputi pertama merangkap juga sebagai Kepala PMU Aceh Reconstruction Projectpinjaman luar negeri dari Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan pinjaman dari negara Prancis melalui Aliance France Development (AFD). Wakil deputi kedua merangkap sebagai Kepala Sekretariat PMU IREP/IRFF.

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

27

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Di samping itu Kedeputian Bidang Infrastruktur dilengkapi juga dengan beberapa tenaga ahli, Satuan Tugas Penyelesaian Audit dan Satuan Tugas Manajemen Aset dan Monitoring. Sedangkan unit atau satuan lama, yakni Satuan Tugas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) dikembangkan dan diperluas menjadi Direktorat Lingkungan dan Tata Ruang dengan berpindahnya tugas bidang tata ruang dan lingkungan dari Kedeputian Perumahan dan Operasi. Demikian juga, unit lama, Direktorat Air Bersih, Sanitasi, dan Fasilitas Umum direvisi menjadi Direktorat Sanitasi dan Drainase dengan masuknya pekerjaan drainase besar dari pinjaman JBIC dan AFD. Penyempurnaan lainnya, dengan peraturan Kabapel BRR yang baru ini, jabatan lama yang disebut manajer diganti menjadi kepala bidang. Pada tahun terakhir, sejak 1 Januari 2009, tugas Kedeputian Bidang Infrastruktur dikonsentrasikan pada penyelesaian serah terima aset, penyelesaian temuan, pembuatan laporan akhir dan fasilitasi manajemen program hibah (grant) serta pinjaman luar negeri (loan). Seluruh kegiatan konstruksi yang ada di Kedeputian Bidang Infrastruktur juga dipindahkan ke Kedeputian Operasional. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang melebihi 15 Maret 2009 diserahkan pada Departemen PU dan Departemen Perhubungan Provinsi NAD. Konsekuensinya, karena tidak lagi menangani pekerjaan fisik dan konstruksi, tujuh direktorat di Kedeputian Bidang Infrastruktur dirampingkan menjadi empat unit dan jumlah staf berkurang menjadi sekitar sepertujuhnya, atau menjadi delapan orang saja. Sementara itu, dalam struktur Satker Kedeputian Bidang Infrastruktur, tenaga konsultan manajemen infrastruktur yang dibiayai MDF melalui program IREP termasuk tenaga outsourcing yang dipekerjakan Satkeryang awalnya berjumlah 23 orang berkurang menjadi tujuh orang saja. Setelah masa tugas BRR benarbenar resmi selesai pada 16 April 2009, unit kerja Deputi Bidang Infrastruktur yang dipertahankan adalah unit yang menangani fasilitasi donor dan hubungan kementerian/lembaga. Sesuai dengan proses serah terima, unit ini berada dibawah Departemen PU dengan tugas yang sama. Hal ini terbilang unik. Sebelumnya tidak pernah terjadi di kelembagaan pemerintahan mana pun sebelumnya, pengalihan tugas terjadi dari organisasi setingkat kementerian ke organisasi departemen. Hal ini memang hanya terjadi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di AcehNias. Kenyataannya, banyak hal luar biasa terjadi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di AcehNias ini, terutama di kedeputian ini. Tantangan tinggi, menuntut organisasi BRR harus kuat bukan saja karena target rekonstruksi, tapi juga karena menghadapi tekanan mental, penghindaran kesalahan karena perhatian publik, dan tuntutan pengambilan keputusan yang cepat. Dinamika perubahan organisasi yang sangat cepat disesuaikan dengan tuntutan kerja dan perubahan target serta perubahan tujuan BRR. Hal ini tidak hanya karena pentingnya tugas negara yang diemban, tapi juga kebutuhan pemulihan

28

kawasan bencana yang demikian mendesak membutuhkan ketepatan dan kecepatan dalam merencanakan, memutuskan, dan bertindak. Berbeda dengan organisasi di departemen, di BRR seseorang harus mampu bekerja untuk berbagai hal, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring. Perubahan organisasi yang sangat cepat disesuaikan dengan tuntutan kerja dan perubahan target serta perubahan tujuan organisasi. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan karena kepala badan, sesuai dengan Perpres Nomor 34 Tahun 2005, memiliki kewenangan secara penuh dalam penetapan organisasi tanpa harus dikonsultasikan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, sebagaimana kementerian dan lembaga lainnya. Hal ini diberikan agar kecepatan gerakan dapat dipenuhi. Tepat rasanya dengan ungkapan Kabapel BRR, yang menggambarkan bahwa semua pekerjaan mereka itu layaknya berlayar sambil membuat perahu. Pada akhirnya semua menyadari, dengan segala macam dinamika di lapangan, organisasi BRR adalah sebuah organisasi yang ramping dan efektif terutama bila dibandingkan dengan organisasi pemerintahan lain. Kini pulihnya infrastruktur akibat gempa dan tsunami di kawasan AcehNias adalah sebuah bukti nyata dari hasil kerja dan integritas mereka.

Deputi Infrastruktur, Perumahan, dan Koordinasi Penatagunaan Lahan, Eddy Purwanto, berkoordinasi sebelum memulai pemantauan udara terhadap dampak bencana, Banda Aceh, 29 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Berlayar Sambil Membuat Perahu

29

Cetak Biru Sejuta HarapanMencerna Buku Panduan Sesuai Kebutuhan

ATJEH Spoorweg Maatschappij. Itulah nama perusahaan kereta api Aceh

peninggalan Belanda di era 1950an. Aceh tram, demikian sepur tua itu juga biasa disebut, menghubungkan Serambi Mekkah hingga Medan, Sumatera Utara, untuk mengangkut segala macam hasil bumi, rempah, hingga tikar pandan Aceh yang terkenal kala itu. Tak banyak yang tahu, di masa itu, kereta api yang menjadi transportasi utama menjadi salah satu simbol kejayaan perekonomian Aceh hingga akhir 1970an. Kini semua itu hampir tak bersisa. Jaringan rel kereta dari Banda AcehMedan terbengkalai begitu saja. Dengan berbagai alasan, salah satunya karena konflik berkepanjangan, Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), perusahan kereta api milik pemerintah saat itu, tidak lagi bisa melanjutkan pengoperasiannya. Puncaknya terjadi pada 1980an, jerit lonceng kereta tak pernah lagi terdengar. Kisah di atas bukan sekadar romantisme sejarah. Rencana rehabilitasi dan rekonstruksi jalur kereta api MedanLangsaLhokseumaweBanda Aceh tersebut tercetak jelas dalam cetak biru 2005 yang dibuat Bappenas untuk BRR. Dalam cetak biru disebutkan, jalur transportasi kereta api sepanjang 233 kilometer itu harus direhabilitasi berikut pengadaan gerbonggerbong dan fasilitas stasiunnya. Tujuannya tak lain untukMasyarakat di sekitar Samalanga, Bireuen, menikmati hasil rekonstruksi jalan desa yang dibangun dengan dana APBN, 22 Mei 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

31

mengembalikan denyut ekonomi Aceh yang porakporanda oleh tsunami dan konflik bersenjata berkepanjangan. Rencana yang ideal tentu saja. Namun, hal itu sesungguhnya jauh api dari panggang.INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Setelah dipertimbangkan, rencana pemulihan infrastruktur kereta api tersebut tidak bisa menjadi prioritas program pemulihan infrastruktur BRR. Lagi pula, program jangka panjang itu ternyata juga sudah masuk pula dalam rencana program Departemen Perhubungan. Apa boleh buat, cetak biru yang seharusnya menjadi pedoman penting sebuah pembangunan, tidak semuanya dapat dilaksanakan BRR. Apalagi, selain program kereta api tersebut, dalam cetak biru yang disusun Bappenas dengan bantuan pemerintah NAD itu (sesuai dengan PP 30, 15 April 2009), banyak program yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bencana gempa dan tsunami. Banyak pula kabupaten yang memasukkan semua rencana program pembangunan wilayah mereka tanpa mempertimbangkan prioritas bencana, ujar Bastian Sihombing, Deputi Infrastruktur BRR. Pembangunan jalan misalnya, hampir semua jalan nasional dan provinsi di Aceh masuk ke dalam cetak biru untuk direhabilitasi dan rekonstruksi. Dengan demikian, program ini akan tumpangtindih dengan program Ditjen Bina Marga dan pemerintah Aceh. Ada beberapa wilayah bahkan jauh dari lokasi wilayah yang terkena bencana tsunami. Meski demikian Kedeputian Bidang Infrastruktur tetap berusaha untuk konsisten dengan program yang tercantum dalam cetak biru, perencanaan awal kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini juga sesuai dengan arahan Kabapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, yang menyatakan setiap program harus diteliti kembali sesuai dengan tingkat kebutuhan dan prioritas. Tak bisa dielakkan, program yang tercantum dalam cetak biru tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Pembangunan jalur kereta api salah satu contohnya. Sebaliknya, beberapa kebutuhan prioritas dan sangat mendesak malah justru tidak tercantum dalam cetak biru tersebut. Di antaranya pembangunan escape airstrip di Blangkejeren (Kab. Bener Meriah) dan Teluk Dalam (Kab. Nias Selatan) serta Calang (Kab. Aceh Jaya) dapat dibangun Mission Aviation Fellowship (MAF) pada 2006. Sesuai dengan namanya, airstrip itu dibutuhkan saat kondisi darurat seperti terjadi bencana tsunami untuk memudahkan proses evakuasi, terutama bagi masyarakat di wilayahwilayah yang sulit terjangkau transportasi darat maupun laut. Selain itu, airstrip tersebut juga diperlukan untuk mempermudah pengedropan logistik dan material konstruksi. Idealnya, escape airstrip tersebut harus dikembangkan sehingga mampu didarati pesawat sejenis Hercules C130. Masalah lainnya, meskipun bernama cetak biru, ternyata tak satu pun program yang ada memiliki desain perencanaan. Dalam kondisi darurat, sebuah bencana luar biasa baru saja terjadi, hal ini memang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Apalagi biasanya pada proses desain dan perencanaan dibutuhkan lagi waktu yang cukup lama.

32

Selain membangun infrastruktur, BRR juga membangun kapasitas kelembagaan untuk memelihara infrastruktur. Dengan melengkapi dinas teknis dengan peralatan pemeliharaan diharapkan akan memperpanjang umur layanan infrastrutur yang dibangun. Untuk itu BRR juga berpikir melengkapi Pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan peralatan pemeliharaan. Program ini diperlukan namun belum tercantum di dalam cetak biru. Akhirnya untuk memecahkan masalah ini, BRR memakai konsep review design. Dengan konsep ini, pada tahuntahun berikutnya, setiap memulai pembangunan BRR hanya menyediakan konsep dasar perencanaan, dokumen lelang, dan perhitungan nilai kuantitas proyeknya. Semua ini kemudian dilelang. Berikutnya pemenang lelang yang harus merencanakan detail desainnya. Cara ini efektif untuk mempercepat proses rekonstruksi. Berbagai kenyataan ini memaksa BRR untuk cermat dalam menyusun strategi dan memilah kembali program infrastruktur saat membedah cetak biru. Program mana yang akan menjadi prioritas tahun pertama dan mana yang memerlukan perencanaan jangka panjang dan dibutuhkan desain mendalam. Dalam memilih program infrastruktur yang mendesak, selain dari cetak biru, BRR juga mempertimbangkan usulan dari Pemda dan kondisi di lapangan. Pada prinsipnya, BRR menempatkan build back better sebagai landasan target konstruksi dalam program

Helikopter PBB melintas di atas airstrip kota Calang, 4 Oktober 2006. Sejumlah airstrip dibangun di daerah strategis atau terpencil untuk tujuan transportasi penumpang dan logistik serta pengurangan risiko bencana di masa mendatang. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

33

Tabel 3.1 Perubahan Sasaran Program/Kegiatan Cetak Biru No. I. PERHUBUNGAN Program/Kegiatan Satuan Sasaran Baru Capaian Pendanaan Keterangan

INFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

1 2 3 4 5 6

Pelabuhan Laut Pelabuhan Ferry Bandara Airstrip Helipad Jalan Kereta Api

Unit Unit Unit Unit Unit Unit

16 8 9 3 1

13 8 9 3 1

APBN BRR, MDF, Singapura & Belanda APBN BRR, AUSAID APBN BRR APBN, MAF APBN BRR

3 Unit Sedang Berjalan (MDF) Operasional Operasional Operasional Operasional Dilanjutkan Oleh Dep. PU (MDF, ADB, JBIC) Dilanjutkan Oleh Dep. PU (MDF, ADB, JBIC) Dilanjutkan Oleh Pemda

II. JALAN & JEMBATAN 1 2 3 Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabubaten km km km 933 782 3.511 831 748 1.100 APBN BRR, MDF APBN BRR, MDF APBN BRR, MDF

34

III. TERMINAL & LLAJ 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 Pembangunan Terminal dan Damri Sarana keselamatan Lalu lintas Ged. Pengujian Kendaraan Bermotor Pengadaan Bus Bantuan Kantor SAR Meteorologi dan Geofisika Pos dan Telematika BMF UPT Postel Sirine Peringatan dini Tsunami Fasilitas Telematika/IT di kab/kota Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Kab/ Kota 16 325 2 56 1 8 23 1 5 24 16 325 2 56 1 8 23 1 5 24 APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR BMG APBN BRR Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai

IV. POS & TELEMATIKA

V. ENERGI & KELISTRIKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Generator/PLTD Kantor PT. PLN PLTMH (Mikro HIdro) PLTS Jaringan Listrik (JTM & JTR) Sambungan Pelanggan Gardu Distribusi / Induk Gedung ESDM Pemantau Gunung Api pkt pkt Unit Unit km Unit Unit Unit Unit 13 1 8 4.084 2.123 122.000 598 3 3 13 1 8 4.084 2.123 116.748 598 3 3 APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR,LSM APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Dilanjutkan PLN Selesai Selesai Selesai

No.

Program/Kegiatan

Satuan

Sasaran Baru

Capaian

Pendanaan

Keterangan

VI. SUMBER DAYA AIR 1 2 3 1 2 1 2 3 Irigasi Pengendalian Banjir Pengamanan Pantai Bangunan Publik Bangunan Pemerintah Alat Berat Rangka Jembatan (rangka Baja & Balley) IREP (Peningkatan Kapasitas Rekonstruksi Infrastruktur) ha m' m' Unit Unit Unit Unit Paket 121.884 98.765 72.454 9 126 170 126 5 121.884 115.078 97.058 1 126 170 126 5 APBN BRR, ADB APBN BRR APBN BRR, MDF APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR APBN BRR, MDF Selesai

Melampaui Target Selesai Selesai Selesai Selesai Dilanjutkan oleh Dep. PU

VII. BANGUNAN PUBLIK

VIII. PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR

rehabilitasi dan rekosntruksi di NAD dan Nias. Implikasi langsung dari strategi ini tentunya adalah dukungan pendanaan yang kuat. Dana itu nantinya akan dipakai untuk melaksanakan segala kebijakan pokok dalam pembangunan infrastruktur sesuai dengan visi dan misi Kedeputian Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan. Sesuai dengan skema pendanaan program berbagai program dipilah ke dalam status strategis dan nonstrategis. Program nonstrategis biasanya berskala kecil dengan waktu pelaksanaan kurang dari satu tahun anggaran. Program ini pada umumnya melayani kebutuhan jangka pendek seperti jalan kabupaten/kota, tempat pendaratan ikan di pedesaan dan jembatan atau jalan di permukiman penduduk. Program nonstrategis dilakukan sesuai dengan pertimbangan waktu, manfaat, dan nilainya yang cukup besar. Pengelolaannya dilakukan BRR sendiri. Sementara pelaksanaannya sendiri diserahkan kepada pemangku kepentingan setempat atau yang lebih dekat dengan lokasi kegiatan, yaitu regional. Sementara itu, program strategis umumnya berskala besar dengan waktu pengerjaan yang relatif lama dan fungsi yang berorientasi jangka panjang. Level status infrastrukturnya sendiri adalah tingkat nasional. Pelaksanaan pembangunannya dilakukan sendiri oleh BRR melalui Kedeputian Bidang Infrastruktur. Contoh kegiatan jangka panjang yang strategis adalah pembangunan Bandara SIM dan Pelabuhan Malahayati di Kabupaten Aceh Besar, dan jalan nasional di lintas barat Aceh. Selain dikerjakan sendiri oleh BRR, ada beberapa program strategis yang ditempatkan pengerjaaannya di tingkat regional. Pembangunan airstrip di Blangkejeren misalnya, adalah konstruksi yang sebenarnya membutuhkan keahlian khusus dalam membangunnya, namun diambil kantor regional Takengon. Ada juga pembangunan

Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

Melampaui Target

35

drainase Lhokseumawe yang ditempatkan di regional memang karena percaya akan kemampuan staf regional di sana. Penempatan beberapa program strategis juga dibagi berdasarkan pengerjaannya langsung pada para donor maupun LSM intenasional. Skema pembiayaan program dari MultiDonor Fund (MDF) misalnya, diserahkan pelaksanaannya kepada UNDP. Program itu di antaranya untuk merehabilitasi persawahan, persampahan, air minum, dan rehabilitasi jalan. Sementara pada International Labour Organization (ILO) diberikan tanggung jawab untuk merehabilitasi jalan berbasis tenaga kerja yang juga dibiayai MDF. Kemudian ada pemerintah Jepang dan Amerika yang mendanai dan melaksanakan sendiri konstruksi rehabilitasi CalangMeulaboh dan rekonstruksi Banda AcehCalang. Mengingat kapasitas BRR dalam menangani kegiatan APBN dan hibah onbudget (masuk dalam skema APBN) sudah sangat besar, pelaksanaan konstruksi strategis donor dan LSM internasional tersebut sangat membantu pencapaian target rehabilitasi dan rekonstruksi BRR. Dalam program MDF itu, BRR masih tetap terlibat aktif dengan menempatkan dana pendamping sebesar US$ 200 juta yang dibantu pengawasannya oleh Bank Dunia.

Kebijakan Pemaketan Program dan PelelanganKEBIJAKAN lain yang digunakan BRR yang akan dalam proses konstruksi adalah pemaketan program. Paketpaket yang sejenis di dalam satu kabupaten dipaketkan menjadi satu. Hal ini agar mengarah pada pemaketan yang besar sehingga dapat dilelang di antara kontraktor besar, dengan anggapan kontraktor besar akan melaksanakan lebih cepat dan lebih baik, karena memiliki kapital dan peralatan yang cukup. Kebijakan ini terutama diterapkan bagi konstruksi yang didanai oleh donor. Tujuan lainnya adalah untuk mengurangi kesulitan dalam proses pelelangan. Paket yang dipecah menjadi kecilkecil akan membutuhkan pelelangan yang berulang dan membutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikannya. Sedangkan kelemahannya adalah jika pelelangannya gagal, maka konstruksi beberapa kegiatan dalam satu kabupaten akan tertunda. Namun, dengan masuknya proses pelelangan dalam supervisi oleh Central Procurement Unit, maka kemungkinan gagal dapat dikurangi, karena beberapa aturan Keppres 80 dapat diatasi dengan adanya aturan dari donor. Aturan lain yang tidak selalu mudah diperoleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah adalah izin tahun jamak atau multiyears. Dalam Revisi Keppres 80 untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Kepala BRR diberikan kewenangan untuk menentukan paketpaket yang dapat dilaksanakan dengan tahun jamak. Hal ini memudahkan dalam pelaksanaan konstruksi karena dapat mengurangi proses pelelangan pada setiap awal tahun anggaran. Persoalannya adalah dapat menimbulkan moral hazard, konstruksi yang seharusnya selesai dalam satu tahun anggaran, menjadi tahun jamak karena keterlambatan dalam pelaksanaan. Tapi sekali lagi, hal ini tetap menjadi keuntungan dalam proses percepatan, karena bagi konstruksi yang terlambat dan tahun anggaran pendanaannya berakhir, harus dilelang ulang. Perubahan konstruksi satu tahun menjadi multiyears tetap saja mengurangi proses pelelangan dan pekerjaan dapat langsung masuk ke tahap konstruksi dengan harga tahun sebelumnya.Bagian 3. Cetak Biru Sejuta Harapan

37

Adapun tahapan yang ditetapkan dalam cetak biru dibagi dalam dua tahap, yakni rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap rehabilitasi antara April 2005 hingga Desember 2006, program ditujukan untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur, dengan sasaran memperbaiki pelayanan publik pada tingkat yang memadai. Sementara pada tahapan rekonstruksi antara Juli 2006 hingga Desember 2009 adalah proses membangun kembali kawasan perkotaan, desa, dan keterpautan (aglomerasi) kawasan. Sasarannya adalah terbangunnya kawasan dan kehidupan masyarakat yang terkena bencana langsung maupun tidak langsung.

Jalur baru jalan CalangMeulaboh di ruas Arongan dalam proses pembangunan, Aceh Barat, 8 April 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Program di Lintasan PembukaINFRASTRUKTUR: Memacu Sektor Pemicu

Khusus untuk 2005, paket program rehabilitasi yang diprioritaskan adalah pemulihan jalan lintas barat Banda AcehMuelaboh, sanitasi dan sarana air minum, penanganan sampah tsunami, serta perbaikan fasilitasfasilitas umum dan instalasi perlistrikan. Sedangkan untuk program rehabilitasi jalan dan jembatan, pada 2005, BRR memfokuskan pada penanganan jalan nasional dan jalan provinsi yang rus